Pencarian

Puteri Teratai Merah 1

Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah Bagian 1


PUTRI TERATAI MERAH oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Putri Teratai Merah
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
1 Bunyi kukuk burung hantu terdengar memecah
kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada
sedikit awan yang menggantung di sana. Itu pun tipis
saja. Hingga, meskipun bulan hanya sepotong namun
suasana terlihat cukup terang.
Dalam suasana seperti itulah tampak sesosok
bayangan berkelebat cepat. Karena suasana cukup te-
rang, sosok bayangan itu terlihat agak jelas. Sosok itu bertubuh tinggi kurus
dan berpakaian serba hitam.
Wajahnya putih pucat seperti orang berpenyakitan se-
pasang matanya yang besar berwarna merah.
Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun ini
berlari cepat menuju sebuah bangunan besar yang ter-
lihat menjulang kokoh di kejauhan. Larinya cepat bu-
kan main hingga dua kakinya bagai tak menginjak ta-
nah! Berkat ilmu larinya yang luar biasa, lelaki berpakaian serba hitam ini
dalam waktu yang tidak terlalu
lama tiba di tempat yang dituju. Tanpa mengendurkan
kecepatan larinya, lelaki ini melompat ke atas pagar
tembok yang mengurung bangunan-bangunan di da-
lamnya. Tinggi pagar ini tidak kurang dari tiga tombak!
"Hey! Siapa kau..."!"
Teguran keras terdengar tiba-tiba menyambut je-
jak kedua lelaki tinggi kurus itu di atas pagar tembok.
Lelaki tinggi kurus hanya mendengus. Dia tidak
kaget mendengar teguran yang ditujukan terhadapnya.
Teguran yang dikeluarkan seorang lelaki berpakaian
seragam kerajaan. Tembok tempat lelaki berpakaian
hitam menjejakkan kaki memang tembok yang menge-
lilingi istana kerajaan.
Nampak dua prajurit kerajaan menjadi marah ke-
tika lelaki berpakaian hitam tidak memberikan jawa-
ban. Hampir berbarengan kedua prajurit yang berada
di bagian dalam tembok itu mengayunkan tombaknya.
Suasana malam yang hening langsung dipecahkan
oleh bunyi mendesing dua batang tombak yang melun-
cur ke arah lelaki tinggi kurus. Tapi lelaki ini hanya mendengus penuh ejekan.
Tidak terlihat kakinya diin-jakkan, tubuhnya sudah melayang ke atas hingga dua
batang tombak itu meluncur di bawahnya!
Kedua prajurit kerajaan terkejut bukan main me-
lihat lelaki berpakaian hitam menjejakkan kaki di ke-
dua batang tombak. Keterkejutan mereka semakin ber-
tambah ketika tombak-tombak berbalik dan meluncur
kembali ke arah pemiliknya dengan membawa tubuh
lelaki itu di atasnya. Tombak-tombak itu meluncur
mengancam dada! Bergegas keduanya merendahkan
diri. Tapi tombak-tombak itu ikut menukik ke bawah.
Dua jeritan menyayat hati pun dikeluarkan kedua
prajurit yang malang itu. Tombak-tombak menembus
hingga ke punggung! Darah muncrat-muncrat. Se-
dangkan lelaki tinggi kurus melompat melewati kepala
mereka di saat tombak-tombak mendarat di sasaran.
Tanpa mengeluarkan bunyi lelaki itu menjejakkan ta-
nah Keributan yang timbul membuat belasan prajurit
berlarian menuju tempat itu. Lelaki berpakaian hitam
langsung dikepung rapat-rapat. Namun dia tetap terli-
hat tenang, meski belasan prajurit yang mengurung-
nya telah menghunus senjata dengan sikap mengan-
cam. Mereka tidak segera menyerang karena menyem-
patkan diri melihat rekan-rekan mereka yang tergolek
di tanah bermandikan darah.
Sesaat kemudian, hujan senjata meluruk ke ber-
bagai bagian tubuh lelaki tinggi kurus! Kembali dia
mendengus pelan. Kedua tangannya bergerak cepat
menangkis serangan-serangan yang datang.
Tak tak...! Bunyi berdentang keras seperti beradunya logam-
logam keras terdengar ketika tangan lelaki tinggi kurus berbenturan dengan
senjata para pengeroyoknya. Seketika terdengar seruan keterkejutan. Mereka
merasa- kan tangan-tangannya bagai lumpuh. Apalagi ketika
melihat senjata-senjata mereka berpatahan!
Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu.
Tangan lelaki tinggi kurus bergerak mengibas cepat
bukan main. Para prajurit pun berpentalan ke sana ke
mari susul-menyusul dengan jerit kematian yang men-
dirikan bulu roma.
Meskipun tahu betapa lihainya lawan. Namun pa-
ra prajurit lain tak menjadi gentar karenanya. Mereka melakukan perlawanan
dengan semangat tinggi! Gugur
satu kembali datang penggantinya. Keributan yang ter-
jadi memang telah menarik perhatian para prajurit
lainnya untuk datang. Pembantaian besar-besaran pun
terjadi. Para prajurit ini seperti semut-semut yang menerjang api. Mereka
berguguran sebelum sempat me-
lukai sang pengacau yang luar biasa ini!
"Mundur semua...!"
Bentakan keras mengatasi riuh rendahnya perta-
rungan. Disusul dengan munculnya dua sosok tubuh
berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras menggelegar itu, ber-
gegas belasan orang prajurit yang tersisa berlompatan mundur. Mereka mengenali
pemilik suara itu. Lelaki
berpakaian hitam tidak berusaha mengejar. Dia hanya
berdiri menanti. Tatapannya ditujukan pada dua orang
panglima yang tengah melangkah menghampirinya
dengan tatapan penuh selidik,
"Kau... Panglima Nambi"!" seru dua panglima kerajaan itu kemudian, kaget dan
tidak percaya. Seruan
ini mereka keluarkan hampir berbarengan.
"Syukurlah, kalian masih ingat padaku!" dengus lelaki tinggi kurus penuh ejekan.
Meski demikian, raut wajahnya tetap dingin. "Bukankah kalian berdua Sora dan
Wardana" Dua di antara anak-anak buahku yang
berkhianat. Nasib kalian rupanya sungguh baik. Ka-
lian telah menjadi panglima-panglima kerajaan. Waktu
dua puluh tahun lebih rupanya telah membuat nasib
kalian lebih beruntung!"
"Mau apa kau kemari, Nambi"!" sentak Panglima Sora, yang bertubuh tinggi besar
dan kekar laksana
batu karang. Panglima ini tidak tampak terkejut lagi.
Guncangan perasaan itu telah berhasil diredamnya.
"Benar. Mau apa kau kemari" Kau bukan pangli-
ma kerajaan ini lagi. Kau tak lebih dari seorang
pengkhianat kerajaan!" sambung Panglima Wardana
yang bertubuh sedang tapi tegap.
Para prajurit kerajaan yang mendengarkan perca-
kapan itu berdebar tegang. Mereka adalah prajurit ba-
ru yang belum dua puluh tahun mengabdi di kerajaan.
Sehingga, mereka tak mengenal Panglima Nambi. Ken-
dati demikian, cerita-cerita mengenai tokoh itu telah mereka dengar. Dengan
perasaan tertarik mereka
mengikuti percakapan yang terjadi di depan mata. Sen-
jata-senjata di tangan tetap terhunus agar dapat dipergunakan secara cepat
apabila Panglima Sora dan Pan-
glima Wardana terancam.
Nambi terdengar mendengus keras. Sikapnya te-
tap kelihatan tenang
"Meski menjadi panglima, otak kalian berdua ru-
panya masih otak tamtama! Tidak bisakah kalian men-
gira-ngira maksud kedatanganku kemari" Tentu saja
untuk merampungkan maksudku yang dulu belum
terlaksana. Bukankah Putri Teratai Putih masih sendi-
ri" Cepat panggil dia! Katakan, Nambi telah datang untuk mempersuntingnya!"
"Keparat!" Panglima Sora yang berwatak berangasan, menggeram. "Sungguh lancang
kau berani me- nyebut Yang Mulia Gusti Ratu Teratai Putih begitu sa-
ja. Nyawamu tak cukup untuk kelancangan yang kau
lakukan itu, Nambi!"
Panglima yang tidak bisa menahan kemarahannya
ini segera melompat menerjang. Jari-jari tangannya
mengembang membentuk cakar. Yang kanan menga-
rah ubun-ubun, sedangkan yang kiri mengancam peli-
pis. Prattt! Tubuh Panglima Sora terpental balik ke alas kem-
bali begitu Nambi memapaki serangannya. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun
sangat sesak. "Jadi..., Putri Teratai Putih sekarang telah menjadi ratu!?" ujar Nambi selesai
menangkis serangan. "Sungguh kebetulan sekali! Berarti aku sekarang bisa men-
jadi raja!"
"Hal itu tak akan terjadi selama kami mash hidup, Keparat!" Panglima Wardana
menyambuti. Kemudian, panglima ini menerjang Nambi. Pan-
glima Sora segera membantu. Lelaki tinggi besar ini
tahu kalau Panglima Wardana bukan tandingan Nambi
yang sekarang telah memiliki kepandaian mengiriskan.
Dalam sekejap saja Nambi dikeroyok Panglima So-
ra dan Panglima Wardana. Tapi, bekas panglima kera-
jaan ini memang luar biasa. Dia tidak terdesak sama
sekali. Malah, dua lawannya yang kewalahan.
Panglima Sora dan Panglima Wardana penasaran
bukan main. Nambi tidak mampu mereka desak. Pa-
dahal, dulu bekas panglima itu dilatih oleh mereka!
Jangankan menghadapi pengeroyokan, seorang di an-
tara mereka saja telah cukup untuk membuat Nambi
roboh dengan mudah. Sekarang keadaannya telah jauh
berbalik! Nambi menghadapi mereka tanpa bergeming
sedikit pun dari tempatnya.
"Kurasa sudah saatnya kalian pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, Nambi menjulurkan
kedua tangannya. Jari-jarinya ditujukan lurus ke de-
pan. Dari ujung-ujung jari itu melesat sepuluh larik
sinar kemerahan yang meluncur deras ke arah Pangli-
ma Sora dan Panglima Wardana.
Dua panglima gagah berani ini tidak sempat men-
gelak. Keduanya menjerit ketika sinar-sinar merah
mengenai tubuh mereka. Bagian yang terkena lang-
sung hangus. Dagingnya gosong dengan disertai asap
mengepul. Yang lebih mengerikan lagi, luka yang se-
mula kecil itu membesar dengan cepat, membawa ke-
hancuran daging seperti lilin terkena api!
Para prajurit kerajaan menatap dengan ngeri. Bu-
lu kuduk mereka berdiri. Lidahnya terasa kelu tidak
bisa digerakkan. Kejadian yang terpampang terlalu
mengejutkan sehingga mereka terkesima. Yang dilaku-
kan hanya menatap Panglima Sora dan Panglima War-
dana. Mereka meregang maut tanpa sanggup bertindak
apa-apa! Geliatan tubuh kedua panglima kerajaan itu ter-
henti ketika nyawa mereka melayang. Raungan kesaki-
tan mereka pun tidak terdengar lagi. Nambi yang sejak tadi memperhatikan
semuanya dengan wajah dingin
sekarang mengalihkan perhatian pada para prajurit.
Wajah mereka tampak memucat. Ngeri membayangkan
kematian yang akan mereka alami!
"Kalau kalian tidak ingin mengalami nasib yang
sama, cepat bawa aku menghadap Putri Teratai Putih!"
hardik Nambi Belasan prajurit itu saling berpandangan satu sa-
ma lain. Mereka tampak bingung. Keberanian mereka
mencair seperti es yang disorot sinar matahari. Kema-
tian Panglima Sora dan Panglima Wardana secara
mengerikan telah membuat nyali mereka ciut!
"Maafkan kami, Tuan," ujar seorang prajurit yang masih memiliki keberanian untuk
berbicara. "Gusti Ra-tu tengah tidak berada di istana...."
"Apa katamu..."!" dengus Nambi marah. Telunjuknya segera ditudingkan. Selarik
sinar merah menyam-
bar. Dan, prajurit yang malang itu pun mengunjungi
akhirat dengan cara yang sama seperti Panglima Sora
dan Panglima Wardana.
Prajurit-prajurit yang tersisa semakin ngeri. Mere-
ka tanpa sadar melangkah mundur. Semangat mereka
melayang entah ke mana melihat rekannya mengalami
nasib yang sial.
"Mengapa itu bisa terjadi, hah"!" tanya Nambi lagi.
Tapi, tak ada yang berani menjawab. Bagaikan te-
lah disepakati sebelumnya, semua prajurit itu menun-
dukkan wajah. Nambi semakin murka. Telunjuknya
kembali ditudingkan. Kali ini malah berkali-kali. Jeritan-jeritan menyayat hati
disertai geliatan tubuh yang merasakan siksaan menjelang ajal pun terjadi saling
susul-menyusul.
Prajurit-prajurit yang tersisa semakin terpuruk
dalam ketakutan. Jangankan mengangkat wajah, ber-
napas pun hampir-hampir ditahan!
"Barang siapa yang tidak memberikan jawaban,
akan menjadi korban selanjutnya!" desis Nambi "Kata-
kan cepat di mana Putri Teratai Putih"!"
Peringatan Nambi membuat para prajurit yang
tersisa berlomba-lomba memberikan jawaban. Riuh
rendah kedengarannya. Tapi, Nambi dapat mendengar


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas. Lelaki ini baru percaya ketika mendengar adanya kesamaan dalam jawaban
mereka. "Gusti Ratu tengah mengunjungi makam ayahnya.
Telah dua hari beliau pergi. Rencananya, seminggu
kemudian baru kembali."
Nambi tidak puas mendengar jawaban itu. Dia ti-
dak tahan lagi untuk bertemu dengan pimpinan ter-
tinggi kerajaan itu. Tapi, disadarinya kalau sekarang hal itu tidak mungkin.
"Apakah Putri Teratai Putih pergi bersama Pende-
kar Naga Emas"!" tanya Nambi lagi
"Tidak, Tuan. Pendekar Naga Emas sudah lama ti-
dak terdengar beritanya. Bahkan, Gusti Ratu telah
mengirim banyak prajurit untuk mencarinya. Tapi
usahanya sia-sia."
Nambi tersenyum puas. Senyum yang mengeri-
kan. Lebih mirip seringai karena wajah dan matanya
tidak ikut tersenyum.
"Ini hadiahku untuk kalian...!"
Nambi menudingkan telunjuknya berkali-kali,
mengirimkan sinar-sinar merah pada prajurit-prajurit
yang tersisa. Jerit kematian kembali berkumandang.
Kali ini lebih gaduh dari sebelumnya.
*** Sang surya telah bergeser jauh dari tempat terbit-
nya. Meskipun demikian, belum mencapai titik tengah
ketika iring-iringan sebuah kereta kuda memasuki hu-
tan kecil di lereng gunung.
Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan de-
lapan ekor kuda. Kedudukan binatang yang berpe-
nunggang sosok-sosok gagah itu melindungi kereta.
Tiga di bagian belakang dan depan, serta satu pada
masing-masing sisi kereta.
Seperti juga binatang tunggangannya yang semua
berwarna hitam, sosok-sosok gagah di atas punggung
kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Sera-
gam pasukan kerajaan.
Menilik sikap sosok-sosok berpakaian seragam ke-
rajaan itu, bisa diperkirakan kalau yang berada di dalam kereta adalah orang
penting. Kereta itu sendiri begitu indah dan mewah!
"Hooop...!"
Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda
terdepan mengangkat tangannya ke atas seraya mena-
rik tali kekang binatang tunggangannya.
Seketika itu pula rombongan yang berada di bela-
kang ketiga prajurit itu menghentikan langkah kuda
mereka. Seiring dengan itu masing-masing prajurit
bersikap waspada. Mereka melihat ada sosok tubuh
berpakaian kulit harimau terbaring dengan posisi me-
nutupi jalan. Sosok itu tidur telentang di atas sehelai tambang yang
direntangkan pada dua batang pohon
yang mengapit jalan selebar empat tombak. Tinggi
tambang itu satu tombak dari atas tanah.
"Harap kalian semua berwaspada. Aku yakin hal-
hal yang tidak kita inginkan kemungkinan besar akan
terjadi. Perketat penjagaan terhadap kereta," beritahu salah seorang dari tiga
prajurit penunggang kuda terdepan.
Prajurit berkumis tebal itu lalu melompat turun.
Ringan sekali gerakannya. Ketika kedua kakinya men-
jejak tanah, tidak terdengar bunyi sedikit pun. Dengan
sikap tenang prajurit berkumis tebal menghampiri
tempat sosok berpakaian kulit harimau terbaring. Tin-
dakan prajurit yang menjadi pimpinan iring-iringan itu tidak luput dari
perhatian rekannya.
Baru saja prajurit itu melangkah tiga tindak, pa-
dahal jarak sosok berpakaian kulit harimau sekitar li-ma tombak, terdengar bunyi
yang cukup keras. Bunyi
dengkur orang tidur. Hanya saja bunyinya tak pantas
keluar dari manusia karena lebih mirip dengan deng-
kur seekor babi!
Bukan dengkur itu yang menyebabkan prajurit
berkumis tebal terperanjat lalu menghentikan langkah.
Tapi, tarikan napas sosok berpakaian kulit harimau
membuat cabang-cabang pohon seperti ditarik dan di-
lepaskan! Saat sosok berkulit harimau itu menarik na-
fas, cabang-cabang pohon tertarik ke bawah. Sedang-
kan di saat napasnya dihembuskan, cabang pohon itu
tersentak ke atas dengan memperdengarkan bunyi
berkerosokan nyaring!
Prajurit berkumis tebal tahu kalau hal demikian
hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tena-
ga dalam amat kuat! Prajurit itu lalu memberi isyarat pada ketujuh rekannya
untuk lebih meningkatkan kewaspadaan. Dia sendiri segera melanjutkan langkah-
nya dengan sekujur urat-urat syaraf menegang. Praju-
rit ini telah bersiap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diharapkan.
Begitu berada dekat diperhatikannya sosok berpa-
kaian kulit harimau lebih jelas. Dia ternyata seorang kakek kecil kurus bermuka
merah. Kumis dan jeng-gotnya pendek serta kasar. Sepasang mata kakek ini
terpejam. "Maafkan kalau aku mengganggu istirahatmu,
Kek," ucap prajurit itu kemudian dengan sopan. "Tapi,
aku dan kawan-kawanku hendak lewat Bisakah kau
menyingkir sebentar?"
Si kakek menggeliat dan menggulingkan tubuhnya
ke kiri. Tindakan ini membuat tubuhnya tidak berada
di atas tambang lagi. Kendati demikian, tubuhnya te-
tap mengambang di udara seakan-akan tidur di tanah
biasa! "Demi segala setan penghuni neraka!" tanpa
membuka mata, si kakek mengomel, "Baru saja meme-jamkan mata sudah didatangi
seekor anjing buduk
yang tak henti-hentinya menggonggong. Nasibku me-
mang benar-benar jelek!"
Wajah prajurit berkumis tebal langsung berubah
merah padam. Dia tahu kalau dirinya yang dimaksud
dengan seekor anjing. Penghinaan itu membuat ama-
rahnya bergolak. Dan, kemarahan membuat prajurit
itu melupakan kalau kakek bermuka merah memiliki
kepandaian tinggi.
"Keparat! Rupanya kau memang hendak mengha-
langi perjalanan kami, Kakek Iblis! Ingin kulihat apakah kau mampu melaksanakan
maksud jahatmu itu!"
Prajurit berkumis tebal yang telah murka menca-
but pedang yang tergantung di pinggang. Kemudian,
secepat kilat dibabatkannya ke tubuh si kakek
"Anjing buduk ini benar-benar tidak tahu diri. Kiranya tak puas hanya
menggangguku dengan hanya
menggonggong. Sekarang dia malah hendak menggigit.
Sungguh celaka!"
Sambil mengomel panjang pendek, kakek bermu-
ka merah menggulingkan tubuh kembali ke tempat
semula. Sehingga, tubuhnya kembali terbaring di atas
tambang. Berbarengan dengan itu dia mendengus. Cai-
ran kental tampak meluncur keluar dari salah satu lu-
bang hidungnya. Cairan menjijikkan itu meluncur
dengan mengeluarkan bunyi berdesing nyaring mema-
paki pedang si prajurit!
Trakkk! Tubuh prajurit berkumis tebal terjengkang ke be-
lakang. Pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Be-
gitu berhasil memperbaiki kedudukan dan memperha-
tikan senjatanya, wajahnya langsung memucat. Batang
pedangnya berlubang!
"Setan penggoda seisi bumi, kali ini nasibku sungguh mujur. Tak perlu bercapek
lelah mencari telah bertemu sendiri!" ujar kakek bermuka merah tiba-tiba dengan
gembira. Kakek ini sekarang telah berdiri tegak di tanah.
Sepasang matanya yang hampir berupa satu garis me-
natap pedang yang tergenggam di tangan prajurit ber-
kumis tebal. "Kiranya kau mempunyai hubungan dengan Per-
kumpulan Sepasang Malaikat, Anjing Buduk" Kulihat
balang pedangmu berwarna merah dan putih. Senjata
berciri demikian hanya dimiliki Perkumpulan Sepasang
Malaikat!"
"Kalau kau telah tahu mengapa tidak buru-buru
menyingkir, Kakek Iblis" Apakah kau menunggu kami
mengusir dengan kekerasan"!" prajurit berkumis tebal mempunyai alasan untuk
menggertak "Setan belang! Kau kira aku takut pada Perkum-
pulan Sepasang Malaikat"! Andaikata dua kakek jom-
po itu masih hidup pun aku tidak takut! Akan kubuk-
tikan pada dunia persilatan kalau aku lebih lihai dari mereka!" sambut kakek
bermuka merah, tak mau kalah mengeluarkan ancaman.
Jawaban kakek bermuka merah membuat amarah
prajurit berkumis tebal meluap. Dia kembali menye-
rang. Tiga orang rekannya meninggalkan kereta dan
membantu prajurit itu menghadapi kakek bermuka
merah. Pertarungan yang kelihatannya tidak adilpun ber-
langsung. Seorang kakek yang bertubuh kecil dike-
royok oleh empat lelaki gagah dan kekar. Sang kakek
tidak bersenjata, sedangkan lawan-lawannya semua
menggunakan pedang.
Meski demikian, kakek bermuka merah tetap be-
rada di atas angin. Dua tangan telanjangnya enak saja menyampoki setiap serangan
yang meluncur. Padahal
setiap serangan pedang prajurit-prajurit itu mengeluarkan bunyi mendesing
nyaring pertanda ditopang oleh
tenaga dalam yang amat kuat!
Tak sampai tiga jurus empat prajurit itu jatuh sa-
tu persatu. Mereka semua terbanting keras di tanah
setelah terjengkang. Empat prajurit itu pun tidak
bangkit lagi. Bahkan, tidak sempat berteriak sama se-
kali. Di dada mereka tampak tertera telapak tangan
berwarna merah!
"Demi segala Iblis! Hanya sampai di sini sajakah kemampuan orang-orang
Perkumpulan Sepasang Malaikat" Tidakkah ada yang sedikit lebih pandai"!"
Empat prajurit yang tersisa tersinggung menden-
gar ucapan penuh ejekan itu. Mereka juga sakit hati
melihat kematian rekan-rekannya secara menge-
naskan. Kalau saja tak mengingat penumpang di da-
lam kereta, sudah mereka terjang kakek bermuka me-
rah itu walau nyawa taruhannya.
Empat prajurit itu hanya menggertakkan gigi pe-
nuh kegeraman. Mereka ingin menyambuti ucapan ka-
kek bermuka merah, tapi tak tahu harus berkata apa.
Dan rupanya mereka memang tak perlu memberikan
tanggapan. Karena sesaat kemudian, terdengar sambu-
tan atas ucapan kakek bermuka merah dengan nada
dingin dan penuh ancaman!
"Orang gila dari mana yang berani mati menghina
Perkumpulan Sepasang Malaikat"!"
*** 2 Brakkk! Atap kereta yang indah dan mewah itu hancur be-
rantakan menimbulkan bunyi gaduh ketika sesosok
bayangan putih melesat dari dalam kereta. Di udara
sosok ini bersalto beberapa kali sebelum menjejak ta-
nah dengan ringannya. Tiga tombak dari kakek ber-
muka merah berdiri.
"Demi segala roh jahat yang bergentayangan! Ak-
hirnya, muncul juga tokoh Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat yang memiliki sedikit kepandaian!" seru kakek bermuka merah, gembira.
Empat prajurit yang sejak tadi menjaga kereta se-
gera memberi hormat kepada sosok berpakaian putih.
Meski sosok itu tidak melihat karena ia berdiri membelakangi. Setelah itu, empat
prajurit ini bergegas menghampiri sosok berpakaian putih.
Sosok itu ternyata seorang wanita berusia sekitar
empat puluh lima tahun, Wajahnya yang masih terlihat
cantik tampak agung berwibawa. Rambutnya digelung
ke atas. Sorot wajah dan sinar matanya yang dingin
memperlihatkan keangkeran!
"Siapa kau, Kek" Sungguh berani membunuh
anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat yang juga
menjadi prajurit kerajaan. Untuk kesalahan itu saja
kau sudah patut dihukum mati! Apalagi setelah berani
menghina Perkumpulan Sepasang Malaikat. Andaikata
kau mempunyai nyawa sepuluh pun tidak cukup un-
tuk menebus kesalahan itu!" Datar dan dingin, tapi penuh ancaman kata-kata yang
keluar dari mulut wanita berpakaian putih.
"Kau sendiri siapa, Wanita Galak" Mengapa kau
yang marah" Aku tidak menyinggung mu! Aku sedang
membicarakan tentang Perkumpulan Sepasang Malai-
kat!" Kakek bermuka merah berpura-pura tak menger-ti. Kendati dia sudah bisa
menduga kalau wanita itu
mempunyai hubungan dengan Perkumpulan Sepasang
Malaikat "Aku tengah menyepi untuk memperdalam
kepandaian ketika kudengar bekas kakak sepergurua-
nku tewas di tangan tokoh Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat. Mengenai siapa aku, sayang aku tidak ingat
namaku. Julukan pun aku tak punya. Tapi, tak ada
salahnya kalau ku perkenalkan julukan baruku. Den-
gar baik-baik, Wanita Liar! Julukanku adalah Dewa
Tapak Darah!"
Wajah wanita berpakaian putih tetap dingin. Tidak
tampak beriak sedikit pun. Tapi, sepasang matanya
yang menyambar ke arah Dewa Tapak Darah sarat
dengan ancaman!
"Dengar baik-baik, Dewa Tapak Darah! Pasang
kuping tuamu itu dengan benar. Aku adalah ahli waris
tunggal Perkumpulan Sepasang Malaikat. Salah seo-
rang dari Sepasang Malaikat itu adalah ayahku. Aku
masih ingat namaku, tidak pikun seperti kau. Namaku
adalah Teratai Putih?"
"Kebetulan sekali kalau begitu. Kudengar, pimpi-
nan-pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat sudah
pergi ke akhirat, Biarlah kau yang menjadi pengganti
nyawa kakak seperguruanku yang tewas!"


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kakak seperguruanmu itu, Kakek Lanc-
ing"!" kejar Putri Teratai Putih.
"Pengemis Iblis Tanpa Tanding julukannya sebe-
lum tewas!" jawab Dewa Tapak Darah, mantap. "Berkat bantuan Pendekar Naga Emas,
ayah dan pamanmu itu
berhasil membunuh kakak seperguruanku pada dua
puluh tahun yang lalu. Pendekar keparat itu pun akan
menerima balasannya dariku!"
"Kau boleh bawa dendammu itu ke neraka, Dewa
Tapak Darah!" sentak Putri Teratai Putih keras. "Karena, kau akan mati di
tanganku sebelum maksudmu itu
terlaksana!"
Putri Teratai Putih menutup ucapannya dengan
tendangan bertubi-tubi yang dahsyat. Sekali menye-
rang, ahli waris Perkumpulan Sepasang Malaikat yang
sekaligus ratu kerajaan ini menyerang tiga anggota tubuh berbahaya. Pusar, ulu
hati, dan leher!
Dewa Tapak Darah mendengus penuh ejekan. Da-
ri deru serangan bisa diperkirakannya kekuatan tena-
ga dalam Putri Teratai Putih. Maka, tanpa ragu-ragu
lagi serangan beruntun itu ditangkisnya dengan kedua
tangan. Plakkk, plakkk!
Tubuh Putri Teratai Putih terjengkang ke belakang
akibat benturan itu. Sedangkan Dewa Tapak Darah
hanya terhuyung selangkah! Dengan demikian, kakek
ini memiliki kesempatan lebih dulu untuk mengirim-
kan serangan. Putri Teratai Putih tidak berani me-
nangkis setelah mengetahui tenaga lawan ternyata le-
bih kuat. Wanita ini mengelak kemudian mengirimkan
serangan balasan. Pertarungan pun tak bisa dihindar-
kan lagi! Pertarungan berjalan cepat. Hanya dalam waktu
sebentar saja tujuh belas jurus telah terlewatkan. Putri
Teratai Putih terus didesak! Wanita ini yang semula
gencar melakukan penyerangan sekarang lebih banyak
mengelak. Padahal, Putri Teratai Putih telah mengeluarkan senjata andalannya.
Kipas Baja Putih!
Sementara Dewa Tapak Darah masih bertangan
kosong. Malah, kakek itu belum menggunakan ilmu
andalannya! Desss! Sebuah tendangan Dewa Tapak Darah yang men-
genai sambungan lutut Putri Teratai Putih membuat
Wanita itu terjengkang ke belakang dan terguling-
guling di tanah. Sambungan tulang lututnya langsung
lepas! Si Dewa Tapak Darah benar-benar memenuhi jan-
jinya untuk membunuh Putri Teratai Putih. Dia melu-
ruk mengejar Putri Teratai Putih untuk mengirimkan
serangan mematikan. Empat prajurit yang melihat
adanya ancaman maut atas ratu mereka secepat kilat
melompat memapaki dengan tusukan-tusukan pedang.
Dewa Tapak Darah tampak marah mendapat serangan
ini. Dia mendengus seraya mengibaskan kedua tan-
gannya. Angin keras langsung berhembus ke arah em-
pat prajurit yang setia itu. Mereka kaget bukan main!
Angin yang luar biasa itu hanya menyerbu tangan me-
reka yang menggenggam pedang.
Serbuan angin itu demikian dahsyatnya. Sehing-
ga, mampu membuat mata pedang empat prajurit itu
berbalik arah. Lalu dengan derasnya menghunjam pe-
rut mereka sampai tembus ke punggung. Empat pa-
sang mata prajurit itu membelalak lebar seakan tak
percaya akan apa yang mereka alami. Tubuh mereka
ambruk di tanah dan menggelepar-gelepar sebentar
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Putri Teratai Putih meraung penuh kemarahan
melihat nasib keempat prajuritnya. Dia menerjang
dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar.
Kipasnya tidak dipergunakan lagi karena telah terlem-
par jauh begitu tubuhnya terguling-guling tadi.
Sayang, maksud Putri Teratai Putih untuk mem-
balaskan kematian keempat prajuritnya tidak berhasil.
Dengan kibasan kedua tangannya, Dewa Tapak Darah
membuat tubuh lawan terlempar deras ke belakang
dan menubruk kereta hingga dindingnya jebol! Putri
Teratai Putih tidak mampu menahan serangan lawan
karena keadaannya yang sudah tidak sekuat semula.
Benturan kali ini rupanya lebih dahsyat. Bukan
karena berbenturan dengan kereta. Tapi karena sam-
baran angin kibasan Dewa Tapak Darah. Putri Teratai
Putih tidak dapat segera bangkit. Dia tergolek di tanah telentang tak berdaya.
Benturan yang luar biasa keras membuat tubuh Putri Teratai Putih menjebol dua
dinding kereta dengan melewati bagian dalamnya!
Dewa Tapak Darah menyeringai puas. Dengan
langkah lambat-lambat dihampirinya Putri Teratai Pu-
tih. Kakek ini tidak buru-buru melancarkan serangan
susulan karena tahu luka yang diderita Putri Teratai
Putih cukup parah.
Putri Teratai Putih menyadari akan adanya anca-
man maut. Dia belum ingin mati. Maka dicobanya se-
kuat tenaga untuk bangkit berdiri. Tapi hanya keingi-
nan saja yang besar, sedangkan kemampuannya tidak
menunjang. Putri Teratai Putih tidak berhasil bangkit.
Tubuhnya terkulai kembali ke tanah setelah menegang
beberapa saat lamanya.
Putri Teratai Putih pun pasrah. Disadarinya kalau
dirinya memang tidak berdaya lagi. Kendati demikian,
dengan berani ditatapnya Dewa Tapak Darah yang te-
lah bersiap untuk mengirimkan serangan mematikan.
"Hanya seorang pengecut dan tidak mempunyai
rasa malu akan membunuh lawan yang telah tidak
berdaya! Apalagi jika lawan itu seorang wanita!"
Suara itu tidak keras. Tapi anehnya, bergema ke
sekitar tempat itu dan mampu menggetarkan semua
benda yang ada di situ. Seakan-akan ada gempa kecil.
Putri Teratai Putih dan Dewa Tapak Darah pun mera-
sakan dada mereka bergetar.
Dewa Tapak Darah tahu kalau pemilik suara itu
seorang tokoh berkepandaian tinggi. Setidak-tidaknya
memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Maka, dia ti-
dak berani memandang rendah. Buru-buru tubuhnya
dibalikkan karena dari arah belakang seruan itu be-
rasal. Dewa Tapak Darah kecelik! Tak ada seorang pun
di belakangnya. Kecurigaan membuatnya cepat mem-
balikkan tubuh lagi. Dan.... Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Kakek ini
hanya sempat melihat ber-kelebatnya sesosok bayangan ungu berhenti di antara
dia dan Putri Teratai Putih. Sosok ungu itu berdiri
membelakangi ahli waris Perkumpulan Sepasang Ma-
laikat! Dewa Tapak Darah memperhatikan sosok ungu
itu dengan hati panas. Kakek ini merasa dipermain-
kan. Tamu tak diundang itu rupanya telah mengguna-
kan ilmu memindahkan suara untuk mengecohnya.
Sehingga, meski sebenarnya berada di depan namun
sosok ungu itu mampu membuat suaranya seperti be-
rasal dari belakang.
Tapi, kejadian itu tidak membuat Dewa Tapak Da-
rah menjadi gentar. Menurutnya, hal ini tidak mengi-
syaratkan kepandaian sosok berpakaian ungu berada
di atasnya. Kalau saja suara itu tidak terdengar sekali saja dan Dewa Tapak
Darah memperhatikan dengan
seksama, tak mungkin sosok ungu itu berhasil menge-
cohnya! Begitu kata hati Dewa Tapak Darah.
Sosok ungu itu bertubuh tegap dan kekar ter-
bungkus pakaian serba ungu. Wajahnya tampan, terli-
hat tenang dan matang. Rambutnya yang putih terge-
rai panjang hingga ke punggung. Sosok yang berusia
dua puluh tahun lebih itu tampak kelihatan lebih tua
dari usia sebenarnya. Meskipun demikian, Dewa Tapak
Darah tetap tidak percaya kalau orang semuda itu
memiliki kepandaian tinggi.
Dewa Tapak Darah memang baru keluar dari tem-
pat pertapaannya. Dia tidak tahu kalau di dunia persilatan telah muncul seorang
pendekar muda bernama
Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak. Dan, pemuda
yang tengah berdiri dihadapannya itu tidak lain dari
Dewa Arak "Sungguh besar nyalimu, Bocah! Berani-beraninya
kau mencampuri urusanku. Tahukah kau siapa aku"
Aku adalah tokoh yang akan menggantikan kedudukan
Pengemis Iblis Tanpa Tanding untuk menjadi tokoh
nomor satu dalam rimba persilatan! Aku adik sepergu-
ruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Julukanku adalah
Dewa Tapak Darah! Atas kelancanganmu mencampuri
urusanku ini kau akan mendapat hukuman yang se-
timpal, Bocah!" Dewa Tapak Darah menyapa Arya dengan panggilan yang merendahkan.
"Sayang sekali aku tidak takut dengan ancaman-
mu, Kek! Aku lebih suka mati daripada membiarkan
adanya ketidakadilan di depanku!" tandas Arya mantap tanpa bermaksud
menyombongkan diri.
"Sombong!" Dewa Tapak Darah setengah menjerit karena murkanya. "Orang seperti
kau kalau tidak segera diberikan pelajaran akan semakin kurang ajar.
Bocah! Sekarang, terimalah hukumanmu!"
Belum lagi gema teriakan itu hilang, Dewa Tapak
Darah telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tan-
gannya yang mengepal dihantamkan ke arah Arya da-
lam sebuah pukulan lurus ke dada. Bunyi meledak-
ledak seperti suara petir menggelegar terdengar mengiringi serangan itu. Hawa
panas terasa menyambar se-
belum pukulan itu sendiri tiba dekat.
Dewa Arak tidak terkejut. Dia sudah menyangka
Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian tinggi. Tak
aneh kalau kakek itu memiliki pukulan yang demikian
mengerikan! Jangankan terkena langsung, angin se-
rangannya saja sudah, cukup untuk membuat seba-
tang pohon besar hancur lebur.
Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan ti-
dak pernah memandang rendah lawan segera saja
mengeluarkan 'Delapan Langkah Belalang'nya.
Brakkk! Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang dewa-
sa hancur terkena angin pukulan yang tidak mengenai
sasaran. Tubuh Dewa Arak sudah melesat dari tem-
patnya. "Demi segala setan penghuni neraka!" maki Dewa Tapak Darah melihat lawannya
tiba-tiba lenyap dari
hadapan. Untuk sesaat dia kebingungan. Tapi begitu
merasa ada angin mendesir di belakangnya, segera sa-
ja diketahui kalau lawan ada di sana.
Lawannya ternyata memiliki ilmu langkah ajaib
yang dapat membuat pemuda itu mengelakkan seran-
gan tanpa diketahui kapan bergerak dan ke mana arah
gerakannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ka-
kek ini melempar tubuhnya ke depan kemudian bergu-
lingan di tanah.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada kakek
bermuka merah untuk memperbaiki kedudukan. Sege-
ra diburunya tubuh yang tengah bergulingan itu. Se-
rangan dahsyat langsung dikirimkannya. Tapi, Dewa
Tapak Darah mampu menangkalnya. Bahkan mengi-
rimkan serangan yang tak kalah dahsyat!
Pertarungan pun berlangsung mengiriskan hati
Putri Teratai Putih sebagai penonton satu-satunya.
Agaknya tokoh-tokoh yang bertarung memiliki tingkat
kepandaian di atasnya. Kenyataan ini membuat pera-
saan kagumnya timbul pada Arya. Pemuda itu masih
amat muda tapi telah memiliki kepandaian tinggi.
Di samping perasaan kagum, rupanya timbul pula
rasa khawatir terhadap keselamatan Dewa Arak. Me-
mang julukan Dewa Arak telah sampai ke telinga Putri
Teratai Putih. Pemuda itu hampir belum pernah gagal
menumpas angkara murka yang ditimbulkan tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan. Tapi melihat betapa be-
lianya Dewa Arak, perasaan tidak yakin mulai bergayut di hati wanita ini.
Dewa Arak sendiri harus mengakui kalau Dewa
Tapak Darah memiliki kepandaian dahsyat! Seluruh
kemampuannya telah dikerahkan. Namun belum juga
mampu mendesak lawannya. Pertarungan masih ber-
langsung seimbang!
Pertarungan yang berlangsung alot membuat dua
tokoh yang tengah bertarung kehilangan kesabaran.
Ketika Dewa Tapak Darah menerjang ke arahnya den-
gan menghentakkan kedua tangan, Dewa Arak tak ra-
gu-ragu untuk memapakinya!
Blarrr! Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
kekuatan dahsyat bertemu di udara. Ledakan keras
luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh! Keadaan di sekitar tempat itu
bergetar hebat. Pepohonan tampak
bergoyangan keras.
Tapi yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami
kedua tokoh yang tengah bertarung. Dewa Arak mau-
pun Dewa Tapak Darah terjengkang ke belakang. Se-
rentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh mere-
ka. Keduanya segera menyadari kalau diri mereka te-
lah terluka dalam yang cukup parah. Apabila perta-
rungan diteruskan, bukan tidak mungkin mereka akan
mati bersama-sama. Sesaat kedua tokoh ini saling ber-
tatapan. "Kalau saja aku tidak mempunyai urusan lain
yang lebih penting daripada mengurusi bocah macam
kau, sudah kuselesaikan riwayat hidupmu sampai di
sini! Kelak apabila urusanku telah selesai, akan kucari kau, Bocah! Kita
tentukan siapa yang lebih unggul di
antara kita berdua!"
Usai berkata demikian, Dewa Tapak Darah mem-
balikkan tubuh dan melangkah terhuyung-huyung


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat itu. Dewa Arak tak berusaha
mengejar. Pemuda ini hanya menatap kepergian la-
wannya. Setelah tubuh Dewa Tapak Darah semakin men-
gecil di kejauhan, Arya menghela napas berat. Dia te-
lah menanam bibit permusuhan dengan seorang tokoh
yang amat tangguh. Kemudian, Arya membalikkan tu-
buh dan menghampiri Putri Teratai Putih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya," ucap Putri Teratai Putih seraya menatap
pemuda berambut
putih keperakan itu dengan penuh rasa kagum. "Telah lama kudengar nama besarmu.
Tapi aku tidak pernah
bermimpi bisa bertemu. Aku, Teratai Putih, tidak akan melupakan pertolongan yang
kau berikan. Suatu saat
kelak aku ingin membalas budi ini."
"Teratai Putih"!" ulang Arya agak kaget. Dia pernah mendengar nama itu. "Jadi..,
kau kiranya tokoh
yang menggemparkan dunia persilatan sekitar dua pu-
luh tahun lalu" Berita mengenai dirimu banyak ku-
dengar. Kau, Putri Teratai Putih, putri dari pimpinan Perkumpulan Sepasang
Malaikat?"
"Sebuah julukan yang tidak berisi sama sekali,"
timpal Putri Teratai Putih seraya tersenyum pahit. Ia tidak tampak gembira
mendengar pujian Dewa Arak.
"Kenyataannya hanya menghadapi Dewa Tapak Darah
aku hampir melawat ke akhirat kalau kau tidak segera
datang, Dewa Arak!"
"Kakek itu memang memiliki kepandaian luar bi-
asa, Putri," ujar Arya menghibur. "Kurasa tidak perlu berkecil hati kalah di
tangan Dewa Tapak Darah. Apalagi kudengar dia kakak seperguruan Pengemis Iblis
Tanpa Tanding."
Putri Teratai Putih menatap Arya lekat-lekat "Kiranya kau mengetahui tentang
datuk sesat itu, Arya?"
"Hanya mendengar sedikit tentangnya, Putri. Ten-
tu saja tidak setahu kau yang telah mengalaminya
sendiri," jawab Arya merendah.
"Seberapa banyak pengetahuan yang kau dapat?"
tanya Putri Teratai Putih ingin tahu.
"Kudengar sekitar dua puluh tahun lalu di dunia
persilatan terdapat empat datuk kaum sesat. Mereka
memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Di samping itu juga berwatak kejam. Salah
satu di antara mereka adalah Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Datuk-datuk sesat
itu tewas di tangan Pimpinan Perguruan Sepasang Ma-
laikat yang dibantu oleh seorang pendekar sakti yang
berjuluk Pendekar Naga Emas. Setelah itu Perguruan
Sepasang Malaikat lenyap dari dunia persilatan. Demi-
kian pula dengan Pendekar Naga Emas."
"Aku, Ayah, dan seluruh murid Perkumpulan Se-
pasang Malaikat memutuskan untuk mengabdi pada
kerajaan di mana salah seorang adik seperguruan
Ayah menjadi raja," Putri Teratai Putih memberikan jawaban.
"Lalu, Pendekar Naga Emas?"
"Entahlah," Putri Teratai Putih menggelengkan kepala seraya menghela napas
berat. Dia kelihatan sedih sekali. Wajahnya semakin bertambah suram.
Arya tidak berani mengajukan pertanyaan lagi.
Melihat sikap Putri Teratai Putih, dia yakin ada sesua-tu di antara Pendekar
Naga Emas dengan wanita itu.
"Ayahku kemudian meninggalkan istana setelah
adik seperguruannya meninggal karena sakit. Sebelum
wafat adik seperguruan Ayah mengangkat ku menjadi
penggantinya. Sampai sekarang aku menjadi ratu di
kerajaan itu," lanjut Putri Teratai Putih, mengalihkan perbincangan mengenai
Pendekar Naga Emas.
"Maaf, bukan bermaksud untuk mengguruimu,
Putri. Adalah lebih tepat kalau kau memberitahukan
ayahmu mengenai munculnya Dewa Tapak Darah. Aku
yakin kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tand-
ing itu akan membalaskan sakit hatinya terhadap
ayahmu. Bukankah beliau ikut andil dalam tewasnya
Pengemis Iblis Tanpa Tanding?" ujar Arya hati-hati.
"Aku pun berpikir demikian, Arya," sahut Putri Teratai Putih. "Aku sendiri
sebenarnya tengah bermaksud untuk mengunjungi ayahku. Dengan kejadian ini,
aku harus lebih cepat tiba di sana sebelum hal-hal
yang lebih buruk terjadi"
"Boleh aku menyertai perjalananmu, Putri?" Arya mengajukan diri. "Kurasa dengan
keadaanmu sekarang ini kau tidak akan dapat membela diri dengan
baik. Lagi pula aku tidak yakin Dewa Tapak Darah
akan berdiam diri saja. Kakek itu pasti menunggu ke-
sempatan untuk melenyapkanmu."
Putri Teratai Putih terdiam. Wanita ini tidak lang-
sung segera memberikan jawaban.
"Sebuah usul yang baik, Arya," jawab Putri Teratai Putih kemudian setelah
termenung sebentar. "Kau baik sekali. Sikap dan tindak-tandukmu mengingatkan ku
akan Pendekar Naga Emas. Dia seorang pendekar yang
luar biasa."
"Aku yakin betul akan hal itu, Putri. Karena itu, aku ingin sekali berkenalan
dengannya. Tidak hanya
dengannya, tapi juga dengan ayahmu, Putri. Barangka-
li saja banyak petunjuk yang berharga yang akan dibe-
rikannya padaku nanti."
Putri Teratai Putih tersenyum. Sejenak senyuman
itu mengusir kabut kedukaan yang melapisi wajah dan
sepasang matanya
"Kau pandai merendah, Arya. Dengan kepandaian
yang kau miliki sekarang, bagaimana mungkin ayahku
bisa memberi petunjuk" Malah, bisa jadi kaulah yang
akan memberi petunjuk pada ayahku."
"Kau terlalu tinggi memujiku, Putri," Arya tersenyum malu. "Jangankan menghadapi
ayahmu, ber- tempur dengan Dewa Tapak Darah saja nyawaku
hampir melayang...."
"Kau melupakan satu hal, Arya. Dewa Tapak Da-
rah adalah kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanding.
Sebagai kakak seperguruan kepandaiannya tentu lebih
tinggi dari si pengemis jahat itu. Padahal, menghadapi Pengemis Iblis Tanpa
Tanding saja ayahku harus dira-wat berminggu-minggu karena luka berat yang
dideri- tanya." "Kau sudah cukup kuat untuk melakukan perja-
lanan, Putri?" Arya segera mengalihkan pembicaraan.
Putri Teratai Putih mengangguk Pembicaraan
mengenai hal itu pun dihentikan. Wanita ini tahu Arya
merasa risih mendengar pujian yang dilontarkan ter-
hadapnya. Sikap Arya itu menimbulkan kekaguman
besar dalam hati Putri Teratai Putih.
*** 3 Bunyi kecapi dilantunkan dalam nada sedih dan
memilukan hati berkumandang mengiringi langkah
kaki kuda coklat. Langkah binatang kurus itu pun lesu seperti nada yang keluar
dari kecapi. Keadaan pemetik kecapi tak kalah lesunya. Dia
duduk di atas punggung kuda dengan wajah ditun-
dukkan. Wajahnya kumal penuh debu. Kumis, jenggot,
dan cambangnya tak terurus menghias wajah. Pakaian
lelaki ini kotor serta lusuh.
Tiba-tiba saja lelaki kumal ini menghentikan per-
mainan kecapinya. Sesaat kemudian mulutnya berde-
cak pelan. Dan, kuda coklat pun melesat ke depan ba-
gai anak panah lepas dari busur. Kelihatan tak sesuai sekali dengan tubuhnya
yang kurus. Hanya dalam waktu sebentar saja kuda coklat itu
telah melampaui ratusan tombak. Medan yang semula
berupa tanah gersang ditumbuhi sedikit rumput kering
kini berganti dengan tanah berbatu-batu.
Kuda coklat itu baru menghentikan larinya ketika
mendengar bunyi decak dari mulut penunggangnya.
Binatang itu telah berada di pinggir tebing. Di depannya terdapat medan menurun
yang terjal. Di bagian
yang rata tampak lima sosok tubuh tengah terlibat da-
lam pertarungan.
Lelaki kumal yang berusia sekitar lima puluh ta-
hun ini mengarahkan pandangan ke bawah, ke tempat
pertarungan tengah berlangsung sengit
"Ti... tidak mungkin..." desis lelaki itu terbata-bata. Wajah lelaki kumal ini
terlihat tegang bukan main.
Sepasang matanya membelalak lebar seperti orang me-
lihat hantu. Mulutnya pun terbuka. Hingga, andal kata ada lalat masuk mungkin
lelaki ini tidak mengeta-huinya.
Sepasang mata lelaki kumal yang mencorong kehi-
jauan bak mata seekor harimau dalam gelap menatap
hampir tak berkedip. Bukan pada jalannya pertarun-
gan, melainkan pada salah satu dari orang-orang yang
tengah bertarung.
Di kancah pertarungan, dalam jarak sekitar sepu-
luh tombak, seorang wanita muda berpakaian merah
menyala tengah berhadapan dengan empat orang lelaki
kasar bersenjata golok. Wanita itu sendiri hanya ber-
senjatakan sebatang pedang pendek.
Yang menjadi pusat perhatian lelaki kumal adalah
si wanita muda. Lelaki ini memperhatikan bagai orang
terkena sihir! "Ya Tuhan...! Apakah aku tengah bermimpi"! Bu-
kankah gerakan yang dimainkan oleh wanita itu ada-
lah ilmu Pedang Sepasang Malaikat" Ilmu yang menja-
di andalan pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang
Malaikat. Dan, wajah itu... benarkah dia Putri Teratai Putih" kalau benar dia,
mengapa pakaiannya merah"!"
gumam lelaki kumal dengan bibir bergetar.
Sementara di kancah pertarungan pertempuran
terjadi semakin sengit. Wanita berpakaian merah keli-
hatan terdesak. Lawan-lawannya terlalu lihai dan ba-
nyak. Andaikata seorang demi seorang mungkin dia
akan keluar sebagai pemenang. Kemampuan wanita
itu di atas kepandaian lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Salah seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi
kurus berteriak nyaring sambil melompat menerjang
lawannya. Golok di tangannya dibabatkan ke arah leh-
er. Wanita muda berpakaian merah menarik tubuh-
nya ke belakang sehingga serangan itu kandas. Na-
mun, pengeroyok yang bertubuh pendek menusukkan
golok dari samping kanan. Sementara dari sebelah kiri pengeroyok lainnya
membabatkan golok ke arah teng-kuk. Dan, golok yang meluncur dari sebelah kanan
mengancam pelipis!
Wanita perkasa itu bertindak cepat dengan me-
rendahkan tubuhnya. Sehingga, semua serangan itu
meluncur di atas kepala. Berbarengan dengan itu pe-
dang pendeknya ditusukkan ke arah pengeroyok yang
berada di kanan.
Crasss...! Ujung pedang si wanita berhasil menyerempet pe-
rut lelaki berkulit hitam yang menjadi sasaran seran-
gan. Padahal lelaki itu telah berusaha sebisa-bisanya untuk mengelak
Tapi sebelum si wanita sempat melancarkan se-
rangan susulan pada lelaki hitam yang tengah ter-
huyung-huyung, lelaki tinggi besar telah mengguling-
kan tubuh. Kaki kanannya diayunkan menyapu kaki
wanita berpakaian merah.
Bukkk! Telak dan keras sekali sapuan lelaki itu menghan-
tam sasaran. Seketika itu juga tubuh wanita berpa-
kaian merah terpelanting jatuh.
Melihat kesempatan yang menguntungkan itu, pa-
ra pengeroyoknya tidak mau membiarkan. Bagai ber-
lomba mereka saling mendahului melancarkan seran-
gan. Wanita berpakaian merah mengeluh di dalam hati.
Jalan untuk mengelak sudah tidak ada lagi. Maka, dia
hanya mampu berdiam diri menanti datangnya maut.
Bahaya yang mengancam keselamatan wanita
muda itu tak luput dari perhatian lelaki kumal yang
sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. Jari-jari tangannya dengan tangkas
memetik dawai-dawai kecapi. Tung, tung, tung..!
Bunyi-bunyi yang nikmat untuk didengar telinga
pun terdengar menghentak. Akibatnya sungguh mengi-
riskan hati! Empat lelaki kasar yang tengah melancar-
kan serangan bagai ditubruk gajah liar! Tubuh mereka
terpental balik ke belakang dan melayang di udara
dengan derasnya.
Wanita muda berpakaian merah tampak terkejut
melihat keadaan keempat lawannya. Tapi, wanita itu
tidak merasa heran. Kejadian yang menimpa lawan-
lawannya terjadi karena bunyi kecapi. Wanita itu melihat keberadaan lelaki kumal
yang duduk di atas pung-
gung kuda ketika mengedarkan pandangan. Dia segera
tahu kalau lelaki kumal itu memiliki kepandaian ting-
gi. Hanya orang yang bertenaga dalam luar biasa kuat
saja yang mampu melakukan hal seperti tadi.
Lelaki kumal itu sendiri bergegas melompat dari
punggung binatang tunggangannya dan melesat ke
arah wanita berpakaian merah berada. Wanita itu
membelalakkan mata melihat tindakan lelaki kumal.
Jelas-jelas dilihatnya lelaki itu tidak menggerakkan tubuh bagian bawah.
Tubuhnya tampak melayang! Ter-
nyata kepandaian lelaki itu tidak hanya tenaga dalam-
nya saja tetapi juga ilmu meringankan tubuhnya!
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya lelaki kumal ketika telah berada di depan
wanita berpakaian merah
yang telah berdiri. Sementara keempat lawannya su-
dah melesat meninggalkan tempat itu dengan langkah
terhuyung-huyung. Mereka kabur karena tahu lawan-
nya mendapat pertolongan.
"Tidak apa-apa, Paman," jawab wanita itu sambil tersenyum. "Terima kasih atas
pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada kau mungkin nyawaku telah
melayang ke alam baka!"
"Syukurlah kalau demikian," sambut lelaki kumal, gembira. Lelaki ini telah
berhasil menekan guncangan
perasaan yang tadi melanda sehingga wajah maupun
sikapnya terlihat biasa. "Boleh ku tahu mengapa kau bentrok dengan mereka. Nona"
Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui urusanmu. Tapi, gerakan-


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakanmu mengingatkan ku pada seorang tokoh.
Bahkan wajahmu pun mirip dengan orang yang pernah
kukenal itu," lanjutnya kemudian.
Wanita muda itu menatap wajah lelaki kumal pe-
nuh selidik. Rupanya, dia tidak mau percaya saja pada ucapan penolongnya.
"Boleh ku tahu tokoh yang kau maksudkan itu
Paman" Bukannya aku tak mempercayaimu, tapi keja-
dian yang ku alami membuatku tidak berani memper-
kenalkan diri pada sembarang orang. Bahkan, aku di-
beritahu kalau sembarangan membuka mulut akan
membahayakan diriku. Banyak musuh yang akan
mencelakai ku. Sekali lagi maafkan aku, Paman."
"Suatu tindakan yang bagus sekali, Nona," lelaki kumal malah memuji. Ia tidak
tersinggung atas tanggapan yang diperolehnya. "Kau tak perlu meminta
maaf. Memang seharusnya demikian tindakan yang
kau lakukan. Tokoh yang kumaksudkan itu adalah
pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Aku yakin
kau mempunyai hubungan dengannya, Nona. Kulihat
kau menggunakan senjata berciri khas perkumpulan
itu." "Ini tidak menjadi jaminan untuk mempercayai kalau kau bukan termasuk
musuh, Paman," kilah wanita muda itu belum mau percaya. "Memang kuakui
kalau aku mempunyai hubungan dengan orang yang
kau maksudkan. Tapi, seorang musuh bisa saja men-
genal setiap anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat
dengan hanya melihat gerakan-gerakannya. Ada hal
lebih penting yang hanya diketahui oleh sahabat-
sahabat tokoh yang kau maksudkan itu. Sekali lagi
maaf, bukannya aku tak mau memperkenalkan diri.
Aku hanya khawatir kalau-kalau kejadian yang sama
terulang. Aku banyak dipesan agar berhati-hati terha-
dap orang yang tidak kukenal. Kendati orang itu telah menolongku siapa tahu ia
mempunyai maksud-maksud tertentu"
Lelaki kumal tertawa terbahak-bahak. Di dalam
hatinya lelaki ini merasa heran. Telah bertahun-tahun lamanya dia tidak
tersenyum. Namun, sekarang dia
tertawa! Wanita di hadapannya ini rupanya telah me-
nimbulkan rasa gembira yang besar di hatinya.
"Kau seorang gadis yang cantik sekali, Nona. Me-
mang apa yang kau katakan itu benar. Tidak semba-
rang orang mengenal secara dekat pimpinan-pimpinan
Perkumpulan Sepasang Malaikat. Mereka amat mera-
hasiakan nama! Hanya sahabat-sahabat yang diper-
caya saja mendapat kehormatan untuk mengetahui
nama mereka. Itu pun dengan pesan keras agar tidak
memberitahukannya pada orang lain. Dan, sahabat-
sahabat baik itu pun berjanji memenuhinya. Sebagai
seseorang yang mendapat kehormatan untuk bersaha-
bat dengan mereka, tentu saja aku tahu nama-nama
pemimpin Perkumpulan Sepasang Malaikat itu!" tandas lelaki kumal.
Wanita muda berpakaian merah membisu me-
nunggu kelanjutan ucapan lelaki kumal. Sorot kecuri-
gaan pada sepasang matanya tampak sudah jauh ber-
kurang. Apa yang dikatakan lelaki itu diakui kebena-
rannya. Pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang
Malaikat memang amat merahasiakan nama mereka.
"Dengar baik-baik, Nona. Katakan kalau aku tidak benar menyebutkan nama mereka.
Orang yang tertua
bernama Banyak Ngampar. Sedangkan yang lebih mu-
da bernama Banyak Catra. Ada satu lagi adik sepergu-
ruan mereka yang tidak ikut dalam kepengurusan per-
guruan. Jarang orang yang tahu karena tokoh ini men-
jadi raja pada sebuah kerajaan. Nama tokoh ini adalah Banyak Santang. Sedangkan
wajahmu yang kukatakan
tadi mirip seseorang adalah putri dari Banyak Catra.
Namanya Teratai Putih. Orang-orang lebih mengenal-
nya sebagai Putri Teratai Putih," jelas lelaki kumal panjang lebar.
Wanita berpakaian merah tersenyum. Lelaki kum-
al harus mengakui kalau senyum itu membuat wajah-
nya menjadi berlipat kali lebih cantik.
"Kau benar-benar salah seorang sahabat, Paman,"
ujar wanita itu dengan penuh perasaan lega. "Bahkan, lebih dari seorang sahabat.
Apa yang kau ketahui demikian banyak. Namaku Teratai Merah, Putri Teratai
Merah. Memang mirip dengan nama Putri Teratai Pu-
tih. Tapi, tidak berarti ada hubungan antara aku den-
gan Putri Teratai Putih. Hubungan yang ada hanyalah
karena aku menjadi murid ayahnya."
"Sudah kuduga kalau kau murid dari Banyak Ca-
tra, Teratai Merah," ujar lelaki kumal menyebut wanita
itu dengan namanya.
"Kau sendiri siapa, Paman" Mendengar pengeta-
huanmu yang banyak itu aku yakin kau merupakan
sahabat yang paling dipercaya. Siapakah kau Paman?"
Tanggapan dari pertanyaan Putri Teratai Merah
adalah tundukan kepala lelaki kumal. Terdengar he-
laan napas berat dari mulutnya. Kentara jelas kalau
pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang tak
menggembirakan hatinya.
Putri Teratai Merah yang tak menyangka hal itu
menjadi tidak enak karenanya.
"Maafkan kalau pertanyaanku menyusahkan ha-
timu, Paman. Kurasa lebih baik kau tidak usah men-
jawabnya. Lagipula, aku sudah merasa yakin kalau
kau adalah salah seorang sahabat terbaik guruku."
Lelaki kumal itu tersenyum. Sikap Putri Teratai
Merah yang tahu diri amat menyenangkan hatinya. Di-
akuinya kalau dekat dengan wanita muda yang umur-
nya tak lebih dari dua puluh tahun itu susah untuk
berlama-lama sedih. Tentu saja ini juga karena ke-
mampuannya mengendalikan perasaan.
"Tidak apa-apa, Teratai Merah. Aku tidak apa-apa.
Hanya..., memang ada sesuatu yang mengganggu piki-
ranku. Tapi itu tak berarti harus merahasiakan hal ini terhadapmu. Namaku
Kamandaka. Aku hanya seorang
pengelana yang mengikuti ke mana kakiku ini melang-
kah." "Kasihan sekali kau, Paman," desah Putri Teratai Merah. Sepasang matanya
yang bening indah memperhatikan sekujur tubuh lelaki kumal "Kau tidak mengurus
dirimu sehingga seperti... maaf, Paman seperti gembel. Apakah kau tidak
mempunyai keluarga"
Aku yakin kau dulunya seorang pemuda yang gagah
dan tampan. Rasanya tidak mungkin kalau tidak ada
wanita yang tertarik padamu...."
Putri Teratai Merah menghentikan ucapannya di
tengah jalan. Dia sadar telah keterlepasan bicara. Percakapan itu membawa mereka
ke masa silam lelaki
kumal yang tidak menggembirakan. Dan, dia merasa
menyesal telah kembali menyinggungnya.
Tapi, penyesalan itu pupus ketika dilihatnya tang-
gapan Kamandaka. Lelaki kumal ini tertawa geli. Dia
tidak tampak bersedih seperti perkiraan Putri Teratai Merah.
"Kau ini bisa saja, Teratai Merah. Kalau ada wani-ta yang menyukaiku, mana
mungkin sampai sekarang
aku masih sendiri" Aku tak menarik wanita mana pun
Teratai. Mana ada wanita yang tertarik pada gembel
sepertiku?" ujar Kamandaka.
Putri Teratai Merah ikut tertawa. Kamandaka ha-
rus mengakui kalau gadis ini benar-benar mirip den-
gan Putri Teratai Putih yang dikenalnya. Tidak hanya
wajah, tapi juga caranya tertawa! Putri Teratai Merah pun memiliki kecantikan
yang tak kalah dengan Putri
Teratai Putih. Kecantikan kedua wanita, itu hampir
sama! Putri Teratai Merah memang memiliki kecantikan
luar biasa. Kulitnya putih halus. Hidungnya yang
mancung serta sepasang bibir merah tipisnya men-
gundang orang untuk menciumnya. Kecantikan itu
masih ditunjang lagi dengan bentuk tubuhnya yang
indah dan padat berisi.
"Kau hendak ke mana, Teratai?" tanya Kamanda-ka setelah tawa mereka reda.
"Bukankah tempat tinggal gurumu jauh dari sini" Kudengar mereka semua
tinggal di istana kerajaan."
Putri Teratai Merah menghela napas berat "Aku
sendiri tidak tahu mengapa, Paman. Guru pindah dari
istana dengan membawaku setahun setelah tinggal di
sana. Paman Guru Banyak Santang telah meninggal
dunia karena sakit-sakitan. Aku sekarang tinggal ber-
sama kakek guru."
"Lalu, Putri Teratai Putih?" desak Kamandaka ingin tahu.
"Putri Teratai Putih tetap tinggal di istana. Tapi, setahun sekali beliau
berkunjung ke tempat kami. Beliau amat baik hati. Dia sangat memperhatikan ku,
Paman. Malah, sejak sepuluh tahun lalu setiap tiga
purnama sekali beliau datang berkunjung. Putri Tera-
tai Putih cantik sekali, Paman," tutur Putri Teratai Merah. "Dia memang cantik
sekali, Teratai," jawab Kamandaka. "Tapi, kau pun tidak kalah cantiknya. Kau
memiliki wajah dan potongan tubuh yang mirip sekali
dengannya. Di waktu muda dulu aku pernah melihat-
nya. Tidak ada bedanya sedikit pun denganmu! Hanya
warna pakaian saja kalian berdua memiliki perbedaan
yang menyolok! Putri Teratai Putih menyukai warna-
warna putih. Sedangkan kau warna merah. Sepertinya
kalian berdua hampir tidak mempunyai perbedaan
sama sekali. Malah, aku menduga kau adalah pu-
trinya!" "Hi hi hi...!" Putri Teratai Merah tertawa geli seakan-akan ada sesuatu yang
lucu. "Mengapa kau tertawa, Teratai" Ada yang lucu?"
tanya Kamandaka dengan mulut menyunggingkan se-
nyum. Tawa geli Putri Teratai Merah mendorongnya
untuk ikut merasa geli.
"Bagaimana aku tidak tertawa, Paman," celetuk Putri Teratai Merah dengan
setengah tertawa. "Kau menyangka aku putri dari orang yang belum menikah.
Bagaimana Putri Teratai Putih bisa mempunyai anak
kalau suami saja dia tidak punya?"
"Jadi..., Putri Teratai Putih belum bersuami sampai sekarang"!" tanya Kamandaka
terkejut dan setengah tak percaya.
Putri Teratai Merah mengangguk. "Aku pun mera-
sa heran, Paman," gadis cantik ini mendesah. "Orang secantik beliau mana mungkin
tidak disukai laki-laki"
Bende Mataram 10 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Terjerat Asmara Mistik 1
^