Pencarian

Takhta Setan 2

Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan Bagian 2


Bola mata Manusia Titisan Dewa liar nya-
lang, wajahnya yang hanya tampak tulang-tulang
itu bergerak-gerak. Tiba-tiba dia berpaling pada Pendekar Mata keranjang.
Tangannya mengepal
dan diluruskan tepat ke arah murid Wong Agung.
"Beberapa waktu yang lalu kau lolos dari
tangan mautku karena ditolong si keparat manu-
sia arak itu. Sekarang nyawamu tidak akan tertolong lagi!"
Pendekar 108 yang diam-diam juga merasa
khawatir dengan keselamatannya tengkuknya
merinding. Sewaktu bertemu beberapa waktu
yang lalu, dia memang diselamatkan oleh Setan
Arak dari tangan maut manusia bergelar Manusia
Titisan Dewa. Kalau memang sekarang berhada-
pan sendiri dengan Manusia Titisan Dewa yang
masih dibantu dengan teman-temannya, bagai-
mana mungkin hatinya tidak berdebar. Namun
ketika menyadari jika tugas seorang pendekar
adalah membasmi keangkaramurkaan meski
nyawa sebagai taruhannya, maka perasaan kecut
di hatinya menjadi lenyap. Sebaliknya semangat
dan keberaniannya berkobar. Dengan balas me-
mandang pada Manusia Titisan Dewa, Aji berkata
lantang. "Tertolong atau tidak, bukan urusanmu!
Katakan apa maksudmu sebenarnya!"
Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak-
gelak. Hingga sosoknya turun naik. Menjejak ta-
nah dan mengambang.
"Seperti yang diucapkan Ratu Pulau Merah,
aku juga menginginkan satu-satunya nyawamu!
Kau boleh melarikan muridku, dan nyawamulah
yang harus jadi imbalannya!"
"Hmm.... Begitu" Tunggulah sebentar, biar
aku tanya dulu pada teman satu ini!" kata Aji acuh tak acuh lalu menghadap pada
laki-laki yang sekujur tubuhnya dihiasi dengan tusukan-
tusukan jarum hitam.
"Hai.... Apa kau juga menginginkan satu-
satunya nyawaku?" tanya Aji dengan usap-usap hidungnya. Wajahnya tidak
menunjukkan air
muka takut. Malah dia tersenyam-senyum.
Laki-laki yang tubuhnya ditancapi jarum-
jarum hitam itu keluarkan dengusan keras. Bi-
birnya memperlihatkan seringai buruk. Masih
dengan kacak pinggang dan tanpa memandang
dia berkata. "Karena pekerjaanmu seorang tokoh rimba
persilatan bergelar Gentapati tubuhnya terkoyak-koyak tewas. Dengar! Gentapati
adalah kakak kandungku! Aku, Jarum Neraka menuntut satu-
satunya nyawamu!"
Di seberang sana, Setan Pesolek tiba-tiba
tertawa melengking.
"Kalian semua menginginkan satu-satunya
nyawanya! Bagaimana kalau aku menginginkan
satu-satunya benda yang menggandul-gandul mi-
liknya" Kalian setuju" Hik.... Hik.... Hik...! Kalian semua orang-orang bodoh.
Ada saja benda yang
lebih mendatangkan nikmat, kenapa kalian pilih
nyawa..."! Jika kalian masih hendak memaksanya
masuk kubur, tolong benda pesananku jangan
diusik-usik! Lumayan buat mainan.... Hik....
Hik.... Hik...!"
"Orang edan!" maki Aji dalam hati. "Tapi dia sepertinya tidak berniat buruk
padaku. Dan... Kata-katanya tadi jadi kenyataan. Ada orang
mengincar diriku! Hmm.... Setan Pesolek. Siapa
dia sebenarnya" Dia seakan tahu apa yang akan
terjadi...."
Sementara itu, mendengar kata-kata Setan
Pesolek baik Manusia Titisan Dewa, Ratu Pulau
Merah serta si Jarum Neraka beliakan mata mas-
ing-masing. Malah paras Ratu Pulau Merah terli-
hat bersemu merah.
Tiba-tiba Manusia Titisan Dewa berpaling
pada si Jarum Neraka.
"Jarum Neraka! Biar suasana tenang, ku-
harap kau suka sedikit berolahraga untuk mem-
bungkam mulut manusia banci itu! Dia biar aku
yang mengurusnya!" sambil berkata, Manusia Titisan Dewa angkat bahunya menunjuk
pada Pen- dekar 108. Si Jarum Neraka keluarkan tawa pelan,
nadanya jelas meremehkan. Sesaat kemudian dia
berpaling pada Manusia Titisan Dewa. Parasnya
sedikit merah dengan pandangan tak senang,
mendengar dirinya diperintah orang.
Mungkin menyadari atau mungkin tak mau
membuat masalah dahulu sebelum keinginannya
mencabut nyawa Pendekar 108 terlaksana, Ma-
nusia Titisan Dewa segera menyusuli ucapannya.
"Sobatku Jarum Neraka.... Ucapanku tadi
hanya sebuah usul. Jika kau merasa keberatan,
usulku bisa ditarik kembali. Namun apakah kau
tidak merasa terhina dikatakan orang bodoh"
Apalagi ucapan itu keluar dari mulut pemuda
yang masih bau kencur!"
Rupanya si Jarum Neraka termakan uca-
pan Manusia Titisan Dewa. Meski wajahnya ma-
sih menunjukkan rasa tak senang, namun akhir-
nya dia berkata.
"Hm.... Baiklah. Aku akan menggerakkan
otot-ototku sebentar. Tapi ingat! Sisaku sedikit nyawanya untukku!" seraya
berkata matanya melirik pada Pendekar 108.
"Jangan kuatir. Saat dia meregang nyawa,
itulah bagianmu!"
Si Jarum Neraka memandang liar sejenak
ke arah dada Ratu Pulau Merah. Bibirnya sung-
gingkan senyum. Lalu balikan tubuh dan melang-
kah ke arah Setan Pesolek yang tampak berkaca
pada batu putihnya dan sebentar-sebentar mera-
pikan rambut di tengkuknya sambil menarik ke-
palanya sedikit ke belakang.
Begitu si Jarum Neraka telah mulai me-
langkah, Manusia Titisan Dewa menatap garang
pada Pendekar Mata Keranjang. Dan tanpa berka-
ta lagi sepasang kakinya menjejak tanah. Tubuh-
nya melesat ke depan sambil kirimkan pukulan!
LIMA KE mana dan apa sebenarnya yang telah
terjadi atas Anting Wulan, hingga ketika Pendekar Mata Keranjang kembali ke
tempatnya mandi dia
tak ada" Tidak lama setelah Aji melangkah men-
jauh karena Anting Wulan sengaja melepas ba-
junya, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan
dan langsung mengendap-endap di balik batu se-
puluh langkah di samping pancuran.
Sebenarnya Anting Wulan alias Dewi Teng-
korak Hitam tahu jika ada orang di tempat tak
jauh darinya. Namun karena menduga orang itu
adalah Pendekar 108, dia malah bersenandung
kecil sambil perlahan-lahan melepas pakaiannya.
Dia berharap, Aji akan tergoda dan segera me-
nyusulnya untuk mandi bersama. Begitu kancing-
kancing pakaiannya telah terbuka dan pung-
gungnya mulai tak tertutup lagi, seakan tak disengaja dia miringkan tubuhnya.
Buah dadanya yang kencang membusung terpentang tidak tertu-
tup. Seraya merunduk mengayuhkan tangan pada
air pancuran, sepasang matanya melirik ke atas.
Sejenak dia menunggu. Dan ketika ditunggu agak
lama, Aji tak juga menampakkan diri, dia tampak kehilangan kesabaran. Tanpa
berusaha menutup
buah dadanya dia berkata pelan.
"Aji.... Aku tahu kau ada di situ! Keluarlah.
Bukankah tadi telah kutawarkan untuk mandi
bersama" Kenapa kau malu-malu" Di sini tak ada
orang lain selain kita berdua. Cepat keluarlah...,"
kata-kata terakhirnya dibuat seakan memohon.
Dua orang di balik batu sejenak saling ber-
pandangan. Namun jelas sekali jika dada kedua-
nya bergetar. Sementara bibirnya sama-sama
sunggingkan senyum. Orang sebelah kanan
memberi isyarat dengan anggukan kepala. Namun
yang satunya menggeleng pelan sambil telunjuk-
nya diarahkan ke atas. Seolah mengerti isyarat
temannya, orang yang tadi mengangguk manggut-
manggut. Kedua orang ini lantas diam seolah me-
nunggu. Di bawahnya, Dewi Tengkorak Hitam lu-
ruskan tubuhnya. Kini tubuhnya dihadapkan ke
arah batu, di mana dia menduga Aji berada di si-tu. Dengan bibir menyungging
senyum dia kem-
bali berkata, "Aji.... Kalau kau tidak mau keluar dari
tempat persembunyianmu, aku akan naik ke si-
tu!" lalu terdengar suara tawanya.
Orang di balik batu anggukan kepala. Yang
satunya kali ini membalas dengan anggukan ke-
pala pula. Keduanya serentak memandang ke
atas. Dan merasa keadaan aman, kedua orang ini
langsung berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri dua langkah di balik batu. Namun
begitu tahu bahwa yang berkelebat dua bayangan, gadis ini
segera menangkap gelagat tidak enak. Dia cepat
takupkan kembali pakaiannya dan menutup buah
dadanya yang terpentang. Dan firasatnya tidak
meleset begitu dia berpaling dan mendapatkan
orang yang muncul bukanlah orang yang diha-
rapkan. "Jahanam! Siapa kalian!" teriak Dewi Tengkorak Hitam sambil mengancingkan
pakaiannya. Dua orang yang ditegur tidak menjawab.
Malah keduanya segera gerakan tangan masing-
masing menotok tubuh Dewi Tengkorak Hitam.
Lalu sama-sama tersenyum.
Di lain pihak, Dewi Tengkorak Hitam terpe-
rangah kaget. Tubuhnya mendadak tegang kaku
tak bisa digerakkan. Gadis ini tak kehabisan akal.
Dia buka mulutnya seolah hendak berteriak. Na-
mun kembali dia dibuat terkejut, meski mulutnya terbuka lebar-lebar, namun tiada
suara yang terdengar! Dewi Tengkorak Hitam sadar jika dirinya telah tertotok.
Bukan saja pada tubuhnya tapi ju-ga pada urat lehernya, hingga suaranya tersum-
bat. Untuk beberapa saat lamanya Dewi Teng-
korak Hitam hanya bisa pandangi dua orang di
sampingnya dengan pandangan marah. Orang di
sebelah kanannya adalah seorang laki-laki bertubuh besar tegap, mengenakan jubah
besar tanpa lengan warna hitam. Kepalanya gundul plontos.
Sepasang matanya sipit dengan kumis lebat. Ke-
dua telinganya mengenakan anting-anting ber-
warna hitam. Sementara orang di sebelah kiri adalah ju-
ga seorang laki-laki bertubuh besar dan tegap.
Kepalanya juga plontos. Yang membedakan di an-
tara kedua laki-laki ini adalah warna jubah yang dikenakan. Orang kedua ini
mengenakan jubah
besar tanpa lengan berwarna merah. Anting-
anting yang di telinganya juga berwarna merah.
"Bagaimana sekarang" Apa kita selesaikan
juga si laki-lakinya"!" kata orang yang berjubah hitam. Meski berkata, namun
sepasang matanya
yang sipit tidak tertuju pada orang yang diajak bicara, melainkan pada buah dada
Dewi Tengkorak Hitam yang sebagian menyembul dan terlihat tu-
run naik menuruti gerakan dadanya yang gemetar
kencang karena marah.
"Tak ada gunanya kita buang-buang waktu
dan tenaga untuk membereskan dia. Kau lihat ta-
di, beberapa orang berkelebat ke arah sini. Kudu-ga mereka juga bertujuan
menghabisi pemuda
itu. Jadi biarlah mereka saja yang melakukannya!
Lebih baik kita senang-senang sambil menikmati
indahnya bulan purnama!" orang yang berjubah merah menjawab. Tangannya bergerak
mencolek dagu Dewi Tengkorak Hitam, lalu turun ke da-
danya. Dewi Tengkorak Hitam hanya bisa pelo-
totkan sepasang matanya dan menyumpah habis-
habisan dalam hati.
"Kenapa kau yakin orang-orang yang me-
nuju ke arah sini bakal mampu mengatasi pemu-
da itu" Jangan-jangan sebaliknya! Jika itu terjadi,
rencana kita berarti tertunda!" orang berjubah hitam kembali keluarkan suara.
Yang berjubah merah tertawa pendek. Lalu
gelengkan kepalanya.
"Kau tak usah cemas. Aku dapat mengenali
dua orang di antara mereka. Jika kau berani me-
mastikan demikian, karena dua orang yang ku-
kenal itu bukanlah orang sembarangan!"
"Siapa mereka"!"
"Seorang tokoh rimba persilatan bergelar
Manusia Titisan Dewa. Sedang satunya lagi seo-
rang perempuan muda berparas cantik bertubuh
sintal bergetar Ratu Pulau Merah. Orang ketiga
memang tidak kukenal, namun melihat gerakan-
nya dia juga seorang berilmu tinggi!"
Orang yang berjubah hitam manggut-
manggut Lalu berkata.


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika demikian adanya, seperti katamu, se-
baiknya kita bersenang-senang menikmati indah-
nya tubuh di bawah siraman cahaya purnama.Ha.... Ha.... Ha...!"
Tiba-tiba dia hentikan tawanya. Keningnya
mengernyit seolah mengingat sesuatu.
"Bagaimana dengan pemuda banci itu?" dia keluarkan suara lagi.
"Untuk apa kita urus pemuda banci ini"
Kau tertarik padanya"!" orang berjubah merah balik bertanya. Namun jelas jika
nada suaranya mengejek.
Yang diejek tidak tampak marah. Malah
tertawa perlahan dan berkata.
"Kalau ada gadis mulus dan bertubuh de-
nok-denok begini, tiga puluh orang banci pun
akan tidak tertarik!"
Sesaat orang yang berjubah merah tenga-
dahkan kepala dan kepalanya berputar. Telin-
ganya terlihat bergerak-gerak, pertanda dia ke-
rahkan tenaga dalam pada telinganya untuk
mengetahui suara yang jauh.
"Hmm.... Pemuda itu sedang perang mulut
dengan si Banci. Kita segera tinggalkan tempat
ini! Ketiga orang itu juga tampaknya sudah de-
kat!" Habis berkata begitu, orang berjubah merah ini bergerak cepat. Tahu-tahu
tubuh bagian atas Dewi Tengkorak Hitam telah ada di pundak-
nya. Seakan tahu apa yang harus dilakukan, tan-
pa bicara lagi orang berjubah hitam segera pula bergerak cepat. Dan tahu-tahu
tubuh bagian bawah Dewi Tengkorak Hitam telah berada pula di
pundaknya. "Jahanam! Siapa sebenarnya manusia-
manusia berkepala botak ini" Dan apa maksud
mereka sebenarnya" Hmm.... Pendekar Mata Ke-
ranjang pasti akan menghadapi kesulitan.
Sayang, aku dalam keadaan tidak berdaya...," batin Dewi Tengkorak Hitam. Mula-
mula dia mera- sakan tubuhnya bergerak pelan, namun sekejap
kemudian dia laksana terbang!
ENAM SEPERTI diketahui, sebenarnya Manusia
Titisan Dewa sudah berpuluh tahun tidak lagi
pernah berkecimpung dalam kancah belantara
rimba persilatan. Hingga namanya yang dulu per-
nah membuat orang kecut sedikit demi sedikit
mulai dilupakan orang. Bahkan sebagian orang
telah menduga jika tokoh dari jajaran atas golongan sesat tersebut sudah
meninggal. Namun apa yang diduga orang selama ini
tentang Manusia Titisan Dewa jauh meleset. Keti-dakmunculannya selama ini
ternyata telah digu-
nakan tokoh ini untuk memperdalam ilmu, dan
ketika dirasa saatnya tiba, dia pun unjuk diri
kembali. Sejak muda, tokoh ini sebenarnya telah punya cita-cita untuk merajai
kancah rimba persilatan. Dan demi untuk mewujudkan cita-citanya itu, tak
tanggung-tanggung dia turunkan maut
kepada siapa saja. Baik pada orang-orang golon-
gan hitam maupun pada orang golongan putih.
Hingga saat itu dirinya menjadi momok dari dua
golongan. Namun perbuatannya itu mendadak dia
hentikan. Ini terjadi karena sewaktu gurunya
hendak meninggal, sang guru mengatakan bahwa
kalau dia benar-benar ingin merajai rimba persilatan dan diakui sebagai orang
unggul tanpa tanding, maka tunggulah saat munculnya senjata
ciptaan Empu Jaladara berupa kipas. Karena jika hal itu telah muncul, itulah
pertanda awal akan
tampilnya tokoh-tokoh rimba persilatan yang be-
nar-benar memiliki kesaktian. Dan sejak menden-
gar ucapan gurunya itulah Manusia Titisan Dewa
tidak lagi muncul di arena persilatan.
Ketika telah didengarnya muncul seorang
pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
yang bersenjatakan kipas, maka dia pikir sudah
saatnya dia harus keluar dari persembunyiannya.
Mungkin merasa butuh bantuan tangan orang
lain dalam menggapai cita-citanya, maka dia pun mengangkat Sakawuni sebagai
murid, ini pun setelah menyelidik dan mendapat kabar jika gadis
itu punya masalah dengan pemuda bergelar Pen-
dekar Mata Keranjang, dan setelah Sakawuni be-
rani angkat sumpah darah jika dia akan membu-
nuh Pendekar Mata Keranjang serta akan mela-
kukan segala perintahnya.
Namun akhir-akhir ini dia merasa cemas,
karena Sakawuni yang diperintah untuk membu-
nuh Pendekar Mata Keranjang tidak ada kabar
beritanya. Bahkan kabar yang sampai padanya,
sang murid dibawa seseorang. Menduga bahwa
Pendekar Mata Keranjanglah yang membawa mu-
ridnya, ditambah dengan memang telah lama in-
gin membunuh Pendekar Mata Keranjang sekali-
gus merampas senjatanya, maka ketika dia dapat
menemukan murid Wong Agung ini, Manusia Titi-
san Dewa segera lancarkan serangan. Tak tang-
gung-tanggung, serangan pembukanya langsung
diarahkan pada titik kematian. Yakni kepala dan ulu hati! Jelas jika Manusia
Titisan Dewa ingin
segera menyelesaikan persoalan.
Sementara itu mendapat serangan pembu-
ka yang begitu ganas, Pendekar Mata Keranjang
tidak mau bertindak ayal, apalagi dia menyadari jika lawan yang dihadapi kali
ini adalah tokoh
yang berilmu sangat tinggi. Hingga tatkala kedua tangan Manusia Titisan Dewa
berkelebat menyambar ke arah kepala dan ulu hatinya, murid
Wong Agung ini cepat angkat kedua tangannya.
Prakkk! Kedua tangan Manusia Titisan Dewa bera-
du dengan kedua tangan Pendekar 108. Terden-
gar suara benturan keras. Manusia Titisan Dewa
keluarkan dengusan keras sambil melempar
mundur. Sepasang matanya makin membeliak
angker. Mulutnya komat-kamit menggumam tak
jelas. Meski bentrokan tadi tidak mengakibatkan cidera, namun dia makin yakin
jika pemuda di hadapannya tidak bisa disepelekan.
Di seberang, begitu terjadi bentrok puku-
lan, Pendekar Mata Keranjang tersentak kaget,
dan terjajar sampai tiga langkah ke belakang. Sepasang matanya segera meneliti.
Dia makin ter- sentak, karena kedua tangannya tampak merah
dan panas! Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Ma-
nusia Titisan Dewa telah membentak garang. Ke-
dua tangannya ditarik sedikit ke belakang dan
serta-merta dihantamkan sekaligus ke depan.
Wuuut! Wuuutt! Tiada suara yang terdengar, juga tidak ada
sambaran angin. Namun kejap itu juga udara be-
rubah panas menyengat, lalu dingin mencekam.
Tiba-tiba selarik sinar pelangi melesat cepat. Inilah pukulan sakti 'Menggiring
Pelangi Menebar
Hawa', pukulan andalan Manusia Titisan Dewa.
Pendekar 103 cepat melompat mundur.
Tenaga dalamnya segera dialirkan pada kedua te-
lapak tangannya. Telapak tangannya sesaat ke-
mudian berubah menjadi biru berkilau. Dan sam-
bil melompat setengah tombak ke udara, kedua
tangannya dihantamkan.
Weeett! Weeettt!
Sinar biru melesat menyongsong datangnya
sinar pelangi. Kedua sinar itu bentrok, namun tidak timbul suara. Justru kedua
sinar tersebut melambung tinggi ke udara. Namun hanya sesaat,
sekejap kemudian terdengar ledakan keras. Pa-
dang ilalang itu bergetar hebat. Malah sebagian terlihat laksana hangus
terbakar! Karena begitu terdengar ledakan, bunga-bunga api bermuncra-tan kian
kemari. Asap hitam pun mengepul me-
nutupi pemandangan.
Saat asap hitam sirap, Manusia Titisan
Dewa tampak jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar
dengan kepala menggeleng-geleng. Caping di ke-
palanya mencelat entah ke mana. Merasa tidak
terluka dalam, orang tua ini segera bergerak
bangkit. Lima belas langkah di seberang, Pendekar
Mata Keranjang 108 tampak jatuh berlutut. Tu-
buhnya pun bergetar keras. Malah ketika murid
Wong Agung ini angkat kepalanya, darah segar
meleleh dari sudut bibirnya. Wajahnya pucat pasi.
Dan mungkin sadar jika lawannya hendak lan-
carkan serangan lagi, dia segera bangkit. Du-
gaannya tidak salah. Belum lagi tubuhnya tegak
berdiri, sinar pelangi telah menggebrak ke arahnya lagi!
Pendekar 108 katupkan rahang. Gebrakan
sinar pelangi yang dipancarkan Manusia Titisan
Dewa yang berdaya lesat luar biasa itu tidak
mungkin bisa disongsong dengan pukulan sakti
'Mutiara Biru'nya, apalagi jaraknya juga dekat.
Hingga satu-satunya jalan yang bisa dilakukan
adalah menghindar dengan berkelebat ke samp-
ing. Namun tak urung lesatan sinar pelangi itu
menyerempet pinggangnya!
Breeettt! Pendekar 108 berseru tertahan. Tubuhnya
laksana dihantam ombak. Sosoknya mencelat
berputar lalu bergedebukan di atas tanah. Aji segera memeriksa. Ternyata baju
bagian pinggang-
nya telah robek besar. Daging di balik robekan
terlihat mengembung dan berwarna biru!
Melihat Pendekar 108 telah roboh untuk
kedua kalinya, dan tampak meringis menahan ra-
sa sakit, Ratu Pulau Merah yang tadi menyingkir agak jauh segera melompat. Namun
baru saja dia akan lancarkan pukulan, Manusia Titisan Dewa
menegur. "Tahan pukulanmu! Aku belum selesai
dengan pekerjaanku!"
Ratu Pulau Merah urungkan niat, tanpa
berpaling lagi dia mundur. Wajahnya yang cantik nampak merah padam dan bibirnya
sunggingkan senyum seringai.
"Hmm.... Dia pasti akan lancarkan seran-
gan lagi.... Sialan betul! Pinggangku panas bukan main. Darahku seakan tersumbat
dan dadaku berdenyut nyeri. Celaka kalau dia kirimkan se-
rangan lagi...," perlahan-lahan murid Wong Agung ini sambar kipas ungunya dari
balik pakaian. La-lu sisa tenaga dalamnya dikerahkan. Namun baru
saja dia kerahkan tenaga dalam, Manusia Titisan Dewa telah hantamkan kembali
kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuuttt!
Murid Wong Agung ini terpekik keras. Tu-
buhnya terasa dilanda hempasan gelombang dah-
syat. Bersamaan dengan itu sosoknya terpelant-
ing hingga beberapa tombak ke belakang dan ja-
tuh terkapar di atas tanah. Begitu derasnya hu-
jaman tubuhnya ke tanah, hingga tanah di mana
dia terkapar terlihat terbongkar! Darah hitam
mengucur dari mulut juga hidungnya. Tangan
keduanya bergetar keras, hingga tak lama kemu-
dian kipas ungu di tangan kanannya jatuh terle-
pas. Sesaat Aji tampak hendak bergerak bangkit, namun setengah jalan tubuhnya
terkapar kembali.
Di depan, Manusia Titisan Dewa keluarkan
tawa mengekeh panjang. Lantas dengan mengam-
bang di udara dia melangkah mendekati Pendekar
108. Melihat hal ini, Ratu Pulau Merah segera
mendahului. Namun gerakannya tertahan tatkala
dari arah belakangnya terdengar deruan angin
dahsyat. Dia buru-buru melompat dan segera
berpaling. Di sampingnya, Manusia Titisan Dewa
memandangnya dengan tatapan garang, lalu ke-
palanya tengadah memandangi bulan sambil ber-
kata lantang. "Sudah kukatakan, biar kuselesaikan pe-
kerjaanku dahulu!"
Seraya menahan rasa marah, Ratu Pulau
Merah balas membentak.
"Kau serakah! Dia sudah hampir menemui
ajal. Beri kesempatan padaku untuk merasakan-
nya!" "Jangan khawatir! Kau pasti masih keba-gian. Aku cuma perlu sesuatu
darinya. Setelah itu terserah kau, silakan mau kau jadikan apa dia!"
Habis berkata begitu, Manusia Titisan De-
wa teruskan langkah.
Dua langkah di depan Pendekar Mata Ke-
ranjang, Manusia Titisan Dewa hentikan langkah.
Sesaat dia pandangi tubuh Aji yang sudah tam-
pak tak berdaya. Tawanya kembali terdengar. Dan tanpa hentikan tawa, dia
membungkuk dengan
tangan menjulur ke arah kipas yang tergeletak.
Pendekar 108 yang masih dapat melihat
gerakan Manusia Titisan Dewa berusaha hendak
sapukan kakinya, menahan gerak lawan yang
hendak mengambil kipasnya. Sementara Ratu Pu-
lau Merah jadi tersentak kaget melihat Manusia
Titisan Dewa hendak mengambil kipas ungu yang
tergeletak. Dia pun segera berkelebat, dan kirimkan satu pukulan ke arah tangan
Manusia Titisan Dewa. Selagi kaki Pendekar 108 baru bergerak
dan sambaran angin keluar dari kedua tangan
Ratu Pulau Merah, tiba-tiba terdengar siuran angin kencang, lalu terlihat benda
merah panjang meliuk. Dengan gerakan aneh, mendadak ujung


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda merah yang ternyata sehelai benang meng-
gulung kipas yang tergeletak. Dan seperti disentak orang, ujung selendang yang
telah menggu- lung kipas milik Pendekar 108 tertarik ke bela-
kang, lalu lenyap!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera tarik
pulang kakinya, sementara Manusia Titisan Dewa
terperangah. Saat itulah pukulan Ratu Pulau Me-
rah datang. "Betina jahanam!" maki Manusia Titisan Dewa seraya tarik tangannya dan serta-
merta dihantamkan pada Ratu Pulau Merah.
Plarrr! Terdengar letupan keras. Ratu Pulau Me-
rah tersentak kaget dan tersurut dua langkah ke belakang.
Sementara Manusia Titisan Desa hanya
terguncang. Namun sial bagi murid Wong Agung.
Karena terjadinya bentrok pukulan ada di dekat-
nya sedang dia sudah tidak berdaya, maka tanpa
ampun lagi tubuhnya yang tak berdaya itu men-
celat mental ke belakang!
Anehnya, walau tubuhnya terlihat deras
menghujam tanah, tak terdengar suara gedebu-
kan. Menyadari jika ada orang ikut campur, ma-
lah telah berhasil menggondol kipas yang tadi tergeletak dan mungkin juga telah
menyelamatkan tubuh Pendekar 108 dari menghujam tanah, se-
saat Manusia Titisan Dewa lupakan tingkah Ratu
Pulau Merah yang hendak menyerangnya. Dia pu-
tar pandangannya dan berteriak lantang.
"Budak keparat! Perlihatkan dirimu! Kau
berani ikut campur masalah ini berarti berani cari mati!" Manusia Titisan Dewa
tidak menunggu la-ma. Sesaat kemudian, dari padang ilalang terdengar suara tawa
cekikikan. Lalu muncullah seso-
sok tubuh gemuk besar.
TUJUH DIA adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Pada kedua ketiaknya terlihat dua bambu kecil
yang dibuat menopang tubuhnya karena ternyata
kedua kakinya buntung.
"Nah, apa kubilang. Jangan turut campur
urusan orang. Kalau sudah begini bagaimana"!"
katanya seolah menegur seseorang. Pandangan
kakek berkaki buntung ini tidak pada Manusia Titisan Dewa melainkan ke jurusan
lain. "Hik.... Hik.... Hik...!" Lalu terdengar suara tawa seorang perempuan menyahuti
ucapan si kakek. "Aku mengaku salah! Biar urusannya tidak jadi panjang lebar, kau saja
yang minta maaf pada Manusia Titisan Dewa. Aku menunggu saja
di sini! Hik.,.. Hik.... Hik...!"
"Bagaimana bisa begitu" Kau yang berbuat
kenapa aku yang harus minta maaf" Kau saja
yang keluar dan minta maaf. Aku yang menunggu
di sini!" terdengar si kakek gemuk berkata kembali. Pandangannya tetap ke
jurusan lain. "Hik.... Hik.... Hik...! Sudah kubilang, kau saja yang minta maaf. Aku sungkan,
apalagi ada perempuan cantiknya! Jangan-jangan dia nanti
marah, karena kalah cantik denganku! Hik....
Hik.... Hik...!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara ta-
wa cekikikan, menderu angin kencang ke arah
bambu penopang tubuh si kakek, hingga mau tak
mau sang kakek terdorong ke depan.
"Sialan!" maki sang kakek, lalu teruskan melangkah ke depan, ke arah Manusia
Titisan Dewa dan Ratu Pulau Merah. Ketukan bambunya
terdengar berdebam.
Baik Manusia Titisan Dewa maupun Ratu
Pulau Merah sama-sama terkesiap. Malah seren-
tak Ratu Pulau Merah surutkan langkah dua tin-
dak, sementara sepasang matanya yang biru
memperhatikan sang kakek dengan dahi menger-
nyit. "Siapa orang tua ini" Tubuhnya demikian
besar, namun bambu penopang tubuhnya yang
kecil tidak patah, malah menimbulkan suara yang memekakkan telinga! Hmm....
Siapa pun dia yang
pasti dia bukan orang sembarangan! Dan melihat
senjata berupa selendang merah serta suara tawa cekikikannya, orang yang masih
sembunyi dapat dipastikan siapa orangnya!"
Kalau Ratu Pulau Merah masih menduga-
duga siapa adanya si kakek, tidak demikian hal-
nya dengan Manusia Titisan Dewa.
"Hmm.... Ternyata Gongging Baladewa. Apa
urusannya manusia ini dengan pemuda itu" Yang
masih sembunyi aku belum bisa menduga siapa
adanya. Namun mendengar dia mengenaliku, bu-
kan mustahil aku juga mengenalnya, setidak-
tidaknya pernah bertemu...."
"Sobatku Manusia Titisan Dewa!" berkata kakek buntung yang bukan lain memang
Gongging Baladewa. "Maaf atas kelancangan temanku yang ikut campur urusanmu. Dan
kuharap masa-lahnya dicukupkan sampai di sini saja!"
"Gongging Baladewa. Di antara kita tak ada silang masalah. Namun rupanya temanmu
membuat persoalan. Kalau dia tak ingin buat persoalan lebih panjang, suruh
temanmu itu keluar dan minta maaf padaku, lalu tinggalkan pemuda itu!"
Mendengar Manusia Titisan Dewa menye-
but nama sang kakek, Ratu Pulau Merah terkejut.
Dia memperhatikan lebih seksama lagi.
"Gongging Baladewa.... Hm.... Nama itu
memang tak asing lagi dalam rimba persilatan.
Tapi apa hubungannya tokoh ini dengan Pende-
kar 108" Aku yakin, semua perkataannya dengan
orang yang bersembunyi itu hanyalah sandiwara.
Sialan betul pemuda itu! Apa yang membuatnya
banyak tokoh selalu melindungi nyawanya"!"
Sementara itu, mendengar ucapan Manu-
sia Titisan Dewa, dari balik ilalang terdengar suara cekikikan. Lalu terdengar
suara. "Manusia Titisan Dewa. Pemuda ini milik
siapa saja. Kau jangan terlalu mengangkangi mi-
lik orang banyak! Siapa saja yang mau bisa saja membawanya pergi! Kalau boleh
tahu, kenapa kau bernafsu sekali dengan pemuda memuakkan
ini"!" Manusia Titisan Dewa melenguh. Rahangnya bergerak terangkat. Kedua
tangannya berge-
meretakan mengepal. Dia tetap mendongak dan
tak mengeluarkan suara jawaban atas pertanyaan
orang di balik ilalang.
"Hik.... Hik.... Hik...! Kau tak mau jawab pertanyaan orang. Ini membuatku
curiga. Kau adalah seorang laki-laki, dan pemuda ini juga la-ki-laki. Jangan-jangan kau
termasuk jenis manu-
sia laki-laki yang menyukai...," suara itu terhenti, karena bersamaan dengan itu
Manusia Titisan
Dewa telah melompat dan pukulkan kedua tan-
gannya ke arah sumber suara.
Wuuutt! Padang ilalang hingga delapan tombak ter-
papas rata dan berhamburan ke udara. Manusia
Titisan Dewa menunggu sebentar dan dia yakin
tak berapa lama lagi akan terdengar suara orang terpekik lalu keluar dari balik
ilalang. Namun ha-rapannya tak terjadi. Tidak ada suara orang yang terpekik,
juga tak ada sosok yang muncul! Justru sesaat kemudian yang terdengar adalah
suara ta-wa cekikikan!
"Jahanam! Kalau orang ini tak mempunyai
gerakan yang luar biasa, tidak mungkin dia bisa selamat dari pukulanku tadi!
Budak keparat! Siapa dia sebenarnya bangsat ini?" batin Manusia Titisan Dewa
lalu berpaling ke arah sumber suara
tawa. Namun baru saja tangannya hendak berge-
rak menghantam, suara tawa cekikikan itu lenyap dan berpindah. Kembali Manusia
Titisan Dewa berpaling. Bersamaan dengan bergeraknya kepala
Manusia Titisan Dewa, suara tawa cekikikan le-
nyap dan berpindah tempat lagi.
"Haram jadah! Kenapa aku tolol! Orang ini
ada di satu tempat. Hanya ia bisa memindahkan
suara. Hmm.... Sialan!" maki Manusia Titisan Dewa dalam hati, lalu berpaling
pada Gongging Baladewa yang tetap tegak di tempatnya semula
dengan memandang ke langit.
"Gongging Baladewa! Aku tak punya waktu
banyak hanya untuk main-main! Lekas panggil
temanmu itu. Jika tidak...."
"Baiklah...," sahut Gongging Baladewa. La-lu kepalanya menoleh ke kanan. Manusia
Titisan Dewa dan Ratu Pulau Merah ikut-ikutan menoleh
ke arah kanan. Mereka berdua menduga orang
yang masih sembunyi akan muncul dari arah itu.
Namun kedua orang ini kecewa, karena tidak ada
seorang pun yang muncul. Gongging Baladewa la-
lu berpaling ke arah kiri. Dan mungkin masih
menduga jika orang yang sembunyi akan muncul
dari arah mana kepala Gongging Baladewa men-
garah, kedua orang ini ikut-ikutan berpaling ke arah kiri. Namun lagi-lagi
keduanya tidak menemukan kemunculan seseorang. Hal ini bukan saja
membuat Manusia Titisan Dewa geram namun
juga hilang kesabaran. Hingga saat itu juga dia keluarkan bentakan garang.
"Jika kau ikut-ikutan mempermainkan
aku, jangan menyesal jika kedua tanganmu kupu-
tuskan sekalian!"
"Heran. Siapa mempermainkanmu. Aku ge-
rakan kepalaku karena otot-otot kepalaku terasa kaku. Kenapa kau mengikuti"
Ha.... Ha.... Ha...!"
"Diam! Tutup mulutmu!" bentak Manusia Titisan Dewa. Namun yang dibentak bukannya
diam, melainkan keraskan tawanya.
Manusia Titisan Dewa habis kesabarannya.
Diam-diam dia kerahkan tenaga dan kedua tan-
gannya bergerak hendak dipukulkan pada Gongg-
ing Baladewa yang berada di tangannya. Karena
saat itu Gongging Baladewa berada membelakan-
gi, maka kakek ini tak tahu apa yang hendak di-
perbuat Manusia Titisan Dewa.
Dari balik ilalang satu sosok gemuk besar
yang sejak tadi mendekam seraya mengurut-urut
dada seseorang pemuda diam-diam merasa kha-
watir. "Keparat! Manusia curang. Dia hendak
memukul orang dari belakang!" Lalu sosok gemuk besar ini bergerak bangkit dan
memandang tajam
dengan mata disipitkan ke arah Manusia Titisan
Dewa. Lalu meledak suara tawa cekikikannya.
Baik Manusia Titisan Dewa maupun Ratu
Pulau Merah cepat berpaling.
Sesosok perempuan bertubuh gemuk besar
mengenakan pakaian warna merah terlihat me-
langkah ke arah Ratu Pulau Merah. Rambutnya
yang putih disanggul ke atas, sementara bibirnya dipoles warna merah mencolok.
Mengenakan anting-anting sebelah. Anting-anting itu besar dan dimuati beberapa
anting-anting kecil. Anehnya,
meski dia tertawa cekikikan dan anting-anting itu saling beradu sama lain, tak
terdengar suara ber-denting!
"Manusia jahanam ini! Dugaanku tidak me-
leset!" kata hati Ratu Pulau Merah begitu mengetahui siapa adanya perempuan yang
kini melang- kah ke arahnya.
"Hm.... Benar apa kata mendiang guru....
Munculnya senjata ciptaan Empu Jaladara ada-
lah awal dari akan tampilnya beberapa tokoh sak-ti. Siapa pun adanya perempuan
ini, yang pasti
dia berilmu tinggi! Anehnya juga, dia mengetahui aku, tapi aku rasa-rasanya tak
pernah bertemu dengannya!"
Beberapa saat lamanya Manusia Titisan
Dewa memperhatikan. Setelah agak dekat dia bu-
ka mulut hendak membentak, namun sebelum
suaranya terdengar, Ratu Pulau Merah telah
mendahului berkata.
"Kau!" desis Ratu Pulau Merah sambil luruskan telunjuk ke arah muka perempuan
ge- muk. "Beberapa waktu yang lalu kau berani campur urusanku. Kali ini lagi-lagi
kau turut campur.
Apa kau kira aku tak bisa membunuhmu, meski
kau bernama besar, Dewi Kayangan"!"
Perempuan bertubuh gemuk besar dan bu-
kan lain memang Dewi Kayangan sejenak mena-
tap wajah cantik Ratu Pulau Merah. Mulutnya
komat-kamit seakan hendak berkata. Namun tak
lama kemudian yang terdengar adalah suara ce-
kikikannya. Di lain pihak, begitu Ratu Pulau Merah se-
butkan nama perempuan gemuk, Manusia Titisan
Dewa terperangah kaget.
"Keparat! Kukira manusia bergelar Dewi
Kayangan itu orangnya cantik bertubuh sintal,
tak tahunya seperti kerbau bunting!" batinnya la-lu menahan senyum sendiri. Tapi
tiba-tiba wa- jahnya berubah. Dia teringat perempuan ini yang baru saja mempermainkannya.
Dengan menyeringai dan mata berkilat merah, dia melangkah
mendekati Dewi Kayangan.
Mendadak Ratu Pulau Merah berpaling dan
berkata. "Manusia Titisan Dewa! Biar perempuan
bunting ini kuurus! Kau selidiki di mana pemuda keparat tadi disembunyikan.'"
Manusia Titisan Dewa kertakan rahang
mendengar ucapan Ratu Pulau Merah, namun se-
telah sejenak berpikir dia memutuskan menuruti
kata-kata Ratu Pulau Merah.
"Sebenarnya aku masih ingin memberi ha-
jaran pada kerbau bunting itu, namun sebaiknya
aku mengetahui dulu di mana pemuda keparat
itu disembunyikan. Setelah kipasnya dapat ku-


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rampas dan nyawanya kulepas, baru kerbau
bunting itu akan kuhajar!" Manusia Titisan Dewa balikan tubuh dan melangkah
hendak mencari di
mana Pendekar Mata Keranjang berada.
Dewi Kayangan terlihat berubah wajahnya
demi melihat Manusia Titisan Dewa melangkah
mencari-cari. Dia sejurus menatap pada Gongging Baladewa seakan hendak
mengutarakan sesuatu.
Namun dia urungkan ketika melihat Gongging
Baladewa ikut-ikutan melangkah. Dan kecemasan
makin terlihat pada paras Dewi Kayangan saat
mengetahui Gongging Baladewa bukannya me-
langkah ke tempat beradanya Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, melainkan ke arah sebuah batu dan
duduk bersandar di sana.
"Sialan! Apa tua bangka itu tak khawatir
dengan keadaan pemuda itu"!" batin Dewi Kayangan. Namun dia tak bisa berpikir
lebih jauh kare-na Ratu Pulau Merah telah keluarkan bentakan.
"Dewi jahanam! Sekali ini jangan mimpi
kau campur tangan urusanku, apa lagi membawa
pemuda itu! Sebaliknya hari ini adalah hari te-
rakhirmu!"
Dewi Kayangan tengadahkan kepalanya.
Suara tawa cekikikannya terdengar. Malah kali ini
ditingkahi suara gemerincing anting-antingnya.
"Ratu.... Kau bicara hari terakhir, jangan-jangan itu pertanda buruk bagimu!"
"Kita lihat. Buruk bagiku atau buruk
buatmu!" sergah Ratu Pulau Merah. Tangan kirinya segera menyambar tombak hitam
di ping- gangnya, sementara tangan kanan mencabut ki-
pas hitam di pinggang kanannya. Tombak hitam
itu memancarkan kilatan-kilatan aneh, sedang
begitu kipas terkembang, terdengar deru angin
menyambar. "Senjata curian, apa hebatnya"!" ejek Dewi Kayangan sambil melepas selendang
merah yang melilit pinggangnya.
"Hebatnya bisa memutus kepalamu!" ujar Ratu Pulau Merah seraya meloncat. Tombak
di tangan kirinya diputar-putar, sementara kipas di tangan kanannya dikebutkan.
Kejap itu juga tampak kilatan-kilatan ber-
putar-putar cepat, ditingkahi dengan mengham-
parnya sinar hitam yang mengembang memben-
tuk sebuah kipas dan mengeluarkan suara meng-
gemuruh dahsyat!
Dewi Kayangan terkesiap sejenak, tapi se-
saat kemudian terdengar derai tawa cekikikan-
nya. Tiba-tiba tangannya bergerak.
Wuuutt! Selendang merah berkelebat angker. Me-
liuk-liuk dengan keluarkan suara mendesis-desis.
Plasss! Sinar hitam yang membentuk kipas serta-
merta ambyar sebelum menghantam sasaran. Ra-
tu Pulau Merah tersirap. Namun dia teruskan
lompatannya dan kini tombaknya menyambar de-
ras ke arah kepala Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan rebahkan dirinya ke bela-
kang hingga punggungnya sejajar dengan tanah.
Tangan kanannya yang memegang selendang se-
gera ditarik mengedut ke belakang.
Tombak hitam di tangan Ratu Pulau Merah
lewat sejengkal di atas kepala Dewi Kayangan.
Namun saat itu juga Ratu Pulau Merah sapukan
kakinya ke tubuh Dewi Kayangan yang telentang
di atas tanah! Deesss! Sosok gemuk Dewi Kayangan mencelat
mental ke atas sampai tiga tombak. Namun hal
ini membuat gerakan tangannya yang memegang
selendang ikut tertarik, dan kini meliuk deras ke arah Ratu Pulau Merah yang
baru saja menjejak
tanah. Melihat bahaya mengancam, Ratu Pulau
Merah cepat balikkan tubuh dan angkat tangan-
nya. Kipas hitam segera dikebutkan untuk me-
mapak selendang merah. Namun perempuan can-
tik ini tertipu. Bersamaan dengan kebutan kipasnya, selendang merah meliuk ke
bawah! Ratu Pulau Merah tersentak kaget. Namun
dia tidak hilang akal, tangan kirinya yang masih memegang tombak disabetkan ke
bawah. Namun gerakan tombaknya kalah cepat dengan liukan se-
lendang. Hingga tanpa ampun lagi ujung selen-
dang itu menghantam kakinya, dan menggelung
erat. Dewi Kayangan miringkan tubuh dan men-
gedut selendangnya.
Seettt! Ratu Pulau Merah terpekik, tubuhnya ter-
huyung-huyung hendak jatuh. Perempuan berma-
ta biru ini cepat kerahkan tenaga menahan tubuh yang kakinya sudah terjerat.
Lalu kedua tangannya segera diayunkan ke bawah.
Wuuutt! Weeerrr!
Kipas hitam serta tombak hitam berkelebat
angker ke bawah, hendak merobek selendang me-
rah. Namun saat itu juga Dewi Kayangan angkat
tangannya dan tarik selendang merahnya.
Wuuuttt! Tubuh Ratu Pulau Merah membubung
tinggi ke udara. Dan belum sempat ia melakukan
gerakan untuk menahan tubuhnya, selendang
merah kembali melesat ke udara. Ratu Pulau Me-
rah hanya melihat kelebatan warna merah serta
suara mendesis. Dan tahu-tahu tubuhnya tegang,
dadanya sakit untuk bernapas. Melirik, dia ter-
lengak. Ternyata selendang merah Dewi Kayangan
telah menggelung tubuhnya!
Di bawah, Dewi Kayangan tertawa cekiki-
kan. Lalu secara tiba-tiba cekikikannya lenyap.
Tangan kanannya bergerak menarik sambil me-
mutar. Gerakannya ini membuat tubuh Ratu Pu-
lau Merah berputar kencang dan menukik deras
ke bawah. Belum sampai tubuhnya menghajar tanah,
tiba-tiba Dewi Kayangan luruskan tangannya. Se-
lendang merah di tangannya mendadak kaku lak-
sana potongan bambu. Tubuh Ratu Pulau Merah
tertahan sebentar di udara. Hal ini tampaknya tak disia-siakannya. Kedua tangan
yang masih memegang senjata segera dikebutkan. Namun baru
saja tangannya bergerak, Dewi Kayangan lempar-
kan genggaman selendangnya.
Wuuutt! Tubuh Ratu Pulau Merah yang masih ter-
gelung selendang kembali meluncur. Karena wak-
tu melepaskan selendang Dewi Kayangan pu-
satkan tenaga dalam pada tangannya, maka lun-
curan tubuh Ratu Pulau Merah begitu derasnya,
dan mengarah ke tempat Gongging Baladewa
yang duduk bersandar pada batu!
"Sialan! Seandainya aku masih muda, tak
ku sia-siakan kiriman antik ini. Namun sayang, aku sudah tak bergairah dengan
barang-barang begini!" sambil berkata, Gongging Baladewa rebahkan tubuhnya ke samping hingga
sejajar tan- gan. Hingga tanpa ampun lagi tubuh Ratu Pulau
Merah menghantam deras batu yang dibuat san-
darannya! Brakkk! Batu yang tadi dibuat sandaran Gongging
Baladewa hancur berantakan. Ratu Pulau Merah
katupkan rahang rapat-rapat agar suara erangan
sakitnya tidak terdengar. Tapi tak urung keluar juga erangan dari mulutnya.
Malah dari sudut bi-
birnya tampak mengalir darah!
Ratu Pulau Merah keluarkan dengusan
marah. Dadanya sedikit bisa bernapas karena ge-
lungan selendang merah telah lepas. Sepasang
matanya yang biru berkilat-kilat memandang ke
langit, lalu beralih pada selendang merah yang
menghampar tak jauh darinya.
"Selendang keparat!" makinya, lalu merambat sambil ulurkan tangan hendak
mengambil se- lendang. Namun betapa terkejutnya perempuan
cantik ini. Begitu ujung selendang telah tergenggam dia tak bisa menarik. Dia
berpaling, ternyata tubuh besar Gongging Baladewa telentang menindih selendang!
Dengan geram, Ratu Pulau Merah kerah-
kan tenaga dalam. Lalu sambil membentak ga-
rang dia tarik kembali ujung selendang. Dia lagi-lagi terkejut. Bukan karena
berat, namun karena demikian ringannya!
Wuuutt! Selendang merah itu bergerak. Karena tu-
buh Gongging Baladewa berada di atasnya, maka
tak ampun lagi tubuh gemuknya ikut tertarik. Karena tarikan tadi dengan
mengerahkan tenaga da-
lam, maka tak pelak lagi tubuh Gongging Balade-
wa tertarik demikian derasnya, ke arah Ratu Pu-
lau Merah! Ratu Pulau Merah memekik kaget. Namun
sudah terlambat untuk membuat gerakan meng-
hindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuh besar
Gongging Baladewa menghantam tubuhnya!
Bresss! Kedua orang ini sama-sama bergulingan di
atas tanah. Tombak Ratu Pulau Merah mental
dan jatuh menancap di atas tanah!
Ratu Pulau Merah buka kelopak matanya.
Lalu kakinya hendak diangkat untuk menopang
tubuhnya yang berusaha bangkit. Tapi dia terce-
kat. Kakinya seakan tertindih benda berat. Dia
segera gerakan kepala melihat apa yang menye-
babkan kakinya sukar untuk digerakkan. Lagi-
lagi dia tercekat. Kepalanya sulit untuk digerakkan ke atas karena bahu kanannya
tak bisa dige- rakkan. Menoleh, dia tersentak. Sepotong bambu
kecil terlihat berada di atas tangannya dan melintang sampai kakinya. Namun
bukan bambu kecil
itu yang membuat perempuan bermata biru ini
tersentak, melainkan karena di tengah-tengah
bambu itu tampak kepala. Kepala Gongging Bala-
dewa yang menindih tengah-tengah bambu hing-
ga dia tak bisa menggerakkan kaki dan tangan
kanannya. Sambil menahan dadanya yang nyeri aki-
bat tubrukan dengan tubuh Gongging Baladewa
serta menghantam batu, Ratu Pulau Merah ke-
rahkan sisa tenaga dalamnya, lalu tangan kirinya bergerak hendak menghantam
kepala Gongging
Baladewa. "Pecah kepalamu!" desis Ratu Pulau Merah sambil ayunkan tangan kirinya.
Sejengkal lagi tangan kiri Ratu Pulau Me-
rah menghajar kepala Gongging Baladewa, seber-
kas kelebatan merah meliuk dan tahu-tahu men-
jerat tangan Ratu Pulau Merah. Kelebatan merah
yang ternyata selendang itu serentak seakan ditarik ke belakang, hingga tangan
kiri Ratu Pulau
Merah mental. Namun tarikan selendang itu terus menarik.
Krakkk! Terdengar suara berderak. Ratu Pulau Me-
rah terpekik. Bersamaan dengan itu tarikan se-
lendang pada tangan kirinya lepas. Tangan itu luruh lunglai. Urat-urat pada
bahunya putus! Hing-ga meski tangan itu tak penggal namun tak bisa
digerakkan lagi!
Mendengar pekikan, Gongging Baladewa
mengerjap. Tangan kanan kirinya lalu menyelinap ke belakang. Lalu dengan gerakan
yang sulit diikuti mata biasa bisa melenting ke udara. Dan ketika menjejak
kembali, tubuhnya telah ditopang
kedua bambu kecil di ketiaknya. Di tangan kanan tampak menggenggam kipas hitam,
sementara tangan kiri menggenggam keris hitam, dua senja-
ta yang tadi menyelip di pinggang Ratu Pulau Merah! Sepuluh langkah di
sampingnya Dewi
Kayangan tertawa cekikikan sambil menggulung
selendang. Di pinggangnya tampak tombak hitam!
Ratu Pulau Merah kerahkan tenaga agar
tidak pingsan. Lalu perlahan-lahan pula ia bergerak bangkit. Sepasang matanya
yang biru me- mandang tajam pada Dewi Kayangan dan Gongg-
ing Baladewa. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia
melangkah terhuyung-huyung meninggalkan
tempat itu. Sementara itu, Manusia Titisan Dewa yang
masih mencari-cari di mana beradanya Pendekar
Mata Keranjang tampak memaki panjang pendek,
karena dia tak dapat menemukan pemuda yang
dicarinya. "Budak jahanam! Di mana kerbau bunting
itu menyimpannya"!" serapahnya sambil menyibak ilalang. Tiba-tiba sepasang
matanya membe- liak besar. Dua langkah di depannya tampak me-
lingkar sesosok tubuh berpakaian hijau.
Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit.
Di seberang, Dewi Kayangan dan Gonggong Bala-
dewa saling pandang satu sama lain.
"Lalukan sesuatu!" bisik Dewi Kayangan dengan wajah cemas. Sepasang matanya
memperhatikan Manusia Titisan Dewa yang ternyata
telah menemukan sosok Pendekar 108.
Gongging Baladewa tak bergerak juga tak
menyahut, membuat Dewi Kayangan berpaling
padanya dengan agak jengkel, lalu berkata.
"Apa kau tega melihat anak kurang ajar itu putus kepalanya"!"
Gongging Baladewa tetap tak bergeming.


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malah berpaling pun tidak. Membuat Dewi
Kayangan tambah geram.
"Dasar tua edan!" maki Dewi Kayangan, lantas gerakan tangannya hendak kirimkan
pukulan untuk mencegah perbuatan Manusia Titisan
Dewa. Namun baru saja dia tarik tangannya ke
belakang dan hendak dihantamkan, tangan ka-
nan Gongging Baladewa bergerak pegang pun-
daknya. "Tua bangka! Kau mencegahku biar manu-
sia itu leluasa turunkan tangan pada pemuda itu, he..."! Kurang ajar! Ternyata
kau...." "Sabar, Dewi! Lihat apa yang terjadi!" kata Gongging Baladewa dengan mata
memandang lurus ke arah di mana Manusia Titisan Dewa bera-
da. Dengan memaki panjang pendek, Dewi
Kayangan palingkan kepala ke jurusan mana
Gongging Baladewa memandang. Dewi Kayangan
melengak kaget. Sepasang matanya membeliak
menyipit. Di seberang sana tampak Manusia Titisan
Dewa memandang liar pada sosok Pendekar 108.
Lalu dengan tawa mengekeh panjang kedua tan-
gannya bergerak hendak kirimkan pukulan.
Ketika tangan itu setengah jalan, tiba-tiba
sebuah benda hitam panjang dan besar mencuat
dari balik ilalang dan menghambur ke arah Ma-
nusia Titisan Dewa!
Manusia Titisan Dewa berteriak marah.
Pukulannya diurungkan, dan serta-merta kedua
tangannya dirangkapkan untuk menangkap ben-
da yang meluncur ke arahnya.
Tap! Manusia Titisan Dewa terhuyung sejenak
begitu kedua tangannya dapat menyambut benda
hitam panjang yang meluncur ke arahnya. Sepa-
sang matanya lantas meneliti. Tiba-tiba sepasang matanya mendelik angker.
Tubuhnya bergetar keras menahan marah. Sekonyong-konyong benda
hitam panjang yang ternyata adalah sosok si Ja-
rum Neraka yang telah jadi mayat itu dicampak-
kan ke tanah. Kepalanya lantas berputar. Dia sudah tahu
siapa gerangan orang yang sengaja mencegah se-
rangannya dengan melemparkan sosok mayat si
Jarum Neraka. Namun demikian, diam-diam dia
hampir tak percaya.
"Tak kusangka jika si Jarum Neraka bisa
dibuat mampus oleh manusia banci itu! Hmm....
Setan Pesolek. Siapa sebenarnya manusia ini"
Aku baru saja mengenalnya. Tapi aku sungguh
tak menduga jika dia berilmu tinggi. Rupanya dia sengaja menyembunyikan ilmu di
balik sifat ke-banciannya! Apa yang pernah dikatakan guru be-
nar-benar terjadi.... Banyak tokoh yang tampil...!"
batin Manusia Titisan Dewa. Lalu sambil mena-
han gejolak amarah, dia berteriak.
"Manusia banci! Jangan tambah keban-
cianmu dengan tak berani unjukan diri!"
Tak ada suara jawaban.
Sementara itu, di bawahnya Pendekar 108
tersentak kaget dari pingsannya begitu sebuah
benda yang bukan lain sosok mayat si Jarum Ne-
raka yang dicampakkan Manusia Titisan Dewa
menimpa tubuhnya. Dia sejenak berpaling pada
mayat si Jarum Neraka. Mulutnya menganga le-
bar, dan lebih melongo lagi tatkala sepasang ma-
tanya menangkap siapa adanya orang yang kini
berdiri dua langkah di depannya. Dia tak tahu,
apa yang sedang dilakukan Manusia Titisan Dewa
berdiri di sebelahnya dengan mata nyalang berputar. Dan mungkin menduga jika
Manusia Titisan
Dewa sedang mencari sesuatu lalu setelah itu
akan membunuhnya, Pendekar Mata Keranjang
108 segera luruskan kedua kakinya, lalu serta-
merta kakinya diangkat dan digaetkan pada kaki
Manusia Titisan Dewa.
Settt! Bukkk! Manusia Titisan Dewa jatuh terjengkang.
"Budak keparat! Hancur batok jidatmu!" teriak Manusia Titisan Dewa sambil
hantamkan ke- dua tangannya sekaligus pada kepala Pendekar
108. Karena Pendekar 108 masih terluka, apala-
gi jaraknya yang begitu dekat hingga tak ada kesempatan lagi baginya untuk
menghindar dari
hantaman kedua tangan Manusia Titisan Dewa.
"Celaka! Amblas kepalaku...!" keluh Aji sambil pegangi kepalanya.
Sejengkal lagi kedua tangan Manusia Titi-
san Dewa memecah batok kepala Pendekar 108,
tiba-tiba dari balik ilalang menderu angin ken-
cang dan menghantam tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang. Desss...! Sosok tubuh Pendekar 108 mencelat mene-
rabas ilalang dan jatuh bergedebukan delapan
tombak ke samping. Namun hal ini menyela-
matkan kepalanya dari hantaman tangan Manu-
sia Titisan Dewa. Tangan itu terus menerabas dan menghajar tanah. Tanah itu
langsung terbongkar
dan berhamburan ke udara!
"Jahanam! Bangsat!" maki Manusia Titisan Dewa serentak bangkit.
Saat itulah, lima tombak di hadapannya
padang ilalang bergerak menguak, lalu muncul
seseorang dengan menggerak-gerakkan tangan-
nya. Bahu dan pinggulnya pun digerak-gerakkan.
Sementara sebelah matanya mengerling.
"Banci keparat!" hardik Manusia Titisan Dewa lalu berkelebat.
DELAPAN KITA kembali sejenak ke belakang. Menge-
tahui bagaimana tiba-tiba saja si Jarum Neraka
bisa meluncur ke arah Manusia Titisan Dewa da-
lam keadaan tewas. Seperti dituturkan, karena
Setan Pesolek tak setuju dengan apa yang akan
dilakukan Manusia Titisan Dewa, Ratu Pulau Me-
rah serta si Jarum Neraka yang hendak membu-
nuh Pendekar Mata Keranjang, maka Setan Peso-
lek menyingkir agak jauh. Namun karena dia ma-
sih ikut-ikutan ngomong, Manusia Titisan Dewa
akhirnya menyuruh si Jarum Neraka untuk
membungkamnya. Sebenarnya si Jarum Neraka tak senang,
namun karena juga merasa geram dengan Setan
Pesolek, maka dia pun balikan tubuh dan me-
langkah ke arah Setan Pesolek.
Sepuluh langkah di hadapan Setan Peso-
lek, si Jarum Neraka hentikan langkah. Sepasang matanya lurus menatap tajam.
Sementara yang dipandangi acuh tak acuh. Malah sunggingkan
senyum sambil berkaca pada cermin batu putih-
nya. Melihat sikap Setan Pesolek yang seakan
meremehkan, si Jarum Neraka tampak sangat ge-
ram. Kedua tangannya dikembangkan hingga
mengeluarkan suara gemeretak. Otot-otot tan-
gannya menyembul hingga jarum-jarum hitam
yang banyak menancap di kulitnya bergerak-
gerak seakan hendak keluar. Tiba-tiba dia keluarkan bentakan keras.
"Manusia banci! Kau terlalu memandang
remeh orang. Kau tahu, sedang berhadapan den-
gan siapa kali ini"!"
Seakan tidak mendengar bentakan orang,
Setan Pesolek tetap bertingkah seperti semula.
Malah kini sambil berkaca, dia dendangkan lagu.
"Manusia banci! Kau dengar ucapan orang.
Kalau kau tetap bertingkah seperti monyet bu-
duk, jangan menyesal jika tanganku akan meru-
bah bentuk wajahmu!"
"Walah, wajah sudah bagus begini mau di-
rubah bagaimana lagi"! Eh.... Apa katamu tadi"!"
Sejenak Setan Pesolek turunkan batu cermin pu-
tihnya. Lalu kepalanya mendongak ke atas, seo-
lah mengingat-ingat.
"Kalau tak salah kau tadi mengatakan,
apakah aku tahu sedang berhadapan dengan sia-
pa kali ini! Benar...?"
Yang ditanya tidak buka mulut. Hanya se-
pasang matanya memandang liar.
"Kau tak mau jawab tak apa-apa. Tapi aku
akan menjawab pertanyaanmu.... Kalau tak salah
aku sedang berhadapan-hadapan dengan tokoh
rimba persilatan bergelar Jarum Neraka! Benar"!"
kembali Setan Pesolek ajukan pertanyaan. Namun
lagi-lagi si Jarum Neraka tak buka suara.
Setan Pesolek angkat cermin batunya kem-
bali. Sepasang matanya lantas menatap tajam ke
arah batu putih di tangannya. Dari mulutnya ke-
luar suara setengah bergumam, namun masih je-
las di telinga si Jarum Neraka.
"Rejeki, jodoh dan mati ada di tangan Yang Maha di Atas. Tapi semua itu diawali
dengan tanda-tanda. Hmm.... Aku mencium bau tidak sedap
di sini. Bau bangkai manusia! Dan aku merasa
tanah ini bergetar, takdir buruk akan terjadi...."
"Ramalan gila! Siapa percaya pada orang
kelainan sepertimu!" desis si Jarum Neraka.
"Hush! Siapa meramal. Aku bicara, tidak
meramal!" sahut Setan Pesolek lalu luruhkan tangannya kembali.
"Setan Pesolek!" bentak si Jarum Neraka.
"Kau boleh pergi dari sini dengan wajah tak berubah. Tapi kau harus katakan
dahulu, kenapa kau
tak setuju dengan tewasnya pemuda itu"! Apa
hubunganmu dengannya"!"
Setan Pesolek lambaikan tangan kanannya,
mulutnya moncong ke depan.
"Hmm.... Kau sendiri kenapa ingin mem-
bunuh pemuda tampan itu"! Apa hubunganmu
dengannya"!" Setan Pesolek balik bertanya.
"Tikus banci! Ditanya orang balik bertanya!
Wajahmu memang minta dirubah! Rasakan!" hardik si Jarum Neraka sambil angkat
tangannya. "Tunggu...!" seru Setan Pesolek dengan sedikit liukan tubuhnya. Tangannya
bergerak pu- lang balik melambai.
Si Jarum Neraka urungkan niatnya. Sepa-
sang matanya menyengat tajam. Dia tegak me-
nunggu dengan tangan tetap di atas, siap lakukan pukulan.
"Turunkan dulu tanganmu. Aku ngeri...,"
kata Setan Pesolek dengan wajah ketakutan.
Meski geram, akhirnya si Jarum Neraka tu-
runkan juga tangannya.
"Lekas jawab pertanyaanku?" bentak seraya busungkan dada.
"Pemuda itu berwajah tampan, masih mu-
da lagi. Kasihan jika orang seperti dia harus bu-ru-buru masuk tanah. Kau kan
tahu, aku lebih
memilih pemuda itu daripada temanmu yang
bermata biru dan bertubuh montok itu! Hik....
Hik.... Hik...! Kau sendiri kenapa bernafsu sekali untuk membunuhnya?" kembali
Setan Pesolek ajukan pertanyaan.
"Dialah yang menyebabkan kakakku tewas
dengan tubuh terkoyak-koyak!" jawab si Jarum Neraka singkat.
"Hiii... Terkoyak-koyak?" ulang Setan Pesolek dengan gerakan tubuhnya seakan
ngeri. "Siapa kakakmu itu?"
"Ah, kau terlalu banyak tanya! Lagi pula
apa perlunya kau tanya soal itu"!"
"Ya, apa perlunya aku tanya soal itu"!"
ulang Setan Pesolek sambil tengadahkan kepala.
Tiba-tiba dia luruskan kepalanya memandang se-
jenak pada si Jarum Neraka. Lalu mendongak lagi dan berkata.
"Aku ingat! Bukankah kakakmu itu sudah
tewas" Sedangkan aku sekarang mencium bau
bangkai manusia. Jangan-jangan ini takdir bu-
ruk...." "Takdir buruk bagaimana maksudmu"!"
"Orang tolol! Ucapan begitu saja masih tak dapat menangkap artinya!" gumam Setan
Pesolek dengan tersenyum.
"Hei.... Apa kau bilang" Ulangi lagi uca-
panmu!" perintah si Jarum Neraka demi mendengar gumaman Setan Pesolek.
Setan Pesolek sedikit terkejut. Karena dia
menyangka si Jarum Neraka tidak mendengar
gumamannya. Sebab gumaman itu dikeluarkan
sangat pelan. "Kubilang ulangi lagi ucapanmu!" hardik si Jarum Neraka dengan suara keras.
"Orang tolol! Ucapan begitu...," Setan Pesolek tak meneruskan ucapannya karena
saat itu juga si Jarum Neraka telah angkat tangannya.
"Banci jahanam! Berani kau memakiku
orang tolol! Kuhancurkan mulutmu!"
Wuuutt! Serangkum angin dahsyat menderu keras
ke arah Setan Pesolek.
"Haiii...! Kenapa kau menyerangku" Bu-
kankah aku menuruti perintahmu untuk mengu-
langi ucapanku?" kata Setan Pesolek dengan wajah ketakutan. Namun anehnya dia
tak bergerak menyingkir. "Pecah mulutmu!" desis si Jarum Neraka dari seberang begitu melihat Setan
Pesolek tak berusaha menghindar. Bibirnya tersenyum dengan kepala manggut-
manggut. Namun senyuman si Jarum Neraka tiba-
tiba terpenggal. Dia membeliakkan sepasang ma-
tanya. Karena begitu sejengkal lagi pukulan jarak jauhnya menghajar tubuh Setan
Pesolek, pemuda
berparas cantik ini goyangkan tubuhnya. Tiba-
tiba tubuhnya lenyap dari pandangan! Hingga se-


Pendekar Mata Keranjang 20 Takhta Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rangan si Jarum Neraka hanya menghantam an-
gin. "Setan buduk! Siapa sebenarnya manusia satu ini?" batin si Jarum Neraka
seraya putar pandangannya mencari tahu di mana beradanya
Setan Pesolek. Selagi si Jarum Neraka mencari-cari, di be-
lakangnya terdengar suara tawa cekikikan. Dia
cepat putar tubuhnya. Lima langkah di hadapan-
nya tegak Setan Pesolek dengan rapikan rambut-
nya. "Rupanya kau punya ilmu juga, Setan Banci!" ujar si Jarum Neraka dan
kembali hantamkan kedua tangannya. Kali ini dengan tenaga dalam
kuat. Wuuut! Wuuuttt!
Dua gelombang angin keluarkan suara
menggemuruh laksana ombak melesat cepat ke
arah Setan Pesolek.
Setan Pesolek kembali goyang-goyangkan
Pendekar Cacad 4 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Payung Sengkala 3
^