Pencarian

Puteri Teratai Merah 2

Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah Bagian 2


Bahkan, semasa dia menjadi putri angkat Paman Ba-
nyak Santang tak terhitung pangeran-pangeran dan
raja-raja yang melamarnya. Aneh memang!"
"Sama sekali tidak kusangka," gumam Kamanda-ka pelan seperti pada dirinya
sendiri. "Apa yang tidak Paman sangka?"
"Putri Teratai Putih..." jawab Kamandaka. "Mengapa tidak bersuami?"
"Menurut cerita Guru..., Putri Teratai Putih tidak bisa menerima orang lain
untuk menjadi suaminya kecuali Pendekar Naga Emas. Mengingat pendekar itu
aku menjadi gemas, Paman. Ingin ku jewer telinganya.
Bahkan, ingin sekali ku tuding-tuding dia. Sungguh
tak pantas perbuatannya meninggalkan Putri Teratai
Putih yang demikian cantik dan berbudi. Wanita ba-
gaimana lagi yang ingin dicarinya" Betapa pun Guru
memuji-mujinya setinggi langit, aku tidak kagum pa-
danya. Lelaki macam apa dia" Kudengar dia dan Putri
Teratai telah saling mencinta, tapi mengapa dia pergi begitu saja?"
Putri Teratai Merah berbicara dengan penuh se-
mangat. Wanita itu kelihatan penasaran sekali. Wa-
jahnya merah padam. Kedua tangannya yang berjari-
jari lunak serta halus dikepalkan. Andaikata Pendekar Naga Emas ada di depannya,
mungkin saat itu juga
akan terjangnya!
Kamandaka hanya membisu. Putri Teratai Merah
tak berbicara lagi. Keheningan pun tercipta.
"Jadi..., kau meninggalkan gurumu untuk mencari
Pendekar Naga Emas, Teratai?" Kamandaka memecah-
kan keheningan.
"Sekalian, Paman. Aku bermaksud hendak men-
gunjungi Putri Teratai Putih. Tentu saja mengenai niat untuk membuat perhitungan
dengan pendekar pengecut itu tidak kukatakan pada Guru. Aku bisa dimara-
hinya habis-habisan. Entah apa yang membuat Guru
demikian menghormati pendekar pengecut itu. Apakah
karena pertolongannya di waktu menghadapi penyer-
buan iblis-iblis yang merajai kaum sesat?"
"Mungkin sekali, Teratai," sahut Kamandaka menanggapi dugaan Putri Teratai
Merah, "Padahal, kalau menurut pendapatku orang yang berjuluk Pendekar
Naga Emas itu memang tidak patut mendapatkan
penghormatan demikian besar."
"Bagus sekali, Paman. Kalau demikian kita sepa-
ham. Dengan adanya dirimu mungkin aku bisa meme-
nuhi keinginanku itu. Masalahnya, menurut Guru, ke-
pandaian Pendekar Naga Emas itu amat tinggi! Bah-
kan, katanya lebih tinggi dari kepandaian Guru. Ba-
gaimana mungkin aku bisa menjewer telinganya" Tapi
dengan adanya kau, Guru tidak akan berani memara-
hiku. Tentu saja kalau kau membelaku, Paman. Bu-
kankah kau sahabat baik Guru" Bagaimana, Paman.
Apakah kau mau membantuku?"
"Dengan segala senang hati, Teratai!" Kamanda mengangguk, mantap.
"Ah...! Terima kasih, Paman. Kau baik sekali! Aku yakin Paman akan memenuhi
permintaanku. Bahkan
aku yakin Paman akan membuat pendekar pengecut
itu terkentut-kentut melarikan diri. Paman kan mem-
punyai kepandaian tinggi!" seru Putri Teratai Merah,
gembira. Kamandaka tak tahan untuk tidak tertawa men-
dengar perkataan terakhir Putri Teratai Merah. Perka-
taan gadis itu memang lucu untuk didengar. Membuat
Pendekar Naga Emas jadi terkentut-kentut.
Gelak tawa kembali terdengar. Kamandaka dan
Putri Teratai Merah tertawa geli.
"Kau bilang tadi semasa Putri Teratai Putih men-
jadi putri angkat Prabu Banyak Santang dia mendapat
banyak lamaran, Teratai?" tanya Kamandaka ketika te-ringat ucapan Putri Teratai
Merah tadi. "Lalu, sekarang Putri Teratai Putih menjadi apa di istana?"
"Beliau menjadi ratu, Paman! Sebelum meninggal
Paman Banyak Santang mengangkat Putri Teratai Pu-
tih menjadi penggantinya memimpin kerajaan."
"Ah...! Kiranya demikian?" Kamandaka mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau kelihatannya tertarik sekali dengan keadaan Putri Teratai Putih, Paman.
Apakah kau mempunyai
maksud-maksud tertentu terhadapnya?" tanya Putri Teratai Merah seraya menatap
Kamandaka penuh selidik. "Tidak ada maksud apa-apa, Teratai," jawab Kamandaka
sedikit kikuk melihat sikap Putri Teratai Me-
rah yang menyelidikinya. "Aku hanya merasa heran sa-ja. Tapi, aku pun kagum atas
keteguhan cinta kasih-
nya pada Pendekar Naga Emas."
"Apakah kau termasuk orang yang menyukai Putri
Teratai Putih, Paman?" desak Putri Teratai Merah, tak puas dengan jawaban yang
diberikan Kamandaka.
Kamandaka lebih dulu menghela napas berat se-
belum menganggukkan kepala.
"Tapi, aku bagaikan pungguk merindukan bulan,
Teratai. Mana mungkin Putri Teratai Putih yang memi-
liki kedudukan demikian tinggi akan sudi berjodoh
denganku?"
Putri Teratai Merah dapat menangkap kepedihan
dalam keluhan Kamandaka. Rasa iba tiba-tiba terpatri
di hatinya. "Apakah penyebab kau tidak mengurus dirimu
adalah Putri Teratai Putih yang tidak bisa kau persunting. Paman?"
Kamandaka tidak segera menjawab pertanyaan
itu. Ditatapnya wajah Putri Teratai Merah lekat-lekat.
Bulu kuduk gadis itu jadi merinding melihat sepasang
mata yang mencorong kehijauan tertuju lurus ke
arahnya. Sinar mata yang seakan mampu membaca isi
hati dan pikirannya.
"Hanya kepadamu aku membuka rahasia ini, Te-
ratai. Mungkin karena sikapmu dan keberadaanmu
yang mengingatkan aku akan dia, aku sendiri tidak
tahu pasti. Yang jelas, sejujurnya kukatakan, iya!"
Putri Teratai Merah serta Kamandaka lalu membi-
su. Suasana menjadi hening. Tapi, keheningan itu ti-
dak berlangsung lama. Kamandaka segera memecah-
kannya. "Mengapa kita menjadi cengeng begini, Teratai.
Kalau terus menuruti perasaan, kapan urusan yang
ingin kita selesaikan bisa beres?"
"Kau benar, Paman!" Putri Teratai Merah bagai di-gugah dari lamunannya. "Aku
memang sudah tidak
sabar untuk berjumpa dengan pendekar pengecut itu!"
"Kalau demikian, mari kita berangkat!" ajak Kamandaka.
Putri Teratai Merah segera menganggukkan kepa-
la. Mereka berdua pun kemudian bergegas mengayuh-
kan langkah meninggalkan tempat itu.
4 "Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras memecah kesunyian.
Tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah yang
tengah bersemadi membuka matanya dan memandang
ke arah asal suara tawa menggelegar yang membuat isi
dadanya tergetar. Enam tombak di hadapan kakek
berpakaian merah itu terlihat berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Bibirnya tersenyum sinis. Dan, se-
pasang matanya berkilat-kilat tajam!
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Ku-
litnya kekuningan seperti juga warna pakaiannya. Di
kiri pinggangnya terselip sebatang pedang
"Kaget, Malaikat Merah"!" tanya pemuda itu mengejek. Sikapnya terlihat memandang
rendah kepada orang di depannya.
Kakek yang berjuluk Malaikat Merah adalah salah
seorang dari pimpinan Perkumpulan Sepasang Malai-
kat. Kakek itu kini bangkit berdiri dengan sikap was-
pada. Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat
suara tadi menyebabkannya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak Muda"}" tanya Malaikat Merah tanpa mempedulikan pertanyaan
pemuda itu. Sepasang mata kakek ini menelusuri sekujur tubuh pemu-
da di depannya dengan perasaan kaget yang tidak da-
pat disembunyikan.
"Kau kenal Hantu Rambut Emas?" tanya pemuda itu. Terdengar dingin dan datar
suaranya. "Apa hubunganmu dengannya?"
Malaikat Merah malah balas mengajukan perta-
nyaan. Ia merasakan tiba-tiba jantungnya berdebar-
debar keras. Wajah kakek berpakaian merah ini seke-
tika berubah. Dia kenal betul siapa Hantu Rambut
Emas. Tokoh itu adalah salah satu dari tiga datuk
kaum sesat yang tewas di tangannya.
"Aku masih terhitung adik seperguruannya...,"
lanjut pemuda itu.
"Apa"!" Sepasang mata Malaikat Merah terbelalak bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Malaikat Merah" Sekarang kau ten-
tu sudah tahu maksud kedatanganku kemari, bukan?"
Belum juga gema ucapannya habis, adik sepergu-
ruan Hantu Rambut Emas telah melesat menerjang
Malaikat Merah. Jari-jari kedua tangannya terbentang
lurus. Tangan kanannya ditusukkan ke arah leher, se-
dangkan tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdesir tajam, seakan-akan yang meluncur
sebatang pedang yang amat tajam. Malaikat Merah
mengenal serangan berbahaya. Maka, buru-buru di
geser kakinya ke samping sehingga serangan itu mele-
set beberapa jari di samping tubuhnya.
Brettt! Malaikat Merah terkejut bukan main. Pakaian pa-
da bahu bagian kanan robek memanjang seperti ter-
sayat pedang! Malaikat Merah yang telah kenyang pengalaman
segera tahu kalau hal itu terjadi akibat angin serangan lawan yang menyerempet
pakaiannya. "Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok"!" kakek berpakaian merah itu tampak
terkejut bukan main.
Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok amat diken-
al oleh Malaikat Merah. Karena, kakek itu pernah me-
lihat seorang tokoh menggunakannya. Sebuah ilmu
yang mempunyai keistimewaan membuat tangan pemi-
liknya tak ubahnya pedang dan golok. Malah bagi yang
memiliki tenaga dalam amat kuat, angin serangannya
saja tak kalah dahsyatnya dengan tusukan atau baba-
tan pedang! Ilmu itu diketahui secara pasti oleh Malaikat Merah, dan dimiliki
oleh seseorang yang amat di-
kaguminya. Pendekar Naga Emas! Tapi, mengapa pe-
muda berpakaian kuning ini memilikinya" Dari mana
ilmu itu didapatkannya"
Malaikat Merah menggeram. Terdengar bunyi ber-
kerotokan keras dari sekujur tubuhnya seakan tulang
belulangnya berpatahan. Padahal, kakek ini tidak
menggerakkan tangan atau kaki. Uap tipis tampak
mengepul dari sekujur tubuhnya.
Diawali teriakan melengking nyaring, Malaikat Me-
rah menerjang pemuda berpakaian kuning. Pemuda itu
tidak tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan itu
dengan tak kalah dahsyat
Dalam waktu sebentar saja pertarungan telah ber-
langsung puluhan jurus. Selama itu Malaikat Merah
senantiasa berada di pihak yang terdesak. Malah, ser-
ing kakek ini hanya mampu bermain mundur.
Malaikat Merah sadar kalau pemuda yang menga-
ku adik seperguruan Hantu Rambut Emas ini tak akan
mungkin dikalahkannya. Ingin rasanya mengadu nya-
wa. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin
melakukan hal itu. Kakek ini tidak ingin pemuda yang
menjadi lawannya itu mati konyol!
"Ayah...!"
Sesosok tubuh berpakaian putih yang melesat dari
arah lereng berteriak keras. Nada suaranya menyi-
ratkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Akh!"
Malaikat Merah tak kuasa untuk menahan jeritan.
Jari-jari tangan lawan menusuk bahu kanannya hing-
ga tembus. Darah muncrat-muncrat. Untungnya kakek
ini masih sempat melempar tubuhnya ke belakang.
Hanya saja, karena keadaannya yang tidak mengun-
tungkan, tubuhnya jatuh terguling-guling.
Malaikat Merah benar-benar memiliki kekerasan
hati yang luar biasa. Dengan sigap dia kembali bangkit dan bersiaga untuk
menghadapi segala kemungkinan
yang terjadi. Keadaan kakek ini benar-benar mengenaskan! Se-
luruh pakaiannya koyak-koyak bagai tersayat-sayat
senjata tajam. Bahkan, pada beberapa bagian tubuh-
nya terdapat garis kemerahan memanjang. Meskipun
demikian, teriakan yang amat dikenalnya membuat
Malaikat Merah menyempatkan diri untuk mengalih-
kan perhatian ke arah asal suara.
"Putih! Cepat pergi dari sini! Cepat!" teriak Malaikat Merah, kalap.
Tapi sosok yang dipanggil Malaikat Merah dengan
nama Putih, yang bukan lain adalah Putri Teratai Pu-
tih, tidak memenuhi perintah itu. Dia malah mene-
ruskan langkahnya dan berhenti di sebelah kakek ber-
pakaian merah. Sementara itu pemuda berpakaian kuning ru-
panya yakin sekali akan kemenangannya. Dia tidak se-
gera melancarkan serangan. Yang dilakukannya ada-
lah berdiri tegak dengan kedua tangan di depan dada.
Sepasang matanya menatap Putri Teratai Putih dengan
sorot meremehkan!
Di saat yang bersamaan Putri Teratai Putih pun
menatap si pemuda. Dan, wanita ini langsung melon-
go. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan me-
lihat hantu. Mulutnya ternganga. Wajah wanita ini pu-
cat pasi dan kedua kakinya menggigil.
"Ayah...," rintih Putri Teratai Putih dengan suara pelan. "Apakah aku tidak
tengah bermimpi" Katakan kalau aku tengah bermimpi. Ayah. Katakan!"
Malaikat Merah menggenggam tangan Putri Tera-
tai Putih. Kakek ini tahu perasaan yang tengah bergo-
lak di hati putri satu-satunya itu. Hal ini membuatnya merasa terharu.


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Putih," Malaikat Merah menggeleng. "Kau tidak tengah bermimpi. Apa yang
kau lihat ini adalah
kenyataan sesungguhnya!"
Kedua kaki Putri Teratai Putih semakin menggigil.
Kalau saja Malaikat Merah tidak memegang tangannya
dan mengerahkan tenaga untuk membantu, mungkin
wanita itu telah jatuh di tanah. Putri Teratai Putih akan berdiri dengan
mempergunakan lututnya.
"Apakah ini akhir dari penantianku. Ayah?" keluh Putri Teratai Putih lagi.
Suaranya gemetar hendak menangis. Kelihatan jelas kalau wanita ini menderita
guncangan batin yang hebat "Mungkinkah pemuda itu putra dia. Ayah?"
Malaikat Merah mengepalkan tangan kirinya. Ka-
kek ini kelihatan geram. Putrinya tengah menderita te-kanan batin yang hebat.
Tapi, rasa iba yang besar juga melanda hati kakek ini. Malaikat Merah tiba-tiba
merasa marah sekali. Entah kepada siapa kemarahan itu
di tujukannya. "Aku yakin demikian, Putih," jawab Malaikat Merah sejujurnya. Untuk mengatakan
pendapat yang di-
yakininya menghancurkan hati Putri Teratai Putih
Malaikat Merah beberapa kali menelan ludah
membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Kalau tidak demikian, mana mungkin ada seorang
pemuda yang demikian mirip dengannya, bak pinang
dibelah dua" Melihat pemuda itu tak ubahnya meli-
hat... kekasihmu itu di waktu muda. Tidak ada be-
danya sekali pun!"
"Ayah...," keluh Putri Teratai Putih tertahan, sebe-
lum akhirnya roboh pingsan. Rupanya, guncangan ba-
tin yang diterimanya terlampau besar.
"Putih?" seru Malaikat Merah dengan suara bergetar karena rasa iba dan haru yang
melanda. Kakek ini bertindak cepat sehingga tubuh Teratai
Putih tidak merosot jatuh. Dengan hati-hati Malaikat
Merah menggeletakkan tubuh putrinya di tanah.
"Kurasa aku sudah cukup berbuat baik, Malaikat
Merah! Sekarang saatnya bagimu untuk menerima
kematian!" Pemuda berpakaian kuning tiba-tiba berkata setelah sejak tadi berdiam
diri memperhatikan ayah dan anak di depannya. "Sebelum kau tewas di tanganku,
kuberikan padamu kesempatan untuk mengenali-
ku. Namaku adalah Reksanata! Jelas"!"
Malaikat Merah tersenyum getir. Disadarinya ka-
lau tak mungkin lolos dari tangan Reksanata. Hal ini
menyebabkan hatinya gundah. Kakek ini benar-benar
rela mati di tangan pemuda tangguh itu.
"Tunggu dulu, Anak Muda!" selak Malaikat Merah, sebelum Reksanata melancarkan
serangan. "Ada apa lagi, Malaikat Merah"!" Reksanata menghentikan gerakannya. "Kesempatan
yang kuberikan untukmu bukan berarti kau bisa memohon ampunan!"
"Aku tidak ingin meminta ampunan darimu, Rek-
sanata!" sentak Malaikat Merah. Kakek ini merasa tersinggung dengan ucapan
lawannya. "Aku bukan orang yang takut menghadapi kematian! Aku hanya ingin ta-hu
dari mana kau dapatkan ilmu Tangan Sakti Pedang
dan Golok. Setahuku ilmu itu hanya dimiliki oleh seo-
rang kawan baikku. Pendekar Naga Emas julukannya.
Apakah kau menerima ilmu itu darinya"!"
"Kau ngawur, Malaikat Merah!" Reksanata berseru keras. "Ilmu ini tidak
kudapatkan dari sahabatmu.Bahkan, aku sama sekali tak mengenalnya. Aku men-
dapatkannya dari guruku sendiri. Orang yang pernah
menjadi guru dari Hantu Rambut Emas!"
Malaikat Merah mengernyitkan kening. "Kau tidak
mengenal tokoh yang kusebutkan tadi?"
"Mendengar namanya aku pernah. Guruku sering
menyebutkannya dan menyuruhku untuk membina-
sakannya. Tapi, melihatnya aku belum. Apalagi sampai
mengenal dan menerima ilmu darinya. Pendekar Naga
Emas adalah termasuk musuhku! Aku akan membuat
perhitungan dengannya!"
Malaikat Merah semakin bingung. Kalau tidak ada
hubungan antara Reksanata dengan Pendekar Naga
Emas, mengapa mereka berdua mempunyai cirri-ciri
yang demikian serupa"
"Tak usah mengulur waktu lebih lama, Malaikat
Merah! Kurasa sudah tiba saatnya bagimu untuk me-
nemui malaikat dalam kubur!" potong Raksanata tak sabar.
Malaikat Merah menghembuskan napas berat.
Kakek ii tampaknya sudah pasrah. Meski demikian,
melihat sekujur tubuhnya yang menegang, Malaikat
Merah rupanya termasuk orang yang tak akan mem-
biarkan nyawanya dicabut orang begitu saja.
"Hanya seorang berwatak pengecut saja yang akan
membunuh lawan yang sudah tak berdaya...!"
Seruan yang diucapkan tidak terlalu keras tapi
bernada tajam itu membuat Malaikat Merah, terutama
sekali Reksanata, menoleh ke arah asal suara. Reksa-
nata merasa geram bukan main mendengar makian
itu. Ia adalah seorang yang berwatak sombong. Tidak
ada hal yang paling menyakitkan hatinya kecuali ang-
gapan kalau dirinya seorang pengecut!
Reksanata dan Malaikat Merah agak terperanjat
ketika melihat seorang pemuda berambut putih kepe-
rakan melangkah tenang mendekati tempat mereka
berdua. Pemuda yang bukan lain Arya Buana atau
yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak!
Kedua tokoh ini sempat merasa heran melihat
rambut Arya. Melihat dari rambutnya, menurut kedua
orang itu pemiliknya seharusnya seorang yang telah
berusia lanjut. Tapi kenyataannya rambut itu berada
di kepala seorang pemuda berusia dua puluhan tahun.
"Siapa kau, Rambut Putih"!" bentak Reksanata keras setelah berhasil menguasai
perasaan kagetnya.
"Sungguh lancang kau bersikap seperti itu padaku!
Apakah kau hendak buru-buru pergi ke alam kubur"
Kalau kau tidak segera minta ampun dan meninggal-
kan tempat ini, rambut setanmu itu akan ku babat
habis!" "Aku hanya akan pergi dari tempat ini apabila kau sudah pergi dan tidak
melanjutkan tindakan pengecut
mu terhadap orang tua yang sudah tidak berdaya itu,"
jawab Arya seraya menunjukkan jarinya ke arah Ma-
laikat Merah. "Keparat! Rupanya kau ingin berlagak menjadi
pendekar sejati, Rambut Aneh! Cepat pergi sebelum
kesabaranku hilang dan kujatuhkan hukuman terha-
dapmu. Kau harus menjilat telapak kakiku tujuh kali,
dan nyawamu yang tidak berharga itu kuampuni. Pan-
tang bagiku Reksanata, tokoh yang akan menggem-
parkan dunia persilatan, bertarung dengan orang tidak wajar seperti kau!"
"Benar, Anak Muda," Malaikat Merah yang tidak ingin ada orang lain terluka atau
mati karena membe-lanya, ikut memberi nasihat pada Arya.
Malaikat Merah bukannya tidak tahu kalau Arya
mempunyai kepandaian tinggi. Sikap pemuda itu yang
tenang dan sorot sepasang matanya yang tajam men-
corong kehijauan telah menjadi bukti nyata. Kendati
demikian, Malaikat Merah tidak yakin Arya akan
mampu menandingi Reksanata. Pemuda berpakaian
kuning itu memiliki kepandaian yang demikian dah-
syat. Bahkan, mungkin tidak kalah dengan Pendekar
Naga Emas! Padahal, pendekar itu merupakan jago
nomor satu pada masanya.
Arya sendiri hanya tersenyum dan mengangguk-
kan kepala sedikit pada Malaikat Merah. Pemuda itu
tahu kakek itu tidak bermaksud meremehkannya.
Hanya khawatir kalau dia akan mengalami celaka di
tangan Reksanata.
"Sayang sekali, Reksanata," ujar Arya tenang seraya menatap pemuda sombong itu
tepat pada bola
matanya. "Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu!
Aku bukan seorang pengecut. Dan...."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya. Reksa-
nata telah menerjangnya lebih dulu. Teriakan keras
menggelegar yang mampu menggetarkan sekitar tem-
pat itu dikeluarkan Reksanata bersamaan dengan me-
lesatnya tubuh pemuda itu ke arah Dewa Arak.
Reksanata mengawali serangannya dengan sebuah
tendangan kaki kanan ke pelipis. Angin menderu keras
mengiringi meluncurnya serangan itu. Sungguh dah-
syat serangan Reksanata. Batu karang yang paling ke-
ras pun akan hancur lebur jika terhantam. Maka, bu-
ru-buru Arya menarik kaki kanannya ke belakang se-
raya mencondongkan tubuh ke belakang. Serangan
Reksanata pun kandas!
Melihat serangan pertamanya mengalami kegaga-
lan dengan cara yang demikian mudah, Reksanata
menjadi penasaran bukan main. Rasa penasaran yang
bercampur kegeraman. Serangan susulan yang tidak
kalah dahsyatnya pun segera dilancarkan. Sesaat ke-
mudian, kedua jago muda itu telah terlibat dalam per-
tarungan sengit! Reksanata benar-benar sudah kehi-
langan kesabaran. Serangan-serangan yang dilancar-
kannya selalu mengarah bagian-bagian yang memati-
kan. Pemuda itu agaknya mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang dimilikinya. Sehingga, tiap kali seran-
gannya meluncur datang maut pun siap merenggut
nyawa Dewa Arak!
Prat, prat, pratt!
Untuk pertama kalinya benturan keras dan bertu-
bi-tubi terjadi. Dua pasang lengan yang mengandung
tenaga dalam kuat saling beradu. Akibatnya, Dewa
Arak dan Reksanata terhuyung-huyung empat langkah
ke belakang. Reksanata kelihatan terkejut. Semula pemuda
sombong ini menyangka kalau di dunia persilatan
hanya dirinya saja yang memiliki kepandaian tinggi, terutama di kalangan tokoh-
tokoh muda. Dia mengang-
gap dirinya tak terlawan lagi. Tapi, kenyataan yang
menjadi membuatnya sangat terpukul dan kecewa. Se-
rangan-serangannya kemudian pun dilancarkan sema-
kin dahsyat. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Se-
bentar saja lima puluh jurus telah terlewat. Keadaan
masih berimbang. Kenyataan ini semakin membuat
Reksanata murka. Serangan-serangannya kini lebih
banyak ditujukan pada penyerangan, dan hampir-
hampir tidak mempedulikan pertahanan sama sekali.
Rasa kecewa dan terpukul mengingat ada pemuda lain
yang memiliki kepandaian tak kalah dengannya mem-
buat Reksanata nekat! Yang ada di benak pemuda ini
adalah mengalahkan Dewa Arak! Akibat apa pun tidak
dipikirkannya sama sekali.
Dukkk, plakkk. Desss! Tubuh Dewa Arak dan Reksanata sama-sama ter-
jengkang ke belakang. Dewa Arak masih sanggup men-
jejak tanah dengan kedua kakinya kendati terhuyung-
huyung. Reksanata mengalami nasib yang lebih buruk.
Pemuda ini terbanting keras di tanah. Memang dia ma-
sih mampu bangkit, tapi dari sudut mulutnya mengalir
cairan merah kental.
Reksanata terluka dalam yang cukup parah kare-
na tamparan Arya mengenai pangkal tangan kanan-
nya. Sedangkan Arya sendiri hanya terkena sapuan
pada kakinya. Pertarungan langsung terhenti. Reksa-
nata menatap Dewa Arak dengan sinar merah penuh
dendam. "Kali ini aku mengaku kalah, Rambut Setan! Tapi
ingat, kekalahan ini tidak untuk selamanya. Kelak aku akan datang untuk
menebusnya kembali. Ingat baik-baik kataku ini!"
Usai berkata demikian, dengan dada dibusungkan
dan dagu diangkat tinggi-tinggi Reksanata membalik-
kan tubuh. Kemudian, dengan agak terhuyung-huyung
ia berlari meninggalkan tempat itu.
Arya tidak mengejar. Pemuda ini malah memper-
hatikan kepergian pemuda berpakaian kuning itu. Ke-
mudian napas berat keluar dari mulutnya. Dia kembali
telah menanamkan bibit permusuhan dengan lawan
yang teramat tangguh. Kalau Reksanata saja sudah
memiliki kepandaian demikian tinggi, bagaimana pula
orang yang menjadi gurunya" Batin Dewa Arak
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Kalau tidak ada kau mungkin aku dan anakku hanya
tinggal nama sekarang."
Lamunan Arya buyar oleh suara itu. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini membalikkan tubuh untuk
menghadap Malaikat Merah.
"Tak ada yang perlu diucapkan mengenai perto-
longanku ini, Kek. Hanya suatu kebetulan aku berada
di sini. Maaf, apakah Putri Teratai Putih telah menceritakan pada Kakek mengenai
diriku?" "Tidak, Anak Muda!" Malaikat Merah menggeleng.
Meski sebenarnya merasa kaget mendengar Arya men-
genal Putri Teratai Putih, kakek ini dengan pandai menyembunyikan perasaan itu.
"Jadi, kau telah mengenal anakku, Anak Muda?"
"Kami bertemu di perjalanan secara tidak sengaja.
Dan begitu mendengar tentang dirimu, aku meminta
pada Putri Teratai Putih untuk bisa bertemu dengan-
mu. Aku sudah lama mengagumimu."
"Kau bercanda, Anak Muda," Malaikat Merah tersenyum getir, "Apa yang bisa
dibanggakan dari orang tua sepertiku" Menghadapi seorang pemuda saja aku
hampir tewas kalau kau tidak segera datang menolong.
Boleh ku tahu bagaimana kau bisa bertemu dan ber-
kenalan dengan putri ku?"
Sebelum Arya sempat memberikan jawaban, ter-
dengar Putri Teratai Putih mengeluh. Rupanya, wanita
ini telah tersadar dari pingsannya.
Arya dan Malaikat Merah segera mengalihkan
perhatiannya pada Putri Teratai Putih. Wanita itu sendiri tidak mempedulikan
pandangan mereka. Tatapan-
nya diedarkan ke sekitar tempat itu. Terutama ke tem-
pat di mana Reksanata tadi berada.
Malaikat Merah mengeluh dalam hati melihat ke-


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakuan putrinya. Sedangkan Arya yang tidak tahu po-
kok permasalahannya berdiam diri saja,
"Mana dia, Ayah?" tanya Putri Teratai Putih setelah tak menemukan orang yang
dicarinya. "Dia telah pergi, Putih," jawab Malaikat Merah dengan hati berat. "Kawan
seperjalanan mu yang telah
mengusirnya sebelum dia berhasil membunuhku."
"Oooh..." keluh Putri Teratai Putih. Lalu, dia bangkit berdiri. Kelihatan sekali
wanita ini merasa kecewa.
"Hentikan kecengenganmu, Putih! Tidak pantas
orang keturunan Perkumpulan Sepasang Malaikat ber-
sikap lemah seperti itu! Tak malu terhadap kawan se-
perjalanan mu yang melihat tingkahmu ini"!" tegur Malaikat Merah, karena tidak
senang melihat sikap Putri Teratai Putih!
Kakek ini sebenarnya tidak sampai hati berkata
seperti itu. Dia tahu mengapa putrinya demikian ter-
pukul. Tapi, keberadaan Dewa Arak membuatnya malu
atas sikap yang diperlihatkan putrinya.
Teguran Malaikat Merah membuat Putri Teratai
Putih tersadar. Meski rasa kecewa dan terpukul masih
melanda hati, dia mampu menekannya dengan meng-
gertakkan gigi. Disadarinya kebenaran ucapan ayah-
nya. Seorang pendekar tidak pantas untuk menuruti
kelemahan hati!
"Maafkan atas sikapku yang tak pantas, Arya,"
ujar Putri Teratai Putih dengan suara serak. "Aku terlalu terbawa perasaan. O
ya, ini ayahku, Arya. Malai-
kat Merah, pimpinan kedua Perkumpulan Sepasang
Malaikat yang ingin kau temui. Ayah, ini kawan seper-
jalanan ku yang telah menyelamatkan diriku dari
maut. Namanya Arya."
Arya dan Malaikat Merah saling menganggukkan
kepala seraya tersenyum lebar. Putri Teratai Putih lalu menceritakan semua
kejadian yang dialaminya sampai
bertemu Dewa Arak. Malaikat Merah mendengarkan
dengan penuh perhatian. Beberapa kali kakek ini men-
geluarkan seruan kaget.
"Sungguh tak kusangka kalau Pengemis Iblis Tan-
pa Tanding mempunyai seorang kakak seperguruan.
Dewa Tapak Darah julukannya. Sebagai seorang kakak
seperguruan, Dewa Tapak Darah pasti tak kalah lihai
dengan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Sungguh ber-
bahaya!" Malaikat Merah menggeleng-geleng dengan sikap prihatin.
"Itulah sebabnya aku datang kemari untuk mem-
beritahukan mu, Ayah. Aku yakin cepat atau lambat
Dewa Tapak Darah akan menyatroni tempat ini. Meski
letaknya tersembunyi, tapi dia pasti akan dapat me-
nemukannya," ujar Putri Teratai Putih.
Malaikat Merah mengangguk-angukkan kepala
menanggapi ucapan putrinya.
"Sebenarnya aku sangat senang dengan kedatan-
ganmu kemari, Putih. Apalagi dengan membawa kawan
perjalanan yang memiliki kepandaian demikian tinggi.
Sayang, kau datang terlambat"
Putri Teratai Putih mengernyitkan kening. Dia
berpikir sejenak untuk mencerna kata-kata ayahnya.
Sebentar kemudian, wanita ini merasakan ada sesuatu
yang tak beres telah terjadi.
*** 5 "Sejak tadi aku tidak melihat Teratai Merah. Ke
mana dia. Ayah?" tanya Putri Teratai Putih. Dia baru menyadari keanehan ini
karena kesibukannya menghadapi Reksanata.
Biasanya, setiap kali Putri Teratai Putih datang,
Putri Teratai Merah yang paling gembira menyambut-
nya. Gadis yang menjadi murid Malaikat Merah itu
memang telah menganggap Putri Teratai Putih sebagai
Ibunya sendiri.
"Itulah sebabnya kukatakan kalau kedatanganmu
terlambat, Putih. Teratai Merah telah lebih dulu pergi sebelum kau tiba. Apakah
kau tak menjumpainya di-perjalanan?" Malaikat Merah balas mengajukan pertanyaan.
"Jadi... Teratai Merah telah pergi, Ayah?" Terasa jelas nada kekecewaan yang
besar dalam suara Putri
Teratai Putih. "Mengapa dia pergi" Dan, hendak ke mana" Aku tidak menjumpainya
di perjalanan."
Malaikat Merah menghela napas berat "Berarti Te-
ratai Merah mengambil jalan memutar, Putih. Sayang
sekali! Padahal, dia ingin menjumpai mu di istana. Dia ingin sekali-kali memberi
kejutan. Karena sebelum kau datang dia berangkat lebih dulu. Katanya, sekalian
melihat-lihat pemandangan di jalan."
"Oooh...!" Putri Teratai Putih mengeluh kecewa.
Wajahnya ditekapkan dengan kedua tangan. Ke-
palanya pun ditundukkan dalam-dalam. "Kalau ku ta-hu akan begini, pasti jauh-
jauh hari aku telah pergi ke mari Ayah. Aku khawatir dia mendapat bahaya di
jalan. Dunia persilatan amat keras. Teratai Merah terlalu polos. Aku khawatir
terjadi apa-apa terhadapnya."
"Jangan khawatir, Putih," hibur Malaikat Merah.
"Sebelum Teratai Merah pergi, telah kuberikan nasihat padanya. Bahkan
kuberitahukan padanya untuk bersikap hati-hati meski menghadapi orang yang
keliha- tannya baik."
"Aku mengerti. Ayah. Tapi, tipu daya orang persilatan terlalu banyak."
"Aku bisa memaklumi kekhawatiranmu," timpal Malaikat Merah bijaksana, karena
mengetahui alasan
yang menyebabkan Putri Teratai Putih demikian kha-
watir. "Tapi cobalah kau bertindak sedikit bijaksana.
Bukankah kau dulu pun begitu" Betapa pun keras kau
buang keinginan hatimu tetap tidak bisa ku bendung.
Kenyataannya, kau selamat sampai hari ini. Lagipula
mana mungkin Teratai Merah akan mendapat penga-
laman kalau terus-menerus tinggal di tempat ini?"
Putri Teratai Putih pun terdiam. Disadari ada ke-
benaran yang tak bisa dibantah dalam penjelasan
ayahnya. Kendati demikian, perasaan khawatir yang
melanda tetap tak mau sirna.
"Aku masih belum bisa mengerti dengan mak-
sudmu, Putih," kali ini Malaikat Merah yang mengajukan keheranan. "Mengapa kau
mesti menyuruh Arya menunggu dan tidak langsung menemui Ayah di sini.
Kalau saja Arya terus menuruti permintaanmu, mung-
kin kau dan Ayah telah tewas di tangan Reksanata."
"Aku khawatir Ayah akan marah. Biar bagaimana
pun Arya orang luar. Padahal Ayah tidak suka jika
tempat tinggal Ayah diketahui orang. Karena itu, ku
putuskan untuk menyuruh Arya menunggu sedangkan
aku memberitahukan hal ini pada Ayah. Bukankah
pengawal-pengawalku pun demikian jika aku tengah
menemui Ayah?" jawab Putri Teratai Putih memberikan alasan.
Permintaan Putri Teratai Putih ini yang menye-
babkan Arya datang lebih lambat. Arya menunggu
sampai Putri Teratai Putih kembali dan memberikan
jawaban. Tapi ketika pemuda ini mendengar bunyi-
bunyi gaduh, dengan perasaan tak enak diputuskan-
nya untuk meninggalkan tempat persembunyian di ba-
lik dinding batu yang menjulang tinggi, lima puluh
tombak dari tempat tinggal Malaikat Merah.
Tindakan yang diambil Arya ternyata tepat. Keda-
tangannya menyebabkan bahaya maut yang mengan-
cam Malaikat Merah dan juga Putri Teratai Putih ber-
hasil dihindarkan.
"Itu memang benar, Putih. Tapi Arya kan lain. Dia seorang penolongmu. Jadi
merupakan tamu kehormatan. Mana mungkin aku tidak menyukai nya?" bantah Malaikat
Merah membela diri.
Putri Teratai Putih ingin mengajukan bantahan la-
gi. Wanita yang ternyata berhati keras ini tidak mau
dipersalahkan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya,
Arya telah buru-buru menengahi. Rupanya ia merasa
bertanggung jawab atas terjadinya perdebatan antara
ayah dan anak itu
"Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek, Putri.
Tapi menurut hematku sebaiknya masalah ini disele-
saikan saja. Bagiku hal ini tidak merupakan masalah.
Tindakan yang diambil Putri tidak salah, dan peratu-
ran Kakek juga benar. Aku bisa memakluminya."
"Syukurlah kalau kau berpikir demikian, Arya"
timpal Malaikat Merah dengan hati lega. "Aku memang khawatir kau merasa
dicurigai. Sekarang dengan
adanya jawabanmu seperti itu, aku merasa lega. Sekali lagi kuucapkan banyak-
banyak terima kasih atas pertolonganmu."
"Bukankah itu merupakan kewajiban kita selaku
pembela-pembela keadilan, Kek?" kilah Arya setengah mengingatkan.
Malaikat Merah tidak memberikan tanggapan. Ja-
waban Arya mengingatkannya kalau pertolongan yang
diberikan pemuda itu bukan merupakan hal yang luar
biasa. Menolong orang yang tertindas memang sudah
merupakan kewajiban setiap tokoh golongan putih!
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Putih?"
tanya Malaikat Merah pada putrinya.
"Aku akan kembali ke dunia persilatan, Ayah! Ha-
tiku tidak merasa tenang kalau belum melihat Teratai
Merah selamat. Peristiwa seperti dua puluh tahun lalu aku yakin akan terulang
kembali. Bukan tidak mungkin tokoh-tokoh golongan hitam selihai datuk-datuk
sesat dulu akan keluar lagi. Kenyataannya, Dewa Ta-
pak Darah telah muncul."
Malaikat Merah menghela napas berat. Kakek ini
terlihat begitu gusar.
"Aku pun tidak mungkin tenang lagi tinggal di si-ni, Putih. Munculnya tokoh
seperti Dewa Tapak Darah,
apalagi Reksanata yang menyimpan rahasia besar den-
gan kesamaan ilmunya seperti Pendekar Naga Emas,
membuatku ingin segera tahu keanehan ini"
"Kalau begitu, kita bersama-sama menyingkapkan
rahasia itu. Ayah?" Putri Teratai Putih mengajukan usul. "Mungkin sebaiknya kita
berpisah, Putih. Kau bersama Arya dan aku akan menyusul belakangan.
Butuh waktu beberapa hari bagiku untuk meninggal-
kan tempat yang kucintai ini."
"Kalau demikian, biar aku berangkat lebih dulu,"
ujar Putri Teratai Putih.
"Begitu pun bagus!" sahut Malaikat Merah menyambuti usul putrinya.
*** Sesosok bayangan hitam berkelebat di bawah te-
rangnya cahaya bulan purnama. Gerakannya cepat
bukan main sehingga yang terlihat hanya kelebatan
bayangan hitam saja. Sosok bayangan ini ternyata
Nambi yang dulu menjabat sebagai panglima kerajaan.
Nambi terus berlari cepat. Langkahnya baru diper-
lambat ketika mendekati bangunan besar berhalaman
luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar
kayu bulat tinggi. Sepasang mata Nambi berbinar-
binar begitu menatap bagian atas pintu gerbang utama
tergantung sebuah papan tebal berukir yang tuliskan
huruf-huruf indah berbunyi 'Perkumpulan Pengemis
Baju Merah'. Sekali melompat tubuh lelaki itu telah berada te-
pat di depan pintu gerbang Perkumpulan Pengemis Ba-
ju Merah. Kemudian, Nambi menghantamkan kedua
tangannya ke daun pintu.
Brakkk! Daun pintu gerbang hancur berkeping-keping.
Bunyi gaduh yang timbul mengejutkan orang-orang
yang berada di bagian dalam pintu gerbang.
"Ha ha ha....'"
Nambi memperdengarkan tawa aneh. Suaranya
pelan dan berat, tapi bergaung. Tawa yang tidak pan-
tas keluar dari mulut manusia. Lelaki ini menatap pu-
luhan sosok berpakaian merah yang berdiri sekitar li-
ma tombak di depannya.
"Rupanya kalian sudah siap menyambut kedatan-
ganku," dengus Nambi tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati di tangan sosok-
sosok berpakaian merah penuh tambalan tergenggam tongkat berujung runcing.
Sikap sosok-sosok yang bukan lain anggota Perkumpu-
lan Pengemis Baju Merah tampaknya sudah siap ta-
rung. "Tidak usah banyak basa-basi, Nambi! Telah ku
dengar kalau kau membasmi seluruh isi Perguruan
Hutan Larangan dengan kejam! Kami, Perkumpulan
Pengemis Baju Merah, akan membalaskan kematian
mereka!" bentak seorang pengemis kurus kering yang berdiri paling depan.
Pengemis yang telah berusia lanjut ini adalah pimpinan Perkumpulan Pengemis Baju
Merah. Pengemis Tongkat Badai, julukannya!
"Aku memang tak ingin berbasa-basi," rungut Nambi tak senang. "Kedatanganku
kemari adalah untuk membasmi kalian semua seperti halnya Perkum-
pulan Hutan Larangan! Kalian yang telah menyebab-
kan usahaku untuk menjadi raja dan mempersunting
Putri Teratai Putih gagal. Bersiaplah untuk menghadap Malaikat maut!"
Nambi melesat menerjang Pengemis Tongkat Ba-
dai. Kedua tangannya secara berbarengan disampok-
kan ke arah dada dan ulu hati lawan. Bunyi berkero-
takan nyaring terdengar sebelum serangan bekas pan-
glima kerajaan itu tiba.
Pengemis Tongkat Badai tidak berani bersikap
main-main. Segera saja tongkatnya diputar bagal kiti-
ran. Kemudian, dikelebatkan menangkis serangan
yang mengancam dada dan ulu hatinya.
Brakkk! Benturan antara tongkat dan sepasang tangan
pun tak terelakkan lagi. Tubuh Pengemis Tongkat Ba-
dai terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Se-
kujur tangannya yang memegang tongkat dirasakan
lumpuh seketika. Bahkan, dadanya pun terasa sesak
bukan main! Nambi yang sedikit pun tidak terpengaruh oleh
tangkisan tongkat Pengemis Tongkat Badai kembali
mendengus. Kini dia sudah memburu tubuh yang ten-
gah terhuyung-huyung itu.
Melihat nyawa Pengemis Tongkat Badai terancam,
murid-muridnya tak tinggal diam. Mereka bergegas
melompat menjegal serangan Nambi. Seketika ujung
belasan tongkat mengarah ke berbagai bagian tubuh
bekas panglima kerajaan itu.
Bukkk! Takk! Dukk!


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telak dan keras bukan main belasan tongkat itu
menghantam sasaran. Tapi Nambi tidak terpengaruh
sama sekali. Memang, sebelum membiarkan serangan-
serangan itu mengancam tubuhnya, Nambi telah men-
gerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.
Nambi tidak bertindak lembut. Segera dicabutnya
senjata andalannya. Serangan balasan berupa samba-
ran sepasang senjatanya pun meluncur ke arah para
pengeroyok itu. Seketika tubuh murid-murid Perkum-
pulan Pengemis Baju Merah berpentalan bak dilanda
angin topan! Setiap kali tangan Nambi bergerak, satu
tubuh terbanting di tanah dan tak bangkit lagi untuk
selamanya. Tapi, pengemis-pengemis baju merah bukan orang
yang berwatak pengecut. Meski hanya dalam waktu
singkat kawan-kawan mereka telah tewas, tapi dengan
semangat tinggi di bawah pimpinan Pengemis Tongkat
Badai mereka melakukan perlawanan mati-matian!
Pertarungan seru pun terjadi. Nambi mengamuk.
Jerit kematian terdengar silih berganti setiap kali tangan Nambi bergerak. Hanya
dalam beberapa gebrakan
saja halaman markas Perkumpulan Pengemis Baju Me-
rah telah dipenuhi oleh mayat-mayat yang bergelim-
pangan. Darah tampak membanjiri tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Nambi kembali tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu
kelihatan gembira bukan main.
"Kematianmu sudah di ambang pintu, Pengemis
busuk! Setelah kau, baru giliran Pendekar Naga Emas.
Pendekar yang terkenal itu akan tewas di tanganku.
Dan aku, Nambi, akan menjadi tokoh tak terkalahkan
dunia persilatan! Ha ha ha...!"
Pengemis Tongkat Badai hanya dapat mengger-
takkan gigi untuk mengusir kegeraman hatinya. Seka-
rang dia tinggal sendiri. Disadarinya tak akan mungkin dapat mengalahkan Nambi.
Tadi saja sewaktu anak
buahnya masih ada tokoh itu tak bisa dikalahkannya,
apalagi sekarang"
Hampir berbarengan dengan usainya gelak tawa
Nambi, terdengar suara tawa nyaring yang menggetar-
kan sekitar tempat itu! Pengemis Tongkat Badai sam-
pai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk me-
lawan pengaruh suara tawa yang membuat isi dadanya
bergetar hebat!
"Besar sekali sesumbar mu, Sobat! Kau kira hanya dirimu seorang yang memiliki
kepandaian" Selama ada
aku jangan harap maksudmu itu akan terlaksana!
Akulah yang akan menjadi jago tak terkalahkan di du-
nia persilatan!"
Nambi mendengus marah mendengar ucapan itu
ditujukan terhadapnya. Tubuhnya lalu dibalikkan
dengan cepat. Dia tahu pemilik suara itu ada di bela-
kangnya. Dugaan Nambi memang tidak keliru. Dari balik
pintu gerbang yang sudah tak berdaun lagi melesat se-
sosok bayangan yang tak terlihat jelas bentuknya ka-
rena cepatnya gerakan yang dilakukannya. Sosok itu
berhenti melesat pada jarak tiga tombak dari Nambi.
"Siapa kau, Mulut Lancang"!" tanya Nambi keras.
Setelah memperhatikan beberapa saat lamanya dia tak
juga mengenal siapa pendatang baru ini
Dia adalah seorang kakek bermuka merah. Sepa-
sang matanya hampir tak terlihat karena hanya beru-
pa garis memanjang.
"Kau benar-benar memiliki keberanian dan ke-
sombongan yang melewati batas. Sobat! Rupanya kau
belum mengenal siapa adanya aku"!" gertak kakek
bermuka merah. "Pernahkah kau mendengar julukan
Pengemis Iblis Tanpa Tanding?"
"Tentu saja." dengus Nambi penuh ejekan. "Seorang tokoh yang katanya memiliki
kepandaian amat
tinggi sehingga mampu menjadi salah seorang datuk
persilatan. Tapi kenyataannya" Tak lebih dari seorang jago di kalangan sendiri.
Bayangkan, menghadapi Pendekar Naga Emas saja kalah dan akhirnya tewas! Da-
tuk macam apa itu" Sungguh menyesal sekali aku be-
kerja sama dengannya. Kalau tidak, mungkin sekarang
aku telah menjadi raja!"
"Hantu Belang! Jin Hutan! Kau benar-benar me-
miliki mulut yang besar, Anjing Hitam! Aku Dewa Ta-
pak Darah, selaku orang yang pernah menjadi kakak
seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding, takkan
membiarkan mu seenaknya saja membuka mulut!
Akan kubuktikan kalau akulah yang lebih pantas men-
jadi tokoh tak terkalahkan dunia persilatan!" tandas Dewa Tapak Darah, mantap.
"Keparat!"
Nambi berteriak marah mendengar makian yang
ditujukan kepadanya. Berbarengan dengan dikelua-
rkannya teriakan, bekas panglima kerajaan ini melu-
ruk ke arah Dewa Tapak Darah. Serangan bertubi-tubi
berupa tendangan kaki kanan menuju ulu hati, dada
dan leher dikirimkannya.
Meski terkejut melihat kedahsyatan serangan
Nambi, Dewa Tapak Darah mengeluarkan dengusan
mengejek. Perasaan tak mau kalah mendorongnya un-
tuk memapaki serangan-serangan itu.
Plak, plak, plak!
Dewa Tapak Darah terperanjat ketika mendapati
kedua tangannya terasa sakit. Tubuhnya terhuyung-
huyung dua langkah ke belakang. Sementara Nambi
hanya terhuyung satu langkah!
Nambi tertawa mengejek melihat keterkejutan la-
wannya. Sambil mengeluarkan tawa tak putus, diki-
rimkannya serangan susulan. Dewa Tapak Darah me-
nyambutinya. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Di jurus-jurus awal pertarungan kelihatan seim-
bang. Tapi begitu memasuki jurus kedua puluh lima,
Dewa Tapak Darah mulai kewalahan. Kakek bermuka
merah ini lebih banyak mengelak dan menangkis dari-
pada menyerang.
*** "Mengapa kita harus berdiam diri saja di sini Pa-
man?" Ucapan itu keluar dari mulut seorang gadis ber-
pakaian merah. Sepasang matanya yang bening indah
menatap lelaki kumal di sebelahnya dengan tanpa me-
nyembunyikan rasa penasaran. Saat itu dua sosok
yang bukan lain Kamandaka dan Putri Teratai Merah
itu memang tengah berada di atas genteng salah ban-
gunan. "Maksudmu bagaimana, Teratai?" Kamanda malah balas bertanya. Seperti juga Putri
Teratai Merah. Kamandaka berbicara hampir berbisik karena tak ingin
ucapannya didengar oleh kedua tokoh sesat yang ten-
gah bertarung. "Kita turun dan memberikan hajaran pada mereka
yang telah begitu kejam membasmi orang-orang Per-
kumpulan Pengemis Baju Merah. Menurut Guru, Per-
kumpulan Pengemis Baju Merah mempunyai hubun-
gan yang baik dengan Perkumpulan Sepasang Malai-
kat. Berarti sudah kewajibanku dan juga kau untuk
membalaskan kekejian ini. Bukankah kau termasuk
sahabat Guru, Paman" Aku yakin kau pun merupakan
sahabat orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Me-
rah. Benarkah dugaanku ini?"
Kamandaka menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu benar, Teratai. Tapi ki-ta pun harus menggunakan akal
jika hendak melaku-
kan suatu tindakan. Dua tokoh sesat yang sedang ber-
tarung itu memiliki kepandaian amat tinggi. Mungkin
kalau hanya salah seorang dari mereka, aku bisa
menghadapinya. Tapi dua orang" Hal lain yang mem-
beratkan ku untuk bertindak adalah ketidaktahuan ki-
ta mengenai orang yang melakukan pembantaian itu.
Bukankah kita datang saat mereka berdua tengah ber-
tarung" Barangkali saja bukan mereka yang melaku-
kannya," Kamandaka mengajukan alasan.
"Kau mengenal mereka, Paman?" Putri Teratai Merah mengajukan permasalahan lain.
"Salah satu dari mereka, Teratai. Kakek yang berpakaian hitam," terdengar nada
keluhan dalam ucapan Kamandaka. "Sungguh tidak kusangka kalau waktu
dua puluh tahun telah mengubahnya menjadi seorang
tokoh yang memiliki kepandaian demikian tinggi. Mes-
tinya kepandaian yang dimilikinya biasa saja. Dia adalah seorang panglima
kerajaan dulunya, di masa kera-
jaan masih dipimpin oleh Prabu Banyak Santang.
Mungkin kau bisa menduganya sekarang, Teratai. Se-
tidak-tidaknya gurumu pernah bercerita tentang seo-
rang panglima kerajaan yang berkhianat dan membe-
rontak. Dedengkot-dedengkot dunia persilatan dari
kaum sesat berdiri di belakangnya. Untung Pendekar
Naga Emas cepat datang. Karena bantuannya kerajaan
dapat diselamatkan...."
"Jangan sebut-sebut tentang pendekar pengecut
itu lagi, Paman." sentak Putri Teratai Merah, tak senang.
"Sekarang aku tahu siapa adanya kakek itu, Pan-
glima Nambi bukan?" Kamandaka mengangguk.
"Kakek yang satu lagi kau tidak bisa menduganya, Paman?"
"Memang ada sedikit dugaan muncul dalam piki-
ranku," Kamandaka mengakui. "Beberapa gerakan kakek itu mirip dengan gerakan-
gerakan Pengemis Iblis
Tanpa Tanding. Mungkinkah ada hubungannya antara
mereka berdua?"
"Datuk sesat itu, Paman?"
Kamandaka kembali mengangguk. Entah untuk
ke berapa kalinya lelaki kumal itu berlaku demikian.
Kali ini Putri Teratai Merah tak mengajukan per-
tanyaan lagi. Kamandaka pun tidak. Mereka berdua
memusatkan seluruh perhatian ke arah pertarungan
yang tengah berlangsung
"Ih..!"
Putri Teratai Merah tak kuasa untuk menahan
pekikan kagetnya. Tampak di arena pertarungan Nam-
bi melancarkan serangan yang menimbulkan bola-bola
api bernyala meluncur ke arah Dewa Tapak Darah!
Kamandaka kaget bukan main. Dia tahu dua to-
koh yang tengah bertarung itu akan segera menyadari
adanya pengintai-pengintai setelah mendengar teria-
kan kaget Putri Teratai Merah. Maka, tanpa mem-
buang-buang waktu lebih lama, dicekalnya pergelan-
gan tangan Putri Teratai Merah. Gadis itu kelihatan
kaget dan berusaha meronta. Tapi, Kamandaka telah
lebih dulu bertindak. Dia melesat meninggalkan tem-
pat itu sambil membawa tubuh Putri Teratai Merah!
Tindakan Kamandaka memang tidak keliru! Begi-
tu mendengar suara jeritan, Nambi dan Dewa Tapak
Darah segera tahu kalau mereka tengah diintai orang.
Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya melan-
carkan pukulan jarak jauh ke arah suara jeritan be-
rasal! Brakkk! Atap tempat Kamandaka dan Putri Teratai merah
tadi berada hancur berantakan. Tapi, Kamandaka dan
Putri Teratai Merah berhasil selamat karena saat itu
telah berada di udara. Putri Teratai Merah yang meli-
hat kejadian ini baru mengerti dengan tindakan yang
diambil Kamandaka.
Nambi dan Dewa Tapak Darah menggeram melihat
pengintai-pengintai itu lolos dari serangan. Seakan
tengah berlomba keduanya bergegas melesat mengejar.
Dan ketika Kamandaka menjejakkan kedua kakinya di
tanah, Nambi yang didampingi Dewa Tapak Darah te-
lah berada di depannya. Jarak antara mereka terpisah
tiga tombak. Bagaikan telah diatur sebelumnya, Nambi
berada di kanan dan di kiri berdiri Dewa Tapak Darah!
Kamandaka langsung menyadari kalau melarikan
diri merupakan tindakan yang sulit dilakukan. Karena
apabila jalan itu yang diambilnya, Putri Teratai Merah harus dibopongnya. Kalau
tidak, Nambi dan Dewa Tapak Darah akan dengan mudah menangkapnya. Pa-
dahal, jika Putri Teratai Merah dipanggulnya akan
mengurangi kecepatan larinya. Di pihak lain Nambi
dan Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian luar bi-
asa. Bukan tak mungkin mereka akan mampu menyu-
sulnya! "Menyingkirlah, Teratai," ujar Kamandaka seraya melangkah maju, sehingga Putri
Teratai Merah yang
semula berada di sisinya jadi berada di belakang. Putri Teratai Merah tak berani
membantah sedikit pun. Gadis ini tahu kalau dua kakek yang berada depannya
memiliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa bicara
apa pun dilangkahkan kakinya untuk menyingkir dari
situ. "Teratai,.."!" Nambi mengulang nama itu dengan mata membelalak lebar.
Lelaki berpakaian hitam ini memang sudah terke-
jut ketika melihat wajah dan perawakan tubuh Putri
Teratai Merah. Semula dikiranya sosok itu adalah Putri Teratai Putih. Tapi,
dugaan ini langsung pupus ketika melihat pakaiannya yang merah. Sekarang
keterkejutan Nambi semakin bertambah saat mendengar sapaan
yang diberikan Kamandaka.
"Apa hubunganmu dengan Putri Teratai Putih?"
tanya Nambi seraya melangkah untuk menghampiri
Putri Teratai Merah. Tapi, maksudnya terhalang den-
gan keberadaan Kamandaka. Lelaki kumal itu melang-
kah menghadang jalan Nambi.
"Keparat!"
Nambi menggeram marah sambil melotot. Tapi
pandang matanya yang semula penuh kemarahan tiba-
tiba meredup berganti dengan keheranan.
"Siapa kau, Monyet Jelek"! Rasa-rasanya aku
mengenalmu."
"Untuk apa banyak berbasa-basi, Nambi! Serang
saja! Aku tak suka dengan tindakanmu yang berbelit!"
cela Dewa Tapak Darah tak sabar.
"Tutup mulutmu, Monyet Merah!" sentak Nambi.
Rupanya dia merasa terhina mendengar ocehan


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Tapak Darah. "Atau, kau ingin kubereskan lebih dulu"!"
"Ho ho ho...! Setan Belang! Kau sombong sekali,
Nambi. Kau belum tentu menang menghadapiku. Apa-
lagi kalau aku bersekutu dengan orang yang kau maki-
maki itu. Kau akan menderita rugi besar. Ho ho ho...!"
Nambi tidak berani menanggapi lagi. Meski ha-
tinya menuntutnya untuk mencerca, tapi hal itu dita-
hannya. Nambi tahu ancaman Dewa Tapak Darah bu-
kan omongan kosong belaka. Bagi tokoh seperti kakek
bermuka merah itu yang diperhitungkan adalah keun-
tungan bagi dirinya sendiri. Karena itu, Nambi tidak
berani bicara sembarangan lagi.
Sementara itu Kamandaka menatap lekat-tekat
wajah Nambi. Tindakannya menunjukkan kalau dia
pun tengah memperhatikan bekas panglima kerajaan
itu. "Kau tanya siapa aku, Sobat" Rasanya biar kusebutkan pun kau tidak akan
mengenalku. Aku bukan
orang yang terkenal atau patut dikenal. Aku tak men-
genalmu. Maka, aku yakin kau pun tak mengenal diri-
ku," sahut Kamandaka kemudian dengan tenangnya.
"Kalau begitu, kau harus menebus kelancangan-
mu mengintai pertarungan kami! Kau harus mati di
tanganku, Gembel Busuk!" bentak Nambi keras "Tapi sebelum itu aku ingin tahu
gadis yang bersamamu itu.
Siapa dia"!"
*** 6 Kamandaka tersenyum tenang.
"Sayang sekali, Sobat. Aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu. Aku bukan orang yang senang mem-
perkenalkan diri orang lain. Jadi, sekali lagi maaf,"
Nambi menggeram. Lelaki ini tidak bisa lagi me-
nahan sabar mendengar jawaban Kamandaka. Diang-
gapnya tindakan Kamandaka itu suatu tantangan.
Maka, dia pun menerjang Kamandaka!
Nambi membuka serangannya dengan sampokan
tangan kanan ke arah pelipis. Tangan kirinya disilangkan di dada untuk berjaga-
jaga terhadap serangan la-
wan. Kamandaka bertindak cepat dengan menarik tu-
buhnya ke belakang. Pada saat yang bersamaan, kaki
kanannya diluncurkan ke arah perut lawan. Nambi
tentu saja tidak ingin perutnya tertendang. Dia pun
tak mau mengelak. Lelaki ini terlalu percaya dengan
kepandaiannya sendiri Kendati dari bunyi serangan
Kamandaka bisa diketahui besarnya kekuatan tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Karena kepercayaannya yang besar akan kepan-
daiannya, Nambi meletakkan tangan kirinya yang dis-
ilangkan di depan dada.
Takkk! Benturan antara tangan dan kaki yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi tak bisa di-
elakkan lagi. Tubuh Kamandaka dan Nambi sama-
sama terhuyung satu langkah ke belakang. Mereka ke-
lihatan terkejut melihat hasil benturan yang terjadi.
Sungguh tidak disangka kalau lawan ternyata memiliki
tenaga dalam yang demikian kuat. Tapi kalau Kaman-
daka hanya kaget, Nambi yang terlalu percaya akan
kemampuannya sendiri tampak kaget bercampur ge-
ram! Nambi menggeram keras bak seekor binatang
buas terluka. Sepasang tangannya dibentuk cakar ke-
mudian digerakkan dengan cepat menyambar-nyambar
mencari sasaran.
Kamandaka tak mempunyai pilihan lain kecuali
bertarung dengan mengerahkan seluruh kemampuan-
nya. Disadarinya lawan yang akan dihadapi tidak
hanya seorang. Masih ada seorang lawan lagi yang tak
kalah tangguh menunggunya. Kalau mengulur-ulur
waktu, dia khawatir Dewa Tapak Darah akan keburu
turun tangan. Dan bila itu terjadi keadaannya akan
sangat berbahaya! Di luar kancah pertarungan, Putri
Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah menyaksikan ja-
lannya pertempuran dengan masing-masing kepala di-
belit pertanyaan yang tidak terjawab! Putri Teratai Merah dipusingkan oleh
ucapan Kamandaka yang menga-
takan kalau lelaki kumal itu tak mengenal Nambi. Pa-
dahal, tadi Kamandaka yang memberitahukan pada di-
rinya mengenai tokoh itu. Mengapa Kamandaka bersi-
kap demikian" Tanya Putri Teratai Merah dalam hati.
Lelaki kumal itu kelihatannya takut dikenali Nambi
Sedangkan Dewa Tapak Darah direpotkan dengan
masalah Putri Teratai Merah. Kakek bermuka merah
ini telah melihat Putri Teratai Putih. Kini gadis yang sekarang ditemuinya ini
amat mirip segala-galanya
dengan ratu kerajaan itu. Apa hubungan antara mere-
ka" Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak
kendati pandangan mereka tak melewatkan pertarun-
gan yang berlangsung di depan mata.
"Hey...!"
Terdengar seruan kaget Nambi. Lelaki itu melem-
par tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa un-
tuk menjauh, membuat Putri Teratai Merah dan Dewa
Tapak Darah merasa heran. Mereka merasa ada nya
keterkejutan dalam seruan Nambi
"Tahan...!" seru Nambi ketika kakinya menjejak tanah dan dilihatnya Kamandaka
terus meluncur ke
arahnya dengan serangan yang siap untuk disarang-
kan. Seruan Nambi membuat Kamandaka menghenti-
kan tindakannya. Sebagai seorang gagah lelaki kumal
ini tak mau menyerang lawan yang tak siap untuk me-
nerima serangannya.
"Ada apa, Sobat?" tanya Kamandaka tenang. Tapi, sepasang matanya menyorotkan
kegelisahan berusaha
untuk disembunyikan. "Apakah kau berubah pikiran dan membiarkan kami pergi dari
sini dengan aman?"
Nambi tertawa mengejek.
"Kau tidak bisa mengakaliku lagi, Pendekar Naga
Emas! Kau boleh menyembunyikan wajah dan ciri-
cirimu dengan menyamar sebagai gembel. Tapi aku
bukan anak kecil yang bisa kau kelabui, meski sama-
ran mu hampir-hampir saja membuatku terkecoh. Kau
tak bisa menyembunyikan ilmu-ilmu khasmu. Kalau
kau bukan seorang pengecut hina, pasti kau akan
membenarkan dugaanku! Ayo, kalau kau ingin menja-
di seorang pengecut hina, katakan kau bukan Pende-
kar Naga Emas!" Kamandaka terdiam. Dia tidak memberikan jawaban kecuali
menundukkan kepala. Sesaat
kemudian dia mengangkatnya lagi dan menghela na-
pas berat. Putri Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah terke-
jut bukan main mendengar ucapan Nambi. Mata kedua
orang ini tertuju pada Kamandaka. Telinganya dipa-
sang setajam mungkin. Napas mereka bahkan hampir
ditahan karena khawatir jawaban yang diberikan Ka-
mandaka tak terdengar.
"Kau keliru, Nambi!" Putri Teratai Merah akhirnya yang tak tahan karena
Kamandaka tidak juga memberikan jawaban. "Dia bukan pendekar pengecut itu! Ma-
lahan, dia dan aku hendak mencari pendekar pengecut
itu untuk membuat perhitungan!"
"Benarkah demikian, Nona Cantik"!" ejek Nambi sambil tersenyum sinis. "Sekarang
kita tunggu saja jawaban dari orang yang ingin membantumu mencari
pendekar pengecut itu."
"Ayo, Paman Kamandaka! Katakan kalau kau bu-
kan Pendekar Naga Emas si pengecut itu!" seru Putri Teratai Merah tak sabar.
Suara gadis berpakaian merah ini terdengar berge-
tar karena menahan guncangan perasaan. Putri Tera-
tai Merah merasa tegang menanti jawaban Kamanda-
ka. Malah, karena tak sabarnya gadis ini melangkah
menghampiri Kamandaka. Sementara tawa Nambi me-
ledak mendengar ucapan Putri Teratai Merah.
"Kau benar-benar dibohongi habis-habisan, Nona
Dungu! Kau tahu nama asli pendekar pengecut yang
berjuluk Pendekar Naga Emas itu" Aku yakin kau ti-
dak tahu! Karena itu akan kuberitahukan padamu!
Dengan baik-baik, Nona cantik yang dungu...."
"Cukup, Nambi!" potong Kamandaka dengan suara keras dan sikap garang. "Kuakui
kalau aku adalah Pendekar Naga Emas!"
"Kau dengar itu, Nona yang goblok"!" ejek Nambi.
"Kamandaka adalah nama asli dari pendekar pengecut itu. Kau ditipunya mentah-
mentah! Ha ha ha...!"
Putri Teratai Merah terdiam bagai patung. Gadis
ini terpukul bukan main mengetahui kenyataan itu.
Apalagi karena hal itu dia menjadi korban ejekan
Nambi. Kamandaka alias Pendekar Naga Emas mengeta-
hui perasaan yang berkecamuk di hati Putri Teratai
Merah. Dia merasa menyesal sekali. Lelaki kumal ini
merasa bersalah karena telah menyimpan rahasia. Ta-
pi, apa boleh buat" Kamandaka mempunyai alasan
yang amat kuat untuk itu.
"Maafkan aku, Teratai. Bukan maksudku untuk
menipumu. Aku...."
"Diam kau...!" potong Putri Teratai Merah dengan penuh kemarahan. Gadis ini
menatap Pendekar Naga
Emas dan Nambi berganti-ganti, sebelum akhirnya
berhenti pada Kamandaka. "Aku benci kau! Kau tidak hanya pengecut, tapi juga
penipu. Aku benci kau! Benci...!" "Teratai,.!" panggil Kamandaka ketika melihat
Putri Teratai Merah membalikkan tubuh dan berlari me-
ninggalkan tempat itu.
Tapi, Putri Teratai Merah tidak mempedulikan
panggilan Kamandaka. Dia terus berlari cepat tanpa
menoleh lagi. Kamandaka hanya bisa menghela napas
Pedang Langit Dan Golok Naga 8 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Pendekar Pengejar Nyawa 16
^