Pencarian

Sengketa Guci Pusaka 1

Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Bagian 1


SENGKETA GUCI PUSAKA Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Sengketa Guci Pusaka 128 hal. ; 12 X 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Seorang kakek berpakaian longgar kuning
membuka sepasang matanya yang semula terpe-
jam. Kemudian, tubuhnya yang kecil kurus bang-
kit berdiri dari sikapnya yang tadi bersemadi. Kakek yang wajahnya dipenuhi
bulu-bulu kumis,
jenggot, dan cambang putih lebat itu berusia tak kurang dari seratus tahun.
Ketika berdiri tegak, tampak kalau tangan kirinya buntung. Sehingga
lengan baju yang kosong tersampir lemas di sisi pinggang.
"Aneh...!" gumam kakek berbaju kuning heran dengan berkerut.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam
sebuah ruangan gua tempatnya berlindung, dia
menggumamkan kata-kata bernada heran. Ruan-
gan yang tidak terlalu luas, membuat kakinya tidak sampai melangkah banyak
ketika sampai di
bagian sisi salah satu dinding gua.
"Mengapa batin ku tak tenang"! Mengapa
aku sulit memusatkan pikiran untuk bersemadi"!
Ada firasat apa, ya"!"
Dahi kakek berpakaian kuning ini berker-
nyit Ditatapnya langit-langit ruangan beberapa saat. Perasaannya saat ini benar-
benar gelisah. Karena tidak mampu mengusir rasa gelisah
di hatinya, kakek itu pun mengayunkan kakinya
ke mulut lorong yang hanya satu-satunya. Setelah melalui lorong yang berliku-
liku dia tiba di luar
gua. Setelah matanya beredar ke sekeliling, kakek kecil kurus ini menghembuskan
napas pan- jang-panjang. Seakan-akan dia hendak membuang
kegelisahan yang menjumpai di dalam dada. Angin sejuk silir-silir membuat
dahinya nyaman. Tapi kegalauan hatinya tak juga lenyap.
Disertai tanda tanya dalam hati kakek itu
mengarahkan pandangan ke depan. Yang terlihat
hanya pepohonan dan sedikit tanah yang ditum-
buhi rumput hijau menghampar di kejauhan. Tapi
tak lama dia menikmati pemandangan itu di ke-
jauhan mulai tampak satu sosok berlari secepat
kilat ke arahnya.
Kakek berpakaian kuning menyipitkan ma-
tanya untuk lebih memperjelas pandangan. Sepa-
sang matanya tampak mencorong laksana mata
kucing di kegelapan. Ketika jarak sosok itu tinggal belasan tombak, dia
tersenyum lebar. Memang, dia kenal dengan sosok yang tak lain wanita muda
berpakaian merah yang tengah menuju ke arah-
nya. Tapi ketika wanita muda berusia lebih dari dua puluh tahun itu tiba, senyum
kakek kecil kurus itu lenyap.
"Aku datang untuk pamit padamu, Eyang
Sangga Langit," ujar gadis berpakaian merah dengan suara manja. Kepalanya
menunduk menunggu
jawaban. Padahal laki-laki tua yang dipanggil
Eyang Sangga Langit sebenarnya hendak menga-
jukan pertanyaan lebih dulu.
"Kau..., ingin pergi sekarang, Witari"!" tanya
kakek berpakaian kuning. Seketika, entah bagai-
mana perasaannya jadi berguncang. Sebuah pera-
saan aneh yang membuat suaranya seperti terce-
kat di tenggorokan. Buru-buru dia menekan pera-
saannya. Witari agaknya tidak tahu kegalauan hati
gurunya. Gadis ini lebih banyak menundukkan
kepala, sehingga tak tahu kalau mata kakek di hadapannya mulai berubah. Bahkan
kini merayapi sekujur tubuh Witari yang montok penuh minat.
Eyang Sangga Langit sebenarnya tahu ten-
tang ketidakberesan sikapnya. Bahkan samar-
samar tahu kalau ada sebuah keanehan yang me-
lingkupi. Dia telah sering melihat muridnya itu yang bukan saja bertubuh montok
menggiurkan, tapi juga berwajah cantik. Dan selama ini sedikit pun tidak pernah timbul
perasaan aneh di hatinya.
Sekarang, begitu melihat Witari, kenapa pe-
rasaan aneh yang menjerat kelaki-lakiannya tim-
bul" Witari saat ini terlihat demikian menarik.
Bentuk tubuh, wajah, rambut, pakaian, bahkan
suaranya membuat hasrat kejantanan Eyang
Sangga Langit tergoda. Bahkan sampai-sampai
melenyapkan akal sehatnya. Yang dipikirkan
hanya satu, bagaimana caranya agar dapat me-
lampiaskan hasrat yang mendadak berkobar-kobar
pada Witari. "Benar, Eyang," jawab Witari sambil men-gangkat kepala. Dan, segera kepalanya
ditunduk- kan kembali ketika beradu pandang dengan mata
gurunya yang juga tengah menatap dengan sinar
mata mengundang. Seakan-akan Witari hendak di-
telanjangi bulat-bulat
Witari sendiri adalah gadis hijau. Tapi, na-
lurinya membisikkan adanya keganjilan dalam si-
kap Eyang Sangga Langit.
Perasaan aneh ini membuat Witari kelim-
pungan sendiri. Gadis ini hendak meninggalkan
tempat ini secepatnya. Namun sebelum niatnya
terlaksana, tiba-tiba jantungnya berdetak jauh lebih kencang. Malah tanpa sadar,
matanya balas menatap Eyang Sangga Langit dengan sorot me-
nantang! "Kurasa...!"
Suara Eyang Sangga Langit bergetar hebat
karena cekaman perasaan aneh yang semakin
menguat. Napasnya memburu hebat seperti habis
berlari jauh. "Tundalah dulu kepergianmu, Witari. Ada
sesuatu yang ingin kuwariskan padamu. Aku ya-
kin kau..., pantas memiliki ilmu 'Urai Raga' milikku.... Maka lebih baik
masuklah dulu ke dalam
gua. Aku ingin mewariskannya padamu.... Bagai-
mana"!" lanjut Eyang Sangga Langit.
Witari semakin dirasuki perasaan aneh da-
lam dirinya. Bahkan tiba-tiba di hatinya timbul gejolak ingin bercinta. Begitu
kuat perasaan itu men-jeratnya, sehingga akal sehatnya pun sirna. Dia berusaha
menepis, tapi tak kuasa. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran bagaimana
menyalur- kan hasrat aneh yang melonjak-lonjak tanpa ken-
dali. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi Witari mengangguk.
*** "Ah...!"
Terdengar seruan kaget hampir berbareng
dari mulut Witari dan Eyang Sangga Langit. Masih dengan raut wajah kaget dan
tidak percaya, mereka bagai saling berlomba menyambar pakaian
masing-masing dan beringsut ke sisi dinding yang berlainan.
"Oh.... A... apa yang telah terjadi pada-
ku..."!" rintih Witari.
Gadis itu mendekap mulutnya sendiri sam-
bil memandang Eyang Sangga Langit, kemudian
beralih ke tubuhnya sendiri. Seperti hampir tak percaya, dia mendapati dirinya
dalam keadaan tidak tertutup sehelai benang pun bersama gurunya yang seharusnya
sangat pantas bila menjadi kakek buyutnya. Tersirat nada kengerian dan kehancu-
ran hati dalam gadis itu. Apalagi ketika melihat cairan merah di tempat tubuhnya
tadi tergolek. Witari tahu, apa artinya ini. Darah keperawanan!
Pikiran Witari mulai jernih. Samar-samar
baru disadari, kalau dirinya telah melakukan perbuatan terkutuk tanpa
disadarinya. Saat itu juga, hancur luluhlah hatinya. Tanpa dapat dicegah lagi,
air matanya bergulir deras di pipinya. Tubuhnya sampai terguncang-guncang karena
isak tangis. Kesedihan yang mendalam membuat Witari tidak
ingat lagi untuk berpakaian.
Sementara itu, Eyang Sangga Langit hanya
terpaku memandangi Witari. Dia juga seperti tak percaya dengan apa yang telah
diperbuatnya. Sete-
lah gejolak perasaan aneh itu terlampiaskan, akal sehatnya baru timbul secara
penuh! Bahwa dia sesungguhnya telah melakukan perbuatan hina ber-
sama muridnya. Dan yang merayapi pikiran dan
hatinya kini hanyalah penyesalan seumur hidup!
"Witari...! Mengapa kita sampai berbuat seperti ini"! Ah...! Betapa terkutuknya
aku!" sesal Eyang Sangga Langit, memaki-maki dirinya sendiri. Nada suaranya
sarat penyesalan yang meng-
gumpal. Kata-kata kakek itu membuat tangis Witari
berhenti. Sepasang matanya memancarkan keben-
cian, ketika menatap wajah gurunya. "Manusia terkutuk! Sampai hati kau nodai
muridmu sendiri!
Aku yakin kau menggunakan ilmu siluman untuk
memperdaya diriku, tubuhku dapat kau nikmati!
Manusia biadab! Terkutuk! Jahanam!" maki Witari. Suaranya serak karena isak
tangis. Entah mendapat keberanian dari mana, ga-
dis itu menatap penuh kebencian pada Eyang
Sangga Langit Lalu dia segera mengenakan pa-
kaian. "Aku tidak akan melupakan peristiwa ini!"
ancam Witari. Tanpa memberi kesempatan pada Eyang
Sangga Langit untuk menjelaskan, gadis itu melesat cepat keluar gua.
"Witari...! Tunggu...!" seru Eyang Sangga Langit, berusaha mencegah.
Tetapi Witari tidak mempedulikan seruan
gurunya lagi. Bahkan larinya dipercepat.
Kakek kurus bertangan buntung ini sama
sekali tidak berusaha mengejar. Meskipun dengan kepandaian amat mudah menyusul
Witari, namun apa gunanya" Toh, gadis itu tengah terguncang
batinnya. Dia tidak akan bisa dibujuk. Mungkin
dengan membiarkannya dulu, gadis itu punya ke-
sempatan untuk berpikir dan mengerti kalau per-
buatan terkutuk tadi terjadi tanpa disadari.
Eyang Sangga Langit menghela napas berat.
Batinnya terpukul atas kejadian yang di-
alami tadi. Wajahnya terlihat layu tidak berseri!
Hanya sepasang matanya yang mencorong tajam,
menerawang ke dinding gua.
Peristiwa tadi memang membuat hati Eyang
Sangga Langit terguncang. Dan ini juga membuat
nya termenung. Ketermenungan lelaki tua bertan-
gan buntung itu baru lenyap ketika terdengar
bunyi langkah kaki dari mulut lorong ruangan. Dia berharap, sosok yang datang
itu Witari. Siapa tahu gadis itu mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.
"Eyang...," panggil orang yang baru datang.
Harapan Eyang Sangga Langit terkabul. Di
mulut lorong ruangan berdiri tubuh ramping berpakaian merah, berwajah cantik
manis. Hanya sa-
ja wajahnya muram. Sedangkan sepasang ma-
tanya sembab karena tangis.
"Witari...," sambut Eyang Sangga Langit, serak penuh rasa iba dan ham mengingat
nasib yang menimpa gadis muridnya.
Witari menghambur. Langsung dia berlutut
di bawah kaki kakek berpakaian kuning itu. Tan-
gisnya kontan bagai bendungan jebol.
Sementara itu, Eyang Sangga Langit segera
mengulurkan tangan, membelai rambut Witari pe-
nuh rasa haru dan sayang.
Tangis Witari semakin menjadi-jadi. Tubuh-
nya yang berlutut tampak terguncang-guncang ke-
ras. "Semua ini salahku, Witari! Aku pasrah dan rela atas keputusanmu. Aku
maklum bila kau
membenci ku. Bahkan bila kau ingin membunuh-
ku pun, aku siap," tandas Eyang Sangga Langit bergetar.
"Tidak, Eyang. Semua ini bukan salahmu.
Aku yakin ada pihak ketiga yang sengaja menda-
langi terjadinya peristiwa ini. Dan kita tidak tahu, dengan cara apa dia
melakukannya. Hhh...! Aku
akan cari orang itu, Eyang. Aku ingin membalas
tindakannya, sehingga membuat kita terperosok ke dalam jurang kehinaan. Sekarang
juga, aku ingin mohon diri, Eyang," ujar Witari terbata-bata.
Eyang Sangga Langit tersenyum, walau se-
perti dipaksakan. Hatinya memang lega melihat
Witari menyadari kekeliruannya. Tapi perasaan
sedih dan terguncang akibat perbuatan itu, mem-
buat senyumnya tampak yang keluar dari hati lu-
ka. "Syukurlah kalau kau menyadarinya, Wita-
ri. Kalau saja tubuhku tidak sereot ini, aku pun akan ikut mencari pelakunya.
Sayang, tubuh renta ini tidak bisa lagi diajak bepergian jauh," keluh Eyang
Sangga Langit. "Eyang tidak perlu turun tangan! Cukup
aku sendiri yang akan mencari penjahat keji itu dan akan menghukumnya!" tandas
Witari. "Itu bagus!" puji Eyang Sangga Langit. "Kau berhak dan wajib untuk
melakukannya!"
"Tapi, Eyang...," tukas Witari ragu-ragu.
"Aku merasa kepandaian yang kumiliki masih rendah. Tenaga dalamku juga tak
begitu kuat Aku yakin, akan dapat mengalahkan penjahat cabul itu
bila berhasil kutemukan! Dan dia tentu memiliki kemampuan tinggi, karena telah
berhasil memperdaya kita!"
"Kau terlalu merendahkan kepandaian yang
telah kau miliki, Witari," tegur Eyang Sangga Langit. "Jangan dikira
kepandaianmu rendah. Perlu diketahui, kau adalah murid terpandai di antara
murid-muridku pendahulu. Kaulah satu-satunya


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mewarisi sebagian besar ilmuku. Karena, aku tidak ingin malu terhadap
ayahmu yang telah me-nitipkan mu untuk ku didik. Bukannya sombong,
hanya bisa dihitung dengan jari tokoh persilatan yang mampu bertahan lima puluh
jurus bila bertarung denganku! Oleh karena itu, kepandaian yang kau miliki tak
akan kalah dengan pendekar mana
pun, Witari! Namun, biarlah. Agar kau lebih percaya diri, ilmu 'Urai Raga' ku
yang semula tak akan kuturunkan pada orang lain, akan kuberikan padamu. Bahkan
aku berkenan untuk menambah
tenaga dalammu! Sekarang duduklah bersila di
hadapanku pada jarak tiga tombak!"
Witari cepat melaksanakan perintah gu-
runya. "Ingat, Witari. Apa pun yang kau rasakan, jangan melakukan tindakan apa
pun! Mengerti"!"
Witari mengangguk.
Eyang Sangga Langit duduk bersila. Sepa-
sang matanya dipejamkan. Jari-jari tangannya
yang terbuka lurus, dirangkapkan di depan dada.
Sesaat kemudian sekujur tubuhnya menggigil se-
perti terkena demam tinggi. Dan perlahan-lahan, sinar kebiruan melingkupi
tubuhnya. Getaran di tubuh Eyang Sangga Langit se-
makin menghebat membuat tubuhnya terlonjak-
lonjak ke atas seperti hendak melayang ke udara.
Kemudian dengan gerak menghentak, kedua ja-
rinya yang masih dirangkapkan ditusukkan ke de-
pan. Saat itu juga, selarik sinar kebiruan meluncur ke arah tubuh Witari. Ketika
mengenai tubuhnya, gadis itu merasakan bagian pusarnya bergo-
lak. Terasa ada sesuatu yang berputar keras di
bawah pusarnya! Sehingga membuat tubuh Witari
terguncang-guncang.
Di lain pihak, Eyang Sangga Langit dengan
gerakan cepat menarik kembali kedua tangannya
ke depan dada. Berbareng dengan itu, kakek ini
segera meniup! Untuk kedua kalinya Witari terperanjat Se-
mua bulu tubuhnya mendadak meremang, ketika
gurunya meniupkan angin dari mulutnya. Aneh-
nya, guncangan pada tubuhnya segera terhenti.
Namun, putaran keras di bawah pusarnya tetap
berlanjut. "Sekarang kau telah memiliki ilmu 'Urai Ra-ga', Witari. Dengan demikian aku
tidak memiliki ilmu itu lagi, setelah kuberikan padamu. Sebenarnya, ilmu itu
harus kau dapatkan sendiri melalui
perjuangan panjang. Bertahun-tahun, bahkan
mungkin belasan tahun! Itu pun belum tentu ber-
hasil! Namun karena kau membutuhkannya seca-
ra mendesak, tak ada jalan lain kecuali memberikan ilmu itu dengan jalan
singkat. Dan untuk
memilikinya lagi, aku harus belajar dari awal," jelas Eyang Sangga Langit sambil
mengusap peluh yang membasahi dahinya dengan punggung tan-
gan. Witari tidak menanggapi. Dia masih takjub merasakan pergolakan aneh di
bawah pusar bagian dalam.
"Sekarang, aku akan mengoperkan tenaga
dalam yang kumiliki agar tenaga dalammu ber-
tambah tinggi!"
Tanpa banyak cakap, Witari mendekati gu-
runya, duduk bersila membelakangi.
"Buka semua jalan darahmu. Jangan men-
gadakan perlawanan," tambah kakek kecil kurus itu, sebelum menempelkan kedua
telapak tangannya pada punggung Witari.
Mula-mula, Witari merasakan hawa hangat
mengalir dari kedua telapak tangan gurunya. Te-
tapi semakin lama, semakin panas. Sehingga,
membuat keringat sebesar butir-butir jagung
menghias wajah dan sekujur tubuhnya.
Setelah cukup lama, akhirnya Eyang Sang-
ga Langit melepaskan tangannya dari punggung
Witari. Dan, dia langsung duduk bersemadi untuk memulihkan tenaganya yang
terkuras. Namun, ba-ru beberapa kali Eyang Sangga Langit memulihkan
pernapasannya, mendadak terdengar gelak tawa
yang keras di dekatnya. Tawa gembira bernada penuh kepuasan.
Seketika, Eyang Sangga Langit membuka
matanya. Wajahnya langsung pias ketika melihat
sosok di depannya. Kini, Witari telah berdiri berka-cak pinggang sambil tertawa!
Sikapnya sungguh
mengejutkan! Dan lebih terkejut lagi ketika mendengar jenis suara itu. Karena
suara itu bukan da-ri mulut wanita. Tapi dari seorang lelaki!
"Siapa kau..."! Jangan katakan kalau kau
Witari!" seru Eyang Sangga Langit, terkejut. Namun sebagai tokoh dunia
persilatan yang sudah
banyak pengalaman, dia langsung tahu kalau so-
sok yang berdiri di hadapannya pasti bukan Wita-ri.
"Kau cukup cerdik, Tua Bangka Bau Ta-
nah!" maki Witari palsu dengan sombong. Sikapnya terlihat memandang rendah
sekali. "Aku memang bukan Witari! Tapi, kecerdikan mu terlam-
bat! Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Ingin kulihat, pentolan-pentolan dunia
persilatan memandang Eyang Sangga Langit yang terkenal sakti tan-pa tanding,
akhirnya tewas secara menyedihkan!
Tewas karena tertipu! Apalagi bila mereka tahu kalau sebelumnya Eyang Sangga
Langit telah berzinah dengan muridnya sendiri! Ha ha ha...!"
"Keparat!" umpat Eyang Sangga Langit penuh kegeraman.
Kini lelaki tua berbaju kuning ini menyada-
ri, pasti Witari palsu inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan perzinahan
itu. "Kau boleh mati penasaran, Kakek Peot! Ka-
rena sekarang juga, kau akan mati di tanganku!"
Eyang Sangga Langit bukan orang bodoh!
Dia tahu, saat ini keadaannya tidak menguntung-
kan. Ilmu andalannya kini telah dimiliki Witari palsu. Bahkan, sebagian besar
tenaga dalamnya
telah terkuras! Sehingga, sekarang tenaganya jauh berkurang! Di lain pihak,
Witari palsu telah memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Apabila melakukan
perlawanan, tentu akan membuang nyawa sia-sia.
Dan, Eyang Sangga Langit tidak ingin hal itu terjadi.
Maka sebelum orang yang menyamar seba-
gai Witari itu membunuhnya, Eyang Sangga Langit lebih dulu melempar tubuhnya ke
belakang, bergulingan mendekati dinding ruangan.
Sementara Witari palsu yang melihat gelagat
tidak sewajarnya, segera mengejar. Langsung di
siapkan serangannya.
Tetapi, tindakan Witari palsu terlambat. Ke-
tika tangan Eyang Sangga Langit menyentuh salah satu tonjolan batu, dinding itu
terkuak sedikit, membelah celah. Dan itu cukup untuk tubuh
Eyang Sangga Langit masuk ke dalam ruangan di
sebelahnya. Ketika Witari palsu hendak menyusul ma-
suk, dinding itu segera tertutup kembali.
Lelaki yang menyamar sebagai Witari ini
mencoba mendorong tonjolan batu yang tadi dige-
rakkan Eyang Sangga Langit. Namun dinding itu
tidak bergeming sedikit pun.
Witari palsu tahu, tidak ada gunanya lagi
berusaha. Pasti Eyang Sangga Langit telah menu-
tup dinding gua dengan alat rahasia dari ruangan sebelah. Kalau menuruti
perasaan, lelaki yang menyamar sebagai Witari ini dapat memukul hancur
dinding itu. Tetapi karena khawatir atap gua akan runtuh dan dapat menyebabkan
tubuhnya terku-bur hidup-hidup, maka maksudnya diurungkan.
Dan dengan perasaan dongkol, dia segera melesat keluar gua.
*** 2 Seorang lelaki tinggi besar, berotot dan ber-
wajah kasar tengah melangkah lebar melintasi
hamparan tanah yang penuh daun kering dan
ranting kering bertebaran. Demikian banyaknya,
sehingga permukaan tanah hampir tidak terlihat
Setiap kaki besar dan kokoh itu menjejak, selalu menginjak daun serta ranting
kering. Anehnya sedikit pun tidak terdengar bunyi yang ditimbulkannya. Ini
pertanda kalau lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat.
Lelaki itu berusia sekitar enam puluh ta-
hun. Tubuhnya hanya tertutup selembar celana
sebatas lutut. Bulu-bulu hitam dan lebat menghia-si bagian dadanya yang
telanjang. Di bahunya,
terpanggul sebatang kapak bermata tumpul dan
bertangkai panjang.
Dengan langkah-langkah agak bergegas, le-
laki tinggi besar ini seperti tak mempedulikan me-
dan yang ditempuhnya. Ayunan kakinya baru ber-
henti, ketika sampai di hadapan sebatang pohon
besar berukuran empat kali pelukan orang dewa-
sa! Ditatapnya pohon itu sejenak. Lalu, kapaknya segera diayunkan. Cras!
Hanya sekali tebas, pohon itu terpapas! Ba-
gian yang terkena babatan kapak tumpul seperti
tertebas senjata amat tajam.
Sebelum pohon yang tumbang menghantam
tanah, lelaki tinggi besar itu kembali mengayunkan kapaknya.
Cras! Cras! Cras!
Tidak hanya sekali. Hampir bersamaan ter-
dengar bunyi menderu disusul bunyi riuh.
Ketika lelaki ini meletakkan kapaknya kem-
bali di tempat semula, di depannya telah tertumpuk. potongan kayu sebesar lengan
sepanjang tiga kaki. Beberapa kayu itu pun licin, seakan telah diserut lebih
dulu oleh mata ketam.
Ada beberapa tumpukan kayu di sebelah
kanan. Sementara agak jauh di sebelah kiri, berserakan daun-daun ranting yang
berkelompok, bagai ditata tangan terlatih yang tidak tampak.
"Tidak jelek..., tidak jelek...!"
Mendadak terdengar suara lantang dan
nyaring begitu lelaki tinggi besar itu menyelesaikan pekerjaannya. Tapi dia
tetap diam di tempatnya.
Tidak merasa terkejut, bahkan tak menoleh ke
arah asal suara.
"Seperti lima tahun yang lalu, permainan
kapak pemenggal ayam masih tetap lumayan! Ti-
dak percuma kau berjuluk Raksasa Kapak Maut!"
lanjut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus, yang tahu-tahu sudah berada di
depan lelaki tinggi besar yang ternyata berjuluk Raksasa Kapak Maut.
"Tidak usah banyak bicara, Manusia Kerdil!
Sejak dulu mulutmu selalu usil! Dasar bawel!" sahut Raksasa Kapak Maut dengan
suara menggun- tur sambil berbalik.
"Ha ha ha...! Kau makin jadi pemarah saja, Manusia Kerbau!" ledek kakek kecil
kurus. Demikian kecil dan kurus tubuhnya, lebih mirip bocah berusia sembilan
tahun yang kelaparan. "Kau ta-hu, orang pemarah cepat tua. Sebaliknya jika kita
sering tertawa, akan awet muda. Apalagi bila sering bermain tebak-tebakan! Kau
tahu, tebak- tebakan itu menunjukkan kepintaran seseorang!
Biar kecil begini, aku yakin lebih pandai dibanding otakmu, Manusia Kerbau!
Kalau kau ingin bukti,
mari kita bermain tebak-tebakan! Tapi, tentu saja kalau kau berani...."
"Mengapa tidak, Tuyul Bertenaga Raksa-
sa"!" sahut Raksasa Kapak Maut cepat, terbakar amarahnya karena tantangan kakek
kecil kurus yang telah meremehkannya. "Ayo, keluarkan tebakan mu!"
Kakek kecil kurus berjuluk Tuyul Bertenaga
Raksasa tersenyum. Sikapnya kelihatan
meremehkan sekali. Dia yakin akan kemampuan-
nya. "Ada seorang ibu, memiliki tubuh yang besar dan gemuk. Bahkan lebih besar
daripada tu- buhnya. Karena suatu keperluan, dia bertandang
ke rumah saudaranya. Karena satu hal, dia ter-
paksa menginap di rumah saudaranya itu. Sialnya, saudaranya orang yang miskin
hingga hanya mempunyai satu tempat tidur. Itu pun berukuran
kecil, karena memang untuk anaknya yang beru-
mur delapan tahun. Demi rasa hormat maka sau-
daranya memberi tempat tidur itu untuknya. Se-
dangkan anaknya di suruh tidur di lantai. Tentu saja, ibu yang gemuk itu
kebingungan. Bagaimana caranya dia bisa tidur di tempat yang sekecil itu"
Nah! Pertanyaannya, bagaimana ibu yang gemuk
itu tidur"!" ujar Tuyul Bertenaga Raksasa.
Alis Raksasa Kapak Maut berkernyit. Dia
berpikir keras untuk bisa menjawab. Namun sam-
pai dahinya berkeringat, belum ditemukan jawa-
bannya. "Bagaimana, Manusia Kerbau"! Sudah....
Lebih baik menyerah saja"!" ejek Tuyul Bertenaga Raksasa memanas-manasi.
"Menyerah"!" ulang Raksasa Kapak Maut keras dengan sepasang mata dibelalakkan.
"Tidak akan! Pertanyaan itu demikian mudah untuk kujawab. Mengapa mesti
menyerah"! Jawabannya,
ibu itu harus meringkuk untuk bisa tidur! Betul, kan"!" "Salah!" sanggah Tuyul
Bertenaga Raksasa sambil melompat-lompat kegirangan, seperti anak kecil mendapat
mainan. "Tidak mungkin!" tukas Raksasa Kapak
Maut, berkeras dengan jawabannya. "Mengapa tidak"! Hanya itu jalan satu-satunya
untuk bisa tidur! Sebab, tak mungkin tubuhnya terbujur di
tempat sekecil itu?"
"Apa pun alasannya, yang jelas itu bukan
jawabannya, Manusia Kerbau!"
"Kalau begitu..., apa jawabannya, Kerdil Licik"! Aku yakin kau hanya mengakaliku
saja!" ser-gah Raksasa Kapak Maut, tidak mau kalah.
"Meram!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa, tersenyum atas kemenangan.
"Lho..."!" Raksasa Kapak Maut melongo.
"Jawabanmu tak masuk akal, Manusia Kerdil!"
"Apa yang tidak masuk akal"! Bukankah
yang kutanyakan, bagaimana tidur ibu gemuk itu"
Tentu saja jawabannya meram. Mana mungkin
orang tidur matanya tidak meram"! Satu-kosong!"
jawab Tuyul Bertenaga Raksasa mempertahankan
jawabannya. "Baik. Aku mengaku kalah. Dan, sekarang
giliranku mengajukan pertanyaan. Karena kau
mengajukan pertanyaan yang bersifat akal-akalan, maka aku pun akan meladeni mu!"
kata Raksasa Kapak Maut penasaran. "Nah, sekarang jawab per-tanyaanku. Ayam apa
yang keluar pada malam ha-
ri"! Ayo, tebak!"
"Ayam yang ada keperluan! Ha ha ha...! Be-
tul kan..."!" jawab kakek Tuyul Bertenaga Raksasa cepat, disertai tawa bergelak.
Menertawakan lelaki tinggi besar yang terdiam begitu pertanyaannya
terjawab. "Apa pun pertanyaan yang kau ajukan, akan bisa kujawab, Manusia


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerbau! Kau tahu,
aku paling pandai bermain tebak-tebakan!"
"Peduli amat! Itu bukan urusanku!" dengus Raksasa Kapak Maut, ketus. "Sekarang
apa mak- sudmu mengintai pekerjaanku?"
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah merasa paling sakti setelah bisa menebang pohon
seperti itu"!
Apa maumu, Raksasa Jelek"! Bertarung"!" tandas Tuyul Bertenaga Raksasa.
Tuyul Bertenaga Raksasa lalu melangkah
mendekati Raksasa Kapak Maut. Mereka kini ber-
diri berhadapan dalam jarak sekitar delapan tombak. Tempat mereka berada, memang
cukup aneh. Di belakang Raksasa Kapak Maut adalah hutan
belantara yang tanahnya tertutupi daun dan ranting yang berserakan. Sementara
sekitar satu tombak di belakang Tuyul Bertenaga Raksasa terdiri dari batu padas
yang amat keras. Tampak lubang
sedalam betis, setiap kali kakek kecil kurus itu melangkah! Padahal kakinya
tidak menjejak sama
sekali. "Ooo, kau ingin memamerkan julukan Tuyul Bertenaga Raksasa rupanya,"
ejek Raksasa Kapak Maut disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa tertawa renyah.
Baginya tidak ada hal yang terlalu dipusingkan.
Sebab, setiap masalah selalu membuat hatinya
gembira. Sesuai dengan wataknya yang selalu ber-gembira dalam menghadapi
persoalan. Menurut-
nya, hidup di dunia ini hanya sebentar. Lantas bila tidak diisi hal-hal yang
menggembirakan, untuk
apa" Begitu saling berhadapan dalam jarak sekitar satu tombak, baru terlihat
perbedaan mencolok antara Raksasa Kapak Maut dengan Tuyul Berte-
naga Raksasa. Di hadapan Raksasa Kapak Maut, Tuyul
Bertenaga Raksasa terlihat begitu ringkih dan lemah. Yang jelas, bagaikan seekor
ayam berdiri di depan seekor gajah! Rasanya, hanya dengan ti-upan pun Tuyul
Bertenaga Raksasa akan roboh ke
tanah. Kedua tokoh sakti ini telah saling berpandangan, laksana sepasang dua
ekor ayam jago yang siap tarung. Sepasang mata mereka telah saling menyorot, sama-sama tajam
dan menggiriskan.
Tapi sebelum saling gebrak, pendengaran
dua tokoh yang sama-sama luar biasa tajam itu
menangkap adanya gerakan langkah kaki yang
menuju ke tempat ini. Perhatian Raksasa Kapak
Maut langsung di arahkan ke depan. Sedangkan
Tuyul Bertenaga Raksasa berbalik arah. Pandan-
gannya langsung di layangkan ke belakang.
"Celaka...!" seru Raksasa Kapak Maut Suaranya keras bercampur kaget dan geram.
Sepasang matanya mendelik pada Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Mengapa kau tinggalkan pos penjagaan
mu, Kerdil"! Tidakkah kau lihat ada orang yang
menuju ke tempat ini"! Bila Tuan Besar tahu, ma-ka kau akan digencet! Sehingga
kau jadi lebih kecil dan kurus daripada sekarang!"
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terlihat pu-
cat-pasi. Sebentar saja, karena kakek kecil kurus ini tahu-tahu tertawa. Tapi,
nadanya jelas jauh berbeda daripada sebelumnya. Kendati tertawa, sinar matanya
menyiratkan ketakutan dan kecema-
san. Rupanya, ancaman Raksasa Kapak Maut
mempunyai pengaruh besar!
"Kurasa bukan hanya aku saja yang mene-
rima hukuman Tuan Besar! Kau pun juga akan
mendapat hukuman, Kerbau! Lihat dirimu! Kau
pun meninggalkan pos penjagaan mu. Jadi, kita sama-sama bersalah! Bahkan aku
yakin kesalahan
yang kau perbuat jauh lebih besar! Kaulah yang lebih dulu meninggalkan pos
penjagaan, hingga
aku terpengaruh. Toh, kupikir keadaan akan
aman-aman saja!" Tuyul Bertenaga Raksasa tak mau kalah gertak. "Ha ha ha...!"
Raksasa Kapak Maut tertawa bergelak,
sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang.
Kelihatan gembira sekali.
"Kau mau mengakali ku, Kerdil"! Tak bisa!
Lihatlah perbedaan kita! Meskipun aku mening-
galkan pos penjagaan, namun tidak ke arah da-
lam. Sehingga bila ada orang yang masuk, akan
bertemu lebih dulu denganku! Sedangkan kau, ju-
stru sebaliknya. Dan sekarang ada orang yang
mampu melewati pos mu. Bahkan sekarang ham-
pir tiba di batas penjagaan ku!"
Tuyul Bertenaga Raksasa tidak menyahuti.
Disadari kalau dirinya salah dan hanya ingin mengakali Raksasa Kapak Maut. Namun
tak disangka, lelaki bertubuh tinggi besar ini mampu balik me-
ngakalinya. Maka tanpa banyak cakap lagi Tuyul Berte-
naga Raksasa melesat ke arah tempatnya menjaga.
Dan sebentar saja, dia sudah bertemu seseorang
tengah melewati pos penjagaan yang berupa dua
batu sebesar rumah yang diletakkan bersebelahan,
dengan celah selebar dua setengah tombak.
"Tahan langkahmu, Nona Cantik...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa langsung meng-
hadang sosok yang telah belasan tombak, melewati pos yang dijaganya.
Sosok itu ternyata seorang gadis berpakaian
kuning cerah. Usianya sekitar dua puluh tahun.
Langkahnya terpaksa dihentikan, karena jalannya terhalang. Gadis berwajah cantik
dan berkulit putih mulus ini cemberut, menandakan ketidakse-
nangan hatinya.
Namun, sesaat kemudian, kemuraman ga-
dis itu sirna. Sepasang matanya bersinar-sinar.
Senyumnya tersungging, memperlihatkan lesung
pipit di kedua pipinya.
Tuyul Bertenaga Raksasa adalah orang yang
memiliki watak periang dan senang menggoda
orang. Dan sesuai pengalamannya, dia tahu kalau gadis di hadapannya ini memiliki
watak sama dengannya. Sinar mata gadis itu adalah sinar mata
orang yang gemar menggoda orang lain.
"Hey...! Siapa kau, Adik Kecil"! Mengapa berada di sini"! Enak-enakan kau
bermain di sini!
Tak tahukah, kalau sekarang orangtua mu sedang
gelisah mencarimu"! Lekas pulang!" seru gadis berbaju kuning dengan sikap
memarahi. Lagaknya
seperti orang dewasa tengah menasihati seorang
anak kecil yang nakal.
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa langsung
merah padam. Memang, meski pandai berdebat,
dia mempunyai kelemahan juga. Dia paling tidak
suka kalau kekurangannya diungkit-ungkit orang
lain. Ejekan yang dianggap kelewatan itu mem-
buat Tuyul Bertenaga Raksasa berniat untuk
membalas. Sebagai tukang mengejek, lelaki tua
bertubuh kecil ini tentu saja tidak ingin mengalah begitu saja! Akan jatuh nama
besarnya sebagai ja-go ejek!
"Memang kuakui, tubuhku seperti anak ke-
cil! Tapi menurutku, ini justru menguntungkan.
Karena, senantiasa aku terlihat awet muda. Dan
yang lebih penting, hampir tidak pernah terserang penyakit Sedangkan kau,
cantik-cantik tapi mempunyai penyakit bisul!"
Gadis berpakaian kuning tertawa mengejek.
"Kalau memang benar aku terkena penyakit
bisul, coba tunjukkan!" tantang gadis itu, dia yakin Tuyul Bertenaga Raksasa
hanya sekadar berbo-hong. "Ah...!" seru Tuyul Bertenaga Raksasa, berpura-pura
kaget. "Semuda ini sudah pikun"! Bi-sulmu rupanya sudah amat parah, Nona Cantik.
Karena telah demikian besar. Yang lebih gawat lagi bisulnya ada dua! Aku tak
habis pikir, mengapa
kau tak berusaha mengobatinya" Bahkan malah
disembunyikan. Kau pikir orang tidak tahu?"
"Kakek gila!" bentak gadis berpakaian kuning tidak bisa menahan kemarahannya
lagi. Ru- panya kendati suka menggoda orang lain, dia tidak suka digoda. "Buktikan
kebenaran mulutmu yang busuk itu! Tunjukkan, di mana adanya bisul itu!"
"He he he...!"
Tawa kakek kecil kurus mulai terdengar la-
gi. Dia yakin, ejekan terakhirnya yang dilancarkan telah memancing amarah gadis
itu. "Masihkah kau tidak bisa melihatnya, Nona
Cantik"! Itu yang menggantung di bagian dadamu
itu. Apa lagi kalau bukan bisul"!"
"Keparat!"
Gadis berpakaian kuning itu menggeram
marah. Ejekan tadi sudah cukup membuatnya
murka karena malu, tersinggung, dan marah. Dan
kini kakek itu masih menambahi dengan tudin-
gannya. Yang mengarah ke arah buah dada gadis
itu! "Kuhancurkan mulutmu yang bau busuk
itu!" Disertai amarah menggelegak, gadis berpakaian kuning itu melepaskan
tendangan kaki ka-
nannya lurus ke arah mulut Tuyul Bertenaga Rak-
sasa. Namun, hanya menggeser kakinya ke bela-
kang, kakek itu telah berhasil mengelakkan serangan. "Eit! Sayang tak kena...!
Kakimu kurang panjang, Nona Cantik Berbisul Besar! Ha ha ha...!
Sekarang kau harus mengakui kelebihanku dalam
hal mengejek! Ha ha ha.... Tidak ada seorang pun yang mampu menang bermain ejek-
ejekan dengan ku!" kata Tuyul Bertenaga Raksasa, pongah. "Am-brol perutmu...!"
Kata-kata Tuyul Bertenaga Raksasa dijawab
gadis itu dengan serangan susulan lewat kaki kanan ke arah perut. Namun, lagi-
lagi hanya bergerak sembarangan, Tuyul Bertenaga Raksasa ber-
hasil menangkap pergelangan kaki gadis itu. Bah-
kan begitu disentakkan, tubuh gadis berpakaian
kuning terlempar jauh ke belakang!
Untung saja, gadis berpakaian kuning itu
cepat bersalto beberapa kali di udara. Begitu kakinya menjejak tanah,
diterjangnya Tuyul Bertena-ga Raksasa kembali dengan tendangan berantai.
"Hukh... uh... ukh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa batuk-batuk sebe-
lum serangan gadis berpakaian kuning tiba. Tam-
paknya batuk yang berat, sampai-sampai tubuh-
nya terbungkuk-bungkuk.
Sementara saat itu, tendangan berantai ga-
dis berpakaian kuning tengah meluncur. Kepala
Tuyul Bertenaga Raksasa yang menunduk ke de-
pan akibat batuk hebat tampaknya akan menjadi
sasaran empuk. Tapi, sebelum kepala Tuyul Bertenaga Rak-
sasa terhantam, gadis berpakaian kuning merasa-
kan ada getaran keras pada bagian dalam da-
danya! Getaran yang mampu membuat tubuhnya
lemas, karena tenaganya lenyap begitu saja! Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. Tuyul Bertenaga Raksasa berdiri tegak se-
perti semula. Batuk hebat yang menyerangnya
berhenti. Batuk itu memang bukan batuk penya-
kit, melainkan batuk yang sengaja dibuat untuk
melancarkan serangan tenaga dalam.
Bagi orang sesakti Tuyul Bertenaga Raksa-
sa, batuk buatannya tak kalah geraman seekor harimau yang paling perkasa
sekalipun! Padahal, geraman harimau saja sudah cukup melumpuhkan
nyali manusia atau binatang mangsanya.
Di lain pihak, gadis berpakaian kuning jadi
geram. Tenaga dalamnya berusaha keras untuk
disalurkan kembali. Setelah berhasil, dia bersiap melancarkan serangan.
Gadis yang memiliki watak keras hati ini
sama sekali tidak merasa takut, meskipun tahu
kalau kakek di hadapannya ini memiliki kepan-
daian yang luar biasa!
"Cukup, Nona Cantik!" seru Tuyul Bertenaga Raksasa penuh wibawa, tidak berguyon
seperti sebelumnya.
"Siapakah kau sebenarnya..." Apa maksud
mu datang kemari"! Apa hubunganmu dengan
Janggara, pemilik ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'?"
"Apa urusanmu"!" sambut gadis berpakaian kuning. kasar tidak terlihat rasa takut
sedikit pun. "Tentu saja ada urusannya denganku, Nona
Cantik! jawab Tuyul Bertenaga Raksasa,
berkilah. *** 3 Tuyul Bertenaga Raksasa menatap wajah
gadis berpakaian kuning di hadapannya penuh se-
lidik. Sedikit pun tidak terlihat adanya senyum.
Apalagi bercanda.
"Pertama, kau telah lancang memasuki wi-
layahku. Maka aku berhak tahu maksud kedatan-
gan mu kemari. Kedua, kau menggunakan ilmu
'Tendangan Angin Puyuh' untuk menyerangku.
Padahal, aku tahu pasti pemiliknya. Karena jan-
gan-jangan kau mencuri ilmu itu!"
Merah padam wajah gadis berpakaian kun-
ing itu. "Apa boleh buat," desah gadis berpakaian kuning itu. "Aku Anjani.
Kedatanganku kemari atas permintaan guruku. Dengan petunjuknyalah
aku bisa berada di tempat ini."
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terperan-
gah. Kelihatan tegang bukan kepalang.
"Berarti..., kau murid Janggara! Hanya dia yang memiliki ilmu 'Tendangan Angin
Puyuh'. La-lu, apakah kedatanganmu kemari ingin mencuri
pusaka lainnya dan tempat suci yang kami jaga, seperti yang pernah dilakukan
gurumu"!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu, Kerdil!"
bentak gadis berpakaian kuning yang mengaku
bernama Anjani, murid Janggara marah. "Guruku tidak sejahat itu!"
"Ho ho ho...! Lucu.... Lucu sekali! Seorang yang paling goblok pun tak akan
mempercayai ka-ta-katamu. Dengarkan baik-baik, Nona Manis Be-
rotak Udang"! Dulu gurumu tengah sekarat, ketika ditemukan Tuan Besar kami.
Kemudian dia dira-wat sampai sembuh. Malah juga diajarkan ilmu silat. Namun
sebagai balasannya.... apa yang kau
tahu, Anak Manis"!"
"Aku tahu," Anjani mengangguk. "Beliau telah menceritakan semuanya padaku. Waktu
kabur dari tempat ini, beliau mencuri sebuah pusaka.


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah guci perak murni luar biasa, yang mampu
membuat arak yang paling lemah, menjadi arak
keras. Bahkan mampu membuat arak ataupun air
yang berada di dalamnya, menjadi penawar racun
yang ampuh!"
"Nah! Kau tahu sendiri kebusukan gurumu!
Namun, masih tak senang, kalau kukatakan dia
jahat! Bagaimana ini"!" Tuyul Bertenaga Raksasa heran. "Karena tuduhan jelek mu,
atas niat baiknya. Kedatanganku kemari dengan susah payah
sekadar untuk memenuhi amanat guruku! Beliau
memintaku untuk mengembalikan kitab-kitab
yang pernah dicurinya, dari tempat ini. Dan sekaligus, akan memberitahukan
tempat guci pusaka
itu berada," jelas Anjani penuh semangat.
Tuyul Bertenaga Raksasa mengangguk-
anggukkan kepalanya setelah tercenung sejenak.
"Aku tak bisa memberi keputusan. Lebih
baik sampaikan sendiri pada Tuan Besar. Silakan, kau berjalan lurus. Nanti
Raksasa Jelek yang ada di sana, akan mengantarmu sampai menemui
Tuan Besar," jelas Tuyul Bertenaga Raksasa.
Dengan sikap gagah, Anjani melangkah me-
nuju tempat Raksasa Kapak Maut berada. Gadis
cantik ini sadar, dirinya telah masuk ke tempat yang berbahaya. Tempat yang
dijaga manusia ker-dil berjuluk Tuyul Bertenaga Raksasa saja sudah menjalani
kesulitan. Apalagi harus menghadapi lelaki yang berjuluk Raksasa Kapak Maut.
Pikiran- pikiran mengerikan, mendadak menghantui hati
Anjani. Namun, gadis berpakaian kuning yakin,
bahwa Janggara gurunya tidak akan bertindak
sembrono. Tentu dia telah memperhitungkan sega-
la kemungkinan yang muncul.
*** "Celaka...!"
Satu seruan kaget, mendadak meluncur da-
ri mulut seorang kakek tinggi kurus berwajah tirus, ketika melihat permukaan air
berada dalam sebuah bak kayu, bergelombang keras. Daun sirih di atasnya tampak terombang-
ambing. Padahal, tidak ada seorang pun yang mengguncang-
guncangkannya. Permukaan air yang bergolak he-
bat itu terjadi dengan sendirinya, seperti diaduk-aduk tangan tak nampak!
"Anjani.... Apa yang terjadi padamu,
Nak..."!"
Kakek berwajah tirus berusia enam puluh
tahun ini bergegas bangkit dengan sikap gelisah.
Pakaian longgarnya berwarna coklat diketatkan la-gi dengan mengencangkan
sabuknya. Tindakan itu
dilakukannya dengan pandangan masih tertuju
pada bak kayu yang airnya semakin bergolak.
Kemudian, kakek ini bergegas melangkah
keluar. Hanya sekali ayunan kaki, dia telah berada di luar halaman gubuknya.
Sebuah gubuk yang le-taknya tersembunyi, tertutup pohon-pohon besar
di sekelilingnya.
Kakek ini menatap ke arah gubuknya. Ke-
mudian tubuhnya berbalik bersiap meninggalkan
tempat itu. Namun, mendadak maksudnya di-
urungkan. Sebab, pendengarannya yang tajam
menangkap suara mencurigakan. Segera saja pan-
dangannya beredar ke sekeliling. Kini, pandangannya terpatri pada jajaran pohon
dan semak-semak rimbun di depannya.
"Kalian yang berada di persembunyian, ha-
rap keluar! Kalau ada urusan denganku, mari kita selesaikan! Sebab aku sedang
ada urusan lain!"
bentak kakek itu lantang.
Tak lama kemudian, semak-semak di seki-
tarnya terkuak, diiringi bunyi gemerasak. Dan dari sekeliling tempat itu, muncul
beberapa sosok dengan sikap mengancam! Di tangan masing-masing
tampak tergenggam senjata terhunus.
"Setelah bertahun-tahun, akhirnya persem-
bunyian mu dapat kami temukan juga, Janggara!"
seru seorang lelaki berkepala botak yang muncul dari sebelah kiri. Wajahnya
bercambang bauk lebat. Sepasang gada berduri yang tergenggam di
tangannya diayun-ayunkan secara menggiriskan.
"Kami datang ingin membuat perhitungan.
Karena, kau telah membunuh sahabatku yang ber-
juluk Banteng Gila!" sambung seorang lelaki bertubuh kurus seperti singa
kelaparan. Dia muncul dari depan. Ganco di tangan kanannya, ditudingkan ke wajah
kakek berwajah tirus yang ternyata bernama Janggara.
"Demikian pula denganku, Janggara," selak seorang yang bertubuh pendek kekar
dengan rompi merah. Kulitnya pun merah. Sekujur tubuhnya
dipenuhi bulu-bulu halus. Dia muncul dari sebe-
lah kanan. Senjata cluritnya diacung-acungkan.
Tatapan Janggara beralih pada lelaki be-
rompi merah. "Kurasa kau masih ingat padaku. Saudara-
ku mati di tanganmu, Janggara!" tambah lelaki bersenjata clurit ini.
Janggara tetap tenang. Dia tidak bergeming
dari tempatnya, kendati tiga orang sangar itu
mendekatinya. Dan memang sudah mengenal to-
koh berompi merah yang terakhir bicara. Dia adalah Singa Berbulu Merah.
Sedangkan saudaranya
yang tewas di tangan Janggara berjuluk Singa
Berbulu Putih. "Aku memaklumi alasan kalian mencariku.
Percayalah, aku tidak akan menghindar. Tapi se-
perti yang kukatakan tadi, saat ini aku sedang ada urusan lain yang lebih
penting. Jadi kuminta pengertian kalian untuk menunda masalah ini, sam-
pai urusanku selesai!" ujar Janggara.
"Ha ha ha...!"
Lelaki botak bersenjata sepasang gada yang
sebenarnya berjuluk Setan Botak, tertawa berge-
lak. Nadanya terdengar menghina sekali.
"Kau kira kami ini sekumpulan bocah bo-
doh, yang begitu saja dapat dikelabui" Aku tahu.
Urusan yang kau maksudkan itu tentu untuk me-
loloskan diri lagi dari kejaran kami!" ejek Setan Botak. "Lucunya lagi," sambung
lelaki bersenjata ganco yang berjuluk Pengais Nyawa! Suaranya me-ringkik,
seperti kuda. "Dia meminta pengertian ki-ta. Padahal sewaktu membunuh sahabatku,
Ban- teng Gila, tidak pernah meminta pengertian terle-
bih dulu. Dasar licik!"
"Kurasa ada baiknya, kita dengar dulu apa
kemauannya. Aku ingin tahu, akal bulus apa lagi yang akan digunakan untuk
meloloskan diri dari
tangan kita," usul Singa Berbulu Merah.
"Aku tidak bermaksud licik dengan melari-
kan diri dari kalian. Urusan yang ku maksud adalah mengenai muridku. Saat ini,
dia tengah dalam bahaya. Kalau aku tidak cepat menolongnya,
mungkin akan mati. Maka kuminta kalian mem-
biarkanku pergi untuk menyelamatkan nyawanya.
Percayalah! Setelah itu, aku bersedia menerima
semua hukuman dari kalian tanpa melawan sedi-
kit pun. Anggap saja, ini balas budi atas kebaikan kalian yang mau memenuhi
permintaanku!"
"Apa urusannya dengan kami..."!" selak Setan Botak tak sabaran. "Mau muridmu itu
mati, kek. Celaka, kek! Tidak ada hubungannya dengan
kami! Bahkan kalau perlu, sebelum membunuh-
mu, muridmu dulu yang akan kami siksa! Biar ta-
hu rasa, sakitnya hati akibat kehilangan orang
yang dicintai karena dibunuh orang!"
"Kalau begitu..., kalian lebih dulu yang akan kusingkirkan!"
Janggara sadar, tidak ada gunanya lagi ber-
bicara panjang lebar dengan tokoh-tokoh sesat ini.
Dan dia tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Maka dengan lompatan yang sempurna, tubuhnya
melesat menerjang lelaki berjuluk Pengais Nyawa!
Sementara, sejak tadi lelaki kurus kering itu
rupanya telah bersiap diri. Datangnya serangan ini tidak membuatnya gugup.
Matanya sempat meli-
hat sekelebatan sinar menyilaukan dari golok panjang di tangan Janggara, yang
membabat ke arah
leher. Maka, segera ganconya diangkat untuk me-
nangkis sekaligus membelit Wut..! Trak!
Tubuh Pengais Nyawa terjajar beberapa
langkah ke belakang, karena kuatnya tenaga da-
lam Janggara. Kendati demikian, golok kakek berwajah tirus itu berhasil dijepit
ganconya. Janggara tidak sudi membiarkan senjatanya
terjepit. Maka segera dilancarkan serangan susulan berupa tendangan kaki kanan
ke arah dada, sehingga memaksa Pengais Nyawa membebaskan
jepitannya. Deb! Pengais Nyawa cepat melompat ke belakang,
langsung melepaskan jepitannya.
Dan sebelum Janggara sempat melancarkan
serangannya lagi, Setan Botak dan Singa Berbulu Merah tidak tinggal diam. Mereka
tahu, Janggara terlalu kuat jika dihadapi seorang diri.
Maka hampir berbareng, kedua tokoh sesat itu
mengeroyok. "Hiyaaa...!"
Serbuan ini memaksa Janggara untuk
membatalkan serangan terhadap Pengais Nyawa.
Sesaat kemudian, dia sudah sibuk meladeni pen-
geroyokan tiga orang tokoh sesat ini.
Janggara memang luar biasa! Meskipun pa-
ra pengeroyok berkepandaian tinggi, namun mam-
pu dihadapinya seorang diri. Bahkan sempat me-
lancarkan serangan batasan yang tak kalah dah-
syat! Setelah tiga puluh jurus kemudian, Jangga-
ra baru mulai terdesak. Sinar goloknya yang semu-la bergulung membentuk
lingkaran sinar yang le-
bar, mulai menyempit Serangan-serangannya yang
semula gencar semakin berkurang. Hanya menge-
lak dan menangkis yang dapat dilakukannya.
Janggara sadar kalau keadaan seperti ini
dibiarkan, tidak menutup kemungkinan dia akan
kalah. Bahkan akan tewas di tangan lawan-
lawannya. Bila hal ini terjadi, berarti keselamatan Anjani terancam. Maka,
ketika ada kesempatan,
kakek berwajah tirus ini melompat ke belakang
menyelamatkan diri.
Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa
Berbulu Merah yang merasa berada -di atas angin, tidak ingin kehilangan
mangsanya. Saat itu juga mereka mengejar Janggara.
Sementara, kakek berwajah tirus itu sudah
memperhitungkannya. Maka, begitu kedua ka-
kinya menjejak tanah, seluruh tenaga dalamnya
dikumpulkan. Dan seketika itu pula gerengan ke-
ras seperti harimau menggeram!
"Hhhmrrr....!"
Mendadak, tubuh tiga tokoh sesat yang ten-
gah meluruk ke arah Janggara jatuh di tanah.
Bahkan tenaga dalam mereka mendadak lenyap!
Gerengan Janggara membuat sekujur tubuh me-
reka lemas! Melihat ke tiga lawannya tampak kepaya-
han, Janggara segera mengeluarkan lengkingan
tinggi mengandung tenaga dalam sempurna. Begi-
tu dahsyat, hingga waktu Janggara mencoba pada
sebuah batu sebesar kerbau, langsung hancur be-
rantakan! Dan kali ini, Janggara menunjukkan
lengkingannya pada tiga lawannya.
Setan Botak, Pengais Nyawa, Singa Berbulu
Merah sadar bahwa lengkingan Janggara akan da-
pat menghancurkan isi dada. Buktinya, sekarang
telinga mereka terasa sakit bukan kepalang, ba-
gaikan ditusuk-tusuk pisau amat tajam. Jantung
mereka pun perih seperti teriris.
Bagai seperti diberi aba-aba, ketiga tokoh
sesat ini segera bergerak saling mendekat Kemu-
dian mereka duduk bersila, berderet ke belakang.
Setan Botak di depan, Singa Berbulu Merah di
tengah, dan Pengais Nyawa paling belakang. Dua orang yang berada di belakang
menempelkan kedua telapak tangan pada orang di depannya. Me-
mang, baik Pengais Nyawa maupun Singa Berbulu
Merah tengah menyalurkan tenaga dalam pada Se-
tan Botak! Sementara dari Setan Botak yang berada
paling depan, tenaga dalam yang disalurkan kedua tokoh itu di belakangnya
dikeluarkan lewat satu lengkingan tinggi. Bersamaan dengan itu Janggara pun
telah menyiapkan tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
"Eyaaa...!"
Dua jenis lengkingan tinggi yang merupa-
kan tangan-tangan maut saling adu kuat satu sa-
ma lain. Untuk kedua kalinya, setelah saling menga-
du tenaga dalam lewat suara, Janggara harus
mengakui keunggulan pihak tiga lawannya. Ga-
bungan tenaga dalam mereka terlalu kuat untuk
ditandingi. Sekujur tubuhnya mulai menggigil. Wajahnya di banjiri peluh sebesar
biji jagung. Dari ubun-ubunnya tampak uap putih mengepul, pertanda telah
mengeluarkan tenaga dalam yang me-
lewati batas. Di saat-saat menegangkan seperti ini, tiba-
tiba terdengar bunyi mendesau. Rupanya beberapa tombak dari tempat pertarungan
ganjil ini telah hadir seorang pemuda berpakaian ungu yang tengah menyapu tanah
dengan ranting berdaun lebat
Gesekan yang ditimbulkan itulah yang menimbul-
kan bunyi mendesau.
Seperti tidak tahu kalau tengah terjadi per-
tarungan tingkat tinggi, pemuda ini terus saja menyapu tanah dengan sapunya yang
sederhana. Bunyi desau itu ternyata mengandung tena-
ga dalam tinggi, sehingga tampaknya berpengaruh dalam menekan lengkingan ketiga
tokoh sesat itu.
Sementara keadaan Janggara tidak mengkhawa-
tirkan lagi. Kepulan uap putih di atas kepalanya semakin menipis, sebagai
pertanda kalau keadaannya semakin membaik.
Sebaliknya, Setan Botak, Pengais Nyawa,


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Singa Berbulu Merah tampak kepayahan. Wa-
jah mereka penuh peluh sebesar biji jagung. Uap putih yang mengepul dari atas
kepala mereka semakin menebal. Kelihatan mereka sudah tidak
kuat lagi menahan serangan yang datang. Dan ak-
hirnya... "Huakh...!"
Dalam keadaan duduk bersila, hampir ber-
barengan dari mulut Setan Botak, Pengais Nyawa,
dan Singa Berbulu Merah, keluar muntahan darah
segar! Tubuh mereka seperti terlipat ke depan. Seketika pertarungan yang seru
usai! "Kali ini, kami mengaku kalah, Janggara!
Namun suatu saat, kami akan datang lagi mem-
buat perhitungan denganmu!"
Dengan terbata-bata karena luka dalam
yang diderita, Setan Botak mewakili kawan-
kawannya menantang Janggara. Lalu, tanpa me-
nunggu jawaban Janggara, mereka melangkah ter-
tatih-tatih meninggalkan tempat itu. Namun sebelumnya mereka sempat
memperhatikan pemuda
berpakaian ungu yang telah berhenti menyapu.
Sorot mata Setan Botak, Pengais Nyawa,
dan Singa Berbulu Merah, menyiratkan sakit hati yang mendalam. Sebagai tokoh
golongan sesat tingkat tinggi, mereka tahu kalau pemuda berpa-
kaian ungu telah membantu Janggara. Sebab ka-
lau tidak, Janggara tentu berhasil dibinasakan!
Sementara Janggara juga merasa sangat le-
lah setelah pertarungan yang menguras tenaga dalam itu. Dia hanya menatap
kepergian ke tiga lawannya dan tanpa sedikit pun berniat mengejar-
nya. Kakek berwajah tirus ini yakin, ketiga tokoh sesat itu tak akan selamat
dari maut, karena luka dalam yang diderita terlalu parah.
Kini Janggara mengalihkan perhatian pada
pemuda berpakaian ungu yang masih berdiri sam-
bil memegang sapu sederhananya. Dia tahu, nya-
wanya telah diselamatkan pemuda itu. Maka, den-
gan senyum penuh rasa terima kasih, dihampi-
rinya pemuda berpakaian ungu itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak
Muda," ucap Janggara, sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Dalam hati, kakek ini terkejut. Ternyata
orang yang menolongnya masih muda. Semula, dia
mengira seorang kakek. Terutama menilik kepan-
daian dan rambutnya yang putih! Untungnya
sambil menghampiri tadi, Janggara sempat mem-
perhatikan wajah sosok berpakaian ungu itu.
"Kalau tidak ada pertolonganmu, mungkin
dua buah nyawa telah melayang," lanjut Janggara.
Pemuda berpakaian ungu berambut putih
keperakan dan panjang terurai hingga ke pung-
gung, hanya tersenyum lebar sambil mengangguk-
kan kepalanya. "Lupakanlah, Kek. Bukankah sudah kewaji-
ban kita sebagai manusia untuk saling tolong-
menolong. Apalagi, aku sudah lama mendengar
kekejaman sepak terjang tokoh berjuluk Pengais
Nyawa dan Singa Berbulu Merah. Jadi, tindakanku ini ku anggap sebagai usaha
menentang keangkaramurkaan. Aku yakin, setiap orang yang dimusu-
hi tokoh sesat seperti mereka, kemungkinan besar berdiri di jalan yang lurus.
Makanya, aku tidak segan-segan lagi untuk membantumu. Apalagi kuli-
hat tadi kau agak terdesak. Maaf, bukannya mak-
sudku merendahkan kemampuanmu, Kek. O ya.
Tadi kau katakan, aku telah menyelamatkan dua
nyawa" Padahal, kenyataannya hanya ada kau sa-
ja Kek" Lantas, yang satu lagi nyawa siapa?"
"Begini, Anak Muda. Sebelum aku berta-
rung dengan tiga tokoh sesat tadi, aku tengah be-
rusaha menolong muridku yang terancam bahaya.
Bahkan kemungkinan akan tewas, kalau tidak se-
gera ditolong. Lantas, kau menyelamatkan aku.
Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan
dua nyawa"!" jelas Janggara. "Ah! Hampir lupa.
Namaku Janggara. Sedangkan muridku bernama
Anjani. Memang, aku dulu..., yahhh... seperti kaulah, Anak Muda. Suka ikut
campur bila melihat
ada tindak kejahatan di hadapan mata. Dan kebe-
tulan, sebagian dari tokoh sesat yang tewas di tanganku adalah kawan-kawan
mereka. Jadi, mereka
datang untuk membalas dendam."
"Aku Arya, Kek. Arya Buana," kata pemuda berambut putih keperakan itu balas
memperke-nalkan diri.
"Arya Buana. Hm.... Sebuah nama yang ba-
gus. Kalau tidak mempunyai keperluan penting,
ingin rasanya kita bisa berbincang panjang lebar denganmu, Arya. Namun, sayang
sekali...."
"Oh..., tak mengapa, Kek. Aku bisa menger-
ti. Dan kalau kau setuju, aku bersedia memban-
tumu. Maaf, bukannya ingin menyombongkan ke-
pandaianku. Tapi...," kata pemuda yang tak lain memang Arya Buana alias Dewa
Arak. "Aku mengerti, Arya. Tapi, kurasa saat ini aku mampu melakukannya sendiri.
Mungkin kelak bila tak sanggup, aku akan meminta bantuanmu.
Aku tak ingin merepotkan mu," tolak Janggara, halus. "Kalau begitu, selamat
tinggal, Kek. Kudoa-kan kau berhasil. Juga muridmu kembali dengan
selamat," harap Arya, sambil melangkah pergi.
"Terima kasih atas bantuan doamu, Arya.
Selamat jalan, pula!" sambut Janggara.
Kakek ini tidak langsung melangkah me-
ninggalkan tempat itu. Ditatapnya Arya Buana
alias Dewa Arak!
Janggara kontan terperangah ketika melihat
guci arak yang menggantung di punggung Arya.
Tadi, benda itu tidak kelihatan. Karena, pemuda itu berdiri berhadapan
dengannya. Janggara ingin berseru memanggil Arya,
namun ditahannya. Dia hanya menatap tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu hingga hi-
lang dari pandangannya.
Kemudian setelah menghela napas berat,
Janggara berbalik dan melesat meninggalkan tem-
pat itu untuk menolong Anjani, muridnya!
*** 4 Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima tahun, melangkah tenang menghampiri seke-
lompok bangunan yang terkurung pagar tembok
tinggi. Pintu gerbangnya terlihat kokoh kuat, karena terbuat dari kayu tebal.
Dan di atasnya, tertulis huruf-huruf tebal dan jelas pada selembar papan tebal
dan lebar berukir. Papan itu bertuliskan Perguruan Golok Malaikat!
Pemuda bertubuh tegap terbungkus pa-
kaian coklat ini tersenyum mengejek. Bahkan
membuang ludah dengan sikap menghina sekali,
ketika melihat papan nama perguruan itu.
"Rupanya tua bangka itu mengalami kema-
juan pesat! Makmur tampaknya, sehingga pergu-
ruannya yang dulu kecil sekarang telah menjadi
demikian mewah! Tapi tunggu sebentar lagi, Tua
Bangka! Aku, Samukti! Akan membuat semua
hancur berantakan!" ancam pemuda berpakaian coklat ini.
Dengan wajah beringas, pemuda bernama
Samukti melangkah lebar menghampiri daun pin-
tu gerbang yang tertutup rapat. Sesampainya di
depan pintu, Samukti segera menempelkan salah
satu telapak tangannya. Tampak sembarangan sa-
ja, seperti layaknya orang yang bersandar dengan satu tangan. Tapi mendadak....
Krakkk...! Terdengar bunyi berderak keras, ketika pa-
lang pintu gerbang yang terbuat dari balok kayu tebal dan berat patah! Seketika,
daun pintu gerbang itu pun terpental ke kakan-kiri. Tampak halaman luas dari
kelompok bangunan membentang
di depan mata. Bunyi yang cukup keras tadi, membuat be-
lasan pemuda bertelanjang dada yang tengah ber-
latih, mengalihkan pandangan ke arah pintu ger-
bang. Kebetulan, mereka menghadap ke sana.
Tidak demikian halnya seorang lelaki beru-
sia tiga puluh tahun yang menjadi pengajar belasan anak muda itu. Pengajar
dengan wajah dihiasi cambang bauk lebat itu berdiri membelakangi pintu gerbang,
menghadap ke arah belasan pemuda
asuhannya. Dan dia segera membalikkan tubuh,
untuk melihat penyebab bunyi gaduh tadi.
Pemuda bercambang lebat itu menger-
nyitkan alis. Hatinya dongkol melihat daun pintu gerbang telah ambruk. Dan
pandangannya langsung terpatri pada Samukti yang melangkah te-
nang, menuju salah satu bangunan perguruan.
Sikapnya layaknya orang yang tidak bersalah sedikit pun.
Pemuda bercambang lebat itu sebenarnya
murid kepala perguruan ini. Namanya, Badra. Se-
gera disadari kalau kedatangan pemuda berpa-
kaian coklat ini tidak dengan maksud baik. Maka setelah memberi isyarat pada
adik-adik sepergu-ruannya untuk meneruskan latihan, Badra meng-
hampiri Samukti.
Bila Badra memusatkan perhatian ke arah
pemuda berpakaian coklat ini, maka lain halnya
Samukti. Kakinya terus melangkah tanpa mempe-
dulikan murid kepala Perguruan Golok Malaikat
yang menuju ke arahnya.
Karena masing-masing tidak mau menying-
kir dari jalannya, tubrukan antara mereka tidak mungkin bisa dihindari lagi.
Apalagi karena jarak keduanya tak lebih dari dua tombak lagi.
Namun, ketika jarak tinggal satu tombak la-
gi, ada kekuatan tak nampak yang menyeruak.
Sehingga, memaksa Badra untuk menyingkir dari
jalan yang ditempuh Samukti. Kekuatan dahsyat
yang membuat tubuhnya tertolak ke samping. Pa-
dahal, Samukti tidak melakukan gerakan apa pun!
Kecuali, melangkahkan kaki.
Tanpa menghiraukan pemuda bercambang
lebat yang tertegun bingung, Samukti terus saja melangkah dengan sikap tak
peduli. Arah yang dituju adalah bangunan paling besar, tempat tinggal Ketua
Perguruan Golok Malaikat.
Ketika Samukti telah melaluinya sejauh sa-
tu tombak, Badra baru bisa menguasai diri.
"Tunggu!"
Disertai teriakannya, Badra melompat dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menghadang Samukti. Tapi, ketika kedua
kakinya telah menjejak tanah, dia hanya bisa melongo!
Badra ternyata tidak mendarat di depan
Samukti. Maka dengan hati kaget campur heran,
kepalanya cepat menoleh ke belakang. Tampak
Samukti tengah melangkah seenaknya seperti se-
mula, manis dalam jarak satu tombak darinya!
Badra bingung. Padahal, semula diyakini
betul kalau akan menjejak tanah di hadapan pe-
muda berpakaian coklat. Lompatannya berjarak ti-ga tombak dari tempatnya semula
berdiri. Dan seharusnya, mendaratnya dua tombak di depan pe-
muda itu. Tapi, mengapa jarak antara mereka te-
tap tidak berubah"! Apakah dia salah mengukur
jarak"! Tidak mungkin! Ataukah, diam-diam pe-
muda berpakaian coklat itu ikut melesat untuk melaluinya"! Tapi, mengapa
gerakannya tidak terlihat. Sementara itu Samukti tetap bersikap tak peduli
seperti sebelumnya. Dia seperti tidak tahu kalau tindakannya membuat murid
kepala Perguruan Golok Malaikat kebingungan!
Sebenarnya murid-murid Perguruan Golok
Malaikat lainnya melihat kejadian itu, walau tidak terlalu jelas. Tadi sebelum
Badra menjejak tanah, tubuh Samukti telah berada beberapa tombak di
depan hanya sekali langkah. Tidak begitu jelas, apakah pemuda itu melesat atau
berlari! "Tunggu, Pengecut!"
Terdengar bentakan keras menggelegar,
membuat Samukti menghentikan langkahnya. Ke-
sempatan itu dipergunakan Badra untuk bersalto
kembali. Dan kali ini, dia berhasil menghadang di depan Samukti.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet! Semula
aku tidak ingin mencari keributan dengan cecun-
guk sepertimu! Tapi karena telah menghinaku, kau pun akan mendapat bagiannya!
Cuh! Cuh! Cuh!"
Samukti tiga kali meludah, melepaskan tiga
gumpal cairan kental yang mengeluarkan bunyi
berdesing nyaring. Arah yang dituju adalah kening, leher, dan dada Badra.
Murid kepala Perguruan Golok Malaikat ta-
hu, semburan ludah itu tidak bisa dipandang ringan. Cepat bagai kilat, dia
melompat ke belakang sambil mencabut golok.
"Hup! Srang! Begitu golok tercabut, Badra cepat mengi-
baskannya, memapak luncuran cairan kental dari
mulut Samukti. Trang! Trang! Ketika gumpalan-gumpalan ludah itu ber-
temu batang golok, terdengar bunyi berdentang
beberapa kali. Badra terkejut bukan kepalang, ketika me-
rasakan tangannya tergetar hebat Wajahnya pias, ketika melihat goloknya
berlubang di tiga tempat!
Akibat terkena gumpalan ludah yang disemburkan
Samukti. "Kaget, Monyet"!" ejek Samukti tersenyum sinis. "Itu hanya sekadar perkenalan
saja. Kini te-rimalah ludahku yang akan mengirim nyawamu ke
neraka!" "Cuh!"
Samukti kembali meludah, melepaskan cai-
ran kental yang meluncur ke arah pemuda ber-
cambang lebat itu. Dan tentu saja, Badra tidak ingin mengulangi peristiwa
serupa. Maka segera dia melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara. Tapi, ketika Badra menjejakkan kakinya di
tanah, ternyata cairan menjijikkan itu masih mengejarnya! Berbeda dengan
sebelumnya, gumpalan
ludah itu meluncur tanpa bunyi sama sekali!


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda bercambang lebat kaget bercampur
heran. Menurut perkiraannya, ludah itu telah ke-habisan daya luncur. Namun
kenyataannya, ludah
itu masih meluncur cepat laksana anak panah
yang bam saja dijepretkan.
Perasaan heran dan ingin tahu membuat
Badra melempar tubuhnya ke samping, langsung
bergulingan ke tanah. Namun, ketika bangkit
kembali, ludah itu masih mengejarnya!
Sekarang, murid kepala Perguruan Golok
Malaikat ini pun tahu kalau serangan itu berbeda dengan serangan pada umumnya.
Ludah itu seper-
ti hidup! Bagaikan bermata, ludah itu terus memburu ke mana saja Badra mengelak.
Badra kehilangan akal, bagaimana caranya
meloloskan diri dari serangan ludah yang terus
memburunya. Maka dengan tekad baja dia ber-
diam diri menanti. Dan ketika ludah itu meluncur dekat, disambutnya dengan
babatan golok. Wusss! Kembali Badra terperanjat, begitu babatan
goloknya hanya mengenai angin. Bagaikan hidup
ludah itu bisa mengelak. Masih terbengong, pemu-da bercambang bauk ini belum
menyadari bahaya
mengancam. Gumpalan ludah yang tadi mengelak,
terus berputaran kemudian terus melesat meng-
hantam dahi Badra hingga tembus ke belakang
kepala. Crok! "Aaa...!"
Darah bercampur otak menyembur, diba-
rengi teriakan menyayat hati dari mulut Badra.
Tubuhnya ambruk, dan nyawanya melayang saat
itu juga! Tewasnya Badra, membuat belasan orang
murid Perguruan Golok Malaikat tersadar dari rasa terpukaunya. Sejak tadi,
mereka seperti terkena sihir. Bengong, memperhatikan tingkah pengejar
mereka dan gumpalan ludah yang terus-menerus
mengejar. Kesadaran yang timbul menyebabkan ke-
marahan hebat. Bagai diberi perintah, mereka bergerak menyerbu. Golok-golok
berkelebat ke arah
berbagai bagian tubuh Samukti.
Sementara, Samukti tetap diam di tempat
dengan sikap tenang! Baru ketika mata-mata golok nyaris menyentuh tubuh, Samukti
bersin. "Haaashiii...!"
Keras suara Samukti. Akibatnya, serangan
golok-golok yang siap mencincang tubuhnya jatuh ke tanah. Saat itu juga para
pengeroyok merasakan sekujur tubuh mereka lemas. Bunyi bersin
Samukti membuat tenaga mereka terasa lenyap
begitu saja. Bahkan seluruh urat mereka terasa
lumpuh! Samukti tertawa mengejek. Dan saat itu ju-
ga, kedua tangannya dikibaskan bagaikan orang
mengusir nyamuk. Hebatnya tubuh murid-murid
Perguruan Golok Malaikat, berpentalan tak tentu arah bagaikan daun-daun kering
diterbangkan angin keras.
"Setan! Siapa yang telah berani mengacau
Perguruan Golok Malaikat"!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari
belakang, begitu Samukti menyelesaikan sepak
terjangnya. Pemuda itu segera berbalik. Dan sepasang matanya langsung
terbelalak, seperti melihat hantu di tengah hari bolong.
Ketika sama-sama menatap, sosok yang
mengeluarkan bentakan terperanjat. Bahkan sam-
pai melangkah mundur. Raut wajahnya menun-
jukkan keterkejutannya yang tidak bisa disembu-
nyikan. "Kau..., kau..., Samukti..."!" tanya sosok yang ternyata gadis berpakaian biru.
Tangannya yang berjari lentik serta halus ditudingkan ke de-
pan. Samukti tersenyum lebar, setelah berhasil meredam rasa kagetnya.
"Syukurlah kalau kau masih ingat padaku.
Bukankah kau, Sunti Ranti"! Tak kusangka, kau
masih seperti dulu. Cantik manis. Bahkan jauh lebih cantik."
Gadis bernama Sunti Rani berwajah cantik
manis dengan bentuk tubuh menantang. Wajah-
nya memerah seketika mendengar pujian yang je-
las mengandung kekurangajaran itu.
"Mau apa kau kemari, Samukti"! Kini, kau
bukan murid Perguruan Golok Malaikat lagi"! In-
gat! Ayah telah mengusirmu dan tidak mengakui-
mu sebagai murid! Atau kedatanganmu hendak
minta dihajar"!, Biar aku saja yang mewakili Ayah untuk memberi pelajaran
padamu!" "Ha ha ha...!"
Samukti tertawa bergelak. Sikapnya terlihat
merendahkan sekali. Sementara sepasang ma-
tanya yang nakal menatap penuh minat sekujur
tubuh dan wajah Sunti Rani.
"Kau keliru, Sunti! Aku datang bukan ingin kembali menjadi murid di sini. Aku
tak menganggap Perguruan Golok Malaikat sebagai pergurua-
nku lagi. Bahkan kuanggap sebagai musuh! Begitu pula dengan ayahmu yang kejam
itu!" "Ayah tidak kejam! Justru kaulah yang ma-
nusia tak tahu budi. Hampir tujuh tahun kau di-
didik, namun kepandaianmu dipergunakan untuk
mencoreng muka Ayah dengan perbuatan nistamu!
Dan kalau Ayah tidak keburu datang, anak pera-
wan orang sudah kau garap habis-habisan!"
"Apa salahnya, Sunti"!" kilah Samukti. "Seharusnya Ayahmu membelaku. Bayangkan,
aku mengutarakan cinta dan kekagumanku secara
baik-baik, tapi gadis liar justru mencaci makiku!
Siapa yang tidak kalap"! Untuk membalas sakit
hatiku, ku perkosa saja dia! Sayang, Ayahmu yang tak tahu diri itu mencegahku!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu, Samukti!
Manusia bejat sepertimu seharusnya berterima
kasih telah tercegah dari perbuatan keji! Kau benar-benar orang yang berwatak
kotor! Kalau kau
berbuat sopan dan tak mengajak yang tidak-tidak, kurasa gadis itu tak akan
marah!" "Sudahlah, Sunti. Lupakan saja masalah
itu! Aku tak begitu minat dengan gadis terkutuk itu. Keberadaanmu di sini
membuat mata hatiku
tak tertarik lagi dengan gadis-gadis lain yang ba-henol sekalipun. Ketika
kulihat wajah dan bentuk tubuhmu, sudah bisa ku perkirakan betapa nik-matnya
bermain cinta denganmu, Sunti. Dan...,"
Samukti makin ngawur.
"Tutup mulutmu yang kotor, Samukti!"
Sunti Ranti yang sudah tidak bisa menahan
kesabarannya lagi langsung melompat menerjang
Samukti. Tangan kanannya dihantamkan ke arah
kepala pemuda berpakaian coklat itu.
Tapi tanpa menggeser tubuhnya sedikit
pun, Samukti mengibaskan tangannya, menangkis
serangan. Plak! "Aaakh!"
Sunti Ranti memekik tertahan, ketika tan-
gannya berbenturan dengan tangan Samukti. Ke-
mudian dengan sekali sentak Samukti telah mem-
buat tubuh Sunti Ranti terhuyung ke depan. Dan
kesempatan itu digunakan Samukti untuk meno-
tok. Tuk! Tuk! Sunti Ranti merasakan tubuhnya lemas.
Dan sebelum tubuh gadis itu ambruk, saat itu ju-ga dengan buas Samukti
menyambutnya. Direng-
kuhnya tubuh gadis itu dalam sebuah dekapan
erat penuh nafsu. Kemudian dengan ganasnya, di-
ciuminya wajah gadis itu.
Sunti Ranti ingin menjerit, namun tidak ada
suara yang keluar. Dua buah totokan, membuat
urat suara dan tubuhnya tak berguna sama sekali.
Dia hanya bisa pasrah atas semua tindakan Sa-
mukti terhadapnya. Dibiarkannya saja sekujur tubuhnya dihajar tangan Samukti.
"Manusia terkutuk! Lepaskan dia...!"
Mendadak terdengar teriakan menggeledek
begitu kuat tenaga dalam yang terkandung, mem-
buat tempat sekitarnya bergetar hebat. Saat itu ju-ga Samukti menghentikan
tindakannya. Matanya
tampak merah karena merasa terganggu keasyi-
kannya. Seketika perhatiannya beralih pada sosok yang mengeluarkan bentakan.
Seorang kakek beralis merah yang wajahnya tampak merah padam.
Marah! Samukti tersenyum sinis. Tanpa mengenal
kasihan tubuh Sunti Ranti yang tengah dipeluknya di dorong begitu saja hingga
jatuh keras ke tanah.
"Akhirnya kau muncul juga, Golok Malaikat!
Kukira kau terus bersembunyi di kandang mu!"
ejek Samukti sambil menatap mata kakek bera-
lis merah yang dipanggil Golok Malaikat
"Erghhh...!"
Golok Malaikat menggeram. Sepasang ma-
tanya membelalak hendak menelan pemuda di ha-
dapannya bulat-bulat
"Oh! Ternyata kau, Murid Murtad! Manusia
tak kenal budi! Menyesal, kenapa dulu tak kuha-
bisi saja nyawamu agar tidak menimbulkan buntut tak baik seperti ini!" geram
Golok Malaikat dengan suara bergetar penuh kemarahan.
"Sayang sekali, Tua Bangka Bau Tanah!
Kau tak melakukannya. Dan kau pantas menyesa-
linya seumur hidup. Sekarang kedatanganku ke-
mari untuk membalas sakit hatiku karena kau
menggagalkan rencanaku!"
"Kau bebas bertindak bila sanggup membu-
atku menjadi mayat, Biadab!"
"Sama sekali tidak, Tua Bangka!" Samukti menggeleng. "Aku justru menginginkan
kau tewas belakangan. Terlebih dulu, semua muridmu akan
kubantai. Kemudian putri mu si montok Sunti
Ranti akan ku perkosa sampai mati di depanmu.
Agar kau merasakan sakit hati yang mendalam.
Dan kau, akan ku tinggalkan hidup-hidup, dalam
keadaan tak berguna seumur hidupmu! Bagaima-
na, Tua Bangka! Asyik, bukan?"
"Kaulah yang akan kubunuh lebih dulu se-
belum maksudmu terlaksana, Biadab!"
Golok Malaikat langsung mencabut senjata
andalannya yang telah menggemparkan dunia per-
silatan. Dia menjadi pentolan golongan putih yang ditakuti kawan maupun lawan,
karena kehebatan
goloknya. Dan kali ini golok itu disiapkan untuk menghadapi Samukti yang
disadari bukan lagi lawan ringan.
Golok Malaikat telah bisa menduga kalau
Samukti telah memiliki kepandaian tinggi. Ini terlihat hanya dengan segebrakan
saja, Sunti Ranti yang telah mewarisi hampir seluruh kepandaian-nya, di buat tak
berdaya. Maka dibarengi teriakan melengking keras,
Golok Malaikat menyerang Samukti.
Golok sakti Golok Malaikat tak terlihat ben-
tuknya. Yang tampak hanya seleret bayangan
mengurung seluruh jalan lolos Samukti. Bunyi
nyaring yang terjadi akibat putaran golok merobek udara, memaksa murid-murid
Perguruan Golok
Malaikat yang telah siuman menutup telinganya
karena merasakan sakit seperti ditusuk jarum.
Tetapi, kelihatan Samukti benar-benar luar
biasa! Meski hanya bertangan kosong, amukan Go-
lok Malaikat mampu dihadapi. Tanpa menemui
kesulitan sedikit pun, setiap serangan kakek itu dikandaskan. Tak jarang pemuda
ini menangkis dengan tangan telanjang. Dan setiap tangkisan
Samukti, membuat tubuh Golok Malaikat ter-
huyung-huyung ke belakang dengan tangan terge-
tar hebat. Golok Malaikat tampak kelabakan, ketika
Samukti melancarkan serangan balasan. Dan ken-
dati bertangan kosong, serangan-serangan Samuk-
ti tidak kalah berbahaya!
Golok Malaikat sadar, bahaya telah men-
gancam keselamatan murid-murid dan juga pu-
trinya. Maka sambil terus mengadakan perlawa-
nan sengit, dia menyempatkan diri untuk menyu-
ruh murid-muridnya kabur. Sementara putrinya
tidak diperintahkan untuk pergi karena tahu kalau Sunti Ranti dalam keadaan
tertotok! Entah karena patuh terhadap perintah ke-
tua mereka, atau karena takut dan gentar melihat kesaktian Samukti, belasan
murid Perguruan Golok Malaikat segera kabur meninggalkan tempat
itu. Mereka sadar, Samukti tidak akan dapat di-
tandingi! Hanya beberapa orang yang tidak kabur, karena merasa tak tega untuk
meninggalkan guru
mereka yang tengah sendirian menghadapi maut.
*** 5 Samukti, memang berwatak keji. Melihat
belasan murid Perguruan Golok Malaikat berlarian meninggalkan tempat itu, cepat
bagai kilat dia me-runduk meraih beberapa kerikil di tanah. Lalu seketika itu
pula dilemparkannya kerikil-kerikil itu ke arah murid-murid Perguruan Golok
Malaikat "Aaa...! Aaakh...!"
Jeritan-jeritan menyayat hati terdengar ke-
tika kerikil-kerikil yang dilemparkan Samukti,
memecahkan kepala belasan murid perguruan
yang tidak berdosa.
Golok Malaikat marah bukan main melihat
kematian murid-muridnya, secara mengiriskan!
Maka seluruh kemampuannya dikerahkan untuk
bisa membunuh, atau paling tidak mati bersama.
Namun, niatnya hanya sia-sia. Kemampuannya
kini memang berada cukup jauh di bawah Samuk-
ti.

Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malah pada satu kesempatan, gedoran tan-
gan pemuda itu kontan membuat tubuh Golok Ma-
laikat terjengkang ke belakang. Darah segar kontan tersembur dari mulutnya. Dan
begitu jatuh di tanah, kakek ini tidak mampu bangkit lagi. Tergolek tanpa daya.
Samukti kini tertawa keji. Dipungutnya go-
lok milik Ketua Perguruan Golok Malaikat yang
terjatuh di tanah. Dan dengan dua jarinya, golok itu dilengkungkan seperti
bumerang. Kemudian
masih dengan senyum keji, golok itu dilemparkan ke arah sisa murid perguruan
Golok Malaikat yang masih setia menunggu ketuanya.
"Keji!"
Golok Malaikat memaki dengan hati pilu,
ketika melihat golok itu melayang, langsung me-
menggal kepala murid-muridnya. Tidak terdengar
jeritan apa pun dari mulut mereka. Sementara golok itu kemudian melayang kembali
ke tangan Sa- mukti yang tampak tersenyum puas.
"Bagaimana, Golok Malaikat"! Nikmat bu-
kan, sebuah pembalasan dendam"!" tanya Samukti penuh ejekan.
"Terkutuk kau, Samukti!" maki Golok Malaikat! Bunuhlah aku!" "He he he...!"
Sang Penerus 6 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pengelana Rimba Persilatan 4
^