Pencarian

Sengketa Guci Pusaka 2

Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Bagian 2


Samukti tertawa terkekeh. Kemudian di-
hampirinya tubuh Sunti Ranti yang tergolek. Seketika, wajah Golok Malaikat pias.
Demikian juga Sunti Ranti. Mereka tahu, Samukti akan membuk-
tikan ancamannya.
"Seperti telah kukatakan tadi, urusan den-
gan mu belakangan, Golok Malaikat! Kau kujadi-
kan saksi mata, hasil pembalasan dendam yang
berkarat sejak lima tahun yang lalu!" Bret!
Baju di bagian dada Sunti Ranti langsung
robek lebar, ketika jari-jari tangan Samukti me-renggutnya. Saat itu juga dua
buah bukit kembar milik Sunti Ranti mencuat hendak melompat keluar. Golok
Malaikat hanya bisa memaki kalang
kabut. Sedang Sunti Ranti merintih dalam hati.
Sementara itu Samukti menatap dua bukit kembar
yang berkulit putih mulus dengan buas seperti sepasang mata harimau lapar yang
melihat kambing
gemuk! Sunti Ranti menjerit tertahan dalam hati, ketika Samukti bersiap menerkam
tubuhnya. Ta-pi....
*** "Hanya manusia berhati binatang yang me-
lakukan kekejian seperti ini...!"
Belum sempat Samukti melampiaskan ha-
sratnya, mendadak terdengar suara teguran yang
tidak begitu lantang, namun terasa jelas ada nada kemarahan di dalamnya.
Samukti geram bukan kepalang. Dia tahu,
ada orang yang hendak mencampuri urusannya.
Dengan perasaan geram kepalanya ditolehkan ke
belakang. Di pintu gerbang, telah berdiri tenang seo-
rang pemuda berpakaian ungu berambut putih
keperakan. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana
alias Dewa Arak! Meski tenang, sepasang matanya yang tajam mencorong sarat
ancaman. Memang,
Dewa Arak paling benci bila melihat tindakan tak senonoh terhadap wanita!
Samukti yang sudah murka, kembali meng-
geram. Tangannya segera dijulurkan ke arah Golok Malaikat yang tengah tergolek.
Sedangkan kakek
itu hanya bisa memejamkan mata, pasrah me-
nunggu datangnya maut!
Tapi maut yang ditunggu tidak kunjung da-
tang. Kakek ini merasakan adanya angin keras
menghamburkan rambutnya. Dan ketika matanya
terbuka, di tangan Samukti telah tergenggam se-
gumpal rambut miliknya!
Mendapat perlawanan demikian, Golok Ma-
laikat tersinggung bukan main. Bagaimanapun ju-
ga, dia adalah bekas guru Samukti yang wajib di-hormati. Namun tindakan pemuda
bejat ini justru sebaliknya, menghina!
Di lain pihak, Samukti tidak peduli. Begitu
rambut Golok Malaikat berhasil diraihnya, lang-
sung dibawanya ke depan mulut. Lalu, segera di-
tiupnya. Maka puluhan helai rambut itu meluncur ke arah Dewa Arak laksana jarum-
jarum panjang. Dewa Arak mengibaskan tangannya, men-
ciptakan angin besar yang meluruk ke arah ram-
but-rambut itu. Akibatnya laju rambut itu tertahan, bahkan lemas seperti semula
dan jatuh ke tanah. Kegagalan serangan ini membuat Samukti,
gelap mata! Maka segera dilontarkannya pukulan
bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Padahal, jarak
mereka terpisah sekitar delapan tombak!
Dewa Arak yang tengah murka, karena me-
lihat tindakan pemuda berbaju coklat itu terhadap Sunti Rani, kini bertindak tak
tanggung-tanggung lagi. Serangan-serangan Samukti langsung disambutnya dengan
cepat. Bunyi berdesing dan berkesiutan nyaring
terdengar, ketika dua tokoh sakti yang sama-sama muda saling memukulkan tangan
masing-masing. Pletar! Tar! Terdengar letupan-letupan keras ketika pu-
kulan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di tengah jalan. Dan setiap kali
terjadi benturan, tubuh keduanya sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Serangan yang gagal ini rupanya tidak me-muaskan Samukti. Pemuda ini tampak
marah bu- kan main dengan wajah merah padam. Sepasang
matanya terbelalak, seperti hendak menelan bulat-bulat Dewa Arak. Kemudian dia
berdiri diam, dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.
Lalu, matanya terpejam.
Dewa Arak terdiam sejenak mengamati tin-
dakan lawannya, meski tak menghilangkan ke-
waspadaannya. "Urai Raga...!"
Samukti membentak keras begitu mata ter-
buka. Sesaat kemudian, Dewa Arak tertegun. Se-
dangkan Golok Malaikat dan Sunti Ranti terpaksa mengucak-ucak mata masing-masing
karena tidak percaya dengan apa yang terlihat
Tampak, tubuh Samukti perlahan-lahan
meninggi dan membesar. Dewa Arak dan Golok
Malaikat yang telah kenyang pengalaman langsung menduga kalau hal seperti itu
tidak mungkin bisa dilakukan manusia. Maka, kedua tokoh ini secepatnya
mengerahkan kekuatan batin untuk mene-
kan alam bawah sadarnya, kalau apa yang terlihat adalah tipuan belaka.
Tapi betapa kagetnya hati Dewa Arak dan
Golok Malaikat, ketika melihat pemandangan yang terlihat tidak berubah sama
sekali. Bahkan, tubuh Samukti semakin tinggi dan membesar!
Sementara Dewa Arak mengerahkan selu-
ruh kekuatan batinnya. Kemudian dengan penge-
rahan seluruh tenaga dalamnya, pemuda beram-
but putih keperakan ini membentak keras.
"Asal kecil, kembali kecil!"
Berkali-kali Dewa Arak mengeluarkan teria-
kan keras, yang membuat suasana sekitarnya ber-
getar seperti ada halilintar yang menyambar. Namun, penglihatan yang tertangkap
mata pemuda itu tetap saja tidak berubah. Malah, tubuh Samuk-
ti semakin membesar dan meninggi.
Melihat kenyataan ini, Dewa Arak pun sadar
kalau pemandangan yang tampak adalah kenya-
taan sesungguhnya. Meskipun diliputi rasa keti-
dakpercayaan, pemuda berambut putih keperakan
ini terpaksa harus mengakuinya.
Dan yang dapat dilakukan Dewa Arak
hanya menunggu sampai perkembangan tubuh
Samukti berhenti. Kini jantung Arya mendadak
berdetak keras.
Akhirnya penantian Arya berakhir. Perkem-
bangan tubuh Samukti terhenti, ketika tubuhnya
mencapai tinggi satu setengah tombak! Tidak
hanya tinggi, tapi juga besar! Sehingga Samukti sekarang kelihatan seperti bukit
kecil. "Ha ha ha...!"
Samukti tertawa bergelak, penuh kegembi-
raan dan rasa bangga.
"Sekarang kau akan kuhancurkan orang
usil!" Dewa Arak terhuyung-huyung sambil mendekap kedua telinga. Untuk pertama
kalinya, dia tidak mampu melawan pengaruh tawa yang menyerang telinga dan
menekan jantungnya dengan
tenaga dalamnya. Tawa itu demikian keras, tak
ubahnya halilintar! Bahkan jantungnya bagai me-
lompat-lompat dengan kepala terasa pening!
Samukti rupanya tahu kejadian yang ten-
gah dialami Dewa Arak. Maka, tawanya segera di-
lanjutkan. Tindakannya membuat Dewa Arak se-
makin kelabakan bak cacing kepanasan. Tubuh
Dewa Arak terus menggeliat-geliat
Keadaan Dewa Arak mengkhawatirkan se-
kali. Tubuhnya sempoyongan bagai orang mabuk
berat. Kedua tangan didekapkan erat-erat pada
kedua telinga. Wajahnya pun tampak memerah
bagai kepiting rebus.
Sementara, daun-daun berguguran dari po-
hon. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu
berderak-derak keras seperti hendak roboh. Malah beberapa saat kemudian, bagian
demi bagian bangunan terlepas.
Golok Malaikat dan Sunti Ranti sudah ping-
san sejak tadi akibat pengaruh tawa itu. Padahal mereka tidak terlalu
mendapatkan pengaruh tawa
Samukti. Karena tawa itu ditujukan jelas untuk
Dewa Arak. "Aaa...!"
Dalam upaya untuk menangkal pengaruh
tawa, Dewa Arak menjerit sekeras-kerasnya. Da-
lam cekaman rasa sakit yang menggelegak, pemu-
da itu berusaha terus melawan pengaruh tawa
yang menyakitkan itu.
Ranting-ranting langsung jatuh dari dahan
pohon. Angin bertiup tak tentu arah, akibat pertarungan aneh antar tenaga dalam.
Ternyata jeritan itu tidak terlalu banyak
menolong Dewa Arak. Maka sambil tetap menjerit
keras, Arya melompat menerjang Samukti. Guci
araknya diayunkan deras ke arah kepala Samukti.
Dewa Arak memang bermaksud secepatnya mero-
bohkan lawan yang amat berbahaya ini!
"Hukh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Dewa
Arak. Tubuhnya bagaikan menabrak sebuah dind-
ing yang tidak tampak, begitu berjarak setengah tombak dari Samukti. Kekuatan
dahsyat, membuat tubuhnya terjengkang deras ke belakang.
Begitu tubuh Arya jatuh ke tanah, Samukti
mengirimkan dorongan pukulan jarak jauh dengan
tangan kanan-kiri secara bergantian.
Untung, Dewa Arak sempat berkelit dengan
menggulingkan diri. Kalau tidak, nasibnya sama
dengan tanah tempatnya tergolek tadi, yang langsung berlubang sedalam kuburan
gajah! Dewa Arak bergidik! Selama petualangan-
nya, belum pernah dia bertemu tokoh yang mem-
punyai kekuatan tenaga dalam seperti ini! Hanya dorongan tangan saja mampu
menimbulkan lubang besar pada tanah! Samukti yang sebesar raksasa ini, bahkan
memiliki kekuatan lebih dahsyat daripada Raga Pitu (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang tokoh Raga Pitu, silahkan baca serial Dewa Arak dalam episode:
'Panggilan ke Alam Roh").
Samukti menggeram laksana harimau mur-
ka melihat serangannya gagal. Kemudian dengan
kedua tangannya dilakukannya gerakan menarik.
Dewa Arak terperanjat bukan kepalang ke-
tika merasakan ada kekuatan dahsyat yang mena-
rik tubuhnya ke arah Samukti! Meski dalam kea-
daan tergolek di tanah, Arya masih mampu untuk
bertahan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
untuk menolak tarikan lawannya. Kendati demi-
kian, tubuhnya tetap terseret juga.
Begitu telah dekat, Samukti yang tengah ka-
lap itu cepat menggerakkan kakinya menjejak pe-
rut Dewa Arak. Tentu saja, Arya tidak ingin tubuh dan seluruh isi bagian dalam
dadanya hancur berantakan. Maka tangannya segera diulurkan un-
tuk menangkap kaki itu dengan pengerahan selu-
ruh tenaga dalamnya.
Tetapi, ternyata Arya hanya mampu berta-
han sebentar. Disadari apabila memaksakan diri
terus, tulang-tulang tangannya akan patah. Bah-
kan kaki yang luar biasa besar itu akan berhasil menjejak dadanya. Maka sambil
melepaskan tangan, tubuhnya digulingkan.
Dewa Arak bermaksud menjauhkan diri.
Namun, ternyata pemuda berambut putih kepera-
kan ini tengah tidak mujur. Tangan Samukti yang besar dan kekar telah berhasil
mencekal tengkuk-nya. Samukti mengerahkan tenaga untuk meng-
hancurkan tulang leher Arya. Sebaliknya, Dewa
Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam, untuk
bertahan. Dia tidak ingin tulangnya hancur hingga tewas mengenaskan.
Dewa Arak tahu, bila keadaan seperti ini te-
rus berlangsung tak lama lagi, dia akan tewas
dengan tulang leher hancur. Jepitan tangan Sa-
mukti benar-benar luar biasa. Dan Arya merasa tidak mampu bertahan lebih lama
lagi. Untungnya, kekhawatiran Dewa Arak tidak
terbukti. Setelah beberapa saat tidak berhasil
menghancurkan tulang leher Dewa Arak, Samukti
kehilangan kesabaran. Maka dengan gemas tan-
gannya diayunkan. Seketika, tubuh Dewa Arak
pun melayang jauh dengan cepat. Begitu cepatnya,
hingga melewati pagar tembok yang mengelilingi
bangunan di dalam rumah Perguruan Golok Ma-
laikat. Samukti yang masih belum puas mengum-
bar amarah, mengedarkan pandangannya. Tampak
tubuh Golok Malaikat tergolek pingsan. Hanya dua langkah, pemuda ini berada di
dekat tubuh itu.
Dan tanpa mengenal belas kasihan lagi, segera di-injaknya dada Golok Malaikat
Terdengar bunyi berderak keras dari tulang-
tulang yang hancur. Darah mengalir keluar dari
hidung, mata, mulut, dan telinga Ketua Perguruan Golok Malaikat. Maka seketika
nyawanya copot da-ri raga. Korban satu nyawa belum membuat puas
Samukti. Pandangannya kembali beredar. Kali ini matanya tertumbuk pada tubuh
Sunti Ranti. Pemuda berpakaian coklat ini bergegas menghampiri.
Namun baru setindak, tiba-tiba langkahnya ter-
henti. Tangan kanannya seketika memegangi ke-
pala. Wajahnya menyeringai kesakitan. Tak lama
kemudian, tubuhnya terhuyung-huyung.
Demikian hebat, rasa sakit yang diderita
Samukti, hingga tubuhnya membungkuk ke de-
pan. Kali ini dua tangannya memegang kepala. Sedangkan seringai kesakitan yang
terdengar sema-
kin keras. "Aduuuh...!"
Samukti tak tahan untuk tidak mengelua-
rkan keluhan. Kemudian tubuhnya berbalik, dan
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bumi tera-sa bergetar, ketika kaki


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Samukti yang besar-besar
menginjak tanah berkali-kali.
Tapi, rasa sakit yang mendera membuat lari
Samukti tidak tetap. Tubuhnya terhuyung ke sana kemari.
"Panas...! Panas...! Air...! Air"..!"
Di antara derap langkah kakinya, Samukti
berteriak seperti itu. Memang, pemuda berpakaian coklat ini merasakan bagian
dalam kepalanya terasa panas bukan kepalang seperti ada api di dalamnya. Itulah
sebabnya, yang dibutuhkan Sa-
mukti adalah air untuk merendam kepalanya.
Ketika tubuh Samukti lenyap dari pandan-
gan mata, Sunti Ranti telah sadarkan diri. Semula, gadis ini kebingungan ketika
melihat suasana sekitar sepi! Tidak terlihat adanya pertarungan lagi.
Namun ketika matanya menatap mayat di depan-
nya, seketika Sunti Ranti menjerit. Mayat yang
terbujur remuk itu tak lain dari Golok Malaikat, ayahnya!
Namun, jeritan Sunti Ranti hanya tertahan
di tenggorokan. Karena, dia masih dalam pengaruh totokan. Namun karena sebuah
totokan memiliki
batas waktu, maka lama kelamaan pengaruh toto-
kan di tubuh Sunti Ranti sirna.
Bergegas Sunti Ranti menghampiri mayat
ayahnya. Dan gadis itu segera bersimpuh di hadapan Golok Malaikat, kemudian
menangis sejadi-
jadinya. "Keparat kau, Samukti! Apa pun yang terja-
di, aku akan mencarimu! Akan kubalas semua sa-
kit hatiku!" desis Sunti Ranti penuh ancaman.
*** 6 Byurrr! Luncuran tubuh Dewa Arak berakhir di
sungai. Tubuhnya terus saja tenggelam ke dalam
air. Sisa-sisa tenaganya dikerahkan untuk mencapai ke permukaan sungai.
Begitu muncul di permukaan sungai, pe-
muda berambut putih keperakan ini benar-benar
tidak mampu berbuat banyak. Karena, arus sungai yang membuat tubuhnya meluncur
cepat terbawa arus yang makin lama makin deras.
Berdasarkan pengalaman, Dewa Arak tahu
kalau aliran sungai yang makin deras pertanda telah dekat air terjun. Berarti,
sebentar lagi, tubuhnya akan dihempaskan ke bawah. Padahal, bi-
asanya di sana batu-batu telah siap melahapnya.
Sementara, tubuh Arya terus meluncur ter-
bawa arus sungai. Sesaat kemudian, telinganya
mendengar bunyi air terjun yang menderu-deru.
Dalam keadaan seperti ini, untuk melawan arus
sungai pun tidak ada gunanya.
Arya hanya mampu memejamkan mata ke-
tika tubuhnya melayang dari atas puncak air terjun. Sudah terbayang di benaknya,
kalau tu- buhnya akan jatuh terhujam batu-batu karang
yang bertebaran di tempat tumpahan air terjun.
Tapi di saat tubuh Dewa Arak melayang ja-
tuh, satu sosok yang tengah duduk di bongkahan
batu di pinggir tempat jatuhnya air terjun melihatnya. Sikapnya tampak murung.
Dan kebetulan, saat tubuh Arya melayang jatuh, kepalanya tengah mendongak ke atas.
Tanpa menunggu lebih lama, sosok itu me-
lolos sabuk dan melemparkannya. Bagaikan hi-
dup, sabuk itu meliuk-liuk, langsung melingkari pinggangnya membentuk simpulan
erat. Selanjutnya, sosok itu bergerak menyentak.
Arya mendarat di batu datar dan luas di de-
pan sosok itu, bagaikan diletakkan oleh tangan
yang tidak tampak. Meski masih lemah, Arya be-
rusaha untuk tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek,"
ujar Arya penuh rasa syukur. Pada sosok yang
ternyata seorang kakek bertangan satu.
Dewa Arak mencoba duduk bersila berha-
dapan dengan kakek penolongnya. Kebetulan batu
itu cukup luas.
"Berterima kasihlah pada Tuhan," jawab kakek bertangan satu. "Tanpa perkenannya,
semuanya tak berarti apa-apa. Aku yakin, semua ini telah di atur Yang Maha
Kuasa. Dan aku hanya
sebagai perantara saja, agar dapat menolong orang yang berjiwa bersih sepertimu,
Anak Muda."
"Terima kasih atas pujian mu, Kek. Aku tak berani menganggap diriku sebagai
orang yang berjiwa bersih. Namun, aku akan berusaha untuk
menjadi seperti itu. O, ya. Namaku Arya Buana,
Kek. Dan, orang-orang biasa memanggilku, Arya!"
Kakek bertangan satu itu tercenung seje-
nak, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Meski telah cukup lama mengasingkan diri, aku juga dengar tentang munculnya
seorang pendekar muda sakti yang berjuluk Dewa Arak! Apa-
kah kau sendiri yang dimaksudkan"! Kulihat,
rambutmu putih keperakan. Pakaianmu ungu. Di
punggungmu, ada guci arak. Dan yang lebih pent-
ing lagi, sepasang matamu mencorong tajam pe-
nuh kekuatan tenaga dalam. Aku yakin, tokoh
sakti setenar Dewa Arak pasti memiliki mata se-
perti itu," ungkap kakek bertangan satu.
"Begitulah orang menjuluki aku, Kek. Na-
mun, aku yakin tidak ada artinya bila dibandingkan dengan nama besarmu. Boleh ku
tahu, siapa kau sebenarnya, Kek"!" tanya Arya hati-hati.
Kakek bertangan satu tidak langsung men-
jawab pertanyaan itu. Dia malah tercenung seje-
nak. "Sebenarnya, aku bermaksud untuk membawa mati rahasia busuk mengenai
perbuatan ter- kutuk yang kulakukan di akhir hidupku!" jelas.
kakek itu, bernada mengeluh.
"Lebih baik, kau tidak usah menceritakan-
nya daripada menjadi beban batinmu, Kek.
Dan...." "Tidak perlu sungkan atau merasa kecil ha-
ti, Dewa Arak! Justru aku ingin menceritakannya.
Dan kebetulan kau, sepertinya layak dipercaya.
Aku tidak ingin perbuatan terkutuk yang kulaku-
kan, membuat hatiku gelisah dan selalu dikejar-
kejar perasaan bersalah. Dengan menceritakan
pada orang lain, beban batin ku akan berkurang."
Dewa Arak diam, tidak memberi tanggapan
sama sekali. "Namaku, Sangga Langit! Tapi, orang lebih
suka memanggilku Eyang Sangga Langit," kakek bertangan satu memulai
keterangannya. "Aku mempunyai.... Yahhh, katakanlah sebuah perguruan. Hanya
saja, jumlah muridku tidak banyak.
Hanya beberapa orang. Di antara mereka, yang
paling menonjol adalah putri seorang sahabat yang sengaja dititipkan padaku.
Seorang gadis cantik bernama Witari, yang memiliki kemampuan di atas kawan-
kawannya. Ini karena ketekunannya dan
juga bakatnya."
Arya diam-diam terkejut ketika mengetahui
kakek di hadapannya adalah Eyang Sangga Langit.
Nama kakek itu telah lama dikenal sebagai seo-
rang tokoh sakti yang memiliki kepandaian yang
luar biasa! Bahkan banyak memiliki ilmu gaib
yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Hanya sa-
ja, jarang ada orang yang tahu tempat tinggalnya.
"Setelah mengajarkan semua kemampuan
yang kumiliki kepada murid-muridku, aku lalu
mengasingkan diri. Pekerjaanku, setiap hari adalah bersemadi dan memusatkan
perhatian untuk
menciptakan ilmu-ilmu lainnya," lanjut Eyang Sangga Langit setelah terdiam
sejenak untuk mengambil napas. "Tapi baru beberapa bulan, Witari muncul. Tepat
pada saat yang bersamaan, aku
terserang rasa gelisah yang begitu mendadak dan aneh. Rasa gelisah ini timbul
karena alam bawah sadarku yang sering kuasah menjadi tajam, merasakan adanya hal
mengerikan yang bakal terjadi.
Tapi sayangnya, aku tidak sadar dengan firasat
yang kuterima. Dan ternyata, malapetaka besar
yang mampu membuat alam bawah sadar ku itu
demikian gelisah berasa! dari muridku."
"Apakah dia berkhianat"!" tanya Arya tidak sabar, karena rasa ingin tahunya.
"Tidak! Sama sekali tidak!" Eyang Sangga Langit menggeleng.
Kemudian lelaki tua ini menceritakan se-
muanya secara lengkap. Beberapa kali, Arya sam-
pai mengeluarkan seruan-seruan kaget mendengar
semua cerita yang disampaikan kakek bertangan
satu itu. "Kalau begitu..., aku telah bertarung melawan Witari palsu yang kau maksudkan,
Eyang," ujar Arya, ketika Eyang Sangga Langit menyelesaikan ceritanya.
"Ahhh...! Benarkah demikian, Arya"! Mak-
sud ku..., kau telah berhadapan dengan orang
yang telah menipuku untuk mendapatkan ilmu
'Urai Raga'"!"
*** Kata-kata Eyang Sangga Langit terdengar
bergetar. Wajahnya diliputi rasa kaget dan tidak percaya.
"Sebenarnya aku tidak yakin, Eyang. Tapi
mungkin saja kalau orang yang kuhadapi adalah
orang yang menyamar sebagai Witari. Masalahnya, sewaktu bertarung beberapa kali
dan tidak mampu mengalahkanku, dia kelihatan mulai penasaran.
Lalu disebutnya satu ilmu yang bernama 'Urai Ra-ga'! Sesaat kemudian...."
"Tubuhnya membesar dan meninggi..."!" selak Eyang Sangga Langit tidak sabar
menunggu kelanjutannya. "Benar...!" jawab Arya cepat.
"Itulah ilmu 'Urai Raga' milikku!" pekik Eyang Sangga Langit setengah mengeluh.
"Sebuah ilmu yang mengerikan!"
Tanpa sadar Arya mengeluarkan kata-kata
seperti itu karena masih terkenang akan kedah-
syatan ilmu yang dipergunakan Samukti, sehingga membuatnya tidak berdaya sama
sekali. "Memang," kata Eyang Sangga Langit memberi persetujuan atas pendapat Arya. "Ilmu
itu memang mengerikan dan akan menyebarkan
maut, apabila berada di tangan orang yang berwatak angkara murka. Ilmu 'Urai
Raga' membuat kemampuan seseorang berlipat ganda! Tenaga da-
lamnya menjadi sangat kuat. Sekujur tubuhnya
seperti terlindung satu dinding kasatmata, sehingga tak satu pun serangan yang
mampu menem- busnya." Arya mengangguk-anggukkan kepala, kare-
na telah merasakan sendiri kebenaran cerita
Eyang Sangga Langit.
"Lalu..., bagaimana cara mengalahkan ilmu
itu, Eyang" Sepengetahuanku, tidak ada ilmu yang tidak punya kelemahan dan
pantangan. Bisakah
kau beritahukan padaku kelemahan ilmu itu,
hingga keangkaramurkaan orang itu bisa ku cegah?" tanya Arya hati-hati, khawatir
salah bicara. Eyang Sangga Langit tidak langsung men-
jawab, tapi malah tercenung. Pandangannya di-
arahkan ke langit pada gumpalan awan yang ten-
gah berarak. "Aku sendiri belum pernah mempergunakan
ilmu itu, karena memang belum lama kudapatkan.
Jadi, bagaimana ku tahu kelemahannya. Tapi yang jelas, ada sebuah kelemahan
besar dalam ilmu
'Urai Raga' yang dimiliki oleh Witari palsu itu!"
"Aku belum mengerti maksudmu, Eyang"!"
desah Arya, tidak segan untuk mengutarakan ke-
tidaktahuannya.
Eyang Sangga Langit tersenyum getir, seba-
gaimana halnya orang-orang yang tidak memiliki
beban batin dalam hatinya. Kakek ini rupanya masih teringat akan perbuatan
terkutuknya yang dilakukan bersama Witari. Perbuatan terkutuk yang membuat
batinnya terguncang hebat.
"Mungkin perlu sedikit kuberitahukan, De-
wa Arak. Dunia ini dihuni oleh tidak hanya manusia saja. Namun, masih ada
makhluk-makhluk
lain yang tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba, ataupun dirasa. Tapi, mereka
ada. Makhluk-makhluk ini di namakan makhluk gaib yang ka-
satmata. Tinggalnya pun di alam gaib. Tempat
yang bagi sebagian orang sulit diterima akal sehat," Eyang Sangga Langit mulai
dengan penjela-sannya.
Arya terdiam. Dewa Arak juga percaya
adanya makhluk-makhluk gaib beserta alamnya.
Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu
mempunyai sesuatu dari alam gaib. Apabila diper-
lukan Belalang Raksasa-nya sewaktu-waktu bisa
dipanggil untuk membantu (Mengenai belalang
raksasa ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Dalam Cengkeraman
Biang Iblis").
Makhluk-makhluk gaib itu ada yang berupa
binatang, ilmu jin, setan, genderuwo, kuntilanak, tuyul, buto ijo dan Iain-lain
sebagainya. Nah! Ilmu
'Urai Raga' itu kudapatkan, karena hubunganku
yang erat dengan buto ijo. Namanya Tagula! Jadi, apabila kata 'Urai Raga'
disebut, maka tubuh
orang yang menyebutnya menjadi besar. Memang,
tidak sebesar dan setinggi raksasa di alam gaib.
Tapi paling tidak, dua kali lipat lebih tinggi dan lebih besar dibanding ukuran
orang pada umum-
nya." "Jelasnya ilmu 'Urai Raga' mempunyai kelemahan, Eyang?" desak Arya meminta
penegasan. "Tidak!" sahut Eyang Sangga Langit lantang.
"Sepengetahuanku, tidak! Tapi, ilmu 'Urai Raga'
yang dimiliki Witari palsu itu ada kelemahannya!"
"Bisa kau beritahukan, mengapa dan ba-
gaimana aku bisa mengalahkannya melalui kele-
mahan yang dimilikinya"!"
"Tentu saja!" sahut Eyang Sangga Langit dengan suara dan sikap mantap. Tapi
sebelumnya, maukah kau memenuhi permintaanku" Sebenarnya memang ini urusanku.
Tapi karena aku sudah
sangat tua dan tak mungkin lagi menempuh perja-
lanan jauh, maka kuminta tolong padamu, Dewa


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arak. Maukah kau"!"
"Bersedia, Eyang. Tentu saja dengan syarat, tidak menyeleweng dari kebenaran!"
jawab Arya mengajukan syarat.
"Tentu saja tidak, Dewa Arak!" timpal Eyang Sangga Langit cepat. Kau hanya
kuminta mencari
Witari, dan melindunginya kalau terjadi apa-apa.
Aku tidak tahu, dia pergi ke mana. Mungkin kem-
bali ke rumah orang tuanya. Aku benar-benar
mengkhawatirkannya."
"Akan kuperhatikan semua kata-katamu,
Eyang. Sekarang, beritahukanlah padaku. Apa ke-
lemahan ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki Witari palsu itu dan bagaimana aku bisa
mengalahkannya!"
Kemudian Eyang Sangga Langit menje-
laskan tentang kelemahan ilmu 'Urai Raga'. Se-
mentara, Arya mendengarkan penuh minat.
"Satu pertanyaan lagi, Eyang. Tapi kalau
kau tidak mau menjawabnya, aku tidak akan me-
maksa," ujar Arya ketika Eyang Sangga Langit telah memberitahukan kelemahan ilmu
'Urai Raga' yang dimiliki Samukti.
"Hm....!" gumam Eyang Sangga Langit, pelan. "Apakah tempat ini berhubungan
dengan ruangan di mana kau dulu hampir dibunuh Witari
palsu"!"
Eyang Sangga Langit mengangguk.
"Ada sedikit tambahan lagi, Eyang!" tambah Arya, agak terburu-buru karena
pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba. "Apakah kau tahu, kalau pengaruh aneh yang melanda
perasaanmu dan perasaan Witari tidak sewajarnya"! Kalau benar, berarti ada orang
yang sengaja menginginkan terjadi.
Untuk apa"! Dan apakah kau bisa menduga, siapa
orang itu"!"
Eyang Sangga Langit menautkan alisnya.
"Memang agaknya ada pihak ketiga yang te-
lah mempengaruhiku. Dengan menggunakan ilmu
gaib yang menjijikkan, dia berhasil menjeru-
muskanku ke lembah kehinaan! Sayang, aku tak
tahu siapa orang itu. Kalau tidak, sudah kuhan-
curkan kepalanya!"
Arya tidak menanggapi lagi. Dia tahu, Eyang
Sangga Langit bersungguh-sungguh dengan an-
camannya. Kakek itu terlihat demikian terpukul
akibat perbuatan terkutuk yang pernah dilaku-
kannya. "Kurasa sudah waktunya aku hams pergi,
Eyang. Akan kucari Witari palsu itu. Dan, akan ku lenyapkan angkaramurkanya.
Selamat tinggal,
Eyang!" ucap Arya Buana sembari berpamitan.
"Selamat jalan, Dewa Arak! Selamat bertu-
gas, semoga kau berhasil!"
*** Dewa Arak mengernyitkan alis dengan mata
menyipit untuk lebih memperjelas pandangan. Di
kejauhan tampak ada sesosok tubuh tengah berla-
ri cepat menuju ke arahnya. Padahal, dia sendiri tengah berlari cepat menuju ke
arah sosok itu.
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih
cepat. Setitik harapan tumbuh di hatinya. Siapa tahu sosok, yang tengah melesat
cepat ke arahnya itu Samukti!
Tapi seiring semakin dekatnya jarak, Arya
mulai bisa menduga kalau sosok di depannya bu-
kan Samukti. Pakaian sosok itu merah! Lagi pula, tubuhnya kecil dan ramping!
Jelas, seorang wanita!
Jantung dalam dada Arya berdetak jauh le-
bih cepat, ketika menduga kalau sosok di depan-
nya orang yang dimaksud Eyang Sangga Langit.
Witari! "Ah...!"
Arya berseru kaget, ketika wanita berpa-
kaian merah terhuyung-huyung kemudian jatuh
ke tanah. Semula hatinya heran. Tetapi ketika melihat ada sosok lain yang
melesat cepat memburu ke arah gadis itu, Arya segera tahu apa yang telah
terjadi. Sosok yang melesat belakangan itu, tengah mengejar-ngejar sosok yang
diduga Witari! Dan
bukan tak mungkin, sosok yang baru datang bela-
kangan ini telah membuat Witari roboh! Entah
dengan pukulan jarak jauh, atau serangan senjata rahasia!
"Tahan...!"
Arya mengeluarkan seruan keras, ketika
melihat sosok itu menghampiri tubuh gadis berpakaian merah. Pemuda itu khawatir,
sosok itu akan mengirimkan serangan maut.
Berbareng dengan teriakan itu, Dewa Arak
mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Dan
saat itu juga tubuhnya melesat cepat ke depan.
"Ah! Kiranya kau, Kek," desah Arya dengan suara lega, ketika melihat jelas siapa
sosok yang tengah berdiri di dekat gadis berpakaian merah.
Orang itu ternyata Janggara!
"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak...!" Janggara juga berseru.
Dan Arya merasakan adanya nada gembira
dalam suara Janggara. Wajah kakek itu pun ber-
seri-seri. "Dunia memang tidak terlalu luas, Kek," kilah Arya sekenanya, sambil
menyempatkan diri
untuk memperhatikan gadis berpakaian merah
yang tergolek di tanah.
Meski sekelebatan, pemuda ini sempat me-
lihat adanya tahi lalat di pipi kanannya. Tidak salah lagi, gadis ini adalah
Witari! Janggara melihat lirikan Arya.
"Kau kenal gadis ini, Arya"!"
"Ya, kira-kira begitu," sahut Arya, mengangguk. "Guru gadis ini pernah
menyelamatkan nya-waku!" Janggara terdiam. Kepalanya hanya mengangguk-angguk.
Entah, apa arti anggukannya.
"Kelihatannya kau ada persoalan dengan-
nya, Kek"!" pancing Arya ingin tahu.
*** 7 Janggara menghela napas berat.
"Sebenarnya sih, tak ada masalah yang be-
rarti. Kami secara kebetulan bertemu di jalan. Dia kutanya baik-baik, eh...,
malah marah-marah dan menyerangku. Terpaksa aku melawan. Rupanya,
dia tak kuat melawanku, dan melarikan diri. Kare-na aku telanjur penasaran, dia
kukejar. Dan..., kurasa kejadian selanjutnya kau telah tahu sendiri, Arya,"
jelas Janggara.
Arya mengangguk.
"Aku bisa memaklumi, mengapa dia marah-
marah padamu, Kek"! Gadis ini memang tengah
mendapat masalah. Jadi, mungkin saja menjadi
gampang tersinggung. Tapi, dia sebenarnya tidak jahat. Maka ku mohon, kau sudi
mengampuninya. Aku akan membawanya kembali pada gurunya.
Karena, guru gadis itu sendiri yang telah memintaku untuk mencarinya. Apakah kau
bersedia memaafkan kelancangannya, Kek"!"
"Karena kau yang meminta, aku tidak
punya pilihan lain, Arya. Aku percaya padamu.
Dan ku putuskan masalah ku dengannya selesai!"
"Terima kasih, Kek. Sudah kuduga kau pas-
ti akan bertindak bijaksana."
Janggara tertawa terkekeh.
"Ah...! Hampir aku lupa! Bagaimana nasib
muridmu itu, Kek" Sudah berhasil kau sela-
matkan"!"
Wajah Janggara muram seketika itu juga.
Tentu saja Arya kaget, melihat kenyataan
yang sama sekali tidak diduga. Meski kakek ber-
wajah tirus itu tidak memberi jawaban, namun da-ri sorot matanya menyiratkan
kegagalan. "Hhh...!"
Janggara terlebih dulu menghembuskan
napas berat, seperti hendak membuang ganjalan
dalam dadanya. "Kurasa tidak akan ada seorang pun yang
sanggup menyelamatkan nyawa muridku itu,
Arya." "Lho mengapa, Kek"!" tanya Arya kaget campur heran.
Dewa Arak tahu, siapa Janggara. Kakek
berwajah tirus yang memiliki kepandaian amat
tinggi. Bahkan Arya tak berani menganggap kalau kepandaian kakek ini berada di
bawah tingkatnya.
Kalau Janggara saja sudah demikian putus asa
untuk bisa berbuat sesuatu, bisa dibayangkan seberapa kuat kesaktian lawan yang
dihadapinya! "Muridku menjadi tawanan seorang tokoh
sakti, di sebuah tempat yang bernama Puncak
Nirwana. Jangankan untuk bisa masuk ke dalam
sana. Menghadapi dua penjaga di tiap-tiap pos
pun, aku sudah tak mampu. Kalau hanya meng-
hadapi seorang di antara mereka aku akan sang-
gup. Tapi, dua orang sekaligus"! Padahal, tingkat kepandaian mereka hanya
berbeda sedikit denganku!"
"Puncak Nirwana"!" Arya mengulang nama tempat itu dalam hati sambil
mengernyitkan alis.
Dewa Arak memang pernah mendengar na-
ma Puncak Nirwana. Tapi, tempat itu lebih menye-rupai dongeng. Menurut berita
yang tersebar, letak Puncak Nirwana teramat rahasia. Tidak ada seorang pun tokoh
persilatan tahu, di mana tempat-
nya. Sehingga, mereka hanya menganggap tempat
itu sebagai dongeng semata!
"Benar. Mengapa"!" Janggara balas mengajukan pertanyaan.
"Tidak apa-apa, Kek. Kukira tempat itu
hanya ada dalam dongeng. Masalahnya, belum
pernah ada orang yang dapat menemukan tempat
itu," jawab Arya jujur.
"Tempat itu memang benar-benar ada,
Arya," jelas Janggara sungguh-sungguh. "Di sana tinggal keluarga yang amat sakti
dan berkepandaian sangat tinggi! Jangankan majikannya. Baru para penjaganya
saja, sudah jarang dapat tertan-dingi tokoh persilatan tingkat atas!"
"Benarkah demikian, Kek"!" tanya Arya setengah tak percaya.
"Benar, Arya," tegas Janggara mengangguk, mantap. "Kau kira, dari mana aku bisa
memiliki kepandaian setinggi ini"!"
Wajah Arya berubah.
"Jadi..., kau penghuni Puncak Nirwana,
Kek"!" "Bukan. Aku orang luar. Hanya kebetulan, mendapat pertolongan dan
dijadikan sebagai pe-waris ilmu-ilmu mereka. Tapi hanya sebagian kecil saja yang
diturunkan padaku. Lainnya, tidak diturunkan karena merupakan ilmu keluarga!
Jadi, hanya anggota keluarga saja yang bisa mempelajarinya!" Dewa Arak terkejut bukan
kepalang mendengar keterangan ini. Kalau penuturan Janggara benar, sulit
dibayangkan betapa tingginya kepandaian keluarga di Puncak Nirwana. Dan
andaikata mereka turun ke dunia persilatan dan membuat
onar, siapa yang akan sanggup mengalahkannya"
"Mungkin kau pernah mendengar julukan
Raksasa Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksa-
sa"! Kalau tidak salah, sekitar lima belas tahun yang lalu"!" tanya Janggara.
Arya mengangguk, karena memang pernah
mendengarnya. Kedua tokoh yang disebutkan tadi
memang memiliki kepandaian dahsyat. Begitu me-
nurut berita yang tersebar di dunia persilatan. Se hingga tokoh sakti pentolan
dunia pendekar seperti Golok Malaikat harus menelan kenyataan
pahit, dicundangi mereka dalam pertarungan satu lawan satu!
"Nah! Mereka adalah penjaga-penjaga jalan
menuju Puncak Nirwana! Di tempat asal mereka
tidak ada julukan apa pun. Tapi begitu turun gunung, muncul julukan atas mereka
karena tinda- kan-tindakan mereka yang menggemparkan!"
"Kudengar mereka tidak jahat!" selak Arya mengajukan pendapatnya.
"Memang tidak! Mereka turun gunung kare-
na mencariku. Aku kabur dari Puncak Nirwana,
karena tidak tahan berdiam di sana terus mene-
rus. Aku ingin langsung membalas sakit hatiku
pada tokoh-tokoh hitam yang menyebabkan ke-
luargaku tewas. Ayah, ibu, dan adik-adikku tewas oleh gerombolan perampok. Maka
setiap tokoh golongan hitam adalah musuh besarku. Yang hams
ku basmi! "Pantas, kemarin dulu waktu didatangi ke-
lompok tokoh-tokoh hitam, tindakanmu terlalu keras!" kata Arya mengangguk-angguk
maklum. "Yahhh...! Kira-kira demikian, Arya."
Suasana hening ketika Janggara menghen-
tikan cerita. Saat itu, baru Arya teringat pada Witari. Gadis ini ternyata tidak
mampu bergerak sa-ma sekali dalam keadaan rebah miring. Rupanya,
dia tertotok sehingga lumpuh.
"Ah...! Hampir aku lupa..."!"
Sambil berkata demikian, Arya mengi-
baskan tangan kanan ke bawah seperti orang
mengebut lalat. Gadis berpakaian merah yang
memang Witari merasakan jalan darahnya kembali
lancar. Namun, dengan muka merah, dia bangkit
dan menerjang Janggara.
Tapi, hal itu sudah diperhitungkan Dewa
Arak. Sebelum serangan Witari mengenai sasaran-
nya, di kirimkan totokan dari jauh. Sehingga, tubuh Witari ambruk seperti semula
ketika jalan darahnya di bagian bahu kanan tertotok.
"Maafkan aku, Witari. Kurasa kau telah
dengar sendiri. Salah paham telah selesai. Syukur, Kakek ini mau memaafkan
kesalahanmu. Kalau
tidak.... Sudahlah. Tak usah kau perpanjang lagi masalah ini. Lagi pula aku
mendapat tugas dari
Eyang Sangga Langit untuk menjagamu dari mara
bahaya. Gurumu khawatir, terjadi sesuatu atas dirimu!" Witari diam, tidak
menjawab sama sekali.
Hal ini membuat Arya agak heran. Dia tahu, urat suara gadis ini tidak tertotok.
Lalu, mengapa tidak mau bicara sama sekali" "Kalau menurut pendapatmu..., apa
yang seharusnya kulakukan, Arya"!"
Pertanyaan Janggara membuat Arya menga-
lihkan perhatiannya pada kakek itu.
"Maksudmu untuk menyelamatkan nyawa
muridmu itu, Kek"!" tanya Arya meminta kepastian. "Benar, Arya. Melalui dua
penjaga, Raksasa Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksasa, aku


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu Tuan Besar pemilik Puncak Nirwana itu men-
gajukan persyaratan, kalau aku ingin muridku
kembali selamat."
"Apa syaratnya"!"
"Dia meminta ku untuk memulangkan se-
mua pusaka yang dulu kubawa sewaktu kabur da-
ri Puncak Nirwana!" jawab Janggara, malu-malu.
"Nah! Tunggu apa lagi"! Dia sudah bersikap bijaksana dengan memberikan pilihan
bagi keselamatan muridmu, Kek. Bahkan tidak mau meng-
hukum mu. Dia hanya minta pusaka-pusaka
kembali! Sekarang, tinggal terserah padamu. Lebih berat pada pusaka, atau pada
nyawa muridmu?"
"Itulah sulitnya, Arya. Pusaka yang dimak-
sud sudah tak ada lagi di tanganku!"
"Ah...! Mengapa bisa demikian, Kek"!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan rasa
penasarannya. "Aku menyembunyikannya di suatu tempat.
Tapi ketika aku bermaksud mengambilnya
lagi, ternyata telah hilang. Belakangan kuketahui kalau pusaka itu telah berada
di tangan seorang pendekar. Aku ragu, bagaimana cara menda-patkannya kembali!"
"Mungkin kau bisa memintanya secara
baik-baik, Kek"!" Arya mengajukan usul.
"Bagaimana mungkin, Arya"! Pusaka itu te-
lah menjadi senjata andalan pendekar itu. Tanpa adanya pusaka itu, dia bagai
macan yang telah di-
cabut gigi dan kukunya. Begitu yang kudengar
menurut berita di dunia persilatan," bantah Janggara. Suasana kembali hening.
"Kalau seandainya kau orangnya, bagaima-
na tindakanmu, Arya"! Ini, misalnya," pancing Janggara.
"Mungkin akan kuberikan, Kek. Tapi,
mungkin pula tidak. Ini bukan masalah semba-
rangan. Bukankah pusaka tidak lebih berharga
daripada nyawa. Pusaka masih bisa dicari gan-
tinya. Sedangkan nyawa" Tidak!"
"Kalau begitu..., aku mohon kebijaksanaan
mu untuk memberi pusaka itu padaku untuk me-
nebus nyawa muridku itu, Arya," ujar Janggara.
Arya melompat ke belakang bagai disengat
kalajengking. Wajahnya kontan berubah hebat.
"Apa maksudmu, Kek"! Jangan main-main!"
seru Arya memperingatkan.
"Aku tidak main-main, Arya. Pusaka yang
ku maksud memang ada padamu. Kaulah pende-
kar yang kumaksudkan," ungkap Janggara, bersungguh-sungguh.
Arya terpaku kaku di tempatnya, bagai
orang terkena sihir. Pemuda ini kelihatan bingung sekali, karena tidak menyangka
kalau pusaka yang dimaksudkan ada di tangannya.
"Jadi..., pusaka yang kau maksudkan itu
adalah..., guci pusakaku ini, Kek"!" tanya Arya, terbata-bata.
Janggara mengangguk.
"Guci itulah yang kularikan dari Puncak
Nirwana, Arya. Karena aku tahu betul khasiatnya.
Mampu menawarkan racun-racun, mampu mem-
buat arak yang lemah sekali pun menjadi keras,
dan dapat dijadikan senjata. Bahkan masih ba-
nyak lagi kehebatan lainnya. Aku tidak tahu, bagaimana pusaka itu bisa ada
padamu. Tapi, ku
mohon kesediaanmu untuk memberi guci itu pa-
daku untuk di tukar nyawa muridku, Arya."
Arya tidak langsung memberi tanggapan.
Dia masih berperang melawan batinnya. Dua kein-
ginan yang berlawanan berkecamuk dalam ha-
tinya. Satu sisi ingin memberi, di sisi lain menolak.
"Tidak bisakah yang lainnya, Kek"! Bukan-
nya aku tidak peduli nasib muridmu atau terlalu tamak dengan pusaka. Sama sekali
tidak! Tapi..., guci ini teramat penting artinya bagiku. Tanpa adanya guci ini,
bagaimana mungkin aku berjuluk Dewa Arak. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti' tidak
akan bisa ku mainkan, tanpa guci ini. Julukan
Dewa Arak mungkin akan hapus karenanya," kilah Dewa Arak, memberi alasan.
Janggara tersenyum pahit
"Seperti yang kukatakan tadi, Arya. Guci itu amat berarti bagi seorang pendekar.
Laksana nyawa kedua baginya. Jadi, yahhh...! Aku tidak bisa mengharap terlalu
banyak," desah Janggara.
"Beri aku kesempatan untuk berpikir, Kek,"
pinta Arya. "Ketahuilah. Kalau hanya dua alasan itu, aku tidak terlalu berat
untuk melepaskannya.
Meski berat, tapi mungkin aku akan memberikan-
nya padamu. Betapapun juga, nyawa manusia
jauh lebih berharga daripada pusaka."
"Jadi..., masih ada alasan lain yang mem-
buat mu merasa keberatan, Arya"!" tanya Janggara agak kaget.
"Benar, Kek. Malah justru ini yang terberat!
Perlu kau ketahui, guci ini pemberian guruku. Dan dia memberikan, untuk menjadi
pelengkap ilmu andalan yang diwariskannya padaku!"
"Ah...!"
Janggara mengeluarkan keluhan tanpa
sempat ditahan lagi. Sebagai seorang tokoh persilatan yang menghargai hubungan
murid dan guru,
kakek ini tahu betapa pentingnya warisan seorang guru. Dan seorang murid wajib
menjaga pemberian gurunya dengan sebaik-baiknya. Karena, itu sama dengan amanat
Janggara pun tahu, rasa
bimbang Dewa Arak semakin bertumpuk.
"Kurasa," Janggara membuka ucapan lagi dengan suara kering dan getir. "Aku tidak
perlu melibatkanmu dalam hal ini, Arya. Biarlah kucari cara lain untuk
menyelamatkan muridku."
Arya tidak memberi tanggapan. Keningnya
tampak berkernyit, tengah berpikir keras.
"Aku mempunyai jalan lain, Kek. Bagaima-
na kalau kita pergi bersama-sama. Kita coba un-
tuk meminta kebijaksanaan penghuni Puncak
Nirwana itu. Kalau dia tetap tidak menerima, apa boleh buat. Mungkin guci itu
terpaksa harus kuberikan. Biar bagaimanapun, benda itu toh asalnya dari sana,"
jelas Dewa Arak.
"Sebuah usul yang baik, Arya," sahut Janggara tidak terlalu gembira. "Tapi terus
terang saja, aku tidak terlalu yakin kalau Tuan Besar itu mau
menerima kedatangan kita."
"Tapi tidak ada salahnya kita mencoba du-
lu, Kek"!" kilah Arya memberi semangat.
"Kau benar, Arya. Tapi...."
"Apa yang perlu diragukan lagi, Kek"! Bu-
kankah menurut pengakuanmu, penghuni Pun-
cak. Nirwana adalah orang-orang yang berwatak
bijaksana dan suka menolong. Aku yakin, mereka
akan memberi keputusan yang adil!"
Janggara untuk yang kesekian kalinya
menghela napas berat. Hal ini membuat Arya he-
ran. Karena sebagai pemuda yang kenyang penga-
laman, dia bisa tahu ada sesuatu yang masih disembunyikan kakek itu.
"Dulu penghuni Puncak Nirwana memang
memiliki watak baik hati dan suka menolong. Tapi sekarang, entah mengapa bisa
sampai berubah seperti ini. Aku tidak percaya lagi, Arya. Tapi, tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan nyawa muridku. Menurut pendapatmu, pantaskah seorang
tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, menyande-ra seorang gadis muda untuk
memaksa gurunya
memenuhi permintaan itu"! Bukankah ini aneh"!
Aku yakin, telah terjadi perubahan pada diri penghuni Puncak Nirwana itu."
Arya diam. Meski demikian, dalam hatinya
menyetujui pendapat yang dikemukakan Janggara.
"Bahkan...," sambut Janggara lagi. "Bukan hanya kembalinya guci pusaka untuk
merebut nyawa muridku, tapi juga seorang gadis cantik
berpakaian merah yang bernama Witari."
Di luar dugaan Janggara, Arya tidak kaget
sama sekali. Bahkan seperti telah mengetahui sebelumnya.
"Kau tidak kaget, Arya"! Apakah kau telah
menduga sebelumnya"!" Arya mengangguk.
"Aku merasa curiga, ketika Witari tidak
mampu bicara. Padahal, aku tahu secara pasti, kalau tidak ada totokan pada urat
suaranya. Berarti ada seseorang yang telah melakukan sesuatu
membuat urat suaranya tidak mampu bekerja. Pa-
dahal tadi, sewaktu tubuhnya tersungkur aku
sempat mendengar jeritan kagetnya," jelas Arya be-ralasan.
Janggara diam, namun wajahnya mendadak
berubah memerah. Ini menjadi petunjuk kalau ka-
kek itu merasa malu.
"Dan setelah tahu semua ini, kau masih
mau menolongku, Arya"!" tanya Janggara setengah tak percaya.
"Tentu saja, Kek. Aku tahu, kau bukan
orang jahat. Dan tindakan yang kau lakukan pun
bukan karena itu. Tapi, karena terdorong keinginan untuk menolong muridmu. Dan
lagi, kalau kau memaksa untuk membawa Witari, mana
mungkin aku mampu menghalangimu"!"
"Kau memang pintar merendah, Arya. Mana
mungkin aku yang setua ini dapat mengalahkan
mu"!" Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera membebaskan totokan yang membelenggu
Witari. Se- dangkan, Janggara mengeluarkan obat sedot yang
membuat urat suara gadis itu kembali seperti biasa.
Witari ternyata tidak menyerang Janggara
lagi. Karena sebelumnya, Arya telah membujuk-
nya. Dan gadis itu memang tidak keras kepala.
Sekarang, ketiga tokoh ini telah melesat
menuju Puncak Nirwana. Arya sengaja mengajak
Witari untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu hal
yang ditakuti. *** 8 "Itulah pintu masuk menuju Puncak Nirwa-
na, Arya," jelas Janggara ketika melalui jalan berliku-liku yang sukar ditemukan
orang. Tidak hanya Arya yang mengarahkan pan-
dangan ke arah yang ditunjukkan kakek itu, tapi juga Witari. Di depan sana jalan
berbatu padas membentang. Di kejauhan, dua buah gundukan
batu sebesar gajah, berjarak sekitar setengah tombak saling bersebelahan
memisahkan jalan. Dan
tempat ini adalah pos penjagaan Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Hey...!"
Seruan kaget hampir berbareng keluar dan
mulut mereka bertiga begitu melihat sosok tubuh berpakaian biru terlempar keluar
dari celah-celah batu yang merupakan pintu gerbang.
"Dia..., gadis itu..., putri Golok Malaikat..!"
seru Arya. Meskipun jaraknya cukup jauh, namun
dari pakaiannya yang kuning bisa dikenali kalau
sosok yang terlempar adalah Sunti Ranti!
Baru saja seruan pemuda berambut putih
keperakan itu keluar, dari celah batu yang sama melesat sesosok tubuh kecil dan
pendek. "Itulah Tuyul Bertenaga Raksasa! Penjaga
pos ini...!" teriak Janggara.
Melihat keadaan itu, membuat Janggara,
Dewa Arak, dan Witari semakin mempercepat lari.
Berada paling depan adalah Dewa Arak. Di bela-
kangnya, Janggara. Dan terakhir Witari.
Dewa Arak tiba pada saat yang tepat. Tu-
buhnya melesat, menyelak di antara kedua tokoh
yang bertarung tak seimbang. Lalu segera dipa-
paknya.... Plak! "Uhhh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa mengeluh kaget,
ketika tubuhnya terhuyung ke belakang akibat
tangkisan Dewa Arak. Di lain pihak, pemuda itu
pun terhuyung sedikit ke belakang.
"Menyingkirlah, Nona," ujar Arya tanpa menoleh karena tahu sedang berhadapan
dengan seo- rang lawan, tangguh. "Dia terlalu tangguh untuk mu." Sunti Ranti yang menyadari
kesaktian Tuyul Bertenaga Raksasa tidak banyak membantah. Kakinya segera
melangkah mundur setelah
terlebih dulu menatap penuh kagum pada Dewa
Arak. Sementara Tuyul Bertenaga Raksasa mena-
tap Arya penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kukira hanya aku yang dilahirkan dalam
keadaan tak wajar. Ternyata, tidak. Hey! Kau ini anak muda atau orang tua sih"!"
tanya kakek kecil kurus itu, seperti bertanya pada seorang anak kecil.
"Kalau menurut penglihatanmu, bagaima-
na"!" balas Arya. Nadanya memberikan pilihan.
"Tentu saja kakek-kakek! Ha ha ha...!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa penuh rasa
gembira karena merasa berhasil mengejek.
"Kalau begitu, matamu perlu juga diperiksa, Kek! Bukan hanya tubuhmu saja yang
tidak wajar tapi juga matamu!" balas Arya.
Kini Tuyul Bertenaga Raksasa yang justru
mencak-mencak seperti kakek kebakaran jenggot.
"Kunyuk lapar, Singa ompong! Kuda pin-
cang! Lalat jelek! Kecoak buduk! Nah! Semua itulah perkataan yang paling cocok
untukmu, Orang Aneh! Orang setengah tua setengah muda!"
"Terserah apa katamu saja, Kek," jawab Arya sambil berusaha menahan perasaan
geli. Tingkah kakek itu benar-benar membuatnya ham-
pir tidak bisa menahan tawa.
"Ah! Jadi kau menantangku rupanya"! Me-
rasa sakti, setelah menangkis seranganku"! Ru-
panya kau sok jago, karena ada gadis cantik di be-lakangmu, eh"! Sok pahlawan!
Cara kuno! Semua
orang sudah tahu, kau hanya berusaha menarik
perhatian gadis itu kan"!" celoteh Tuyul Bertenaga Raksasa panjang lebar.
Wajah Arya kontan memerah. Makian itu
terlalu! Dia khawatir, Sunti Ranti akan salah teri-
ma. "Kakek aneh! Mulutmu semakin tidak ka-ruan! Ketahuilah, aku datang untuk
menemui Tuan Besarmu! Cepat antarkan aku ke sana!" seru Arya. "Kau kira mudah untuk
bertemu Tuan Besar"! Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin me-
nemuinya"!" tantang Tuyul Bertenaga Raksasa sambil membusungkan dadanya yang
tipis seperti papan. Dan sebelum Arya memberikan tanggapan,


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuyul Bertenaga Raksasa telah menyerang. Setiap serangannya menimbulkan bunyi
bercicitan nyaring. Dan tak punya pilihan lain, kecuali melade-ninya.
Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi. Diam-diam Dewa Arak mengakui
kebenaran ucapan Janggara. Tuyul Bertenaga Raksasa me-
mang memiliki kepandaian tinggi. Terutama sekali tenaga dalamnya. Beberapa
gebrakan dengan tangan kosong, pemuda berambut putih keperakan ini telah bisa
melihat sendiri kelihaian lawannya.
Sementara itu Janggara, Sunti Ranti, dan
Witari menyaksikan pertarungan dengan hati ter-
tarik bercampur kagum. Terutama sekali, Jangga-
ra. Untuk pertama-kalinya, dia berhasil menyaksikan sendiri kelihaian pemuda
berambut putih ke-
perakan itu. Terlihat jelas kalau Dewa Arak berhasil menekan lawannya.
Memang, bagi Janggara sendiri, Tuyul Ber-
tenaga Raksasa masih ada di bawahnya. Tapi ken-
dati demikian, kakek ini tidak berani memastikan kalau menghadapi Dewa Arak akan
unggul. Sementara itu Sunti Ranti dan Witari tidak
terlalu terpaku pada pertarungan itu. Gadis-gadis manis ini saling lirik satu
sama lain. Ada sorot iri pada sinar mata mereka, yang timbul karena perasaan
cemburu. Beberapa kali mereka saling ben-
trok pandang, dengan cepat masing-masing pihak
mengalihkan tatapan ke arah lain.
Witari merasa iri pada Sunti Ranti. Dia ta-
hu, putri Golok Malaikat itu cantik jelita. Dan bukan tidak mungkin Dewa Arak
akan jatuh hati pa-
danya. Memang dalam hati kedua gadis manis ini
ada rasa tertarik yang besar terhadap Dewa Arak.
Pemuda itu demikian tampan, lihai, tapi rendah
hati. Bahkan terlihat matang penuh pengalaman
hidup. Di lain pihak Sunti Ranti, juga tidak senang pada Witari. Gadis ini tidak
habis pikir, bagaimana Dewa Arak bisa berjalan bersama gadis itu. Sama sekali
tidak disangka kalau Dewa Arak bisa jatuh hati pada Witari. Hatinya pun panas,
karena cemburu.
*** "Akh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa menjerit kesaki-
tan ketika tangan Dewa Arak telah menampar
pundaknya. Tubuhnya kontan terpelanting ke be-
lakang. Dari mulutnya keluar darah segar!
Sebelum Tuyul Bertenaga Raksasa berbuat
sesuatu, Dewa Arak telah melesat cepat. Kakek ini tidak bisa berkutik lagi,
ketika jari tangan Dewa Arak telah menempel pada ubun-ubunnya.
Tuyul Bertenaga Raksasa tahu, dia telah ka-
lah. Sedikit saja jari tangan Dewa Arak bergerak menekan, nyawanya akan melayang
dengan kepala pecah! "Tunggu apa lagi"! Aku telah kalah! Bunuhlah aku...!" pekik Tuyul
Bertenaga Raksasa. Pekik yang keluar dari hati yang kecewa, karena gagal
menunaikan tugas.
Bukannya memenuhi permintaan itu, Arya
bahkan menjauhkan jari-jari tangannya dari
ubun-ubun Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Aku bukan pembunuh berdarah dingin,
Kek. Lagi pula, aku tidak pernah mau membunuh
lawan yang tak berdaya. Di samping itu, kedatanganku kemari bukan untuk mencari
permusuhan! Kau telah kalah, berarti aku bebas masuk ke da-
lam!" Setelah berkata demikian, tanpa peduli lagi Arya meninggalkan Tuyul
Bertenaga Raksasa. Kakinya cepat terayun menuju ke dalam. Di belakang nya,
Janggara, dan dua gadis lain yang berjalan saling berjauhan ikut masuk pula.
Tapi sekitar belasan tombak kemudian, ke-
tika medan yang ditempuh berupa hutan kecil
dengan hamparan semak-semak dan ranting ker-
ing di sekitarnya, muncul sesosok tubuh mengha-
dang. Siapa lagi kalau bukan Raksasa Kapak Maut
"Biarkan mereka masuk...!"
Belum juga Raksasa Kapak Maut bertindak,
terdengar seruan keras. Maka kapak di bahunya
yang siap digunakan untuk menyerang segera di-
turunkan. Seruan yang menggema karena dikelua-
rkan lewat pengerahan ilmu mengirimkan suara
dari jauh, membuat semua yang ada di tempat ini terkejut
"Ikut aku...!"
Tiba-tiba Raksasa Kapak Maut berujar
sambil berbalik. Kakinya lantas melangkah me-
ninggalkan tempat itu. Lelaki tinggi besar ini tentu saja mengenal Janggara yang
bersama Dewa Arak.
Namun sedikit pun tidak ada teguran dari mulut-
nya. *** "Hik hik hik..!"
Satu tawa mengikik nyaring tiba-tiba me-
mecahkan ketegangan ketika Dewa Arak dan
orang-orang yang bersamanya telah berada di tepi jurang yang sangat dalam.
Mereka menjadi was-was, apakah harus menyeberangi jurang yang
menggunakan seutas tambang ini, atau tidak. Bu-
kan tidak mungkin kalau mereka semua akan di-
kandaskan di dasar jurang yang dalam ini.
"Rupanya, Dewa Arak dan Janggara hanya
manusia-manusia pengecut yang tak berani
menghadapi tantangan! Hik hik hik...! Ingin ku-
dengar bagaimana tanggapan dunia persilatan ka-
lau mendengar hal ini!"
"Jangan harap kau bisa memancing kami
untuk bisa dijebak dengan akal bulus itu, Sobat!"
sahut Dewa Arak, seperti berbisik.
Pada saat berkata tadi, wajah Dewa Arak
tampak merah. Dan semua yang ada di sini tahu,
pemuda itu memang tengah mengerahkan ilmu
mengirimkan suara jarak jauh. Buktinya, bunyi
yang terdengar di seberang jurang keras dan lantang. "Hik hik hik...!"
Tawa mengikik terdengar lagi, menyambut
ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa yang keluar dari
mulut seorang nenek-nenek!
"Kalau kau bersikap jujur, keluarlah! Dan, antarkan kami sampai ke seberang.
Kalau tidak, berarti kau hanya ingin menjebak kami!" teriak Witari, memberikan usul.
Witari memang memiliki watak tenang. Na-
mun sekali berbicara, tepat pada sasaran.
Sementara itu Janggara tampak berdiam di-
ri. Sebenarnya kakek ini pun ingin mengajukan
ucapan. Namun, sadar kalau dirinya seorang pelarian dari tempat itu, ucapan yang
hampir keluar dari mulut ditahannya.
"Hik hik hik...! Usulmu boleh juga, Witari"!
Mana suami gelap mu, si Tua Bangka Sangga Lan-
git"! Mengapa tidak kau ajak kemari"! Hik hik
hik...! Sama sekali tidak kusangka, kalau gadis semuda dan secantikmu mau
menyerahkan diri
pada seorang kakek yang sudah bau tanah! Hik
hik hik...! Permainan cinta kalian luar biasa!" ejek suara di seberang tebing.
Wajah Witari seketika pucat pasi. Sungguh
tak diduga, kalau suara itu menyerang pribadinya
habis-habisan. Sementara Janggara dan Sunti Ranti yang
semula tidak tahu-menahu, seketika menoleh ke
arah gadis berpakaian merah. Mereka sama sekali tidak menduga kalau apa yang
dikatakan pemilik
Puncak Nirwana itu benar-benar terjadi! Namun
tampak kalau Witari sama sekali tidak berusaha
membantah. Benarkah hal itu terjadi"!
Dewa Arak tiba-tiba ingat sesuatu. Menurut
cerita Eyang Sangga Langit, perbuatan terkutuk
bersama muridnya terjadi karena masing-masing
seperti orang yang kehilangan ingatan. Sehingga, semua tindakannya tidak dapat
dikendalikan lagi.
Peristiwa itu terjadi tanpa ada seorang pun saksi yang tahu. Jadi, dari mana
pemilik Puncak Nirwana tahu peristiwa itu"
Dalam masalah ini, Eyang Sangga Langit
mencurigai adanya pihak ketiga yang menyebab-
kan peristiwa itu terjadi.
Pemuda berambut putih keperakan ini sege-
ra mencurigai akan adanya hal-hal yang tidak
beres di sini. Setidak-tidaknya, pemilik Puncak Nirwana ini tahu pelaku yang
menyebabkan peristiwa terkutuk itu terjadi. Bahkan bukan tidak
mungkin kalau penyebab semua itu justru pemilik Puncak Nirwana ini!
"Tidak usah berpura-pura dalam berbicara,
Nek! Aku tahu, kaulah yang menjadi biang keladi terjadinya peristiwa terkutuk
itu! Dan kau harus membayar semua tindakan kejimu, Nek!"
Kali ini Dewa Arak tidak sungkan-sungkan
lagi, karena tahu kalau pemilik itu adalah seorang
wanita yang telah tua.
"Hik hik hik...! Kau memang cerdik, Dewa
Arak! Otakmu encer, sehingga bisa menduga, ka-
lau orang di balik semua kejadian itu! Aku! Akulah yang telah menyebabkan Eyang
Sangga Langit yang sakti roboh di dalam pelukan nafsu! Hik hik hik.... Ingin kulihat sendiri,
bagaimana wajah tua bangka itu, bila tahu kalau pelaku semua ini adalah aku!
Nah! Karena kalian telah menungguku,
aku datang untuk mengantarkan ke Puncak Nir-
wana!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, semua yang ada di tepi jurang melihat
sesosok tubuh bungkuk memegang tongkat melangkah tertatih-
tatih meniti tambang dari arah seberang. Sebelah kaki sosok bungkuk itu ternyata
buntung sebatas pangkal paha. Melihat langkahnya benar-benar
mengundang iba.
Namun dalam hati Witari, sedikit pun tak
ada perasaan iba. Gadis yang semula sudah melu-
pakan luka hatinya, kembali terbangkit amarah-
nya. Sepasang matanya memancarkan kebencian
dan nafsu membunuh ketika menatap sosok
bungkuk berjarak belasan tombak yang diketa-
huinya, sebagai dalang dari peristiwa terkutuk
yang menimpa dirinya.
Maka tanpa peduli lagi, Witari langsung me-
lesat ke arah pinggir tebing sambil mencabut sulingnya. Lalu dengan cepat ujung
sulingnya ditusukkan ke tambang yang berada di sisi tebing,
tempat kelompoknya berada. Dan....
Trak! Ujung suling Witari tidak berhasil menusuk
tambang, karena Raksasa Kapak Maut lebih dulu
bertindak dengan memapak ujung suling Witari
lewat kakinya. Keras! Sehingga membuat tubuh
gadis berpakaian merah terhuyung-huyung ke be-
lakang. Raksasa Kapak Maut benar-benar tak kenal ampun. Rupanya sekali kapaknya
keluar, tak akan berhenti sebelum mengisap darah korban. Saat itu pula kapaknya
kembali diayunkan.
Sementara Dewa Arak tidak bisa tinggal di-
am melihat Witari terancam bahaya. Maka lang-
sung tubuhnya berkelebat memapak ayunan ka-
pak dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.
Klang! Bunga api berpijar ke segala arah ketika
kapak besar Raksasa Kapak Maut berbenturan
dengan guci Dewa Arak. Bunyi berdentang keras
mengiringi benturan itu. Tampak tubuh Raksasa
Kapak Maut terhuyung-huyung ke belakang.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Witari.
Kembali sulingnya ditusukkan ke arah tambang.
Melihat hal ini, Janggara tidak bisa tinggal diam.
Dia tahu, bila tambang itu putus, berarti putus ju-ga hubungan menuju Puncak
Nirwana. Dan itu be-
rarti, nyawa muridnya tidak dapat diselamatkan.
Maka seketika tubuhnya melesat memapak suling
dengan golok panjangnya.
Trak! Janggara dan Witari sama-sama terhuyung
ke belakang. Namun terhuyungnya gadis itu lebih jauh dua langkah. Pandang
matanya tampak be-
ringas ketika menatap Janggara. Hatinya geram,
karena maksudnya dihalangi!
"Tahan Witari!" cegah Dewa Arak sebelum keadaan memanas. "Tahan dulu dendammu,
Witari! Percayalah. Akan ada saatnya untuk memba-
laskan dendammu. Yang terpenting saat ini, kita harus membebaskan murid Kakek
Janggara lebih dulu, yang disandera Penguasa Puncak Nirwana.
Dan dia tak lain adalah Samukti, yang telah mencuri ilmu 'Urai Raga' yang
seharusnya menjadi mi-likmu." Dewa Arak memang tahu kalau Samukti telah berada
di Puncak Nirwana, setelah Sunti Ranti menceritakan mengapa bisa bertempur
dengan Tuyul Bertenaga Raksasa.
Waktu putri Golok Malaikat ini mengejar-
ngejar Samukti yang masih dalam bentuk raksasa!
Karena bentuk yang belum kembali ke asal ini,
Sunti Ranti bisa mengikuti kepergian Samukti melalui jejak langkahnya. Dan
ternyata, jejak itu menuju ke Puncak Nirwana.
Sunti Ranti yang tidak tahu kalau tempat
yang ditujunya adalah Puncak Nirwana, segera sa-ja menerobos masuk. Tentu saja
Tuyul Bertenaga
Raksasa tidak membiarkannya! Maka pertarungan
antara mereka pun terjadi, sampai akhirnya Dewa Arak keburu menolong.
Sementara itu, Witari mulai bisa berpikir
jernih. Nasihat Dewa Arak memang benar. Dan se-
telah menghela napas berat, sulingnya disimpan di pinggang.
Pada saat yang bersamaan, sosok bungkuk
berkaki satu telah tiba di ujung tambang. Kemu-
dian dengan sekali genjot, tubuhnya berada di depan Dewa Arak.
Dewa Arak dan Sunti Ranti menatap tak
berkedip. Inikah, tokoh pemilik Puncak Nirwana
yang terkenal amat sakti itu" Dia adalah seorang nenek yang berusia sekitar
tujuh puluh lima tahun. Tubuhnya bungkuk, dengan seluruh rambut
berwarna putih. Telinganya dihiasi sepasang anting-anting besar mirip gelang.
Sementara, Witari menatap dengan sorot
kebencian. Kalau menuruti perasaan, sudah diterjangnya nenek bungkuk itu.
Sedangkan Janggara menatap dengan sinar
mata heran. Lelaki tua ini yakin, kalau pemilik Puncak Nirwana bukan nenek
berkaki satu ini.
Yang tidak dikenalnya sama sekali! Mengapa ne-
nek berkaki satu ini bisa berada di sini"
"Siapa kau"!" tanya Janggara. "Aku tahu kau bukan pemilik Puncak Nirwana. Aku


Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenal betul dengan pemiliknya!"
Pertanyaan kakek berwajah tirus itu, mem-
buat Dewa Arak, Sunti Ranti, dan Witari terperanjat. Jadi, nenek ini bukan
pemilik Puncak Nirwa-na" Lalu, di mana pemilik itu sebenarnya"
"Hik hik hik...! Kau Janggara, bukan"!"
tanya nenek berkaki satu itu, tidak mempedulikan keheranan dan pertanyaan
Janggara. "Mana guci pusaka yang kuminta"! Cepat serahkan, kalau kau ingin
muridmu selamat!"
"Hmh...!"
Janggara menggeram seperti harimau luka.
Sama sekali tidak disangka kalau nenek inilah
yang telah meminta guci pusaka. Bahkan telah
menyandera muridnya. Memang waktu pergi ke
Puncak Nirwana, dia tidak bertemu nenek itu.
Janggara hanya bertemu Raksasa Kapak Maut,
yang diutus menyampaikan pesan tuannya!
"Aku tak akan menyerahkan guci pusaka
padamu!" tegas Janggara, mantap.
"Hik hik hik...! Kau cerdik, Janggara.
Meskipun kau serahkan guci itu, muridmu tetap
akan kubunuh! Biar kau rasakan betapa sakit hati melihat kematian orang yang
dicintai!"
"Apa maksudmu, Nenek Jahanam"!" tanya Janggara tidak mengerti.
"Sederhana saja," jawab nenek berkaki satu dengan sorot mata beringas. "Kau
telah membunuh Singa Berbulu Putih. Kau tahu, dia itu sua-
miku!" "Ah...!"
Seruan tertahan penuh rasa kaget keluar
hampir bersamaan dari mulut Janggara dan Wita-
ri. "Kiranya kau wanita jalang yang pernah di-
ceritakan guruku. Kau pasti Nyai Kalangkang!" desis Witari. "Pantas, kau
melakukan kekejian terhadap kami. Kau merasa sakit hati, karena telah di-usir
guru, setelah berbuat zinah di dalam wilayah perguruan. Sebagai hukuman, guru
membuntungi kakimu sebagai peringatan bagi yang lain. Kau
memang murid murtad!"
"Tutup mulutmu...!" bentak nenek berkaki satu yang ternyata bernama Nyai
Kalangkang. "Kubunuh kau."
"Tidak usah repot-repot. Guru! Biar aku
yang membinasakannya!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras menggele-
gar. Dan di tempat itu, tahu-tahu Samukti telah berdiri dalam wujud seperti
raksasa. Samukti menggeram keras! Sehingga, mem-
buat semua orang yang berada di situ, jatuh berlutut. Bahkan tubuh mereka
menggigil hebat!
Hanya Nyai Kalangkang dan Raksasa Kapak
Maut yang tidak terpengaruh. Karena, Samukti tidak menujukan ke arah mereka.
Dengan kekeh penuh kemenangan, nenek itu menghampiri Wita-
ri. Siap memberi hukuman!
Arya melihat ancaman maut menghantui
murid Eyang Sangga Langit. Saat itu juga seluruh tenaga dalamnya dikerahkan.
Lalu tangannya cepat dihentakkan. Maka saat itu pula serangkum
angin keras membuat tubuh Witari terlempar ter-
guling-guling. Akibatnya tongkat Nyai Kalangkang hanya menghantam tanah hingga
hancur berantakan! "Witari...! Lekas...!" seru Arya, menyuruh gadis berpakaian
merah itu melakukan petunjuk
Eyang Sangga Langit.
Dalam keadaan tubuh bergulingan, Witari
berseru keras! "Urai Raga...!"
"Aaakh...!"
Samukti seketika mengeluarkan lengkingan
panjang bernada kesakitan. Tubuhnya terhuyung-
huyung. Kemudian tubuhnya ambruk, menggeliat
geliat laksana cacing kepanasan. Dia menggelepar-gelepar, tanpa mempedulikan
sekelilingnya. Dan
tidak terasa tubuhnya telah berada di bibir tebing.
Selain Dewa Arak dan Witari, semua yang
melihat kejadian ini merasa heran. Mengapa hal
seperti itu bisa terjadi terhadap Samukti. Hanya kedua anak muda itu yang tahu.
Tentu saja, Arya tahu atas penjelasan Eyang Sangga Langit tentang kelemahan ilmu
itu. Maka tak heran bila Arya
mengajak Witari ke Puncak Nirwana ini. Karena
menurut Eyang Sangga Langit gadis itulah yang
dapat membunuh Samukti.
Menurut penjelasan Eyang Sangga Langit,
ilmu 'Urai Raga' hanya bisa diberikan pada orang yang berhak. Sehingga bila
dipergunakan, tidak
menimbulkan celaka. Dalam hal ini, hanya Witarilah yang berhak.
Maka, begitu Witari menyerukannya, maka
ilmu raksasa yang menitis dalam diri Samukti berusaha keluar menjumpai
pemiliknya yang sah!
Maka kejadian yang menimpa Samukti pun demi-
kian. Karena bukan pemilik sah, begitu menggu-
nakan ilmu itu, Samukti tidak bisa kembali seperti sedia kala. Tetap dalam
keadaan tubuh tinggi besar seperti raksasa.
Samukti terus bergulingan, sehingga...
"Aaa...!"
Disertai jeritan panjang, tubuh Samukti ter-
telan jurang yang siap merancah tubuhnya.
"Samukti...!" seru Nyai Kalangkang. Dengan tindakan cepat, dia melompat untuk
menangkap tubuh pemuda berpakaian coklat itu.
Tap! Tangan Samukti berhasil ditangkap! Namun
Nyai Kalangkang tidak mempunyai landasan kuat
untuk berpijak. Maka, tubuhnya pun ikut terbawa, meluncur ke dasar jurang yang
tak terukur dalamnya. Jeritan menyayat hati, mengiringi lenyapnya tubuh kedua
tokoh sesat itu.
"Erghhh...!"
Raksasa Kapak Maut menggeram keras. Dia
tampak marah sekali. Namun, sebelum kapaknya
diayunkan.... "Apakah kau hendak membela orang jahat
seperti mereka, Raksasa Kapak Maut"! Ingat! Dia bukan tuan besarmu! Bahkan, dia
orang luar yang jahat. Aku yakin, Tuan Besar telah dipengaruhi
oleh ilmu sihirnya. Mana Tuan Besar"!"
Raksasa Kapak Maut menghentikan niat-
nya, kemudian menggeleng.
"Tuan Besar sudah lama tidak terlihat, setelah masuk ruangan semadi. Nyai
Kalangkang dan Samukti dibawa Tuan Besar ketika pergi keluar
atas dasar kasihan. Tuan Besar telah terlalu pikun, sehingga tidak tahu kalau
orang-orang yang dibawanya jahat. Setelah masuk ruang semadi, beliau tidak tahu
kalau wanita tua itu menggerayangi ruang perpustakaan dan mempelajari ilmu-ilmu
hitam yang terlarang. Ilmu itulah yang diperguna-kannya untuk bertindak jahat
terhadap Eyang Sangga Langit!"
"Apa yang dikatakannya memang benar."
Mendadak terdengar sebuah suara lain,
menyambung ucapan Raksasa Kapak Maut. Saat
itu juga semua yang berada di situ menoleh ke
arah asal suara. Namun, tak seorang pun yang terlihat. Dewa Arak mengerutkan
alisnya. Dia tahu, ada orang sakti yang sengaja mempermainkan
dengan ilmu memindahkan suara. Maka segera di-
kerahkannya pandangan ke seberang jurang, ke
arah Puncak Nirwana. Dewa Arak yakin, pemilik
suara itu akan datang dari sana. Bukan dari belakang mereka.
Dugaan Dewa Arak ternyata tepat. Di atas
tambang, tampak sesosok tubuh kecil dan ringkih tengah menyeberangi jurang
sambil membopong
tubuh seorang gadis. Dia tidak sedang berjalan, karena kakinya tidak bergerak
sama sekali. Tepat-nya, sosok itu tengah meluncur.
Dewa Arak sendiri merasa takjub, meski
hanya sebentar. Sulit diukur, sampai di mana ketinggian tenaga dalam dan ilmu
meringankan tu-
buh kakek itu. Sementara itu, Sunti Ranti yang belum me-
rasa puas atas tewasnya Samukti, tiba-tiba melesat ke arah tambang. Langsung
dibabatnya tam-
bang itu dengan sulingnya.
"Ranti...! Jangan...!" cegah Dewa Arak, se-raya melesat mendekat.
Namun terlambat! Tambang itu telah lebih
dulu putus. Semua orang yang ada di sini terkejut bukan main. Apalagi ketika
melihat tubuh kakek
itu melayang ke dalam jurang!
"Tuan Besar...!"
Raksasa Kapak Maut dan Janggara berlari
ke tepi tebing dan berseru keras dengan wajah pucat. "Tidak usah menjerit
begitu, Raksasa. Juga kau, Janggara."
Entah dari mana, tahu-tahu kembali ter-
dengar teguran yang membuat terkejut semua
yang ada di tempat ini. Serentak mereka semua
menoleh ke belakang. Tahu-tahu di situ berdiri, kakek ringkih sambil membopong
tubuh gadis ramping. "Tuan Besar...!"
Raksasa Kapak Maut dan Janggara meng-
hambur ke arah kakek ringkih yang dipanggil
Tuan Besar. "Tak usah banyak tingkah, kalian!" tegur kakek ringkih itu. "Dan kau, Janggara.
Bukankah ini muridmu"!"
Janggara segera menerima tubuh yang di-
angsurkan kakek ringkih ini, disertai ucapan terima kasih. Apalagi, kakek ini
merupakan penolong, guru, dan juga majikan yang telah mengampuni
kesalahannya. "Kau yang berjuluk Dewa Arak itu, kan"!"
tanya kakek ringkih itu pada Arya.
Dewa Arak mengangguk.
"Boleh kulihat gucimu"!"
Kakek ringkih itu mengulurkan tangan.
Tentu saja Arya tidak sudi gucinya diambil. Maka tubuhnya segera bergerak
menghindar. Tapi betapa kagetnya Arya, ketika gucinya telah berada di tangan si
kakek. Arya jadi bingung. Padahal dia telah berusaha mengelak. Kenyataannya,
gucinya te- rambil juga. "Dari siapa kau dapatkan guci ini, Dewa
Arak" Gering Langit"!"
Arya tersentak mendengar nama gurunya
disebut-sebut. Dari mana kakek itu tahu"
"Kau tidak usah heran, Dewa Arak. Aku
adalah Sukma Palaga. Dan Gering Langit itu terhitung kawanku. Beberapa kali dia
datang ke tempat ini. Dialah satu-satunya orang luar yang tahu tentang hilangnya
guci ini. Aku yakin, dia berhasil menemukannya, lalu memberikannya padamu.
Kau tahu kan, mengapa aku tidak celaka di dasar jurang?"
Dewa Arak mengangguk. Apalagi kalau bu-
kan ilmu gaib seperti yang dimiliki gurunya. Ilmu
'Ringkas Bumi' (Untuk jelasnya mengenai ilmu ini, silahkan baca episode:
"Penganut Ilmu Hitam").
"Terimalah kembali gucimu, Dewa Arak.
Kau lebih memerlukannya. Dan kalian semua yang
berada di sini, kuundang ke tempatku. Jangan
khawatir, tambang itu tidak hanya sehelai."
Tidak ada yang keberatan sama sekali den-
gan tawaran kakek bernama Sukma Palaga. Se-
mua dengan suka hati beranjak ke Puncak Nirwa-
na. SELESAI E-Book by Abu Keisel Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Dewi Ular 1
^