Pencarian

Takhta Setan 1

Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan Bagian 1


TAKHTA SETAN Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Takhta Setan 128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
SATU PANAS menyengat menjilati hamparan
lembah berbatu di sebelah selatan bukit Watu
Wangkit. Angin bukit berhembus sangat kencang,
seakan hendak memporak-porandakan gundu-
kan-gundukan batu yang banyak bertebaran di
sekitar lembah. Tiadanya semak belukar serta
tumbuhnya jajaran pohon, membuat hamparan
lembah itu berubah laksana bara tungku.
Seorang pemuda berparas tampan, bertu-
buh tinggi tegap dengan sepasang mata tajam dan mengenakan pakaian warna biru
tua terlihat melangkah menuruni bukit. Pakaiannya telah basah
kuyup oleh keringat yang membasahi hampir se-
kujur tubuhnya. Rambutnya yang panjang di-
biarkan tergerai dan telah tampak kusut masai.
Jelas bahwa si pemuda telah melakukan perjala-
nan agak jauh. Waktu berjalan menuruni bukit
pun sang pemuda tampak sesekali menghentikan
langkah lalu berteduh di bawah sebuah pohon.
"Bodohnya aku.... Kenapa kudaku tadi ti-
dak kubawa serta naik ke bukit! Ah, sudah kepa-
lang basah!" rutuk si pemuda memaki diri sendiri.
Sejenak dia menadangkan tangan kanannya di
depan kening menangkis sengatan sinar matahari
yang membuat pandangannya agak silau. Sambil
bersandar pada batang pohon sepasang matanya
memandang ke bawah, ke hamparan lembah ber-
batu. Tiba-tiba sepasang matanya sedikit membe-
lalak. Dia pun menarik tubuhnya dari batang po-
hon. "Hmm... Lembah berbatu tidak ditumbuhi semak belukar dan pepohonan. Tempat
itu.... Ya, sama seperti yang kulihat dalam mimpiku! Dan
sesuai dengan apa yang dikatakan bayangan sa-
mar-samar dalam mimpiku itu!" gumam sang pemuda. Dia lalu kernyitkan dahi seakan
mengingat sesuatu. "Bayangan itu mengatakan 'Lembah Ba-tu Selatan Bukit'...."
Seakan mendapat kekuatan baru, sang
pemuda lantas berlari menuruni bukit. Kepenatan dan rasa putus asa yang tampak
dari raut wajahnya tiba-tiba lenyap berubah menjadi harapan
besar. Malah mungkin karena begitu semangat-
nya, tatkala tubuhnya jatuh terjerembab karena
kakinya mengantuk akar-akar pohon, sang pe-
muda segera bergerak bangkit dan meneruskan
larinya. Ketika telah berada di kaki bukit, dia hen-
tikan larinya. Disekanya dahi dan lehernya yang basah. Sepasang matanya lantas
memandang ke hamparan lembah berbatu di hadapannya.
"Heran. Aku sendiri tak tahu apa yang
akan kudapatkan di lembah berbatu ini. Tapi
langkahku sepertinya tak bisa kucegah untuk
mendatanginya! Dan bayangan samar dalam
mimpiku itu hanya bunga tidur" Tapi melihat
tempatnya sama seperti yang kulihat dalam mim-
pi, aku yakin mimpiku itu bukan hanya bunga ti-
dur.... Sebaiknya aku menyelidiki ke sana!" sang
pemuda lalu bergerak melangkah menuju hampa-
ran lembah yang berbatu-batu itu.
"Sialan! Batu-batu padas ini panasnya bu-
kan main!" gumam sang pemuda seraya cepat
langkahkan kakinya menghindari pijakan kakinya
pada hamparan lembah yang terdiri dari batu-
batu padas coklat. Namun betapa terkejutnya
sang pemuda ini. Ketika melangkah lagi, batu padas yang diinjaknya semakin
panas, dan semakin
ke tengah semakin tambah panas!
"Keparat! Semakin ke tengah hamparan
lembah ini terasa semakin panas! Aneh. Bagai-
mana aku bisa leluasa mengitari tempat ini jika keadaannya demikian"!" pikir
sang pemuda lantas mulai melompat-lompat agar langkahnya bisa
jauh dan kakinya tidak terlalu lama merasakan
panas. Seraya melompat-lompat sepasang ma-
tanya tidak berkesiap memandang berkeliling.
Dan tak jarang pula kepalanya melongok ke balik gundukan batu.
Namun setelah sekian lama mencari-cari
dan tak menemukan apa-apa, sang pemuda tam-
pak menarik napas panjang. Namun seakan be-
lum yakin, sebentar kemudian dia telah tampak
berlari dan melompat-lompat kembali mengitari
hamparan lembah. Tapi dia masih tak menemu-
kan apa-apa! Seraya melompat ke balik gundukan
batu dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas.
Namun jelas jika wajahnya menunjukkan rasa
kecewa. Dan dia terlihat menggeram tatkala melirik ke bawah mendapatkan sepasang
telapak ka- kinya telah melepuh dan menggembung merah
pada jari-jari kakinya!
"Ternyata mimpiku hanya impian konyol!
Bodohnya aku.... Melakukan perjalanan panjang
menuruti mimpi! Petunjuk gila yang belum bisa
dipastikan benar tidaknya!" sang pemuda sapukan pandangannya kembali. Lalu
sedikit mendon-
gak seraya tadangkan tangannya.
"Sebelum kakiku hancur, lebih baik aku
meninggalkan tempat celaka ini!" dia lantas balikan tubuh hendak berlari menuju
arah kaki bu- kit. Saat itulah sepasang matanya menumbuk
pada sebuah lingkaran hitam pada apitan dua
gundukan batu. Dia sejenak tampak bimbang.
"Ah, tak ada apa-apanya. Mungkin hanya
lingkaran berwarna hitam batu padas!" ujarnya lantas hendak berlari ke arah kaki
bukit. Namun baru dua langkah, dia berhenti. Rasa panas di
kakinya sejurus ditahannya kuat-kuat. Lalu ber-
paling kembali pada lingkaran hitam. Setelah
berpikir sejenak dia pun meloncat ke arah dua
gundukan batu yang di bagian tengahnya tampak
lingkaran berwarna hitam.
Sambil membuka mata lebar-lebar dia me-
langkah berjingkat ke arah lingkaran hitam. Setelah benar-benar dekat, dia
tampak menghela na-
pas dalam-dalam. Seperti dugaannya, ternyata
lingkaran hitam itu cuma batu padas berwarna
hitam dan tak ada apa-apa di situ.
Mendapat mata sang pemuda mendelik.
Keningnya mengernyit, karena begitu kedua ka-
kinya menginjak lingkaran hitam, kakinya tidak
merasakan panas! Malah perlahan-lahan telapak
kakinya mengempos dan hawa dingin menjalari
sekujur tubuhnya. Anehnya, begitu hawa dingin
yang merambat dari sepasang kakinya menjalar,
tubuhnya tidak merasakan sengatan panasnya te-
rik matahari! "Heran. Lingkaran apa ini?" gumamnya seraya tundukkan kepala dan memperhatikan
ling- karan hitam di bawahnya. Belum lama memper-
hatikan, tiba-tiba dia merasakan lingkaran itu
bergerak-gerak. Tubuhnya pun ikut bergetar. Pe-
rasaan heran perlahan berubah menjadi perasaan
tegang dan takut, karena makin lama gerakan-
gerakan lingkaran hitam batu padas itu makin
keras, hingga tubuhnya oleng dan hendak jatuh.
Sambil menahan rasa tegang, dia hendak melom-
pat. Namun gerakannya tertahan karena tiba-tiba saja gerakan-gerakan itu
berhenti. Belum sempat dia mencari tahu apa yang
menyebabkan lingkaran hitam itu bergerak-gerak, sang pemuda dikejutkan dengan
suara tawa mengekeh panjang.
Si pemuda terlihat tercekat tegang, bukan
hanya karena tawa itu tiba-tiba menyeruak, na-
mun juga karena suara tawa itu seakan mengge-
ma dalam suatu ruangan dan tidak di hamparan
lembah itu! Seraya menahan rasa heran dan takut,
sang pemuda coba membelalakkan sepasang ma-
tanya mencari-cari sumber suara. Namun dia tak
menemukan seorang pun! Malah dia tak dapat
menentukan dari mana suara tawa itu.
"Jelas sekali bahwa suara tawa tadi seakan menggema dalam ruangan. Namun di
mana" Tempat ini hanya hamparan lembah berbatu.
Jangankan sebuah ruangan, batu yang memben-
tuk sebuah gua pun tak ada!" kuduknya mulai merinding. Saat itulah suara tawa
kembali terdengar. Sang pemuda putar kepalanya meman-
dang keliling. Tapi suara itu memang tidak di
hamparan lembah! Namun jelas terdengar.
Mendapati hal demikian, begitu suara tawa
terdengar berangsur pelan, dia beranikan diri untuk buka mulut. Suaranya
terdengar bergetar ma-
lah seakan tersendat di tenggorokan.
"Sia.... siapakah.... Kau" Dan.... Kau di
mana..."!"
Suara tawa lenyap. Lalu terdengar dengu-
san berat, tak lama kemudian terdengar suara.
Sama seperti suara tawa, suara ini juga seakan
terdengar dalam sebuah ruangan.
"Anak muda! Pertanyaanmu bukan saat ini
untuk kujawab. Sekarang aku tanya, siapa na-
mamu" Dan mana tanah kelahiranmu?"
Sejenak sang pemuda tampak bingung dan
ragu-ragu. Dan seolah masih tidak percaya, dia
sapukan sepasang matanya memandang setiap
sudut gundukan batu-batu di hamparan lembah.
"Anak muda! Dengar. Jangan sampai aku
mengulangi pertanyaanku kedua kali jika kau tak ingin jadi mayat di lembah ini!"
terdengar suara
ancaman, membuat sang pemuda bergetar takut.
"Aku.... aku Prabangkara.... Dari sebuah
desa di dekat Singasari...," kata sang pemuda sebutkan nama dan tempat
kelahirannya. Lama sang pemuda yang bernama Pra-
bangkara ini menunggu, namun tak terdengar lagi suara. Namun karena takut dan
masih tertekan rasa tak percaya, Prabangkara juga tak angkat bicara, hingga untuk beberapa lama
suasana di hamparan lembah itu sunyi mencekam.
"Anak muda!" akhirnya terdengar lagi suara. "Apa hubunganmu dengan Pangeran Sela
Pemanahan dan Pangeran Sindu Kalasan"!"
Prabangkara terhenyak tegang. Dalam hati
dia berkata. "Siapa sebenarnya manusia yang tidak
tampak ini" Dia mengetahui nama ayahanda dan
kakekku!" Prabangkara menarik napas panjang. Den-
gan suara masih bergetar dia menjawab. "Mereka adalah ayah dan kakekku!"
Terdengar suara tawa perlahan, disusul
kemudian dengan suara batuk-batuk beberapa
kali. "Bagus! Sekarang jawab pertanyaanku kedua. Siapa yang menyuruhmu datang ke
lembah berbatu ini"!"
"Aku tak mengenali orangnya, karena dia
muncul dalam mimpiku dan wajahnya sama-
samar. Dia juga tak menyebutkan namanya!"
Bersamaan dengan selesainya jawaban
Prabangkara, terdengarlah suara tawa panjang.
"Cucuku.... Bertahun-tahun aku menung-
gu kedatanganmu. Masuklah! Jejaklah tiga kali
batu padas di mana kau saat ini berada!"
"Cucu" Dia memanggilku cucu. Siapa dia
sebenarnya"!" batin Prabangkara seraya perhatikan lingkaran batu padas hitam di
mana ia bera- da. "Cucuku! Aku tidak mau memerintah un-
tuk kedua kalinya!"
"Heran. Aku tak mengerti dengan semua
ini. Dia seakan tahu apa yang kuperbuat.... Ah, sebaiknya kuturuti perintahnya!"
Prabangkara la-lu jejakkan kakinya tiga kali berturut-turut.
Batu padas yang membentuk lingkaran itu
mendadak bergerak-gerak. Lantas terdengar sua-
ra gesekan seperti bersentuhannya dua buah ba-
tu. Dan perlahan-lahan batu padas hitam itu bergerak turun.
"Celaka! Aku bisa tertimbun di dalam...,"
desis Prabangkara begitu mengetahui tubuhnya
bergerak turun. Dia angkat kakinya berusaha me-
lompat. Namun dia tercekat sendiri. Kedua ka-
kinya tak bisa diangkat. Pijaknya pada batu pa-
das yang bergerak turun itu laksana diberi perekat. Hingga dengan menahan rasa
cemas bercam- pur takut dia tegak diam seraya membeliakkan
sepasang matanya.
"Begitu kepalanya masuk ke dalam lingka-
ran yang kini membentuk sebuah lobang, tiba-
tiba gerakan turun batu padas itu meluncur den-
gan derasnya. Prabangkara pejamkan matanya.
Degupan jantungnya tambah keras. Dan keringat
dingin makin membasahi sekujur tubuhnya.


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Brakkk! Mendadak terdengar suara berderak. Pija-
kan kaki Prabangkara ikut oleng dan tak lama
kemudian tubuhnya jatuh tersungkur! Mungkin
merasa ada bahaya, Prabangkara segera buka ke-
lopak matanya dan bergerak bangkit. Ketika dia
memandang berkeliling, dia tersentak. Ternyata
dia berada pada sebuah ruangan berbentuk bun-
dar. Pada salah satu sisinya tampak sebuah ban-
gunan batu berbentuk pintu gerbang. Di atas pin-tu gerbang ini tertera sebuah
tulisan 'Gerbang Setan'. Membaca tulisan pada atas pintu gerbang, tengkuk
Prabangkara makin merinding. Bulu-bulu tangannya berdiri. Dan belum sampai dia
berpikir tentang sesuatu, terdengar suara berderak. Menoleh, Prabangkara
terperanjat. Ternyata batu padas yang tadi membawanya turun telah
menutup kembali!
"Celaka! Aku benar-benar tertimbun di si-
ni...," desisnya seraya menyapukan pandangannya berkeliling. Tak ada lagi pintu
selain pintu Gerbang Setan. Dan belum sempat pemuda ini
berpikir lebih jauh, dari arah pintu gerbang mengepul asap putih tebal. Dan
bersamaan dengan
itu terdengar suara tawa mengekeh panjang. Pra-
bangkara mendelik dengan tubuh bergetar.
Begitu suara tawa sirap, samar-samar
muncul sesosok bayangan manusia dari balik ke-
pulan asap putih. Prabangkara makin membela-
lakkan matanya, memperhatikan sosok yang ma-
kin lama makin jelas setelah asap putih lenyap, kini tampaklah sosok itu.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Mengenakan pakaian seperti pakaian seorang
Pangeran. Kumis dan jenggotnya panjang serta
putih. Sepasang matanya kelabu namun tajam.
Rambutnya panjang dan dibiarkan tergerai rapi
ke belakang. "Prabangkara. Mendekatlah kemari!" tiba-tiba sosok orang tua yang kini berdiri
tegak di ambang pintu Gerbang Setan keluarkan suara.
Sepasang matanya yang kelabu mengawasi Pra-
bangkara dari kaki hingga rambut, membuat sang
pemuda semakin bergetar.
Untuk sesaat lamanya Prabangkara tegak
termangu tanpa berani balas memandang. Dan
perlahan-lahan pula dia melangkah mendekat.
Sepuluh langkah di hadapan Gerbang Setan, Pra-
bangkara hentikan langkah. Dengan dada berde-
bar, ia beranikan diri angkat kepalanya meman-
dang sosok yang berdiri tegak di ambang pintu
Gerbang Setan. Mulutnya lantas membuka hen-
dak mengucapkan sesuatu, namun suaranya ter-
cekat di tenggorokan, hingga yang terdengar ha-
nyalah gumaman tak jelas. Prabangkara menarik
napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri.
Lalu mulutnya bergerak-gerak kembali hendak
berkata, namun sebelum suaranya terdengar,
orang tua di hadapannya telah berkata.
"Cucuku, Prabangkara! Hari ini tugasku
akan selesai, dan tugas selanjutnya kaulah yang harus melaksanakannya!"
Prabangkara terkejut mendengar ucapan
orang tua di hadapannya. Hingga tanpa sadar da-
ri mulutnya keluar ucapan.
"Tugas" Orang tua! Aku tak mengerti den-
gan semua ini!"
Orang tua itu keluarkan tawa panjang.
"Dengar, Prabangkara! Beratus-ratus tahun
aku mengemban tugas menunggu untuk me-
nyampaikan sesuatu padamu! Dan dengan keda-
tanganmu maka selesai sudah tugasku!"
Habis berkata begitu, orang tua itu angkat
tangan kanannya ke atas kepala. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, begitu
tangan itu diluruh-kan terlihatlah sebuah benda berwarna putih ku-
sam di tangannya.
Prabangkara belalakkan sepasang matanya
memandangi benda putih kusam di tangan orang
tua. "Seperti sebuah kitab...," kata Prabangkara dalam hati.
"Betul. Ini memang sebuah kitab!" kata orang tua seakan tahu apa yang terpikir
sang pemuda. "Kitab inilah yang harus kusampaikan padamu!" Habis berkata, orang
tua itu ulurkan tangannya ke depan.
"Ambillah!"
Prabangkara ternganga. Dia seakan masih
belum percaya apa yang ada di hadapannya.
Hingga untuk beberapa lama ia memandang ber-
ganti-ganti pada orang tua di hadapannya lalu
pada kitab yang kini dijulurkan padanya. Namun
setelah dilihatnya orang tua itu melotot, dan melangkah ke depan. Tangan kanan
kirinya dijulur-
kan untuk mengambil kitab dari tangan orang
tua. Begitu kedua tangannya menyentuh kitab,
ada hawa aneh yang merasuki tubuhnya.
"Heran. Pandangan mataku lebih tajam.
Degupan jantungku pun reda seketika. Tubuhku
tidak lagi bergetar.... Tapi jangan-jangan aku
mimpi...," batin Prabangkara. Lalu dia menggigit bibir bawahnya.
"Masih terasa sakit! Berarti aku tidak mim-pi...." Setelah kitab berada di
tangannya, Prabangkara surutkan langkah dua tindak ke bela-
kang. Untuk beberapa saat lamanya sepasang
matanya memperhatikan kitab di tangannya.
Mungkin karena sudah kuno, sampul kitab yang
terbuat dari kulit domba itu berwarna putih ku-
sam. Pada sampul itu tertera lukisan sebuah pin-tu gerbang.
Prabangkara angkat kepalanya, meman-
dang pintu gerbang di mana orang tua itu berdiri.
Lalu beralih pada sampul kitab. Dia tampak ter-
peranjat. "Lukisan ini sama dengan pintu gerbang
itu!" gumamnya. Lalu pandangi sekali lukisan pa-
da sampul kitab itu. Saat itulah orang tua di hadapannya berucap.
"Prabangkara. Seperti kataku tadi, dengan
kedatanganmu dan beradanya kitab di tanganmu,
maka selesai sudah tugasku. Tugas selanjutnya
kau yang akan mengembannya!"
Prabangkara angkat kembali kepalanya.
Lalu berkata. "Orang tua. Terus terang, aku belum men-
gerti dengan maksud kata-katamu. Harap kau
sudi menerangkan. Juga kalau boleh tahu sebe-
narnya"!"
Yang ditanya keluarkan batuk beberapa
kali. "Dengar baik-baik Prabangkara. Pada ratusan tahun yang lalu, seorang Empu
yang berna- ma Jaladara berhasil menciptakan dua kitab dan
dua kipas. Karena dia adalah Empu keturunan
Empu Candring, maka tidak mustahil jika benda
ciptaannya merupakan sebuah benda yang mem-
punyai kesaktian luar biasa...," sejenak orang tua itu hentikan keterangannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam dia melanjutkan.
"Bersamaan waktunya dengan itu, hidup
pula seorang Pangeran yang karena lahir dari istri selir Baginda yang merintah
waktu itu, maka
Pangeran tersebut tidak bisa naik takhta. Padahal putra mahkota yang lahir dari
permaisuri Baginda, sangat bodoh dan tak disukai rakyat. Karena merasa
terpanggil untuk menyelamatkan kerajaan
dari tangan orang bodoh, maka Pangeran dari is-
tri selir tadi mencoba mengadakan pendekatan.
Namun putra mahkota tidak bisa diajak kompro-
mi. Dan sekali lagi untuk menyelamatkan kepan-
daian kerajaan, juga demi rakyat banyak, sang
Pangeran dengan jalan kekerasan. Sebenarnya
waktu itu hampir saja takhta bisa jatuh ke tangan sang Pangeran jika saja Empu
Jaladara tidak ikut campur. Dengan ikut campurnya Empu Jaladara
yang memihak pada putra mahkota, akhirnya
takhta yang hampir tergenggam lolos dari tangan sang Pangeran. Bahkan bukan
hanya sampai di
situ, dengan hasutan Empu Jaladara, sang Pan-
geran diusir dari kalangan kerajaan. Keluarga
sang Pangeran ini lantas hidup di sebuah desa di dekat Singasari...."
Prabangkara mendengarkan keterangan
orang tua itu dengan seksama. Dan ketika orang
tua itu menghentikan ceritanya, dia angkat bica-ra.
"Orang tua. Lantas apa hubungannya ceri-
tamu dengan tugasmu yang juga katamu harus
kuemban"!"
Orang tua itu kembali menarik napas pan-
jang, lalu berkata.
"Mungkin merasa terhina dengan pengusi-
ran yang dijatuhkan atas keluarga sang Pangeran, salah seorang anaknya pergi
mengembara, dan
hidup bertapa seraya memperdalam ilmu silat.
Beberapa puluh tahun kemudian, dia kembali ke
Singasari dengan maksud membuat perhitungan
dengan Empu Jaladara yang telah menghasut pu-
tra mahkota hingga menjatuhkan pengusiran ter-
hadap keluarganya. Ternyata setelah terjadi per-tarungan panjang dan melelahkan,
anak sang Pangeran tersebut belum bisa mengatasi Empu
Jaladara, malah dia akhirnya tewas. Tapi sebelum menghembuskan napas terakhir,
dia sempat me-nitipkan sebuah kitab dengan pesan kelak di ke-
mudian hari kitab tersebut harus diserahkan pa-
da salah seorang keturunannya yang ke tujuh.
Aku, Panjer Wengi adalah keturunan kedua. Se-
mentara Sindu Kalasan yang kau katakan sebagai
kakekmu dan Sela Pemanahan yang kau se-
butkan sebagai ayahmu adalah keturunan ke li-
ma dan ke enam!"
Prabangkara ternganga lebar, malah kedua
kakinya sampai tersurut satu langkah. Sepasang
matanya tak berkesip memandang orang tua me-
nyebut dirinya Panjer Wengi dan mengaku seba-
gai keturunan kedua.
"Aneh. Jangankan kakekku, ayahku pun
telah meninggal, kenapa dia yang mengaku seba-
gai keturunan kedua masih hidup...?" batin Prabangkara. Lalu dia mengutarakan
apa yang ada di hatinya.
"Orang tua. Kalau kakekku dan ayahku
yang kau sebut sebagai keturunan kelima dan
keenam telah meninggal, bagaimana mungkin
kau yang mengaku sebagai keturunan kedua...,"
Prabangkara tidak melanjutkan ucapannya, kare-
na orang tua yang menyebut dirinya Panjer Wengi mengangkat tangannya memberi
isyarat agar Pra-
bangkara tak melanjutkan bicara.
"Prabangkara. Seperti halnya kakek dan
ayahmu. Aku juga sebenarnya telah meninggal
pada ratusan tahun yang lalu...."
Prabangkara terkesiap. Sepasang matanya
makin dibeliakkan.
"Bagaimana mungkin, orang yang telah
meninggal bisa menampakkan diri?" kata Prabangkara dalam hati.
Seakan tahu apa yang membersit dalam
hati Prabangkara, Panjer Wengi keluarkan tawa
pelan. "Prabangkara. Yang kau lihat sekarang ini adalah wujud roh Panjer Wengi.
Dan mungkin telah ditakdirkan, rohku belum bisa tenang berse-
mayam sebelum aku menyelesaikan tugasku me-
nyampaikan kitab itu padamu!"
"Jadi..."!" Prabangkara tidak meneruskan ucapannya. Sepasang matanya
memperhatikan sosok Panjer Wengi dari atas hingga bawah. Dan
pemuda ini jadi terkesiap. Ternyata, meski tam-
pak berdiri tegak di ambang pintu gerbang, na-
mun sepasang kaki Panjer Wengi mengambang di
udara! DUA PANJER Wengi keluarkan tawa panjang.
Kedua tangannya bergerak sedekap sejajar dada.
Lalu dia berkata. "Prabangkara. Kau tidak usah
memikirkan bagaimana ini semua bisa terjadi!
Karena kau tidak akan sampai bisa ke sana. Yang harus kau pikirkan sekarang
adalah bagaimana
kau bisa menyelesaikan tugas yang kini ada di-
pundakmu!"
Prabangkara diam beberapa saat. Lalu per-
lahan dia melangkah maju dua tindak. Tiba-tiba
dia jatuhkan diri berlutut seraya berkata.
"Eyang Panjer Wengi.... Harap kau katakan
tugas apa yang harus kulaksanakan!"
"Seperti keterangan tadi, Empu Jaladara
telah memusnahkan harapan kita bersama, bah-
kan telah menewaskan pembuat kitab yang kini
ada di tanganmu! Prabangkara. Roh-roh nenek
moyangmu tidak akan tenang sebelum si pem-
buat malapetaka itu dibuat hancur lebur! Empu
Jaladara dan anak cucunya harus dimusnahkan
dari muka bumi, juga barang-barang ciptaannya!
Karena saat ini yang paling dikenal orang adalah barang ciptaan Empu itu, maka
tugas utamamu adalah merampas dan memusnahkan barang cip-
taan Empu Jaladara dari orang yang memegang-
nya! Karena dengan demikian nama Empu Jala-
dara tidak akan dikenal lagi! Bahkan demi nama
besar keluarga, kau harus dapat menggenggam
pucuk pimpinan rimba persilatan!"
"Eyang Panjer Wengi. Bagaimana mungkin
aku dapat melaksanakan tugas itu" Sedangkan
aku sendiri hanya menguasai sedikit ilmu silat!"
Panjer Wengi kembali keluarkan tawa pan-
jang. "Cucuku.... Tugas ini tidak begitu saja di-limpahkan padamu tanpa perhitungan.
Kitab yang ada di tanganmu adalah sebuah kitab yang
berisi ilmu kesaktian tiada tanding! Begitu hebatnya kitab itu hingga selain
keturunan ke tujuh, tidak ada orang yang bisa membukanya! Aku sebagai pengemban
tugas untuk menyampaikannya
saja tidak kuasa untuk membukanya!"


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prabangkara terdiam sesaat. Diperhatikan-
nya kitab bersampul kulit yang ada di tangannya.
Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak hen-
dak mencoba membuka. Namun sebelum kitab
itu terbuka, Panjer Wengi telah angkat bicara
kembali. "Prabangkara. Waktumu masih banyak.
Bukan sekarang saatnya membuka kitab itu!"
Prabangkara luruhkan tangannya kembali.
Pandangan matanya kembali lurus ke arah Panjer
Wengi. "Eyang Panjer Wengi. Tugasku adalah merampas dan memunahkan barang
ciptaan Empu Jaladara. Katakan, barang apa saja itu dan siapa orang yang kini memegangnya!"
"Barang itu berupa dua kipas. Satu ber-
warna ungu dan satunya lagi berwarna hitam.
Yang berwarna ungu bergambar lukisan ombak
dan berangka 108! Sedangkan satunya lagi, hitam legam tanpa lukisan. Hanya saja
pada ujung kipas terlihat sebuah pangkasan, seolah kipas itu belum sempurna
pembuatannya. Lalu sebuah
bumbung bambu berwarna kuning yang isinya
adalah lembaran daun lontar. Daun lontar itu berisi jurus sebagai pendalaman
dari dua kipas ta-di!"
"Lantas siapakah orang yang kini meme-
gangnya"!"
"Kipas ungu sekarang dimiliki oleh seorang anak manusia bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108! Kau harus dapat merampas sekaligus me-
munahkan kipas itu! Sedangkan kipas berwarna
hitam, dipegang oleh manusia bergelar Malaikat
Berdarah Biru. Tapi pada akhirnya kipas itu jatuh ke tangan Wong Agung dari
Karang Langit, yang
juga adalah guru dari Pendekar Mata Keranjang
108. Namun akhir-akhir ini kipas itu dicuri oleh seseorang beserta bumbung
bambunya dari Wong
Agung. Siapa pencuri itu, belum dapat diketahui secara jelas! Tugasmulah untuk
menyelidiki siapa pencuri kipas dan bumbung bambu itu!"
"Prabangkara. Tugas terakhirmu adalah
merajai rimba persilatan! Karena hanya dengan
jalan itulah nama keluarga kita terangkat kemba-li! Dan nama Empu Jaladara bisa
tenggelam!"
"Segala keterangan dan perintahmu akan
kulaksanakan!"
"Bagus! Sebagai orang yang dipersiapkan
mengemban tugas, tentu tidak terlalu lama bagi-
mu untuk mempelajari isi kitab yang ada di tan-
ganmu. Dan ingat! Kau harus mempelajari kitab
itu di sini! Karena di sinilah nenek moyangmu di-kebumikan! Kelak, jika kau
telah selesai, kau cukup menekan batu hitam yang ada di sisi pintu
gerbang ini. Lobang di atasmu akan membuka
sendiri!" Prabangkara anggukan kepalanya perla-
han. "Prabangkara. Kurasa semuanya telah ku-jelaskan padamu. Kalau tidak ada
yang kau ta- nyakan, aku akan pergi sekarang!"
"Eyang.... Tunggu!" seru Prabangkara.
"Kau hendak mengutarakan sesuatu" Ka-
takan!" "Setelah aku selesai mempelajari kitab ini dan terjun dalam rimba
persilatan, apakah aku
akan tetap memakai nama Prabangkara?"
"Sesuai dengan pesan, kau harus menyim-
pan nama kecilmu! Tentang siapa nama yang ha-
rus kau sandang, semuanya ada di dalam kitab
itu! Hanya kelak jika kau telah berhasil menguasai rimba persilatan, kau boleh
katakan siapa dirimu sebenarnya!"
Habis berkata begitu, Panjer Wengi angkat
tangan kanannya. Tiba-tiba asap putih muncul
dan langsung membungkus sosoknya. Ketika so-
soknya samar-samar akan lenyap, terdengar sua-
ra. "Prabangkara.... Ingat! Rimba persilatan
harus kau genggam! Lenyapkan semua orang
yang menghalangi langkahmu!"
"Semua kudengar dan kulaksanakan,
Eyang...," kata Prabangkara, lalu menjura dalam-dalam. Ketika kepalanya diangkat
kembali, sosok Panjer Wengi telah lenyap!
Untuk beberapa saat lamanya, Prabangka-
ra duduk diam sambil memikirkan apa yang baru
saja dialaminya.
"Rimba persilatan harus bisa kugenggam....
Semua orang yang merintangi harus kumusnah-
kan!" gumamnya, lalu kitab di tangannya diperhatikan baik-baik.
"Selain keturunan ketujuh tidak ada orang
yang bisa membukanya. Hm.... Semoga ucapan
itu benar adanya...," batin Prabangkara. Lantas dengan tangan sedikit gemetar,
sampul kitab itu dibukanya.
"Hmm.... Tidak ada kesulitan...," ujar Prabangkara dalam hati ketika sampul
kitab terbuka. Pada halaman pertama ini terdapat tulisan.
"Keturunan ketujuh adalah satu-satunya
keturunan yang berhak atas kitab ini. Kelak dia berhak menyandang gelar Dewa
Maut!" "Hmm.... Jadi nama itu yang kelak kusan-
dang setelah mempelajari kitab ini!" gumam Prabangkara. Lantas dia membalik
halaman berikut-
nya. Di situ hanya terdapat tulisan pintu gerbang yang di atasnya tertulis
Gerbang Setan. Di bawahnya tertera tulisan besar berbunyi. "Takhta Setan".
"Takhta Setan. Hm.... Ini pasti nama kitab ini. Kitab yang digunakan untuk
memasuki pintu gerbang bertulisan Gerbang Neraka itu!"
Prabangkara sejenak memandang lurus ke
depan, ke arah pintu gerbang di mana tadi Panjer Wengi berdiri. Lalu sesaat
kemudian hendak
membuka halaman berikutnya. Namun dia heran.
Halaman ketiga ini tidak kuasa dibukanya!
"Bagaimana ini" Apakah aku memang tak
kuasa membukanya?" bisiknya, lalu mencoba sekali lagi membuka. Dan memang benar.
Dia tak bisa membuka halaman ketiga itu.
Selagi Prabangkara dilanda kebingungan,
tiba-tiba terdengar suara.
"Prabangkara. Bangkitlah! Duduk di am-
bang pintu Gerbang Setan!"
Prabangkara terkejut. Dia tahu pasti, itu
bukan suara Panjer Wengi. Sepasang matanya liar menyapu berkeliling, namun tak
terlihat seorang-pun! Dia sejenak terpaku, namun akhirnya dia
bangkit dan melangkah perlahan menuju bangu-
nan batu yang membentuk pintu. Di situ, dia lantas duduk. Dia diam sesaat
menunggu, berharap
terdengar lagi suara. Namun setelah ditunggu
agak lama tidak ada suara yang terdengar, dia
kembali memperhatikan kitab yang masih terbu-
ka dua halaman. Perlahan-lahan pula tangan ka-
nannya coba membuka halaman ketiga. Tiba-tiba
dia tercengang. Dengan mudahnya halaman keti-
ga bisa dibuka!
"Hmm.... Aku tahu sekarang. Aku harus
mempelajari kitab ini di pintu ini!" kata hati Prabangkara dengan wajah cerah.
TIGA SEORANG pemuda berparas tampan men-
genakan pakaian warna hijau dengan rambut di-
kuncir ekor kuda terlihat melangkah pelan me-
nyusuri padang ilalang hijau yang melambai-
lambai ditiup angin. Matahari yang hampir saja
tenggelam dan memancarkan cahaya kekuningan
menambah indahnya pemandangan di hamparan
padang ilalang itu. Apalagi nun jauh di sebelah baratnya tampak julangan gunung
Arguna yang berubah warna menjadi keperakan tertimpa ca-
haya senja matahari.
Seraya melangkah, sang pemuda tak henti-
hentinya mengumbar tawa dan senyum. Bahkan
sesekali wajahnya berpaling ke belakang, lalu
bersuit nyaring dan menyelinap masuk ke balik
hamparan ilalang, namun tak lama kemudian
muncul kembali sambil tersenyum-senyum.
"Aji.... Tunggu. Di mana kau" Kau jangan
terus-terusan menggodaku!" tiba-tiba terdengar teriakan.
"Aku di sini!" jawab sang pemuda yang bu-ka lain memang Aji alias Pendekar Mata
Keran- jang 108 sambil hentikan langkah dan berpaling
ke belakang. "Aji.... Sudah! Jangan kau menggodaku la-
gi!" kembali terdengar teriakan dan sesosok bayangan berkelebat lalu berdiri
tegak di samping Aji dengan wajah memberengut. Namun tampak
sekali jika semua itu hanya sifat manjanya saja.
Terbukti tatkala Aji melangkah mendekat dan
memegang tangannya, sosok di sampingnya telah
tersenyum dan seketika memeluk Aji.
"Anting Wulan.... Hari sudah hampir gelap.
Sebaiknya kita cepat meneruskan perjalanan.
Apakah masih jauh tempatmu dari sini?" kata Aji sambil mencoba meluruhkan
rangkulan orang
yang dipanggil Anting Wulan.
Anting Wulan angkat kepalanya. Ternyata
dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita. Rambutnya panjang dan
dibiarkan jatuh bergerai di punggungnya. Sepasang matanya bulat
serta tajam. Mengenakan pakaian warna putih ti-
pis, dan ketat, hingga dadanya yang membusung
kencang menantang tampak menonjol jelas, be-
lum lagi pakaiannya dibuat agak rendah di bagian dada hingga buah dadanya yang
putih kencang itu tersembul sebagian.
"Kau lihat gunung itu. Di kaki gunung itu-
lah tempatku!"
Aji palingkan wajahnya memandang gu-
nung. "Hm.... Kurasa masih agak jauh. Kalau kita tak segera meneruskan
perjalanan, jangan-jangan kita nanti tersesat karena cuaca gelap!"
"Kau tak perlu takut. Aku sudah faham
daerah ini! Lagi pula kenapa takut tersesat" Pemandangan di sini sangat indah
jika malam hari, apalagi jika bulan sedang purnama. Apakah kau
tidak ingin menikmati indahnya tempat ini"!"
sambil berkata, sang gadis mempererat pelukan-
nya. Malah tanpa malu-malu lagi wajahnya segera didekatkan pada wajah Aji.
Bibirnya sedikit dibuka dengan mengeluarkan desahan pelan manja.
Sepasang matanya yang bulat sedikit dipejamkan, membuat Aji menarik napas dalam-
dalam. "Gila! Kalau terus-terusan berada di samp-
ing gadis ini, bukan tak mungkin aku lambat laun akan tergoda melakukan hal yang
tidak-tidak. Ah, secepat mungkin aku harus menghindarinya...."
"Kau melamun. Kau memikirkan seseo-
rang?" tiba-tiba Anting Wulan menegur dan pandangi wajah Aji dengan tatapan
menyelidik. Aji menggeleng pelan. Sepasang matanya
balas menatap gadis di hadapannya. Sejenak dua
orang ini saling berpandangan. Aji lantas sung-
gingkan senyum dan berkata.
"Anting Wulan. Sudah beberapa hari ini
tubuhku tak tersentuh air. Apakah di daerah ini ada pancuran air" Aku ingin
membasahi tubuh,
sekalian ingin membasahi tenggorokan..."
Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam
menghela napas panjang seakan ingin menekan
gejolak yang mulai mendera dadanya. Kepalanya
lantas berpaling ke arah barat.
"Di sebelah itu ada pancuran. Seperti hal-
nya dirimu, sebenarnya aku pun sudah gerah dan
ingin mandi. Bagaimana kalau kita mandi bersa-
ma?" "Edan! Gadis ini benar-benar nekat!" pikir Aji. Lalu berkata sambil
memandang tempat yang
ditunjuk Anting Wulan.
"Tak pantas rasanya jika kita harus mandi
bersama. Anting Wulan. Kalau kau ingin mandi,
pergilah kau duluan. Aku akan menunggumu di
sini!" Anting Wulan keluarkan tawa pelan. Namun jelas sekali jika wajahnya
menunjukkan rasa kecewa atas penolakan Aji.
"Jika begitu, baiklah. Aku akan mandi du-
luan. Tapi kau jangan terlalu jauh...," seraya berkata begitu, Anting Wulan
melepaskan rangku-
lannya lalu menyeret tangan Aji. Meski agak be-
rat, murid Wong Awung ini akhirnya menuruti se-
retan tangan sang gadis dan melangkah ke arah
pancuran air. "Tunggulah di sini!" gumam Anting Wulan begitu sampai pada sebuah dangau yang di
keli-lingi batu-batu dan di sebelah sudutnya tampak
pancuran air. Gadis ini lantas melangkah turun
mendekati pancuran. Sejenak dia memandang ke
atas, ke tempat Aji berdiri menunggu. Dan seakan disengaja, gadis ini segera
melepas pakaian atasnya. "Busyet! Aku tak tahan jika menyaksikan dia...," Aji
alihkan pandangan lalu perlahan-lahan dia melangkah menjauhi tempat itu.
Saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan
tampak berkelebat, lalu menyelinap ke balik
hamparan ilalang.
Aji menunggu sesaat. Tak ada tanda-tanda
akan munculnya seseorang, Aji melangkah sambil
menajamkan sepasang matanya. Tiba-tiba lima
tombak di depannya sesosok bayangan terlihat
kembali berkelebat. Namun karena begitu cepat-
nya gerakan sang bayangan, hingga Aji tak dapat memastikan laki atau perempuan
adanya si bayangan. "Edan! Gerakannya sungguh luar biasa.
Siapa dia" Apakah orang yang mengikuti perjala-
nanku selama ini" Memang, aku tak dapat ditipu.
Selama perjalananku dengan Anting Wulan, aku
merasa diikuti seseorang.... Hm.... aku jadi penasaran. Kenapa dia terus
mengikuti perjalananku"
Aku harus dapat menangkapnya dan mengorek
apa maksudnya!" Berpikir begitu, murid Wong Agung ini segera berkelebat ke arah
lenyapnya sang bayangan. Namun di tempat itu dia tak me-


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nemukan seseorang. Sambil merunduk dan me-
nyibakkan padang ilalang, sepasang matanya lan-
tas mencari-cari dari sela-sela padang ilalang.
Namun sejauh ini dia tak menemukan apa-apa.
Saat itulah, terasa deru angin bersiur di
belakangnya. Aji segera berpaling ke belakang.
Namun lagi-lagi dia tak menemukan seseorang.
Hanya ilalang di belakangnya terlihat bergoyanggoyang, jelas jika baru saja ada
yang menerabasnya. "Gila! Aku dapat memastikan jika baru saja ada orang
berkelebat di sini. Angin siurnya belum hilang. Tapi mana manusianya" Jangan-
jangan bukan manusia...," pikir Aji. Karena cuaca sudah mulai temaram, terpaksa murid
Wong Agung ini putar pandangannya dengan sepasang mata dibe-
liakkan besar-besar.
Tiba-tiba lima belas langkah di depannya
terlihat sesuatu membubung ke angkasa. Ketika
diperhatikan betul-betul, sesuatu itu ternyata sebuah bungkusan kain. Anehnya,
begitu membu- bung dan Aji bergerak ke tempat dari mana bung-
kusan itu mencuat, bungkusan itu tiba-tiba me-
nukik kembali dengan derasnya dan saat Aji
sampai di tempat itu, bungkusan tadi lenyap!
"Sialan! Siapa sebenarnya manusia ini" Ge-
rakannya sungguh luar biasa cepatnya! Dan ke-
napa dia seolah mempermainkan diriku"! Kurang
ajar betul!" ujar Aji seraya terus memperhatikan tempat di sekelilingnya. Dan
Aji terperangah sendiri, karena tidak terasa dia telah jauh dari tempat di mana
Anting Wulan mandi.
"Ah, tak ada gunanya menuruti orang
main-main. Lebih baik aku kembali ke pancu-
ran...," meski dia berkata begitu dalam hati, namun dia tak juga melangkah ke
arah pancuran air. Malah sepasang matanya memandang jauh ke
depan. Jelas jika dia masih merasa penasaran
dengan orang yang mempermainkannya.
Wuuutt! Serangkum angin deras tiba-tiba menyam-
bar dari samping Aji.
"Keparat!" seru Aji mulai agak geram men-dapati orang telah mulai menyerangnya.
Sambil geser bahunya ke samping menghindari samba-
ran angin, Aji dorong tangan kanannya ke arah
datangnya sambaran angin.
Praaasss! Padang ilalang sepuluh langkah di samping
Aji terpapas rata! Namun tak juga terlihat batang hidungnya seorang manusia!
Membuat murid Wong Agung ini makin geram. Dan mungkin sak-
ing geramnya, dia segera berteriak.
"Siapa pun adanya kau, jangan main-main
seperti anak kecil! Tunjukkan siapa dirimu, dan katakan apa maksudmu dengan
permainan ini!"
Aji menunggu sesaat. Namun tak ada sua-
ra jawaban atau munculnya seseorang. Melihat
hal demikian, kembali Aji keluarkan teriakan.
"Jangan bertingkah pengecut! Tampakan
wujudmu!" Lagi-lagi tak ada tanda-tanda munculnya
seseorang, membuat murid Wong Agung ini ma-
kin penasaran dan makin geram. Dengan pelipis
bergerak-gerak dan dagu sedikit mengembung,
kembali Aji berteriak, kali ini sambil angkat tangannya seakan memberi isyarat
bahwa dia akan melakukan serangan.
"Siapa pun kau, jika tak segera menunjuk-
kan diri, maka jangan menyesal jika tubuhmu
ikut merasakan pukulanku!" gertaknya.
Entah karena takut pada gertakan Aji, atau
karena memang ingin menunjukkan diri, tiba-tiba saja terdengar seseorang
menjawab. "Tahan dulu seranganmu. Aku ada di sebe-
lahmu!" Aji melengak kaget. Bukan hanya karena
jawaban orang yang mengatakan dirinya ada di
sebelahnya dan dia tak mengetahui, melainkan
juga karena suara orang itu! Suara itu jelas suara orang laki-laki yang
disarukan seperti suara
orang perempuan.
Aji segera palingkan wajahnya ke samping.
Sepuluh langkah di hadapannya kini tampak se-
seorang berdiri tegak sambil memandang ke
arahnya dengan senyum-senyum. Dia adalah seo-
rang pemuda. Wajahnya sangat tampan, bahkan
karena tampannya, hampir-hampir dia berparas
jelita! Sepasang bola matanya bundar dan sayu.
Rambutnya panjang dan dikepang dua. Tubuhnya
semampai. Anehnya meski jelas dia seorang laki-
laki, namun bibirnya yang membentuk bagus itu
diberi pemerah menyolok. Kedua tangannya pun
terlihat bergerak-gerak halus laksana gerakan
seorang perempuan. Dan lebih dari itu semua,
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seo-
rang perempuan!
"Sialan! Ternyata seorang laki-laki setengah perempuan!" rutuk Aji dalam hati
seraya luruhkan tangannya dan memperhatikan orang di ha-
dapannya. Kemarahan yang sejak tadi ditahannya
mendadak hilang begitu melihat siapa adanya
orang itu. Malah dia tersenyum-senyum sendiri
melihat tingkah laki-laki yang mengenakan pa-
kaian perempuan di hadapannya. Karena sesekali
orang itu meliuk-liukkan bahu serta pinggulnya.
Bahkan sebelah matanya terlihat mengerdip nak-
al. "Siapa kau" Dan kenapa mempermainkan
orang"!" tanya Aji, sepasang matanya terus memperhatikan orang di hadapannya.
Ternyata, selain tangannya lembut dan putih mulus, pada kuku
jari-jarinya dicat merah.
Mendengar pertanyaan Aji, laki-laki berpa-
kaian dan berwajah seperti orang perempuan itu
tersenyum, pinggul dan bahunya digoyang seben-
tar, sementara kedua tangannya digerakkan me-
liuk ke depan. Mulutnya membuka dan terden-
garlah suaranya yang mirip suara seorang perem-
puan. "Manusia tampan. Sebenarnya aku malu mengatakan siapa diriku. Karena
namaku jelek...." "Jelek atau bagus kau harus sebutkan, karena kau telah berani
permainkan orang!"
"Kalau aku tidak sebutkan"!" katanya seraya mengerling, lalu melangkah mendekat.
"Aku akan memaksamu!" Tiba-tiba laki-laki berwajah cantik jelita itu keluarkan
suara tawa manja.
"Idiiihhh.... Aku jadi takut. Jangan-jangan kau laki-laki yang suka memaksa-
maksa...."
"Sudah jangan banyak mulut. Katakan saja
siapa namamu! Aku tak punya waktu banyak!"
"Hik.... Hik.... Hik...! Tentunya kau ingin segera melihat gadismu yang sedang
mandi, bukan" Apa sedapnya melihat nenek-nenek sedang
mandi?" "Sialan! Siapa sebenarnya manusia ini.
Ucapannya seperti ucapan Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang yang mengatakan Anting Wulan
sebagai nenek-nenek.'" batin Aji teringat pada ucapan Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang beberapa waktu yang lalu, yang memang menyebut
Anting Wulan sebagai Tua Bangka. Kalau pada
Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang, Aji tak be-
rani berkata apa-apa meski keduanya mengata-
kan Anting Wulan sebagai Tua Bangka, tidak de-
mikian halnya pada orang ini.
"Manusia laki-laki perempuan! Selain tu-
kang mempermainkan orang ternyata mulutmu
juga usil. Dengar! Sedap tidak sedap itu bukan
urusanmu! Dan kalau kau tak lekas sebutkan
siapa dirimu, jangan menyesal jika bibirmu yang merah itu kubuat makin merah!"
"Ah...," orang di hadapan Aji keluarkan seruan seakan terkejut. Namun tak lama
kemudian bibirnya yang merah diusap-usapnya lalu berka-
ta. "Sungguh jelek nasib orang sepertiku. Di-
ancam, dituduh, dan dibentak-bentak! Tidak se-
perti nenek-nenek itu. Dipeluk, dicium bahkan
mandi pun diantar!"
"Keparat! Kau membuatku hilang kesaba-
ran!" "Hilang kesabaran ingin melihat gadismu itu, bukan?" kata laki-laki
berpakaian perempuan tanpa mempedulikan Aji yang telah banyak dilanda amarah.
Aji pelototkan sepasang matanya. Dadanya
bergetar, dagunya mengembung menahan marah.
Namun diam-diam dalam hatinya dia berucap.
"Aku harus berhati-hati dengan manusia
satu ini. Meski sikapnya genit, aku yakin di balik kegenitannya itu dia
menyembunyikan sesuatu!
Terbukti dia tadi mampu bergerak cepat!"
"Manusia laki-laki perempuan! Aku tak
akan mengulangi pertanyaanku. Aku tidak main-
main dengan kata-kataku!" kata Aji lalu angkat tangannya, membuat gerakan
seperti orang hendak menyerang.
Namun Aji jadi salah tingkah sendiri dan
makin geram, karena orang di hadapannya tidak
menunjukkan rasa takut. Malah sambil ker-
dipkan sebelah matanya dan tersenyum genit, dia berkata.
"Anak manusia bernama Aji Saputra. Per-
cuma kau angkat tanganmu kalau hatimu berka-
ta jangan! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Jahanam! Dia seakan tahu apa yang ada
di benakku. Dia juga tahu namaku! Siapa manu-
sia genit ini sebenarnya?" batin Aji dengan gelengkan sedikit kepalanya. Murid
Wong Agung ini sebenarnya memang tak bermaksud lancarkan
pukulan. Dia angkat tangannya dengan tujuan
agar orang di hadapannya merasa takut dan me-
nyebutkan siapa dirinya. Namun begitu laki-laki berpakaian perempuan seakan tahu
apa yang ada dalam hatinya, mungkin untuk menunjukkan
bahwa dugaan orang itu salah, ia dorong tangan-
nya perlahan ke depan.
Wuuuttt! Serangkum angin deras melesat dan meng-
gebrak ke arah laki-laki berpakaian perempuan.
"Itulah petunjuk bahwa ucapanmu salah,
Manusia.'" kata Aji sambil memperhatikan.
Di depan, mendapat serangan begitu laki-
laki berdandan perempuan ini tidak bergerak dari tempatnya. Malah bibirnya
keluarkan desahan
genit. Dan begitu setengah depa lagi serangan Aji menghajar tubuhnya, dia
gerakan tangan kanannya pulang balik dengan gemulainya. Hebatnya
bersamaan dengan itu sambaran angin serangan
Aji bergerak membalik! Malah kini melesat lebih cepat! Karena Aji tidak
menyangka, maka hampir
saja tubuhnya terhantam pukulannya sendiri jika dia tidak segera membuat gerakan
merunduk sambil melompat ke samping.
"Edan! Bagaimana mungkin gerakan tan-
gannya yang begitu pelan dapat membalikkan
pukulanku" Hmm.... Dugaanku tidak meleset.
Dia menyembunyikan kepandaian tinggi di balik
kegenitannya...."
Selagi Aji tercenung, laki-laki berdandan
perempuan itu keluarkan tawa panjang.
"Seribu kali berpikir kau tak akan mene-
mukan jawabannya, Pemuda Tampan. Lebih baik
kau pikirkan dirimu! Dirimu sedang diincar
orang. Dan tantangan di depan makin berat, ka-
rena kau akan menemui gunung besar yang siap
meletus!" Habis berkata begitu, laki-laki berdandan
perempuan itu balikan tubuh dan hendak pergi
dari hadapan Aji.
"Ramalan kentut! Akan pergi ke mana kau"
Jangan mimpi bisa pergi begitu saja sebelum ja-
wab pertanyaanku!" teriak Aji sambil angkat tangannya kembali.
"Aku tidak meramal, tapi kesempatan un-
tuk berdua-duaan lagi dengan gadis tadi lenyap
sudah!" kata lelaki berdandan perempuan, lalu tanpa menghiraukan ancaman orang,
dia enak saja berkelebat.
Mendapati ancamannya tidak dihiraukan,
Aji serta-merta hantamkan kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuutt!
Dua gelombang angin menghamparkan
hawa panas melesat membuntuti sosok laki-laki
berdandan perempuan.
Namun Aji dibuat hampir tak percaya den-
gan pandangan matanya, karena begitu sedepa
lagi pukulannya menghantam sasaran, laki-laki
berdandan perempuan laksana ditelan bumi. So-
soknya tiba-tiba lenyap! Dan serangan Aji meng-
hajar padang ilalang hingga padang ilalang itu
langsung terabas rata dan hangus!
"Setan alas! Ke mana lenyapnya manusia
itu"!" ujar Aji lantas memutar kepalanya dengan mata mendelik mencari-cari.
Namun hingga matanya lelah melotot, orang yang dicarinya tak dapat ditemukan.
Sambil menyumpah habis-
habisan, Aji balikkan tubuh dan segera berkelebat ke arah pancuran.
Namun murid Wong Agung ini sedikit ter-
kejut begitu sampai, karena Anting Wulan tidak
ada di tempat. "Ah, dia mungkin ganti pakaian hendak
menggodaku! Biar aku berdiri saja di sini. Bila capek sembunyi, dia tentu akan
keluar sendiri!"
batin Aji sambil senyum-senyum.
Tapi begitu ditunggu hingga kakinya terasa
pegal dan Anting Wulan tak juga ada tanda-tanda muncul, murid Wong Agung ini
mulai menangkap


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada yang tidak beres. Sepasang matanya lantas
menyapu berkeliling hingga sudut-sudut sekitar
pancuran. Dan ketika dia belum juga menemukan
orang yang dicari, dia berteriak lantang. "Anting Wulan.... Di mana kau?" Tak
ada jawaban. Untuk kedua kalinya Aji berteriak. Dan begitu masih ju-ga tak ada
jawaban, dia makin yakin telah terjadi sesuatu pada Anting Wulan. Dia segera
berkelebat mengelilingi tempat itu. Namun lagi-lagi dia tak menemukan gadis
berparas cantik.
"Ke mana dia" Jangan-jangan ini perbua-
tan manusia banci. Keparat! Akan kuhajar betu-
lan dia kalau sampai berbuat yang tidak-tidak!
Apa maunya dia sebenarnya...?"
Selagi Aji menduga-duga, tiba-tiba terden-
gar siutan beberapa kali. Lalu disusul dengan
berdesirnya angin dari empat jurusan. Dan belum sempat Aji melihat apa yang
terjadi, berkelebat empat sosok bayangan dan langsung tegak men-gurungnya!
EMPAT SERENTAK sepasang mata murid Wong
Agung ini membeliak, dan tanpa sadar kedua ka-
kinya tersurut hingga tiga tindak ke belakang.
Tengkuknya merinding begitu dia dapat mengena-
li tampang masing-masing orang.
Orang sebelah kanan adalah seorang laki-
laki berusia amat lanjut. Mengenakan jubah besar dan warna biru gelap. Sosoknya
tinggi kurus. Sepasang matanya besar dan masuk dalam cekun-
gan rongga yang menjorok dalam. Bibirnya sangat tebal. Kulit wajahnya sangat
tipis hampir tak ke-lihatan. Dia mengenakan sebuah caping lebar dari kulit
berwarna hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka hingga rambutnya yang jarang
dan jabrik mencuat ke atas. Ada keanehan pada kakek ini,
meski dia terlihat tegak berdiri, namun sepasang kakinya mengambang di udara.
Jelas menanda-kan jika manusia ini mempunyai tingkat peringan tubuh yang benar-
benar sempurna.
Dengan menindih rasa terkejut untuk be-
berapa jurus lamanya, Aji memperhatikan kakek
ini dengan seksama mulai dari atas hingga ba-
wah. Dahinya mengernyit seakan mengingat se-
suatu. Kepalanya lantas mendongak sedikit. Da-
lam hati dia berucap.
"Hmm.... Jika tak salah manusia ini adalah orang yang bergelar Manusia Titisan
Dewa. Tokoh rimba persilatan yang sekarang menjadi guru Sa-
kawuni. Aku harus berhati-hati, pada waktu ber-
temu dulu, jika tak diselamatkan Setan Arak,
mungkin aku sudah jadi mayat di tangannya...."
Di sebelah kanan kakek bercaping kulit hi-
tam yang bukan lain memang Manusia Titisan
Dewa seorang tokoh jajaran atas golongan hitam
yang kini menjadi guru Sakawuni, dan di sebe-
lahnya adalah seorang perempuan berparas can-
tik berusia kira-kira dua puluh lima tahun. Mengenakan pakaian ketat warna
gelap. Rambutnya
panjang bergerak dan berombak. Hidungnya
mancung ditingkah bibir yang bagus. Sepasang
matanya bulat dan berwarna kebiruan. Dadanya
kencang membusung dengan pinggul besar. Pada
pinggangnya yang ramping sebelah kanan terlihat sebuah kipas lipat berwarna
hitam legam. Sementara pada pinggang sebelah kiri menyelip dua senjata berupa
tombak dan keris. Keduanya juga
berwarna hitam. Namun ada seberkas cahaya
berkilat-kilat pada dua senjata tersebut.
Untuk beberapa saat lamanya murid Wong
Agung pandangi perempuan cantik bermata biru
ini seakan ingin menikmati kecantikan parasnya.
Tiba-tiba dua bola mata Aji melotot besar. Ra-
hangnya mengatup rapat. Bukan karena terkesi-
ma oleh kecantikan perempuan bermata biru,
namun karena pandangannya menumbuk pada
tiga buah senjata yang menyelip di pinggang sang perempuan.
"Ratu Pulau Merah!" gumam Aji seraya
memperhatikan tiga benda yang menyelip di ping-
gang sang perempuan. "Hm.... Kipas itu adalah kipas yang berhasil dicurinya dari
Karang Langit. Dan keris serta tombak itu adalah senjata milik Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
Hmm.... Tampaknya sebelum meninggalkan lereng Gu-
nung Kembar beberapa waktu yang lalu dia sem-
pat menggondol senjata itu.
Hmm.... Kebetulan sekali. Kali ini aku ha-
rus dapat merampas kembali kipas hitam itu! Ra-
tu Pulau Merah.... Mungkin dia mengira Arca De-
wi Bumi masih berada di tanganku, hingga ia tak lelah-lelahnya mencariku....
Sayang, sebenarnya dia adalah seorang perempuan yang menarik, jika saja...," Aji
tak meneruskan kata hatinya. Dia lantas memandang ke sebelah kanan lagi. Kali
ini paras wajah murid Wong Agung terkejut bercam-
pur geram. Di situ, tegak seorang pemuda. Namun se-
benarnya dia lebih pantas disebut perempuan.
Karena selain mengenakan pakaian milik perem-
puan, wajahnya juga elok. Kedua tangannya tam-
pak lemah gemulai, serta kuku jari-jarinya dicat merah. Bibirnya yang bagus pun
terlihat dipoles merah menyala. Rambutnya yang panjang dikepang dua. Satu-
satunya petunjuk jika dia seorang laki-laki adalah jakun di lehernya.
"Hmm.... Manusia genit itu!" seru Aji dalam hati. Sepasang matanya tiba-tiba
membeliak merah. Dagunya terangkat.
"Aku tahu sekarang. Laki-laki teman-
temannya ini membawa pergi dan menyembunyi-
kannya! Keparat! Akan kuhajar dia sampai jadi
laki-laki sungguhan!"
Pendekar Mata Keranjang lantas berpaling
pada orang terakhir. Dia adalah seorang laki-laki berusia setengah baya.
Tubuhnya tegap dengan
rambut panjang sebahu. Jambang dan jenggotnya
lebat, demikian pula kumisnya. Wajahnya tak
memperlihatkan keramahan sama sekali. Malah
sambil berkacak pinggang dia tak memandang
pada Aji. Pandangannya pada jurusan lain den-
gan bibir mengulas seringai buruk. Ada sedikit
keanehan yang membuat laki-laki ini makin terlihat angker, yakni pada sekujur
tubuhnya tampak
jarum-jarum hitam yang ditusukkan pada kulit
tubuhnya! "Gila! Baru pertama kali ini aku melihat
orang yang menghiasi tubuhnya dengan tusukan
jarum-jarum hitam. Mungkin jarum-jarum hitam
itu menjadi senjata andalannya!" duga murid Wong Agung ini seraya mengawasi
dengan dada berdebar keras. Malah tubuhnya sedikit tergun-
cang saat dia sadar bahwa dia sedang berhada-
pan dengan orang-orang yang kepandaiannya ti-
dak disangsikan lagi.
Seraya menindih berbagai perasaan, Aji
arahkan pandangannya pada laki-laki berbadan
perempuan, karena murid Wong Agung menduga
jika orang ini yang menyebabkan lenyapnya Ant-
ing Wulan, dia segera berkata dengan suara se-
tengah berteriak.
"Manusia genit! Ternyata kau membawa
teman. Tapi jangan kira aku takut! Lekas katakan di mana gadis itu kau simpan!
Kalau kau tak mampu cari seorang gadis, aku bisa mencarikan
untukmu berapa kau perlukan!"
Yang ditegur keluarkan tawa panjang. Tan-
gan kanannya bergerak pulang balik dengan ge-
mulai. Setelah meliukkan bahu dan pinggulnya
serta mengerling mata kirinya, dia berkata. Suaranya mirip suara seorang
perempuan. "Kau salah ucap, Pendekar 108! Aku berke-
liaran di sini tanpa sanak saudara tanpa teman.
Tuduhanmu itu juga salah alamat. Aku tak tahu
menahu tentang gadismu itu! Kau tahu, diband-
ing gadismu itu, aku lebih tertarik padamu....
Hik.... Hik.... Hik...! Bagaimana" Apa kau juga tertarik padaku"!"
"Busyet! Menghadapi orang kelainan begini
repot!" pikir Aji dalam hati. Namun dia masih belum percaya dengan ucapan orang
berdandan pe- rempuan ini. "Kalau mereka bukan temanmu, kenapa
kalian bisa datang bersama-sama..." Dan kau tadi sengaja mempermainkan aku, agar
orang lain dapat membawa gadis itu. Betul bukan"!"
Laki-laki genit itu kembali keluarkan tawa
cekikikan. Sambil terus menggerak-gerakkan tan-
gannya dia berucap.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau tampaknya
melupakan sesuatu. Di dunia ini ada waktu kebe-
tulan! Nah, kebetulan itulah yang saat ini ada di depanmu!" sejenak dia
menghentikan ucapannya,
lalu berpaling pada tiga orang di samping kanan kirinya. Lantas melanjutkan.
"Aku juga tak berniat mempermainkanmu.
Aku bermain-main sendirian! Salahmu sendiri
kau tertarik dengan mainanku hingga melupakan
tugas menjaga gadismu! Salah-salah sendiri, ke-
napa menuduh orang lain?"
Murid Wong Agung ini kertakan rahang.
Dia sebenarnya sudah gatal untuk segera meng-
hajar laki-laki genit itu. Karena dia masih menduga jika laki-laki genit itu
sengaja memancingnya untuk menjauh dari tempat di mana Anting Wulan mandi. Namun
karena masih ada orang lain di situ yang dia juga menduga bahwa kedatangan-nya
bukan tanpa maksud, maka untuk sementara
waktu Aji menunda keinginannya.
"Pendekar Mata Keranjang! Biar masalah
ini segera selesai, dengar kataku baik-baik! Semua yang ada di depanmu memang
datang sendi- ri-sendiri! Dan semua punya tujuan sama. Mele-
pas selembar nyawamu!" kali ini yang keluarkan ucapan adalah perempuan berparas
cantik dan bermata biru dan bukan lain memang Ratu Pulau
Merah. "Bukan! Bukan itu!" tiba-tiba laki-laki mu-da genit itu menyela. "Aku
hanya ingin melihat tampangnya! Dan apa yang dikatakan orang benar adanya. Ia
adalah seorang pemuda tampan,
bertubuh tegap dan...," dia tak meneruskan ucapannya karena Manusia Titisan Dewa
telah ang- kat bicara. "Setan Pesolek! Kau tidak beruntung hari
ini. Karena untuk terakhir kalinya kau melihat
tampang pemuda pujaanmu itu! Dan kalau kau
memang tidak setujuan, sebelum kupuntir lepas
kepalamu, lekas tinggalkan tempat ini!"
Laki-laki muda genit yang dipanggil dengan
Setan Pesolek memberengut. Dengan nada pasrah
akhirnya ia berucap.
"Ah, jika demikian, betul ucapanmu. Hari
ini aku belum beruntung. Daripada putus kepala
dan tak bisa melihat pemuda tampan lagi, lebih
baik aku pergi...."
Habis berkata begitu, dia balikan tubuh.
Dari balik pakaiannya ia mengeluarkan sebuah
batu berwarna putih mengkilat. Batu itu dide-
katkan ke wajahnya. Sejenak ia pandangi wajah-
nya dari pantulan batu. Tangan kanannya berge-
rak menyibak rambut di tengkuknya sambil me-
narik sedikit kepalanya ke belakang. Lalu tanpa berpaling lagi dia melangkah
meninggalkan tempat itu dengan menggoyang-goyangkan pinggul-
nya ke kanan dan kiri. Tangannya pun bergerak-
gerak seakan melambai-lambai.
Sepuluh tombak dari tempatnya semula,
Setan Pesolek hentikan langkah. Lalu terdengar
dia bergumam sendiri.
"Orang berwajah tampan sekalipun sudah
tewas tentu masih juga tampan! Aku masih belum
puas memandangi tampangnya. Biarlah kutunggu
di sini saja. Biar nanti sudah tewas tak apa, daripada memandang lainnya, sudah
buruk rupa ma- sih garang dan beringas!" dia lantas balikkan tubuh dan duduk di atas sebuah
batu sambil sese-
kali berkaca pada batu putihnya.
"Jahanam sialan! Dia menyindirku!" desis Manusia Titisan Dewa. "Tunggulah! Akan
kubikin bungkam mulut busukmu!"
Pendekar Cacad 3 Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Pendekar Satu Jurus 2
^