Pencarian

Persekutuan Para Iblis 2

Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis Bagian 2


takkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Cahaya hitam bergulung-gulung dari serangan
Sangsang, melesat mengeluarkan suara gemuruh dah-
syat dan berhawa panas.
Melihat serangan ini Malaikat Berdarah Biru
melangkahkan kakinya satu tindak ke samping. Se-
mentara tangannya masih kacak pinggang. Sehingga
serangan Sangsang yang berupa cahaya hitam mene-
rabas tempat kosong di samping Malaikat Berdarah Bi-
ru. "Chuih...!"
Malaikat Berdarah Biru meludah ke tanah. Ke-
dua tangannya ditarik sedikit ke belakang. Lantas disertai dengusan keras, kedua
tangannya dihentakkan
ke arah Sangsang dan Sunti.
Wusss! Wesss...!
Dua sinar merah dan biru langsung menyengat
cepat dari telapak tangan Malaikat Berdarah Biru. Seketika tempat ini tiba-tiba
menjadi terang benderang.
Sejenak Sepasang Iblis Pendulang Sukma ter-
kejut. Sangsang melirik sekilas pada Sunti. Dan pe-
rempuan itu mengangguk perlahan. Dan di kejap itu
pula, mereka langsung merapat dan menghentakkan
tangan bersamaan, memapak serangan.
Wuuut! Wuuut...!
Empat larik gelombang hitam keluar dari tela-
pak tangan Sepasang Iblis Pendulang Sukma langsung
menderu kencang dan bertemu dengan serangan Ma-
laikat Berdarah Biru. Maka....
Bum! Bum! Dua ledakan hebat segera mengguncang. Tanah
berhamburan ke udara. Suasana seketika redup, ter-
halangi hamburan tanah yang membumbung. Tempat
di mana bertemunya dua serangan tampak memben-
tuk lobang besar.
"Aaakh...!"
Hampir berbarengan Sepasang Iblis Pendulang
Sukma berseru keras dengan tubuh masing-masing
terjengkang sejauh beberapa tombak. Sementara Ma-
laikat Berdarah Biru hanya goyah sebentar, tanpa se-
jengkal pun bergeming dari tempat berpijaknya.
Sambil bangkit Sangsang saling mengadukan
kepalan tangannya. Sedang Sunti masih membuat ge-
rakan jungkir balik di atas tanah, lalu berdiri tegak.
"Sunti! Lepaskan jurus pamungkas!"
Meski masih merasakan nyeri di dada, Sunti
mengangguk. Segera kedua tangannya dikatupkan di
depan dada. Demikian juga Sangsang. Sesaat kemu-
dian, kaki masing-masing langsung maju satu langkah
ke depan. "Hiaaa...!"
Disertai bentakan membahana, Sepasang Iblis
Pendulang Sukma menghantamkan kedua tangan
masing-masing ke arah Malaikat Berdarah Biru.
Wesss...! Melihat serangan yang memburu ke arahnya,
Malaikat Berdarah Biru sedikit terkejut. Namun cepat ditindihnya dengan senyum
lebar mengejek. Cepat di-cabutnya kipas lipat dari balik jubahnya. Begitu kipas
terkembangkan di depan dada, langsung dikibaskan
secara melingkar.
Weeer! Seketika melesat cepat sinar redup berkilat,
disertai suara menderu.
Blap! "Heh"!"
Mendadak Sepasang Iblis Pendulang Sukma
tercengang, karena serangan mereka bagai tertahan
dinding tebal. Sangsang cepat menambah tekanan te-
naga dalamnya. Demikian pula Sunti. Namun kedua-
nya hampir-hampir saja tak percaya dengan apa yang
terjadi. Serangan mereka tetap tak mampu menerobos
sinar redup berkilat yang keluar dari kibasan kipas
warna hitam milik Malaikat Berdarah Biru. Malah
sampai-sampai keringat dingin telah keluar dari sekujur tubuh masing-masing,
saat serangan mereka per-
lahan-lahan bergerak mental balik.
Sepasang Iblis Pendulang Sukma tidak pantang
menyerah. Dengan menggembor keras, seluruh tena-
ganya dikerahkan. Sehingga untuk sesaat kedua orang
itu memang berhasil menahan gerak laju kembalinya
serangan mereka sendiri.
Namun kali ini Malaikat Berdarah Biru cepat
menghantamkan tangan kiri. Akibatnya Sepasang Iblis
Pendulang Sukma tak sanggup lagi bertahan. Dan....
Blasssh...! "Aaa...!"
Disertai jeritan keras, tubuh Sepasang Iblis
Pendulang Sukma terjerembab ke tanah.
Malaikat Berdarah Biru menurunkan kipasnya
disertai tawa terkekeh. Lalu dengan langkah perlahan, didekatinya Sunti.
Tepat tiga langkah lagi Malaikat Berdarah Biru
sampai, Sangsang melesatkan diri ke udara. Begitu berada di atas tubuhnya
meluncur ke arah Malaikat Ber-
darah Biru dengan kedua kaki lurus mengancam.
Malaikat Berdarah Biru cepat menghentikan
langkahnya. Tangan kanannya yang memegang kipas
segera ditarik ke depan dada. Sementara, tangan ki-
rinya mengepal. Secepat kilat tubuhnya berbalik sam-
bil mengibaskan kipasnya. Sedangkan tangan kiri
menghantam ke arah kaki Sangsang.
Wuuut! Prak! Des! "Aaakh...!"
Terdengar benturan keras disertai suara kelu-
han tertahan. Tubuh Sangsang tampak terpental ke
atas. Lalu sesaat kemudian dia menukik deras, dan jatuh berdebuk di atas tanah.
Kedua kakinya tampak
merah melepuh. Dadanya berdenyut nyeri. Dari sudut
bibirnya mengalir darah kehitaman.
Hebatnya meski sudah dalam keadaan terluka,
Sangsang segera menakupkan tangan. Lalu sekejap
kemudian tubuhnya telah kembali bangkit berdiri. Ma-
tanya menyengat tajam ke arah Malaikat Berdarah Bi-
ru. Kening berkernyit. Sepasang matanya menyipit,
lalu membesar. "Gila! Manusia satu ini rupanya tahan pukulan.
Saat bagiku mencoba pukulan yang baru saja aku pe-
lajari dari kitab hitam!" desis batin Malaikat Berdarah Biru. "Bocah! Sebelum
gurat kematianmu tiba, lebih
baik katakan siapa dirimu sebenarnya...!" gertak Sangsang, seraya menyiapkan
pukulan. "Jahanam! Mata satu mu belum buta, kenapa
tidak bisa melihat" Buka lebar-lebar matamu yang
tinggal satu! Kau tentunya bisa melihat, apa yang ada di tangan kananku!"
Memang sejak tadi Sangsang tidak begitu
memperhatikan. Dikira yang ada di tangan kanan Ma-
laikat Berdarah Biru hanyalah kipas biasa. Namun se-
telah diperhatikan seksama, diam-diam hatinya ber-
guncang juga. Karena ternyata yang ada di tangan ka-
nan laki-laki berjubah toga merah itu mengeluarkan
sinar hitam redup berkilat-kilat.
"Kipas pusaka itu!" pekik Sangsang dalam hati, memandang tanpa berkedip. "Jadi,
dia adalah manusia yang bergelar Malaikat Berdarah Biru!"
Sementara itu di belakang, Sunti yang juga su-
dah bangkit ikut-ikutan mengawasi kipas yang ada di
tangan Malaikat Berdarah Biru.
"Hm.... Jadi berita selama ini benar adanya. Kipas itu telah jatuh ke tangan
manusia ini!" kata batin Sunti, seraya berpaling pada Sangsang yang langsung
memberi isyarat penyerang.
Wusss! Wesss...!
Secara bersamaan, kembali Sepasang Iblis Pen-
dulang Sukma menghentakkan tangan masing-masing.
Seketika dari arah depan dan belakang Malai-
kat Berdarah Biru melesat kilatan-kilatan sinar kehitaman dengan suara
bergemuruh, yang keluar dari
tangan Sunti dan Sangsang. Inilah pukulan yang se-
lama ini jarang sekali ada orang bisa mengelak.
Ternyata, dua serangan ini mampu membuat
Malaikat Berdarah Biru sedikit terkejut. Hingga untuk beberapa saat dia hanya
seperti tercengang, tak tahu
apa yang harus dilakukan.
Tapi begitu kilatan-kilatan itu sedepa lagi
menghantam hancur tubuhnya, Malaikat Berdarah Bi-
ru melesat sambil berputar. Kipas di tangan kanannya disentakkan melengkung ke
arah Sangsang. Sedangkan tangan kirinya dihantamkan ke arah Sunti.
Wuuut...! Wesss...! Sinar hitam redup langsung menyambar dari
kipas Malaikat Berdarah Biru, dan seperti menelan lenyap kilatan sinar kehitaman
dari tangan Sangsang.
Crap! Crap! Bersamaan itu terdengar dua kali suara seperti
pohon terkena sambaran pisau.
Sementara Sangsang sendiri merasa tubuhnya
bagai terhantam badai. Dia berusaha agar tidak ter-
hempas. Tapi usahanya sia-sia. Semakin berusaha
menahan, hembusan angin yang menghantamnya se-
makin kencang. Hingga tak lama kemudian, tubuh
Sangsang melayang jauh, dan tersuruk di atas tanah.
Di lain pihak, karena separo tenaganya dike-
rahkan ke arah Sangsang, membuat hantaman tangan
kiri Malaikat Berdarah Biru yang mengarah pada Sunti tidak begitu berisi tenaga
dalam. Akibatnya serangan wanita itu tidak bisa dibendungnya. Hingga ketika
tubuh Sangsang melayang, tubuh Malaikat Berdarah Bi-
ru pun terbanting ke tanah. Tangan kirinya terasa ngi-lu bukan main. Tubuhnya
bergetar hebat, hingga jika
saja tidak segera menarik pulang tangan kanannya,
niscaya kipas hitamnya akan terpental lepas!
Melihat lawan terbanting, Sunti cepat mele-
paskan serangan susulan. Sepertinya hatinya tak sa-
bar ingin segera menyudahi pertarungan.
Wesss...! Mendapati serangan, Malaikat Berdarah Biru
mengutuk panjang pendek. Karena Sunti melepaskan
pukulan jarak jauh ketika tubuhnya terbanting ke ta-
nah. Sehingga, tak ada kesempatan baginya untuk
menangkis. Maka mau tak mau, Malaikat Berdarah Bi-
ru hanya bisa menghindar dengan bergulingan di atas
tanah. Namun tanpa diduga sama sekali oleh Sunti,
tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru melesat ke udara. Da-ri atas tubuhnya berputar
hingga sejenak kemudian
menghilang dari pandangan. Dan tahu-tahu, dia sudah
berada dua langkah di samping Sunti.
Sunti yang masih menduga-duga arah berkele-
batnya Malaikat Berdarah Biru terkejut, namun ter-
lambat. Belum hilang rasa terkejutnya, kaki kanan Malaikat Berdarah Biru telah
bergerak menghantam ka-
kinya. Duk! "Aaakh...!"
Sunti terbanting ke belakang disertai seruan
tertahan dari mulutnya. Dan dalam keadaan seperti
itu, kedua kakinya masih mencoba melejang untuk
menghantam. Tapi, rupanya Malaikat Berdarah Biru lebih ce-
pat memiringkan tubuhnya. Sehingga hantaman kedua
kaki Sunti hanya menerabas tempat kosong di samp-
ing tubuh Malaikat Berdarah Biru. Dan sekejap itu ju-ga laki-laki berjubah toga
merah ini mengangkat kaki kirinya, seakan mau bergerak memutar.
Des! Des! "Aaa...!"
Terdengar bentrokan keras. Disertai raungan
setinggi langit. Tubuh Sunti berputar di atas tanah
terhantam papasan kaki Malaikat Berdarah Biru yang
menghantam kedua kakinya.
Sunti masih mencoba bergerak bangkit. Namun
kali ini tubuhnya serasa tidak bisa lagi digerakkan.
Malaikat Berdarah Biru tersenyum puas. Ma-
tanya berkilat-kilat merah, memandang bergantian ke
arah Sangsang dan Sunti yang kini tampak bergerak-
gerak tanpa bisa bangkit.
"Mereka tampaknya mempunyai ilmu tinggi.
Hm.... Tenaga mereka bisa digunakan...," kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Laki-laki ini lantas melangkah mendekati Sang-
sang. Begitu dekat, kedua tangannya bergerak cepat
menotok. Tuk! "Aaa...!"
Sangsang yang masih terkapar menjerit begitu
jalan darahnya tertotok. Anggota tubuhnya seketika
tak bisa digerakkan sama sekali.
Malaikat Berdarah Biru cepat berbalik dan ber-
kelebat ke arah Sunti.
Tahu apa yang akan diperbuat lawan, Sunti se-
gera menghindar. Tubuhnya bergulingan. Tapi hatinya
jadi tercekat. Karena begitu tubuhnya berhenti, tahu-tahu Malaikat Berdarah Biru
telah berada di samping-
nya dengan kedua tangan siap bergerak.
Sunti masih kembali mencoba menghindar. Ta-
pi kali ini Malaikat Berdarah Biru tidak lagi memberi kesempatan. Seketika,
kedua tangannya cepat mendahului, menotok.
Tuk! Tuk! "Jahanam! Lepaskan aku!" teriak Sunti dengan mata mendelik tajam.
Malaikat Berdarah Biru mendekat. Tiba-tiba te-
lapak tangannya bergerak. Lalu....
Plak! "Sekali lagi memaki, mulutmu akan kupecah-
kan!" gertak Malaikat Berdarah Biru dengan rahang mengembung.


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serta-merta Sunti terdiam. Cadar putihnya
tampak berubah menjadi merah, karena dari mulutnya
merembes darah segar akibat tamparan tangan Malai-
kat Berdarah Biru.
Kini Malaikat Berdarah Biru berbalik dan me-
langkah perlahan ke arah Sangsang yang tampak be-
rubah ketakutan pada wajahnya. Tanpa berkata-kata
lagi, laki-laki berjubah toga merah ini menarik kaki kanan Sangsang. Seketika
dihempaskan tubuh satu
dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma keras-keras.
Tubuh Sangsang meluncur deras di atas tanah,
dan berhenti tatkala menghantam tubuh Sunti. Sepa-
sang Iblis Pendulang Sukma saling bergulingan.
Malaikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak.
Kedua tangannya diangkat ke atas siap melepaskan
pukulan. "Jangan bunuh kami!" teriak Sunti dengan suara bergetar menghiba.
"Benar! Kami akan lakukan apa saja perintah-
mu, asal nyawa kami diperpanjang!" timpal Sangsang seraya berpaling pada Sunti.
Malaikat Berdarah Biru tertawa lebar. Kedua
tangannya diturunkan.
"Baik. Permintaanmu ku turuti. Namun jika ka-
lian ingkar, akan tahu sendiri akibatnya!" sahut Malaikat Berdarah Biru, seraya
berbalik dan melangkah
menuju arah pelataran candi.
"Tunggu!" teriak Sangsang. "Apakah kami akan kau biarkan begini?"
"Sebagai pembantuku yang baru, kalian perlu
dapat latihan!" kata Malaikat Berdarah Biru, tanpa berpaling.
"Manusia iblis!" rutuk Sangsang-dengan menelan ludah.
Malaikat Berdarah Biru meneruskan langkah.
Dan sebelum menghilang di balik pelataran candi, dia tertawa.
"Malaikat Berdarah Biru tak akan menerima
pembantu yang tidak tahan banting. Karena, kalian
kelak akan menghadapi pertarungan hidup dan mati!"
kata Malaikat Berdarah Biru, jumawa.
5 Panasnya hari ini begitu terik menyengat. Sea-
kan-akan hendak menghanguskan kulit, Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 yang sudah dua hari melakukan per-
jalanan setelah turun dari puncak Bukit Watu Dakon.
"Sial betul nasibku! Gara-gara gadis cantik,
persoalan jadi panjang. Lalu bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan semua ini di hadapan
Eyang Selaksa serta Wong Agung! Aku benar-benar to-
lol!" rutuk Pendekar Mata Keranjang 108, tak habis-habisnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 terus melangkah
dengan membawa kekesalan yang terus menyesaki da-
da. "Kepada siapa aku sekarang harus bertanya"
Keberadaan Bayangan Seribu Wajah tak kuketahui di
mana. Sementara kitab dan kipas kedua, kabarnya te-
lah jatuh pada Malaikat Berdarah Biru. Ah! Jika saja aku tidak segera
mendapatkan kembali bumbung
bambu itu, malapetaka pasti akan melanda dunia per-
silatan. Dan semua itu tak mungkin bisa dihentikan!
Kalau saja waktu itu aku tidak tergoda, mungkin...."
Belum tuntas Pendekar Mata Keranjang 108
berpikir begitu, dari arah belakang sayup-sayup ter-
dengar suara derap langkah kaki kuda menuju ke
arahnya. Dan bersamaan dengan itu pula, dari arah
depan pun terdengar derap kaki kuda pula.
"Untuk sementara waktu, aku harus menghin-
dari orang-orang tertentu paling tidak, sebelum aku
mendapatkan kembali bumbung bambu...," gumam Aji.
Sejenak Aji berpaling ke belakang, lalu ke de-
pan. Kejap berikutnya, tubuhnya telah berkelebat ce-
pat, menyelinap ke balik semak belukar yang diyakini bisa melindungi dirinya
agar tidak terlihat.
Agaknya, derap langkah kuda dari arah depan
lebih dahulu sampai di dekat Aji bersembunyi. Dan ketika mendengar dari depannya
derap kaki kuda seketi-
ka sosok yang baru datang menghentikan kuda tung-
gangannya. Begitu penunggang kuda ini berhenti, sepasang
mata Pendekar Mata Keranjang 108 kontan membeliak
lebar lalu menyipit. Dahinya berkerut tanda berpikir keras. Ternyata penunggang
kuda yang lebih dulu datang adalah seorang gadis muda berparas cantik. Tu-
buhnya sintal, menggiurkan. Pakaiannya warna kun-
ing ketat. Rambutnya tergerai panjang.
"Putri Tunjung Kuning!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati begitu
dapat mengenali siapa gadis penunggang kuda berpakaian kuning itu.
"Gadis ini sepertinya makin cantik saja...."
Sambil membatin, Aji tak henti-hentinya me-
mandangi Putri Tunjung Kuning. Dan mengingat gadis
ini pikirannya lantas melayang jauh Ajeng Roro. Murid
Wong Agung ini mengusap-usap hidungnya seraya ter-
senyum sendiri.
"Ajeng Roro.... Kapan kita bisa bertemu lagi"
Apakah kau juga rindu seperti diriku?"
Selagi Aji melamun, penunggang kuda satunya
yang terakhir datang dari arah berlawanan, tahu-tahu telah berhenti sepuluh
tombak di hadapan Putri Tunjung Kuning.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
sesaat berkilat mendelik tak berkedip. Degup jantungnya berdetak lebih kencang.
Kedua tangannya serta-
merta mengepal dengan dagu membatu.
"Penipu jahanam! Akhirnya kutemukan juga
kau!" desis Aji lagi, tapi masih dalam hati.
Penunggang kuda yang barusan datang ternya-
ta seorang gadis juga, namun berpakaian warna me-
rah. Raut wajahnya tak kalah cantiknya dibanding Pu-
tri Tunjung Kuning. Rambutnya panjang dan dikuncir
agak tinggi. Dia tak lain adalah gadis yang telah mem-perdayai Aji. Siapa lagi
kalau bukan Parameswari alias Bayangan Seribu Wajah.
Namun belum sampai Aji bergerak bangkit
hendak menumpahkan segala amarahnya, Bayangan
Seribu Wajah telah melompat dari punggung kuda
tunggangannya. Dia langsung berdiri tegak mengha-
dang gadis berbaju kuning di depannya.
Putri Tunjung Kuning tersirap sejenak. Kening-
nya berkerut dengan mata menyipit. Dicobanya men-
duga-duga, siapa gerangan gadis berbaju merah yang
tiba-tiba saja menghadang perjalanannya.
Sementara Aji telah mengurungkan niat hendak
keluar dari persembunyiannya. Gejolak amarahnya ce-
pat ditindihnya.
"Kulihat dulu, apa yang akan dilakukan gadis
jahanam itu!" kata Aji dalam hati seraya memandang lekat-lekat pada Bayangan
Seribu Wajah. "Tak ada hujan tak ada angin, mengapa kau
menghadang perjalananku"!" bentak Putri Tunjung Kuning Begitu kata-katanya
habis, gadis ini melesat sa-tu tombak ke udara. Dibuatnya gerakan berputar, lalu
mendarat delapan langkah di hadapan Bayangan Seribu Wajah. Begitu indah
gerakannya, pertanda gadis ini tak bisa dibuat main-main.
Di seberang, Bayangan Seribu Wajah tidak se-
gera menjawab. Diawasinya Putri Tunjung Kuning dari
ujung kaki sampai ujung rambut. Tiba-tiba senyumnya
menyeruak menghias bibirnya.
"Hei, perempuan berjuluk Putri Tunjung Kun-
ing! Dengar! Aku tidak suka ditanyai! Dan lebih tidak suka lagi, jika melihat
orang mempunyai ilmu silat
yang melebihi ku!" ujar Bayangan Seribu Wajah, jumawa. Putri Tunjung Kuning
menarik napas panjang.
Mendadak cuping hidungnya mengembang, seakan ti-
dak percaya. Kembali ditarik napas dengan sepasang
mata membesar. "Mengenakan pakaian merah dan menebar
aroma Kamboja. Dan mungkin wajahnya sering beru-
bah-rubah. Meski aku belum pernah mengenalnya, tak
salah lagi. Pasti gadis ini digelari Bayangan Seribu Wajah...," kata batin Putri
Tunjung Kuning.
Sehabis membatin dengan dugaannya, Putri
Tunjung Kuning menatap tajam Bayangan Seribu Wa-
jah. "Bayangan Seribu Wajah! Apa maumu sebenar-
nya"! Kita tidak pernah saling berjumpa. Semestinya di antara kita tak ada
urusan!" Mendengar kata-kata itu, Bayangan Seribu Wa-
jah menengadahkan kepalanya.
"Syukur jika kau telah mengenalku! Tadi sudah
kukatakan, aku paling tidak suka melihat orang mem-
punyai ilmu silat. Siapa pun orangnya. Jadi, siapa pun juga orang berilmu yang
bertemu denganku, maka harus mampus!" tandas Bayangan Seribu Wajah dengan mata
melirik meremehkan.
"Edan!" rutuk Pendekar Mata Keranjang 108 seraya tetap memperhatikan.
"Huh!"
Putri Tunjung Kuning mendengus keras, mem-
buat Bayangan Seribu Wajah memalingkan wajah ke
arahnya. "Bicaramu terlalu sombong! Kalau kau bicara
dengan anak kecil, mungkin akan terus lari terkenc-
ing-kencing. Tapi kali ini kau bicara pada orang yang salah!" balas Putri
Tunjung Kuning, tak kalah jumawa.
"Kau terlalu banyak bacot! Terimalah ajalmu!"
kata Bayangan Seribu Wajah.
Seketika Bayangan Seribu Wajah menggerak-
kan tangan kanannya ke balik baju. Dan begitu disen-
takkan, empat kuntum bunga kamboja melesat keluar
dari telapaknya.
Set! Set! Melihat lawan telah melepas serangan, Putri
Tunjung Kuning membuat gerakan berputar dua kali
dalam keadaan rebah. Kaki kanannya cepat terangkat.
Tas! Tas! Tas! Tas!
Saat itu juga empat kuntum bunga kamboja
hancur, terkena sambaran kaki. Dan sekejap itu juga
dari arah, bawah melesat selarik cahaya kuning.
Wesss...! Ternyata sambil menangkis serangan, Putri
Tunjung Kuning menghantamkan kedua tangannya.
Bayangan Seribu Wajah hanya tersenyum sinis.
Cepat tubuhnya dimiringkan ke samping, sehingga la-
rikan cahaya kuning itu menyambar sejengkal di sebe-
lah sampingnya menerabas angin.
"He... he... he...!"
Bayangan Seribu Wajah tertawa pendek. Sesaat
kemudian, tubuhnya berkelebat lenyap. Dan tahu-
tahu.... Wesss...!
Putri Tunjung Kuning melihat dua buah ki-
lauan cahaya merah disertai aroma Bunga Kamboja
yang menyengat. Maka cepat kakinya mundur ke bela-
kang. Dan ternyata, kilauan cahaya merah tersebut
adalah dua tangan Bayangan Seribu Wajah yang
menghantam ke arah wajah Putri Tunjung Kuning.
Sambil tetap melangkah mundur, Putri Tun-
jung Kuning berusaha menangkis. Kedua tangannya
cepat diputar ke depan. Tapi, tiba-tiba kaki kiri Bayangan Seribu Wajah telah
menghempas ke arah dadanya
dan tak dapat dihindari lagi.
Bresss! "Aaakh...!"
Hantaman kaki itu memang tidak begitu keras.
Namun hebatnya, Putri Tunjung Kuning merasakan
dadanya seakan-akan jebol. Tubuhnya terlempar sam-
pai tiga tombak ke belakang.
Bruk! Seketika perutnya terasa mual. Lalu.... Keras
sekali tubuh Putri Tunjung Kuning terhempas di ta-
nah. "Heoekh...!"
Putri Tunjung Kuning muntah beberapa kali.
Dan pelan-pelan kepalanya berpaling pada Bayangan
Seribu Wajah. Ditatapnya wanita berbaju merah itu
dengan pandangan buas, lalu bergerak bangkit. Tapi
tubuhnya tiba-tiba terhuyung-huyung dan jatuh ter-
duduk. "Ha... ha... ha....'"
Bayangan Seribu Wajah tertawa keras. Kakinya
melangkah ke arah Putri Tunjung Kuning dengan ke-
dua tangan tertarik ke belakang sedikit. Seakan dia siap melepaskan pukulan.
Mengetahui gelagat tidak baik, Putri Tunjung
Kuning segera mengumpulkan segenap tenaganya. Ta-
pi wajahnya mendadak berubah pias, karena nafasnya
tidak bisa lagi berjalan seperti biasa. Semakin menarik napas, dadanya semakin
sesak. Putri Tunjung Kuning baru sadar. Ternyata se-
waktu Bayangan Seribu Wajah menghantamkan ka-
kinya, rupanya juga telah menghembuskan hawa bera-
cun Bunga Kamboja. Itulah salah satu senjata andalan Bayangan Seribu Wajah, yang
terkenal bernama jurus
'Kamboja Penebar Maut'.
"Putri Tunjung Kuning! Bersiaplah menghadapi
malaikat maut!"
Sambil berkata, Bayangan Seribu Wajah meng-
hentakkan kedua tangannya.
Wes! Wes! Dua larik sinar merah langsung menerjang ke
arah Putri Tunjung Kuning yang kini duduk tak berge-
rak dengan raut muka penuh ketakutan.
Tapi belum juga sinar merah akan mendapat
sasaran, mendadak tak jauh dari tempat itu terdengar nyanyian tak karuan. Dan
bersamaan dengan itu....
Werrr...! Tiba-tiba bertiup angin kencang disertai gemu-
ruh dahsyat menggebrak dari arah samping, langsung
melabrak larikan sinar merah.
Blassshhh...! Sinar merah itu langsung membelok, dan me-
nyambar di samping tubuh Putri Tunjung Kuning.
Begitu berpaling, Bayangan Seribu Wajah ter-
sentak kaget. "Pendekar Mata Keranjang 108! Bagaimana dia


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa bebas dari totokanku" Padahal selama ini tidak
satu pun orang yang berhasil menyelamatkan diri dari totokan tanganku. Hm....
Apakah si Tua Edan itu yang menyelamatkan" Brengsek! Urusan akan jadi runyam.
Kalau saja aku telah berhasil membuka bumbung
bambu ini, mungkin tidak akan begitu khawatir. Ta-
pi.... Apakah dia bersama si Tua Edan itu?"
Sambil berpikir begitu, Bayangan Seribu Wajah
menebar pandangan ke sekeliling.
Selagi Bayangan Seribu Wajah menebarkan
pandangan, orang yang menyelamatkan Putri Tunjung
Kuning tak lain Pendekar Mata Keranjang 108 berkele-
bat cepat. Dan di kejap lain, tubuhnya telah tegak di depan Bayangan Seribu
Wajah dengan mata terbeliak.
Tangannya mengepal dan dagunya membatu, menahan
gejolak amarah yang memang telah lama ditahan-
tahan. Sambil menindih rasa terkejut, Bayangan Seri-
bu Wajah balas menatap pada Aji. Bibirnya langsung
mengembang senyum.
"Pendekar Mata Keranjang 108!" sebut Bayangan Seribu Wajah.
Gadis berbaju merah ini melangkah maju ke
arah Aji. Wajahnya yang cantik sama sekali tidak me-
nunjukkan perubahan meski tahu kalau pemuda di
hadapannya menyimpan amarah terhadapnya.
"Kau menyusul ku rupanya. Apa ingin mene-
ruskan permainan yang kemarin dulu...?" kata Bayangan Seribu Wajah begitu tiba
di hadapan Aji.
Gadis yang mengaku bernama Parameswari ini
membuka sedikit bibirnya. Sedang tubuhnya mengge-
liat, dengan gerakan mempesonakan.
Sesaat Pendekar Mata Keranjang 108 terkesi-
ma. Hawa amarahnya seakan-akan hilang lenyap.
"Kau mau mengajakku sekarang...?" sambung
Bayangan Seribu Wajah, sambil mengerdipkan sebelah
matanya. Aji tidak menjawab. Dua bola matanya seketika
membesar merah.
"Bayangan Seribu Wajah! Nyawamu kuampuni
jika barang ku yang telah kau curi diserahkan kemba-
li!" Paras Bayangan Seribu Wajah berubah, namun
cepat tersenyum.
"Bumbung bambu itu! Cepat serahkan kembali
padaku!" sentak Aji.
"Kau bernasib sial, Pendekar Mata Keranjang
108!" sahut Bayangan Seribu Wajah, enteng.
"Apa maksudmu..."!" tanya Pendekar Mata Keranjang 108, dengan kening berkerut.
"Seseorang telah berhasil merampasnya dari
tanganku...."
"Siapa percaya omongan mu! Lekas serahkan!
Jika tidak...."
"Jika tidak kenapa?" potong Bayangan Seribu Wajah. "Kau mau menggeluti ku
lagi...?" Wajah Aji merah mengelam.
"Kau memang pantas dihajar!" teriak Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mengele-
batkan tangan kanannya ke arah perut Bayangan Se-
ribu Wajah. Tindakan ini selain menyerang, juga untuk
mengetahui di mana sebenarnya bumbung bambu itu
disimpan. Bayangan Seribu Wajah ternyata telah waspa-
da. Kakinya segera bergerak mundur dua langkah
sambil memalangkan tangan kanan. Sementara tangan
kirinya bergerak menyentak ke depan.
Wesss...! Seketika cahaya merah menebar aroma kambo-
ja menusuk melesat dari tangan kiri Bayangan Seribu
Wajah. "Kulihat Putri Tunjung Kuning tadi tak berdaya karena hawa ini. Aku harus
hati-hati...," kata batin Aji, siap menangkis tanpa menarik napas.
Prak! Wuuut! Terdengar suara benturan. Di lain kejap, ca-
haya terang menyambar. Dan ini membuat murid
Wong Agung ini sejenak silau tak bisa melihat.
"Edan! Ke mana dia larinya?" rutuk Aji.
Pandangan Pendekar Mata Keranjang 108 me-
nyapu ke sekeliling. Tubuhnya masih terhuyung akibat benturan dengan Bayangan
Seribu Wajah menangkis
serangan. "Hi... hi... hi...!"
Mendadak terdengar suara tawa mengikik. Ke-
tika berpaling ke arah sumber suara, diam-diam dada
Aji sedikit bergetar. Lima langkah di sampingnya tampak mencorong cahaya merah
berkilau. Tak lama se-
mak belukar di situ menguak, lalu sekonyong-konyong
muncul sesosok tubuh.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Aji hampir tak percaya.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas menoleh
pada tempat tadi Putri Tunjung Kuning berada. Dan
ternyata, di sana gadis itu masih ada dan tetap duduk
seperti semula.
Sementara di lain pihak, Putri Tunjung Kuning
yang dari tadi menyaksikan, tiba-tiba berseru tertahan.
Karena wajah yang muncul dari balik semak belukar
sama persis dengan wajahnya.
"Hm.... Sesuai julukannya, ternyata dia me-
mang bisa mengubah bentuk wajahnya. Tapi jangan
harap aku bisa ditipu!" geram Aji dalam hati.
Saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108
mengeluarkan kipas ungu, dan menyentakkannya ke
arah Putri Tunjung Kuning yang baru saja keluar dari semak belukar.
Tapi sebelum Aji mengibaskan kipasnya,
Bayangan Seribu Wajah yang kini berubah mirip Putri
Tunjung Kuning berkelebat ke udara dengan kedua
tangan mengembang. Begitu berada di udara, kedua
tangannya dihantamkan ke tanah.
Keadaan tempat itu menjadi terang benderang
terbias kilatan merah yang keluar dari tangan Bayan-
gan Seribu Wajah. Lalu....
Splash! Blarrr...! Terdengar gelegar dahsyat tepat ketika Pende-
kar Mata Keranjang 108 sudah melesat menghindar.
Tanah yang terhantam pukulan tangan Bayangan Se-
ribu Wajah terbongkar, berhamburan ke udara mem-
buat suasana berubah menjadi redup.
Meski masih kalah cepat, Aji yang berada di
udara tetap mengibaskan kipasnya. Bahkan kali ini
tangan kirinya juga menghantam, melepaskan pukulan
'Bayu Cakra Buana'.
Keadaan yang redup tiba-tiba berubah terang
kembali. Sementara tanah yang tadi membumbung ke
udara kontan terhembus kencang dan menjadi lembut!
Begitu mendarat di tanah, Aji membesarkan
matanya untuk mengetahui di mana Bayangan Seribu
Wajah berada. Seketika parasnya terperangah. Karena, Bayangan Seribu Wajah tak
kelihatan lagi. Dan lebih
tercekat lagi, karena ternyata Putri Tunjung Kuning
yang tadi masih duduk juga tidak tampak!
Selagi Aji tercengang....
"Kau mencari-cari kami Pendekar Mata Keran-
jang 108?"
Tiba-tiba terdengar suara menegur dari bela-
kang, Pendekar Mata Keranjang 108 berbalik. Kini
tampak dua Putri Tunjung Kuning berdiri lima tombak
di hadapannya. Sesaat lamanya tak bisa dibedakan
mana yang Putri Tunjung Kuning asli, dan mana yang
palsu. Apalagi, kedua-duanya juga memakai baju kun-
ing. Kalau benar Bayangan Seribu Wajah telah beru-
bah wajah menjadi Putri Tunjung Kuning, kapan dia
berganti baju. Sedemikian cepatkah" Dan Pendekar
Mata Keranjang 108 tak mampu menjawabnya.
"Sialan! Bagaimana aku menentukan mana
yang Bayangan Seribu Wajah dan Putri Tunjung Kun-
ing?" rutuk Pendekar Mata Keranjang 108.
Saat Aji masih ragu-ragu menentukan, kedua
gadis ini sama-sama melepas senyum.
"Hm.... Akan kutunggu sampai dia menyerang.
Dengan demikian aku dapat menentukan!" kata Aji dalam hati seraya tetap tak
bergerak dari tempatnya.
Namun harapan tinggal harapan. Karena sam-
pai lama menunggu, seakan tahu apa yang ada di be-
nak Aji, kedua gadis ini tidak ada yang bergerak me-
nyerang. Mereka diam. Malah kini mulai tertawa tergelak-gelak. Anehnya, suara
tawanya tak bisa dibedakan.
"Bajingan!" seru Aji sambil mengusap-usap dagunya dengan kepala menggeleng-
geleng. Tapi, mendadak Aji mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kakinya lantas melangkah mendekat. Ke-
dua gadis ini tetap tak bergeming dari tempatnya.
Begitu dekat, Pendekar Mata Keranjang 108
menarik napas dalam-dalam dengan wajah suram.
Kembali ditariknya napas dalam-dalam. Namun sia-
sia. Aroma Bunga Kamboja tidak lagi tercium.
"Benar-benar konyol! Kalau kuhantam kedua-
nya, pasti Putri Tunjung Kuning yang asli akan mene-
mui ajal. Karena, dia tadi telah terluka. Tapi heran, kenapa Putri Tunjung
Kuning asli tidak berontak" Malah dia seakan membantu menyulitkan...! Kalau
terlalu dekat, aku tidak ada kesempatan jika diserang mendadak...." Selagi Aji
berpikir keras mencari jalan keluar, tiba-tiba kedua Putri Tunjung Kuning
melesat ke samping kanan kiri. Dan bersamaan dengan itu kedu-
anya menghantamkan kedua tangan masing-masing ke
arah kepala dan perut Aji.
Wut! Wut! Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak meli-
hat datangnya serangan yang mendadak dan bersa-
maan. Segera kaki kirinya diangkat dan dihantamkan
ke sebelah kiri. Sedang tangan kanannya diputar, dan disentakkan ke sebelah
kanan. Wut! Wut! Tendangan kaki kiri Aji menghempas keras,
mengeluarkan siuran angin kencang. Sedang tangan
kanannya mengeluarkan sinar putih pukulan 'Bayu
Cakra Buana'. Plak! Plak! Des! Des!
"Aaakh...! Auhhh...!"
Benturan keras terdengar dua kali berturut-
turut. Kedua Putri Tunjung Kuning sama-sama kelua-
rkan seruan tertahan. Putri Tunjung Kuning yang ada
di sebelah kiri terlempar hingga dua tombak. Sedang-
kan yang di sebelah kanan, yang terkena hantaman
'Bayu Cakra Buana' lebih parah lagi. Tubuhnya ter-
banting dan terseret menyuruk tanah hingga lima
tombak. Paras kedua gadis ini sama-sama pucat pasi.
Namun gadis yang terkena sambaran 'Bayu Cakra Bu-
ana' tampak terluka dalam. Karena dari sudut bibirnya mengalir genangan darah
kehitaman, sedangkan tangan kanannya kemerahan.
Enam tombak di seberang kedua gadis ini, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 terbujur di tanah. Tangan
dan kakinya yang tadi digunakan untuk menangkis
sekaligus menyerang tampak bergetar dengan kulit
agak menghitam! Tenggorokannya terasa tersumbat.
Dan dadanya berdetak nyeri. Meski demikian, dia sege-ra bangkit. Kipasnya
langsung dipalangkan di depan
dada. Sementara tangan kirinya siap melepaskan se-
rangan susulan.
Tadi Pendekar Mata Keranjang 108 sempat me-
lihat kalau gadis yang di sebelah kiri masih tampak segar bugar. Kuat dugaan,
itulah Putri Tunjung Kuning
palsu yang sebenarnya Bayangan Seribu Wajah. Lan-
tas Pendekar Mata Keranjang 108 memalingkan tubuh
ke kiri. Tampak Putri Tunjung Kuning palsu ini me-
mang telah bangkit dan tampak menyiapkan serangan.
"Heaaa...!"
Dengan didahului bentakan, tangan kanan Aji
yang memegang kipas bergerak. Namun sebelum tan-
gannya menyentak, sebuah bayangan berkelebat cepat
ke arahnya. "Jika yang kau maksud Bayangan Seribu Wa-
jah. Maka kau menghantam orang yang salah!" tegur
bayangan yang tahu-tahu telah mendarat di samping
berjarak lima tombak.
Pendekar Mata Keranjang 108 memalingkan
wajah, ke arah suara yang menegur.
"Eyang...," seru Aji tatkala melihat orang yang menegur.
Di situ tampak berdiri tegak seorang perem-
puan tua. Paras wajahnya menakutkan, karena di ba-
wah sepasang matanya yang begitu cekung, tak tam-
pak tonjolan hidung. Bibirnya tipis dan kecil. Rambutnya putih serta awut-
awutan. Sementara pakaian yang
dikenakannya amat dekil dan sudah robek di sana-
sini. Hingga tonjolan tulang-tulang dadanya yang ber-kulit tipis jelas kentara.
Di pihak lain, kedua Putri Tunjung Kuning sa-
ma-sama terkejut. Masing-masing matanya membesar
dan naik ke atas mendelik.
"Tua Edan! Kau jangan turut campur!" bentak Putri Tunjung Kuning yang berada di
kanan Pendekar Mata Keranjang 108.
Perempuan berbaju compang-camping itu ber-
paling pada Putri Tunjung Kuning yang baru saja
membentak. Dan pada saat itulah tubuhnya berkelebat
cepat, menjadi bayang-bayang dan lenyap dari pan-
dangan. "Aaa...!"
Mendadak terdengar jeritan lengking dari Putri
Tunjung Kuning yang tadi membentak. Tangannya be-
rusaha menghantam kiri dan kanan dengan tubuh di-
doyongkan ke belakang. Namun bayangan tangan yang
hampir tak terlihat terus bergerak seakan merambah
tubuhnya.

Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika bayangan yang ternyata tangan perem-
puan berpakaian compang-camping berhenti bergerak,
sebuah bumbung bambu telah tergenggam di tangan-
nya. "Ratih!" panggil perempuan berpakaian compang-camping seraya memandang pada
Putri Tunjung Kuning palsu yang tak lain Bayangan Seribu Wajah.
"Lekas tinggalkan tempat ini!"
Untuk beberapa saat gadis yang dipanggil Ratih
tegak diam dengan mata merah menyala. Sementara
Pendekar Mata Keranjang 108 mengawasi dengan ke-
kaguman. "Luar biasa kecepatannya! Perempuan setua itu
mampu bergerak yang aku sendiri tak bisa mengiku-
tinya...," desah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Kau dengar kata-kataku, Ratih"!" tegur perempuan berpakaian compang-camping
lagi. Belum usai perempuan tua ini menegur, gadis
yang sebelumnya mengaku pada Aji bernama Para-
meswari menggerakkan kedua tangannya.
Wes! Wes! Seketika berlarik-larik sinar merah menerabas
cepat mengarah pada perempuan tua berpakaian com-
pang-camping. "Hi... hi... hi...!"
Sementara perempuan tua ini tak bergerak se-
dikit pun. Malah dari mulutnya yang kecil keluar suara tawa mengikik. Namun
bersamaan dengan itu perempuan tua ini kedua tangannya diangkat dan dibuka di
depan dada. Slap! Slap! Seakan tak dapat dipercaya, larikan-larikan si-
nar merah tersedot dan masuk ke telapak tangan pe-
rempuan tua berpakaian compang-camping ini. Dan
tidak hanya sampai di situ. Begitu larikan sinar merah lenyap tersedot,
perlahan-lahan pula tubuh Ratih alias
Bayangan Seribu Wajah terseret ke depan.
"Aaa...!"
Disertai teriakan-teriakan nyaring, Ratih men-
coba menahan gerak tubuhnya. Namun sedotan dari
tangan perempuan tua di depannya bagai tak bisa di-
bendung. Hingga tanpa ampun lagi, tubuhnya terus
maju mendekat. Sekujur tubuhnya telah dibasahi ke-
ringat. Nafasnya tampak terengah-engah. Dan begitu berada dua langkah di hadapan
perempuan tua itu,
Ratih jatuh terduduk dengan tubuh lunglai kehabisan
tenaga. "Katakan, Ratih! Apakah kau ingin mampus sekarang"!" bentak perempuan
tua dengan kepala memandang langit.
Dengan tubuh terhuyung-huyung, Bayangan
Seribu Wajah yang masih berwajah Putri Tunjung
Kuning bangkit.
"Kau memperpanjang masalah ini. Tunggulah
pembalasanku!" desis Ratih.
Habis berkata, Ratih berbalik. Seketika tubuh-
nya berkelebat meninggalkan tempat itu. Aroma Bunga
Kamboja kembali menebar sengit.
"Tahan nafasmu!" ujar perempuan tua itu men-gingatkan seraya memandang Pendekar
Mata Keran- jang 108. Begitu Ratih, Bayangan Seribu Wajah tak nam-
pak lagi, perempuan tua berpakaian compang-camping
ini mengalihkan pandangan pada Putri Tunjung Kun-
ing yang asli. "Gadis itu terluka parah. Lekas angkat dia ke-
mari!" ujar perempuan tua berpakaian compang-
camping yang tak lain juga kakak seperguruan Bayan-
gan Seribu Wajah.
Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling pada
Putri Tunjung Kuning. Dan betapa tercengangnya Aji, melihat Putri Tunjung Kuning
kini telah telentang dengan sekujur tubuh mengelam merah.
Setelah menyelipkan kipas di balik bajunya, Aji
segera berkelebat. Dan dengan cepat pula diangkatnya tubuh Putri Tunjung Kuning
ke dekat perempuan tua.
"Telungkupkan!" perintah perempuan ini.
Aji menelungkupkan tubuh Putri Tunjung Kun-
ing. Sementara perempuan tua itu duduk bersila. Ke-
dua tangannya dibuka dan ditempelkan pada pung-
gung Putri Tunjung Kuning.
Sesaat tubuh Putri Tunjung Kuning menggeliat,
lalu bergetar hebat. Tampak asap putih mengepul per-
lahan-lahan. Tak lama kemudian, kepala gadis ini bergerak terangkat. Dari
mulutnya terdengar suara batuk-batuk beberapa kali, lalu....
"Hoakh! Hoakh!"
Dari mulut Putri Tunjung Kuning keluar darah
kehitaman dan menggumpal. Setelah itu, kepalanya
kembali lunglai.
"Biarkan dia beberapa saat. Kita bicara di sebelah sana...," ujar perempuan tua
ini seraya bangkit dan melangkah menuju ke sebuah pohon.
6 "Eyang...," sebut Pendekar Mata Keranjang 108
agak tersendat, ketika sama-sama telah duduk berha-
dapan di bawah pohon. "Maafkan aku yang berlaku ce-roboh...."
Perempuan tua berpakaian compang-camping
itu batuk-batuk kecil beberapa kali.
"Tak ada gunanya minta maaf. Segalanya telah
berakhir. Coba ceritakan, bagaimana Ratih berhasil
merebut bumbung ini dari tanganmu!" ujar perempuan tua ini. Paras wajah Pendekar
Mata Keranjang 108berubah merah padam. Sungguh tak diduga per-
mintaan perempuan tua di hadapannya. Hingga untuk
beberapa saat dia masih diam.
"He...! Kau dengar tidak kata-kataku"!" tegur perempuan tua dengan suara agak
keras. Aji melengak dengan jakun turun naik.
"Jangkrik! Bagaimana aku harus menceritakan
kejadian itu" Sial! Benar-benar sial! Tapi, apa boleh buat" Toh, segalanya telah
terjadi...," umpat Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Berpikir sebentar, Aji lantas mulai bercerita
tentang kejadian di kaki Bukit Watu Dakon, hingga
pertemuannya dengan Ratu Pualam Putih.
Begitu cerita Pendekar Mata Keranjang 108 se-
lesai, perempuan tua berpakaian compang-camping ini
menyeringai. Seketika wajah Aji semakin merah pa-
dam. Dan bibirnya tersenyum kecut tatkala perem-
puan tua di hadapannya tertawa perlahan.
"Manusia jika sudah ditindih nafsu serakah,
apa pun akan dilakukannya. Tidak peduli perbuatan-
nya kelak akan merugikan orang banyak...," sindir perempuan tua ini, membuat Aji
kembali tersenyum ke-
cut. "Eyang.... Aku mengaku salah. Dan...."
"Kata-kata itu tidak perlu kau ucapkan!" potong perempuan tua itu. "Itu adalah
ucapan basa-basi ping-giran jalan. Ingat! Kau adalah sebuah harapan dari beribu-
ribu manusia! Apa pernah terpikir olehmu, apa
jadinya jika bumbung bambu ini sampai jatuh ke tan-
gan orang yang tidak bertanggung jawab?"
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya diam
mendengar keterangan perempuan tua di depannya.
Malah kepalanya tidak berani diangkat untuk meman-
dang orang tua ini.
"He...!" usik perempuan tua itu memanggil Aji.
"Orang aneh!" batin Aji. "Dia telah tahu namaku, kenapa memanggil dengan He...
he...!" "Kau jangan tersinggung atas ucapanku tadi.
Aku tidak berniat menggurui mu,..," sambung perempuan tua. Kali ini suaranya
merendah. "Aku hanya ingin melenyapkan tabir yang menutup mata hatimu,
agar lain waktu kau tidak mudah terperosok!"
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk Se-
jenak kemudian mereka saling diam. Suasana jadi
hening. "Kata-kataku sudah terlalu banyak..," kata perempuan tua itu memecah
keheningan. Pandangannya
menyapu ke sekeliling.
Kini mata perempuan tua itu terpaku pada Pu-
tri Tunjung Kuning.
"Gadis itu jangan diganggu! Kalau racun yang
bersemayam di tubuhnya telah punah, dia akan ban-
gun sendiri. Sekarang, aku harus pergi. Ini, terimalah kembali!"
Habis berkata, perempuan tua itu mengelua-
rkan bumbung dari balik bajunya dan menyodorkan-
nya pada Aji Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 tampak
ragu-ragu. Ditatapnya lekat-lekat wajah perempuan
tua di hadapannya. Tatkala yang dipandang mengang-
guk perlahan, dengan tangan sedikit gemetar, diteri-
manya bumbung bambu itu.
Sesaat Aji memperhatikan bumbung bambu di
tangannya. "Simpan baik-baik. Dan, cepat pelajari isinya!
Selamat tinggal...."
"Eyang, tunggu!" tahan Aji, ketika perempuan tua itu hendak bangkit meninggalkan
tempat ini. "He...! Kau ingin apa lagi..."!"
"Eyang...!" sera Aji setengah berbisik. "Kalau tidak keberatan, bolehkah aku
mengetahui nama Eyang
sebenarnya...?"
"Ha... ha... ha...!"
Perempuan tua itu tertawa tergelak-gelak. Lalu
kepalanya mendongak memandang ke atas.
"Aku sendiri sudah lupa, siapa namaku! Jadi
jangan harap kau mengetahuinya. Kau boleh memang-
gilku sekehendak hatimu!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menahan se-
nyum, melihat keanehan orang tua di depannya. Masa'
namanya sendiri dia lupa"! Ini kan, aneh!
Sementara perempuan tua itu kembali hendak
bangkit. Namun....
"Satu lagi, Eyang...," tahan Aji.
"Kunyuk geblek! Banyak benar pertanyaan-
mu...!" Pemuda tampan ini seakan tidak mendengarkan cacian barusan. Karena meski
mengucapkan kata-
kata caci-maki, mulut perempuan tua ini yang kecil
menyunggingkan senyum. Sedangkan sepasang ma-
tanya yang cekung menyipit.
"Eyang.... Tadi telah kuceritakan, bahwa aku
ditolong muridmu, Ratu Pualam Putih. Namun setelah
memberikan pertolongan padaku, kedua tangannya
berubah. Warna hitam serta bulu yang tadinya hanya
sebatas pergelangan tangan, merambat hingga lengan.
Kau tentunya tahu, apa yang harus kulakukan untuk
menolong mengembalikan kedua tangan muridmu
itu?" Mendengar penuturan Pendekar Mata Keran-
jang 108, perempuan tua itu tiba-tiba seperti dirun-
dung kecemasan. Sinar matanya yang cekung tampak
meredup. "He...! Bagaimana pendapatmu mengenai mu-
ridku itu?" tanya perempuan tua itu, setelah dapat menguasai diri dengan menekan
rasa kecemasannya.
"Karena aku baru saja bertemu dan hanya se-
bentar, jadi tidak punya pendapat apa-apa tentang dia.
Tapi yang pasti, dia seorang gadis cantik...."
Perempuan tua itu batuk-batuk dan mendehem
beberapa kali. "Kau tertarik padanya?" pancing orang tua ini.
"Setengah! Setengah tertarik!" jawab Aji sambil cengengesan.
"Hm... Kau hanya tertarik setengah, karena
muridku cacat, bukan" Seandainya dia tidak cacat,
mungkin kau akan tertarik seluruhnya. Bahkan bisa
tergila-gila! Tapi itu suratan yang harus dijalaninya...,"
papar perempuan tua ini.
"Eyang.... Kau belum menjawab pertanyaan-
ku...," ujar Aji.
"Lebih baik simpan dulu pertanyaanmu! Karena
jika kujawab, kau tak akan melakukan pertolongan
padanya. Dan itu membuatku makin kecewa...," kata perempuan tua sambil
menggeleng. "Eyang! Aku telah telanjur janji padanya untuk
menolong. Dan janji itu sudah seharusnya ku tepati!
Katakan saja, apa yang harus kulakukan!" desak Pendekar Mata Keranjang 108.
Beberapa saat perempuan tua itu tidak beru-
cap. Namun ketika melihat, wajah Aji bersungguh-
sungguh ingin mengetahui, akhirnya dia mengalah.
"Ketahuilah! Totokan Ratih bukan sembarang
totokan, karena dilakukan lewat pengerahan tenaga
dalam penuh. Hingga barang siapa yang membe-
baskan, maka segala ilmu miliknya akan punah! Selain itu, anggota tubuh yang
digunakan untuk membebaskan akan ditumbuhi bulu dan berwarna hitam
yang tak akan bisa hilang. Kecuali...."
Perempuan tua ini tak meneruskan kata-
katanya. "Kecuali apa, Eyang...?" kejar Pendekar Mata Keranjang 108.
"Kecuali jika kalian berdua mau menjalani Ang-
goro Pati. Yakni melakukan tapa selama satu purnama
penuh dalam keadaan telanjang bulat dan duduk ber-
sila tanpa harus memejamkan mata. Harus duduk
berhadap-hadapan. Dan, ingat! Tapa kalian akan sia-
sia jika salah satu ada yang dilanda gejolak nafsu!"
Sekonyong-konyong murid Wong Agung ini jadi
terkesiap. Jakun tenggorokannya serasa terbetot ke-
luar. Hingga dia tak mampu mengucapkan kata-kata,
selain melongo dan bernapas panjang.
"Eyang!" panggil Aji setelah dapat mengatur jalan nafasnya yang tadi seperti
berhenti tersendat "Kau tidak bergurau dengan kata-katamu?"
"Kau yang suka bergurau. Aku tidak!" jawab perempuan tua ini dengan mata
mendelik. "Edan! Bagaimana sekarang" Apa aku mampu
menjalani Anggoro Pati"! Padahal aku tidak bisa me-
nahan gejolak, jika melihat gadis cantik. Apalagi ini harus telanjang. Ah,
benar-benar berat!"
"Nah, kau telah mengetahuinya sekarang.
Saatnya aku harus pergi!"
"Sebentar, Eyang...," tahan Aji lagi.
Namun kali ini perempuan tua itu seolah tak


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar. Tubuhnya yang sudah bangkit berkelebat,
meninggalkan Aji yang tetap memandanginya dengan
beribu perasaan.
"Runyam, betul-betul runyam! Ini semua gara-
gara Bayangan Seribu Wajah!"
Selagi Aji masih berkata-kata sendiri, terdengar
suara erangan halus. Pendekar Mata Keranjang 108
cepat memalingkan wajahnya ke arah Putri Tunjung
Kuning yang memang keluar suara mengerang.
"Putri Tunjung Kuning rupanya telah sadar...,"
gumam pemuda ini lalu melangkah ke tempat Putri
Tunjung Kuning. Saat berdiri di sampingnya, diawa-
sinya gadis itu dengan seksama.
Sementara Putri Tunjung Kuning segera mem-
buka kedua matanya ketika tadi mendengar suara
langkah mendekat. Sejenak sepasang mata bulat mi-
liknya memandang ke atas, lalu beralih ke samping,
tempat Aji berdiri.
"Pendekar Mata Keranjang 108"!" keluar pang-gilan perlahan dari mulut Putri
Tunjung Kuning.
Aji mengangguk dengan senyum manis.
Putri Tunjung Kuning menggerak-gerakkan se-
pasang kakinya. Merasa tidak terasa sakit, gadis ini lantas bangkit duduk.
Senyumnya segera menyeruak
di bibirnya. "Ngg.... Terima kasih atas segala pertolongan-
mu. Aku tidak tahu, harus berbuat apa untuk memba-
las jasamu...," ucap Putri Tunjung Kuning, lirih.
Aji menggeleng perlahan. Sementara senyum-
nya tetap mengembang. Malah sebelah matanya men-
gerdip, membuat paras Putri Tunjung Kuning berubah.
"Manusia satu ini benar-benar menggoda. Pan-
tas jika banyak gadis cantik menyukainya. Sekarang,
apa yang harus kulakukan" Meski dia dahulu pernah
menipuku, tapi dibanding pertolongannya dalam me-
nyelamatkan nyawaku, apakah pantas jika aku mem-
balasnya dengan hal yang tidak terpuji" Lagi pula, kenapa perasaanku menjadi
berubah" Apakah aku..., ah!
Tidak mungkin. Aku gadis yang tidak lagi bersih..."
"Putri Tunjung Kuning" Jika kau tidak kebera-
tan, maukah kau menjawab pertanyaanku?" tanya
Pendekar Mata Keranjang 108, memenggal lamunan
Putri Tunjung Kuning.
Mendengar kata-kata Pendekar Mata Keranjang
108, kening Putri Tunjung Kuning membentuk bebera-
pa kerutan. Senyumnya yang tadi menyeruak tiba-tiba
lenyap. Melihat perubahan wajah Putri Tunjung Kun-
ing, Aji segera mengalihkan pandangannya.
"Kalau kau merasa keberatan, aku tidak me-
maksa...," kata Aji, tanpa beraling lagi
Putri Tunjung Kuning sesaat masih diam.
"Katakanlah...," desah Putri Tunjung Kuning, lirih.
Aji kembali menoleh memandang. Sejenak pan-
dangan mereka saling bertemu. Tapi tidak lama, kare-
na Putri Tunjung Kuning segera menundukkan kepa-
lanya, menyembunyikan bias semu merah di air mu-
kanya. "Putri Tunjung Kuning!" kata Aji seraya terus menatap, seakan tidak
peduli pada perasaan gadis di
sampingnya. "Sewaktu terjadi pertarungan antara aku den-
gan Bayangan Seribu Wajah, kenapa tiba-tiba saja kau seakan-akan membantunya?"
Putri Tunjung Kuning menggeleng.
"Aku sendiri waktu itu tak tahu. Yang kurasa,
saat Bayangan Seribu Wajah berkelebat ke arah ku,
pikiranku tiba-tiba bagai melayang. Dan tubuhku se-
perti dimasuki sesuatu yang tak bisa ku jelaskan. Setelah itu, aku merasa
dikendalikan sesuatu yang tak bi-sa ku lawan. Hingga meski bawah sadar ku
memberon- tak, tubuhku tak berdaya...!" papar Putri Tunjung Kuning. Pendekar Mata
Keranjang 108 mengangguk.
"Menurut yang pernah kudengar..," sambung
Putri Tunjung Kuning. "Bayangan Seribu Wajah selain menguasai ilmu merubah
bentuk juga menguasai ilmu
kendali yang lebih dikenal dengan nama ilmu 'Penjalin Sukma'!"
"Astaga! Aku juga pernah mendengar tentang
ilmu itu. Hm..., ilmu itu bisa berbahaya jika digunakan orang tidak bertanggung
jawab...," sentak Aji dalam hati sambil menggeleng-geleng. "Hm.... Urusan di
sini kurasa telah selesai. Aku harus cepat tinggalkan tempat ini. Menuruti
perkataan Eyang tanpa nama itu,
memang sebaiknya aku segera mempelajari apa yang
ada dalam bumbung bambu ini...."
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berbalik.
"Tunggu! Kau hendak ke mana?" cegah Putri
Tunjung Kuning, seraya bangkit.
Pendekar Mata Keranjang 108 memalingkan
wajahnya, sebelah matanya mengerdip.
"Sebenarnya aku ingin berlama-lama dengan-
mu. Tapi karena masih ada sesuatu yang harus segera
diselesaikan, aku harus pergi sekarang. Semoga kita
nanti dapat berjumpa lagi...."
Habis berkata, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berkelebat meninggalkan tempat ini.
Sebenarnya Putri Tunjung Kuning masih men-
coba mencegah kepergian Aji. Namun teriakan panggi-
lannya seakan tidak didengar pemuda itu, hingga den-
gan raut muka diselimuti perasaan kecewa, gadis ini
hanya bisa memandangi arah berkelebatnya tubuh
Pendekar Mata Keranjang 108 sampai menghilang dari
pelupuk mata. 7 Sang mentari baru saja tenggelam di bentangan
kaki langit sebelah barat, membuat suasana sedikit
temaram. Dalam keadaan seperti ini, sesosok tubuh
berbalut pakaian warna merah tampak berkelebat ce-
pat, menyusuri temaram senja. Tujuannya, sebuah
candi yang berdiri megah meski di sana-sini sudah
tampak keropos termakan usia.
Sosok terbalut pakaian merah yang ternyata
seorang gadis cantik itu tak lain dari Bayangan Seribu Wajah. Di satu tempat di
luar pelataran candi, gadis ini menghentikan larinya. Sepasang matanya yang
tajam, berbinar sejenak menebar ke sekeliling. Hidungnya
tampak mengembang mengendus. Seakan mengetahui,
niat untuk menuju candi lewat pelataran depan di-
urungkan. "Aku mengendus adanya sosok manusia tak
jauh dari sini. Aku harus mengetahui dahulu, siapa
orang itu!"
Berpikir begitu, Bayangan Seribu Wajah cepat
berbalik. Seketika tubuhnya berkelebat cepat, dan ta-hu-tahu muncul dari arah
samping candi. Dari balik
sebuah pagar candi yang berbentuk gapura, matanya
dapat melihat jelas keadaan di pelataran dengan candi.
Untuk beberapa lama, kedua mata Bayangan
Seribu Wajah tak beralih memandangi dua sosok tu-
buh yang tampak duduk tak bergerak di pelataran
candi. Lalu pandangannya berputar liar ke sekeliling.
Ketika matanya tak menemukan siapa-siapa lagi, pan-
dangannya kembali diarahkan pada dua sosok yang
masih juga tak bergerak di depan candi.
"Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki ber-
mata satu. Sedangkan yang perempuan wajahnya ter-
tutup sepotong kain...," gumam Bayangan Seribu Wajah sambil menyipitkan sepasang
matanya. "Hm.... Tak salah lagi! Mereka adalah tokoh silat yang bergelar
Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Sedang apa mereka be-
rada di situ?"
Sekali lagi Bayangan Seribu Wajah memperha-
tikan. "Ah! Rupanya mereka berdua terkena totokan, hingga tak bisa bergerak!
Hik... hik... hik...!"
Sambil masih tertawa tertahan-tahan, Bayan-
gan Seribu Wajah keluar dari balik pagar. Kakinya melangkah tenang memasuki
pelataran candi lewat de-
pan. Di seberang sana, dua sosok yang duduk tanpa
bisa bergerak memang Sepasang Iblis Pendulang Suk-
ma adanya. Mereka tampak terkejut dengan dahi ber-
kerut. Namun karena belum mengenal Bayangan Seri-
bu Wajah, mereka tak berani buka mulut minta perto-
longan. Mereka hanya mengawasi Bayangan Seribu
Wajah yang kini mulai memasuki pelataran candi, dan
terus ke ruangan belakang candi yang tampak tidak
begitu terawat.
Seakan sudah kenal tempat itu, Bayangan Se-
ribu Wajah langsung menuju ke sebuah arca. Digeser
arca tersebut. Lalu dengan langkah tenang, dituru-
ninya tangga batu di bawah arca.
Ketika sepasang kakinya menginjak anak tang-
ga paling bawah dan sampai di sebuah ruangan yang
tampak benderang, Bayangan Seribu Wajah menghen-
tikan langkah. Matanya memandang ke tengah ruan-
gan, di mana terlihat sesosok tubuh renta duduk ter-
kantuk-kantuk. Sosok yang duduk ternyata seorang perempuan
tua bersorban hitam dan berjubah warna hitam juga.
Rambutnya panjang dan seperti tak terawat. Wajahnya
pucat pasi dengan kulit wajah amat tebal. Mulutnya
tak henti-hentinya bergerak-gerak, seolah mengunyah
sesuatu yang tidak habis-habis.
"Bayangan Iblis! Lama kita tidak jumpa! Bagai-
mana kabarmu?"
Tiba-tiba Bayangan Seribu Wajah membuka
mulut menegur sosok yang duduk terkantuk-kantuk.
Sosok perempuan yang duduk terkantuk-
kantuk memang tak lain dari Bayangan Iblis. Kini ke-
dua matanya terbuka lebar-lebar. Mulutnya berhenti
bergerak. Lalu....
"Ha... ha... ha...!"
Saat kemudian terdengar suara tawa bergerai-
gerai dari mulut Bayangan Iblis.
"Sobat lamaku, Bayangan Seribu Wajah. Aku
gembira sekali kau masih tak lupa padaku. Aku baik-
baik saja...!" sambung Bayangan Iblis yang juga guru Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah melangkah mendekat,
lalu duduk di hadapan Bayangan Iblis.
Bayangan Iblis sejenak mengembangkan cuping
hidungnya, mengendus aroma Bunga Kamboja yang
terasa menyeruak. Lalu ditatapnya Bayangan Seribu
Wajah. "Kau pasti tidak akan menyambangiku jika tak
ada masalah penting. Lagu lamamu tak bisa kau hi-
langkan! Dan ujung-ujungnya, minta pertolongan!"
sindir Bayangan Iblis.
Mendengar kata-kata Bayangan Iblis, Bayangan
Seribu Wajah seketika tersenyum seringai. Lalu pan-
dangannya beralih.
"Kali ini dugaanmu meleset, Sobat. Justru ke-
datanganku memberi kabar baik dan buruk!" tukas Bayangan Seribu Wajah.
"Kabar baik dan buruk?" ulang Bayangan Iblis sedikit keheranan. "Hm..., katakan.
Kabar apa itu?"
"Kau masih ingat pada kakak seperguruanku?"
Bayangan Seribu Wajah malah bertanya, setelah se-
kian lama terdiam.
"Manusia jelek tak berhidung itu?" tukas
Bayangan Iblis dengan senyum mengejek. Tawanya di-
tahan, membuat mulutnya yang selalu bergerak-gerak
menjadi peot. "Kenapa dengan dia...?"
Bayangan Seribu Wajah tak langsung menja-
wab. "Kau masih ingat akan bumbung bambu milik kakak seperguruanku yang pernah
kuceritakan dahulu?" kembali Bayangan Seribu Wajah, balik bertanya.
"Kenapa dengan bumbung bambu itu?" tanya
Bayangan Iblis.
Bayangan Seribu Wajah membesarkan sepa-
sang matanya. "Kau dari dulu tetap saja bodoh! Jawab saja, ya atau tidak!" sergah Bayangan
Seribu Wajah. "Ha... ha... ha...!"
Bayangan Iblis tertawa ngakak. Namun menda-
dak tawanya berhenti tiba-tiba, ketika....
"Bumbung bambu itu telah diberikannya pada
manusia yang tersohor dengan gelar Pendekar Mata
Keranjang 108!" lanjut Bayangan Seribu Wajah dengan suara sedikit dikeraskan.
Bayangan Iblis terperangah sesaat. Mulutnya
berhenti bergerak. Sepasang matanya yang terpuruk
membelalak lebar.
"Kau tidak bercanda, Sobat"!" tanya Bayangan Iblis. Yang ditanya malah
menggeleng. Lalu ditariknya napas panjang seakan melepas beban berat yang
menindih dadanya.
Sementara melihat tingkah sobat lamanya,
Bayangan Iblis tersenyum sinis.
"Hanya sebuah bumbung bambu butut, apanya
yang perlu dicemaskan..." Apakah kau telah dengar,
jika kitab pusaka dan kipas hitam ciptaan Empu Jala-
dara yang bertahun-tahun diperebutkan tokoh-tokoh
rimba persilatan, kini telah tergenggam muridku yang berjuluk Malaikat Berdarah
Biru?" kata Bayangan Iblis bernada angkuh.
"Tentu saja aku mendengarnya!" jawab Bayangan Seribu Wajah.
"Kitab serta kipas hitam itu adalah kitab pusa-
ka sakti yang tak ada tanding di dunia. Lantas, kenapa kau begitu cemas"
Berbekal benda pusaka itu, Pendekar Mata Keranjang 108 akan bertekuk lutut!"
tandas Bayangan Iblis, mantap.
Bayangan Seribu Wajah kembali menarik napas
panjang. "Ucapanmu tidak benar, Sobatku!" kata Bayangan Seribu Wajah. "Kedua kitab dan
kipas ciptaan Empu Jaladara tidak akan ada apa-apanya, dibanding
isi bumbung bambu itu!"
"Ha... ha... ha...!"
Bayangan Iblis tertawa gelak-gelak mendengar
keterangan Bayangan Seribu Wajah.
"Kau terlalu percaya omong kosong yang belum
terbukti kebenarannya!" tukas Bayangan Iblis, sedikit pongah.
"Terserah padamu, bagaimana kau mengata-


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kannya. Aku hanya memberi kabar!" sergah Bayangan Seribu Wajah. "Hm..., hal itu
lupakan saja. Aku ingin bertanya padamu. Di luar, aku melihat Sepasang Iblis
Pendulang Sukma. Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka sedang berlatih untuk menjadi pem-
bantu-pembantuku!"
Tiba-tiba sebuah suara menjawab, membuat
wajah Bayangan Seribu Wajah berpaling ke samping.
Tampak Malaikat Berdarah Biru berdiri tegak
berkacak pinggang. Sementara sepasang matanya me-
mandangi Bayangan Seribu Wajah dengan tatapan liar.
Lalu kakinya melangkah mendekat.
"Hm.... Aku yakin, inilah murid Bayangan Iblis.
Seorang pemuda yang bergelar Malaikat Berdarah Bi-
ru!" kata batin Bayangan Seribu Wajah, membalas tatapan Malaikat Berdarah Biru.
"Anak Agung!" panggil Bayangan Iblis pada Malaikat Berdarah Biru yang bernama
asli Anak Agung.
"Inilah tokoh yang pernah kuceritakan dahulu!"
Sambil berkata, Bayangan Iblis mengarahkan
pandangan pada Bayangan Seribu Wajah.
"Aku sudah tahu. Dan aku juga mendengar apa
yang tadi dikatakannya mengenai bumbung bambu
yang kini ada di tangan Pendekar Mata Keranjang
108...!" sahut Malaikat Berdarah Biru.
"Hm.... Lantas, apa pendapatmu?" tanya
Bayangan Iblis.
"Aku tak percaya omong kosong itu!" jawab Malaikat Berdarah Biru dengan rahang
mengembang. Raut muka laki-laki ini mengisyaratkan keang-
kuhan. Bibirnya menyungging seulas senyum sinis.
Dia merasa kitab dan kipas hitam di tangannya mele-
bihi dari apa pun.
"Waktulah yang nanti akan menyaksikan. Pu-
saka mana yang kelak lebih hebat!" lanjut Malaikat Berdarah Biru, pongah.
Bayangan Seribu Wajah hanya mengangguk
"Manusia sombong! Bukan hanya waktu, siapa
pun kelak akan menyaksikan. Dan kau baru akan me-
nyadari kebodohanmu!" kata Bayangan Seribu Wajah dalam hati.
Sejenak ketiga orang ini saling diam.
"Muridku! Kehebatanmu sekarang memang tak
perlu diragukan lagi. Tapi, kupikir tidak ada salahnya jika kita mulai dini
menyelidik tentang kebenaran apa yang dikatakan sobatku ini..!" kata Bayangan
Iblis, memecah keheningan.
Bayangan Seribu Wajah tersenyum sinis seraya
menggumam, membuat Malaikat Berdarah Biru ber-
paling memandang ke arahnya.
"Kau tak perlu khawatir, Guru! Aku sudah me-
merintahkan Putri Tunjung Kuning untuk mengikuti
gerak langkah Pendekar Mata Keranjang 108. Kalau
bisa, sekaligus kuperintahkan untuk membunuhnya!"
kata Malaikat Berdarah Biru sambil terus melirik dada Bayangan Seribu Wajah.
Seperti tak ingin terganggu mata Malaikat Ber-
darah Biru terus menjilati tubuh menggiurkan itu.
"Hm... Perempuan ini benar-benar menggoda.
Dadanya membusung kencang. Pinggulnya besar serta
tampak padat. Kulit putih serta wajah jelita. Bentuk yang menjanjikan
kenikmatan...."
Merasa dirinya dipandangi, Bayangan Seribu
Wajah tersenyum. Lalu kepalanya mendongak. Diperli-
hatkan lehernya yang jenjang.
"Malaikat Berdarah Biru! Pendekar Mata Keran-
jang 108 tak gampang ditaklukkan. Apalagi hanya
dengan seorang perempuan macam Putri Tunjung
Kuning. Kalau kau betul-betul ingin membuatnya ber-
tekuk lutut, setidaknya harus menugaskan beberapa
orang. Dan itu harus kau lakukan secepatnya...!" jelas Bayangan Seribu Wajah.
"Muridku, tak salah apa yang diucapkannya!"
timpal Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru berpaling.
"Aku sudah berpikir ke arah sana! Dan malam
ini, orang yang bertugas itu akan datang...!"
"Siapa mereka..."!" tanya Bayangan Iblis.
"Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berju-
bah. Juga kedua orang yang kini sudah di pelataran
candi!" jelas Malaikat Berdarah Biru.
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma, maksud-
mu?" kali ini yang bertanya Bayangan Seribu Wajah.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk. Sementa-
ra gurunya mengeluarkan tawa mengejek. Dan ini
membuat rahang sang murid mengembung dengan
muka merah padam.
"Guru...!" kata Malaikat Berdarah Biru pula.
"Kau tak perlu mencemooh begitu rupa. Aku tak akan menugaskan seseorang, jika
tidak tahu ketinggian il-munya!"
"Hm.... Bagus jika demikian. Sekarang, jemput-
lah para temanmu itu!"
Malaikat Berdarah Biru terdiam beberapa lama.
Matanya tak henti-henti memandangi Bayangan Seribu
Wajah. Sang guru yang tahu apa yang terkandung da-
lam benak muridnya, tertawa pendek.
"Muridku! Kedatangan Bayangan Seribu Wajah
kemari untuk membantumu. Jadi, untuk beberapa
waktu dia akan berada di sini!" kata Bayangan Iblis sambil mengerling.
Belum yakin apa yang diucapkan gurunya, Ma-
laikat Berdarah Biru menatap lekat-lekat Bayangan
Seribu Wajah seakan minta kepastian.
Sementara Bayangan Seribu Wajah tersenyum
seraya mengangguk.
"Seperti halnya kau, aku pun mempunyai seng-
keta dengan Pendekar Mata Keranjang 108. Jadi kita
satu jalan. Aku akan tetap di sini, sampai segala cita-citaku tercapai!" jelas
Bayangan Seribu Wajah.
Pedang Angin Berbisik 23 Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Sakti Im Yang 5
^