Pencarian

Perguruan Kera Emas 1

Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas Bagian 1


PERGURUAN KERA EMAS
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Perguruan Kera Emas
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 "Hm..., harumnya...! Aku yakin masakanmu ini nikmat, Kang," ucap seorang gadis
berpakaian putih sambil mengertibang-kempiskan hidung. Wajahnya yang cantik
jelita, laksana bidadari dari khayangan.
Sosok yang ditegur gadis berpakaian putih, ternyata seorang pemuda tampan.
Wajahnya yang memperlihatkan kejantanan, menoleh seraya tersenyum. Pakaian
lengan panjang berwarna ungu yang membalut tubuh kekar itu, tampak sangat
mencolok dengan rambut putih keperakan di kepalanya. Semua itu makin memperjelas
kematangan pemuda tampan itu.
"Jangan terlalu yakin, Melati," sambut pemuda berambut putih keperakan itu tetap
dengan senyumnya yang menawan. "Walau baunya nikmat, bisa saja rasanya tidak
enak...." "Aku yakin, Kang! Aku yakin masakanmu nikmat," ujar gadis cantik berambut
panjang itu, yang ternyata bernama Melati. Suaranya kali ini lebih keras dan
penuh tekanan. Tampak jelas adanya kepercayaan yang dalam pada ucapan gadis itu.
Kini Melati mengalihkan matanya, melihat potongan-potongan daging ayam di tangan
pemuda berambut putih keperakan itu. Daging ayam itu ditusuk kayu-kayu runcing
dan diputar-putar di atas onggokan bara api.
Bau daging ayam panggang yang telah matang itulah penyebab keluarnya pujian dari
mulut Melati. Hidungnya menangkap rasa nikmat daging yang telah mulai berubah
kecoklatan itu.
Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya Buana atau lebih dikenal
dengan julukan Dewa Arak ini, masih membolak-balikkan potongan potongan ayam itu
di atas bara api.
"Nah, Melati! Sekarang boleh kau buktikan dugaanmu. Dan.. bersiap-siaplah untuk
kecewa!" ujar Arya seraya menyodorkan satu tusuk kepada Melati yang berjongkok
di sampingnya. "Kau ini selalu saja merendah, Kang! Hm..., ayam ini pasti nikmat!" ujar Melati
seraya menyambut daging panggang itu.
Kemudian setelah membiarkan potongan ayam panggang itu tertiup angin, sehingga
tak terlalu panas, Melati mendekatkannya ke mulut dan menggigitnya. Lalu, pelan-
pelan dikunyahnya.
Semua tingkah Melati diperhatikan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu
belum mencicipi masakannya. Dibiarkan Melati yang mencobanya lebih dulu. Ingin
didengar apa tanggapan kekasihnya setelah merasakan ayam panggangnya.
"Bagaimana, Melati?" tanya Arya, seperti tak sabar menunggu ucapan kekasihnya.
Karena dilihatnya Melati telah menelan bagian yang digigitnya.
Melati seakan-akan tak mendengar pertanyaan Dewa Arak. Dibiarkan saja kekasihnya
itu dalam ketidaksabaran. Sambil menyembunyikan senyum, mulutnya kembali
menggigit panggang ayam yang masih hangat itu.
"Hm..., krukkk!" karuan saja hal itu membuat Arya penasaran. Tidak mendengarkah
Melati" Mustahil! Arya yakin ucapan yang dikeluarkannya cukup keras untuk
didengar! "Bagaimana, Melati" Enak?"
Pertanyaan kali ini dikeluarkan dengan suara lebih keras dari sebelumnya.
"Hi hi hik...!"
Tidak juga terdengar jawaban. Melati hanya tertawa mengikik, terpingkal-pingkal
seakan-akan merasa geli sekali. Hal itu terlihat dari tubuhnya yang sampai
terbungkuk-bungkuk!
Mendengar tawa panjang itu, Dewa Arak langsung sadar kalau dirinya telah menjadi
korban permainan Melati. Gadis itu pasti telah mempermainkannya! Arya hafal
betul dengan sikap kekasihnya.
"Rupanya kau telah mempermainkanku, Melati. Sekarang, cepat katakan padaku!
Bagaimana" Tidak enak, kan"!"
"Enak! Enak sekali, Kang!" jawab Melati seraya memasang wajah sungguh-sungguh.
Itu pun masih ditambah lagi dengan acungan ibu jari tangannya.
Namun, Melati tiba-tiba merasa keheranan melihat sikap Arya. Dilihatnya wajah
pemuda berambut putih keperakan itu menunjukkan keterkejutan, tapi tanpa suara
dari mulutnya. Sebagai seorang yang telah bergaul lama, Melati tahu ada sesuatu
yang menyebabkan kekasihnya bersikap demikian.
"Mengapa, Kang" Ada apa?" tanya Melati, penuh rasa ingin tahu.
"Tadi.. , sepertinya kudengar ada suara jeritan menyayat. Tapi sekarang sudah
tak terdengar lagi. Apa telingaku salah dengar"!" ujar Dewa Arak dengan kening
agak berkerut. Melati langsung terdiam setelah mendengar jawaban Dewa Arak. Lalu, gadis
berpakaian putih itu segera memasang pendengarannya.
"Aaakh...!"
Jeritan menyayat hati itu kembali terdengar.
"Heh...! Kau benar, Kang! Ada sesuatu yang tengah terjadi. Kita harus
bertindak!"
terdengar mantap dan penuh semangat ucapan Melati.
"Mari, kita ke sana!" ajak Dewa Arak tanpa membuang-buang waktu. Ayam
panggangnya ditancapkan di tanah.
Melati pun melakukan hal yang sama. Namun, sebelum itu disempatkan untuk
menggigit lagi ayam panggang itu. Kemudian, dengan mulut mengunyah masakan itu,
tubuhnya melesat mengikuti Dewa Arak.
Dengan berpatokan pada jeritan yang mereka dengar, Dewa Arak dan Melati melesat
menuju tempat asal suara. Pasangan pendekar muda itu harus menempuh jalan
setapak yang licin dan berkelok-kelok. Saat itu keduanya memang tengah berada di
atas lereng sebuah bukit.
Sehingga perjalanan itu membutuhkan kehati-hatian yang cukup. Sekali terpeleset,
mereka akan terpelanting ke jurang yang cukup dalam.
Cukup lama Dewa Arak dan Melati harus melalui jalan menurun dan berbahaya,
sebelum akhirnya sampai di bagian tanah datar berumput pendek yang membentang
luas. Pasangan pendekar muda itu tak perlu membuang-buang waktu untuk mencari. Karena
begitu mencapai tempat itu keduanya segera melihat apa yang mereka cari.
"Hhh...! Biadab!" dengus Dewa Arak dan Melati hampir bersamaan. Kemudian dengan
sikap waspada, keduanya bergerak menghampiri. Tampaknya pasangan pendekar muda
itu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan.
Pemandangan yang terpampang memang cukup menggiriskan hati. Di atas jalan
berumput tampak bergelimpangan mayat-mayat manusia bercampur beberapa ekor kuda
yang telah terkapar berlumuran darah. Dua kuda tampak masih terikat dengan
keretanya. Sungguh menggiriskan!
*** Arya dan Melati berjongkok untuk dapat melihat lebih jelas sosok-sosok tubuh
berlumuran darah itu. Di samping untuk mengenali, keduanya berharap ada di
antara mereka yang masih hidup.
Dewa Arak dan Melati memeriksa sosok-sosok tubuh itu satu persatu. Setiap kali
mereka memeriksa, tampak keduanya menahan napas, menghindari bau amis darah,
kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Ternyata semua telah tewas. Dan di antara mayat itu
ada yang terpenggal lehernya hingga putus.
"Mereka berasal dari perguruan yang sama," ujar Dewa Arak bernada keluh seraya
bangkit ber-diri. Kepalanya menggeleng-geleng pelan.
"Kukira juga demikian, Kang."
Sambil bangkit berdiri, Melati mengajukan pendapatnya yang membenarkan
pernyataan Dewa Arak.
"Apakah kau tahu, perguruan yang mempunyai tanda seperti itu, Melati?"
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dilayangkan pandangannya ke arah
dada kiri salah satu mayat. Tampak sebuah tanda tertera di dada kiri mayat
berlumur darah itu. Sebuah gambar kepala seekor kera yang disulam dengan benang
emas. Sehingga tampak sangat mencolok di atas kain hitam pakaian mayat lelaki
itu. "Tidak, Kang." sahutMelati seraya menggeleng perlahan. Matanya belum beralih
dari gambar kepala kera itu.
"Yang menjadi pertanyaan, apakah isi kereta kuda ini. Kalau tidak karena membawa
sesuatu, tak mungkin kereta itu diikutsertakan," ujar Dewa Arak mencoba menduga-
duga. "Hm..., kurasa kereta itu berisi sesuatu, Kang"! Mungkin orang-orang itu
bertugas mengawalnya," timpal Melati. "Rasanya kalau bukan karena sesuatu yang
sangat penting dan menempuh perjalanan cukup jauh, tak akan mungkin perlu
pengawal sebanyak ini, Kang."
Arya mengernyitkan dahi. Dirasakan ucapan Melati benar. Jumlah mayat yang
kemungkinan besar sebagai pengawal berjumlah sembilan orang berikut kusir
kereta. Ketika tengah berpikir keras begitu, tiba-tiba Dewa Arak mendengar adanya bunyi
langkah-langkah kaki. Dari bunyinya yang semakin keras, bisa diketahui kalau
pemilik langkah itu tengah menuju ke tempat mereka.
"Bersiap-siaplah, Melati! Sebentar lagi, akan muncul orang hebat di sini," ujar
Dewa Arak memberitahukan Melati dengan suara lirih.
Melati menoleh. Wajahnya tampak berubah seketika, mendengar ucapan Dewa Arak.
"Aku belum mendengar bunyi apa pun, Kang," sahut Melati, dengan suara berbisik
pula. "Oleh karena itu berhari-hatilah! Orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh luar
biasa. Bersikaplah biasa saja! Ingat, bukan tak mungkin kalau orang ini pelaku semua
kekejian itu,"
Dewa Arak terus memperingatkan Melati yang sama sekali belum mendengar suara
itu. Melati menganggukkan kepala. Tampak keningnya berkerut. Kepalanya perlahan-lahan
ditelengkan seakan hendak memastikan pendengaran terhadap suara yang dikatakan
Dewa Arak. Ternyata benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Beberapa saat kemudian, telinga
Melati pun telah mendengar suara langkah itu, disusul dengan munculnya sesosok
bayangan kuning melangkah mendekat
Pemilik langkah itu ternyata seorang pemuda tampan berpakaian kuning. Kulit
wajahnya yang putih semakin memperlihatkan bentuk alis yang tebal dan hitam.
Ketika sampai di dekat mayat-mayat yang bergelimpangan, mendadak langkahnya
berhenti. Sepasang matanya terbelalak menatap pemandangan menggiriskan di
hadapannya. Seperti juga Dewa Arak dan Melati, pemuda berpakaian kuning itu larut dalam
perasaan kagetnya. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran, kakinya dilangkahkan
mendekati mayat-mayat itu.
"Hah...."!"
Seruan kaget keluar dari mulut pemuda berpakaian kuning, ketika melihat tanda
yang tertera di bagian dada kiri pakaian mayat-mayat itu.
"Biadab!" makian geram terdengar. Pemuda berpakaian kuning itu segera
melayangkan pandangan pada Dewa Arak dan Melati yang masih berdiri di dekat
mayat-mayat itu.
Dewa Arak dan Melati saling pandang. Meskipun pemuda berpakaian kuning itu tak
meneruskan pernyataannya, sepasang pendekar muda ini tahu, kalau mereka telah
dituduh sebagai pelaku pembunuhan keji itu.
Menyadari jika kesalahpahaman ini dibiarkan akan mengkhawatirkan, Dewa Arak
memutuskan untuk menjelaskan masalahnya. Maka buru-buru disunggingkan sebentuk
senyum di bibirnya.
"Tenang, Kisanak! Kami bukan pelaku pembunuhan keji ini. Seperti juga kau,
sewaktu kami tiba keadaan sudah seperti ini. Dan.... "
"Tutup mulutmu, Bangsat!" bentak pemuda berpakaian kuning itu sebelum Dewa Arak
sempat menyelesaikan ucapannya, "Jangan harap bisa membohongiku! Kau harus
menerima ganjaran atas tindakan kejimu ini! Hiyaaat.. !"
Pemuda berpakaian kuning itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah lengkingan
seraya bergerak hendak melancarkan serangan kepada Dewa Arak. Kemudian dengan
begitu cepat tubuhnya telah melompat. Lesatan cepat itu disertai dengan gerakan
tangannya yang telah membuka dengan jemari membentuk cakar. Laksana harimau
lapar sosok berpakaian kuning itu berkelebat
Wuttt! Deru angin keras mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menjadi pertanda kalau
serangan itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang tidak sembarangan, Dewa Arak
rupanya menyadari kedahsyatan serangan lawan. Maka dia tidak bertindak gegabah.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak bergerak cepat ke samping kanan dengan
lompatan harimau. Dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan cepat
terus mengelakkan serangan lawan.
Tindakan Dewa Arak ternyata tak sia-sia. Serangan cepat yang dilancarkan pemuda
berpakaian kuning itu kandas.
"Hup!"
Bersamaan dengan kembalinya kedudukan Dewa Arak, pemuda berpakaian kuning itu
telah mendaratkan kaki. Dan secepat itu pula pemuda itu telah kembali siap
melancarkan serangan susulan.
Tentu saja Dewa Arak mengetahuinya. Maka buru-buru pemuda berambut putih
keperakan ini mengulurkan kedua tangannya untuk mencegah.
"Tahan dulu, Kisanak! Kau salah menuduh orang. Kami bukan.. ."
"Haaat. .!"
Teriakan keras pemuda berpakaian kuning itu membuat Dewa Arak menghentikan
ucapannya. Pemuda beralis tebal itu telah melancarkan serangan dengan sebuah
tendangan terbang!
Wuttt! "Hhh...!"
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Disadari, kalau pemuda berpakaian kuning itu tak
bisa ditenangkan lagi. Jadi, tidak ada gunanya lagi diberikan penjelasan. Sia-
sia! Hanya ada satu pilihan bagi Dewa Arak kalau tetap ingin memberikan
penjelasan. Robohkan dulu, setelah itu baru diberi penjelasan.
Dewa Arak mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan. Itulah sebabnya, kali
ini dirinya tidak mengelakkan serangan lawan, melainkan berupaya melakukan
gerakan untuk memapaknya.
Sebenarnya, menangkis tendangan terbang, apalagi dari seorang yang ulung,
merupakah tindakan berbahaya! Masalahnya, dengan siasat seperti itu kekuatan
serangan berlipat karena ditambah tenaga luncuran!
Bukan hanya itu saja. Apabila serangan kaki yang satu berhasil dipapak, masih
ada kaki lainnya yang dapat dipergunakan untuk menyerang. Dalam jarak yang
demikian dekat serangan susulan itu sangat berbahaya!
Meskipun tahu hal itu, Dewa Arak tetap bersikeras memapaknya. Ditunggunya hingga
serangan itu menyambar dekat. Benar, ketika serangan itu sampai, kedua tangannya
diangkat ke depan wajah, sambil mengerahkan hampir seperempat kekuatan tenaga
dalamnya. Dan...,
"Hiaaa.. !"
Plakkk! Suara keras seperti benturan dua logam terdengar, ketika tangan dan kaki yang
sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu.
Tubuh Dewa Arak tampak tak bergeming sedikit pun. Padahal, dirinya berada pada
pihak yang kurang menguntungkan. Dari sini dapat diketahui kalau tenaga yang
dikerahkannya cukup untuk mengatasi tenaga lawan!
Namun, serangan pemuda berpakaian kuning ternyata tak hanya terhenti sampai di
situ. Setelah kaki kanan tertangkis, dan membuat luncurannya tertahan, kaki kirinya
langsung disabetkan ke dada Dewa Arak.
Namun serangan susulan itu telah diduga sebelumnya oleh Dewa Arak. Sehingga


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun gerakan itu datang begitu cepat dirinya telah mempersiapkan tangkisan.
Takkk! "Hih...!"
Untuk kedua kalinya benturan keras terjadi. Serangan susulan lewat kaki kiri
pemuda berpakaian kuning itu kandas. Dengan cepat tubuhnya dilontarkan ke
belakang, memanfaatkan tenaga dorongan akibat benturan tadi. Dan setelah
bersalto bebe-rapa kali di udara kedua kakinya meluncur dengan manis ke bawah.
Jliggg! Laksana daun kering, pemuda berpakaian kuning mendaratkan kedua kakinya di
tanah. Tidak ada halangan sama sekali baginya melakukan hal itu, karena Dewa Arak tak
menggunakan kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Pemuda berambut putih
keperakan itu hanya berdiam diri di tempatnya, bersikap menunggu.
Pemuda berpakaian kuning menggeram karena tersinggung. Dianggapnya Dewa Arak
memandang remeh dirinya dengan tidak mempergunakan kesempatan itu untuk
melancarkan serangan.
"Jangan kau berbesar hati dulu, Keparat! Aku belum kalah!" dengus pemuda
berpakaian kuning keras. Lalu.. .
Srattt! Tiba-tiba pemuda berpakaian kuning itu mencabut golok yang terselip di
pinggangnya. Seberkas cahaya putih berkilatan keluar dari senjata tajam itu.
Wuk! Wuk! Wuk! Deru angin yang menyakitkan telinga langsung terdengar, ketika pemuda berpakaian
kuning itu memutar-mutarkan goloknya. Satu gerakan yang luar biasa. Karena
gerakan yang begitu cepat, golok bagaikan lenyap. Yang tampak hanya cahaya putih
yang melingkar di seputar tubuh pemuda berpakaian kuning itu.
"Keluarkan senjatamu, Keparat!" seru pemuda berpakaian kuning, ditengah
kesibukannya memutar-mutarkan golok.
"Hm...!"
Dewa Arak menggumam mengisyaratkan rasa kagum terhadap pertunjukan ilmu golok
lawan. Dan penyakitnya sebagai seorang ahli silat pun muncul, ingin menguji
kepandaian pemuda berpakaian kuning itu.
Tampak Dewa Arak mengedarkan pandangan ke tanah, seakan-akan ada sesuatu yang
dicarinya. Benar, matanya langsung berbinar ketika melihat sebatang ranting
sebesar ibu jari kaki di dekatnya. Kayu yang panjangnya hampir sedepa itu segera
dipunggutnya. Kemudian Dewa Arak melintangkan ranting itu di depan dada.
"Inilah senjataku, Kisanak," ucap Dewa Arak, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Sombong!" pemuda berpakaian kuning memekik keras, dengan suara bergetar karena
perasaan marahnya. Tindakan Dewa Arak itu dianggapnya sebagai sikap meremehkan
lawan. "Kau telah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan! Jangan salahkan
kalau akhirnya kau mampus di tanganku karena kesombonganmu! Hiyaaat. .!"
Pemuda berpakaian kuning melompat menerjang Dewa Arak. Dan ketika tubuhnya telah
berada di udara, di atas lawan, goloknya langsung dibabatkan ke leher Dewa Arak.
Dewa Arak tentu saja tak ingin kepalanya terpisah dari tubuh karena serangan
lawan. Dengan cepat ditariknya kaki kanan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang.
Wuttt! Golok pemuda berpakaian kuning menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari
sasaran. Namun, sebelum pemuda berpakaian kuning kembali mengirimkan serangan lanjutan,
Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Kayu kecil di tangannya ditusukkan ke
leher lawan. "Hea...!"
Wuttt! "Heh!"
Tampaknya pemuda berpakaian kuning tak berani bertindak sembarangan. Dirinya
tahu meskipun yang dipergunakan lawan hanya sebatang ranting, tak kalah ampuh
dari senjata golok atau pedang. Kalau sampai kayu itu mengenai sasaran, bukan
tak mungkin nyawa lawan akan melayang.
Tanpa menunggu lebih lama, segera ditangkisnya serangan itu dengan sarung golok
yang tergenggam di tangan kiri. Dikerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisan
itu dengan harapan dapat mematahkan senjata lawan. Pemuda berpakaian kuning itu
tahu, senjata Dewa Arak tidak bisa dibandingkan dengan sarung goloknya yang
terbuat dari bahan pilihan.
2 Trakkk! "Akh...!"
Pemuda berpakaian kuning itu terpekik. Benturan yang terjadi membuat tangannya
kesemutan. Kenyataan ini sungguh di luar dugaan. Hatinya benar-benar terkejut,
hingga tanpa sadar melontarkan jeritan tertahan.
Bukan hal itu saja yang membuatnya kaget bukan kepalang. Ranting kayu di tangan
Dewa Arak tetap utuh. Padahal menurut dugaannya kayu itu pasti akan hancur kalau
tersambar sarung goloknya.
Namun, pemuda berpakaian kuning tak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun
perasaan itu. Hal itu karena serangan lawan tidak terhenti sampai di situ saja.
Setelah tusukan ranting kayunya terpapas dengan cepat dibelokkan dan langsung
meluncur ke pelipis.
Serangan yang dilakukan Dewa Arak benar-benar diluar dugaan. Begitu cepat dan
susul-menyusul laksana ombak samudera.
Pemuda berpakaian kuning sadar kalau kedudukannya sangat mengkhawatirkan. Kalau
tidak cepat-cepat memperbaiki kedudukan, bukan tak mungkin dirinya akan tewas di
tangan pemuda berambut putih keperakan itu. Diputuskan untuk melakukan tindakan
penyelamatan secepat mungkin. Maka. .
Wuttt! Trakkk! Dengan secepat kilat golok di tangan pemuda berpakaian kuning berkelebat memapak
serangan lawan. Benturan keras pun terjadi.
"Hih!"
Dengan memanfaatkan tenaga dari benturan itu, pemuda berpakaian kuning melempar
tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Dan sebagai penjagaan
atas serangan lanjutan, goloknya diputar cepat sehingga tampak membungkus
seluruh tubuhnya. Sehingga ke mana pun serangan diarahkan, akan berbenturan
dengan golok! Tindakan penyelamatan yang dilakukan pemuda berpakaian kuning ternyata tak sia-
sia. Dewa Arak pun tampaknya menyadari rapatnya pertahanan itu sehingga mengurungkan
serangan yang akan dilancarkan. Sehingga kalaupun tetap melakukan serangan,
pasti akan terpapas putaran golok lawan.
"Hih!"
Jiiggg. Dengan ringan pemuda berpakaian kuning itu mendarat. Kemudian dengan cepat
disilangkan goloknya di depan dada siap menghadapi serangan lawan.
Sementara itu Melati yang menyaksikan pertarungan dari jarak sekitar sepuluh
tombak tampak tersenyum kecut. Ada rasa geli dalam hatinya melihat sang Kekasih
bertingkah aneh dengan memilih senjata berupa sebatang kayu kecil.
Dewa Arak tampaknya tak ingin membuang-buang waktu percuma. Dengan cepat
tubuhnya bergerak meluruk melakukan serangan. Senjata istimewa di tangannya
diputar siap memburu tubuh lawan.
Pemuda berpakaian kuning pun tak tinggal diam. Dengan kedudukan mantap
disambutnya terjangan Dewa Arak. Tak terelakkan lagi, pertarungan seru
berlangsung kembali.
Diam-diam pemuda berpakaian kuning itu mengeluh dalam hati. Sama sekali tak
disangka kalau lawannya akan selihai ini. Meskipun hanya bersenjatakan sebatang
kayu serangan-serangannya dahsyat, begitu cepat, dan susul-menyusul laksana
gelombang laut!
Pemuda berpakaian kuning itu tidak tahu kalau Dewa Arak menggunakan ilmu warisan
ayahnya, 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga'. Bagi tokoh yang memiliki kemampuan tinggi
seperti Dewa Arak bukan merupakan hal yang sulit untuk merubah sedikit dan
mencoba menyesuaikannya dengan senjata yang dipergunakan.
Secepat kilat, golok di tangan pemuda berpakaian kuning berkelebat memapak
serangan ranting Dewa Arak.
Wurtt! Trakkk! "Akh...!" Pemuda berpakaian kuning terpekik. Benturan yang terjadi membuat
tangannya kesemutan, dan benar-benar terkejut!
Beberapa kali pemuda berpakaian kuning itu tampak tercengang, melihat serangan
yang dilancarkan lawan.
Hebatnya, penyesuaian yang dilakukan Dewa Arak tak sampai mengurangi
kedahsyatnya dan ciri utama 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga' yang menekankan pada
gerakan untuk melakukan penyerangan. Tak aneh kalau pemuda berpakaian kuning itu
tampak kelabakan karenanya.
Serangan yang meluncur bagai tak pernah habis, membuatnya terus bergerak mundur.
Semula pemuda berpakaian kuning merasa mendapat keuntungan dari senjata yang
dipergunakan lawanya. Menurut perhitungannya, dengan mudah senjata Dewa Arak
akan dapat dihancurkannya. Namun, harapan tinggal harapan. Beberapa kali telah
terjadi benturan antara ranting kayu Dewa Arak dengan golok pusakanya. Dan
ternyata senjata istimewa lawan tidak patah!
Semua dapat terjadi karena kecerdikan Dewa Arak. Setiap kali senjatanya
menghadapi benturan dengan golok lawan, dirinya menggunakan tenaga lembutnya.
Dewa Arak berusaha menghindari pengerahan tenaga yang kuat. Sehingga tak terjadi
beradunya tenaga keras dengan keras. Dengan taktik inilah, keutuhan senjatanya
bisa dipertahankan.
Pertarungan satu lawan satu itu tampak semakin seru. Beberapa kali serangan
keduanya yang melesat membentur tanah, hingga berhamburan. Bahkan banyak rumput
yang terpapas akibat sambaran angin serangan kedua tokoh sakti itu. Suara
berdesing, teriakan keduanya, dan benturan senjata, seakan-akan hendak
memecahkan suasana sepi lembah itu.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat, hanya dalam waktu
sebentar, pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama itu, pemuda
berpakaian kuning terus-menerus didesak mundur.
Pertarungan yang telah bergeser menjauh dari tempat semula tetap tak lepas dari
perhatian Melati. Dari jarak sekitar tiga puluh tombak mata gadis cantik
berambut panjang itu terus mengawasi jalannya pertarungan. Seakan-akan dirinya
tidak ingin kehilangan satu jurus pun yang tengah mereka keluarkan. Padahal
pertarungan itu berjalan begitu cepat. Sehingga kedua pemuda itu tampak seperti
dua bayangan kuning dan ungu yang saling berkelebatan. Namun dengan jelas mata
Melati melihat, kalau sang Kekasih mampu mendesak pertahanan lawan.
Sehingga, cepat atau lambat pemuda berpakaian kuning itu pasti akan roboh.
Perkiraan Melati memang beralasan. Kedudukan pemuda berpakaian kuning tampak
semakin terjepit.
"Hiaaa.. !"
"Heaaa. .!"
Pada jurus keenam puluh tiga, Dewa Arak melancarkan tusukan mengarah ke ulu hati
lawan. Melihat serangan cepat itu, tanpa membuang waktu, pemuda berpakaian
kuning segera menggerakkan golok untuk menangkis.
Wuttt! Trakkk! Begitu tertangkis, ranting kayu di tangan Dewa Arak, berputar. Lalu dengan
kecepatan tinggi senjata aneh itu meluncur ke ubun-ubun pemuda berpakaian
kuning! Pemuda berpakaian kuning itu terkejut bukan kepalang. Terlihat jelas betapa
wajahnya gugup. Meskipun demikian, pemuda tampan beralis tebal itu masih sanggup
mempertunjukkan kalau dirinya tidak semudah itu dapat dipecundangi. Dengan cepat
dirundukkan tubuhnya.
"Halts...!"
Wuttt! Ternyata gerakan Dewa Arak hanya merupakan serangan tipuan untuk mengalihkan
perhatian lawan dari serangan yang sebenarnya. Babatan ranting itu tak
berlanjut. Sebaliknya kaki kanan Dewa Arak dengan cepat bergerak menyapu.
"Haaa. .!"
Dukkk! "Akh!"
Pemuda berpakaian kuning terpekik kesakitan, ketika tendangan Dewa Arak mendarat
telak di perutnya. Seketika itu tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh
terlentang di rerumputan. Dan sebelum dirinya sempat bangkit, ujung senjata Dewa
Arak telah menempel di ubun-ubunnya. Sekali saja ranting kayu itu dihentakkan
pasti amblas di kepala lawan. Dan melayanglah nyawanya!
"Tunggu apa lagi, Biadab.. "! Ayo, bunuhlah aku! Kau kira aku takut mati"!" ujar
pemuda berpakaian kuning, lantang. Tak nampak adanya perasaan gentar, sekalipun
maut telah berada di depan mata.
"Siapa yang ingin membunuhmu, Kisanak?" jawab Dewa Arak, kalem, "Aku tahu kau
salah paham. Dengar, bukan aku atau kawanku yang telah melakukan kekejian ini."
"Mana ada maling ngaku"!" sahut pemuda berpakaian kuning, seraya menyunggingkan
senyum sinis. "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Disadari tak ada gunanya lagi memberikan
penjelasan. Pemuda berpakaian kuning itu terlalu keras kepala. Mungkin amarahnya akan meluap
dan Dewa Arak akan kesalahan tangan.
Dewa Arak tak ingin hal itu terjadi. Maka segera ditariknya kembali ranting itu.
Kemudian, tanpa menggerakkan sedikit pun jemari tangannya dihancurkan ranting
kayu itu. Lalu dibalikkan tubuhnya menghampiri Melati yang tengah melangkah
mendekatinya. "Keparat! Mengapa tak kau bunuh aku, Bangsat"! Kau kira aku takut mati"! Ayo,
bunuh aku!" teriak pemuda berpakaian kuning kalap bercampur heran melihat lawan
malah meninggalkan dirinya.
Dewa Arak tak mempedulikan caci-maki itu. Tanpa menoleh kakinya terus melangkah
meninggalkan pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat pemuda berpakaian kuning
semakin kalap, karena merasa diremehkan sekali. Dengan cepat tubuhnya bangkit
berdiri sambil menyambar goloknya. Apa yang bakal dilakukannya kalau bukan
hendak membokong Dewa Arak dengan senjata tajam itu.
Namun sebelum hal itu dilakukannya....
"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Melati dengan suara keras, karena tak mampu
menahan kemarahan, "Hai, Manusia Berotak Udang...! Kau tahu, siapa yang telah
kau tuduh dan caci-maki dengan mulutmu yang kotor itu"!"
Pemuda berpakaian kuning langsung tersentak, mendengar bentakan keras Melati.
Sama sekali tak diduga kalau yang menjadi kalap karena makian dan tindakannya
justru gadis cantik itu.
Bukan pemuda berambut keperakan yang telah mengalahkannya!
"Sudahlah, Melati!" ujar Dewa Arak mencoba menyabarkan kekasihnya.
Namun, kali ini Melati benar-benar tak bisa ditahan. Rupanya kemarahan yang
melanda hati gadis berpakaian putih itu terlalu besar.
"Tidak, Kang! Biar si dungu itu tahu dengan siapa dia berhadapan! Kalau tidak,
dia akan semakin membabi buta dan berlarut-larut dalam ketololan!"
Ucapan Melati berpengaruh hebat sekali. Wajah pemuda berpakaian kuning seketika
berubah-ubah, pucat dan merah silih berganti. Sungguh pun demikian, tak sepatah
kata pun yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya terpaku dengan mulut kelu, bagai
terkunci. "Kau tahu siapa yang kau maki-maki ini, Manusia Dungu" Dengar baik-baik! Pasang
kupingmu! Dia si Dewa Arak! Kau dengar..."! Dewa Arak. .!" ujar Melati dengan
suara semakin meninggi.
"Hahhh..."!" pemuda berpakaian kuning itu tersentak kaget. Matanya terbelalak,
seakan-akan tak percaya mendengar ucapan gadis di depannya. Kemudian dengan
jantung berdebar keras ditolehkan wajahnya menatap Dewa Arak yang masih
membelakanginya meski telah berhenti melangkah.
"Be... benarkah dia, Dewa Arak"!" tanya pemuda berpakaian kuning menggeragap.
Matanya tetap terbelalak menyiratkan perasaan gentar di hatinya.
"Terserah, mau percaya atau tidak! Aku hanya mengatakan kenyataan sebenarnya!"
tandas Melati masih dengan nada tinggi!
Sekali lagi pemuda berpakaian kuning mengalihkan pandang menatap Dewa Arak.
Diperhatikannya sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan yang masih
membelakanginya itu. Tampak sebuah guci tergantung di punggungnya.
"Kalau begitu.. , maafkan aku, Dewa Arak! Sungguh aku tak tahu. Aku telah
bertindak demikian bodoh...," ucap pemuda berpakaian kuning itu, terbata-bata.
Meskipun sebenarnya pemuda beralis tebal itu tak begitu mempercayai kata-kata
Melati, hatinya yakin kalau lelaki muda yang telah mengalahkannya itu Dewa Arak.
Hal itu setelah dengan seksama memperhatikannya. Dirinya pernah mendengar kalau
Dewa Arak memang seorang pemuda berambut putih keperakan dan mengenakan pakaian


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ungu. Selain itu ciri khasnya selalu membawa guci arak. Semua ciri-ciri itu
dimiliki orang di depannya. Itulah sebabnya pemuda berpakaian kuning itu yakin
kalau tokoh yang baru saja mengalahkannya pasti Dewa Arak.
Seorang tokoh begitu kesohor di dunia persilatan.
Dewa Arak perlahan-lahan membalikkan tubuh, setelah mendengar ucapan pemuda itu.
"Lupakanlah, Kisanak! Aku maklum kalau kau salah paham lalu menjatuhkan tuduhan
kepada kami sebagai pelaku pembunuhan ini. E..., tapi ada hal yang membuatku
heran melihat sikapmu. Kau tampak begitu dendam menyaksikan kejadian ini. Apakah
kau mempunyai hubungan dengan orang-orang itu?" ujar Dewa Arak seraya menuding
mayat-mayat yang tampak sudah mulai kaku.
"Hhh...! Apa yang kau katakan tidak salah, Dewa Arak. Memang, ada hubungan
antara diriku dengan mereka," jawab pemuda berpakaian kuning, bernada sedih.
Sesaat matanya menatap nanar mayat-mayat itu.
Wajah Dewa Arak tiba-tiba berseri, menyadari satu titik terang telah didapatnya.
Sementara Melati, tetap berdiam diri. Rupanya, gadis berpakaian putih itu lebih
suka menjadi pendengar.
"Apa hubunganmu dengan mereka, Kisanak"!" tanya Dewa Arak, ingin tahu.
Pemuda berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditatapnya
wajah Dewa Arak, kemudian Melati.
"Hm..., rasanya janggal mendengar panggilanmu terhadapku, Dewa Arak. Namaku
Handaka," ujarnya seraya mengangguk perlahan.
"Itu memang lebih baik, Handaka," sahut Dewa Arak gembira. "Kuminta kau pun
jangan memanggilku Dewa Arak. Panggil saja Arya! Karena itulah namaku. Dan
kawanku ini Melati.
Sekarang, jelaskan semuanya, Handaka."
Handaka mengalihkan pandang ke wajah Melati sebentar.
"Baiklah, Arya," sambut Handaka. "Orang-orang itu adalah murid Perguruan Kera
Emas. Dan Ketua Perguruan Kera Emas adalah ayahku. Ki Tapaksi Mandragunta, namanya.
Beliau menyediakan jasa pengawalan atas barang maupun orang yang
membutuhkannya."
Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala. Keduanya mulai mengerti akan sikap
dendam yang tadi ditunjukkan pemuda bernama Handaka itu.
"Berarti..., kemungkinan besar rombongan murid-murid ayahmu ini dihadang
gerombolan perampok yang menghendaki barang kawalan mereka. Dan tampaknya pihak
perampok lebih kuat...," ujar Dewa Arak mencoba mengajukan dugaannya.
"Jika dugaanmu benar, aku akan berusaha keras mencari mereka. Akan kuambil
kembali barang yang telah mereka rampas. Jika tidak usaha ayahku akan hancur.
Tidak akan ada orang yang mau menyewa jasa kami," urai Handaka mengungkapkan
kekhawatirannya.
Melati dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tahu, Handaka tidak
berbohong. Memang, usaha Perguruan Kera Emas akan hancur apabila barang kawalan
itu tak dapat ditemukan kembali. Di dalam hati, sepasang pendekar muda ini
bertekad untuk membantu Handaka.
Namun, Handaka tak tahu suara hati Dewa Arak, dan Melati. Setelah mengutarakan
tekadnya, Handaka melangkah menghampiri sembilan mayat murid Perguruan Kera
Emas. Diperiksanya satu persatu tubuh mereka. Hal yang sama pun dilakukan terhadap
kuda-kuda dan kereta.
Sewaktu memeriksa kuda penarik kereta, tampak Handaka tercenung. Tentu saja hal
itu membuat Dewa Arak dan Melati merasa heran. Keduanya saling pandang. Ada
suatu pertanyaan dalam tatapan mata mereka. Namun tak sepatah kata pun terucap
di mulut keduanya. Kemudian Dewa Arak mengalihkan matanya, memperhatikan
Handaka. Pemuda berpakaian kuning itu mencabut pisau-pisau yang bersarang di tubuh dua
ekor kuda penarik kereta. Kemudian setelah dibersihkan dari darah yang melekat,
pisau itu disimpannya di pinggang.
Setelah menghela napas berat, Handaka mengayunkan langkah menuju sebatang pohon
yang hanya satu-satunya di tempat itu.
Sampai di dekat pohon itu Handaka mengeluarkan salah satu pisau yang tadi
disimpannya. Lalu, tubuhnya dibungkukkan. Sesaat kemudian, tampak tangannya mulai sibuk
menggali tanah.
Dewa Arak dan Melati yang semula belum tahu tindakan Handaka, sekarang mengerti.
Rupanya pemuda berpakaian kuning itu hendak membuat lubang untuk menguburkan
mayat-mayat itu. Maka, tanpa diminta pasangan pendekar muda ini menghampiri dan
membantu. Dengan mempergunakan pedang-pedang yang berserakan di tempat itu, Dewa Arak dan
Melati menggali tanah, membantu Handaka.
"Terima kasih, Arya, Melati!" ucap Handaka terharu melihat sikap pasangan
pendekar muda ini. "Aku jadi malu dengan tindakanku tadi terhadap kalian...."
"Lupakanlah, Handaka!" sahut Dewa Arak seraya terus mengayunkan pedang untuk
membuat lubang.
Suasana langsung hening ketika.Dewa Arak menghentikan ucapannya. Tak satu pun di
antara mereka bertiga yang berbicara. Mereka sibuk meneruskan pekerjaan tanpa
berbincang-bincang. Sehingga yang terdengar hanya bunyi pedang dan pisau yang
berbenturan dengan tanah.
Karena ketiga orang penggali itu memiliki tena ga dalam tinggi, dalam waktu yang
tidak terlalu lama, telah terbentuk sebuah lubang yang besar dan dalam. Cukup
untuk mengubur semua mayat yang ada di situ.
Tak berapa lama kemudian, semua mayat itu telah dimasukkan ke lubang itu. Tempat
istirahat mereka yang terakhir.
"Sekarang..., apa yang hendak kau lakukan, Handaka?" tanya Dewa Arak.
"Aku harus kembali ke perguruan dan memberitahukan kejadian ini pada ayahku.
Lalu, setelah itu aku akan mencari pelaku kekejian ini!" jawab Handaka, "Dan
kalian sendiri, hendak ke mana?"
Dewa Arak dan Melati saling pandang dengan mulut mengertibangkan senyum.
"Kami tak pernah punya tujuan yang tetap, Handaka. Kami hanya menuruti ke mana
kaki ini melangkah," jelas Dewa Arak seraya tersenyum.
Handaka mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterimanya jawaban itu.
"Bagaimana, kalau kalian ikut aku" Aku yakin ayah akan senang sekali. Bagaimana,
Arya, Melati" Kalian setuju?" ajak Handaka.
Dewa Arak tidak langsung memberikan jawaban. Dia tercenung sebentar. "Bagaimana,
Melati?" "Terserah padamu, Kang," sahut Melati.
"Baiklah, Handaka. Kami ikut denganmu," ja wab Dewa Arak tersenyum pada Handaka.
Sebenarnya, Dewa Arak tahu kalau Melati selalu menyerahkan keputusan kepadanya.
Meskipun demikian, dirinya selalu memberi kesempatan pada kekasihnya itu untuk
memberikan pendapat.
"Kalau begitu, man kita berangkat!" ajak Handaka.
Usai berkata demikian pemuda berpakaian kuning itu lalu melesat ke depan. Tanpa
ragu-ragu lagi dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam sekejap mata yang
terlihat hanya sekelebatan bayangan kuning telah berada belasan tombak di depan.
Dewa Arak dan Melati saling pandang. Kemudian, mereka pun melesat, mengejar
putra Ketua Perguruan Kera Emas itu.
Handaka merasa yakin kalau Dewa Arak teru-tama sekali Melati tidak akan mampu
menyusulnya. Dan ternyata keyakinan itu meleset, ketika kepalanya ditolehkan ke
belakang, terlihat Dewa Arak dan Melati telah berada sekitar enam tombak di
belakang. Melihat hal ini Handaka merasa penasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi, dan
dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya agar tak tersusul pasangan pendekar muda
itu. Namun usaha pemuda berpakaian kuning hanya membuahkan kegagalan. Sesaat
kemudian, Dewa Arak dan Melati telah berada di kanan kirinya. Dan sekarang,
mereka bertiga berlari berjajar.
Handaka terpukau melihat kenyataan ini. Dirinya tahu kalau dalam ilmu lari
cepat, kemampuannya di bawah pasangan pendekar muda. Dan kalau mereka mau,
pemuda berpakaian kuning itu sudah tertinggal di belakang. Sama sekali tak
disangka kalau Melati, memiliki kemampuan setinggi itu.
"O ya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Handaka," ucap Dewa Arak, di
tengah-tengah ayunan kakinya. Suaranya terdengar biasa saja, seperti tidak
tengah berlari cepat
"Katakanlah, Arya," jawab Handaka mempersilakan.
"Begini, Handaka. Mengapa kau bisa berada di tempat itu tadi" Apakah kau diutus
ayahmu untuk mengawasi rombongan pengawal barang atau karena ada urusan lain?"
Handaka tersenyum getir.
"Keberadaanku di tempat itu sama sekali tidak karena kusengaja, Arya."
"Aneh"! Maksudmu..., kau hanya secara kebetulan berada di sana"!"
Pemuda berpakaian kuning itu menganggukkan kepala, membenarkan dugaan itu.
"Mengapa bisa begitu, Handaka" Lalu..., sebenarnya hendak ke manakah tujuanmu?"
desak Dewa Arak ingin tahu lebih jauh.
Bukan hanya Dewa Arak yang merasa penasaran mendengarnya. Melati pun demikian.
Meskipun kelihatan acuh, sebenarnya gadis berpakaian putih itu pun menaruh
perhatian besar.
"Aku tengah menuju markas Perguruan Kera Emas," jawab Handaka, kalem.
"Hehhh..."!" Dewa Arak tersentak kaget, "Menuju markas Perguruan Kera Emas"!
Kalau begitu..., kau dari mana?"
"Dari hutan," jawab Handaka. "Berburu."
Arya dan Melati menganggukkan kepala. Mereka tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Rupanya semua dirasakan telah jelas. Kini ketiga orang muda itu berlari cepat
tanpa berbicara lagi.
3 "Terkutuk!"
Suara makian yang menggelegar keras terdengar memekakkan telinga, membuat atap
dan dinding ruangan terasa bergetar hebat. Jelas suara bentakan itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sosok yang memaki itu ternyata seorang kakek bertubuh tinggi besar dan kekar
berpakaian hitam. Wajahnya yang saat itu merah padam, dihiasi kumis dan jenggot
yang telah berwarna dua.
Jelas, saat itu kakek tinggi besar itu tengah dilanda kemarahan yang hebat.
"Jadi. ., mereka semuanya tewas, Handaka"!" tanya kakek tinggi besar itu, dengan
suara keras mengguntur. Sepasang matanya menatap tajam pada seorang pemuda
berpakaian kuning yang tak lain Handaka.
"Hhh...!"
Handaka menghela napas berat. Kemudian perlahan-lahan kepalanya dianggukkan,
pertanda membenarkan dugaan kakek tinggi besar itu. "Benar, Ayah! Tak satu pun
yang selamat. Mereka semua tewas," jawab Handaka dengan suara lirih.
"Keparat. !"
Kakek tinggi besar yang ternyata ayahnya Handaka kembali mengumpat dengan suara
keras. Ketua Perguruan Kera Emas yang bernama Ki Tapaksi Mandragunta murka
setelah mendengar kabar dari Handaka. Betapa tidak! Para muridnya yang bertugas
mengawal barang mengalami nasib yang mengenaskan.
Mengetahui kemurkaan sang Ayah, Handaka menundukkan kepala. Dirinya tahu betul
watak ayahnya. Apabila tengah murka, sering melampiaskan pada orang-orang yang
berada di dekatnya. Itulah sebabnya, Handaka berdiam diri.
Dalam keadaan tegang, menghadapi kemurkaan Ketua Perguruan Kera Emas, ketika
semua yang ada di ruangan itu membisu, tiba-tiba ada suara...,
"Kurasa pembunuhan ini tak akan terungkap hanya dengan makian. Daripada
menghambur-hamburkan tenaga dengan mulut, lebih baik melakukan penyelidikan...."
Wajah Ki Tapaksi Mandragunta seketika berubah, karena terperanjat. Wajah tua itu
tampak kian angker dan tegang. Tampaknya hati lelaki tua itu tersinggung
mendengar ucapan bernada menasihati barusan. Ketua Perguruan Kera Emas ini
paling pantang menerima nasihat.
Apalagi ketika disadari orang yang telah mengeluarkan ucapan itu. Seorang gadis
muda! Untung saja Ki Tapaksi Mandragunta ingat akan keberadaan orang berada di sebelah
gadis berpakaian putih, Dewa Arak! Maka ditahan keinginan untuk mengeluarkan
sambutan keras terhadap gadis berpakaian putih yang tak lain Melati itu. Dewa
Arak merupakan tokoh persilatan yang amat dikaguminya. Dan sebagai seorang yang
telah banyak makan asam garam kehidupan dirinya tahu, antara Dewa Arak dan
Melati ada hubungan istimewa. Dan kalau Melati mendapat sambutan keras darinya,
kemungkinan besar Dewa Arak akan tersinggung.
Ternyata bukan hanya Ki Tapaksi Mandragunta saja yang merasa kaget atas ucapan
itu. Dewa Arak pun demikian. Meskipun perasaan yang melanda hati, tak nampak pada
wajahnya. "Harap kau memakluminya, Ki! Kawanku ini memang mempunyai sifat terbuka. Apa
yang ada di hati langsung dikeluarkannya. Maaf, kalau menyinggung perasaanmu!"
Seketika mereda kemarahan Ki Tapaksi Mandragunta. Seorang tokoh besar seperti
Dewa Arak memohon maaf padanya! Jangankan hanya kesalahan seperti itu, sekalipun
lebih besar akan dimaafkannya!
"E..., tidak apa-apa, Arya. Di antara kawan segolongan, tak ada gunanya terlalu
terpaku pada adat. Hanya akan membuat keadaan menjadi kaku," sahut Ki Tapaksi
Mandragunta dengan senyum terkembang dan wajah berseri-seri. "Seharusnya kau
merasa bangga dengan kawanmu ini.
Tidak banyak orang yang mempunyai keberanian seperti ini. Terima kasih, Melati!
Nasihatmu telah membuka mataku."
"Rasanya kurang patut kalau ucapan terima kasih itu diberikan padaku, Ki," ujar
Melati, sambil mengulurkan tangan di depan dada. "Masalahnya, ucapan seperti itu
tidak kudapatkan sendiri. Tapi berasal dari Kakang Arya."
"Ha ha ha...!" tawa Ki Tapaksi Mandragunta langsung meledak begitu mendengar
tanggapan Melati. "Bagus! Kau seorang wanita yang amat jujur, Melati."
Kemudian kakek tinggi besar itu mengalihkan perhatian pada Handaka kembali.
"Kau dengar ucapan Melati, Handaka"! Cepat selidiki peristiwa ini. Ingat,
usahakan untuk mendapatkan barang kiriman itu kembali. Kalau tidak, usaha kita
akan ambruk! Carilah hal-hal yang dapat membawamu ke penyelesaian teka-taki ini.
Kau mengerti, Handaka"!"
"Mengerti, Ayah!" jawab pemuda berpakaian kuning itu seraya menganggukkan
kepala. "Bagus!" ucap Ki Tapaksi Mandragunta, gembira.
"Handaka...!"
"Ya. Ada apa, Arya?" tanya pemuda berpakaian kuning itu seraya menolehkan kepala
kepada Dewa Arak, orang yang telah menyapanya.
"Bukankah kau membawa pisau-pisau yang telah menewaskan kuda-kuda penarik
kereta. Apa tak sebaiknya kau perlihatkan pada ayahmu. Barangkali saja beliau
mengenalnya."
"Kau benar, Arya. Mengapa aku sampai lupa"!"
Usai berkata demikian, pemuda berpakaian kuning itu mengambil pisau yang
diselipkan di pinggangnya. Hanya satu. Karena yang lain telah dibuangnya setelah
dipergunakan untuk membuat lubang pekuburan.
"Pisau ini menancap di punggang kuda penarik kereta, Ayah. Rasanya aku
mengenalnya. Namun aku lupa, kapan dan di mana pernah melihatnya. Itulah sebabnya kubawa,
barangkali saja nanti akan timbul kembali ingatanku," ucap Handaka sambil
mengangsurkan pisau itu.
Ki Tapaksi Mandragunta menerima, dan langsung memeriksanya.
"Mustahil!" seru kakek tinggi besar ini penuh perasaan kaget. Gambaran perasaan
yang sama, membayang jelas di wajah dan sinar matanya.
"Mengapa, Ayah" Apakah kau mengenalinya?" tanya Handaka, ingin tahu.
Meskipun hanya Handaka yang menanyakannya, tapi Dewa Arak, dan Melati pun ikut
memasang telinga. Seperti juga Handaka, pasangan pendekar muda ini pun ingin
tahu jawaban Ki Tapaksi Mandragunta. Mereka tahu, menilik dari tanggapannya,
Ketua Perguruan Kera Emas jelas mengenal pisau itu dengan baik. Ini berarti,
sebuah titik terang mulai mereka dapatkan.
"Mengenalnya"!" Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum pahit. "Bukan hanya
mengenalnya, Handaka. Aku tahu betul siapa pemiliknya! Jadi.,., kau benar-benar
tidak ingat"!"
Handaka menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat, Ayah. Padahal, sepanjang
perjalanan pulang, telah kuusahakan untuk mengingat-ingatnya."
"Hhh...!"
Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat. Kemudian dengan sikap sungguh-
sungguh ditatapnya wajah Handaka.
"Kau tidak keliru, Handaka"! Benarkah pisau ini kau ambil dari tubuh kuda itu"!
Masalahnya, keliru sedikit berarti akibatnya gawat!"
"Aku tidak bohong, Ayah! Pisau itu kuambil dari tubuh kuda penarik kereta.
Sebenarnya ada dua, Ayah. Tapi, hanya sebuah yang kubawa. Arya dan Melati pun
melihatnya!" ujar Handaka dengan mantap dan penuh keyakinan.
"Apa yang dikatakan Handaka benar, Ki. Pisau itu dari kedua kuda penarik kereta.


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku dan kawanku pun melihatnya," ujar Dewa Arak memberi dukungan terhadap
Handaka. Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar pernyataan
Dewa Arak. Hatinya percaya penuh akan kebenaran ucapan itu. Meskipun demikian,
kernyitan dahinya tetap belum lenyap. Jelas, perasaan bimbang tetap bersarang di
hatinya. "Sebenarnya..., siapakah pemilik pisau itu, Ayah"! Sehingga kau sepertinya berat
untuk percaya," tanya Handaka merasa penasaran.
Ki Tapaksi Mandragunta tak menjawab pertanyaan itu. Matanya memandang jauh lewat
jendela rumah. Sekali terdengar,
lelaki tua itu menghela
napas dalam-dalam
lalu menghembuskannya. Seakan-akan hendak menghempaskan beban yang mengganjal di
hatinya. "Ini persoalan pelik sekali, Handaka. Aku tak berani bertindak gegabah," hanya
itu jawaban yang diberikan Ki Tapaksi Mandragunta.
"Tapi.. , kau belum memberikan jawabannya, Ayah! Kau belum mengatakan pemilik
pisau itu"!" desak Handaka dengan nada penuh tuntutan.
Ki Tapaksi Mandragunta menatap lekat-lekat wajah putranya.
"Kau mau berjanji untuk tidak bertindak gegabah"! Maksudku..., jangan melakukan
tindakan apa pun sebelum persoalan ini menjadi jelas"! Kalau kau berani
berjanji, aku akan mengatakannya padamu. Bagaimana"!"
Handaka tercenung mendapat tawaran seperti itu. Kernyitan pada dahinya, menjadi
pertanda kalau pemuda itu tengah mempertimbangkannya.
"Baiklah, Ayah. Aku berjanji," ujarnya kemudian.
"Bagus! Dan, kau bersedia menyimpan rahasia ini rapat-rapat" Tidak
memberitahukan pada siapa pun"!"
"Pasti, Ayah! Biar aku disambar geledek apabila membocorkannya!" ujar Handaka,
mantap. "Kalau begitu, sekarang dengarlah baik-baik. Pisau ini tidak dimiliki oleh
seseorang, melainkan sebuah perguruan seperti kita. Kau tahu kan, kalau setiap
senjata perguruan kita, selalu mempunyai ukiran kepala kera"!"
Handaka menganggukkan kepala pertanda membenarkan. Tak lupa diliriknya pisau
temuan yang kini telah tergeletak di meja. Gagang pisau itu berwarna hitam
dengan ukiran kepala seekor burung.
"Sekarang aku ingat, Ayah. Bukankah ukiran itu merupakan lambang Perguruan Camar
Sakti"!" sentak Handaka, kaget.
Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum pahit. Kemudian perlahan-lahan kepalanya
dianggukkan. Jelas, kakek tinggi besar ini membenarkan dugaan putranya.
Semua pembicaraan itu tak luput dari perhatian Dewa Arak, dan Melati. Dan hal
ini membuat pasangan pendekar muda ini kaget. Mereka berdua telah mendengar
banyak mengenai Perguruan Camar Sakti! Sebuah perguruan silat beraliran putih
yang cukup besar.
Dan seperti juga Perguruan Kera Emas, perguruan ini memberikan jasa pengawalan
atas barang dan manusia. Benarkah Perguruan Camar Sakti yang telah melakukan
kekejian ini"!
Sekarang Dewa Arak dan Melati baru mengerti, mengapa Ki Tapaksi Mandragunta
masih bimbang dengan hasil yang mereka dapatkan. Diam-diam perasaan kagum
bersemi di hati Dewa Arak, terhadap Ketua Perguruan Kera Emas ini. Ya! Kakek
tinggi besar ini bertindak demikian bijaksana dan hati-hati. Buktinya, dia
mencegah Handaka mengambil tindakan apa pun selama persoalan ini belum jelas.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah"! Apakah tindakan orang-
orang Perguruan Camar Sakti itu harus kita biarkan saja"!"
Pertanyaan lanjutan Handaka membuat lamunan Dewa Arak dan Melati buyar. Kembali
mereka memusatkan perhatian pada percakapan yang tengah berlangsung.
"Tentu saja tidak, Handaka," sahut Ki Tapaksi Mandragunta, berusaha bersikap
tenang, "Aku sendiri yang akan datang ke Perguruan Camar Sakti. Akan kuberitahukan semua
kejadian yang menimpa perguruan kita sambil membawa pisau ini sebagai bukti!"
"Apakah tindakan itu tidak terlalu berbahaya, Ayah"! Bagaimana kalau mereka
mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh Ayah?" dengan penuh kekhawatiran,
Handaka mengermukakan dugaannya.
"Buang jauh-jauh kekhawatiran itu, Handaka! Aku tahu betul sifat Ketua Perguruan
Camar Sakti, Ki Liwung Perkasa. Dia tak akan bertindak sepengecut itu. Lagi
pula, kau ada di sampingku.
Apa lagi yang harus kita takutkan"!"
"Jadi. ., kau akan membawaku serta, Ayah"!" tanya Handaka setengah tak percaya.
"Apakah kau tak ingin ikut serta"!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta dengan bibir
menyunggingkan senyum lebar.
"Tentu saja aku mau, Ayah. Kapan kita akan berangkat"!" tanya Handaka, penuh
gairah. "Lebih cepat kita menyelesaikan urusan ini lebih baik," hanya itu jawaban yang
diberikan Ketua Perguruan Kera Emas.
"Jadi. ."!" Handaka menggantung ucapannya di tengah jalan.
"Kita berangkat sekarang!" tandas Ki Tapaksi Mandragunta, tegas.
Handaka kontan terdiam. Terlihat jelas adanya keraguan pada sikapnya. Tentu saja
hal itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta merasa heran.
Tapi sebelum Ketua Perguruan Kera Emas ini sempat mengajukan pertanyaan, Handaka
telah lebih dulu mengutarakan keberatannya.
"Bagaimana dengan Dewa Arak dan Melati, Ayah"!"
"Kau benar, Handaka! Mengapa aku menjadi demikian pelupa"!" ucap Ki Tapaksi
Mandragunta sambil menepak dahinya, "Maaf! Maafkan aku yang demikian pelupa ini,
Arya, Melati!"
"Tidak mengapa, Ki. Kami memakluminya. Lagi pula, rasanya telah cukup lama di
sini. Jadi, kami hendak mohon diri. Lain kali, apabila ada waktu, kami akan singgah di
sini," ujar Dewa Arak kalem.
"Tidak, Arya! Kalian tak boleh pergi sekarang!" tandas Ki Tapaksi Mandragunta,
tegas. "Kalian berdua tamu-tamuku. Dan kuharap dengan sangat, kalian sudi menginap di
sini." "Tapi.. , kami jadi tidak enak, Ki. Keberadaan kami di sini hanya menyebabkan
urusanmu terganggu. Dan...."
"Hentikan segala basa-basi yang tak ada gunanya itu, Arya," potong Ki Tapaksi
Mandragunta, "Kami tak merasa terganggu dengan keberadaanmu di sini. Atau..,,
kalian yang tidak suka berada di sini berlama-lama" Kalau memang demikian, tentu
saja kami lepas tangan.
Tapi, asal kau tahu saja. Kami akan menuju Perguruan Camar Sakti besok pagi!
Kalau kalian berniat menginap, besok kita berangkat bersama-sama. Bagaimana,
Arya, Melati?"
Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Lalu. ..
"Baiklah, Ki. Kuterima tawaranmu," jawab Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.
"Maksudmu...," kemudian Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan ucapannya sebelum
selesai, untuk memberi kesempatan pada Dewa Arak memberikan jawaban.
"Kita berangkat bersama-sama besok!" tandas Dewa Arak mantap.
"Ha ha ha.. ! Itu lebih baik, Arya! Ha ha ha...!" Ki Tapaksi Mandragunta melepas
tawa gembira. Dewa Arak dan Melati, serta Handaka hanya tersenyum lebar melihat kegembiraan
kakek tinggi besar itu.
Mendadak Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan tawa. Kemudian ditolehkan kepalanya
ke wajah Handaka.
"Panggil Gulimang dan Gembong kemari!"
"Baik, Ayah!" Handaka menganggukkan kepala. Lalu.. .
Plok! Plok! Plok!
Pemuda berpakaian kuning itu bertepuk tangan tiga kali. Nyaring dan cukup
memekakkan telinga karena tampaknya dikerahkan tenaga dalamnya pada tepukan itu.
Sesaat kemudian..., Kriiittt!
Diiringi bunyi bergerit pelan, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pemuda
bertubuh kekar, berkulit wajah hitam, dan berpakaian hitam melangkah masuk
kemudian memberi hormat pada Ki Tapaksi Mandragunta.
"Apa yang harus kulakukan, Ketua"!" tanya pemuda berwajah hitam itu penuh hormat
"Panggil Gulimang dan Gembong kemari!" perintah Ki Tapaksi Mandragunta penuh
wibawa. "Baik, Ketua!"
Setelah berkata demikian, pemuda berwajah hitam membalikkan tubuh dan melangkah
meninggalkan tempat itu. Tak lupa ditutupnya kembali pintu ruangan.
"Kelak, seandainya kau telah kuanggap pantas untuk menjadi Ketua Perguruan Kera
Emas, kau harus mampu meniru sikapku ini, Handaka," ujar Ki Tapaksi Mandragunta
memberitahu putranya.
"Akan aku perhatikan semua nasihatmu, Ayah," jawab Handaka, patuh.
Ki Tapaksi Mandragunta hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa maksud
Walet Emas Perak 5 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Si Kumbang Merah 12
^