Pewaris Pusaka Hitam 3
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam Bagian 3
lesat ke depan, membuat Dayang Lembah Neraka dan
Putri Tunjung Kuning cepat mengundurkan kaki mas-
ing-masing satu tindak ke belakang, menghindari. Sementara Tengkorak Berjubah
yang masih terkapar tak
bisa menghindar, terseret hampir satu tombak.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning diam-diam jadi terkesiap. Kali ini mereka merasa sedang berhadapan dengan
orang yang bertenaga
dalam tinggi. Karena angin sambaran jubahnya saja,
telah mampu menyeret tubuh Tengkorak Berjubah
hingga satu tombak. Sementara bias angin sambaran-
nya, masih terasa hangat di depan wajah mereka.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning saling berpandangan. Namun sebelum ada
yang sempat bicara, kepala Malaikat Berdarah Biru
mendongak. "Kulihat mulut gua itu berantakan. Berarti, di antara kalian ada yang telah
berusaha memasukinya.
Apakah di antara kalian telah ada yang berhasil mendapatkan benda pusaka itu"!"
kata Malaikat Berdarah Biru, keras.
"Hi... hi... hi...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa mengikik. Se-
belah matanya mengerdip.
"Kulihat matamu tidak buta, Bocah Tampan!
Seharusnya tanpa bertanya, kau telah tahu!" ejek Dayang Lembah Neraka.
Paras Malaikat Berdarah Biru merah padam.
Dagunya yang kokoh dan keras terangkat mengem-
bang. Gerahamnya bergemeletak.
"Tua bangka! Sekali lagi keperingatkan. Di ha-
dapanku, kau tak berhak untuk berkata selain menja-
wab pertanyaanku!" gertak Malaikat Berdarah Biru.
"Bocah mulut besar! Kau rupanya belum tahu,
sedang berhadapan siapa kali ini..."!" Dayang Lembah Neraka balas membentak.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru meme-
jamkan kedua matanya. Kepalanya menengadah ke
atas. Mendadak...
"Ha... ha... ha...!"
Dari mulut Malaikat Berdarah Biru tiba-tiba
terdengar suara tawa keras dan panjang, membuat ka-
ki bukit itu sedikit bergetar. Bahkan, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning sampai terkejut se-
tengah mati. Namun raut wajah mereka tak menun-
jukkan rasa takut sama sekali. Tapi tak urung keduanya sedikit mengerahkan
tenaga dalam untuk menin-
dih suara tawa yang begitu menusuk telinga.
Sementara itu Tengkorak Berjubah yang masih
tergeletak, kedua telinganya terlihat bergerak-gerak terkena bias suara tawa
Malaikat Berdarah Biru. Kedua kakinya lantas bergerak, sedikit melejang-lejang dan tangannya seperti hendak menggapai. Kepalanya
bergoyang ke samping kiri dan kanan. Lalu dengan
erangan sengau, dia bangkit duduk. Sepasang ma-
tanya menatap tajam ke depan. Sebentar mata itu me-
nyipit, lalu membesar liar.
"Hm.... Pemuda tampan mengenakan jubah to-
ga warna merah...," kata batin Tengkorak Berjubah.
"Walau belum pernah bertemu, melihat ciri-ciri pemuda ini, aku bisa memastikan
kalau pemuda inilah ma-
nusia yang bergelar Malaikat Berdarah Biru, anak didik sobat lamaku Bidadari
Telapak Setan yang kabar-
nya telah tewas...."
Sejenak Tengkorak Berjubah menghentikan ka-
ta hatinya. Pandangannya lantas beralih pada Dayang Lembah Neraka.
"Betina ini tadi telah melepaskan pukulan me-
matikan padaku. Dan tentunya tak ada yang menye-
lamatkan nyawaku selain pemuda itu!" lanjut Tengkorak Berjubah.
Pandangan laki-laki berwajah tengkorak lantas
kembali pada Malaikat Berdarah Biru
"Orang muda gagah! Kalau tak salah, bukan-
kah kau yang bergelar Malaikat Berdarah Biru...?" du-ga Tengkorak Berjubah, di
tengah suara tawa Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru menghentikan tawanya.
Lalu kepalanya berpaling pada Tengkorak Berjubah.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tak
ada dirimu, betina itu sudah pasti perpesta pora di atas mayatku!" sambung
Tengkorak Berjubah, seraya meluruskan jari telunjuknya yang tak berdaging pada
Dayang Lembah Neraka.
Mendengar Tengkorak Berjubah menyebut gelar
pemuda berjubah merah itu, Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning kontan terkejut.
Sementara itu, Malaikat Berdarah Biru hanya
menyeringai. "Aku menolongmu, karena aku masih membu-
tuhkan jawaban langsung dari mulutmu! Jika tidak,
aku lebih senang melihat tubuhmu benar-benar jadi
tengkorak!" sahut Malaikat Berdarah Biru.
Tulang dan otot-otot di wajah Tengkorak Berju-
bah bergerak-gerak, pertanda menahan luapan ama-
rah. Namun sebentar kemudian dari tulang bibirnya
keluar suara sengau perlahan.
"Malaikat Berdarah Biru!" seru Tengkorak Berjubah begitu tawanya lenyap.
"Seandainya kau tidak menyelamatkan selembar nyawaku, dan mengingat
persahabatanku dengan gurumu, si Bidadari Telapak
Setan, mulutmu pasti kurobek-robek!"
"Oh, begitu...?"
Malaikat Berdarah Biru membelalakkan sepa-
sang matanya. Kepalanya manggut-manggut. Tapi se-
saat kemudian bibirnya tersenyum sinis.
Tengkorak Berjubah merasakan gelagat tidak
baik, maka segera kakinya melangkah ke arah Malai-
kat Berdarah Biru.
"Di antara kita tidak ada silang sengketa. Sekarang, menyingkirlah! Aku akan
menyelesaikan betina
itu!" ujar Tengkorak Berjubah, seraya mengarahkan
pandangan pada Dayang Lembah Neraka.
"Sementara untuk yang muda itu, tidakkah kau
berkeinginan menikmati kehangatannya..." Lihat! Tu-
buhnya begitu mempesona!"
Wajah Putri Tunjung Kuning merah padam.
Sementara Dayang Lembah Neraka kontan menggeru-
tukkan rahangnya yang keras. Lalu....
"Hiaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Dayang Lembah Ne-
raka menghantamkan kedua tangannya, melepaskan
pukulan jarak jauh ke arah Tengkorak Berjubah.
Werr...! Berlarik-larik sinar berhawa panas langsung
melesat ke arah Tengkorak Berjubah.
Sementara, laki-laki berwajah tengkorak itu
hanya menggerak-gerakkan bibirnya tersenyum men-
gejek. Lantas kedua tangannya ditarik ke belakang.
Dan dengan perlahan-lahan didorongnya ke depan,
memapak sinar berhawa panas yang keluar dari tela-
pak Dayang Lembah Neraka.
Daarr! Bentrok dua pukulan yang bertenaga dalam
tinggi tak terelakkan lagi. Suaranya kontan membun-
cah kaki bukit. Tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
jengkang dan jatuh terduduk. Sementara Tengkorak
Berjubah hanya terseret lima langkah ke belakang.
Dan tanpa menunggu lama lagi, perempuan tua itu te-
rus bangkit. Sedangkan Tengkorak Berjubah melang-
kah maju dua tindak.
"Untuk bertarung jarak jauh, memerlukan te-
naga dalam banyak. Sementara tubuhku terluka, aku
harus memperpendek jarak dan mengajaknya berta-
rung secara langsung!" kata batin Dayang Lembah Neraka.
Mendadak tubuh perempuan itu berputar-
putar. Sejenak, tubuhnya hilang dari pandangan. Dan tahu-tahu kedua tangannya
melesat ke arah kepala
Tengkorak Berjubah.
Bet! Bet! Tengkorak Berjubah yang telah waspada segera
menarik sedikit kepalanya ke belakang, membuat han-
taman kedua tangan Dayang Lembah Neraka hanya
lewat satu jengkal menerpa tempat kosong.
Sambil menghindari dari hantaman kaki kanan
Tengkorak Berjubah yang tertutup jubah hitamnya
bergerak memutar. Langsung dihantamnya selangkan-
gan Dayang Lembah Neraka.
"Tua bangka jorok!" bentak Dayang Lembah Neraka, cepat menarik kembali kedua
tangannya, lang-
sung disentakkannya kedua tangan itu ke kaki Teng-
korak Berjubah yang mengarah pada selangkangan.
Plak! Plak! Maka pertempuran jarak dekat seperti yang di-
inginkan oleh Dayang Lembah Neraka tidak terelakkan lagi. Sementara itu di lain
pihak, Malaikat Berdarah Biru yang sedari tadi hanya mengawasi pada Dayang
Lembah Neraka, mengalihkan pandangan pada Putri
Tunjung Kuning yang juga sedang memperhatikan per-
tarungan. "Hm.... Tubuh gadis itu memang menggiurkan.
Tapi, aku harus mendahulukan urusan benda pusaka
itu! Namun..., tak ada salahnya jika terlebih dahulu menjinakkannya, biar
setelah urusan benda pusaka
selesai, aku tak usah repot-repot menggaetnya!" gumam batin Malaikat Berdarah
Biru. Habis berpikir begitu, pemuda ini segera men-
dorongkan telapak tangannya ke arah Putri Tunjung
Kuning. Wess...!
Serangkum angin yang melingkar-lingkar ber-
warna kebiruan langsung melesat ke depan. Inilah pukulan sakti yang berhasil
dipelajari Malaikat Berdarah Biru dari Bayangan Iblis yang disebut pukulan
'Badai Biru'. Putri Tunjung Kuning yang masih berdiri tegak kontan tersadar
dengan adanya bahaya. Kepalanya cepat berpaling, dan langsung tertegun. Sepasang
ma- tanya lantas menyengat tajam pada Malaikat Berdarah Biru. "Setan alas!" bentak
Putri Tunjung Kuning.
Gadis ini cepat menghentakkan kedua tangan-
nya, memapak lingkaran angin berwarna kebiruan.
Namun mendadak dia kaget. Serangan kedua tangan-
nya ternyata mental balik ke arahnya.
"Hih!"
Dengan sebisanya Putri Tunjung Kuning mem-
buang diri ke samping, dan langsung merebahkan diri di atas tanah. Kemudian
dengan cepat bangkit kembali.
Namun baru saja bangkit, Malaikat Berdarah
Biru telah berkelebat cepat. Bahkan dengan cepat pula pemuda itu menggerakkan
tangan kirinya menusuk
dada Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning menarik tubuhnya ke be-
lakang. Tapi saat itu juga, Malaikat Berdarah Biru telah menyapukan kakinya
menggaet kaki Putri Tunjung
Kuning. Pak! "Aah...!"
Brukk! Maka tak ampun lagi Putri Tunjung Kuning ter-
jengkang ke belakang dan terkapar telentang di atas tanah. Dan sebelum sempat
gadis itu bangkit, tangan kiri Malaikat Berdarah Biru bergerak cepat menotok.
Tuk! Tuk! Saat itu juga Putri Tunjung Kuning merasakan
tubuhnya tak berdaya lagi. Matanya hanya mampu
melotot, tak suka dengan perlakuan Malaikat Berdarah Biru. "Keparat! Jangan
harap kau bisa melakukan kehendakmu!" rutuk Putri Tunjung Kuning. Kata-kata itu
hanya bisa sampai di tenggorokan karena pita suaranya juga tertotok. Padahal
mulutnya sudah terbuka lebar. Malaikat Berdarah Biru melangkah mendekat.
Sepasang matanya menjilati seluruh tubuh Putri Tun-
jung Kuning yang pakaiannya telah robek di sana sini.
Bahkan sebagian robek besar di bagian dada, mem-
buat payudara kencang dan putih milik gadis itu yang bergerak turun naik
terlihat jelas menantang.
Pemuda berjubah merah ini jongkok. Lalu da-
gunya diusap-usap dengan mata tak kedip menatap
dada Putri Tunjung Kuning.
"Tunggulah, Manis! Masih ada urusan yang ha-
rus kuselesaikan. Setelah itu, kita bersenang-senang!"
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru bangkit
dan berkelebat ke arah mulut gua. Dan baru saja se-
pasang kakinya menjejak di depan mulut gua, dari dalam terdengar suara desisan
yang disusul menghen-
taknya getaran-getaran dahsyat.
"Hm.... Keparat-keparat itu pasti terkena getaran-getaran aneh ini...!" gumam
Malaikat Berdarah Bi-ru. "Aku harus berhati-hati. Mereka saja tak mampu
menaklukkan getaran ini. Padahal, mereka bukan tokoh sembarangan!"
Sambil berpikir, cepat-cepat Malaikat Berdarah
Biru meloncat ke samping. Dan dengan sikap waspada
sebentar kemudian kakinya kembali melangkah ke
mulut gua dari arah samping.
Pemuda berjubah merah ini segera memalang-
kan tangan kanannya ke mulut gua.
Tak menunggu lama, dari dalam gua terdengar
desisan dahsyat disusul menghentaknya getaran-
getaran dahsyat. Secepat kilat Malaikat Berdarah Biru menarik tangan kanannya
kembali. Dia berpikir sejenak. Sepasang matanya memandang ke samping, ke
arah Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah
yang masih terlibat pertempuran sengit. Lalu matanya beralih pada Putri Tunjung
Kuning yang telentang
dengan tubuh tegang kaku.
"Peduli setan! Akan ku coba melayaninya den-
gan 'Badai Biru'!" gumam Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda berjubah merah ini segera memu-
satkan tenaga dalamnya pada kedua tangan dan ka-
kinya. Dan didahului dengan teriakan lantang, tubuhnya melesat masuk ke dalam
gua. Kedua tangannya
sedikit ditarik ke belakang, lalu didorong ke depan.
Sementara kedua kakinya tampak amblas ke bawah
hingga mata kaki.
Werrr...! Saat itu juga angin melingkar-lingkar berwarna
kebiruan menghentak ke depan. Dan bersamaan den-
gan itu, dari dalam terdengar suara desisan dahsyat disusul menghentaknya
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
getaran-getaran dahsyat.
Dan.... Blamm...!
Terdengar dentuman membahana ketika angin
berwarna kebiruan terhadang suara desiran dan geta-
ran-getaran. Lorong gua itu semakin bergetar. Semen-
tara tubuh Malaikat Berdarah Biru hampir ambruk
terhantam bias getaran-getaran dalam lorong gua yang mencoba dibendungnya.
"Celaka!" maki Malaikat Berdarah Biru. "Getaran ini sepertinya dikendalikan
tenaga dahsyat. Berarti...." Malaikat Berdarah Biru tak bisa meneruskan kata
hatinya. Karena saat itu, dari dalam gua terdengar suara desisan disusul
getaran-getaran yang mem-
buat tubuhnya mulai goyah.
Wuss! Sebelum tubuhnya tumbang ke lorong, Malai-
kat Berdarah Biru masih sempat melihat samping ka-
nan dan kiri lorong gua yang tampak berlobang-
lobang. "Lobang-lobang ini pasti digunakan untuk menghindari getaran-getaran
ini. Hup!"
Malaikat Berdarah Biru cepat melesat masuk
ke dalam salah satu lobang di lorong gua.
Saat tidak lagi merasakan adanya getaran, pe-
muda berjubah merah ini segera meloncat ke lobang
diseberang. Demikian seterusnya, hingga dia bisa
mencapai ujung lorong yang bercahaya kemerahan dan
terasa hangat. "Hm.... Pada lompatan terakhir tadi, getaran
sudah tidak lagi terasa. Berarti di sini telah aman...."
Berpikir begitu, Malaikat Berdarah Biru segera
melesat keluar dari lobang paling ujung. Lalu mantap sekali kakinya menjejak
lantai ruangan yang bercahaya kemerahan. Namun mendadak sepasang matanya
terbeliak lebar.
"Hm.... Binatang laknat ini rupanya biang ken-
dali getaran-getaran itu!" gumam Malaikat Berdarah Biru dengan rahang
mengembang. Pemuda ini mengedarkan pandangan ke sekelil-
ing, menyapu ruangan.
"Bayangan Iblis mengatakan, kedua benda pu-
saka itu berada di sini. Namun aku tak menemukan
tanda-tanda adanya kedua benda tersebut. Jangan-
jangan aku menemukan jalan buntu lagi! Sialan...!" rutuk batin Malaikat Berdarah
Biru. Pemuda berjubah merah ini melangkah sambil
memperhatikan setiap jengkal ruangan dengan seksa-
ma. "Benar-benar keparat si Bayangan Iblis! Dia telah menipuku!" dengus Malaikat
Berdarah Biru. Pandangan pemuda itu kembali pada Ular Na-
ga. Dan mendadak, bibirnya dikatupkan rapat-rapat
dengan mata terbelalak. Sesaat kemudian senyumnya
mengembang. Kakinya lantas melangkah lebih dekat
lagi ke arah Ular Naga. Sementara matanya tak berkedip menatap pada dua benda
yang menancap di atas
kepala binatang aneh itu.
"Dua benda itu pasti dua pusaka yang selama
ini kuidam-idamkan! Berarti kata-kata si Bayangan Iblis bisa dipercayai!" kata
Malaikat Berdarah Biru.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru mengi-
baskan jubahnya. Tubuhnya langsung melenting ke
atas hendak menyambar kitab dan kipas yang berada
di kepala Ular Naga.
Namun Malaikat Berdarah Biru terperanjat. Be-
gitu kedua tangannya telah mencekal, kedua benda itu tak kuasa dicabut! Bahkan
hatinya menjadi tegang ketika mendengar suara desisan dan asap hitam redup
berkilat-kilat keluar dari tubuh Ular Naga, menuju ke arahnya.
"Ular Naga jahanam!" maki Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini segera melepaskan cekalan tangan-
nya pada kitab dan kipas. Namun hatinya tambah te-
gang, karena kedua tangannya ternyata bagai lengket dari tak bisa dilepas.
Dengan membuat keputusan
yang cepat Malaikat Berdarah Biru segera memutar
tubuhnya, menghindari sambaran asap hitam redup.
Wusss! Brett! Tubuh Malaikat Berdarah Biru selamat dari
hantaman telak asap hitam. Tapi tak urung jubahnya
tersambar dan robek memanjang. Keringat dingin mu-
lai membasahi tubuhnya. Namun karena tekadnya su-
dah bulat, apalagi jika teringat Pendekar Mata Keranjang 108, maka tak ada kata
menyerah baginya.
"Apa boleh buat" Aku harus melumpuhkan bi-
natang laknat ini!" desis Malaikat Berdarah Biru seraya menghantamkan kedua
kakinya ke kepala Ular Naga.
Bukk! Bukk! Begitu terhantam dua kali, kepala Ular Naga
sedikit terhempas. Sehingga membuat cekalan kedua
tangan Malaikat Berdarah Biru terlepas. Tapi sesaat kemudian, terdengar suara
desisan yang disusul asap hitam redup mengeluarkan suara gemuruh, menggebrak ke
arah Malaikat Berdarah Biru yang sedang me-
layang turun. Menyadari adanya bahaya, Malaikat Berdarah
Biru cepat memutar tubuhnya. Maka sekejap kemu-
dian tubuhnya berkelebat cepat, lenyap dari pandan-
gan. Sementara asap hitam redup terus melesat dan
menghantam dinding ruangan.
Bumm! Dinding ruangan dalam gua yang terbuat dari
tanah keras itu kontan terbongkar, meninggalkan lo-
bang menganga. Begitu menjejak kembali di atas tanah lantai
ruangan, Malaikat Berdarah Biru jadi bergidik. Bongkaran tanah bekas hantaman
asap hitam tadi menjadi
merah seperti tanah tergarang jilatan api.
Selagi pemuda yang bernama asli Anak Agung
ini tercengang, asap hitam redup kembali melesat!
Namun dia tetap waspada. Maka segera jubahnya yang
telah robek ke belakang dikibaskan. Lalu, kedua tangannya dihantamkan ke depan.
Wess...! Werr...! Dari tangan kanan Anak Agung langsung mele-
sat selarik sinar merah berkilat. Sedangkan dari tangan kirinya keluar lingkaran
angin menderu berwarna kebiruan. Inilah pukulan maut perpaduan antara
'Serat Jiwa' dengan 'Badai Biru'.
Blarrr...! Didahului suara menggelegar dahsyat di dalam
ruangan gua ini, serentak berpendaran beberapa ca-
haya bagai kembang api. Ruangan ini benar-benar
berguncang hebat, ketika dua pukulan Malaikat Ber-
darah Biru bentrok dengan asap hitam redup dari Ular Naga. Dinding ruangan
rengkah dan berhamburan.
Tubuh Ular Naga yang melipat melingkar ke atas se-
rentak menggeloso, membentuk lingkaran besar den-
gan dua lipatan ke atas. Dari mulutnya terdengar sua-ra mendesis. Sementara
tubuh Malaikat Berdarah Biru sendiri terhuyung-huyung, namun cepat keseimbangan
dirinya terkuasa. Dan sebelum asap hitam redup
kembali menyambar, kedua tangannya telah dihan-
tamkan. Dess! Dess! Tubuh Ular Naga menggeliat keras, dan me-
lengkung tinggi ke udara. Tak terdengar lagi suara de-
sisan, walau mulut binatang ini membuka.
Menyangka Ular Naga akan segera roboh lalu
tewas, Malaikat Berdarah Biru tertawa gelak-gelak.
Namun mendadak suara tawanya lenyap, ketika ekor
Ular Naga telah bergerak cepat melesat membentuk
lengkungan ke arahnya.
Wuutt...! "Hiaaa...!"
Disertai teriakan marah, Malaikat Berdarah Bi-
ru melesat ke udara menghindari sabetan ekor Ular
Naga. Lalu segera dilepaskannya pukulan 'Serat Jiwa'
ke arah kepala Ular Naga dan pukulan 'Badai Biru' ke arah ekor Ular Naga.
Wess...! Werr...! Dess...! Pukulan 'Badai Biru' telak menghantam ekor
Ular Naga, hingga mental balik dan menghantam dind-
ing gua. Dan justru inilah yang menyelamatkan kepala Ular Naga dari hantaman
tangan Malaikat Berdarah
Biru yang telah melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'. Namun demikian, karena ekornya
menghantam dinding,
membuat tubuh Ular Naga itu melengkung ke atas.
Kemudian binatang itu menukik ke samping memben-
tur dinding ruangan.
Glarrr...! Ruangan kembali bergetar hebat. Dinding yang
terhempas ekor dan tubuh Ular Naga kontan porak po-
randa. Tanah-tanah beterbangan, menutupi peman-
dangan. Begitu keadaan terang kembali, sosok Ular Na-
ga telah menggeloso memanjang dengan kepala miring
di atas lantai ruangan gua. Sebentar sepasang mata
merahnya meredup, lalu memejam. Hingga, ruangan
itu kini ditikam kegelapan.
Malaikat Berdarah Biru segera duduk bersila.
Kedua tangannya menakup di depan dada. Bibirnya
berkemik-kemik. Dan, terjadilah sesuatu yang hampir tak dapat dipercaya. Tubuh
pemuda berjubah merah
itu perlahan-lahan berubah putih berkilau. Sehingga, membuat ruangan gua itu
kembali terang benderang.
Inilah jurus milik Bayangan Iblis yang telah dikua-
sainya, yakni jurus 'Badai Perak'.
Malaikat Berdarah Biru segera bangkit. Semen-
tara tubuhnya tetap memancarkan cahaya putih berki-
lau. Kakinya melangkah perlahan, mendekati kepala
Ular Naga. Seperempat tombak didekat kepala Ular
Naga, dia berhenti. Tubuhnya lantas membungkuk,
mengawasi kitab dan kipas yang masih menancap. La-
lu kedua tangannya menjulur, menggapai kedua benda
pusaka itu. Aneh! Begitu kedua tangan Malaikat Berdarah
Biru menjamahnya, kedua benda pusaka itu begitu sa-
ja luruh. Cepat ditariknya pulang kedua tangannya
yang telah menggenggam kitab dan kipas.
"Aku berhasil!" desis Malaikat Berdarah Biru agak bergetar.
Pemuda berjubah merah ini lantas melangkah
mundur dengan tubuh menggigil gemetar. Lima tom-
bak dari bangkai Ular Naga, Malaikat Berdarah Biru
berhenti dan langsung mengambil sikap duduk bersila.
Kipas yang ada di tangan kanannya diletakkan di
pangkuannya. Lalu dengan tangan masih gemetar di-
periksanya kitab yang ada di tangan kiri.
Kitab itu ternyata terdiri dari lima lembar, ter-
buat dari kulit. Pada sampulnya tidak terdapat nama.
Dan melihat keadaan lembaran kulit kitab yang ujung-ujungnya telah lapuk, besar
dugaan kalau usianya
demikian tua. Dengan mata membesar, Malaikat Berdarah Bi-
ru mulai memeriksa bagian dalam kitab, yang ternyata berisi gambar-gambar dengan
sedikit keterangan di
bawahnya. "Lukisan yang menggambarkan jurus-jurus si-
lat!" kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini menutup kembali kitab dan mema-
sukkannya ke balik jubahnya. Sepasang matanya me-
natap kipas lipat di pangkuannya. Dengan dada berdetak kencang, perlahan-lahan
dibukanya lipatan kipas.
Begitu kipas terpentang, secercah cahaya hitam
redup melesat menerobos dada Malaikat Berdarah Bi-
ru. Tubuhnya kontan bergetar hebat. Jalan napasnya
bagai tersumbat. Sementara matanya mendadak ber-
kunang-kunang, lalu gelap. Dan tubuh Malaikat Ber-
darah Biru yang tadi memancarkan sinar putih berki-
lau perlahan meredup!
Namun tak lama kemudian, tubuh Malaikat
Berdarah Biru seperti biasa kembali.
"Apa yang terjadi dengan diriku...?" bisik Malaikat Berdarah Biru. Sepasang
matanya dikucak-kucak.
Dan tiba-tiba, matanya menjadi lebih terang.
Malaikat Berdarah Biru segera memeriksa kipas
yang kini terpentang di hadapannya. Menilik bentuk
kipas yang berwarna hitam, pemuda ini jadi heran. Karena ujung sebelah kiri
kipas seperti terpangkas, seakan-akan kipas itu belum selesai dibuat.
Malaikat Berdarah Biru langsung saja mengi-
baskan kipas di depan dadanya.
Werr...! Serangkum angin kencang kontan melesat dis-
ertai hawa panas menyengat searah kibasan kipas.
Malaikat Berdarah Biru terlongong. Namun sesaat ke-
mudian bibirnya tersenyum. Lalu cepat-cepat dilipatnya kembali kipas itu dan
dimasukkan ke balik jubahnya. Sejenak matanya memandang ke sekeliling, kare-
na suara desisan kembali terdengar.
Namun, kali ini Malaikat Berdarah Biru tidak
gentar sama sekali. Dua pusaka telah berada di tan-
gannya, membuatnya percaya diri. Tapi hingga me-
nunggu agak lama, pemuda ini tak melihat asap hitam redup keluar dari tubuh Ular
Naga yang kini tampak
mulai menggeliat.
"Sebelum terjadi apa-apa, aku harus cepat tinggalkan tempat ini!"
Malaikat Berdarah Biru segera bangkit. Tubuh-
nya berbalik dan melesat melalui lorong gua. Begitu menjejak di luar gua, pemuda
ini terkejut. Sepasang matanya memandang ke sekeliling, sementara rahangnya
terangkat. *** 9 Dayang Lembah Neraka, Tengkorak Berjubah
serta Putri Tunjung Kuning telah mengurung dengan
sikap menyerang Malaikat Berdarah Biru. Segera saja pemuda berjubah merah ini
mundur dua tindak ke belakang. Sepasang matanya berputar liar, memandang
satu persatu. "Kau terkejut..., Bocah?" tegur Dayang Lembah Neraka seraya mengusap pipinya.
Bibirnya menyungging seulas senyum. "Bocah! Kau telah masuk begitu lama ke dalam
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gua. Dan kau keluar dalam keadaan selamat. Berarti, kau telah berhasil
mendapatkan dua
benda pusaka itu! Dengar! Kalau kau bersedia menye-
rahkan kedua benda itu, kau bisa pulang tanpa halangan. Bahkan bisa membawa
gadis di sebelahku!"
Sambil berkata, Dayang Lembah Neraka men-
gerling Putri Tunjung Kuning. Gadis itu membuang
muka. Paras wajahnya merah padam. Hatinya panas.
"Kau terlalu rendah menilaiku, Guru!" desis Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka mendelik. Lalu kakinya
melangkah mendekati Putri Tunjung Kuning yang to-
tokan pada tubuhnya telah dibebaskan Dayang Lem-
bah Neraka tadi.
"Muridku.... Ini hanya siasat! Kau jangan terje-bak dengan kata-kataku!" bisik
Dayang Lembah Neraka.
Sementara Malaikat Berdarah Biru mengem-
bangkan senyum, lalu meludah ke tanah.
"Bagaimana, Bocah..." Kau terima tawaranku"!"
desak Dayang Lembah Neraka.
Malaikat Berdarah Biru diam tak menjawab.
"Malaikat Berdarah Biru!" timpal Tengkorak Berjubah. "Hari sudah siang. Masalah
ini sebaiknya cepat diselesaikan. Serahkan kitab itu padaku. Kipasnya, biar
menjadi milik Dayang Lembah Neraka. Dan
kau bebas pulang. Bahkan boleh bawa perempuan sin-
tal itu!" "Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru alias Anak Agung ter-
tawa panjang dan keras. Sehingga tubuhnya bergun-
cang, seakan-akan hendak ambruk. Tapi mendadak
tanah pijakan ketiga orang yang mengurungnya perla-
han amblas ke bawah.
Serta merta Dayang Lembah Neraka, Tengkorak
Berjubah, dan Putri Tunjung Kuning mengerahkan te-
naga masing-masing, untuk menahan agar tidak ter-
bawa amblas. "Kalian semua dengar!" teriak Malaikat Berdarah Biru. "Kedua benda pusaka telah
berada di tanganku. Berarti, akulah sang pemimpin tunggal dunia
persilatan! Akulah yang menentukan nyawa kalian.
Namun untuk kali ini, nyawa kalian kuampuni. Tapi
dengan syarat, dua purnama mendatang, tepatnya pa-
da hari kedua puluh sembilan bulan kedua, kalian harus datang ke Candi
Singasari!"
Mendengar kata-kata Malaikat Berdarah Biru,
tulang rahang Tengkorak Berjubah terangkat. Sepa-
sang mata merahnya mengawasi sekujur tubuh pemu-
da itu. Seakan dia tengah mencari tahu kebenaran ka-ta-kata Malaikat Berdarah
Biru jika kitab dan kipas telah berada di tangannya. Karena dalam hati kecilnya,
Tengkorak Berjubah belum yakin benar jika Malaikat
Berdarah Biru telah berhasil mendapatkannya.
"Kalian sudah dengar! Sekarang, pergilah! Dan, tinggalkan gadis ini
bersamaku...!" ujar Malaikat Berdarah Biru, dengan senyum sinis.
"Anak iblis! Kau tak berhak memerintah. Cepat
serahkan kitab itu!" bentak Tengkorak Berjubah dengan kedua tangan mengepal.
"Benar! Dan kau bisa segera pulang membawa
tawaranku!" timpal Dayang Lembah Neraka.
Sementara Putri Tunjung Kuning diam saja.
"Hm.... Apa boleh buat" Segala cara akan ku-
tempuh, untuk merebut benda pusaka itu. Tapi aku
tidak harus menuruti kehendak Dayang Lembah Nera-
ka. Aku punya cara tersendiri!" kata hati gadis ini.
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin..., "Ka-
lian rupanya tua-tua bangka yang ingin segera mam-
pus!" Terdengar bentakan Malaikat Berdarah Biru
yang disertai hantaman kedua tangan ke arah Dayang
Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah. Tangan ka-
nannya melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'. Sedangkan
tangan kirinya melepaskan 'Badai Biru'. Maka sebentar kemudian tempat itu tambah
terang namun berhawa
panas. Karena tidak menduga, membuat Dayang Lem-
bah Neraka dan Tengkorak Berjubah tidak sempat lagi melepaskan serangan
tangkisan. Maka mereka hanya
bisa menghindar, dengan meloncat ke samping kiri dan kanan. Namun keduanya
seakan tak percaya. Ternyata
larikan sinar warna merah serta hembusan angin ber-
warna kebiruan yang keluar dari telapak tangan Ma-
laikat Berdarah Biru, bisa berbelok dan memburu se-
perti memiliki mata.
Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berju-
bah kembali mundur. Dan serta merta, keduanya
mendorong tangan masing-masing ke depan.
Blummm! Blummm!
Terdengar dua letusan dahsyat bersahutan.
Kaki bukit ini terasa bergetar. Namun karena sama-
sama terluka akibat pertarungan sebelumnya, mem-
buat tenaga Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak
Berjubah yang keluar tidak begitu penuh. Hingga
tatkala pukulan mereka bentrok, tubuh Tengkorak
Berjubah mencelat dan melayang. Kemudian tubuhnya
jatuh terkapar di dekat dataran pasir. Sedangkan
Dayang Lembah Neraka terseret dalam keadaan du-
duk, dan terhenti saat punggungnya terhempas keras
pada sebuah pohon.
"Phuih...!"
Malaikat Berdarah Biru meludah ke tanah. Bi-
birnya menyungging senyum ejekan. Tapi, mendadak
senyumnya lenyap. Karena....
Werrr...! Mendadak dari arah samping, selarikan sinar
kuning menerabas menghantam ke arah Malaikat Ber-
darah Biru. Ternyata saat melepaskan pukulan ke
arah Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka,
diam-diam Putri Tunjung Kuning melepaskan pukulan
jarak jauh. Namun Malaikat Berdarah Biru yang sudah ke-
nyang pengalaman tidak terlihat bingung. Malah, dia tetap berdiri tegak, seakan-
akan menunggu. Satu depa lagi sinar kuning itu menggebrak, kedua tangannya
disatukan dan dihentak lurus ke depan.
Wusss! Putri Tunjung Kuning hanya mendengar suara
hembusan angin menyambar. Dan tahu-tahu, sinar
kuning yang keluar dari kedua tangan Putri Tunjung
Kuning terhenti di udara. Seolah-olah ada kekuatan
yang tak bisa ditembus pandangan mata, memben-
dung gerak laju serangan Putri Tunjung Kuning.
Paras Putri Tunjung Kuning kontan pucat pasi.
Namun kembali dilepaskannya serangan susulan. Ta-
pi, pertahanan Malaikat Berdarah Biru seakan-akan
tak bisa ditembus. Bahkan ketika tubuh pemuda itu
memutar, gumpalan-gumpalan larikan sinar kuning
bergerak membalik, menerjang ke arah Putri Tunjung Kuning. Putri Tunjung Kuning
masih coba menahan
disertai bentakan-bentakan nyaring, sambil mengem-
bangkan kedua tangannya. Namun serangannya yang
bertubi-tubi tak berarti banyak.
Melihat serangannya tak mampu lagi menjebol
pertahanan Malaikat Berdarah Biru, Putri Tunjung
Kuning cepat melesat ke samping untuk menghindar.
Namun baru saja tubuhnya tegak, sambaran angin te-
rasa menghantam.
Plasshh...! "Aakh...!"
Putri Tunjung Kuning menjerit nyaring ketika
tubuhnya roboh ke tanah.
Malaikat Berdarah Biru batuk-batuk tiga kali,
lalu melangkah mendekati Tengkorak Berjubah. Ra-
hangnya bergerak mengembang. Lima langkah lagi
sampai, kedua tangannya diangkat ke atas siap untuk melepaskan pukulan 'Serat
Jiwa'. Namun sebelum pukulan itu lepas, Tengkorak
Berjubah cepat bangkit dan jatuhkan diri di hadapan Malaikat Berdarah Biru.
"Tawaranmu kuterima! Aku akan datang ke
Singasari pada hari yang telah kau tentukan!" kata Tengkorak Berjubah, dengan
suara tersendat-sendat
parau. "Bagus! Ternyata kau masih sayang nyawamu.
Sekarang, menyingkirlah dari hadapanku! Tapi, ingat.
Pada saat yang telah kutentukan ternyata kau tidak
datang, aku akan melacakmu dan mematah-matahkan
tubuh tengkorakmu!" ancam Malaikat Berdarah Biru, seraya menatap tajam bola mata
Tengkorak Berjubah.
"Iblis jahanam!" maki Tengkorak Berjubah dalam hati.
Malaikat Berdarah Biru berbalik dan berkelebat
ke arah Dayang Lembah Neraka yang masih tampak
menggapai-gapai, berusaha mencekal batang pohon
agar tubuhnya bisa bangkit. Selagi tangannya sudah
berhasil menggapai batang pohon dan tubuhnya baru
saja terangkat duduk, Dayang Lembah Neraka terkejut bukan alang kepalang. Tiga
langkah di sampingnya,
Malaikat Berdarah Biru telah tegak berdiri dengan se-
nyum seringai, serta tangan siap melepaskan pukulan.
"Aku hanya menggertak mereka. Sayang sekali
jika tenaga mereka disia-siakan. Kelak, tenaga mereka pasti kubutuhkan!" gumam
Malaikat Berdarah Biru dalam hati.
Sementara itu Dayang Lembah Neraka yang te-
lah tak berdaya mengumpat habis-habisan dalam hati.
"Terpaksa aku harus menuruti kehendaknya.
Dengan demikian aku masih ada waktu untuk mere-
but kitab dan kipas itu! Peduli dengan Tengkorak Berjubah. Lagi pula, kurasa dia
bisa menjaga diri!"
Berpikir begitu, Dayang Lembah Neraka mena-
tap Malaikat Berdarah Biru.
"Kali ini kau menang. Dan aku menerima tawa-
ranmu!" kata Dayang Lembah Neraka, perlahan.
Malaikat Berdarah Biru meluruhkan tangannya
yang tadi hendak melepaskan pukulan. Kepalanya
mendongak ke atas. Dari mulutnya keluar suara tawa
panjang bergelak-gelak.
"Baik! Urusan kita selesai. Silakan tinggalkan tempat ini!" kata Malaikat
Berdarah Biru, tanpa memandang pada Dayang Lembah Neraka.
"Tapi...?" desis Dayang Lembah Neraka, sambil memandang pada Putri Tunjung
Kuning. Hatinya tak
tega juga melihat keadaan muridnya.
"Hm.... Soal gadis itu" Bukankah kau tadi telah menawarkan padaku"! Ha... ha...
ha...! Lekas menyingkirlah dari pandanganku, jika masih sayang
nyawa! Muridmu akan kuberikan kenikmatan tersen-
diri. Apakah kau suka melihatnya?"
Paras Dayang Lembah Neraka mengelam, na-
mun tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya telah terluka berat. Dan di satu sisi, dia
masih menginginkan kitab dan kipas. Maka dengan hati berat, tubuhnya beranjak
mendekati sebuah pohon. Diambilnya tiga lembar
daun yang agak besar. Lalu kakinya melangkah ke
pinggir dataran pasir.
Sejenak wajahnya masih dipalingkan pada Putri
Tunjung Kuning yang masih tergeletak tak sadarkan
diri. "Semoga kau bisa menjaga diri, Muridku...,"
gumam Dayang Lembah Neraka, seraya kembali me-
malingkan wajahnya ke dataran pasir. Di sana, Teng-
korak Berjubah telah tampak meluncur di atas dataran pasir menggunakan batangan
pohon sebagai alas luncur.
Perlahan Dayang Lembah Neraka mengerahkan
tenaga, mengurangi bobot tubuhnya. Dan tak lama
kemudian, dia tampak telah pula meluncur di atas dataran pasir dengan
menggunakan alas daun.
Malaikat Berdarah Biru tertawa bergerai me-
mandangi kepergian Dayang Lembah Neraka serta
Tengkorak Berjubah. Setelah keduanya tidak tampak
lagi, tubuhnya berbalik dan melangkah mendatangi
Putri Tunjung Kuning.
*** Malaikat Berdarah Biru agak lama tertidur.
Bahkan ketika sosok ramping di sampingnya mulai
menggeliat hendak bangun, dia masih pulas. Bibir
rampingnya masih nampak menyunggingkan senyum.
Senyum kepuasan.
Sosok di samping Malaikat Berdarah Biru yang
ternyata seorang gadis cantik berkulit putih dan be-rambut panjang sejenak
menatap langit-langit ruan-
gan. Dia seolah mengingat-ingat sesuatu. Lalu sepa-
sang matanya yang bulat berbinar menebar ke samp-
ing. Dan seketika terbelalak tajam. Dahinya berkerut.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak menutup bibirnya yang menganga kaget. Dan
bersamaan dengan itu, matanya menelusuri sosok Malaikat Berdarah Biru.
Raut wajah gadis ini berubah. Wajahnya segera
berpaling, karena Malaikat Berdarah Biru ternyata tak mengenakan pakaian
selembar pun. Dan gadis itu semakin tercekat tatkala mendapati dirinya ternyata
tak beda dengan Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya juga
tidak tertutup sehelai benang pun.
Gadis ini cepat menarik pakaiannya yang tam-
pak berserakan. Lalu bagian tubuhnya yang terbuka
ditutupi. "Bajingan!" rutuk gadis ini.
Mata gadis ini langsung menatap tajam Malai-
kat Berdarah Biru. Kedua bibirnya saling menggegat
rapat. Dan tak lama kemudian sepasang matanya
nampak berkaca-kaca.
"Oh! Apa yang harus kuperbuat sekarang" Ba-
jingan ini ternyata telah menggauliku! Ah! Betapa malang nasibku...," kata batin
gadis ini dengan bahu berguncang menahan isak di tenggorokannya.
Lalu sekonyong-konyong gadis ini mengha-
dapkan wajah ke arah Malaikat Berdarah Biru.
"Aku sudah kepalang kotor. Dan sebagai imba-
lannya, aku harus mendapatkan kitab dan kipas itu!"
kata batin sang gadis.
Sepasang mata gadis itu lalu menyapu ke selu-
ruh ruangan. Matanya sebentar menyipit, sebentar
mendelik. "Di mana dia menyimpan kitab dan kipas itu"
Di sini tak ada perabotan sama sekali, selain ranjang.
Sialan! Hmm.... Kalau kitab dan kipas itu tak kutemukan, lebih baik aku
bertindak sekarang. Akan kubu-
nuh dia!" gumam gadis itu.
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitu tidak menemukan yang dicari, se-
pasang mata gadis ini lantas menyengat tajam pada
Malaikat Berdarah Biru. Dan dengan dagu mengerat,
tangannya diangkat dan segera diayunkan pada wajah
Malaikat Berdarah Biru.
Namun sejengkal lagi tangan itu menghantam,
tiba-tiba tubuh Malaikat Berdarah Biru menghindar
bergerak ke samping. Hingga, hantaman tangan sang
gadis yang rupanya telah terisi tenaga dalam, menghu-jam deras ke ranjang tempat
kepala Malaikat Berdarah Biru tadi berada.
Di kejap lain, bersamaan dengan melayangnya
lawan sang gadis, tangan kanan Malaikat Berdarah Bi-ru segera bergerak cepat
ditekannya tangan sang gadis yang tadi menghantam. Hingga untuk beberapa saat,
gadis ini tak bisa berkutik.
"Hih...!"
Malaikat Berdarah Biru mendengus keras. Ma-
tanya berkilat-kilat dengan bibir menyeringai. Lalu dengan cepat tangannya
bergerak. Plaakk! Plaakk!
Pipi kanan kiri gadis ini berubah merah, terke-
na tamparan keras tangan Malaikat Berdarah Biru.
Hingga sesaat lamanya, bibir gadis ini terkatup rapat.
Lalu, wajahnya lunglai di atas ranjang.
"Jangan mimpi jika ingin membunuhku dengan
cara licik!"
Setelah sang gadis bisa menguasai diri, sepa-
sang matanya menyorot tajam pada Malaikat Berdarah
Biru. Bibirnya yang tampak membiru dan sedikit men-
geluarkan darah tampak membuka.
"Kaulah yang licik! Menggauliku dengan tak se-
nonoh!" bentak gadis ini.
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak. "Tak senonoh?" ulang pemuda ini dengan mata mengejek. "Apakah geliatan
tubuh serta erangan mulutmu yang mendesah puas...."
"Itu karena ilmu terkutukmu!" potong sang gadis.
Malaikat Berdarah Biru makin terbahak. Na-
mun tiba-tiba tawanya lenyap seketika. Matanya menelusuri tubuh gadis itu yang
sebagian terbuka.
"Putri Tunjung Kuning! Kau masih beruntung
nyawamu kuperpanjang. Malah masih merasakan ke-
nikmatan. Tapi aku memperpanjang nyawamu dengan
satu syarat. Jika kau tak setuju, saat ini juga tubuhmu akan kuremukkan!" ancam
Malaikat Berdarah Bi-ru.
Sambil berkata tangan Malaikat Berdarah Biru
mencekik leher gadis yang ternyata Putri Tunjung
Kuning. Seketika gadis itu megap-megap susah berna-
pas dan tampak pucat pasi ketakutan.
"Haram jadah! Seandainya tubuhku tidak da-
lam keadaan terluka, mungkin aku masih bisa beron-
tak... Apa harus dikata" Kali ini aku harus menga-
lah.... Akan kuturuti segala kemauannya, sambil mencari kesempatan untuk
merampas kitab dan kipas
itu...," kata batin Putri Tunjung Kuning, seraya menggapai-gapaikan tangannya.
Putri Tunjung Kuning mengangguk-anggukkan
kepala, memberi isyarat.
"Baiklah, katakan apa syarat yang kau ingin-
kan?" seru Putri Tunjung Kuning dengan suara meng-gantung di tenggorokan, ketika
Malaikat Berdarah Biru mengendurkan cekikannya, setelah menerima isyarat.
Malaikat Berdarah Biru tersenyum.
"Kau harus turuti segala perintahku! Kau den-
gar"!" ujar Malaikat Berdarah Biru.
Putri Tunjung Kuning kembali mengangguk
perlahan. "Aku akan turuti segala perintahmu. Bahkan
kemauanmu pun akan kulayani. Namun aku pun ber-
buat demikian, bukannya tanpa syarat!" sahut Putri Tunjung Kuning.
Malaikat Berdarah Biru mendengus. "Katakan!
Apa permintaanmu"!"
"Aku harus ikut mempelajari isi kitab yang ada di tanganmu!"
Malaikat Berdarah Biru membesarkan sepasang
matanya. Namun sejenak bibirnya menyungging se-
nyum. "Kalau hanya itu, kau tak usah khawatir. Kitab itu akan kuserahkan padamu,
untuk kau pelajari. Ta-pi, ingat. Hanya untuk kau pelajari, tanpa untuk kau
miliki!" "Kau tak berdusta dengan ucapanmu"!" cecar Putri Tunjung Kuning, seakan
tak percaya dengan ka-ta-kata Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru menggelengkan kepala
sambil tersenyum Lalu dengan perlahan sekali tan-
gannya bergerak menarik pakaian Putri Tunjung Kun-
ing yang hanya ditutupkan begitu saja.
Kali ini Putri Tunjung Kuning tidak berontak.
Malah, begitu tubuhnya sudah tak tertutup lagi, tangannya segera melingkar ke
pinggang Malaikat Berda-
rah Biru. Mendapati sambutan Putri Tunjung Kuning, bi-
bir Malaikat Berdarah Biru menyeruakkan senyum.
Dadanya berdegup kencang. Tubuhnya kontan panas
membara. Kedua tangannya serentak merengkuh tu-
buh Putri Tunjung Kuning. Bibirnya yang masih tam-
pak kebiruan akibat tamparan, segera dipagutnya. Dan ini membuat Putri Tunjung
Kuning sedikit mengeluarkan seruan tertahan. Namun pemuda itu seakan tak
peduli. Bibir merah merekah itu terus dilumatnya.
Untuk beberapa saat, Putri Tunjung Kuning
tampak tersengal. Namun karena sambil memagut
tangan Malaikat Berdarah Biru tak tinggal diam, gadis itu perlahan-lahan hanyut.
Bahkan erangan-erangan
halus mulai keluar dari bibir Putri Tunjung Kuning
membuat Malaikat Berdarah Biru semakin menggelora
dengan keluarkan dengusan-dengusan nafsu.
"Putri Tunjung Kuning! Kau benar-benar wanita
yang...," suara Malaikat Berdarah Biru tak berlanjut karena tertindih desahan
napasnya yang kian memburu kencang.
*** 10 Malam sudah merangkak jauh. Angin malam
mulai dingin menusuk. Namun bulatan bulan yang ti-
dak tertutup lintasan awan, membuat bumi bermandi
cahaya terang. Dalam suasana demikian, di sebuah hutan sepi
yang jauh dari perumahan penduduk, sesosok bayan-
gan hijau tampak bergerak cepat seakan ingin segera menemukan tempat untuk
menghangatkan tubuhnya
yang sudah menggigil kedinginan.
Mendadak, lari sosok hijau ini terhenti. Dia
berdiri tegak sebentar dengan mata menyapu berputar.
Telinganya bergerak-gerak, pertanda tengah menge-
rahkan panca inderanya untuk lebih jelas menangkap
suara yang sayup-sayup mengiang di pendengarannya.
"Jangkrik! Aku tak dapat menentukan sumber
suara!" gerutu sosok itu tiba-tiba.
Selagi sosok ini masih tegak termangu, dari
arah samping kanan terdengar suara gemeretak dahan
patah. Menyangka tempat itu adalah sumber suara,
sosok ini segera berkelebat ke samping kanan. Ternya-ta, yang ditemui hanyalah
luruhan dahan yang jatuh
ke bawah seperti tersambar angin kencang. Padahal
daun-daun pohon itu tak bergoyang!
Krakk...! Dan baru saja sosok ini memperhatikan luru-
han dahan, dari arah samping kiri terdengar kembali gemeretak dahan patah.
Secepat kilat sosok ini berkelebat ke samping kiri. Namun, lagi-lagi yang
ditemui hanyalah luruhan dahan saja.
"Aneh! Apakah di hutan ini ada hantunya?" ka-ta batin sosok ini.
Sosok itu lantas memperhatikan berkeliling.
Tengkuknya kontan merinding.
"Tapi, ini perbuatan manusia berkepandaian
tinggi! Tak mungkin hantu bisa meluruhkan dahan sa-
tu, tanpa sehelai daun pun yang gugur!"
Kembali sosok ini berkata-kata sendiri dalam
hati. Namun, kata hatinya tiba-tiba lenyap saat telinganya menangkap suara
cercauan seperti orang
membaca syair mantera.
Merasa sumber suara bisa ditemukan, sosok ini
cepat berkelebat ke arah sumber suara. Sampai di
tempat sumber suara, dia terperangah.
Di tengah sebuah dataran rumput yang mem-
bentuk lingkaran tidak begitu besar, tampak seorang
perempuan sedang duduk memperdengarkan suara
syair-syair mantera. Rambutnya panjang tergerai hing-ga pinggang. Pinggulnya
besar dan mempesona. Apala-
gi dibungkus pakaian ketat tipis berwarna putih tembus pandang.
Karena sosok yang mencari sumber suara
muncul dari arah belakang, maka perlahan-lahan ka-
kinya melangkah ke samping. Dari arah samping, baru terlihat agak jelas bagian
depan perempuan yang sedang duduk di tengah lingkaran dataran rumput itu.
Dada perempuan ini tampak membusung ken-
cang menantang. Namun yang membuat sosok hijau
sedikit heran, seluruh wajah perempuan itu tertutup sepotong kain putih, dan
hanya meninggalkan dua lobang pada matanya.
"Hm.... Melihat bentak tubuhnya, pasti dia mu-
da! Sedang apa dia..." Merapal aji-aji..." Tapi, lebih baik aku tak
mengganggunya! Aku akan meneruskan
perjalanan ke pesisir utara. Gelombang ombaknya te-
lah terdengar dari sini, berarti sudah tidak jauh lagi...,"
gumam sosok itu.
Berpikir begitu, sosok hijau yang bukan lain Aji
atau Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik
hendak melangkah pergi. Namun langkahnya menda-
dak tertahan ketika....
"Anak muda! Perlu kau ketahui, siapa pun yang
telah memandangku, maka saat itu hidupnya akan be-
rakhir!" tegur sebuah suara.
Sesaat Aji tercengang. Tapi, tak dihiraukannya
suara teguran. Langkahnya dilanjutkan. Namun baru
dua tindak... "Aku yakin telingamu tidak tuli, Anak Muda!
Berhentilah melangkah. Dan terima saat kematianmu!"
Kembali terdengar suara teguran.
"Perempuan aneh! Melihat tampangnya saja ha-
rus dibayar dengan nyawa! Apa dikira tampangnya be-
gitu mahal harganya...?" kata batin Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas melang-
kah tanpa berbalik.
"Aku belum memandang seluruh tubuhmu, ka-
rena wajahmu tertutup kain! Berarti, bayaran yang
kau minta terlalu tinggi. Bagaimana jika kubayar dengan suara tawa saja...?"
Aji mendongak dan tertawa terbahak-bahak
sambil meneruskan langkah. Pada saat itulah dari
arah belakang terdengar suara gemuruh bagai gelom-
bang. Aji berpaling, namun kontan terperanjat. Tampak beberapa buah ranting kayu
berderak bersiutan
tajam menerjang ke arahnya!
"Hup!"
Cepat murid Wong Agung ini melesat ke udara,
membuat putaran sekali. Lalu kedua tangannya mele-
pas pukulan jarak jauh dari udara.
Prakk! Prakk! Prakk!
Saat itu juga ranting-ranting kayu yang kelua-
rkan suara bersiutan, berantakan menjadi patahan kecil-kecil.
"Setan iblis! Ternyata kau berilmu juga, Anak
Muda! Membuat gairahku sedikit menyala!" kata sang perempuan bercadar putih.
Mendengar ucapan perempuan itu, Aji segera
berbalik. Sepasang matanya jadi terbelalak besar. Perempuan bercadar ternyata
telah berdiri di belakangnya sambil kacak pinggang dengan kaki direntangkan.
Sehingga tubuhnya yang dibalut pakaian putih tipis
tampak tembus pandang membayangkan bentuk leku-
kan-lekukannya.
"Benar-benar edan! Tubuh perempuan satu ini
benar-benar yahud!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima
dengan pemandangan di hadapannya, perempuan ber-
cadar putih tertawa panjang mengikik. Sehingga mem-
buat dadanya yang membusung kencang ikut bergun-
cang-guncang naik turun. Sementara Aji makin mem-
besarkan sepasang matanya.
"Pemuda tampan! Karena gairahku menyala se-
telah memandangmu, kematianmu kutunda dengan
syarat!" kata perempuan tua itu.
"Gila! Apa kau merasa bisa menentukan kema-
tian seseorang?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108
sambil menarik kuncir rambutnya.
"Benar! Apa kau perlu bukti...?" jawab sang perempuan bercadar.
Dan belum sempat Aji membuka mulut, perem-
puan itu telah melesat.
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya melihat
dua bersitan cahaya hitam. Dan tahu-tahu, kedua tangan perempuan itu telah
menghantam dari arah samp-
ing kanan dan kiri kepala.
Bet! Bet! Pemuda itu segera merunduk seraya mengang-
kat kedua tangannya lurus ke atas, memapak seran-
gan. Prakk! Prakk!
Terdengar dua kali benturan berturut-turut. Aji
terkejut. Karena kedua tangannya yang baru saja me-
matahkan serangan hantaman tangan perempuan ber-
cadar ini bagai membentur lempengan besi panas. Tu-
buhnya bergetar hebat. Dan hampir dia jatuh terjengkang jika saja tidak segera
meloncat dengan membuat gerakan berputar dua kali di udara lalu menjejak den-
gan kaki kokoh.
Namun, Aji tidak bisa lama-lama tegak. Karena
perempuan bercadar itu telah kembali melancarkan
serangan sambil menghantamkan kedua tangannya
dari jarak jauh, setelah jungkir balik di udara.
Wuss! Wuss! Dua kilatan keluar menyambar cepat ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108. Namun Aji cepat mere-
bahkan diri ke samping kanan dan bergulingan dua
kali. Lalu kedua tangannya dihantamkan ke depan,
menangkis serangan.
Darr! Daarr! Tempat itu kontan bergetar. Padang rumput
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melingkar terpapas dan hangus serta berhamburan ke
udara. Di bawah tempat bertemunya dua pukulan,
tampak dua kubangan besar.
Sehabis menghantam, Pendekar Mata Keran-
jang 108 terus bergulingan. Dan pada suatu tempat,
dia cepat menghentakkan kedua tangannya ke tanah.
Tubuhnya melenting ke udara, lalu mendarat dengan
tubuh tegak. "Sial! Perempuan ini benar-benar ingin mence-
lakaiku! Siapa dia sebenarnya" Ah! Lebih baik aku cepat menghindar. Tugasku
lebih penting daripada harus melayani perempuan gila ini!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berbalik dan melesat. Tapi baru saja tubuhnya beberapa tombak melesat,
justru dari arah depan sebatang dahan kayu agak besar melesat berputar bagai
baling-baling. Pendekar Mata Keranjang 108 segera melompat
ke belakang. Kedua tangannya yang mengepal dis-
ilangkan di depan dada. Lalu dihantamkannya ke de-
pan. Murid Wong Agung ini telah lepaskan jurus sap
ketiga, yakni 'Gelombang Prahara'.
Werr...! Angin menderu bagai gelombang menggebrak
keluar dari tangan Aji, membentur batangan dahan
kayu hingga hancur berderak-derak! Namun tanpa di-
duga sama sekali saat itu juga perempuan bercadar ini telah melesat cepat dengan
kaki lurus mengarah pada dada Aji.
"Benar-benar gila! Gerakannya begitu cepat!"
maki Aji, seraya memutar tangannya di depan dada.
Dess! Dess! Namun Aji seketika terbelalak. Meski bisa me-
nahan, namun sepasang kaki yang menerjang dadanya
bagai baja kerasnya. Kaki itu tak bergeming sama sekali. Hingga tanpa terbendung
lagi, sepasang kaki perempuan itu terus meluncur ke arah dada Aji.
Merasa tak bisa lagi menangkis, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera menghindar dengan merebahkan
diri ke belakang. Sehingga, membuat sepasang kaki itu lewat menerpa tempat
kosong di atas tubuhnya.
Pada saat itulah Aji mencium aroma bunga.
Keningnya kontan berkernyit dan buru-buru bangkit.
Namun baru saja tubuhnya tegak, dari arah belakang
sepasang kaki telah menjepit lehernya.
Bluk! Aji berusaha berontak dengan menghantamkan
kedua tangan kiri dan kanan. Tapi sebelum kedua tangannya bergerak menghantam,
gerakan jepitan kaki di lehernya telah bergerak ke samping, membuat tubuh
Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting!
Bukk! Sambil mengertakkan rahang Aji bangkit. Dan
dia sadar kalau lawannya adalah seseorang yang berkepandaian tinggi, serta ingin
mencelakai dirinya. Dan
Pendekar Mata Keranjang 108 segera mengeluarkan
kipas dari balik bajunya.
Tanpa menunggu lama lagi, Aji cepat miringkan
tubuh sambil mengebutkan kipasnya dengan tenaga
dalam penuh! Beett! Gelombang angin melengkung disertai mene-
barnya hawa panas segera melesat. Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 ternyata telah melepaskan pukulan sap
keempat yakni 'Segara Geni'.
Di lain pihak, perempuan bercadar itu sedikit
terkejut, namun tidak berusaha menghindar.
"Kipas butut! Apa yang perlu ditakutkan!" sergah sang perempuan bercadar.
Satu tombak lagi angin serangan Aji mengge-
brak, perempuan bercadar itu berseru keras. Tubuh-
nya mendadak bergetar, lalu berputar setengah lingkaran. Kedua tangannya
diluruskan ke samping, lalu dihentakkan.
Sett! Sett! Sett! Sett!
Empat larik sinar putih berkilat membawa ha-
wa dingin seketika menyengat menyongsong lurus pu-
kulan Pendekar Mata Keranjang 108.
Crass! Crass! Empat larikan sinar putih yang menyongsong
lurus dari kedua telapak tangan perempuan bercadar itu menerabas punah gelombang
serangan kipas Aji,
mengeluarkan suara bagai batang terpapas dua kali.
Di kejap itu juga, Pendekar Mata Keranjang 108
merasa ada gelombang badai menghantam tubuhnya.
Hingga untuk beberapa saat, tubuhnya terseret ke belakang sampai dua tombak.
Jika saja tidak segera melompat ke udara dan membuat gerakan berputar ke
depan, niscaya tubuhnya akan terhempas melabrak
pohon di belakangnya.
Seraya menindih rasa terkejut, karena pukulan
sap keempat yang dilepasnya begitu mudah dimus-
nahkan, Aji segera menyiapkan jurus sap kelima.
"Apa boleh buat"! Terpaksa jurus sap kelima
kugunakan!" gumam Aji dengan mata membesar me-
rah. Tapi mendadak Aji terperanjat. Perempuan itu
ternyata tidak ada di tempatnya semula.
"Jangkrik! Ke mana hilangnya perempuan itu"!"
"Kau mencariku, Anak Tampan...?"
Mendadak terdengar suara menegur dari arah
belakang. Dan Aji segera berbalik. Perempuan bercadar itu ternyata telah tegak
dengan kacak pinggang tiga tombak di hadapannya.
"Orang tampan! Hanya sampai di situkah ting-
kat kepandaianmu" Jika demikian, gairahku jadi me-
nurun kembali Dan berarti, kau harus mampus seka-
rang juga! "Hik... hik... hik..!"
Mendengar ucapan perempuan bercadar, muka
Pendekar Mata Keranjang 108 merah padam. Rahang-
nya terangkat menahan marah. Lalu tanpa berkata la-
gi, segera dikibaskan kipasnya lurus ke depan. Sementara, tangan kirinya yang
mengepal dihantamkan ke
depan. Wutt...!
Werr...! Gemuruh gelombang dahsyat disertai sembu-
ran-semburan aneh bersilangan menghentak ke arah
perempuan bercadar.
"Pukulan 'Bayu Cakra Buana'! Hik... hik.. hik...
Tak berarti banyak bagiku, Anak Tampan!"
Perempuan bercadar itu menakupkan kedua
tangannya di depan wajah. Lantas didahului bentakan
lengking, tubuhnya melorot hingga duduk bersila. Kedua tangannya yang terbuka
cepat dihantamkan ke
depan. Mula-mula terdengar seperti suara tiupan se-
ruling. Makin lama makin keras, lalu berubah bagai
suara dengungan kumbang. Tiba-tiba dua berkas ca-
haya bola api berwarna putih menyambar keluar, dari kedua tangan perempuan
bercadar itu. Bumm! Bumm! Dua serangan Pendekar Mata Keranjang 108
kontan lenyap musnah, ditelan cahaya bola api. Dan di lain kejap, terdengar dua
kali gelegar dahsyat saat dua serangannya terhadang cahaya bola api.
"Aahh...! Aji berseru keras. Tubuhnya mencelat. Semen-
tara kipas di tangannya terpental. Begitu terpuruk di atas tanah, dari sudut
bibirnya tampak menggenang
darah segar. Sementara baju hijaunya terkoyak han-
gus di bagian lengannya.
Aji berusaha bangkit. Namun baru saja tegak
perutnya terasa mual. Dan tak lama kemudian, dia
muntah. Tubuhnya kembali terhuyung lalu jatuh.
Di seberang sana, perempuan itu tampak jatuh
terjengkang. Tapi dia segera bangkit. Sambil mengeluarkan tawa panjang, dia
melangkah mendekat ke arah
Aji. "Tamat riwayatku!" keluh Aji.
Karena tubuhnya serasa tak bisa digerakkan
lagi, Pendekar Mata Keranjang 108 hanya bisa me-
mandangi langkah-langkah kaki perempuan bercadar
yang terus mendekat. Dan disangka perempuan itu
akan menghabisi dirinya. Dan Aji pun cepat memejam-
kan kedua matanya seraya memusatkan sisa-sisa te-
naganya. Namun Pendekar Mata Keranjang 108 jadi ter-
kejut. Karena suara langkah kaki perempuan bercadar itu terus melewatinya. Lalu
terdengar benda jatuh di sampingnya.
Dengan mata masih bergetar serta tangan siap
melepaskan pukulan, Pendekar Mata Keranjang 108
membuka kelopak matanya. Kipas miliknya ternyata
telah tergeletak di sampingnya. Begitu memandang ke belakang, ternyata perempuan
bercadar itu terus melangkah menjauh.
"Aneh! Apa maunya perempuan itu?" kata batin Aji seraya hendak bangkit
Namun mendadak mata Pendekar Mata Keran-
jang 108 terbelalak lebar. Karena bersamaan dengan
berlalunya perempuan bercadar itu, tercium aroma
bunga tujuh warna.
"Sial! Berarti dia orang yang kucari!" gumam Aji seraya cepat bangkit. "He....
Tunggu!" Namun perempuan bercadar itu terus melang-
kah dan berkelebat hilang di balik rimbunan pohon.
"Sial!" maki Aji seraya mengambil kipasnya.
Dan tubuhnya segera berkelebat ke arah menghilang-
nya perempuan bercadar. Namun hingga matanya te-
lah mencari perempuan bercadar tak ditemukan lagi.
Aji termangu-mangu sambil menggerutu pan-
jang pendek Lalu, matanya berpaling ke jurusan lain.
Saat itulah matanya tertumbuk pada sehelai daun
yang menancap di batang pohon. Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 membesarkan mata, seraya melangkah
mendekat. Di helai daun itu ternyata tertera sebuah tulisan. "Teruskan
perjalanan!"
Beberapa saat pemuda ini memperhatikan tuli-
san. "Di sini tidak ada orang lain. Berarti, tulisan ini ditujukan padaku! Perempuan
itu pasti yang menulis!"
duga Pendekar Mata Keranjang 108 sambil berbalik.
Seketika tubuhnya berkelebat, ke arah utara di mana terdengar sayup-sayup
gelombang ombak
*** 11 Saat matahari baru saja muncul dari bentan-
gan kaki langit di sebelah timur, Aji menjejakkan kakinya di pesisir Pantai
Utara. Beberapa lama Pendekar Mata Keranjang 108 memandang berkeliling. Tapi,
tak seorang pun yang terlihat. Dia tercenung seraya menarik-narik kuncir
rambutnya. Kedua tangannya di-
usapkan pada wajahnya yang terasa lengket.
Pada saat itulah hidungnya mencium aroma
bunga tujuh warna. Aji segera mempertajam penci-
umannya, untuk mengetahui arah sumber aroma bun-
ga. Dibantu semilirnya angin pesisir, pada akhir-
nya Pendekar Mata Keranjang 108 dapat menemukan
sumber aroma bunga tujuh warna. Tapi begitu sampai, Aji jadi terperangah.
Di bawah sebatang pohon yang tidak berdaun
yang tampak membentuk lobang menyerupai pintu,
duduk bersandar seorang perempuan tua. Rambutnya
putih awut-awutan. Pakaian yang dikenakannya telah
robek di sana sini, serta sudah terlihat dekil. Dari pakaiannya yang compang
camping, terlihat jelas kalau dada perempuan itu sangat tipis. Sehingga, tulang
dadanya tampak jelas bertonjolan.
Dan Aji semakin terperangah, saat matanya
melihat paras perempuan tua itu. Sepasang matanya
sangat cekung dan tampak terkantuk-kantuk meme-
jam dan membuka. Di bawah mata hanya terdapat dua
lobang, tanpa tampak tonjolan hidung. Mulutnya san-
gat tipis dan ciut.
"Perempuan tua inilah yang kucari!" kata Aji seraya melangkah lebih mendekat
Pendekar Mata Keranjang 108 batuk-batuk ke-
cil beberapa kali. Diberi isyarat kedatangan dan beru-paya agar perempuan itu
tidak terkejut.
Namun usaha Pendekar Mata Keranjang 108 ti-
dak membuahkan hasil. Perempuan tua itu tetap ter-
kantuk-kantuk seperti semula.
"Akan ku coba dengan menegur!" gumam Aji,
"Eyang...."
Perempuan tua itu tetap tak bergeming dengan
mata terpejam dan membuka. Aji kembali memanggil.
Namun perempuan itu tetap diam, seolah tidak men-
dengar panggilannya. Aji keraskan suaranya, tapi tetap sia-sia. Pendekar Mata
Keranjang 108 menarik kuncir rambutnya sambil geleng-geleng. Lantas kakinya
melangkah lebih mendekat. Dan baru saja mulutnya ter-
buka hendak memanggil, kedua mata perempuan tua
itu membuka lebar. Lalu ditatapnya lurus-lurus pada Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 terperanjat. Bu-
ru-buru kakinya mundur dua langkah ke belakang
sambil menjura hormat.
Perempuan tua yang duduk bersandar ini
membuka mulutnya yang kecil. Dikeluarkannya tawa
perlahan, tapi cukup membuat Aji harus mengerahkan
tenaga dalam ke gendang telinganya.
"Eyang...," panggil Pendekar Mata Keranjang 108, begitu tawa itu lenyap.
"Siapa kau, Anak Muda..."!" selak perempuan tua ini. Aji kembali menjura hormat.
"Namaku Aji, Eyang...! Aku mencarimu!"
Perempuan tua itu mengangguk perlahan.
"Hm.... Hari ini penantianku akan berakhir!
Anak muda, aku telah tahu siapa kau. Dan, apa tu-
juanmu!" Aji sedikit tersentak kaget. Namun rasa terke-
jutnya buru-buru dihilangkan tatkala tiba-tiba saja perempuan tua di hadapannya
singkap rambutnya yang
awut-awutan. Sepasang mata Aji terbeliak lebar. Di balik
rambut perempuan tua itu tampak menyelip sebuah
bumbung bambu kecil yang ujung keduanya disumbat
kayu dan diikat pada seutas tali yang melingkar. Melihat warna bumbung bambu
yang telah berbintik-bintik hitam dan lusuh dan keropos di bagian tengahnya, bi-
sa diduga jika bumbung bambu itu begitu tua.
Tangan kanan perempuan tua itu tiba-tiba ber-
gerak cepat, dan menarik bumbung bambu dari ram-
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
butnya. Lantas tanpa senyum, perempuan tua itu
mengulurkan bumbung bambu pada Aji.
"Anak muda! Pergunakan baik-baik apa yang
ada di dalam bumbung bambu ini! Tapi, ingat. Kau
hanya bisa menggunakannya satu kali dalam waktu
purnama!" Dada Pendekar Mata Keranjang 108 berdebar.
Jari-jari tangannya bergetar, ketika bergerak menerima bumbung bambu dari tangan
orang tua di depannya.
"Eyang...," kata Aji pelan, seakan suaranya tersendat.
Perempuan tua di hadapannya mengangkat
tangannya, memberi isyarat agar Aji tidak meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, Anak Muda. Mimpiku tadi malam
telah membimbingku dapat mengetahui siapa kau, dan
apa maksudmu mencariku. Kipas milikmu itulah tan-
da satu-satunya! Nakh! Penjelasanku kurasa sudah
cukup. Lekas tinggalkan tempat ini. Tugas berat telah menunggumu lagi!"
Habis berkata begitu, perempuan tua ini men-
guap. Dan mendadak tubuhnya terangkat ke atas, ma-
suk ke dalam lobang berbentuk pintu pada batang po-
hon yang dibuatnya bersandar. Dan begitu tubuhnya
lenyap, aroma bunga tujuh warna kembali menyeruak.
Tersadar dari rasa terkesima, Aji cepat-cepat
menjura sambil memandang lekat-lekat ke arah pe-
rempuan tua tadi lenyap.
Hingga beberapa saat lamanya Pendekar Mata
Keranjang 108 masih termangu di situ, berharap agar orang tua tadi kembali
muncul. Namun hingga kakinya terasa pegal orang tua tadi tidak lagi menampakkan
di-ri. Aji lantas menyapukan pandangan ke sekelil-
ing. "Aku akan mencari tempat yang aman untuk
mengetahui isi bumbung ini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 perlahan berba-
lik lalu melangkah. Agak jauh dari pesisir pantai, tubuhnya langsung berkelebat
dan menghilang ke balik
rimbunan pohon-pohon hutan di dekat pesisir pantai.
SELESAI Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108 selanjut-
nya: PERSEKUTUAN PARA IBLIS
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Patung Emas Kaki Tunggal 4 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Jaka Lola 5
lesat ke depan, membuat Dayang Lembah Neraka dan
Putri Tunjung Kuning cepat mengundurkan kaki mas-
ing-masing satu tindak ke belakang, menghindari. Sementara Tengkorak Berjubah
yang masih terkapar tak
bisa menghindar, terseret hampir satu tombak.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning diam-diam jadi terkesiap. Kali ini mereka merasa sedang berhadapan dengan
orang yang bertenaga
dalam tinggi. Karena angin sambaran jubahnya saja,
telah mampu menyeret tubuh Tengkorak Berjubah
hingga satu tombak. Sementara bias angin sambaran-
nya, masih terasa hangat di depan wajah mereka.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning saling berpandangan. Namun sebelum ada
yang sempat bicara, kepala Malaikat Berdarah Biru
mendongak. "Kulihat mulut gua itu berantakan. Berarti, di antara kalian ada yang telah
berusaha memasukinya.
Apakah di antara kalian telah ada yang berhasil mendapatkan benda pusaka itu"!"
kata Malaikat Berdarah Biru, keras.
"Hi... hi... hi...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa mengikik. Se-
belah matanya mengerdip.
"Kulihat matamu tidak buta, Bocah Tampan!
Seharusnya tanpa bertanya, kau telah tahu!" ejek Dayang Lembah Neraka.
Paras Malaikat Berdarah Biru merah padam.
Dagunya yang kokoh dan keras terangkat mengem-
bang. Gerahamnya bergemeletak.
"Tua bangka! Sekali lagi keperingatkan. Di ha-
dapanku, kau tak berhak untuk berkata selain menja-
wab pertanyaanku!" gertak Malaikat Berdarah Biru.
"Bocah mulut besar! Kau rupanya belum tahu,
sedang berhadapan siapa kali ini..."!" Dayang Lembah Neraka balas membentak.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru meme-
jamkan kedua matanya. Kepalanya menengadah ke
atas. Mendadak...
"Ha... ha... ha...!"
Dari mulut Malaikat Berdarah Biru tiba-tiba
terdengar suara tawa keras dan panjang, membuat ka-
ki bukit itu sedikit bergetar. Bahkan, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning sampai terkejut se-
tengah mati. Namun raut wajah mereka tak menun-
jukkan rasa takut sama sekali. Tapi tak urung keduanya sedikit mengerahkan
tenaga dalam untuk menin-
dih suara tawa yang begitu menusuk telinga.
Sementara itu Tengkorak Berjubah yang masih
tergeletak, kedua telinganya terlihat bergerak-gerak terkena bias suara tawa
Malaikat Berdarah Biru. Kedua kakinya lantas bergerak, sedikit melejang-lejang dan tangannya seperti hendak menggapai. Kepalanya
bergoyang ke samping kiri dan kanan. Lalu dengan
erangan sengau, dia bangkit duduk. Sepasang ma-
tanya menatap tajam ke depan. Sebentar mata itu me-
nyipit, lalu membesar liar.
"Hm.... Pemuda tampan mengenakan jubah to-
ga warna merah...," kata batin Tengkorak Berjubah.
"Walau belum pernah bertemu, melihat ciri-ciri pemuda ini, aku bisa memastikan
kalau pemuda inilah ma-
nusia yang bergelar Malaikat Berdarah Biru, anak didik sobat lamaku Bidadari
Telapak Setan yang kabar-
nya telah tewas...."
Sejenak Tengkorak Berjubah menghentikan ka-
ta hatinya. Pandangannya lantas beralih pada Dayang Lembah Neraka.
"Betina ini tadi telah melepaskan pukulan me-
matikan padaku. Dan tentunya tak ada yang menye-
lamatkan nyawaku selain pemuda itu!" lanjut Tengkorak Berjubah.
Pandangan laki-laki berwajah tengkorak lantas
kembali pada Malaikat Berdarah Biru
"Orang muda gagah! Kalau tak salah, bukan-
kah kau yang bergelar Malaikat Berdarah Biru...?" du-ga Tengkorak Berjubah, di
tengah suara tawa Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru menghentikan tawanya.
Lalu kepalanya berpaling pada Tengkorak Berjubah.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tak
ada dirimu, betina itu sudah pasti perpesta pora di atas mayatku!" sambung
Tengkorak Berjubah, seraya meluruskan jari telunjuknya yang tak berdaging pada
Dayang Lembah Neraka.
Mendengar Tengkorak Berjubah menyebut gelar
pemuda berjubah merah itu, Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning kontan terkejut.
Sementara itu, Malaikat Berdarah Biru hanya
menyeringai. "Aku menolongmu, karena aku masih membu-
tuhkan jawaban langsung dari mulutmu! Jika tidak,
aku lebih senang melihat tubuhmu benar-benar jadi
tengkorak!" sahut Malaikat Berdarah Biru.
Tulang dan otot-otot di wajah Tengkorak Berju-
bah bergerak-gerak, pertanda menahan luapan ama-
rah. Namun sebentar kemudian dari tulang bibirnya
keluar suara sengau perlahan.
"Malaikat Berdarah Biru!" seru Tengkorak Berjubah begitu tawanya lenyap.
"Seandainya kau tidak menyelamatkan selembar nyawaku, dan mengingat
persahabatanku dengan gurumu, si Bidadari Telapak
Setan, mulutmu pasti kurobek-robek!"
"Oh, begitu...?"
Malaikat Berdarah Biru membelalakkan sepa-
sang matanya. Kepalanya manggut-manggut. Tapi se-
saat kemudian bibirnya tersenyum sinis.
Tengkorak Berjubah merasakan gelagat tidak
baik, maka segera kakinya melangkah ke arah Malai-
kat Berdarah Biru.
"Di antara kita tidak ada silang sengketa. Sekarang, menyingkirlah! Aku akan
menyelesaikan betina
itu!" ujar Tengkorak Berjubah, seraya mengarahkan
pandangan pada Dayang Lembah Neraka.
"Sementara untuk yang muda itu, tidakkah kau
berkeinginan menikmati kehangatannya..." Lihat! Tu-
buhnya begitu mempesona!"
Wajah Putri Tunjung Kuning merah padam.
Sementara Dayang Lembah Neraka kontan menggeru-
tukkan rahangnya yang keras. Lalu....
"Hiaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Dayang Lembah Ne-
raka menghantamkan kedua tangannya, melepaskan
pukulan jarak jauh ke arah Tengkorak Berjubah.
Werr...! Berlarik-larik sinar berhawa panas langsung
melesat ke arah Tengkorak Berjubah.
Sementara, laki-laki berwajah tengkorak itu
hanya menggerak-gerakkan bibirnya tersenyum men-
gejek. Lantas kedua tangannya ditarik ke belakang.
Dan dengan perlahan-lahan didorongnya ke depan,
memapak sinar berhawa panas yang keluar dari tela-
pak Dayang Lembah Neraka.
Daarr! Bentrok dua pukulan yang bertenaga dalam
tinggi tak terelakkan lagi. Suaranya kontan membun-
cah kaki bukit. Tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
jengkang dan jatuh terduduk. Sementara Tengkorak
Berjubah hanya terseret lima langkah ke belakang.
Dan tanpa menunggu lama lagi, perempuan tua itu te-
rus bangkit. Sedangkan Tengkorak Berjubah melang-
kah maju dua tindak.
"Untuk bertarung jarak jauh, memerlukan te-
naga dalam banyak. Sementara tubuhku terluka, aku
harus memperpendek jarak dan mengajaknya berta-
rung secara langsung!" kata batin Dayang Lembah Neraka.
Mendadak tubuh perempuan itu berputar-
putar. Sejenak, tubuhnya hilang dari pandangan. Dan tahu-tahu kedua tangannya
melesat ke arah kepala
Tengkorak Berjubah.
Bet! Bet! Tengkorak Berjubah yang telah waspada segera
menarik sedikit kepalanya ke belakang, membuat han-
taman kedua tangan Dayang Lembah Neraka hanya
lewat satu jengkal menerpa tempat kosong.
Sambil menghindari dari hantaman kaki kanan
Tengkorak Berjubah yang tertutup jubah hitamnya
bergerak memutar. Langsung dihantamnya selangkan-
gan Dayang Lembah Neraka.
"Tua bangka jorok!" bentak Dayang Lembah Neraka, cepat menarik kembali kedua
tangannya, lang-
sung disentakkannya kedua tangan itu ke kaki Teng-
korak Berjubah yang mengarah pada selangkangan.
Plak! Plak! Maka pertempuran jarak dekat seperti yang di-
inginkan oleh Dayang Lembah Neraka tidak terelakkan lagi. Sementara itu di lain
pihak, Malaikat Berdarah Biru yang sedari tadi hanya mengawasi pada Dayang
Lembah Neraka, mengalihkan pandangan pada Putri
Tunjung Kuning yang juga sedang memperhatikan per-
tarungan. "Hm.... Tubuh gadis itu memang menggiurkan.
Tapi, aku harus mendahulukan urusan benda pusaka
itu! Namun..., tak ada salahnya jika terlebih dahulu menjinakkannya, biar
setelah urusan benda pusaka
selesai, aku tak usah repot-repot menggaetnya!" gumam batin Malaikat Berdarah
Biru. Habis berpikir begitu, pemuda ini segera men-
dorongkan telapak tangannya ke arah Putri Tunjung
Kuning. Wess...!
Serangkum angin yang melingkar-lingkar ber-
warna kebiruan langsung melesat ke depan. Inilah pukulan sakti yang berhasil
dipelajari Malaikat Berdarah Biru dari Bayangan Iblis yang disebut pukulan
'Badai Biru'. Putri Tunjung Kuning yang masih berdiri tegak kontan tersadar
dengan adanya bahaya. Kepalanya cepat berpaling, dan langsung tertegun. Sepasang
ma- tanya lantas menyengat tajam pada Malaikat Berdarah Biru. "Setan alas!" bentak
Putri Tunjung Kuning.
Gadis ini cepat menghentakkan kedua tangan-
nya, memapak lingkaran angin berwarna kebiruan.
Namun mendadak dia kaget. Serangan kedua tangan-
nya ternyata mental balik ke arahnya.
"Hih!"
Dengan sebisanya Putri Tunjung Kuning mem-
buang diri ke samping, dan langsung merebahkan diri di atas tanah. Kemudian
dengan cepat bangkit kembali.
Namun baru saja bangkit, Malaikat Berdarah
Biru telah berkelebat cepat. Bahkan dengan cepat pula pemuda itu menggerakkan
tangan kirinya menusuk
dada Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning menarik tubuhnya ke be-
lakang. Tapi saat itu juga, Malaikat Berdarah Biru telah menyapukan kakinya
menggaet kaki Putri Tunjung
Kuning. Pak! "Aah...!"
Brukk! Maka tak ampun lagi Putri Tunjung Kuning ter-
jengkang ke belakang dan terkapar telentang di atas tanah. Dan sebelum sempat
gadis itu bangkit, tangan kiri Malaikat Berdarah Biru bergerak cepat menotok.
Tuk! Tuk! Saat itu juga Putri Tunjung Kuning merasakan
tubuhnya tak berdaya lagi. Matanya hanya mampu
melotot, tak suka dengan perlakuan Malaikat Berdarah Biru. "Keparat! Jangan
harap kau bisa melakukan kehendakmu!" rutuk Putri Tunjung Kuning. Kata-kata itu
hanya bisa sampai di tenggorokan karena pita suaranya juga tertotok. Padahal
mulutnya sudah terbuka lebar. Malaikat Berdarah Biru melangkah mendekat.
Sepasang matanya menjilati seluruh tubuh Putri Tun-
jung Kuning yang pakaiannya telah robek di sana sini.
Bahkan sebagian robek besar di bagian dada, mem-
buat payudara kencang dan putih milik gadis itu yang bergerak turun naik
terlihat jelas menantang.
Pemuda berjubah merah ini jongkok. Lalu da-
gunya diusap-usap dengan mata tak kedip menatap
dada Putri Tunjung Kuning.
"Tunggulah, Manis! Masih ada urusan yang ha-
rus kuselesaikan. Setelah itu, kita bersenang-senang!"
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru bangkit
dan berkelebat ke arah mulut gua. Dan baru saja se-
pasang kakinya menjejak di depan mulut gua, dari dalam terdengar suara desisan
yang disusul menghen-
taknya getaran-getaran dahsyat.
"Hm.... Keparat-keparat itu pasti terkena getaran-getaran aneh ini...!" gumam
Malaikat Berdarah Bi-ru. "Aku harus berhati-hati. Mereka saja tak mampu
menaklukkan getaran ini. Padahal, mereka bukan tokoh sembarangan!"
Sambil berpikir, cepat-cepat Malaikat Berdarah
Biru meloncat ke samping. Dan dengan sikap waspada
sebentar kemudian kakinya kembali melangkah ke
mulut gua dari arah samping.
Pemuda berjubah merah ini segera memalang-
kan tangan kanannya ke mulut gua.
Tak menunggu lama, dari dalam gua terdengar
desisan dahsyat disusul menghentaknya getaran-
getaran dahsyat. Secepat kilat Malaikat Berdarah Biru menarik tangan kanannya
kembali. Dia berpikir sejenak. Sepasang matanya memandang ke samping, ke
arah Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah
yang masih terlibat pertempuran sengit. Lalu matanya beralih pada Putri Tunjung
Kuning yang telentang
dengan tubuh tegang kaku.
"Peduli setan! Akan ku coba melayaninya den-
gan 'Badai Biru'!" gumam Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda berjubah merah ini segera memu-
satkan tenaga dalamnya pada kedua tangan dan ka-
kinya. Dan didahului dengan teriakan lantang, tubuhnya melesat masuk ke dalam
gua. Kedua tangannya
sedikit ditarik ke belakang, lalu didorong ke depan.
Sementara kedua kakinya tampak amblas ke bawah
hingga mata kaki.
Werrr...! Saat itu juga angin melingkar-lingkar berwarna
kebiruan menghentak ke depan. Dan bersamaan den-
gan itu, dari dalam terdengar suara desisan dahsyat disusul menghentaknya
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
getaran-getaran dahsyat.
Dan.... Blamm...!
Terdengar dentuman membahana ketika angin
berwarna kebiruan terhadang suara desiran dan geta-
ran-getaran. Lorong gua itu semakin bergetar. Semen-
tara tubuh Malaikat Berdarah Biru hampir ambruk
terhantam bias getaran-getaran dalam lorong gua yang mencoba dibendungnya.
"Celaka!" maki Malaikat Berdarah Biru. "Getaran ini sepertinya dikendalikan
tenaga dahsyat. Berarti...." Malaikat Berdarah Biru tak bisa meneruskan kata
hatinya. Karena saat itu, dari dalam gua terdengar suara desisan disusul
getaran-getaran yang mem-
buat tubuhnya mulai goyah.
Wuss! Sebelum tubuhnya tumbang ke lorong, Malai-
kat Berdarah Biru masih sempat melihat samping ka-
nan dan kiri lorong gua yang tampak berlobang-
lobang. "Lobang-lobang ini pasti digunakan untuk menghindari getaran-getaran
ini. Hup!"
Malaikat Berdarah Biru cepat melesat masuk
ke dalam salah satu lobang di lorong gua.
Saat tidak lagi merasakan adanya getaran, pe-
muda berjubah merah ini segera meloncat ke lobang
diseberang. Demikian seterusnya, hingga dia bisa
mencapai ujung lorong yang bercahaya kemerahan dan
terasa hangat. "Hm.... Pada lompatan terakhir tadi, getaran
sudah tidak lagi terasa. Berarti di sini telah aman...."
Berpikir begitu, Malaikat Berdarah Biru segera
melesat keluar dari lobang paling ujung. Lalu mantap sekali kakinya menjejak
lantai ruangan yang bercahaya kemerahan. Namun mendadak sepasang matanya
terbeliak lebar.
"Hm.... Binatang laknat ini rupanya biang ken-
dali getaran-getaran itu!" gumam Malaikat Berdarah Biru dengan rahang
mengembang. Pemuda ini mengedarkan pandangan ke sekelil-
ing, menyapu ruangan.
"Bayangan Iblis mengatakan, kedua benda pu-
saka itu berada di sini. Namun aku tak menemukan
tanda-tanda adanya kedua benda tersebut. Jangan-
jangan aku menemukan jalan buntu lagi! Sialan...!" rutuk batin Malaikat Berdarah
Biru. Pemuda berjubah merah ini melangkah sambil
memperhatikan setiap jengkal ruangan dengan seksa-
ma. "Benar-benar keparat si Bayangan Iblis! Dia telah menipuku!" dengus Malaikat
Berdarah Biru. Pandangan pemuda itu kembali pada Ular Na-
ga. Dan mendadak, bibirnya dikatupkan rapat-rapat
dengan mata terbelalak. Sesaat kemudian senyumnya
mengembang. Kakinya lantas melangkah lebih dekat
lagi ke arah Ular Naga. Sementara matanya tak berkedip menatap pada dua benda
yang menancap di atas
kepala binatang aneh itu.
"Dua benda itu pasti dua pusaka yang selama
ini kuidam-idamkan! Berarti kata-kata si Bayangan Iblis bisa dipercayai!" kata
Malaikat Berdarah Biru.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru mengi-
baskan jubahnya. Tubuhnya langsung melenting ke
atas hendak menyambar kitab dan kipas yang berada
di kepala Ular Naga.
Namun Malaikat Berdarah Biru terperanjat. Be-
gitu kedua tangannya telah mencekal, kedua benda itu tak kuasa dicabut! Bahkan
hatinya menjadi tegang ketika mendengar suara desisan dan asap hitam redup
berkilat-kilat keluar dari tubuh Ular Naga, menuju ke arahnya.
"Ular Naga jahanam!" maki Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini segera melepaskan cekalan tangan-
nya pada kitab dan kipas. Namun hatinya tambah te-
gang, karena kedua tangannya ternyata bagai lengket dari tak bisa dilepas.
Dengan membuat keputusan
yang cepat Malaikat Berdarah Biru segera memutar
tubuhnya, menghindari sambaran asap hitam redup.
Wusss! Brett! Tubuh Malaikat Berdarah Biru selamat dari
hantaman telak asap hitam. Tapi tak urung jubahnya
tersambar dan robek memanjang. Keringat dingin mu-
lai membasahi tubuhnya. Namun karena tekadnya su-
dah bulat, apalagi jika teringat Pendekar Mata Keranjang 108, maka tak ada kata
menyerah baginya.
"Apa boleh buat" Aku harus melumpuhkan bi-
natang laknat ini!" desis Malaikat Berdarah Biru seraya menghantamkan kedua
kakinya ke kepala Ular Naga.
Bukk! Bukk! Begitu terhantam dua kali, kepala Ular Naga
sedikit terhempas. Sehingga membuat cekalan kedua
tangan Malaikat Berdarah Biru terlepas. Tapi sesaat kemudian, terdengar suara
desisan yang disusul asap hitam redup mengeluarkan suara gemuruh, menggebrak ke
arah Malaikat Berdarah Biru yang sedang me-
layang turun. Menyadari adanya bahaya, Malaikat Berdarah
Biru cepat memutar tubuhnya. Maka sekejap kemu-
dian tubuhnya berkelebat cepat, lenyap dari pandan-
gan. Sementara asap hitam redup terus melesat dan
menghantam dinding ruangan.
Bumm! Dinding ruangan dalam gua yang terbuat dari
tanah keras itu kontan terbongkar, meninggalkan lo-
bang menganga. Begitu menjejak kembali di atas tanah lantai
ruangan, Malaikat Berdarah Biru jadi bergidik. Bongkaran tanah bekas hantaman
asap hitam tadi menjadi
merah seperti tanah tergarang jilatan api.
Selagi pemuda yang bernama asli Anak Agung
ini tercengang, asap hitam redup kembali melesat!
Namun dia tetap waspada. Maka segera jubahnya yang
telah robek ke belakang dikibaskan. Lalu, kedua tangannya dihantamkan ke depan.
Wess...! Werr...! Dari tangan kanan Anak Agung langsung mele-
sat selarik sinar merah berkilat. Sedangkan dari tangan kirinya keluar lingkaran
angin menderu berwarna kebiruan. Inilah pukulan maut perpaduan antara
'Serat Jiwa' dengan 'Badai Biru'.
Blarrr...! Didahului suara menggelegar dahsyat di dalam
ruangan gua ini, serentak berpendaran beberapa ca-
haya bagai kembang api. Ruangan ini benar-benar
berguncang hebat, ketika dua pukulan Malaikat Ber-
darah Biru bentrok dengan asap hitam redup dari Ular Naga. Dinding ruangan
rengkah dan berhamburan.
Tubuh Ular Naga yang melipat melingkar ke atas se-
rentak menggeloso, membentuk lingkaran besar den-
gan dua lipatan ke atas. Dari mulutnya terdengar sua-ra mendesis. Sementara
tubuh Malaikat Berdarah Biru sendiri terhuyung-huyung, namun cepat keseimbangan
dirinya terkuasa. Dan sebelum asap hitam redup
kembali menyambar, kedua tangannya telah dihan-
tamkan. Dess! Dess! Tubuh Ular Naga menggeliat keras, dan me-
lengkung tinggi ke udara. Tak terdengar lagi suara de-
sisan, walau mulut binatang ini membuka.
Menyangka Ular Naga akan segera roboh lalu
tewas, Malaikat Berdarah Biru tertawa gelak-gelak.
Namun mendadak suara tawanya lenyap, ketika ekor
Ular Naga telah bergerak cepat melesat membentuk
lengkungan ke arahnya.
Wuutt...! "Hiaaa...!"
Disertai teriakan marah, Malaikat Berdarah Bi-
ru melesat ke udara menghindari sabetan ekor Ular
Naga. Lalu segera dilepaskannya pukulan 'Serat Jiwa'
ke arah kepala Ular Naga dan pukulan 'Badai Biru' ke arah ekor Ular Naga.
Wess...! Werr...! Dess...! Pukulan 'Badai Biru' telak menghantam ekor
Ular Naga, hingga mental balik dan menghantam dind-
ing gua. Dan justru inilah yang menyelamatkan kepala Ular Naga dari hantaman
tangan Malaikat Berdarah
Biru yang telah melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'. Namun demikian, karena ekornya
menghantam dinding,
membuat tubuh Ular Naga itu melengkung ke atas.
Kemudian binatang itu menukik ke samping memben-
tur dinding ruangan.
Glarrr...! Ruangan kembali bergetar hebat. Dinding yang
terhempas ekor dan tubuh Ular Naga kontan porak po-
randa. Tanah-tanah beterbangan, menutupi peman-
dangan. Begitu keadaan terang kembali, sosok Ular Na-
ga telah menggeloso memanjang dengan kepala miring
di atas lantai ruangan gua. Sebentar sepasang mata
merahnya meredup, lalu memejam. Hingga, ruangan
itu kini ditikam kegelapan.
Malaikat Berdarah Biru segera duduk bersila.
Kedua tangannya menakup di depan dada. Bibirnya
berkemik-kemik. Dan, terjadilah sesuatu yang hampir tak dapat dipercaya. Tubuh
pemuda berjubah merah
itu perlahan-lahan berubah putih berkilau. Sehingga, membuat ruangan gua itu
kembali terang benderang.
Inilah jurus milik Bayangan Iblis yang telah dikua-
sainya, yakni jurus 'Badai Perak'.
Malaikat Berdarah Biru segera bangkit. Semen-
tara tubuhnya tetap memancarkan cahaya putih berki-
lau. Kakinya melangkah perlahan, mendekati kepala
Ular Naga. Seperempat tombak didekat kepala Ular
Naga, dia berhenti. Tubuhnya lantas membungkuk,
mengawasi kitab dan kipas yang masih menancap. La-
lu kedua tangannya menjulur, menggapai kedua benda
pusaka itu. Aneh! Begitu kedua tangan Malaikat Berdarah
Biru menjamahnya, kedua benda pusaka itu begitu sa-
ja luruh. Cepat ditariknya pulang kedua tangannya
yang telah menggenggam kitab dan kipas.
"Aku berhasil!" desis Malaikat Berdarah Biru agak bergetar.
Pemuda berjubah merah ini lantas melangkah
mundur dengan tubuh menggigil gemetar. Lima tom-
bak dari bangkai Ular Naga, Malaikat Berdarah Biru
berhenti dan langsung mengambil sikap duduk bersila.
Kipas yang ada di tangan kanannya diletakkan di
pangkuannya. Lalu dengan tangan masih gemetar di-
periksanya kitab yang ada di tangan kiri.
Kitab itu ternyata terdiri dari lima lembar, ter-
buat dari kulit. Pada sampulnya tidak terdapat nama.
Dan melihat keadaan lembaran kulit kitab yang ujung-ujungnya telah lapuk, besar
dugaan kalau usianya
demikian tua. Dengan mata membesar, Malaikat Berdarah Bi-
ru mulai memeriksa bagian dalam kitab, yang ternyata berisi gambar-gambar dengan
sedikit keterangan di
bawahnya. "Lukisan yang menggambarkan jurus-jurus si-
lat!" kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini menutup kembali kitab dan mema-
sukkannya ke balik jubahnya. Sepasang matanya me-
natap kipas lipat di pangkuannya. Dengan dada berdetak kencang, perlahan-lahan
dibukanya lipatan kipas.
Begitu kipas terpentang, secercah cahaya hitam
redup melesat menerobos dada Malaikat Berdarah Bi-
ru. Tubuhnya kontan bergetar hebat. Jalan napasnya
bagai tersumbat. Sementara matanya mendadak ber-
kunang-kunang, lalu gelap. Dan tubuh Malaikat Ber-
darah Biru yang tadi memancarkan sinar putih berki-
lau perlahan meredup!
Namun tak lama kemudian, tubuh Malaikat
Berdarah Biru seperti biasa kembali.
"Apa yang terjadi dengan diriku...?" bisik Malaikat Berdarah Biru. Sepasang
matanya dikucak-kucak.
Dan tiba-tiba, matanya menjadi lebih terang.
Malaikat Berdarah Biru segera memeriksa kipas
yang kini terpentang di hadapannya. Menilik bentuk
kipas yang berwarna hitam, pemuda ini jadi heran. Karena ujung sebelah kiri
kipas seperti terpangkas, seakan-akan kipas itu belum selesai dibuat.
Malaikat Berdarah Biru langsung saja mengi-
baskan kipas di depan dadanya.
Werr...! Serangkum angin kencang kontan melesat dis-
ertai hawa panas menyengat searah kibasan kipas.
Malaikat Berdarah Biru terlongong. Namun sesaat ke-
mudian bibirnya tersenyum. Lalu cepat-cepat dilipatnya kembali kipas itu dan
dimasukkan ke balik jubahnya. Sejenak matanya memandang ke sekeliling, kare-
na suara desisan kembali terdengar.
Namun, kali ini Malaikat Berdarah Biru tidak
gentar sama sekali. Dua pusaka telah berada di tan-
gannya, membuatnya percaya diri. Tapi hingga me-
nunggu agak lama, pemuda ini tak melihat asap hitam redup keluar dari tubuh Ular
Naga yang kini tampak
mulai menggeliat.
"Sebelum terjadi apa-apa, aku harus cepat tinggalkan tempat ini!"
Malaikat Berdarah Biru segera bangkit. Tubuh-
nya berbalik dan melesat melalui lorong gua. Begitu menjejak di luar gua, pemuda
ini terkejut. Sepasang matanya memandang ke sekeliling, sementara rahangnya
terangkat. *** 9 Dayang Lembah Neraka, Tengkorak Berjubah
serta Putri Tunjung Kuning telah mengurung dengan
sikap menyerang Malaikat Berdarah Biru. Segera saja pemuda berjubah merah ini
mundur dua tindak ke belakang. Sepasang matanya berputar liar, memandang
satu persatu. "Kau terkejut..., Bocah?" tegur Dayang Lembah Neraka seraya mengusap pipinya.
Bibirnya menyungging seulas senyum. "Bocah! Kau telah masuk begitu lama ke dalam
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gua. Dan kau keluar dalam keadaan selamat. Berarti, kau telah berhasil
mendapatkan dua
benda pusaka itu! Dengar! Kalau kau bersedia menye-
rahkan kedua benda itu, kau bisa pulang tanpa halangan. Bahkan bisa membawa
gadis di sebelahku!"
Sambil berkata, Dayang Lembah Neraka men-
gerling Putri Tunjung Kuning. Gadis itu membuang
muka. Paras wajahnya merah padam. Hatinya panas.
"Kau terlalu rendah menilaiku, Guru!" desis Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka mendelik. Lalu kakinya
melangkah mendekati Putri Tunjung Kuning yang to-
tokan pada tubuhnya telah dibebaskan Dayang Lem-
bah Neraka tadi.
"Muridku.... Ini hanya siasat! Kau jangan terje-bak dengan kata-kataku!" bisik
Dayang Lembah Neraka.
Sementara Malaikat Berdarah Biru mengem-
bangkan senyum, lalu meludah ke tanah.
"Bagaimana, Bocah..." Kau terima tawaranku"!"
desak Dayang Lembah Neraka.
Malaikat Berdarah Biru diam tak menjawab.
"Malaikat Berdarah Biru!" timpal Tengkorak Berjubah. "Hari sudah siang. Masalah
ini sebaiknya cepat diselesaikan. Serahkan kitab itu padaku. Kipasnya, biar
menjadi milik Dayang Lembah Neraka. Dan
kau bebas pulang. Bahkan boleh bawa perempuan sin-
tal itu!" "Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru alias Anak Agung ter-
tawa panjang dan keras. Sehingga tubuhnya bergun-
cang, seakan-akan hendak ambruk. Tapi mendadak
tanah pijakan ketiga orang yang mengurungnya perla-
han amblas ke bawah.
Serta merta Dayang Lembah Neraka, Tengkorak
Berjubah, dan Putri Tunjung Kuning mengerahkan te-
naga masing-masing, untuk menahan agar tidak ter-
bawa amblas. "Kalian semua dengar!" teriak Malaikat Berdarah Biru. "Kedua benda pusaka telah
berada di tanganku. Berarti, akulah sang pemimpin tunggal dunia
persilatan! Akulah yang menentukan nyawa kalian.
Namun untuk kali ini, nyawa kalian kuampuni. Tapi
dengan syarat, dua purnama mendatang, tepatnya pa-
da hari kedua puluh sembilan bulan kedua, kalian harus datang ke Candi
Singasari!"
Mendengar kata-kata Malaikat Berdarah Biru,
tulang rahang Tengkorak Berjubah terangkat. Sepa-
sang mata merahnya mengawasi sekujur tubuh pemu-
da itu. Seakan dia tengah mencari tahu kebenaran ka-ta-kata Malaikat Berdarah
Biru jika kitab dan kipas telah berada di tangannya. Karena dalam hati kecilnya,
Tengkorak Berjubah belum yakin benar jika Malaikat
Berdarah Biru telah berhasil mendapatkannya.
"Kalian sudah dengar! Sekarang, pergilah! Dan, tinggalkan gadis ini
bersamaku...!" ujar Malaikat Berdarah Biru, dengan senyum sinis.
"Anak iblis! Kau tak berhak memerintah. Cepat
serahkan kitab itu!" bentak Tengkorak Berjubah dengan kedua tangan mengepal.
"Benar! Dan kau bisa segera pulang membawa
tawaranku!" timpal Dayang Lembah Neraka.
Sementara Putri Tunjung Kuning diam saja.
"Hm.... Apa boleh buat" Segala cara akan ku-
tempuh, untuk merebut benda pusaka itu. Tapi aku
tidak harus menuruti kehendak Dayang Lembah Nera-
ka. Aku punya cara tersendiri!" kata hati gadis ini.
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin..., "Ka-
lian rupanya tua-tua bangka yang ingin segera mam-
pus!" Terdengar bentakan Malaikat Berdarah Biru
yang disertai hantaman kedua tangan ke arah Dayang
Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah. Tangan ka-
nannya melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'. Sedangkan
tangan kirinya melepaskan 'Badai Biru'. Maka sebentar kemudian tempat itu tambah
terang namun berhawa
panas. Karena tidak menduga, membuat Dayang Lem-
bah Neraka dan Tengkorak Berjubah tidak sempat lagi melepaskan serangan
tangkisan. Maka mereka hanya
bisa menghindar, dengan meloncat ke samping kiri dan kanan. Namun keduanya
seakan tak percaya. Ternyata
larikan sinar warna merah serta hembusan angin ber-
warna kebiruan yang keluar dari telapak tangan Ma-
laikat Berdarah Biru, bisa berbelok dan memburu se-
perti memiliki mata.
Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berju-
bah kembali mundur. Dan serta merta, keduanya
mendorong tangan masing-masing ke depan.
Blummm! Blummm!
Terdengar dua letusan dahsyat bersahutan.
Kaki bukit ini terasa bergetar. Namun karena sama-
sama terluka akibat pertarungan sebelumnya, mem-
buat tenaga Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak
Berjubah yang keluar tidak begitu penuh. Hingga
tatkala pukulan mereka bentrok, tubuh Tengkorak
Berjubah mencelat dan melayang. Kemudian tubuhnya
jatuh terkapar di dekat dataran pasir. Sedangkan
Dayang Lembah Neraka terseret dalam keadaan du-
duk, dan terhenti saat punggungnya terhempas keras
pada sebuah pohon.
"Phuih...!"
Malaikat Berdarah Biru meludah ke tanah. Bi-
birnya menyungging senyum ejekan. Tapi, mendadak
senyumnya lenyap. Karena....
Werrr...! Mendadak dari arah samping, selarikan sinar
kuning menerabas menghantam ke arah Malaikat Ber-
darah Biru. Ternyata saat melepaskan pukulan ke
arah Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka,
diam-diam Putri Tunjung Kuning melepaskan pukulan
jarak jauh. Namun Malaikat Berdarah Biru yang sudah ke-
nyang pengalaman tidak terlihat bingung. Malah, dia tetap berdiri tegak, seakan-
akan menunggu. Satu depa lagi sinar kuning itu menggebrak, kedua tangannya
disatukan dan dihentak lurus ke depan.
Wusss! Putri Tunjung Kuning hanya mendengar suara
hembusan angin menyambar. Dan tahu-tahu, sinar
kuning yang keluar dari kedua tangan Putri Tunjung
Kuning terhenti di udara. Seolah-olah ada kekuatan
yang tak bisa ditembus pandangan mata, memben-
dung gerak laju serangan Putri Tunjung Kuning.
Paras Putri Tunjung Kuning kontan pucat pasi.
Namun kembali dilepaskannya serangan susulan. Ta-
pi, pertahanan Malaikat Berdarah Biru seakan-akan
tak bisa ditembus. Bahkan ketika tubuh pemuda itu
memutar, gumpalan-gumpalan larikan sinar kuning
bergerak membalik, menerjang ke arah Putri Tunjung Kuning. Putri Tunjung Kuning
masih coba menahan
disertai bentakan-bentakan nyaring, sambil mengem-
bangkan kedua tangannya. Namun serangannya yang
bertubi-tubi tak berarti banyak.
Melihat serangannya tak mampu lagi menjebol
pertahanan Malaikat Berdarah Biru, Putri Tunjung
Kuning cepat melesat ke samping untuk menghindar.
Namun baru saja tubuhnya tegak, sambaran angin te-
rasa menghantam.
Plasshh...! "Aakh...!"
Putri Tunjung Kuning menjerit nyaring ketika
tubuhnya roboh ke tanah.
Malaikat Berdarah Biru batuk-batuk tiga kali,
lalu melangkah mendekati Tengkorak Berjubah. Ra-
hangnya bergerak mengembang. Lima langkah lagi
sampai, kedua tangannya diangkat ke atas siap untuk melepaskan pukulan 'Serat
Jiwa'. Namun sebelum pukulan itu lepas, Tengkorak
Berjubah cepat bangkit dan jatuhkan diri di hadapan Malaikat Berdarah Biru.
"Tawaranmu kuterima! Aku akan datang ke
Singasari pada hari yang telah kau tentukan!" kata Tengkorak Berjubah, dengan
suara tersendat-sendat
parau. "Bagus! Ternyata kau masih sayang nyawamu.
Sekarang, menyingkirlah dari hadapanku! Tapi, ingat.
Pada saat yang telah kutentukan ternyata kau tidak
datang, aku akan melacakmu dan mematah-matahkan
tubuh tengkorakmu!" ancam Malaikat Berdarah Biru, seraya menatap tajam bola mata
Tengkorak Berjubah.
"Iblis jahanam!" maki Tengkorak Berjubah dalam hati.
Malaikat Berdarah Biru berbalik dan berkelebat
ke arah Dayang Lembah Neraka yang masih tampak
menggapai-gapai, berusaha mencekal batang pohon
agar tubuhnya bisa bangkit. Selagi tangannya sudah
berhasil menggapai batang pohon dan tubuhnya baru
saja terangkat duduk, Dayang Lembah Neraka terkejut bukan alang kepalang. Tiga
langkah di sampingnya,
Malaikat Berdarah Biru telah tegak berdiri dengan se-
nyum seringai, serta tangan siap melepaskan pukulan.
"Aku hanya menggertak mereka. Sayang sekali
jika tenaga mereka disia-siakan. Kelak, tenaga mereka pasti kubutuhkan!" gumam
Malaikat Berdarah Biru dalam hati.
Sementara itu Dayang Lembah Neraka yang te-
lah tak berdaya mengumpat habis-habisan dalam hati.
"Terpaksa aku harus menuruti kehendaknya.
Dengan demikian aku masih ada waktu untuk mere-
but kitab dan kipas itu! Peduli dengan Tengkorak Berjubah. Lagi pula, kurasa dia
bisa menjaga diri!"
Berpikir begitu, Dayang Lembah Neraka mena-
tap Malaikat Berdarah Biru.
"Kali ini kau menang. Dan aku menerima tawa-
ranmu!" kata Dayang Lembah Neraka, perlahan.
Malaikat Berdarah Biru meluruhkan tangannya
yang tadi hendak melepaskan pukulan. Kepalanya
mendongak ke atas. Dari mulutnya keluar suara tawa
panjang bergelak-gelak.
"Baik! Urusan kita selesai. Silakan tinggalkan tempat ini!" kata Malaikat
Berdarah Biru, tanpa memandang pada Dayang Lembah Neraka.
"Tapi...?" desis Dayang Lembah Neraka, sambil memandang pada Putri Tunjung
Kuning. Hatinya tak
tega juga melihat keadaan muridnya.
"Hm.... Soal gadis itu" Bukankah kau tadi telah menawarkan padaku"! Ha... ha...
ha...! Lekas menyingkirlah dari pandanganku, jika masih sayang
nyawa! Muridmu akan kuberikan kenikmatan tersen-
diri. Apakah kau suka melihatnya?"
Paras Dayang Lembah Neraka mengelam, na-
mun tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya telah terluka berat. Dan di satu sisi, dia
masih menginginkan kitab dan kipas. Maka dengan hati berat, tubuhnya beranjak
mendekati sebuah pohon. Diambilnya tiga lembar
daun yang agak besar. Lalu kakinya melangkah ke
pinggir dataran pasir.
Sejenak wajahnya masih dipalingkan pada Putri
Tunjung Kuning yang masih tergeletak tak sadarkan
diri. "Semoga kau bisa menjaga diri, Muridku...,"
gumam Dayang Lembah Neraka, seraya kembali me-
malingkan wajahnya ke dataran pasir. Di sana, Teng-
korak Berjubah telah tampak meluncur di atas dataran pasir menggunakan batangan
pohon sebagai alas luncur.
Perlahan Dayang Lembah Neraka mengerahkan
tenaga, mengurangi bobot tubuhnya. Dan tak lama
kemudian, dia tampak telah pula meluncur di atas dataran pasir dengan
menggunakan alas daun.
Malaikat Berdarah Biru tertawa bergerai me-
mandangi kepergian Dayang Lembah Neraka serta
Tengkorak Berjubah. Setelah keduanya tidak tampak
lagi, tubuhnya berbalik dan melangkah mendatangi
Putri Tunjung Kuning.
*** Malaikat Berdarah Biru agak lama tertidur.
Bahkan ketika sosok ramping di sampingnya mulai
menggeliat hendak bangun, dia masih pulas. Bibir
rampingnya masih nampak menyunggingkan senyum.
Senyum kepuasan.
Sosok di samping Malaikat Berdarah Biru yang
ternyata seorang gadis cantik berkulit putih dan be-rambut panjang sejenak
menatap langit-langit ruan-
gan. Dia seolah mengingat-ingat sesuatu. Lalu sepa-
sang matanya yang bulat berbinar menebar ke samp-
ing. Dan seketika terbelalak tajam. Dahinya berkerut.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak menutup bibirnya yang menganga kaget. Dan
bersamaan dengan itu, matanya menelusuri sosok Malaikat Berdarah Biru.
Raut wajah gadis ini berubah. Wajahnya segera
berpaling, karena Malaikat Berdarah Biru ternyata tak mengenakan pakaian
selembar pun. Dan gadis itu semakin tercekat tatkala mendapati dirinya ternyata
tak beda dengan Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya juga
tidak tertutup sehelai benang pun.
Gadis ini cepat menarik pakaiannya yang tam-
pak berserakan. Lalu bagian tubuhnya yang terbuka
ditutupi. "Bajingan!" rutuk gadis ini.
Mata gadis ini langsung menatap tajam Malai-
kat Berdarah Biru. Kedua bibirnya saling menggegat
rapat. Dan tak lama kemudian sepasang matanya
nampak berkaca-kaca.
"Oh! Apa yang harus kuperbuat sekarang" Ba-
jingan ini ternyata telah menggauliku! Ah! Betapa malang nasibku...," kata batin
gadis ini dengan bahu berguncang menahan isak di tenggorokannya.
Lalu sekonyong-konyong gadis ini mengha-
dapkan wajah ke arah Malaikat Berdarah Biru.
"Aku sudah kepalang kotor. Dan sebagai imba-
lannya, aku harus mendapatkan kitab dan kipas itu!"
kata batin sang gadis.
Sepasang mata gadis itu lalu menyapu ke selu-
ruh ruangan. Matanya sebentar menyipit, sebentar
mendelik. "Di mana dia menyimpan kitab dan kipas itu"
Di sini tak ada perabotan sama sekali, selain ranjang.
Sialan! Hmm.... Kalau kitab dan kipas itu tak kutemukan, lebih baik aku
bertindak sekarang. Akan kubu-
nuh dia!" gumam gadis itu.
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitu tidak menemukan yang dicari, se-
pasang mata gadis ini lantas menyengat tajam pada
Malaikat Berdarah Biru. Dan dengan dagu mengerat,
tangannya diangkat dan segera diayunkan pada wajah
Malaikat Berdarah Biru.
Namun sejengkal lagi tangan itu menghantam,
tiba-tiba tubuh Malaikat Berdarah Biru menghindar
bergerak ke samping. Hingga, hantaman tangan sang
gadis yang rupanya telah terisi tenaga dalam, menghu-jam deras ke ranjang tempat
kepala Malaikat Berdarah Biru tadi berada.
Di kejap lain, bersamaan dengan melayangnya
lawan sang gadis, tangan kanan Malaikat Berdarah Bi-ru segera bergerak cepat
ditekannya tangan sang gadis yang tadi menghantam. Hingga untuk beberapa saat,
gadis ini tak bisa berkutik.
"Hih...!"
Malaikat Berdarah Biru mendengus keras. Ma-
tanya berkilat-kilat dengan bibir menyeringai. Lalu dengan cepat tangannya
bergerak. Plaakk! Plaakk!
Pipi kanan kiri gadis ini berubah merah, terke-
na tamparan keras tangan Malaikat Berdarah Biru.
Hingga sesaat lamanya, bibir gadis ini terkatup rapat.
Lalu, wajahnya lunglai di atas ranjang.
"Jangan mimpi jika ingin membunuhku dengan
cara licik!"
Setelah sang gadis bisa menguasai diri, sepa-
sang matanya menyorot tajam pada Malaikat Berdarah
Biru. Bibirnya yang tampak membiru dan sedikit men-
geluarkan darah tampak membuka.
"Kaulah yang licik! Menggauliku dengan tak se-
nonoh!" bentak gadis ini.
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak. "Tak senonoh?" ulang pemuda ini dengan mata mengejek. "Apakah geliatan
tubuh serta erangan mulutmu yang mendesah puas...."
"Itu karena ilmu terkutukmu!" potong sang gadis.
Malaikat Berdarah Biru makin terbahak. Na-
mun tiba-tiba tawanya lenyap seketika. Matanya menelusuri tubuh gadis itu yang
sebagian terbuka.
"Putri Tunjung Kuning! Kau masih beruntung
nyawamu kuperpanjang. Malah masih merasakan ke-
nikmatan. Tapi aku memperpanjang nyawamu dengan
satu syarat. Jika kau tak setuju, saat ini juga tubuhmu akan kuremukkan!" ancam
Malaikat Berdarah Bi-ru.
Sambil berkata tangan Malaikat Berdarah Biru
mencekik leher gadis yang ternyata Putri Tunjung
Kuning. Seketika gadis itu megap-megap susah berna-
pas dan tampak pucat pasi ketakutan.
"Haram jadah! Seandainya tubuhku tidak da-
lam keadaan terluka, mungkin aku masih bisa beron-
tak... Apa harus dikata" Kali ini aku harus menga-
lah.... Akan kuturuti segala kemauannya, sambil mencari kesempatan untuk
merampas kitab dan kipas
itu...," kata batin Putri Tunjung Kuning, seraya menggapai-gapaikan tangannya.
Putri Tunjung Kuning mengangguk-anggukkan
kepala, memberi isyarat.
"Baiklah, katakan apa syarat yang kau ingin-
kan?" seru Putri Tunjung Kuning dengan suara meng-gantung di tenggorokan, ketika
Malaikat Berdarah Biru mengendurkan cekikannya, setelah menerima isyarat.
Malaikat Berdarah Biru tersenyum.
"Kau harus turuti segala perintahku! Kau den-
gar"!" ujar Malaikat Berdarah Biru.
Putri Tunjung Kuning kembali mengangguk
perlahan. "Aku akan turuti segala perintahmu. Bahkan
kemauanmu pun akan kulayani. Namun aku pun ber-
buat demikian, bukannya tanpa syarat!" sahut Putri Tunjung Kuning.
Malaikat Berdarah Biru mendengus. "Katakan!
Apa permintaanmu"!"
"Aku harus ikut mempelajari isi kitab yang ada di tanganmu!"
Malaikat Berdarah Biru membesarkan sepasang
matanya. Namun sejenak bibirnya menyungging se-
nyum. "Kalau hanya itu, kau tak usah khawatir. Kitab itu akan kuserahkan padamu,
untuk kau pelajari. Ta-pi, ingat. Hanya untuk kau pelajari, tanpa untuk kau
miliki!" "Kau tak berdusta dengan ucapanmu"!" cecar Putri Tunjung Kuning, seakan
tak percaya dengan ka-ta-kata Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru menggelengkan kepala
sambil tersenyum Lalu dengan perlahan sekali tan-
gannya bergerak menarik pakaian Putri Tunjung Kun-
ing yang hanya ditutupkan begitu saja.
Kali ini Putri Tunjung Kuning tidak berontak.
Malah, begitu tubuhnya sudah tak tertutup lagi, tangannya segera melingkar ke
pinggang Malaikat Berda-
rah Biru. Mendapati sambutan Putri Tunjung Kuning, bi-
bir Malaikat Berdarah Biru menyeruakkan senyum.
Dadanya berdegup kencang. Tubuhnya kontan panas
membara. Kedua tangannya serentak merengkuh tu-
buh Putri Tunjung Kuning. Bibirnya yang masih tam-
pak kebiruan akibat tamparan, segera dipagutnya. Dan ini membuat Putri Tunjung
Kuning sedikit mengeluarkan seruan tertahan. Namun pemuda itu seakan tak
peduli. Bibir merah merekah itu terus dilumatnya.
Untuk beberapa saat, Putri Tunjung Kuning
tampak tersengal. Namun karena sambil memagut
tangan Malaikat Berdarah Biru tak tinggal diam, gadis itu perlahan-lahan hanyut.
Bahkan erangan-erangan
halus mulai keluar dari bibir Putri Tunjung Kuning
membuat Malaikat Berdarah Biru semakin menggelora
dengan keluarkan dengusan-dengusan nafsu.
"Putri Tunjung Kuning! Kau benar-benar wanita
yang...," suara Malaikat Berdarah Biru tak berlanjut karena tertindih desahan
napasnya yang kian memburu kencang.
*** 10 Malam sudah merangkak jauh. Angin malam
mulai dingin menusuk. Namun bulatan bulan yang ti-
dak tertutup lintasan awan, membuat bumi bermandi
cahaya terang. Dalam suasana demikian, di sebuah hutan sepi
yang jauh dari perumahan penduduk, sesosok bayan-
gan hijau tampak bergerak cepat seakan ingin segera menemukan tempat untuk
menghangatkan tubuhnya
yang sudah menggigil kedinginan.
Mendadak, lari sosok hijau ini terhenti. Dia
berdiri tegak sebentar dengan mata menyapu berputar.
Telinganya bergerak-gerak, pertanda tengah menge-
rahkan panca inderanya untuk lebih jelas menangkap
suara yang sayup-sayup mengiang di pendengarannya.
"Jangkrik! Aku tak dapat menentukan sumber
suara!" gerutu sosok itu tiba-tiba.
Selagi sosok ini masih tegak termangu, dari
arah samping kanan terdengar suara gemeretak dahan
patah. Menyangka tempat itu adalah sumber suara,
sosok ini segera berkelebat ke samping kanan. Ternya-ta, yang ditemui hanyalah
luruhan dahan yang jatuh
ke bawah seperti tersambar angin kencang. Padahal
daun-daun pohon itu tak bergoyang!
Krakk...! Dan baru saja sosok ini memperhatikan luru-
han dahan, dari arah samping kiri terdengar kembali gemeretak dahan patah.
Secepat kilat sosok ini berkelebat ke samping kiri. Namun, lagi-lagi yang
ditemui hanyalah luruhan dahan saja.
"Aneh! Apakah di hutan ini ada hantunya?" ka-ta batin sosok ini.
Sosok itu lantas memperhatikan berkeliling.
Tengkuknya kontan merinding.
"Tapi, ini perbuatan manusia berkepandaian
tinggi! Tak mungkin hantu bisa meluruhkan dahan sa-
tu, tanpa sehelai daun pun yang gugur!"
Kembali sosok ini berkata-kata sendiri dalam
hati. Namun, kata hatinya tiba-tiba lenyap saat telinganya menangkap suara
cercauan seperti orang
membaca syair mantera.
Merasa sumber suara bisa ditemukan, sosok ini
cepat berkelebat ke arah sumber suara. Sampai di
tempat sumber suara, dia terperangah.
Di tengah sebuah dataran rumput yang mem-
bentuk lingkaran tidak begitu besar, tampak seorang
perempuan sedang duduk memperdengarkan suara
syair-syair mantera. Rambutnya panjang tergerai hing-ga pinggang. Pinggulnya
besar dan mempesona. Apala-
gi dibungkus pakaian ketat tipis berwarna putih tembus pandang.
Karena sosok yang mencari sumber suara
muncul dari arah belakang, maka perlahan-lahan ka-
kinya melangkah ke samping. Dari arah samping, baru terlihat agak jelas bagian
depan perempuan yang sedang duduk di tengah lingkaran dataran rumput itu.
Dada perempuan ini tampak membusung ken-
cang menantang. Namun yang membuat sosok hijau
sedikit heran, seluruh wajah perempuan itu tertutup sepotong kain putih, dan
hanya meninggalkan dua lobang pada matanya.
"Hm.... Melihat bentak tubuhnya, pasti dia mu-
da! Sedang apa dia..." Merapal aji-aji..." Tapi, lebih baik aku tak
mengganggunya! Aku akan meneruskan
perjalanan ke pesisir utara. Gelombang ombaknya te-
lah terdengar dari sini, berarti sudah tidak jauh lagi...,"
gumam sosok itu.
Berpikir begitu, sosok hijau yang bukan lain Aji
atau Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik
hendak melangkah pergi. Namun langkahnya menda-
dak tertahan ketika....
"Anak muda! Perlu kau ketahui, siapa pun yang
telah memandangku, maka saat itu hidupnya akan be-
rakhir!" tegur sebuah suara.
Sesaat Aji tercengang. Tapi, tak dihiraukannya
suara teguran. Langkahnya dilanjutkan. Namun baru
dua tindak... "Aku yakin telingamu tidak tuli, Anak Muda!
Berhentilah melangkah. Dan terima saat kematianmu!"
Kembali terdengar suara teguran.
"Perempuan aneh! Melihat tampangnya saja ha-
rus dibayar dengan nyawa! Apa dikira tampangnya be-
gitu mahal harganya...?" kata batin Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas melang-
kah tanpa berbalik.
"Aku belum memandang seluruh tubuhmu, ka-
rena wajahmu tertutup kain! Berarti, bayaran yang
kau minta terlalu tinggi. Bagaimana jika kubayar dengan suara tawa saja...?"
Aji mendongak dan tertawa terbahak-bahak
sambil meneruskan langkah. Pada saat itulah dari
arah belakang terdengar suara gemuruh bagai gelom-
bang. Aji berpaling, namun kontan terperanjat. Tampak beberapa buah ranting kayu
berderak bersiutan
tajam menerjang ke arahnya!
"Hup!"
Cepat murid Wong Agung ini melesat ke udara,
membuat putaran sekali. Lalu kedua tangannya mele-
pas pukulan jarak jauh dari udara.
Prakk! Prakk! Prakk!
Saat itu juga ranting-ranting kayu yang kelua-
rkan suara bersiutan, berantakan menjadi patahan kecil-kecil.
"Setan iblis! Ternyata kau berilmu juga, Anak
Muda! Membuat gairahku sedikit menyala!" kata sang perempuan bercadar putih.
Mendengar ucapan perempuan itu, Aji segera
berbalik. Sepasang matanya jadi terbelalak besar. Perempuan bercadar ternyata
telah berdiri di belakangnya sambil kacak pinggang dengan kaki direntangkan.
Sehingga tubuhnya yang dibalut pakaian putih tipis
tampak tembus pandang membayangkan bentuk leku-
kan-lekukannya.
"Benar-benar edan! Tubuh perempuan satu ini
benar-benar yahud!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima
dengan pemandangan di hadapannya, perempuan ber-
cadar putih tertawa panjang mengikik. Sehingga mem-
buat dadanya yang membusung kencang ikut bergun-
cang-guncang naik turun. Sementara Aji makin mem-
besarkan sepasang matanya.
"Pemuda tampan! Karena gairahku menyala se-
telah memandangmu, kematianmu kutunda dengan
syarat!" kata perempuan tua itu.
"Gila! Apa kau merasa bisa menentukan kema-
tian seseorang?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108
sambil menarik kuncir rambutnya.
"Benar! Apa kau perlu bukti...?" jawab sang perempuan bercadar.
Dan belum sempat Aji membuka mulut, perem-
puan itu telah melesat.
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya melihat
dua bersitan cahaya hitam. Dan tahu-tahu, kedua tangan perempuan itu telah
menghantam dari arah samp-
ing kanan dan kiri kepala.
Bet! Bet! Pemuda itu segera merunduk seraya mengang-
kat kedua tangannya lurus ke atas, memapak seran-
gan. Prakk! Prakk!
Terdengar dua kali benturan berturut-turut. Aji
terkejut. Karena kedua tangannya yang baru saja me-
matahkan serangan hantaman tangan perempuan ber-
cadar ini bagai membentur lempengan besi panas. Tu-
buhnya bergetar hebat. Dan hampir dia jatuh terjengkang jika saja tidak segera
meloncat dengan membuat gerakan berputar dua kali di udara lalu menjejak den-
gan kaki kokoh.
Namun, Aji tidak bisa lama-lama tegak. Karena
perempuan bercadar itu telah kembali melancarkan
serangan sambil menghantamkan kedua tangannya
dari jarak jauh, setelah jungkir balik di udara.
Wuss! Wuss! Dua kilatan keluar menyambar cepat ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108. Namun Aji cepat mere-
bahkan diri ke samping kanan dan bergulingan dua
kali. Lalu kedua tangannya dihantamkan ke depan,
menangkis serangan.
Darr! Daarr! Tempat itu kontan bergetar. Padang rumput
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melingkar terpapas dan hangus serta berhamburan ke
udara. Di bawah tempat bertemunya dua pukulan,
tampak dua kubangan besar.
Sehabis menghantam, Pendekar Mata Keran-
jang 108 terus bergulingan. Dan pada suatu tempat,
dia cepat menghentakkan kedua tangannya ke tanah.
Tubuhnya melenting ke udara, lalu mendarat dengan
tubuh tegak. "Sial! Perempuan ini benar-benar ingin mence-
lakaiku! Siapa dia sebenarnya" Ah! Lebih baik aku cepat menghindar. Tugasku
lebih penting daripada harus melayani perempuan gila ini!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berbalik dan melesat. Tapi baru saja tubuhnya beberapa tombak melesat,
justru dari arah depan sebatang dahan kayu agak besar melesat berputar bagai
baling-baling. Pendekar Mata Keranjang 108 segera melompat
ke belakang. Kedua tangannya yang mengepal dis-
ilangkan di depan dada. Lalu dihantamkannya ke de-
pan. Murid Wong Agung ini telah lepaskan jurus sap
ketiga, yakni 'Gelombang Prahara'.
Werr...! Angin menderu bagai gelombang menggebrak
keluar dari tangan Aji, membentur batangan dahan
kayu hingga hancur berderak-derak! Namun tanpa di-
duga sama sekali saat itu juga perempuan bercadar ini telah melesat cepat dengan
kaki lurus mengarah pada dada Aji.
"Benar-benar gila! Gerakannya begitu cepat!"
maki Aji, seraya memutar tangannya di depan dada.
Dess! Dess! Namun Aji seketika terbelalak. Meski bisa me-
nahan, namun sepasang kaki yang menerjang dadanya
bagai baja kerasnya. Kaki itu tak bergeming sama sekali. Hingga tanpa terbendung
lagi, sepasang kaki perempuan itu terus meluncur ke arah dada Aji.
Merasa tak bisa lagi menangkis, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera menghindar dengan merebahkan
diri ke belakang. Sehingga, membuat sepasang kaki itu lewat menerpa tempat
kosong di atas tubuhnya.
Pada saat itulah Aji mencium aroma bunga.
Keningnya kontan berkernyit dan buru-buru bangkit.
Namun baru saja tubuhnya tegak, dari arah belakang
sepasang kaki telah menjepit lehernya.
Bluk! Aji berusaha berontak dengan menghantamkan
kedua tangan kiri dan kanan. Tapi sebelum kedua tangannya bergerak menghantam,
gerakan jepitan kaki di lehernya telah bergerak ke samping, membuat tubuh
Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting!
Bukk! Sambil mengertakkan rahang Aji bangkit. Dan
dia sadar kalau lawannya adalah seseorang yang berkepandaian tinggi, serta ingin
mencelakai dirinya. Dan
Pendekar Mata Keranjang 108 segera mengeluarkan
kipas dari balik bajunya.
Tanpa menunggu lama lagi, Aji cepat miringkan
tubuh sambil mengebutkan kipasnya dengan tenaga
dalam penuh! Beett! Gelombang angin melengkung disertai mene-
barnya hawa panas segera melesat. Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 ternyata telah melepaskan pukulan sap
keempat yakni 'Segara Geni'.
Di lain pihak, perempuan bercadar itu sedikit
terkejut, namun tidak berusaha menghindar.
"Kipas butut! Apa yang perlu ditakutkan!" sergah sang perempuan bercadar.
Satu tombak lagi angin serangan Aji mengge-
brak, perempuan bercadar itu berseru keras. Tubuh-
nya mendadak bergetar, lalu berputar setengah lingkaran. Kedua tangannya
diluruskan ke samping, lalu dihentakkan.
Sett! Sett! Sett! Sett!
Empat larik sinar putih berkilat membawa ha-
wa dingin seketika menyengat menyongsong lurus pu-
kulan Pendekar Mata Keranjang 108.
Crass! Crass! Empat larikan sinar putih yang menyongsong
lurus dari kedua telapak tangan perempuan bercadar itu menerabas punah gelombang
serangan kipas Aji,
mengeluarkan suara bagai batang terpapas dua kali.
Di kejap itu juga, Pendekar Mata Keranjang 108
merasa ada gelombang badai menghantam tubuhnya.
Hingga untuk beberapa saat, tubuhnya terseret ke belakang sampai dua tombak.
Jika saja tidak segera melompat ke udara dan membuat gerakan berputar ke
depan, niscaya tubuhnya akan terhempas melabrak
pohon di belakangnya.
Seraya menindih rasa terkejut, karena pukulan
sap keempat yang dilepasnya begitu mudah dimus-
nahkan, Aji segera menyiapkan jurus sap kelima.
"Apa boleh buat"! Terpaksa jurus sap kelima
kugunakan!" gumam Aji dengan mata membesar me-
rah. Tapi mendadak Aji terperanjat. Perempuan itu
ternyata tidak ada di tempatnya semula.
"Jangkrik! Ke mana hilangnya perempuan itu"!"
"Kau mencariku, Anak Tampan...?"
Mendadak terdengar suara menegur dari arah
belakang. Dan Aji segera berbalik. Perempuan bercadar itu ternyata telah tegak
dengan kacak pinggang tiga tombak di hadapannya.
"Orang tampan! Hanya sampai di situkah ting-
kat kepandaianmu" Jika demikian, gairahku jadi me-
nurun kembali Dan berarti, kau harus mampus seka-
rang juga! "Hik... hik... hik..!"
Mendengar ucapan perempuan bercadar, muka
Pendekar Mata Keranjang 108 merah padam. Rahang-
nya terangkat menahan marah. Lalu tanpa berkata la-
gi, segera dikibaskan kipasnya lurus ke depan. Sementara, tangan kirinya yang
mengepal dihantamkan ke
depan. Wutt...!
Werr...! Gemuruh gelombang dahsyat disertai sembu-
ran-semburan aneh bersilangan menghentak ke arah
perempuan bercadar.
"Pukulan 'Bayu Cakra Buana'! Hik... hik.. hik...
Tak berarti banyak bagiku, Anak Tampan!"
Perempuan bercadar itu menakupkan kedua
tangannya di depan wajah. Lantas didahului bentakan
lengking, tubuhnya melorot hingga duduk bersila. Kedua tangannya yang terbuka
cepat dihantamkan ke
depan. Mula-mula terdengar seperti suara tiupan se-
ruling. Makin lama makin keras, lalu berubah bagai
suara dengungan kumbang. Tiba-tiba dua berkas ca-
haya bola api berwarna putih menyambar keluar, dari kedua tangan perempuan
bercadar itu. Bumm! Bumm! Dua serangan Pendekar Mata Keranjang 108
kontan lenyap musnah, ditelan cahaya bola api. Dan di lain kejap, terdengar dua
kali gelegar dahsyat saat dua serangannya terhadang cahaya bola api.
"Aahh...! Aji berseru keras. Tubuhnya mencelat. Semen-
tara kipas di tangannya terpental. Begitu terpuruk di atas tanah, dari sudut
bibirnya tampak menggenang
darah segar. Sementara baju hijaunya terkoyak han-
gus di bagian lengannya.
Aji berusaha bangkit. Namun baru saja tegak
perutnya terasa mual. Dan tak lama kemudian, dia
muntah. Tubuhnya kembali terhuyung lalu jatuh.
Di seberang sana, perempuan itu tampak jatuh
terjengkang. Tapi dia segera bangkit. Sambil mengeluarkan tawa panjang, dia
melangkah mendekat ke arah
Aji. "Tamat riwayatku!" keluh Aji.
Karena tubuhnya serasa tak bisa digerakkan
lagi, Pendekar Mata Keranjang 108 hanya bisa me-
mandangi langkah-langkah kaki perempuan bercadar
yang terus mendekat. Dan disangka perempuan itu
akan menghabisi dirinya. Dan Aji pun cepat memejam-
kan kedua matanya seraya memusatkan sisa-sisa te-
naganya. Namun Pendekar Mata Keranjang 108 jadi ter-
kejut. Karena suara langkah kaki perempuan bercadar itu terus melewatinya. Lalu
terdengar benda jatuh di sampingnya.
Dengan mata masih bergetar serta tangan siap
melepaskan pukulan, Pendekar Mata Keranjang 108
membuka kelopak matanya. Kipas miliknya ternyata
telah tergeletak di sampingnya. Begitu memandang ke belakang, ternyata perempuan
bercadar itu terus melangkah menjauh.
"Aneh! Apa maunya perempuan itu?" kata batin Aji seraya hendak bangkit
Namun mendadak mata Pendekar Mata Keran-
jang 108 terbelalak lebar. Karena bersamaan dengan
berlalunya perempuan bercadar itu, tercium aroma
bunga tujuh warna.
"Sial! Berarti dia orang yang kucari!" gumam Aji seraya cepat bangkit. "He....
Tunggu!" Namun perempuan bercadar itu terus melang-
kah dan berkelebat hilang di balik rimbunan pohon.
"Sial!" maki Aji seraya mengambil kipasnya.
Dan tubuhnya segera berkelebat ke arah menghilang-
nya perempuan bercadar. Namun hingga matanya te-
lah mencari perempuan bercadar tak ditemukan lagi.
Aji termangu-mangu sambil menggerutu pan-
jang pendek Lalu, matanya berpaling ke jurusan lain.
Saat itulah matanya tertumbuk pada sehelai daun
yang menancap di batang pohon. Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 membesarkan mata, seraya melangkah
mendekat. Di helai daun itu ternyata tertera sebuah tulisan. "Teruskan
perjalanan!"
Beberapa saat pemuda ini memperhatikan tuli-
san. "Di sini tidak ada orang lain. Berarti, tulisan ini ditujukan padaku! Perempuan
itu pasti yang menulis!"
duga Pendekar Mata Keranjang 108 sambil berbalik.
Seketika tubuhnya berkelebat, ke arah utara di mana terdengar sayup-sayup
gelombang ombak
*** 11 Saat matahari baru saja muncul dari bentan-
gan kaki langit di sebelah timur, Aji menjejakkan kakinya di pesisir Pantai
Utara. Beberapa lama Pendekar Mata Keranjang 108 memandang berkeliling. Tapi,
tak seorang pun yang terlihat. Dia tercenung seraya menarik-narik kuncir
rambutnya. Kedua tangannya di-
usapkan pada wajahnya yang terasa lengket.
Pada saat itulah hidungnya mencium aroma
bunga tujuh warna. Aji segera mempertajam penci-
umannya, untuk mengetahui arah sumber aroma bun-
ga. Dibantu semilirnya angin pesisir, pada akhir-
nya Pendekar Mata Keranjang 108 dapat menemukan
sumber aroma bunga tujuh warna. Tapi begitu sampai, Aji jadi terperangah.
Di bawah sebatang pohon yang tidak berdaun
yang tampak membentuk lobang menyerupai pintu,
duduk bersandar seorang perempuan tua. Rambutnya
putih awut-awutan. Pakaian yang dikenakannya telah
robek di sana sini, serta sudah terlihat dekil. Dari pakaiannya yang compang
camping, terlihat jelas kalau dada perempuan itu sangat tipis. Sehingga, tulang
dadanya tampak jelas bertonjolan.
Dan Aji semakin terperangah, saat matanya
melihat paras perempuan tua itu. Sepasang matanya
sangat cekung dan tampak terkantuk-kantuk meme-
jam dan membuka. Di bawah mata hanya terdapat dua
lobang, tanpa tampak tonjolan hidung. Mulutnya san-
gat tipis dan ciut.
"Perempuan tua inilah yang kucari!" kata Aji seraya melangkah lebih mendekat
Pendekar Mata Keranjang 108 batuk-batuk ke-
cil beberapa kali. Diberi isyarat kedatangan dan beru-paya agar perempuan itu
tidak terkejut.
Namun usaha Pendekar Mata Keranjang 108 ti-
dak membuahkan hasil. Perempuan tua itu tetap ter-
kantuk-kantuk seperti semula.
"Akan ku coba dengan menegur!" gumam Aji,
"Eyang...."
Perempuan tua itu tetap tak bergeming dengan
mata terpejam dan membuka. Aji kembali memanggil.
Namun perempuan itu tetap diam, seolah tidak men-
dengar panggilannya. Aji keraskan suaranya, tapi tetap sia-sia. Pendekar Mata
Keranjang 108 menarik kuncir rambutnya sambil geleng-geleng. Lantas kakinya
melangkah lebih mendekat. Dan baru saja mulutnya ter-
buka hendak memanggil, kedua mata perempuan tua
itu membuka lebar. Lalu ditatapnya lurus-lurus pada Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 terperanjat. Bu-
ru-buru kakinya mundur dua langkah ke belakang
sambil menjura hormat.
Perempuan tua yang duduk bersandar ini
membuka mulutnya yang kecil. Dikeluarkannya tawa
perlahan, tapi cukup membuat Aji harus mengerahkan
tenaga dalam ke gendang telinganya.
"Eyang...," panggil Pendekar Mata Keranjang 108, begitu tawa itu lenyap.
"Siapa kau, Anak Muda..."!" selak perempuan tua ini. Aji kembali menjura hormat.
"Namaku Aji, Eyang...! Aku mencarimu!"
Perempuan tua itu mengangguk perlahan.
"Hm.... Hari ini penantianku akan berakhir!
Anak muda, aku telah tahu siapa kau. Dan, apa tu-
juanmu!" Aji sedikit tersentak kaget. Namun rasa terke-
jutnya buru-buru dihilangkan tatkala tiba-tiba saja perempuan tua di hadapannya
singkap rambutnya yang
awut-awutan. Sepasang mata Aji terbeliak lebar. Di balik
rambut perempuan tua itu tampak menyelip sebuah
bumbung bambu kecil yang ujung keduanya disumbat
kayu dan diikat pada seutas tali yang melingkar. Melihat warna bumbung bambu
yang telah berbintik-bintik hitam dan lusuh dan keropos di bagian tengahnya, bi-
sa diduga jika bumbung bambu itu begitu tua.
Tangan kanan perempuan tua itu tiba-tiba ber-
gerak cepat, dan menarik bumbung bambu dari ram-
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
butnya. Lantas tanpa senyum, perempuan tua itu
mengulurkan bumbung bambu pada Aji.
"Anak muda! Pergunakan baik-baik apa yang
ada di dalam bumbung bambu ini! Tapi, ingat. Kau
hanya bisa menggunakannya satu kali dalam waktu
purnama!" Dada Pendekar Mata Keranjang 108 berdebar.
Jari-jari tangannya bergetar, ketika bergerak menerima bumbung bambu dari tangan
orang tua di depannya.
"Eyang...," kata Aji pelan, seakan suaranya tersendat.
Perempuan tua di hadapannya mengangkat
tangannya, memberi isyarat agar Aji tidak meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, Anak Muda. Mimpiku tadi malam
telah membimbingku dapat mengetahui siapa kau, dan
apa maksudmu mencariku. Kipas milikmu itulah tan-
da satu-satunya! Nakh! Penjelasanku kurasa sudah
cukup. Lekas tinggalkan tempat ini. Tugas berat telah menunggumu lagi!"
Habis berkata begitu, perempuan tua ini men-
guap. Dan mendadak tubuhnya terangkat ke atas, ma-
suk ke dalam lobang berbentuk pintu pada batang po-
hon yang dibuatnya bersandar. Dan begitu tubuhnya
lenyap, aroma bunga tujuh warna kembali menyeruak.
Tersadar dari rasa terkesima, Aji cepat-cepat
menjura sambil memandang lekat-lekat ke arah pe-
rempuan tua tadi lenyap.
Hingga beberapa saat lamanya Pendekar Mata
Keranjang 108 masih termangu di situ, berharap agar orang tua tadi kembali
muncul. Namun hingga kakinya terasa pegal orang tua tadi tidak lagi menampakkan
di-ri. Aji lantas menyapukan pandangan ke sekelil-
ing. "Aku akan mencari tempat yang aman untuk
mengetahui isi bumbung ini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 perlahan berba-
lik lalu melangkah. Agak jauh dari pesisir pantai, tubuhnya langsung berkelebat
dan menghilang ke balik
rimbunan pohon-pohon hutan di dekat pesisir pantai.
SELESAI Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108 selanjut-
nya: PERSEKUTUAN PARA IBLIS
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Patung Emas Kaki Tunggal 4 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Jaka Lola 5