Pewaris Pusaka Hitam 2
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam Bagian 2
Putri Tunjung Kuning melirik dengan kening berker-
nyit. "Belum tentu, Guru. Sebaiknya kita menyelidik tempat tinggalnya...!
Bukankah tempat tinggalnya di batu karang yang berlobang itu?" sergah Putri
Tunjung Kuning sambil mengarahkan telunjuknya pada batu
karang yang menjulang dan tampak berlobang.
Dayang Lembah Neraka mengangguk.
"Namun, biasanya Guru menyambut murid-
muridnya dengan duduk di mulut lobang itu!" tukas Dayang Lembah Neraka.
Sepasang mata perempuan tua itu berputar
menyapu keadaan sekeliling.
"Kurasa ucapanmu ada benarnya. Kita menye-
lidik ke dalam batu karang!" sambung Dayang Lembah Neraka.
Dan belum selesai kata-katanya, perempuan
tua itu telah berkelebat diikuti Putri Tunjung Kuning.
Kedua orang ini lantas mengitari samping batu
karang, namun tidak menemukan siapa-siapa.
"Kita menyelidiki ke dalam!" ajak Dayang Lembah Neraka sambil berpaling pada
Putri Tunjung Kun-
ing. Putri Tunjung Kuning mengangguk. Mereka
lantas berkelebat masuk ke dalam batu karang mele-
wati lobang. Dan nyatanya, di sini pun tidak menemukan siapa-siapa. Namun untuk
meyakinkan, beberapa
saat mereka berputar-putar di dalam ruangan batu karang ini.
"Lihat!" teriak Putri Tunjung Kuning tiba-tiba
sambil menunjuk ke tembok yang terdiri dari batu karang. Dayang Lembah Neraka
melangkah ke arah
dinding batu karang yang baru saja ditunjuk Putri
Tunjung Kuning. Di situ tertera tulisan dari guratan ja-ri. Jelas penulisnya
menggunakan tenaga dalam saat
menggores dinding karang ini.
"Dua belas langkah dari tengah ke sebelah ba-
rat," sebut Dayang Lembah Neraka, membaca tulisan itu.
Kedua orang ini saling pandang.
"Aku tidak lupa, itu tulisan tangan Guru!" gumam Dayang Lembah Neraka.
Sementara Putri Tunjung Kuning hanya men-
gangguk-angguk, mengiyakan.
"Dua belas langkah dari tengah ke sebelah ba-
rat!" desis Dayang Lembah Neraka, mengulangi tulisan yang tertera di dinding.
Dahi Dayang Lembah Neraka sejenak berker-
nyit. Lantas kakinya melangkah ke tengah-tengah
ruangan. Begitu berhenti, tubuhnya dihadapkan ke
arah barat. Lantas perlahan-lahan kakinya kembali
melangkah sambil menghitung. Sampai pada hitungan
kedua belas, langkahnya berhenti lagi. Untuk beberapa saat ia berdiri tegak.
Sementara Putri Tunjung Kuning memperhatikan dari tempatnya semula.
Selang beberapa saat, Dayang Lembah Neraka
terlihat menghentak-hentakkan kaki kanannya pada
lantai batu karang di bawahnya. Dan begitu sepasang kakinya menghentak
bersamaan.... Derrr...! Ruangan batu karang itu bergetar hebat.
Dan.... Brulll!
Lantai batu karang yang terhentak sepasang
kaki Dayang Lembah Neraka kontan ambrol. Namun
sebelum tubuh perempuan tua itu ikut amblas ke ba-
wah, ilmu meringankan tubuhnya segera dikerahkan
dengan teriakan melengking. Tubuhnya mendadak ba-
gai tertiup hembusan angin kencang dari bawah lantai batu karang yang ambrol,
dan melayang kembali ke
atas ruangan, lalu mendarat ringan di pinggir lobang yang tercipta.
"Ada ruangan di bawah sana!" seru Putri Tunjung Kuning, setelah mendekat.
Dayang Lembah Neraka mengangguk.
"Kita turun ke ruangan bawah!" ujar Dayang Lembah Neraka.
Mereka lantas berlompatan masuk ke bawah
melalui lantai yang ambrol.
"Meski tak ada pintu dan sinar lampu di sini
keadaannya terang benderang...," kata hati Putri Tunjung Kuning, begitu mendarat
di ruangan bawah.
Mereka lantas menyapukan pandangan masing-
masing ke seluruh ruangan, seraya melangkah berpu-
tar. Namun mendadak langkah Dayang Lembah Nera-
ka terhenti. "Ahh...!"
Sementara Putri Tunjung Kuning terhenyak ke-
tika sepasang kakinya ditarik dua tindak ke belakang.
Dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Di pojok ruangan yang tampak sedikit redup,
tampak duduk bersandar sesosok tubuh manusia.
Rambutnya panjang dan putih. Hingga dalam keadaan
duduk, rambut itu menjuntai ke lantai ruangan dan
sebagian terlihat berkibar-kibar bagai tertiup angin.
Sementara, sebagian lagi seolah tak terhembus! Wajah sosok ini sangat pias.
Namun sedikit pun tak terlihat lipat-lipat kerutan. Pakaiannya warna coklat yang
su- dah tak kumal dan dekil. Tubuhnya hampir separo su-
dah doyong ke depan, pertanda usianya sudah sangat
tua. "Guru!" panggil Dayang Lembah Neraka seraya menghambur dan menjatuhkan diri di
depan sosok yang duduk di pojok ruangan.
Putri Tunjung Kuning tercekat. Namun buru-
buru ia menghambur dan menjatuhkan diri di samping
Dayang Lembah Neraka.
Sosok laki-laki tua yang tak lain memang guru
Dayang Lembah Neraka yang bergelar Manusia Karang
batuk-batuk lantas buka mulut.
"Dayang! Kau datang bersama muridmu, bekas
anak didik saudaramu. Bagus!"
Sewaktu buka mulut, rambut panjang si Manu-
sia Karang yang tadi berkibar-kibar mendadak berhen-ti.
"Guru!" ujar Dayang Lembah Neraka. "Kami datang memenuhi panggilanmu! Harap kau
beri tahu, apa gerangan maksudmu!"
Manusia Karang membuka kelopak matanya,
memandang satu persatu silih berganti pada Dayang
Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Lantas ke-
palanya tampak mengangguk perlahan.
"Ketahuilah, murid dan cucuku!" kata Manusia Karang, memanggil cucu pada Dayang
Lembah Neraka. "Hari-hariku kurasa sudah mencapai titik ujung. Namun sebelum aku pergi untuk
selamanya, ada sesuatu
yang mungkin dapat mengobati rasa jenuh dan kepu-
tusasaan selama hidupku ini. Walau bukan aku yang
bakal memilikinya, namun jika ada di antara kalian
yang berhasil sudah cukup membuatku damai di alam
baka." Sesaat Manusia Karang menghentikan ucapan-
nya. Ia kembali terbatuk-batuk, membuat tubuhnya
makin melengkung ke depan hampir mencapai kedua
lututnya. "Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan
kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara yang selama
ini Guru tugaskan padaku dan Dewi Kuning untuk
melacaknya?" tanya Dayang Lembah Neraka.
Manusia Karang untuk beberapa lama tidak
menjawab. Ia tampak berusaha mengatur jalan napas-
nya yang tersendat-sendat. Raut wajahnya makin pias.
"Benar, muridku! Dalam hari-hari terakhirku,
aku mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk
mencari tahu tentang kitab dan kipas itu. Dan nya-
tanya, usahaku tak sia-sia. Dalam alam bawah sadar-
ku, aku telah dapat mengetahui kitab dan kipas itu!"
jelas si Manusia Karang.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning saling berpandangan satu sama lain. Bibir mereka menyungging seulas
senyum. "Murid dan cucuku! Meski dalam alam bawah
sadarku tidak dapat kutangkap jelas isyarat siapa yang akan mendapatkan kitab
dan kipas itu, namun tidak
ada salahnya jika kalian berdua berusaha menda-
patkannya! Bukankah kalian berdua masih mengin-
ginkan kitab dan kipas itu" Sebagai syarat utama untuk merajai rimba
persilatan...?"
"Betul, Guru! Kami memang ingin menda-
patkannya. Tapi ini demi berlangsungnya keturunan
kami, juga demi nama besar Guru! Sekarang, harap
Guru memberi petunjuk tempat kitab dan kipas itu!"
ujar Dayang Lembah Neraka, tak sabar.
"Hm.... Pergilah ke Dusun Pagedangan. Di sana
ada sebuah dataran berpasir luas yang memisahkan
sungai kecil dan sebuah bukit. Di balik bukit itu, akan
kalian temui sebuah gua. Di sanalah kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara itu
berada...," jelas si Manusia Karang. Kembali Manusia Karang menghentikan
ucapannya. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Tapi firasatku mengatakan, untuk memasuki
gua itu dibutuhkan tenaga dan kepandaian tersendiri.
Karena dari dalamnya aku menangkap sesuatu kekua-
tan yang tidak terlihat mata!"
Paras Dayang Lembah Neraka dan Putri Tun-
jung Kuning serentak berubah
"Setan belang macam apa pun yang mengha-
langi, aku tidak akan mundur!" desis Putri Tunjung Kuning dalam hati.
"Kurasa petunjukku sudah cukup. Aku hanya
bisa menunggu kedatangan kalian di sini!"
Habis berkata, kedua mata Manusia Karang ini
lantas memejam. Dan sebagian rambutnya yang pan-
jang kembali berkibar-kibar.
Putri Tunjung Kuning sejenak memperhatikan
dengan kening berkernyit. Lantas kepalanya berpaling pada Dayang Lembah Neraka,
hendak bertanya. Namun belum sampai membuka mulut....
"Itulah pertanda kalau Guru telah kembali
tenggelam dalam semadinya! Dibentak dan dihajar
pun, dia tidak akan bergeming!" jelas Dayang Lembah Neraka, seperti bisa membaca
jalan pikiran Putri Tunjung Kuning.
"Sekarang bagaimana...?" tanya Putri Tunjung Kuning dengan mata masih mengawasi
si Manusia Karang. "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Kita langsung menuju Dusun
Pagedangan. Jangan sampai ada orang
lain yang mendahului!"
Belum usai berkata, Dayang Lembah Neraka
lantas menjura pada Manusia Karang, diikuti Putri
Tunjung Kuning. Si Manusia Karang tidak bergeming.
Perempuan tua itu bangkit, disusul Putri Tunjung
Kuning. *** 5 Langit di atas Dusun Pagedangan tampak dis-
emaraki gumpalan awan hitam yang berarak rapat ke
arah barat. Angin kencang yang menebar hawa dingin
berhembus, menciptakan suara menggiriskan. Guntur
terdengar bersahutan ditingkahi sambaran kilat, me-
nambah suasana makin mengerikan. Matahari yang
seharusnya mengintip dari bentangan kaki langit sebelah timur, tak mampu
menembus gumpalan awan hi-
tam. Di saat yang demikian, Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning sudah menjejakkan kaki
masing-masing di tepi dataran pasir luar yang memi-
sahkan sebuah sungai kecil dengan sebuah bukit.
Untuk beberapa saat, mereka berdiri tegak. Pa-
ras masing-masing diselimuti keheranan. Dahi kedua-
nya tampak membentuk lipatan kecil, pertanda berpi-
kir keras. Sementara sepasang mata mereka tak kedip memandang ke dataran pasir.
Memang ada satu keanehan. Meski dekat sebuah sungai dan suasana dingin mencekam,
namun dari dataran berpasir itu tampak
kepulan asap! Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning saling berpandangan sejenak.
"Dataran pasir aneh!" gumam Dayang Lembah Neraka. "Tapi bagaimanapun, kita harus
melewatinya. Kukira di balik bukit itu tempat yang dimaksud Guru!"
"Benar! Kita harus bergerak cepat, sebelum ada orang yang mendahului!" sahut
Putri Tunjung Kuning seraya melangkah ke arah dataran pasir.
Sampai beberapa langkah, Putri Tunjung Kun-
ing hanya merasakan hawa hangat menjalari sepasang
kakinya saat menginjak dataran yang mengepul. Tapi
hawa itu semakin panas, begitu melangkah makin ke
tengah. Dan mendadak...
"Auw...!"
Putri Tunjung Kuning keluarkan seruan terta-
han, ketika sepasang kakinya tiba-tiba bagai terjilat api dan tersedot ke dalam
pasir. Seketika gadis ini menarik pulang kakinya.
Namun sedotan dari dalam pasir itu begitu kuat,
membuat tubuhnya sedikit demi sedikit melorot masuk ke dalam pasir.
Pada saat itu, Dayang Lembah Neraka segera
berkelebat saat mengetahui gelagat tidak baik. Langsung diraihnya tangan Putri
Tunjung Kuning.
"Tunjung Kuning! Bertahanlah! Kurangi bobot
tubuhmu!" teriak Dayang Lembah Neraka, seraya me-nyalurkan tenaga dalam untuk
mengangkat tubuh Pu-
tri Tunjung Kuning.
Sesaat tubuh Putri Tunjung Kuning tak ber-
geming. Tapi tatkala Dayang Lembah Neraka menam-
bah tekanan tenaga dalam, sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat. Begitu tubuh
Putri Tunjung Kuning lolos dari sedotan, keduanya cepat membuat gerakan
berputar ke belakang sebanyak dua kali di udara. Lalu mantap sekali kaki mereka
mendarat kembali di tepi
dataran. "Dataran pasir gila!" rutuk Putri Tunjung Kuning dengan mata terbelalak.
Ternyata baju bagian bawah Putri Tunjung Kuning telah hangus. Kulit bagian bawah
tubuhnya yang tadi masuk ke dalam dataran
tampak memerah, seakan baru saja digarang api.
"Kita harus cari jalan. Dataran pasir ini terlalu luas untuk diloncati!" ujar
Dayang Lembah Neraka tanpa menoleh. Sepasang matanya berputar liar ke
sekeliling. "Bagaimana kalau kita berputar melalui hulu sungai?" usul Putri
Tunjung Kuning, seraya menunjuk hulu sungai yang tampak membelok di ujung sana.
"Tak ada gunanya. Lihat! Bukit itu ternyata di-kelilingi dataran pasir. Jadi,
dari mana pun kita datang, harus melewati dataran pasir gila ini!" tukas Dayang
Lembah Neraka. Memang, ketika awan gelap sedikit demi sedikit
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai terusir, suasana jadi agak terang. Dan terlihat jelas kalau bukit di
seberang itu berada di tengah-tengah dataran pasir.
"Hm.... Tak ada jalan lain. Seluruh tenaga ha-
rus dikerahkan untuk meluncur di atas dataran pasir ini!" gumam Dayang Lembah
Neraka setelah agak lama termenung.
"Tapi kita memerlukan alas untuk meluncur di
atasnya! Tidak mungkin terus meluncur tanpa alas,
karena hamparan pasir ini terlalu luas!" ujar Putri Tunjung Kuning.
"Benar! Tapi kau lihat sendiri, di sekitar kita tak ada sesuatu yang bisa
dipakai untuk alas. Jangan-kan kayu. Daun pun tidak ada!"
Sepasang mata Putri Tunjung Kuning memper-
hatikan ke sekeliling. Dan nyatanya di situ memang tidak ada sebuah pohon pun.
Yang tampak hanyalah
dataran pasir dan sungai kecil yang ditumbuhi rum-
put-rumput kering.
Dayang Lembah Neraka lantas memperhatikan
pakaian bawahnya. Tangan kanannya bergerak, hen-
dak merobek. "Guru!" kata Putri Tunjung Kuning, buru-buru mencegah. "Lebih baik pakaian
bawahku yang telah hangus ini!"
Tangan Putri Tunjung Kuning telah bergerak
merobek pakaian bawahnya dengan arah melingkar
sebatas paha. Sehingga pahanya yang putih mulus terlihat jelas.
Begitu robekan pakaian itu luruh, Dayang
Lembah Neraka cepat mengambilnya. Dan secepat itu
pula kain ini dikoyak memanjang, hingga membentuk
persegi agak lebar.
"Kau siap, Tunjung Kuning?" tanya Dayang
Lembah Neraka, sambil meletakkan kain di bawah.
Putri Tunjung Kuning mengangguk. Mereka
lantas berdiri berdampingan di atas robekan pakaian.
Kedua orang ini lantas memejamkan mata masing-
masing dengan tangan sedekap di depan dada. Begitu
kelopak mata membuka lagi, Dayang Lembah Neraka
mengangguk memberi isyarat.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, mereka melesat
cepat bagai tertiup angin di atas dataran, saat mereka sampai di tengah-tengah
dataran. Guru dan murid ini masih khawatir bila terjadi sesuatu yang tak
diingin-kan. Namun keduanya, tampak menarik napas lega
begitu apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Begitu mencapai kaki bukit, Dayang Lembah
Neraka dan Putri Tunjung Kuning berhenti meluncur.
Sementara Putri Tunjung Kuning memandang ke seke-
liling, perempuan tua itu berjongkok. Tangan kanan-
nya diulurkan pada hamparan pasir. Mula-mula
Dayang Lembah Neraka merasakan hawa hangat. Tapi
begitu menyentuh pasir, wajahnya. Dan...
"Aakh...!"
Dari mulut perempuan tua itu terdengar jeritan
kecil. Secepat kilat tangannya ditarik kembali. Lantas dia berdiri dengan
sepasang mata mendelik. Sedangkan Putri Tunjung Kuning langsung menoleh, meman-
dangnya. "Benar-benar gila!" umpat Dayang Lembah Neraka. "Tapi, aku tahu sekarang.
Dataran pasir ini akan menyedot tenaga seseorang, jika anggota tubuhnya
bersentuhan langsung! Hm.... Hampir tak dapat dipercaya!" Mereka lantas
melangkah mengeliling kaki bukit. Masing-masing kini terhanyut dalam
kebisuannya. Tiba di suatu tempat, langkah mereka terhenti. Tak berapa jauh di depan samar-
samar terlihat mulut gua
yang diselimuti asap hitam tipis.
Dengan senyum lebar mereka melangkah men-
dekat, dengan arah menyamping. Dari sini keduanya
baru agak jelas kalau ternyata mulut gua itu lebar.
Hanya saja, mereka tak dapat melihat jelas ke dalam.
Hanya samar-samar terlihat bahwa gua itu memben-
tuk lorong panjang terselimut asap hitam tipis.
Sesaat kedua orang ini berdiri di samping mu-
lut gua. Tapi, tiba-tiba daun telinga Dayang Lembah Neraka tertarik ke atas.
Sementara kedua matanya
terpejam rapat.
"Apa yang dikatakan Guru benar!" kata Dayang Lembah Neraka begitu matanya
terbuka kembali. "Aku merasakan suatu kekuatan yang tak bisa dijabar-kan...."
"Berarti, di dalam ada orang! Mungkin pemba-
wa kitab dan kipas itu!" kata Putri Tunjung Kuning, menduga-duga.
"Bisa jadi begitu. Namun jika yang di dalam ada orang pasti dari jenis manusia
aneh dan sakti. Kau lihat mulut gua itu! Sarang laba-laba begitu merangas dan
tebal, menunjukkan telah beberapa tahun tak ada orang yang mengusik keluar dan
masuk ke dalam gua!" "Lantas, apa yang harus kita perbuat sekarang?" tanya Putri Tunjung
Kuning. "Kita langsung menyelidik ke dalam, tapi harus tetap waspada...! Siapkan pukulan
untuk menjaga ke-mungkinan...!" ujar Dayang Lembah Neraka sambil melangkah ke
dekat mulut gua sebelah kiri.
Putri Tunjung Kuning segera meloncat, dan me-
rapat ke mulut gua dari sebelah kanan.
Namun baru saja kepala masing-masing melon-
gok. Gua itu bergetar hebat bagai dilanda gempa!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning segera menarik kepala masing-masing, dan saling berpandangan. Lantas
pandangan mereka beralih
ke mulut gua, dengan mata membesar. Karena meski
tadi getaran terasa dahsyat, ternyata di sekitar gua, tak terasa sama sekali.
"Gila!" semprot Dayang Lembah Neraka.
Namun sepertinya perempuan tua ini masih ti-
dak begitu percaya. Kembali didekatinya mulut gua.
Dan kepalanya langsung melongok. Sementara Putri
Tunjung Kuning hanya tegak memandang.
Begitu kepala Dayang Lembah Neraka bergerak
melongok, getaran gempa terasa kembali. Cepat kepa-
lanya ditarik pulang. Dan bersamaan dengan itu, getaran gempa lenyap.
"Hm.... Getaran akan terasa jika ada sesuatu
yang mencoba masuk. Kekuatan apakah ini..." Gila!
Tapi bagaimanapun juga, aku harus segera masuk, se-
belum ada orang lain yang mendahului...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Perempuan tua ini kemudian menoleh ke arah
Putri Tunjung Kuning.
"Tunjung Kuning!" panggil Dayang Lembah Neraka. "Kerahkan seluruh tenagamu. Kita
masuk!" "Tapi, Guru...."
Gadis berbaju kuning ini mencoba memberi
usul. Namun belum sempat dia melanjutkan....
"Tunjung Kuning!" potong Dayang Lembah Neraka, membentak. "Dalam keadaan begini,
tak diperlu-kan kata tapi! Kerahkan seluruh tenaga. Kita lawan getaran itu!"
Walau dalam hati tak sependapat, tapi Putri
Tunjung Kuning tidak berani membantah. Segera selu-
ruh tenaga dalamnya dikerahkan. Sementara itu
Dayang Lembah Neraka telah kembali melangkah ke
dekat mulut gua. Segera tangan kanannya dilintang-
kan di depan mulut gua.
Glrrr...! Getaran terasa menghentak. Dayang Lembah
Neraka cepat menarik pulang tangan kanannya. Kepa-
lanya berpaling pada Putri Tunjung Kuning, memberi
isyarat agar bersiap.
Melihat gelagat, meski dengan hati berat, Putri
Tunjung Kuning menganggukkan kepala kalau juga te-
lah siap. Saat itulah, Dayang Lembah Neraka cepat
berkelebat. "Masuk!" teriak Dayang Lembah Neraka.
Putri Tunjung Kuning segera berkelebat mengi-
kuti Dayang Lembah Neraka masuk ke dalam gua.
Namun baru saja kaki masing-masing menjejak tanah,
getaran segera terasa menghentak. Bahkan mereka ju-
ga mulai merasakan gempuran angin dingin dan dah-
syat. Namun keduanya coba menahan dengan melipat-
gandakan tenaga dalam.
Untuk beberapa saat mereka memang berhasil
menahan getaran dan hawa dingin. Tapi begitu akan
mulai bergerak maju, getaran-getaran itu semakin
dahsyat, membuat keduanya tampak mulai goyah. Dan
tak lama kemudian....
"Aaah...!"
Terdengar seruan tertahan dari mulut Putri
Tunjung Kuning. Gadis itu kontan jatuh terjengkang
ke arah luar. Di lain pihak, Dayang Lembah Neraka masih
bertahan. Namun itu pun tidak lama. Getaran disertai kekuatan tenaga dorong yang
tak terlihat, kembali
menghentak. Tubuh perempuan tua itu terhuyung dan
oleng ke sana-kemari. Dan tak berselang lama, tubuhnya mental ke luar gua.
Di luar gua, kedua orang berbeda usia ini sege-
ra bangkit. Dayang Lembah Neraka mengeluarkan se-
rapah panjang pendek tak karuan. Namun ceracau
mulutnya segera terhenti. Dan mereka saling berpan-
dangan satu sama lain.
"Aahhh...!
"Ahh...!"
Kejap itu juga, keduanya hampir bersamaan
mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata wajah dan
pakaian mereka telah dibasahi cairan lendir!
Sambil menghentak-hentakkan kaki merasa ji-
jik, Putri Tunjung Kuning segera jatuhkan diri bergulingan di atas tanah.
Sementara Dayang Lembah Nera-
ka segera berkelebat mencari daun-daun untuk melap
sekujur tubuhnya.
Begitu lendir dapat dihilangkan, Putri Tunjung
Kuning melangkah ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Guru! Getaran itu terasa saat ada sesuatu
yang mencoba menghalangi lorong masuk. Dan geta-
ran itu tidak akan menghentak, jika mulai dari mulut gua, kita buat lobang untuk
menyelinap. Dengan
menghantam kanan kiri dinding gua, niscaya lorong
itu akan porak poranda dan membentuk lobang. Den-
gan lobang itulah kita bisa menyelinap!" usul Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka manggut-manggut.
"Anak ini cerdik juga!" puji perempuan tua ini dalam hati.
Dayang Lembah Neraka segera melangkah ke
mulut gua dari sebelah kiri. Kedua tangannya lalu didorong ke depan, menghantam
lorong gua sebelah ka-
nan. Glarrr...!
Terdengar dentuman. Pada saat yang sama, lo-
rong gua sebelah kanan kontan porak poranda, mem-
bentuk sebuah lobang.
Dayang Lembah Neraka sejenak menatap Putri
Tunjung Kuning, lalu memberi isyarat dengan anggu-
kan kepala. Tubuhnya lantas berkelebat masuk dalam
gua, menyelinap dalam lobang di lorong gua sebelah kanan. Sesaat Putri Tunjung
Kuning dan Dayang Lembah Neraka menunggu. Mereka menarik napas lega
tatkala getaran-getaran itu tak lagi terasa.
"Tunjung Kuning!" panggil Dayang Lembah Neraka. "Hantam lorong sebelah kiri!"
Putri Tunjung Kuning segera melangkah ke mu-
lut gua dari arah sebelah kanan. Lantas kedua tan-
gannya dihantamkan ke lorong gua sebelah kiri.
"Hih!"
Glarrr...! Kembali terdengar dentuman ketika kedua tan-
gan Putri Tunjung Kuning menghentak. Lorong gua
sebelah kiri porak poranda, membentuk sebuah lo-
bang. Dan tanpa menunggu lama lagi, Putri Tunjung
Kuning segera melesat dan menyelinap masuk ke lo-
bang lorong sebelah kiri. Kembali keduanya menung-
gu. "Kita berhasil! Kita terus bergerak maju dengan menghantam kiri-kanan lorong
gua!" ujar Dayang Lembah Neraka, ketika tak merasakan getaran lagi.
*** Pada hantaman kedua puluh sembilan, menda-
dak Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning
merasakan udara hangat dan keadaan sedikit terang.
Namun mereka sedikit heran, karena cahaya terang itu berwarna agak kemerahan.
Untuk beberapa saat mereka tidak berani ber-
gerak dari tempat masing-masing. Mereka khawatir ji-ka cahaya itu hanyalah
tipuan belaka. "Menunggu tanpa berusaha mengetahui akan
buang waktu...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Karena hingga menunggu sekian lama, keadaan di situ tidak berubah. "Lagi pula,
getaran itu tidak lagi terasa!"
Berpikir begitu, Dayang Lembah Neraka segera
memalangkan tangannya. Hampir saja dia melonjak
gembira, karena getaran itu memang tidak lagi meng-
hentak. Segera perasaan itu ditekannya.
Untuk meyakinkan diri, Dayang Lembah Nera-
ka mengangkat kaki kirinya dan dipalangkan. Ternya-
ta, getaran itu memang tidak lagi terasa menghentak!
Merasa keadaan aman, perlahan-lahan Dayang
Lembah Neraka keluar dari lobang lorong dengan tu-
buh merapat. Tapi, kedua tangannya tetap siap mele-
paskan pukulan. Dan dia menarik napas panjang keti-
ka getaran tidak terasa lagi!
Perempuan tua itu cepat melompat ke tengah
lorong. Dilambaikannya tangan pada Putri Tunjung
Kuning. Dan gadis itu segera keluar, menjajari Dayang Lembah Neraka.
Kini mereka sampai di ujung lorong yang
menghubungkan dengan sebuah ruangan dari batu
yang tidak begitu besar. Sepasang mata kedua orang
yang jauh berbeda usia ini lantas berputar berkeliling memperhatikan keadaan.
Dan.... "Heh"!"
"Oh...!"
Saat itu juga, mereka tercekat tatkala tiba-tiba
sinar kemerahan yang menerangi tempat itu perlahan
meredup, dan sesaat kemudian gelap!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning sama-sama berpaling, saling menatap. Namun
satu sama lain tak bisa saling melihat karena keadaan memang benar-benar gelap.
Selagi mereka berdua tercengang tak tahu ha-
rus berbuat apa, mendadak....
"Sss...!"
Terdengar suara mendesis seperti suara ular.
Namun karena tak ada angin sambaran, membuat me-
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
reka berdua yang telah siap menghantam sedikit lega.
Mereka segera menarik kembali tangannya. Bersamaan
dengan itu, perlahan-lahan pula keadaan di situ mulai terang oleh cahaya agak
kemerahan. Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning segera menyapukan pandangan mencari
sumber cahaya kemerahan.
"Heh"!"
Mereka berdua sedikit terkejut. Ternyata sepu-
luh tombak di depan mereka, terlihat dua benda merah mengapung. Dan cahaya
terang agak kemerahan memang bersumber dari dua benda itu.
"Aahh...!"
Dan mereka kontan mengeluarkan seruan lirih
tertahan, tatkala terlihat benda merah itu makin membesar. Kini suasana makin
benderang kemerahan,
hingga Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning bisa melihat agak jelas.
Mula-mula yang tampak adalah sesuatu di ba-
wah dua benda berwarna merah yang bergerak-gerak
mengeluarkan desisan. Begitu masing-masing membe-
sarkan mata, mereka baru jelas. Sesuatu itu ternyata sebuah moncong! Lalu,
tampak sebuah kepala. Dan
begitu dua benda merah itu berputar....
"Utss...!"
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning serentak meloncat ke belakang. Begitu menje-
jak tanah, mereka berdua seakan tak percaya dengan
pandangan masing-masing. Ternyata dua benda ber-
warna merah menyala itu adalah sepasang mata see-
kor ular besar yang tengah melingkar dengan kepala
bertumpu pada lingkaran tubuh paling atas.
"Menurut Guru, kitab dan kipas itu berada di
sini. Namun yang kita temukan seekor ular raksasa!
Apakah Guru membual..."!" desis Dayang Lembah Neraka seraya memandang tajam ke
arah ular yang tam-
pak membuka moncongnya.
"Sss...!"
Desisan dahsyat terdengar. Namun tak menge-
luarkan apa-apa, membuat Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning tetap tegak di tempat mas-
ing-masing. Ketika tak terasa getaran-getaran dan ular itu
tidak menyerang, Dayang Lembah Neraka dan Putri
Tunjung Kuning memberanikan diri melangkah men-
dekati. Namun sikap mereka tetap waspada.
"Brengsek! Tempat ini hanya ruangan kosong
yang dihuni Ular Naga sialan ini! Di mana kitab dan kipas itu...?"
Terdengar umpatan dan sumpah serapah dari
mulut Dayang Lembah Neraka, begitu telah mengeli-
lingi ruangan. Namun tiba-tiba sepasang mata Putri Tunjung
Kuning terbelalak. Dari arah samping, di mana saat ini Putri Tunjung Kuning
sedang berdiri, terlihat jelas dua benda hitam menancap di kepala ular.
"Guru! Ada benda yang menancap di kepala
ular itu!" teriak Putri Tunjung Kuning, seraya menunjuk.
Dengan wajah kesal bercampur geram. Dayang
Lembah Neraka berpaling ke arah kepala ular. Dan sepasang matanya, kontan
membesar dengan senyum
mengembang. "Hm.... Melihat bentuknya, yang sebelah kanan
adalah sebuah kitab. Sementara yang sebelah kiri adalah sebuah kipas yang
mengembang!" kata batin
Dayang Lembah Neraka.
Kemudian Dayang Lembah Neraka menatap Pu-
tri Tunjung Kuning dengan sinar mata cerah.
"Tunjung Kuning! Akhirnya kita mendapatkan-
nya! Cita-cita kita menjadi raja di dunia persilatan akan terwujud!"
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Putri Tunjung Kuning.
"Kita harus membunuh binatang itu!" kata
Dayang Lembah Neraka sambil melangkah dan siap le-
paskan pukulan ke arah ular.
"Guru, tunggu!" tahan Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka cepat mengurungkan
niat. Tubuhnya berbalik menghadap Putri Tunjung
Kuning. "Kulihat ular itu tak berbahaya. Buktinya dia tidak menyerang. Lebih
baik, langsung menyambar
dua benda itu tanpa mengusik. Dengan demikian, kita tak usah terlalu banyak
mengeluarkan tenaga. Lagi
pula kita belum tahu kekuatannya. Bukan tidak
mungkin Ular Naga itu menyimpan sebuah kekuatan!
Sejauh ini, kita belum tahu dari mana getaran-getaran tadi berasal!" papar Putri
Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka sedikit menyeringai.
Namun akhirnya kepalanya mengangguk. Lalu tubuh-
nya berbalik. Sementara Putri Tunjung Kuning tetap di tempatnya semula.
"Hm.... Bagaimanapun caranya, aku harus
mendapatkan kitab dan kipas itu! Tidak peduli harus berebut dengan Dayang Lembah
Neraka! Namun aku
tak boleh bertindak gegabah. Biarlah kutunggu dahu-
lu, apa yang akan dilakukannya!" kata Putri Tunjung Kuning dalam hati. Sementara
matanya tak berkedip
menatap Dayang Lembah Neraka yang kini telah tegak
berdiri mendongak.
Tanpa mengeluarkan suara sama sekali, men-
dadak tubuh Dayang Lembah Neraka melayang ke
udara, melewati lipatan-lipatan tubuh ular. Sementara, ular itu tetap diam.
Hanya sesekali mulutnya terbuka disertai desisan.
Begitu mencapai depan mulut ular, Dayang
Lembah Neraka menambah tekanan tenaga dalamnya.
Dan tubuhnya pun melesat cepat ke atas kepala ular.
Putri Tunjung Kuning hanya memperhatikan
dengan dada bergetar. Sepasang matanya membesar
dan menyipit. Paras wajahnya membersitkan perasaan
khawatir. Tentu saja khawatir jika Dayang Lembah Neraka benar-benar berhasil
mendapatkan kitab dan ki-
pas itu. "Keparat! Jika dia benar-benar berhasil, usahaku untuk merebutnya
memerlukan perhitungan yang
matang! Tapi apa boleh buat. Cara apa pun akan ku-
tempuh!" tandas batin Putri Tunjung Kuning.
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin, kedua
tangan Dayang Lembah Neraka telah berusaha mem-
betot kitab dan kipas di kepala ular. Karena, ternyata kedua benda itu seakan
tertancap dalam, hingga tidak mudah untuk dicabut.
"Bangsat! Padahal, kitab dan kipas ini hanya
menempel. Tapi, begitu diambil seperti terpaku!" gumam Dayang Lembah Neraka.
Saat itu juga, perempuan tua ini mengerahkan
seluruh tenaga dalam tingkat tinggi untuk membedol.
Namun sedemikian jauh, usahanya sia-sia. Kitab dan
kipas itu tak bergeming sedikit pun.
Merasa kesal dan geram, Dayang Lembah Nera-
ka memutar-mutar tubuhnya dengan tangan men-
cengkeram kitab dan kipas. Sehingga, membuat tubuh
ular itu bergoyang-goyang.
Saat itulah, tiba-tiba mulut ular itu membuka
disertai desisan dahsyat. Lalu, tubuh ular itu menggeliat dengan gulungan asap
hitam yang berkilat-kilat, melesat ke arah Dayang Lembah Neraka.
Dayang Lembah Neraka tercengang. Buru-buru
dilepaskannya cengkeraman pada kitab dan kipas.
Namun matanya serentak mendelik karena tangannya
bagai lengket tanpa kuasa untuk ditarik. Hingga tanpa ampun lagi, Dayang Lembah
Neraka tak bisa menghindar dari sambaran asap hitam!
Wusss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan melengking dari mulut
Dayang Lembah Neraka begitu asap hitam menyam-
barnya. Cengkeramannya lepas. Tubuhnya mencelat
ke atas, menghantam langit-langit ruangan. Ketika tubuhnya menukik dan terhempas
di lantai ruangan itu, dari mulut dan telinga Dayang Lembah Neraka menga-lir
darah kehitaman!
Sambil melenguh perlahan, Dayang Lembah
Neraka mencoba bangkit. Namun begitu dapat berdiri, tubuhnya oleng dan jatuh
kembali. Sementara diam-diam Putri Tunjung Kuning
menyimpan senyum. Lalu wajah dibuat secemas
mungkin, sebentar saja, gadis ini telah menghambur
ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Guru! Kau terluka dalam. Lebih baik pulihkan
tenaga dahulu. Biar aku yang akan mencoba!" ujar Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka menyeringai tidak se-
nang. Namun karena keadaan tubuhnya tidak me-
mungkinkan lagi, akhirnya ia hanya memandang ke
arah Putri Tunjung Kuning tanpa membuka suara.
"Peduli setan! Jika kitab dan kipas itu berhasil kudapatkan, kaupun harus
berbalik tunduk padaku!"
kata batin Putri Tunjung Kuning, melihat pandangan
sinis Dayang Lembah Neraka.
Namun baru saja Putri Tunjung Kuning berba-
lik hendak melesat, ular telah menggeliat kembali. Dan
saat itu pula asap hitam redup berkilat-kilat melesat menyambar ke arah Putri
Tunjung Kuning dan Dayang
Lembah Neraka. "Heh..."!"
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning sama-sama terkejut.
"Tunjung Kuning! Cepat pergi dari sini!"
Dayang Lembah Neraka segera berseru agar
mereka meninggalkan tempat itu, namun Putri Tun-
jung Kuning seakan tidak mendengar. Bahkan gadis
itu menarik kedua tangannya ke belakang. Lalu disertai dengusan tajam kedua
tangannya dihantamkan ke
depan. Werrr...! Werrr...!
Larikan-larikan sinar kuning segera melesat,
menyongsong asap hitam redup.
Namun Putri Tunjung Kuning sesaat dibuat
terkesima. Karena sentakan kedua tangannya yang
bentrok dengan asap hitam tidak menimbulkan suara
sama sekali! Bahkan yang terlihat, larikan sinar kuning itu terbuntal asap hitam
redup. Dan buntalan asap itu, kini melesat ke arahnya!
"Cepat keluar! Naga itu tidak bisa kita hadapi!"
teriak Dayang Lembah Neraka yang telah menyingkir,
menuju mulut lorong.
Putri Tunjung Kuning seakan baru tersadar.
Buru-buru dia bergerak berbalik dan melesat ke arah lorong gua menuju keluar.
Namun, sambaran buntalan
asap itu ternyata lebih cepat menggebrak! Tubuh Putri Tunjung Kuning yang
berlari lurus menyusur lorong
gua tak dapat mengelak lagi.
Blasshhh...! "Aakh...!"
Tak ampun lagi tubuh gadis itu, terpental dan
keluar gua dengan terkapar!
Sementara Dayang Lembah Neraka yang berha-
sil keluar lebih dulu, segera menghampiri Putri Tunjung Kuning yang terkapar.
Dengan sisa-sisa tenaga, diambilnya tubuh Putri Tunjung Kuning. Dan begitu
Dayang Lembah Neraka menyingkir sambil membo-pong tubuh Putri Tunjung Kuning,
getaran-getaran
terhenti seketika.
Tak jauh dari mulut gua, Dayang Lembah Ne-
raka segera menurunkan tubuh Putri Tunjung Kuning
yang ternyata telah terluka parah. Seluruh pakaiannya telah hangus. Dan dari
lobang di tubuhnya, menggenang darah merah kehitaman.
"Untuk sementara kita harus istirahat dahulu,
Tunjung Kuning...," desah Dayang Lembah Neraka tersendat sambil memegangi
dadanya yang sesak.
Putri Tunjung Kuning hanya memandangi, tan-
pa bisa buka mulut!
*** 6 Tak seperti biasanya, bulan kali ini tidak tam-
pak mengambang di angkasa. Padahal saat ini, hitun-
gan bulan telah sampai pada hari keempat belas. Dan berarti, bulan akan
mendekati puncak purnama. Bin-tang pun hanya terlihat satu dua. Itu pun lantas
menghilang tertutup arakan awan hitam yang meng-
gantung tebal, seakan tak sabar ingin segera menukik turun. Malam terus merambat
dan suasana semakin
gelap. Udara dingin yang menusuk menambah suasa-
na semakin mencekam, terutama di sekitar sebuah
bangunan tua berbentuk candi peninggalan kejayaan
Kerajaan Singasari.
Keadaan yang menyeramkan seperti itu ru-
panya tak menyurutkan langkah sebuah bayangan
merah yang berkelebat cepat, menyusuri kepekatan
malam. Bayangan itu terus menyelinap masuk ke pela-
taran candi, lalu lenyap kedalamnya. Dan sesaat ke-
mudian, bayangan merah itu telah mengendap-endap
di bagian belakang candi, di sebuah ruangan yang beberapa bagian telah rapuh
hampir runtuh. Seperti sudah mengenal bagian bangunan ini,
sosok bayangan merah itu perlahan-lahan melangkah
mendekati sebuah arca besar. Dan seakan tanpa be-
ban sama sekali, digesernya letak arca ini.
Untuk beberapa saat, sosok bayangan merah
memandang liar berkeliling menembus gelapnya ma-
lam. Setelah merasa pasti tidak ada orang lain, tubuhnya masuk ke dalam lobang.
Ternyata, di bawah arca
di pojok ruangan yang tampak tidak terawat, terdapat sebuah lobang dengan sebuah
tangga batu yang menurun. Setelah turun tiga undakan, sosok bayangan
merah mengembalikan letak arca seperti semula. Lalu dengan perlahan dituruninya
tangga yang ternyata berujung pada sebuah ruangan yang tidak begitu besar
dan terang benderang.
Menginjak lantai ruangan, sosok ini menebar
pandangan dan berujung pada sosok yang duduk ber-
sila di tengah-tengah ruangan. Ada sesuatu yang janggal terlihat. Cahaya terang
benderang dalam ruangan, ternyata bersumber pada sosok yang duduk di tengah
ruangan! Sosok tubuh bercahaya terang ini ternyata seo-
rang perempuan tua renta berjubah besar hitam.
Rambutnya panjang berwarna putih, dibiarkan tergerai awut-awutan. Di atas
kepalanya terlihat sorban berwarna hitam. Paras wajahnya putih pucat. Namun de-
mikian, kulit wajah perempuan ini begitu tebal. Sepasang matanya terpuruk ke
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam. Mulutnya selalu
bergerak-gerak seperti mengunyah sesuatu yang tidak habis-habisnya. Perempuan
tua renta inilah yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai Bayangan Iblis.
Meski Bayangan Iblis adalah tokoh berilmu
tinggi, namun hanya beberapa gelintir orang saja yang mengenali sosoknya. Karena
Bayangan Iblis memang
jarang sekali menunjukkan diri.
Kini sosok bayangan merah tampak menjura,
lalu kembali tegak. Ternyata, sosok bayangan ini adalah seorang pemuda tampan
bertubuh kekar dan te-
gap. Rahangnya kokoh. Sepasang matanya menyorot
tajam, membersitkan kekejaman dan kesombongan. Di
telinga kirinya tampak melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning. Rambutnya
panjang dan hitam serta
dikuncir. "Anak Agung!" panggil Bayangan Iblis, kepada pemuda berpakaian serba merah yang
dipanggil Anak Agung. Memang, Anak Agung sebenarnya adalah Ma-
laikat Berdarah Biru yang pernah takluk di tangan
Pendekar Mata Keranjang 108. Bahkan gurunya yang
berjuluk Bidadari Telapak Setan harus tewas di tangan Aji. Konon, setelah
rencananya bersama Bidadari Telapak Setan digagalkan Pendekar Mata Keranjang
108, Malaikat Berdarah Biru melakukan perjalanan ke dae-
rah timur (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam
episode: "Malaikat Berdarah Biru").
Bidadari Telapak Setan, sebelumnya memang
telah berpesan, jika sewaktu-waktu terjadi hal yang di luar rencana, sang murid
disuruh pergi ke daerah timur, menemui seorang yang bergelar Bayangan Iblis.
Dalam hati, Malaikat Berdarah Biru sebenarnya
enggan menuruti pesan gurunya. Namun karena ting-
kat kepandaiannya masih belum memadai untuk men-
galahkan Pendekar Mata Keranjang 108, maka dengan
berat hati ia berangkat ke daerah timur. Tepatnya ke Singasari di mana Bayangan
Iblis bertempat tinggal.
Pada mulanya, Bayangan Iblis tidak mau mene-
rima Malaikat Berdarah Biru sebagai murid. Namun
setelah pemuda itu menceritakan kalau dirinya murid Bidadari Telapak Setan,
akhirnya Bayangan Iblis me-nerimanya sebagai murid.
Antara Bayangan Iblis dan Bidadari Telapak Se-
tan memang masih ada hubungan. Karena Bidadari
Telapak Setan adalah murid dari kakak seperguruan
Bayangan Iblis Karena masih menyimpan dendam kesumat,
meski sudah beberapa tahun tinggal bersama Bayan-
gan Iblis, sesekali Malaikat Berdarah Biru keluar juga untuk mengetahui keadaan
sekaligus mengendus
langkah Pendekar Mata Keranjang 108. Tak beda den-
gan malam-malam sebelumnya, malam ini Malaikat
Berdarah Biru juga baru saja keluar mencari tahu
langkah-langkah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Aku mengerti dengan kerisauan hatimu selama
ini, Anak Agung! Kau tentunya sudah tak sabar ingin membalas pada musuh besarmu
itu bukan?" lanjut Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru tidak menjawab. Malah
wajahnya berpaling. Sementara ekor matanya melirik
tajam. Kedua tangannya mengepal. Otot-otot wajahnya menggurat, dan rautnya
berubah mengelam.
Mulut Bayangan Iblis kembali bergerak-gerak
seperti mengunyah, lalu berhenti begitu senyumnya
tersungging. "Sampai kapan pun, kau tak akan bisa memba-
las sakit hatimu pada Pendekar Mata Keranjang 108!"
Paras Malaikat Berdarah Biru makin mengelam.
Napasnya berhenti mendadak. Tubuhnya bergetar he-
bat, karena menindih amarah.
"Tua jahanam!" rutuk Malaikat Berdarah Biru dalam hati. "Omong kosongmu akan
kubuktikan ke-lak!" "Jangan cepat terbawa perasaan, Muridku! Ka-ta-kataku belum
selesai!" sambung Bayangan Iblis.
"Kau tidak akan bisa membalas dendam pada Pendekar Mata Keranjang 108, kecuali
jika berhasil mendapatkan kipas dan kitab ciptaan Empu Jaladara!"
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan lengu-
han keras, lalu menyeringai.
"Bertahun-tahun aku telah mencoba melacak
kitab dan kipas itu. Namun sejauh ini, usahaku hanya menghasilkan kesia-siaanmu!
Hingga aku berangga-pan, kitab dan kipas itu hanyalah cerita isapan jempol.
Bahkan setelah ku telusuri jalinan ceritanya, aku ber-kesimpulan sulit dipercaya
jika kitab dan kipas itu benar-benar ada!" kata Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Iblis mengeluarkan tawa bergelak
membuat ruangan itu bergetar.
"Muridku! Kalau tokoh-tokoh silat tersohor ke-
luar dari sarang, bahkan menyabung nyawa untuk
mencari keterangan tentang kitab dan kipas itu, jadi jelas bahwa kedua benda itu
memang benar-benar
ada! Dan aku tahu, di mana beradanya kitab dan kipas itu!" Malaikat Berdarah
Biru kontan besarkan kedua
biji matanya. Hatinya bersorak gembira mendengar keterangan gurunya. Namun
kegembiraan itu ditindih-
nya, membuat paras wajahnya tidak menunjukkan ra-
sa terkejut sama sekali.
"Guru! Beberapa tahun hidup bersama, kalau
kau memang mengetahui letak kitab dan kipas itu, kenapa tidak dikatakan sejak
dulu"!" kata Malaikat Berdarah Biru, setengah menegur gurunya.
Bayangan Iblis kembali tertawa bergelak-gelak.
Tubuhnya yang bergetar hebat, membuat cahaya di
ruangan itu berpencar serabutan.
Tiba-tiba Bayangan Iblis menghentikan ta-
wanya. Sepasang matanya menyengat tajam.
"Petunjuk mengenai kitab dan kipas, tanpa
bekal yang cukup hanya akan menghasilkan kekece-
waan!" kata Bayangan Iblis, keras.
"Apa kau kira kepandaianku selama ini masih
kurang?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
"Ingat, Anak Agung! Tingkat kepandaian tidak
ada batasnya! Namun karena sekarang kurasa tingkat
kepandaianmu sudah cukup menjadi bekal, sekarang
akan kuberitahukan padamu letak kitab dan kipas
itu!" Kali ini Malaikat Berdarah Biru menatap lekat-lekat pada gurunya.
"Anak Agung! Dalam semadiku, aku dapat me-
lihat bahwa kitab dan kipas itu berada di sebuah gua, di kaki bukit kecil yang
di kelilingi oleh dataran pasir hitam yang mengandung tenaga sedot luar biasa
dahsyat!" "Hm.... Di jagat ini banyak sekali tempat yang seperti kau katakan!,
Jadi, jika kau tak bisa menentukan letak bukit itu, sama halnya mencari ikan
tertentu di laut bebas!" sela Malaikat Berdarah Biru menyerin-
gai. "Benar katamu! Tapi aku tak akan mengatakan
padamu, jika aku tidak tahu letaknya!"
Malaikat Berdarah Biru terbeliak, sambil men-
gangguk-angguk.
"Pergilah ke Dusun Pagedangan! Di ujung du-
sun itu, kau akan menemukan tempat seperti yang
kukatakan tadi!"
Sejenak Bayangan Iblis menghentikan kata-
katanya. Sepasang matanya yang melesak berputar
liar, memandang langit-langit ruangan.
"Besok pagi-pagi benar, kau bisa memulai per-
jalanan! Bagaimanapun caranya, kau harus bisa men-
dapatkan kitab dan kipas itu. Ini jika kau masih mena-ruh dendam pada musuh
besarmu, sekaligus jika ma-
sih ingin menggenggam tampuk pimpinan rimba persi-
latan!" "Untuk membuktikan kata-katamu, aku tak akan buang-buang waktu. Sekarang
juga aku akan berangkat!" tandas Malaikat Berdarah Biru.
Selesai bicara, pemuda itu segera menjura. Lalu
tubuhnya berbalik dan melangkah menuju anak tang-
ga. "Anak Agung! Aku akan sangat bangga jika kau
benar-benar berhasil mendapatkannya!" kata Bayangan Iblis seraya mengangguk-
angguk. Lalu perempuan tua itu mendongak ke atas
dengan tawa bergelak-gelak Namun sesaat kemudian
tawanya lenyap, tepat ketika kedua kelopak matanya
mengatup. Bayangan Iblis kembali tenggelam dalam
semadinya. *** 7 Bukit kecil di ujung Dusun Pagedangan yang
berada di tengah-tengah dataran pasir masih diselimu-ti kabut tipis dini hari.
Embun di pucuk dedaunan masih belum luruh. Di tengah dinginnya udara pagi ini,
sesosok bayangan hitam berkelebat cepat, setelah me-loncati sungai, kakinya
menjejak dengan kokoh di tepi dataran pasir.
Untuk beberapa saat, sosok ini berdiri tegak
terpaku. Pandangannya terarah pada bukit kecil yang ada di tengah-tengah
dataran. Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang la-
ki-laki berjubah hitam panjang dan besar, hampir menutup sekujur tubuhnya.
Kecuali wajah dan pergelan-
gan tangannya. Umurnya sulit ditebak, karena raut
wajahnya tidak tertutup kulit sama sekali. Sehingga paras wajah laki-laki ini
hanya berupa rangkaian tulang-tulang. Demikian juga pergelangan tangannya. Di
atas tulang pipinya, tampak rongga yang sangat cekung. Di dalamnya tampak
berputar-putar sepasang
bola mata besar berwarna kemerahan.
Dalam bentangan rimba persilatan, laki-laki
berwajah angker ini sudah tidak asing lagi. Sesuai
keadaan wajahnya, dia berjuluk Tengkorak Berjubah.
Kepandaian tokoh ini sudah sangat tinggi. Namun
yang lebih menggiriskan adalah kekejamannya.
"Dataran pasir hebat!" kata Tengkorak Berjubah dalam hati. "Hari masih pagi
begini, sudah mengepulkan asap! Aku harus berhati-hati. Tempat benda-
benda sakti biasanya memang mengandung berbau
maut?" Tengkorak Berjubah lantas berbalik menghadap
sungai. Kedua tangannya segera diputar-putar di de-
pan dada. Dan saat ini juga terjadi suatu keanehan.
Putaran tangan Tengkorak Berjubah langsung menge-
luarkan suara gemuruh dahsyat, bagai gelombang
laut. Sementara air sungai di depannya terlihat bergo-lak bagai terbuncah.
"Hiaah...!"
Dengan sentakan cepat, tiba-tiba Tengkorak
Berjubah menarik kedua tangannya ke belakang.
Wutt! Saat itu juga dua buah benda tampak melesat
dari sungai. Lalu dengan gerakan indah, Tengkorak
Berjubah cepat menangkap dua benda yang melayang
ke arahnya. Tap! Tap! "Hm.... Dua ikan ini kurasa cukup untuk men-
jadi percobaan!" gumam Tengkorak Berjubah.
Tulang bibir laki-laki berjubah hitam ini berge-
rak-gerak, pertanda tersenyum. Dan tiba-tiba dua ikan di tangannya dikibaskan ke
belakang, ke arah dataran pasir seraya berbalik.
Di tengah-tengah dataran pasir, sejenak terlihat
dua kuakan kecil bersama amblasnya dua ikan ke da-
lamnya. Tengkorak Berjubah tak menunggu lama. Se-
saat kemudian, dari dua kuakan tadi keluar asap hi-
tam menebar bau ikan terbakar!
"Hm.... Berarti aku harus melewati dataran pa-
sir ini sampai mencapai kaki bukit tanpa menginjak!"
kata batin Tengkorak Berjubah seraya mengangguk-
angguk. Sejenak pandangan mata laki-laki ini menyorot
jauh ke arah bukit. Dan perlahan-lahan kedua tan-
gannya ditarik ke depan dada. Sepasang matanya dipejam rapat-rapat. Tulang
bibirnya bergerak-gerak meng-
gumamkan suara tak jelas.
Wesss...! Dari arah belakang laki-laki berjubah hitam ini
mendadak berhembus angin kencang yang mengelua-
rkan suara gemuruh. Tengkorak Berjubah langsung
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka tu-
buhnya kini melayang di atas dataran pasir, terbawa angin kencang dari
belakangnya. Dan tatkala kedua
tangannya menekan, hembusan angin itu lebih dah-
syat membawa tubuhnya hingga sampai kaki bukit.
Begitu menginjak kaki bukit, Tengkorak Berju-
bah membuka kelopak matanya. Sebentar matanya
berputar liar memperhatikan.
"Agar tak ada tempat yang lepas, aku harus
naik dengan jalan mengitari mulai dari kaki bukit!" ka-ta Tengkorak Berjubah
dalam hati, segera dia mulai
melangkah. Namun baru saja mencapai balik bukit, Teng-
korak Berjubah tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Dari arah tempatnya berdiri, dengan jelas dia dapat melihat dua sosok tubuh
manusia sedang duduk saling bersandaran panggung, tak jauh dari mulut gua.
"Hm.... Aku ternyata datang terlambat. Keparat-keparat itu rupanya telah
mendahuluiku. Siapa mere-
ka?" kata batin Tengkorak Berjubah dengan mata menyorot tajam. Tulang dagunya
nampak tertarik ke atas.
"Siapa pun mereka, yang pasti adalah orang-
orang yang menginginkan benda pusaka itu! Tapi..., sepertinya mereka belum
mendapatkan pusaka kitab
dan kipas itu! Tubuh mereka terlihat terluka...."
Tengkorak Berjubah terus menduga-duga den-
gan sepasang mata merah tak berkedip.
Pandangan Tengkorak Berjubah lantas beralih
pada mulut gua. Karena saat itu matahari sudah un-
juk diri, maka jelas sekali dapat terlihat, kalau dari mulut gua samar-samar
keluar asap tipis.
Untuk beberapa saat Tengkorak Berjubah
memperhatikan. Lalu dengan perlahan sekali, kakinya melangkah mendekat.
Pandangannya ditujukan pada
salah satu sosok yang paling bersandar punggung.
"Seorang perempuan berpakaian hitam-hitam.
Rahangnya keras menonjol, mulutnya melesak ke da-
lam...," gumam Tengkorak Berjubah dengan tulang-tulang dahi berkerut. Sepasang
matanya membesar la-
lu menyipit. Ia terus berpikir keras. "Jahanam! Aku tak bisa mengenalinya!"
Pandangan Tengkorak Berjubah lantas beralih
pada sosok satunya. Mendadak sepasang matanya ter-
belalak liar. Tangan kanannya yang bergerak, diusap-usapkan pada tulang dagunya.
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tulang bibirnya berge-
rak-gerak menciptakan sebuah senyum. Jakun tenggo-
rokannya naik turun tak beraturan.
Sosok yang dilihat Tengkorak Berjubah tak lain
adalah Putri Tunjung Kuning. Saat ini keadaan pa-
kaian gadis itu memang telah terkoyak. Pakaian ba-
wahnya telah terpotong sebatas paha. Hingga dalam
keadaan duduk, pakaian bawahnya semakin tertarik
ke atas. Dan ini membuat kulit putih pahanya jelas
terlihat. "Hm.... Gadis muda ini cantik! Dan sepertinya, aku pernah melihatnya!
Tapi, di mana...?"
Kembali dahi Tengkorak Berjubah berkerut,
mencoba mengingat-ingat. Tangan kanannya lalu me-
nepuk tulang keningnya.
"Aku ingat! Bukankah dia murid Dewi Kuning"
Dan aku tahu sekarang. Perempuan tua di belakang-
nya pasti kakak seperguruan Dewi Kuning. Manusia
yang berjuluk Dayang Lembah Neraka!" kata Tengko-
rak Berjubah sambil mengangguk-anggukkan kepala
seraya mengawasi lekat-lekat Dayang Lembah Neraka.
Namun pandangan Tengkorak Berjubah pada
Dayang Lembah Neraka tidak lama. Sepasang matanya
kembali tertuju pada Putri Tunjung Kuning.
"Tubuhnya begitu sintal. Dan pasti, menjanji-
kan kehangatan! Tapi..., kali ini aku harus mendahulukan kitab dan kipas itu!
Persoalan perempuan bisa diurus belakangan..."
Habis berpikir begitu Tengkorak Berjubah lan-
tas mendehem perlahan. Namun suaranya telah cukup
membuat Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning yang sedang memulihkan kekuatan jadi teru-
sik. "Guru! Kau dengar suara orang mendehem?"
bisik Putri Tunjung Kuning tanpa membuka kelopak
mata. "Aku dengar!" sahut Dayang Lembah Neraka.
"Kita harus waspada. Siapa pun orang itu, tujuannya pasti sama dengan kita! Dan
dengan segala cara, kita harus dapat mencegahnya!"
"Tapi keadaan kita sudah tidak memungkinkan
lagi jika harus bertempur. Kita sedang terluka!" tukas Putri Tunjung Kuning.
"Kita harus berusaha! Kalau tak bisa mencegah
dengan bertempur, kita cari jalan Lain. Mendengar de-hemannya, aku dapat menduga
kalau pendatang ini
seorang laki-laki! Untuk menaklukkannya, tanpa ber-
tempur kukira bisa! Dan itu tugasmu!" ujar perempuan tua itu. Mendengar kata-
kata Dayang Lembah Neraka,
Putri Tunjung Kuning mengeluarkan dengusan perla-
han. "Dasar perempuan tua! Kau kira aku mau begi-
tu saja menyerahkan tubuhku pada setiap laki-laki"
Boleh, boleh saja. Asal, kitab dan kipas itu menjadi imbalannya!" umpat gadis
itu, habis-habisan.
Putri Tunjung Kuning lantas mendekatkan ke-
palanya ke telinga Dayang Lembah Neraka.
"Guru!" bisik Putri Tunjung Kuning. "Lebih baik biarkan saja orang itu memasuki
gua. Jika nantinya
berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu, barulah kita bertindak!"
Habis berkata, Putri Tunjung Kuning membuka
kedua kelopak matanya, dan menebar pandangan ke
sekeliling. Dan baru saja Putri Tunjung Kuning hendak
berpaling ke samping, sesosok tubuh tinggi berjubah hitam telah keluar dari
balik semak belukar. Sosok itu langsung berkelebat, lalu tahu-tahu telah berdiri
di samping Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning. "Aahh...!"
Putri Tunjung Kuning berseru kecil, saat meli-
hat paras wajah sosok berjubah hitam. Dan sesaat
kemudian, Dayang Lembah Neraka pun membuka ke-
lopak matanya. "Tengkorak Berjubah!" gumam Dayang Lembah Neraka, sedikit terkejut saat
mengetahui sosok di sampingnya. Namun perempuan tua itu tenang-tenang sa-
ja. Sementara Tengkorak Berjubah hanya mengu-
sap-usap tulang dagunya. Sepasang matanya meman-
dang liar pada Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning segera bangkit. Namun sebelum membuka mu-
lut, Tengkorak Berjubah telah mengertakkan tulang
bibirnya. "Jangan coba-coba menghalangiku, jika tak in-
gin tubuh kalian hangus masuk ke dalam dataran pa-
sir!" ancam Tengkorak Berjubah dengan suara parau dan serak.
Dayang Lembah Neraka memandang muridnya.
Dan Putri Tunjung Kuning pun menganggukkan kepa-
la. "Kau terlalu sombong, Orang Tua! Namun aku
senang! Silakan berbuat sekehendakmu. Kami tak
akan menghalangi. Kami hanya ingin menonton!" kata Putri Tunjung Kuning.
Tengkorak Berjubah mengerdip-ngerdipkan se-
pasang mata merahnya.
"Setelah urusan ini selesai, aku ingin menikma-ti kehangatan tubuhmu!" kata
batin Tengkorak Berjubah. Habis berkata, Tengkorak Berjubah mendon-
gakkan kepala, seraya mengeluarkan suara tawa ber-
gelak yang memekakkan telinga.
"Ha... ha... ha...!"
Diam-diam Dayang Lembah Neraka dan Putri
Tunjung Kuning tersentak. Sosok berjubah di hadapan mereka ternyata mempunyai
tenaga dalam sangat tinggi yang tersalur lewat suara tawanya.
Begitu suara tawanya berhenti, tanpa meman-
dang lagi pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tun-
jung Kuning, Tengkorak Berjubah melangkah ke arah
mulut gua. "Gua inilah tempat benda pusaka kitab dan ki-
pas itu! Hm.... Sebentar lagi aku akan jadi raja diraja dunia persilatan...!"
gumam Tengkorak Berjubah begitu sampai di samping mulut gua.
Sejenak laki-laki berwajah tengkorak itu berpal-
ing pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning. Bibirnya bergerak-gerak menggambarkan se-
nyuman mengejek. Namun gerakan bibirnya tiba-tiba
lenyap, ketika dari dalam gua terdengar suara mendesis.
"Huh!"
Sambil mendengus Tengkorak Berjubah segera
meloncat menjauh. Karena, dia merasakan adanya ge-
taran dahsyat. Sepasang mata Tengkorak Berjubah kontan
membeliak. Pandangannya langsung dialihkan pada
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning.
Dan laki-laki berwajah tengkorak hanya mendengus
keras, karena saat ini kedua orang itu tengah tersenyum. Malah, Dayang Lembah
Neraka tertawa terba-
hak-bahak "Jahanam! Apa yang ditakutkan!" bentak Tengkorak Berjubah, seraya mengarahkan
pandangan pada mulut gua. Dan sebelum gema suara bentakannya lenyap,
kedua tangan Tengkorak Berjubah telah bergerak
mendorong ke depan.
Wess...! Seketika selarik sinar hitam melesat ke arah
mulut gua. Dan...
Bumm...! Terdengar dentuman dahsyat, ketika sinar hi-
tam itu melabrak mulut gua yang kontan terbongkar.
Sehingga, lobang masuk gua makin membesar. Teng-
korak Berjubah menunggu sejenak. Merasa tidak ada
suara desisan dan tidak ada getaran, segera kakinya melangkah.
Hampir tiba di mulut gua, tiba-tiba Tengkorak
Berjubah melesat masuk. Namun baru saja menjejak-
kan kaki di dalam lorong, dari arah dalam terdengar
suara mendesis. Sementara getaran dahsyat terasa
menghentak. Karena tidak mungkin lagi kembali keluar,
Tengkorak Berjubah segera menghantamkan kedua
tangannya ke depan
Wesss...! "Heh"!"
Namun wajah Tengkorak Berjubah mendadak
berubah. Ternyata hantaman tangannya tidak bisa
membendung getaran-getaran yang terasa semakin
lama semakin keras.
Tubuh Tengkorak Berjubah kontan terseret ke
mulut gua. Disertai bentakan sengau, tubuhnya mem-
buat gerakan berputar ke atas. Dan begitu kakinya
menjejak kembali lantai gua, kedua tangannya kembali menghantam ke depan.
Wess...! Sementara pada saat yang sama, dari dalam
gua kembali terdengar desisan dan getarannya sema-
kin dahsyat. Karena separo tenaga dalamnya dikerahkan,
maka kali ini Tengkorak Berjubah mampu bertahan.
Namun tidak lama kemudian getaran-getaran itu ter-
nyata semakin hebat. Dan ini membuat tubuhnya se-
dikit goyah. Bahkan makin lama terseret, lalu terbanting ke lorong dan mencelat
ke luar gua! Hebatnya, meski tubuhnya telah terkapar di
tanah dan jubah hitam besarnya robek di bagian dada, Tengkorak Berjubah seakan
tak merasakan sakit. Segera dia bangkit dan kembali melangkah ke arah mulut gua.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning melotot hampir tak percaya melihat daya tahan tubuh Tengkorak Berjubah.
Dalam hati kecil mereka,
menyeruak perasaan khawatir.
"Dalam lorong gua kulihat ada lobang-lobang di samping kanan dan kiri. Dengan
cara memasuki lobang-lobang itu, kurasa aku dapat menghindari geta-
ran-getaran gila ini!" kata batin Tengkorak Berjubah.
Ketika tiba di samping mulut gua, Tengkorak
Berjubah memejamkan kedua matanya. Lalu sesaat
kemudian matanya terbuka kembali. Saat itulah tu-
buhnya mendadak melesat masuk, dan langsung me-
nyelinap masuk ke lobang di lorong gua.
Desisan dahsyat dan getaran-getaran kembali
terasa menghentak. Namun tubuh Tengkorak Berjubah
kali ini luput dari sasaran.
"Kali ini aku berhasil!" gumam Tengkorak Berjubah. Laki-laki berwajah tengkorak
ini segera meloncat ke lobang di seberang. Begitu seterusnya, hingga tanpa
mendapat halangan lagi ia bisa mencapai ujung lorong gua.
Beberapa saat Tengkorak Berjubah memandang
ke sekeliling. Dan ketika sepasang matanya tertumbuk pada benda yang melipat dan
melingkar ke atas, serta cahaya kemerahan yang menerangi ruangan, laki-laki
tua ini tersentak kaget.
"Ular Naga!" sentak Tengkorak Berjubah seraya memandang tak berkedip.
Sepasang mata Tengkorak Berjubah lebih
membeliak lebar, tatkala pandangannya menelusuri
kepala Ular Naga dan terhenti di atasnya! Tepatnya, ke arah kitab dan kipas yang
tertancap. "Dua pusaka itu!" seru Tengkorak Berjubah ter-lonjak. Meski demikian Tengkorak
Berjubah belum be-
rani menampakkan diri dan tetap bersembunyi di da-
lam lobang lorong. Hatinya masih khawatir dan was-
was. Namun ketika sepasang mata Ular Naga itu per-
lahan menutup hingga membuat keadaan menjadi ge-
lap, tubuhnya segera melesat keluar dari lobang.
Karena keadaan gelap, begitu menginjakkan
kaki ke lantai ruangan tempat Ular Naga berada, Tengkorak Berjubah memasang
telinganya tajam-tajam.
Dan setelah ditunggu agak lama desisan dan getaran-
getaran tak lagi terasa, kakinya mulai melangkah
mendekati Ular Naga. Tanpa menunggu lama lagi, tu-
buhnya segera melesat ke atas, berusaha menggapai
kitab dan kipas di kepala Ular Naga.
Namun baru saja tubuh Tengkorak Berjubah
melayang, sepasang mata Ular Naga membuka kemba-
li. Sehingga suasana tampak terang kemerahan.
Tengkorak Berjubah terkejut. Namun tubuhnya
tetap bergerak ke atas. Begitu mencapai atas kepala Ular Naga, kedua tangannya
segera menjulur menyambar kitab dan kipas yang menancap di kepala bi-
natang aneh ini.
"Heh"!"
Kembali laki-laki berwajah tengkorak ini seje-
nak dibuat tak percaya dengan apa yang dialaminya.
Karena meski telah mengeluarkan seluruh tenaga da-
lamnya, kitab dan kipas itu tak kuasa ditarik dari kepala Ular Naga. Bahkan
tatkala kepala binatang aneh itu bergoyang terkena bias sentakan-sentakan kedua
tangannya, tubuh Ular Naga itu menggeliat.
Tengkorak Berjubah tercekat. Karena ketika bi-
natang itu menggeliat, terdengar desisan. Dan dari tubuh Ular Naga keluar asap
hitam berkilat menyambar
ke arahnya disertai suara gemuruh dahsyat.
Buru-buru Tengkorak Berjubah melepaskan
kedua tangannya dari cekalan pada kitab dan kipas.
Namun hatinya kembali tercengang, karena kedua
tangannya bagai lengket dan tak bisa dilepas.
Tapi tokoh sesat berkepandaian sangat tinggi
ini tak mau begitu saja menyerah. Sebelum asap hitam redup menghantam, sepasang
kakinya digerakkan
berputar-putar, membuat jubah hitamnya berkibar-
kibar mengeluarkan suara menggeledek.
Werr...! Werrr...!
Angin kencang berputar-putar segera melin-
dungi tubuh Tengkorak Berjubah. Hingga untuk bebe-
rapa saat, sambaran asap hitam yang kini datang
sambar menyambar, dapat ditahannya.
Waktu terus berlalu.
"Brengsek! Kedua kakiku telah pegal dan kese-
mutan!" rutuk Tengkorak Berjubah. "Aku tak bisa terus bertahan. Tenagaku telah
terkuras!"
Disertai bentakan sengau, Tengkorak Berjubah
cepat memutar tubuhnya. Dan dengan tiba-tiba saja,
kedua kakinya bergerak menukik menghantam kepala
Ular Naga. Dukk! Dukk! Kepala Ular Naga yang bertumpu pada lipatan
tubuhnya paling atas itu bergoyang sedikit. Namun
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa diduga sama sekali, kepala binatang itu men-
dongak ke atas. Akibatnya, tubuh Tengkorak Berjubah ikut terhempas, karena kedua
tangannya belum lepas
dari kitab dan kipas.
Tengkorak Berjubah mencoba menahan ayunan
tubuhnya yang terbawa dongakan kepala Ular Naga.
Tapi, ternyata hempasan kepala itu lebih kuat dan cepat. Maka tanpa ampun lagi,
tubuh Tengkorak Berju-
bah terhempas menghantam tubuh Ular Naga.
Brakk! "Keparat!"
Tengkorak Berjubah mengeluarkan makian.
Karena, tubuh Ular Naga itu selain mengeluarkan asap hitam redup, ternyata juga
mengandung hawa panas
yang menjilat. Pada saat yang tepat pegangan kedua tangan
Tengkorak Berjubah pada kitab dan kipas terlepas.
Hingga tubuhnya kontan menukik deras ke bawah.
Namun belum sampai tubuhnya menghantam tanah
lantai ruangan, asap hitam redup sudah melesat dari tubuh Ular Naga, meluruk ke
arahnya. *** Sementara itu di luar sana, Dayang Lembah
Neraka dan Putri Tunjung Kuning semakin tidak tenteram menunggu.
"Guru! Menurutmu, apakah orang tua itu akan
berhasil?" tanya Putri Tunjung Kuning memecah suasana tegang yang menyelimuti.
"Tunjung Kuning! Tengkorak Berjubah adalah
tokoh silat jajaran atas yang kedigdayaannya tidak di-ragukan lagi. Namun untuk
menghadapi Ular Naga itu, aku sendiri masih belum yakin!" sahut Dayang Lembah
Neraka, gamblang.
"Tapi sudah sekian lama dia tak keluar-keluar
lagi. Jangan-jangan...."
"Kau tak perlu cemas, Tunjung Kuning! Jika dia benar-benar berhasil, bagi kita
jalan untuk merebut kitab dan kipas itu lebih mudah!" selak Dayang Lembah
Neraka, sambil melirik tajam. Sementara bibirnya menyungging seulas senyum.
"Apakah Guru yakin bisa mengalahkan Tengko-
rak Berjubah?" tanya Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka tidak segera menjawab.
Sepasang matanya beralih memandang ke arah mulut
gua. "Ketahuilah, Tunjung Kuning. Tingkat kepandaian Tengkorak Berjubah memang
telah diketahui
semua orang. Namun di satu pihak, dia mempunyai
kelemahan. Dia menyukai perempuan muda! Dan ke-
lemahan inilah yang akan kita manfaatkan!"
Paras Putri Tunjung Kuning kontan berubah
merah. Tak dapat dibayangkan jika harus melayani
nafsu Tengkorak Berjubah. Diam-diam tubuhnya men-
geluarkan keringat dingin serta tengkuknya merinding.
Ucapan Dayang Lembah Neraka secara tak langsung
menempatkan dirinya pada keadaan sulit.
"Perempuan tua ini rupanya masih menjadi-
kanku sebagai umpan...," kata Putri Tunjung Kuning dalam hati. "Tapi jangan
harap kau bisa membodohi-ku!" Selagi Putri Tunjung Kuning membatin, dari dalam
gua terdengar desisan dahsyat, lalu disusul jeritan sengau. Lalu tak lama
kemudian, dari mulut gua tampak tubuh Tengkorak Berjubah mencelat keluar. Begi-
tu menyentuh tanah, tubuhnya terkapar dengan jubah
hangus dan robek tak karuan. Dari mulutnya terden-
gar erangan panjang sengau dan serak.
"Kau terlalu sombong, Tua Bangka! Biar tak ja-
di duri, kukirim sekalian kau ke neraka! Hih...!"
Dayang Lembah Neraka segera menghantam-
kan kedua tangannya ke arah tubuh Tengkorak Berju-
bah yang masih menggeletak. Karena hantaman tan-
gannya yang dialiri tenaga dalam dan dilakukan dari jarak dekat, maka sekali
terhantam tubuh Tengkorak
Berjubah pasti akan hancur tak berkutik lagi.
Namun tatkala hantaman kedua tangan
Dayang Lembah Neraka sejengkal lagi menggebrak tu-
buh Tengkorak Berjubah, dari arah samping melesat
selarik sinar merah membawa suara angin menderu.
Lalu.... Splash!
Hantaman kedua tangan Dayang Lembah Nera-
ka kontan terpapasi, dan membelok ke samping me-
nerpa tempat kosong.
Blarr! Terdengar suara menggelegar dahsyat begitu
hantaman Dayang Lembah Neraka melabrak tanah ko-
song. "Jahanam busuk!" bentak Dayang Lembah Neraka. "Setan siapa yang berani
kurang ajar, he..."!"
Dayang Lembah Neraka segera berpaling ke
samping. Demikian juga Putri Tunjung Kuning. Dan
mereka berdua serentak terkesiap.
Sepuluh tombak di samping mereka, tampak
seorang pemuda tampan tengah berdiri tegak. Tubuh-
nya kekar dan tegap. Rambutnya panjang dan dikun-
cir. Sepasang matanya menyorot tajam dengan bibir
tersenyum menyeringai. Di telinga kirinya tampak melingkar sebuah anting-anting
berwarna kuning. Pemu-
da ini mengenakan jubah berwarna merah menyala.
*** 8 Sosok tubuh kekar dan tegap dengan jubah
merah yang baru datang ini menyeringai garang. Lalu kakinya melangkah perlahan,
mendekati Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Tiga tombak di depan
kedua orang ini, pemuda berjubah merah ber-
henti. Dia berdiri tegak kokoh sambil berkacak pinggang. Sementara sepasang
matanya tak berkedip me-
nelusuri tubuh Putri Tunjung Kuning.
"Siapa gerangan pemuda ini?" kata batin
Dayang Lembah Neraka.
Perempuan tua itu memperhatikan dengan sek-
sama pemuda di hadapannya dari ujung rambut hing-
ga kaki. Sedangkan Putri Tunjung Kuning yang merasa tubuhnya ditatap demikian
rupa, segera membuang
muka disertai suara lenguhan perlahan.
"Siapa kau, Bocah... "!" bentak Dayang Lembah Neraka, kasar.
Sosok berjubah merah yang tak lain Malaikat
Berdarah Biru memalingkan wajahnya. Pandangannya
diarahkan ke mulut gua yang tampak porak poranda.
"Tua bangka! Dengar baik-baik! Kau tak pantas
mengajukan pertanyaan padaku! Justru kaulah yang
harus menjawab pertanyaanku!" dengus Malaikat Berdarah Biru tanpa memandang pada
Dayang Lembah Neraka. Habis berkata demikian, Malaikat Berdarah Bi-ru mengibaskan jubahnya ke
belakang. Wess...! Seketika serangkum angin menderu tajam me-
Pedang Medali Naga 5 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 2
Putri Tunjung Kuning melirik dengan kening berker-
nyit. "Belum tentu, Guru. Sebaiknya kita menyelidik tempat tinggalnya...!
Bukankah tempat tinggalnya di batu karang yang berlobang itu?" sergah Putri
Tunjung Kuning sambil mengarahkan telunjuknya pada batu
karang yang menjulang dan tampak berlobang.
Dayang Lembah Neraka mengangguk.
"Namun, biasanya Guru menyambut murid-
muridnya dengan duduk di mulut lobang itu!" tukas Dayang Lembah Neraka.
Sepasang mata perempuan tua itu berputar
menyapu keadaan sekeliling.
"Kurasa ucapanmu ada benarnya. Kita menye-
lidik ke dalam batu karang!" sambung Dayang Lembah Neraka.
Dan belum selesai kata-katanya, perempuan
tua itu telah berkelebat diikuti Putri Tunjung Kuning.
Kedua orang ini lantas mengitari samping batu
karang, namun tidak menemukan siapa-siapa.
"Kita menyelidiki ke dalam!" ajak Dayang Lembah Neraka sambil berpaling pada
Putri Tunjung Kun-
ing. Putri Tunjung Kuning mengangguk. Mereka
lantas berkelebat masuk ke dalam batu karang mele-
wati lobang. Dan nyatanya, di sini pun tidak menemukan siapa-siapa. Namun untuk
meyakinkan, beberapa
saat mereka berputar-putar di dalam ruangan batu karang ini.
"Lihat!" teriak Putri Tunjung Kuning tiba-tiba
sambil menunjuk ke tembok yang terdiri dari batu karang. Dayang Lembah Neraka
melangkah ke arah
dinding batu karang yang baru saja ditunjuk Putri
Tunjung Kuning. Di situ tertera tulisan dari guratan ja-ri. Jelas penulisnya
menggunakan tenaga dalam saat
menggores dinding karang ini.
"Dua belas langkah dari tengah ke sebelah ba-
rat," sebut Dayang Lembah Neraka, membaca tulisan itu.
Kedua orang ini saling pandang.
"Aku tidak lupa, itu tulisan tangan Guru!" gumam Dayang Lembah Neraka.
Sementara Putri Tunjung Kuning hanya men-
gangguk-angguk, mengiyakan.
"Dua belas langkah dari tengah ke sebelah ba-
rat!" desis Dayang Lembah Neraka, mengulangi tulisan yang tertera di dinding.
Dahi Dayang Lembah Neraka sejenak berker-
nyit. Lantas kakinya melangkah ke tengah-tengah
ruangan. Begitu berhenti, tubuhnya dihadapkan ke
arah barat. Lantas perlahan-lahan kakinya kembali
melangkah sambil menghitung. Sampai pada hitungan
kedua belas, langkahnya berhenti lagi. Untuk beberapa saat ia berdiri tegak.
Sementara Putri Tunjung Kuning memperhatikan dari tempatnya semula.
Selang beberapa saat, Dayang Lembah Neraka
terlihat menghentak-hentakkan kaki kanannya pada
lantai batu karang di bawahnya. Dan begitu sepasang kakinya menghentak
bersamaan.... Derrr...! Ruangan batu karang itu bergetar hebat.
Dan.... Brulll!
Lantai batu karang yang terhentak sepasang
kaki Dayang Lembah Neraka kontan ambrol. Namun
sebelum tubuh perempuan tua itu ikut amblas ke ba-
wah, ilmu meringankan tubuhnya segera dikerahkan
dengan teriakan melengking. Tubuhnya mendadak ba-
gai tertiup hembusan angin kencang dari bawah lantai batu karang yang ambrol,
dan melayang kembali ke
atas ruangan, lalu mendarat ringan di pinggir lobang yang tercipta.
"Ada ruangan di bawah sana!" seru Putri Tunjung Kuning, setelah mendekat.
Dayang Lembah Neraka mengangguk.
"Kita turun ke ruangan bawah!" ujar Dayang Lembah Neraka.
Mereka lantas berlompatan masuk ke bawah
melalui lantai yang ambrol.
"Meski tak ada pintu dan sinar lampu di sini
keadaannya terang benderang...," kata hati Putri Tunjung Kuning, begitu mendarat
di ruangan bawah.
Mereka lantas menyapukan pandangan masing-
masing ke seluruh ruangan, seraya melangkah berpu-
tar. Namun mendadak langkah Dayang Lembah Nera-
ka terhenti. "Ahh...!"
Sementara Putri Tunjung Kuning terhenyak ke-
tika sepasang kakinya ditarik dua tindak ke belakang.
Dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Di pojok ruangan yang tampak sedikit redup,
tampak duduk bersandar sesosok tubuh manusia.
Rambutnya panjang dan putih. Hingga dalam keadaan
duduk, rambut itu menjuntai ke lantai ruangan dan
sebagian terlihat berkibar-kibar bagai tertiup angin.
Sementara, sebagian lagi seolah tak terhembus! Wajah sosok ini sangat pias.
Namun sedikit pun tak terlihat lipat-lipat kerutan. Pakaiannya warna coklat yang
su- dah tak kumal dan dekil. Tubuhnya hampir separo su-
dah doyong ke depan, pertanda usianya sudah sangat
tua. "Guru!" panggil Dayang Lembah Neraka seraya menghambur dan menjatuhkan diri di
depan sosok yang duduk di pojok ruangan.
Putri Tunjung Kuning tercekat. Namun buru-
buru ia menghambur dan menjatuhkan diri di samping
Dayang Lembah Neraka.
Sosok laki-laki tua yang tak lain memang guru
Dayang Lembah Neraka yang bergelar Manusia Karang
batuk-batuk lantas buka mulut.
"Dayang! Kau datang bersama muridmu, bekas
anak didik saudaramu. Bagus!"
Sewaktu buka mulut, rambut panjang si Manu-
sia Karang yang tadi berkibar-kibar mendadak berhen-ti.
"Guru!" ujar Dayang Lembah Neraka. "Kami datang memenuhi panggilanmu! Harap kau
beri tahu, apa gerangan maksudmu!"
Manusia Karang membuka kelopak matanya,
memandang satu persatu silih berganti pada Dayang
Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Lantas ke-
palanya tampak mengangguk perlahan.
"Ketahuilah, murid dan cucuku!" kata Manusia Karang, memanggil cucu pada Dayang
Lembah Neraka. "Hari-hariku kurasa sudah mencapai titik ujung. Namun sebelum aku pergi untuk
selamanya, ada sesuatu
yang mungkin dapat mengobati rasa jenuh dan kepu-
tusasaan selama hidupku ini. Walau bukan aku yang
bakal memilikinya, namun jika ada di antara kalian
yang berhasil sudah cukup membuatku damai di alam
baka." Sesaat Manusia Karang menghentikan ucapan-
nya. Ia kembali terbatuk-batuk, membuat tubuhnya
makin melengkung ke depan hampir mencapai kedua
lututnya. "Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan
kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara yang selama
ini Guru tugaskan padaku dan Dewi Kuning untuk
melacaknya?" tanya Dayang Lembah Neraka.
Manusia Karang untuk beberapa lama tidak
menjawab. Ia tampak berusaha mengatur jalan napas-
nya yang tersendat-sendat. Raut wajahnya makin pias.
"Benar, muridku! Dalam hari-hari terakhirku,
aku mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk
mencari tahu tentang kitab dan kipas itu. Dan nya-
tanya, usahaku tak sia-sia. Dalam alam bawah sadar-
ku, aku telah dapat mengetahui kitab dan kipas itu!"
jelas si Manusia Karang.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning saling berpandangan satu sama lain. Bibir mereka menyungging seulas
senyum. "Murid dan cucuku! Meski dalam alam bawah
sadarku tidak dapat kutangkap jelas isyarat siapa yang akan mendapatkan kitab
dan kipas itu, namun tidak
ada salahnya jika kalian berdua berusaha menda-
patkannya! Bukankah kalian berdua masih mengin-
ginkan kitab dan kipas itu" Sebagai syarat utama untuk merajai rimba
persilatan...?"
"Betul, Guru! Kami memang ingin menda-
patkannya. Tapi ini demi berlangsungnya keturunan
kami, juga demi nama besar Guru! Sekarang, harap
Guru memberi petunjuk tempat kitab dan kipas itu!"
ujar Dayang Lembah Neraka, tak sabar.
"Hm.... Pergilah ke Dusun Pagedangan. Di sana
ada sebuah dataran berpasir luas yang memisahkan
sungai kecil dan sebuah bukit. Di balik bukit itu, akan
kalian temui sebuah gua. Di sanalah kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara itu
berada...," jelas si Manusia Karang. Kembali Manusia Karang menghentikan
ucapannya. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Tapi firasatku mengatakan, untuk memasuki
gua itu dibutuhkan tenaga dan kepandaian tersendiri.
Karena dari dalamnya aku menangkap sesuatu kekua-
tan yang tidak terlihat mata!"
Paras Dayang Lembah Neraka dan Putri Tun-
jung Kuning serentak berubah
"Setan belang macam apa pun yang mengha-
langi, aku tidak akan mundur!" desis Putri Tunjung Kuning dalam hati.
"Kurasa petunjukku sudah cukup. Aku hanya
bisa menunggu kedatangan kalian di sini!"
Habis berkata, kedua mata Manusia Karang ini
lantas memejam. Dan sebagian rambutnya yang pan-
jang kembali berkibar-kibar.
Putri Tunjung Kuning sejenak memperhatikan
dengan kening berkernyit. Lantas kepalanya berpaling pada Dayang Lembah Neraka,
hendak bertanya. Namun belum sampai membuka mulut....
"Itulah pertanda kalau Guru telah kembali
tenggelam dalam semadinya! Dibentak dan dihajar
pun, dia tidak akan bergeming!" jelas Dayang Lembah Neraka, seperti bisa membaca
jalan pikiran Putri Tunjung Kuning.
"Sekarang bagaimana...?" tanya Putri Tunjung Kuning dengan mata masih mengawasi
si Manusia Karang. "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Kita langsung menuju Dusun
Pagedangan. Jangan sampai ada orang
lain yang mendahului!"
Belum usai berkata, Dayang Lembah Neraka
lantas menjura pada Manusia Karang, diikuti Putri
Tunjung Kuning. Si Manusia Karang tidak bergeming.
Perempuan tua itu bangkit, disusul Putri Tunjung
Kuning. *** 5 Langit di atas Dusun Pagedangan tampak dis-
emaraki gumpalan awan hitam yang berarak rapat ke
arah barat. Angin kencang yang menebar hawa dingin
berhembus, menciptakan suara menggiriskan. Guntur
terdengar bersahutan ditingkahi sambaran kilat, me-
nambah suasana makin mengerikan. Matahari yang
seharusnya mengintip dari bentangan kaki langit sebelah timur, tak mampu
menembus gumpalan awan hi-
tam. Di saat yang demikian, Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning sudah menjejakkan kaki
masing-masing di tepi dataran pasir luar yang memi-
sahkan sebuah sungai kecil dengan sebuah bukit.
Untuk beberapa saat, mereka berdiri tegak. Pa-
ras masing-masing diselimuti keheranan. Dahi kedua-
nya tampak membentuk lipatan kecil, pertanda berpi-
kir keras. Sementara sepasang mata mereka tak kedip memandang ke dataran pasir.
Memang ada satu keanehan. Meski dekat sebuah sungai dan suasana dingin mencekam,
namun dari dataran berpasir itu tampak
kepulan asap! Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning saling berpandangan sejenak.
"Dataran pasir aneh!" gumam Dayang Lembah Neraka. "Tapi bagaimanapun, kita harus
melewatinya. Kukira di balik bukit itu tempat yang dimaksud Guru!"
"Benar! Kita harus bergerak cepat, sebelum ada orang yang mendahului!" sahut
Putri Tunjung Kuning seraya melangkah ke arah dataran pasir.
Sampai beberapa langkah, Putri Tunjung Kun-
ing hanya merasakan hawa hangat menjalari sepasang
kakinya saat menginjak dataran yang mengepul. Tapi
hawa itu semakin panas, begitu melangkah makin ke
tengah. Dan mendadak...
"Auw...!"
Putri Tunjung Kuning keluarkan seruan terta-
han, ketika sepasang kakinya tiba-tiba bagai terjilat api dan tersedot ke dalam
pasir. Seketika gadis ini menarik pulang kakinya.
Namun sedotan dari dalam pasir itu begitu kuat,
membuat tubuhnya sedikit demi sedikit melorot masuk ke dalam pasir.
Pada saat itu, Dayang Lembah Neraka segera
berkelebat saat mengetahui gelagat tidak baik. Langsung diraihnya tangan Putri
Tunjung Kuning.
"Tunjung Kuning! Bertahanlah! Kurangi bobot
tubuhmu!" teriak Dayang Lembah Neraka, seraya me-nyalurkan tenaga dalam untuk
mengangkat tubuh Pu-
tri Tunjung Kuning.
Sesaat tubuh Putri Tunjung Kuning tak ber-
geming. Tapi tatkala Dayang Lembah Neraka menam-
bah tekanan tenaga dalam, sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat. Begitu tubuh
Putri Tunjung Kuning lolos dari sedotan, keduanya cepat membuat gerakan
berputar ke belakang sebanyak dua kali di udara. Lalu mantap sekali kaki mereka
mendarat kembali di tepi
dataran. "Dataran pasir gila!" rutuk Putri Tunjung Kuning dengan mata terbelalak.
Ternyata baju bagian bawah Putri Tunjung Kuning telah hangus. Kulit bagian bawah
tubuhnya yang tadi masuk ke dalam dataran
tampak memerah, seakan baru saja digarang api.
"Kita harus cari jalan. Dataran pasir ini terlalu luas untuk diloncati!" ujar
Dayang Lembah Neraka tanpa menoleh. Sepasang matanya berputar liar ke
sekeliling. "Bagaimana kalau kita berputar melalui hulu sungai?" usul Putri
Tunjung Kuning, seraya menunjuk hulu sungai yang tampak membelok di ujung sana.
"Tak ada gunanya. Lihat! Bukit itu ternyata di-kelilingi dataran pasir. Jadi,
dari mana pun kita datang, harus melewati dataran pasir gila ini!" tukas Dayang
Lembah Neraka. Memang, ketika awan gelap sedikit demi sedikit
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai terusir, suasana jadi agak terang. Dan terlihat jelas kalau bukit di
seberang itu berada di tengah-tengah dataran pasir.
"Hm.... Tak ada jalan lain. Seluruh tenaga ha-
rus dikerahkan untuk meluncur di atas dataran pasir ini!" gumam Dayang Lembah
Neraka setelah agak lama termenung.
"Tapi kita memerlukan alas untuk meluncur di
atasnya! Tidak mungkin terus meluncur tanpa alas,
karena hamparan pasir ini terlalu luas!" ujar Putri Tunjung Kuning.
"Benar! Tapi kau lihat sendiri, di sekitar kita tak ada sesuatu yang bisa
dipakai untuk alas. Jangan-kan kayu. Daun pun tidak ada!"
Sepasang mata Putri Tunjung Kuning memper-
hatikan ke sekeliling. Dan nyatanya di situ memang tidak ada sebuah pohon pun.
Yang tampak hanyalah
dataran pasir dan sungai kecil yang ditumbuhi rum-
put-rumput kering.
Dayang Lembah Neraka lantas memperhatikan
pakaian bawahnya. Tangan kanannya bergerak, hen-
dak merobek. "Guru!" kata Putri Tunjung Kuning, buru-buru mencegah. "Lebih baik pakaian
bawahku yang telah hangus ini!"
Tangan Putri Tunjung Kuning telah bergerak
merobek pakaian bawahnya dengan arah melingkar
sebatas paha. Sehingga pahanya yang putih mulus terlihat jelas.
Begitu robekan pakaian itu luruh, Dayang
Lembah Neraka cepat mengambilnya. Dan secepat itu
pula kain ini dikoyak memanjang, hingga membentuk
persegi agak lebar.
"Kau siap, Tunjung Kuning?" tanya Dayang
Lembah Neraka, sambil meletakkan kain di bawah.
Putri Tunjung Kuning mengangguk. Mereka
lantas berdiri berdampingan di atas robekan pakaian.
Kedua orang ini lantas memejamkan mata masing-
masing dengan tangan sedekap di depan dada. Begitu
kelopak mata membuka lagi, Dayang Lembah Neraka
mengangguk memberi isyarat.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, mereka melesat
cepat bagai tertiup angin di atas dataran, saat mereka sampai di tengah-tengah
dataran. Guru dan murid ini masih khawatir bila terjadi sesuatu yang tak
diingin-kan. Namun keduanya, tampak menarik napas lega
begitu apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Begitu mencapai kaki bukit, Dayang Lembah
Neraka dan Putri Tunjung Kuning berhenti meluncur.
Sementara Putri Tunjung Kuning memandang ke seke-
liling, perempuan tua itu berjongkok. Tangan kanan-
nya diulurkan pada hamparan pasir. Mula-mula
Dayang Lembah Neraka merasakan hawa hangat. Tapi
begitu menyentuh pasir, wajahnya. Dan...
"Aakh...!"
Dari mulut perempuan tua itu terdengar jeritan
kecil. Secepat kilat tangannya ditarik kembali. Lantas dia berdiri dengan
sepasang mata mendelik. Sedangkan Putri Tunjung Kuning langsung menoleh, meman-
dangnya. "Benar-benar gila!" umpat Dayang Lembah Neraka. "Tapi, aku tahu sekarang.
Dataran pasir ini akan menyedot tenaga seseorang, jika anggota tubuhnya
bersentuhan langsung! Hm.... Hampir tak dapat dipercaya!" Mereka lantas
melangkah mengeliling kaki bukit. Masing-masing kini terhanyut dalam
kebisuannya. Tiba di suatu tempat, langkah mereka terhenti. Tak berapa jauh di depan samar-
samar terlihat mulut gua
yang diselimuti asap hitam tipis.
Dengan senyum lebar mereka melangkah men-
dekat, dengan arah menyamping. Dari sini keduanya
baru agak jelas kalau ternyata mulut gua itu lebar.
Hanya saja, mereka tak dapat melihat jelas ke dalam.
Hanya samar-samar terlihat bahwa gua itu memben-
tuk lorong panjang terselimut asap hitam tipis.
Sesaat kedua orang ini berdiri di samping mu-
lut gua. Tapi, tiba-tiba daun telinga Dayang Lembah Neraka tertarik ke atas.
Sementara kedua matanya
terpejam rapat.
"Apa yang dikatakan Guru benar!" kata Dayang Lembah Neraka begitu matanya
terbuka kembali. "Aku merasakan suatu kekuatan yang tak bisa dijabar-kan...."
"Berarti, di dalam ada orang! Mungkin pemba-
wa kitab dan kipas itu!" kata Putri Tunjung Kuning, menduga-duga.
"Bisa jadi begitu. Namun jika yang di dalam ada orang pasti dari jenis manusia
aneh dan sakti. Kau lihat mulut gua itu! Sarang laba-laba begitu merangas dan
tebal, menunjukkan telah beberapa tahun tak ada orang yang mengusik keluar dan
masuk ke dalam gua!" "Lantas, apa yang harus kita perbuat sekarang?" tanya Putri Tunjung
Kuning. "Kita langsung menyelidik ke dalam, tapi harus tetap waspada...! Siapkan pukulan
untuk menjaga ke-mungkinan...!" ujar Dayang Lembah Neraka sambil melangkah ke
dekat mulut gua sebelah kiri.
Putri Tunjung Kuning segera meloncat, dan me-
rapat ke mulut gua dari sebelah kanan.
Namun baru saja kepala masing-masing melon-
gok. Gua itu bergetar hebat bagai dilanda gempa!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning segera menarik kepala masing-masing, dan saling berpandangan. Lantas
pandangan mereka beralih
ke mulut gua, dengan mata membesar. Karena meski
tadi getaran terasa dahsyat, ternyata di sekitar gua, tak terasa sama sekali.
"Gila!" semprot Dayang Lembah Neraka.
Namun sepertinya perempuan tua ini masih ti-
dak begitu percaya. Kembali didekatinya mulut gua.
Dan kepalanya langsung melongok. Sementara Putri
Tunjung Kuning hanya tegak memandang.
Begitu kepala Dayang Lembah Neraka bergerak
melongok, getaran gempa terasa kembali. Cepat kepa-
lanya ditarik pulang. Dan bersamaan dengan itu, getaran gempa lenyap.
"Hm.... Getaran akan terasa jika ada sesuatu
yang mencoba masuk. Kekuatan apakah ini..." Gila!
Tapi bagaimanapun juga, aku harus segera masuk, se-
belum ada orang lain yang mendahului...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Perempuan tua ini kemudian menoleh ke arah
Putri Tunjung Kuning.
"Tunjung Kuning!" panggil Dayang Lembah Neraka. "Kerahkan seluruh tenagamu. Kita
masuk!" "Tapi, Guru...."
Gadis berbaju kuning ini mencoba memberi
usul. Namun belum sempat dia melanjutkan....
"Tunjung Kuning!" potong Dayang Lembah Neraka, membentak. "Dalam keadaan begini,
tak diperlu-kan kata tapi! Kerahkan seluruh tenaga. Kita lawan getaran itu!"
Walau dalam hati tak sependapat, tapi Putri
Tunjung Kuning tidak berani membantah. Segera selu-
ruh tenaga dalamnya dikerahkan. Sementara itu
Dayang Lembah Neraka telah kembali melangkah ke
dekat mulut gua. Segera tangan kanannya dilintang-
kan di depan mulut gua.
Glrrr...! Getaran terasa menghentak. Dayang Lembah
Neraka cepat menarik pulang tangan kanannya. Kepa-
lanya berpaling pada Putri Tunjung Kuning, memberi
isyarat agar bersiap.
Melihat gelagat, meski dengan hati berat, Putri
Tunjung Kuning menganggukkan kepala kalau juga te-
lah siap. Saat itulah, Dayang Lembah Neraka cepat
berkelebat. "Masuk!" teriak Dayang Lembah Neraka.
Putri Tunjung Kuning segera berkelebat mengi-
kuti Dayang Lembah Neraka masuk ke dalam gua.
Namun baru saja kaki masing-masing menjejak tanah,
getaran segera terasa menghentak. Bahkan mereka ju-
ga mulai merasakan gempuran angin dingin dan dah-
syat. Namun keduanya coba menahan dengan melipat-
gandakan tenaga dalam.
Untuk beberapa saat mereka memang berhasil
menahan getaran dan hawa dingin. Tapi begitu akan
mulai bergerak maju, getaran-getaran itu semakin
dahsyat, membuat keduanya tampak mulai goyah. Dan
tak lama kemudian....
"Aaah...!"
Terdengar seruan tertahan dari mulut Putri
Tunjung Kuning. Gadis itu kontan jatuh terjengkang
ke arah luar. Di lain pihak, Dayang Lembah Neraka masih
bertahan. Namun itu pun tidak lama. Getaran disertai kekuatan tenaga dorong yang
tak terlihat, kembali
menghentak. Tubuh perempuan tua itu terhuyung dan
oleng ke sana-kemari. Dan tak berselang lama, tubuhnya mental ke luar gua.
Di luar gua, kedua orang berbeda usia ini sege-
ra bangkit. Dayang Lembah Neraka mengeluarkan se-
rapah panjang pendek tak karuan. Namun ceracau
mulutnya segera terhenti. Dan mereka saling berpan-
dangan satu sama lain.
"Aahhh...!
"Ahh...!"
Kejap itu juga, keduanya hampir bersamaan
mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata wajah dan
pakaian mereka telah dibasahi cairan lendir!
Sambil menghentak-hentakkan kaki merasa ji-
jik, Putri Tunjung Kuning segera jatuhkan diri bergulingan di atas tanah.
Sementara Dayang Lembah Nera-
ka segera berkelebat mencari daun-daun untuk melap
sekujur tubuhnya.
Begitu lendir dapat dihilangkan, Putri Tunjung
Kuning melangkah ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Guru! Getaran itu terasa saat ada sesuatu
yang mencoba menghalangi lorong masuk. Dan geta-
ran itu tidak akan menghentak, jika mulai dari mulut gua, kita buat lobang untuk
menyelinap. Dengan
menghantam kanan kiri dinding gua, niscaya lorong
itu akan porak poranda dan membentuk lobang. Den-
gan lobang itulah kita bisa menyelinap!" usul Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka manggut-manggut.
"Anak ini cerdik juga!" puji perempuan tua ini dalam hati.
Dayang Lembah Neraka segera melangkah ke
mulut gua dari sebelah kiri. Kedua tangannya lalu didorong ke depan, menghantam
lorong gua sebelah ka-
nan. Glarrr...!
Terdengar dentuman. Pada saat yang sama, lo-
rong gua sebelah kanan kontan porak poranda, mem-
bentuk sebuah lobang.
Dayang Lembah Neraka sejenak menatap Putri
Tunjung Kuning, lalu memberi isyarat dengan anggu-
kan kepala. Tubuhnya lantas berkelebat masuk dalam
gua, menyelinap dalam lobang di lorong gua sebelah kanan. Sesaat Putri Tunjung
Kuning dan Dayang Lembah Neraka menunggu. Mereka menarik napas lega
tatkala getaran-getaran itu tak lagi terasa.
"Tunjung Kuning!" panggil Dayang Lembah Neraka. "Hantam lorong sebelah kiri!"
Putri Tunjung Kuning segera melangkah ke mu-
lut gua dari arah sebelah kanan. Lantas kedua tan-
gannya dihantamkan ke lorong gua sebelah kiri.
"Hih!"
Glarrr...! Kembali terdengar dentuman ketika kedua tan-
gan Putri Tunjung Kuning menghentak. Lorong gua
sebelah kiri porak poranda, membentuk sebuah lo-
bang. Dan tanpa menunggu lama lagi, Putri Tunjung
Kuning segera melesat dan menyelinap masuk ke lo-
bang lorong sebelah kiri. Kembali keduanya menung-
gu. "Kita berhasil! Kita terus bergerak maju dengan menghantam kiri-kanan lorong
gua!" ujar Dayang Lembah Neraka, ketika tak merasakan getaran lagi.
*** Pada hantaman kedua puluh sembilan, menda-
dak Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning
merasakan udara hangat dan keadaan sedikit terang.
Namun mereka sedikit heran, karena cahaya terang itu berwarna agak kemerahan.
Untuk beberapa saat mereka tidak berani ber-
gerak dari tempat masing-masing. Mereka khawatir ji-ka cahaya itu hanyalah
tipuan belaka. "Menunggu tanpa berusaha mengetahui akan
buang waktu...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Karena hingga menunggu sekian lama, keadaan di situ tidak berubah. "Lagi pula,
getaran itu tidak lagi terasa!"
Berpikir begitu, Dayang Lembah Neraka segera
memalangkan tangannya. Hampir saja dia melonjak
gembira, karena getaran itu memang tidak lagi meng-
hentak. Segera perasaan itu ditekannya.
Untuk meyakinkan diri, Dayang Lembah Nera-
ka mengangkat kaki kirinya dan dipalangkan. Ternya-
ta, getaran itu memang tidak lagi terasa menghentak!
Merasa keadaan aman, perlahan-lahan Dayang
Lembah Neraka keluar dari lobang lorong dengan tu-
buh merapat. Tapi, kedua tangannya tetap siap mele-
paskan pukulan. Dan dia menarik napas panjang keti-
ka getaran tidak terasa lagi!
Perempuan tua itu cepat melompat ke tengah
lorong. Dilambaikannya tangan pada Putri Tunjung
Kuning. Dan gadis itu segera keluar, menjajari Dayang Lembah Neraka.
Kini mereka sampai di ujung lorong yang
menghubungkan dengan sebuah ruangan dari batu
yang tidak begitu besar. Sepasang mata kedua orang
yang jauh berbeda usia ini lantas berputar berkeliling memperhatikan keadaan.
Dan.... "Heh"!"
"Oh...!"
Saat itu juga, mereka tercekat tatkala tiba-tiba
sinar kemerahan yang menerangi tempat itu perlahan
meredup, dan sesaat kemudian gelap!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning sama-sama berpaling, saling menatap. Namun
satu sama lain tak bisa saling melihat karena keadaan memang benar-benar gelap.
Selagi mereka berdua tercengang tak tahu ha-
rus berbuat apa, mendadak....
"Sss...!"
Terdengar suara mendesis seperti suara ular.
Namun karena tak ada angin sambaran, membuat me-
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
reka berdua yang telah siap menghantam sedikit lega.
Mereka segera menarik kembali tangannya. Bersamaan
dengan itu, perlahan-lahan pula keadaan di situ mulai terang oleh cahaya agak
kemerahan. Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning segera menyapukan pandangan mencari
sumber cahaya kemerahan.
"Heh"!"
Mereka berdua sedikit terkejut. Ternyata sepu-
luh tombak di depan mereka, terlihat dua benda merah mengapung. Dan cahaya
terang agak kemerahan memang bersumber dari dua benda itu.
"Aahh...!"
Dan mereka kontan mengeluarkan seruan lirih
tertahan, tatkala terlihat benda merah itu makin membesar. Kini suasana makin
benderang kemerahan,
hingga Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning bisa melihat agak jelas.
Mula-mula yang tampak adalah sesuatu di ba-
wah dua benda berwarna merah yang bergerak-gerak
mengeluarkan desisan. Begitu masing-masing membe-
sarkan mata, mereka baru jelas. Sesuatu itu ternyata sebuah moncong! Lalu,
tampak sebuah kepala. Dan
begitu dua benda merah itu berputar....
"Utss...!"
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning serentak meloncat ke belakang. Begitu menje-
jak tanah, mereka berdua seakan tak percaya dengan
pandangan masing-masing. Ternyata dua benda ber-
warna merah menyala itu adalah sepasang mata see-
kor ular besar yang tengah melingkar dengan kepala
bertumpu pada lingkaran tubuh paling atas.
"Menurut Guru, kitab dan kipas itu berada di
sini. Namun yang kita temukan seekor ular raksasa!
Apakah Guru membual..."!" desis Dayang Lembah Neraka seraya memandang tajam ke
arah ular yang tam-
pak membuka moncongnya.
"Sss...!"
Desisan dahsyat terdengar. Namun tak menge-
luarkan apa-apa, membuat Dayang Lembah Neraka
dan Putri Tunjung Kuning tetap tegak di tempat mas-
ing-masing. Ketika tak terasa getaran-getaran dan ular itu
tidak menyerang, Dayang Lembah Neraka dan Putri
Tunjung Kuning memberanikan diri melangkah men-
dekati. Namun sikap mereka tetap waspada.
"Brengsek! Tempat ini hanya ruangan kosong
yang dihuni Ular Naga sialan ini! Di mana kitab dan kipas itu...?"
Terdengar umpatan dan sumpah serapah dari
mulut Dayang Lembah Neraka, begitu telah mengeli-
lingi ruangan. Namun tiba-tiba sepasang mata Putri Tunjung
Kuning terbelalak. Dari arah samping, di mana saat ini Putri Tunjung Kuning
sedang berdiri, terlihat jelas dua benda hitam menancap di kepala ular.
"Guru! Ada benda yang menancap di kepala
ular itu!" teriak Putri Tunjung Kuning, seraya menunjuk.
Dengan wajah kesal bercampur geram. Dayang
Lembah Neraka berpaling ke arah kepala ular. Dan sepasang matanya, kontan
membesar dengan senyum
mengembang. "Hm.... Melihat bentuknya, yang sebelah kanan
adalah sebuah kitab. Sementara yang sebelah kiri adalah sebuah kipas yang
mengembang!" kata batin
Dayang Lembah Neraka.
Kemudian Dayang Lembah Neraka menatap Pu-
tri Tunjung Kuning dengan sinar mata cerah.
"Tunjung Kuning! Akhirnya kita mendapatkan-
nya! Cita-cita kita menjadi raja di dunia persilatan akan terwujud!"
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Putri Tunjung Kuning.
"Kita harus membunuh binatang itu!" kata
Dayang Lembah Neraka sambil melangkah dan siap le-
paskan pukulan ke arah ular.
"Guru, tunggu!" tahan Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka cepat mengurungkan
niat. Tubuhnya berbalik menghadap Putri Tunjung
Kuning. "Kulihat ular itu tak berbahaya. Buktinya dia tidak menyerang. Lebih
baik, langsung menyambar
dua benda itu tanpa mengusik. Dengan demikian, kita tak usah terlalu banyak
mengeluarkan tenaga. Lagi
pula kita belum tahu kekuatannya. Bukan tidak
mungkin Ular Naga itu menyimpan sebuah kekuatan!
Sejauh ini, kita belum tahu dari mana getaran-getaran tadi berasal!" papar Putri
Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka sedikit menyeringai.
Namun akhirnya kepalanya mengangguk. Lalu tubuh-
nya berbalik. Sementara Putri Tunjung Kuning tetap di tempatnya semula.
"Hm.... Bagaimanapun caranya, aku harus
mendapatkan kitab dan kipas itu! Tidak peduli harus berebut dengan Dayang Lembah
Neraka! Namun aku
tak boleh bertindak gegabah. Biarlah kutunggu dahu-
lu, apa yang akan dilakukannya!" kata Putri Tunjung Kuning dalam hati. Sementara
matanya tak berkedip
menatap Dayang Lembah Neraka yang kini telah tegak
berdiri mendongak.
Tanpa mengeluarkan suara sama sekali, men-
dadak tubuh Dayang Lembah Neraka melayang ke
udara, melewati lipatan-lipatan tubuh ular. Sementara, ular itu tetap diam.
Hanya sesekali mulutnya terbuka disertai desisan.
Begitu mencapai depan mulut ular, Dayang
Lembah Neraka menambah tekanan tenaga dalamnya.
Dan tubuhnya pun melesat cepat ke atas kepala ular.
Putri Tunjung Kuning hanya memperhatikan
dengan dada bergetar. Sepasang matanya membesar
dan menyipit. Paras wajahnya membersitkan perasaan
khawatir. Tentu saja khawatir jika Dayang Lembah Neraka benar-benar berhasil
mendapatkan kitab dan ki-
pas itu. "Keparat! Jika dia benar-benar berhasil, usahaku untuk merebutnya
memerlukan perhitungan yang
matang! Tapi apa boleh buat. Cara apa pun akan ku-
tempuh!" tandas batin Putri Tunjung Kuning.
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin, kedua
tangan Dayang Lembah Neraka telah berusaha mem-
betot kitab dan kipas di kepala ular. Karena, ternyata kedua benda itu seakan
tertancap dalam, hingga tidak mudah untuk dicabut.
"Bangsat! Padahal, kitab dan kipas ini hanya
menempel. Tapi, begitu diambil seperti terpaku!" gumam Dayang Lembah Neraka.
Saat itu juga, perempuan tua ini mengerahkan
seluruh tenaga dalam tingkat tinggi untuk membedol.
Namun sedemikian jauh, usahanya sia-sia. Kitab dan
kipas itu tak bergeming sedikit pun.
Merasa kesal dan geram, Dayang Lembah Nera-
ka memutar-mutar tubuhnya dengan tangan men-
cengkeram kitab dan kipas. Sehingga, membuat tubuh
ular itu bergoyang-goyang.
Saat itulah, tiba-tiba mulut ular itu membuka
disertai desisan dahsyat. Lalu, tubuh ular itu menggeliat dengan gulungan asap
hitam yang berkilat-kilat, melesat ke arah Dayang Lembah Neraka.
Dayang Lembah Neraka tercengang. Buru-buru
dilepaskannya cengkeraman pada kitab dan kipas.
Namun matanya serentak mendelik karena tangannya
bagai lengket tanpa kuasa untuk ditarik. Hingga tanpa ampun lagi, Dayang Lembah
Neraka tak bisa menghindar dari sambaran asap hitam!
Wusss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan melengking dari mulut
Dayang Lembah Neraka begitu asap hitam menyam-
barnya. Cengkeramannya lepas. Tubuhnya mencelat
ke atas, menghantam langit-langit ruangan. Ketika tubuhnya menukik dan terhempas
di lantai ruangan itu, dari mulut dan telinga Dayang Lembah Neraka menga-lir
darah kehitaman!
Sambil melenguh perlahan, Dayang Lembah
Neraka mencoba bangkit. Namun begitu dapat berdiri, tubuhnya oleng dan jatuh
kembali. Sementara diam-diam Putri Tunjung Kuning
menyimpan senyum. Lalu wajah dibuat secemas
mungkin, sebentar saja, gadis ini telah menghambur
ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Guru! Kau terluka dalam. Lebih baik pulihkan
tenaga dahulu. Biar aku yang akan mencoba!" ujar Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka menyeringai tidak se-
nang. Namun karena keadaan tubuhnya tidak me-
mungkinkan lagi, akhirnya ia hanya memandang ke
arah Putri Tunjung Kuning tanpa membuka suara.
"Peduli setan! Jika kitab dan kipas itu berhasil kudapatkan, kaupun harus
berbalik tunduk padaku!"
kata batin Putri Tunjung Kuning, melihat pandangan
sinis Dayang Lembah Neraka.
Namun baru saja Putri Tunjung Kuning berba-
lik hendak melesat, ular telah menggeliat kembali. Dan
saat itu pula asap hitam redup berkilat-kilat melesat menyambar ke arah Putri
Tunjung Kuning dan Dayang
Lembah Neraka. "Heh..."!"
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning sama-sama terkejut.
"Tunjung Kuning! Cepat pergi dari sini!"
Dayang Lembah Neraka segera berseru agar
mereka meninggalkan tempat itu, namun Putri Tun-
jung Kuning seakan tidak mendengar. Bahkan gadis
itu menarik kedua tangannya ke belakang. Lalu disertai dengusan tajam kedua
tangannya dihantamkan ke
depan. Werrr...! Werrr...!
Larikan-larikan sinar kuning segera melesat,
menyongsong asap hitam redup.
Namun Putri Tunjung Kuning sesaat dibuat
terkesima. Karena sentakan kedua tangannya yang
bentrok dengan asap hitam tidak menimbulkan suara
sama sekali! Bahkan yang terlihat, larikan sinar kuning itu terbuntal asap hitam
redup. Dan buntalan asap itu, kini melesat ke arahnya!
"Cepat keluar! Naga itu tidak bisa kita hadapi!"
teriak Dayang Lembah Neraka yang telah menyingkir,
menuju mulut lorong.
Putri Tunjung Kuning seakan baru tersadar.
Buru-buru dia bergerak berbalik dan melesat ke arah lorong gua menuju keluar.
Namun, sambaran buntalan
asap itu ternyata lebih cepat menggebrak! Tubuh Putri Tunjung Kuning yang
berlari lurus menyusur lorong
gua tak dapat mengelak lagi.
Blasshhh...! "Aakh...!"
Tak ampun lagi tubuh gadis itu, terpental dan
keluar gua dengan terkapar!
Sementara Dayang Lembah Neraka yang berha-
sil keluar lebih dulu, segera menghampiri Putri Tunjung Kuning yang terkapar.
Dengan sisa-sisa tenaga, diambilnya tubuh Putri Tunjung Kuning. Dan begitu
Dayang Lembah Neraka menyingkir sambil membo-pong tubuh Putri Tunjung Kuning,
getaran-getaran
terhenti seketika.
Tak jauh dari mulut gua, Dayang Lembah Ne-
raka segera menurunkan tubuh Putri Tunjung Kuning
yang ternyata telah terluka parah. Seluruh pakaiannya telah hangus. Dan dari
lobang di tubuhnya, menggenang darah merah kehitaman.
"Untuk sementara kita harus istirahat dahulu,
Tunjung Kuning...," desah Dayang Lembah Neraka tersendat sambil memegangi
dadanya yang sesak.
Putri Tunjung Kuning hanya memandangi, tan-
pa bisa buka mulut!
*** 6 Tak seperti biasanya, bulan kali ini tidak tam-
pak mengambang di angkasa. Padahal saat ini, hitun-
gan bulan telah sampai pada hari keempat belas. Dan berarti, bulan akan
mendekati puncak purnama. Bin-tang pun hanya terlihat satu dua. Itu pun lantas
menghilang tertutup arakan awan hitam yang meng-
gantung tebal, seakan tak sabar ingin segera menukik turun. Malam terus merambat
dan suasana semakin
gelap. Udara dingin yang menusuk menambah suasa-
na semakin mencekam, terutama di sekitar sebuah
bangunan tua berbentuk candi peninggalan kejayaan
Kerajaan Singasari.
Keadaan yang menyeramkan seperti itu ru-
panya tak menyurutkan langkah sebuah bayangan
merah yang berkelebat cepat, menyusuri kepekatan
malam. Bayangan itu terus menyelinap masuk ke pela-
taran candi, lalu lenyap kedalamnya. Dan sesaat ke-
mudian, bayangan merah itu telah mengendap-endap
di bagian belakang candi, di sebuah ruangan yang beberapa bagian telah rapuh
hampir runtuh. Seperti sudah mengenal bagian bangunan ini,
sosok bayangan merah itu perlahan-lahan melangkah
mendekati sebuah arca besar. Dan seakan tanpa be-
ban sama sekali, digesernya letak arca ini.
Untuk beberapa saat, sosok bayangan merah
memandang liar berkeliling menembus gelapnya ma-
lam. Setelah merasa pasti tidak ada orang lain, tubuhnya masuk ke dalam lobang.
Ternyata, di bawah arca
di pojok ruangan yang tampak tidak terawat, terdapat sebuah lobang dengan sebuah
tangga batu yang menurun. Setelah turun tiga undakan, sosok bayangan
merah mengembalikan letak arca seperti semula. Lalu dengan perlahan dituruninya
tangga yang ternyata berujung pada sebuah ruangan yang tidak begitu besar
dan terang benderang.
Menginjak lantai ruangan, sosok ini menebar
pandangan dan berujung pada sosok yang duduk ber-
sila di tengah-tengah ruangan. Ada sesuatu yang janggal terlihat. Cahaya terang
benderang dalam ruangan, ternyata bersumber pada sosok yang duduk di tengah
ruangan! Sosok tubuh bercahaya terang ini ternyata seo-
rang perempuan tua renta berjubah besar hitam.
Rambutnya panjang berwarna putih, dibiarkan tergerai awut-awutan. Di atas
kepalanya terlihat sorban berwarna hitam. Paras wajahnya putih pucat. Namun de-
mikian, kulit wajah perempuan ini begitu tebal. Sepasang matanya terpuruk ke
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam. Mulutnya selalu
bergerak-gerak seperti mengunyah sesuatu yang tidak habis-habisnya. Perempuan
tua renta inilah yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai Bayangan Iblis.
Meski Bayangan Iblis adalah tokoh berilmu
tinggi, namun hanya beberapa gelintir orang saja yang mengenali sosoknya. Karena
Bayangan Iblis memang
jarang sekali menunjukkan diri.
Kini sosok bayangan merah tampak menjura,
lalu kembali tegak. Ternyata, sosok bayangan ini adalah seorang pemuda tampan
bertubuh kekar dan te-
gap. Rahangnya kokoh. Sepasang matanya menyorot
tajam, membersitkan kekejaman dan kesombongan. Di
telinga kirinya tampak melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning. Rambutnya
panjang dan hitam serta
dikuncir. "Anak Agung!" panggil Bayangan Iblis, kepada pemuda berpakaian serba merah yang
dipanggil Anak Agung. Memang, Anak Agung sebenarnya adalah Ma-
laikat Berdarah Biru yang pernah takluk di tangan
Pendekar Mata Keranjang 108. Bahkan gurunya yang
berjuluk Bidadari Telapak Setan harus tewas di tangan Aji. Konon, setelah
rencananya bersama Bidadari Telapak Setan digagalkan Pendekar Mata Keranjang
108, Malaikat Berdarah Biru melakukan perjalanan ke dae-
rah timur (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam
episode: "Malaikat Berdarah Biru").
Bidadari Telapak Setan, sebelumnya memang
telah berpesan, jika sewaktu-waktu terjadi hal yang di luar rencana, sang murid
disuruh pergi ke daerah timur, menemui seorang yang bergelar Bayangan Iblis.
Dalam hati, Malaikat Berdarah Biru sebenarnya
enggan menuruti pesan gurunya. Namun karena ting-
kat kepandaiannya masih belum memadai untuk men-
galahkan Pendekar Mata Keranjang 108, maka dengan
berat hati ia berangkat ke daerah timur. Tepatnya ke Singasari di mana Bayangan
Iblis bertempat tinggal.
Pada mulanya, Bayangan Iblis tidak mau mene-
rima Malaikat Berdarah Biru sebagai murid. Namun
setelah pemuda itu menceritakan kalau dirinya murid Bidadari Telapak Setan,
akhirnya Bayangan Iblis me-nerimanya sebagai murid.
Antara Bayangan Iblis dan Bidadari Telapak Se-
tan memang masih ada hubungan. Karena Bidadari
Telapak Setan adalah murid dari kakak seperguruan
Bayangan Iblis Karena masih menyimpan dendam kesumat,
meski sudah beberapa tahun tinggal bersama Bayan-
gan Iblis, sesekali Malaikat Berdarah Biru keluar juga untuk mengetahui keadaan
sekaligus mengendus
langkah Pendekar Mata Keranjang 108. Tak beda den-
gan malam-malam sebelumnya, malam ini Malaikat
Berdarah Biru juga baru saja keluar mencari tahu
langkah-langkah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Aku mengerti dengan kerisauan hatimu selama
ini, Anak Agung! Kau tentunya sudah tak sabar ingin membalas pada musuh besarmu
itu bukan?" lanjut Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru tidak menjawab. Malah
wajahnya berpaling. Sementara ekor matanya melirik
tajam. Kedua tangannya mengepal. Otot-otot wajahnya menggurat, dan rautnya
berubah mengelam.
Mulut Bayangan Iblis kembali bergerak-gerak
seperti mengunyah, lalu berhenti begitu senyumnya
tersungging. "Sampai kapan pun, kau tak akan bisa memba-
las sakit hatimu pada Pendekar Mata Keranjang 108!"
Paras Malaikat Berdarah Biru makin mengelam.
Napasnya berhenti mendadak. Tubuhnya bergetar he-
bat, karena menindih amarah.
"Tua jahanam!" rutuk Malaikat Berdarah Biru dalam hati. "Omong kosongmu akan
kubuktikan ke-lak!" "Jangan cepat terbawa perasaan, Muridku! Ka-ta-kataku belum
selesai!" sambung Bayangan Iblis.
"Kau tidak akan bisa membalas dendam pada Pendekar Mata Keranjang 108, kecuali
jika berhasil mendapatkan kipas dan kitab ciptaan Empu Jaladara!"
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan lengu-
han keras, lalu menyeringai.
"Bertahun-tahun aku telah mencoba melacak
kitab dan kipas itu. Namun sejauh ini, usahaku hanya menghasilkan kesia-siaanmu!
Hingga aku berangga-pan, kitab dan kipas itu hanyalah cerita isapan jempol.
Bahkan setelah ku telusuri jalinan ceritanya, aku ber-kesimpulan sulit dipercaya
jika kitab dan kipas itu benar-benar ada!" kata Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Iblis mengeluarkan tawa bergelak
membuat ruangan itu bergetar.
"Muridku! Kalau tokoh-tokoh silat tersohor ke-
luar dari sarang, bahkan menyabung nyawa untuk
mencari keterangan tentang kitab dan kipas itu, jadi jelas bahwa kedua benda itu
memang benar-benar
ada! Dan aku tahu, di mana beradanya kitab dan kipas itu!" Malaikat Berdarah
Biru kontan besarkan kedua
biji matanya. Hatinya bersorak gembira mendengar keterangan gurunya. Namun
kegembiraan itu ditindih-
nya, membuat paras wajahnya tidak menunjukkan ra-
sa terkejut sama sekali.
"Guru! Beberapa tahun hidup bersama, kalau
kau memang mengetahui letak kitab dan kipas itu, kenapa tidak dikatakan sejak
dulu"!" kata Malaikat Berdarah Biru, setengah menegur gurunya.
Bayangan Iblis kembali tertawa bergelak-gelak.
Tubuhnya yang bergetar hebat, membuat cahaya di
ruangan itu berpencar serabutan.
Tiba-tiba Bayangan Iblis menghentikan ta-
wanya. Sepasang matanya menyengat tajam.
"Petunjuk mengenai kitab dan kipas, tanpa
bekal yang cukup hanya akan menghasilkan kekece-
waan!" kata Bayangan Iblis, keras.
"Apa kau kira kepandaianku selama ini masih
kurang?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
"Ingat, Anak Agung! Tingkat kepandaian tidak
ada batasnya! Namun karena sekarang kurasa tingkat
kepandaianmu sudah cukup menjadi bekal, sekarang
akan kuberitahukan padamu letak kitab dan kipas
itu!" Kali ini Malaikat Berdarah Biru menatap lekat-lekat pada gurunya.
"Anak Agung! Dalam semadiku, aku dapat me-
lihat bahwa kitab dan kipas itu berada di sebuah gua, di kaki bukit kecil yang
di kelilingi oleh dataran pasir hitam yang mengandung tenaga sedot luar biasa
dahsyat!" "Hm.... Di jagat ini banyak sekali tempat yang seperti kau katakan!,
Jadi, jika kau tak bisa menentukan letak bukit itu, sama halnya mencari ikan
tertentu di laut bebas!" sela Malaikat Berdarah Biru menyerin-
gai. "Benar katamu! Tapi aku tak akan mengatakan
padamu, jika aku tidak tahu letaknya!"
Malaikat Berdarah Biru terbeliak, sambil men-
gangguk-angguk.
"Pergilah ke Dusun Pagedangan! Di ujung du-
sun itu, kau akan menemukan tempat seperti yang
kukatakan tadi!"
Sejenak Bayangan Iblis menghentikan kata-
katanya. Sepasang matanya yang melesak berputar
liar, memandang langit-langit ruangan.
"Besok pagi-pagi benar, kau bisa memulai per-
jalanan! Bagaimanapun caranya, kau harus bisa men-
dapatkan kitab dan kipas itu. Ini jika kau masih mena-ruh dendam pada musuh
besarmu, sekaligus jika ma-
sih ingin menggenggam tampuk pimpinan rimba persi-
latan!" "Untuk membuktikan kata-katamu, aku tak akan buang-buang waktu. Sekarang
juga aku akan berangkat!" tandas Malaikat Berdarah Biru.
Selesai bicara, pemuda itu segera menjura. Lalu
tubuhnya berbalik dan melangkah menuju anak tang-
ga. "Anak Agung! Aku akan sangat bangga jika kau
benar-benar berhasil mendapatkannya!" kata Bayangan Iblis seraya mengangguk-
angguk. Lalu perempuan tua itu mendongak ke atas
dengan tawa bergelak-gelak Namun sesaat kemudian
tawanya lenyap, tepat ketika kedua kelopak matanya
mengatup. Bayangan Iblis kembali tenggelam dalam
semadinya. *** 7 Bukit kecil di ujung Dusun Pagedangan yang
berada di tengah-tengah dataran pasir masih diselimu-ti kabut tipis dini hari.
Embun di pucuk dedaunan masih belum luruh. Di tengah dinginnya udara pagi ini,
sesosok bayangan hitam berkelebat cepat, setelah me-loncati sungai, kakinya
menjejak dengan kokoh di tepi dataran pasir.
Untuk beberapa saat, sosok ini berdiri tegak
terpaku. Pandangannya terarah pada bukit kecil yang ada di tengah-tengah
dataran. Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang la-
ki-laki berjubah hitam panjang dan besar, hampir menutup sekujur tubuhnya.
Kecuali wajah dan pergelan-
gan tangannya. Umurnya sulit ditebak, karena raut
wajahnya tidak tertutup kulit sama sekali. Sehingga paras wajah laki-laki ini
hanya berupa rangkaian tulang-tulang. Demikian juga pergelangan tangannya. Di
atas tulang pipinya, tampak rongga yang sangat cekung. Di dalamnya tampak
berputar-putar sepasang
bola mata besar berwarna kemerahan.
Dalam bentangan rimba persilatan, laki-laki
berwajah angker ini sudah tidak asing lagi. Sesuai
keadaan wajahnya, dia berjuluk Tengkorak Berjubah.
Kepandaian tokoh ini sudah sangat tinggi. Namun
yang lebih menggiriskan adalah kekejamannya.
"Dataran pasir hebat!" kata Tengkorak Berjubah dalam hati. "Hari masih pagi
begini, sudah mengepulkan asap! Aku harus berhati-hati. Tempat benda-
benda sakti biasanya memang mengandung berbau
maut?" Tengkorak Berjubah lantas berbalik menghadap
sungai. Kedua tangannya segera diputar-putar di de-
pan dada. Dan saat ini juga terjadi suatu keanehan.
Putaran tangan Tengkorak Berjubah langsung menge-
luarkan suara gemuruh dahsyat, bagai gelombang
laut. Sementara air sungai di depannya terlihat bergo-lak bagai terbuncah.
"Hiaah...!"
Dengan sentakan cepat, tiba-tiba Tengkorak
Berjubah menarik kedua tangannya ke belakang.
Wutt! Saat itu juga dua buah benda tampak melesat
dari sungai. Lalu dengan gerakan indah, Tengkorak
Berjubah cepat menangkap dua benda yang melayang
ke arahnya. Tap! Tap! "Hm.... Dua ikan ini kurasa cukup untuk men-
jadi percobaan!" gumam Tengkorak Berjubah.
Tulang bibir laki-laki berjubah hitam ini berge-
rak-gerak, pertanda tersenyum. Dan tiba-tiba dua ikan di tangannya dikibaskan ke
belakang, ke arah dataran pasir seraya berbalik.
Di tengah-tengah dataran pasir, sejenak terlihat
dua kuakan kecil bersama amblasnya dua ikan ke da-
lamnya. Tengkorak Berjubah tak menunggu lama. Se-
saat kemudian, dari dua kuakan tadi keluar asap hi-
tam menebar bau ikan terbakar!
"Hm.... Berarti aku harus melewati dataran pa-
sir ini sampai mencapai kaki bukit tanpa menginjak!"
kata batin Tengkorak Berjubah seraya mengangguk-
angguk. Sejenak pandangan mata laki-laki ini menyorot
jauh ke arah bukit. Dan perlahan-lahan kedua tan-
gannya ditarik ke depan dada. Sepasang matanya dipejam rapat-rapat. Tulang
bibirnya bergerak-gerak meng-
gumamkan suara tak jelas.
Wesss...! Dari arah belakang laki-laki berjubah hitam ini
mendadak berhembus angin kencang yang mengelua-
rkan suara gemuruh. Tengkorak Berjubah langsung
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka tu-
buhnya kini melayang di atas dataran pasir, terbawa angin kencang dari
belakangnya. Dan tatkala kedua
tangannya menekan, hembusan angin itu lebih dah-
syat membawa tubuhnya hingga sampai kaki bukit.
Begitu menginjak kaki bukit, Tengkorak Berju-
bah membuka kelopak matanya. Sebentar matanya
berputar liar memperhatikan.
"Agar tak ada tempat yang lepas, aku harus
naik dengan jalan mengitari mulai dari kaki bukit!" ka-ta Tengkorak Berjubah
dalam hati, segera dia mulai
melangkah. Namun baru saja mencapai balik bukit, Teng-
korak Berjubah tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Dari arah tempatnya berdiri, dengan jelas dia dapat melihat dua sosok tubuh
manusia sedang duduk saling bersandaran panggung, tak jauh dari mulut gua.
"Hm.... Aku ternyata datang terlambat. Keparat-keparat itu rupanya telah
mendahuluiku. Siapa mere-
ka?" kata batin Tengkorak Berjubah dengan mata menyorot tajam. Tulang dagunya
nampak tertarik ke atas.
"Siapa pun mereka, yang pasti adalah orang-
orang yang menginginkan benda pusaka itu! Tapi..., sepertinya mereka belum
mendapatkan pusaka kitab
dan kipas itu! Tubuh mereka terlihat terluka...."
Tengkorak Berjubah terus menduga-duga den-
gan sepasang mata merah tak berkedip.
Pandangan Tengkorak Berjubah lantas beralih
pada mulut gua. Karena saat itu matahari sudah un-
juk diri, maka jelas sekali dapat terlihat, kalau dari mulut gua samar-samar
keluar asap tipis.
Untuk beberapa saat Tengkorak Berjubah
memperhatikan. Lalu dengan perlahan sekali, kakinya melangkah mendekat.
Pandangannya ditujukan pada
salah satu sosok yang paling bersandar punggung.
"Seorang perempuan berpakaian hitam-hitam.
Rahangnya keras menonjol, mulutnya melesak ke da-
lam...," gumam Tengkorak Berjubah dengan tulang-tulang dahi berkerut. Sepasang
matanya membesar la-
lu menyipit. Ia terus berpikir keras. "Jahanam! Aku tak bisa mengenalinya!"
Pandangan Tengkorak Berjubah lantas beralih
pada sosok satunya. Mendadak sepasang matanya ter-
belalak liar. Tangan kanannya yang bergerak, diusap-usapkan pada tulang dagunya.
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tulang bibirnya berge-
rak-gerak menciptakan sebuah senyum. Jakun tenggo-
rokannya naik turun tak beraturan.
Sosok yang dilihat Tengkorak Berjubah tak lain
adalah Putri Tunjung Kuning. Saat ini keadaan pa-
kaian gadis itu memang telah terkoyak. Pakaian ba-
wahnya telah terpotong sebatas paha. Hingga dalam
keadaan duduk, pakaian bawahnya semakin tertarik
ke atas. Dan ini membuat kulit putih pahanya jelas
terlihat. "Hm.... Gadis muda ini cantik! Dan sepertinya, aku pernah melihatnya!
Tapi, di mana...?"
Kembali dahi Tengkorak Berjubah berkerut,
mencoba mengingat-ingat. Tangan kanannya lalu me-
nepuk tulang keningnya.
"Aku ingat! Bukankah dia murid Dewi Kuning"
Dan aku tahu sekarang. Perempuan tua di belakang-
nya pasti kakak seperguruan Dewi Kuning. Manusia
yang berjuluk Dayang Lembah Neraka!" kata Tengko-
rak Berjubah sambil mengangguk-anggukkan kepala
seraya mengawasi lekat-lekat Dayang Lembah Neraka.
Namun pandangan Tengkorak Berjubah pada
Dayang Lembah Neraka tidak lama. Sepasang matanya
kembali tertuju pada Putri Tunjung Kuning.
"Tubuhnya begitu sintal. Dan pasti, menjanji-
kan kehangatan! Tapi..., kali ini aku harus mendahulukan kitab dan kipas itu!
Persoalan perempuan bisa diurus belakangan..."
Habis berpikir begitu Tengkorak Berjubah lan-
tas mendehem perlahan. Namun suaranya telah cukup
membuat Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning yang sedang memulihkan kekuatan jadi teru-
sik. "Guru! Kau dengar suara orang mendehem?"
bisik Putri Tunjung Kuning tanpa membuka kelopak
mata. "Aku dengar!" sahut Dayang Lembah Neraka.
"Kita harus waspada. Siapa pun orang itu, tujuannya pasti sama dengan kita! Dan
dengan segala cara, kita harus dapat mencegahnya!"
"Tapi keadaan kita sudah tidak memungkinkan
lagi jika harus bertempur. Kita sedang terluka!" tukas Putri Tunjung Kuning.
"Kita harus berusaha! Kalau tak bisa mencegah
dengan bertempur, kita cari jalan Lain. Mendengar de-hemannya, aku dapat menduga
kalau pendatang ini
seorang laki-laki! Untuk menaklukkannya, tanpa ber-
tempur kukira bisa! Dan itu tugasmu!" ujar perempuan tua itu. Mendengar kata-
kata Dayang Lembah Neraka,
Putri Tunjung Kuning mengeluarkan dengusan perla-
han. "Dasar perempuan tua! Kau kira aku mau begi-
tu saja menyerahkan tubuhku pada setiap laki-laki"
Boleh, boleh saja. Asal, kitab dan kipas itu menjadi imbalannya!" umpat gadis
itu, habis-habisan.
Putri Tunjung Kuning lantas mendekatkan ke-
palanya ke telinga Dayang Lembah Neraka.
"Guru!" bisik Putri Tunjung Kuning. "Lebih baik biarkan saja orang itu memasuki
gua. Jika nantinya
berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu, barulah kita bertindak!"
Habis berkata, Putri Tunjung Kuning membuka
kedua kelopak matanya, dan menebar pandangan ke
sekeliling. Dan baru saja Putri Tunjung Kuning hendak
berpaling ke samping, sesosok tubuh tinggi berjubah hitam telah keluar dari
balik semak belukar. Sosok itu langsung berkelebat, lalu tahu-tahu telah berdiri
di samping Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning. "Aahh...!"
Putri Tunjung Kuning berseru kecil, saat meli-
hat paras wajah sosok berjubah hitam. Dan sesaat
kemudian, Dayang Lembah Neraka pun membuka ke-
lopak matanya. "Tengkorak Berjubah!" gumam Dayang Lembah Neraka, sedikit terkejut saat
mengetahui sosok di sampingnya. Namun perempuan tua itu tenang-tenang sa-
ja. Sementara Tengkorak Berjubah hanya mengu-
sap-usap tulang dagunya. Sepasang matanya meman-
dang liar pada Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning segera bangkit. Namun sebelum membuka mu-
lut, Tengkorak Berjubah telah mengertakkan tulang
bibirnya. "Jangan coba-coba menghalangiku, jika tak in-
gin tubuh kalian hangus masuk ke dalam dataran pa-
sir!" ancam Tengkorak Berjubah dengan suara parau dan serak.
Dayang Lembah Neraka memandang muridnya.
Dan Putri Tunjung Kuning pun menganggukkan kepa-
la. "Kau terlalu sombong, Orang Tua! Namun aku
senang! Silakan berbuat sekehendakmu. Kami tak
akan menghalangi. Kami hanya ingin menonton!" kata Putri Tunjung Kuning.
Tengkorak Berjubah mengerdip-ngerdipkan se-
pasang mata merahnya.
"Setelah urusan ini selesai, aku ingin menikma-ti kehangatan tubuhmu!" kata
batin Tengkorak Berjubah. Habis berkata, Tengkorak Berjubah mendon-
gakkan kepala, seraya mengeluarkan suara tawa ber-
gelak yang memekakkan telinga.
"Ha... ha... ha...!"
Diam-diam Dayang Lembah Neraka dan Putri
Tunjung Kuning tersentak. Sosok berjubah di hadapan mereka ternyata mempunyai
tenaga dalam sangat tinggi yang tersalur lewat suara tawanya.
Begitu suara tawanya berhenti, tanpa meman-
dang lagi pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tun-
jung Kuning, Tengkorak Berjubah melangkah ke arah
mulut gua. "Gua inilah tempat benda pusaka kitab dan ki-
pas itu! Hm.... Sebentar lagi aku akan jadi raja diraja dunia persilatan...!"
gumam Tengkorak Berjubah begitu sampai di samping mulut gua.
Sejenak laki-laki berwajah tengkorak itu berpal-
ing pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning. Bibirnya bergerak-gerak menggambarkan se-
nyuman mengejek. Namun gerakan bibirnya tiba-tiba
lenyap, ketika dari dalam gua terdengar suara mendesis.
"Huh!"
Sambil mendengus Tengkorak Berjubah segera
meloncat menjauh. Karena, dia merasakan adanya ge-
taran dahsyat. Sepasang mata Tengkorak Berjubah kontan
membeliak. Pandangannya langsung dialihkan pada
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning.
Dan laki-laki berwajah tengkorak hanya mendengus
keras, karena saat ini kedua orang itu tengah tersenyum. Malah, Dayang Lembah
Neraka tertawa terba-
hak-bahak "Jahanam! Apa yang ditakutkan!" bentak Tengkorak Berjubah, seraya mengarahkan
pandangan pada mulut gua. Dan sebelum gema suara bentakannya lenyap,
kedua tangan Tengkorak Berjubah telah bergerak
mendorong ke depan.
Wess...! Seketika selarik sinar hitam melesat ke arah
mulut gua. Dan...
Bumm...! Terdengar dentuman dahsyat, ketika sinar hi-
tam itu melabrak mulut gua yang kontan terbongkar.
Sehingga, lobang masuk gua makin membesar. Teng-
korak Berjubah menunggu sejenak. Merasa tidak ada
suara desisan dan tidak ada getaran, segera kakinya melangkah.
Hampir tiba di mulut gua, tiba-tiba Tengkorak
Berjubah melesat masuk. Namun baru saja menjejak-
kan kaki di dalam lorong, dari arah dalam terdengar
suara mendesis. Sementara getaran dahsyat terasa
menghentak. Karena tidak mungkin lagi kembali keluar,
Tengkorak Berjubah segera menghantamkan kedua
tangannya ke depan
Wesss...! "Heh"!"
Namun wajah Tengkorak Berjubah mendadak
berubah. Ternyata hantaman tangannya tidak bisa
membendung getaran-getaran yang terasa semakin
lama semakin keras.
Tubuh Tengkorak Berjubah kontan terseret ke
mulut gua. Disertai bentakan sengau, tubuhnya mem-
buat gerakan berputar ke atas. Dan begitu kakinya
menjejak kembali lantai gua, kedua tangannya kembali menghantam ke depan.
Wess...! Sementara pada saat yang sama, dari dalam
gua kembali terdengar desisan dan getarannya sema-
kin dahsyat. Karena separo tenaga dalamnya dikerahkan,
maka kali ini Tengkorak Berjubah mampu bertahan.
Namun tidak lama kemudian getaran-getaran itu ter-
nyata semakin hebat. Dan ini membuat tubuhnya se-
dikit goyah. Bahkan makin lama terseret, lalu terbanting ke lorong dan mencelat
ke luar gua! Hebatnya, meski tubuhnya telah terkapar di
tanah dan jubah hitam besarnya robek di bagian dada, Tengkorak Berjubah seakan
tak merasakan sakit. Segera dia bangkit dan kembali melangkah ke arah mulut gua.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung
Kuning melotot hampir tak percaya melihat daya tahan tubuh Tengkorak Berjubah.
Dalam hati kecil mereka,
menyeruak perasaan khawatir.
"Dalam lorong gua kulihat ada lobang-lobang di samping kanan dan kiri. Dengan
cara memasuki lobang-lobang itu, kurasa aku dapat menghindari geta-
ran-getaran gila ini!" kata batin Tengkorak Berjubah.
Ketika tiba di samping mulut gua, Tengkorak
Berjubah memejamkan kedua matanya. Lalu sesaat
kemudian matanya terbuka kembali. Saat itulah tu-
buhnya mendadak melesat masuk, dan langsung me-
nyelinap masuk ke lobang di lorong gua.
Desisan dahsyat dan getaran-getaran kembali
terasa menghentak. Namun tubuh Tengkorak Berjubah
kali ini luput dari sasaran.
"Kali ini aku berhasil!" gumam Tengkorak Berjubah. Laki-laki berwajah tengkorak
ini segera meloncat ke lobang di seberang. Begitu seterusnya, hingga tanpa
mendapat halangan lagi ia bisa mencapai ujung lorong gua.
Beberapa saat Tengkorak Berjubah memandang
ke sekeliling. Dan ketika sepasang matanya tertumbuk pada benda yang melipat dan
melingkar ke atas, serta cahaya kemerahan yang menerangi ruangan, laki-laki
tua ini tersentak kaget.
"Ular Naga!" sentak Tengkorak Berjubah seraya memandang tak berkedip.
Sepasang mata Tengkorak Berjubah lebih
membeliak lebar, tatkala pandangannya menelusuri
kepala Ular Naga dan terhenti di atasnya! Tepatnya, ke arah kitab dan kipas yang
tertancap. "Dua pusaka itu!" seru Tengkorak Berjubah ter-lonjak. Meski demikian Tengkorak
Berjubah belum be-
rani menampakkan diri dan tetap bersembunyi di da-
lam lobang lorong. Hatinya masih khawatir dan was-
was. Namun ketika sepasang mata Ular Naga itu per-
lahan menutup hingga membuat keadaan menjadi ge-
lap, tubuhnya segera melesat keluar dari lobang.
Karena keadaan gelap, begitu menginjakkan
kaki ke lantai ruangan tempat Ular Naga berada, Tengkorak Berjubah memasang
telinganya tajam-tajam.
Dan setelah ditunggu agak lama desisan dan getaran-
getaran tak lagi terasa, kakinya mulai melangkah
mendekati Ular Naga. Tanpa menunggu lama lagi, tu-
buhnya segera melesat ke atas, berusaha menggapai
kitab dan kipas di kepala Ular Naga.
Namun baru saja tubuh Tengkorak Berjubah
melayang, sepasang mata Ular Naga membuka kemba-
li. Sehingga suasana tampak terang kemerahan.
Tengkorak Berjubah terkejut. Namun tubuhnya
tetap bergerak ke atas. Begitu mencapai atas kepala Ular Naga, kedua tangannya
segera menjulur menyambar kitab dan kipas yang menancap di kepala bi-
natang aneh ini.
"Heh"!"
Kembali laki-laki berwajah tengkorak ini seje-
nak dibuat tak percaya dengan apa yang dialaminya.
Karena meski telah mengeluarkan seluruh tenaga da-
lamnya, kitab dan kipas itu tak kuasa ditarik dari kepala Ular Naga. Bahkan
tatkala kepala binatang aneh itu bergoyang terkena bias sentakan-sentakan kedua
tangannya, tubuh Ular Naga itu menggeliat.
Tengkorak Berjubah tercekat. Karena ketika bi-
natang itu menggeliat, terdengar desisan. Dan dari tubuh Ular Naga keluar asap
hitam berkilat menyambar
ke arahnya disertai suara gemuruh dahsyat.
Buru-buru Tengkorak Berjubah melepaskan
kedua tangannya dari cekalan pada kitab dan kipas.
Namun hatinya kembali tercengang, karena kedua
tangannya bagai lengket dan tak bisa dilepas.
Tapi tokoh sesat berkepandaian sangat tinggi
ini tak mau begitu saja menyerah. Sebelum asap hitam redup menghantam, sepasang
kakinya digerakkan
berputar-putar, membuat jubah hitamnya berkibar-
kibar mengeluarkan suara menggeledek.
Werr...! Werrr...!
Angin kencang berputar-putar segera melin-
dungi tubuh Tengkorak Berjubah. Hingga untuk bebe-
rapa saat, sambaran asap hitam yang kini datang
sambar menyambar, dapat ditahannya.
Waktu terus berlalu.
"Brengsek! Kedua kakiku telah pegal dan kese-
mutan!" rutuk Tengkorak Berjubah. "Aku tak bisa terus bertahan. Tenagaku telah
terkuras!"
Disertai bentakan sengau, Tengkorak Berjubah
cepat memutar tubuhnya. Dan dengan tiba-tiba saja,
kedua kakinya bergerak menukik menghantam kepala
Ular Naga. Dukk! Dukk! Kepala Ular Naga yang bertumpu pada lipatan
tubuhnya paling atas itu bergoyang sedikit. Namun
Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa diduga sama sekali, kepala binatang itu men-
dongak ke atas. Akibatnya, tubuh Tengkorak Berjubah ikut terhempas, karena kedua
tangannya belum lepas
dari kitab dan kipas.
Tengkorak Berjubah mencoba menahan ayunan
tubuhnya yang terbawa dongakan kepala Ular Naga.
Tapi, ternyata hempasan kepala itu lebih kuat dan cepat. Maka tanpa ampun lagi,
tubuh Tengkorak Berju-
bah terhempas menghantam tubuh Ular Naga.
Brakk! "Keparat!"
Tengkorak Berjubah mengeluarkan makian.
Karena, tubuh Ular Naga itu selain mengeluarkan asap hitam redup, ternyata juga
mengandung hawa panas
yang menjilat. Pada saat yang tepat pegangan kedua tangan
Tengkorak Berjubah pada kitab dan kipas terlepas.
Hingga tubuhnya kontan menukik deras ke bawah.
Namun belum sampai tubuhnya menghantam tanah
lantai ruangan, asap hitam redup sudah melesat dari tubuh Ular Naga, meluruk ke
arahnya. *** Sementara itu di luar sana, Dayang Lembah
Neraka dan Putri Tunjung Kuning semakin tidak tenteram menunggu.
"Guru! Menurutmu, apakah orang tua itu akan
berhasil?" tanya Putri Tunjung Kuning memecah suasana tegang yang menyelimuti.
"Tunjung Kuning! Tengkorak Berjubah adalah
tokoh silat jajaran atas yang kedigdayaannya tidak di-ragukan lagi. Namun untuk
menghadapi Ular Naga itu, aku sendiri masih belum yakin!" sahut Dayang Lembah
Neraka, gamblang.
"Tapi sudah sekian lama dia tak keluar-keluar
lagi. Jangan-jangan...."
"Kau tak perlu cemas, Tunjung Kuning! Jika dia benar-benar berhasil, bagi kita
jalan untuk merebut kitab dan kipas itu lebih mudah!" selak Dayang Lembah
Neraka, sambil melirik tajam. Sementara bibirnya menyungging seulas senyum.
"Apakah Guru yakin bisa mengalahkan Tengko-
rak Berjubah?" tanya Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka tidak segera menjawab.
Sepasang matanya beralih memandang ke arah mulut
gua. "Ketahuilah, Tunjung Kuning. Tingkat kepandaian Tengkorak Berjubah memang
telah diketahui
semua orang. Namun di satu pihak, dia mempunyai
kelemahan. Dia menyukai perempuan muda! Dan ke-
lemahan inilah yang akan kita manfaatkan!"
Paras Putri Tunjung Kuning kontan berubah
merah. Tak dapat dibayangkan jika harus melayani
nafsu Tengkorak Berjubah. Diam-diam tubuhnya men-
geluarkan keringat dingin serta tengkuknya merinding.
Ucapan Dayang Lembah Neraka secara tak langsung
menempatkan dirinya pada keadaan sulit.
"Perempuan tua ini rupanya masih menjadi-
kanku sebagai umpan...," kata Putri Tunjung Kuning dalam hati. "Tapi jangan
harap kau bisa membodohi-ku!" Selagi Putri Tunjung Kuning membatin, dari dalam
gua terdengar desisan dahsyat, lalu disusul jeritan sengau. Lalu tak lama
kemudian, dari mulut gua tampak tubuh Tengkorak Berjubah mencelat keluar. Begi-
tu menyentuh tanah, tubuhnya terkapar dengan jubah
hangus dan robek tak karuan. Dari mulutnya terden-
gar erangan panjang sengau dan serak.
"Kau terlalu sombong, Tua Bangka! Biar tak ja-
di duri, kukirim sekalian kau ke neraka! Hih...!"
Dayang Lembah Neraka segera menghantam-
kan kedua tangannya ke arah tubuh Tengkorak Berju-
bah yang masih menggeletak. Karena hantaman tan-
gannya yang dialiri tenaga dalam dan dilakukan dari jarak dekat, maka sekali
terhantam tubuh Tengkorak
Berjubah pasti akan hancur tak berkutik lagi.
Namun tatkala hantaman kedua tangan
Dayang Lembah Neraka sejengkal lagi menggebrak tu-
buh Tengkorak Berjubah, dari arah samping melesat
selarik sinar merah membawa suara angin menderu.
Lalu.... Splash!
Hantaman kedua tangan Dayang Lembah Nera-
ka kontan terpapasi, dan membelok ke samping me-
nerpa tempat kosong.
Blarr! Terdengar suara menggelegar dahsyat begitu
hantaman Dayang Lembah Neraka melabrak tanah ko-
song. "Jahanam busuk!" bentak Dayang Lembah Neraka. "Setan siapa yang berani
kurang ajar, he..."!"
Dayang Lembah Neraka segera berpaling ke
samping. Demikian juga Putri Tunjung Kuning. Dan
mereka berdua serentak terkesiap.
Sepuluh tombak di samping mereka, tampak
seorang pemuda tampan tengah berdiri tegak. Tubuh-
nya kekar dan tegap. Rambutnya panjang dan dikun-
cir. Sepasang matanya menyorot tajam dengan bibir
tersenyum menyeringai. Di telinga kirinya tampak melingkar sebuah anting-anting
berwarna kuning. Pemu-
da ini mengenakan jubah berwarna merah menyala.
*** 8 Sosok tubuh kekar dan tegap dengan jubah
merah yang baru datang ini menyeringai garang. Lalu kakinya melangkah perlahan,
mendekati Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Tiga tombak di depan
kedua orang ini, pemuda berjubah merah ber-
henti. Dia berdiri tegak kokoh sambil berkacak pinggang. Sementara sepasang
matanya tak berkedip me-
nelusuri tubuh Putri Tunjung Kuning.
"Siapa gerangan pemuda ini?" kata batin
Dayang Lembah Neraka.
Perempuan tua itu memperhatikan dengan sek-
sama pemuda di hadapannya dari ujung rambut hing-
ga kaki. Sedangkan Putri Tunjung Kuning yang merasa tubuhnya ditatap demikian
rupa, segera membuang
muka disertai suara lenguhan perlahan.
"Siapa kau, Bocah... "!" bentak Dayang Lembah Neraka, kasar.
Sosok berjubah merah yang tak lain Malaikat
Berdarah Biru memalingkan wajahnya. Pandangannya
diarahkan ke mulut gua yang tampak porak poranda.
"Tua bangka! Dengar baik-baik! Kau tak pantas
mengajukan pertanyaan padaku! Justru kaulah yang
harus menjawab pertanyaanku!" dengus Malaikat Berdarah Biru tanpa memandang pada
Dayang Lembah Neraka. Habis berkata demikian, Malaikat Berdarah Bi-ru mengibaskan jubahnya ke
belakang. Wess...! Seketika serangkum angin menderu tajam me-
Pedang Medali Naga 5 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 2