Pencarian

Satria Sinting 2

Dewa Arak 64 Satria Sinting Bagian 2


Dewa Arak tidak memberikan pertanyaan lagi kecuali
mengangguk-anggukkan kepala. Keduanya terus berlari ke selatan.
Baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe berusaha keras
agar segera sampai di tempat tujuan. Namun, Dewa Arak tidak bisa mengerahkan
seluruh ilmu larinya. Sebab jika hal itu dilakukan, Eyang Ranggalawe yang
memiliki ilmu meringankan tubuh di
bawahnya tentu akan tertinggal jauh di belakang.
Kecepatan lari Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tidak
mengendur, meskipun tempat yang dilalui cukup sulit. Kadang-kadang keduanya
melewati jalan sempit yang licin, serta berkelok-kelok memutari dinding tebing
yang menjulang tinggi. Terpelesat sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa
mereka ke akherat, karena sebelah kiri jalan menganga jurang terjal yang sangat
dalam. Jalan pintas seperti yang dikatakan Eyang Ranggalawe
ternyata amat sulit ditempuh dan penuh dengan ancaman maut.
Kalau saja bukan orang-orang seperti Dewa Arak dan Eyang
Ranggalawe mungkin tak akan sampai tempat tujuan. Keduanya meskipun sedikit
kewalahan, akhirnya berhasil melewati medan sulit itu. Kini jalan yang mereka
tempuh mulai menurun.
Begitu melewati tanah berumput yang sangat luas, dan tetap menurun, baik Dewa
Arak maupun Eyang Ranggalawe melihat
nyala api kuning di angkasa! Api itu kemudian memecah ke
sekelilingnya. Ayunan kaki Eyang Ranggalawe yang semula hendak
menuju ke timur, dibelokkan. Sehingga keduanya tidak melewati hutan lebat yang
tampak di depan, melainkan menyusuri jalan yang ditumbuhi ilalang tinggi dan
rapat. "Mengapa menempuh arah ini, Eyang?" tanya Arya tak mampu menyembunyikan rasa
herannya. "Terpaksa, Dewa Arak," jawab Eyang Ranggalawe, "Karena di sana ada seorang tokoh
sakti yang tak pernah menyukai orang lain datang ke tempat itu. Tanda api kuning
yang memecah di angkasa itulah petunjuk nyata kalau tokoh sakti itu tengah
berada di luar."
"Tapi bukankah semula kau hendak menempuh tempat itu, Eyang?" tanya Arya yang
tidak puas dengan jawaban Eyang Ranggalawe.
"Semula kukira dia berada di goanya," jawab Eyang Ranggalawe ringan sambil terus
mengayunkan kaki menyusuri
rumput ilalang Arya hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lagi. Dia
terpaksa hanya mengikuti jalan yang ditempuh Eyang Ranggalawe.
*** "Kau lihat itu, Dewa Arak...!" Eyang Ranggalawe
mengeluarkan seruan itu sambil menudingkan telunjuk ke depan.
Sebuah perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena tanpa
diberitahukan pun pemuda berambut putih keperakan itu dapat melihatnya. Sebuah
pemandangan terpampang berjarak
sekitar dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Eyang
Ranggalawe berada. Suatu tempat persembunyian yang cukup baik karena terlindung
sebuah gundukan batu sebesar gajah.
Terlihat oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, tiga sosok
yang tidak lain Gajah Kecil Bertangan Maut, Setan Hitam Muka Kuda, dan Iblis
Pemburu Nyawa duduk bersimpuh di depan sebuah bangunan mirip kuil. Di depan
ketiga orang itu tampak tergolek tubuh Nawangsih.
"Guru. .!"
Terdengar oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, Gajah
Kecil Bertangan Maut berseru tanpa mengangkat wajahnya yang tertunduk menekun
tanah. Begitu pula Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda, keduanya
tertunduk hormat.
"Kami tidak berhasil membawa Eyang Dipayana kemari.
Bukan karena ketidakmampuan kami, tapi karena telah ada orang yang mendahului
kami membunuhnya. Entah siapa kami tidak tahu.
Dan sebagai gantinya kami bawa murid musuh besarmu kemari
untuk kami cucurkan darahnya ke hadapanmu, Guru.. . Anggap saja muridnya ini
sebagai ganti Eyang Dipayana! Harap kau terima persembahan kami ini, Guru!" .
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan
Setan Hitam Muka Kuda bangkit.
Arya yang mendengar semua ucapan Gajah Kecil Bertangan
Maut, langsung mengetahui adanya ancaman bahaya terhadap
Nawangsih. Maka dia segera melesat keluar dari tempat persembu-nyiannya tanpa
menunggu Eyang Ranggalawe.
Namun, sebelum Dewa Arak bergerak, terdengar jeritan
melengking nyaring seperti pekik seekor burung garuda yang tengah murka. Dan
belum lenyap suara pekikan itu, tak jauh dari tempat Gajah Kecil Bertangan Maut
telah berdiri seorang pemuda berpakaian gembel. Di tangannya tergenggam sebatang
pedang. Sikapnya menunjukkan kalau dia telah siap untuk bertarung.
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan
Setan Hitam Muka Kuda, serentak bangkit berdiri.
"Keparat! Lagi-lagi kau.. !" geram Setan Hitam Muka Kuda, penuh kemarahan. "Kali
ini nyawamu akan lenyap. .!"
Bersamaan keluarnya seruan itu, Setan Hitam Muka Kuda,
serta dua rekannya serentak menerjang Satria Sinting.
Singngng! Tongkat bulan sabit di tangan Setan Hitam Muka Kuda
menyambar lebih dulu ke arah leher Satria Sinting. Gerakannya yang begitu cepat
sehingga yang tampak hanya seleret sinar berkilauan melesat ke arah pemuda
berpakaian compang-camping itu.
Trangngng! Tangkisan Satria Sinting dengan mempergunakan pedang
yang digerakkan dengan tenaga dalam, membuat tubuh Setan
Hitam Muka Kuda terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan
Satria Sinting tampak hanya tergetar tangannya.
"Kok kok kok. .!"
Suara Gajah Kecil Bertangan Maut yang siap menyerang
membuat Satria Sinting bergegas membalikkan tubuh. Sebab lelaki gemuk berkepala
botak menyerangnya dari belakang.
Ternyata Gajah Kecil Bertangan Maut telah siap
melancarkan serangan. Tubuhnya telah berjongkok, tangan kiri dan kanannya
dihentakkan beberapa kali ke arah Satria Sinting
menimbulkan bunyi angin bercicitan. Tanpa ragu-ragu Satria Sinting melakukan
tindakan serupa dengan tangan terbuka.
Glarrr. .! Dua tenaga dahsyat berbenturan di udara memperdengarkan bunyi ledakan keras, membuat sekitar tempat itu tergetar hebat.
Untuk kedua kalinya tubuh Satria Sinting
terguncang. Namun Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang, dan
bergulingan ke tanah.
Saat itulah, terdengar angin keras menderu. Walaupun tidak dapat melihat, Satria
Sinting tampaknya mengetahui kalau Iblis Pemburu Nyawa telah melancarkan
serangan dengan bola berduri ke arah kepalanya. Maka buru-buru direndahkan
tubuhnya sehingga hantaman bola berduri itu lewat di atas kepalanya.
Belum lagi Satria Sinting sempat berbuat sesuatu, Setan
Hitam Muka Kuda menyusul melancarkan serangan, diikuti Gajah Kecil Bertangan
Maut. Namun semua itu dapat dipatahkan oleh pemuda berpakaian compang-camping
itu. Bahkan mampu
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sesaat kemudian
pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi.
Tanah dan rerumputan berhamburan diterjang pukulan-
pukulan dahsyat mereka. Bahkan bebatuan yang berdekatan pecah berantakan. Serta
pepohonan di sekitar tempat itu tumbang
mengeluarkan suara keras, seperti diamuk gajah-gajah liar.
"Heaaattt...!"
Pada jurus kelima puluh sambil mengeluarkan teriakan
keras, Setan Hitam Muka Kuda menerjang maju. Tombak bulan
sabitnya diputar laksana kiliran, kemudian ditusukkan ke arah dada Satria
Sinting secara bertubi-tubi.
Pada saat yang bersamaan, Iblis Pemburu Nyawa yang
berada agak jauh dari Satria Sinting mengayunkan bola berdurinya menyambar
leher. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tidak sempat mengirimkan serangan
karena baru saja melompat mundur untuk mengelakkan sambaran pedang pemuda
berpakaian compang-camping itu.
"Hih!"
Satria Sinting melompat ke atas dan berjumpalitan beberapa kali. Gerakan itu
tidak semata-mata untuk mengelakkan serangan, karena dengan gerakan yang sulit
diikuti mata biasa, tangan kirinya mencengkeram batang tongkat di dekat logam
bulan sabit yang tajam itu. Sambil menyentakkan tombak milik Setan Hitam Muka
Kuda, tangan kanannya mengayunkan pedang memapak bola duri Iblis Pemburu Nyawa.
Trakkk! "Huhhh.. !"
Setan Hitam Muka Kuda mengeluarkan keluhan tertahan
karena tidak mampu menahan sentakan pemuda berpakaian gembel itu. Tubuhnya
terseret ke depan. Bertepatan dengan itu, pedang Satria Sinting membentur
senjata milik Iblis Pemburu Nyawa secara keras. Sehingga bola berduri itu
meluruk ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda.
Hampir tidak berselisih waktu dengan terjadinya benturan
itu, Satria Sinting mengirimkan tendangan kaki kanan ke punggung Setan Hitam
Muka Kuda yang tengah terhuyung-huyung ke depan.
"Aaakh.. !"
Tubuh Setan Hitam Muka Kuda melayang-layang ke depan
seperti daun kering dihempaskan angin.
Jliggg! Baru saja Satria Sinting menjejak tanah, Gajah Kecil
Bertangan Maut yang melihat rekan-rekannya dibuat pontang-
panting langsung meluruk dengan pukulan kedua tangan terbuka.
Plak! Plak! Gajah Kecil Bertangan Maut tersenyum gembira ketika
melihat serangannya mengenai dada lawan. Dikiranya Satria Sinting tidak sempat
mengelakkan serangannya yang dilancarkan secara cepat. Namun sesaat kemudian
senyumnya lenyap ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tidak
terpengaruh sama sekali dengan serangannya. Bahkan kedua tangannya justru
melekat pada dada lawan
Gajah Kecil Bertangan Maut terbelalak kaget ketika tidak
mampu menarik tangan. Dirasakan ada daya sedot yang amat kuat dari tubuh pemuda
gembel itu. Ketika lelaki gemuk itu berusaha keras untuk membebaskan tangannya,
tiba-tiba Satria Sinting menggedor dadanya.
6 Brakkk! "Aaakh.. !"
Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terlontar ke belakang.
Pukulan Satria Sinting menimbulkan suara berderak keras seperti tulang
berparahan. Darah segar menyembur deras bersamaan
dengan keluarnya jeritan menyayat dari mulut lelaki pendek gemuk itu.
Hampir berbarengan jeritan Gajah Kecil Bertangan Maut,
Iblis Pemburu Nyawa pun mengeluarkan lolongan menyayat hati.
Dia tewas dengan kepala hancur terhantam senjatanya sendiri.
Tanpa mempedulikan nasib ketiga lawannya, Satria Sinting
segera mengayunkan kaki menghampiri tubuh Nawangsih yang
tergolek. Sementara Dewa Arak yang sejak tadi menyaksikan
jalannya pertarungan terkesiap ketika melihat Satria Sinting mendekati
Nawangsih. Namun segera diurungkan niatnya untuk mencegah tindakan pemuda gembel
itu, ketika Eyang Ranggalawe menyentuh tangannya, memberi isyarat agar tidak
melakukan tindakan apa pun.
Arya yang tadi telah berdiri segera kembali bersembunyi di balik gundukan batu
besar. Untung saja sejak tadi Satria Sinting tidak melihatnya. Rupanya pemuda
berpakaian compang-camping itu sibuk menghadapi Gajah Kecil Bertangan Maut dan
dua rekannya. Dari tempat terlindung dan tersembunyi Dewa Arak
bersama Eyang Ranggalawe mengintai semua gerak-gerik Satria Sinting. Tampak
pemuda berpakaian gembel itu telah berada di dekat tubuh Nawangsih. Bahkan kedua
tangannya telah dijulurkan hendak mengangkat tubuh gadis berpakaian kurung itu.
Tapi.. "Tahan. .!"
Satria Sinting menggereng keras penuh kemarahan karena
tahu kalau larangan itu ditujukan padanya. Tubuhnya langsung berbalik ke arah
asal suara. Sikapnya bengis penuh ancaman.
"Kau berani membantah perintah raja?" seru seorang kakek berpakaian merah yang
kini telah berdiri di depan Satria Sinting.
Kakek itu mengacungkan sebuah pedang tinggi-tinggi di atas kepala. Sebuah pedang
berkilauan yang gagangnya berhiaskan batu kemala.
Anehnya pemuda berpakaian gembel seperti orang gila itu
tampak terkejut. Wajahnya yang semula garang langsung surut.
Bahkan langsung menjatuhkan diri dan berlutut.
"Sebenarnya kau harus dihukum atas tindakanmu yang
berani melarikan diri dariku. Tapi, atas dasar pertimbangan lain, aku atas nama
raja mengampunimu. Ingat, kita hendak menghukum
seorang pemberontak. Kau mengerti"!"
Satria Sinting mengangguk-anggukkan kepala mengerti
maksud kakek berpakaian merah.
"Sekarang, ikut aku dan tinggalkan gadis itu di situ!"
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Satria Sinting bangkit dan menghampiri kakek
berpakaian merah. Sesaat kemudian keduanya melesat meninggalkan tempat itu.
Hanya dengan beberapa kali lesatan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan
mata. Baru Eyang Ranggalawe memberi isyarat pada Dewa Arak agar keluar dari
tempat persembunyian.
"Kau mengenalnya, Eyang?" tanya Arya seraya mengarahkah pandangan ke arah menghilangnya Satria Sinting dan kakek berpakaian
merah. "Maksudmu.. , lelaki berpakaian merah itu"!" Eyang Ranggalawe balas bertanya.
"Dia Kala Tungging, seorang tokoh sesat. Belasan bahkan mungkin puluhan tahun
lalu dia banyak melakukan tindakan yang menggemparkan. Dia pernah mengacau
pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Bahkan meminta seluruh tokoh persilatan
agar menganggap dirinya sebagai seorang ketua rimba persilatan. Dia juga
menantang tokoh-tokoh persilatan guna membuktikan kelihaiannya. Dan memang, tak
satu pun tokoh yang sanggup melawannya. Mereka dibantai satu persatu."
"Lalu.. bagaimana kelanjutannya, Eyang?" tanya Arya dengan perasaan tertarik.
"Hampir saja keinginan Kala Tungging terkabul. Untung saja di saat-saat terakhir
muncul seorang kakek sakti bernama Ki Tambak Raga. Tokoh itulah yang memupuskan
harapan Kala Tungging untuk mendapatkan julukan jago nomor satu. Dia
dikalahkan oleh Ki Tambak Raga. Dengan hati penuh rasa malu Kala Tungging pergi
meninggalkan tempat. Menghilang tanpa diketahui rimbanya. Namun sekitar lima
tahun kemudian dia muncul lagi dan mencari Ki Tambak Raga. Rupanya, dia ingin
membalas dendam.
Dia menantang Ki Tambak Raga dan bahkan bermaksud
membunuhnya. Tapi, usahanya sia-sia. Ki Tambak Raga memang terlalu kuat


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuknya."
Eyang Ranggalawe menghentikan cerita lalu membungkukkan tubuh untuk memeriksa Nawangsih.
"Dia tidak apa-apa, hanya pingsan. .," jawab Eyang Ranggalawe kalem.
"Syukurlah, Eyang," sambut Arya gembira. "Kurasa sudah saatnya bagiku mohon diri
untuk melanjutkan perjalananku. Kau yang lebih berhak atas Nawangsih, Eyang."
Tanpa memberikan kesempatan pada Eyang Ranggalawe
untuk menanggapi, Arya telah melesat meninggalkan tempat itu.
Hanya dengan sekali langkah dia telah berada dalam jarak tak kurang dari tiga
belas tombak. Eyang Ranggalawe semakin
bertambah kagum, dan harus mengakui kalau Dewa Arak benar-
benar memiliki kepandaian menakjubkan
Kakek berpakaian abu-abu ini menatap hingga tubuh Dewa
Arak lenyap di kejauhan. Setelah itu dihampirinya tubuh
Nawangsih. *** "Hey. .!"
Seruan keras tiba-tiba terdengar membuat dua sosok yang
baru saja melewati pintu gerbang sebuah bangunan mewah,
menghentikan langkah.
"Siapa kau"! Apa hubunganmu dengan Ki Tambak Raga?"
tanya kakek berpakaian merah, salah satu dari dua orang yang tengah memasuki
halaman rumah megah itu. Suaranya keras
menyiratkan ketidaksenangan dalam hatinya.
"Seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan seperti itu padamu, Ki"! Siapa kau"
Dan apa maksud kedatanganmu kemari"!"
jawab lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada yang tadi berseru keras. Dia
telah berdiri di depan kakek berpakaian merah dan lelaki berpakaian compang-
camping. "Keparat!"
Kakek berpakaian merah menggeram keras, lalu mengibaskan tangan kanannya sehingga membuat tubuh lelaki
bertelanjang dada itu terpental jauh ke belakang. Jeritan menyayat hati keluar
dari mulut lelaki yang sial itu. Dia tak sadar apa yang dialami. Yang dirasakan
hanya tubuhnya bagai diseruduk seekor kerbau liar.
Tanpa mempedulikan keadaan lelaki bertelanjang dada itu,
kakek berpakaian merah mengayunkan langkah untuk meneruskan maksudnya semula.
Tanpa berkata sepatah kata pun pemuda
berpakaian compang-camping itu mengikuti di belakangnya.
"Keji...!"
Terdengar seruan keras. Kakek berpakaian merah yang tak
lain Kala Tungging menghentikan langkahnya. Pemuda berpakaian compang-camping
yang ternyata Satria Sinting pun berhenti.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Kala
Tungging dan Satria Sinting berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih.
Jenggotnya yang juga putih panjang sampai ke dada.
"Tambak Raga...!" seru Kala Tungging antara rasa gembira dan kaget "Kukira kau
akan bersembunyi lagi seperti biasanya.. ."
Kakek berjenggot panjang yang ternyata Ki Tambak Raga
hanya tersenyum getir.
"Kau atau aku yang mempunyai sifat seperti itu, Kala
Tungging?" ejek Ki Tambak Raga. "Dan apa maksud kedatanganmu kemari" Apa kau
hendak membuat perhitungan atas kejadian lalu?"
"Tidak salah!" tandas Kala Tungging, "Aku akan menebus kekalahan yang memalukan
itu! Sekarang aku mengajukan jago untuk menandingimu!"
"Sudah kuduga," jawab Ki Tambak Raga, kalem. "Orang sepertimu mana mungkin
berani bertindak jujur" Pasti kau akan mengajukan anak muda ini. Tidak salahkah
penglihatanku atas pilihanmu ini, Tungging" Jago yang kau bawa menderita
kelainan jiwa!" "Memang itu kusengaja!" tegas Kala Tungging, "Aku ingin semua
orang persilatan tahu, Ki Tambak Raga, tokoh sakti golongan putih yang diagung-
agungkan, tewas di tangan orang gila...! Aku yakin dunia persilatan akan
gempar!" Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala seakan
menertawakan gagasan Kala Tungging. Meskipun di dalam hati dia merasa terkejut
karena dapat mengetahui kalau jago yang diajukan Kala Tungging bukan tokoh
sembarangan. Dan itu bisa diketahui Ki Tambak Raga dengan melihat sorot mata
lelaki berpakaian
compang-camping itu. Tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan, seperti mata
seekor harimau dalam kegelapan.
"Tidak usah berpanjang kata lagi, Tambak Raga! Bersiaplah kau!"
Kala Tungging lalu mengeluarkan sebatang pedang
berwarna putih berkilauan dari pinggangnya. Karuan saja hal itu membuat Ki
Tambak Raga kaget. Bukankah Satria Sinting yang akan melawannya, tapi mengapa
Kala Tungging yang menghunus
senjata" Meskipun demikian kakek berjenggot panjang itu bersikap
hati-hati. Dilangkahkan kakinya ke belakang untuk menghadapi hal-hal yang tidak
di nginkan. Ternyata Kala Tungging tidak menyerangnya. Dengan
kedua tangan erat-erat digenggamnya pedang bergagang bulat penuh batu permata
itu. Matanya menatap tajam sejenak pada Satria Sinting.
"Atas nama kerajaan, kuperintahkan kau untuk membunuh pemimpin pemberontak ini!"
Ki Tambak Raga yang sudah bersiap-siap menghadapi
serangan Kala Tungging, tercekat hatinya. Sebagai seorang tokoh tua yang telah
kenyang pengalaman, dia bisa merasakan adanya
pengaruh aneh dalam ucapan Kala Tungging. Suara itu penuh
dengan kekuatan sihir!
Namun kakek berjenggot panjang itu tidak sempat berbuat
sesuatu, karena Satria Sinting yang semula mengarahkan tatapan pada Kala
Tungging kini mengalihkan kepadanya. Sikap pemuda berpakaian compang-camping itu
tampak penuh wibawa
"Bersiaplah untuk menerima hukuman, Pemberontak
Keparat!"Sebelum gema ucapannya lenyap, Satria Sinting telah mengirimkan sebuah
tendangan ke arah lambung Ki Tambak Raga.
Gerakannya yang sangat cepat menimbulkan bunyi menderu.
Ki Tambak Raga yang sudah bersiaga sejak tadi, tampak
tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupan di wajahnya.
Dengan cepat dan ringan dia melompat ke samping, sehingga
serangan itu mengenai tempat kosong. Namun Satria Sinting tidak berhenti sampai
di situ. Dia langsung melanjutkan dengan serangan lainnya secara gencar dan
bertubi-tubi. Kaki kanan kirinya mengincar bagian-bagian berbahaya di tubuh
kakek berjenggot panjang itu.
Berkali-kali Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget
setiap kali serangan lawannya meluncur, meskipun dia dapat mengelakkan secara
mudah. Karuan saja hal ini membuat Kala Tungging heran. Sedangkan Satria Sinting
tak mempedulikannya sama sekali akan keterkejutan lawan, dan terus melancarkan
serangan susul-menyusul laksana gelombang laut.
Hampir sepuluh jurus Satria Sinting melancarkan serangan
dengan kakinya. Dan selama itu Ki Tambak Raga hanya mengelak, tidak sekali pun
melakukan tangkisan apalagi melancarkan serangan balasan. Dan hebatnya, kakek
ini mampu terus mengelakkan setiap serangan lawan tanpa menemui kesulitan.
Kenyataan ini membuat Kala Tungging merasa khawatir,
apakah Satria Sinting tetap tidak akan mampu mengalahkan Ki Tambak Raga"
Sedemikian lihaikah musuh besarnya itu" Sehingga serangan-serangan pemuda gila
suruhannya dapat dielakkannya dengan mudah.
"Hih!"
Pada jurus kelima belas, ketika Satria Sinting melompat
menerjang sambil mengirimkan serangan dengan kibasan kaki, Ki Tambak Raga
melakukan hal yang sama.
Plakkk! Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan. Tubuh kedua belah pihak sama-
sama terpental balik ke tempat semula. Ki Tambak Raga terpental lebih jauh dua
langkah dan mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Sementara Satria
Sinting dapat mendarat secara mantap.
Kala Tungging menyunggingkan senyum lebar melihat
kenyataan itu, karena tahu kalau jagonya memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat.
Padahal sepengetahuannya, Ki Tambak Raga
memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Namun kegembiraan hati Kala Tungging mulai berganti
keterkejutan dan kekhawatiran, ketika melihat tindakan Ki Tambak Raga.
"Tahan. !" seru Ki Tambak Raga sambil menjulurkan tangan agar Satria Sinting
menghentikan serangan dan mau mendengarkan ucapannya.
Lelaki berpakaian compang-camping
itu tidak mempedulikan seruan Ki Tambak Raga. Tanpa berkata apa pun
terus diterjangnya kakek berjenggot panjang putih itu.
"Ah. .!"
Untuk yang kesekian kalinya,
Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget.
"Bukankah itu ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'" Dari mana kau mendapatkannya,
Anak Muda?"
Ki Tambak Raga mengeluarkan pertanyaan tanpa bisa
menyembunyikan rasa kaget yang melanda hati. Namun tidak ada tanggapan sama
sekali atas pertanyaannya. Satria Sinting tidak menghentikan terjangan dengan
serangan yang membuat kedua
tangannya seperti meluncur dari delapan penjuru. Ilmu yang dikatakan Ki Tambak
Raga sebagai ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'.
Ternyata Ki Tambak Raga bukan hanya mengenal ilmu itu,
tapi juga menguasainya. Sebab beberapa kali dia mampu
mengelakkannya dengan mudah, bahkan mengirimkan serangan
pada tempat-tempat yang memang merupakan kelemahan dari ilmu itu. Tidak hanya
itu yang dilakukannya. Kakek berjenggot panjang itu pun melancarkan serangan
balasan dengan mempergunakan
ilmu serupa. Akibatnya pertarungan berlangsung kurang menarik karena
masing-masing pihak telah dapat menerka arah yang akan dituju serangan lawan.
Kala Tungging, yang sejak tadi menyaksikan jalannya
pertarungan tampak semakin cemas bercampur khawatir. Hal ini timbul ketika
melihat kenyataan ilmu-ilmu yang dimiliki Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting
berasal dari satu sumber. Memang ada beberapa bagian yang berlainan, tapi itu
terjadi disebabkan bakat tubuh masing-masing pihak, selain kemampuan
mengembangkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Namun pada dasarnya sama, dan jelas berasal dari satu
sumber. Sekarang, kakek berpakaian merah itu sudah bisa
memperkirakan, mengapa tadi sejak pertarungan dimulai Ki
Tambak Raga tak henti-hentinya mengeluarkan seruan kaget. Pasti karena melihat
ilmu yang dipergunakan Satria Sinting! Mengapa dirinya begitu bodoh" Kala
Tungging menyalahkan dirinya dalam hati. Mengapa dia tidak melihat kalau Satria
Sinting memainkan ilmu-ilmu yang dulu dipergunakan Ki Tambak Raga ketika
menghadapinya. Sudah telanjur basah, biar saja aku mandi sekalian! Pikir
Kala Tungging, nekat. Diperhatikannya jalan pertarungan dengan mata tidak
berkedip. Hatinya berdebar khawatir kalau-kalau antara Ki Tambak Raga dengan
Satria Sinting memiliki hubungan dan mereka jadi berdamai. Bukan tidak mungkin
kalau Ki Tambak Raga berhasil menyadarkan Satria Sinting dari penyakit kurang
warasnya! Plakkk! Plakkk!
Untuk kesekian kali, pada jurus ketujuh puluh terjadi
benturan antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting. Namun kali ini jauh lebih
keras dari sebelumnya. Dan benturan itu lebih telak.
Tak pelak lagi tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke belakang. Namun
berkat kemampuan masing-masing, baik Ki
Tambak Raga maupun Satria Sinting mampu mematahkannya.
Kemudian kembali bersiap untuk menghadapi lawan. Terlihat jelas kalau Ki Tambak
Raga yang terjengkang lebih jauh menyeringai kesakitan.
Kali ini kedua belah pihak tidak langsung melanjutkan
pertarungan, karena Satria Sinting tidak langsung mengirimkan serangan.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tambak Rasa.
"Anak Muda,.., sadarlah! Antara kau dan aku ada hubungan erat. Buktinya ada
kesamaan ilmu yang kita miliki. Jangan kau tertipu oleh Kala Tungging yang licik
dan gemar mengadu domba!
Sadarlah, Anak Muda...! Sadar. .!"
Ucapan-ucapan Ki Tambak Raga itu tidak keluar secara
biasa, tapi mengandung pengaruh aneh yang kuat. Kakek berjenggot panjang itu
sengaja melakukannya untuk memunahkan kekuatan sihir yang membelenggu Satria
Sinting. Namun usahanya sia-sia.
Pemuda gila itu tidak mempedulikannya sama sekali. Walaupun demikian, Ki Tambak
Raga tidak putus asa dan terus mengeluarkan ucapan-ucapan untuk memberi
kesadaran pada Satria Sinting. Sebab dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping
itu pasti mempunyai hubungan dengannya. Meskipun sepengetahuannya dia tidak
mempunyai hubungan lagi dengan siapa pun. Dialah orang terakhir yang menjadi
pewaris tunggal ilmu-ilmu peninggalan leluhurnya...
7 Satria Sinting merangkapkan kedua telapak tangan ke depan
dada beberapa saat lamanya. Kemudian dijulurkan ke depan tanpa melepaskan
tempelan kedua telapak tangannya. Tindakan itu dilakukan secara perlahan dengan
pengerahan tenaga dalam. Tampak asap putih mengepul dari sela-sela telapak
tangannya yang masih merapatKi Tambak Raga yang sejak tadi memperhatikan tingkah
laku Satria Sinting, membelalak dengan wajah memucat. Keningnya berkerut tajam
seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ti.. tidak mungkin.. ! Mustahil. .!" ucap kakek berjubah putih itu dengan suara
terbata-bata karena bibirnya menggigil keras.
Kala Tungging yang memperhatikan setiap tindakan kedua
belah pihak, juga melihat asap putih timbul dari kedua tangan Satria Sinting.
Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, dia tahu kalau hal seperti
itu hanya timbul karena pengaruh tenaga dalam yang menyimpang dari biasanya.
Satria Sinting mempunyai jenis tenaga dalam berbeda dengan tokoh umumnya.
Pemandangan demikian membuat Kala Tungging terkejut.
Apalagi ketika melihat sikap Ki Tambak Raga yang ketakutan seperti tengah
melihat hantu. Apa yang terjadi dengan musuh besarnya itu"
Keheranan Kala Tungging memang beralasan. Sikap Ki
Tambak Raga terlihat aneh. Bukan hanya bibirnya yang menggigil.
Sekujur tubuhnya yang terbungkus jubah putih pun tampak mulai dibasahi keringat
dingin. Begitu juga di keningnya yang tampak berkerut, bersembulan butiran-
butiran keringat.
"Hih.. !"
Satria Sinting yang bersikap tidak peduli dengan keadaan
lawan, memukulkan tangan kirinya dengan kuat ke arah Ki Tambak Raga, tanpa
menggeser kaki. Memang jarak antara mereka terpisah hampir satu tombak saja!
"Ah. .!"
Tanpa sadar, Kala Tungging terpekik kaget ketika melihat


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari tangan kiri Satria Sinting meluncur asap putih bergulung-gulung menuju Ki
Tambak Raga. Asap putih itu menimbulkan angin dingin yang terasa membekukan
tubuh Kala Tungging. Padahal kakek berpakaian merah itu berada dalam jarak
belasan tombak dari Satria Sinting.
Kalau Kala Tungging saja merasakan akibat nya, apalagi Ki Tambak Raga yang
menjadi sasaran serangan. Kakek berjubah putih itu merasakan sekujur tubuhnya
beku. Sehingga sulit baginya untuk menggerakkan tangan atau kaki baik untuk
mengelak maupun
menangkis. Tidak ada yang dapat dilakukan Ki Tambak Raga, kecuali
menunggu datangnya maut! Serangan hebat Satria Sinting
membuatnya tidak berdaya. Memang hal itu terjadi sebagian besar karena dirinya
terlalu larut dalam alun keterkejutan. Kalau tidak, sedikit banyak akan dapat
melakukan tindakan yang mampu
membuat dirinya terhindar. Namun, nasi telah menjadi bubur.
"He he he. .!"
Kala Tungging tahu apa yang tengah dialami Ki Tambak
Raga. Sudah terbayang ke benaknya betapa nyawa Ki Tambak Raga akan segera
melayang Bresss! "Ah. .!"
Seruan kaget tidak hanya keluar dari mulut Kala Tungging.
Pemuda berpakaian gembel pun tersentak kaget karena serangan berupa asap
bergulung-gulung itu tak mengenai tubuh Ki Tambak Raga. Asap putih yang melesat
dari kedua telapak tangannya menghantam sebatang pohon besar di belakang Ki
Tambak Raga. Seketika itu pula pohon itu diselimuti butiran-butiran es
yang ditimbulkan oleh asap putih tadi.
Satria Sinting tidak peduli dengan keadaan Ki Tamtbak Raga yang penuh keringat
dingin. Pemuda itu tetap memukulkan tangan kirinya ke arah Ki Tambak Raga, tanpa
menggeser kaki. Memang jarak antara mereka hanya sehtar satu tombak saja!
Satria Sinting dan Kala Tungging mengarahkan pandangan
ke tempat sosok bayangan ungu yang tadi menyambar tubuh Ki Tambak Raga, sebelum
asap putih bergulung-gulung
itu menghantamnya. Beberapa tombak dari tempat Ki Tambak Raga tadi berada,
berdiri Dewa Arak. Dengan sikap tenang tapi tanpa menghilangkan kewaspadaan,
pemuda berambut putih keperakan itu menurunkan tubuh Ki Tambak Raga sambil
menatap lekat-lekat wajah Satria Sinting.
Ki Tambak Raga yang telah berhasil menguasai perasaan
kagetnya, menatap wajah Dewa Arak sejenak.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi,
cepatlah kau menyingkir dari sini. Dia pasti akan membunuhmu dengan mudah. .!"
ujar Ki Tambak Raga penuh rasa khawatir.
"Tenangkanlah
hatimu, Ki! Percayalah aku dapat menghadapinya! Aku pernah bertarung dengannya dan dia
melarikan diri," sahut Arya berusaha menenangkan hati Ki Tambak Raga. "Ah. .!
Boleh kutahu siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki Tambak Raga setengah terkejut
dan tidak percaya dengan jawaban Dewa Arak. Mungkinkah pemuda ini akan dapat
mengalahkan Satria Sinting.
"Orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak," jawab Arya untuk membuat kakek
itu percaya dan tidak mengkhawatirkan dirinya.Dewa Arak sengaja memperkenalkan
julukannya, karena tahu kalau julukan Dewa Arak lebih dikenal orang. Dan Ki
Tambak Raga pasti mengenalnya! Keyakinan Arya ternyata terbukti. Ki Tambak Raga
terperanjat mendengarnya. Namun dia tidak bisa
mengutarakannya karena Satria Sinting telah melancarkan serangan kembali. Kali
ini kedua tangannya yang terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke tempat Dewa Arak dan
Ki Tambak Raga berada.
Wusss! Asap putih tebal dan bergulung-gulung yang membuat
keadaan sekitar tempat itu terselimut hawa dingin membekukan tubuh, meluncur ke
arah Dewa Arak dan Ki Tambak Raga. Asap kali ini lebih banyak dari sebelumnya,
karena Satria Sinting benar-benar marah melihat serangannya berhasil digagalkan
Dewa Arak. "Menyingkir, Dewa Arak! Asap itu berbahaya...!" teriak Ki Tambak Raga sambil
melompat menghindar.
Namun Dewa Arak tidak menuruti seruan Ki Tambak Raga.
Pemuda berambut putih keperakan itu justru berdiam diri di tempatnya. Dia
menunggu hingga asap itu meluncur agak dekat.
Meskipun demikian, tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya langsung dikerahkan untuk
melawan pengaruh hawa dingin yang telah lebih dulu melingkupi tubuhnya sebelum
asap itu tiba. Dewa Arak tidak setengah-setengah lagi dalam bertindak.
Tahu betapa berbahayanya sergapan hawa dingin yang dapat
membuat darahnya membeku, bahkan mampu menewaskan bila
tersentuh, dia segera mengerahkan seluruh tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya untuk
bertahan. Dari sekujur tubuh Dewa Arak keluar asap tipis berwarna putih,
diiringi hawa panas menyengat menyebar ke sekitarnya.
Usaha Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Hawa dingin luar
biasa yang mampu membekukan darah dan urat sarafnya berhasil diusir pergi. Namun
hal itu bukan berarti telah bebas dari maut.
Karena gumpalan asap berwarna putih tebal tengah meluncur ke arahnya.Dewa Arak
tidak merasa gugup sama sekali menghadapi kenyataan ini. Seperti juga Satria
Sinting, dia pun berkali-kali memukulkan kedua tangannya yang terbuka secara
gencar ke depan. Dari kedua tangan yang dipukulkan keluar angin keras berhawa panas
menyengat yang membuat gumpalan-gumpalan
asap putih tebal seketika buyar di tengah jalan.
Melihat serangannya kandas di tengah jalan Satria Sinting
kian geram dan penasaran. Tanpa bergerak dari tempatnya segera dilancarkan
serangan serupa. Karena Dewa Arak pun melakukan hal yang sama, pertarungan aneh
dan tidak lazim pun terjadi. Kedua tokoh muda itu tidak hanya melancarkan
pukulan, melainkan juga tendangan-tendangan gencar. Anehnya hal itu dilakukan
dalam keadaan berjauhan. Sebuah pertarungan aneh, dua tokoh yang saling serang
dan tangkis dalam jarak berjauhan.
*** Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya
pertarungan dengan hati berdebar tegang, di samping perasaan heran dan takjub.
Memang keduanya, terutama sekali Ki Tambak Raga
memiliki ilmu kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh. Namun ketika
menyaksikan pertarungan seperti itu keduanya tak mampu menahan keheranannya.
Belum pernah seumur hidupnya
menyaksikan pertarungan seperti itu.
Baik Ki Tambak Raga maupun Kala Tungging tahu.
Meskipun pertarungan berlangsung dalam jarak berjauhan seperti itu, bahaya yang
mengancam tidak kalah besar dengan pertarungan biasa. Mereka yang menyaksikan
jalannya pertarungan dari jarak belasan tombak merasakan hawa-hawa aneh yang
membuat jantung berdebar tegang. Dari kancah pertarungan berhembus hawa panas
dan dingin silih berganti.
Kejadian yang aneh pun terjadi. Ki Tambak Raga dan Kala
Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan jarak hampir bersebelahan tanpa
sadar. Perasaan tertarik dengan pertarungan yang berlangsung seakan membuat
masing-masing lupa kalau di sebelahnya lawan yang menyebabkan timbulnya
pertarungan aneh itu.
"Luar Biasa.. ! Jadi. . itukah ilmu 'Awan Putih' yang diceritakan Ayah" Luar
biasa...! Entah dari mana orang gila itu menemukannya" Aku harus mengetahuinya!
Bukankah kata Ayah
ilmu itu telah lenyap puluhan tahun ialu" Benar-benar dahsyat!"
gumam Ki Tambak Raga sambil terus memperhatikan pertarungan yang tengah
berlangsung. Malah mengedip pun hampir tidak
pernah dilakukan, karena khawatir tidak melihat kalau salah satu pihak roboh!
Kekaguman Ki Tambak Raga terhadap ilmu 'Awan Putih'
memang bisa dimaklumi karena benar-benar dahsyat. Gumpalan awan putih tebal yang
keluar dari telapak tangan Satria Sinting diakui oleh Dewa Arak terlalu kuat
untuk dilawan. Bahkan dia menyadari tidak mungkin baginya menghadapi lawan
dengan cara seperti itu.
Itulah sebabnya, setelah gumpalan awan putih yang semula
berhasil didorongnya, kembali mendekatinya, Dewa Arak melompat ke atas. Dari
udara laksana seekor garuda, dia melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah
kepala Satria Sinting.
"Uh. .!"
Dewa Arak tanpa sadar mengeluarkan keluhan keterkejutan, ketika Satria Sinting memapak serangannya. Sebelum terjadi
benturan dirasakan adanya daya tolak yang sangat kuat dari kedua tangan lawan.
Sebagai seorang pendekar yang kenyang
makan asam garam di rimba persilatan, Arya tahu kalau daya tolak timbul karena
asap putih itu.
Hampir saja Dewa Arak celaka akibat dalam waktu
sekejapan dia terkejut dan Satria Sinting melancarkan serangan.
Untung di saat terakhir dia sempat melemparkan tubuh menjauh.
Namun Satria Sinting tak mau membiarkannya dan memburunya
dengan serangan-serangan maut. Arya mengelak dan balas
menyerang sehingga membuat pertarungan berlangsung sengit.
Pertarungan kini tampak wajar, tidak seperti sebelumnya.
Untuk kesekian kalinya Dewa Arak pun harus mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti'
dipergunakan sampai ke puncaknya. Bahkan telah ditenggaknya arak ketika mendapat
satu kesempatan.
Satria Sinting benar-benar merupakan lawan yang tangguh.
Meski Dewa Arak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tetap mengalami kesulitan
untuk mengalahkannya. Jangankan mengalahkan, mendesaknya saja merupakan hal yang
amat sukar! Tak terasa pertarungan telah menginjak tujuh puluh jurus
dan selama itu jalannya pertarungan tetap tidak berubah. Belum ada pihak yang
sanggup mengalahkan pihak lainnya. Meskipun
demikian, terlihat Satria Sinting berada di atas angin. Asap tebal yang keluar
dari kedua tangan dan tubuhnya membuat Dewa Arak terus terdesak.
Sungguhpun begitu, Satria Sinting tetap tidak bisa berbuat lebih banyak. Dia
hanya sanggup mengungguli lawan, tapi tidak dapat berbuat lebih jauh. Dewa Arak
dengan ilmu 'Belalang Sakti'-
nya terlalu kuat untuk dapat dirobohkannya.
*** Ketika Dewa Arak dan Satria Sinting terlibat dalam
pertarungan sengit, dua sosok bayangan berkelebat memasuki halaman dan langsung
berdiri di sebelah Kala Tungging.
"Apa yang terjadi, Tungging?" tanya Eyang Ranggalawe salah satu dari dua sosok
yang baru datang, sedangkan sosok yang satu lagi adalah Nawangsih.
Kakek berpakaian abu-abu itu mengajukan pertanyaan
tanpa mengalihkan perhatian dari jalannya pertarungan.
"Dewa Arak dan Satria Sinting bertarung," jawab Kala Tungging tanpa menoleh.
Lalu secara singkat diceritakan semua kejadiannya.
Berbeda dengan Eyang Ranggalawe yang begitu datang
langsung menatap ke arah pertarungan dan lupa segala-galanya, tidak demikian
halnya dengan Nawangsih. Dia ingat betul maksud Eyang Ranggalawe mengajaknya
kemari. Maka dia tidak sabar
ketika melihat kakek itu malah asyik menyaksikan jalannya
pertarungan. "Mana pembunuh orangtuaku, Eyang?" tanya Nawangsih bernada menuntut.
"Kakek berjenggot panjang itulah pembunuh ayahmu,"
jawab Eyang Ranggalawe seraya menuding Ki Tambak Raga.
Nawangsih menoleh ke arah Ki Tambak Raga dengan sorot
mata beringas. Dan..
Sing! Sing! Tanpa membuang-buang waktu lagi Nawangsih langsung
melolos kedua pedangnya yang berkilauan. Namun perbuatan gadis itu tidak menarik
perhatian ketiga kakek yang memperhatikan pertarungan.
"Pembunuh Biadab.. ! Rasakan pembalasanku!"
Usai berkata demikian, Nawangsih menggenjotkan kaki
sehingga tubuhnya melayang melewati atas kepala Kala Tungging dan Eyang
Ranggalawe. Dari atas sepasang pedangnya menyambar ganas ke arah Ki Tambak Raga.
Karuan saja Ki Tambak Raga terkejut namun tidak menjadi
gugup. Dengan tenang, dikeluarkan kebutan berupa rangkaian bulu-bulu yang
diselipkan di pinggang. Lalu digunakannya untuk menghadapi serangan sepasang
pedang Nawangsih.
Rrrttt! "Uh!"
Nawangsih memekik tertahan ketika ujung kebutan yang
lemas melibat batang pedang di tangan kanannya. Sedangkan
pedang kiri yang ditusukkan ke arah leher, melesat karena Ki Tambak Raga cepat
memiringkan kepalanya. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, Ki Tambak
Raga telah menyentakkan
kebutannya, sehingga pedang Nawangsih pun terlepas dari cekalan dan terlempar
jauh. Bukan hanya pedangnya yang tertarik, tetapi juga tubuh
Nawangsih yang berada di udara. Tubuh gadis berpakaian kuning itu ikut terbawa
turun. Namun murid Eyang Dipayana mampu
menunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya yang melayang turun digunakan untuk
melancarkan serangan berupa jejakan kaki kanan ke arah dada lawan.
"Bagus.. ! "
Ki Tambak Raga yang merasa kagum melihat kecerdikan
Nawangsih, berteriak memuji. Meskipun begitu dia mampu
mengelakkannya dengan mudah. Didoyongkan tubuhnya ke
belakang, kemudian tangannya bergerak mencekal.
Tappp! Pergelangan kaki kanan Nawangsih terkena cekalan.
Untung saja Ki Tambak Raga tidak berniat mencelakainya karena langsung
melontarkan tubuh gadis itu. Kalau mau lelaki tua itu mampu meremas pergelangan
kaki Nawangsih hingga remuk!
Tidak percuma Nawangsih menjadi murid Eyang Dipayana.
Di saat tubuhnya melayang, dia mampu mematahkannya dengan
bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun dan menjejak tanah dengan
ringan laksana seekor burung.
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala ketika
melihat begitu menjejak tanah, Nawangsih langsung mencelat dan menubruknya.
Pedang yang tinggal sebatang itu, ditusukkan cepat ke arah leher!
Hati Ki Tambak Raga mulai kesal melihat kebandelan
Nawangsih. Saat ini dia tengah asyik memperhatikan jalannya pertarungan.
Betapapun sabarnya, dia mulai tidak senang hati karena merasa terganggu. Maka Ki
Tambak Raga bermaksud
memberikan sedikit pelajaran pada gadis itu, agar pertarungan seru yang tengah
disaksikannya tidak keburu usai.
Itulah sebabnya tusukan pedang Nawangsih dielakkannya


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mendoyongkan tubuh ke kanan. Dan pada saat bersamaan, kebutannya yang
dengan pengerahan tenaga dalam berubah kaku laksana tombak, meluncur ke arah
bahu kanan Nawangsih.
Nawangsih terkejut bukan kepalang melihat serangan itu.
Dengan agak geragapan dia berusaha mengelak. Namun
gerakannya kalah cepat Ujung kebutan Ki Tambak Raga lebih dulu mengenai bahu
kanannya. Seketika itu tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai lemas. Dan
mungkin akan ambruk ke tanah kalau Eyang Ranggalawe tidak lebih dulu
menangkapnya. "Kau keji, Tambak Raga!" desis Eyang Ranggalawe. "Setelah kau bunuh ayahnya, kau
hina pula anaknya!"
"Jelaskan maksud ucapanmu, Ranggalawe!" desak Ki Tambak Raga keras. Keningnya
berkerut tajam dengan mata
menunjukkan ketidaksenangan. "Siapa yang kau maksudkan?"
"Lupakah kau pada Wiratmaja" Ataukah kau telah menjadi pikun?" "Wiratmaja putra
Eyang Dipayana"!" tanya Ki Tambak Raga meminta penegasan setelah tercenung
beberapa saat. "Benar!" Eyang Ranggalawe menganggukkan kepala. "Dan gadis yang kau lumpuhkan
ini anak Wiratmaja!"
"Ah. .!" desah Ki Tambak Raga terkejut. Matanya
membelalak tapi mulutnya tidak berkata-kata lagi.
"Asal kau tahu saja, Tambak Raga," sambung Eyang Ranggalawe yang terlihat jelas
masih merasa penasaran.
"Kedatangannya kemari untuk membalaskan kematian ayahnya!"
"Gila! Ini benar-benar tidak mungkin!" sahut Ki Tambak Raga. Wajahnya menegang
"Memang, kalau dilakukannya sendiri, tidak akan mungkin berhasil. Dia tak akan
menang melawanmu, tapi masih ada aku!
Akulah yang akan membalaskan dendamnya!" tandas Eyang Ranggalawe, berapi-api.
"Kau gila, Ranggalawe!" sergah Ki Tambak Raga. "Sadarkah kau akan tindakan yang
akan kau lakukan" Kau tak berhak
melakukannya! Masih ada Eyang Dipayana yang menjadi kakeknya!
Dia lebih berhak daripadamu! Dia sendiri tidak melakukannya!"
"Bukan tidak mau melakukannya, Tambak Raga!" bantah Eyang Ranggalawe. "Dia ingin
melakukannya, tapi menunggu hingga cucunya besar. Dia ingin cucunya sendiri yang
melakukan. Dan dia hanya membantunya!"
"Kau dusta, Ranggalawe!" tukas Ki Tambak Raga. "Kalau benar demikian, apakah dia
mengatakan sendiri hal itu padamu?"
"Memang tidak," sahut Eyang Ranggalawe. "Tapi aku yakin akan dilakukannya."
"Mana buktinya, Ranggalawe"! Kenyataannya sekarang
kaulah yang mendampingi gadis,itu! Jangan-jangan kau menginginkan hal ini! Dan karena Eyang Dipayana tidak
menginginkannya, kau membawanya kabur kemari!"
"Bukan itu alasannya, Tambak Raga! Dia tak mungkin bisa menemani cucunya untuk
membalaskan dendam terhadapmu! Dia
telah mati! Kau dengar, Tambak Raga"! Eyang Dipayana telah tewas, dan aku yakin
pembunuhnya adalah. . kau!"
8 "Apa.. "!"
Mata Ki Tambak Raga membelalak lebar seperti melihat
hantu di siang hari, hatinya terkejut bukan main mendengar tudunan Eyang
Ranggalawe. "Tidak usah berpura-pura bodoh, Tambak Raga!" tandas Eyang Ranggalawe keras.
"Akui saja kalau kau yang telah membunuh Dipayana! Hanya kau satu-satunya yang
mempunyai alasan untuk melakukannya!"
"Fitnah!" bantah Ki Tambak Raga tak kalah keras. "Dan aku tak membiarkan begitu
saja orang melakukan hal ini padaku!"
"Tidak usah berpura-pura suci, Tambak Raga! Aku yakin kaulah pelakunya!
Bersiaplah untuk menerima kematian!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Ranggalawe!"
dengus Ki Tambak Raga tak mau kalah.
Belum juga ucapan Ki Tambak Raga lenyap. Eyang
Ranggalawe telah menubruk maju. Kakek berpakaian abu-abu ini telah tahu kalau
lawan memiliki kepandaian amat tinggi. Maka dia tak ingin bersikap setengah-
setengah. Dalam serangan pertama telah dikeluarkan senjata andalannya, tasbih,
yang langsung dikibaskan ke arah pelipis Ki Tambak Raga.
Kakek berjenggot panjang itu menarik tubuh ke belakang
sehingga sabetan tasbih lewat di depan wajahnya. Kemudian
dengan pengerahan tenaga dalam, dijadikannya bulu kebutannya menegang
kaku seperti anak panah. Kemudian sambil mendoyongkan tubuh ke depan ditusukkan kebutan itu ke leher Eyang Ranggalawe.
Eyang Ranggalawe mengetahi adanya ancaman maut. Dia
tahu bulu kebutan itu akan mampu menembus lehernya. Maka dia buru-buru
merendahkan tubuh seraya menarik sedikit tangan
kanannya. Secepat itu pula segera dilancarkan serangan susulan dengan sabetan
tasbih ke wajah lawan.
Namun lagi-lagi Ki Tambak Raga berhasil mengelakkannya,
bahkan seraya mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah hebat. Sesaat
kemudian kedua kakek itu telah saling serang dengan mempergunakan seluruh
kepandaian yang dimiliki.
Di halaman luas di depan rumah Ki Tambak Raga
berlangsung dua pertarungan. Namun, pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria
Sinting sudah hampir mencapai penyelesaian.
Dalam pertarungan yang demikian lama, serangan Satria
Sinting tampak mulai mengendur. Pukulan dan tendangan yang dilancarkannya tidak
sekuat sebelumnya. Demikian pula gerakan-gerakan yang dilakukan, tampak telah
berubah. Jelas kalau pemuda berpakaian gembel itu telah merasakan kelelahan.
Kelelahan yang dialami Satria Sinting tidak diderita Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti sediakala.
Serangan-serangan
yang dilancarkannya masih mengandung tenaga dalam penuh. Begitu pula gerakan-gerakannya, tetap gesit
seperti semula, tidak mengalami penurunan. Hal itu karena pengaruh arak yang
ditenggaknya di dalam pertempuran.
Arak yang berasal dari guci yang tersampir di punggungnya mampu membuat
tenaganya yang susut dapat pulih kembali seperti sediakala.
Oleh karena itu, menginjak jurus keenam puluh perlahan-
lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan.
Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang Satria Sinting
tampak lebih banyak mengelak daripada melancarkan serangan. Beberapa kali dia
mencoba menangkis karena sudah tidak mungkin lagi baginya untuk mengelak.
Akibatnya pemuda
berpakaian gembel itu harus terhuyung-huyung. Semakin lama keadaan Satria
Sinting semakin mengkhawatirkan. Sekarang dia mulai bermain mundur. Awan putih
tebal yang keluar dari tangan dan sekujur tubuhnya sekarang hampir tidak
terlihat lagi. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa oleh Dewa Arak.
Pada pertarungan yang lain, perlahan namun pasti Ki
Tambak Raga mulai berhasil menguasai pertarungan. Kakek
berjenggot panjang ini memang memiliki tenaga dalam dan
kelincahan di atas lawannya. Selain itu dia mampu menggunakan kelebihannya untuk
melancarkan desakan terhadap lawan. Kebutan di tangannya senantiasa berubah-
ubah. Kadang lemas dan melentur, tapi kemudian bisa berubah menjadi kaku dan
mengeras. Sehingga senjata itu tidak hanya dapat digunakan untuk melibat, tapi
juga menusuk dan menotok. Beberapa kali Eyang Ranggalawe
terhuyung-huyung mundur ketika terjadi benturan. Dan menginjak pada jurus kelima
puluh kakek berpakaian abu-abu ini terdesak hebat dan hanya mampu bermain
mundur. Di saat Eyang Ranggalawe dalam keadaan seperti itu, dan
pertarungan antara Dewa Arak dan Satria Sinting mulai tidak menarik, Kala
Tungging masuk dalam kancah pertarungan untuk membantu Eyang Ranggalawe.
"Jangan khawatir, Ranggalawe! Aku membantumu menghadapi tua bangka sombong ini!"
Tarrr! Kala Tungging langsung menyabetkan pecutnya ke arah
pelipis Ki Tambak Raga. Serangan ini memaksa Ki Tambak Raga yang tengah mendesak
lawan, mengurungkan serangannya. Segera dilemparkan tubuhnya ke samping untuk
menyelamatkan diri. Tak pelak lagi pertarungan satu melawan dua pun tidak bisa
dielakkan. *** Brettt! Bukkk! "Akh.. !"
Satria Sinting memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke
belakang ketika cakaran tangan kiri Dewa Arak yang diikuti pukulan tangan kanan
menghantamnya. Tangan kiri merobek
pakaiannya mulai dari leher sampai ke pusar, sedangkan tangan kanan yang terbuka
mendarat di bahu kanan.
Meskipun serangan itu tidak pada tempat mematikan, tapi
cukup untuk membuat Satria Sinting terbanting di tanah dan jatuh pingsan.Dewa
Araksendiribukantidak menderita. Sambungan lutut kirinya telepas ketika ujung
kaki Satria Sinting menghantamnya.
Namun, Dewa Arak tidak mempedulikan rasa sakit itu.
Langsung diarahkan pandangan ke kancah pertarungan, ketika yakin kalau Satria
Sinting tidak terancam bahaya karena lukanya.
Pemuda berambut putih keperakan ini langsung dapat melihat keadaan Ki Tambak
Raga yang terdesak hebat.
Menghadapi satu orang lawan, Ki Tambak Raga jauh lebih
unggul, bahkan akan dapat memperoleh kemenangan, karena
tingkat kepandaiannya berada di atas masing-masing lawannya.
Namun menghadapi dua orang sekaligus, terlalu berat baginya.
Itulah sebabnya ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh dia terdesak
hebat dan hanya mampu bertahan dan mengelak.
"Arrghh.. !"
Dewa Arak mengeluarkan raungan keras dari dalam
perutnya. Akibat suaranya yang menggelegar tiga tokoh yang bertarung mendadak
terhuyung-huyung dengan wajah memucat.
Raungan yang dikeluarkan Dewa Arak dengan pengerahan tenaga dalam itu, telah
membuat mereka terpengaruh. Baik Ki Tambak Raga, Kala Tungging, maupun Eyang
Ranggalawe merasakan
betapa dada mereka bergetar hebat. Ketiganya buru-buru
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat bagian dalam tubuh
mereka tidak terguncang, yang dapat mengakibatkan luka dalam.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melompat
masuk ke kancah pertarungan, kemudian mengibaskan kedua
tangannya. Sehingga tubuh ketiga tokoh tua itu seketika berpentalan ke belakang
dan bergulingan. Dan ketika Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
berhasil bangkit, Dewa Arak telah berdiri dengan sikap angker.
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
merasa penasaran bukan kepalang, karena dapat dirobohkan Dewa Arak dengan mudah.
Meskipun demikian ketiganya tahu, hal itu terjadi karena keadaan mereka yang
tidak siap tarung. Kalau tidak, mustahil Dewa Arak akan mampu melakukan hal
seperti itu dengan sangat mudah.
Mendadak Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget dari
mulutnya. Sepasang matanya membelalak lebar seakan tengah
dilanda keterkejutan yang hebat. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa
disadarinya. Karuan saja sikap Ki Tambak Raga membuat semua orang
yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak, merasa heran.
Mereka pun mengikuti arah pandangan kakek berjenggot panjang itu. Tatapan mata
Ki Tambak Raga ternyata tertuju pada tubuh Satria Sinting.
Mendadak dengan diawali keluhan tertahan, Ki Tambak
Raga melesat ke arah Satria Sinting. Khawatir kalau kakek
berjenggot panjang itu melakukan tindakan yang tidak diinginkan, Dewa Arak
bergegas mengikuti. Kala Tungging dan Eyang
Ranggalawe pun melakukan hal yang sama. Kedua kakek ini ingin mengetahui apa
yang akan dilakukan Ki Tambak Raga.
*** Kecurigaan Dewa Arak ternyata tidak terbukti. Ki Tambak
Raga tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkannya. Kakek itu tidak melancarkan
serangan sedikit pun, melainkan duduk
bersimpuh di dekat sosok Satria Sinting yang tergolek lemah.
Pandangan Ki Tambak Raga tertuju pada gambar naga dan
tengkorak kepaia manusia di dada Satria Sinting.
"Ada apa, Ki?"
Dewa Arak tidak tahan untuk berdiam diri melihat Ki
Tambak Raga duduk bersimpuh tanpa berkata apa pun, kecuali melongo di dekat
tubuh Satria Sinting.
Ki Tambak Raga tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ditatapnya wajah Arya, kemudian dialihkan perhatiannya lagi pada tubuh Satria
Sinting. "Dia mempunyai hubungan denganku, Dewa Arak!
Hubungan yang amat dekat, hubungan perguruan. Hanya saja, baik aku maupun dia
tidak mengetahuinya," jawab Ki Tambak Raga dengan pandangan tertuju ke arah
tubuh Satria Sinting. Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe terdiam mendengar
penuturan Ki Tambak Raga.
"Leluhurku.. ," Ki Tambak Raga mulai dengan ceritanya,
"Memiliki kepandaian amat tinggi. Hanya jarang bahkan tidak ada di antara orang-
orang persilatan yang mengenal mereka. Mereka selalu menyembunyikan diri. Tapi
mereka senantiasa mewariskan ilmu itu pada keturunannya, sampai akhirnya tiba
pada diriku sebagai keturunan terakhir. Keyakinan itulah yang kupegang, tapi
sekarang pupus. Leluhurku ternyata masih mempunyai keturunan lagi selain diriku,
yaitu dia! Aku tidak akan tahu jika tidak melihat tanda ini pada kedua dadanya."
Dewa Arak, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
menatap dada Satria Sinting.
"Apa artinya, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
"Tanda gambar naga merupakan ciri khas keluarga kami
Sedangkan gambar tengkorak kepala manusia menandakan kalau dia keturunan dari
leluhur kami yang telah diusir dari garis keluarga karena mempelajari ilmu
larangan."
"Jadi... Satria Sinting itu keturunan dari orang buangan keluargamu, Ki?" tanya
Arya lebih lanjut "Tapi mengapa kau semula tidak tahu" Bukankah ilmu-ilmu yang
kau miliki mempunyai
kesamaan dengannya?"
"Aku tidak tahu karena ayahku tidak menceritakan kalau leluhurku punya garis
keluarga lain yang merupakan orang
buangan di keluarga kami. Untung saja aku melihat tanda tengkorak itu. Dan aku
pun pernah mendengar dari kakekku yang pernah menyinggung cerita tentang
keluarga buangan itu. Namun aku telah lama melupakan. .," ujar Ki Tambak Raga,
menutup ceritanya.
Mendadak, melesat sesosok bayangan kuning ke arah Ki
Tambak Raga. "Pembunuh Jahanam! Mampuslah kau.. !"
Dan sosok yang tak lain Nawangsih itu mengayunkan


Dewa Arak 64 Satria Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya ke arah leher Ki Tambak Raga. Namun sebelum sempat mengenai sasaran
Dewa Arak telah lebih dulu bergerak. Hanya dengan sekali sambar, pedang
Nawangsih telah pindah ke tangannya.
"Tidak baik menyerang dari belakang!" ujar Dewa Arak seraya menatap wajah gadis
itu. "Tapi.. , dia pembunuh ayahku!" sahut Nawangsih.
"Aku bukan pembunuh ayahmu!" tukas Ki Tambak Raga
"Bohong!"
bentak Nawangsih dengan
mata masih menyimpan dendam.
"Aku tidak bohong! Untuk apa aku membohongi cucuku
sendiri"!" Ki Tambak Raga balas mengajukan pertanyaan.
"Apa?" sepasang mata Nawangsih membeliak lebar
mendengar pertanyaan Ki Tambak Raga.
"Benar," Ki Tambak Raga menganggukkan kepala untuk lebih menegaskan ucapannya.
"Aku tidak bohong, aku kakekmu karena ibumu, istri ayahmu adalah anakku. Jadi
Wiratmaja, ayahmu itu mantuku!"
'Tapi..., mengapa kau bunuh ayahku"!" desak Nawangsih dengan suara melunak.
"Aku tidak pernah membunuhnya, Nawangsih. Percayalah.. ! Aku tak ingin kau terluka kalau mendengar cerita sesungguhnya.
Apakah kau tidak diberitahukan oleh Eyang
Dipayana?"
Nawangsih menggelengkan kepala.
"Lebih baik begitu, Nawangsih. Hhh.. , Eyang Dipayana memang bijaksana. Dia
mungkin tak ingin kau lebih terluka kalau mendengar cerita sebenarnya," jawab Ki
Tambak Raga, bernada keluh. "Tidak, Kek!" sahut Nawangsih, "Aku tidak akan
terluka. Lebih baik aku mendengarnya sekarang daripada tak mengetahui sama sekali apa
yang terjadi terhadap ayahku."
"Baiklah kalau kau memaksa," ucap Ki Tambak Raga dengan suara berdesah. "Dengar
baik-baik! Ayahmu mati di tangan ibumu sedangkan ibumu mati karena bunuh diri.
Ibumu membunuhnya
karena ayahmu mempunyai watak mata keranjang! Di mana-mana dia bergaul dengan
wanita secara tidak patut! Jelas"!"
"Kakek.. !"
Nawangsih berseru dengan hati pilu setelah beberapa saat
terpaku dengan wajah pucat pasi karena kaget mendengar cerita yang dituturkan Ki
Tambak Raga. Gadis berpakaian kuning itu menubruk tubuh Ki Tambak Raga dan
menangis. Kala Tungging, Eyang Ranggalawe, dan Dewa Arak ikut
merasa terharu karenanya. Dan untuk tidak mengganggu
keberadaan Nawangsih dan Ki Tambak Raga, mereka mengalihkan tatapan ke arah
lain. Meskipun demikian, rasa ingin tahu membuat telinga mereka dipasang untuk
mendengarkan pembicaraan lebih lanjut "Benarkah Dipayana telah tiada,
Nawangsih"!" tanya, Ki Tambak Raga setelah membiarkan Nawangsih menangis
beberapa saat di dadanya.
Nawangsih menjauhkan wajah dari dada kakeknya
"Benar, Kek," jawab gadis berpakaian kuning itu dengan suara serak sambil
terisak. "Dia tewas terbunuh. Semula, kukira Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua
rekannya yang membunuh
Eyang Dipayana, tapi ternyata bukan. Mereka pun tidak tahu siapa pembunuh Eyang
Dipayana?"
"Bukankah kau tinggal bersamanya. Mengapa kau tidak
tahu kematian Eyang Dipayana" Bukankah dia tewas di rumah."
"Saat Itu, aku tengah pergi ke kebun untuk memetik
sayuran-sayuran kegemaran Eyang, Kek. Tapi.., begitu aku pulang yang kujumpai
Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya
Mereka tengah marah-marah dan di antara mereka kulihat tubuh Eyang tergolek. Aku
marah, dan menyerang mereka, tapi mereka terlalu kuat untukku. Maka, aku
melarikan diri dan minta
pertolongan pada Eyang Ranggalawe."
"Hhh.. !"
Ki Tambak Raga menghembuskan napas berat sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Dahinya berkerut-kerut seperti tengah berpikir
keras. "Bisa kau terangkan pada kami sebab-sebab kematiannya, Nawangsih?" Eyang
Ranggalawe menyela pembicaraan itu.
Memang, dia belum mendapatkan pemberitahuan apa pun dari
Nawangsih tentang cara kematian sahabatnya itu.
"Em.. aku tidak bisa melihat jelas dari dekat. Aku hanya dapat melihat ada tanda
merah pada dadanya berupa telapak
tangan. Tanda itu menghancurkan pakaian Eyang.. ."
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
tersentak kaget. Mereka saling pandang dengan wajah berubah.
Tampak adanya kekhawatiran yang menggurat di wajah mereka.
Dewa Arak melihat hal ini menjadi heran.
"Apakah ada yang salah, Kek?" tanya Arya pada Ki Tambak Raga
"Tidak, Dewa Arak," jawab Ki Tambak Raga dengan nada ucapan sungguh-sungguh.
"Hanya saja ciri-ciri penyebab kematian Eyang Dipayana mengingatkan aku pada
seorang tokoh luar biasa dari dunia hitam. Tokoh yang memiliki watak aneh, gemar
memakan jantung orang yang kurang waras pikirannya. Tokoh itu memiliki ilmu
'Telapak Tangan Darah' yang menimbulkan akibat seperti yang dikatakan Nawangsih.
Untuk kegunaan ilmu itulah, tokoh sesat itu memakan jantung orang kurang waras.
Luwing Sewu namanya!"
"Mengapa dia membunuh Eyang Dipayana, Kek"! Apakah
di antara mereka ada permusuhan?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Dewa Arak. Tapi, semua orang tahu kalau satu-
satunya orang yang mengetahui tempat Satria Sinting, hanya Eyang Dipayana. Dan
mengingat Luwing Sewu gemar memakan jantung
orang kurang waras, bisa ditebak sendiri kejadiannya. Mungkin, tokoh sesat itu
memaksa Eyang Dipayana untuk menunjukkan
tempat Satria Sinting berada. Tapi, karena tak mendapatkan jawaban yang
memuaskan, Eyang Dipayana dibunuhnya. Dan.. ."
"Ha ha ha.. !"
Sebuah tawa keras tiba-tiba terdengar menyambuti ucapan
Kl Tambak Raga. Kakek berjenggot putih panjang itu terjingkat kaget, dan
mengalihkan tatapan ke tempat asal suara tawa. Hal yang sama dilakukan pula oleh
dua kakek lainnya.
"Luwing Sewu. .!"
Kala Tungging berseru kaget dengan mata membelalak.
Begitu pula Eyang Ranggalawe dan Ki Tambak Raga. Semua terkejut melihat
kedatangan seorang kakek bertubuh bongkok dan
berpakaian kulit ular. Tangan kanannya menggenggam sebuah
tongkat terbuat dari ular yang dikeringkan.
"He he he.. !" kakek bongkok itu mengeluarkan tawa terkekeh sambil melangkah
maju. "Rupanya kau cerdik juga, Tambak Raga. Memang, dugaanmu itu tidak keliru.
Sekarang, biarkan aku mengambil Satria Sinting. Siapa yang mencoba mengha-langi akan
menerima kematian di tanganku. . "
"Keparat!" Ki Tambak Raga menggeram. "Kau hanya dapat melakukannya setelah
melangkahi mayatku!"
Ki Tambak Raga melompat menerjang dengan kedua tangan
terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke arah ulu hati, perut, dan dada.
Hembusan angin mengiringi tibanya serangannya yang dikerahkan dengan tenaga
dalam. "He he he.. !"
Luwing Sewu tertawa terkekeh. Tongkatnya segera
diselipkan ke ketiak kanan. Kemudian dengan kedudukan dan
gerakan tangan yang sama seperti Ki Tambak Raga, dipapaknya serangan itu.
Prattt! "Aaakh.. !"
Ki Tambak Raga mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya
yang memakai jubah putih terpental beberapa langkah ke belakang.
Sementara tubuh Luwing Sewu tampak hanya terguncang-guncang.
Mulutnya tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya berhasil
menjejak ke tanah dengan sempurna.
"Bedebah.. !" Ki Tambak Raga mendengus kesal seraya menatap kedua telapak
tangannya yang memerah sebatas
pergelangan. Namun dengan cepat warna merah akibat benturan itu menjalar ke
atas. Ki Tambak Raga segera mengerahkan tenaga dalam untuk
mengusir hawa beracun yang diduga akibat ilmu 'Telapak Tangan Darah' lawannya.
Usaha Ki Tambak Raga sia-sia. Warna merah itu tetap terus menjalar ke atas.
Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe tahu apa artinya itu.
Mereka merasa tegang. Kalau Ki Tambak Raga saja dalam
segebrakan dibuat terluka dan dalam keadaan terancam maut, apalagi mereka"
Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Arak Pemuda
berambut putih keperakan itu langsung melompat mengirimkan serangan mematikan ke
arah Luwing Sewu. Namun hanya dengan kibasan-kibasan tangannya, kakek bongkok
itu memaksa Dewa
Arak untuk melompat mundur karena tak tahan mencium bau amis yang memuakkan
berasal dari racun jahat yang dikeluarkan Luwing Sewu.
"He he he. .!" Luwing Sewu tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo, siapa lagi yang ingin
ikut bertamasya ke akherat bersama Tambak Raga"! Silakan maju!"
"Aku, Luwing!" sambut sebuah suara dengan suara
menggigil seperti merasa kedinginan, mendahului Dewa Arak dan yang lain-lain
"Lagi-lagi kau, Tua Bangka Gila! Dasar nasibku yang kurang baik!" Setelah
berkata demikian dengan sikap gentar yang tidak dapat disembunyikan, Luwing Sewu
melesat kabur dari situ. Dan sesaat kemudian, di tempat itu telah berdiri
seorang kakek kecil kurus yang selalu tertawa cekikikan. Sepasang matanya tampak
berputar-putar liar.
Dewa Arak merasakan debaran tegang dalam jantungnya.
Dirinya tidak tahu sama sekali, darimana dan bagaimana kakek kecil itu muncul.
Tahu-tahu saja telah berada di antara mereka. Suatu kenyataan yang membuktikan
bahwa kakek yang tampak kurang
waras itu memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Masih dengan tawa cekikan dan sepasang mata berputaran
liar, kakek kecil kurus itu menghampiri Ki Tambak Raga yang tengah mengerahkan
tenaga dalam menahan menjalarnya hawa
beracun. Kemudian, ditepuknya punggung kakek berjenggot panjang itu sekali.
Seketika warna merah yang menjalar di sekujur tangan Ki Tambak Raga, perlahan-
lahan memudar dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ucap Ki Tambak Raga dengan perasaan
kagum yang tidak dapat disembunyikan.
"He he he. .! Siapa menolong siapa"! Aku hanya mencoba bertanggung jawab
memberikan pertolongan pada orang yang telah berusaha menolong anakku. Kau
Tambak Raga, kan" Aku telah
sering mendengar namamu. Aku bersyukur kau tidak membenci
anakku sekalipun dia berasal dari keluarga yang terbuang sepertiku.
Memang, pesan leluhur kita tidak keliru, ilmu-ilmu larangan itu sangat
berbahaya. Hanya akan membuat kesadaran kita lenyap.
Ilmu larangan itu membuat orang yang mempelajarinya menjadi kurang waras. Kau
lihat aku, he he he.. ! Juga anakku.. " Kami adalah saksi nyata betapa
berbahayanya ilmu-ilmu larangan itu!
Keinginannya untuk menjadi prajurit kerajaan semakin membuatnya parah dalam kegilaan. Keadaan itu dipergunakan baik-baik oleh orang
yang punya sifat jahat... Selamat tinggal, Tambak Raga!" Tanpa memberi
kesempatan pada Ki Tambak Raga untuk berbicara, kakek kecil kurus itu menyambar
tubuh Satria Sinting, lalu melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan
tubuhnya sudah lenyap dari-pandangan mata.
"Itulah orang sakti yang pernah kuceritakan, Dewa Arak.
Tokoh aneh yang tempat tinggalnya tiada yang tahu.. ," ucap Eyang Ranggalawe
lirih. Dewa Arak hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia
masih belum bersemangat untuk berbicara. Hatinya masih diliputi kebingungan dan
heran dengan kejadian-kejadian yang baru saja dialami. Bahkan Kala Tungging pun
telah kehilangan gairah untuk bertempur. Mereka mengarahkan pandangan ke arah
perginya kakek kecil kurus dengan tatapan kosong.. .
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Pasangan Naga Dan Burung Hong 9 Kampung Setan Karya Khulung Kisah Para Pendekar Pulau Es 20
^