Pencarian

Tembang Maut Alam Kematian 1

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian Bagian 1


TEMBANG MAUT ALAM KEMATIAN Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Tembang Maut Alam Kematian
128 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel SATU HARI itu cuaca cerah sekali. Sang mentari
menunjukkan diri tanpa diiringi sebongkah awan
pun. Angin berhembus semilir, sementara marga
satwa mengalunkan kidungnya masing-masing.
Dalam cuaca yang demikian, seorang anak
laki-laki berusia muda belia terlihat melangkah
melintasi sebuah hutan yang sunyi. Dia menge-
nakan pakaian yang sudah dekil dan robek di sa-
na-sini. Rambutnya yang panjang dibiarkan terge-
rai dan tampak tidak dirawat, hingga rambut itu
kaku dan kempal. Namun demikian wajah anak
ini masih menampakkan ketampanan. Hidungnya
mancung dengan sepasang mata tajam. Alis ma-
tanya tebal dan hitam. Dagunya kokoh meski so-
soknya tidak begitu besar.
Melihat sikapnya yang beberapa kali
menghela napas dalam-dalam serta mengedarkan
pandangannya ke tempat-tempat yang dilewati,
berat dugaan jika anak ini mencari sesuatu dan
tak dapat menemukan yang dicari. Hingga meski
dari mulutnya tak terdengar suara keluhan, na-
mun wajahnya jelas tak dapat menyembunyikan
perasaan kecewa. Dan melihat pakaiannya yang
telah basah oleh keringat serta langkahnya yang
tertatih-tatih, dapat diduga jika dia telah melakukan perjalanan panjang. Namun
demikian, anak yang kira-kira masih berusia dua belas tahun ini termasuk anak yang tabah dan
tegar. Karena meski tubuhnya telah tampak letih bahkan ka-
kinya mengembung dan di sana-sini terlihat baru-
tan merah akibat goresan ranting dan sdtnak be-
lukar yang terinjak, dia tetap melangkah. Dia ba-ru hentikan langkahnya tatkala
hutan sunyi itu
telah terlewati dan kini di hadapannya tampak
sebuah bukit yang terjal dan berbatu-batu.
Untuk beberapa lama si anak ini memper-
hatikan bukit di hadapannya. Tangan kanannya
diangkat dan ditudungkan di kening untuk me-
nangkis silaunya matahari. Setelah agak lama
memperhatikan, kepalanya lantas bergerak ber-
paling ke samping kanan kiri. Sepasang matanya
menyapu berkeliling.
"Ini mungkin tempat yang dinamakan Bu-
kit Tumpang Gede. Hmm.... Benar apa kata
orang, Bukit Tumpang Gede adalah sebuah bukit
yang hanya merupakan batu-batuan tanpa ada
semak belukar serta pohon. Mungkinkah daerah
seperti ini dihuni seseorang...?" si anak tercenung seraya berpikir. Tiba-tiba
parasnya berubah merah padam. Dagunya yang kokoh mengembang
dengan mata sedikit membeliak. Tangan kirinya
mengepal dengan geraham saling beradu, pertan-
da dia menahan gejolak amarah di dadanya. En-
tah karena kesal atau sebagai pelampiasan rasa
marah, kedua kakinya lantas dibanting-banting di atas tanah.
"Bagaimanapun juga, aku harus dapat me-
nemukan orang yang bernama Iblis Gelang Kema-
tian! Seorang tokoh sakti yang kata mendiang
Paman berdiam di bukit ini! Aku harus mene-
muinya dan berguru padanya! Aku tak bisa hidup
terus-terusan dalam caci-maki dan hinaan orang!
Aku tak boleh pasrah terus-menerus tidur dengan
atap langit dan selimut dingin! Semua ini menya-
kitkan! Aku harus dapat merubah semua ini. Dan
jalan satu-satunya, aku harus berilmu tinggi!"
Mungkin karena pegal berpikir sambil ber-
diri di bawah terik matahari, maka tak lama ke-
mudian, dia tampak melangkah mendekati se-
buah batu agak besar lalu duduk bersandar se-
raya terus mengawasi ke arah bukit.
"Ayahanda-Ibunda, saudara-saudaraku te-
lah mati terbunuh. Demikian juga Paman. Kini
aku hidup sebatangkara. Hmm.... Tanpa bekal il-
mu tinggi, aku akan diremehkan orang, bahkan
dengan semena-mena akan dibantai orang, seper-
ti apa yang dialami keluargaku. Tidak! Aku harus jadi seorang berilmu tinggi!
Selain bisa hidup
enak, juga dapat membalas atas orang-orang yang
membantai keluargaku!"
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba dia bang-
kit. Rasa letih serta perih di kakinya seakan lenyap tak terasa, tertindih
semangat yang berko-
bar. "Aku harus segera bertemu dengan Iblis Gelang Kematian! Aku ingin menjadi
orang berilmu tinggi! Aku ingin membalas atas kematian sa-
nak-saudaraku!"
Tanpa mempedulikan sengatan terik mata-
hari, anak laki-laki ini mulai melangkah menaiki
bukit yang memang tak ditumbuhi semak belukar
atau rindang jajaran pohon. Yang terlihat hanya-
lah terjalan batu-batu yang tak teratur serta me-nanjak membentuk sebuah bukit.
Namun begitu anak ini mulai menapak ter-
jalan batu-batu, tiba-tiba awan hitam berarak-
arakan menutupi angkasa. Angin berhembus
kencang. Dan tak lama kemudian gelegar guntur
terdengar bersahutan. Kilat menyambar tiada pu-
tusnya. Bumi mendadak gelap gulita. Dan ketika
kilat menyambar untuk kesekian kalinya yang
kemudian disusul dengan gelegar guntur, hujan
deras menghujam bumi!
"Sialan! Kenapa mendadak saja cuaca be-
rubah" Adakah ini kenyataan dari apa yang dika-
takan orang, juga mendiang Paman, bahwa Bukit
Tumpang Gede mempunyai keanehan-keanehan
yang menyeramkan?" sepasang mata pemuda be-
lia ini liar menyapu ke sekeliling. Tubuhnya telah terlihat mulai menggigil
kedinginan. Namun dia
tetap melangkah menapaki terjalan batu-batu.
Dan mungkin karena matanya tak dapat lagi me-
nyiasati keadaan di depannya, dia melangkah se-
raya merambat perlahan-lahan dari terjalan batu
ke terjalan batu lainnya. Hal ini dia lakukan karena selain cuaca gelap,
ternyata ter-jalan-terjalan batu itu sangat licin akibat percikan-percikan tanah
yang muncrat terkena hujan.
Tiba-tiba si anak hentikan langkahnya. Se-
raya kedua tangan memegangi terjalan batu dan
kaki kiri bersitekan pada lamping batu agak besar
agar supaya dapat menopang tubuh, sepasang
matanya yang tajam memandang lurus ke depan
dengan tak berkesiap. Samar-samar dari puncak
bukit ia menangkap sebuah cahaya yang berge-
rak-gerak. Cahaya itu kadang-kadang tampak je-
las dan sesekali lenyap.
Si anak tidak meneruskan langkah. Dia
seakan menunggu cahaya itu, karena cahaya itu
bergerak ke arahnya. Namun mendadak saja anak
itu terperangah kaget. Bahkan jika saja pegangan kedua tangannya tidak kukuh,
niscaya ia akan
terpeleset jatuh.
Cahaya yang tadi bergerak-gerak ternyata
telah ada lima langkah di depannya! Dan cahaya
itu adalah sebuah nyala obor. Namun bukan nya-
la obor itu saja yang membuat si anak terperan-
gah kaget. Ternyata obor itu dibawa oleh seorang perempuan tua renta.
Ada keanehan yang membuat si anak sege-
ra membeliakkan sepasang matanya. Meski saat
itu hujan turun dengan derasnya, namun sekujur
tubuh si nenek tidak basah! Dan ternyata obor itu tidak digenggam tangannya,
melainkan ditancapkan masuk ke bahu sebelah kanannya, hingga
pakaiannya terlihat berlobang.
Nenek ini mengenakan pakaian mewah.
Pakaian atasnya merupakan sebuah baju panjang
berwarna hitam terbuat dari sutera. Pakaian ba-
wahnya berwarna hitam kembang-kembang putih
juga dari bahan sutera. Rambutnya telah memu-
tih seluruhnya dan panjang hingga hampir betis.
Raut wajahnya sedikit lonjong dengan sepasang
mata besar dan tajam berkilat. Hidungnya man-
cung dengan bibir merah tanpa polesan. Pada ke-
dua tangannya terlihat melingkar beberapa gelang yang berwarna kuning keemasan.
Meski si anak terperangah kaget, namun ia
segera buka mulut berteriak. Pertanda bahwa ia
adalah seorang anak pemberani, karena siapa
pun juga akan merasa kecut jika melihat tampang
angker si nenek.
"Nenek tua! Siapa kau..." Jangan mengha-
langi langkahku jika tak ingin kulempar dengan
batu-batu bukit ini!"
Perempuan tua itu keluarkan dengusan
dan menyeringai buruk. Sepasang matanya liar
memperhatikan ke arah si anak. Dalam hati, di-
am-diam dia berucap.
"Menurut isyarat yang kuperoleh, rupanya
anak ini yang bakal meneruskan langkahku!
Hmmm.... Aku gembira sekali. Dia ternyata anak
pemberani dan melihat paras wajahnya, dia juga
seorang anak cerdik. Pandangan matanya tajam
dan dingin, pertanda menyembunyikan kekeja-
man serta kelicikan! Memang, anak demikianlah
yang kuharapkan!" si nenek segera dongakkan kepala menatap curahan air hujan
yang sejengkal menyibak di atas kepalanya.
"Orang tua! Lekas minggirlah! Aku mau le-
wat!" teriak si anak seraya mengencangkan pegangannya pada terjalan batu dan
hendak me- rambat ke atas.
Meski tampang si nenek berubah tatkala
diusir, namun bibirnya yang merah terlihat sedi-
kit sunggingkan senyum. Dia lalu berucap.
"Bocah kecil! Cuaca begini gelap dan me-
nakutkan, ke mana kau hendak pergi..."!"
Si anak urungkan niat merambat. Dengan
mata memandang tajam, ia berkata. "Aku tak
mau mengatakan pada orang yang belum kuke-
nai! Katakan dahulu siapa kau adanya!"
Perempuan tua tertawa pendek. Pandangan
matanya beralih pada anak laki-laki di depannya.
"Anak kecil kurang ajar! Kau tak berhak
menanyaiku! Justru akulah yang akan tanya pa-
damu. Jika kau tak menjawab, kau akan ku ten-
dang biar tubuhmu jatuh ke bawah sana! Kau
dengar"!"
Walau sedikit keder mendengar ancaman
orang, karena sadar jika sampai jatuh ke bawah
bukan hanya tubuhnya saja yang mengalami lu-
ka, namun lebih dari itu segala rencananya ingin menuntut ilmu akan hilang. Tapi
anak ini rupanya pandai menyembunyikan perasaan. Den-
gan tanpa alihkan pandangan bahkan tersenyum
sinis, dia berkata.
"Orang tua! Aku tak mau diancam. Kalau
kau memang ingin menendangku, lakukanlah!
Tapi jangan menyesal jika kau akan benjol-benjol kulempar dengan batu-batu ini!"
"Begitu?" si nenek tertawa panjang hingga obor di bahunya berguncang-guncang
mengikuti gerakan bahunya.
"Kita buktikan siapa nanti yang benjol-
benjol. Sekarang katakan siapa namamu dan kau
dari mana hendak ke mana?"
Si anak wajahnya sedikit merah mengelam.
Dengan setengah berteriak dia berkata.
"Sudah kukatakan, aku tak mengatakan-
nya pada orang yang belum kukenai! Apa kau ti-
dak dengar"!"
Perempuan tua gelengkan kepala perlahan.
Tiba-tiba tangan kirinya bergerak pelan.
Wuttt! Serangkum angin deras menghantam ke
depan. Si anak merasakan tubuhnya bergetar,
dan tak lama kemudian pegangan tangannya pa-
da terjalan batu goyah, demikian juga tekanan
kakinya. Kejap kemudian pegangannya lepas dan
tubuhnya perlahan melorot ke bawah. Karena ter-
jalan batu-batu itu sangat licin hingga tanpa ampun lagi tubuhnya melorot dengan
deras, bahkan terlihat berguling-guling menghantam terjalan ba-tu-batu bukit. Ketika gulingan
tubuhnya terhenti karena tertahan terjalan batu besar, dia merasakan perih di
hampir sekujur tubuhnya. Dan keti-
ka dia bergerak bangkit dan melirik, dia terperanjat. Tangan dan kakinya tampak
lecet-lecet. Bah-
kan ketika tangannya meraba keningnya, terasa
tiga benjolan ada di situ!
"Keparat!" maki si anak seraya tertatih-tatih bangkit. Kedua tangannya langsung
meraup

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu batu kecil yang berserakan. Dan serta-merta tubuhnya diputar, kedua
tangannya mengayun
melemparkan batu-batu di tangannya.
Namun si anak terkejut. Nyala obor ternya-
ta telah tiada. Namun dia tetap saja lemparkan
batu-batu di tangannya. Dia lantas menunggu.
Dia berharap ada suara seruan tertahan pertanda
salah satu lemparan batunya mengenai sasaran.
Tapi harapan si anak tidak terwujud, ma-
lah kejap itu juga terdengar desingan dari kegelapan. Dia membeliakkan sepasang
matanya ingin tahu apa yang mendesing dan menuju ke arah-
nya. Betapa terlengaknya dia, karena suara de-
singan itu ternyata lesatan batu-batu yang tadi
dilemparkannya. Namun kesadarannya terlambat.
Sebelum dia sempat menghindar, batu-batu itu
telah menghujam tubuhnya. Anehnya, tak satu
pun batu yang meleset dari menghajar tubuhnya!
Si anak keluarkan jeritan tertahan. Karena
meski batu-batu itu tidak begitu besar, namun
begitu menghujam, rasanya seakan batu besar!
Hingga tak lama kemudian, tubuhnya limbung
dan jatuh bersandar pada batu besar. Kepalanya
serta bibirnya terlihat mengeluarkan darah. Un-
tung batu yang menghajar wajahnya tidak begitu
besar, jika tidak, bukan mustahil wajahnya akan
hancur! Selagi si anak terhenyak dalam kesakitan,
terdengar suara tawa mengekeh di sampingnya.
Berpaling, dia terkesiap. Si nenek telah berdiri empat langkah di sampingnya
dengan kacak pinggang. Obor di bahunya terlihat bergoyang-
goyang. "Bagaimana" Apakah benjolan itu minta di-
tambah?" berkata si nenek tanpa memandang.
Si anak geser tubuhnya menjauh. Tubuh-
nya terlihat menggigil, selain karena kehujanan, juga karena hatinya sedikit
takut. Dia sadar, ucapan orang tua di sampingnya tidak main-main.
"Nenek berhati kejam! Ancamannya tidak
main-main. Terpaksa aku harus menjawab perta-
nyaannya, agar aku segera sampai tujuan!" membatin si anak.
"He! Kalau kau tetap membisu tak mau ja-
wab pertanyaan orang, tubuhmu akan kuseret ke
atas dan kugelindingkan dari sana!" bentak si nenek. Meski dalam hati memaki-
maki, akhirnya si anak buka mulut.
"Aku adalah Manding Jayalodra! Anak
bungsu dari Panglima Perang Kerajaan Dhaha!"
Perempuan tua itu sedikit terkejut men-
dengar ucapan si anak.
"Anak seusia dia tidak mungkin bicara
mengada-ada. Dan ini cocok dengan isyarat yang
kuperoleh, bahwa manusia yang kelak bakal me-
neruskan cita-citaku adalah seorang anak pembe-
sar kerajaan!" Namun demikian, si nenek tak begitu saja percaya. Dia lantas
menanyakan siapa
ayah serta ibu juga saudara-saudaranya. Ketika
anak yang menyebutkan namanya Manding Jaya-
lodra mengatakan siapa nama ayah, ibu serta
saudara-saudaranya, si nenek manggut-manggut
seraya tersenyum.
"Lantas kau hendak ke mana" Sebagai
anak seorang panglima tidak mungkin kau ke-
luyuran sendirian! Apalagi jarak antara Dhaha
dan Bukit Tumpang Gede tidak dekat!"
Manding Jayalodra luruskan pandangan.
Wajahnya tampak mengeras.
"Orang tua! Apa kau tak tahu" Panglima
Perang Kerajaan Dhaha telah tewas terbunuh.
Bahkan juga kerabat-kerabatnya!"
"Kau sendiri...?" si nenek ajukan pertanyaan. Sejenak Manding Jayalodra terdiam
dengan kepala mendongak, hingga wajahnya tercurahi air
hujan. Setelah napasnya sesak menahan cucuran
air hujan dia kembali luruskan kepalanya me-
mandang si nenek yang tegak menunggu jawa-
ban. "Waktu terjadi pembantaian atas keluargaku, aku berhasil diselamatkan oleh
salah seorang pamanku. Lantas aku hidup bersama Paman.
Namun karena aku masih menjadi orang buruan,
Paman menyuruhku untuk hidup dengan me-
nyamar. Sejak saat itulah, aku hidup sebagai
orang biasa. Dan hidupku makin sengsara ketika
Paman akhirnya juga tewas. Aku lantas hidup
luntang-lantung, seperti seorang pengemis! Hidup dengan tidur beralaskan tanah
dan berselimut angin!" "Hmm.... Mengenaskan. Lalu ke mana kau hendak pergi"!"
"Mendiang Paman pernah mengatakan pa-
daku, bahwa di Bukit Tumpang Gede, berdiam
seorang sakti. Aku ingin menemuinya sekaligus
berguru padanya! Setelah aku menjadi orang be-
rilmu tinggi dan sakti, akan kuhancurkan orang-
orang yang membantai keluargaku! Mereka tak
akan kusisakan satu pun!" tangan Manding Jayalodra mengepal. Wajahnya merah
padam. Da- gunya yang kokoh membatu.
"Kau juga seorang pendendam! Bagus, se-
gala sifat itu yang kubutuhkan! Meski semua
orang tahu, Panglima Perang Kerajaan Dhaha di-
bantai karena telah menyusun kekuatan hendak
berbuat makar pada kerajaan!" si nenek membatin. Untuk beberapa saat lamanya,
kedua orang ini saling diam. Namun tak lama kemudian Mand-
ing Jayalodra berkata.
"Aku telah mengatakan siapa diriku. Seka-
rang jangan halangi lagi perjalananku! Aku harus segera bertemu dengan orang
sakti itu!"
Si nenek angguk-anggukkan kepala. Meli-
hat hal ini, Manding Jayalodra hendak mulai me-
langkah naik kembali. Namun gerakannya terta-
han tatkala didengarnya si nenek berkata.
"Tunggu! Sebelum kau meneruskan men-
daki, katakan padaku, siapa nama pamanmu itu!"
Meski dengan paras jengkel, namun Mand-
ing Jayalodra buka suara.
"Candrik Raturandang!"
Si nenek anggukkan kepala. "Hmm.... Can-
drik Raturandang. Tokoh silat golongan hitam
yang pernah merajalela yang bergelar 'Si Penyebar Maut'. Aku tidak heran jika
anak ini pemberani
dan pendendam, ini buah didikan pamannya!
Dengan demikian, aku hanya tinggal memupuk-
nya...," lalu dia berpaling pada Manding Jayalodra dan berkata.
"Kalau mau kunasihati, urungkan niatmu
ke puncak bukit untuk menemui orang yang kau
sebut sakti itu! Keadaan terlalu gelap dan jalanan licin! Belum lagi sambaran
kilat dan gelegar guntur yang siap menggemuruh. Lebih baik kau
kembali dan terimalah apa adanya hidup!"
Secepat kilat Manding Jayalodra palingkan
wajahnya pada si nenek.
"Orang tua! Jangankan hanya petir dan
guntur serta jalan licin, lautan api pun akan kua-rungi! Aku tak mau hidup
sebagai pengemis! Di-
hina serta dicaci maki! Lebih dari itu, aku ingin membalas atas kematian saudara
kerabatku!"
Si nenek tertawa panjang.
"Kalau itu kehendakmu, silakan teruskan!
Aku hanya mengingatkan!" habis berkata begitu dia melirik pada Manding Jayalodra
yang tak perdengarkan ucapannya dan mulai melangkah
mendaki dengan tertatih-tatih.
"Semangatnya besar dan tak kenal menye-
rah! Hmm.... Anak yang kuinginkan!"
"Perempuan tua bangka cerewet! Banyak
omong tak karuan! Tanya segala macam! Jika ti-
dak berjumpa dengannya mungkin aku telah
sampai puncak bukit! Tapi.... Dari mana dia"
Apakah dia juga baru saja menemui orang sakti
yang di katakan Paman itu" Tololnya aku, kenapa
aku tidak tanya?" Manding Jayalodra menoleh ke belakang.
Manding Jayalodra tersirap darahnya seke-
tika. Perempuan tua pembawa obor tak ada di
tempatnya semula, padahal dia baru melangkah
dua tindak! Seakan tak percaya, Manding Jayalo-
dra menyapukan pandangan berkeliling dengan
menunggu kilatan petir. Dan saat kilat menyam-
bar, dia baru yakin jika perempuan itu tidak ada di tempat itu!
"Sialan! Ke mana minggatnya orang tua
itu" Jangan-jangan dia hantu penunggu bukit
ini!" tengkuknya merinding. Namun dia segera balikkan tubuh dan meneruskan
langkah meski tak
jarang sepasang matanya melirik ke samping ka-
nan dan kiri. "Keparat! Kalau saja tidak demi untuk
membalas dendam, aku ingin rasanya turun
kembali!" omel Manding Jayalodra seraya terus melangkah dengan merambat pelan-
pelan. Setelah melakukan perjalanan yang cukup
berat, bahkan tak jarang harus berputar untuk
menghindari lereng yang tinggi, Manding Jayalo-
dra akhirnya tiba juga di puncak bukit.
Begitu tubuhnya mencapai puncak bukit
yang ternyata merupakan daratan berbatu, Mand-
ing Jayalodra segera hempaskan tubuhnya. Mele-
paskan kepenatan dan keperihan di sekujur tu-
buhnya. Namun ada keanehan terjadi saat bersa-
maan sampainya Manding Jayalodra tiba di pun-
cak bukit. Hujan tiba-tiba hentikan curahannya,
guntur tidak lagi terdengar menggelegar. Kilat tak menyambarkan sinarnya dan
arak-arakan awan
hitam bergerak memudar hingga tak lama kemu-
dian cuaca berubah terang.
"Edan! Cuaca membaik lagi begitu perjala-
nan telah sampai!" rutuk Manding Jayalodra seraya arahkan pandangan ke sebelah
barat. Ter- nyata matahari telah hampir tenggelam, namun
pancaran sinar merahnya masih mampu mene-
rangi ke angkasa.
Manding Jayalodra lalu arahkan pandan-
gannya mengelilingi puncak bukit. Dia terkejut.
Di situ hanya tampak batu-batu tanpa sebuah
bangunan pun! "Apa mendiang Paman tidak berkata dus-
ta" Di sini tak kulihat tempat yang pantas dihuni oleh manusia!"
Selagi Manding Jayalodra merenung, tiba-
tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang. Me-
lirik ke samping, dari mana suara tawa bersumb-
er, dia terlengak. Bahkan tubuhnya yang masih
menggelosoh digeser ke belakang dengan mata
mendelik lebar.
"Dia...!" seru Manding Jayalodra begitu mengenali siapa adanya orang yang
mengeluarkan tawa dan kini berdiri di atas sebuah batu
agak besar tanpa memandang ke arahnya.
"Gila! Bagaimana dia tahu-tahu telah sam-
pai di sini" Jangan-jangan dia memang hantu
bukit yang sengaja menggodaku!" kembali tengkuk Manding Jayalodra dingin.
Selagi Manding Jayalodra bengong tak tahu
apa yang harus diperbuat atau diucapkan, sosok
yang mengeluarkan tawa yang ternyata perem-
puan tua yang ditemui saat mendaki bukit buka
suara. "Manding Jayalodra! Semangatmu besar!
Aku suka itu!"
Manding Jayalodra bergerak bangkit meski
tubuhnya masih dirasa seakan remuk. Sepasang
matanya memandang lekat-lekat ke arah orang
tua. "Nenek tak dikenal! Siapa sebenarnya, dan apa maksudmu mengikuti
perjalananku?"
Yang ditegur kembali keluarkan tawa pan-
jang. "Siapa bilang aku mengikuti perjalanan-mu" Pasang telingamu baik-baik! Ini
adalah tem- pat tinggalku!"
Manding Jayalodra surutkan langkah dua
tindak. Sepasang matanya makin melotot besar.
Tiba-tiba dia melangkah maju.
"Jadi, apakah kau yang bergelar Iblis Ge-
lang Kematian" Penghuni Bukit Tumpang Gede
ini"!" "Aku telah sebutkan bahwa ini adalah tempat tinggalku. Jadi tidak usah
kukatakan siapa
diriku!" Manding Jayalodra tercenung sejenak. Da-
lam hati diam-diam dia berucap.
"Hmm.... Jadi dialah manusia yang berge-
lar Iblis Gelang Kematian. Orang yang kucari!' dia lantas melangkah mendekat.
Sejenak ditatapnya
orang tua di hadapannya yang ternyata bukan
lain adalah Iblis Gelang Kematian penghuni Bukit Tumpang Gede. Seorang tokoh
sakti yang namanya tak asing lagi bagi rimba persilatan. Kare-na semasa malang
melintangnya di arena rimba
persilatan banyak tokoh-tokoh sakti berilmu ting-gi baik dari golongan hitam
maupun putih yang
berhasil dibuatnya tewas!
"Jika begitu, aku tengah berhadapan den-
gan tokoh sakti bergelar Iblis Gelang Kematian?"
kata Manding Jayalodra dengan hanya sedikit
anggukan kepalanya.
Melihat sikap Manding Jayalodra yang
hanya menganggukkan sedikit kepalanya meski
terhadap orang yang hendak diharapkan menjadi
gurunya, Iblis Gelang Kematian sedikit geram dan jengkel. Namun hal itu menambah
kesukaan tokoh tua ini pada Manding Jayalodra.
"Hmm.... Sikapnya yang terlalu meman-


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang sebelah mata pada orang, menambah keya-
kinanku bahwa memang anak inilah yang diisya-
ratkan itu!"
"Guru Iblis Gelang Kematian! Kuharap kau
sudi menerimaku sebagai murid!" Manding Jayalodra berkata dengan memanggil Guru,
membuat Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh.
"Anak lancang! Siapa yang telah mengang-
katmu sebagai murid hingga kau berani memang-
gilku Guru?"
Manding Jayalodra terdiam. Setelah mena-
rik napas dalam-dalam, dia berkata.
"Kau memang belum menerimaku sebagai
murid. Namun aku telah mengangkatmu sebagai
guru!" Tawa Iblis Gelang Kematian semakin keras dan panjang.
"Kalau aku tak menginginkanmu menjadi
murid..."!" Iblis Gelang Kematian ajukan pertanyaan di sela suara tawanya.
"Kau harus mau! Jika tidak, aku akan
mencari guru yang lebih sakti daripadamu. Dan
kau termasuk deretan nama yang kelak akan ku-
basmi!" "Hi... hi... hi...! Ternyata kau juga pandai mengancam! Terus terang segala
sikapmu itu kusuka. Dan aku memang membutuhkan seorang
murid! Namun bukan berarti tanpa syarat jika
kau ingin menjadi muridku!"
Mungkin karena gembira mendengar uca-
pan Iblis Gelang Kematian, serta-merta Manding
Jayalodra jatuhkan diri dan berkata.
"Katakan segala syaratmu! Semua akan
kujalani!"
Iblis Gelang Kematian gerakkan kepalanya
menggeleng perlahan.
"Aku akan mengatakan syarat itu jika kau
telah mempelajari segala ilmu yang akan kuberi-
kan padamu! Jika nantinya kau menolak sya-
ratku, kau akan kubunuh dengan tanganku sen-
diri! Kau mengerti..."!"
Meski dalam hati masih penuh dengan rasa
heran atas ucapan Iblis Gelang Kematian, akhir-
nya Manding Jayalodra anggukkan kepala.
"Bagus! Sekarang ikuti aku!" Iblis Gelang Kematian tekankan kaki kirinya pada
batu di ba-wahnya. Terdengar suara berderit bergeseknya
dua batu. Manding Jayalodra melangkah mendekat.
Ternyata di samping batu tempat Iblis Gelang
Kematian berdiri tampak sebuah lobang mengan-
ga. Tanpa berpaling lagi, Iblis Gelang Kematian
melesat masuk. Manding Jayalodra sejenak men-
gawasi lobang. Karena cuaca sudah mulai gelap,
maka matanya hanya menangkap lobang yang hi-
tam pekat. Sejurus anak laki-laki ini terlihat bimbang. Namun mengingat kata-
kata perintah Iblis
Gelang Kematian yang menyuruhnya ikut, akhir-
nya dia terjunkan diri ke dalam lobang meski
dengan tubuh gemetar dan kuduk merinding ser-
ta kedua mata dipejamkan rapat-rapat!
DUA SANG mentari telah jauh menggelincir dari
titik tengahnya, dan kini tengah siap hendak ma-
suk ke tempat peraduannya. Cahayanya yang pa-
nas menyengat telah berubah ditindih dingin uda-
ra senja yang merambat datang. Dan bersamaan
dengan tenggelamnya sang penerang bumi, di
ufuk timur terlihat sang rembulan keluar dari lin-tasan awan putih. Hingga meski
malam telah menjelang, namun dataran bumi tampak terang,
apalagi saat ini bulan menginjak hari kelima be-
las. Di arah selatan, diterangi cahaya rembulan purnama, Bukit Tumpang Gede
tampak menju-lang. Terjalan-terjalan batu-batunya terlihat berwarna kuning
kemerahan. Di puncak bukit inilah
pada sembilan tahun yang silam Manding Jayalo-
dra, seorang anak Panglima Perang Kerajaan
Dhaha melakukan perjalanan dan akhirnya ber-
temu dengan Iblis Gelang Kematian yang kemu-
dian diangkatnya menjadi guru.
Di tengah dataran puncak bukit, tampak
sebuah batu besar yang di sebelahnya terdapat
lobang menganga. Jika dilihat sepintas, orang tidak akan menduga jika di dalam
lobang itu ter-
dapat penghuninya, karena selain lobang itu
hanya sebesar tubuh manusia biasa, lobang itu
juga terlihat gelap.
Lain apa yang terlihat dari atas, lain pula
apa yang ada di dalam. Ternyata lobang itu
menghubungkan dengan sebuah ruangan besar
yang dinding serta langit-langitnya terbuat dari batu-batu bukit berwarna putih.
Di pojok ruangan tampak sebuah nyala obor yang ditancapkan
begitu saja pada dinding batu, hingga ruangan itu terang-benderang.
Di tengah ruangan, dua orang terlihat du-
duk saling berhadapan. Yang satu adalah seorang
perempuan yang usianya telah lanjut. Rambutnya
putih dan panjang hingga tatkala dia duduk,
rambut itu bergeraian di lantai ruangan. Sepa-
sang matanya besar dengan bibir merah. Pada
kedua tangannya melingkar beberapa gelang ber-
warna kuning keemasan. Sedangkan satunya lagi
adalah seorang pemuda berusia kira-kira dua pu-
luh satu tahun. Parasnya tampan dengan dada
bidang menandakan jika tubuhnya tegap. Sepa-
sang matanya tajam bersinar, dagu kencang ko-
koh, serta rambut panjang sebahu dengan otot-
otot tangan tampak bertonjolan.
Meski duduk berhadap-hadapan, namun
dari keduanya tak terdengar salah seorang di an-
taranya membuka suara. Bahkan sepasang mata
perempuan tua di hadapan sang pemuda terpe-
jam setengah membuka. Sementara si pemuda
tak kesiap memandangi orang tua di hadapannya.
"Sialan! Sampai kapan aku harus menung-
gu dia terjaga?" sang pemuda membatin seraya lepaskan napasnya panjang-panjang
seakan melampiaskan rasa kecewa. Namun demikian, ia tak
hendak beranjak dari hadapan si orang tua.
Namun setelah ditunggu agak lama, si
orang tua tetap pada sikapnya semula, sang pe-
muda tak dapat menahan sabar. Dagunya mulai
tampak terangkat dengan mata makin berkilat
mendelik. "Keparat! Dia menyuruhku ke sini. Setelah
sampai, matanya terpejam dan mulutnya menga-
tup. Apa maksudnya" Jika saja tidak meman-
dangnya sebagai guru sudah tentu akan kurobek
mulutnya!" membatin sang pemuda dengan paras merah padam.
Sesaat kemudian si pemuda yang bukan
lain adalah Manding Jayalodra buka sedikit mu-
lutnya hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak
ada suara yang terdengar dari mulutnya hendak
mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara
yang terdengar dari mulutnya. Dia tampak bim-
bang. Akhirnya dia gerakkan kepala memandang
ke samping. Dahinya mengernyit seakan sedang
memikirkan sesuatu. Lantas tak berselang lama,
dia kembali pandangi orang tua di hadapannya
yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.
Mulutnya kembali bergerak membuka. Namun la-
gi-lagi suara tak terdengar. Setelah menarik na-
pas dalam-dalam, dia membatin.
"Peduli setan! Aku harus bertanya, apa
maksudnya dia memanggilku!" Manding Jayalo-
dra ambil keputusan. Lalu dia buka mulutnya
berkata. "Guru! Tentunya ada sesuatu yang sangat
penting hingga kau memanggilku dari tempat la-
tihan. Harap kau segera mengatakan kepentin-
ganmu!" Manding Jayalodra menunggu. Namun
orang yang ditegur tetap diam seperti semula.
Bahkan membuka matanya untuk memandang
pun tidak, membuat Manding Jayalodra parasnya
makin mengeras, dan matanya makin melotot
angker. "Guru! Kurasa kau dengar ucapanku. Ha-
rap kau suka menjawab! Atau kalau memang tak
ada perlu, aku akan meneruskan latihan!" kembali Manding Jayalodra berkata,
malah kali ini suaranya sedikit dikeraskan.
Iblis Gelang Kematian perlahan-lahan buka
kelopak matanya. Bibirnya bergerak komat-kamit.
Sejenak ditatapnya Manding Jayalodra, setelah
menarik napas dalam-dalam dia berkata.
"Manding Jayalodra! Malam ini adalah ber-
tepatan dengan seratus delapan purnama kau be-
rada di puncak Bukit Tumpang Gede. Seratus de-
lapan purnama kau telah belajar ilmu padaku.
Dan rasa-rasanya, seluruh ilmuku telah kutu-
runkan padamu! Dan dirimu kini bukan lagi
Manding Jayalodra pada sembilan tahun silam.
Kau telah menjadi seorang pemuda dengan ilmu
tinggi! Tapi ingat, kau harus jalankan apa yang
kita ikrarkan bersama! Kau harus musnahkan
manusia-manusia yang tidak sealiran dengan ki-
ta! Tidak peduli dari golongan mana manusia itu
adanya! Kau ingat itu"!"
Manding Jayalodra anggukkan kepala.
"Aku ingat, Guru! Dan segala petunjukmu
akan kulakukan!"
Iblis Gelang Kematian tersenyum puas. Ke-
palanya manggut-manggut. Namun sesaat kemu-
dian kepalanya bergerak ke atas. Dari mulutnya
terdengar ucapan.
"Manding! Aku memang ada perlu menyu-
ruhmu datang...," sejenak Iblis Gelang Kematian hentikan ucapannya, sementara
Manding Jayalodra diam menunggu dengan mata tak kesiap.
"Malam ini, adalah terakhir kau berada di
sini. Bekalmu untuk malang melintang di rimba
persilatan kuyakin telah lebih dari cukup! Namun demikian, setelah turun dari
Bukit Tumpang Gede
ini kau harus berhati-hati pada beberapa orang
yang kemungkinan besar akan menjadi pengha-
lang besar bagi rentangan sayapmu. Kau harus
waspada jika bertemu dengan mereka!"
"Guru! Sebutkan siapa saja mereka itu!"
sahut Manding Jayalodra seakan tak sabar,
membuat Iblis Gelang Kematian tersenyum.
"Dengar baik-baik! Orang pertama yang ha-
rus kau waspadai dan kalau perlu segera kau
musnahkan adalah seorang pemuda bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108. Dialah pemuda
yang saat ini menjadi momok bagi orang golongan
hitam. Dia adalah murid tunggal seorang sakti
dari Karang Langit yang berjuluk Wong Agung.
Selain berkepandaian tinggi, Pendekar Mata Ke-
ranjang mempunyai senjata mustika ciptaan Em-
pu Jaladara yaitu sebuah kipas berwarna ungu.
Lain daripada itu, kabarnya dia telah pula berhasil mendapatkan sebuah arca yang
beratus tahun menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persilatan.
Jadi dapat kau bayangkan bagaimana hebatnya
pemuda itu! Tapi kau tak usah berkecil hati,
kuyakin kau mampu menghadapinya. Hanya saja
dibutuhkan beberapa muslihat untuk menun-
dukkan orang seperti dia! Hal itu kurasa kau bisa mengaturnya sendiri!"
"Bagaimana aku dapat menemukan manu-
sia bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 itu?"
Manding Jayalodra ajukan pertanyaan. Wajahnya
tampak makin merah padam, apalagi tatkala di-
dengarnya bahwa si pemuda berilmu tinggi dan
memiliki senjata mustika.
"Hmm.... Orang seperti dia gampang-
gampang susah menemukannya. Hanya satu hal
yang harus kau lakukan jika kau ingin segera
bertemu dengannya!"
"Katakan apa yang harus kulakukan!" ujar Manding Jayalodra.
Sejenak Iblis Gelang Kematian menghela
napas dalam-dalam. Perasaan lega menyelimuti
perasaannya. Dia diam-diam bersyukur memilih
orang yang tepat.
"Hmm.... Anak ini sepertinya tak sabar. Si-
fatnya yang tidak ingin diungguli tampak jelas...,"
lalu dia berkata.
"Muridku! Kalau kau bisa membuat kege-
geran, apalagi berhasil membunuh tokoh atas,
baik golongan hitam lebih-lebih golongan putih,
maka tanpa kau cari, Pendekar 108 akan gen-
tayangan mencarimu!"
Manding Jayalodra anggukkan kepala, lalu
berkata kembali.
"Selain Pendekar Mata Keranjang siapa lagi
orang yang menurut Guru akan menjadi pengha-
lang ku?" "Kedua guru Pendekar 108. Mereka adalah
Wong Agung dari Karang Langit serta kakak se-
perguruannya Selaksa. Namun berat dugaan ke-
dua orang ini telah tidak mau melibatkan diri dalam rimba persilatan. Mereka
telah memikulkan
tugas pada muridnya Pendekar 108. Namun de-
mikian kau masih harus waspada. Tidak mustahil
orang seperti mereka mendadak muncul!" Iblis Gelang Kematian hentikan
keterangannya sejenak. Setelah mendehem beberapa kali dia melan-
jutkan. "Orang yang harus kau waspadai selanjutnya adalah seorang pemuda
bergelar Malaikat


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berdarah Biru. Kabarnya pemuda ini dahulu per-
nah mendapatkan kipas hitam pasangan kipas
milik Pendekar Mata Keranjang. Namun kabar se-
lanjutnya, pemuda ini berhasil dikalahkan Pende-
kar 108 dan kipasnya dirampas! Pemuda itu
hingga sekarang tak jelas lagi kabar beritanya.
Entah masih hidup atau sudah tewas. Namun ji-
ka kenyataannya nanti dia masih hidup, dekati
pemuda itu! Orang yang harus kau waspadai se-
lanjutnya adalah seorang pemuda seusiamu. Dia
bergelar Gembong Raja Muda. Seorang bekas mu-
rid Ageng Panangkaran, seorang tokoh golongan
putih yang pernah masyhur pada zamannya. Na-
mun sekarang ini kudengar Gembong Raja Muda
berguru pada orang kerdil bernama Bawuk Raga
Ginting. Seperti halnya Malaikat Berdarah Biru,
pemuda ini kabarnya juga pernah dibuat babak
belur oleh Pendekar 108. Kalau bisa orang-orang
seperti ini harus segera kau rangkul. Orang yang pernah sakit hati seperti
mereka mudah untuk
diperalat. Nah, kau harus dapat gunakan kele-
mahannya!"
Untuk kesekian kalinya kepala Manding
Jayalodra bergerak mengangguk.
"Muridku!" kata Iblis Gelang Kematian melanjutkan keterangannya.
"Selain tokoh yang kusebutkan di atas ten-
tunya masih banyak tokoh lain yang perlu kau
waspadai. Di antaranya adalah Putri Tunjung
Kuning. Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Puspa
juga tokoh-tokoh tua yang kabarnya kini muncul
kembali dan terlalu banyak jika disebut satu persatu. Hanya saja, jika kau
melakukan semua pe-
tunjuk yang kuberikan selama ini, kurasa kau tak akan kesulitan menghadapi
mereka! Perlu kuingatkan sekali lagi, ilmu tinggi tidak ada gunanya tanpa
disertai kecerdikan yang dibaur dengan kelicikan! Kau mengerti?"
Manding Jayalodra anggukkan kepalanya.
"Bagus! Malam ini tiba saatnya bagimu
menghirup udara luar bukit! Pergilah dan laku-
kan apa yang telah kukatakan!
Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kema-
tian melepas beberapa gelang di tangannya dan
diberikan pada Manding Jayalodra. Tangannya
kemudian menelikung ke belakang. Dan ketika di-
tarik kembali, di genggamannya terlihat buntalan besar.
"Di luar nanti, kenakan apa yang ada di da-
lam buntalan ini. Dan sejak malam ini namamu
harus diganti dengan 'Penyair Berdarah'! Ini se-
suai dengan tembang-tembang yang kuajarkan
padamu!" "Nama bagus!" sahut Manding Jayalodra
seraya busungkan dada dan tersenyum lebar.
"Nama itu memang layak kau sandang. Ka-
rena suara tembang-tembang akan selalu kau
ucapkan begitu bertemu lawan dan lancarkan se-
rangan! Nah, waktumu untuk menghirup udara
luar telah tiba!"
Manding Jayalodra yang kini telah digelari
gurunya dengan Penyair Berdarah anggukkan ke-
pala, lalu tanpa tunggu lebih lama lagi dia bergerak bangkit dan melangkah ke
arah pojok ruan-
gan di mana terdapat lobang yang menghubung-
kan dengan dunia luar. Sejenak dia tengadah
memperhatikan lobang di atasnya. Lalu berpaling
ke samping. Murid Iblis Gelang Kematian ini ter-
perangah dengan mata liar berkeliling.
"Ke mana dia..."!" gumam Penyair Berdarah seraya gerakkan kepala berputar.
Ternyata Iblis Gelang Kematian sudah tidak ada di tempatnya
semula, malah meski dia telah menyapukan pan-
dangannya ke seluruh ruangan, sang guru tidak
terlihat batang hidungnya!
"Ah, kenapa aku pusing memikirkan dia"
Bukankah malam ini adalah saat-saat yang ku-
nantikan selama sembilan tahun" Bisa menghi-
rup udara luar serta melihat pemandangan lain!"
kata Penyair Berdarah seraya jejakkan sepasang
kakinya. Tubuhnya melesat melewati lobang dan
mendarat di dataran batu puncak Bukit Tumpang
Gede. Sejenak Penyair Berdarah lepaskan pan-
dangannya berkeliling. Napasnya terlihat berhem-
bus panjang-panjang seakan ingin menikmati
udara luar yang baru saja dirasakan.
Setelah agak puas menghirup udara luar,
Penyair Berdarah buka buntalan di tangannya.
Ternyata buntalan itu berisi tiga pakaian, terdiri atas satu baju berwarna merah
dan celana berwarna kuning, serta sebuah jubah panjang ber-
warna hitam bergaris-garis putih.
Tanpa pikir panjang lagi, Penyair Berdarah
mengenakan pakaian itu.
"Hmm.... Pakaian ini tampaknya terbuat
dari bahan bagus. Dari mana Guru menda-
patkannya" Pakaiannya yang dikenakan Guru
pun terlihat mewah. Siapa dia sebenarnya" Sem-
bilan tahun hidup bersama, dia selalu mungkir ji-ka ditanya soal asal-usulnya.
Tak jadi apa, yang penting aku telah mendapatkan ilmu darinya!
Dan aku akan jadi manusia yang ditakuti!" gu-mamnya seraya memandang ke bawah.
Lantas tengadah ke atas dan berteriak.
"Wahai para penghuni bumi, sambutlah
kedatangan Penyair Berdarah! Seorang manusia
baru yang akan mengalirkan darah orang-orang
yang tidak sejalan! Seorang manusia yang akan
mengalirkan darah dengan tembang-tembang
maut!" Habis berteriak, Penyair Berdarah jejakkan kakinya. Tubuhnya melesat dan
lenyap dari puncak Bukit Tumpang Gede.
Pada sebuah batu, tiba-tiba muncul seso-
sok tubuh. Dia adalah seorang perempuan tua
dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.
"Hmm.... Pilihanku ternyata tidak meleset!"
gumam Iblis Gelang Kematian seraya mengawasi
kelebatan muridnya, meski hanya samar-samar
karena cepatnya lesatan Penyair Berdarah.
TIGA PEMUDA berparas tampan berpakaian
warna hijau itu hentikan larinya di bibir jurang di ujung lembah. Sepasang
matanya yang tajam
menyapu ke bawah. Yang terlihat hanyalah rin-
dang dedaunan pohon-pohon benalu serta gelap
pekat curamnya jurang. Kepalanya lantas berge-
rak ke kanan kiri. Tak lama kemudian dia mena-
rik napas panjang dan dalam-dalam seakan mele-
pas rasa gundah dan kecewa yang melanda da-
danya. Setelah mengusap keringat yang memba-
sahi dahi dan lehernya, dia balikkan tubuh dan
melangkah gontai ke tengah lembah. Pada sebuah
batu agak besar dia hempaskan pantatnya lalu
duduk bersandar dengan mata memandang lurus
ke depan. Tatapannya terlihat kosong.
"Heran. Ke mana perginya dia" Padahal
aku meninggalkannya tidak lama. Aku yakin pasti
ada orang yang menculiknya. Tak mungkin dia
melarikan diri. Tubuhnya masih dalam keadaan
terluka dalam. Apakah telah diambil oleh gu-
runya...?" sang pemuda membatin. Kembali dia menarik napas dalam-dalam.
"Kalau memang diambil kembali oleh gu-
runya, sungguh kasihan dia. Pasti dia akan me-
nerima hukuman berat! Karena telah menolong
menyelamatkan jiwaku. Tapi... benarkah dia me-
nolongku" Atau semua itu dia lakukan karena ti-
dak rela jika aku tewas di tangan orang lain meski orang itu adalah gurunya" Ah,
Sakawuni.... Kenapa semua ini harus terjadi" Kenapa kau terma-
kan oleh fitnah" Hmm.... Begitu cepatnya semua
berubah!" sang pemuda meneruskan kata ha-
tinya. Sebentar kemudian dia tampak mengambil
sesuatu dari balik pakaiannya. Ternyata yang di-
ambil adalah sebuah kipas lipat. Dengan sekali
sentak kipas di tangannya mengembang dan
langsung digerakkan pulang balik di depan da-
gunya. Setelah berkipas-kipas beberapa lama, pe-
muda ini yang bukan lain adalah Aji alias Pende-
kar Mata Keranjang 108 akhirnya bangkit.
"Untuk sementara aku harus menemui
Dewi Kayangan. Masalah Sakawuni bisa dicari
sambil jalan...," putus Aji seraya melangkah hendak meninggalkan lembah. Namun
baru saja me- langkah tiga tindak, mendadak terdengar suara
deruan angin menyambar dari tiga jurusan. Ber-
samaan dengan itu berkelebat tiga sosok bayan-
gan dan langsung berdiri berjajar dengan jarak
lima tombak antara satu sama lain.
Pendekar 108 serentak hentikan langkah
dan cepat berpaling. Sepasang matanya lantas
mengedar memandangi satu persatu tiga sosok
yang kini ada di hadapannya.
Orang yang berada paling kanan adalah
seorang laki-laki setengah baya. Mengenakan pa-
kaian mewah warna putih bersih berenda-renda
kuning dari benang emas. Di dadanya terlihat ke-
pingan-kepingan logam emas yang ditata rapi ber-
jejer ke bawah. Rambutnya panjang dan kelimis.
Kumis dan jenggotnya terawat rapi. Namun demi-
kian, wajahnya tampak tak mengguratkan kera-
mahan. Sepasang matanya menyengat tajam. Bi-
birnya tak mengulas senyum bahkan terlihat sal-
ing menggegat. Pendekar 108 sejenak memperhatikan laki-
laki setengah baya ini dan berkata dalam hati.
"Hm.... Aku rasa-rasanya tidak mengenal laki-laki ini! Tapi melihat tampang
serta pakaian yang dikenakan, mungkin dia dari golongan bangsawan.
Siapa dia...?" sepasang matanya lantas beralih pada orang yang di tengah. Dia
adalah seorang perempuan tua. Tubuhnya telah bungkuk. Men-
genakan pakaian warna gelap berupa baju pan-
jang dan celana komprang. Paras wajahnya telah
mengeriput. Sepasang matanya besar dan melotot
seakan-akan hendak meloncat keluar. Bibirnya
amat tipis hingga seperti hanya sebuah sayatan
daging. Rambutnya keriting dan di-sanggul ke
atas dan telah berwarna putih. Nenek ini agak
aneh, karena meski tiada angin kencang yang
berhembus, tubuhnya selalu bergerak-gerak
doyong ke samping kanan dan kiri seakan terkena
hempasan angin dahsyat.
Sementara orang di sebelah kiri adalah
seorang kakek bertubuh kurus kering. Sepasang
matanya sayu merah dan masuk ke dalam rongga
yang amat cekung. Pakaian yang dikenakannya
telah robek di sana-sini. Namun ada sedikit kea-
nehan pada kakek ini, hingga siapa pun yang ber-
temu pasti akan membelalakkan mata. Pada pun-
dak kakek ini tampak menyelempang ikat ping-
gang besar yang memutar hingga punggung. Dan
pada ikat pinggang terdapat beberapa tali yang
mengikat beberapa bumbung bambu agak besar.
Dari bumbung bambu itu menebar bau arak me-
nyengat. Kepala kakek ini terus tengadah seraya
tak henti-hentinya menenggak bumbung bambu
yang berisi arak. Begitu arak pada satu bumbung
habis dia hanya geser ikat pinggangnya ke bela-
kang. Lalu ambil bumbung lagi dan ditenggaknya.
Namun demikian, kakek ini tidak terlihat goyah
karena mabuk arak, hanya sepasang matanya
yang makin merah sayu.
"Kakek ini benar-benar gila! Dia tampak
tak goyah meski terus-terusan menenggak arak.
Siapa pula dia..." Dan apa perlu mereka datang
ramai-ramai seakan menghadang jalanku?" Aji terus menduga-duga seraya tak
melepaskan pan-
dangannya pada ketiga orang di hadapannya.
Selagi Aji menduga-duga, sang nenek ang-
kat tangan kirinya dan berkata.
"Pemuda tampan! Kau tak usah terkejut.
Meski kami datang bersama-sama, namun kami
punya tujuan lain. Untuk singkatnya, baiklah ku-
katakan dulu siapa diriku dan apa tujuanku.
Dengar dan pasang telingamu baik-baik!" sang nenek sejenak hentikan ucapannya,
kepalanya berpaling sebentar ke kanan dan ke kiri.
Namun sebelum nenek ini lanjutkan uca-
pannya, Pendekar 108 telah angkat bicara.
"Nenek tua! Aku tak punya waktu banyak.
Cepat katakan apa tujuanmu dan dua temanmu
itu!" Si nenek tertawa panjang. Tubuhnya makin doyong ke kanan dan kiri. Setelah
puas terta-wa dia tengadahkan kepala dan berkata.
"Tentang namaku biarlah kusimpan sendi-
ri. Untukmu akan kuberitahu julukanku saja. Se-
kali lagi harap pasang telinga baik-baik. Orang
rimba persilatan menjulukiku Ratu Alam Bumi!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut men-
dengar si nenek sebutkan gelarnya. Dalam rimba
persilatan, manusia yang bergelar Ratu Alam
Bumi memang sudah tidak asing lagi. Sesuai
dengan gelaran yang disandang, orang ini me-
mang tidak segan-segan jatuhkan tangan untuk
mengirimkan orang ke alam baka! Biarpun hanya
kecil kesalahan yang diperbuat. Hingga selain dikenal berilmu tinggi, nenek ini
juga dikenal san-
gat kejam beringas!
Meski sedikit terkejut, namun murid Wong
Agung tak hendak menunjukkan paras takut. Se-


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baliknya dia lantas tersenyum dan berkata.
"Hari ini sungguh suatu hari yang berarti.
Aku dapat berjumpa dengan tokoh persilatan
yang kesohor namanya! Tapi ada tujuan apa
hingga Ratu Alam Bumi datang menghadang
orang gelandangan sepertiku"!"
"Masalah tujuanku, itu kita bicarakan nan-
ti! Sekarang mungkin dia akan memperkenalkan
diri.'" kata Ratu Alam Bumi seraya arahkan pandangannya pada laki-laki setengah
baya yang berpakaian mewah yang berada di sebelah ki-
rinya. Yang dipandang sejenak membalas pan-
dangan Ratu Alam Bumi. Tampaknya ia tak se-
nang dengan sikap Ratu Alam Bumi yang menun-
juknya dengan pandangan mata. Namun entah
karena keperluan dengan Pendekar Mata-
Keranjang dianggap lebih penting, maka sebentar
kemudian, laki-laki berpakaian mewah ini lu-
ruskan pandangannya ke arah Pendekar 108 dan
berkata. "Hari sudah siang. Aku tak perlu bicara
panjang lebar seperti nenek peot ini! Aku adalah Begal Tanah Hitam! Kepala
rampok yang bermar-kas di Lembah Hitam!"
"Hmm.... Jadi ini manusianya kepala ram-
pok yang paling ditakuti! Logam-logam kepingan
emas yang berjajar di dadanya tentu didapat dari
merampok!" batin Aji sambil memperhatikan Begal Tanah Hitam lebih seksama.
Sebentar kemu- dian pandangannya beralih pada kakek yang tak
henti-hentinya menenggak arak, karena tinggal
dia yang belum memperkenalkan diri.
"Setan Arak! Waktu kita cuma sedikit, le-
kas bicara!" bentak Ratu Alam Bumi ketika ditunggu agak lama laki-laki tua di
sebelah kirinya tak segera buka mulut untuk bicara. Malah mulutnya dibuat
mengembung dan mengempis
mempermainkan arak di dalamnya.
Setelah menenggak arak di mulutnya, laki-
laki kurus ini segera palingkan wajah pada Ratu
Alam Bumi. Tertawa mengekeh pendek lalu ber-
kata. "Kau telah sebutkan siapa aku. Untuk apa lagi memperkenalkan diri" Buang-
buang waktu saja! Lebih baik aku meneruskan minum arak!"
tangan kanannya menggeser ikat pinggangnya,
hingga bumbung yang telah habis bergeser ke be-
lakang melewati pundaknya. Di hadapannya kini
telah terpegang bumbung bambu yang masih pe-
nuh arak. Tanpa acuhkan pandangan orang-
orang di sekitarnya, dia segera asyik dengan
bumbung araknya.
"Setan Arak.... Hm.... Aku memang pernah
mendengar gelar itu. Kabarnya ia adalah seorang
yang berkepandaian tinggi. Dan menurut kabar
yang selama ini tersiar, orang ini tingkah lakunya sukar ditebak. Kadang-kadang
condong pada orang-orang golongan hitam dan tak jarang pula
berteman dengan orang-orang golongan putih.
Hm.... Menghadapi orang demikian diperlukan
siasat tersendiri! Tapi Ratu Alam Bumi tadi men-
gatakan mereka punya tujuan sendiri-sendiri, be-
rarti mereka tidak bersekongkol. Apa tujuan me-
reka sebenarnya...?" membatin Pendekar 108 Lalu arahkan pandangannya pada Ratu
Alam Bumi dan berkata. "Ratu Alam Bumi! Seperti katamu, waktu
kita cuma sedikit. Lekas katakan apa tujuanmu
menghalang-halangi langkahku!"
Ratu Alam Bumi tertawa pendek. Dengan
tengadahkan kepala dia berkata.
"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108! Waktu kita memang sedikit. Dan agar
cepat selesai, aku hanya berharap kau memberi-
kan Arca Dewi Bumi padaku!"
Mendengar ucapan Ratu Alam Bumi, Begal
Tanah Hitam terlihat kerutkan dahi. Kepalanya
bergerak pelan berpaling pada Ratu Alam Bumi.
Diam-diam dia berkata dalam hati.
"Jahanam! Ternyata dia mempunyai tujuan
sama denganku. Sebelum terlambat aku juga ha-
rus mengatakan tujuanku!" Begal Tanah Hitam lantas luruskan tubuh menghadap Ratu
Alam Bumi dan berkata.
"Ratu Alam Bumi! Ternyata tujuan kita ti-
dak beda! Seperti dirimu, aku pun menginginkan
Arca Dewi Bumi dari tangannya! Jadi jangan co-
ba-coba mendahuluiku jika kau ingin selamat ke-
luar dari lembah ini!"
Ratu Alam Bumi bukannya terkejut men-
dengar ucapan Begal Tanah Hitam. Malah tanpa
memandang ke arah Begal Tanah Hitam, dia ber-
kata. "Begal Tanah Hitam! Aku sejak semula memang telah menduga apa tujuanmu
sebenarnya! Sekarang katakan apa maumu! Kau berha-
dapan denganku dahulu atau kita rampas arca
itu lalu kita tentukan siapa di antara kita yang berhak memilikinya!"
Begal Tanah Hitam sejenak terdiam. Na-
mun tak lama kemudian tawanya terdengar ber-
gerai-gerai. "Ratu Alam Bumi! Aku hanya menge-nalmu dari nama gelarmu yang
begitu kesohor.
Tapi aku belum pernah tahu bagaimana kenya-
taannya. Kuberi kesempatan padamu untuk men-
jajal pemuda itu. Aku khawatir kau hanya ber-
nama besar namun ompong isinya! Sia-sia tan-
ganku jika harus bergerak melawan manusia ti-
dak berisi! Ha ha ha...! Lawanlah dulu pemuda
itu, setelah itu bisa kuputuskan apakah kau pan-
tas menghadapiku!"
Sebenarnya Begal Tanah Hitam mengata-
kan hal demikian karena diam-diam dia merasa
keder menghadapi Ratu Alam Bumi. Dia sengaja
menggertak dengan ejekan agar Ratu Alam Bumi
segera bertarung dengan Pendekar 108. Dan jika
itu terjadi, maka dia akan mencari kesempatan
baik untuk melancarkan serangan.
Di samping, paras Ratu Alam Bumi terlihat
berubah. Pelipisnya bergerak-gerak dengan mulut
komat-kamit. Sepasang matanya tambah mende-
lik. "Begal Jahanam! Aku tahu, kau takut
menghadapiku! Tapi tak apalah. Tunggulah hing-
ga aku menyelesaikan pemuda ini! Setelah itu ba-
ru giliranmu kukirim ke alam baka!"
"Hmm... bagaimana ini bisa terjadi" Antara
teman sendiri saling adu mulut malah berencana
hendak saling bunuh. Heran.... Tadinya kalian bilang padaku hendak mengajak
bersenang-senang
minum arak tiga hari tiga malam. Mendadak be-
rubah jalan hendak merebut arca butut! Waduh,
ternyata kalian manusia-manusia yang tidak bisa
dipegang mulutnya! Lebih baik aku pergi, aku tak senang bertemu dengan orang
yang mencla-mencle! Gluk... gluk... gluk...!" mendadak Setan Arak menyela
pembicaraan. Setelah menenggak
arak dari bumbung bambu dia balikkan tubuh
hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja hendak melangkah, Ratu
Alam Bumi membentak garang.
"Setan Arak! Maju selangkah lagi kuhan-
curkan batok kepalamu! Tunggu di situ hingga
urusanku selesai!"
Mendengar bentakan, Setan Arak hentikan
langkah. Tiba-tiba suara tawanya meledak tinggi
bergerai. Dan 'blukkk!' Setan Arak hempaskan
tubuh kurusnya ke atas tanah dan duduk meng-
gelosoh. Tangan kanannya menarik bumbung
bambu lalu menenggak isinya.
"Baiklah kalau itu maumu! Aku akan tetap
di sini melihat urusanmu! Asal kau tidak mence-
gahku untuk menenggak minuman kesayanganku
ini!" habis berkata begitu, Setan Arak telah tenggelam dalam keasyikannya
tersendiri. "Hmm.... Berarti manusia arak ini tidak
punya tujuan tertentu!" bisik Pendekar 108 dalam hati seraya gelengkan kepala
melihat sikap Setan Arak. "Pendekar 108! Kau telah dengar kata-kataku, lekas
serahkan arca itu padaku!" tiba-tiba Ratu Alam Bumi keluarkan bentakan setelah
ditunggu agak lama Pendekar 108 hanya meman-
dang Setan Arak dengan senyum-senyum.
Pendekar 108 usap-usap hidungnya. Kepa-
lanya digelengkan ke kanan kiri, mengikuti
doyongan tubuh Ratu Alam Bumi, membuat pe-
rempuan tua ini membelalakkan matanya. Mu-
lutnya yang sangat tipis bergerak membuka. Na-
mun sebelum suaranya terdengar, Pendekar 108
telah angkat bicara.
"Ratu Alam Bumi! Dan juga kau, Begal Ta-
nah Hitam! Dengar baik-baik. Aku tidak tahu-
menahu soal arca! Jadi kalian salah besar jika
meminta benda itu padaku! Yang kalian dengar
selama ini hanyalah berita. Kenyataannya aku ti-
dak tahu apalagi menyimpan arca itu!"
"Jangan coba-coba menipuku! Cepat se-
rahkan arca itu! Jika tidak, kau akan segera ku-
kirim ke alam baka!" sentak Ratu Alam Bumi
dengan gerakkan tangan kanan kiri sedikit ditarik ke belakang. Sementara kedua
kakinya sedikit di-
pentangkan. Pendekar 108 masih tampak senyum-
senyum. Malah tangan kanannya tarik-tarik kun-
cir rambutnya. "Ah, kebetulan sekali. Memang telah lama
aku ingin melihat alam baka. Kalau kau berke-
nan, sungguh senang sekali, apalagi jika kau
yang mengantar. Apakah kita akan berangkat se-
karang...?"
"Ha... ha... ha...! Jangan kira kau saja yang ingin melihat pemandangan alam
baka. Aku pun ingin melihatnya. Bagaimana kalau kita berang-
kat bersama-sama" Tapi... kita belum tahu jalan-
nya. Jangan-jangan kita nanti kesasar. Hm... se-
bentar...," yang berkata kali ini adalah Setan Arak. Dia lalu tercenung seakan
memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dia tertawa panjang dan telunjuk jarinya
diluruskan pada Ratu Alam Bumi.
"Bukankah kau ratu di sana" Hmm.... Jika
begitu kau bisa sebagai penunjuk jalan. Sebagai
penunjuk jalan tentunya kau harus berjalan pal-
ing depan. Baiklah, kita berangkat sekarang. Dia sebagai penunjuk jalan, dan
harus duluan!"
"Betul! Kau harus terlebih dahulu jalan!'
sahut Pendekar Mata Keranjang menimpali uca-
pan Setan Arak.
"Keparat! Kaulah yang harus duluan. Dan
akan kutunjukkan jalannya tanpa harus ada
aku!" "Mana bisa begitu. Menurut aturan biasa, penunjuk jalan harus lebih
dahulu. Bukankah
begitu?" kata Setan Arak sambil palingkan wajah pada Pendekar 108.
"Benar! Harus jalan dahulu!" ulang Pendekar 108 seraya angguk-anggukkan kepala.
"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi dengan
suara tinggi. Serta-merta kedua tangannya dihan-
tamkan ke samping, ke arah Setan Arak yang du-
duk menggelosoh.
Serangan angin dahsyat menggebrak ke
samping, dan bersamaan dengan itu larikan bebe-
rapa sinar hitam menyusul dari belakang! Melihat hal ini jelas sekali bahwa Ratu
Alam Bumi tak main-main dengan ucapannya yang ingin mengi-
rim ke alam baka.
Mendapat serangan ganas yang mematikan
itu, Setan Arak tetap tenang-tenang saja, mem-
buat Pendekar 108 belalakkan sepasang matanya.
Pendekar 108 menduga jika Setan Arak tak bisa
selamatkan dirinya dari hantaman pukulan Ratu
Alam Bumi, karena jaraknya sudah demikian de-
kat. "Setan Arak! Awas serangan!" teriak Aji begitu hantaman Ratu Alam Bumi
telah setengah depa lagi menghajar tubuhnya dan dia tetap tak
membuat gerakan.
"Mampus kau!" desis Ratu Alam Bumi dengan bibir senyum. Namun senyum nenek ini
mendadak terpenggal. Sepasang matanya mende-
lik hampir tak percaya. Sementara Pendekar 108
gelengkan kepala sambil usap dadanya. Di sebe-
lah samping, Begal Tanah Hitam melotot tak ber-
kesip. Apa yang terjadi di depan mereka sungguh
luar biasa. Begitu hantaman Ratu Alam Bumi se-
jengkal lagi menghajar tubuh Setan Arak, laki-laki tua kurus ini keluarkan
lengkingan tinggi. Tiba-tiba tubuhnya lenyap. Hingga serangan Ratu
Alam Bumi hanya menerabas udara kosong! Dan
terus menghajar sebuah batu besar. Batu itu
langsung hancur berkeping-keping dan sebagian
jadi abu! "Setan alas! Siapa sebenarnya laki-laki tua ini" Aku hanya mengenalnya beberapa
hari yang lalu. Ternyata dia berilmu tidak cetek. Dia berhasil menghindar dari seranganku,
padahal jarak- nya sudah demikian dekat! Keparat! Jangan-
jangan aku salah memilih teman!" bisik Ratu Alam Bumi sambil menebar pandangan
mencari Setan Arak yang masih tidak tampak batang hi-
dungnya. "Ke mana lenyapnya manusia arak itu?"
gumam Pendekar 103 dengan kepala berpaling ke
kanan kiri. Sementara Begal Tanah Hitam su-
rutkan langkah satu tindak dan diam-diam berka-
ta dalam hati.

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak kuduga jika manusia itu berkepan-
daian tinggi. Jika demikian halnya aku harus
pandai-pandai atur siasat dan cari kesempatan
yang baik. Bila tidak...," Begal Tanah Hitam hentikan kata hatinya karena saat
itu terdengar sua-ra orang mengumbar tawa. Tiga kepala langsung
berpaling ke arah sumber suara tawa.
EMPAT DI bawah sebuah pohon besar, Setan Arak
terlihat tidur-tiduran dengan posisi miring. Salah satu bumbung araknya dibuat
bantalan kepala,
sementara tangan kanannya bergerak pulang ba-
lik ke mulutnya untuk mengisikan arak! Hebat-
nya, arak yang ada di bumbung bambu dan kini
tampak bergeletakan di atas tanah itu tidak tum-
pah! Padahal bumbung bambu itu tidak tertutup!
Dan sebagian tampak tergeletak dengan posisi
miring! "Luar biasa! Dia mampu menahan aliran araknya hingga tidak tumpah! Lagi
pula gerakannya demikian cepat! Aku hampir tak percaya jika
dia bisa menghindar!" batin Pendekar 108 seraya geleng-geleng kepala.
"Keparat! Dia rupanya sengaja memper-
mainkan aku. Tunggulah!" kata Ratu Alam Bumi dalam hati. Lalu berpaling pada
Pendekar 108. Dan serta-merta kedua tangannya dihantamkan!
Wuttt! Angin dahsyat yang mengeluarkan suara
menggemuruh melesat keluar dari kedua tangan
Ratu Alam Bumi. Sekejap kemudian dari kedua
tangannya juga melesat beberapa larikan sinar
yang menyusul! Bukan hanya sampai di situ, be-
gitu kedua tangannya bergerak menghantam, tu-
buhnya pun melesat ke arah samping dan dari si-
ni, nenek ini pun kembali hantamkan kedua tan-
gannya! Hingga saat itu juga Pendekar 108 laksa-
na dihujani serangan dari dua penjuru!
Pendekar 108 cepat berpaling. Dan melihat
ganasnya serangan murid Wong Agung ini segera
berteriak nyaring. Tubuhnya mendadak melesat
setengah tombak ke udara. Dan bersamaan den-
gan itu, kedua tangannya menghantam ke depan
lalu ditarik dan dihantamkan kembali ke arah
samping. Bumm! Bummm! Terdengar dua kali ledakan keras ketika
dua serangan bentrok di udara. Tempat itu seje-
nak laksana ditimpa gempa dahsyat hingga ta-
nahnya bergetar! Bukan hanya itu saja, asap hi-
tam terlihat membumbung begitu serangan ber-
temu! Ratu Alam Bumi tampak terhuyung-
huyung ke belakang. Karena tubuh nenek ini se-
lalu goyang ke samping kanan dan kiri, maka
tatkala tubuhnya terhuyung-huyung, gerakan tu-
buhnya tampak lucu! Hal ini rupanya tak lepas
dari pandangan Setan Arak. Hingga saat itu juga
meledaklah tawanya.
"Asyik juga melihat akrobat sambil tiduran
dan minum arak! Hanya sayang, pemain akrobat-
nya sudah nenek-nenek! Seandainya seorang ga-
dis cantik dan mengenakan pakaian tipis serta
minim, mungkin akan tambah asyik!" kata Setan Arak seraya gelak-gelak.
Sementara itu di depan, Pendekar 108 ter-
lihat terseret hingga lima tombak ke belakang. Hal
ini terjadi karena saat menangkis serangan, mu-
rid Wong Agung ini berada di atas udara, hingga
tubuhnya sejenak tampak melayang ke belakang,
namun dia segera bisa kuasai diri. Namun demi-
kian, tak urung parasnya tampak berubah merin-
gis menahan rasa sakit pada pangkal tangannya
serta dadanya. Di lain pihak, Ratu Alam Bumi pun tampak
mengusap-usap dadanya. Pertanda dia juga me-
rasakan sakit pada bagian dada. Namun setelah
nenek ini salurkan tenaga dalam, dia tampak se-
gar kembali. Sepasang matanya lantas meman-
dang tajam ke arah Pendekar 108. Mulutnya yang
tipis bergerak komat-kamit. Sepasang matanya la-
lu memejam, kedua tangannya disatukan dan
disejajarkan dada. Sang nenek tampaknya sedang
kerahkan tenaga dalam untuk lancarkan seran-
gan andalan. Mendapati hal ini, Pendekar 108 tak tinggal
diam. Kipas ungunya segera dicabut dari balik
pakaiannya. Dan merasa lawan tidak bisa diang-
gap remeh serta benar-benar menginginkan nya-
wanya, maka Pendekar 108 pun siapkan pukulan
'Mutiara Biru'!
Selagi kedua orang ini sedang bersiap-siap,
tiba-tiba terdengar alunan syair.
Siapa yang yakin pada kekuatan, maka ia
akan dikalahkan!
Siapa yang percaya pada kelicikan, dialah
yang akan keluar menang!
Darah adalah lambang kebebasan yang
akan mengantar ke alam baka!
Karena alunan syair itu bukan alunan bi-
asa, melainkan telah dialiri dengan tenaga dalam kuat, maka konsentrasi Ratu
Alam Bumi tampak
buyar. Hingga dengan paras berubah dia segera
membuka kelopak matanya. Kepalanya cepat me-
noleh ke arah sumber alunan suara syair. Demi-
kian pula Pendekar Mata Keranjang 108. Semen-
tara Begal Tanah Hitam tersurut selangkah sam-
bil luruskan tubuh ke arah datangnya suara alu-
nan syair. Hanya Setan Arak yang terlihat tenang-tenang saja. Bahkan berpaling
pun tidak! Malah
sambil acung-acungkan bumbung araknya dia
ikut-ikutan bersyair.
Kekuatan adalah pangkal malapetaka. Keli-
Suling Naga 10 Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu Kait Perpisahan 3
^