Pencarian

Penjara Langit 2

Dewa Arak 76 Penjara Langit Bagian 2


dan menatap Arya dengan sinar mata tidak se-
nang. "Bersikap jantan sedikit, Sobat. Mereka telah bertarung dengan adil. Satu
lawan satu. Tidak selayaknya kau ikut mencampuri. Hanya orang-orang berwatak
pengecut saja yang mau mencam-
puri urusan yang telah demikian adil!"
Dampit memang tidak keras mengucapkan-
nya. Tapi, nadanya keras dan tajam bukan main.
Cukup untuk membuat wajah Arya memerah
sampai ke telinga karena tersinggung.
"Adalah tindakan yang lebih pengecut
membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di de-
pan mata. Hanya seorang pengecut besar dan ber-
jiwa keji yang membiarkan orang tidak berdaya
bertarung!" timpal Arya dengan nada tak kalah ta-
jam. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
dia berhadapan dengan seorang yang berjiwa pen-
dekar, tapi salah menempatkan keadaan.
"Salah orang itu sendiri!" Dampit tidak mau kalah. "Ingat, dia berada di rimba
persilatan. Tempat ganas yang tidak mengenal ampun. Kewaspa-
daan dan kemampuan harus selalu terarah. Apabi-
la tidak, yang diterimanya adalah ucapan selamat datang pada alam kubur!"
Hati Arya panas. Ketersinggungannya ber-
tambah. Padahal pemuda ini jarang-jarang marah.
Tidak mudah untuk membuat Arya tersinggung.
Tapi kali ini pemuda berambut putih keperakan ini dua kali tersinggung. Itu
terjadi hanya dalam dua kali Dampit berbicara.
Arya merasa diremehkan. Sikap dan ucapan
Dampit mengisyaratkan pemuda ini seperti telah
kenyang merambah kerasnya dunia persilatan dan
hidup bergantung dengan kemampuan. Tampak
jelas Dampit menganggap remeh dirinya. Arya di-
anggapnya orang yang baru turun gunung dan ti-
dak mengenal kerasnya dunia persilatan.
Nasihat yang diucapkan Dampit dengan na-
da menasihati yang membuat Arya tersinggung
bukan main. Sebagai orang yang kenyang penga-
laman, Arya tahu Dampit belum pernah turun ke
dunia persilatan, Jadi, keberadaannya di tempat ini mungkin baru untuk pertama
kali. Dan, pemuda ini telah berani-beraninya memberi nasihat padanya. "Rupanya
kau telah kenyang merambah dunia persilatan, Sobat. Boleh kutahu julukanmu"
Nama besar yang kau sandang karena keberhasi-
lanmu bertahan hidup di dunia persilatan yang
ganas ini?" tanya Arya, menyindir.
"Aku belum punya julukan, Sobat. Tapi ka-
lau kau ingin tahu, namaku Dampit. Percayalah,
tak akan lama lagi julukanku akan membubung
tinggi ke dunia persilatan. Dengan memperguna-
kan pedangku, aku akan mempertahankan nya-
wa!" Dampit masih bermulut besar.
"Ah.... Kiranya demikian! Kupikir kau telah kenyang merambah dunia persilatan.
Setidak-tidaknya aku dapat belajar darimu agar aku bisa bertahan hidup. Dan...."
"Meski belum lama terjun dalam dunia per-
silatan." Dampit langsung menyela. "Tapi, aku bisa mengajukan saran padamu. Kau
bisa menggunakan nasihat yang akan kuberikan untuk bertahan
hidup. O ya, kau belum menyebut namamu, So-
bat." Arya yang semakin jengkel melihat Dampit menyela ucapannya, mempunyai
kesempatan untuk menghajar perasaan pemuda itu.
"Aku mana bisa dibandingkan dengan diri-
mu. Bahkan, aku ingin meminta nasihatmu agar
bisa selamat..."
"Tidak apa-apa. Akan kuberikan nasihatku.
Biar jelek pun namamu beritahukan saja. Setidak-tidaknya kau akan kucatat
sebagai orang pertama yang mendapat pelajaran bagaimana caranya bertahan hidup
di dunia persilatan!" Lagi-lagi Dampit yang berwatak tinggi hati dan selalu
memandang rendah orang lain, menyela.
"Baiklah." Arya bersikap seakan tidak mempunyai pilihan lain. "Namaku tentu saja
tidak bisa dibandingkan dengan namamu, Dampit. Apalagi
dalam hal bertahan hidup. Mungkin aku harus
berguru padamu untuk beberapa lama. Namaku
Arya Buana. Tapi, orang lebih sering menyebutkan Dewa Arak. Julukan itu yang
mereka berikan padaku." "Ah...!"
Dampit terlonjak ke belakang bagai disengat
kalajengking. Sepasang mata pemuda ini membe-
lalak lebar bagai melihat hantu.
"Kau.... Dewa Arak..."!"
Setelah beberapa saat lamanya terkesima,
akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut
Dampit. Sikap dan nada ucapannya memancarkan
keterkejutan dan rasa tidak percaya. Dipandan-
ginya sekujur tubuh Dewa Arak mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Rasanya memang tidak salah.... Pakaian-
mu, rambutmu. Juga guci di punggungmu. Sung-
guh-sungguhkah kau Dewa Arak...?"
Bukan hanya Dampit saja yang mendengar
julukan Dewa Arak. Sutini dan Karina pun demi-
kian. Sutini sampai menghentikan serangannya
terhadap Karina yang terus bergulingan untuk
menyelamatkan diri. Kedua gadis ini menatap ke
arah Dewa Arak dengan tatapan kaget. Mereka ti-
dak pernah menyangka bisa bertemu dengan to-
koh yang telah menggegerkan dunia persilatan.
Orangnya ternyata masih amat muda!
Sementara Arya yang diperhatikan me-
nyunggingkan senyum lebar. "Orang-orang persilatan memang menjulukiku Dewa Arak.
Tapi, aku lebih suka dipanggil Arya," ucap pemuda berambut putih keperakan itu untuk
meredakan suasana
yang agak mencekam.
Dampit saling berpandangan dengan Sutini.
"Mari kita pergi, Sutini!"
"Tapi...."
"Lupakan saja masalah itu. Kita urus bela-
kangan!" Tanpa menunggu jawaban Sutini yang men-
jadi bimbang, Dampit mendahului melesat me-
ninggalkan tempat itu. Sutini menatap Arya dan
Karina sesaat sebelum melesat pergi.
"Urusan antara kita belum selesai, Wanita
Liar!" Gema ucapan Sutini masih terdengar jelas meski sosoknya sudah tidak
terlihat lagi. Karina mengalihkan perhatian pada Dewa
Arak, "Jadi..., kau tokoh yang menggemparkan itu" Kau..,. Dewa Arak..."
"Maaf, Karina. Aku tidak ingin berbohong
kepadamu. Hanya aku tidak mau menggembar-
gemborkan julukan yang akan membuat percaka-
pan menjadi canggung," Jelas Arya, khawatir Karina mengira dia tidak percaya
pada gadis itu.
"Tidak apa-apa, De..., eh, Arya. Bukankah
kau lebih suka dipanggil dengan nama?" tanya Karina. Arya mengangguk. "Aku tahu,
kadang- kadang betapapun eratnya hubungan antara se-
seorang hal-hal yang dirahasiakan harus tetap
ada. Aku pun tidak jujur terhadapmu, Arya. Aku
tidak menceritakan siapa kakekku. Tapi karena
kau telanjur tahu, tidak ada salahnya kuceritakan semua."
"Jangan memaksakan diri, Karina...," Arya mengingatkan.
"Tidak, Arya. Aku tidak memaksakan diri."
Karina menggelengkan kepala.
Arya tidak memberikan bantahan lagi. Dia
berdiam diri mendengar cerita Karina. Hanya sedikit yang diceritakan Karina.
Tentang siapa kakeknya dan masalah yang tengah dihadapinya seka-
rang. Tidak diceritakannya tentang riwayat hidupnya. Tak lama kemudian, sepasang
muda-mudi ini sibuk memulihkan tenaga dalam dengan ber-
semadi. *** Sosok tubuh tinggi kurus menghentikan
langkahnya di depan sebuah goa yang cukup be-
sar. Sosok itu mengenakan pakaian berkilau-
kilauan seperti terbuat dari emas. Pada bagian kepalanya terdapat penutup kepala
berbentuk keru-
cut. Penutup kepala itu pun terbuat dari bahan
yang sama. Berkilauan dan seperti bersisik, mirip kulit ular!
Sayangnya wajah pemakai pakaian mewah
itu tidak terlihat. Tertutup sebuah topeng kayu be-rukir. Sebuah topeng kayu
yang tipis dan memiliki ukiran-ukiran berbentuk hidung, mulut, dan juga
lubang untuk kedua mata. Tampak sinar menco-
rong kehijauan memancar dari dua buah lubang
kecil untuk mata pada topeng kayu itu.
Dengan sinar matanya yang luar biasa so-
sok bertopeng kayu menatap ke bagian dalam goa.
Agaknya, ia ingin melihat isi di dalamnya.
Tapi, tentu saja betapapun tajamnya mata
seorang manusia tidak akan mungkin mampu me-
lihat sesuatu di dalam kepekatan. Ini pun disadari oleh sosok bertopeng kayu
yang menilik bentuk
tubuhnya adalah seorang pemuda. Ia mempergu-
nakan telinganya untuk mengetahui apakah goa
itu berpenghuni. Beberapa saat kemudian, ia
mendapat jawaban. Goa itu berpenghuni.
Setelah memperhatikan bagian dalam goa
yang tidak ketahuan panjang dan dalamnya, sosok bertopeng kayu mengirimkan
ucapan pada orang
yang berada di dalam goa melalui ilmu mengirim-
kan suara dari jauh.
Sementara dalam goa seorang lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun dan bertubuh pendek
gemuk serta berkepala botak tengah bersemadi. Ia membuka sepasang matanya dengan
terkejut. "Gajah Cilik Berkepala Baja, harap keluar
sebentar. Hentikan dulu semadimu. Maaf, aku se-
benarnya tidak ingin mengganggu kesibukanmu.
Tapi, aku mempunyai sebuah urusan yang amat
penting. "
Suara yang dikirimkan sosok bertopeng
kayu menggema di dalam telinga kakek pendek
gemuk. Memaksa kakek itu sadar dari semadinya
dan membuka mata.
Kakek pendek gemuk yang berjuluk Gajah
Kecil Berkepala Baja tercenung sebentar dalam
keadaan masih duduk bersila. Ia bisa menduga
orang yang telah mengirimkan suara dari jauh itu memiliki tenaga dalam sangat
tinggi. Hingga, sampai dapat menyadarkan Gajah Cilik Berkepala Baja dari
semadinya. Tampaknya, orang itu tidak bermaksud jahat. Tamunya dengan baik-baik
men- gundangnya untuk keluar. Apabila dirinya tidak
memenuhi permintaan itu berarti ia tidak meng-
hargai aturan dunia persilatan.
"Tidak apa-apa, Sobat. Harap bersabar me-
nunggu sebentar!"
Gajah Cilik Berkepala Baja memberi jawa-
ban dari jauh pada sosok bertopeng kayu yang berada di luar goa. Belum juga
ucapannya lenyap da-ri telinga, Gajah Cilik Berkepala Baja telah berada di luar
goa. Tepat di depan sosok bertopeng kayu!
"Maaf." Sosok bertopeng kayu merang-
kapkan kedua tangan di depan dada seraya mem-
bungkukkan sedikit tubuhnya. "Bukan maksudku mengganggu kesibukanmu, Gajah
Cilik. Tapi, aku
mempunyai urusan penting yang harus diselesai-
kan. Karena kebetulan kau mempunyai peranan
penting dalam urusan ini, maka aku terpaksa
mengganggumu."
Gajah Cilik Berkepala Baja membalas peng-
hormatan itu dengan cara yang sama. Wajah ka-
kek pendek gemuk ini kelihatan tidak senang keti-ka terpandang olehnya topeng
kayu yang menutu-
pi wajah tamunya.
"Aku tidak merasa terganggu, Sobat. Aku
senang sekali bila bisa membantumu menyelesai-
kan persoalan penting itu. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa bercakap-cakap
dengan hati penuh
curiga bila kau mengenakan topeng di wajahmu.
Keberadaan topeng itu menimbulkan prasangka
tidak baik di hatiku. Kalau kau masih ingin bercakap-cakap denganku tanggalkan
benda itu. Atau,
kau tidak akan bisa mendapatkan keterangan
penting dariku!" Gajah Cilik Berkepala Raja tanpa ragu-ragu menyatakan perasaan
yang mengganjal
hatinya. "Maaf, sekali lagi maaf, Gajah Cilik." Sosok bertopeng kayu kembali menjura
seraya mem-bungkukkan tubuh. "Bukan maksudku menim-
bulkan keragu-raguan di hatimu. Tapi dengan se-
jujurnya kukatakan aku tidak bisa membuka to-
peng ini dari wajahku. Membukanya sama artinya
dengan melepas nyawaku dari badan!"
"Terserah padamu, Sobat." Gajah Cilik Berkepala Baja mengangkat kedua bahunya
dengan sikap acuh. "Aku mau berbincang-bincang dengan syarat wajahmu yang kau hadapkan
padaku dan bukan topeng kayu itu, atau kau terpaksa tak bisa mendapatkan apa yang kau
inginkan! Aku tak bisa bercakap-cakap dengan orang yang tidak mau
mempercayaiku. Topeng di wajahmu menunjuk-
kan kau tidak ingin kukenal. Ini berarti kau tidak mempercayaiku! Nah. Aku sudah
mengatakan hal yang seharusnya kukatakan. Sekarang semua be-
rada di tanganmu, Sobat!"
Sosok bertopeng kayu tampak bingung. Dia
terdiam dengan menundukkan kepala. Sesaat ke-
mudian, ditatapnya lagi wajah Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Gajah Cilik, aku memohon dengan sangat
pengertianmu. Bukannya aku tidak ingin menge-
nalkan diri atau tidak percaya padamu. Ketahui-
lah, topeng ini tidak bisa kubuka, kecuali kalau aku telah tewas. Wajahku
merupakan rahasia besar. Dan...."
"Aku pun merupakan rahasia besar, Sobat.
Dulu memang aku seorang tokoh golongan putih
yang cukup punya nama. Tapi, sekarang aku telah mengasingkan diri dan hampir
tidak ada orang


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tahu julukanku lagi. Tempat ini pun merupakan tempat rahasia. Tapi toh aku
tidak terlalu mempertahankan hal itu."
Sosok bertopeng kayu menggelengkan kepa-
la. "Ada perbedaan besar antara kita, Gajah Cilik. Kau dulunya memang orang terkenal
dan ter- jun ke dunia persilatan. Tapi, tidak demikian halnya dengan kami. Turun-temurun
kami merupa- kan orang-orang yang tidak pernah muncul ke du-
nia persilatan. Keberadaan kami tidak pernah diketahui tokoh-tokoh persilatan."
"Lalu, mengapa kau muncul ke dunia luar"
Bukankah kau bilang tadi kau dan kelompokmu
tidak pernah terjun ke dunia persilatan," bantah Gajah Cilik Berkepala Baja.
Gajah Cilik Berkepala Baja ingin mengeta-
hui tentang sosok bertopeng kayu ini. Ia memiliki kepandaian amat tinggi. Sorot
matanya yang tajam mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Pa-
dahal, Gajah Cilik Berkepala Baja yakin sosok bertopeng kayu itu masih muda!
Kalau orang dengan usia semuda ini saja
sudah memiliki tenaga dalam demikian kuat, ba-
gaimana pula dengan orang tertua di dalam ke-
lompoknya" Sukar untuk dibayangkan! Mengeta-
hui siapa sosok bertopeng kayu dengan kelompok-
nya ini merupakan hal yang amat menarik.
"Seperti yang kukatakan, menemuimu un-
tuk membicarakan suatu keperluan. Bagaimana,
Gajah Cilik" Bersediakah kau membantuku?"
tanya sosok bertopeng kayu penuh harap.
Gajah Cilik Berkepala Baja tidak segera
menjawab. Ia terdiam sebentar seperti tengah
mempertimbangkan suatu keputusan yang amat
berat. "Apakah permintaanku yang tadi tidak bisa kau pertimbangkan lagi, Anak
Muda?" Kakek pendek gemuk itu merubah sapaannya.
"Sayang sekali, Gajah Cilik. Aku tidak dapat melakukan hal itu. Bukan hanya aku
saja yang akan bersikap demikian, tapi semua orang-orang kami. Kami lebih suka melepaskan
nyawa daripa-da melepaskan topeng ini. Ia jauh lebih berharga dari nyawa. Pada
topeng ini terkandung kehorma-tan, harga diri, dan sumpah leluhur kami!" jelas
sosok bertopeng kayu dengan penuh penyesalan.
Gajah Cilik Berkepala Baja tersenyum di da-
lam hati. Tanpa disadari lawan bicaranya, ia berhasil mengorek sedikit
keterangan mengenai orang bertopeng kayu dan kelompoknya. Sosok bertopeng kayu
itu telah terpancing. Dan, Gajah Cilik
Berkepala Baja memang memiliki kecerdikan yang
cukup. "Kalau memang begitu, apa boleh buat?"
Gajah Cilik Berkepala Baja menunjukkan sikap
pasrah. "Apa yang kau inginkan dariku" Apakah ini mengenai masalah orang lain?"
Sepasang mata di balik topeng kayu bersi-
nar-sinar gembira mendengar kesediaan Gajah Ci-
lik Berkepala Baja. "Benar sekali, Gajah Cilik.
Orang itu adalah Siluman Dari Neraka!"
"Hukh!"
Gajah Cilik Berkepala Baja sampai terjajar
beberapa langkah ke belakang begitu mendengar
julukan yang diucapkan sosok bertopeng kayu.
Kakek pendek gemuk itu terkejut bukan main. Ia mengenal betul tokoh itu.
Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki
setindak mendekati Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Kau mengenalnya kan, Gajah Cilik?" desak sosok bertopeng kayu.
Gajah Cilik Berkepala Baja malah menatap
sosok bertopeng kayu dengan penuh selidik. Sikap kakek pendek gemuk ini terlihat
waspada dan siap untuk bertarung.
"Apa hubunganmu dengannya?" Gajah Cilik Berkepala Baja balas bertanya. Suaranya
terdengar tegang.
6 Sosok bertopeng kayu tidak segera menang-
gapi pertanyaan Gajah Cilik Berkepala Baja. Terlihat jelas dia merasa ragu untuk
memberikan ja- waban. "Sebelum aku menjawab, maukah berjanji untuk tidak menceritakan hal ini
pada orang lain"
Maukah kau berjanji, Gajah Cilik?" tanya sosok bertopeng kayu setelah beberapa
saat lamanya berdiam diri. Gajah Cilik Berkepala Baja menatap wajah
sosok bertopeng kayu lekat-lekat. Ia mencari kesungguhan dalam ucapan sosok yang
berdiri di hadapannya itu.
"Kalau kau tidak mau berjanji, biarlah aku batalkan keinginanku. Aku tahu masih
ada orang lain yang dapat menceritakannya padaku. Barang-
kali dia tidak sekeras kau dalam mempertahankan pendapatnya. Selamat tinggal,
Gajah Cilik! Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu
menemuiku."
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi sosok
bertopeng kayu membalikkan tubuh. Sekali ka-
kinya bergerak tubuhnya telah berada belasan
tombak di depan.
"Tunggu, Anak Muda!"
Ayunan kaki sosok bertopeng kayu terhenti.
Tubuhnya dibalikkan. Tapi, dia tidak bergerak
menghampiri. Mereka berhadapan dalam jarak be-
berapa belas tombak.
"Boleh aku tahu siapa tokoh yang kau mak-
sud sebagai orang lain yang mengetahui tentang
Siluman Dari Neraka?"
"Malaikat Tongkat!" jawab sosok bertopeng
kayu, singkat. Wajah Gajah Cilik Berkepala Baja berubah
hebat. "Dia sahabatku, Anak Muda! Kuharap kau tidak mengganggunya. Bila hal itu
terjadi, aku akan mencarimu untuk melakukan perhitungan!"
tandas Gajah Cilik Berkepala Baja, tegas.
"Legakan hatimu, Gajah Cilik. Aku tidak
akan bertindak kasar terhadapnya. Kewajibanku
adalah membawa pulang Siluman Dari Neraka.
Hidup atau mati, lain tidak!"
Sosok bertopeng kayu kemudian membalik-
kan tubuh dan bersiap melesat pergi. Tapi, lagi-lagi maksudnya tidak kesampaian.
Gajah Cilik Berkepala Baja kembali mengeluarkan seruan
mencegah. "Ada apa lagi, Gajah Cilik"!" tanya sosok bertopeng kayu. Nada suaranya mulai
meninggi. Sikap kakek pendek gemuk itu membuatnya me-
rasa dipermainkan.
Tapi, Gajah Cilik Berkepala Baja seperti ti-
dak mendengar pertanyaan sosok bertopeng kayu.
Dia menatap wajah sosok yang berdiri di hada-
pannya lekat-lekat.
"Jadi..., Siluman Dari Neraka merupakan
salah seorang dari kelompokmu, Anak Muda?"
tanya Gajah Cilik Berkepala Baja dengan suara
bergetar. "Benar, Gajah Cilik!" Sosok bertopeng kayu mengangguk. Suaranya terdengar lirih
seperti orang berbisik. "Dia merupakan anggota kelompok kami, tapi telah membelot. Ia
melarikan diri dari
tempat tinggalnya. Bahkan, dengan melarikan bu-
ku-buku pusaka kelompok kami. Puluhan tahun
hal itu telah terjadi, namun tak satu pun usaha yang dapat kami lakukan karena
berbagai hal dan pertimbangan."
Pernyataan sosok bertopeng kayu benar-
benar mengejutkan Gajah Cilik Berkepala Baja.
Kakek pendek gemuk ini tahu siapa Siluman Dari
Neraka! Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian luar biasa. Kalau sosok
bertopeng kayu ini mendapat tugas membawa Siluman Dari Neraka
hidup atau mati, berarti sosok yang mengenakan
pakaian seperti kulit ular emas ini memiliki kepandaian di atas Siluman Dari
Neraka! "Ah...! Syukurlah kalau demikian," desah Gajah Cilik Berkepala Baja, lega.
"Semula kukira kau kawan Siluman Dari Neraka. Ternyata bukan.
Kini kita bisa berbicara lebih banyak lagi. Dan agar hatimu lebih tenang,
mungkin perlu kukatakan
kalau aku bersedia merahasiakan cerita yang akan kau katakan. Puas, Anak Muda?"
"Terima kasih, Gajah Cilik. Itu sudah cu-
kup." Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki menghampiri, ketika Gajah Cilik
Berkepala Baja dengan tersenyum lebar mendekatinya. Keduanya
berjabatan tangan dengan erat.
"Nah. Sekarang ceritakan," ucap Gajah Cilik Berkepala Baja seraya melepaskan
jabatan tangannya.
"Entah tepatnya sejak kapan, aku sendiri
tidak tahu pasti, yang jelas sudah lebih dari dua ratus tahun nenek moyang kami
menempati suatu
tempat yang bagi kami merupakan penjara. Menu-
rut cerita yang kami dapat turun temurun, tempat itu merupakan tempat buangan
orang-orang yang
melakukan kesalahan. Tempat yang menjadi tem-
pat kelompokku adalah tempat hukuman. Kami
lebih suka menyebutkan Penjara Langit. Tempat-
nya memang ada di puncak sebuah gunung yang
tidak mungkin dapat didaki dengan kemampuan
yang luar biasa sekalipun!" Sosok bertopeng kayu memulai ceritanya.
Sementara Gajah Cilik Berkepala Baja men-
dengarkan dengan penuh minat. Ia tidak menyela
sedikit pun. Kakek pendek gemuk ini merasa tertarik dengan cerita mengenai asal-
usul kelompok sosok bertopeng kayu yang demikian luar biasa.
"Kira-kira empat puluh tahun yang lalu Ra-
taksa kabur meninggalkan Penjara Langit. Dia juga mengambil beberapa kitab yang
berisi pelajaran
ilmu silat dan sihir. Kami semua tahu. Tapi, tidak ada yang dapat dilakukan.
Menurut hukum kami,
setiap orang yang melarikan diri dari Penjara Langit akan menderita hebat
sebelum mati. Entah karena mengapa aku sendiri tidak tahu, konon orang yang
meninggalkan Penjara Langit di dalam tubuh orang itu akan muncul racun jahat!
Racun berbahaya yang dapat menimbulkan kematian. Entah
benar atau tidak, aku tidak pernah membuktikan-
nya." "Jadi, karena itukah maka kepergian Rataksa yang kemudian mendapat julukan
Siluman Dari Neraka dibiarkan begitu saja?" duga Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Tentu saja tidak!" sambut sosok bertopeng kayu, cepat. "Tidak demikian mudah
jalan keluar-nya dengan langsung mengejar Rataksa."
Dengan alasan apa pun seorang penghuni
Penjara Langit tidak akan diperkenankan keluar.
Namun, karena tindakan Rataksa dapat membuat
arwah leluhur kami tidak tenang, maka seluruh
penghuni berkumpul dan mencari jalan untuk
memecahkan masalah ini. Akhirnya diputuskan
untuk memilih orang-orang yang akan ditugaskan
mengejar Rataksa. Tentu saja mesti orang-orang
pilihan agar dapat menunaikan tugas dengan baik.
Dengan wajah ditutup topeng dua orang pilihan itu mencari Rataksa untuk dibawa
pulang dengan ca-ra apa pun."
"Asal kau tahu saja, Anak Muda. Siluman
Dari Neraka telah mengacau dunia persilatan sejak sekitar tiga puluh tahun lalu.
Mengapa kau baru tiba hari ini" Selisih waktu antara kau dengannya tiga puluh
tahun!" "Lima puluh atau bahkan tujuh puluh ta-
hun pun bukan masalah apabila aku berhasil
membawa pulang Rataksa! Bagi kami masalah
waktu tidak penting. Melainkan keberhasilannya.
Agar nenek moyang kami yang pertama kali mem-
buat sumpah tidak penasaran di alam baka!" tegas sosok bertopeng kayu, mantap.
Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk-
anggukkan kepala tanda mengerti. "Kalau boleh kutahu, mengapa tenggang waktunya
bisa demikian lama?"
"Waktu yang demikian lama itu diperguna-
kan untuk menggembleng calon yang terpilih. Itu membutuhkan waktu belasan tahun.
Kemudian, agar orang yang bertugas mencari Rataksa tidak
mengalami kecelakaan di tengah jalan akibat ra-
cun di dalam tubuh karena keluar dari Penjara
Langit, maka perlu memakan jamur emas. Jamur
yang hanya tumbuh di tempat kami. Pertumbuhan
jamur itu memakan waktu dua puluh tahun! Ma-
ka, kami pun membuang waktu beberapa puluh
tahun lagi untuk menunggu jamur emas tumbuh.
Karena itu, waktu kami terpisah jauh dengan Ra-
taksa." Rupanya, Rataksa pergi setelah lebih dulu memakan jamur emas, Rataksa
yang cerdik memakan jamur secukupnya. Sedangkan yang lain
dihancurkan untuk menyulitkan pengejaran. Tapi, Rataksa terlalu tergesa-gesa.
Jamur itu belum masak benar. Kendati racun tidak akan membunuh-
nya, malapetaka lain akan menimpa. Penghuni
Penjara Langit tidak pernah berpikir akan ada
orang yang berniat kabur, sehingga tempat tum-
buhnya jamur tidak terjaga.
"Sayang sekali." Gajah Cilik Berkepala Baja, menyayangkan. "Kalau saja tidak ada
halangan-halangan itu, tentu sudah sejak lama kau dan Siluman Dari Neraka
bertemu!" "Mungkin." Sosok bertopeng kayu tidak berani memastikan.
Tiba-tiba Gajah Cilik Berkepala Baja tersen-
tak kaget. Ada sesuatu yang terlupakan.
"Kalau demikian... dugaanku bahwa kau
seorang pemuda ternyata salah. Dari ceritamu
mungkin usiamu sekarang paling tidak lima puluh tahun!" terka Gajah Cilik
Berkepala Baja. "Tapi, mengapa bentuk tubuhmu seperti pemuda dua
puluh lima tahun?"
"Karena pengaruh jamur emas!" jawab sosok bertopeng kayu. "Usiaku sebenarnya
memang lima puluh tahun."
Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk-
angguk. Sepasang matanya memancarkan keka-
guman. "Sekarang, bisakah kau ceritakan padaku
tentang Rataksa alias Siluman Dari Neraka. Bu-
kankah menurut kabar yang tersiar Rataksa tewas di tanganmu dan kawanmu" Kalau
benar demikian, sungguh sangat meringankan tugasku. Tapi
aku ingin kepastian. Tentang kain merah yang
menjadi pengikat kepalanya. Kain itu berlambang tengkorak manusia dalam kobaran
api." Gajah Cilik Berkepala Baja menghela napas


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berat. "Waktu aku dengan Malaikat Tongkat bertemu Siluman Dari Neraka yang telah
lama kami cari-cari, ternyata tokoh itu sedang kelelahan karena habis bertarung dengan
Iblis Tangan Maut.
Antara kami kemudian terjadi pertarungan. Ter-
nyata meski telah lelah, Siluman Dari Neraka masih sangat tangguh! Dia mampu
menghadapi ke- royokan kami. Mendadak terjadi sesuatu yang
mengejutkan. Siluman Dari Neraka memekik ke-
sakitan seperti orang yang menderita hebat. Dia langsung terguling-guling.
Kesempatan baik ini tidak kami sia-siakan. Serangan-serangan kami lan-
carkan. Hingga, sebuah tendangan keras dariku
membuat tubuh Siluman Dari Neraka yang tengah
menderita, terlempar jauh. Ia masuk ke dalam sebuah lubang. Lubang yang garis
tengahnya tidak
kurang dari setengah tombak. Aku dan Malaikat
Tongkat segera menuju ke sana dan melongok ke
dalamnya. Kami menjatuhkan sebuah batu besar
untuk mengukur dalamnya lubang. Tidak terden-
gar suara benturan batu dengan tanah atau air!
Kenyataan itu sangat mengejutkan kami. Lubang
itu mempunyai kedalaman yang tak terkira. Jadi, kemungkinan untuk selamat bagi
Siluman Dari Neraka amat kecil, betapapun saktinya tokoh itu."
"Sesuai dengan amanat yang terbeban di
atas pundakku, sekalipun mati aku harus mem-
bawa mayat Rataksa kembali. Mayatnya harus di-
kuburkan di Penjara Langit sebagai pertanda dia adalah orang buangan. Orang
hukuman!" Sosok bertopeng kayu tetap dengan keputusannya.
"Jadi..., apa yang akan kau lakukan?"
"Tidak banyak! Hanya menyelidiki tempat di mana jatuhnya Rataksa, dan membawa
mayatnya pulang ke Penjara Langit!" jawab sosok bertopeng kayu, mantap. "Bisa kau
beritahu di mana lubang itu?" Gajah Cilik Berkepala Baja segera mene-rangkan di
mana lubang itu berada. Bahkan, den-
gan petunjuk-petunjuk lengkap sampai sosok ber-
topeng kayu paham betul.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Ga-
jah Cilik. Aku tidak akan melupakan budi baikmu.
Suatu saat aku akan membalas budi ini. O ya,
hampir aku lupa menjelaskannya. Jamur emas
yang belum masak itu menyebabkan Rataksa
menderita sakit yang hebat bila terlalu lelah. Satu hal lagi, dia tetap
terpengaruh oleh pertambahan usia. Tidak seperti aku. Selamat tinggal!"
Begitu ucapannya selesai tubuh sosok ber-
topeng kayu melesat pergi. Dengan cepat ia telah berada belasan tombak dari
tempat semula. Sesaat kemudian, tubuhnya lenyap di kejauhan.
Gajah Cilik Berkepala Baja memandanginya
dengan perasaan takjub. Kepandaian sosok berto-
peng kayu itu memang luar biasa. Dia yakin Siluman Dari Neraka akan mendapatkan
seorang la- wan yang amat tangguh. Seandainya tokoh yang
menggiriskan hati itu masih hidup!
*** Dua sosok tubuh melayang agak bergegas
menyusuri jalan tanah berdebu. Matahari tepat
berada di atas kepala. Suasana di persada terasa panas. Dua sosok tubuh itu
sepasang muda-mudi
berwajah elok. Yang pemudi mengenakan pakaian
merah, sedangkan rekannya berpakaian putih. Se-
pasang muda-mudi ini adalah Sutini dan kawan
seperguruannya, Dampit.
"Itukah perguruannya, Sutini?" tanya pemuda berpakaian putih. Telunjuk kanannya
ditu- dingkan pada kelompok bangunan yang terkurung
pagar bambu cukup tinggi.
"Benar, Dampit. Aku yakin ini perguruan-
nya. Guru telah menceritakannya," jawab Sutini dengan mata berkilat-kilat. "Ah,
aku sudah tidak sabar lagi ingin membuat perhitungan dengan manusia pengecut
itu!" Wajah pemuda berpakaian putih yang ber-
nama Dampit tampak tidak segembira Sutini.
Bahkan terlihat kalau Dampit seperti terpaksa.
"Haruskah kita ke sana, Sutini?"
"Tentu saja, Dampit!" tegas Sutini, keras.
"Manusia pengecut seperti itu tidak patut dibiarkan hidup lebih lama lagi. Dia
harus dilenyapkan!"
"Tapi, bukankah dia tokoh golongan putih,
Sutini"!" bantah Dampit. "Aku khawatir perbuatan kita ini akan membuat Guru
murka." "Kau ini khawatir sekali, Dampit! Kalau kau takut tunggu saja di sini, Biar aku
sendiri yang ke sana. Pokoknya tekadku telah bulat. Mungkin perlu kuingatkan,
Dampit. Kalau Pendekar Golok
Sakti itu tidak bertindak pengecut dengan melarikan diri sewaktu ayahku
bertarung dengan Iblis
Tangan Maut, ayahku pasti tidak akan tewas! Aku yakin Iblis Tangan Maut yang
akan tewas. Sikap
pengecutnya telah membuat ayahku tewas. Bu-
kankah sudah sepantasnya kalau aku membuat
perhitungan padanya?"
Dampit terdiam beberapa saat lamanya
mendengar penjelasan Sutini. Orang yang tengah
dilanda amarah memang tidak, bisa disabarkan
lagi. Tapi meski demikian, dia masih mencoba me-lunakkan hati Sutini.
"Bukankah Guru bercerita kalau Pendekar
Golok Sakti pun terpukul dengan kematian ayah-
mu, Dewa Tangan Sepuluh" Bahkan melalui kerja
sama dengan Guru, Pendekar Golok Sakti berhasil menewaskan Siluman Dari Neraka!
Kurasa tidak pantas kalau kau menimpakan kesalahan kepa-
danya atas tewasnya ayahmu."
"Kalau begitu, biar aku pergi sendiri!"
Sutini yang memiliki watak keras dan sudah
terlalu dikuasai amarah segera melesat mening-
galkan Dampit. Mau tidak mau pemuda berpa-
kaian putih itu melesat mengejar untuk mendam-
pingi Sutini. Dampit mencintai Sutini. Dia tidak ingin gadis itu terluka. Karena
cintanya itulah dia rela mendampingi Sutini mencari orang-orang
yang telah menewaskan Dewa Tangan Sepuluh.
Dalam beberapa kali lesatan Sutini dan
Dampit telah berada di depan pintu gerbang dari papan tebal yang tertutup dan
tidak terjaga. Tampak tulisan besar dan jelas berbunyi 'Rumah Perguruan Perisai
Diri' tergantung di atas pintu gerbang yang tingginya satu tombak. Tanpa menga-
lami kesulitan sedikit pun, dengan gerakan indah sepasang muda-mudi itu melompat
ke dalam dan mendarat tanpa suara.
Tepat di hadapan Dampit dan Sutini tam-
pak beberapa sosok tubuh telanjang dada tengah berlatih silat dengan penuh
semangat. Mereka
berdiri membelakangi kedua anak muda itu. Kare-
na masuknya sepasang muda-mudi itu tanpa me-
nimbulkan bunyi, orang-orang yang tengah berla-
tih tidak mengetahuinya. Kecuali orang yang bertugas melatih mereka, karena
kebetulan berdiri
menghadap Sutini dan Dampit.
Pelatih yang memiliki tubuh kekar dan ber-
cambang lebat ini murid utama Rumah Perguruan
Perisai Diri. Ia kelihatan terkejut bercampur heran melihat sepasang muda-mudi
yang tidak dikenalnya. Setelah memberi isyarat agar murid-muridnya tetap
meneruskan latihan, dia mengayunkan kaki
menghampiri Sutini dan Dampit.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian?" tanya murid utama Rumah Perguruan Perisai
Diri. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan curiganya.
"Lebih baik kau panggil ketuamu kemari!
Katakan padanya, ada orang yang mencarinya
dengan membawa urusan penting!" sahut Sutini, dingin. Murid utama itu
mengernyitkan alis. Perasaan tidak senang langsung menyeruak di hatinya melihat
sikap Sutini yang memandang remeh dirinya. Meskipun demikian, untuk menimbulkan
kesan tuan rumah yang baik ditekannya perasaan
itu. Malah, seulas senyum dipersembahkan!
"Manusia tidak tahu diuntung!" desis Sutini.
Matanya berkilat-kilat memancarkan kemarahan
yang sangat. "Kuperingatkan sekali lagi padamu, Keparat! Sebelum kesabaranku
hilang, cepat panggil gurumu kemari! Atau, kau akan melawat
ke akherat! "
Hebat bukan main akibat ucapan Sutini!
Wajah murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri
langsung berubah-ubah, sebentar pucat sebentar
merah. Memang, lelaki bercambang lebat ini mur-
ka sekali. Seumur hidupnya baru kali ini dia mendapat perlakuan seperti itu.
Bagaimana dia tidak
naik darah" Dia telah berbicara baik-baik. Tapi, tanggapan yang diterimanya
seperti ini. Sungguh menjengkelkan.
"Mulutmu kasar dan tajam sekali, Wanita
Liar! Perlu kau ketahui kalau di sini bukan hutan.
Ini adalah markas Rumah Perguruan Perisai Diri.
Jadi, kau tidak boleh sembarangan bertindak! Ada aturan yang harus kau ikuti,
aturan Rumah Perguruan Perisai Diri! Kalau kau tidak sudi menuruti peraturan
ini, silakan keluar dari sini sebelum aku terpaksa mengusir kalian dengan
kekerasan!"
Lantang dan penuh wibawa murid utama
Rumah Perguruan Perisai Diri mengucapkannya.
Apalagi, sewaktu mengucapkan kalimat terakhir
diiringi dengan tudingan jari telunjuknya ke pintu gerbang.
7 Sutini adalah seorang gadis yang memiliki
watak keras. Semakin keras orang bersikap terhadapnya, semakin keras pula
balasan yang diberi-
kan. Apabila pada saat dia tengah tersinggung. Penolakan tegas murid utama Rumah
Perguruan Pe- risai Diri membuat Sutini naik pitam.
Seketika itu pula, terdengar bunyi berkero-
tokan keras seakan tulang-belulang di tubuh Suti-ni berpatahan. Padahal, dia
tidak melakukan gerakan apa pun. Semua itu terjadi karena tenaga dalamnya
bergolak dengan sendirinya!
Begitu pula keadaan murid utama Rumah
Perguruan Perisai Diri. Perasaan kaget yang sangat membayang jelas pada
wajahnya. Saat itu pula
disadari kalau Sutini bukan tokoh sembarangan.
Dia pun segera bersikap waspada. Tanpa ragu-
ragu lagi dirabanya gagang golok.
Pada saat yang bersamaan, murid-murid
Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah berlatih menghentikan latihannya.
Mereka mengalihkan
perhatian pada kakak seperguruannya yang ten-
gah bersitegang dengan sepasang muda-mudi. Se-
perti diberi perintah, dengan langkah perlahan ka-ki mereka diayunkan
menghampiri tempat terja-
dinya ketegangan itu.
Sutini sudah tidak kuasa menahan kema-
rahannya lagi. "Ingin kutahu, apakah tua bangka itu tetap tak mau keluar dari
semadinya apabila semua muridnya kubinasakan!" desis gadis berpakaian merah itu
penuh ancaman. "Auuumm...!"
Suara auman laksana keluar dari mulut
seekor harimau terdengar ketika Sutini membuka
mulut. Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya luar biasa! Seluruh murid-murid
Rumah Perguruan Perisai Diri, tak terkecuali lelaki bercambang lebat, merasakan
betapa dada mereka terguncang
hebat. Kedua lutut mereka langsung lemas. Tanpa dapat dicegah lagi mereka semua
jatuh berlutut!
Tentu saja kenyataan ini sangat menge-
jutkan semua murid Rumah Perguruan Perisai Di-
ri. Kini murid utama perguruan yang bercambang
lebat itu tahu mengapa Sutini begitu berani ber-
tindak kurang ajar. Kiranya, gadis berpakaian merah ini memiliki kepandaian
tinggi. Sutini tersenyum mengejek melihat keadaan
yang dialami lawan-lawannya. Dengan sorot mata
penuh ancaman dihampirinya lelaki bercambang
lebat. Dampit yang diam-diam tidak setuju dengan tindakan Sutini buru-buru
menyentuh lengan gadis itu untuk menyabarkannya. Tapi Sutini mene-
piskannya. "Mulutmu terlalu lancang, Monyet Hitam!"
maki Sutini seenaknya ketika telah berada di dekat lelaki bercambang lebat.
"Asal kau tahu saja, aku tidak pernah membiarkan orang meremehkan diriku.
Bersiaplah menerima hukumannya!"
Sutini menghentikan ucapannya. Diperhati-
kannya wajah murid utama Rumah Perguruan Pe-
risai Diri. Ingin dilihatnya lelaki bercambang lebat itu ketakutan karena
ancamannya. Tapi harapan-nya sia-sia. Laki-laki bercambang lebat itu tetap
berdiam diri. Tidak tampak adanya rasa takut sedikit pun. Karuan saja kenyataan
ini membuat Sutini penasaran bukan main.
"Rupanya kau pikir aku main-main,
hehhh..."!" dengus Sutini, bengis. "Lihat baik-baik, aku akan meremas hingga
hancur mulutmu yang
kurang ajar itu!"
Karena Sutini mempertunjukkannya sede-
mikian rupa, mau tidak mau lelaki bercambang lebat melihatnya juga. Sebuah
tangan berjari-jari indah dengan kulit putih, halus, dan mulus. Terlihat
menggiurkan! Tapi, lelaki bercambang lebat ini ta-hu nyawanya terancam bahaya
tangan indah itu.
Wuttt! Murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri
berhasil mengelakkan cengkeraman tangan kanan
Sutini. Ia bergegas melompat ke belakang. Pera-
saan ngeri mulai mencekam hati. Lawan benar-
benar memiliki ilmu mengerikan. Sutini memiliki ilmu iblis!
"Kau sudah melihatnya bukan" Asal kau
tahu saja, aku akan merobek mulutmu yang lan-
cang! Baru setelah itu kurobek-robek seluruh tubuhmu!" ancam Sutini dengan suara
yang membuat bulu kuduk merinding.
Tanggapan atas ucapan Sutini adalah se-
rangan tidak terduga-duga dari lelaki bercambang lebat. Ia mengayunkan goloknya
ke perut Sutini.
Inilah yang ditunggu murid utama Rumah Pergu-
ruan Perisai Diri. Sudah terbayang di benaknya gadis berpakaian merah itu akan
terjengkang ke belakang dengan perut robek lebar!


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukkk! Bukkk! "Ah!"
Murid utama itu memekik kaget ketika
mendapatkan kenyataan di luar perkiraannya. Di-
lihat jelas betapa mata kedua goloknya dengan deras menghantam sasaran. Tapi
tidak terdengar jeritan menyayat Sutini, atau darah menyembur de-
ras dari bagian yang terhantam ayunan golok. Kedua goloknya seperti menghantam
benda kenyal. Serangan itu tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, kedua tangannya terasa lumpuh
karena ayunan kedua goloknya membalik.
"Jangan kau kira akan semudah itu melu-
kai Sutini, Anjing Buduk! Sekarang rasakan hu-
kumanmu! Hih!"
Sutini mengayunkan tangan kanan. Lelaki
bercambang lebat yang melihat adanya ancaman
berusaha sebisa-bisanya untuk mengelak.
"Auuukh!"
Jeritan menyayat hati terdengar. Tangan
Sutini mengenai sasaran dengan tepat. Merobek
kedua sisi mulut murid utama Rumah Perguruan
Perisai Diri yang malang.
"Hi hi hi..,!"
Sutini tertawa mengikik. Ia sangat gembira
melihat lelaki bercambang lebat berguling-gulingan di tanah seraya memegangi
mulutnya yang robek
lebar. Darah menyembur deras dari bagian yang
terluka. Semua kejadian itu tak luput dari pandan-
gan murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri.
Rasa ngeri menjalari hati mereka. Sutini ternyata memiliki watak yang kejam.
Meski demikian mereka tidak menjadi gen-
tar. Bahkan sebaliknya, marah melihat kakak se-
perguruannya menerima nasib seperti itu. Kalau
saja mampu bergerak tentu sudah mereka terjang
Sutini! Keinginan untuk menolong kakak sepergu-
ruan mereka membuat murid-murid Rumah Per-
guruan Perisai Diri berusaha membebaskan diri
dari kungkungan rasa lemas. Mereka memusatkan
perhatian untuk membangkitkan tenaga dalam.
Sementara itu, masih dengan tawa terkekeh
Sutini terus mengikuti lelaki bercambang lebat
yang bergulingan karena rasa sakit. Ceceran darah membasahi tanah sepanjang
tubuh murid utama
itu berguling. Dampit yang sejak semula memang tidak
setuju dengan tindakan Sutini sudah tidak tahan.
Sutini memang tengah diamuk dendam. Tapi,
mengapa orang yang tidak bersalah dijadikan korban dengan demikian keji"
"Hentikan permainanmu, Sutini! Maksud
kedatangan kita adalah untuk mencari Pendekar
Golok Sakti. Jangan kau kotori tanganmu dengan
korban-korban yang tidak berdosa!"
Tawa Sutini langsung terhenti. Semua ka-
rena ucapan Dampit yang penuh teguran. Kepa-
lanya ditolehkan menatap pemuda itu.
"Tidak perlu kau mengajariku, Dampit! Aku
mengetahuinya. Meskipun aku adik seperguruan-
mu, tapi tidak berarti kau seenaknya saja mene-
kan ku!" Terasa jelas nada ketidaksenangan dalam sambutan gadis berpakaian merah
itu. Begitu ucapannya selesai, Sutini kembali
mengalihkan perhatian pada lelaki bercambang lebat. Tanah tergetar hebat ketika
Sutini menghentakkan kaki kanannya ke tanah. Tubuh murid
utama Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah
terguling-guling langsung terpental ke atas. Lonta-rannya mengarah ke tempat
Sutini berada. Kejadian ini membuat murid utama itu ter-
kejut bukan main, Tapi apa dayanya" Mana
mungkin dia berbuat sesuatu di saat tubuhnya
tengah berada di udara" Maka, yang dilakukannya adalah pasrah pada keadaan.
Tiba-tiba, tubuh lelaki bercambang lebat
yang tengah meluncur deras ke arah Sutini terhen-ti di udara, bagai ada kekuatan
kasatmata yang menahannya. Sutini kaget. Sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, tubuh murid utama Rumah Per-
guruan Perisai Diri melesat ke arah yang berlawanan dari arah semula.
Sutini segera dapat menyimpulkan ada
orang pandai yang ingin mengambil alih tubuh lelaki bercambang lebat. Gadis
berpakaian merah ini menjulurkan kedua tangan untuk memaksa tubuh
lelaki bercambang lebat mengikuti kemauannya,
melesat ke arahnya.
Tindakan Sutini membuat tubuh lelaki ber-
cambang lebat yang telah meluncur deras ke arah yang berlawanan terhenti. Dan,
perlahan-lahan meluncur kembali ke arah Sutini. Tubuh murid
utama itu meluncur berganti-ganti. Terkadang
menuju tempat di mana Sutini berada, tapi tak jarang ke tempat yang berlawanan.
Empat tombak di depan Sutini, berdiri lelaki
setengah baya. Ia berpakaian rompi putih. Berwajah tirus dengan rambut telah
berwarna dua. Di-
alah Pendekar Golok Sakti! Tokoh yang tengah dicari Sutini ini berdiri dengan
kedua tangan terjulur ke depan seperti halnya Sutini.
Pertarungan tenaga dalam untuk mempere-
butkan tubuh lelaki bercambang lebat akhirnya
dimenangkan oleh Pendekar Golok Sakti. Secara
perlahan namun pasti tubuh lelaki bercambang lebat terus meluncur ke arah
Pendekar Golok Sakti.
Itu terjadi setelah pertarungan unik itu berlang-
sung cukup lama. Wajah Sutini dan Pendekar Go-
lok Sakti sampai dibanjiri peluh.
Menyadari keunggulan Pendekar Golok Sak-
ti, Sutini segera menghentikan penyaluran tenaga dalamnya. Kemudian, ia melompat
ke atas mema-tahkan kekuatan tarikan tenaga lawan. Sutini bersalto beberapa kali
di udara untuk kemudian men-jejak tanah dengan mantap.
"Siapa kalian" Mengapa melakukan tinda-
kan keji seperti ini?" tanya Pendekar Golok Sakti, setelah meletakkan tubuh
lelaki bercambang lebat yang pingsan karena tak kuat menjadi sasaran
pertarungan tenaga dalam.
"Karena mereka tidak mau memenuhi per-
mintaan kami untuk memanggil dirimu! Bukankah
kau orang yang berjuluk Pendekar Golok Sakti
yang pengecut itu"!" jawab Sutini langsung pada sasaran. Ia merasa yakin sosok
yang berdiri di hadapannya itu adalah Pendekar Golok Sakti.
"Dugaanmu memang tidak salah, Nona Mu-
da," Pendekar Golok Sakti mengangguk. "Aku memang orang yang kau maksudkan itu.
Sekarang aku sudah berada di hadapanmu. Cepat katakan
maksudmu! Dan, apa artinya ucapanmu yang me-
ngatakan aku seorang pengecut! Jelaskan sebelum aku terpaksa bertindak kasar
kepadamu atas ke-lancanganmu!"
Sutini yang diamuk dendam atas kematian
ayahnya dan menganggap Pendekar Golok Sakti
sebagai salah satu dari orang-orang yang harus
dibunuhnya, semakin meluap amarahnya men-
dengar ancaman itu.
"Gagah nian ucapanmu, Pendekar Golok
Sakti! Kalau saja aku tidak mengenalmu lebih du-lu, tentu aku akan menganggapmu
sebagai orang yang berjiwa jantan. Sayang..., karena aku telah lebih dulu mengenal watakmu
yang pengecut, ti-puanmu tidak akan mempan terhadapku!" sambut Sutini penuh
ejekan dan sikap merendahkan.
"Apa maksudmu, Nona Bermulut Tajam!
Dua kali berkata kau telah dua kali pula memaki-ku pengecut! Kalau sekarang kau
tidak menje- laskan mengapa bertindak seperti itu, jangan salahkan jika aku melupakan kalau
kau seorang wanita muda!" Nada suara Pendekar Golok Sakti semakin meningkat.
"Kau memang seorang pengecut! Kau tidak
pantas mendapat gelar Pendekar Golok Sakti.
Orang seperti kau harusnya memakai julukan
Pendekar Golok Tumpul. Apa artinya julukan pen-
dekar kalau kau pergi meninggalkan kawanmu di
waktu kau bertemu dengan lawan yang berat se-
perti Iblis Tangan Maut"!" tandas Sutini bertubi-tubi dengan nada tinggi.
Wajah Pendekar Golok Sakti yang semula
merah padam karena amarah yang bergelora men-
dengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Suti-ni, mendadak berganti dengan
keterkejutan yang
sangat ketika mendengar kalimat terakhir itu.
"A... apa maksudmu..."!" tanya Pendekar Golok Sakti dengan suara bergetar.
"Tidak usah berpura-pura bodoh! Bukankah
kau meninggalkan Dewa Tangan Sepuluh ketika
menghadapi Iblis Tangan Maut, hingga pendekar
yang perkasa itu tewas" Coba sangkal kalau kau
berani!" "Apa hubungannya denganmu"!" sentak
Pendekar Golok Sakti sengit setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Dia adalah ayahku, Pengecut! Dan, keda-
tanganku kemari untuk membunuhmu karena
kau yang telah menyebabkan ayahku tewas!"
"Ah...!"
Pendekar Golok Sakti mendesah kaget. Dia
tahu Dewa Tangan Sepuluh mempunyai seorang
putri. Tapi, sungguh tidak disangkanya kalau ke-turunan pendekar itu akan
membalas dendam.
"Kau keliru! Yang membunuh ayahmu ada-
lah Iblis Tangan Maut!"
"Benar! Tapi kau pun terlibat. Kalau kau tidak secara pengecut melarikan diri,
ayahku tidak akan tewas. Sekarang kau harus pergi ke alam ba-ka untuk menemui
ayahku dan mendapat balasan
darinya di sana!"
Tanpa menunggu lebih lama, Sutini lang-
sung mencabut pedang dan memutarnya sejenak
hingga bentuknya lenyap. Lalu, dengan diawali teriakan melengking nyaring ia
melompat menerjang Pendekar Golok Sakti dengan serangan-serangan
maut. Pendekar Golok Sakti sadar betul Sutini tidak bisa dicegah lagi. Tidak ada
jalan lain untuk menyelamatkan diri kecuali melakukan perlawanan. Apalagi ketika
Ketua Rumah Perguruan Peri-
sai Diri ini melihat kedahsyatan serangan gadis berpakaian merah itu. Tanpa
ragu-ragu lagi, go-
loknya dicabut untuk menyambuti serangan Suti-
ni. Hingga, kedua orang ini terlibat pertarungan sengit. Namun, betapapun Sutini
mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap terbukti kalau Pen-
dekar Golok Sakti terlalu kuat. Semua serangan-
nya kandas. Sebaliknya, setiap serangan Pendekar Golok Sakti mampu membuatnya
kelabakan. Tak sampai tiga puluh jurus Sutini telah terdesak hebat. Melihat kenyataan ini
Dampit pun tidak
tinggal diam. Meski tidak setuju dengan niat Sutini, pemuda berpakaian putih ini
tidak ingin Sutini celaka atau tewas! Dampit mencabut pedang dan
terjun ke dalam kancah pertarungan.
Ikut campurnya Dampit langsung mengu-
bah jalannya pertarungan. Sutini tidak terdesak lagi. Malah, sepuluh jurus
kemudian Pendekar Golok Sakti mulai terdesak. Semakin lama keadaan
Ketua Rumah Perguruan Perisai Diri semakin
mengkhawatirkan.
Pendekar Golok Sakti mengeluh dalam hati.
Sutini dan Dampit tidak mungkin bisa ditanggu-
langi. Terjunnya Dampit membuat keadaan beru-
bah drastis. Dampit dan Sutini mampu melakukan
kerja sama yang baik. Permainan pedang kedua-
nya saling melengkapi, membuat pertahanan se-
makin kuat dan menjadikan serangan-serangan
semakin dahsyat.
"Ah...!"
Pendekar Golok Sakti menjerit tertahan ke-
tika goloknya yang menangkis serangan Dampit ti-
dak bisa ditarik kembali. Menempel! Rupanya, pemuda berpakaian putih itu
mengerahkan tenaga
dalam untuk membuat senjatanya melekat dengan
golok lawan. Sebelum Pendekar Golok Sakti mengerah-
kan tenaga dalam untuk melepaskan senjatanya,
Sutini telah datang menerjang dengan tusukan
pedang ke arah leher!
Wajah Pendekar Golok Sakti seketika pucat
pasi! Namun, secara mengejutkan sesosok bayan-
gan melesat ke dalam kancah pertarungan.
Tringng! Pedang Sutini terpental balik. Sosok bayan-
gan itu telah menyentilnya dengan telunjuk hingga menimbulkan bunyi berdenting
nyaring. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Golok Sakti dengan
menggunakan kelebihan tenaga dalamnya berhasil
melepaskan tempelan pedang Dampit.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Pendekar Golok Sakti untuk melom-
pat ke belakang menghindari serangan susulan.
Padahal, tindakan itu sebenarnya tidak perlu. Sutini tengah terhuyung-huyung
akibat sentilan sosok bayangan. Sentilan yang membuat sekujur
tangan Sutini tergetar hebat.
8 "Guru...!"
Sutini yang semula siap mengirimkan se-
rangan langsung lemas sekujur tubuhnya ketika
melihat sosok yang menangkis serangannya. Dam-
pit pun menatap dengan wajah pucat dan sinar
mata gelisah. Sosok yang disapa Sutini sebagai guru ada-
lah seorang kakek kecil kurus. Usianya tak kurang dari tujuh puluh tahun. Ia
masih terlihat gagah karena sebaris kumis melintang di bawah hidung-nya. Kumis
yang telah memutih.
Kakek kecil kurus itu menatap Sutini dan
Dampit berganti-ganti dengan sinar mata penuh
teguran. Ada bayangan kemarahan pada wajah-
nya. "Apa arti tindakanmu ini, Sutini" Dampit?"
tanya kakek kecil kurus penuh wibawa.
Sutini rupanya hanya garang pada orang-
orang lain saja. Terhadap gurunya gadis ini takut bukan main. Begitu mendapat
pertanyaan itu, dia malah menatap Dampit. Sinar matanya meminta


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tolong pada pemuda itu untuk mewakilinya berha-
dapan dengan gurunya.
Belum sempat Dampit memberikan jawa-
ban. Pendekar Golok Sakti telah terlebih dulu
tertawa bergelak.
"Tidak usah terlalu tegang, Malaikat Tong-
kat! Tidak ada urusan yang berarti antara kami.
Hanya..., yahhh.... Sekadar latihan saja. Mereka datang dan meminta pelajaran
dariku. Murid-muridmu ternyata hebat, Malaikat Tongkat. Ham-
pir saja nyawa tuaku ini melayang. Aku kewalahan menghadapi mereka."
"Jangan membela mereka, Pendekar Golok
Sakti!" tandas Malaikat Tongkat tegas. "Aku tidak buta untuk bisa melihat adanya
permusuhan dan ingin saling membunuh dalam serangan-serangan
kalian. Tidak usah kau berdusta! Sutini, jawab
yang benar. Bukankah kau datang hendak mem-
bunuh Pendekar Golok Sakti"!"
Dengan wajah pucat pasi Sutini mengang-
guk. "Guru..., Sutini tidak...."
"Diam! Aku tidak bertanya padamu!" Semakin keras teriakan Malaikat Tongkat.
Dampit menundukkan kepala dengan wajah
merah padam karena takut dan malu.
"Kalian benar-benar mengecewakan aku!
Terutama kau, Dampit! Kau sebagai kakak pergu-
ruan seharusnya dapat membimbing Sutini agar
tidak terjerumus ke jalan yang sesat. Tak usah kalian jawab, aku tahu mengapa
kamu berdua bera-
da di sini. Sutini menimpakan kesalahan atas kematian ayahnya kepada Pendekar
Golok Sakti. Dia datang untuk membuat perhitungan. Bocah ini
memang terlalu diamuk dendam. Sudah berkali-
kali kukatakan kalau Pendekar Golok Sakti tidak tahu-menahu dengan kematian Dewa
Tangan Sepuluh! Perlu kau ketahui, Sutini, Pendekar Golok Sakti sama sekali
tidak bersikap pengecut. Dia
pergi meninggalkan ayahmu dengan hati berat. Itu pun atas desakan ayahmu
sendiri. Ayahmu
mengkhawatirkan keselamatanmu, putrinya. Pen-
dekar Golok Sakti ini yang membawamu kepadaku
untuk dijadikan murid kemudian dia merantau
untuk mencari Iblis Tangan Maut guna mengadu
nyawa. Tapi, tokoh itu telah lenyap bagai ditelan bumi. Pendekar Golok Sakti pun
putus asa. Dia la-lu tinggal di sini dan mendirikan perguruan. Sampai akhirnya
kau datang dengan maksud burukmu
itu! Untung saja aku segera tiba dan menolongnya pada saat yang tepat. Kalau
tidak, mungkin kau
akan menyesali peristiwa ini se-umur hidup!"
Sutini mengangkat wajahnya yang sejak ta-
di ditundukkan. Air mata mengalir membasahi pipi gadis berhati keras ini. Air
mata penyesalan. Sutini percaya sepenuhnya dengan cerita gurunya. Kakek itu
tidak pernah berbohong.
"Perlu kau ketahui, Sutini." Malaikat Tongkat menyambung ucapannya dengan suara
yang semakin melunak. "Ibumu terguncang batinnya mendengar kabar kematian ayahmu.
Karena gun-cangan batin itu, ibumu tidak mau menerima ke-
nyataan kalau tewasnya ayahmu bukan karena
kesalahan Pendekar Golok Sakti. Sayangnya, kau menelan mentah-mentah cerita yang
diberikan ibumu sebelum beliau meninggal. Kau tidak per-
nah mau menanyakan padaku. Untung saja aku
datang kemari, karena ada sesuatu masalah."
Sutini tidak bisa menahan rasa bersalah-
nya. Ditubruknya kaki Pendekar Golok Sakti dan Malaikat Tongkat. Dengan
terputus-putus gadis ini mengutarakan penyesalannya.
Kedua kakek yang berteman baik itu men-
gusap-usap rambut Sutini. Dampit hanya me-
nyaksikan dengan hati terharu. Diam-diam dia
merasa bersyukur gurunya telah datang.
"Sudahlah, Sutini," hibur Malaikat Tongkat.
"Lebih baik kau beristirahat. Kau terlalu lelah.
Dampit, ajak Sutini beristirahat."
Tanpa banyak cakap Dampit segera mem-
bawa Sutini ke dalam. Sutini tidak membantah.
Sedangkan Malaikat Tongkat menghampiri Pende-
kar Golok Sakti.
"Masalah apa yang membawamu datang
kemari, Malaikat Tongkat?" tanya Pendekar Golok Sakti. "Masalah besar kurasa.
Aku yakin peristiwa ini ada hubungannya dengan kejadian puluhan
tahun lalu. Tentang datuk kaum hitam yang terso-hor itu."
"Iblis Tangan Maut?" tanya Pendekar Golok Sakti dengan suara bergetar.
Malaikat Tongkat menggeleng. Seketika wa-
jah Pendekar Golok Sakti yang semula sudah pu-
cat ketika mengajukan dugaan mengenai Iblis
Tangan Maut, semakin bertambah pucat.
"Siluman Dari Neraka...," terka Ketua Perguruan Perisai Diri ini.
"Benar. Aku yakin datuk sesat Itu muncul
kembali ke dunia persilatan. Entah dengan cara
bagaimana, yang jelas tokoh ini berhasil selamat"
"Kau bertemu dengannya?" tanya Pendekar Golok Sakti tanpa bisa menyembunyikan
rasa gen-tarnya. "Tidak. Aku hanya menemukan bekasnya.
Gajah Cilik Berkepala Baja tewas dengan ciri-ciri seperti yang biasa diketemukan
pada korban-korban Siluman Dari Neraka. Karena itulah aku
segera datang ke sini karena khawatir kau disatro-
ninya. Bukankah kau juga terlibat atas peristiwa yang menimpa Siluman Dari
Neraka" Ingat, kau
yang menjadi pemberitahu kalau siluman itu akan bertarung dengan Iblis Tangan
Maut sehingga aku dan Gajah Cilik bisa memanfaatkan kesempatan
itu untuk melenyapkannya. Aku yakin dia akan
membalas dendam terhadapmu juga!"
"Cerdik sekali...! Dari dulu kau memang
cerdik...! Ha ha ha...!"
Teriakan keras menggelegar membuat Ma-
laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti menga-
lihkan perhatian. Wajah kedua tokoh golongan putih ini berubah hebat. Mereka
bisa menduga siapa yang telah mengeluarkan seruan itu.
*** Di atas pagar kayu bulat yang mengelilingi
Rumah Perguruan Perisai Diri tampak bertengger
sesosok tubuh berpakaian merah dalam keadaan
yang menakjubkan.
Kakek itu berdiri di atas pagar kayu bulat
dengan tidak menggunakan kakinya. Tapi, dengan
rambutnya yang panjang! Rambut itu menegang
kaku seperti tongkat!
"Selamat berjumpa lagi, Malaikat Tongkat
Apa kabarmu" Baik-baik saja, bukan" Sayang, Ga-
jah Cilik Berkepala Baja tidak demikian. Keadaannya sangat mengenaskan," ujar
kakek itu. "Tidak usah bersilat lidah, Siluman Dari Neraka! Katakan saja kalau kau yang
telah membu- nuhnya!" sentak Malaikat Tongkat seraya menga-
mang-amangkan tongkat di tangan kanannya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Malai-
kat Tongkat. Kurasa, kau dan Pendekar Golok
Sakti tahu alasannya. Kalian telah menyebabkan
aku terkurung bertahun-tahun di dasar lubang
itu. Lubang yang amat dalam. Untung saja dasar-
nya air sehingga aku bisa selamat. Selama bertahun-tahun kutelusuri tempat itu
untuk mencari jalan keluar. Sampai akhirnya jalan tembus ke
dunia luar kutemukan. Pembalasan dendamku
pun akan segera terlaksana! Ha ha ha...!"
"Atau kau yang akan mati untuk selamanya
di sini!" Malaikat Tongkat langsung menerjang-
Siluman Dari Neraka. Tongkatnya yang besar dan
berat dibabatkan ke kepala kakek berpakaian me-
rah. Tapi hanya dengan menggerakkan rambutnya
Siluman Dari Neraka berhasil mengelakkan seran-
gan itu. Kakek itu melesat dari tempatnya dan
mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Malaikat Tongkat yang geram melihat se-
rangannya berhasil dikandaskan segera meluruk
dengan putaran tongkatnya yang mengeluarkan
bunyi menderu keras. Tapi, Siluman Dari Neraka
berdiri dengan tenang. Kedua tangannya diseda-
kapkan di depan dada.
Ketika tongkat lawan hampir meremukkan
dadanya, Siluman Dari Neraka baru melakukan
tindakan. Rambutnya bagaikan hidup, bergerak
menyambuti tongkat. Bahkan, rambut itu terpisah menjadi dua kelompok. Yang kiri
dengan cepat menangkis tongkat dan melibatnya. Sedangkan
yang kanan menotok ke arah leher. Serangan
maut! Pendekar Golok Sakti tidak tinggal diam.
Goloknya segera dicabut dan diayunkan ke rambut yang tengah meluncur ke arah
leher. Trakkk! Seperti juga Malaikat Tongkat, Pendekar
Golok Sakti menerima kejadian yang mengejutkan.
Begitu tertangkis golok, rambut itu melemas. Kemudian, bagaikan hidup dengan
cepat melilit ba-
tang golok. Pendekar Golok Sakti mengerahkan kekua-
tan untuk menarik. Kalau goloknya tidak berhasil dibebaskan merupakan hal yang
tidak mungkin, demikian pendapat kakek ini. Mustahil rambut
mampu bertahan terhadap tajamnya golok. Tari-
kan pada golok akan membuat rambut seperti di-
potong. Tapi, Pendekar Golok Sakti harus menelan kenyataan pahit. Golok
pusakanya ternyata tidak mampu memutuskan rambut Siluman Dari Neraka. Rambut itu
seperti terbuat dari bahan yang
alot dan tidak bisa diputuskan.
Belum hilang rasa kaget Malaikat Tongkat
dan Pendekar Golok Sakti, keduanya dikejutkan
lagi dengan mengalirnya tenaga dalam mereka. Tenaga itu bagai disedot Siluman
Dari Neraka melalui rambutnya yang melibat tongkat dan golok.
Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti
berusaha keras mencegah mengalirnya tenaga me-
reka. Namun, keduanya tak berdaya sama sekali.
Kedua kakek ini pun berubah pikiran. Tidak ada
jalan lain kecuali melepaskan senjata. Meski bagai seorang ahli silat senjata
merupakan nyawa kedua, tapi Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok
Sakti tidak memiliki pilihan lain.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka
ketika mengetahui tangan keduanya menempel
dengan senjata, sehingga tidak dapat dilepaskan.
Pucat pasi wajah kedua kakek ini. Tidak ada hal lain yang dapat mereka lakukan
kecuali menunggu mati lemas kehabisan tenaga dalam! Entah ilmu
apa yang dipergunakan Siluman Dari Neraka se-
hingga mampu menyedot tenaga dalam lawan.
Siluman Dari Neraka baru melepaskan beli-
tan rambutnya ketika Malaikat Tongkat dan Pen-
dekar Golok Sakti sudah tidak mampu berdiri lagi.
Tubuh kedua kakek itu sangat lemas. Wajah me-
reka pucat seperti tidak berdarah. Butiran-butiran peluh sebesar kacang
membasahi sekujur tubuh.
Wajah Siluman Dari Neraka merah padam.
Kakek ini telah menyedot banyak tenaga dalam.
Beruntung tingkat kepandaiannya tinggi dan ke-
kuatan tenaga dalamnya luar biasa, sehingga te-
naga dalam yang berhasil disedot dapat diarahkan ke pusar. Kalau tidak, tenaga
dalam yang masih
liar itu akan berkeliaran ke sana kemari dan menyebabkan urat-urat sarafnya
pecah! "Kalian akan mengalami kematian seperti
halnya Gajah Cilik!"
Untuk kesekian kalinya rambut Siluman
Dari Neraka terpecah menjadi dua gumpalan. Bak
ular gumpalan rambut itu meluncur ke arah Ma-
laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti yang ber-
diri dengan kedua lutut.
Tukkk, tukkk Begitu kedua gumpalan rambut menotok
tubuh Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti, kedua kakek ini langsung
menjerit tertahan. Jeritan yang keluar tanpa dapat mereka tahan. Kedu-
anya menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih!
Saat itulah Karina dan Dampit keluar dari
salah satu bangunan yang mereka jadikan tempat
beristirahat. Wajah muda-mudi ini berubah hebat melihat kejadian yang dialami
Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti.
"Iblis Keji...!"
Sutini yang memiliki watak keras tanpa pi-
kir panjang menerjang Siluman Dari Neraka seraya menusukkan pedangnya. Jarak
antara mereka ki-ra-kira enam tombak, tapi Sutini bermaksud me-
lancarkan serangan dengan satu terjangan.
Berbeda dengan Sutini, Dampit lebih berha-
ti-hati. Apalagi setelah mengalami kejadian demi kejadian yang menimpanya. Kalau
gurunya dan Pendekar Golok Sakti bisa diperlakukan seperti
itu, dapat diperkirakan betapa tinggi kemampuan kakek berpakaian merah! Jadi,
Sutini hanya mencari penyakit dengan tindakannya yang ceroboh
itu. "Sutini...! Tahan...!"
Hanya itu yang bisa diserukan Dampit. Pe-
muda ini tidak sempat lagi bertindak untuk men-
cegah. Tubuh Sutini telah cukup jauh melayang.
Mengejar pun percuma saja.
Siluman Dari Neraka mendengus. Dengan
gerakan sambil lalu, seperti orang mengusir lalat, tangan kanannya dikibaskan.
Serangkum angin
berhawa panas meluncur ke arah Sutini.
Tidak hanya Sutini. Dampit pun pias wa-
jahnya. Dia melihat maut mengancam Sutini. Ti-
dak ada yang bisa dilakukannya. Mencoba untuk
menolong pun sia-sia karena gerakannya kalah
cepat dan kalah lebih dulu.
Di saat yang mengkhawatirkan itu, sesosok
bayangan ungu dengan kecepatan menakjubkan
melesat menubruk tubuh Sutini. Luncuran tubuh
gadis berpakaian merah itu dipotong dari samping.
Tubuh Sutini dan sosok bayangan ungu
yang tidak lain Arya terguling-guling di tanah.


Dewa Arak 76 Penjara Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, terhenti dengan kedudukan sosok bayangan
ungu berada di atas. Tubuh Sutini berada di ba-
wah. Dada mereka saling bersentuhan.
Karuan saja Arya maupun Sutini jadi salah
tingkah. Hal itu justru membuat mereka tidak segera bangkit berdiri, tapi malah
berdiam diri dengan saling bertatapan.
Geraman Siluman Dari Neraka membuat
sepasang muda-mudi ini tersadar. Hampir bersa-
maan dengan Arya melentingkan tubuh ke bela-
kang, Sutini menggulingkan tubuhnya ke samping.
Wajah keduanya memerah karena malu ketika te-
lah berhasil berdiri.
Di tempat lain, Dampit dan Karina menatap
kejadian itu dengan mata berapi. Ada rasa tidak enak dan iri melihat kejadian
itu. Karina menatap Sutini dengan sorot mata tajam. Sedangkan Dampit mengepalkan
tinjunya seraya menatap sosok
berpakaian ungu.
"Kita bertemu lagi, Pemuda Sombong! Seka-
rang kupenuhi janjiku. Kau akan kubunuh!" seru Siluman Dari Neraka.
Arya tidak menyambuti ucapan Siluman
Dari Neraka. Dia masih bingung melihat kemajuan hebat kakek berpakaian merah.
Sambaran angin pukulan Siluman Dari Neraka yang tadi lewat se-
dikit di atas tubuhnya, dirasakan kuat bukan
main. Jauh lebih kuat dari pukulan jarak jauh
yang ditangkis Dewa Arak waktu pertama kali bertemu tokoh sesat itu. Ataukah
kakek ini pada saat itu tidak mengerahkan tenaga seluruhnya?" tanya Arya dalam
hati. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak
tahu kalau tenaga dalam Siluman Dari Neraka bertambah dengan pesat karena baru
saja merampas tenaga dalam Malaikat Tongkat dan Pendekar Go-
lok Sakti. Tambahan dua tenaga dalam itu tentu
saja membuat tenaga dalam kakek berpakaian me-
rah ini semakin berlipat ganda.
Siluman Dari Neraka rupanya sudah tidak
sabar lagi untuk segera bertarung dengan Dewa
Arak. Sambil mengeluarkan geraman yang mem-
buat tempat itu bergetar hebat, ia melompat me-
nerjang Dewa Arak. Arya pun menyambutinya
dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'.
Pertarungan antara dua tokoh itu berlang-
sung seru. Tapi, hanya terjadi beberapa belas jurus saja. Pertarungan
berlangsung tidak seimbang.
Dewa Arak senantiasa didesak dan dikejar-kejar.
Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang telah me-
ningkat, Siluman Dari Neraka memaksa Dewa
Arak mengadu tenaga. Pemuda berambut putih
keperakan itu terus menghindar. Beruntung Arya
mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Ka-
lau tidak, sudah sejak tadi serangan Siluman Dari Neraka mendarat di tubuhnya.
Gerakan kakek itu
cepat bukan main. Jauh di atas kecepatan gerak Arya! Dewa Arak benar-benar
takjub dan kagum.
Harus diakui untuk kesekian kalinya dia menda-
pat lawan yang amat tangguh. Ilmu 'Belalang Sak-ti' menyebabkan dia tidak segera
roboh. Akhirnya, apa yang ditakutkan Dewa Arak
terjadi juga. Kecepatan gerak Siluman Dari Neraka membuatnya tidak sempat
mengelakkan serangan
di jurus kelima puluh. Tidak ada jalan lain bagi pemuda berambut putih keperakan
itu kecuali me-nangkisnya. Karena tenaga dalam lawan berada
jauh di atasnya, Dewa Arak menggunakan tenaga
pelan ketika menangkis.
"Uh!"
Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan.
Tangannya yang berbenturan dengan tangan Si-
luman Dari Neraka melekat. Belum juga hilang perasaan kagetnya, tenaga dalamnya
dirasakan mengalir melalui tangan yang bersentuhan. Arya
segera menyadari lawan menggunakan ilmu aneh
untuk mencuri tenaga dalamnya.
Dewa Arak tidak mau itu terjadi. Segera di-
hentikannya aliran tenaga dalamnya. Tapi ternyata tidak berhasil. Tenaga
dalamnya tetap tersedot Siluman Dari Neraka. Wajah Arya seketika pias. Pe-
muda ini tahu apa yang terjadi padanya. Dia akan mati lemas!
"Petualanganmu sudah berakhir, Rataksa.
Kau harus kembali ke Penjara Langit!"
Ucapan keras itu terdengar di saat Dewa
Arak mulai merasa lemas.
Akibat seruan itu sungguh hebat! Siluman
Dari Neraka tersentak kaget dan terjingkat ke belakang. Tindakannya terhadap
Arya langsung di-
hentikan. Wajah Siluman Dari Neraka bertambah pias
ketika melihat sosok bertopeng kayu yang menge-
nakan pakaian dari kulit ular emas. Pakaian itu adalah pakaian utusan Penjara
Langit. Siapa pun yang mengenakannya berkuasa penuh untuk bertindak apa saja
terhadap orang yang diburunya.
Siluman Dari Neraka hampir tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Sepengetahuannya,
pakaian itu disimpan dalam sebuah kotak baja
yang tidak bisa dibuka dengan alat apa pun, kecuali Golok Baja Hitam! Tapi
kenyataannya" Siluman Dari Neraka tidak tahu kalau sosok bertopeng
kayu ini salah satu dari dua orang bertopeng yang menyatroni Iblis Tangan Maut.
Mereka telah mengambil Golok Baja Hitam. Dengan golok itu kunci kotak baja yang
menyimpan pakaian dipatahkan.
Karena pakaian itu hanya satu, maka yang menca-
ri Siluman Dari Neraka hanya satu orang!
Siluman Dari Neraka yang sudah gentar
mendapatkan kembali keberaniannya. Ia teringat
kalau selama puluhan tahun ini telah melatih il-munya. Dan, dia yakin telah
mencapai tingkat
sempurna. Belum tentu petugas dari Penjara Lan-
git ini akan mampu mengalahkannya. Apalagi dia
telah berhasil mendapatkan ilmu untuk menyedot
tenaga dalam orang lain. Mana mungkin dia bisa dikalahkan. "Kaulah yang akan
kubunuh di sini!"
Siluman Dari Neraka melompat dengan kedua tan-
gan dihentakkan. Deru angin keras mengiringi ter-jangannya. Batu-batu kecil dan
debu beterbangan di udara. Namun, sosok bertopeng kayu tetap tidak bergeming.
Orang-orang yang berada di tempat itu,
termasuk Arya, sampai terbelalak kaget dan me-
nahan napas melihat sikap sosok bertopeng kayu.
Dewa Arak mengetahui benar betapa dahsyatnya
serangan Siluman Dari Neraka.
Tiba-tiba, satu tombak sebelum kedua tan-
gannya mendarat di sasaran, Siluman Dari Neraka mengeluarkan-jeritan menyayat.
Tubuhnya terpental balik ke belakang seperti membentur dinding tak nampak. Dari
mulut, hidung, dan telinganya
mengalir darah segar.
Setelah melayang-layang beberapa tombak,
tubuh kakek berpakaian merah itu ambruk di ta-
nah dan diam tidak bergerak lagi. Mati. Dengan
tenang sosok bertopeng kayu menyambar tubuh
itu dan melesat pergi, tanpa bicara apa pun pada orang-orang yang berada di
tempat itu. Tidak ada seorang pun yang mengejar. Me-
reka masih terlalu kaget melihat betapa mudahnya sosok bertopeng kayu menewaskan
Siluman Dari Neraka. Teka-teki bersarang di benak mereka tentang cara sosok bertopeng kayu
membunuh Silu- man Dari Neraka.
Jeritan tertahan Malaikat Tongkat dan Pen-
dekar Golok Sakti menyadarkan Sutini dan Dam-
pit. Mereka memburu ke arah kedua kakek itu.
Sesaat kemudian, tangis Sutini pun pecah. Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok
Sakti tewas den-
gan cara mengerikan. Sekujur tubuh mereka
menghitam. Di saat sepasang muda-mudi ini dan Karina
memperhatikan kedua mayat itu dengan perasaan
ngeri, Dewa Arak melangkah pergi. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini mengetahui sosok bertopeng menggunakan ilmu gaib!
Ilmu yang hanya
bisa dipergunakan untuk bertahan. Setiap orang
yang menyerang, maka serangan itu akan memba-
lik mengenai dirinya sendiri. Ilmu 'Kontak' demikian namanya. Itulah ilmu yang
dipergunakan so-
sok bertopeng kayu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pangeran Perkasa 10 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Bende Mataram 34
^