Pencarian

Satria Sinting 1

Dewa Arak 64 Satria Sinting Bagian 1


SATRIA SINTING oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode : Satria Sinting
128 hal. ; 12,x 18 cm
1 Seorang pemuda tampan mengayunkan langkah seenaknya
menyusuri sebuah hutan di kaki Gunung Arjuno. Sambil
melangkahkan kaki, sesekali ditarik napas dalam-dalam dengan mengembangkan
dadanya untuk menghirup udara pagi.
Mendadak pemuda itu menghentikan langkah. Pendengarannya yang tajam menangkap ada bunyi tangkah kaki menuju ke arahnya.
"Hih!"
Hanya dengan sekali jejak, tubuh pemuda itu telah
melayang ke atas dan hinggap di atas cabang pohon yang melintang di atas jalan
berumput. Di kanan kiri jalan itu memang ditumbuhi berbagai pepohonan. Dari
tempat ini, pemuda yang tak lain Arya atau lebih terkenal dengan julukan Dewa
Arak, mengintai.
Beberapa saat kemudian, Dewa Arak telah melihat sosok
tubuh ramping berpakaian kuning. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun,
dan berwajah cantik jelita.
"Hhh.. hhh. .!"
Desah napas memburu, terdengar oleh Arya ketika gadis
berpakaian kuning itu lewat di bawah cabang pohon tempatnya bertengger. Lari
gadis itu agak terhuyung-huyung, menjadi
pertanda jelas kalau dia telah merasa lelah.
Semua ini menarik perhatian Arya. Dia yakin gadis
berpakaian kuning itu tengah melarikan diri dari sesuatu yang ditakutinya.
Itulah sebabnya, Dewa Arak memutuskan untuk
menunggu. Dibiarkannya gadis itu lewat.
Baru saja gadis berpakaian kuning lewat, di kejauhan, dari arah yang sama dengan
kedatangan si gadis, tampak tiga sosok yang bergerak ke tempatnya secara cepat.
Hanya dalam sekejapan, tiga sosok itu telah berada di dekat tempat Arya berada.
Di sini mereka menghentikan langkah.
Arya pun memperhatikan mereka tanpa berani bergerak
sedikit pun. Disadari kalau orang-orang yang berada di bawahnya memiliki tingkat
kepandaian tinggi, karena mereka memiliki gerakan yang gesit. Kalau tidak hati-
hati, keberadaannya bisa diketahui mereka.
"Bagaimana, Setan Hitam" Mana arah yang harus kita
tempuh" Kanan, kiri, atau depan?" tanya lelaki bertubuh pendek gemuk, berkepala
botak, dari berperut gendut
Setan Hitam yang julukan lengkapnya Setan Hitam Muka
Kuda tidak langsung menjawab pertanyaan kawannya. Lelaki
bertubuh tinggi besar dan berbahu lebar itu memperhatikan ke sekitarnya sejenak.
Wajahnya yang mirip kuda menoleh ke sana kemari.
"Kukira dia menempuh jalan ke kiri," jawab Setan Hitam Muka Kuda dengan suara
khasnya yang parau. "Bagaimana menurutmu, Iblis Pemburu Nyawa?"
"Aku setuju, Setan Hitam! Bukankah jalan itu akan menuju tempat kediaman sahabat
Eyang Dipayana, kakeknya"!" sahut Iblis Pemburu Nyawa. Lelaki bertubuh kecil
dengan pinggang terlilit rantai baja yang berujung bola berduri sebesar kepalan
tangan orang dewasa.
Yakin pada dugaannya, tiga lelaki berwajah kasar dan rata-
rata memiliki mata tajam itu melesat ke kiri. Hanya dalam beberapa lesatan saja,
tubuh mereka telah jauh. Yang tampak hanya bayangan hitam yang semakin mengecil
dan akhirnya lenyap.
Semua percakapan itu didengar Dewa Arak. Dan meskipun
belum jelas persoalannya, pemuda berambut putih keperakan itu condong berpihak
pada gadis berpakaian kuning. Maka, Arya pun melesat mengejar.
*** "Mau lari ke mana, Bangsat Kecil"!"
Gadis berpakaian kuning
terkejut bukan kepalang
mendengar bentakan itu. Dan sebelum dia sempat menoleh,
dirasakan ada hembusan angin. Tahu-tahu di depannya berdiri sesosok tubuh pendek
gemuk. Seketika gadis berpakaian kuning menghentikan larinya.
Dibalikkan tubuhnya untuk melarikan diri. Namun ayunan kakinya tertahan begitu
melihat di depan telah berdiri Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda.
Menyadari kalau jalan untuk
melarikan diri sudah tertutup, gadis itu nekat.
Srattt! Dengan cepat gadis berpakaian kuning
mencabut pedangnya! "Ha ha ha.. !"
Lelaki pendek gemuk yang berjuluk Gajah Kecil Bertangan
Maut, tertawa tergelak. "Bagus! Rupanya kau ingin melawan"!
Majulah! Kulihat sampai di mana kelihaian ilmu yang kau terima dari Dipayana
keparat itu!"
"Tutup mulutmu, Kerbau Gundul!"
Usai berkata demikian, gadis berpakaian kuning melancarkan serangan pada Gajah Kecil Bertangan Maut. Sepasang pedang di
tangannya langsung dibabatkan. Yang di kanan
diayunkan ke arah leher, sedangkan yang di tangan kiri menebas kaki dengan arah
gerakan berlawanan.
Sing, sing! Bunyi berdesing nyaring yang terdengar, menandakan kalau
tenaga dalam gadis berpakaian kuning cukup kuat.
"Sebuah serangan yang bagus," puji Gajah Kecil Bertangan Maut seraya melompat ke
atas untuk menghindari serangan yang mengancam kaki. Ada pun yang menuju ke
leher, dipapaknya
dengan sampokan tangan kanan. Lelaki pendek gemuk ini tidak khawatir tangannya
akan terluka karena telah mengenakan sarung tangan yang menjadi senjata
andalannya. Sebuah sarung tangan pusaka berwarna hitam yang tahan bacokan
senjata tajam. Takkk! "Hah.. "!"
Tubuh gadis berpakaian kurung langsung terhuyung-
huyung ke belakang begitu terjadi benturan. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut
tampak tenang saja. Dari sini saja, gadis itu tahu kalau tenaga dalam lawan
berada jauh di atasnya.
Sungguhpun demikian, gadis berpakaian kuning tidak
merasa gentar. Setelah berhasil memperbaiki kedudukan, langsung dikirimkan
serangan susulan kembali.
Dewa Arak yang menyaksikan jalannya pertarungan,
mengernyitkan alis. Hanya dengan memperhatikan sebentar, dia sudah dapat
mengetahui kalau gadis berpakaian kuning bukan tandingan Gajah Kecil Bertangan
Maut yang lihai!
Setiap serangan gadis itu selalu berhasil dipatahkan lawan.
Sebaliknya, serangan balasan yang dikirimkan Gajah Kecil
Bertangan Maut, membuatnya kerepotan. Beberapa kali dia
terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.
"Hih!"
Menginjak jurus ketiga belas, sambil menggertakkan gigi,
Gajah Kecil Bertangan Maut merangsek maju. Tangannya pun
disampokkan seraya memutar tubuhnya laksana kitiran. Serangan itu memaksa gadis
berpakaian kuning terus melangkah mundur sambil memutar-mutarkan pedangnya di
depan dada untuk
bertahanPrattt!
"Ih.. !"
Gadis berpakaian kuning memekik kesakitan ketika
sampokan Gajah Kecil Bertangan Maut menghantam pergelangan tangannya. Seperti
terhantam sebatang baja yang amat keras, tangannya dirasakan nyeri sekali.
Pedangnya terlepas dari tangan.
Tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang.
Saat itulah, Gajah Kecil Bertangan Maut merendahkan
tubuhnya, mengambil sikap seperti seekor katak. Kemudian, kedua tangannya
dihentakkan ke depan.
"Kok kok kok. .!"
Bunyi berkokok seperti ayam habis bertelur terdengar dari
kerongkongan Gajah Kecil Bertangan Maut. Dan dari kedua tangan yang dihentakkan,
keluar angin keras berputar mirip angin topan.
Wajah gadis berpakaian kuning memucat. Disadari adanya
ancaman maut. Namun sayang dia tidak berdaya untuk berbuat sesuatu karena masih
terbawa kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Di saat yang amat gawat itulah, Arya segera melesat
menyambar tubuh gadis berpakaian kuning.
Brakkk! Pohon besar di belakang gadis berpakaian kuning tumbang
dan hancur berantakan, terhantam pukulan jarak jauh Gajah Kecil Bertangan Maut.
Kepingan-kepingan kayu beterbangan dan berputaran seperti digulung angin topan!
Kejadian itu bukan hanya membuat Gajah Kecil Bertangan
Maut yang merasa terkejut. Namun juga kedua rekannya, Iblis Pemburu Nyawa dan
Setan Hitam Muka Kuda. Bagai diberi
perintah, mereka bergerak bersama. Sehingga ketika Dewa Arak menjejak
tanah, tiga tokoh berpakaian hitam
itu telah mengurungnya. "Menyingkirlah. Mereka bukan tandinganmu!" ujar Arya seraya menurunkan tubuh
gadis berpakaian kuning dari
pondongannya. Gadis berpakaian kuning segera melaksanakan perintah
Dewa Arak. Dia memperhatikan dari jauh dengan hati berdebar tegang. Mampukah
pemuda berambut putih keperakan itu
menghadapi lawan-lawannya yang memiliki kepandaian sangat
menggiriskan"
Sementara itu, Gajah Kecil Bertangan Maut mengangguk-
anggukkan kepala setelah memperhatikan Arya dari ujung rambut sampai ujug kaki
dengan penuh selidik.
"Hm.. ! Rupanya kau yang berjuluk Dewa Arak. Memang,
julukanmu telah mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh yang
berkepandaian luar biasa. Mari, Dewa Arak! Kita bermain-main sebentar."
Dewa Arak tidak memberikan tanggapan sama sekali.
Dengan sikap tenang, diperhatikannya gerak-gerik Gajah Kecil Bertangan Maut.
Meskipun tidak terlihat berwaspada, seluruh urat-urat saraf pemuda berambut
putih keperakan ini menegang, siap-siap menghadapi kemungkinan yang tidak di
nginkan. Disadari kalau lelaki pendek gemuk itu merupakan tokoh berkepandaian
tinggi. Terutama sekali pukulan jarak jauhnya yang dilakukan dengan merendahkan
tubuh mirip katak.
"Haaat...!"
Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu
tergetar hebat, Gajah Kecil Bertangan Maut melancarkan serangan.
Jari tangan kirinya bergerak menusuk ke mata lawan. Sedangkan tangan kanannya
mencengkeram lambung.
Dewa Arak sudah terbiasa bertindak hati-hati. Meskipun
serangan seperti ini bisa dipatenkannya dengan tangkisan, dia tidak
melakukannya. Kekuatan tenaga dalam lawan, belum diketahuinya.
Begitu pula perkambangan serangan itu. Maka dilemparkan
tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah menjauh.
Gajah Kecil Bertangan Maut melihat adanya kesempatan
baik untuk melancarkan serangan susulan. Keadaan Dewa Arak amat menguntungkan
pihaknya. Maka buru-buru dia meluruk
menerjang pemuda berambut putih keperakan itu.
Gerakan lelaki gemuk berkepala botak itu begitu cepat.
Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya Dewa Arak
melenting ke atas mengelakkan serangan lawan.
Gajah Kecil Bertangan Maut menggereng bagai macan luka.
Kegagalannya memanfaatkan kesempatan di saat kedudukan lawan tidak
menguntungkan, tidak membuatnya putus asa. Dikejarnya De-wa Arak. Kemudian
dengan kedua tangan terbuka dihantamnya
dada pemuda berambut putih keperakan itu.
Plak! Plak! Bunyi keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Memang,
Dewa Arak memapak serangan lawannya dengan sikap jari-jari tangan yang sama.
Akibatnya, tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut dan tubuh
Dewa Arak pun sama-sama terjengkang ke arah belakang. Hanya saja, lelaki pendek
berbadan gemuk itu terhu yung tiga langkah lebih jauh daripada Dewa Arak yang
hanya terhuyung satu langkah.
Kenyataan yang menunjukkan kekalahannya membuat
Gajah Kecil Bertangan Maut penasaran bercampur geram. Untuk yang kedua kalinya
direndahkan tubuhnya mirip seekor katak. Lalu, secara bergantian tangan kanan
dan kirinya digerakkan ke atas dan ke bawah. Bunyi seperti ayam habis bertelur
terdengar seiring dengan gerakan kedua tangannya. Kemudian kedua tangannya
segera dihentakkan.
Wusss! Hembusan angin keras berputar keluar dari kedua tangan
yang dihentakkan.
Kali ini Dewa Arak tidak mengelak. Dipapaknya serangan
itu dengan kedua tangan yang dihentakkan pula.
Blarrr! Bunyi keras terdengar memekakkan telinga dan membuat
sekitar tempat itu tergetar hebat, ketika dua pukulan jarak jauh saling beradu.
Tubuh keduanya tampak terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang.
Dewa Arak terkejut ketika menyadari ada sebuah kekuatan
yang membuat tubuhnya berputar. Namun berkat kelihaiannya, pemuda berpakaian
ungu itu segera mampu memperbaiki
keseimbangan tubuhnya.
Dewa Arak masih tetap keheranan. Entah dengan cara
bagaimana, ilmu pukulan yang dilancarkan dengan tubuh setengah berjongkok mirip
katak tadi mengandung tenaga berlipat ganda.
Terbukti, dirinya sempat terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sementara itu Gajah Kecil Bertangan Maut pun demikian.
Meskipun begitu, dia tahu kalau ilmu pukulan mukjizatnya cukup membuahkan hasil.
Maka setelah kekuatan yang membuat
tubuhnya sempoyongan berhasil dipatahkan, langsung dikirimkan serangan susulan
dengan cara seperti tadi.
Namun kali ini Dewa Arak tidak mau meladeninya. Dengan
kecepatan yang mengagumkan, pemuda berambut putih keperakan itu melenting. Dan


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari atas dilancarkan serangan bertubi-tubi.
Tentu saja yang menjadi sasaran bagian kepala dan punggung lawan.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat lelaki
bertubuh gemuk pendek itu tampak kelabakan. Sama sekali tidak disangka kalau
lawan akan melakukan perlawanan di atas. Cara perlawanan seperti ini membuat
kedahsyatan ilmunya tak berfungsi.
Karena dia tidak mampu melancarkan serangan ke atas kepalanya.
Tambahan lagi kecepatan gerakan Dewa Arak jauh di atasnya, sehingga setiap
serangan yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong.
Tak pelak lagi, Gajah Kecil Bertangan Maut kian kewalahan.
Dia dibuat kerepotan untuk tetap berada di hadapan lawan. Namun, karena dirinya
kalah cepat bergerak, selalu berada dalam keadaan dicecar.
Melihat keadaan rekannya, Iblis Pemburu Nyawa dan Setan
Hitam Muka Kuda pun tidak tinggal diam. Keduanya terjun ke dalam kancah
pertarungan dan mengeroyok Dewa Arak. Maka
pertarungan yang jauh lebih sengit pun berlangsung.
Melihat keadaan itu Dewa Arak tidak bisa bertindak
setengah-setengah. Setan Hitam Muka Kuda dan Iblis Pemburu Nyawa ternyata
memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding Gajah Kecil Bertangan Maut.
Seperti juga lelaki pendek gemuk itu, kedua tokoh golongan hitam ini pun
memiliki ilmu-ilmu yang aneh dan dahsyat
Setan Hitam Muka Kuda memiliki keistimewaan dalam
penggunaan sepasang kakinya. Itulah jurus 'Sepak Kuda'.
Sedangkan Iblis Pemburu Nyawa mempunyai ilmu yang membuat
tangannya seperti berjumlah puluhan pasang.
Tidak hanya dalam satu jurus Iblis Pemburu Nyawa mampu
melancarkan serangan dalam beberapa bentuk gerakan jari. Inilah ilmu andalan
tokoh kecil kurus itu, 'Satu Tangan Seribu Serangan'!
Menghadapi keroyokan lawan yang memiliki ilmu khas
beraneka ragam, Dewa Arak semakin sibuk. Apalagi karena lawan menyerang dari
tiga penjuru. Serangan-serangan dahsyat silih berganti meluncur ke arahnya.
Dewa Arak sadar kalau ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi
andalannya tidak segera dikeluarkan, dia akan menghadapi
kesulitan besar. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan Ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang sejak tadi digunakan tampaknya tak
mampu menanggulangi pengeroyokan tiga
lawannya. 2 "Hih!"
Dewa Arak menjejakkan kaki. Dengan cepat tubuhnya
melenting, kemudian bersalto beberapa kali di udara sambil mengambil guci
araknya dan menuangkan ke mulut.
Gluk. . Gluk.. . Gluk. .!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya mengalir ke perut. Hawa hangat berputar di sekitar perut dan
kemudian secara perlahan merayap ke atas.
Jliggg! Kedua kakinya menjejak tanah dalam kedudukan yang tidak
tetap karena pengaruh arak dan ilmu 'Belalang Sakti'. Sementara tiga orang
musuhnya telah melancarkan serangan susulan. Malah,
sekarang di tangan mereka tergenggam senjata.
"Kok kok kok. .!"
Untuk yang kesekian kali, Gajah Kecil Bertangan Maut yang
berada di depan, merendahkan tubuh dan melancarkan serangan khasnya. Kali ini
sebelum kedua tangan dihentakkan, lehernya telah dikembungkan mirip leher katak.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang Iblis
Pemburu Nyawa menyerang dengan rantainya yang mengikat bola baja berduri.
Sedangkan dari samping kanan, Setan Hitam Muka Kuda menusukkan tombak berujung
logam bulan sabitnya ke arah pinggang.
Dewa Arak tidak berani bertindak lambat. Dalam waktu
yang demikian singkat, benaknya bekerja keras. Sehingga dia tahu kalau di antara
semua serangan itu yang akan tiba lebih dulu adalah serangan Gajah Kecil
Bertangan Maut, satu-satunya lawan yang tidak menggunakan senjata. Maka
diputuskan untuk mematahkan serangan lelaki pendek gemuk itu lebih dulu.
Wusss! Dewa Arak langsung menghentakkan kedua tangannya
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Deru angin keras berhawa panas menyengat,
meluruk menyambuti pukulan jarak jauh Gajah Kecil Bertangan Maut.
Glarrr. .! Ledakan keras seperti halilintar menyambar langsung
terdengar ketika dua buah pukulan jarak jauh itu berbenturan.
Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang dan bergulingan di
tanah. Dan ketika akhirnya bangkit, wajah lelaki pendek gemuk itu pucat pasi!
Begitu pula Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Namun hal itu sudah diperhitungkan. Sehingga dengan sendirinya serangan Setan
Hitam Muka Kuda kandas, lewat beberapa jari di depan tubuhnya. Sedangkan tusukan
Iblis Pemburu Nyawa
dipapaknya dengan ayunan guci ke belakang
Krakkk! Klang.. ! Serangan Iblis Pemburu Nyawa pun kandas. Bahkan
tubuhnya yang kecil kurus melayang kembali ke belakang akibat benturan itu. Dewa
Arak yang cerdik menambahkan tenaga pada tangkisan sehingga membuat daya
dorongnya jadi berlipat ganda.
Tindakan Dewa Arak tidak terhenti sampai di situ. Kaki
kirinya langsung mencuat ke arah leher Setan Hitam Muka Kuda.
Hal ini memaksa tokoh tinggi besar itu melompat ke belakang.
Kepungan terhadap Dewa Arak mengendur.
Namun keadaan itu hanya berlangsung sesaat, karena
kemudian ketiga lawannya kembali mehiruk ke arah Dewa Arak.
Dan pertarungan sengit pun kembali berkobar.
Bunyi mencicit, mengaung, dan menderu mengiringi setiap
gerakan mereka. Sesekali terdengar bunyi dentang senjata masing-masing yang
beradu, atau ledakan ketika pukulan jarak jauh berbenturan di tengah jalan.
Tanah berhamburan di sana-sini sehingga menimbulkan
kepulan debu tebal. Pepohonan beterbangan terhantam pukulan jarak jauh mereka.
Keadaan tanah di sekitar tempat itu seperti habis diinjak puluhan ekor kerbau
liar. Gadis berpakaian kuning, satu-satunya orang yang
menyaksikan jalannya pertarungan memandang penuh perasaan
takjub. Hatinya diliputi perasaan kagum terutama terhadap Dewa Arak. Seorang
tokoh yang meskipun masih belia mesti menghadapi keroyokan tokoh-tokoh hitam
yang berkemampuan tinggi.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak
mempedulikan. Kedua belah pihak sibuk mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki untuk mengalahkan lawan masing-
masing.Tak terasa pertarungan telah berlangsung delapan puluh jurus. Dan selama
itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagi pemenang.
Pertarungan masih berlangsung seimbang. Dan kedua belah pihak masih saling
bergantian melancarkan serangan.
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan
Setan Hitam Muka Kuda kian penasaran. Memang kesaktian Dewa Arak telah mereka
dengar. Namun merupakan sebuah berita yang memalukan apabila dengan mengeroyok
bertiga, mereka tetap tidak mampu mencapai kemenangan. Apalagi ketika melihat
Dewa Arak beberapa kali bertindak seperti merendahkan mereka. Sambil mengelak,
pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya, membuat ketiga tokoh
sesat ini semakin kalap. Serangan-serangan yang mereka lancarkan pun semakin
dahsyat. Namun Dewa Arak tetap mampu menanggulanginya, bahkan sempat mengirimkan
serangan yang tidak kalah dahsyat.
*** "Anjing-anjing Kurap! Berani kalian mengacau tempat ini"!"
tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggetarkan. Belum lagi hilang gema
teriakan itu, sesosok bayangan melesat ke dalam kancah pertarungan. Dan begitu
terjun, sosok berpakaian abu-abu itu langsung mengirimkan serangan!
Setan Hitam Muka Kuda yang berada paling dekat dengan
sosok abu-abu itu yang menjadi sasaran. Buru-buru digerakkan tombak bulan
sabitnya untuk memapak ayunan tasbih yang
mengancam pelipisnya.
Cririggg! Setan Hitam Muka Kuda terperanjat ketika merasakan
tangannya bergetar hebat begitu benturan terjadi. Apalagi ketika tasbih itu
langsung melibat logam bulan sabitnya.
Namun lelaki berkulit legam ini tidak menjadi gugup.
Dengan cepat ditarik tombaknya dengan maksud agar tasbih itu putus. Tapi dia tak
berhasil ketika melihat senjata yang kelihatannya rapuh itu tidak putus!
Tombaknya bahkan tidak bergeming dari belitan tasbih. Setan Hitam Muka Kuda pun
sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi.
Walaupun demikian, Setan Hitam Muka Kuda tidak
kehilangan akal. Tombaknya dengan cepat disodorkan ke arah leher lawan.
"Uh!"
Wuttt! Sosok berpakaian abu-abu memekik kaget. Buru-buru
dilepaskan belitan tasbihnya seraya menarik kaki ke belakang, sehingga tombak
lawan menyambar angin.
"Kiranya kau, Eyang Ranggalawe," desah Setan Hitam Muka Kuda begitu melihat
wajah lawannya secara jelas.
Kakek berpakaian abu-abu itu tersenyum sinis.
Ditatapnya wajah calon lawannya yang tidak langsung
melancarkan serangan begitu berhasil membebaskan senjatanya.
"Rupanya kau masih mengenaliku, Setan Hitam," ucap Eyang Ranggalawe, menyindir.
"Ha ha ha...!" Setan Hitam Muka Kuda tertawa bergelak
"Siapa yang bisa lupa padamu, Ranggalawe"! Apalagi sebentar lagi kita semua akan
mengadakan pertemuan!"
"Tidak usah banyak cakap, Setan Hitam!" tandas Eyang Ranggalawe yang tidak bisa
berbasa-basi, "Sekarang katakan, apa urusanmu berada di tempat ini! Jangan
katakan kalau kau
bermaksud mengunjungi tempatku yang buruk!"
"Dia mengejar-ngejarku, Paman! Ayah telah dicelakainya.
Bahkan Gusti Prabu Paso Pati!" seru gadis berpakaian kuning, menyela sebelum
Setan Hitam Muka Kuda menjawab.
"Apa"!" Eyang Ranggalawe tersentak seperti disambar petir.
"Kalau begitu, kau harus mampus untuk menebus perbuatan-perbuatanmu yang keji
itu, Setan Hitam!"
Wungngng! Usai berkata demikian, Eyang Ranggalawe mengayunkan
tasbihnya menyambar pelipis Setan Hitam Muka Kuda, setelah terlebih dahulu
memutarnya laksana kitiran sehingga menimbulkan bunyi mengaung.
"Kaulah yang akan mampus, Tua Bangka...! Hea...!"
Setan Hitam Muka Kuda menarik kaki kanan ke belakang,
sehingga sambaran tasbih itu lewat beberapa jari di depan wajahnya.
Kemudian, tombak bulan sabit di tangannya ditusukkan ke perut lawan. Daya
jangkau senjatanya yang panjang memungkinkan lelaki berkulit legam ini untuk
melakukan hal seperti itu.
Wuttt! "Ah. .!"
Eyang Ranggalawe mengeluarkan pekik tertahan karena
merasa kaget melihat serangan lawan. Buru-buru dijejakkan kaki sehingga tubuhnya
melayang ke atas. Kemudian disabetkan
tasbihnya ke ubun-ubun lawan. Namun, Setan Hitam Muka Kuda dapat mengelakkannya
sambil mengirimkan serangan yang tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit pun
berlanjut. Dengan terjadinya pertarungan antara Eyang Ranggalawe
menghadapi Setan Hitam Muka Kuda, Dewa Arak jadi kehilangan satu lawannya. Dan
hal itu membuat kedudukannya segera berubah.
Perlahan-lahan pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mendesak kedua
lawannya. Berkali-kali Gajah Kecil Bertangan Maut dan Iblis Pemburu
Nyawa dibuat terhuyung-huyung ke belakang dalam benturan.
Terutama sekali si Gajah Kecil Bertangan Maut. Tubuhnya beberapa kali
bergulingan di tanah ketika pukulan mukjizatnya berbenturan dengan jurus
'Pukulan Belalang' Dewa Arak. Padahal, seluruh tenaga
mukjizatnya telah dikeluarkan dengan cara menggembungkan leher.
Namun usahanya sia-sia! Dalam
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak pun mengalami kekuatan tenaga yang
bertambah, sehingga tetap saja Gajah Kecil Bertangan Maut kewalahan
manghadapinya. Sementara Eyang Ranggalawe pun demikian. Setelah
bertarung ketat dalam tiga puluh jurus, kakek berpakaian abu-abu ini berhasil
mendesak lawannya.
Kenyataan ini disadari oleh tiga tokoh golongan hitam itu.
Mereka tampaknya tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan perlawanan terus.
Maka bagai telah disepakati, ketiganya
melemparkan tubuh menjauh. Lalu melarikan diri.
"Mau lari ke mana, Keparat"!" seru Eyang Ranggalawe seraya melesat mengejar.
Namun hanya beberapa langkah Eyang Ranggalawe
melakukannya. Pengejarannya langsung dihentikan. Lalu kepalanya ditolehkan ke
belakang. Dilihatnya Dewa Arak tidak melakukan pengejaran, hanya berdiam diri
menatap kepergian lawannya.
"Mengapa kau tidak mengejar mereka, Anak Muda?" tanya Eyang Ranggalawe seraya
melangkah menghampiri.
"Untuk apa, Ki?" Arya balik bertanya, "Aku tidak punya urusan dengan mereka."
"Mereka orang-orang jahat, Anak Muda. Tokoh-tokoh
golongan hitam! Andaikata dibiarkan, akan banyak orang tak bersalah yang akan
jadi korban!" jelas Eyang Ranggalawe setengah memberitahukan.
"Tapi aku tidak melihat sendiri tindak kekejaman yang mereka lakukan, Ki. Tanpa
itu aku tak dapat sembarangan
menjatuhkan tangan. Sudah terlalu banyak aku menanam
permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku tak ingin
menambahnya dengan masalah-masalah yang tidak jelas."
"He he he.. !" Eyang Ranggalawe tertawa lunak. "Aku kagum mendengar jawabanmu,
Anak Muda. Kau memiliki
pandangan yang luas. Kalau mataku masih belum lamur, kau
pastilah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Ah, hanya sebuah julukan kosong, Ki," jawab Arya merendah.
"Kalau begitu lupakanlah, Dewa Arak. Mungkin perlu
bagimu mendengarkan sedikit ceritaku. Barangkali saja keputusanmu untuk tidak melenyapkan tiga tokoh golongan hitam itu dapat kau
rubah." Dewa Arak tidak menjawab ucapan Eyang Ranggalawe.
Hanya kepalanya terlihat mengangguk kecil seraya menatap lelaki tua itu. "Kalau
begitu, mari kita singgah di gubukku! Sepanjang perjalanan menuju ke sana akan
kuceritakan mengenai tokoh-tokoh yang tadi bertarung denganmu. Mari, Dewa Arak!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Arya segera mengayunkan langkah,
mengikuti Eyang Ranggalawe dan gadis berpakaian kuning yang telah melangkah
lebih dulu. *** Kriiit...!

Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunyi bergerit pelan terdengar ketika pintu pondok Eyang
Ranggalawe bergerak membuka. Dari dalamnya keluar sesosok
tubuh ramping. Sikapnya terlihat demikian hati-hati, baik ketika melangkahkan
kaki maupun menutupkan daun pintu.
Kemudian sosok ramping itu melesat keluar. Sinar rembulan
yang cukup terang di langit, menampakkan sosok ramping itu cukup jelas. Dia
ternyata Nawangsih, murid Eyang Dipayana.
Nawangsih semakin mempercepat larinya ketika telah
cukup jauh dari pondok. Sekejap kemudian bentuk tubuhnya
lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sekelebatan bayangan kuning dalam bentuk
tidak jelas, melesat cepat menuju ke puncak.
Meskipun yakin kalau kepergiannya tidak diketahui orang,
Nawangsih tetap tidak meninggalkan kewaspadaan. Sesekali
kepalanya ditolehkan ke belakang untuk memastikan kalau tidak ada orang yang
mengikutinya. Hati gadis berpakaian kuning itu lega ketika tidak melihat hal yang
dikhawatirkan. Kenyataan ini membuat semangatnya
semakin bergelora. Kecepatan larinya pun bertambah. Laksana kera kedua kakinya
menotok ke sana kemari membuat tubuhnya
melayang ke atas secara cepat.
Nawangsih baru memperlambat larinya ketika telah melihat
sebuah goa yang berjarak sekitar sepuluh tombak di hadapannya.
Kini dirinya berada di sebuah hamparan tanah datar berumput.
Dengan langkah satu-satu Nawangsih mendekati mulut goa.
Wusss! Tiba-tiba serentetan angin dahsyat berasal dari dalam goa, meluruk ke arah
Nawangsih, ketika gadis itu telah berjarak sekitar tiga tombak dari mulut goa.
Nawangsih tersentak kaget. Hatinya menyadari ada bahaya
maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke tanah dan
bergulingan menjauh. Ketika akhirnya dia bangkit berdiri, di mulut goa telah
berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian compang-camping. Rambutnya pun awut-
awutan. Namun bukan hal itu yang menyebabkan Nawangsih
merasa ngeri, melainkan sorot mata lelaki muda berpakaian
compang-camping itu. Sinar yang keluar dari sepasang matanya mengingatkan
Nawangsih akan tatapan seekor harimau dalam
kegelapan. Mencorong dan bersinar kehijauan. Sepertinya ada kekuatan aneh
terkandung di dalam diri lelaki muda berpakaian gembel itu.
Dengan langkah lambat-lambat dan sikap mengancam,
lelaki berpakaian compang-camping itu menghampiri Nawangsih.
"Pemberontak Keparat! Sungguh berani kau mendekati
istanaku!" seru lelaki muda berpakaian compang-camping itu keras.
"Kalau pengawal-pengawalku tahu kau akan dipancung!"
Nawangsih tidak merasa heran sama sekali melihat sikap
dan ucapan lelaki berpakaian compang-camping itu. Dirinya telah mendapat
pemberitahuan kalau penghuni goa itu orang tidak waras.
Hampir dia tertawa mendengarnya, tapi dengan sekuat tenaga ditahannya. Bahkan
Nawangsih yang berwatak lincah ini
bermaksud meladeni kegilaan lelaki berpakaian compang-camping itu.
"Apakah kau sudah tak mengenaliku lagi, Kang" Aku bukan pemberontak. Aku
istrimu! Aku bermaksud ikut membantumu
membasmi pemberontak-pemberontak itu. Lihat, aku telah
mendapatkan pedang sri baginda. Beliau telah memberikan
kepercayaan pada kita untuk membasmi para pengkhianat!" seru Nawangsih seraya
mencabut pedang yang diberikan Eyang
Dipayana dan mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas.
"Ah! Sungguhkah. ."! Kalau begitu, mari kita basmi
pemberontak-pemberontak itu sekarang, Istriku!" sambut lelaki berpakaian
compang-camping merasa gembira. Kakinya melangkah menghampiri Nawangsih.
Nawangsih terbelalak kaget bercampur kagum ketika
melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tahu-tahu berada di dekatnya.
Padahal, dia hanya melihat lelaki itu mengayunkan kaki selangkah secara
sembarangan. Nawangsih bertambah kaget ketika melihat pemuda
berpakaian compang-camping itu mengembangkan kedua lengan
hendak memeluk. Rasa jijik melanda hati gadis berpakaian kuning ini, apalagi
ketika hidungnya mencium bau apek, asem, dan pengak!
Bau orang yang lama tidak mandi!
Didorong oleh rasa j ik, dan tentu saja Nawangsih sebagai
seorang gadis, tidak mau dipeluk oleh sembarangan orang. Dia pun berusaha
mengelak. Gadis berpakaian kuning ini melangkahkan kakinya ke belakang seraya
mendoyongkan tubuh. Namun entah bagaimana, Nawangsih sendiri tidak
mengetahuinya, tahu-tahu tangan lelaki gila itu melingkari tubuhnya.
Ketika gadis itu telah berjarak tiga tombak dari mulut goa, tiba-tiba serentetan
angin dahsyat meluruk ke arahnya. Nawangsih menyadari ada bahaya maut yang
tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan
menjauh. Kenyataan ini membuat Nawangsih gugup. Sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian compang-camping itu telah memperketat
pelukan, lalu menciumi Nawangsih dengan
buasnya. Hampir Nawangsih pingsan menerima perlakuan yang
sama sekali tidak disangka-sangkanya. Dia berusaha meronta dan kalau perlu
membunuh lelaki gila ini. Namun hanya dengan sebuah sentuhan pada bahu kanannya
tubuh Nawangsih telah dibuat lemas tidak berdaya.
"Keparat!"
lelaki berpakaian compang-camping
itu menggeram keras penuh kemarahan, dan bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar
berapi. "Rupanya benar berita yang kudengar bahwa kau telah bermain gila dengan
Gusti Pangeran Laksanadewa!
Buktinya kau sekarang tidak mau kucium!"
Nawangsih mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya sama
sekali kalau sandiwara yang dilakukannya akan berlanjut seperti itu Dia harus
bertindak cepat kalau ingin nyawanya selamat. Orang gila yang tengah murka itu
telah merenggangkan pelukan, dan tangan kirinya sekarang telah berada di ubun-
ubun Nawangsih. Sekali saja lelaki gila itu mengerahkan sedikit tenaga dalam,
Nawangsih akan tewas dengan ubun-ubun pecah!
"Kau salah, Kakang! Bukannya aku tak mau, tapi Gusti
Prabu memerintahkan agar kita bergegas! Kau harus buru-buru berkemas agar kita
dapat segera pergi! Toh, nanti di perjalanan masih banyak waktu bagi kita untuk
melakukannya," ucap Nawangsih dengan raut wajah memerah ketika mengucapkan kata-
kata yang terakhir.
"Ah. .! Kau benar.. ! Benar sekali. ! Mengapa aku demikian pelupa?"Sambil
mengangguk-anggukkan kepala lelaki gila itu melepaskan pelukannya, dan
membebaskan totokan terhadap
Nawangsih. Kemarahan yang tadi membayang jelas di wajahnya telah menguap pergi.
Bahkan sorot matanya telah melembut
kembali, meskipun tetap aneh.
Nawangsih menghela napas.
Hatinya lega melihat
keberhasilan ucapannya. Sudah kepalang, pikirnya, lebih baik dilanjutkan saja
sandiwara ini! "Benar kan" Lebih baik kau mandi dulu, bersihkan tubuh, ganti pakaianmu dan kita
berangkat," ucap Nawangsih, yang bingung memikirkan bagaimana dia akan tahan
melakukan perjalanan dengan orang yang memiliki bau seperti itu!
Lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk-
anggukkan kepala menyetujui permintaan Nawangsih. Tubuhnya berbalik lalu
melangkah. Namun mendadak ayunan kakinya
terhenti. Karuan saja hal ini membuat Nawangsih yang sudah merasa lega jadi
khawatir kembali.
"Mengapa harus, aku saja, Istriku" Bukankah lebih baik kalau kau ikut mandi
juga" Kita mandi bersama seperti sewaktu kita belum mempunyai anak" Anak. .
anakku. . Di mana anak kita, Nawangsih?"
Lelaki berpakaian compang-camping itu tertegun. Seolah
dia teringat sesuatu, anaknya, bahkan sekaligus nama istrinya.
Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang mata liar.
Ucapan-ucapan lelaki gila itu membuat Nawangsih merasa
kaget. Sebagai seorang dara yang cerdik, dia dapat memperkirakan kalau sandiwara
yang dilakukannya ternyata mempunyai
persamaan dengan riwayat hidup lelaki berpakaian compang-
camping itu. Setidak-tidaknya membuat lelaki itu teringat akan masa lalunya.
"Mengapa kau demikian pelupa, Kang?" ucap Nawangsih ketika menemukan jawaban
yang akan digunakannya untuk
melepaskan diri dari keadaannya yang terjepit. "Anak kita diculik pemberontak-
pemberontak keparat itu. Dan kita akan membe-baskannya setelah melenyapkan
mereka." "Diculik"!"
lelaki berpakaian compang-camping
mengernyitkan alis, membuat hati Nawangsih berdebar-debar.
Namun kekhawatiran Nawangsih langsung pupus ketika
lelaki berpakaian compang-camping tidak mempedulikan hal itu lagi.
"Lebih baik kau pergi mandi sendiri, Kang. Bukannya aku tidak mau menemani. Aku
hanya khawatir kalau kita pergi berdua, istana kita akan diserbu pemberontak."
"Kau benar. ., kau benar.. !" lagi-lagi lelaki berpakaian compang-camping itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian, masih dengan kepala terangguk-angguk, lelaki
gila itu membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan
Nawangsih. Mendadak langkahnya dihentikan. Sepasang matanya
menatap tajam ke depan. Nawangsih yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, ikut pula mengarahkan pandangan ke arah yang sama.
Seketika dia merasa gelisah.
Di kejauhan, tampak dua sosok tubuh tengah melesat cepat
ke arah mereka. Namun bukan gerakan mereka yang menyebabkan Nawangsih gelisah,
melainkan karena mengenali siapa dua sosok yang tengah menuju ke arahnya. Salah
seorang di antara keduanya benar-benar jelas dari kejauhan.
Pakaian ungu dan rambutnya putih panjang terurai. Siapa
lagi kalau bukan Dewa Arak"
"Kang. .! Kembali kemari.. ! Cepat, kita tinggalkan tempat ini.. !" seru
Nawangsih penuh perasaan gelisah.
Namun lelaki berpakaian compang-camping itu seperti
tidak mendengar teriakan Nawangsih. Dia menatap dua sosok yang tengah menuju
tempatnya, dengan sepasang mata membelalak lebar laksana melihat hantu.
Sikap lelaki berpakaian compang-camping itu membuat
Nawangsih semakin gelisah.
"Kang. .! Cepat. .! Nanti pemberontak-pemberontak itu keburu kabur.. !" seru
Nawangsih lagi dengan kegelisahan yang kian memuncak.
Namun lelaki berpakaian compang-camping tetap tidak
memberikan tanggapan sama sekali. Nawangsih ingin menghampiri dan mengajaknya
kabur, tapi khawatir karena dia tahu lelaki itu memiliki sikap yang tidak bisa
ditebak. Apalagi ketika dilihatnya tubuh lelaki itu sekarang menggigil. Bunyi
berkerotokan terdengar dari sekujur tubuhnya, seakan tulang-tulangnya
berpatahan! Padahal, lelaki itu tidak menggerakkan tangan atau kaki.
Nawangsih bergidik karena tahu kalau bunyi itu timbul
akibat tenaga dalam yang bergolak sendiri. Tenaga dalam yang amat dahsyat!
Nawangsih tahu, tidak ada lagiyangbisa dilakukannya. Dia hanya menunggu dengan
jantung berdetak kencang. Tidak ada
gunanya lagi melarikan diri karena dua sosok yang tidak lain Dewa A-rak dan
Eyang Ranggalawe telah melihatnya. Nawangsih hanya berdiri di tempatnya dengan
pasrah. *** Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe memang telah melihat
keberadaan Nawangsih dan lelaki berpakaian compang-camping itu.
Keduanya langsung menghentikan langkah berjarak empat tombak dari lelaki
berpakaian compang-camping itu dan memasang sikap waspada.
Sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman. Dewa
Arak dan Eyang Ranggalawe tahu kalau lelaki berpakaian compang-camping itu
tengah dalam keadaan murka. Hanya saja, mereka tidak tahu penyebabnya. Namun
baik Eyang Ranggalawe maupun Dewa
Arak tahu, kemarahan lelaki berpakaian compang-camping itu tertuju pada mereka.
"Kau..."!" ucapan bernada penuh geram dan kemarahan keluar dari mulut lelaki
berpakaian compang-camping dengan pandangan tertuju ke arah Dewa Arak. "Iblis
Jahanam.. ! Nawangsih..! Tidak,. ! Kubunuh kau, Jahanam!"
Belum lenyap gema ucapannya, lelaki berpakaian compang-
camping itu telah melompat menerjang Dewa Arak. Di udara,
tubuhnya berputar, kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah pelipis Dewa Arak.
Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersikap
waspada langsung melompat ke belakang, sehingga serangan itu menyambar di depan
wajahnya. Namun betapa kaget hatinya ketika melihat, dengan sebuah gerakan aneh,
lelaki berpakaian compang-camping itu mampu melancarkan serangan susulan berupa
kibasan kaki yang satu lagi.
Dewa Arak hampir tidak percaya dengan pandang matanya
sendiri. Meskipun demikian dia tidak tampak gugup. Dengan
gerakan cepat ia segera mengelak.
Bukkk! Meskipun tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, tindakan Arya cukup berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.
Serangan kaki lawan tidak menghantam kepalanya, tapi menyerempet bahunya.
Sungguhpun begitu, karena tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu kuat,
tubuh Dewa Arak
terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya tampak menyeringai
menahan sakit. Saat itu, lelaki berpakaian compang-camping telah
melancarkan serangan susulan dengan gedoran kedua tangannya.
Terpaksa Arya menyambutinya lagi karena keadaan tidak
memungkinkan. Plakkk! Benturan keras antara dua tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan ketika Dewa Arak memapak
dengan menggunakan tapak tangan kanan terbuka.
Lelaki gila itu menggunakan tenaga tangkisan untuk
bersalto di udara, melewati kepala lawan. Ketika berada di belakang Dewa Arak
mengirimkan totokan dahsyat dan bertubi-tubi ke arah tengkuk pemuda berambut
putih keperakan.
Dewa Arak yang merasakan ada desir angin tajam di
belakangnya, tidak berani bertindak lambat. Dia melompat ke depan dan
bergulingan menjauh. Ketika telah berhasil bangkit, lawan telah menjejak tanah
dan menghadap ke arahnya. Arya pun langsung bersiap sedia. Dia tahu, lelaki


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian compang-camping itu memiliki kepandaian tinggi.
Lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras
hingga membuat sekitar tempat itu seakan bergetar hebat. Rupanya dia merasa
penasaran dan marah melihat serangannya gagal. Lalu, setelah mengeluarkan
gerengan keras seperti harimau, tubuhnya melompat tinggi. Kemudian meluncur ke
arah Dewa Arak dengan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan maut bertubi-
tubi menuju tengkuk, ubun-ubun, pelipis, dan tenggorokan. Sekali saja terkena
tendangan ini betapa pun kuatnya tenaga dalam Dewa Arak, mungkin tak akan mampu
bertahan. Dewa Arak tahu hal itu. Dengan cepat dia melompat
mundur, ke kanan, dan ke kiri menghindarkan diri dari serangan gencar lawannya.
Bentuk serangan yang demikian aneh membuat Dewa Arak tidak berani bertindak
sembrono dengan melakukan tangkisan.
Untuk beberapa jurus lamanya pemuda berambut putih
keperakan itu hanya mengelak ke sana kemari. Bukan karena takut, tapi untuk
mempelajari perkembangan ilmu lawan yang aneh dan tidak dikenalnya. Sebagai
seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu kalau lelaki
berpakaian compang-camping itu memiliki ilmu tendangan dahsyat. Dia juga menduga
ilmu itu dari aliran putih. Ini bisa diketahuinya dari serangan-serangan yang
jarang menggunakan tipuan.
Dewa Arak harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya untuk dapat mengelakkan serangan lawannya yang
bertubi-tubi. Sebab serangan-serangan itu meluncur secara cepat.
Sebentar saja, telah tampak pemuda berambut putih keperakan itu terdesak hebat,
karena hanya mengelak ke sana kemari dan terus-menerus mundur.
Sementara itu, Eyang Ranggalawe yang tadi segera
menghindar ketika melihat lelaki berpakaian compang-camping itu menerjang Dewa
Arak, segera menghampiri Nawangsih.
"Apa arti perbuatanmu ini, Nawangsih?" tegur Eyang Ranggalawe kepada Nawangsih
yang hanya menundukkan kepala.
Nawangsih tidak memberikan jawaban sama sekali.
Kepalanya tetap ditundukkan sementara kaki kanannya digores-goreskan ke tanah.
"Kau bius aku dengan makanan dan minuman yang kau
sediakan. Untung saja Dewa Arak telah menaruh curiga padamu, hingga dia telah
lebih dulu menyiapkan penangkalnya sebelum mencicipi makanan dan minuman yang
kau sediakan. Dialah yang mengetahui kepergianmu dan membangunkanku begitu
dilihatnya kau bertemu dengan Satria Sinting," ujar Eyang Ranggalawe masih
bernada teguran.
"Satria Sinting"!" ulang Nawangsih dengan alis berkerut.
"Memang begitulah julukan yang kami berikan padanya.
Memang tidak cocok, tapi itu lebih baik daripada kami berikan julukan Pendekar
Gila padanya. Sebuah julukan yang kasar dan bernada penghinaan, meskipun memang
benar adanya. Apa
maksud tindakanmu ini, Nawangsih"! Tidakkah kau sadari kalau perbuatan yang kau
lakukan ini amat berbahaya"! Satria Sinting memiliki sifat yang tidak dapat
diduga. Meskipun serba sedikit aku cukup mengenalnya. Dia memiliki kepandaian
yang amat tinggi.
Terus terang saja, kalau dibandingkan dengannya aku bukan apa-apa. Jelaskan,
Nawangsih.. !"
"Aku tidak bermaksud buruk, Eyang," jawab Nawangsih masih tetap menundukkan
kepala. "Aku hanya ingin membalaskan kematian Eyang Dipayana dan ayahku dengan
bantuan Satria Sinting. ?"Apa"! Sepasangmata EyangRanggalawe membelalaklebar.
"Kau tidak main-main, Nawangsih"! Kau gila! Kau bercanda dengan maut kalau
begitu! Satria Sinting, seperti yang kukatakan tadi memiliki sifat yang tidak
bisa diduga. Meskipun demikian aku tahu masa lalunya. Masa lalunya penuh dengan
gelimangan darah. Itulah sebabnya, meskipun dia telah menolong kami, aku, dan
gurumu.. kami tidak berani bergaul terlalu dekat dengannya. Asal kau tahu saja,
Nawangsih... aku hampir mati di tangannya. Untung saja datang gurumu yang
berhasil menjinakkan sifat liarnya."
Eyang Ranggalawe menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas. Sementara Nawangsih yang telanjur tertarik dengan cerita itu
menunggunya dengan perasaan tidak sabar. Dia jadi ingin mengetahui riwayat hidup
tokoh yang berjuluk Satria Sinting itu.
"Mungkin sedikit kuberitahukan padamu, Nawangsih. Sifat liar dan lembutnya
timbul karena ada hal-hal yang dilihatnya.
Dalam keadaan biasa dia bertingkah laku seperti orang kurang waras. Kadang-
kadang dia bermain-main seperti anak kecil. Namun aku tidak tahu pasti kapan
sifat lembut dan ganasnya muncul. .,"
sambung Eyang Ranggalawe lagi agak tersendat-sendat
menjelaskannya karena kesulitan mencari kata-kata untuk
dikeluarkan. "Aku juga menduga demikian, Eyang," tukas Nawangsih mendukung dugaan kakek
berpakaian abu-abu itu.
"Kau.."!" seru Eyang Ranggalawe setengah tak percaya.
"Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"
"Dari kejadian yang telah kualami bersamanya akibat aku mencoba meladeni
kegilaannya," jawab
Nawangsih kalem.
Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang dialaminya.
Berkali-kali Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan-
seruan kaget begitu mendengar cerita Nawangsih. Bahkan
kepalanya digeleng-gelengkan ketika gadis berpakaian kuning itu mengakhiri
ceritanya. "Kau, ahhh.. , kalau tadi tidak melihat kau berdua
dengannya, sedikit pun mungkin aku tidak akan percaya. Lalu., kesimpulan apa
yang kau dapatkan, Nawangsih?"
4 Nawangsih mengangkat wajah, dan menatap Eyang
Ranggalawe tepat pada kedua bola matanya.
"Satria Sinting termasuk orang penting kerajaan, entah kerajaan mana. Punya
istri dan anak serta telah siap untuk berperang menghadapi pemberontak,"
Nawangsih menghentikan ucapannya sejenak. "Tapi anehnya, nama istri yang
disebut-sebutkan sama dengan namaku."
"Ah. .!" sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar saking kagetnya.
"Nawangsih"! Kini aku mengerti, mengapa tadi sebelum menerjang Dewa Arak, dia
menyebutkan nama Nawangsih.
Kukira tadi dia menyebut namamu."
Kakek berpakaian abu-abu ini lalu mengalihkan perhatian
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung dan semakin sengit.
Dewa Arak melakukan perlawanan begitu telah dapat mengetahui perkembangan ilmu
lawan meskipun hanya sedikit. Pemuda
berambut putih keperakan itu belum mempergunakan ilmu
andalannya. Hanya ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang
Tangan Panakluk Naga' yang terus dikerahkannya menghadapi Satria Sinting.
"Kalau begitu.. Dewa Arak mengingatkannya akan kejadian buruk yang telah
dialaminya," ucap Eyang Ranggalawe dengan suara bergumam. "Dan menilik dari
sikapnya yang demikian membenci, sepertinya Satria Sinting amat membenci orang
yang memiliki ciri-ciri mirip dengan Dewa Arak."
"Bukan tidak mungkin kalau orang mirip Dewa Arak itulah yang menjadi musuhnya,
Eyang," sambut Nawangsih memberikan dugaan.Eyang Ranggalawe mengangguk-anggukkan
kepala membenarkan dugaan yang diajukan Nawangsih.
"Berarti dengan kejadian yang kau alami misteri yang
menyelimuti rahasia Satria Sinting mulai terungkap. Hhh.. ! Sudah bisa
kubayangkan kalau masa lalu Satria Sinting sangat menarik dan luar biasa untuk
diketahui."
Usai berkata demikian, karena tidak ada pembicaraan lagi,
Eyang Ranggalawe mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak dengan
Satria Sinting. Memang, tidak ada kesenangan yang lebih menarik perhatian
seorang tokoh persilatan kecuali memperhatikan sebuah pertarungan. Apalagi
pertarungan antara tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi seperti Dewa Arak
dengan Satria Sinting.
Menggiriskan hati jalannya pertarungan antara Dewa Arak
dengan Satria Sinting. Bentuk tubuh kedua tokoh bagaikan lenyap.
Yang terlihat hanya dua bayangan yang saling belit dan hanya kadang-kadang saja
saling pisah. Bahkan terkadang kedua bayangan itu seperti jadi satu karena
begitu cepat gerakan yang dilakukan.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh
jurus. Namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar
sebagai pemenang. Jalannya pertarungan masih seimbang. Kedua belah pihak masih
saling melancarkan serangan.
Beberapa kali terjadi benturan antara tangan atau kaki yang menyebabkan masing-
masing pihak terdorong ke belakang. Namun dengan cepat keduanya saling terjang
kembali. "Haaat...!"
Pada jurus kelima puluh delapan, Satria Sinting menerjang
Dewa Arak dengan sebuah pukulan tangan terbuka ke arah dada.
Serangan dahsyat itu mampu menimbulkan bunyi menderu, yang membuat Dewa Arak
sempat terbelalak kaget ketika menyadari kalau deru angin yang meluruk ke
arahnya berlainan rasanya. Yang kanan berhawa panas sedangkan yang kiri dingin.
Meskipun demikian, Dewa Arak tidak gentar untuk
memapakinya dengan gerakan yang sama. Pemuda berambut putih keperakan ini
tampaknya bermaksud mengadu keras lawan keras.
Bresss! Benturan keras dari dua buah tenaga dalam yang sangat
dahsyat membuat tubuh Dewa Arak dan Satria Sinting sama-sama terjengkang ke
belakang. Bahkan getarannya terasa oleh Eyang Ranggalawe dan Nawangsih yang
berada cukup jauh dari tempat pertarungan. Keduanya segera menyingkir untuk
menjauh dari tempat pertarungan agar lebih aman.
Namun, rupanya Satria Sinting tidak bergairah untuk
melanjutkan pertarungan. Kekuatan yang membuat tubuhnya
terpental dipergunakan untuk menambah tenaga lesatannya menuju tempat Nawangsih
berada. Tindakan ini tidak hanya mengejutkan Dewa Arak yang
tidak menyangka hal itu melainkan juga Eyang Ranggalawe dan Nawangsih. Dan
karena merasa khawatir terhadap keselamatan Nawangsih, lelaki tua itu berusaha
menghadang gerakan Satria Sinting yang meluncur ke arah Nawangsih dari sebelah
kiri dengan melancarkan tatokan ke arah pelipis dan ubun-ubun.
Prattt! "Uh. ."!"
Eyang Ranggalawe memekik tertahan ketika tubuhnya
terlempar ke belakang begitu Satria Sinting mengibaskan tangan memapak
serangannya. Sementara, luncuran tubuh Satria Sinting sama sekali tidak terlambat. Meskipun
akibat serangan Eyang Ranggalawe membuat kecepatan luncurannya berkurang,
namun dengan sedikit
menggerakkan tubuh di udara, dia telah kembali meluncur ke arah Nawangsih.
"Hea.. !"
Tuk! Tuk! "Aaaa...!"
Meskipun Nawangsih telah berusaha menghindar dan
melakukan perlawanan lelaki berpakaian gembel itu akhirnya berhasil melumpuhkan.
Dengan gerakan yang cepat sekali
tangannya meluncur menotok tubuh Nawangsih.
Melihat kejadian itu Dewa Arak tidak tinggal diam. Dengan
gerakan cepat sekali tubuhnya melesat memburu Satria Sinting yang berhasil
membawa kabur Nawangsih. Namun rupanya lelaki
berpakaian gembel itu cukup cerdik. Selain memiliki ilmu lari cepat, dia mampu
mencari tempat-tempat yang tersembunyi untuk dapat lolos dari pengejaran Dewa
Arak. Dewa Arak akhirnya tak melanjutkan pengejaran. Dia
berbalik untuk melihat keadaan Eyang Ranggalawe yang sempat terlempar ketika
beradu tenaga dengan Satria Sinting.
"Kau tidak apa-apa. Eyang?" tanya Arya, meskipun telah bisa memperkirakan kalau
kakek berpakaian abu-abu itu tidak mengalami luka apa pun.
"Dia masih hebat seperti dulu, bahkan mungkin sekarang ilmunya telah banyak
mengalami kemajuan...," jawab Eyang Ranggalawe seraya menggeleng-gelengkan
kepala. "Mengapa kau tidak mengejarnya, Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe merasa heran.
"Kurasa lebih baik kita melakukan pengejaran bersama-
sama Eyang."
Eyang Ranggalawe tidak memberikan tanggapan. Namun
dalam hati dia menyetujui ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu. Sesaat kemudian kedua tokoh itu melesat
meninggalkan tempat itu untuk mengejar Satria Sinting yang membawa kabur
Nawangsih. *** "Kang. .! Kang, turunkan aku, Kang. .! Aku bisa berlari
sendiri.. !" seru Nawangsih ketika tidak melihat adanya Dewa Arak atau Eyang
Ranggalawe mengejarnya.
Satria Sinting menghentikan lari dan menurunkan tubuh
Nawangsih dari panggulannya, setelah membebaskan totokannya.
Nawangsih langsung merapikan pakaiannya yang agak kusut
karena panggulan Satria Sinting.
"Uhhh.. !"
Tiba-tiba terdengar lenguhan yang membuat Nawangsih
kaget dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
"Kang. .! Ada apa, Kang?"
Nawangsih terkejut ketika melihat tubuh Satria Sinting
limbung sambil tangannya memegangi dahi.
Namun tidak ada jawaban sama sekali dari Satria Sinting.
Lelaki gila itu tetap memegangi dahi dengan kedua tangan sambil merintih seperti
menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung ke sana kemari. Mulutnya
meringis menyiratkan sakit yang tengah dirasakannya.
Nawangsih yang merasa heran bercampur khawatir segera
menghampiri Satria Sinting. Tubuh lelaki berpakaian compang-camping jatuh
terkulai lemas seraya mengeluarkan lenguhan
panjang. Kalau Nawangsih tidak segera mengulurkan tangan, menangkap, tentu
Satria Sinting terbanting keras di tanah.
"Kang. ! Apa yang terjadi?" tanya Nawangsih kebingungan.
Diguncang-guncangnya Satria Sinting yang telah berada dalam pelukannya. Namun
tetap tidak ada tanggapan sama sekali. Tubuh berpakaian compang-camping itu
terkulai lemas di pelukannya.
Satria Sinting telah pingsan secara aneh.
Nawangslh menghentikan usahanya untuk mengguncang-
guncangkan tubuh Satria Sinting. Dia menyadari kalau tindakannya akan sia-sia.
Ditolehkan kepalanya ke sana kemari mencari tempat yang enak untuk merebahkan
tubuh Satria Sinting yang tak
sadarkan diri. Untung tak jauh dari situ tumbuh sebatang pohon besar
berdaun rimbun. Bergegas Nawangsih memapah tubuh Satria
Sinting dan merebahkannya di bawah pohon. Dengan hati gelisah, Nawangsih
menunggu hingga lelaki berpakaian compang-camping itu sadar. Karena meskipun
telah diusahakan untuk menyadarkan, Satria Sinting tetap pingsan.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba...! Rupanya
keberuntungan masih berpihak pada kami, sehingga di tempat seperti ini berhasil
menemukanmu, Cah Ayu! Ha ha ha...! Sekarang siapa yang akan menolongmu lagi" Ha
ha ha...!"
Nawangsih tersentak kaget mendengar suara tawa itu.
Wajahnya berubah pucat ketika menoleh ke arah suara itu.
Dikenalinya betul siapa pemilik suara yang khas barusan.
Dugaannya tidak keliru, berjarak lima tombak dari tempatnya berdiri tiga sosok
lelaki yang amat dikenalnya. Mereka tak lain Setan Hitam Muka Kuda, Iblis


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemburu Nyawa, dan Gajah Kecil
Bertangan Maut Tokoh-tokoh hitam yang terus memburunya entah untuk keperluan
apa. Sing! Sing! Tanpa pikir panjang Nawangsih langsung melolos sepasang
pedang yang tersampir di pundaknya. Tak ada jalan lain baginya kecuali melakukan
perlawanan. Gadis berpakaian kuning ini telah siap untuk menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi. Dia terpaksa memberikan perlawanan mati-matian
karena menyadari untuk melarikan diri merupakan hal yang tidak mungkin sama
sekali. "Ho ho ho...!"
Gajah Kecil Bertangan Maut yang berwatak gembira dan
lucu tertawa bergelak melihat tindakan Nawangsih. Perlawanan yang akan dilakukan
gadis cantik itu dianggapnya bukan suatu persoalan berat. Telah diketahuinya
sendiri tingkat kepandaian Nawangsih berada jauh di bawahnya.
"Biar aku yang menangkapnya, Gajah Kecil!" pinta Iblis Pemburu Nyawa seraya
melangkah maju.
Baru saja ucapan itu berhenti, Nawangsih telah melompat
menerjang Iblis Pemburu Nyawa yang berada paling depan. Hal itu membuat Gajah
Kecil Bertangan Maut dan Setan Hitam Muka Kuda melompat mundur menjauhi kancah
pertarungan. Hal yang sama dilakukan Iblis Pemburu Nyawa. Namun
kalau kedua rekannya menjauhi tempat pertarungan, lelaki kurus bersenjata rantai
dengan bola baja berdiri itu melompat guna mengelakkan serangan Nawangsih.
Serangan gadis berpakaian kuning itu ternyata tidak bisa
dianggap remeh juga. Bentuk sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan
sinar menyilaukan mata laksana halilintar
menyambar. Namun gerakan Iblis Pemburu Nyawa pun tak kalah cepat. Sehingga
serangan-serangan Nawangsih beberapa kali hanya menyambar tempat kosong.
Melihat serangannya gagal Nawangsih tak tinggal diam.
Dengan gerakan cepat diluncurkannya kembali serangan-serangan gencar dan
dahsyat. Sepasang pedangnya mengaung, berputar dan menyambar, memburu sasaran
dalam bentuk sinar-sinar kilat yang menyilaukan mata.
Dalam hati Iblis Pemburu Nyawa memuji kedahsyatan
permainan pedang Nawangsih. Namun dengan mudah serangan-
serangan itu dielakkannya. Lelaki tua bertubuh kecil kurus ini memang tidak
percuma mendapat julukan Iblis Pemburu Nyawa.
Gerakannya sangat cepat, bahkan seakan berubah menjadi bayangan yang melesat ke
sana kemari dalam mengelakkan serangan lawan.
Kenyataan ini membuat Nawangsih menggertakkan gigi
menahan kegeraman. Dia merasa seolah menyerang bayangannya sendiri, sehingga ke
mana pun pedangnya meluncur, tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal, telah
hampir sepuluh jurus serangan dilancarkannya.
"Hih.. !"
Bukkk! "Uh. .!"
Sebuah tamparan tangan kanan Iblis Pemburu Nyawa
mendarat telak di pundak Nawangsih. Untung saja, kakek tinggi kurus itu tidak
mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun
demikian tubuh Nawangsih terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Darah menetes dari mulutnya bersamaan dengan terlemparnya pedang di tangan
kanan. Namun Nawangsih tampak tak merasa gentar sedikit pun.
Dia bergegas bangkit. Walaupun sekarang hanya memegang
sebatang pedang, dengan gerakan mantap gadis itu masih berani menerjang Iblis
Pemburu Nyawa dengan sebuah tusukan ke arah leher. Iblis Pemburu Nyawa tertawa
terkekeh. Dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang luar biasa, dia menyelinap ke belakang Nawangsih.
Dengan cepat tangannya bergerak menotok punggung Nawangsih. Seketika tubuh gadis
berpakaian kuning itu terkulai di tanah. "Ha ha ha.. !"
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan
Setan Hitam Muka Kuda sama-sama tertawa bergelak menyaksikan robohnya tubuh
Nawangsih. Dan masih dengan tawa berderai, Iblis Pemburu Nyawa menghampiri tubuh
Nawangsih yang terkulai tak berdaya.
"Hey. .! Apa yang hendak kalian lakukan?"
Sebuah bentakan keras membuat kedua tangan Iblis
Pemburu Nyawa yang terjulur hendak meraih tubuh Nawangsih
terhenti di tengah jalan. Seketika kepala Iblis Pemburu Nyawa dan dua rekannya
menoleh ke arah asal suara.
Dengan langkah setengah berlari, sesosok tubuh menghampiri tempat Nawangsih tergolek
Iblis Pemburu Nyawa yang merasa diganggu urusannya,
menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya menatap lelaki berpakaian compang-
camping itu yang ternyata Satria Sinting adanya. Kemudian dengan secara
sembarangan dikibaskan tangan kanannya.
Wusss! Segundukan angin keras meluruk ke arah Satria Sinting, dan menghantamnya secara
telak. Sehingga tubuhnya terlontar deras ke belakang. Luncuran itu baru terhenti
ketika punggung Satria Sinting menghantam batang pohon tempatnya berteduh tadi.
Tanpa mempedulikan keadaan Satria Sinting, Iblis Pemburu
Nyawa mengangkat tubuh Nawangsih dan meletakkan di bahu
kanannya. "Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya"!"
Seruan ini membuat Iblis Pemburu Nyawa terjingkat kaget
bagai disengat kalajengking. Bahkan tubuh Nawangsih yang berada di bahunya
hampir terlempar. Masih dalam keadaan diliputi rasa terkejut dialihkan
pandangannya ke tempat lelaki berpakaian gembel yang tadi terlempar oleh
serangannya. Sepasang mata Iblis Pemburu Nyawa terbelalak kaget.
Seperti tak percaya melihat Satria Sinting kembali mengayunkan langkah
mendekatinya. Tidak tampak tanda-tanda kalau pukulan jarak jauh yang
menghantamnya, berpengaruh terhadap tubuh lelaki berpakaian gembel itu. Dan
kenyataan ini tidak hanya membuat kaget Iblis Pemburu Nyawa. Setan Hitam Muka
Kuda, dan Gajah Kecil Bertangan Maut sama-sama terlongo bengong. Menurut
perhitungan mereka pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa telah cukup untuk
mengirim nyawa lelaki berpakaian compang-camping itu ke akherat. Ketiga tokoh
hitam itu melihat langkah Satria Sinting yang berat dan tidak lincah. Sungguh
suatu gambaran dari seorang yang tidak memiliki ilmu silat.
Itulah sebabnya ketika melihat Satria Sinting tidak
mengalami kejadian apa pun, Iblis Pemburu Nyawa dan dua
rekannya terkejut bukan kepalang.
Namun kekagetan yang menyelimuti tiga tokoh hitam itu
hanya berlangsung sesaat, karena segera berubah menjadi rasa penasaran dan
geram. Dan karena dorongan perasaan itulah Iblis Pemburu Nyawa tidak ragu-ragu
lagi untuk bertindak. Dengan pengerahan tenaga dalam tangan kanannya
dihentakkan. Wrrrs! Seketika gelombang angin pukulan meluruk ke arah Satria
Sinting. Sebuah pukulan yang jauh lebih dahsyat daripada
sebelumnya. Bunyi menderu keras seperti badai langsung terdengar ketika Iblis
Pemburu Nyawa menghentakkan tangan.
5 Glarrr. .! Bunyi ledakan keras terdengar ketika dari arah samping
meluruk pula segundukan angin dahsyat, memapaki pukulan jarak jauh Iblis Pemburu
Nyawa. Sehingga serangan lelaki tua itu pun kandas. Bahkan tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang akibat pengaruh benturan yang dahsyat.
"Keparat!"
Iblis Pemburu Nyawa memaki penuh kemarahan. Dengan
wajah bengis, dialihkan pandangannya ke arah asal pukulan jarak jauh yang
memapaknya. Dalam jarak sekitar empat tombak, berdiri seorang kakek
berpakaian serba merah. Sikapnya terlihat angker dan penuh wibawa."Siapa kau"!"
tanya Iblis Pemburu Nyawa setengah membentak setelah beberapa saat lamanya
mengawasi kakek
berpakaian merah.
"Siapa adanya aku, tidak penting. Yang jelas, kau dan dua kawanmu kuminta segera
meninggalkan tempat ini, dan jangan coba-coba mengganggu dia!" tandas kakek
berpakaian merah sambil menuding Satria Sinting.
"Keparat! Berani benar kau berkata begitu pada Iblis
Pemburu Nyawa"!" teriak Iblis Pemburu Nyawa penuh ancaman.
"Hhh.. !"
Kakek berpakaian merah menghembuskan napas berat
seperti menyesali Iblis Pemburu Nyawa yang mengucapkan
perkataan seperti itu.
"Kau menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan! Sayang sekali! Terpaksa aku akan
membunuhmu dan juga kedua rekanmu!
Asal kalian tahu saja, aku mempunyai alasan kuat untuk
melakukannya karena kalian telah berani lancang membunuh Eyang Dipayana.
Padahal, akulah yang akan membunuhnya karena dia musuh besarku! Bersiaplah
menerima kematian.. !"
"Sombong.. ! Kaulah yang akan mati di tanganku atas
kelancangan sikapmu itu!"
Iblis Pemburu Nyawa melemparkan tubuh Nawangsih ke
tanah. Lalu tubuhnya melesat menerjang kakek berpakaian merah.
Tangan kanannya yang mengepal keras, dipukulkan ke arah dada lawan hingga
menimbulkan bunyi menderu karena kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya.
Kakek berpakaian merah tetap bersikap tenang. Tanpa
menunjukkan sikap gugup dia melompat ke atas dan mengirimkan tendangan kilat ke
arah kepala lawan.
Iblis Pemburu Nyawa terkejut melihat serangan balasan
yang tidak disangka-sangkanya. Namun, tidak percuma dia
mendapat julukan Pemburu Nyawa karena gerakannya memang
cepat. Dalam kesempatan yang begitu sempit dia masih mampu mengelakkan serangan
dengan melompat ke belakang.
Iblis Pemburu Nyawa menggereng keras karena marah.
Sambil menggeretakkan gigi dia segera melolos rantai yang
berujung bola berduri di pinggangnya. Kemudian diputar-
putarkannya di atas kepala.
Wukkk! Wukkk! Diiringi bunyi menderu keras, rantai berujung bola berduri itu melesat ke arah
kepala kakek berpakaian merah.
Kakek berpakaian merah tidak berani bertindak main-main.
Dia sadar Iblis Pemburu Nyawa memiliki kepandaian tinggi. Maka segera ditariknya
senjatanya yang tersimpan di balik pakaian.
Ternyata sebuah sabuk berwarna hitam. Tanpa ragu-ragu di-
sambutnya luncuran bola berduri dengan menyabetkan cambuk itu.
Wuttt! Prattt! "Ehh. .!"
Kakek berpakaian merah terhuyung-huyung ke belakang
akibat benturan itu. Hal ini terjadi karena tenaga Iblis Pemburu Nyawa jadi
berlipat ganda setelah mendapat tambahan dari tenaga luncuran senjatanya.
Kakek berpakaian merah mengeluh dalam hati. Disadari
kalau keadaan ini terus berlangsung, dirinya dapat dilumpuhkan tawan. Dia sadar
kalau jarak yang terlalu jauh sangat
menguntungkan lawan. Karena senjata lawan memiliki jangkauan yang panjang.
Dengan jarak seperti itu dia akan mengalami
kesulitan untuk melancarkan serangan balasan. Digertakkan gigi seraya
mengerahkan seluruh kepandaian, terutama sekali kecepatan geraknya agar dapat
mendekati Iblis Pemburu Nyawa. Namun sampai dua puluh lima jurus pertarungan
berlangsung, keadaan tetap seperti semula. Usahanya untuk memperpendek jarak
selalu kandas, karena lawan memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada di atas
lawannya Iblis Pemburu Nyawa terus menjauhkan diri setiap kali kakek berpakaian
merah berusaha mendekat
Pada jurus ketiga puluh dua, kakek berpakaian merah habis
kesabarannya. Ketika mencoba melompat lagi untuk mendekati lawan, tangan kirinya
dihentakkan berkai-kali!
"Heh.. !"
Iblis Pemburu Nyawa terkejut juga melihat serangan jarak
jauh yang bertubi-tubi. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
menjauh, karena tidak mungkin menangkis serangan itu dengan tindakan serupa.
Sebab, kedua tangannya memegang senjata andalannya.
Kesempatan baik itu dipergunakan oleh kakek berpakaian
merah. Dikejarnya lawan yang tengah bergulingan dengan
menyabetkan senjatanya.
Glarrr! Debu bercampur bongkahan tanah berhamburan ke sana
kemari ketika pecut kakek berpakaian merah yang ditujukan pada tubuh Iblis
Pemburu Nyawa menghantam tanah.
Melihat ancaman bahaya terhadap rekannya, Setan Hitam
Muka Kuda tidak bisa tinggal diam. Tubuhnya melesat cepat dengan tongkat bulan
sabit di tangan.
Trangngng! Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika tongkat bulan
sabit Setan Hitam Muka Kuda membentur pecut kakek berpakaian merah yang
dihantamkan ke arah kepala Iblis Pemburu Nyawa.
Pada saat yang hampir bersamaan, Gajah Kecil Bertangan
Maut merendahkan tubuhnya untuk melancarkan pukulan jarak
jauh dengan kedua tangan terbuka.
"Kok.. Kok. . Kok.. !"
Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring
meluncurnya pukulan jarak jauh ke arah dada kakek berpakaian merah. Kakek itu
buru-buru melemparkan tubuh ke samping
melakukan lompatan harimau, lalu melenting dan menyambar
Satria Sinting. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan
Setan Hitam Muka Kuda hanya dapat menatap kepergian kakek
berpakaian merah dengan hati dongkol. Mereka tak melakukan pengejaran sama
sekali karena tahu akan sia-sia. Kakek itu telah jauh sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu. Dengan hati kesal
ketiganya meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh
Nawangsih. Masing-masing berjanji dalam hati setelah berhasil me-nunaikan tugas
terhadap Nawangsih, akan membuat perhitungan dengan kakek berpakaian merah itu.
*** "Tunggu, Eyang.. !"
Sambil mengucapkan seruan demikian, Dewa Arak
menghentikan larinya. Eyang Ranggalawe yang berlari di
sebelahnya pun terpaksa melakukan hal yang sama.
"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe
keheranan. "Kau lihat keadaan tempat ini, Eyang"!" ujar Arya seraya meneliti tanah
tempatnya berpijak saat itu.
Eyang Ranggalawe mengedarkan pandangan sebentar.
"Bekas-bekas pertempuran.. ," desis kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala. "Dan bukankah itu pedang milik
Nawangsih?" lanjutnya seraya menunjuk dua buah pedang tergeletak tak jauh dari
tempat mereka. Eyang Ranggalawe mengikuti arah tudingan tangan Arya.
Dia pun menganggukkan kepala ketika mengenali pedang-pedang Nawangsih.
Lelaki tua itu bergegas menghampiri

Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengambilnya. "Celaka...!" desis Eyang Ranggalawe dengan tarikan wajah menyiratkan kecemasan.
"Apa yang terjadi dengan anak itu"
Mungkinkah Satria Sinting menganiaya Nawangsih" Kalau benar demikian,
celaka.. !"
"Kurasa tidak demikian, Eyang," ujar Arya setelah termenung sesaat. "Aku yakin
bukan Satria Sinting yang telah mencelakai Nawangsih. Kau lihat pohon yang
hancur di sana, Eyang" Aku yakin semua ini tindakan Gajah Kecil Bertangan Maut
dan rekan-rekannya. Hancurnya pohon itu aku yakin akibat bola berduri Iblis
Pemburu Nyawa!"
"Kau benar, Dewa Arak," ujar Eyang Ranggalawe setelah memperhatikan lebih teliti
semua yang dikatakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan sekarang
kecemasannya kian bertambah.
"Berarti.. ," ujar kakek berpakaian abu-abu setelah tercenung sejenak.
"Nawangsih dan Satria Sinting dibawa pergi oleh kelompok Gajah Kecil Bertangan
Maut. Ini benar-benar ancaman bagi dunia persilatan! Mereka pasti akan
mempergunakan Satria Sinting untuk tujuan tidak baik!"
"Kalau demikian.. kita harus cepat-cepat mengejar mereka, Eyang!" tandas Dewa
Arak tanggap. "Kita ke selatan, Dewa Arak," ucap Eyang Ranggalawe seraya melesat lebih dulu.
Tanpa membuang-buang waktu, Dewa Arak segera melesat
menyusul. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, pemuda
berpakaian ungu itu telah berlari di samping Eyang Ranggalawe.
"Mengapa kau memilih selatan, Eyang?" tanya Dewa Arak sambil terus berlari.
"Gajah Kecil Bertangan Maut dan rekan-rekannya bertempat tinggal di sekitar
Gunung Kidul. Dan jalan ini merupakan jalan pintas menuju ke sana. Jadi, kita
bisa mendahului mereka tiba di sana!" jawab Eyang Ranggalawe.
Pendekar Pemetik Harpa 33 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Keris Pusaka Sang Megatantra 9
^