Petualang Dari Nepal 1
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal Bagian 1
PETUALANG-PETUALANG DARI
NEPAL oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Petualang-Petualang dari Nepal
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Crakkk, crakkk, crakkk!
Tanah bergumpal-gumpal berhamburan ke udara
ketika tangan sosok tinggi kurus mencungkili sebuah
gundukan tanah, mempergunakan sebatang ranting.
Sosok yang ternyata seorang laki-laki setengah baya
berhidung ke bawah mirip burung betet ini bekerja cepat bukan main. Tangannya
yang memegang ranting sebesar ibu jari kaki seakan lenyap buntuknya. Yang
terlihat hanya sekelebatan bayangan tak jelas! Tapi dalam waktu yang tak lama
saja telah terlihat sebuah lubang menganga. Sebentar kemudian, tampak sebuah
peti mati terbujur di dasar lubang, walaupun belum nampak seluruhnya. Gundukan
tanah yang digali sosok berhidung melengkung ini ternyata sebuah kuburan!
Laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan itu kemudian
menghentikan pekerjaannya. Ranting yang tergenggam dilemparkan begitu saja. Lalu dengan perasaan tidak sabar, dia
melompat ke dalam lubang. Dan kedua tangannya tampak gemetar ketika mencengkeram
sisi-sisi bagian atas peti mati berukir indah berwarna hitam.
Brakkk! Tutup peti mati indah itu langsung copot, menimbulkan suara cukup gaduh yang memecah keheningan malam, begitu kedua tangan
yang panjang dan kurus itu menyentakkannya. Begitu matanya tertumbuk pada isi
peti, tampak sesosok tubuh yang telah rusak, terbaring di dalam peti. Bau yang
tidak sedap pun menyebar ke segala arah, terbawa angin malam yang hanya
diterangi bulan sepotong.
"Keparat!"
Laki-laki setengah baya berhidung melengkung itu
memaki-maki penuh geram sambil meludah ke sana kemari, begitu bau busuk yang
menyengap menyergap lubang
hidungnya. Beberapa percikan cairan ludah yang menjijikkan, ada yang mengenai mayat di dalam peti.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, sosok berkulit hitam kecoklatan itu melompat ke
atas. Tidak dipedulikannya peti maupun mayat dalam lubang ku buran. Namun baru
saja kakinya menjejak tanah....
"Maling Hina! Sungguh berani kau mengusik tempat suci ini! Apakah nyawamu
rangkap"!"
Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar,
begitu sepasang kaki sosok berkulit hitam kecoklatan itu hendak melangkah.
Bentakan yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu, membuatnya terjingkat kaget bagai disengat kelabang.
Belum juga gema suara sentakan itu lenyap, mendadak sesosok tubuh melesat menuju ke arah sosok
berkulit hitam kecoklatan. Gerakannya cepat sehingga dalam sekejapan saja, sosok
itu telah berita dalam jarak tiga tombak di depan sosok berkulit hitam
kecoklatan. Dengan wajah penuh kemarahan, laki-laki berkulit
hitam kecoklatan itu memandang ke arah orang yang
membentak tadi. Sikapnya yang semula menjadi gugup,
langsung dibuat setenang mungkin.
"Rupanya maling hina ini adalah seorang asing!" desis sosok yang baru datang
Ternyata, dia adalah seorang kakek berbadan kekar.
Tubuhnya yang bongkok, terbungkus pakaian longgar coklat.
Sepasang matanya yang tajam langsung merayapi sekujur tubuh
sosok berkulit hitam kecoklatan
dengan sorot memancarkan kemarahan besar.
"Apa yang kau cari di sini, Orang Asing"!" lanjut kakek bongkok itu, masih
mendesis. "Pusaka leluhurku!" jawab sosok hitam kecoklatan dengan bahasa terpatah-patah.
Singkat sekali jawabannya.
"Cepat berikan padaku. Dan aku berjanji akan segera pergi dari sini, tanpa harus
membunuhmu!"
Wajah kakek bongkok itu kontan berubah hebat
mendengar ucapan laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan ini.
Perkataan dan sikap orang itu terlihat jelas merendahkan dirinya! Dan membuatnya
tidak senang. "Di sini tidak ada pusaka yang kau maksudkan.
Pergilah! Jangan sampai kesabaranku hilang dan terpaksa membunuhmu, Orang
Asing!" tandas kakek bongkok ini tak mau kalah gertak.
"Bohong!" sergah sosok berkulit hitam kecoklatan itu dengan suara keras dan
logat aneh. Gatal rasanya didengar telinga. "Aku tidak percaya! Aku yakin pusaka
leluhurku berada di sini. Cepat berikan padaku! Dan, jangan tunggu sampai
seluruh pekuburan kuobrak-abrik!"
"Keparat! Tulikah kau, Orang Asing"!" suara kakek bongkok kian meninggi karena
amarah yang semakin
menggelegak. "Sekali kukatakan tidak berarti tidak! Dan, cepatlah tinggalkan
tempat suci ini! Ingat! Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku tidak akan bisa
tinggal diam! Atau...
Kau sengaja menunggu kesabaranku habis"!"
"Kaulah yang membuat kesabaranku habis, Orang
Tua! Rupanya kau memang sudah bosan hidup!" ancam sosok berkulit hitam
kecoklatan itu. Nada suaranya tanpa adanya nada mengancam. Karena logatnya yang
aneh, tidak mampu memberi tekanan pada ucapannya. "Kalau begitu mampuslah!"
Sosok berkulit hitam kecoklatan itu segera mengirimkan serangan. Kedua tangannya yang terkepal
melepaskan pukulan bertubi-tubi ke arah dada lawannya.
Begitu cepat gerakannya, hingga bentuk kedua tangan
sampai lenyap. Dan yang terlihat hanya dua bayangan tidak jelas, meluruk ke arah
kakek bongkok disertai bunyi angin berkesiutan nyaring.
Serangan ini membuat kakek bongkok terperanjat.
Saat itu juga, disadari kalau sosok berkulit hitam kecoklatan ini memiliki
kepandaian tinggi.
Duk, dukk, dukkk!
Bunyi keras berulang-ulang seperti ada benturan
benda keras terdengar ketika kakek bongkok itu memapak dengan sikap jari-jari
terkepal. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung
ke belakang. Hanya saja, kakek bongkok lebih jauh dua langkah.
Kakek bongkok itu menggertakkan gigi, merasa
penasaran melihat keunggulan tenaga dalam lawannya.
Tanpa menunggu lebih lama, senjata andalannya segera dikeluarkan berupa sebuah
kipas. Kipas lebar dan besar yang gagangnya terbuat dari gading gajah itu
kelihatannya tidak bisa dianggap sembarangan. Permukaan kipas itu terbuat dari
kulit harimau loreng besar yang telah direndam dalam suatu ramuan. Sehingga
menjadi kuat, tidak bisa sobek Wuttt!
Begitu kakek bongkok itu mengibaskan kipasnya,
bertiup angin yang luar biasa keras. Sehingga membuat batu-batu sebesar kerbau
yang terletak beberapa tombak dari tempat itu, terguling-guling jauh. Sekujur
pakaian dan rambut sosok berkulit hitam kecoklatan berkibaran keras.
Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergeming, karena telah lebih dulu mengerahkan
tenaga dalam untuk membuat ke dua kakinya seperti berakar dalam tanah.
Meski demikian, kenyataan ini menyadarkan sosok
berkulit hitam kecoklatan, kalau kakek bongkok tidak bisa dianggap remeh. Maka
buru-buru sebatang suling yang
terbuat dari ular mati dan dikeringkan dikeluarkannya dari selipan pinggang. Dan
dengan senjata itu di tangan,
dihadapinya amukan kakek bongkok ini.
Maka pertarungan dahsyat yang menggariskan pun
berlangsung. Tak heran kalau suasana di sekitar tempat itu kontan
porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon pohon yang agak kecil tumbang. Sedangkan pohon
yang besar, daun-daun dan
ranting-rantingnya berguguran. Kedua senjata tokoh yang bertarung bagaikan telah
berubah. Deru angin yang keluar dari gerakan kipas, laksana badai. Sedangkan
kelebatan suling sosok berkulit hitam kecoklatan bagaikan kilat yang melejit-
lejit di antara gemuruh angin keras itu,
Tapi, kakek bongkok itu harus mengakui keunggulan
lawannya. Buktinya begitu pertarungan menginjak tiga puluh jurus, keadaannya
mulai terdesak.
Dukkk! "Hukh!"
Tubuh kakek bongkok itu terjengkang ke belakang
ketika tendangan kaki kanan lawannya mendarat telak di perut. Tubuhnya kontan
terbanting keras di tanah, setelah melayang sejauh beberapa tombak. Namun,
rupanya hatinya sekeras baja. Dan dia tetap berusaha bangkit. Padahal, darah
segar telah memancur deras dari mulutnya, ketika hendak bangkit. Bahkan tubuhnya
kembali ambruk tanpa dapat
berbuat apa-apa. Setelah mengejang beberapa saat, tubuh kakek bongkok itu pun
terkulai. Nyawanya langsung melawat ke akherat.
Sementara sosok berkulit hitam kecoklatan
itu menatap lawannya sesaat. Kemudian suling berbentuk ular kembali diselipkan ke
pinggang. Lalu, pekerjaannya yang tadi tertunda, kembali diteruskan.
*** Seorang pemuda tampan berwajah jantan, perlahan-
lahan mengayuh perahu dengan dayungnya ka arah pinggir seberang sungai. Begitu
telah sampai di tepi, dia melompat turun. Kemudian perahunya ditarik dan
diikatkan pada sebuah tonggak yang dibuatnya sendiri.
"Anak Muda!"
Baru saja pemuda tampan itu mengayunkan kaki
beberapa tindak, terdengar seruan dari belakang. Terpaksa langkahnya dihentikan,
dan langsung berbalik. Dan dia langsung melihat sebuah perahu yang ditumpangi
seorang kakek, tengah meluncur laksana anak panah. Kelihatannya, perahu itu
seperti membelah permukaan air sungai menuju ke arahnya.
Pemuda tampan itu langsung bisa mengetahui kalau
kakek berpakaian penuh tambalan dan berjenggot kasar tidak terawat yang menuju
ke arahnya memiliki kepandaian tinggi. Meluncurnya perahu yang demikian cepat.
Padahal, dikayuhnya
tanpa mempergunakan
dayung, melainkan hanya sebelah tangannya. Dan ini telah menunjukkan kalau tenaga dalam kakek itu
amat tinggi Pemuda tampan yang memiliki ra mbut panjang itu
hanya berdiri diam di tempatnya, seperti menunggu. Dia tidak tahu, apakah kakek
berpakaiai penuh tambalan ini bermaksud baik atau malah sebaliknya. Tapi yang
jelas sikapnya tetap waspada.
Begitu mencapai pinggir sungai, kakek berpakaian
penuh tambalan itu langsung melompat ke darat, tanpa mempedulikan
perahunya lagi. Dai seketika tubuhnya
melesat cepat mendekati pemuda berwajah tampan itu.
"Kau memanggilku, Kek"!" tanya pemuda tampan itu.
Sopan suaranya. Begitu pula sikapnya. Jelas tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kalau merasa terganggu sama sekali.
"Benar, Anak Muda," jawab kakek berpakaian penuh tambalan itu seraya
menganggukkan kepala. "Aku terpaksa memanggilmu, karena merasakan adanya firasat
yang tidak baik begitu melihatmu. Maaf, aku memiliki naluri yang tajam, sehingga
dapat mengetahui akan adanya sebuah bahaya, muski hanya melihatnya dari
kejauhan. Aku yakin, kau tengah terlibat persoalan!"
"Boleh kutahu, persoalan apakah itu, Kek"!" tanya pemuda tampan ini, dengan raut
wajah sungguh-sungguh.
"Aku sendiri belum tahu, Anak Muda. Tapi aku yakin betul. Untuk jelasnya...,
maukah kau menunggu sebentar, Anak Muda"!"
"Kurasa tidak ada salahnya, Kek," jawab peminta tampan itu, setelah termenung
sejenak "Terima kasih."
Kakek berpakaian penuh tambalan ini segera menurunkan buntalan kumal penuh tambalan yang berada di punggungnya tadi. Dari
dalamnya, dikeluarkan beberapa macam benda. Dan ini membuat pemuda tampan itu
mengernyitkan alis, agak bingung.
Tapi, kakek berpakaian penuh tambalan itu
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepertinya tidak tahu dengan sikap pemuda berambut
panjang ini. Peralatan yang berupa, pedupaan, serbuk putih, kemenyan, dan sebuah
benda semacam alat untuk pengusir lalat. Benda itu terbuat dari batang rotan
sepanjang setengah depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu ayam yang
diikatkan. Segera benda-benda itu ditata dengan cepat.
Kemudian duduk bersila di depan pedupaan yang telah
mengepulkan asap berbau harum.
Tanpa sadar pemuda tampan itu mundur. Dia tahu,
kakek berpakaian penuh tambalan ini hendak melakukan sebuah upacara kebatinan.
"Wahai Penguasa Kegelapan...! Roh-roh di alam
Gaib...! Arwah-arwah Penasaran...! Hadir di sini...! Aku mempunyai sebuah
permintaan...!"
Terdengar gumaman aneh yang keluar dari mulut
kakek berpakaian penuh tambalan itu. Dan pemuda tampan ini
merasakan adanya sebuah kekuatan aneh yang kasatmata, di dalam ucapan demi ucapan kakek berpakaian penuh tambalan itu.
Maka, dia tahu kalau dalam ucapan-ucapan itu terkandung kekuatan gaib yang tidak
masuk akal. Tampak kakek itu duduk bersila dengan kedua mata meram dan sepasang tangan
dirangkapkan di depan dada.
"Ah...!"
Tanpa sadar, pemuda tampan berambut panjang itu
menjerit kaget ketika melihat rotan yang ujungnya terdapat bulu-bulu. Benda yang
semula tergolek di tanah itu perlahan-lahan mulai bergerak. Mula-mula pelan,
tapi kian lama tampak jelas. Malah beberapa saat kemudian, rotan kecil pendek
itu berdiri di atas bulu-bulunya yang tidak menegang kaku.
"Bagus...! Ba gus...! Kau mau hadir untuk memenuhi panggilanku...," gumam kakek
berpakaian penuh tambalan.
Suaranya terdengar aneh, tidak seperti biasanya. "Aku lihat anak muda berambut
panjang ini mempunyai persoalan.
Benarkah itu, Wahai Arwah Penasaran..."!"
Sesaat kemudian, sebuah kejadian yang hampir
membuat pemuda berambut panjang itu terjingkat kaget, mulai nampak rotan yang
telah berdiri di atas bulu-bulunya yang lemas, mulai bergerak-gerak. Dan ketika
akhirnya berhenti bergerak, tampak adanya sederet tulisan. Tidak hanya kakek
berpakaian penuh tambalan itu saja yang
membacanya. Tapi, juga pemuda berambut panjang ini.
Benar! "Apakah persoalan itu, Wahai Arwah Penasaran"!
Berikan jawabannya!"
Lagi-lagi kebutan itu bergerak-gerak, seperti menari-nari. Tapi kini, pemuda
tampan ini tahu kalau rotan itu tengah menulis untuk memberikan jawaban. Maka
dengan penuh rasa tertarik diperhatikannya tulisan itu. Dan ketika rotan itu
berhenti bergerak, kembali tertera tulisan.
Orang-orang persilatan dari berbagai penjuru datang untuk mencari pusaka-pusaka
mengerikan. Ada tokoh-tokoh dari negeri jauh dari sini, yang menganggap pusaka
itu milik leluhur mereka. Dan tokoh persilatan itu banyak yang akan mendatangi
guru pemuda ini Ki Gering Langit.
"Terima kasih atas bantuanmu, Roh-roh Penasaran.
Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Aku sudah tidak
membutuhkan bantuanmu lagi."
Seketika itu pula rotan yang semula berdiri itu jatuh kembali ke tanah, dan
tergolek. Meski tidak diberitahu, pemuda berambut panjang itu tahu kalau roh
yang dipanggil kakek berpakaian penuh tambalan telah meninggalkan rotan.
"Itulah masalahnya, Kek"!" tanya pemuda berambut panjang ini ketika kakek
berpakaian penuh tambalan itu telah merapikan peralatannya kembali dan
memasukkannya ke dalam buntalan.
Kakek itu mengangguk seraya menghapus peluh yang
membasahi wajah dengan
punggung tangan. Rupanya
permainan memanggil roh itu membutuhkan tenaga cukup besar.
"Kalau demikian aku pergi dulu, Kek. Aku khawatir terjadi apa-apa atas diriku.
Dan, terima kasih banyak atas pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada
dirimu, aku tentu tidak akan tahu peristiwa ini."
"Lupakanlah,
Dewa Arak...," sambut kakek berpakaian penuh tambalan ini tak acuh.
Pernyataan terima kasih pemuda berambut panjang
itu sama sekali tidak membuatnya merasa bangga.
"Ah...! Rupanya kau telah tahu julukanku, Kek?"
tanya pemuda berambut panjang ini tanpa adanya nada
kaget. Angin yang berhembus dan kebetulan agak keras,
membuat pakaian ungu dan rambut putih krperakannya
berkibaran cukup keras. Pemuda tampan ini memang Dewa Arak yang mempunyai nama
asli Arya Buana.
"Sejak tadi pun, aku sudah menduga demikian, Dewa Arak," timpal kakek berpakaian
penuh tambalan ini sambil senyum dikulum. Rupanya dia merasa senang, karena
berhasil membuat Dewa Arak agak kaget.
Pemuda berambut putih keperakan itu terdiam.
"Dengan permainan yang kau miliki tadi, Kek. Apa pun dapat kau ketahui," kata
Dewa Arak, memecahkan kebisuannya.
"He he he...!"
Kakek berpakaian penuh tambalan hanya terkekeh
pelan. Dan dia tidak merasa bangga sama sekali akan
kemampuan anehnya.
Dan di saat kakek berpakaian penuh tambalan itu
tertawa terkekeh-kekeh, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Dia tidak berkata
apa-apa, selain menatap kepergian pemuda berambut putih keperakan tadi.
*** "Khreak...! Khreaak...! Celaka...! Celaka...!"
Terdengar seruan-seruan keras berlogat aneh. Tak
lama, melesat keluar sesosok bayangan abu-abu dari dalam sebuah
pondok sederhana. Setibanya di luar, sosok berpakaian abu-abu ini langsung menengadahkan kepalanya ke atas, tempat asal
seruan tadi. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa cemas.
Sebentar saja, dari atas meluruk turun bayangan
putih kecil yang langsung hinggap di tangan kanan sosok berpakaian abu-abu, yang
ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Sebaris kumis melintang
yang berada di bawah hidung, semakin menampakkan kegagahan kakek itu.
"Ada apa, Sakala"! Apa yang terjadi"! Mengapa kau kemari"!"
tanya kakek berpakaian abu-abu tanpa menyembunyikan rasa cemasnya.
"Khreakaak...!
Khaaak...! Celaka! Celaka sekali, Pendekar Tangan Sepuluh! Celaka...! Khreakk!" tutur sosok putih
kecil yang hinggap di tangan kakek berkumis
melintang. Sosok kecil itu ternyata seekor burung kakaktua
berbulu putih. Dan kakek berkumis melintang yang berjuluk Pendekar Tangan
Sepuluh ini menyebutkan Sakala.
"Cepat katakan, Sakala! Apa yang telah terjadi"!"
desak Pendekar Tangan Sepuluh, tidak sabar.
"Tuan Burisrawa dibunuh orang! Khraaak..! Khaaak...!"
"Astaga...!"
Kakek berbaju abu-abu dan berkumis melintang ini
terperanjat. Semula memang sudah diduga akan adanya hal yang
tidak diinginkan, mengingat keberadaan
burung kakaktua di situ. Tapi, tak u rung berita itu membuatnya terkejut juga.
Kemudian, sambil mengeluarkan lengkingan keras,
burung kakaktua itu melenting ke atas. Pendekar Tangan Sepuluh tidak
menghalanginya sama sekali. Juga tidak memberi
tanggapan apa-apa selain terkesima dengan pandangan kosong ke depan.
"Ada apa, Kak Moksa"!"
Sebuah suara halus, membuat Pendekar Tangan
Sepuluh sadar dari kesimanya. Kepalanya segera menoleh ke belakang, dan di sana
telah berdiri seorang wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun. Wajahnya
sabar, dan masih menampakkan tanda kalau waktu mudanya memiliki wajah cantik.
"Burisrawa
dibunuh orang. Kurasa ini ada hubungannya dengan pusaka-pusaka itu," jawab Pendekar Tangan Sepuluh yang nama
sebenarnya Moksa sambil
menghela napas berat. Suatu pertanda belum bebas
sepenuhnya dari perasaan kagetnya.
"Apa"!" pekik wanita berpakaian hijau muda itu dengan keterkejutan besar.
Wanita itu tahu betul, siapa Burisrawa. Dia me-
rupakan kakek bertubuh bongkok, tapi berbadan lebar.
Pakaiannya selalu berbentuk longgar dan berwarna coklat.
Dan orang ini adalah sahabat kental Pendekar Tangan
Sepuluh yang menjadi suaminya. Makanya, wanita ini tidak merasa aneh melihat
suaminya tadi termenung. Dia tahu, Moksa terpukul oleh berita yang didengarnya.
"Oleh karena itu, Istriku," lanjut Pendekar Tangan Sepuluh masih dengan suara
mendesah. "Aku akan pergi untuk melihat-lihat tempat kediamannya. Syukur kalau
berhasil menemukan pembunuhnya. Kau tinggal di sini saja.
Jaga baik-baik anak kita"
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Kak Moksa," ujar wanita berpakaian hijau muda
menganggukkan kepala
Belum juga hilang gema ucapan wanita berpakaian
hijau muda itu, tubuh Pendekar Tangan Sepuluh telah
melesat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam
beberapa kali lesatan, yang terlihat lunya titik kecil yang kemudian lenyap
ditelan kejauhan.
Wanita berpakaian hijau muda menghela napas berat.
Dia terus saja berdiri di situ, menatap ke arah suaminya lenyap. Beberapa
lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya berbalik dan mengayunkan kaki
masuk kembali ke dalam pondok.
Tapi baru saja kakinya menindak satu langkah...
"Apa kabar, Tunjung Sari"!"
Terdengar sebuah teguran yang membuat wanita
berpakaian hijau muda itu berhenti. Tubuhnya segera
berbalik, dengan
sikap kaget. Bukan
karena teguran mendadak itu, tapi karena mengenal pemilik teguran.
"Kau... kau... Sulang..."!" desah wanita berpakaian hijau muda yang dipanggil
Tunjung Sari setengah kaget dan tidak percaya.
"Kau... kau... masih hidup"!"
"Seperti yang kau lihat"!" sosok yang dipanggil Sulang mengembangkan tangan ke
kanan kiri. "Aku masih hidup.
Meskipun, memang kau lihat ada perubahan pada bagian-bagian tubuhku. Tapi, aku
tetap Sulang. Bekas kakak
seperguruanmu, kawan sepermainanmu dulu."
"Kau... kau... sekarang mengerikan sekali...!" Tunjung Sari menatap sosok
bernama Sulang yang berada di
hadapannya dengan sinar mata ngeri.
2 Wajah sosok di depan Tunjung Sari memang benar-
benar menggiriskan. Sebagian wajahnya jelas tidak berdaging lagi. Sehingga
tulang-tulang wajahnya kelihatan
jelas. Tubuhnya pun kurus kering bagaikan tidak memiliki daging.
Melihat keadaan tubuhnya, usianya sukar ditaksir. Tapi bisa diperkirakan kalau
lewat dari usia setengah baya.
Di sebelah Sulang, berdiri seorang pemuda berpakaian serba merah. Rambutnya yang panjang, berikat kepala merah juga.
Wajahnya tampan, namun berkesan
dingin. Bahkan sepertinya menyiratkan
sesuatu yang mengerikan. "He he he...!" laki-laki berwajah mengerikan bernama Sulang tertawa terkekeh.
Kelihatannya dia tidak merasa tersinggung mendengar ucapan Tunjung Sari. "Tapi
kau masih mengenaliku, toh"! Kukira kau sudah lupa, karena terlalu lama berada
dalam pelukan si Keparat Moksa! Mana si Keparat itu, Tunjung"! Kedatanganku
untuk menebus hina dan sakit hati yang diberikannya dua puluh lima tahun lalu "
Tunjung Sari tidak merasa terkejut mendengar
ucapan Sulang. Begitu tahu kalau orang yang menegurnya ternyata Sulang, wanita
setengah baya ini telah dapat menduga akan maksud kedatangannya.
Sekitar dua puluh lima tahun lalu, dalam pertarungan dengan Moksa untuk
memperebutkan diri wanita ini, Sulang terjatuh ke dalam sebuah jurang yang
sangat dalam. Moksa dan Tunjung Sari mengira kalau Sulang telah tewas. Namun
sama sekali tidak disangka kalau orang yang dianggap telah tewas ternyata masih
hidup. Dan sekarang, justru datang untuk balas dendam!
"Cari keparat itu, Lingga!" perintah Sulang pada pemuda di sampingnya yang
bernama Lingga.
"Baik Guru," sahut Lingga.
Pemuda berpakaian merah di sebelah kiri Sulang yang
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejak tadi diam dengan wajah dingin langsung melesat ke arah pondok yang didiami
Tunjung Sari. "Hendak ke mana kau"!"
Tunjung Sari tentu saja tidak bisa mendiamkannya
begitu saja. Wanita berpakaian hijau muda ini pun seketika melesat menghadang
Lingga sambil mengirimkan pukulan dengan tangan terbuka ke arah dada.
Wutt, wuttt! Serangan Tunjung Sari yang disertai tenaga dalam
penuh itu hanya menyambar angin. Karena dengan jejakan ujung kaki kanannya,
Lingga telah melenting ke atas.
Sehingga serangan istri Pendekar Bertangan Sepuluh ini lewat di bawah kakinya.
Begitu berada di atas kepala Tunjung Sari, Lingga
berjungkir balik beberapa kali di udara. Kemudian, kedua kakinya mendarat ringan
ke belakang wanita berpakaian hijau muda itu.
"Berhenti, Keparat!"
Tunjung Sari yang mengkhawatirkan nasib anaknya
di dalam ru mah, berteriak keras seraya berlari mengejar. Tapi baru
juga beberapa langkah, terdengar bunyi angin berkesiuran dibarengi suara tawa terkekeh. Sesaat kemudian, di depan Tunjung
Sari telah berdiri Sulang. Mau tidak mau istri Pendekar Tangan Sepuluh ini
menghentikan niatnya.
Dan dia hanya bisa menatap cemas terhadap Lingga yang telah masuk ke dalam
pondoknya. "Sulang! Manusia Keparat! Iblis Keji"! Apa maumu sebenarnya"!" jerit Tunjung
Sari geram. "Sederhana saja, Tunjung. Kedatanganku untuk
membalas dendam dan sakit hati dua puluh lima tahun yang lalu. Aku hanya ingin
membunuh kau dan suamimu!" tandas Sulang. Suaranya terdengar ringan.
"Iblis! Kaulah yang akan mampus di tanganku,
Sulang!" Dengan penuh kemarahan, Tunjung Sari melompat
menerjang Sulang. Kedua tangannya yang dikepalkan keras, dipukulkan bertubi-tubi
ke arah dada, ulu hati, dan pusar Sulang dengan gerakan cepat bukan kepalang.
Sehingga tangan wanita berpakaian hijau muda ini seperti berjumlah puluhan
pasang. Inilah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat', andalan Moksa yang amat terkenal
di dunia persilatan. Tak heran
kalau dia mendapat julukan
Pendekar Tangan
Sepuluh. Dan selama hampir dua puluh lima tahun menjadi istri Pendekar Tangan
Sepuluh ini, Tunjung Sari telah mempelajari ilmu andalan suaminya. Bahkan
Pendekar Tangan Sepuluh itu telah membimbing istrinya dengan
sungguh-sungguh, sehingga mencapai kemajuan pesat.
Menyadari kalau kepandaiannya telah meningkat
pesat, Tunjung Sari merasa yakin kalau akan mampu
mengalahkan Sulang, bekas kakak seperguruannya sendiri.
Lagi pula, bukankah dulu Sulang pun roboh di tangan
suaminya yang menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' ini"
"Aha...! Rupanya si Keparat Moksa tidak hanya
menggeluti tubuhmu saja selama dua puluh lima tahun ini, Tunjung"! Dia masih
ingat untuk melatihmu, rupanya"!" ejek Sulang. Kata-katanya benar-benar tidak
senonoh, sehingga membuat kemarahan Tunjung Sari semakin
bergelora. "Inikah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' itu"!"
Wuttt, wuttt! Tunjung Sari heran bercampur geram. Semula, semua
serangannya diyakini akan berhasil mendarat di sasaran.
Tapi, ternyata hanya menyambar angin, karena Sulang
berhasil mengelak dengan gerakan aneh. Tunjung Sari
sampai-sampai tidak percaya dengan penglihatannya. Lelaki berwajah mengerikan
itu seperti terhuyung-huyung akan jatuh, seperti tengah mabuk.
"Kaget, Tunjung"!"
Sulang mengejek ketika melihat Tunjung Sari termenung keheranan serangannya dapat dielakkan secara seperti itu" Benar-
benarkah Sulang mengelak" Ataukah hanya secara kebetulan saja"! Wanita
berpakaian hijau muda ini jadi bertanya dalam hati.
"Itulah ilmu yang baru kuciptakan, Tunjung. Khusus untuk menghadapi serangan
bagaimanapun hebat atau
dahsyatnya! Apalagi, hanya ilmu 'Sepuluh Monyet Jingkrak'
Tidak ada artinya, Tunjung! Jangankan untuk mengenai tubuhku, ujung bajuku saja
tidak akan tersenggol!"
"Sombong! Kau akan hancur karena kesombonganmu
sendiri!" Setelah berkata demikian, Tunjung Sari melompat
menerjang Sulang kembali. Dan kali ini serangan- serangannya jauh lebih dahsyat. Tentu saja masih dalam penggunaan ilmu 'Sepuluh
Tangan Malaikat'!
Tapi, rupanya Sulang benar-benar tidak hanya
sesumbar. Gerakan mengelaknya benar-benar luar biasa. Ke mana pun serangan
wanita itu meluncur, selalu hanya
mengenai angin. Padahal, kakek berwajah mengerikan ini bergerak seperti tengah
mabuk atau bercanda. Kadang-kadang terhuyung-huyung, berjongkok, melompat-
lompat, mengitari, malah terkadang seperti menyambuti datangnya serangan dengan
bagian tubuh yang diserang!
"Di dalam rumah ini tidak ada orang, Guru. Hanya anjing kecil ini yang
kudapatkan!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keenan puluh
dua, terdengar sebuah seruan keras yang sudah pasti
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan memang, teriakan itu mampu
menyeruak keriuhan suasana ribut di dalam kancah pertarungan.
Bukan hanya Sulang saja yang melompat mundur
untuk menjauhi kancah pertarungan. Tunjung Sari pun
demikian. Jadi, sepertinya kedua belah pihak telah bersepakat untuk menunda pertarungan
"Keparat! Iblis Keji! Lepaskan anakku!" seru Tunjung Sari keras.
Nada suara wanita itu terdengar khawatir dan marah,
ketika melihat di depan pintu pondoknya berdiri Lingga dengan raut wajah dingin.
Di tangan kanannya terjinjing seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun,
dengan kepala di bawah. Jadi, ke dua kaki anak kecil itu yang digenggam tangan
Lingga. Anak kecil itu menangis keras karena ketakutan!
Tunjung Sari yang melihat ratapan anaknya, langsung
menghambur hendak merebut. Dan seketika itu pula kedua telapak tangannya yang
terbuka melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Sulang.
"Hiaaa...!"
Bresss! Tubuh Tunjung Sari kontan terlempar ke belakang
dan jatuh terbanting di tanah, ketika kedua tangannya dipapak Sulang dengan
gerakan sama. Sulang sendiri sama sekali tidak bergeming sedikit pun.
Tunjung Sari merasakan semua yang berada di
sekitarnya jadi berputaran. Kepalanya pusing bukan kepalang. Pandang matanya jadi nanar. Sehingga dia tidak bisa melihat jelas
Sulang dan Lingga!
Tapi, Tunjung Sari yang merasa khawatir sekali akan
keselamatan anaknya, berusaha keras untuk bangkit. Dan ini membuatnya terhuyung-
huyung setelah akhirnya berhasil berdiri.
"Jangan bunuh anakku...! Jangan sakiti dia...! Bunuh saja aku...! Tapi, biarkan
dia hidup...!" pinta Tunjung Sari, memelas.
Wanita itu tahu, kalau dengan kekerasan tidak akan
berhasil. Hanya Sulang sendiri saja, sudah tidak bisa dihadapinya. Apalagi masih
ditambah Lingga yang melihat kemampuannya, pasti tidak berada di bawah Sulang.
"He he he...!"
Sulang tertawa terkekeh melihat sikap Tunjung Sari.
Hal inilah yang diinginkannya. Tunjung Sari, bekas adik seperguruannya, dan
sekarang telah menjadi musuhnya, merengek-rengek! Dia jadi mempunyai saat yang
tepat untuk menikmati balas dendamnya.
"Kau tidak ingin aku menyakiti dan membunuh
anakmu"!"
Tunjung Sari langsung mengangguk, walaupun sebenarnya tidak percaya kalau Sulang akan memenuhi
janjinya. Tapi kekhawatiran akan keselamatan anaknya membuatnya tidak bisa
berpikir lebih jauh.
"Kau mau berjanji untuk tidak menyakiti anakku, Sulang"!" Tunjung Sari yang
cerdik, berusaha memaksa Sulang memenuhi Janjinya. "Berjanji demi kehormatanmu
sebagai seorang lelaki, dan seorang tokoh persilatan"! Karena hanya iblislah
yang tidak menepati janjinya!"
"Aku berjanji untuk tidak menyakiti, apalagi membunuh anakmu..., Tunjung!" jawab Sulang, mantap.
"Tapi, kau harus berjanji untuk menjawab pertanyaanku.
Bagaimana"!"
"Aku bersedia!" jawab Tunjung Sari, agak bergetar.
Perasaan khawatir membuat istri Pendekar Tangan
Sepuluh ini agak bergetar ketika menjawab. Dia tahu, orang macam
apa Sulang. Licik. Makanya, saat menjawab pertanyaan, Tunjung Sari sempat tercenung sejenak dan agak bergetar suaranya.
"Di mana suamimu, si Keparat Moksa"!"
"Jangan menyebut suamiku dengan makian seperti
itu! Dia jauh lebih baik daripada dirimu, Sulang!" dengus Tunjung Sari, tak
senang. "Kau teruskan makian itu, Tunjung! Dan anakmu
akan kusiksa sampai mati sebelum kau mendapat giliran!"
ancam Sulang. Sehingga, membuat istri Pendekar Tangan Sepuluh terpaksa berdiam
diri. "Katakan, di mana si Keparat Moksa! Cepat!"
"Dia tidak berada di sini. Kau terlambat datang, Sulang. Beberapa saat sebelum
kau datang, dia pergi," jawab Tunjung Sari, berusaha lembut dan tidak
mempedulikan makian terhadap suaminya.
"Sudah kuduga," Sulang mengangguk-anggukkan
kepala, seperti telah berhasil mendapatkan sebuah dugaan.
"Mungkin dia telah melihat kedatanganku dari kejauhan, maka pergi untuk
menjauhi. Memang, sejak dulu dia
memiliki watak pengecut!"
"Tutup mulutmu yang kotor itu. Sulang!" bentak Tunjung Sari, tidak kuat menahan
rasa tersinggungnya, karena suaminya dimaki-maki seperti itu. "Dia bukan orang
semacam kau!"
Selebar wajah Sulang yang hanya separo, berubah
hebat. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Lingga, sebelum akhirnya kepalanya
mengangguk. Lingga balas mengangguk dengan wajah tidak menyiratkan perasaan apa-
apa. Sesaat kemudian, tangannya yang kiri bergerak menampar pipi anak yang
berada dalam jinjingannya.
Plakkk! Anak kecil berusia dua tahun yang sudah sejak tadi
menangis karena rasa takut dan pusing, langsung meraung bertambah
keras. Tamparan Lingga, meskipun tidak mempergunakan tenaga dalam, tapt cukup keras. Sehingga membuat
bibir anak Tunjung Sari pecah-pecah dan mengeluarkan darah!
"Iblis Jahanam!"
Tunjung Sari yang tidak bisa menahan perasaan lagi
melihat anaknya disiksa seperti itu, meluruk maju ke arah Lingga. Tapi dorongan
tangan Sulang yang mengandung
hembusan angin keras, membuat tubuhnya terhuyung-
huyung kembali ke belakang dan hampir jatuh terpelanting.
Untung saja, kakek berwajah mengerikan itu hanya bermaksud mendorong. Kalau tidak, nyawa Tunjung Sari sudah terancam bahaya maut.
"Kalau berani bertindak macam-macam atau berkata tidak sopan lagi, nyawa anakmu
tak akan bisa kau
selamatkan, Tunjung!" ancam Sulang ketika melihat Tunjung Sari
hendak menerjang lagi.
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tunjung Sari terpaksa menghentikan gerakan.
Ancaman Sulang tak bisa dianggap main-main. Telah
dibuktikannya sendiri kebenaran ucapannya.
"Apa maumu sebenarnya, Sulang"!" tanya lunjung Sari setengah menjerit karena
putus asa. "Kalau mau bunuh aku, silakan! Tapi, jangan bunuh atau sakiti anakku!
Dia tidak tahu apa-apa!"
"Lupakah kau, Tunjung"! Aku telah berjanji untuk tidak
melukai apalagi membunuh anakmu, bukan"! Sekarang, katakan. Di mana si Keparat Moksa! Ke mana dia pergi!" "Dia pergi
untuk menjumpai sahabat karibnya.
Menurut berita yang didapatkan dari burung kakaktua
peliharaan temannya, kawan baiknya telah meninggal dunia karena dibunuh orang!
Suamiku pergi untuk mencari tahu, siapa pembunuhnya!" jelas Tunjung Sari.
"Ke mana dia pergi"! Dan, siapa kawannya itu,
Tunjung"!" desak Sulang penuh gairah.
"Burisrawa di Lembah Bukit Angsa."
Dengan terpaksa Tunjung Sari memberitahukannya.
Padahal, Pendekar Tangan Sepuluh telah berpesan secara keras kalau Tunjung Sari
jangan menceritakan perihal Burisrawa pada siapa pun! Apalagi, tempat di mana
kakek bongkok itu berada! Merupakan sebuah rahasia besar dunia persilatan! Wajah
Sulang kontan berseri.
"Jadi, Burisrawa tinggal di Lembah Bukit Angsa, toh"l Sungguh
kebetulan!"
seru Sulang tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. "Aku yakin, suamimu
melarang untuk memberitahukan mengenai Burisrawa dan tempat tinggalnya. Bukankah dugaanku
benar, Tunjung Sari"!"
Dengan lemah, Tunjung Sari mengangguk
"Dan tahukah kau, mengapa si Keparat Moksa itu
melarangmu untuk mengatakannya, Tunjung"!" kata Sulang, seperti untuk dirinya
sendiri. Senyumnya semakin melebar, karena tahu kalau hal yang disampaikannya
membuat Tunjung Sari sangat terpukul.
Lagi-lagi Tunjung Sari hanya bisa menjawab dengan
gerak isyarat. Kepalanya digelengkan lemah sekali. Tunjung Sari bukan orang
bodoh. Kalau sampai suaminya, Pendekar Tangan Sepuluh, melarangnya untuk
mengatakan pada orang lain, tentu ada sesuatu yang amat rahasia. Tapi
kekhawatiran akan nasib anaknyalah yang membuat Tunjung Sari terpaksa
mengatakannya. "Karena Burisrawa merupakan orang kepercayaan,
atau lebih tepatnya lagi keturunan dari orang kepercayaan pendekar yang amat
terkenal di zaman ratusan tahun yang lalu. Pendekar ini berjuluk Pendekar Suling
Perak, yang turun-temurun mempunyai orang kepercayaan. Dan leluhur Burisrawa
bertugas untuk menjaga keturunan Pendekar
Suling Perak. Karena, pendekar itu banyak menanam
permusuhan dengan orang-orang persilatan, terutama sekali dari
golongan hitam. Burisrawa dan leluhurnya lalu menyembunyikan diri bersama keturunan Pendekar Suling Perak yang masih kecil dan
belum berdaya. Dan tempat persembunyian mereka merupakan tempat suci. Karena, di
sanalah Pendekar Suling Perak turun-temurun dimakamkan.
Sebuah tempat yang amat rahasia, tapi kau telah membocorkannya, Tunjung," tutur Sulang.
Tunjung Sari malah menghela napas lega, meskipun
bias kekhawatiran akan keselamatan anaknya masih terlihat jelas.
"Kalau hanya demikian, aku yakin suamimu tidak
akan marah kau melanggar larangannya. Tidak ada hal perlu dirahasiakan!" Sulang
tertawa terkekeh. "Rupanya aku lupa menceritakan sesuatu. Di tempat Burisrawa
tinggal, terdapat pula pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak. Dan aku yakin,
dunia persilatan mendengar hal ini. Bukan tentang kematian Burisrawa saja, tapi
juga makam-makam yang
dijaga susah-payah oleh kakek bungkuk itu. Pasti tempat itu akan porak-poranda
karena orang menduga di sanalah
pusaka-pusaka itu disembunyikan!"
"Pusaka-pusaka..."!" ulang Tunjung Sari dengan suara bergetar.
Sungguh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti
ini. Wanita itu baru mengerti, mengapa suaminya sangat berpesan agar tidak
menceritaka pada siapa pun.
"Benar, Tunjung. Ha ha ha...! Kau telah banyak
membantu kami. Sekarang bukan hanya Pendekar Tangan
Sepuluh yang akan kutemukan dan kubunuh di sana. Tapi, juga pusaka-pusaka
peninggalan Pendekar Suling Perak yang amat sakti! Hal ha ha...!"
"Kau... kau...."
Tunjung Sari yang bermaksud memaki-maki Sulang,
menghentikan niatnya. Dia teringat kalau hal ini hanya akan membuat anaknya
celaka. Anak nya" Bukankah Sulang
harus membebaskan anaknya, karena dia telah memberitahukan hal yang di minta" Perasaan ingin tahu akan rahasia Burisrawa
yang membuatnya agak lupa
terhadap anaknya.
"He he he...!"
Sulang yang tahu mengapa Tunjung Sari tidak
melanjutkan ucapannya, tertawa terkekeh-kekeh. Hatinya puas karena berhasil
membuat bekas adik seperguruannya yang telah menjadi musuh besarnya, tersiksa
perasaannya. "Aku telah memenuhi janji, Sulang! Sekarang, berikan anakku! Bebaskan dia...!"
"Mengapa kau memintanya padaku, Tunjung" Apakah anakmu berada di tanganku"!"
jawab Sulang, tak acuh.
"Apa.... Apa maksudmu, Sulang"!" tanya Tunjung Sari, agak tergagap. "Bukankah
kau telah berjanji tidak menyakiti dan membunuh anakku"! Apa kau hendak
mengingkari janjimu sendiri dan menjadi Iblis Neraka"!"
"Siapa yang melanggar janji, Tunjung"! Bukankah aku berjanji tidak akan
menyakiti, apalagi membunuh anakmu.
Nah! Janjiku telah kupenuhi. Aku tidak akan membunuh dan menyakiti anakmu.,.."
"Kalau begitu, serahkan anakku!" potong Tunjung Sari tidak sabar.
"Itu tidak termasuk dalam perjanjian, Tunjung. Jadi dengan
sangat menyesal, aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu. Lagi pula kau kan tahu, anakmu tidak
berada di tanganku. Lantas, bagaimamana aku bisa
memenuhi permintaanmu"!"
"Iblis! Keparat Licik! Seharusnya sejak tadi aku tidak perlu percaya semua
bualanmu, Sulang Berhati Binatang!"
Singng! Sinar terang menyilaukan mata langsung mencuat,
ketika Tunjung Sari yang berada dalam puncak kemarahan dan kekhawatiran serta
kegeramannya mencabut pedang.
Langsung dikirimkannya serangan bertubi-tubi ke arah laki-laki berwajah
mengerikan itu. Dalam sekali serangan, ujung pedangnya telah mengancam berbagai
bagian berbahaya di tubuh Sulang.
"Hmh...!"
Sambil mengeluarkan dengusan penuh ejekan, Sulang
mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Lalu dengan gerakan mengagumkan
ditangkisnya serangan itu.
Trangng! Tunjung Sari kontan terpekik tertahan ketika pedangnya melekat dengan golok Sulang. Istri Pendekar Tangan Sepuluh tidak
tinggal diam. Diusahakannya untuk melepaskan senjata andalannya yang menempel di
golok Sulang. Tapi,
usahanya gagal. Bahkan Sulang telah menyusulinya dengan putaran goloknya. Sehingga, pedang berikut tangan Tunjung
Sari ikut terbawa terputar-putar.
Dan.... Bukkk! Di saat Tunjung Sari tengah sibuk mematahkan
kekuatan yang membawa tangan kanannya berputar, kaki kanan
Sulang meluncur deras yang kemudian telak menghantam perutnya. Tunjung Sari langsung terpental ke tanah seketika itu juga.
Namun, istri Pendekar Tangan Sepuluh ini benar-
benar merupakan seorang wanita berhati keras. Perutnya yang mulas dan sakit,
tidak dirasakan sama sekali. Dengan mengeraskan hati, dia berusaha bangkit. Dan
meski dengan tertatih-tatih, akhirnya dia berhasil berdiri. Namun tubuhnya agak
terbungkuk karena menahan sakit yang melanda.
Sebelum Tunjung Sari mengirimkan serangan lagi,
Lingga telah melakukan tindakan yang membuat nyali
Tunjung Sari bagaikan terbang! Tanpa adanya perasaan apa pun di wajah, pemuda
berwajah dingin itu telah memegang masing-masing kaki anak Tunjung Sari, dengan
tangan kanan dan kiri tangan merentang. Dan seketika itu pula....
Brettt! "Jahanaaamm...!"
Tunjung Sari menjerit panjang menyayat hati, ketika
tubuh anaknya terbelah dua mulai dari bagian bawah pusar.
Seketika, jeritan tangis yang sejak tadi melingkupi tempat itu, lenyap. Nyawa
anak lunjung Sari telah melawat ke alam baka!
"Kubunuh kaaau...!"
Dengan air mata berlinang dan hati hancur, Tunjung
Sari melompat menerjang dengan tusukan pedangnya.
Wuttt! Ujung pedang Tunjung Sari menusuk angin. Lingga
telah lebih dulu melompat, sebelum serangan maut itu bersarang di dadanya. Dan
dari atas tangan Lingga yang masih memegang anak Tunjung Sari yang telah menjadi
mayat, diayunkan.
Prakkk! Bunyi berderak keras terdengar, ketika batok kepala
Tunjung Sari berbenturan dengan batok kepala anaknya.
Seketika masing-masing kepala hancur berantakan. Darah segar, bercampur otak
langsung muncrat-muncrat. Dan
tanpa sempat sambat lagi, Tunjung Sari ambruk di tanah ke alam baka!
"Ha ha ha...!"
Sulang tertawa bergelak ketika melihat kematian
Tunjung Sari. Diperhatikannya mayat-mayat itu penuh
kebanggaan. Sementara, Lingga telah membuang mayat anak Tunjung Sari yang berada
di genggamannya. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Sulang melesat
meninggalkan tempat itu.
"Kau pergilah
sendiri, Guru. Aku sudah
tidak berkeinginan untuk mencari pusaka itu di Lembah Bukit Angsa.
Aku yakin, orang yang membunuhnya telah mendapatkannya. Aku akan pergi mencari sendiri."
Sulang tetap tertawa-tawa meski beberapa tindak
setelah meninggalkan tempat itu, terdengar pemberitahuan di telinganya.
Pemberitahuan yang dikeluarkan hingga lewat penggunaan ilmu mengirim suara dari
jauh. Langkah Sulang tetap tidak berubah. Sama sekali
tidak dipedulikan pesan yang diterima dari Lingga, pemuda berpakaian merah yang
menjadi muridnya.
3 Satu bayangan ungu melesat cepat, memasuki mulut
sebuah hutan. Gerakannya yang cepat, membuat bentuk
tubuhnya tidak terlihat jelas. Kecuali, pakaian warna ungu dan rambut panjang
putih keperakan yang berkibaran ditiup angin keras.
Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak atau
Arya Buana, terus melesat seperti tak ingin berhenti.
Pemberitahuan kakek berpakaian penuh tambalan itulah yang membuat Dewa Arak
berlari cepat, untuk segera tiba di tempat kediaman gurunya, Ki Gering Langit.
Arya tidak ingin gurunya yang sudah menarik diri dari kekerasan dunia
persilatan, akan terganggu oleh persoalan pusaka-pusaka. Di tengah cepatnya lari
Dewa Arak, mendadak saja....
Singng! Terdengar bunyi berdesing nyaring yang membuat
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Apalagi bunyi yang semakin keras
itu kian mendekati tempatnya.
Sebagai tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu pasti ada
sesuatu senjata yang tengah meluncur ke arahnya. Maka Dewa Arak bertindak cepat.
Seketika, ujung kaki kanannya dijejakkan, sehingga tubuhnya melenting ke atas.
Jrebbb! Benar saja sebatang tombak kini menancap tepat,
beberapa kaki di tempat Dewa Arak menjejak. Kalau saja pemuda berambut putih
keperakan itu tidak bertindak cepat, ujung tombak itu pasti menyate tubuhnya!
Namun baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanah, beberapa sosok berkelebatan dari sekitar tempat itu.
Dan sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, tiga sosok itu telah mengurungnya dari
tiga penjuru. Dewa Arak yang tidak pernah ingin berkelahi tanpa
alasan jelas segera mengedarkan pandangan merayapi tiga sosok yang
mengelilinginya sambil mengembangkan senyum lebar. Kendati demikian, hatinya
terkejut bukan kepalang.
Ciri-ciri yang dimiliki tiga sosok yang mengurungnya inilah yang membuainya
kaget. Ketiga laki-laki tua pengurung Dewa Arak ini berkulit hitam kecoklatan. Hidung
mereka melengkung, seperti paruh burung. Pakaian yang dikenakan hanya berupa
sehelai kain kuning yang dibelit-belitkan ke tubuh. Di tangan ketiga orang ini
tergenggam sebatang tombak berujung sebilah logam tajam, berbentuk bulan sabit.
Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau kali ini
berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti yang berasal dari tempat yang jauh. Bukankan
demikian menurut jawaban
yang diberikan roh penasaran yang disambat kakek berpakaian penuh tambalan"
"Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya salah seorang. Dia memiliki
tahi lalat besar di ujung hidung.
Sehingga, membuat hidung yang sudah aneh bentuknya,
semakin menggelikan.
Pertanyaan yang diucapkan secara tidak lancar dan
berlogat aneh itu langsung membuat Dewa Arak yakin
dengan dugaannya. Jadi, inikah tokoh-tokoh dari negeri seberang yang bermaksud
mencari pusaka leluhur mereka"
"Begitulah orang memberiku julukan, Kisanak. Tapi, aku lebih suka kalau
dipanggil nama saja. Namaku, Arya,"
kata Dewa Arak yang terkadang merasa risih bila orang memanggil julukannya.
"Tidak usah berbelit-belit. Katakan saja! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa
Arak" Atau karena merasa gentar kepada
kami, kau menjadi takut untuk mengakui julukanmu"!" tanya laki-laki tua yang memiliki bibir tebal, ikut angkat bicara.
Ucapannya jelas bernada ancaman.
"Maaf, Kisanak Semua," tukas Arya dengan suara bergetar. "Aku bukan pengecut.
Dan telah kuakui kalau aku adalah Dewa Arak, sejak semula, tapi, baiklah. Agar
kalian tidak salah duga, perlu kukatakan sekali lagi. Akulah Dewa Arak, yang
kalian cari"! Nah! Sekarang, apa maksud kalian mencariku?"
"Bagus kalau langsung bicara pada pokok masalahan, Dewa Arak. Dengan demikian,
dapat langsung berterus
terang padamu. Cepat serahkan pusaka leluhur kami. Dan kami akan segera pergi
dari sini tanpa mencelakaimu!" tegas laki-laki tua yang mempunyai rajahan
bergambar bintang segi lima di punggung tangan kanannya.
"Kurasa kalian salah alamat," sahut Aryat, tenang.
Dan sebenarnya, Dewa Arak sedikit kaget, karena
tidak menyangka kalau tiga kakek berciri-ciri berbeda ini meminta
pusaka padanya. Tapi, dia berusaha menyembunyikan kekagetannya.
"Apa maksudmu, Dewa Arak"!" sambut kakek bertahi lalat besar. "Apakah kau hendak
mengatakan kalau pusaka leluhur kami tidak berada di tanganmu"!"
"Kalau memang tidak ada padaku, lalu apa aku harus menjawabnya ada"!" balas
Arya. "Kau berani bermain-main dengan kami, Dewa Arak"!
Asal tahu saja, di negeri kami, kelompok kami yang bernama Kelompok Bulan Sabit
amat ditakuti!" ancam kakek yang bertahi lalat di hidung lagi. Tangan kanannya
yang sudah terkepal erat, siap mengirimkan serangan mempergunakan tongkat bulan
sabitnya. "Aku tidak ingin
bermain-main, Kisanak. Tapi,
kalianlah yang terlalu mendesakku. Sudah kukatakan, kalau di
tanganku tidak terdapat pusaka leluhur yang dimaksudkan. Bahkan mendengarnya saja baru kali ini dari kalian!"
Suara Arya mulai meninggi, karena merasa tidak
senang didesak oleh tiga orang kakek yang sebenarnya berasal dari Nepal
"Mungkin kau kurang jelas, Dewa Arak. Pusaka itu adalah sebatang Suling Perak
dan sebuah kipas terbuat dari kulit binatang!" jelas kakek berbibir tebal. Dia
mempunyai watak lebih sabar dari rekannya.
"Sayang sekali, aku tidak mempunyai benda-benda yang kalian maksudkan. Aku hanya
mempunyai ini," jawab Dewa Arak sambil mengangsurkan guci arak yang semula
berada di punggungnya.
"Rupanya kau sudah kepingin mampus, Dewa Arak"!"
sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. Wataknya lebih berangasan.
Bahkan dia sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dan....
"Huh!"
Dewa Arak terpaksa menggeser tubuhnya ke kiri,
ketika kakek bertahi lalat di hidung menusukkan tongkat bulan sabit ke arah
dadanya. Maka logam tajam berbentuk bulan sabit itu pun meluncur lewat di
sebelah kanan Dewa Arak.
Wukkk! Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan
sabitnya di atas kepala laksana kitirkan, kakek yang memiliki rajahan bintang
segi lima membabatkan senjatanya ke leher Dewa Arak.
Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci
yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat.
Klangng! Bunyi berdentang keras diikuti percikan bunga api ke segala arah mengiringi
terjadinya benturan senjata tongkat bulan sabit dengan guci Dewa Arak. Tubuh
kakek berajah bintang ini terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan Dewa
Arak tidak bergeming sama sekali.
Namun sebelum pemuda berambut putih keperakan
itu berbuat sesuatu, dua kakek dari Nepal la innya langsung melancarkan serangan
yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring dan mengancam bagian berbahaya.
Dewa Arak yang sudah sejak tadi memperhitungkan,
menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi segera dikeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti' yang menjadi andalannya.
Maka pertarungan antara satu melawan tiga pun berlangsung. Begitu menggebrak beberapa jurus, Dewa Arak hnrus
mengakui kalau lawan-lawannya benar-benar amat tangguh.
Kalau menghadapi seorang demi seorang, Arya yakin kalau akan dapat mengalahkan
lawannya tapa kesulitan. Tapi menghadapi
tiga orang sekaligus benar-benar terasa beratnya. Di samping ilmu-ilmu mereka tidak terlalu jauh di bawah Dewa Aik,
kerja sama mereka juga amat rapi!
Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan
sabitnya, kakek dari Nepal itu langsung membabatkan senjatanya ke l eher Dewa
Arak. Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci yang
sudah berada di
tangannya, langsung
diangkat menangkis tongkat bulan sabit itu.
Klangng! Untungnya, Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'.
Sehingga, membuatnya tidak mengalami kesulitan dalm
mengelakkan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi bagaikan hujan. Meskipun
demikian, tiga tokoh dari Nepal yang mengaku berasal dari Kelompok Bulan Sabit
itu tidak juga dapat mendesak Dewa Arak. Pertarungan masih
berlangsung imbang. Dan keadaan tetap tidak berubah
kendati telah memasuki jurus kelima puluh.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh
satu, bumi bergetar secara berirama seperti ada sebuah benda besar yang berjalan
di atasnya, itu pun masih diiringi bunyi lonceng kecil.
Mendadak terjadi perubahan besar di kancah pertarungan. Tiga kakek dari Nepal itu mengeluarkan
keluhan bernada kaget campur keluhan. Kemudian, masing-rasing melempar tubuh ke
belakang, meninggalkan kancah pertarungan bagaikan orang ketakutan.
"Lain kali kita teruskan pertarungan ini, Dewa Arak"
kata kakek bertahi lalat di hidung, yang sepertinya menjadi juru bicara bagi
kawan-kawannya.
Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tubuh
ketiga tokoh dari Nepal melesat cepat meninggalkan tempat ini. Sementara Arya
hanya terpaku heran, melihat tingkah tiga lawannya.
Arya tidak mengejar karena tak merasa mempunyai
urusan dengan tiga tokoh dari Nepal itu. Pemuda berambut putih keperakan ini
hanya menatap kepergian tiga kakek berkulit hitam kecoklatan itu, hingga lenyap
di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
Sebuah pertanyaan bergayut di bendak pemuda
berpakaian ungu ini. Apakah ada hubungan perginya tiga tokoh dari Nepal dengan
bunyi lonceng kecil dan bunyi berdebarnya di tanah yang berirama tadi" Kalau
tidak, rasanya tak akan mungkin mereka akan pergi begitu saja.
Bahkan pergi dengan sikap ketakutan begitu.
Karena rasa ingin tahu apa yang terjadi, Arya
memutuskan untuk menunggunya siapa tahu, kalau tanah yang bergetar dan bunyi
lonceng kecil itu tengah menuju ke arahnya. Apa getaran pada tanah semakin besar
dan bunyi lonceng semakin nyaring.
Sesaat kemudian, dari jarak sekitar empat tombak,
tampak sesosok makhluk bertubuh besar muncul dari balik kerimbunan pepohonan.
Dan ini membuat sepasang mata
Arya terbelalak lebar tak berkedip, begitu melihat seekor gajah yang begitu
besar, ditunggangi sosok berkulit hitam kecoklatan.
Sosok laki-laki tua di atas gajah itu berpakaian dan berciri-ciri mirip tiga
kakek yang baru saja bertarung dengan Dewa Arak. Hanya saja sorot matanya
lembut, dan mempunyai cambang bauk tebal. Sekarang Arya baru
mengerti, mengapa bumi tadi bergetar berirama. Ini tidak lain karena kaki kokoh
dan kuat dari gajah berwarna putih di depannya. Dan bunyi berkerincingan
nyaring, karena pada kaki gajah bagian depan dililit lonceng kecil. Tak lama
kemudian, kakek yang berada di atas punggung gajah itu telah berjarak satu
tombak kurang dengan Arya. Dan sampai di sini, punggung binatang dahsyat itu
ditepuk sekali. Maka gajah putih itu pun menghentikan langkahnya.
Bumi tenang kembali. Bunyi kerincingan pun lenyap.
Keadaan menjadi sunyi. Bahkan terasa sunyi.
"Selamat berjumpa, Pemuda Gagah," ucap kakek bercambang bauk lebat, dengan logat
aneh tapi sopan. Malah kepalanya dianggukkan
lebih dulu sebelum berbicara.
"Senang berkenalan dengan
pemuda gagah dan sakti sepertimu."
"Akulah yang seharusnya bangga bisa berkenalan
dengan orang sepertimu, Kek," jawab Dewa Arak merendah.
"Tidak pernah kutemukan seorang kakek yang mampu menunggangi
seekor gajah, kecuali kau, Kek. Kau membuatku yang muda merasa kagum sekali."
"Kau memang seorang pemuda luar biasa, Dewa Arak!
Tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga pandai membawa diri. Jarang ada seorang pemuda sakti yang pandai merendah sepertimu,"
puji kakek bercambang bauk lebat lagi.
"Rupanya kau telah mengenalku, Kek. Sungguh tidak enak dan tidak adil rasanya
keadaan kita sekarang. Kau telah mengenalku, sedangkan aku belum mengenalmu sama
sekali.?"Itu suatu tanda kalau kau merupakan seorang tokoh terkenal, Dewa Arak.
Dan aku merupakan seorang kakek tua bangka yang sudah hampir mati dan tidak
patut dikenal. Apalagi terkenal," kilah kakek bercambang bauk lebat.
"Kurasa kau terlalu merendahkan diri, Kek. Jawaban yang tepat bukan seperti itu.
Tapi karena kau memiliki pengetahuan
luas. Sedangkan aku tidak mempunyai pengalaman cukup, sehingga tidak mengenalimu. Buktinya, lawan-lawan tangguh yang
tadi kuhadapi, demikian takut.
Sehingga meski kau belum muncul dan masih sangat jauh, mereka sudah berlari
tunggang-langgang ketakutan. Sekali lagi, kuharap kau bersedia memperkenalkan
dirimu, Kek."
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lawan-lawan
tangguhmu melarikan
diri karena ketakutan terhadapku"! Kau mengada-ada, Dewa Arak! Mana ada tokoh persilatan di
daerah ini yang mengenalku"
Andaikata mengenal pun, apa yang harus ditakuti dari seorang kakek yang sudah
hampir mati"!" bantah kakek di atas punggung gajah bernada tidak percaya.
"Mereka bukan dari daerah ini, Kek. Bahkan bukan berasal dari negeri ini.
Mereka, kurasa berasal dari negeri yang sama denganmu," jelas Arya.
"Ah, begitukah..."!"
Kakek bercambang bauk lebat itu menyembunyikan
keterkejutannya dalam ucapannya.
"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Mereka menghadang perjalananku untuk urusan
sebuah pusaka yang sama sekali tidak kuketahui. Kalau tidak salah..."
"Suling Perak dan kipas terbuat dari bulu binatang, yang dikatakan orang-orang
itu, Dewa Arak"!" potong kakek bercambang bauk lebat, cepat Arya mengangguk
"Apakah mereka menyebutkan asal kelompok mereka, Dewa Arak?" tanya kakek
bercambang bauk lebat, lebih jauh.
"Benar, Kek Mereka menyebutkan Kelompok Bulan
Sabit," jawab Arya setelah tercenung sejenak
"Tidak mungkin!" bantah kakek bercambang bauk kaget dengan wajah tidak percaya.
Arya terjingkat seperti disengat kelabang, mendengar bantahan keras dari kakek
bercambang bauk lebat itu.
"Apanya yang tidak mungkin, Kek"! Aku tidak
berbohong! Demikian berita yang kudapatkan dari mulut mereka. Tentu saja kalau
kenyataannya mereka bukan
berasal dari Kelompok Bulan Sabit, aku nama sekali tidak tahu menahu."
"Maaf, Dewa Arak. Bukan maksudku tidak mempercayaimu. Tapi, ketahuilah Kelompok Bulan Sabit sudah tidak ada lagi. Semua
pengikutnya tewas. Dan yang tinggal hanya ketuanya saja. Itu pun berhasil
selamat, karena kebetulan tidak berada di tempat. Di sana telah terjadi
bentrokan antar kelompok yang mengakibatkan Kelompok Bulan Sabit musnah. Dan
Ketua Kelompok Bulan Sabit adalah
seorang kakek sakti yang sekarang sudah
tidak mempunyai semangat untuk bertindak kekerasan lagi. Dia tidak membalas dendam
atas kejadian yang menimpa
kelompoknya. Kakek itu bernama Tayatonga. Dan orangnya, sekarang tengah
bercakap-cakap denganmu, Dewa Arak"
tutur kakek bercambang bauk lebat, sambil menghela napas berat
"Ah...! Maafkan aku, Kek Aku telah membuatmu
teringat kembali akan masa lalumu yang tidak enak, dan bahkan menyakitkan untuk
dikenang. Sekarang aku yakin, para pengeroyokku bukan tokoh-tokoh sakti dari
Kelompok Bulan Sabit," ujar Arya tidak yakin akan dugaan yang didapatnya.
"Aku lebih condong untuk menyelidiki masalah ini, Dewa Arak," desah Tayatonga.
"Kau memang berkewajiban untuk membersihkan
nama kelompokmu dari aib yang mereka corengkan, Kek.
Meskipun sekarang, Kelompok Bulan Sabit sudah musnah dan kau bukan lagi
bertindak sebagai ketua," dukung Arya atas keputusan yang diambil Tayatonga.
Kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu
menceritakan ciri-ciri para pengeroyoknya.
Tayatonga tercenung setelah Arya selesai ceritanya.
"Melihat ciri-ciri yang kau sebutkan itu, aku menjadi sedikit kaget, Dewa Arak.
Masalahnya, ciri-ciri yang kau sebutkan
mengingatkan aku pada tiga tokoh utama Kelompok Bulan Sabit yang menjadi anak buahku. Sayang, mereka semuanya telah
tewas dalam pertarungan melawan kelompok lain. Tapi ada kemungkinan, mereka
melakukan tindakan curang. Yahhh... misalnya..., orang-orang yan meninggal dalam
pertempuran itu adalah orang-orang tiruan, samaran."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa
artinya anggukannya. Hanya pemuda berambut putih
keperakan itu saja yang tahu.
"Kalau boleh tahu..., apa maksud kedatanganmu ke negeri ini, Kek"!" tanya Arya
setelah tercenung sebentar.
"Kau memang berhak mengajukan pertanyaan itu,
Dewa Arak"
Tayatonga mengelus-elus jenggotnya yang sedikit.
Beda dengan cambang bauknya yang lebat, jenggot kakek dari Nepal ini hanya
sedikit. "Karena bagaimanapun juga, tempatku berada sekarang ini merupakan negerimu. Tempat tinggalmu. Tapi, percayalah. Aku tidak
bermaksud buruk" lanjut Tayatonga.
"Apakah kedatanganmu tidak ada hubungannya
dengan pusaka-pusaka yang konon katanya berasal dari leluhurmu itu, Kek"!" Dewa
Arak langsung mengemukakan dugaannya.
"Ada hubungannya, Dewa Arak" jawab Tayatonga tanpa ragu-ragu. "Tapi tidak sama
niatku dengan orang-orang yang baru saja bertarung denganmu tadi."
"Aku masih belum mengerti akan maksudmu, Kek"!"
Arya mengernyitkan kening, tidak mengerti. Jawaban Tayatonga memang tidak mudah dicerna.
"Hhh...!"
Tayatonga menghela napas berat sebelum menjawab
pertanyaan Dewa Arak.
4 "Aku merasa berat menceritakannya.
Karena sebenarnya, penyebab aku ke sini adalah urusan keluarga,"
Tayatonga memulai ceritanya.
"Kalau begitu, tidak usah kau ceritakan, Kek," cegah Arya, buru-buru dengan rasa
tidak enak. "Maafkan, aku terlalu mendesakmu."
Tayatonga mengembangkan senyum. Tapi Arya tahu,
senyum yang terkembang seperti dipaksakan. Ini membuktikan kalau kakek bercambang bauk lebat itu tidak berada dalam keadaan
gembira. Setidak-tidaknya benaknya tengah dilibat suatu masalah.
"Aku memang bermaksud menceritakannya, Dewa
Arak. Terkecuali, bila kau tidak bersedia mendengarkan,"
kata Tayatonga "Aku tidak keberatan sama sekali, Kek," sahut Arya sambil menggeleng. "Tapi...,
apakah pantas masalah keluarga diceritakan pada orang lain"!"
"Terkadang pantas saja. Dewa Arak. Bahkan malah perlu," timpal Tayatonga. "O,
ya. Lebih baik kumulai saja sebelum kau menjadi bosan mendengar petuah-petuah
yang tidak berarti dariku, Dewa Arak."
Kali ini Dewa Arak tidak memberi tanggapan. Dia
terdiam membisu. Sedangkan Tayatonga tengah tercenung seperti memikirkan kata-
kata yang akan dikeluarkannya.
"Aku kemari untuk mengejar istriku. Dia telah kemari lebih dulu. Seperti juga
kelompok-kelompok lain, istriku yang bernama Gangga Nanda pergi untuk mencari
pusaka-pusaka seperti yang tadi kau sebutkan. Suling Perak dan kipas yang
terbuat dari anggota tubuh
binatang. Mereka semua
menganggap pusaka-pusaka itu milik leluhur mereka. Padahal, sebenarnya tidak
demikian."
"Tapi, pasti istrimu dan kelompok-kelompok itu
mempunyai alasan kuat mengapa menduga seperti itu. Tak mungkin mereka bertindak
ceroboh, sembarangan mengaku-aku kalau tidak benar," duga Arya bernada membela,
ketika melihat Tayatonga menghentikan cerita.
"Ucapanmu memang tidak keliru, Dewa Arak. Mereka mempunyai alasan kuat. Dan aku
pun tidak menyalahkan kalau mereka sampai mempunyai du gaan seperti itu. Sayang,
mereka semua tidak mau tahu penjelasan yang kuberikan....
Maksudku, istriku."
Ada nada keluhan dalam ucapan Tayatonga. Nada
ketidakberdayaan dan hampir pasrah. Dan meskipun tidak diceritakan, Arya tahu
kalau kehidupan rumah tangga kakek bercambang bauk lebat ini tidak terlalu
bahagia. Keluhannya menjadi pertanda kalau istri kakek bercambang bauk lebat ini
tergolong orang yang tidak mau diatur!
"Adapun cerita sebenarnya begini, Dewa Arak. Sekitar seratus tahun lebih yang
lalu, di negeri kami muncul seorang pendekar besar dari negerimu ini, Dewa Arak.
Kalau tidak salah, julukannya Pendekar Suling Perak. Semula kami, terutama
aku, tidak tahu sama sekali maksud kedatangannya. Ternyata kedatangan Pendekar Suling Perak untuk memenuhi undangan
guru kami. Dan saat itu, istri guru kami sedang sakit keras. Menurut penuturan
ahli nujum, dia akan tewas kalau tidak segera mendapatkan kipas dari anggota
tubuh binatang dan Suling Perak. Jadi, keberadaan Pendekar Suling Perak di
tempat kami itu adalah untuk meminjamkan benda-benda yang merupakan pusaka
andalannya. Guru mengutus banyak murid untuk mencari Pendekar Suling Perak waktu
itu." Setelah Tayatonga bercerita sampai di sini, Dewa Arak sudah bisa menebak dan
mengerti kalau pusaka itu bukan milik leluhur tokoh-tokoh dari Nepal, melainkan
milik tokoh besar dari negeri ini. Nama Pendekar Suling Perak dikenal Dewa Arak
sebagai tokoh persilatan besar ratusan tahun yang lalu.
"Semula karena pusaka-pusaka itu amat penting dan merupakan peninggalan
leluhurnya, Pendekar Suling Perak tidak meninggalkan negeri kami. Tapi, karena
sampai beberapa hari pengobatan itu tidak kunjung selesai, Pendekar Suling
Perak memutuskan untuk meninggalkan dan meminjamkan saja pusaka itu. Pendekar itu percaya, seorang ketua kelompok besar
seperti guru kami, tidak akan
bertindak curang dan mengangkangi pusaka-pusaka miliknya. Setidak-tidaknya, menurut pemikiran Pendekar Suling Perak, guru kami
akan mengingat budi yang telah ditanamkannya."
Wajah Arya mulai berubah. Sekarang sudah bisa
diraba kejadian yang akan berlangsung.
"Perkiraan Pendekar Suling Perak ternyata keliru.
Guru kami menjadi mata gelap, dan lupa budi baik orang.
Pendekar Suling Perak yang berpesan amat sangat agar pusaka miliknya diantarkan
kepadanya apabila telah selesai dipergunakan,
hanya menunggu-nunggu
tanpa hasil. Memang, sewaktu Pendekar Suling Perak akan pergi, guru kami berjanji akan
mengembalikannya. Bahkan guru sendiri yang akan menyerahkannya disertai ucapan
terima kasih. Tapi, rupanya janjinya sendiri diingkari. Dia tidak pernah mengembalikan Suling
Perak dan kipas dari anggota tubuh binatang "itu. Bahkan murid-mu rid yang
semula diutus untuk mencari Pendekar Suling Perak, dibunuh semua oleh guru.
Tentu saja tanpa sepengetahuan kami."
Tanpa sadar, Arya yang mendengarkan semua cerita
penuh perhatian menggelengkan kepala, pertanda tidak mengerti oleh jalan pikiran
Tayatonga. "Tapi sekitar sepuluh tahun lalu, muncul seorang pendekar yang bersenjata Suling
Perak dan kipas terbuat dari anggota tubuh binatang. Kedatangannya ke tempat
kami langsung mengajukan tantangan terhadap guru sambil
menyebut-nyebut kalau guru kami merupakan orang yang tidak mengenal budi orang!
Dalam pertarungan, baik guru maupun pendekar yang berusia sekitar tiga puluh
tahun itu tewas. Namun sebelumnya, kedua belah pihak terlibat dalam pembicaraan.
Dan hanya aku seorang yang tahu, apa
pembicaraan yang berlangsung di saat-saat terakhir hidup mereka. Karena saat itu
aku nekat mencuri dengar dari tempat yang tersembunyi. Tapi untungnya,
kenekatanku ternyata malah mendapatkan pujian. Guru lalu menyuruhku
mengembalikan pusaka-pusaka Pendekar Suling Perak ke tempat semula. Dan orang
yang bertarung dengan guru
ternyata keturunan
dari Pendekar Suling Perak yang
meminjamkan pusaka-pusaka itu. Pendekar Suling Perak yang menjadi ayahnya, telah
tewas di tangan lawan tangguh, karena
tidak berbekal senjata andalannya. Tewasnya
Pendekar Suling Perak itulah yang menyebabkan guru sadar.
Apalagi menyadari kalau usianya tidak akan lama lagi. Maka akulah yang mendapat
tugas untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu. Begitu ceritanya, Dewa Arak!"
"Lalu..., bukankah pendekar yang bertarung melawan gurumu berbekal Suling Perak
dan kipas dari anggota tubuh binatang?" tanya Arya, heran.
"Senjata itu bukan buatan leluhur Pendekar Suling Perak. Hanya tiruannya,
sebagai tanda kalau pemegangnya merupakan keturunan Pendekar Suling Perak. Dan
pusaka-pusaka itu diberikan pada Burisrawa, di tempat yang
diketahui guru dari lawan larungnya," jawab Tayatonga dengan lancar.
"Jadi..., ke manakah kau akan pergi sekarang, Kek"!"
tanya Arya, ingin tahu.
"Ke tempat di mana aku menyerahkan pusaka pada
Burisrawa. Aku khawatir, istriku akan ke sana karena telah berhasil memancingku
untuk memberitahu ke mana pusaka-pusaka itu lenyap," jelas Tayatonga, panjang
lebar. "Eh..."! Untuk apa lagi pusaka-pusaka itu bagi
istrimu, Kek"!" Arya merasa tidak mengerti.
"Untuk menjadikan dirinya pemimpin bermacam-
macam kelompok yang ada di tempat kami," jawab
Tayatonga, dengan suara berat seperti batinnya tengah terhimpit. "Waktu guru
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih hidup, dia mengatakan kalau pusaka-pusaka itu didapatkan dari hasilnya
bersemadi. Dan itu
menjadi tanda atau bukti
buat seseorang yang memegangnya, untuk menjadi ketua kelompok. Maka ketika meninggal, dan masing-
masing tokoh ingin menjadi ketua kelompok,
kelompok yang susah-payah dibentuk dan dibangun guru terpecah-pecah. Itulah sebabnya, banyak kelompok yang berasal dari
kelompok yang dibangun guruku, berusaha mendapatkan
pusaka-pusaka itu agar dapat
menjadi pimpinan kelompok!"
"Dan keberadaanmu di sini untuk mencegah kelompok-kelompok itu mengambil pusaka-pusaka milik
Pendekar Suling Perak Kek"!"
"Begitulah rencanaku, Dewa Arak," desah Tayatonga.
"Aku tidak ingin mereka mengulang kesalahan guru. Bahkan menyusahkan orang yang
telah bertindak demikian baik."
"Kalau demikian, selamat bertugas, Kek. Aku mempunyai urusan yang sama pentingnya dengan mu," Arya pamit.
"Selamat jalan, Dewa Arak" balas Tayatonga tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Kau sekarang tak ubahnya Pendekar Suling
Perak ratusan tahun lalu. Nama besarnya terdengar di mana-mana, terkenal sebagai
pendekar pembasmi kejahatan dan penangkal angkara murka. Persis sama dengan
Pendekar Suling Perak ratusan tahun yang lalu."
"Kau terlalu memuji, Kek."
Ucapan itu masih bergema keras di tempat Tayatonga
masih berada. Tapi, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di situ lagi. Tayatonga
menggeleng-gelengkan kepala pertanda kagum. Bukti ini saja sudah menunjukkan
kalau Dewa Arak telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur.
Meski demikian, Tayatonga masih sangsi kalau Dewa Arak mampu mengimbangi tingkat
Pendekar Suling Perak.
*** Sesosok bayangan kuning tampak berlompatan ke
sana kemari. Ujung kakinya menotok tonjolan batu di sana-sini, agar tubuhnya
dapat melambung ke atas dan hinggap di tempat yang lebih tinggi. Sosok itu
tengah mendaki lereng sebuah bukit yang cukup terjal.
"Hup!"
Hanya dalam waktu sebentar saja, sosok bayangan
kuning ini telah tiba di bagian lereng gunung yang memiliki dataran rata. Dan
dia berhenti di sini sambil mengarahkan pandangan ke depan.
Wajah sosok bayangan kuning itu tampak berseri-seri
meski napasnya agak memburu. Dia ternyata seorang wanita yang masih muda.
Usianya tak lebih dari dua puluh tahun.
Tapi bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Sehingga
membuat para lelaki terutama yang mata keranjang, akan menelan liur. Dada gadis
berpakaian kuning itu demi kian membusung, menantang. Dan lagi wajahnya yang
cantik jelita dengan kulit putih halus kekuningan.
"Ayah...! Ibu..! Betapa aku telah amat rindu pada kalian," desah gadis
berpakaian kuning itu sambil menatap kosong ke depan. "Sambutlah ke datanganku,
Ayah, Ibu..."
Gadis berpakaian kuning ini lalu melesat ke depan.
Larinya cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat hanya sekelebatan bayangan
kuning dalam bentuk tidak jelas. Tapi baru juga beberapa kali melesat, dahi
mulus gadis berpakaian kuning ini jadi berkernyit, begitu tanpa sengaja pandangannya terarah
ke atas. "Burung-burung pemakan
bangkai," desah
gadis berpakaian kuning itu, heran campur cemas. "Mengapa burung celaka itu datang
berbondong-bondong. Dan lagi, arahnya ke sana! Ataukah ada sesuatu yang terjadi
di sana" Apakah Ayah atau Ibu...."
Sampai di sini, gadis itu tidak berani meneruskan
gumamannya. Justru larinya malah lebih dipercepat. Sementara di atasnya sosok-sosok kecil berwarna hitam menempuh arah yang sama
dengannya. Yang lebih membuat hati gadis ini semakin galau,
ketika melihat di depan sana telah banyak sosok hitam kecil yang tak lain dari
burung-burung pemakan bangkai. Yang menyebabkannya gelisah, di tempat burung-
burung itu berada justru terletak tempat tinggalnya. Tempat tinggal ayah dan ibunya.
Tapi raut kekhawatiran gadis itu mulai berkurang
ketika melihat burung-burung pemakan bangkai itu berjatuhan ke bawah, setelah terlebih dulu terlempar sedikit ke atas bagaikan
terpukul dari bawah. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tahu
kalau burung-burung itu terhantam pukulan jarak jauh yang dilakukan orang yang
berada di bawah. Siapa lagi kalau bukan orangtuanya, terutama sekali ayahnya
yang memang memiliki ilmu
pukulan jarak jauh luar biasa.
Keyakinan akan dugaannya, membuat lari gadis
berpakaian kuning semakin cepat.
Tapi, sepasang mata yang berbinar-binar dan sinar
kegembiraan wajah gadis berpakaian kuning itu langsung lenyap, ketika melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya pada jarak tiga tombak
Tampak di depannya sesosok tubuh kekar seorang
pemuda berpakaian serba merah dan berikat kepala merah, tengah duduk di atas
sebongkah batu sebesar kambing
sambil memukul-mukulkan
kedua tangannya secara bergantian ke udara. Dan pukulan-pukulan itulah yang menyebabkan
burung-burung pemakan bangkai bergeletakkan di tanah tanpa nyawa. Tubuh binatang itu telah remuk begitu
terhantam pukulan jarak jauh yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring ketika
diluncurkan. Gadis berpakaian kuning itu sudah terkejut ketika melihat keberadaan pemuda
berpakaian merah yang sama sekali
tidak dikenalnya. Kebetulan pemuda itu duduk dengan sikap menyamping, sehingga
wajahnya terlihat dari samping. Tapi dia lebih terkejut lagi ketika melihat
pemandangan di belakang pemuda berpakaian merah itu. Ternyata di depan pondok
sederhana milik orangtuanya telah tergolek dua sosok di atas tanah dalam keadaan
bersimbah darah.
Salah satu sosok bertubuh kecil. Sedangkan satunya
lagi, dewasa. Sesosok yang sukar dikenali! kepala kedua sosok itu telah hancur.
Hanya rambutnya yang panjang dan bentuk tubuhnya yang membuktikan kalau sosok
yang tewas dalam keadaan mengerikan adalah seorang wanita! Yang telah berusia
cukup lanjut. Gadis berpakaian kuning itu sampai menghentikan
larinya, dan langsung menatap dua sosok yang terbujur di tanah dengan sorot mata
tidak percaya. Kedua tangannya yang terkepal keras menandakan
ketegangan hatinya. Sepasang matanya yang indah, seperti melekat dengan sosok-sosok yang tergolek.
Terutama sekali, sosok wanita dewasa yang berpakaian hijau muda.
"I... Ibu...," desah gadis berpakaian kuning itu.
Suaranya tersendat-sendat, sedangkan sepasang matanya berkaca-kaca siap
memuntahkan air-air bening.
Pemuda berpakaian merah yang tak lain dari Lingga
terus sibuk membunuh burung-burung pemakan bangkai
dengan pukulan-pukulan
jarak jauhnya. Sambil terus
bertindak demikian, kepalanya menoleh ke arah gadis itu.
Telah belasan ekor burung yang malang itu tergeletak dalam keadaan tewas.
"Apa hubunganmu dengan monyet betina yang baru
kubunuh itu, Gadis Montok"!" tanya Lingga. Sikapnya tampak kurang ajar sambil
mengarahkan kepala pada tubuh wanita berpakaian hijau muda yang tergolek
"Keparat!"
gadis berpakaian kurung Setan Harpa 6 Pendekar Bloon 3 Pemikat Iblis Pendekar Pemetik Harpa 20
PETUALANG-PETUALANG DARI
NEPAL oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Petualang-Petualang dari Nepal
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Crakkk, crakkk, crakkk!
Tanah bergumpal-gumpal berhamburan ke udara
ketika tangan sosok tinggi kurus mencungkili sebuah
gundukan tanah, mempergunakan sebatang ranting.
Sosok yang ternyata seorang laki-laki setengah baya
berhidung ke bawah mirip burung betet ini bekerja cepat bukan main. Tangannya
yang memegang ranting sebesar ibu jari kaki seakan lenyap buntuknya. Yang
terlihat hanya sekelebatan bayangan tak jelas! Tapi dalam waktu yang tak lama
saja telah terlihat sebuah lubang menganga. Sebentar kemudian, tampak sebuah
peti mati terbujur di dasar lubang, walaupun belum nampak seluruhnya. Gundukan
tanah yang digali sosok berhidung melengkung ini ternyata sebuah kuburan!
Laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan itu kemudian
menghentikan pekerjaannya. Ranting yang tergenggam dilemparkan begitu saja. Lalu dengan perasaan tidak sabar, dia
melompat ke dalam lubang. Dan kedua tangannya tampak gemetar ketika mencengkeram
sisi-sisi bagian atas peti mati berukir indah berwarna hitam.
Brakkk! Tutup peti mati indah itu langsung copot, menimbulkan suara cukup gaduh yang memecah keheningan malam, begitu kedua tangan
yang panjang dan kurus itu menyentakkannya. Begitu matanya tertumbuk pada isi
peti, tampak sesosok tubuh yang telah rusak, terbaring di dalam peti. Bau yang
tidak sedap pun menyebar ke segala arah, terbawa angin malam yang hanya
diterangi bulan sepotong.
"Keparat!"
Laki-laki setengah baya berhidung melengkung itu
memaki-maki penuh geram sambil meludah ke sana kemari, begitu bau busuk yang
menyengap menyergap lubang
hidungnya. Beberapa percikan cairan ludah yang menjijikkan, ada yang mengenai mayat di dalam peti.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, sosok berkulit hitam kecoklatan itu melompat ke
atas. Tidak dipedulikannya peti maupun mayat dalam lubang ku buran. Namun baru
saja kakinya menjejak tanah....
"Maling Hina! Sungguh berani kau mengusik tempat suci ini! Apakah nyawamu
rangkap"!"
Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar,
begitu sepasang kaki sosok berkulit hitam kecoklatan itu hendak melangkah.
Bentakan yang sama sekali tidak
disangka-sangka itu, membuatnya terjingkat kaget bagai disengat kelabang.
Belum juga gema suara sentakan itu lenyap, mendadak sesosok tubuh melesat menuju ke arah sosok
berkulit hitam kecoklatan. Gerakannya cepat sehingga dalam sekejapan saja, sosok
itu telah berita dalam jarak tiga tombak di depan sosok berkulit hitam
kecoklatan. Dengan wajah penuh kemarahan, laki-laki berkulit
hitam kecoklatan itu memandang ke arah orang yang
membentak tadi. Sikapnya yang semula menjadi gugup,
langsung dibuat setenang mungkin.
"Rupanya maling hina ini adalah seorang asing!" desis sosok yang baru datang
Ternyata, dia adalah seorang kakek berbadan kekar.
Tubuhnya yang bongkok, terbungkus pakaian longgar coklat.
Sepasang matanya yang tajam langsung merayapi sekujur tubuh
sosok berkulit hitam kecoklatan
dengan sorot memancarkan kemarahan besar.
"Apa yang kau cari di sini, Orang Asing"!" lanjut kakek bongkok itu, masih
mendesis. "Pusaka leluhurku!" jawab sosok hitam kecoklatan dengan bahasa terpatah-patah.
Singkat sekali jawabannya.
"Cepat berikan padaku. Dan aku berjanji akan segera pergi dari sini, tanpa harus
membunuhmu!"
Wajah kakek bongkok itu kontan berubah hebat
mendengar ucapan laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan ini.
Perkataan dan sikap orang itu terlihat jelas merendahkan dirinya! Dan membuatnya
tidak senang. "Di sini tidak ada pusaka yang kau maksudkan.
Pergilah! Jangan sampai kesabaranku hilang dan terpaksa membunuhmu, Orang
Asing!" tandas kakek bongkok ini tak mau kalah gertak.
"Bohong!" sergah sosok berkulit hitam kecoklatan itu dengan suara keras dan
logat aneh. Gatal rasanya didengar telinga. "Aku tidak percaya! Aku yakin pusaka
leluhurku berada di sini. Cepat berikan padaku! Dan, jangan tunggu sampai
seluruh pekuburan kuobrak-abrik!"
"Keparat! Tulikah kau, Orang Asing"!" suara kakek bongkok kian meninggi karena
amarah yang semakin
menggelegak. "Sekali kukatakan tidak berarti tidak! Dan, cepatlah tinggalkan
tempat suci ini! Ingat! Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku tidak akan bisa
tinggal diam! Atau...
Kau sengaja menunggu kesabaranku habis"!"
"Kaulah yang membuat kesabaranku habis, Orang
Tua! Rupanya kau memang sudah bosan hidup!" ancam sosok berkulit hitam
kecoklatan itu. Nada suaranya tanpa adanya nada mengancam. Karena logatnya yang
aneh, tidak mampu memberi tekanan pada ucapannya. "Kalau begitu mampuslah!"
Sosok berkulit hitam kecoklatan itu segera mengirimkan serangan. Kedua tangannya yang terkepal
melepaskan pukulan bertubi-tubi ke arah dada lawannya.
Begitu cepat gerakannya, hingga bentuk kedua tangan
sampai lenyap. Dan yang terlihat hanya dua bayangan tidak jelas, meluruk ke arah
kakek bongkok disertai bunyi angin berkesiutan nyaring.
Serangan ini membuat kakek bongkok terperanjat.
Saat itu juga, disadari kalau sosok berkulit hitam kecoklatan ini memiliki
kepandaian tinggi.
Duk, dukk, dukkk!
Bunyi keras berulang-ulang seperti ada benturan
benda keras terdengar ketika kakek bongkok itu memapak dengan sikap jari-jari
terkepal. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung
ke belakang. Hanya saja, kakek bongkok lebih jauh dua langkah.
Kakek bongkok itu menggertakkan gigi, merasa
penasaran melihat keunggulan tenaga dalam lawannya.
Tanpa menunggu lebih lama, senjata andalannya segera dikeluarkan berupa sebuah
kipas. Kipas lebar dan besar yang gagangnya terbuat dari gading gajah itu
kelihatannya tidak bisa dianggap sembarangan. Permukaan kipas itu terbuat dari
kulit harimau loreng besar yang telah direndam dalam suatu ramuan. Sehingga
menjadi kuat, tidak bisa sobek Wuttt!
Begitu kakek bongkok itu mengibaskan kipasnya,
bertiup angin yang luar biasa keras. Sehingga membuat batu-batu sebesar kerbau
yang terletak beberapa tombak dari tempat itu, terguling-guling jauh. Sekujur
pakaian dan rambut sosok berkulit hitam kecoklatan berkibaran keras.
Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergeming, karena telah lebih dulu mengerahkan
tenaga dalam untuk membuat ke dua kakinya seperti berakar dalam tanah.
Meski demikian, kenyataan ini menyadarkan sosok
berkulit hitam kecoklatan, kalau kakek bongkok tidak bisa dianggap remeh. Maka
buru-buru sebatang suling yang
terbuat dari ular mati dan dikeringkan dikeluarkannya dari selipan pinggang. Dan
dengan senjata itu di tangan,
dihadapinya amukan kakek bongkok ini.
Maka pertarungan dahsyat yang menggariskan pun
berlangsung. Tak heran kalau suasana di sekitar tempat itu kontan
porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon pohon yang agak kecil tumbang. Sedangkan pohon
yang besar, daun-daun dan
ranting-rantingnya berguguran. Kedua senjata tokoh yang bertarung bagaikan telah
berubah. Deru angin yang keluar dari gerakan kipas, laksana badai. Sedangkan
kelebatan suling sosok berkulit hitam kecoklatan bagaikan kilat yang melejit-
lejit di antara gemuruh angin keras itu,
Tapi, kakek bongkok itu harus mengakui keunggulan
lawannya. Buktinya begitu pertarungan menginjak tiga puluh jurus, keadaannya
mulai terdesak.
Dukkk! "Hukh!"
Tubuh kakek bongkok itu terjengkang ke belakang
ketika tendangan kaki kanan lawannya mendarat telak di perut. Tubuhnya kontan
terbanting keras di tanah, setelah melayang sejauh beberapa tombak. Namun,
rupanya hatinya sekeras baja. Dan dia tetap berusaha bangkit. Padahal, darah
segar telah memancur deras dari mulutnya, ketika hendak bangkit. Bahkan tubuhnya
kembali ambruk tanpa dapat
berbuat apa-apa. Setelah mengejang beberapa saat, tubuh kakek bongkok itu pun
terkulai. Nyawanya langsung melawat ke akherat.
Sementara sosok berkulit hitam kecoklatan
itu menatap lawannya sesaat. Kemudian suling berbentuk ular kembali diselipkan ke
pinggang. Lalu, pekerjaannya yang tadi tertunda, kembali diteruskan.
*** Seorang pemuda tampan berwajah jantan, perlahan-
lahan mengayuh perahu dengan dayungnya ka arah pinggir seberang sungai. Begitu
telah sampai di tepi, dia melompat turun. Kemudian perahunya ditarik dan
diikatkan pada sebuah tonggak yang dibuatnya sendiri.
"Anak Muda!"
Baru saja pemuda tampan itu mengayunkan kaki
beberapa tindak, terdengar seruan dari belakang. Terpaksa langkahnya dihentikan,
dan langsung berbalik. Dan dia langsung melihat sebuah perahu yang ditumpangi
seorang kakek, tengah meluncur laksana anak panah. Kelihatannya, perahu itu
seperti membelah permukaan air sungai menuju ke arahnya.
Pemuda tampan itu langsung bisa mengetahui kalau
kakek berpakaian penuh tambalan dan berjenggot kasar tidak terawat yang menuju
ke arahnya memiliki kepandaian tinggi. Meluncurnya perahu yang demikian cepat.
Padahal, dikayuhnya
tanpa mempergunakan
dayung, melainkan hanya sebelah tangannya. Dan ini telah menunjukkan kalau tenaga dalam kakek itu
amat tinggi Pemuda tampan yang memiliki ra mbut panjang itu
hanya berdiri diam di tempatnya, seperti menunggu. Dia tidak tahu, apakah kakek
berpakaiai penuh tambalan ini bermaksud baik atau malah sebaliknya. Tapi yang
jelas sikapnya tetap waspada.
Begitu mencapai pinggir sungai, kakek berpakaian
penuh tambalan itu langsung melompat ke darat, tanpa mempedulikan
perahunya lagi. Dai seketika tubuhnya
melesat cepat mendekati pemuda berwajah tampan itu.
"Kau memanggilku, Kek"!" tanya pemuda tampan itu.
Sopan suaranya. Begitu pula sikapnya. Jelas tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kalau merasa terganggu sama sekali.
"Benar, Anak Muda," jawab kakek berpakaian penuh tambalan itu seraya
menganggukkan kepala. "Aku terpaksa memanggilmu, karena merasakan adanya firasat
yang tidak baik begitu melihatmu. Maaf, aku memiliki naluri yang tajam, sehingga
dapat mengetahui akan adanya sebuah bahaya, muski hanya melihatnya dari
kejauhan. Aku yakin, kau tengah terlibat persoalan!"
"Boleh kutahu, persoalan apakah itu, Kek"!" tanya pemuda tampan ini, dengan raut
wajah sungguh-sungguh.
"Aku sendiri belum tahu, Anak Muda. Tapi aku yakin betul. Untuk jelasnya...,
maukah kau menunggu sebentar, Anak Muda"!"
"Kurasa tidak ada salahnya, Kek," jawab peminta tampan itu, setelah termenung
sejenak "Terima kasih."
Kakek berpakaian penuh tambalan ini segera menurunkan buntalan kumal penuh tambalan yang berada di punggungnya tadi. Dari
dalamnya, dikeluarkan beberapa macam benda. Dan ini membuat pemuda tampan itu
mengernyitkan alis, agak bingung.
Tapi, kakek berpakaian penuh tambalan itu
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepertinya tidak tahu dengan sikap pemuda berambut
panjang ini. Peralatan yang berupa, pedupaan, serbuk putih, kemenyan, dan sebuah
benda semacam alat untuk pengusir lalat. Benda itu terbuat dari batang rotan
sepanjang setengah depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu ayam yang
diikatkan. Segera benda-benda itu ditata dengan cepat.
Kemudian duduk bersila di depan pedupaan yang telah
mengepulkan asap berbau harum.
Tanpa sadar pemuda tampan itu mundur. Dia tahu,
kakek berpakaian penuh tambalan ini hendak melakukan sebuah upacara kebatinan.
"Wahai Penguasa Kegelapan...! Roh-roh di alam
Gaib...! Arwah-arwah Penasaran...! Hadir di sini...! Aku mempunyai sebuah
permintaan...!"
Terdengar gumaman aneh yang keluar dari mulut
kakek berpakaian penuh tambalan itu. Dan pemuda tampan ini
merasakan adanya sebuah kekuatan aneh yang kasatmata, di dalam ucapan demi ucapan kakek berpakaian penuh tambalan itu.
Maka, dia tahu kalau dalam ucapan-ucapan itu terkandung kekuatan gaib yang tidak
masuk akal. Tampak kakek itu duduk bersila dengan kedua mata meram dan sepasang tangan
dirangkapkan di depan dada.
"Ah...!"
Tanpa sadar, pemuda tampan berambut panjang itu
menjerit kaget ketika melihat rotan yang ujungnya terdapat bulu-bulu. Benda yang
semula tergolek di tanah itu perlahan-lahan mulai bergerak. Mula-mula pelan,
tapi kian lama tampak jelas. Malah beberapa saat kemudian, rotan kecil pendek
itu berdiri di atas bulu-bulunya yang tidak menegang kaku.
"Bagus...! Ba gus...! Kau mau hadir untuk memenuhi panggilanku...," gumam kakek
berpakaian penuh tambalan.
Suaranya terdengar aneh, tidak seperti biasanya. "Aku lihat anak muda berambut
panjang ini mempunyai persoalan.
Benarkah itu, Wahai Arwah Penasaran..."!"
Sesaat kemudian, sebuah kejadian yang hampir
membuat pemuda berambut panjang itu terjingkat kaget, mulai nampak rotan yang
telah berdiri di atas bulu-bulunya yang lemas, mulai bergerak-gerak. Dan ketika
akhirnya berhenti bergerak, tampak adanya sederet tulisan. Tidak hanya kakek
berpakaian penuh tambalan itu saja yang
membacanya. Tapi, juga pemuda berambut panjang ini.
Benar! "Apakah persoalan itu, Wahai Arwah Penasaran"!
Berikan jawabannya!"
Lagi-lagi kebutan itu bergerak-gerak, seperti menari-nari. Tapi kini, pemuda
tampan ini tahu kalau rotan itu tengah menulis untuk memberikan jawaban. Maka
dengan penuh rasa tertarik diperhatikannya tulisan itu. Dan ketika rotan itu
berhenti bergerak, kembali tertera tulisan.
Orang-orang persilatan dari berbagai penjuru datang untuk mencari pusaka-pusaka
mengerikan. Ada tokoh-tokoh dari negeri jauh dari sini, yang menganggap pusaka
itu milik leluhur mereka. Dan tokoh persilatan itu banyak yang akan mendatangi
guru pemuda ini Ki Gering Langit.
"Terima kasih atas bantuanmu, Roh-roh Penasaran.
Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Aku sudah tidak
membutuhkan bantuanmu lagi."
Seketika itu pula rotan yang semula berdiri itu jatuh kembali ke tanah, dan
tergolek. Meski tidak diberitahu, pemuda berambut panjang itu tahu kalau roh
yang dipanggil kakek berpakaian penuh tambalan telah meninggalkan rotan.
"Itulah masalahnya, Kek"!" tanya pemuda berambut panjang ini ketika kakek
berpakaian penuh tambalan itu telah merapikan peralatannya kembali dan
memasukkannya ke dalam buntalan.
Kakek itu mengangguk seraya menghapus peluh yang
membasahi wajah dengan
punggung tangan. Rupanya
permainan memanggil roh itu membutuhkan tenaga cukup besar.
"Kalau demikian aku pergi dulu, Kek. Aku khawatir terjadi apa-apa atas diriku.
Dan, terima kasih banyak atas pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada
dirimu, aku tentu tidak akan tahu peristiwa ini."
"Lupakanlah,
Dewa Arak...," sambut kakek berpakaian penuh tambalan ini tak acuh.
Pernyataan terima kasih pemuda berambut panjang
itu sama sekali tidak membuatnya merasa bangga.
"Ah...! Rupanya kau telah tahu julukanku, Kek?"
tanya pemuda berambut panjang ini tanpa adanya nada
kaget. Angin yang berhembus dan kebetulan agak keras,
membuat pakaian ungu dan rambut putih krperakannya
berkibaran cukup keras. Pemuda tampan ini memang Dewa Arak yang mempunyai nama
asli Arya Buana.
"Sejak tadi pun, aku sudah menduga demikian, Dewa Arak," timpal kakek berpakaian
penuh tambalan ini sambil senyum dikulum. Rupanya dia merasa senang, karena
berhasil membuat Dewa Arak agak kaget.
Pemuda berambut putih keperakan itu terdiam.
"Dengan permainan yang kau miliki tadi, Kek. Apa pun dapat kau ketahui," kata
Dewa Arak, memecahkan kebisuannya.
"He he he...!"
Kakek berpakaian penuh tambalan hanya terkekeh
pelan. Dan dia tidak merasa bangga sama sekali akan
kemampuan anehnya.
Dan di saat kakek berpakaian penuh tambalan itu
tertawa terkekeh-kekeh, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Dia tidak berkata
apa-apa, selain menatap kepergian pemuda berambut putih keperakan tadi.
*** "Khreak...! Khreaak...! Celaka...! Celaka...!"
Terdengar seruan-seruan keras berlogat aneh. Tak
lama, melesat keluar sesosok bayangan abu-abu dari dalam sebuah
pondok sederhana. Setibanya di luar, sosok berpakaian abu-abu ini langsung menengadahkan kepalanya ke atas, tempat asal
seruan tadi. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa cemas.
Sebentar saja, dari atas meluruk turun bayangan
putih kecil yang langsung hinggap di tangan kanan sosok berpakaian abu-abu, yang
ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Sebaris kumis melintang
yang berada di bawah hidung, semakin menampakkan kegagahan kakek itu.
"Ada apa, Sakala"! Apa yang terjadi"! Mengapa kau kemari"!"
tanya kakek berpakaian abu-abu tanpa menyembunyikan rasa cemasnya.
"Khreakaak...!
Khaaak...! Celaka! Celaka sekali, Pendekar Tangan Sepuluh! Celaka...! Khreakk!" tutur sosok putih
kecil yang hinggap di tangan kakek berkumis
melintang. Sosok kecil itu ternyata seekor burung kakaktua
berbulu putih. Dan kakek berkumis melintang yang berjuluk Pendekar Tangan
Sepuluh ini menyebutkan Sakala.
"Cepat katakan, Sakala! Apa yang telah terjadi"!"
desak Pendekar Tangan Sepuluh, tidak sabar.
"Tuan Burisrawa dibunuh orang! Khraaak..! Khaaak...!"
"Astaga...!"
Kakek berbaju abu-abu dan berkumis melintang ini
terperanjat. Semula memang sudah diduga akan adanya hal yang
tidak diinginkan, mengingat keberadaan
burung kakaktua di situ. Tapi, tak u rung berita itu membuatnya terkejut juga.
Kemudian, sambil mengeluarkan lengkingan keras,
burung kakaktua itu melenting ke atas. Pendekar Tangan Sepuluh tidak
menghalanginya sama sekali. Juga tidak memberi
tanggapan apa-apa selain terkesima dengan pandangan kosong ke depan.
"Ada apa, Kak Moksa"!"
Sebuah suara halus, membuat Pendekar Tangan
Sepuluh sadar dari kesimanya. Kepalanya segera menoleh ke belakang, dan di sana
telah berdiri seorang wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun. Wajahnya
sabar, dan masih menampakkan tanda kalau waktu mudanya memiliki wajah cantik.
"Burisrawa
dibunuh orang. Kurasa ini ada hubungannya dengan pusaka-pusaka itu," jawab Pendekar Tangan Sepuluh yang nama
sebenarnya Moksa sambil
menghela napas berat. Suatu pertanda belum bebas
sepenuhnya dari perasaan kagetnya.
"Apa"!" pekik wanita berpakaian hijau muda itu dengan keterkejutan besar.
Wanita itu tahu betul, siapa Burisrawa. Dia me-
rupakan kakek bertubuh bongkok, tapi berbadan lebar.
Pakaiannya selalu berbentuk longgar dan berwarna coklat.
Dan orang ini adalah sahabat kental Pendekar Tangan
Sepuluh yang menjadi suaminya. Makanya, wanita ini tidak merasa aneh melihat
suaminya tadi termenung. Dia tahu, Moksa terpukul oleh berita yang didengarnya.
"Oleh karena itu, Istriku," lanjut Pendekar Tangan Sepuluh masih dengan suara
mendesah. "Aku akan pergi untuk melihat-lihat tempat kediamannya. Syukur kalau
berhasil menemukan pembunuhnya. Kau tinggal di sini saja.
Jaga baik-baik anak kita"
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Kak Moksa," ujar wanita berpakaian hijau muda
menganggukkan kepala
Belum juga hilang gema ucapan wanita berpakaian
hijau muda itu, tubuh Pendekar Tangan Sepuluh telah
melesat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam
beberapa kali lesatan, yang terlihat lunya titik kecil yang kemudian lenyap
ditelan kejauhan.
Wanita berpakaian hijau muda menghela napas berat.
Dia terus saja berdiri di situ, menatap ke arah suaminya lenyap. Beberapa
lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya berbalik dan mengayunkan kaki
masuk kembali ke dalam pondok.
Tapi baru saja kakinya menindak satu langkah...
"Apa kabar, Tunjung Sari"!"
Terdengar sebuah teguran yang membuat wanita
berpakaian hijau muda itu berhenti. Tubuhnya segera
berbalik, dengan
sikap kaget. Bukan
karena teguran mendadak itu, tapi karena mengenal pemilik teguran.
"Kau... kau... Sulang..."!" desah wanita berpakaian hijau muda yang dipanggil
Tunjung Sari setengah kaget dan tidak percaya.
"Kau... kau... masih hidup"!"
"Seperti yang kau lihat"!" sosok yang dipanggil Sulang mengembangkan tangan ke
kanan kiri. "Aku masih hidup.
Meskipun, memang kau lihat ada perubahan pada bagian-bagian tubuhku. Tapi, aku
tetap Sulang. Bekas kakak
seperguruanmu, kawan sepermainanmu dulu."
"Kau... kau... sekarang mengerikan sekali...!" Tunjung Sari menatap sosok
bernama Sulang yang berada di
hadapannya dengan sinar mata ngeri.
2 Wajah sosok di depan Tunjung Sari memang benar-
benar menggiriskan. Sebagian wajahnya jelas tidak berdaging lagi. Sehingga
tulang-tulang wajahnya kelihatan
jelas. Tubuhnya pun kurus kering bagaikan tidak memiliki daging.
Melihat keadaan tubuhnya, usianya sukar ditaksir. Tapi bisa diperkirakan kalau
lewat dari usia setengah baya.
Di sebelah Sulang, berdiri seorang pemuda berpakaian serba merah. Rambutnya yang panjang, berikat kepala merah juga.
Wajahnya tampan, namun berkesan
dingin. Bahkan sepertinya menyiratkan
sesuatu yang mengerikan. "He he he...!" laki-laki berwajah mengerikan bernama Sulang tertawa terkekeh.
Kelihatannya dia tidak merasa tersinggung mendengar ucapan Tunjung Sari. "Tapi
kau masih mengenaliku, toh"! Kukira kau sudah lupa, karena terlalu lama berada
dalam pelukan si Keparat Moksa! Mana si Keparat itu, Tunjung"! Kedatanganku
untuk menebus hina dan sakit hati yang diberikannya dua puluh lima tahun lalu "
Tunjung Sari tidak merasa terkejut mendengar
ucapan Sulang. Begitu tahu kalau orang yang menegurnya ternyata Sulang, wanita
setengah baya ini telah dapat menduga akan maksud kedatangannya.
Sekitar dua puluh lima tahun lalu, dalam pertarungan dengan Moksa untuk
memperebutkan diri wanita ini, Sulang terjatuh ke dalam sebuah jurang yang
sangat dalam. Moksa dan Tunjung Sari mengira kalau Sulang telah tewas. Namun
sama sekali tidak disangka kalau orang yang dianggap telah tewas ternyata masih
hidup. Dan sekarang, justru datang untuk balas dendam!
"Cari keparat itu, Lingga!" perintah Sulang pada pemuda di sampingnya yang
bernama Lingga.
"Baik Guru," sahut Lingga.
Pemuda berpakaian merah di sebelah kiri Sulang yang
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejak tadi diam dengan wajah dingin langsung melesat ke arah pondok yang didiami
Tunjung Sari. "Hendak ke mana kau"!"
Tunjung Sari tentu saja tidak bisa mendiamkannya
begitu saja. Wanita berpakaian hijau muda ini pun seketika melesat menghadang
Lingga sambil mengirimkan pukulan dengan tangan terbuka ke arah dada.
Wutt, wuttt! Serangan Tunjung Sari yang disertai tenaga dalam
penuh itu hanya menyambar angin. Karena dengan jejakan ujung kaki kanannya,
Lingga telah melenting ke atas.
Sehingga serangan istri Pendekar Bertangan Sepuluh ini lewat di bawah kakinya.
Begitu berada di atas kepala Tunjung Sari, Lingga
berjungkir balik beberapa kali di udara. Kemudian, kedua kakinya mendarat ringan
ke belakang wanita berpakaian hijau muda itu.
"Berhenti, Keparat!"
Tunjung Sari yang mengkhawatirkan nasib anaknya
di dalam ru mah, berteriak keras seraya berlari mengejar. Tapi baru
juga beberapa langkah, terdengar bunyi angin berkesiuran dibarengi suara tawa terkekeh. Sesaat kemudian, di depan Tunjung
Sari telah berdiri Sulang. Mau tidak mau istri Pendekar Tangan Sepuluh ini
menghentikan niatnya.
Dan dia hanya bisa menatap cemas terhadap Lingga yang telah masuk ke dalam
pondoknya. "Sulang! Manusia Keparat! Iblis Keji"! Apa maumu sebenarnya"!" jerit Tunjung
Sari geram. "Sederhana saja, Tunjung. Kedatanganku untuk
membalas dendam dan sakit hati dua puluh lima tahun yang lalu. Aku hanya ingin
membunuh kau dan suamimu!" tandas Sulang. Suaranya terdengar ringan.
"Iblis! Kaulah yang akan mampus di tanganku,
Sulang!" Dengan penuh kemarahan, Tunjung Sari melompat
menerjang Sulang. Kedua tangannya yang dikepalkan keras, dipukulkan bertubi-tubi
ke arah dada, ulu hati, dan pusar Sulang dengan gerakan cepat bukan kepalang.
Sehingga tangan wanita berpakaian hijau muda ini seperti berjumlah puluhan
pasang. Inilah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat', andalan Moksa yang amat terkenal
di dunia persilatan. Tak heran
kalau dia mendapat julukan
Pendekar Tangan
Sepuluh. Dan selama hampir dua puluh lima tahun menjadi istri Pendekar Tangan
Sepuluh ini, Tunjung Sari telah mempelajari ilmu andalan suaminya. Bahkan
Pendekar Tangan Sepuluh itu telah membimbing istrinya dengan
sungguh-sungguh, sehingga mencapai kemajuan pesat.
Menyadari kalau kepandaiannya telah meningkat
pesat, Tunjung Sari merasa yakin kalau akan mampu
mengalahkan Sulang, bekas kakak seperguruannya sendiri.
Lagi pula, bukankah dulu Sulang pun roboh di tangan
suaminya yang menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' ini"
"Aha...! Rupanya si Keparat Moksa tidak hanya
menggeluti tubuhmu saja selama dua puluh lima tahun ini, Tunjung"! Dia masih
ingat untuk melatihmu, rupanya"!" ejek Sulang. Kata-katanya benar-benar tidak
senonoh, sehingga membuat kemarahan Tunjung Sari semakin
bergelora. "Inikah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' itu"!"
Wuttt, wuttt! Tunjung Sari heran bercampur geram. Semula, semua
serangannya diyakini akan berhasil mendarat di sasaran.
Tapi, ternyata hanya menyambar angin, karena Sulang
berhasil mengelak dengan gerakan aneh. Tunjung Sari
sampai-sampai tidak percaya dengan penglihatannya. Lelaki berwajah mengerikan
itu seperti terhuyung-huyung akan jatuh, seperti tengah mabuk.
"Kaget, Tunjung"!"
Sulang mengejek ketika melihat Tunjung Sari termenung keheranan serangannya dapat dielakkan secara seperti itu" Benar-
benarkah Sulang mengelak" Ataukah hanya secara kebetulan saja"! Wanita
berpakaian hijau muda ini jadi bertanya dalam hati.
"Itulah ilmu yang baru kuciptakan, Tunjung. Khusus untuk menghadapi serangan
bagaimanapun hebat atau
dahsyatnya! Apalagi, hanya ilmu 'Sepuluh Monyet Jingkrak'
Tidak ada artinya, Tunjung! Jangankan untuk mengenai tubuhku, ujung bajuku saja
tidak akan tersenggol!"
"Sombong! Kau akan hancur karena kesombonganmu
sendiri!" Setelah berkata demikian, Tunjung Sari melompat
menerjang Sulang kembali. Dan kali ini serangan- serangannya jauh lebih dahsyat. Tentu saja masih dalam penggunaan ilmu 'Sepuluh
Tangan Malaikat'!
Tapi, rupanya Sulang benar-benar tidak hanya
sesumbar. Gerakan mengelaknya benar-benar luar biasa. Ke mana pun serangan
wanita itu meluncur, selalu hanya
mengenai angin. Padahal, kakek berwajah mengerikan ini bergerak seperti tengah
mabuk atau bercanda. Kadang-kadang terhuyung-huyung, berjongkok, melompat-
lompat, mengitari, malah terkadang seperti menyambuti datangnya serangan dengan
bagian tubuh yang diserang!
"Di dalam rumah ini tidak ada orang, Guru. Hanya anjing kecil ini yang
kudapatkan!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keenan puluh
dua, terdengar sebuah seruan keras yang sudah pasti
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan memang, teriakan itu mampu
menyeruak keriuhan suasana ribut di dalam kancah pertarungan.
Bukan hanya Sulang saja yang melompat mundur
untuk menjauhi kancah pertarungan. Tunjung Sari pun
demikian. Jadi, sepertinya kedua belah pihak telah bersepakat untuk menunda pertarungan
"Keparat! Iblis Keji! Lepaskan anakku!" seru Tunjung Sari keras.
Nada suara wanita itu terdengar khawatir dan marah,
ketika melihat di depan pintu pondoknya berdiri Lingga dengan raut wajah dingin.
Di tangan kanannya terjinjing seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun,
dengan kepala di bawah. Jadi, ke dua kaki anak kecil itu yang digenggam tangan
Lingga. Anak kecil itu menangis keras karena ketakutan!
Tunjung Sari yang melihat ratapan anaknya, langsung
menghambur hendak merebut. Dan seketika itu pula kedua telapak tangannya yang
terbuka melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Sulang.
"Hiaaa...!"
Bresss! Tubuh Tunjung Sari kontan terlempar ke belakang
dan jatuh terbanting di tanah, ketika kedua tangannya dipapak Sulang dengan
gerakan sama. Sulang sendiri sama sekali tidak bergeming sedikit pun.
Tunjung Sari merasakan semua yang berada di
sekitarnya jadi berputaran. Kepalanya pusing bukan kepalang. Pandang matanya jadi nanar. Sehingga dia tidak bisa melihat jelas
Sulang dan Lingga!
Tapi, Tunjung Sari yang merasa khawatir sekali akan
keselamatan anaknya, berusaha keras untuk bangkit. Dan ini membuatnya terhuyung-
huyung setelah akhirnya berhasil berdiri.
"Jangan bunuh anakku...! Jangan sakiti dia...! Bunuh saja aku...! Tapi, biarkan
dia hidup...!" pinta Tunjung Sari, memelas.
Wanita itu tahu, kalau dengan kekerasan tidak akan
berhasil. Hanya Sulang sendiri saja, sudah tidak bisa dihadapinya. Apalagi masih
ditambah Lingga yang melihat kemampuannya, pasti tidak berada di bawah Sulang.
"He he he...!"
Sulang tertawa terkekeh melihat sikap Tunjung Sari.
Hal inilah yang diinginkannya. Tunjung Sari, bekas adik seperguruannya, dan
sekarang telah menjadi musuhnya, merengek-rengek! Dia jadi mempunyai saat yang
tepat untuk menikmati balas dendamnya.
"Kau tidak ingin aku menyakiti dan membunuh
anakmu"!"
Tunjung Sari langsung mengangguk, walaupun sebenarnya tidak percaya kalau Sulang akan memenuhi
janjinya. Tapi kekhawatiran akan keselamatan anaknya membuatnya tidak bisa
berpikir lebih jauh.
"Kau mau berjanji untuk tidak menyakiti anakku, Sulang"!" Tunjung Sari yang
cerdik, berusaha memaksa Sulang memenuhi Janjinya. "Berjanji demi kehormatanmu
sebagai seorang lelaki, dan seorang tokoh persilatan"! Karena hanya iblislah
yang tidak menepati janjinya!"
"Aku berjanji untuk tidak menyakiti, apalagi membunuh anakmu..., Tunjung!" jawab Sulang, mantap.
"Tapi, kau harus berjanji untuk menjawab pertanyaanku.
Bagaimana"!"
"Aku bersedia!" jawab Tunjung Sari, agak bergetar.
Perasaan khawatir membuat istri Pendekar Tangan
Sepuluh ini agak bergetar ketika menjawab. Dia tahu, orang macam
apa Sulang. Licik. Makanya, saat menjawab pertanyaan, Tunjung Sari sempat tercenung sejenak dan agak bergetar suaranya.
"Di mana suamimu, si Keparat Moksa"!"
"Jangan menyebut suamiku dengan makian seperti
itu! Dia jauh lebih baik daripada dirimu, Sulang!" dengus Tunjung Sari, tak
senang. "Kau teruskan makian itu, Tunjung! Dan anakmu
akan kusiksa sampai mati sebelum kau mendapat giliran!"
ancam Sulang. Sehingga, membuat istri Pendekar Tangan Sepuluh terpaksa berdiam
diri. "Katakan, di mana si Keparat Moksa! Cepat!"
"Dia tidak berada di sini. Kau terlambat datang, Sulang. Beberapa saat sebelum
kau datang, dia pergi," jawab Tunjung Sari, berusaha lembut dan tidak
mempedulikan makian terhadap suaminya.
"Sudah kuduga," Sulang mengangguk-anggukkan
kepala, seperti telah berhasil mendapatkan sebuah dugaan.
"Mungkin dia telah melihat kedatanganku dari kejauhan, maka pergi untuk
menjauhi. Memang, sejak dulu dia
memiliki watak pengecut!"
"Tutup mulutmu yang kotor itu. Sulang!" bentak Tunjung Sari, tidak kuat menahan
rasa tersinggungnya, karena suaminya dimaki-maki seperti itu. "Dia bukan orang
semacam kau!"
Selebar wajah Sulang yang hanya separo, berubah
hebat. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Lingga, sebelum akhirnya kepalanya
mengangguk. Lingga balas mengangguk dengan wajah tidak menyiratkan perasaan apa-
apa. Sesaat kemudian, tangannya yang kiri bergerak menampar pipi anak yang
berada dalam jinjingannya.
Plakkk! Anak kecil berusia dua tahun yang sudah sejak tadi
menangis karena rasa takut dan pusing, langsung meraung bertambah
keras. Tamparan Lingga, meskipun tidak mempergunakan tenaga dalam, tapt cukup keras. Sehingga membuat
bibir anak Tunjung Sari pecah-pecah dan mengeluarkan darah!
"Iblis Jahanam!"
Tunjung Sari yang tidak bisa menahan perasaan lagi
melihat anaknya disiksa seperti itu, meluruk maju ke arah Lingga. Tapi dorongan
tangan Sulang yang mengandung
hembusan angin keras, membuat tubuhnya terhuyung-
huyung kembali ke belakang dan hampir jatuh terpelanting.
Untung saja, kakek berwajah mengerikan itu hanya bermaksud mendorong. Kalau tidak, nyawa Tunjung Sari sudah terancam bahaya maut.
"Kalau berani bertindak macam-macam atau berkata tidak sopan lagi, nyawa anakmu
tak akan bisa kau
selamatkan, Tunjung!" ancam Sulang ketika melihat Tunjung Sari
hendak menerjang lagi.
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tunjung Sari terpaksa menghentikan gerakan.
Ancaman Sulang tak bisa dianggap main-main. Telah
dibuktikannya sendiri kebenaran ucapannya.
"Apa maumu sebenarnya, Sulang"!" tanya lunjung Sari setengah menjerit karena
putus asa. "Kalau mau bunuh aku, silakan! Tapi, jangan bunuh atau sakiti anakku!
Dia tidak tahu apa-apa!"
"Lupakah kau, Tunjung"! Aku telah berjanji untuk tidak
melukai apalagi membunuh anakmu, bukan"! Sekarang, katakan. Di mana si Keparat Moksa! Ke mana dia pergi!" "Dia pergi
untuk menjumpai sahabat karibnya.
Menurut berita yang didapatkan dari burung kakaktua
peliharaan temannya, kawan baiknya telah meninggal dunia karena dibunuh orang!
Suamiku pergi untuk mencari tahu, siapa pembunuhnya!" jelas Tunjung Sari.
"Ke mana dia pergi"! Dan, siapa kawannya itu,
Tunjung"!" desak Sulang penuh gairah.
"Burisrawa di Lembah Bukit Angsa."
Dengan terpaksa Tunjung Sari memberitahukannya.
Padahal, Pendekar Tangan Sepuluh telah berpesan secara keras kalau Tunjung Sari
jangan menceritakan perihal Burisrawa pada siapa pun! Apalagi, tempat di mana
kakek bongkok itu berada! Merupakan sebuah rahasia besar dunia persilatan! Wajah
Sulang kontan berseri.
"Jadi, Burisrawa tinggal di Lembah Bukit Angsa, toh"l Sungguh
kebetulan!"
seru Sulang tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. "Aku yakin, suamimu
melarang untuk memberitahukan mengenai Burisrawa dan tempat tinggalnya. Bukankah dugaanku
benar, Tunjung Sari"!"
Dengan lemah, Tunjung Sari mengangguk
"Dan tahukah kau, mengapa si Keparat Moksa itu
melarangmu untuk mengatakannya, Tunjung"!" kata Sulang, seperti untuk dirinya
sendiri. Senyumnya semakin melebar, karena tahu kalau hal yang disampaikannya
membuat Tunjung Sari sangat terpukul.
Lagi-lagi Tunjung Sari hanya bisa menjawab dengan
gerak isyarat. Kepalanya digelengkan lemah sekali. Tunjung Sari bukan orang
bodoh. Kalau sampai suaminya, Pendekar Tangan Sepuluh, melarangnya untuk
mengatakan pada orang lain, tentu ada sesuatu yang amat rahasia. Tapi
kekhawatiran akan nasib anaknyalah yang membuat Tunjung Sari terpaksa
mengatakannya. "Karena Burisrawa merupakan orang kepercayaan,
atau lebih tepatnya lagi keturunan dari orang kepercayaan pendekar yang amat
terkenal di zaman ratusan tahun yang lalu. Pendekar ini berjuluk Pendekar Suling
Perak, yang turun-temurun mempunyai orang kepercayaan. Dan leluhur Burisrawa
bertugas untuk menjaga keturunan Pendekar
Suling Perak. Karena, pendekar itu banyak menanam
permusuhan dengan orang-orang persilatan, terutama sekali dari
golongan hitam. Burisrawa dan leluhurnya lalu menyembunyikan diri bersama keturunan Pendekar Suling Perak yang masih kecil dan
belum berdaya. Dan tempat persembunyian mereka merupakan tempat suci. Karena, di
sanalah Pendekar Suling Perak turun-temurun dimakamkan.
Sebuah tempat yang amat rahasia, tapi kau telah membocorkannya, Tunjung," tutur Sulang.
Tunjung Sari malah menghela napas lega, meskipun
bias kekhawatiran akan keselamatan anaknya masih terlihat jelas.
"Kalau hanya demikian, aku yakin suamimu tidak
akan marah kau melanggar larangannya. Tidak ada hal perlu dirahasiakan!" Sulang
tertawa terkekeh. "Rupanya aku lupa menceritakan sesuatu. Di tempat Burisrawa
tinggal, terdapat pula pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak. Dan aku yakin,
dunia persilatan mendengar hal ini. Bukan tentang kematian Burisrawa saja, tapi
juga makam-makam yang
dijaga susah-payah oleh kakek bungkuk itu. Pasti tempat itu akan porak-poranda
karena orang menduga di sanalah
pusaka-pusaka itu disembunyikan!"
"Pusaka-pusaka..."!" ulang Tunjung Sari dengan suara bergetar.
Sungguh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti
ini. Wanita itu baru mengerti, mengapa suaminya sangat berpesan agar tidak
menceritaka pada siapa pun.
"Benar, Tunjung. Ha ha ha...! Kau telah banyak
membantu kami. Sekarang bukan hanya Pendekar Tangan
Sepuluh yang akan kutemukan dan kubunuh di sana. Tapi, juga pusaka-pusaka
peninggalan Pendekar Suling Perak yang amat sakti! Hal ha ha...!"
"Kau... kau...."
Tunjung Sari yang bermaksud memaki-maki Sulang,
menghentikan niatnya. Dia teringat kalau hal ini hanya akan membuat anaknya
celaka. Anak nya" Bukankah Sulang
harus membebaskan anaknya, karena dia telah memberitahukan hal yang di minta" Perasaan ingin tahu akan rahasia Burisrawa
yang membuatnya agak lupa
terhadap anaknya.
"He he he...!"
Sulang yang tahu mengapa Tunjung Sari tidak
melanjutkan ucapannya, tertawa terkekeh-kekeh. Hatinya puas karena berhasil
membuat bekas adik seperguruannya yang telah menjadi musuh besarnya, tersiksa
perasaannya. "Aku telah memenuhi janji, Sulang! Sekarang, berikan anakku! Bebaskan dia...!"
"Mengapa kau memintanya padaku, Tunjung" Apakah anakmu berada di tanganku"!"
jawab Sulang, tak acuh.
"Apa.... Apa maksudmu, Sulang"!" tanya Tunjung Sari, agak tergagap. "Bukankah
kau telah berjanji tidak menyakiti dan membunuh anakku"! Apa kau hendak
mengingkari janjimu sendiri dan menjadi Iblis Neraka"!"
"Siapa yang melanggar janji, Tunjung"! Bukankah aku berjanji tidak akan
menyakiti, apalagi membunuh anakmu.
Nah! Janjiku telah kupenuhi. Aku tidak akan membunuh dan menyakiti anakmu.,.."
"Kalau begitu, serahkan anakku!" potong Tunjung Sari tidak sabar.
"Itu tidak termasuk dalam perjanjian, Tunjung. Jadi dengan
sangat menyesal, aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu. Lagi pula kau kan tahu, anakmu tidak
berada di tanganku. Lantas, bagaimamana aku bisa
memenuhi permintaanmu"!"
"Iblis! Keparat Licik! Seharusnya sejak tadi aku tidak perlu percaya semua
bualanmu, Sulang Berhati Binatang!"
Singng! Sinar terang menyilaukan mata langsung mencuat,
ketika Tunjung Sari yang berada dalam puncak kemarahan dan kekhawatiran serta
kegeramannya mencabut pedang.
Langsung dikirimkannya serangan bertubi-tubi ke arah laki-laki berwajah
mengerikan itu. Dalam sekali serangan, ujung pedangnya telah mengancam berbagai
bagian berbahaya di tubuh Sulang.
"Hmh...!"
Sambil mengeluarkan dengusan penuh ejekan, Sulang
mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Lalu dengan gerakan mengagumkan
ditangkisnya serangan itu.
Trangng! Tunjung Sari kontan terpekik tertahan ketika pedangnya melekat dengan golok Sulang. Istri Pendekar Tangan Sepuluh tidak
tinggal diam. Diusahakannya untuk melepaskan senjata andalannya yang menempel di
golok Sulang. Tapi,
usahanya gagal. Bahkan Sulang telah menyusulinya dengan putaran goloknya. Sehingga, pedang berikut tangan Tunjung
Sari ikut terbawa terputar-putar.
Dan.... Bukkk! Di saat Tunjung Sari tengah sibuk mematahkan
kekuatan yang membawa tangan kanannya berputar, kaki kanan
Sulang meluncur deras yang kemudian telak menghantam perutnya. Tunjung Sari langsung terpental ke tanah seketika itu juga.
Namun, istri Pendekar Tangan Sepuluh ini benar-
benar merupakan seorang wanita berhati keras. Perutnya yang mulas dan sakit,
tidak dirasakan sama sekali. Dengan mengeraskan hati, dia berusaha bangkit. Dan
meski dengan tertatih-tatih, akhirnya dia berhasil berdiri. Namun tubuhnya agak
terbungkuk karena menahan sakit yang melanda.
Sebelum Tunjung Sari mengirimkan serangan lagi,
Lingga telah melakukan tindakan yang membuat nyali
Tunjung Sari bagaikan terbang! Tanpa adanya perasaan apa pun di wajah, pemuda
berwajah dingin itu telah memegang masing-masing kaki anak Tunjung Sari, dengan
tangan kanan dan kiri tangan merentang. Dan seketika itu pula....
Brettt! "Jahanaaamm...!"
Tunjung Sari menjerit panjang menyayat hati, ketika
tubuh anaknya terbelah dua mulai dari bagian bawah pusar.
Seketika, jeritan tangis yang sejak tadi melingkupi tempat itu, lenyap. Nyawa
anak lunjung Sari telah melawat ke alam baka!
"Kubunuh kaaau...!"
Dengan air mata berlinang dan hati hancur, Tunjung
Sari melompat menerjang dengan tusukan pedangnya.
Wuttt! Ujung pedang Tunjung Sari menusuk angin. Lingga
telah lebih dulu melompat, sebelum serangan maut itu bersarang di dadanya. Dan
dari atas tangan Lingga yang masih memegang anak Tunjung Sari yang telah menjadi
mayat, diayunkan.
Prakkk! Bunyi berderak keras terdengar, ketika batok kepala
Tunjung Sari berbenturan dengan batok kepala anaknya.
Seketika masing-masing kepala hancur berantakan. Darah segar, bercampur otak
langsung muncrat-muncrat. Dan
tanpa sempat sambat lagi, Tunjung Sari ambruk di tanah ke alam baka!
"Ha ha ha...!"
Sulang tertawa bergelak ketika melihat kematian
Tunjung Sari. Diperhatikannya mayat-mayat itu penuh
kebanggaan. Sementara, Lingga telah membuang mayat anak Tunjung Sari yang berada
di genggamannya. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Sulang melesat
meninggalkan tempat itu.
"Kau pergilah
sendiri, Guru. Aku sudah
tidak berkeinginan untuk mencari pusaka itu di Lembah Bukit Angsa.
Aku yakin, orang yang membunuhnya telah mendapatkannya. Aku akan pergi mencari sendiri."
Sulang tetap tertawa-tawa meski beberapa tindak
setelah meninggalkan tempat itu, terdengar pemberitahuan di telinganya.
Pemberitahuan yang dikeluarkan hingga lewat penggunaan ilmu mengirim suara dari
jauh. Langkah Sulang tetap tidak berubah. Sama sekali
tidak dipedulikan pesan yang diterima dari Lingga, pemuda berpakaian merah yang
menjadi muridnya.
3 Satu bayangan ungu melesat cepat, memasuki mulut
sebuah hutan. Gerakannya yang cepat, membuat bentuk
tubuhnya tidak terlihat jelas. Kecuali, pakaian warna ungu dan rambut panjang
putih keperakan yang berkibaran ditiup angin keras.
Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak atau
Arya Buana, terus melesat seperti tak ingin berhenti.
Pemberitahuan kakek berpakaian penuh tambalan itulah yang membuat Dewa Arak
berlari cepat, untuk segera tiba di tempat kediaman gurunya, Ki Gering Langit.
Arya tidak ingin gurunya yang sudah menarik diri dari kekerasan dunia
persilatan, akan terganggu oleh persoalan pusaka-pusaka. Di tengah cepatnya lari
Dewa Arak, mendadak saja....
Singng! Terdengar bunyi berdesing nyaring yang membuat
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Apalagi bunyi yang semakin keras
itu kian mendekati tempatnya.
Sebagai tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu pasti ada
sesuatu senjata yang tengah meluncur ke arahnya. Maka Dewa Arak bertindak cepat.
Seketika, ujung kaki kanannya dijejakkan, sehingga tubuhnya melenting ke atas.
Jrebbb! Benar saja sebatang tombak kini menancap tepat,
beberapa kaki di tempat Dewa Arak menjejak. Kalau saja pemuda berambut putih
keperakan itu tidak bertindak cepat, ujung tombak itu pasti menyate tubuhnya!
Namun baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanah, beberapa sosok berkelebatan dari sekitar tempat itu.
Dan sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, tiga sosok itu telah mengurungnya dari
tiga penjuru. Dewa Arak yang tidak pernah ingin berkelahi tanpa
alasan jelas segera mengedarkan pandangan merayapi tiga sosok yang
mengelilinginya sambil mengembangkan senyum lebar. Kendati demikian, hatinya
terkejut bukan kepalang.
Ciri-ciri yang dimiliki tiga sosok yang mengurungnya inilah yang membuainya
kaget. Ketiga laki-laki tua pengurung Dewa Arak ini berkulit hitam kecoklatan. Hidung
mereka melengkung, seperti paruh burung. Pakaian yang dikenakan hanya berupa
sehelai kain kuning yang dibelit-belitkan ke tubuh. Di tangan ketiga orang ini
tergenggam sebatang tombak berujung sebilah logam tajam, berbentuk bulan sabit.
Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau kali ini
berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti yang berasal dari tempat yang jauh. Bukankan
demikian menurut jawaban
yang diberikan roh penasaran yang disambat kakek berpakaian penuh tambalan"
"Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya salah seorang. Dia memiliki
tahi lalat besar di ujung hidung.
Sehingga, membuat hidung yang sudah aneh bentuknya,
semakin menggelikan.
Pertanyaan yang diucapkan secara tidak lancar dan
berlogat aneh itu langsung membuat Dewa Arak yakin
dengan dugaannya. Jadi, inikah tokoh-tokoh dari negeri seberang yang bermaksud
mencari pusaka leluhur mereka"
"Begitulah orang memberiku julukan, Kisanak. Tapi, aku lebih suka kalau
dipanggil nama saja. Namaku, Arya,"
kata Dewa Arak yang terkadang merasa risih bila orang memanggil julukannya.
"Tidak usah berbelit-belit. Katakan saja! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa
Arak" Atau karena merasa gentar kepada
kami, kau menjadi takut untuk mengakui julukanmu"!" tanya laki-laki tua yang memiliki bibir tebal, ikut angkat bicara.
Ucapannya jelas bernada ancaman.
"Maaf, Kisanak Semua," tukas Arya dengan suara bergetar. "Aku bukan pengecut.
Dan telah kuakui kalau aku adalah Dewa Arak, sejak semula, tapi, baiklah. Agar
kalian tidak salah duga, perlu kukatakan sekali lagi. Akulah Dewa Arak, yang
kalian cari"! Nah! Sekarang, apa maksud kalian mencariku?"
"Bagus kalau langsung bicara pada pokok masalahan, Dewa Arak. Dengan demikian,
dapat langsung berterus
terang padamu. Cepat serahkan pusaka leluhur kami. Dan kami akan segera pergi
dari sini tanpa mencelakaimu!" tegas laki-laki tua yang mempunyai rajahan
bergambar bintang segi lima di punggung tangan kanannya.
"Kurasa kalian salah alamat," sahut Aryat, tenang.
Dan sebenarnya, Dewa Arak sedikit kaget, karena
tidak menyangka kalau tiga kakek berciri-ciri berbeda ini meminta
pusaka padanya. Tapi, dia berusaha menyembunyikan kekagetannya.
"Apa maksudmu, Dewa Arak"!" sambut kakek bertahi lalat besar. "Apakah kau hendak
mengatakan kalau pusaka leluhur kami tidak berada di tanganmu"!"
"Kalau memang tidak ada padaku, lalu apa aku harus menjawabnya ada"!" balas
Arya. "Kau berani bermain-main dengan kami, Dewa Arak"!
Asal tahu saja, di negeri kami, kelompok kami yang bernama Kelompok Bulan Sabit
amat ditakuti!" ancam kakek yang bertahi lalat di hidung lagi. Tangan kanannya
yang sudah terkepal erat, siap mengirimkan serangan mempergunakan tongkat bulan
sabitnya. "Aku tidak ingin
bermain-main, Kisanak. Tapi,
kalianlah yang terlalu mendesakku. Sudah kukatakan, kalau di
tanganku tidak terdapat pusaka leluhur yang dimaksudkan. Bahkan mendengarnya saja baru kali ini dari kalian!"
Suara Arya mulai meninggi, karena merasa tidak
senang didesak oleh tiga orang kakek yang sebenarnya berasal dari Nepal
"Mungkin kau kurang jelas, Dewa Arak. Pusaka itu adalah sebatang Suling Perak
dan sebuah kipas terbuat dari kulit binatang!" jelas kakek berbibir tebal. Dia
mempunyai watak lebih sabar dari rekannya.
"Sayang sekali, aku tidak mempunyai benda-benda yang kalian maksudkan. Aku hanya
mempunyai ini," jawab Dewa Arak sambil mengangsurkan guci arak yang semula
berada di punggungnya.
"Rupanya kau sudah kepingin mampus, Dewa Arak"!"
sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. Wataknya lebih berangasan.
Bahkan dia sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dan....
"Huh!"
Dewa Arak terpaksa menggeser tubuhnya ke kiri,
ketika kakek bertahi lalat di hidung menusukkan tongkat bulan sabit ke arah
dadanya. Maka logam tajam berbentuk bulan sabit itu pun meluncur lewat di
sebelah kanan Dewa Arak.
Wukkk! Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan
sabitnya di atas kepala laksana kitirkan, kakek yang memiliki rajahan bintang
segi lima membabatkan senjatanya ke leher Dewa Arak.
Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci
yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat.
Klangng! Bunyi berdentang keras diikuti percikan bunga api ke segala arah mengiringi
terjadinya benturan senjata tongkat bulan sabit dengan guci Dewa Arak. Tubuh
kakek berajah bintang ini terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan Dewa
Arak tidak bergeming sama sekali.
Namun sebelum pemuda berambut putih keperakan
itu berbuat sesuatu, dua kakek dari Nepal la innya langsung melancarkan serangan
yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring dan mengancam bagian berbahaya.
Dewa Arak yang sudah sejak tadi memperhitungkan,
menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi segera dikeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti' yang menjadi andalannya.
Maka pertarungan antara satu melawan tiga pun berlangsung. Begitu menggebrak beberapa jurus, Dewa Arak hnrus
mengakui kalau lawan-lawannya benar-benar amat tangguh.
Kalau menghadapi seorang demi seorang, Arya yakin kalau akan dapat mengalahkan
lawannya tapa kesulitan. Tapi menghadapi
tiga orang sekaligus benar-benar terasa beratnya. Di samping ilmu-ilmu mereka tidak terlalu jauh di bawah Dewa Aik,
kerja sama mereka juga amat rapi!
Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan
sabitnya, kakek dari Nepal itu langsung membabatkan senjatanya ke l eher Dewa
Arak. Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci yang
sudah berada di
tangannya, langsung
diangkat menangkis tongkat bulan sabit itu.
Klangng! Untungnya, Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'.
Sehingga, membuatnya tidak mengalami kesulitan dalm
mengelakkan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi bagaikan hujan. Meskipun
demikian, tiga tokoh dari Nepal yang mengaku berasal dari Kelompok Bulan Sabit
itu tidak juga dapat mendesak Dewa Arak. Pertarungan masih
berlangsung imbang. Dan keadaan tetap tidak berubah
kendati telah memasuki jurus kelima puluh.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh
satu, bumi bergetar secara berirama seperti ada sebuah benda besar yang berjalan
di atasnya, itu pun masih diiringi bunyi lonceng kecil.
Mendadak terjadi perubahan besar di kancah pertarungan. Tiga kakek dari Nepal itu mengeluarkan
keluhan bernada kaget campur keluhan. Kemudian, masing-rasing melempar tubuh ke
belakang, meninggalkan kancah pertarungan bagaikan orang ketakutan.
"Lain kali kita teruskan pertarungan ini, Dewa Arak"
kata kakek bertahi lalat di hidung, yang sepertinya menjadi juru bicara bagi
kawan-kawannya.
Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tubuh
ketiga tokoh dari Nepal melesat cepat meninggalkan tempat ini. Sementara Arya
hanya terpaku heran, melihat tingkah tiga lawannya.
Arya tidak mengejar karena tak merasa mempunyai
urusan dengan tiga tokoh dari Nepal itu. Pemuda berambut putih keperakan ini
hanya menatap kepergian tiga kakek berkulit hitam kecoklatan itu, hingga lenyap
di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
Sebuah pertanyaan bergayut di bendak pemuda
berpakaian ungu ini. Apakah ada hubungan perginya tiga tokoh dari Nepal dengan
bunyi lonceng kecil dan bunyi berdebarnya di tanah yang berirama tadi" Kalau
tidak, rasanya tak akan mungkin mereka akan pergi begitu saja.
Bahkan pergi dengan sikap ketakutan begitu.
Karena rasa ingin tahu apa yang terjadi, Arya
memutuskan untuk menunggunya siapa tahu, kalau tanah yang bergetar dan bunyi
lonceng kecil itu tengah menuju ke arahnya. Apa getaran pada tanah semakin besar
dan bunyi lonceng semakin nyaring.
Sesaat kemudian, dari jarak sekitar empat tombak,
tampak sesosok makhluk bertubuh besar muncul dari balik kerimbunan pepohonan.
Dan ini membuat sepasang mata
Arya terbelalak lebar tak berkedip, begitu melihat seekor gajah yang begitu
besar, ditunggangi sosok berkulit hitam kecoklatan.
Sosok laki-laki tua di atas gajah itu berpakaian dan berciri-ciri mirip tiga
kakek yang baru saja bertarung dengan Dewa Arak. Hanya saja sorot matanya
lembut, dan mempunyai cambang bauk tebal. Sekarang Arya baru
mengerti, mengapa bumi tadi bergetar berirama. Ini tidak lain karena kaki kokoh
dan kuat dari gajah berwarna putih di depannya. Dan bunyi berkerincingan
nyaring, karena pada kaki gajah bagian depan dililit lonceng kecil. Tak lama
kemudian, kakek yang berada di atas punggung gajah itu telah berjarak satu
tombak kurang dengan Arya. Dan sampai di sini, punggung binatang dahsyat itu
ditepuk sekali. Maka gajah putih itu pun menghentikan langkahnya.
Bumi tenang kembali. Bunyi kerincingan pun lenyap.
Keadaan menjadi sunyi. Bahkan terasa sunyi.
"Selamat berjumpa, Pemuda Gagah," ucap kakek bercambang bauk lebat, dengan logat
aneh tapi sopan. Malah kepalanya dianggukkan
lebih dulu sebelum berbicara.
"Senang berkenalan dengan
pemuda gagah dan sakti sepertimu."
"Akulah yang seharusnya bangga bisa berkenalan
dengan orang sepertimu, Kek," jawab Dewa Arak merendah.
"Tidak pernah kutemukan seorang kakek yang mampu menunggangi
seekor gajah, kecuali kau, Kek. Kau membuatku yang muda merasa kagum sekali."
"Kau memang seorang pemuda luar biasa, Dewa Arak!
Tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga pandai membawa diri. Jarang ada seorang pemuda sakti yang pandai merendah sepertimu,"
puji kakek bercambang bauk lebat lagi.
"Rupanya kau telah mengenalku, Kek. Sungguh tidak enak dan tidak adil rasanya
keadaan kita sekarang. Kau telah mengenalku, sedangkan aku belum mengenalmu sama
sekali.?"Itu suatu tanda kalau kau merupakan seorang tokoh terkenal, Dewa Arak.
Dan aku merupakan seorang kakek tua bangka yang sudah hampir mati dan tidak
patut dikenal. Apalagi terkenal," kilah kakek bercambang bauk lebat.
"Kurasa kau terlalu merendahkan diri, Kek. Jawaban yang tepat bukan seperti itu.
Tapi karena kau memiliki pengetahuan
luas. Sedangkan aku tidak mempunyai pengalaman cukup, sehingga tidak mengenalimu. Buktinya, lawan-lawan tangguh yang
tadi kuhadapi, demikian takut.
Sehingga meski kau belum muncul dan masih sangat jauh, mereka sudah berlari
tunggang-langgang ketakutan. Sekali lagi, kuharap kau bersedia memperkenalkan
dirimu, Kek."
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lawan-lawan
tangguhmu melarikan
diri karena ketakutan terhadapku"! Kau mengada-ada, Dewa Arak! Mana ada tokoh persilatan di
daerah ini yang mengenalku"
Andaikata mengenal pun, apa yang harus ditakuti dari seorang kakek yang sudah
hampir mati"!" bantah kakek di atas punggung gajah bernada tidak percaya.
"Mereka bukan dari daerah ini, Kek. Bahkan bukan berasal dari negeri ini.
Mereka, kurasa berasal dari negeri yang sama denganmu," jelas Arya.
"Ah, begitukah..."!"
Kakek bercambang bauk lebat itu menyembunyikan
keterkejutannya dalam ucapannya.
"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Mereka menghadang perjalananku untuk urusan
sebuah pusaka yang sama sekali tidak kuketahui. Kalau tidak salah..."
"Suling Perak dan kipas terbuat dari bulu binatang, yang dikatakan orang-orang
itu, Dewa Arak"!" potong kakek bercambang bauk lebat, cepat Arya mengangguk
"Apakah mereka menyebutkan asal kelompok mereka, Dewa Arak?" tanya kakek
bercambang bauk lebat, lebih jauh.
"Benar, Kek Mereka menyebutkan Kelompok Bulan
Sabit," jawab Arya setelah tercenung sejenak
"Tidak mungkin!" bantah kakek bercambang bauk kaget dengan wajah tidak percaya.
Arya terjingkat seperti disengat kelabang, mendengar bantahan keras dari kakek
bercambang bauk lebat itu.
"Apanya yang tidak mungkin, Kek"! Aku tidak
berbohong! Demikian berita yang kudapatkan dari mulut mereka. Tentu saja kalau
kenyataannya mereka bukan
berasal dari Kelompok Bulan Sabit, aku nama sekali tidak tahu menahu."
"Maaf, Dewa Arak. Bukan maksudku tidak mempercayaimu. Tapi, ketahuilah Kelompok Bulan Sabit sudah tidak ada lagi. Semua
pengikutnya tewas. Dan yang tinggal hanya ketuanya saja. Itu pun berhasil
selamat, karena kebetulan tidak berada di tempat. Di sana telah terjadi
bentrokan antar kelompok yang mengakibatkan Kelompok Bulan Sabit musnah. Dan
Ketua Kelompok Bulan Sabit adalah
seorang kakek sakti yang sekarang sudah
tidak mempunyai semangat untuk bertindak kekerasan lagi. Dia tidak membalas dendam
atas kejadian yang menimpa
kelompoknya. Kakek itu bernama Tayatonga. Dan orangnya, sekarang tengah
bercakap-cakap denganmu, Dewa Arak"
tutur kakek bercambang bauk lebat, sambil menghela napas berat
"Ah...! Maafkan aku, Kek Aku telah membuatmu
teringat kembali akan masa lalumu yang tidak enak, dan bahkan menyakitkan untuk
dikenang. Sekarang aku yakin, para pengeroyokku bukan tokoh-tokoh sakti dari
Kelompok Bulan Sabit," ujar Arya tidak yakin akan dugaan yang didapatnya.
"Aku lebih condong untuk menyelidiki masalah ini, Dewa Arak," desah Tayatonga.
"Kau memang berkewajiban untuk membersihkan
nama kelompokmu dari aib yang mereka corengkan, Kek.
Meskipun sekarang, Kelompok Bulan Sabit sudah musnah dan kau bukan lagi
bertindak sebagai ketua," dukung Arya atas keputusan yang diambil Tayatonga.
Kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu
menceritakan ciri-ciri para pengeroyoknya.
Tayatonga tercenung setelah Arya selesai ceritanya.
"Melihat ciri-ciri yang kau sebutkan itu, aku menjadi sedikit kaget, Dewa Arak.
Masalahnya, ciri-ciri yang kau sebutkan
mengingatkan aku pada tiga tokoh utama Kelompok Bulan Sabit yang menjadi anak buahku. Sayang, mereka semuanya telah
tewas dalam pertarungan melawan kelompok lain. Tapi ada kemungkinan, mereka
melakukan tindakan curang. Yahhh... misalnya..., orang-orang yan meninggal dalam
pertempuran itu adalah orang-orang tiruan, samaran."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa
artinya anggukannya. Hanya pemuda berambut putih
keperakan itu saja yang tahu.
"Kalau boleh tahu..., apa maksud kedatanganmu ke negeri ini, Kek"!" tanya Arya
setelah tercenung sebentar.
"Kau memang berhak mengajukan pertanyaan itu,
Dewa Arak"
Tayatonga mengelus-elus jenggotnya yang sedikit.
Beda dengan cambang bauknya yang lebat, jenggot kakek dari Nepal ini hanya
sedikit. "Karena bagaimanapun juga, tempatku berada sekarang ini merupakan negerimu. Tempat tinggalmu. Tapi, percayalah. Aku tidak
bermaksud buruk" lanjut Tayatonga.
"Apakah kedatanganmu tidak ada hubungannya
dengan pusaka-pusaka yang konon katanya berasal dari leluhurmu itu, Kek"!" Dewa
Arak langsung mengemukakan dugaannya.
"Ada hubungannya, Dewa Arak" jawab Tayatonga tanpa ragu-ragu. "Tapi tidak sama
niatku dengan orang-orang yang baru saja bertarung denganmu tadi."
"Aku masih belum mengerti akan maksudmu, Kek"!"
Arya mengernyitkan kening, tidak mengerti. Jawaban Tayatonga memang tidak mudah dicerna.
"Hhh...!"
Tayatonga menghela napas berat sebelum menjawab
pertanyaan Dewa Arak.
4 "Aku merasa berat menceritakannya.
Karena sebenarnya, penyebab aku ke sini adalah urusan keluarga,"
Tayatonga memulai ceritanya.
"Kalau begitu, tidak usah kau ceritakan, Kek," cegah Arya, buru-buru dengan rasa
tidak enak. "Maafkan, aku terlalu mendesakmu."
Tayatonga mengembangkan senyum. Tapi Arya tahu,
senyum yang terkembang seperti dipaksakan. Ini membuktikan kalau kakek bercambang bauk lebat itu tidak berada dalam keadaan
gembira. Setidak-tidaknya benaknya tengah dilibat suatu masalah.
"Aku memang bermaksud menceritakannya, Dewa
Arak. Terkecuali, bila kau tidak bersedia mendengarkan,"
kata Tayatonga "Aku tidak keberatan sama sekali, Kek," sahut Arya sambil menggeleng. "Tapi...,
apakah pantas masalah keluarga diceritakan pada orang lain"!"
"Terkadang pantas saja. Dewa Arak. Bahkan malah perlu," timpal Tayatonga. "O,
ya. Lebih baik kumulai saja sebelum kau menjadi bosan mendengar petuah-petuah
yang tidak berarti dariku, Dewa Arak."
Kali ini Dewa Arak tidak memberi tanggapan. Dia
terdiam membisu. Sedangkan Tayatonga tengah tercenung seperti memikirkan kata-
kata yang akan dikeluarkannya.
"Aku kemari untuk mengejar istriku. Dia telah kemari lebih dulu. Seperti juga
kelompok-kelompok lain, istriku yang bernama Gangga Nanda pergi untuk mencari
pusaka-pusaka seperti yang tadi kau sebutkan. Suling Perak dan kipas yang
terbuat dari anggota tubuh
binatang. Mereka semua
menganggap pusaka-pusaka itu milik leluhur mereka. Padahal, sebenarnya tidak
demikian."
"Tapi, pasti istrimu dan kelompok-kelompok itu
mempunyai alasan kuat mengapa menduga seperti itu. Tak mungkin mereka bertindak
ceroboh, sembarangan mengaku-aku kalau tidak benar," duga Arya bernada membela,
ketika melihat Tayatonga menghentikan cerita.
"Ucapanmu memang tidak keliru, Dewa Arak. Mereka mempunyai alasan kuat. Dan aku
pun tidak menyalahkan kalau mereka sampai mempunyai du gaan seperti itu. Sayang,
mereka semua tidak mau tahu penjelasan yang kuberikan....
Maksudku, istriku."
Ada nada keluhan dalam ucapan Tayatonga. Nada
ketidakberdayaan dan hampir pasrah. Dan meskipun tidak diceritakan, Arya tahu
kalau kehidupan rumah tangga kakek bercambang bauk lebat ini tidak terlalu
bahagia. Keluhannya menjadi pertanda kalau istri kakek bercambang bauk lebat ini
tergolong orang yang tidak mau diatur!
"Adapun cerita sebenarnya begini, Dewa Arak. Sekitar seratus tahun lebih yang
lalu, di negeri kami muncul seorang pendekar besar dari negerimu ini, Dewa Arak.
Kalau tidak salah, julukannya Pendekar Suling Perak. Semula kami, terutama
aku, tidak tahu sama sekali maksud kedatangannya. Ternyata kedatangan Pendekar Suling Perak untuk memenuhi undangan
guru kami. Dan saat itu, istri guru kami sedang sakit keras. Menurut penuturan
ahli nujum, dia akan tewas kalau tidak segera mendapatkan kipas dari anggota
tubuh binatang dan Suling Perak. Jadi, keberadaan Pendekar Suling Perak di
tempat kami itu adalah untuk meminjamkan benda-benda yang merupakan pusaka
andalannya. Guru mengutus banyak murid untuk mencari Pendekar Suling Perak waktu
itu." Setelah Tayatonga bercerita sampai di sini, Dewa Arak sudah bisa menebak dan
mengerti kalau pusaka itu bukan milik leluhur tokoh-tokoh dari Nepal, melainkan
milik tokoh besar dari negeri ini. Nama Pendekar Suling Perak dikenal Dewa Arak
sebagai tokoh persilatan besar ratusan tahun yang lalu.
"Semula karena pusaka-pusaka itu amat penting dan merupakan peninggalan
leluhurnya, Pendekar Suling Perak tidak meninggalkan negeri kami. Tapi, karena
sampai beberapa hari pengobatan itu tidak kunjung selesai, Pendekar Suling
Perak memutuskan untuk meninggalkan dan meminjamkan saja pusaka itu. Pendekar itu percaya, seorang ketua kelompok besar
seperti guru kami, tidak akan
bertindak curang dan mengangkangi pusaka-pusaka miliknya. Setidak-tidaknya, menurut pemikiran Pendekar Suling Perak, guru kami
akan mengingat budi yang telah ditanamkannya."
Wajah Arya mulai berubah. Sekarang sudah bisa
diraba kejadian yang akan berlangsung.
"Perkiraan Pendekar Suling Perak ternyata keliru.
Guru kami menjadi mata gelap, dan lupa budi baik orang.
Pendekar Suling Perak yang berpesan amat sangat agar pusaka miliknya diantarkan
kepadanya apabila telah selesai dipergunakan,
hanya menunggu-nunggu
tanpa hasil. Memang, sewaktu Pendekar Suling Perak akan pergi, guru kami berjanji akan
mengembalikannya. Bahkan guru sendiri yang akan menyerahkannya disertai ucapan
terima kasih. Tapi, rupanya janjinya sendiri diingkari. Dia tidak pernah mengembalikan Suling
Perak dan kipas dari anggota tubuh binatang "itu. Bahkan murid-mu rid yang
semula diutus untuk mencari Pendekar Suling Perak, dibunuh semua oleh guru.
Tentu saja tanpa sepengetahuan kami."
Tanpa sadar, Arya yang mendengarkan semua cerita
penuh perhatian menggelengkan kepala, pertanda tidak mengerti oleh jalan pikiran
Tayatonga. "Tapi sekitar sepuluh tahun lalu, muncul seorang pendekar yang bersenjata Suling
Perak dan kipas terbuat dari anggota tubuh binatang. Kedatangannya ke tempat
kami langsung mengajukan tantangan terhadap guru sambil
menyebut-nyebut kalau guru kami merupakan orang yang tidak mengenal budi orang!
Dalam pertarungan, baik guru maupun pendekar yang berusia sekitar tiga puluh
tahun itu tewas. Namun sebelumnya, kedua belah pihak terlibat dalam pembicaraan.
Dan hanya aku seorang yang tahu, apa
pembicaraan yang berlangsung di saat-saat terakhir hidup mereka. Karena saat itu
aku nekat mencuri dengar dari tempat yang tersembunyi. Tapi untungnya,
kenekatanku ternyata malah mendapatkan pujian. Guru lalu menyuruhku
mengembalikan pusaka-pusaka Pendekar Suling Perak ke tempat semula. Dan orang
yang bertarung dengan guru
ternyata keturunan
dari Pendekar Suling Perak yang
meminjamkan pusaka-pusaka itu. Pendekar Suling Perak yang menjadi ayahnya, telah
tewas di tangan lawan tangguh, karena
tidak berbekal senjata andalannya. Tewasnya
Pendekar Suling Perak itulah yang menyebabkan guru sadar.
Apalagi menyadari kalau usianya tidak akan lama lagi. Maka akulah yang mendapat
tugas untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu. Begitu ceritanya, Dewa Arak!"
"Lalu..., bukankah pendekar yang bertarung melawan gurumu berbekal Suling Perak
dan kipas dari anggota tubuh binatang?" tanya Arya, heran.
"Senjata itu bukan buatan leluhur Pendekar Suling Perak. Hanya tiruannya,
sebagai tanda kalau pemegangnya merupakan keturunan Pendekar Suling Perak. Dan
pusaka-pusaka itu diberikan pada Burisrawa, di tempat yang
diketahui guru dari lawan larungnya," jawab Tayatonga dengan lancar.
"Jadi..., ke manakah kau akan pergi sekarang, Kek"!"
tanya Arya, ingin tahu.
"Ke tempat di mana aku menyerahkan pusaka pada
Burisrawa. Aku khawatir, istriku akan ke sana karena telah berhasil memancingku
untuk memberitahu ke mana pusaka-pusaka itu lenyap," jelas Tayatonga, panjang
lebar. "Eh..."! Untuk apa lagi pusaka-pusaka itu bagi
istrimu, Kek"!" Arya merasa tidak mengerti.
"Untuk menjadikan dirinya pemimpin bermacam-
macam kelompok yang ada di tempat kami," jawab
Tayatonga, dengan suara berat seperti batinnya tengah terhimpit. "Waktu guru
Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih hidup, dia mengatakan kalau pusaka-pusaka itu didapatkan dari hasilnya
bersemadi. Dan itu
menjadi tanda atau bukti
buat seseorang yang memegangnya, untuk menjadi ketua kelompok. Maka ketika meninggal, dan masing-
masing tokoh ingin menjadi ketua kelompok,
kelompok yang susah-payah dibentuk dan dibangun guru terpecah-pecah. Itulah sebabnya, banyak kelompok yang berasal dari
kelompok yang dibangun guruku, berusaha mendapatkan
pusaka-pusaka itu agar dapat
menjadi pimpinan kelompok!"
"Dan keberadaanmu di sini untuk mencegah kelompok-kelompok itu mengambil pusaka-pusaka milik
Pendekar Suling Perak Kek"!"
"Begitulah rencanaku, Dewa Arak," desah Tayatonga.
"Aku tidak ingin mereka mengulang kesalahan guru. Bahkan menyusahkan orang yang
telah bertindak demikian baik."
"Kalau demikian, selamat bertugas, Kek. Aku mempunyai urusan yang sama pentingnya dengan mu," Arya pamit.
"Selamat jalan, Dewa Arak" balas Tayatonga tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Kau sekarang tak ubahnya Pendekar Suling
Perak ratusan tahun lalu. Nama besarnya terdengar di mana-mana, terkenal sebagai
pendekar pembasmi kejahatan dan penangkal angkara murka. Persis sama dengan
Pendekar Suling Perak ratusan tahun yang lalu."
"Kau terlalu memuji, Kek."
Ucapan itu masih bergema keras di tempat Tayatonga
masih berada. Tapi, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di situ lagi. Tayatonga
menggeleng-gelengkan kepala pertanda kagum. Bukti ini saja sudah menunjukkan
kalau Dewa Arak telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur.
Meski demikian, Tayatonga masih sangsi kalau Dewa Arak mampu mengimbangi tingkat
Pendekar Suling Perak.
*** Sesosok bayangan kuning tampak berlompatan ke
sana kemari. Ujung kakinya menotok tonjolan batu di sana-sini, agar tubuhnya
dapat melambung ke atas dan hinggap di tempat yang lebih tinggi. Sosok itu
tengah mendaki lereng sebuah bukit yang cukup terjal.
"Hup!"
Hanya dalam waktu sebentar saja, sosok bayangan
kuning ini telah tiba di bagian lereng gunung yang memiliki dataran rata. Dan
dia berhenti di sini sambil mengarahkan pandangan ke depan.
Wajah sosok bayangan kuning itu tampak berseri-seri
meski napasnya agak memburu. Dia ternyata seorang wanita yang masih muda.
Usianya tak lebih dari dua puluh tahun.
Tapi bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Sehingga
membuat para lelaki terutama yang mata keranjang, akan menelan liur. Dada gadis
berpakaian kuning itu demi kian membusung, menantang. Dan lagi wajahnya yang
cantik jelita dengan kulit putih halus kekuningan.
"Ayah...! Ibu..! Betapa aku telah amat rindu pada kalian," desah gadis
berpakaian kuning itu sambil menatap kosong ke depan. "Sambutlah ke datanganku,
Ayah, Ibu..."
Gadis berpakaian kuning ini lalu melesat ke depan.
Larinya cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat hanya sekelebatan bayangan
kuning dalam bentuk tidak jelas. Tapi baru juga beberapa kali melesat, dahi
mulus gadis berpakaian kuning ini jadi berkernyit, begitu tanpa sengaja pandangannya terarah
ke atas. "Burung-burung pemakan
bangkai," desah
gadis berpakaian kuning itu, heran campur cemas. "Mengapa burung celaka itu datang
berbondong-bondong. Dan lagi, arahnya ke sana! Ataukah ada sesuatu yang terjadi
di sana" Apakah Ayah atau Ibu...."
Sampai di sini, gadis itu tidak berani meneruskan
gumamannya. Justru larinya malah lebih dipercepat. Sementara di atasnya sosok-sosok kecil berwarna hitam menempuh arah yang sama
dengannya. Yang lebih membuat hati gadis ini semakin galau,
ketika melihat di depan sana telah banyak sosok hitam kecil yang tak lain dari
burung-burung pemakan bangkai. Yang menyebabkannya gelisah, di tempat burung-
burung itu berada justru terletak tempat tinggalnya. Tempat tinggal ayah dan ibunya.
Tapi raut kekhawatiran gadis itu mulai berkurang
ketika melihat burung-burung pemakan bangkai itu berjatuhan ke bawah, setelah terlebih dulu terlempar sedikit ke atas bagaikan
terpukul dari bawah. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tahu
kalau burung-burung itu terhantam pukulan jarak jauh yang dilakukan orang yang
berada di bawah. Siapa lagi kalau bukan orangtuanya, terutama sekali ayahnya
yang memang memiliki ilmu
pukulan jarak jauh luar biasa.
Keyakinan akan dugaannya, membuat lari gadis
berpakaian kuning semakin cepat.
Tapi, sepasang mata yang berbinar-binar dan sinar
kegembiraan wajah gadis berpakaian kuning itu langsung lenyap, ketika melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya pada jarak tiga tombak
Tampak di depannya sesosok tubuh kekar seorang
pemuda berpakaian serba merah dan berikat kepala merah, tengah duduk di atas
sebongkah batu sebesar kambing
sambil memukul-mukulkan
kedua tangannya secara bergantian ke udara. Dan pukulan-pukulan itulah yang menyebabkan
burung-burung pemakan bangkai bergeletakkan di tanah tanpa nyawa. Tubuh binatang itu telah remuk begitu
terhantam pukulan jarak jauh yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring ketika
diluncurkan. Gadis berpakaian kuning itu sudah terkejut ketika melihat keberadaan pemuda
berpakaian merah yang sama sekali
tidak dikenalnya. Kebetulan pemuda itu duduk dengan sikap menyamping, sehingga
wajahnya terlihat dari samping. Tapi dia lebih terkejut lagi ketika melihat
pemandangan di belakang pemuda berpakaian merah itu. Ternyata di depan pondok
sederhana milik orangtuanya telah tergolek dua sosok di atas tanah dalam keadaan
bersimbah darah.
Salah satu sosok bertubuh kecil. Sedangkan satunya
lagi, dewasa. Sesosok yang sukar dikenali! kepala kedua sosok itu telah hancur.
Hanya rambutnya yang panjang dan bentuk tubuhnya yang membuktikan kalau sosok
yang tewas dalam keadaan mengerikan adalah seorang wanita! Yang telah berusia
cukup lanjut. Gadis berpakaian kuning itu sampai menghentikan
larinya, dan langsung menatap dua sosok yang terbujur di tanah dengan sorot mata
tidak percaya. Kedua tangannya yang terkepal keras menandakan
ketegangan hatinya. Sepasang matanya yang indah, seperti melekat dengan sosok-sosok yang tergolek.
Terutama sekali, sosok wanita dewasa yang berpakaian hijau muda.
"I... Ibu...," desah gadis berpakaian kuning itu.
Suaranya tersendat-sendat, sedangkan sepasang matanya berkaca-kaca siap
memuntahkan air-air bening.
Pemuda berpakaian merah yang tak lain dari Lingga
terus sibuk membunuh burung-burung pemakan bangkai
dengan pukulan-pukulan
jarak jauhnya. Sambil terus
bertindak demikian, kepalanya menoleh ke arah gadis itu.
Telah belasan ekor burung yang malang itu tergeletak dalam keadaan tewas.
"Apa hubunganmu dengan monyet betina yang baru
kubunuh itu, Gadis Montok"!" tanya Lingga. Sikapnya tampak kurang ajar sambil
mengarahkan kepala pada tubuh wanita berpakaian hijau muda yang tergolek
"Keparat!"
gadis berpakaian kurung Setan Harpa 6 Pendekar Bloon 3 Pemikat Iblis Pendekar Pemetik Harpa 20