Pencarian

Pertarungan Di Pulau Api 2

Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api Bagian 2


"Ya, Kang," Melati menganggukkan kepala.
"Orang itu Pemimpin Pulau Api."
'Tepat! Orang yang tengah menuju kemari
adalah tokoh terpandai di Pulau Api!" sambung Arya melengkapi pertanyaan
kekasihnya. Kali ini Melati tidak menyambuti ucapan
kekasihnya. Gadis itu menganggukkan kepala
sedikit. Setelah itu, pandangannya ditujukan ke arah kakek berpakaian merah yang
tengah mengayuh perahunya menuju tempat mereka.
Melati merasakan betapa jantungnya berdetak
amat cepat Diakuinya kalau rasa tegang
menyergap hatinya. Perasaan khawatir akan
keselamatan Dewa Arak langsung menyeruak.
Telah disaksikannya sendiri betapa lihainya
Kakek Sangga Buana. Kalau pemimpin Pulau Api itu memiliki kepandaian setingkat
dengan pemilik Pulau Es, Dewa Arak jelas bukan tandingan tokoh itu. Sebab,
tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu berada di bawah Kakek
Sangga Buana! Berbeda dengan Melati yang dihantui perasaan cemas, Dewa Arak sama sekali tidak!
Pemuda berambut putih keperakan itu tetap
bersikap tenang. Tidak terlihat gambaran
perasaan apa pun pada wajahnya, saat menunggu mendaratnya perahu yang ditumpangi
Pemimpin Pulau Api. *** Tatapan penuh selidik tampaknya bukan
hanya dilakukan Dewa Arak dan Melati.
Pemimpin Pulau Api itu pun melakukan hal yang sama. Bahkan, sebagian alis yang tidak tertutup kain merah yang membelit kepalanya berkerut.
Saat kakek itu melihat ada dua sosok tubuh yang tidak dikenalnya berdiri di
pantai. Tapi, hanya sebentar Pemimpin Pulau Api
berbuat demikian. Sesaat kemudian, dia sudah bersikap tidak peduli. Apa yang
perlu ditakuti dari dua orang muda itu" Andaikata mereka
memiliki kepandaian, sudah sampai di mana
tingginya" Berapa banyak memang pengalaman
bertarung yang mereka alami"
Dengan acuh tak acuh, Pemimpin Pulau Api
terus mengayuh dayung. Dan ketika jarak antara perahunya dengan pantai tak
sampai sembilan
tombak lagi, tanpa memperbaiki kedudukan,
kakinya digenjotnya.
"Hih!"
Seketika itu pula tubuh kakek berikat kepala merah itu melayang ke udara,
meninggalkan perahunya yang agak bergoyang karena digunakan sebagai landasan untuk melakukan
genjotan! Semua tindakan Pemimpin Pulau Api tidak
luput dari perhatian Dewa Arak dan Melati.
Tampak oleh sepasang pendekar berwajah elok
itu, kakek berikat kepala merah bersalto beberapa kali sebelum melayang turun ke
tanah. Dan. .. Plyarrr! Air laut berpercikan ke sana kemari ketika
Pemimpin Pulau Api mendaratkan sepasang
kakinya di bagian pantai yang berair. Melihat hal ini, tanpa menunggu lebih lama
lagi, Dewa Arak segera menghampiri. Setelah memberi isyarat
pada Melati untuk diam di tempatnya. Hingga
gadis itu dengan terpaksa memendam rasa
inginnya untuk maju. Melati tidak berani
membangkang perintah kekasihnya! Sebab, gadis itu yakin betul setiap tindakan
yang diambil Arya hampir selalu benar!
"Siapa kau, Kisanak" Dan apa tujuanmu
datang ke pulau ini?" tanya Arya berpura-pura tidak tahu. Jarak antara mereka
terpisah satu tombak.
"Menyingkirlah, Monyet Kecil! Jangan coba-coba membuat amarahku bangkit.
Akibatnya akan mengerikan bagimu!"
Datar dan dingin pernyataan itu. Tapi di
dalamnya terkandung ancaman mengerikan. Dan
bukan Dewa Arak kalau menghadapi ancaman
seperti itu sudah mundur teratur. Meskipun tahu tokoh yang dihadangnya
berkepandaian tinggi
dan ancaman telah dikeluarkannya, tapi Arya
tetap tenang. "Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu,
Ki. Sebelum menjawab pertanyaanku, kau tak akan kubiarkan melangkah lebih jauh!" mantap dan tegas kata-kata yang dikeluarkan Dewa Arak
"Keparat!"
Suara kakek berikat kepala merah itu
langsung meninggi. Tarikan wajah dan sorot
matanya memancarkan kemarahan. Tapi itu
tidak seberapa. Yang mengherankan Melati dan Dewa Arak adalah bibir Pemimpin
Pulau Api yang tidak bergerak. Kalau sebelumnya masih
bisa dimaklumi. Sebab, kakek itu berbicara pelan.
Tapi sekarang, kakek berikat kepala merah itu memaki keras! Lalu, mengapa kedua
bibir itu tidak bergeming"!
Belum lagi gema makiannya lenyap, Pemimpin Pulau Api telah mengibaskan tangannya. Sembarangan saja, seperti orang
mengusir lalat. Namun, akibatnya sungguh hebat.
Serangkum angin keras meluncur ke arah Dewa
Arak. Arya tidak menjadi gugup melihat serangan
itu. Sudah sejak tadi pemuda itu bersikap
waspada. Maka begitu merasakan ada sambaran
angin keras yang mampu membuat tubuhnya
terlempar, tenaga dalamnya langsung dikerahkan pada kedua kaki. Dengan tindakan
ini, kedua kaki Dewa Arak seperti menghunjam ke bumi.
Hasilnya memang seperti yang diharapkan!
Tubuhnya tidak bergeming ketika angin keras itu melanda. Hanya rambut dan
pakaiannya yang
berkibaran keras menjadi tanda kalau pemuda
berambut putih keperakan itu dilanda segundukan angin keras. Melihat serangannya
tidak membuahkan hasil, Pemimpin Pulau Api
menjadigerambukan main.
"Keparat! Pantas kau berani kurang ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau memiliki
sedikit kepandaian! Baik, kulayani kemauanmu! Hih!"
Kali ini, kakek berikat kepala merah tidak
segan-segan lagi melancarkan serangan. Sebuah tendangan kaki kanan lurus
langsung dikirimkan ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya
serangan itu, menandakan betapa kuat tenaga
yang tersalur di dalamnya. Tapi seperti kejadian sebelumnya, Dewa Arak tetap
bersikap tenang.
Kaki kanannya ditarik ke belakang seraya
mencondongkan tubuh. Pemuda itu tahu, meskipun hanya bertindak demikian serangan
kakek berikat kepala merah telah dapat
dielakkan. Tapi, betapa kagetnya hati pemuda berambut
putih keperakan itu ketika melihat kaki
Pemimpin Pulau Api tetap meluncur ke arah
dadanya. Padahal, pemuda itu telah melangkah mundur! Dewa Arak tampak sedikit
gugup. Meskipun demikian, Arya tidak kehilangan akal sehat. Walau dengan agak tergesa-
gesa, karena sempitnya waktu, Dewa Arak masih sempat
menjejakkan kakinya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang.
Wuttt! Tendangan Pemimpin Pulau Api meluncur
beberapa jari di bawah kaki Dewa Arak. Hanya berselisih waktu sekejap. Terlambat
sedikit saja, kaki kakek berikat kepala merah itu akan lebih dulu bersarang
diangota tubuh Dewa Arak.
Jliggg! Setelah lebih dulu bersalto beberapa kali,
Dewa Arak mendarat dengan mantap di tanah.
Dan secepat itu pula bersikap menghadapi
serangan lawan selanjutnya. Namun, Pemimpin
Pulau Api tidak melancarkan serangan susulan.
Kakek itu merayapi sekujur tubuh Dewa Arak
dengan penuh selidik. Kini disadarinya kalau kepandaian
pemuda itu tidak serendah dugaannya semula. Itu bisa diketahui dari
berhasilnya pemuda berambut putih keperakan
itu meloloskan diri dari serangannya. Padahal, waktunya demikian singkat!
Sementara Arya pun tidak berani bertindak
ceroboh lagi. Pengalaman hampir celaka karena sikap gegabah yang ditunjukkannya
telah memberinya pelajaran berharga. Dewa Arak tahu, mengapa kaki lawan tetap mengejar
meski telah dielakkan. Pasti karena kakek berikat kepala merah itu memiliki ilmu
yang membuat kaki atau tangannya dapat memanjang.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak, tidak
diambil secara sembarangan. Arya tahu ada ilmu semacam itu di dunia persilatan.
Bahkan, kekasihnya pun memilikinya. Gadis berpakaian putih itu dapat memanjangkan
tangannya hampir dua kali lipat panjang semula. Jurus 'Naga Merah Mengulur
Kuku', demikian namanya.
Tapi, Arya tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya. Keadaan saat
itu sangat tidak memungkinkan. Di hadapannya tengah
berdiri seorang lawan yang teramat tangguh
Kalau dirinya bertindak sembrono, nyawanya
akan melayang meninggalkan raga. Sementara
Pemimpin Pulau Api tampaknya sudah merasa
cukup puas memperhatikan lawannya. Kini,
kakek itu telah siap membuka serangan kembali.
"Kau cukup hebat, Anak Muda. Rasanya, kau pantas menjadi lawanku," puji kakek
berikat kepala merah dingin. 'Tapi jangan berbangga hati dulu. Tadi hanya
pemanasan saja. Sekarang
bersiaplah, Anak Muda. Aku akan memulai
pertarungan sung-guhan. Hadapilah ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'-ku ini!"
Usai berkata demikian, Pemimpin Pulau Api
menyilangkah kedua tangannya yang terkepal
erat di depan dada. Kemudian dengan perlahan-lahan tapi penuh tenaga, ditariknya
kedua tangan itu ke sisi pinggang. Bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang
berpatahan, mengiringi gerakan tangan itu menuju tempat yang dituju.
Melihat hal itu, Dewa Arak tidak berani
mengambil resiko. Ilmu yang dikeluarkan lawan tampaknya amat dahsyat. Maka,
diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Kemudian
isinya dituangkan ke mulut
Gluk. .. Gluk. .. Gluk. .!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Ada hawa
hangat yang berpusat di perut Lalu, perlahan-lahan hawa itu naik ke atas. Sesaat kemudian,
sepasang kaki pemuda berambut putih keperakan itu oleng.
Doyong ke sana kemari. Itu pertanda Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu
'Belalang Sakti'nya. Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari pandangan Pemimpin Pulau Api.
Terlihat ada kerutan pada kedua alis kakek berikat kepala merah itu. Kakek itu tengah dilanda
perasaan heran. Ilmu aneh apa yang akan dilakukan
pemuda berambut putih keperakan itu" Bisik hati Pemimpin Pulau Api.
Tapi, kakek itu tidak membiarkan perasaan
bingungnya terus melanda. Buru-buru diusirnya perasaan itu. Dia dapat menduga,
meskipun kelihatannya demikian, pasti ilmu yang akan
dikeluarkan Dewa Arak sebuah ilmu andalan.
Tidak sedikit ilmu-ilmu yang kelihatan aneh, tapi di dalamnya terkandung
kedahsyatan yang
menggiriskan hati! Dia sendiri banyak memiliki ilmu-ilmu aneh!
Seiring dengan timbulnya pikiran

Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Pemimpin Pulau Api memusatkan perhatian pada ilmu yang tengah dikeluarkannya.
Kemudian.. . "Haaat.. !"
Diawali sebuah teriakan keras menggelegar
yang menggetarkan tempat itu, Pemimpin Pulau Api melancarkan
serangan pembuka. Tak
tanggung-tanggung lagi tindakan kakek berikat kepala
merah. Dalam gebrakan pertama, langsung dikirimkan pukulan tangan kanan-kiri bertubi-tubi ke arah dada Dewa
Arak. Bunyi ledakan keras seperti halilintar menyambar
mengiringi serangan itu. Sungguh berbahaya
serangan Pemimpin Pulau Api. Di samping dialiri tenaga dalam dahsyat, juga
meluncur dengan
kecepatan menakjubkan.
Tapi orang yang diserang adalah Dewa Arak!
Pemuda berambut putih keperakan itu telah siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil
mengandaskan serangan itu dengan gerakan
limbung. Kenyataan itu membuat Pemimpin Pulau Api
penasaran bukan main. Hingga, disusulinya
dengan serangan lanjutan yang tidak kalah
dahsyat. Dan seperti juga serangan pertamanya, bunyi meledak-ledak pun timbul
mengiringi luncuran serangan itu. Pertarungan dahsyat dan menarik tidak bisa dihindarkan
lagi. Pemimpin Pulau Api benar-benar dipaksa
untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Betapa tidak" Secara bertubi-tubi dan susul-
menyusul serangan dilancarkan pada Dewa Arak.
Namun, semua berhasil dikandaskan lawan
dengan elakan uniknya. Itu berlangsung sampai lima jurus!
Kegagalan demi kegagalan membuat kakek
berikat kepala merah semakin penasaran. Apalagi sampai saat itu Dewa Arak belum
melancarkan serangan balasan, hingga kakek itu merasa
diremehkan. Dalam cekaman rasa penasaran dan marah, Pemimpin Pulau Api
mengeluarkan jurus-jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'!
"Hih!"
Laksana gasing tubuh Pemimpin Pulau Api
berpusing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan atau kakinya mencuat
dari balik pusingan. Amat berbahaya! Karena meluncurnya tidak disangka-sangka.
Dewa Arak sangat terkejut melihat perubahan
gerak lawan. Sekarang pemuda itu mengerti,
mengapa kakek berikat kepala merah menamakan ilmunya 'Tinju Topan dan Geledek'.
Ilmu itu memang luar biasa! Arya mengalami
kesulitan menghadapinya. Kedudukan tubuh
lawan yang berpusing,
membuatnya sulit melancarkan serangan. Sebaliknya, Pemimpin
Pulau Api enak saja melancarkan serangan.
Dengan sendirinya, maka kedudukan kakek
berikat kepala merah lebih menguntungkan.
Hasilnya dapat diduga, Dewa Arak selalu
menjadi sasaran serangan. Untung saja pemuda itu memiliki ilmu 'Belalang Sakti'.
Sebuah ilmu yang membuatnya mampu melakukan gerakan
sesulit apa pun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Ditambah lagi jurus 'Delapan
Langkah Belalang', yang merupakan kumpulan
langkah-langkah
unik untuk mengelakkan serangan dengan cara yang membuat heran orang yang menyaksikan.
Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'
itulah, Dewa Arak mampu mengelakkan setiap
serangan Pemimpin Pulau Api hingga lebih dari sepuluh jurus! Kenyataan ini
membuat bulu kuduk kakek berikat kepala merah meremang!
Selama hidupnya, belum pemah ditemukan
seorang lawan yang mampu memunahkan
serangannya hanya dengan cara mengelak,
selama sepuluh jurus! Bahkan Sangga Buana,
pemilik Pulau Es, tidak mampu bertindak seperti ini!
Maka tidak aneh jika Pemimpin Pulau Api
semakin kalap. Kedahsyatan serangannya terus ditingkatkan. Akibatnya langsung
diterima oleh Dewa Arak. Dirasakannya tekanan serangan-serangan
lawan semakin dahsyat. Bila diumpamakan ombak, gelombang yang kini
melandanya adalah ombak-ombak setinggibukit!
Semua kejadian di kancah pertarungan tak
lepas dari penglihatan Melati. Tampak jelas ada kecemasan dalam sorot mata
maupun raut wajahnya. Bagaimana Melati tidak cemas"
Terlihat olehnya betapa kekasihnya pontang-
panting ke sana kemari menyelamatkan diri,
tanpa mampu melancarkan serangan balasan
sedikit pun. Dan memang Dewa Arak berada
dalam keadaan mengkhawatirkan.
Yang dilakukan pemuda berambut putih
keperakan itu hanya terus-menerus mengelak.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa
pertarungan telah berlangsung lima belas jurus.
Dan selama itu Dewa Arak masih mengandalkan
keistimewaan ilmu meringankan tubuh 'Belalang Sakti', dan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' untuk memusnahkan setiap serangan lawan.
Tapi begitu pertarungan telah lewat lima belas jurus,
Dewa Arak memutuskan untuk mengadakan perubahan cara bertarung. Cara
yang sekarang dilakukan tidak bisa digunakan terus. Amat berbahaya jika terus-
menerus mengelak dari serangan-serangan tokoh sehebat Pemimpin Pulau Api.
Hingga, di jurus-jurus selanjutnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukan
perubahan. Toh,
dirinya telah dapat mengira-ngira
tingkat kemampuan lawan, berkat pengamatan yang
dilakukannya selama melakukan elakan demi
elakan. *** 6 "Hih!"
Wuttt! Diiringi bunyi menderu keras, tinju kanan
Pemimpin Pulau Api mencuat dari dalam
pusingan tubuhnya. Tak tanggung-tanggung
sasaran yang dituju, ubun-ubun! Tempat yang
mematikan di tubuh manusia! Jangan mengenai
telak, terserempet saja sudah cukup untuk
mengirimnyawa Dewa Arak ke alambaka!
Dewa Arak benar-benar melaksanakan keputusannya. Begitu melihat kepalan Pemimpin Pulau Api meluncur, langsung
dipapakinya dengan tinju kanan. Pemuda berambut putih
keperakan itu tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh
tenaga dalamnya. Bahkan
dalam pengerahan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Wuttt! Hawa panas menyengat seiring dengan
meluncurnya tinju Dewa Arak. Kepulan asap tipis tampak keluar dari sekujur
tubuhnya. Sesaat
kemudian.. . Dukkk! Sungguh dahsyat benturan yang terjadi antara dua kepalan yang dialiri tenaga
dalam tinggi itu.
Bunyi menggelegar yang memekakkan telinga
terdengar! Dan tubuh dua tokoh itu terpental ke belakang.
Tapi dengan gerakan manis, Dewa Arak dan
Pemimpin Pulau Api mematahkan kekuatan daya
dorong tubuh mereka. Dan.. .
Jliggg! Ringan laksana daun kering, dua tokoh hebat
yang memiliki perbedaan usia menyolok itu
mendarat ringan di tanah.
Untuk kedua kali Pemimpin Pulau Api tidak
segera melancarkan serangan. Begitu kedua
kakinya menginjak tanah, kakek itu menatap
Dewa Arak dengan penuh selidik Ada sorot
kekaguman dan kekagetan di sana. Kagum ketika mengetahui tenaga dalam Dewa Arak
tidak berada di bawahnya, dan kaget karena kenyataan ini di luar dugaannya.
Melihat lawannya tidak melancarkan serangan, Dewa Arak pun melakukan hal yang
sama. Bedanya, kalau Pemimpin Pulau Api
berdiri dengan mantap, maka pemuda berambut
putih keperakan itu berdiri dengan kedudukan goyah seperti akan jatuh. Dengan
sikap tidak peduli, diambilnya guci arak dan dituangkan
kembali ke mulutnya. Guci itu memang telah
disimpannya di tempat semula, sewaktu dia akan bertarung.
Gluk. .. Gluk. . Gluk.. !
Kelakuan Dewa Arak membuat alis Pemimpin
Pulau Api berkerut semakin dalam.Rasa heran
yang melanda hatinya semakin besar. Tingkah
laku Dewa Arak terasa aneh dilihat.
"Siapa sebenarnya kau, Anak Muda" Mengapa berada di tempat ini?" tanya Pemimpin
Pulau Api, tak kuat menahan rasa ingin tahunya.
"Seharusnya aku yang bertanya. Bukan kau, Ki," sergah Dewa Arak
Meskipun ucapannya terputus-putus karena
pengaruh arak, Dewa Arak berhasil menyelesaikan perkataannya. Memang walaupun
kelihatan mabuk, tapi pikiran pemuda berambut putih keperakan itu tetap jernih!
"Hehhh"! Apa alasanmu berkata seperti itu, Anak Muda"! Jangan katakan kau
penghuni pulau ini. Aku kenal betul dengan semua
penghuni tempat ini!" sergah Pemimpin Pulau Api keras.
"Memang kuakui aku bukan penghuni pulau ini, Ki. Tapi, aku terhitung
pemiliknya!" sahut Dewa Arak masih dengan ucapan terputus-putus.
"Huh! Rupanya kau terlalu mabuk untuk bisa kuajak berbincang-bincang Anak Muda!"
ujar Pemimpin Pulau Api, yang merasa bingung
mendengar jawaban Dewa Arak
"Dia terlalu kuat untuk mabuk hanya karena arak, Kakek Jelek!" celetuk Melati,
terpaksa ikut angkat bicara karena mendengar kekasihnya dise-pelekan.
"Ha ha ha. .!
Omonganmu pun tidak mempunyai dasar, Gadis Bau Kencur! Bagaimana kau bisa bilang dia tidak mabuk
kalau ucapannya tidak bisa dimengerti"!" sahut Pemimpin Pulau Api seraya
mengalihkan perhatiannya pada
Melati. "Itu karena kau mempunyai otak yang bebal, Kakek Jelek! Pernyataan yang demikian
jelas kau katakan membingungkan" Lucu! Lucu sekali!"
ejek Melati menggeleng-geleng.
"Keparat!" maki Pemimpin Pulau Api sangat geram mendengar hinaan Melari.
"Jelaskan maksud ucapanmu, Wanita Sundal! Kalau tidak, jangan salahkan bila
kepalamu kuhancurkan!"
"Kau kira aku takut padamu"!" Melati langsung naik darah mendengar ancaman itu.
"Majulah! Ingin kulihat sampai di mana
kehebatanmu"!"
"Keparat! Kau memang harus dihajar!" geram Pemimpin Pulau Api sambil mengayunkan
langkah menghampiri Melati.
Tapi, baru selangkah Dewa Arak telah bergerak menghadang. "Pertarungan antara kita belum selesai, Ki,"
ucap Dewa Arak menantang.
"Memang belum!" sambut Pemimpin Pulau Api, terpaksa membatalkan maksudnya untuk
menghampiri Melari. 'Tunggulah, Wanita Sundal!
Setelah kubereskan pemuda pemabuk ini, kau
akan menerima ganjaran atas hinaanmu itu!"
Lalu Pemimpin Pulau Api mengalihkan


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatiannya pada Dewa Arak. Dirayapinya
sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu sebelum mulai melancarkan
serangan. Otot-otot tubuhnya menegang, pertanda Kakek berikat kepala merah telah
bersiap-siap melancarkan
serangan. Demikian pula Dewa Arak. Meskipun
tubuhnya oleng ke sana kemari, tapi pemuda
berambut putih keperakan itu telah siap
bertarung. Dan sebelum kedua tokoh itu saling terjang,
tanah di tempat itu bergetar hebat. Tentu saja kejadian itu mengejutkan Dewa
Arak dan Pemimpin Pulau Api, juga Melati!
Apa yang tengah terjadi" Tanya ketiga orang
itu dalam hati.
"Hei!"
Teriakan kaget Melati membuat Dewa Arak
dan Pemimpin Pulau Api mengalihkan pandangan ke arah pandangan gadis berpakaian putih itu. Sepasang mata kedua
tokoh itu tiba-tiba membelalak lebar melihat pemandangan yang
membuat Melari menjerit. Raut wajah dan
pandang mata mereka memancarkan keterkejutan yang sangat. Betapa tidak" Tampak oleh mereka salah satu bagian
lereng gunung es longsor! Gumpalan-gumpalan batu es dalam
berbagai bentuk bergelindingan ke bawah.
"Apa yang terjadi, Kang"!" tanya Melati, tanpa mampu memyembunyikan perasaan
ngeri yang membalut hatinya. Kemudian, setengah berlari gadis itu menghambur ke arah
kekasihnya. "Aku juga tidak tahu, Melati. Mungkin pulau ini akan tenggelam ke dasar laut,"
jawab Dewa Arak dengan gugup. "Kalau hanya longsor saja tak mungkin getarannya
sampai ke sini. Apalagi sampai sekuat ini! Gunung itu letaknya jauh dari sini!"
'Tenggelam, Kang"!" ada rasa ngeri yang membayang jelas di wajah gadis
berpakaian putih itu ketika mengucapkannya.
"Itu hanya dugaanku saja, Melati."
Arya buru-buru memperbaiki ucapannya
untuk menenangkan hati kekasihnya. Tapi usaha Dewa Arak sia-sia. Melati telah
telanjur merasa ngeri. Gadis itu tidak mudah untuk ditenangkan kembali. Ini
terbukti. .. "Kalau begitu, tunggu apa lagi"! Mari kita segera tinggalkan tempat ini, Kang!
Aku tidak ingin mati terkubur di dasar laut!" ucapa Melati kalap. Dalam
cengkeraman rasa ngeri yang
menggelegak, tanpa sadar Melati mengguncang-
guncangkan tubuh Dewa Arak.
'Tidak semudah itu, Melati. Kita harus
memberitahukan kejadian ini pada kakekku.
Tidak sepatutnya kita meninggalkannya begitu saja!" tandas Dewa Arak.
"Kalau begitu, mari kita pergi ke sana, Kang!"
sambut Melati cepat.
Kemudian tanpa memberi kesempatan pada
Dewa Arak untuk berpikir, Melati melesat
menuju Istana Es. Karena gadis berpakaian putih itu tidak melepaskan
pegangannya, terpaksa
Dewa Arak mengikuti langkah Melati. Kalau itu tidak dilakukan, tubuhnya akan
terseret-seret.
Meskipun demikian, Dewa Arak masih sempat
melihat ke arah Pemimpin Pulau Api tadi berdiri.
Ternyata kakek berikat kepala merah itu sudah tidak ada lagi. Pemimpin Pulau Api
tengah melesat cepat ke arah gunung yang sedang
longsor itu! Tentu saja tindakan Pemimpin Pulau Api
membuat Dewa Arak heran bukan main! Sudah
gilakah kakek berikat kepala merah itu" Kalau tidak, mengapa di saat gunung itu
longsor malah bergerak mendekati" Apakah dia ingin tertimpa gundukan-gundukan es
yang rata-rata sebesar
kerbau" Tapi Dewa Arak segera membuang jauh-jauh
pertanyaan-pertanyaan
itu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah secepatnya tiba di Istana Es, dan memberitahukan
kejadian ini pada Kakek Sangga Buana. Mudah-mudahan kakek itu
tidak mengalami kejadian yang tidak diinginkan.
Merupakan hal yang wajar bila pemuda
berambut putih keperakan itu mencemaskan
keselamatan Kakek Sangga Buana. Sebab
getaran itu semakin terasa jelas. Bahkan,
semakin lama guncangannya semakin kencang!
Rasa cemas Dewa Arak dan Melari membuat
mereka berlari seperti dikejar hantu! Karena kedua orang muda itu mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya, maka hanya dalam
beberapa lesaran saja Istana Es telah terlihat.
Semangat mereka semakin besar untuk segera
tiba. Hingga kecepatan lari sepasang muda-mudi itu ditambah.
"Kek. .! Kakek. .!"
Belum juga mencapai pintu gerbang Istana Es, Dewa Arak telah berteriak-teriak
memanggil Sangga Buana. Sebab tepat di tengah-tengah
pintu gerbang tampak sesosok tubuh yang
dikenali Dewa Arak dan Melati sebagai Sangga Buana tengah berdiri. Kakek itu
kelihatan tenang-tenang saja.
Sosok itu memang Sangga Buana! Kakek itu
tampaknya tahu kalau dirinya dipanggil-panggil, tapi tetap saja dia berdiri di
tempatnya. Kelihatan seperti tidak peduli. Tapi dari tatapan yang tertuju pada
Dewa Arak dan Melati, agaknya dia tengah menunggu kedatangan sepasang muda-mudi
itu. "Apa yang terjadi, Arya" Mengapa kalian berlari-lari seperti dikejar hantu?"
tanya Sangga Buana
sebelum Dewa Arak dan Melati menghentikan lari. Rupanya, kakek itu tidak
sabar lagi menunggu.
"Pulau ini akan tenggelam, Kek! Cepat kita tinggalkan tempat ini!" jawab Arya
cepat begitu berada di hadapan Sangga Buana.
Lalu tanpa menunggu sambutan kakek
berpakaian putih itu, Dewa Arak langsung
mencekal per-gelangannya. Sudah dapat diduga maksudnya. Arya ingin membawa
Sangga Buana meninggalkan tempat itu.
TapiDewa Arak kecewa! Tubuh Sangga Buana
tidak bergeming ketika ditariknya! Pemilik Pulau Es itu mengerahkan tenaga
dalamnya untuk memberatkan tubuh. Hingga Dewa Arak heran.
Begitu pula Melati. Dengan sorot mata penuh
pertanyaan, sepasang muda-mudi berwajah elok itu menatap wajah Sangga Buana.
'Tenang dulu, Arya," ujar Sangga Buana
kalem. "Jelaskan, mengapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?"
"Tidakkah kau merasakan goncangan di
seluruh penjuru pulau ini, Kek"! Bahkan, tadi kulihat jelas salah satu lereng
gunung es di sana telah longsor," jelas Arya sambi menudingkan jari telunjuknya
ke arah gunung yang dimaksud.
"Ooo... Rupanya itu yang menyebabkan kau menduga demikian, Arya," ujar Sangga
Buana setengah tertawa, seraya melayangkan pandangan ke arah gunung yang ditunjukkan
Dewa Arak. Tampak masih terlihat banyak batu-batu besar dan batu-batu kecil
berguguran. "Benar, Kek," sahut Arya cepat.
"Kalau demikian, tenangkanlah hati kalian.
Percayalah, pulau ini tidak akan tenggelam.
Semua gejala-gejala yang kalian lihat hanya
merupakan sebuah pertanda."
"Sebuah pertanda" Pertanda apa, Kek?" tanya Melati, setelah saling pandang
sejenak dengan Dewa Arak.
Sangga Buana tidak segera menjawab.
Dilemparkannya seulas senyum lebar pada
sepasang muda-mudi itu.
"Sebelum kujawab pertanyaan kalian, ada baiknya bila kuceritakan sebuah legenda
yang kudapatkan dari ayahku. Menurut cerita beliau, ratusan tahun yang lalu
Pulau Es dan Pulau Api tidak terpisah. Kedua pulau itu menjadi satu."
Sampai di sini Sangga Buana menghentikan
ceritanya. Sementara Dewa Arak dan Melati
mendengarkan dengan penuh minat. Meskipun
saat tanah masih terguncang-guncang, Dewa
Arak dan Melati tidak khawatir lagi. Mereka
percaya penuh pada Sangga Buana.
"Entah karena mengapa pulau itu terpecah dua. Yang satu dinamakan Pulau Es,
sedangkan yang lain Pulau Api. Sampai sekarang, kedua
pulau yang terpecah itu tetap terpisah. Bahkan, jaraknya semakin jauh. Tapi
menurut cerita, ada saat-saat di mana antara Pulau Es dan Pulau Api tercipta
sebuah jalan yang menghubungkan
kedua pulau itu. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku sendiri tidak
mengerti. Yang jelas, sebelum terciptanya jalan itu, pada kedua pulau terjadi
guncangan keras mirip gempa. Nah!
Kurasa inilah tanda yang dimaksudkan ayahku.
Jelas, Arya, Melati?" tanya Sangga Buana di akhir kisahnya.
Dewa Arak dan Melati tidak segera memberikan jawaban. Mereka saling pandang
sejenak, sebelum akhirnya menganggukkan
kepala. "Jadi.. , kedua pulau itu bersatu kembali seperti dulu, Kek?" tanya Arya.
'Tidak, Arya," jawab Sangga Buana menggeleng. 'Pulau Es dan Pulau Api tetap
terpisah. Yang terjadi hanya sebuah jalan tembus mirip sebuah terowongan, yang
tercipta jauh di dasar laut. Demikian, menurut cerita ayahku."
"Apakah beliau pernah mengalaminya, Kek?"
"Benar, Arya. Bahkan, beliau sempat menyelidiki keanehan itu. Tapi hanya itu yang diketahuinya. Jawaban mengapa hal
seperti itu bisa terjadi, tidak ada yang bisa menjawabnya.
Yahhh.. ! Ini merupakan sebuah pertanda bahwa banyak masalah di dunia ini yang
tidak bisa dipecahkan otak manusia!"
Arya mengangguk-angguk
menyetujui pendapat Sangga Buana. Pemuda berambut putih keperakan itu memang percaya betul
akan kekuasaan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.
"Lalu.. di mana terciptanya jalan tembus itu, Kek?" tanya Arya lagi ingin tahu.
"Di gunung itu, Arya," Sangga Buana menudingkan jari telunjuknya ke arah gunung
yang salah satu lerengnya longsor.
"Pantas. .!" ujar Arya seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Apanya yang pantas, Kang?" tanya Melati penasaran.
Bukan hanya Melati saja yang ingin tahu
alasan Dewa Arak berkata seperti itu. Sangga Buana pun demikian. Kakek
berpakaian putih itu menatap cucunya dengan pandang mata penuh
pertanyaan. 'Tadi kulihat seorang kakek yang menurutku
pemimpin orang-orang berpakaian merah berlari menuju gunung itu. Semula aku
tidak mengerti, mengapa dia bertindak seperti itu. Pasti dia ingin mencari jalan
tembus menuju pulaunya."
"Jadi.. , kau bertemu dengan Pemimpin Pulau Api, Arya"!" tanya Sangga Buana agak
kaget "Benar, Kek Bahkan, antara kami telah terjadi pertempuran," jawab Arya.
Kemudian, secara singkat tapi jelas pemuda
berambut putih keperakan itu menceritakan
semuanya. Sementara Sangga Buana mendengarkan dengan penuh perhatian. Beberapa kali kakek berpakaian putih itu
berdecak kagum mendengar cerita pertarungan
Arya dengan Pemimpin Pulau Api.
"Kalau begitu. . kau harus cepat menyusulnya, Arya,"ujar Sangga Buana ketika
Dewa Arak telah menyelesaikan ceritanya.
"Boleh kutahu, mengapa begitu, Kek?"
"Sebab, bila kau tidak segera bertindak maka pusaka-pusaka Pulau Es akan
terjatuh ke tangannya. Orang-orang persilatan yang telah mendapatkan pusaka-pusaka itu,
pasti akan melalui jalan itu," jelas Sangga Buana.
"Apakah sudah pasti mereka akan melalui jalan itu, Kek" Barangkali mereka
melalui jalan lain, atau bahkan tidak menemukan jalan itu,"
bantah Arya. Sangga Buana tersenyum lebar.
"Kau yakin rombongan orang-orang persilatan itu masih berada di dalam pulau?"
Sangga Buana balasbertanya.
"Yakin, Kek," mantap dan tegas jawban Arya.
"Kalau begitu.. , mereka pasti akan menuju ke sana,"ujar Sangga Buana tak kalah


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakin. "Mengapa demikian, Kek?" Arya tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya.
"Memang sulit untuk dimengerti akal, Arya.
Tapi itulah kenyataannya. Setiap kali jalan
tembus itu muncul, akan timbul di hati orang-orang yang berada di dalam pulau
untuk menuju ke sana. Ada kekuatan aneh menarik orang untuk pergi ke sana."
Dewa Arak mengalihkan pandangan ke arah
Melati yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar. Pada saat yang
bersamaan, Melati
pun tengah menatap ke arah Arya. Bentrok
pandangan pun tidak dapat dielakkan lagi.
"Apa kau merasakan hal seperti itu, Melati?"
tanya Arya ingin tahu.
"Yahhh.. !" Arya menghela napas berat sebelum memberikan jawaban. "Memang ada
dorongan kuat untuk menuju ke sana. Padahal, yang ada di benakku pergi
meninggalkan pulau setelah memberitahukan pada kakek. Anehnya
dorongan itu menyuruhku meninggalkan pulau
melaluigunung itu."
"Aku pun demikian, Kang," timpal Melati.
"Itulah keajaiban yang sampai sekarang belum terpecahkan," celetuk Sangga Buana.
"Sekarang kalian percaya?"
Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak dan Melati
menganggukkan kepala. Bagaimana mereka tidak percaya kalau bukti-bukti sudah
demikian jelas.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita segera menyusul Pemimpin Pulau Api
sebelum pusaka-pusaka itu berhasil didapatnya," ajak Sangga Buana.
Dewa Arak dan Melati kelihatan saling
pandang dengan wajah bingung.' Betapa tidak"
Bukankah sebelumnya Sangga Buana telah
memberikan kekuasaan pada Dewa Arak untuk
mencari dan mendapatkan pusaka-pusaka Pulau
Esyang tercuri.
Tapi hanya sebentar saja keheranan itu
melanda sepasang pendekar muda ini. Mereka
segera teringat akan kekuatan aneh yang dapat mempengaruhi orang. Pasti Sangga
Buana pun mengalamihal yang sama seperti mereka berdua.
"Mari, Kek," sambut Dewa Arak setelah sadar.
Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, kemudian Dewa Arak, Sangga Buana, dan Melati
melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas ke gunung es yang tengah longsor.
Tanpa ragu-ragu, mereka
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Tentu Dewa Arak dan Sangga Buana tidak
mengerahkan seluruh kemampuannya. Bila hal
itu dilakukan, Melati akan tertinggal jauh.
Terpaksa keduanya mengerahkan tenaga sebatas lari Melati. Hingga dapat lari
berjajar. "O ya, Kek. Boleh aku bertanya sesuatu?" ujar Dewa Arak di sela-sela ayunan
kakinya. "Apa, Arya?" tanpa menghentikan lari, Sangga Buana menolehkan kepala ke arah
cucunya. "Apakah ada orang yang bernama Abimanyu, atau orang-orang yang berpakaian
seragam kerajaan mendarat di sini?"
'Tidak, Arya. Aku tahu pasti hal itu. Orang-
orang yang mendarat di pulau ini hanya dari
Pulau Api, dan tokoh-tokoh persilatan yang telah merampas pusaka. Memangnya
kenapa?" Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak menceritakannya.
"Kalau benar demikian, mereka pasti mendarat di Pulau Api. Kau tahu, Arya. Keadaan Pulau Api amat mirip dengan Pulau
Es. Yang membedakan hanya satu, yaitu api yang sewaktu-waktu menyembur dari dalam tanah
es!" Kembali Dewa Arak dan Melati bertukar
pandang. Kali ini dengan sorot mata dan tarikan wajah yang memancarkan
kekhawatiran. Mereka
khawatir akan keselamatan Abimanyu dan
rombongan Kerajaan Bojong Gading. Perasaan
khawatir akan keselamatan Patih Juminta dan
yang lainnya, membuat Dewa Arak dan Melati
ingin segera tiba di Pulau Api. Kecepatan lari mereka pun ditambah.
*** 7 Apa yang dikatakan Sangga Buana ternyata
benar. Dewa Arak dan Melati langsung bisa
membuktikan kebenarannya. Tanah yang tadi
berguncang-guncang, kini telah tenang kembali.
Dan gunung es yang tengah mereka tuju tidak
lagi meruntuhkan batu-batu es. Keadaan di pulau itu kembali tenang seperti
sediakala. Tanpa membutuhkan waktu lama, Sangga
Buana, Dewa Arak, dan Melati telah berada di kaki gunung es itu. Dan sesampainya
di sini, perjalanan yang mereka tempuh tidak mudah
lagi. Sekarang mereka harus mendaki. Tidak
jarang mereka melompat ke sana kemari, atau
menotok tonjolan demi tonjolan batu agar tubuh mereka dapat melayang ke atas.
Dengan medan yang agak sulit, apalagi
sesudah terjadi longsor itu, rombongan kecil yang dipimpin Sangga Buana
membutuhkan waktu
yang agak lama untuk tiba di bagian lereng
gunung yang longsor.
"Hup!"
Berturut-turut Sangga Buana, Dewa Arak, dan
Melati mendarat di lereng gunung es itu. Hawa dingin menyengat kulit tubuh
mereka. Di tempat ini hawa memang jauh lebih dingin. Bahkan,
tiupan angin pun seperti hendak membekukan
tubuh. Tapi dengan mengerahkan hawa murni,
ketiga orang itu membuat serangan hawa dingin tidak berarti apa-apa.
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama,
Sangga Buana segera mengedarkan pandangan.
Melihat hal ini, Arya dan Melati langsung
melakukan tindakan serupa. Sepasang muda
mudi ini tahu kalau Sangga Buana mencari jalan tembus yang diceritakannya.
Dengan sepasang
mata berkeliaran ke sana kemari, mereka
mengayunkan langkah.
"Kek. .! Itukah jalan yang kau maksud"!"
Seruan Melati membuat Sangga Buana dan
Arya mengalihkan pandangan ke arah yang
ditunjuk Melati. Tampak sebuah goa berbentuk bulat dengan garis tengah dua
tombak, tak jauh di samping kanan mereka.
"Kemungkinan besar itulah jalan yang
dimaksud, Melati," jawab Sangga Buana tidak berani memastikan.
"Lalu.. bagaimana cara membuktikan kebenarannya, Kek"!" tanya Melati lagi.
Gadis berpakaian putih itu menanyakannya
dengan alis berkerut. Melati kelihatannya tidak puas dengan jawaban yang
diberikan Sangga
Buana. 'Tentu dengan memasukinya, Melati," sahut Sangga Buana kalem, seperti tidak
mengetahui kekesalan hatigadisberpakaian putih itu.
Sementara Dewa Arak mengetahui perasaan
yang bergolak di hati kekasihnya. Maka,
diputuskannya untuk ikut campur tangan.
"Menurutku.. memang itulah jalan tembus yang kau maksudkan, Kek."
"Hm.. ! Apa alasan yang mendorongmu
mengambil kesimpulan demikian, Arya?" tanya Sangga Buana menguji.
"Keadaan goa itu, Kek," tegas dan mantap jawaban pemuda berambut putih keperakan
itu. Terlihat ada keyakinan dalam jawabannya.
"Bisa lebih kau perjelas maksudnya, Arya?"
pinta kakek berpakaian putih itu.
Dewa Arak tidak segera menjawab Tatapannya dialihkan ke arah Melati, mencoba untuk melihat tanggapan kekasihnya.
Ingin diketahuinya, apakah Melati telah mengerti.
Tapi yang ditemuinya seraut wajah yang
menunjukkan ketidakmengertian. Melati belum
juga menangkap maksudnya. Berbeda dengan
Sangga Buana. Wajah kakek berpakaian putih itu tampak tenang. Arya berani
bertaruh, Sangga
Buana sebenarnya telah mengerti. Bahkan Dewa Arak yakin kakek itu telah
mempunyai dugaan
kuat kalau goa itu jalan tembus yang dimaksud.
Sangga Buana hanya tidak mau memastikan.
"Keadaan goa ini, Kek. Terlihat jelas kalau semuanya belum lama terbentuk,"
jelas Arya. "Ha ha ha. .! Kau cerdik, Arya. Sudah kuduga kecerdikan Tribuana akan menurun
padamu," kakek berpakaian putih itu kelihatan sangat
gembira. "Kau bisa saja, Kek," sambut Arya malu, tidak enak hati mendapat pujian seperti
itu. "O, ya.
Apakah tidak lebih baik bila kita segera masuk ke goa itu" Aku khawatir kita
akan terlambat."
"Kau benar, Arya. Mari," timpal Sangga Buana cepat. Kakek berpakaian putih itu
tahu kalau Arya sengaja mengalihkan perhatian.
Dengan didahului Dewa Arak, atas permintaan Sangga Buana mereka mengayunkan
langkah menuju goa. Hanya dalam beberapa
langkah ketiganya telah berada di mulut goa itu.
Sampai di sini Dewa Arak tidak langsung
melangkah masuk. Untuk memastikan tidak ada
bahaya yang mengancam sejenak diperhatikannya keadaan goa itu. Pemuda
berambut putih keperakan itu memang selalu
berhati-hati dalam tindakannya.
Semua itu tidak luput dari perhatian Sangga
Buana. Perasaan kagum kembali menyeruak
dalam hati kakek berpakaian putih itu. Memang seharusnya demikian tindakan
seorang pendekar, pujinya dalamhati.
Sementara itu, setelah yakin tidak ada bahaya yang mengancam, Dewa Arak
melangkah masuk.
Sangga Buana dan Melati menyusul di belakangnya. Keadaan dalam goa ternyata tidak terlalu gelap. Cukup aneh
sebenarnya, tapi Dewa Arak,
Melati, dan Sangga Buana tidak mempedulikannya.
Andaikata teringat pun mereka tidak merasa heran. Sebab, mereka tahu di dunia ini ada sejenis batu yang
mampu menimbulkan cahaya dalam gelap.
Suasana yang tidak terlalu gelap menyebabkan rombongan yang dipimpin Dewa
Arak tidak mengalami kesulitan melakukan
perjalanan. Apalagi langit-langit goa cukup tinggi.
Dan jalan dalam goa lurus, tidak ada belokan satu pun. Hanya satu hal yang
sempat membuat mereka bertiga mengernyitkan alis heran, yaitu dasar goa yang terus menurun.
Tapi begitu teringat kalau jalan ini melalui lorong bawah tanah yang terdapat di bawah dasar
laut, keheranan mereka pun lenyap.
Setelah cukup lama menempuh jalan menurun, akhirnya dasar goa mendatar. Jalan
mendatar ini ternyata tidak kalah panjangnya dengan jalan menurun. Kemudian,
perlahan-lahan jalan yang ditempuh mulai menanjak.
Melihat kenyataan ini, Dewa Arak, Melati, dan Sangga
Buana mulai meningkatkan kewaspadaan. Jalan yang menanjak menandakan
tak lama lagi mereka akan tiba di Pulau Api
Dugaan mereka memang tidak salah. Tak
lama kemudian, mereka melihat cahaya terang di depan mereka. Itu pertanda di


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana ada jalan yang berhubungan dengan dunia luar. Mendadak Dewa Arak
menghentikan langkah. Hingga
Melati dan Sangga Buana heran. Terpaksa
mereka pun berhenti.
"Mengapa berhenti, Arya?" tanya Sangga Buana pelan.
"Aku mendengar bunyi gaduh, Kek. Sepertinya ada pertempuran di depan sana. Apa
kau mendengarnya, Kek?"
"Benar, Arya. Aku mendengarnya. Beberapa langkah sebelum kau berhenti, aku telah
mendengarnya. Tapi kubiarkan saja. Kupikir tak lama lagi kau pun akan
mendengarnya," urai Sangga Buana, tanpa ada nada kesombongan di
dalamnya. Padahal, jawabannya sudah membuktikan kalau ketajaman pendengarannya
berada di atas Arya.
"Aku. . aku belum mendengar bunyi apa pun, Kang," celetuk Melati. Setelah
beberapa saat lamanya
menelengkan kepala, mencoba mendengarkan bunyi yang dimaksud kekasihnya.
'Tak lama lagi kau pun akan mendengarnya,
Melati," sahut Arya kalem. "Yang penting, persiapkanlah dirimu. Sebentar lagi
kita akan terlibatdalam pertarungan."
Melati hanya menganggukkan kepala menanggapi pernyataan kekasihnya.
"Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,"
lanjut Arya seraya melangkahkan kaki.
Tanpa banyak bicara, Melati dan Sangga
Buana mengayunkan kaki. Perkataan Dewa Arak
memang benar. Beberapa ayunan langkah
kemudian, Melati mendengar bunyi riuh rendah yang didengar Dewa Arak.
*** Semakin lama sinar terang benderang itu
semakin jelas. Dugaan ketiga orang itu tidak keliru. Sinar terang benderang itu
berasal dari dunia luar. Di depan mereka tampak mulut goa terpampang.
Kalau menuruti perasaan hati, Dewa Arak,
Melati, dan Sangga Buana
ingin segera menghambur ke sana. Tapi akal sehat melarang mereka melakukan tindakan itu. Yang
mereka lakukan malah sebaliknya, mendekati mulut goa yang akan mengantar mereka ke
dunia luar itu dengan langkah hati-hati. Tapi, kekhawatiran mereka tidak
terbukti. Sampai mereka berada
sangat dekat dengan mulut goa, tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan.
"Dugaanmu benar, Kek. Orang-orang yang
membawa lari pusaka Pulau Es melalui jalan ini.
Mereka tengah terlibat pertarungan dengan
orang-orang Pulau Api," ujar Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke luar
goa. Memang dari tempat mereka dapat terlihat
jelas pemandangan di luar. Tampak sebuah
bangunan besar yang terlihat kuno berdiri megah.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian mereka.
Melainkan pertarungan yang terjadi di depan
bangunan besar mirip istana itu. Pertarungan besar-besaran yang terjadi antara
rombongan Raja Monyet Muka Hitam dengan para penghuni
Pulau Api. Menarik bukan main.
"Jumlah rombongan Raja Monyet Muka
Hitam jauh lebih banyak, Kang," kata Melati, setelah memperhatikan keadaan
pertarungan beberapa saat lamanya.
"Benar apa yang kau katakan, Melati," jawab Arya mengangguk 'Tapi meskipun
jumlah orang-orang Pulau Api lebih sedikit, kemampuan
perorangan mereka lebih unggul. Apalagi, dengan kemampuan mereka bekerja sama.
Rasanya, kemenangan akan diraih orang-orang Pulau Api."
Sangga Buana dan Melati mengangguk-
angguk mendengar ucapan Arya. Mereka harus
mengakui kesimpulan yang diberikan pemuda
berambut putih keperakan itu memang benar.
Kedudukan orang-orang Pulau Api jauh lebih
baik. Kemenangan mereka hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Kakang.. ! Bukankah itu Pemimpin Pulau Api yang telah bertarung denganmu" Siapa
tokoh yang menjadi lawannya itu?" celetuk Melati lagi.
Gadis berpakaian putih itu menudingkan jari
telunjuknya ke kancah pertarungan. Hingga Arya mengalihkan pandangan ke arah
yang ditunjuk Melati. "Benar, Melati. Dialah Pemimpin Pulau Api.
Menurut pendapatku, lawan yang dihadapinya
Raja Iblis Baju Emas! Lihat saja pakaian yang dikenakannya," sahut Arya.
"Kau benar, Kang. Mengapa aku begitu
pelupa" Siapa lagi tokoh yang tengah menghadapi Pemimpin Pulau Api kalau bukan
Raja Iblis Baju Emas. Bukankah demikian berita yang kita
dapatkan?" ucap Melati seperti menyesali diri sendiri.
"Pemimpin Pulau Api itu nama sebenarnya Gandamata," celetuk Sangga Buana, tak
tahan berdiam diri.
"Ooo...!"
Dewa Arak dan Melari membulatkan mulut
mendengar pemberitahuan Sangga Buana.
"Kalau begitu, yang di sebelah sana pasti Raja Monyet Muka Hitam," kembali
Melati membuka suara.
Gadis berpakaian putih itu menunjuk ke
sebuah kancah pertarungan lain. Tampak seorang lelaki bertubuh kecil yang
berpakaian hitam
tengah bertarung menghadapi dua penghuni
Pulau Api. Mereka tidak lain Songora dan
Bonggol. "Apakah tidak sebaiknya kita ikut terjun dalam kancah pertarungan, Kang?" usul
Melati tiba-tiba.
Dewa Arak mengembangkan senyum lebar.
"Sabar, Melati. Kita tunggu saat yang tepat.
Jangan sampai tindakan campur tangan kita
membuat mereka bersatu menghadapi kita.
Keadaan akan menjadi gawat. Karena itu, saat ini biarkan saja mereka bertarung.
Setelah jumlah mereka
berkurang, baru kita melakukan penyerangan untuk merampas pusaka-pusaka
Pulau Es dari tangan mereka," urai Dewa Arak.
Sementara itu, pertarungan terus berlangsung sengit Meskipun terdiri dari banyak
kelompok pertarungan, tapi masing-masing pertempuran
menarik untuk disaksikan. Tapi tentu saja
penonton, dalam hal ini Dewa Arak, Sangga
Buana, dan Melati lebih menyukai pertarungan yang berlangsung antara tokoh-tokoh
tingkat tinggi. Maka, perhatian mereka lebih banyak
terpusat pada pertarungan Raja Iblis Baju Emas dan Gandamata, serta Raja Monyet
Muka Hitam melawan Songora dan Bonggol. Dan memang,
pertarungan tokoh-tokoh itu paling dahsyat dan menarik bila dibandingkan dengan
yang lainnya. Jangankah terkena serangan langsung, angin
serangan mereka saja, mampu menewaskan
pesilat yang kurang kuat tenaga dalamnya. Maka tidak aneh, jika pertarungan
tokoh-tokoh tingkat tinggi
itu terpisah cukup jauh dengan pertarungan pertarungan lainnya.
Berbeda dengan pertarungan tokoh-tokoh itu
yang terlihat berimbang, pertarungan antara
rombongan Raja Monyet Muka Hitam dan
penghuni Pulau Api kelihatan tidak berimbang.
Para penghuni Pulau Api mampu mendesak
lawan-lawannya, kendati jumlah mereka kalah
banyak. Orang-orang Pulau Api itu hanya
berjumlah dua belas orang. Lima di antara
mereka anggota tingkat dasar, sedangkan sisanya orang-orang yang membantu
Songora dan Bonggol sewaktu menghadapi Raja Iblis Baju
Emas. Perubahan lawan tarung disebabkan oleh terjadinya jalan tembus yang
menghubungkan Pulau Api dan Pulau Es.
Seperti juga Pulau Es, Pulau Api mengalami
hal yang sama seiring dengan terjadinya jalan tembus itu. Kejadian itu membuat
kejar-mengejar antara Raja Iblis Baju Emas dan sembilan
lawannya terhenti. Mereka takut Pulau Api akan tenggelam. Maka mereka pun
melarikan diri. Dan seperti juga perasaan yang dialami Pulau Api dan Melati,
mereka tertarik oleh kekuatan aneh untuk datang ke tempat ini. Ketika mereka
tiba di mulut goa, dari sana muncul Raja Monyet Muka Hitam dan rombongannya.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Semula orang-orang Pulau Api terdesak.
Untung Gandamata segera hadir. Keadaan pun
langsung berubah. Sekarang para penghuni Pulau Api berhasil mendesak anak buah
Raja Monyet Muka Hitam. Meskipun jumlah mereka hanya
sepertiga lawan.
Orang-orang Pulau Api memang cerdik bukan
main. Mereka menggunakan kerja sama kelompok untuk menghadapi anak buah Raja
Monyet Muka Hitam. Tak heran jika kancah
pertarungan mereka terbagi tiga kelompok.
*** 8 Ctarrr! "Akh!"
Lolong kesakitan terdengar ketika seorang
anak buah Raja Monyet Muka Hitam terkena
cambuk lawan pada pelipisnya. Seketika itu pula tubuhnya terhuyung ke belakang,
dan ambruk di tanah, lalu menggelepar-gelepar sejenak sebelum akhirnya diam
tidak bergerak. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
Belum juga lenyap
jeritannya, kembali
terdengar lolong kematian lainnya. Juga berasal dari anak buah Raja Monyet Muka
Hitam. Pemilik jeritan ini pun tewas. Setelah itu, satu persatu anak buah Raja Monyet
Muka Hitam berguguran. Hingga, dengan sendirinya keadaan mereka semakin terdesak. Dengan
jumlah mereka yang semakin sedikit kekuatan mereka pun
makin berkurang.
Anak buah Raja Monyet Muka Hitam segera
sadar kalau lawan terlalu kuatuntuk mereka, dan tidak
ada harapan sedikit pun untuk memenangkan pertarungan. Tapi meskipun
demikian, mereka tidak ingin mati percuma.
Mereka ingin mengajak para penghuni Pulau Api mati bersama-sama.
Anehnya, keinginan itu timbul secara serentak di benak pengikut Raja Monyet Muka
Hitam. Mungkin karena kedudukan mereka yang sama-
sama terjerat. Mereka pun menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan tindakan
nekat itu. "Suiiit.. !"
Mendadak, salah seorang anak buah Raja
Monyet Muka Hitam mengeluarkan siulan. Tentu saja bukan sembarangan siulan. Di
dalamnya terkandung maksud tertentu yang hanya dimengerti rombongan Raja Monyet Muka Hitam.
Seketika itu pula, dari tiap-tiap kelompok
pertarungan, terdengar siulan balasan bernada sama. Ini memberi arti kalau
mereka telah mengerti maksud si pemberi siulan.
Dan semua itu didengar orang-orang Pulau
Api. Mereka pun bukan orang bodoh. Siulan itu bukan
keterampilan mulut belaka, tapi mengandung maksud tertentu. Sayang, mereka
tidak tahu arti siulan itu, yang dapat dilakukan mereka adalah lebih bersikap
hati-hati. Bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
'Suiiit.. !"
Kembali terdengar siulan. Kali ini nadanya
berbeda dengan sebelumnya. Cepat, keras, dan singkat!
Dan, kali ini orang-orang Pulau Api tidak perlu pusing-pusing memikirkannya.
Maksud siulan itu langsung dibuktikan. Begitu dari masing masing kelompok
terdengar siulan. Mereka segera
berlompatan menjauhiarena pertarungan
Tindakan ini membuat penghuni Pulau Api
gugup. Mereka sadar lawan tengah menggunakan sebuah siasat. Dan mereka tidak


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa menebak, siasat apa yang akan dipergunakan. Hingga,
orang orang Pulau Api tidak berani bertindak sembrono dengan memburu lawan.
Mereka hanya berdiam diri di tempat masing-masing dengan
sikap waspada. Menurut mereka, inilah cara yang paling baik bila belum
mengetahui siasat lawan.
Karena tidak mendapat hambatan dari lawan-
lawannya, tanpa menemui kesulitan pengikut
Raja Monyet Muka Hitam keluar dari kancah
pertarungan. Dan dengan
kecepatan yang mengagumkan langsung membuat lingkaran
besar, mengurung semua lawan mereka. Semua
itu dilakukan dengan cepat. Sehingga sebelum anak buah Gandamata sadar, tahu
tahu mereka telah terkurung. Dan sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu, tangan-tangan anak buah Raja Monyet Muka Hitam dikibaskan.
Wut, wut, wut! Seketika Itu pula, belasan bahkan puluhan
benda bulat sebesar telur bebek melayang ke arah para penghuni Pulau Api.
Sambaran benda-benda bulat ini membuat orang-orang Pulau Api
keheranan. Sekejap mereka saling pandang
dengan sorot mata menyiratkan ketidakmengertian. Mereka
tidak mengenal senjata rahasia semacam itu. Sungguh mereka
tidak tahu, kalau benda yang tengah meluncur ke arah mereka jauh lebih berbahaya
dari senjata rahasia mana pun.
Karena ketidaktahuan itu, masing-masing
kelompok saling bertukar pandang. Hanya
sekejap saja. Tapi meskipun demikian telah
didapat sebuah keputusan. Dan keputusan
masing-masing kelompok ternyata tidak sama. Ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Hih!"
Kelompok penghuni Pulau Api yang berjumlah
tiga dan empat orang mengelakkan serangan itu.
Sedangkan kelompok yang berjumlah lima orang dan
bersenjatakan cambuk langsung memapakinya dengan lecutan senjata andalannya. Dan. ..
Blarrr! Ledakan dahsyat dan keras laksana halilintar langsung terdengar ketika benda-
benda sebesar telur bebek itu berbenturan, baik dengan tanah maupun ujung
cambuk! Akibatnya, sungguh luar biasa! Bongkahan-
bongkahan es berpentalan ke sana kemari!
Sedangkan lima anak buah Gandamata yang
langsung memapaki benda bulat itu, mengalami kejadian yang menggiriskan. Tubuh
mereka terjengkang ke belakang seperti diseruduk
puluhan kerbau liar!
Tapi justru kejadian itulah yang membuat
mereka selamat dari kematian yang mengerikan!
Betapa tidak" Begitu bongkahan-bongkahan es
berpencaran dari dalamnya menyembur api.
Tidak kepalang tanggung lagi semburannya.
Sebab, lubang yang terbentuk pun besar! Yang lebih gila lagi, lubang itu tidak
hanya satu tapi banyak!
Kematian seperti itulah yang diterima tujuh
orang anak buah Gandamata! Sebagian dari
mereka tewas dengan tubuh hangus terbakar.
Sedangkan sisanya terjeblos ke dalam lubang api.
Nasib yang menimpa lima orang penghuni Pu-
lau Api yang bercambuk memang tidak sesial rekan-rekannya. Tapi bukan berarti
mereka lepas dari bahaya. Begitu tubuh mereka melayang
deras hingga keluar dari kepungan, sebagian
lawan-lawan mereka segera memburu dengan
senjata di tangan. Dan dalam keadaan tiga
perempat mati, akibat ledakan keras itu, lima penghuni Pulau Api ini tidak mampu
berbuat banyak! Maka tanpa menemui kesulitan sedikit pun, anak buah Raja Monyet Muka
Hitam menyarangkan serangannya.
"Akh. .!"
Jeritan singkat dan menyayat keluar dari
mulut mereka ketika senjata anak buah Raja
Monyet Muka Hitam mendarat di tubuhnya.
Bertubi-tubi, dan baru terhenti ketika tubuh mereka sudah tidak berbentuk lagj.
Tapi baru saja menyelesaikan perbuatannya, terjadi sebuah
peristiwa yang mengejutkan anak buah Raja
Monyet Muka Hitam. Tanah yang mereka injak
bergetar keras. Dan sebelum mereka bertindak sesuatu, tanah itu amblas! Tanpa
bisa dicegah lagi, tubuh mereka amblas ke dalam tanah.
Ternyata semua terjadi akibat ledakan benda-
benda bulat. Terlalu banyak yang dilepaskan
hingga menimbulkan getaran dahsyat. Padahal, tanah di Pulau Api tidak terlalu
baik! Banyak bagian-bagian yang berongga! Hasilnya, bukan hanya para penghuni
Pulau Api saja yang menjadi korban. Anak buah Raja Monyet Muka Hitam
sendiri pun mengalaminya. Mereka tewas karena tanah yang mereka injak tiba-tiba
amblas! Mengerikan sekali pemandangan yang terpampang! Di tengah-tengah hamparan es
tercipta danau api! Sulit untuk dipercaya! Tapi, tentu saja api-api itu tidak
lagi menyembur ke atas. Lubang yang terbentuk itu ternyata tidak kecil, tapi
sudah sebesar danau!
*** Kejadian demi kejadian yang terlalu dahsyat
dan bertubi-tubi itu membuat semua yang berada di situ sangat terkejut. Bukan
hanya Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana saja. Raja Iblis Baju Emas, Raja
Monyet Muka Hitam, Gandamata,
Songora, serta Bonggol pun demikian pula.
Untung saja, tempat pertarungan tokoh-tokoh itu terpisah cukup jauh. Sehingga,
tempat mereka bertarung tidak termasuk bagian pulau yang
amblas! Meskipun demikian, karena terlalu dahsyatnya peristiwa yang terjadi, tanpa sadar Songora dan Bonggol mengalihkan
perhatian. Apalagi, ketika mendengar jeritan rekan-rekan mereka di antara hiruk-pikuk itu.
Kesempatan yang hanya sejenak itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Monyet
Muka Hitam. Secepat kilat tangannya dihentakkan!
Wusss! Desss! "Aaakh.. !"
Jeritan menyayat keluar dari mulut Songora
ketika pukulan jarak jauh Raja Monyet Muka
Hitam telak dan keras menghantam dadanya.
Seketika itu pula, tubuh tokoh Pulau Api itu melayang deras ke belakang disertai
jeritan menyayat. Dari hidung dan mulutnya mengalir
darah segar! Nyawanya melayang ke alam baka
saat itu juga. "Songora. .!"
Bonggol menjerit kaget melihat kejadian yang menimpa rekannya. Kemarahan yang
sangat melanda hatinya. Diterjangnya Raja Monyet
Muka Hitam. Wungngng! Golok besarnya dibolang-balingkan di depan
dada. Dan tetap dengan gerakan seperti itu, dia menyerang Raja Monyet Muka
Hitam. Bonggol menyerang tanpa mempedulikan keselamatannya. Yang ada di benaknya adalah
membinasakan Raja Monyet Muka Hitam. Hal-
hal lain tidak dipikirkannya.
"Hm.. !"
Raja Monyet Muka Hitam mendengus melihat
serangan itu. Tanpa ragu-ragu, dipapaki serangan Bonggol dengan tombak
pendeknya. Trangngng! Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika
dua senjata itu berbenturan keras. Tubuh Bonggol terhuyung-huyung ke belakang.
Sedangkan Raja Monyet Muka Hitam yang memang memiliki
tenaga dalam jauh lebih kuat, tidak mengalami kejadian
apa pun. Tergetar pun tidak. Kesempatan di saat Bonggol terhuyung-huyung
segera dimanfaatkan tokoh sesat itu. Tangan
kirinya dihentakkan.
Wusss! Serangan susulan itu terjadi sangat cepat dan tidak disangka-sangka. Bonggol,
yang tengah dilanda perasaan kalap menjadi gugup. Sebisanya dicoba
untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi.. .
Desss! "Aaakh.. !"
Diiringi jeritan menyayat tubuh Bonggol
melayang deras ke belakang. Darah segar keluar dari mulut, hidung, dan
telinganya. Nyawa tokoh Pulau Api itu pun melayang.
Dan kejadian itu tak luput dari pandangan
Gandamata. Betapa geram hati kakek itu.
Dengan tewasnya Bonggol, berarti dia tidak
mempunyai anak buah lagi. Akibatnya, Raja Iblis Baju Emas menjadi sasaran
kemarahannya. Serangan-serangan yang dilancarkan terhadap
kakek berpakaian kuning itu semakin dahsyat.
"Hih!"
Raja Iblis Baju Emas menggertakkan gigi
untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya
sampai ke puncak. Sejak tadi kakek itu memang sudah terdesak. Dalam meringankan
tubuh maupun tenaga dalam Gandamata ternyata lebih unggul darinya. Hanya berkat
kecerdikannya saja, hingga pertarungan berlangsung seratus jurus dia belum dapat dirobohkan.
Sementara itu, begitu berhasil menyelesaikan pertarungan Raja Monyet Muka Hitam
bergegas melesat pergi dari situ. Tapi baru beberapa kali lesatan dia berlari.
Mendadak. .. "Raja Monyet Muka Hitam! Tunggu!"
Cegahan keras yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, memaksa Raja Monyet Muka Hitam menghentikan langkah dan
membalikkan tubuh. Dalam jarak tiga tombak tampak berdiri Dewa
Arak Raja Monyet Muka Hitam mengerutkan sepasang alisnya. Dirayapinya
sekujur tubuh Dewa Arak beberapa saat.
Kemudian, kepalanya mengangguk-angguk.
"Tidak salahkah mataku" Bukankah aku
tengah berhadapan dengan tokoh sombong yang
berjuluk Dewa Arak"!" ada nada ejekan sinis dalamucapan Raja Monyet Muka Hitam.
'Tidak salah!" jawab Dewa Arak tegas. "Akulah tokoh yang kau maksudkan!"
"Hm.. ! Apa maksudmu mencegah kepergianku, Dewa Arak"!" tampak jelas Raja Monyet Muka Hitam memandang
rendah lawannya. "Tidak usah berpura-pura, Raja Monyet! Cepat serahkan pusaka-pusaka Pulau Es
yang telah kau curi! Percayalah, aku tidak akan memperpanjang urusan bila kau
bersedia mengembalikannya,"
ujar Dewa Arak tenang, berusaha
tidak terpengaruh dengan sikap yang ditunjukkan calon lawannya.
"Ha ha ha.. ! Enak saja kau bicara, Dewa Arak Apa hakmu meminta pusaka yang
kudapatkan dengan kepandaian yang kumiliki, hehhh. ."!
Jangan kau pikir aku takut padamu!" tandas Raja Monyet Muka Hitam dengan suara
yang bergetar marah. Datuk kaum sesaat itu murka melihat
sikap Dewa Arak yang kelihatan meremehkan
dirinya. "Aku tidak mengatakan kau takut padaku, Raja
Monyet! Aku hanya minta kau mengembatkan pusaka Pulau Es yang kau curi!
Kau tidak berhak membawanya pergi!" tegas Dewa Arak mantap.
"Ooo...! Jadi. ., menurutmu siapa yang berhak membawanya" Kau"!" ejak Raja
Monyet Muka Hitam.
"Benar," jawab Dewa Arak singkat penuh kesungguhan. "Karena aku adalah keturunan
terakhir pemilik Pulau Es!"
"Keparat! Jangan harap kau dapat menipuku, Dewa Arak! Kalau kau memang
pemiliknya, kau
boleh mengambilnya dariku! Tentu saja dengan kepandaian. Karena aku pun


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkannya dengan kepandaian yang kumiliki!" tantang Raja Monyet Muka Hitam.
"Kalau itu yang kau inginkan, apa boleh buat, Raja Monyet! Dengan senang hari
kuterima tantanganmu!" sambut Dewa Arak tanpa merasa gentar sedikit pun.
"Kalau begitu bersiaplah kau, Dewa Arak!
Hiyaaa.. !"
Didahului teriakan nyaring yang menggetarkan isi dada, Raja Monyet Muka Hitam melompat menerjang Dewa Arak.
Sadar kalau lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan, tokoh sesat itu menggunakan
senjata andalannya.
Wuk, wuk, wuk! Tombak pendek hitam mengkilat itu dibolang-
balingkan di depan dada. Cepat bukan main,
hingga bentuknya lenyap. Mendadak..
"Hih!"
Wuttt! Dengan kecepatan gerak seorang tokoh tingkat tinggi, Raja Monyet Muka Hitam
menusukkan tombaknya ke arah perut Dewa Arak. Bunyi
menderu keras mengiringi tibanya serangan itu.
Melihat kenyataan itu, Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Buru-buru
tubuhnya dilempar ke belakang. Dan di saat tubuhnya berada di
udara, guci yang tersampir di punggung
diambilnya dan dituangkan ke mulut.
Gluk. .. Gluk. .. Gluk. .!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu
melewati tenggorokan
Dewa Arak. Sesaat
kemudian, ada hawa hangat merayap di dalam
perutnya. Perlahan-lahan hawa itu merambat ke atas.
Jliggg! Laksana daun kering, kedua kaki Dewa Arak
ringan mendarat di tanah. Tapi, kedudukannya tidak mantap. Kedua kaki pemuda
berambut putih keperakan itu tidak berdiri tegak di tanah.
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Pertanda ilmu
'Belalang Sakti'nya siap dipergunakan.
"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang terkenal itu?" tanya Raja Monyet Muka Hitam
mengejek. "Ingin kubuktikan sendiri sampai di mana keampuhannya!"
Usai berkata demikian, Raja Monyet Muka
Hitam melancarkan serangan. Dewa Arak pun
menyambutnya dengan hangat. Pertarungan tak
dapat dielakkan lagi. Raja Monyet Muka Hitam mengamuk. Tombak di tangannya
berkelebatan kian kemari, mengincar berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Terutama bagian-bagian
yang berbahaya. Tetapi semua dapat diatasi Dewa
Arak. Dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'
dan jurus 'Delapan Langkah Belalang', bukan hal yang sulit baginya untuk
mengelakkan semua
serangan itu. Tidak hanya sampai di situ tindakan pemuda
berambut putih keperakan itu. Serangan- serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya dilancarkan pula.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit dan
menarik pun terjadi.
"Hih!"
Raja Monyet Muka Hitam menggertakkan gigi
karena geram dan heran. Selama ini dirinya
hanya mendengar keunikan ilmu 'Belalang Sakti'.
Baru kali ini dia berkesempatan mencobanya.
Memang harus diakui kalau berita yang
didengarnya itu benar adanya! Ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar ilmu yang unik.
Tak masuk akal, tapi benar-benar ampuh! Betapa tidak"
Dengan mata kepala sendiri, Raja Monyet Muka Hitam melihat serangan yang
dilancarkannya disambut oleh Dewa Arak dengan tubuhnya. Tapi anehnya, justru dengan cara itu
serangannya berhasil dielakkan.
Bukan hanya itu saja hal-hal aneh yang
disaksikannya. Tak jarang Dewa Arak menengguk minumannya di saat dia tengah
melancarkan serangan. Pemuda berambut putih
keperakan itu seperti tidak mempedulikan
serangan lawan.
Meskipun demikian tidak berarti Raja Monyet
Muka Hitam menjadi gentar. Sama sekali tidak!
Bahkan, semua itu menambah semangatnya
untuk segera merobohkan lawan. Kedahsyatan
serangan-serangan Raja Monyet Muka Hitam
semakin meningkat.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa
seratus jurus telah berlalu. Dan Raja Monyet Muka Hitam berada di pihak yang
terdesak. Datuk sesat yang mirip kera itu hanya dapat
bermain mundur.
Serangan-serangannya yang semula bertubi-
tubi dan susul-menyusul laksana gelombang laut, kini jauh berkurang. Sekarang
dia lebih banyak mengelak. Robohnya Raja Monyet Muka Hitam
hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan itu
diketahui secara pasti oleh Raja Monyet Muka Hitam!
"Haaat.. !"
Pada jurus ke seratus tiga puluh dua, Raja
Monyet Muka Hitam bertindak nekat. Tahu kalau dirinya tidak mungkin bisa menang,
maka diputuskannya untuk mengadu nyawa. Dia tidak ingin mati sendirian. Tokoh sesat
itu ingin membawa Dewa Arak ikut serta ke alam baka.
Karena itu diputuskan untuk melancarkan
serangan balasan, tidak hanya mengelak seperti sebelumnya.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Raja Monyet
Muka Hitam menusukkan tombaknya ke perut
Dewa Arak Tapi, Dewa Arak tetap bersikap
tenang. Ditunggunya hingga
serangan itu semakin dekat. Kemudian dengan kecekatan dan kepandaian
seorang tokoh tingkat tinggi, tubuhnya didoyongkan ke kanan. Dan tangan
kirinya agak sedikit diangkat. Serangan Raja Monyet Muka Hitam pun lewat di sisi
kiri dadanya. Saat itulah Dewa Arak melakukan
siasat, yang sejak tadi sudah diperhitungkan masak-masak.
Kreppp! Batang tombak Raja Monyet Muka Hitam
terjepit di ketiak Dewa Arak. Hingga datuk sesat mirip kera itu kelabakan. Buru-
buru ditariknya kembali tombak itu untuk membebaskannya.
Tapi Dewa Arak tidak membiarkan hal itu.
Tenaganya dikerahkan untuk menahan. Akibatnya terjadi adu tenaga! Yang satu
mengambil, sedangkan yang lain mempertahankan. Inilah yang ditunggu-tunggu
Dewa Arak. Guci yang tergenggam di tangan
kanannya diayunkan ke arah dada Raja Monyet
Muka Hitam. Cepat dan tidak disangka-sangka.
Meskipun demikian, Raja Monyet Muka Hitam
masih mencoba untuk mengelak. Namun. .
Blakkk! Telak dan sangat keras guci Dewa Arak
menghantam sasaran. Seketika itu pula, tubuh Raja Monyet Muka Hitam terjengkang
ke belakang. Bunyi berderak tulang-tulang berpatahan mengiringi muncratnya darah dari
mulut, hidung, dan telinga Raja Monyet Muka
Hitam. Brukkk! Setelah terhuyung-huyung beberapa tombak
jauhnya. Raja Monyet Muka Hitam ambruk di
tanah. Tokoh itu menggelepar-gelepar. Kemudian, diam tidak bergerak. Mati.
Baru saja Dewa Arak bermaksud melepaskan
tombak yang masih terselip di ketiaknya,
terdengar dua jeritan menyayat. Saat itu juga pandangannya dialihkan ke arah
asal suara. Tubuh Gandamata dan Raja Monyet Muka Hitam
ambruk di tanah. Tewas. Kepala Gandamata
remuk. Sedangkan Raja Iblis Baju Emas tewas
dengan sebuah pisau menghunjam jantung.
"Hhh. .!"
Dewa Arak menghela napas lega, setelah
berhasil menemukan pusaka-pusaka Pulau Es
dari buntalan Raja Monyet Muka Hitam. Lalu
perhatian dialihkan pada Sangga Buana dan
Melati. Kedua orang itu tampak berlari-lari
menghampiri. "Bagaimana mereka bisa mati bersama-sama?"
tanya Arya ketika kedua orang itu telah dekat dengannya.
Tidak dijelaskan pada siapa pertanyaan itu ditujukan.
"Kami tidak mengetahuinya, Kang. Sebab, kami lebih memperhatikan pertarunganmu,"
jawab Melati. Sangga Buana hanya mengangguk-anggukkan
kepala membenarkan ucapan Melati.
"Kalau begitu, mari kita cari Abimanyu dan rombongan Patih Juminta. Mudah-
mudahan mereka berada di sini," ajak Dewa Arak
mengalihkan persoalan.
Tanpa membantah sedikit pun, Sangga Buana
dan Melati melangkah mengikuti Dewa Arak
yang telah mengayunkan kaki lebih dulu. Arah yang ditujunya bangunan besar yang
sebenarnya Istana Api. Ternyata tidak sulit menemukan
mereka. Di halaman depan istana yang luas
tampak terjajar Patih Juminta, Abimanyu dan
rombongan pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Mereka terikat di sebuah tonggak besi.
"Gusti, Ayu Melati.. !" seru Patih Juminta ketika melihat Melati menghampirinya.
"Paman. .!"
seru Melari. Gadis itu menghambur ke tempat rombongan Kerajaan
Bojong Gading yang tengah tertawan.
Dewa Arak dan Sangga Buana hanya
tersenyum melihat semua itu. Akhirnya semua
berakhir seperti yang diharapkan mereka.
Pusaka-pusaka Pulau Es dapat mereka rebut
kembali. Dan Melati dapat menemukan Abimanyu, Patih Juminta serta pasukan Kerajaan Bojong Gading.
SELESAI Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pedang Tanpa Perasaan 11 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 1
^