Pencarian

Tembang Maut Alam Kematian 2

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian Bagian 2


cikan adalah awal bencana.
Jika keduanya bersatu, kegegeran akan
menjadi buahnya.
Hanya manusia yang bertangan bersih
yang dapat mengubur impian orang berilmu tapi licik! Di tempat itu tahu-tahu
telah berdiri seorang pemuda seraya kacak pinggang. Pemuda in-
ilah yang tadi mengalunkan suara syair. Dia ber-
paras tampan. Namun tampak beringas. Rambut-
nya panjang dan dibiarkan tergerai. Sepasang ma-
tanya tajam menyengat. Dia mengenakan baju
warna merah sedangkan celananya berwarna
kuning. Pakaian itu masih dilapis dengan jubah
besar warna hitam bergaris-garis putih yang
kancing-kancingnya dibiarkan membuka.
"Bangsat rendah! Siapa kau..."!" bentak Begal Tanah Hitam dengan suara keras.
Laki-laki setengah baya ini jelas marah besar, karena den-
gan datangnya pemuda bersyair ini, pertarungan
antara Ratu Alam Bumi dan Pendekar 108 terhen-
ti. Padahal dia berharap pertarungan itu segera
berlangsung kembali, bahkan berharap agar ke-
duanya tewas, setidak-tidaknya dia bisa menya-
rangkan pukulan pada saat yang tepat pada Ratu
Alam Bumi. Dibentak demikian rupa, pemuda berjubah
hitam bergaris-garis putih yang bukan lain adalah Penyair Berdarah bantingkan
kakinya ke tanah.
Dagunya terangkat dengan pelipis kanan kiri ber-
gerak-gerak pertanda amarah telah menguasai
dadanya. Seraya busungkan dada dan menun-
jukkan seringai ganas, dia berkata.
"Anjing kurap! Buka lebar-lebar telingamu.
Aku adalah Penyair Berdarah!"
Begal Tanah Hitam keluarkan tawa menge-
keh begitu mendengar pemuda menyebutkan ge-
larnya. "Penyair Berdarah?" ulang Begal Tanah Hitam dengan senyum penuh ejekan.
"Gelarmu cukup bagus. Tapi bukan untuk kalangan orang-
orang sepertiku! Kuingatkan padamu, lekas ting-
galkan tempat ini jika kau masih ingin bersyair!"
Penyair Berdarah kembungkan mulut, lalu
meludah ke tanah. Kepalanya lalu bergerak men-
dongak ke atas. Masih tetap dengan kacak ping-
gang, dia berucap.
"Manusia anjing! Akan kutunjukkan pa-
damu bahwa syairku mampu membawamu ting-
galkan tempat ini. Sekaligus nyawamu!"
"Hmm.... Urusan ini nyatanya jadi panjang.
Satu belum selesai datang lagi satunya. Tapi yang ini tampaknya orang baru,
karena baik gelar
maupun orangnya aku masih mendengar dan me-
lihat pertama kali ini! Siapa dia sebenarnya..."
Dan apa juga punya tujuan sama dengan Ratu
Alam Bumi" Mendengar nada syairnya yang
mampu membuyarkan konsentrasi Ratu Alam
Bumi, orang ini tidak bisa dipandang remeh!
Hm... lebih baik kulihat dahulu bagaimana sepak
terjangnya menghadapi kepala rampok Begal Ta-
nah Hitam...," batin Pendekar 108 seraya memperhatikan lebih seksama pada
Penyair Berdarah.
Seperti halnya Pendekar 108, Ratu Alam
Bumi pun diam-diam berkata dalam hati.
"Siapa pun adanya manusia ini, yang pasti
dia berkepandaian tinggi. Suaranya mampu
membuyarkan pusat perhatianku. Penyair Berda-
rah.... Hm... baru kali ini aku mendengar nama
itu! Tapi aku harus berhati-hati, karena belum bi-sa diduga apa tujuan
sebenarnya dia ikut campur
masalah ini! Dan lebih baik kubiarkan saja Begal Tanah Hitam menghadapinya.
Dengan begitu sedikit banyak aku bisa mengukur ilmunya...," se-
raya membatin begitu, Ratu Alam Bumi geser
langkahnya agak ke belakang. Sepasang matanya
kini dipusatkan pada Begal Tanah Hitam yang
tampak mulai melangkah maju.
Di tempat paling belakang, Setan Arak tak
keluarkan suara. Bahkan suara gelegukan arak-
nya pun tidak terdengar. Mendapati hal ini Pen-
dekar 108 segera berpaling ke belakang. Murid
Wong Agung ini jadi terhenyak melihat Setan
Arak. Kepalanya menggeleng dengan mulut me-
maki panjang pendek. Ternyata Setan Arak terti-
dur! Kedua matanya terpejam rapat, sementara
tangannya terkulai di atas tanah sambil meme-
gangi bumbung arak. Dan tak lama kemudian
terdengar dengkuran dari tenggorokannya!
"Gila! Bagaimana menghadapi suasana
demikian dia bisa enak-enakan tidur" Hm... se-
benarnya ini kesempatan baik untuk mendeka-
tinya. Aku menduga dia tak berhasrat dengan se-
gala macam arca! Manusia begini ini lebih sayang arak daripada benda-benda
mustika!" berpikir sampai di situ, Pendekar 108 lantas melirik pada Ratu Alam
Bumi. Dan ketika dilihatnya nenek ini
tidak memperhatikannya, dia balikkan tubuh
hendak berkelebat ke arah Setan Arak.
Namun baru saja tubuhnya hendak berge-
rak, Ratu Alam Bumi telah keluarkan bentakan.
"Pendekar Mata Keranjang! Jangan mimpi
untuk bisa lolos dari pengawasanku! Tetap di
tempatmu hingga pertunjukan selesai!"
Mendengar si nenek menyebut julukan
Pendekar Mata Keranjang 108, secepat kilat Pe-
nyair Berdarah palingkan wajah dan memandang
lekat-lekat pada Aji. Dahinya mengernyit. Pan-
dangannya lalu beralih pada tangan kanan Pen-
dekar 108 yang memegang kipas ungunya.
"Hm... hari baik bagiku. Begitu turun bukit aku telah menemukan orang yang
kucari! Pendekar Mata Keranjang.... Sebelum menjadi pengha-
lang langkahku selanjutnya, sebaiknya kuhabisi
dia sekarang!" batin Penyair Berdarah seraya kerahkan tenaga dalamnya pada kedua
telapak tan- gan. Namun sebelum dia bergerak menghantam,
Begal Tanah Hitam telah meloncat dan tegak se-
puluh langkah di hadapannya.
Mendapati niatnya terhalangi, Penyair Ber-
darah naik pitam. Tanpa bicara lagi kedua tan-
gannya yang tadi disiapkan untuk menghantam
Pendekar 108 serta-merta dihantamkan ke arah
Begal Tanah Hitam!
Wuttt! Wuttt! Dua bongkahan angin dahsyat melesat
menyusur tanah. Hebatnya, tanah itu seakan pe-
cah menjadi dua!
Di depan sana, Begal Tanah Hitam mera-
sakan tubuhnya terguncang dan oleng ke samp-
ing kanan dan kiri, mengikuti lesatan angin yang keluar dari tangan Penyair
Berdarah. Mendapati
hal yang tidak diduga, Begal Tanah Hitam cepat
kerahkan tenaga dalam untuk menghindar dari
bongkahan angin yang semakin dekat ke arahnya.
Namun baru saja dia kerahkan tenaga dalam, Pe-
nyair Berdarah telah hantamkan kembali kedua
tangannya! Kali ini disertai dengan bentakan ga-
rang dan lompatan satu tombak ke depan.
Paras Begal Tanah Hitam terlihat pias. Na-
mun sebagai kepala rampok yang paling ditakuti,
pantang baginya menyerah begitu saja. Dengan
membentak nyaring kedua kakinya disentakkan
ke atas tanah. Olengan tubuhnya mendadak ter-
henti. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat
ke udara. Hingga serangan pembuka Penyair Ber-
darah hanya menghajar tempat kosong. Namun
betapa terkejutnya kepala rampok ini, begitu tu-
buhnya melesat, dadanya serasa dihantam angin
dahsyat. Tubuhnya berputar lalu mencelat ke be-
lakang dan terhempas di atas tanah.
"Keparat!" seru Begal Tanah Hitam seraya bergerak bangkit. Bibirnya telah
terlihat mengeluarkan darah. Sementara Penyair Berdarah tam-
pak tersenyum tatkala hantaman keduanya tak
dapat ditangkis oleh lawan. Kepalanya lantas tengadah, dan terdengarlah alunan
syair dari mulut-
nya. Darah telah mengalir.
Alam baka akan segera mendapat penghuni
baru. Tangan Penyair Berdarah akan menghan-tarkan sang penghuni baru!
Selagi Penyair Berdarah melantunkan
syair, kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya
oleh Begal Tanah Hitam. Kedua tangannya diang-
kat ke atas kepala lalu secepat kilat diturunkan kembali dan dihantamkan ke arah
Penyair Berdarah dengan telapak terbuka.
Angin dahsyat yang mengeluarkan suara
mengerikan menyambar cepat ke arah Penyair
Berdarah. Pemuda murid Iblis Gelang Kematian
ini terlihat bergetar, padahal sambaran angin
Begal Tanah Hitam belum sampai menghajar tu-
buhnya! Namun Penyair Berdarah tidak tampak
terkejut. Dia tetap tengadah seakan menunggu
tubuhnya dihajar. Baru saat pukulan itu seten-
gah depa lagi mengenai sasaran, dia tarik kedua
tangannya sejajar dada dan dihantamkan kuat-
kuat, dari mulutnya terdengar bentakan keras.
Apa yang terjadi selanjutnya sungguh luar
biasa. Sambaran angin pukulan Begal Tanah Hi-
tam ambyar lenyap! Yang terlihat kini adalah larikan sinar putih hitam melabrak
ke arah Begal Tanah Hitam! Bersamaan dengan itu hawa panas
menghampar! Begal Tanah Hitam tersirap darahnya. Dia
terkejut bukan alang kepalang. Keadaan seperti
ini tampaknya membuat kepala rampok ini len-
gah, hingga dia tak berusaha membuat gerakan
untuk menghindar atau menangkis. Dia baru sa-
dar tatkala pukulan lawan telak di depannya dan
tak ada kesempatan lagi baginya untuk bergerak.
Hingga tanpa ampun lagi tubuh kepala rampok
ini terjengkang sampai lima tombak ke belakang
dan terkapar di atas tanah! Darah kembali men-
galir dari mulut bahkan hidungnya. Namun de-
mikian, dengan mengerang merasakan nyeri pada
dadanya, laki-laki berpakaian mewah ini bergerak bangkit. Dan begitu tubuhnya
dapat berdiri, secepat kilat dia berkelebat. Bukan untuk menyergap
dan lakukan serangan, namun justru melarikan
diri! Namun sungguh tak disangka oleh Begal
Tanah Hitam. Karena begitu tubuhnya hendak
berkelebat, kedua kakinya goyah, tangannya ge-
metar, sementara dadanya sukar dibuat berna-
pas. Dengan sudut matanya dia melirik pada tan-
gan dan kedua kakinya. Tiba-tiba dia terhenyak.
Ternyata kedua kaki dan tangannya telah menjadi
kebiru-biruan pertanda jalan darahnya tersum-
bat! Menyadari dalam keadaan bahaya, dia segera
alirkan tenaga dalam. Namun belum sampai te-
naga dalamnya mengalir, tubuhnya telah oleng
dan jatuh kembali ke atas tanah!
Penyair Berdarah melangkah mendekat,
membuat Begal Tanah Hitam pucat pasi dan ge-
metaran. Laki-laki setengah baya ini sejenak berpaling pada Ratu Alam Bumi.
Meski dari mulut-
nya tidak memperdengarkan suara, namun jelas
sekali dari wajahnya bahwa dia minta bantuan.
Tapi Ratu Alam Bumi seakan acuh saja.
Malah ketika Penyair Berdarah mulai melangkah
mendekat ke arahnya, si nenek sunggingkan se-
nyum! Dan dalam hati diam-diam sadar jika Pe-
nyair Berdarah tidak bisa dianggap ringan.
"Dugaanku benar, pemuda itu tidak bisa
dipandang sebelah mata meski ia baru saja mun-
cul di arena rimba persilatan.... Kuharap semoga dia ada di jalur orang-orang
golongan putih,
meski melihat tampangnya dia tampak manusia
yang berhati kejam!" batin Pendekar 108 seraya memperhatikan langkah-langkah
Penyair Berdarah yang makin dekat dengan Begal Tanah Hitam.
Namun tiba-tiba Penyair Berdarah henti-
kan langkahnya lima langkah dari depan Begal
Tanah Hitam. Tubuhnya diputar dan kini meng-
hadap lurus pada Pendekar 108. Sepasang ma-
tanya menyengat tajam, mulutnya sunggingkan
senyum seringai ganas.
Pendekar Mata Keranjang terlihat terkejut.
Karena saat itu murid Wong Agung sedang kerah-
kan tenaga dalam ke tangannya. Hal ini dia laku-
kan untuk menangkis pukulan Penyair Berdarah,
karena dia menduga jika Penyair Berdarah sudah
pasti akan menurunkan tangan kematian pada
Begal Tanah Hitam. Perbuatan menghabisi lawan
yang sudah tidak berdaya meski itu adalah mu-
suh besar, bagi murid Wong Agung ini adalah me-
rupakan perbuatan tidak ksatria. Maka dari itu,
untuk menjaga kemungkinan, diam-diam Pende-
kar 108 kerahkan tenaga dalam untuk menyela-
matkan Begal Tanah Hitam.
"Hm.... Kalau tidak salah, benarkah aku
kini sedang berhadapan dengan manusia bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108!" Penyair Berdarah ajukan tanya.
Pendekar 108 balas tatapan Penyair Berda-
rah. Bibirnya lantas tersenyum. Sambil gosok-
gosok tangannya dengan ujung kipas yang telah
dilipat dia menjawab.
"Sahabatku bergelar Penyair Berdarah. Itu
hanyalah gelar yang diberikan oleh orang-orang.
Aku sebenarnya adalah Aji Saputra! Seorang pen-
gelana jalanan yang tak punya tujuan. Harap kau


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terima perkenalanku!"
Penyair Berdarah sejenak terdiam dengan
sepasang mata mengawasi Pendekar 108 dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Kepalanya lalu
mendongak. Kejap kemudian terdengarlah suara
tawanya, membuat Aji kerutkan dahi, lalu geleng-
kan kepala. Mendadak Penyair Berdarah hentikan ta-
wanya. Lalu berucap.
"Pendekar Mata Keranjang! Sungguh ma-
lang nasibmu, karena perkenalan ini hanya seke-
jap dan kita tak mungkin dapat bertemu lagi!"
"Sobat! Apa maksudmu...?" tanya Pendekar 108 belum dapat menebak arah bicara
Penyair Berdarah. "Orang tolol! Kita tak dapat berjumpa lagi
karena kau akan segera pula menyusul orang ini!"
habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali
kedua tangan Penyair Berdarah menghantam ke
samping, ke arah Begal Tanah Hitam yang masih
tampak kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi
peredaran jalan darahnya yang seakan tersumbat
akibat pukulan Penyair Berdarah.
Begal Tanah Hitam melengak kaget. Na-
mun sudah sangat terlambat untuk membuat ge-
rakan menghindar apalagi menangkis. Hingga
tanpa ampun lagi tubuhnya mencelat jauh dan
berkaparan di atas tanah. Sebentar tubuh kepala
rampok itu bergerak-gerak dengan keluarkan
erangan menyayat. Namun sekejap kemudian
erangannya terputus bersamaan dengan me-
layangnya nyawa dari tubuhnya!
Penyair Berdarah tersenyum puas. Semen-
tara Pendekar 108 terlihat kertakkan rahang.
Kemarahan terlihat di wajahnya. Dia sama sekali
tidak menyangka jika Penyair Berdarah akan me-
lakukan hal seperti itu.
"Hm.... Melihat gelagatnya, rupanya dia
bukan orang baik-baik! Apa tujuan sebenarnya
manusia ini..."!" Pendekar 108 menduga-duga sendiri dalam hati.
Sementara itu, melihat Begal Tanah Hitam
telah tewas, Ratu Alam Bumi menarik napas lega.
Karena saingannya untuk mendapatkan arca dari
tangan Pendekar 108 telah tiada. Namun demi-
kian, dia belum berani bertindak. Dia tampak
menunggu dan ingin mengetahui apa maksud se-
benarnya Penyair Berdarah.
"Aku lebih baik menunggu untuk mengeta-
hui apa maksud tujuan sebenarnya dari manusia
sombong ini! Kalaupun dia menginginkan juga
benda itu, aku tak akan mundur meski aku tahu
dia berkepandaian sangat tinggi!"
Ratu Alam Bumi lantas palingkan wajah
menghadap jurusan lain, namun sepasang ma-
tanya sebenarnya melirik ke arah Pendekar 108,
sementara telinganya ditajamkan untuk menjaga
jika diserang dari belakang.
"Pendekar 108! Kau telah tahu apa yang
hendak kau alami, kuberi kesempatan padamu
untuk berdoa!' tiba-tiba Penyair Berdarah kelua-
rkan suara. "Penyair Berdarah. Rasa-rasanya antara ki-
ta baru kali pertama berjumpa. Jadi tidak ada silang sengketa di antara kita.
Lantas apa salahku hingga kau seolah menginginkan aku jadi penghuni alam baka?"
Penyair Berdarah kembali perdengarkan
tawa panjang. "Rimba persilatan adalah arena pembuk-
tian siapa orang yang paling unggul. Pembuktian
tak terwujud tanpa sebuah pertarungan hidup
mati. Penyair Berdarah ingin buktikan bahwa tak
ada orang lain di atasnya!"
"Sialan! Ditanya baik-baik dijawab dengan
syair-syair butut!" Pendekar 108 memaki dalam hati. "Penyair Berdarah! Katakan
terus terang apa maumu! Aku tak ada waktu untuk bersyair-syair!"
Penyair Berdarah keluarkan dengusan ke-
ras. Kepalanya diluruskan dengan mata merah
liar menatap Pendekar108.
"Pendekar 108! Kau telah melakukan kesa-
lahan besar. Dan hukumannya adalah mati! Kau
dengar itu"!"
Pendekar 108 kernyitkan kening. Kepa-
lanya bergerak menggeleng perlahan. "Katakan
apa dosaku! Kau jangan sembrono!"
"Pendekar 108! Kesalahanmu adalah kare-
na kau mempunyai ilmu!"
Aji tertawa panjang hingga matanya terpe-
jam dan terbuka. Sementara di belakangnya
dengkuran Setan Arak makin keras. Ratu Alam
Bumi segera palingkan wajah. Sepasang mata ne-
nek ini jadi membeliak melihat tingkah Setan
Arak. Hatinya dongkol bukan main. Namun dia
tak hendak beranjak dari tempatnya.
"Aneh...," kata Pendekar 108 seraya manggut-manggut "Mempunyai ilmu merupakan
kesa- lahan. Hm.... Siapa yang punya peraturan demi-
kian..."!"
"Mata Keranjang! Camkan di dadamu! Di
hadapan Penyair Berdarah, setiap orang yang
mempunyai ilmu adalah manusia berdosa dan
layak dihukum mati!"
Mendengar ucapan Penyair Berdarah, Pen-
dekar 108 berpaling pada Ratu Alam Bumi, lalu
menoleh pada Setan Arak dan berkata.
"Jadi di sini bukan aku saja yang melaku-
kan dosa besar. Tapi juga dia dan dia! Betul..."!"
sambil berkata Pendekar 108 angkat jari telun-
juknya dan ditunjukkan pada Ratu Alam Bumi la-
lu pada Setan Arak.
Penyair Berdarah tersenyum sinis. Setelah
meludah dia berkata.
"Ucapmu tak salah. Setelah kau, giliran
nenek busuk itu. Lalu manusia yang sedang mo-
lor itu!" Tampang Ratu Alam Bumi langsung beru-
bah dikatakan nenek busuk. Tapi lagi-lagi dia
masih menahan amarahnya. Dia menyadari jika
Penyair Berdarah mempunyai ilmu tinggi, dan dia
berharap agar Penyair Berdarah berhadapan da-
hulu dengan Pendekar 108. Dengan demikian ba-
gaimanapun juga tenaganya nanti pasti telah ber-
kurang. Karena dia juga yakin Pendekar 108 tidak akan tinggal diam. Berpikir
sampai di situ, nenek ini hanya diam saja meski hatinya diamuk hawa
amarah. "Manusia gila! Peraturannya pun pasti gila.
Orang berilmu dianggapnya dosa besar...," Pendekar 108 angguk-anggukkan kepala
dengan bibir tersenyum. Lalu berkata tanpa memandang pada
Penyair Berdarah.
"Kalau setiap orang berilmu kau anggap
berdosa besar, bahkan harus menerima hukuman
mati, tentunya kau pun berdosa besar dan layak
dihukum mati! Bukankah kau juga seorang be-
rilmu" Bahkan telah melakukan pembunuhan se-
cara licik! Menewaskan lawan yang telah tidak
berdaya!" "Ha ha ha...! Peraturan itu aku yang mem-
buat. Jadi aku yang menentukan!' kata Penyair
Berdarah seraya usap-usap dadanya. Rambutnya
yang terlihat bergerai ke depan disibakkannya.
"Hm.... Begitu" Dengar baik-baik! Sekarang
pun aku membuat peraturan. Barang siapa mem-
buat peraturan tanpa seizinku, maka dia telah
berbuat dosa amat besar. Dan hukumannya ada-
lah pancung kepala!" sejenak Pendekar 108 hentikan ucapannya, lalu seraya usap
hidungnya dia melanjutkan. "Kau telah dengar peraturanku. Tanpa ku-
jelaskan kau tentunya telah mengerti. Apa kau telah pula siap menerima hukuman
pancung" Ka-
rena kau membuat peraturan tanpa seizinku"!"
"Bangsat anjing!" bentak Penyair Berdarah marah besar. "Kita buktikan siapa di
antara kita yang pantas untuk membuat peraturan!" sambil berkata dia melompat
dan tahu-tahu tubuhnya
telah tiga langkah di hadapan Pendekar 108. Se-
pertinya tidak ingin memberi kesempatan pada
lawan, kedua tangannya langsung berkelebat ki-
rimkan hantaman pada kepala lawan!
Pendekar 108 yang telah waspada cepat
angkat kedua tangannya menyongsong kelebatan
tangan lawan. Prakkk! Bukkk! Bukkk! Pendekar 108 langsung terputar dan jatuh
terduduk. Melirik, dia terkejut. Kedua lengannya telah berubah membiru. Dadanya
berdenyut nyeri, sedangkan telinganya berdengung panas!
Di depan, sepuluh langkah dari tempat
Pendekar 108, Penyair Berdarah terlihat terkapar.
Namun pemuda berjubah hitam bergaris-garis
putih ini segera bergerak bangkit. Parasnya berubah mengelam. Sejenak dia
merapatkan kedua
tangannya kerahkan tenaga dalam untuk menga-
tur jalan darahnya yang seperti terhenti!
"Hm... benar apa yang dikatakan Guru.
Pendekar ini memang harus segera disingkirkan.
Ilmunya tinggi, tenaga dalamnya kuat!" batin Penyair Berdarah seraya bangkit
berdiri dan me-
mandang liar pada Pendekar108.
Sepuluh langkah di hadapannya, Pendekar
108 telah pula berdiri dan balas menatap. Untuk
beberapa saat lamanya kedua pemuda ini saling
bentrok pandangan.
"Hmm.... Tak bisa dipungkiri, manusia satu
ini cukup hebat. Sayang, kehebatannya diguna-
kan pada jalan yang keliru! Orang seperti ini harus mendapat pengajaran!" bisik
Pendekar 108 dalam hati. Selagi kedua pemuda ini saling diam den-
gan pikiran masing-masing, Ratu Alam Bumi me-
lirik ke arah Setan Arak.
"Ini kesempatan baik. Manusia arak itu ter-
lalu bahaya jika dibiarkan hidup. Bukan mustahil dia nanti malah menjadi
penghalang rencanaku!
Sebelum terlambat, lebih baik kusingkirkan da-
hulu!" Ratu Alam Bumi segera berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah berdiri di
depan Setan Arak.
Anehnya, begitu sosok Ratu Alam Bumi te-
lah berdiri dengan mata berkilat-kilat, Setan Arak makin keras dengkurnya! Malah
sesaat kemudian
tubuhnya bergerak membalik dan memunggungi
Ratu Alam Bumi! Bukan hanya sampai di situ,
bersamaan dengan membaliknya tubuh, terden-
gar suara mendesis dari pantatnya!
Duuusss! Bau tak sedap segera menghampar keluar
dan melingkupi sekitarnya.
"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi sambil
angkat tangannya dan ditakupkan menutupi hi-
dung. Bersamaan dengan itu dia meloncat seten-
gah tombak dan serta-merta kaki kanannya dis-
apukan pada tubuh Setan Arak!
Melihat hal ini, Pendekar 108 yang sedari
tadi melirik tingkah Ratu Alam Bumi sempat ter-
cengang. Namun dia tak berani berbuat banyak.
Dia khawatir, jika ia lengah sedikit bukan tak
mungkin akan digunakan kesempatan oleh Pe-
nyair Berdarah. Menyadari hal ini, murid Wong
Agung hanya bisa memandang dengan batin me-
maki tiada habis-habisnya.
Di lain pihak, Penyair Berdarah tampak
tersenyum sinis. Namun diam-diam dia merasa
lega. Karena dengan tewasnya Setan Arak, maka
lawannya akan jadi berkurang. Meski dia sendiri
yakin bisa mengalahkan Setan Arak.
"Hancur tubuhmu!" teriak Ratu Alam Bu-
mi. Namun apa yang kemudian terjadi sungguh di
luar dugaan. Karena begitu sejengkal lagi kaki Ra-tu Alam Bumi akan menghajar
sosok Setan Arak
mendadak laki-laki berselendang bumbung arak
ini hentikan dengkurnya. Tangan kirinya seakan
tanpa sengaja melejang dan menyodok bumbung
arak yang dibuat bantalan kepalanya. Bumbung
arak itu mencelat, namun bersamaan dengan itu
kepalanya bergerak menggelinding ke bawah de-
mikian pula tubuhnya! Hingga sapuan kaki Ratu
Alam Bumi lewat sejengkal di belakangnya! Bah-
kan kalau saja si nenek tidak cepat tarik pulang kakinya, niscaya kakinya akan
menghajar pohon!
Begitu lolos dari sapuan kaki, tubuh Setan
Arak terus bolak-balik menggelinding. Saat ter-
henti, posisinya tetap seperti semula. Berbantal salah satu bumbung araknya dan
memunggungi! Dengkurnya pun kembali terdengar!
Pendekar 108 menarik napas lega. Malah
kepalanya menggeleng dengan bibir tersenyum.
Namun tidak demikian halnya dengan Penyair
Berdarah. Pemuda ini terlihat katupkan rahang-
nya rapat-rapat. Matanya membelalak dengan
dahi mengernyit. Dia mulai sadar, jika Setan Arak bukanlah orang sembarangan.
Dalam keadaan tidur masih dapat menghindari serangan Ratu
Alam Bumi!

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang paling marah adalah Ratu Alam Bu-
mi. Parasnya merah membara dengan tubuh ge-
metar. Dadanya bergemuruh hingga pakaiannya
laksana ditiup angin. Nenek ini segera takupkan
kedua tangan di atas kepala. Perlahan-lahan lalu diturunkan dengan dibuka.
Mulutnya komat-kamit mengucapkan gumaman tak jelas. Tiba-tiba
dia membentak keras dengan meloncat ke depan.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya dihan-
tamkan ke arah Setan Arak!
Werrr! Werrr! Dua gelombang angin yang mengeluarkan
suara menggemuruh melesat. Di belakangnya
menyusul beberapa bersitan sinar redup. Tam-
paknya Ratu Alam Bumi telah kerahkan pukulan
andalannya yakni 'Topan Sinar Membelah'!
"Belah tubuh keringmu!" seru Ratu Alam Bumi dengan senyum seringai.
Lima tombak di depannya, Setan Arak tiba-
tiba bangkit dengan masih duduk memunggungi.
Anehnya, meski kini telah duduk, tubuhnya
goyang-goyang seperti goyangan tubuh Ratu Alam
Bumi yang memang tak bisa terhenti. Dan dari
mulutnya masih terdengar suara dengkuran! Lalu
kedua tangannya direntangkan seperti orang
menggeliat dari tidur. Namun tiba-tiba rentangan kedua tangan itu mengibas ke
belakang! Wesss! Wesss! Dua bongkahan asap tiba-tiba mengepul
dan membentuk bumbung bambu agak besar. Ra-
tu Alam Bumi tercengang dan keluarkan seruan
kaget. Dua gelombang angin pukulannya melesat
masuk dalam asap yang membentuk bumbung,
demikian juga bersitan sinar redup yang menyu-
suli! Dan nenek ini makin terlengak tatkala melihat dua asap bumbung itu kini
melesat lurus ke
arahnya! Sebagai orang yang telah pengalaman ma-
lang melintang dalam rimba persilatan, meski da-
lam keadaan terlengak begitu, Ratu Alam Bumi
masih bisa berpikir cepat. Kedua kakinya diban-
tingkan. Tubuhnya melesat ke udara. Kedua tan-
gannya segera dihantamkan ke bawah!
Namun nenek ini kembali dibuat terperan-
gah. Asap bumbung yang dihindarinya tiba-tiba
membumbung mengikuti lesatan tubuhnya! Hing-
ga tiada jalan lain bagi si nenek kecuali arahkan hantaman tangannya pada asap
bumbung. Bummm! Bummm! Terdengar dentuman dahsyat dua kali keti-
ka hantaman Ratu Alam Bumi menggebrak asap
bumbung. Namun karena hantaman itu dilancar-
kan di udara serta jaraknya telah begitu dekat,
mika bias dentuman itu membalik dan menghan-
tam tubuhnya! Begitu suara gema dentuman lenyap dan
asap telah sirap, tubuh Ratu Alam Bumi telah terlihat terkapar di atas tanah dan
tak mampu bangkit! Kedua tangannya tampak membiru dan
menggelembung. Rambutnya yang keriting dan
disanggul ke atas terpapas hingga hampir gundul!
Perlahan nenek ini bergerak miring. Dia terpekik, bersamaan dengan miringnya
tubuh, dari sudut
bibirnya mengalir darah segar!
"Bangsat!" maki Ratu Alam Bumi seraya
hendak bangkit dengan tekankan kedua tangan-
nya. Namun lagi-lagi nenek ini terpekik. Kedua
tangannya terasa hendak penggal saat digerak-
kan. Hingga dia urungkan niat untuk bangkit.
Sebaliknya dia segera tarik tangannya perlahan-
lahan ke arah dada lalu kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya untuk mengatasi rasa
sakit yang kini
bukan hanya terasa di kedua tangannya namun
juga dadanya! Di seberang, Pendekar 108 tarik kedua
tangannya kembali lalu putar tubuhnya. Kini du-
duk menghadap Ratu Alam Bumi dengan kedua
tangan memegang bumbung bambu arak dan
dengan mata terbuka terpejam ditenggaknya arak
itu silih berganti!
Murid Wong Agung kembali hanya bisa ge-
leng-geleng kepala. Saat itulah tiba-tiba Penyair Berdarah hantamkan kedua
tangannya! LIMA SINAR redup yang mengeluarkan suara
aneh seperti suara rebab menyebar laksana kilat
ke arah Pendekar 108! Inilah pukulan sakti
'Suara Kematian' yang didapatnya dari gurunya
Iblis Gelang Kematian. Hebatnya, bersamaan den-
gan mengalunnya suara rebab cuaca berubah pa-
nas menyengat namun keadaan redup hampir ge-
lap! "Pembokong licik!" seru Pendekar 108 cepat miringkan tubuh menghadap
Penyair Berdarah.
Namun betapa terkejutnya murid Wong Agung ini.
Pukulan lawan ternyata telah berada setengah
depa di depan hidungnya! Sekalipun saat itu Pen-
dekar 108 berusaha untuk menyelamatkan diri
dengan bergerak menghindar, tapi keadaannya
sudah terlambat. Hingga meski masih sempat
mengelak, namun serangan itu akan tetap telak
menghajar tubuhnya!
"Celaka tiga belas!" gumam Pendekar Mata Keranjang dengan paras membeku. Karena
sudah tidak bisa lagi menghindar apalagi lancarkan se-
rangan untuk menangkis, jalan satu-satunya
yang diambil murid Wong Agung ini hanyalah ke-
rahkan tenaga dalamnya agar tubuhnya kuat
menghadang serangan lawan.
Di saat yang mengerikan itu, mendadak
melesat dua benda bundar agak panjang. Satu
menghantam tubuh Pendekar 108 dan satunya
menangkis serangan Penyair Berdarah.
Benda yang ternyata adalah bumbung
bambu itu kontan hancur berkeping-keping, lalu
ambyar menjadi lembut dan lenyap dihembus an-
gin! Tanah tempat Pendekar 108 berdiri terlihat
terbongkar besar dan tanahnya membumbung ke
udara membuat suasana makin redup. Ketika ta-
nah telah sirap kembali dan sinar redup lenyap,
Pendekar 108 terlihat terkapar di atas tanah lima belas langkah di samping
tempat terbongkarnya
tanah. Namun keadaannya tidak cidera sedikit
pun! Hal ini terjadi karena sewaktu sejengkal lagi pukulan Penyair Berdarah
menghajar tubuhnya,
bumbung bambu terlebih dahulu menghantam
tubuhnya, hingga tubuhnya mencelat. Ini menye-
lamatkannya dari pukulan maut Penyair Berda-
rah. Melihat ada orang menyelamatkan Pende-
kar 108, Penyair Berdarah bantingkan kaki ke ta-
nah. Tanah itu langsung terbongkar. Matanya
mendelik angker. Kepalanya cepat berpaling pada
Setan Arak. Melihat benda apa yang berhasil me-
nangkis serangannya dan sekaligus menyela-
matkan jiwa Pendekar 108, Penyair Berdarah ini
segera bisa menduga siapa gerangan orang yang
melakukannya. "Setan satu itu benar-benar tidak bisa di-
pandang sepele! Lemparan bumbung bambu
araknya saja bisa menggagalkan pukulan 'Suara
Kematian'. Hm.... Orang macam begitu harus di-
lawan dengan kelicikan! Tapi.... Aku harus sele-
saikan pendekar keparat itu dulu!" Penyair Berdarah palingkan kembali wajahnya
pada Pendekar 108 yang telah bangkit dan terlihat memandang
ke arah Setan Arak yang ternyata masih asyik
dengan gelegukan araknya. Dia seakan tidak me-
rasa telah menyelamatkan jiwa seseorang!
"Setan Arak!" teriak Aji seraya melambai-kan tangan. "Terima kasih atas
bantuanmu!"
Yang diteriaki jangankan memandang, melirik
pun tidak! Pendekar 108 lantas cepat buka kipas un-
gunya, tangan kirinya ditarik ke belakang. Tiba-
tiba tangan kirinya berubah menjadi biru berca-
haya. Tampaknya murid Wong Agung telah ke-
rahkan pukulan Mutiara Biru. Dia merasa geram
pada Penyair Berdarah yang bersikap licik. Juga
karena Penyair Berdarah ingin mencelakai di-
rinya. Saat itulah Penyair Berdarah tengadahkan
kepala. Dari mulutnya terdengar suara lantunan
syair. Alam baka telah membuka pintunya lebar-
lebar bagi penghuni baru.
Darah akan segera mengalir. Penyair Ber-
darah akan melangkah mengantar. Jurus Alam
Kematian! Bersamaan dengan itu, kedua tangan Pe-
nyair Berdarah berubah merah menyala. Inilah
jurus andalan yang berhasil dipelajarinya dari Iblis Gelang Kematian di puncak
Bukit Tumpang Gede. Kedua tangan yang telah berubah warna itu
langsung diangkat sejajar dagu. Tempat itu serta-merta berubah merah kekuningan.
Dan didahului bentakan dahsyat, Penyair Berdarah dorongkan
tangannya! Bongkahan laksana bola api besar melesat
cepat ke arah Pendekar 108. Di depan, Pendekar
108 pun segera sentakkan kedua tangannya. Si-
nar biru segera pula menyongsong disertai sinar
putih yang menebar membentuk kipas.
Gelegar dahsyat segera menggemuruh. Li-
dah-lidah api tampak semburat ke segala juru-
san. Asap tebal menutupi tempat itu.
Di balik asap tebal, Aji yang terlihat hampir
terjerembab jatuh merasakan lengannya dibetot
orang, hingga tubuhnya selamat dari menghem-
pas tanah. Namun murid Wong Agung ini masih was-
pada, hingga meski merasa telah diselamatkan
orang, dia cepat berpaling dan siap dengan tan-
gan menghantam. Namun begitu tahu siapa
adanya orang yang membetot tangannya, dia me-
nurut saja tangannya digeret menjauh.
"He! Ikuti aku! Tapi ingat, jangan memban-
tah dulu!" kata sang pembetot yang ternyata adalah Setan Arak. Lalu berkelebat
meninggalkan tempat itu. Meski masih diliputi tanda tanya besar,
Pendekar Mata Keranjang 108 mengikuti keleba-
tan Setan Arak.
Sementara itu, begitu gelegar menghentak
tubuh Penyair Berdarah tampak mencelat ke be-
lakang. Tubuhnya tak dapat dikuasai lagi hingga
saat itu juga menghujam tanah! Namun pemuda
ini segera kerahkan tenaga dalam untuk menga-
tasi rasa sakit di dada dan kedua tangannya. Lalu perlahan-lahan bergerak
bangkit duduk. Sepasang matanya dikatupkan, kedua tangannya dis-
atukan dengan mulut bergerak-gerak. Meski den-
gan sisa tenaganya tampaknya pemuda ini masih
menyiapkan pukulan kembali.
Saat itulah tiba-tiba Penyair Berdarah me-
rasakan siuran angin dari arah belakang. Khawa-
tir kalau itu serangan lawan, dia segera balikkan tubuh memutar dan siap
lancarkan pukulan.
Namun tangannya segera diluruhkan kembali
tatkala samar-samar dia dapat menangkap sosok
yang dikenalnya di balik hamparan asap.
"Manding! Tak ada gunanya kau siapkan
pukulan! Lawanmu telah pergi!" berkata sosok yang kini ada di hadapan Penyair
Berdarah dan tadi memanggilnya dengan nama aslinya.
Dia adalah seorang perempuan tua renta.
Rambutnya panjang hingga betis. Mengenakan
baju panjang berwarna hitam dengan pakaian
bawah kembang-kembang putih. Pada tangannya
tampak melingkar beberapa gelang berwarna kun-
ing. "Guru! Kenapa kau mencegahku untuk lakukan serangan" Padahal orang itu
adalah orang yang kau kira dapat menghalangi langkahku se-
lanjutnya!"
Perempuan tua renta yang bukan lain ada-
lah Iblis Gelang Kematian, guru Penyair Berdarah tengadahkan kepala seakan
menatapi asap yang
masih melingkupi tempat itu.
"Manding! Seperti yang kukatakan, lawan-
mu telah meninggalkan tempat ini!"
Seakan ingin membuktikan kata-kata gu-
runya, Penyair Berdarah segera putar kembali tu-
buhnya. Matanya memandang tajam ke depan.
Dan begitu asap telah lenyap, Penyair Berdarah
memang tidak lagi melihat sosok Pendekar Mata
Keranjang. Kepalanya lantas berpaling ke samp-
ing. Di juga terkejut, di tempatnya tadi berada, Setan Arak pun tak terlihat.
Yang tampak adalah
tubuh Begal Tanah Hitam yang telah tewas dan
kini berubah hitam! Ini karena terkena bias ben-
troknya pukulan. Sementara agak jauh, samar-
samar terlihat Ratu Alam Baka merangkak hen-
dak meninggalkan tempat itu.
Karena marah melihat lawannya telah per-
gi, kemarahannya kini ditumpahkan pada Ratu
Alam Baka yang sedang merangkak hendak men-
jauhi tempat itu. Dan tanpa bicara lagi, kedua


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya yang tadi disiapkan menyerang Pende-
kar 108 dihantamkan ke arah Ratu Alam Baka.
Karena dalam keadaan terluka, maka daya
pendengaran Ratu Alam Baka telah jauh berku-
rang, hingga dia baru sadar jika diserang tatkala pukullah itu telah sedepa di
sampingnya. Nenek
ini jadi terperangah, dan sudah terlambat baginya untuk selamatkan diri. Hingga
saat itu juga pukulan Penyair Berdarah menghajar telak tubuh Ratu
Alam Baka. Jeritan tinggi seakan merobek langit keluar
dari mulut Ratu Alam Baka. Bersamaan itu tu-
buhnya mencelat dan menghujam tanah dengan
nyawa melayang!
Sesaat suasana mengandung kematian
menyentak tempat itu. Penyair Berdarah bergerak
bangkit. Sejenak diusap-usapnya dadanya yang
berdenyut sakit. Dan tak lama kemudian dia me-
ludah. Ludah itu telah berwarna hitam menanda-
kan bahwa pemuda itu terluka dalam.
"Hm.... Pukulanmu hampir sempurna.
Hanya kau harus rajin berlatih!" puji Iblis Gelang Kematian seraya melangkah
mendekat. "Guru!" kata Penyair Berdarah tanpa berpaling pada Iblis Gelang Kematian. "Siapa
sebenarnya manusia bergelar Setan Arak itu"!"
Iblis Gelang Kematian sedikit terkejut men-
dengar pertanyaan muridnya. Seakan masih tak
percaya, dia ajukan pertanyaan balik.
"Kau menyebut Setan Arak..."!"
"Tua bangka tuli!" kata Penyair Berdarah memaki dalam hati. Lalu masih tanpa
berpaling pada gurunya dia berkata.
"Benar! Siapa sebenarnya manusia itu"
Dan ada di golongan mana"!"
Sejenak Iblis Gelang Kematian terdiam.
Tangannya bergerak-gerak hingga terdengar suara
dentingan gelang-gelangnya yang saling bersen-
tuhan. "Manding!" kata Iblis Gelang Kematian setelah diam beberapa lama. "Setan
Arak adalah salah seorang tokoh tua yang ilmunya sulit untuk
dijajari siapa saja. Sifatnya aneh, serta sulit ditebak. Hingga tak bisa
ditentukan di mana dia se-
benarnya bergolong. Kadang-kadang kumpul den-
gan orang-orang golongan hitam, namun tak ja-
rang pula membantu orang-orang golongan putih.
Hanya saja aku cenderung memasukkannya pada
orang-orang golongan putih. Karena dia sering
memihak orang-orang golongan putih meski tak
bermusuhan dengan orang golongan hitam.
Hmm.... Apakah kau bertemu dengan dia"!"
"Bukan hanya bertemu, tapi dialah kepa-
ratnya yang telah menyelamatkan Pendekar Mata
Keranjang 108! Aku bersumpah, sekali lagi ber-
temu tak akan kuampuni nyawanya!" kata Pe-
nyair Berdarah dengan suara tinggi.
"Hmm.... Tujuanmu bagus. Namun kau ha-
rus tetap berhati-hati menghadapinya! Kelicikan mutlak diperlukan dalam
menghadapi orang seperti dia! Kau mengerti?"
Penyair Berdarah tidak menyahut. Kepa-
lanya pun tidak bergerak menggeleng atau men-
gangguk sebagai isyarat atas kata-kata gurunya.
Namun Iblis Gelang Kematian tampaknya tidak
merasa dongkol dengan sikap muridnya itu. Sem-
bilan tahun hidup bersama telah membuatnya
tahu bagaimana sikap dan sifat muridnya.
"Manding.... Di sini sudah tidak ada apa-
apa lagi. Kau terluka dalam. Sebaiknya kita men-
cari tempat istirahat sambil mengobati lukamu!"
Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kema-
tian melangkah meninggalkan tempat itu. Penyair
Berdarah sebenarnya masih ingin mengejar Pen-
dekar Mata Keranjang, namun setelah dipikir-
pikir, dia menyadari bahwa ucapan gurunya ada
benarnya bahwa dia terluka. Karena saat itu
kembali dadanya berdenyut sakit dan tubuhnya
gemetar. Maka dengan menindih rasa sakit dan
marah dia pun melangkah menyusul gurunya.
ENAM SETAN Arak menghentikan larinya ketika
tiba pada suatu tempat yang sepi dekat sebuah
pancuran air yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Begitu Aji sampai, murid Wong Agung ini lang-
sung ajukan pertanyaan.
"Kenapa kau mengajakku melarikan diri"
Padahal orang macam dia perlu sekali mendapat
hajaran! Dan terlalu bahaya jika dibiarkan hi-
dup!" Setan Arak tidak segera menjawab. Justru tarik ikat pinggang yang
digelantungi beberapa
bumbung bambu berisi arak, lalu tangan kanan-
nya menyambar salah satu bumbung bambu dan
menenggak dengan lahap isinya. Setelah puas
dan matanya sayu merah, dia buka mulut.
"Orang macam dia memang tidak layak di-
beri pijakan tanah untuk hidup. Namun bukan
saat ini waktunya untuk memberi pelajaran. Sua-
tu saat nanti kau pasti akan dipertemukan lagi!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tertawa pen-
dek seakan mengecilkan arti kata-kata Setan
Arak. "Setan Arak! Apakah menghajar orang perlu menanti waktu" Kalau sekarang
bisa kenapa harus ditunda-tunda lagi" Bukankah itu malah
memberi kesempatan..."!"
Setan Arak goyang-goyangkan kepalanya.
Dia kini balik tertawa.
"Kau tak tahu. Sebentar setelah kepergian
kita, telah datang di tempat itu seorang lagi. Entah siapa dia aku tak bisa
menentukan. Yang je-
las pendatang itu berilmu sangat tinggi. Bukan-
nya aku takut menghadapi orang, namun karena
yang akan menghadapi urusan selanjutnya ada-
lah kau, maka akan terlalu bodoh jika membiar-
kan kau mati sia-sia terlebih dahulu!"
"Jadi kau kira aku akan bisa dibuat tewas
oleh pendatang itu"!" tanya Pendekar 108 sedikit geram.
"Kau jangan meradang. Dan bukannya aku
mengatakan kau akan kalah menghadapi penda-
tang itu. Namun dugaanku bisa menghitung jika
kau belum mampu untuk mengalahkannya! Kau
jangan terlalu sombong dengan apa yang kau mi-
liki sekarang! Ingat. Di atas langit masih ada langit!" Pendekar 108 terdiam
mendengar ucapan Setan Arak. Untuk beberapa saat dia tercenung
seolah mencerna ucapan itu. Kepalanya lantas
manggut-manggut.
"Hmm.... Lantas apa maumu mengajakku
ke sini?" Setan Arak menenggak araknya kembali.
Lalu berkata. "Ilmumu cukup tinggi. Namun gerakan
menghindarmu kulihat masih kurang. Kau harus
tahu, mempunyai pukulan hebat tanpa diimbangi
dengan ilmu menghindar, akan sama halnya ber-
baju tanpa celana!"
Sepasang bola mata Aji membesar. "Kulihat
gerakan menghindar orang ini memang aneh dan
hampir tak dapat dipercaya, namun nyatanya bi-
sa menyelamatkan. Hmm.... Apakah ucapannya
tadi pertanda dia akan mengajarkan padaku ilmu
menghindar...?" batin Aji.
"He! Kenapa kau memandangku begitu ru-
pa"!" seru Setan Arak.
"Setan Arak!" kata Pendekar Mata Keranjang sambil menjura. "Kuharap kau mau
mengajarkan padaku ilmu yang kau terangkan tadi!"
Setan Arak mendehem beberapa kali. Da-
lam hati diam-diam dia berkata.
"Sebenarnya aku sudah tidak ingin menga-
jarkan apa pun pada orang lain. Namun melihat
banyak berkeliarannya orang-orang sesat, tak ada salahnya jika aku mengajari
anak ini. Kalau dia
telah diangkat murid oleh Wong Agung, tidak
mungkin dia menggunakan ilmunya di jalan sa-
lah!" setelah memikir, akhirnya ia berkata.
"Baiklah. Akan kuajarkan sedikit ilmu pa-
damu! Ikuti aku!" selesai berkata, Setan Arak berkelebat ke arah timur di mana
terdapat sebuah dataran agak luas yang di sana-sini tampak
beberapa gundukan batu-batu padas.
Pendekar 108 segera menjura dan balikkan
tubuh mengikuti arah kelebatan Setan Arak.
*** Di dalam sebuah gua batu, Iblis Gelang
Kematian terlihat duduk bersila dengan mata
memandang lurus ke arah mulut gua. Di depan-
nya Penyair Berdarah terlihat tidur telentang dengan sepasang mata mengatup
rapat. Namun tak
lama kemudian pemuda ini bergerak bangkit dan
duduk menghadap Iblis Gelang Kematian.
"Bagaimana sekarang...?" Iblis Gelang Kematian buka suara.
"Terasa lebih baik...!" jawab Penyair Berdarah dengan melirik kedua tangannya
yang telah pulih kembali. Dadanya pun tak lagi berdenyut
sakit. "Manding! Kau sekarang telah tahu sendiri bagaimana ganasnya rimba
persilatan. Ini belum
sampai kau bertemu dengan tokoh-tokoh tua
lainnya. Maka dari itu, kau harus ingat kata-
kataku tempo hari!"
Manding Jayalodra alias Penyair Berdarah
anggukkan kepalanya. Kali ini agaknya pemuda
ini tak menampakkan rasa sombongnya.
"Dan juga perlu kau ingat, sehebat-
hebatnya seseorang, pasti dia mempunyai kele-
mahan! Di sinilah kau dituntut untuk dapat men-
getahui kelemahannya! Jika hal itu telah kau da-
pat, sehebat apa pun dia, tak ada artinya di ha-
dapanmu!" "Kalau boleh tahu, di manakah kelemahan
seseorang itu sebenarnya?"
Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh.
"Kelemahan seseorang itu bermacam-macam.
Namun satu hal yang pasti, seseorang pasti akan
goyah jika dihadapkan pada perempuan. Nah,
senjata inilah yang kini harus kau miliki! Tapi
bukan sembarang perempuan. Perempuan senjata
ini harus mempunyai beberapa syarat!"
"Katakan, apa syarat-syarat itu. Guru!"
"Pertama. Dia harus berilmu tinggi. Kedua
harus berwajah cantik bahkan kalau perlu mem-
punyai sifat penggoda. Ketiga dia harus tergan-
tung padamu! Dan yang terakhir, dia mempunyai
dendam pada lawanmu. Atau setidak-tidaknya
mempunyai masalah dengan lawanmu!"
Penyair Berdarah kembali angguk-
anggukkan kepala. Mulutnya lantas membuka
hendak bicara. Namun sebelum ucapannya ter-
dengar, Iblis Gelang Kematian telah bicara kem-
bali. "Manding. Akhir-akhir ini kudengar kabar bahwa ada seorang gadis berilmu
tinggi dan berwajah cantik bernama Sakawuni mempunyai ma-
salah dengan Pendekar 108. Setelah kuselidiki,
ternyata gadis itu adalah bekas anak murid Ageng Panangkaran. Seorang tokoh yang
tewas entah oleh siapa. Dan ternyata, gadis itu menuduh Pen-
dekar 108-lah yang membunuh bekas gurunya!
Nah, ini kesempatan baik bagimu. Kalau kau ber-
hasil membujuk gadis itu, Pendekar 108 akan
mudah kau atasi. Demikian juga tokoh-tokoh
lainnya!" Sepasang mata Penyair Berdarah berbinar
besar. "Aku akan segera mencari gadis itu!" seru Penyair Berdarah.
"Itu lebih baik. Tapi ingat, dia harus ter-
gantung dulu padamu! Setidak-tidaknya kau ha-
rus menanam budi padanya terlebih dahulu. Se-
telah itu barulah kau jalankan muslihatmu!"
"Segala ucapmu akan kuingat. Guru!"
"Hmm.... Sekarang aku harus pergi...,' ha-
bis berkata begitu, Iblis Gelang Kematian bangkit dan tanpa memandang lagi pada
Penyair Berdarah dia berkelebat meninggalkan gua.
"Hmm.... Aku harus secepatnya menemu-
kan gadis itu!" seru Penyair Berdarah seraya bangkit dan melangkah keluar gua.
TUJUH SEORANG laki-laki berusia amat lanjut
bertubuh kurus tinggi serta berparas angker ter-
lihat mondar-mandir di dekat perapian. Kakek ini mengenakan jubah besar warna
biru gelap. Di atas kepalanya tampak sebuah caping lebar dari
bahan kulit berwarna hitam yang di bagian atas-
nya dibuat terbuka seakan sengaja ingin menun-
jukkan rambutnya yang tumbuh amat jarang dan
kaku seperti ijuk. Sepasang matanya amat besar
sementara bibirnya tebal. Kulit wajahnya demi-
kian tipis hingga seperti tak berkulit. Selain tampak angker, ada keanehan pada
kakek ini yang membuatnya makin menakutkan sekaligus men-
gagumkan. Ternyata, meskipun terlihat melang-
kah mondar-mandir, sepasang kaki kakek ini be-
rada sejengkal di atas tanah! Dari sini jelas bisa dipastikan jika laki-laki tua
ini bukan orang sembarangan!
Entah karena kesal mondar-mandir, kakek
ini lantas hentikan langkahnya, tangan kanannya
bergerak mengusap wajahnya yang berkulit tipis.
Lalu merapikan jubahnya yang menyibak dihem-
bus angin malam. Kepalanya lantas tengadah
memandangi langit yang tampak menghitam. Na-
mun tampaknya dia tak bisa pusatkan perhatian,
karena sejenak kemudian kepalanya kembali lu-


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus ke depan. Dan yang tampak kini adalah ber-
geraknya kedua bahunya menghembuskan napas
dalam-dalam. Melihat gerak-geriknya, berat du-
gaan jika kakek ini sedang dilanda masalah yang
belum bisa diatasinya. Dan melihat pancaran ma-
tanya yang kini tampak berkilat-kilat, bisa ditebak jika dia tengah marah dan
kecewa. Tiba-tiba kakek ini balikkan tubuhnya. Da-
lam pantulan sinar yang memancar dari perapian,
tampak jelas kilatan matanya. Sepasang matanya
yang besar kini lurus ke depan tak kesiap. Tu-
buhnya sedikit bergetar. Mulutnya komat-kamit
menggumam tak jelas. Untuk beberapa lama ma-
tanya tetap memandang lurus ke depan, bukan
menatap pada perapian atau menembusi kegela-
pan malam. Melainkan pada sesosok tubuh yang
menggelantung dekat perapian. Sosok yang
menggelantung kedua tangan dan kakinya terikat.
Kedua tangannya menyatu diikat dan ditarik den-
gan seutas tali yang diikatkan pada sebuah ba-
tang pohon. Sosok yang menggelantung adalah seorang
gadis muda berparas cantik jelita. Rambutnya
panjang dengan hidung mancung dan bibir mem-
bentuk bagus. Dadanya membusung menantang
sementara pinggulnya mencuat menggemaskan.
Dara ini menggunakan pakaian coklat bergaris-
garis. Mungkin karena merasa dipandangi atau
mungkin juga karena kesemutan, kedua kelopak
mata si gadis yang sedari tadi terpejam tampak
bergerak-gerak membuka. Untuk sesaat mata bu-
lat si gadis memandang sayu ke arah perapian.
Mata itu lantas menyipit dan tiba-tiba membela-
lak besar. Dia tampak terkejut. Lalu kepalanya
menunduk memandangi dirinya. Dia terlihat ma-
kin terperangah ketika mendapati dirinya dalam
keadaan tergantung.
Kepala si gadis lalu tampak digoyang ke
kanan kiri. Tangannya pun digerak-gerakkan
seakan ingin melepaskan diri. Namun ketika
mendapati ikatan tangannya begitu kuat, gadis ini menghela napas panjang.
Kepalanya tengadah
kembali seakan mengingat-ingat.
"Apa yang terjadi dengan diriku..." Dan
siapa yang melakukan ini...?" si gadis mulai berkata dalam hati.
"Hmm.... Bukankah saat itu aku sedang
terluka karena hajaran Guru..." Dan rasa-
rasanya saat itu aku ditolong oleh Pendekar Mata Keranjang si keparat itu! Apa
dia yang melakukan ini...?" Kembali si gadis menarik napas dalam-dalam. Namun
dia sedikit terkejut.
"Aneh. Dadaku sudah tidak lagi terasa sa-
kit. Demikian juga sekujur tubuhku. Padahal saat itu aku sampai pingsan karena
sakit. Hmm.... Kalau pendekar keparat itu yang melakukan ini,
pasti dia masih ada di sekitar sini!"
Tanpa memandang ke kanan kiri lagi, gadis
ini buka mulut hendak berteriak. Namun sebelum
teriakannya keluar, terdengar batuk-batuk bebe-
rapa kali hingga si gadis cepat takupkan kembali mulutnya dan urungkan niat
untuk berteriak.
Sepasang matanya cepat melirik ke arah datang-
nya suara batuk-batuk.
Sepasang mata si gadis mendadak membe-
liak besar. Bibirnya bergetar.
"Guru...!" seru si gadis tatkala dapat mengenali siapa adanya orang yang
keluarkan batuk.
Laki-laki berjubah biru bercaping hitam
yang dipanggil guru oleh si gadis tidak menyahut.
Malah sepasang matanya yang besar makin berki-
lat menatap tajam. Melihat hal ini tampaknya si
gadis sadar jika laki-laki tua itu sedang dilanda marah besar. Maka setelah
menarik napas panjang untuk menguasai getaran dadanya si gadis
berkata. "Guru.... Maafkan jika tempo hari aku me-
lakukan kesalahan. Aku bersedia kau hukum!"
Orang yang dipanggil guru tetap diam,
membuat si gadis salah tingkah dan tampak ke-
takutan. Dan tubuh si gadis sedikit bergetar
tatkala melihat orang tua itu melangkah mende-
kat ke arahnya.
"Guru...," ucap si gadis dengan nada seakan tercekat ditenggorokan. "Maafkan
muridmu. Semua itu kulakukan karena aku ingin manusia
jahanam itu...."
Plakkk! Tangan kanan orang tua itu berkelebat dan
menampar pipi si gadis hingga dia menghentikan
ucapannya. Bibirnya terlihat mengeluarkan darah
dan pecah-pecah. Si gadis lalu mengatupkan bi-
birnya rapat-rapat untuk menekan suara erangan
dan aliran darah. Kepalanya lantas menunduk
tak berani memandang pada orang tua di hada-
pannya Si orang tua hembuskan napas panjang
seakan melepas rasa kecewa. Lalu terdengar dia
mendengus dan berkata.
"Aku benar-benar menyesal, Sakawuni! Se-
kian lama kudidik, ternyata yang kudapatkan da-
rimu hanyalah kekecewaan. Pikiran dan ucapan-
mu berubah! Dan yang lebih menyakitkan lagi,
kau telah menyelamatkan manusia bangsat itu
dari tanganku!" sejenak si orang tua hentikan ucapannya. Dadanya terlihat
bergetar. Setelah
hembuskan napas, kembali dia melanjutkan.
"Sakawuni! Tentunya kau masih ingat
sumpah yang kau ucapkan. Kau sudah siap me-
nerima akibat karena melanggar sumpahmu"!"
Si gadis yang ternyata adalah Sakawuni,
bekas murid Ageng Panangkaran yang kemudian
diangkat murid oleh tokoh sakti bergelar Manusia Titisan Dewa, gegatkan rapat-
rapat bibirnya. Dia tahu apa yang akan dialaminya karena melanggar
sumpah yang pernah diucapkan sebelum diang-
kat murid oleh Manusia Titisan Dewa. Seperti di-
ceritakan dalam episode "Manusia Titisan Dewa", Sakawuni harus melakukan sumpah
darah sebelum diangkat murid oleh Manusia Titisan Dewa.
Dan dalam sumpah itu, diikrarkan jika Sakawuni
menolak segala perintah gurunya, maka dia harus
rela mati di tangan gurunya sendiri. Padahal, setelah Sakawuni dididik sang
guru, meski secara
tak langsung telah memerintahkan Sakawuni un-
tuk menghabisi Pendekar 108. Namun apa yang
terjadi selanjutnya sungguh membuat sang guru
marah besar. Karena saat itu sang guru telah ki-
rimkan serangan maut pada Pendekar 108 se-
dangkan saat itu sang pendekar sudah dalam
keadaan tak bisa mengelak. Justru pada saat itu-
lah Sakawuni datang dan menyelamatkan sang
pendekar. "Guru...," kata Sakawuni dengan suara
perlahan dan kepala menunduk. "Aku ingat akan sumpahku. Dan aku pun siap
menerima hukuman. Namun sebelum semua itu terjadi, perlu
kau ketahui bahwa tindakanku menyelamatkan
Pendekar Mata Keranjang semata-mata hanya ka-
rena aku ingin manusia jahanam itu tewas den-
gan tanganku sendiri!"
Kalau saat mulai berkata tadi suaranya pe-
lan dan kepala menunduk, kini gadis itu angkat
kepalanya. Parasnya membesi dengan muka me-
rah padam. Sepasang matanya merah dengan da-
gu terangkat. "Sekarang kalau Guru masih menyalahkan
tindakanku, aku rela mati di tanganmu. Lakukan-
lah!" suaranya makin tinggi, bahkan sepasang matanya balas menatap pandangan si
orang tua yang bukan lain adalah Manusia Titisan Dewa.
Mendengar kata-kata Sakawuni, Manusia
Titisan Dewa tercenung. Sebenarnya dalam hati
orang tua ini telah berkeputusan untuk tidak
menjatuhkan hukuman pada Sakawuni. Karena
dia berpikir bahwa Sakawuni masih bisa diguna-
kan untuk membantu rencananya yang ingin
mengacaukan rimba persilatan dengan jalan
membunuh beberapa tokoh persilatan. Kalaupun
dia menggantung Sakawuni, ini semata-mata un-
tuk menggertak gadis itu bahwa kata-katanya ti-
daklah hanya omong kosong belaka.
Sementara itu melihat sang guru masih
terdiam, Sakawuni kembali angkat bicara. "Guru!
Kuharap kau cepat lakukan apa yang kau ingin-
kan! Aku telah siap!"
Manusia Titisan Dewa melangkah satu tin-
dak mendekat. Sakawuni pejamkan sepasang ma-
tanya karena menduga jika sang guru benar-
benar akan melaksanakan niatnya. Tiba-tiba tan-
gan kanan Manusia Titisan Dewa bergerak.
Settt! Bukkk! Sakawuni merasakan angin bersiur dah-
syat. Dia makin rapatkan matanya. Namun gadis
ini terlengak, karena dia tak merasakan tangan
Manusia Titisan Dewa menghajar tubuhnya. Ju-
stru yang dirasakan adalah tukikan tubuhnya ke
bawah dan beradunya pantatnya dengan tanah.
Merasa dirinya terduduk di atas tanah, Sa-
kawuni segera buka kelopak matanya. "Apakah dia membatalkan hukuman..." Atau
ingin meng-hukumku dengan tanpa digantung...?" batin Sa-
kawuni seraya tengadahkan kepala memandangi
gurunya. "Sakawuni! Kali ini hukuman itu kutunda.
Namun ingat, sekali lagi kau buat kesalahan, tia-da lagi penundaan hukuman! Kau
dengar"!"
Sakawuni membesarkan matanya. Dia me-
narik napas lega. Setelah membuka ikatan pada
kaki dan tangannya, dia menjura hormat dan
berkata. "Terima kasih. Guru! Segala ucapmu ku-
dengar dan kuperhatikan!"
"Bagus! Sekarang aku harus pergi. Ada se-
suatu yang harus kukerjakan!" kata Manusia Titisan Dewa seraya balikkan tubuh
hendak mening- galkan tempat itu. Namun geraknya tertahan
tatkala Sakawuni berseru.
"Guru.... Tunggu!"
"Ada yang hendak kau utarakan..."!" Manusia Titisan Dewa berkata tanpa balikkan
tu- buh. Sakawuni melangkah menjajari. Setelah
dekat dia langsung berkata.
"Guru! Kalau boleh kutahu, bagaimana aku
bisa berada di sini bersamamu" Bukankah saat
itu kau telah pergi dari tempat pertempuran..."!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum. "Me-
mang. Saat setelah kau roboh aku meninggalkan
tempat pertarungan. Namun sebenarnya aku tak
pergi ke mana-mana! Aku menyelinap dan ingin
tahu apa yang akan diperbuat Pendekar 108 ter-
hadapmu! Ternyata dia membawamu ke sebuah
lembah. Dan...," Manusia Titisan Dewa tidak melanjutkan keterangannya. Malah
kedua telapak tangannya mengepal.
"Harap kau teruskan keteranganmu,
Guru!" "Sungguh keterlaluan!' kata Manusia Titisan Dewa sambil gelengkan kepala.
"Pendekar keparat itu ternyata hendak melampiaskan nafsu
bejatnya padamu! Untung aku segera bertindak
menyelamatkanmu, jika tidak aku tidak bisa ka-
takan apa yang akan menimpamu!"
"Jahanam busuk! Pendekar cabul!" teriak Sakawuni dengan berapi-api seraya
kepalkan tinjunya. "Akan kukuliti tubuhnya! Akan kucincang dagingnya!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum dan me-
narik napas panjang.
"Sakawuni. Kau telah tahu siapa sebenar-
nya Pendekar Mata Keranjang. Namun demikian,
kau harus tetap waspada dan berhati-hati! Setiap orang yang gagal melaksanakan
nafsunya, setiap
saat orang itu pasti mencari jalan untuk dapat
berhasil, walau dengan jalan apa pun! Ada lagi
yang hendak kau tanyakan...?" Manusia Titisan Dewa pada akhirnya balik bertanya.
Yang ditanya tak menjawab. Dia sepertinya
masih mencoba menindih gemuruh amarah di
dadanya. Melihat hal ini Manusia Titisan Dewa
tersenyum, lalu tanpa berkata lagi dia berkelebat meninggalkan Sakawuni.
"Guru...!" teriak Sakawuni. Namun Manu-
sia Titisan Dewa telah lenyap ditelan kegelapan
malam. "Hmm.... Pendekar 108! Tak ada hukuman
yang pantas kau alami selain hukuman mati! Do-
samu sudah setinggi gunung sedalam laut! Sung-
guh tak kusangka jika kau sekejam itu! Tunggu-
lah!" gumam Sakawuni sambil melangkah men-
dekati perapian. Namun baru saja hendak jong-
kok tiba-tiba terdengar suitan dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian dua
bayangan berkelebat
dan tahu-tahu dua sosok manusia telah berdiri
sepuluh langkah di samping kanan kiri Sakawuni.
DELAPAN SECEPAT kilat Sakawuni bangkit dan ba-
likkan tubuh. Sepasang matanya memandang ta-
jam satu persatu pada dua orang yang kini ada di samping kanan kirinya.
Di samping kanan adalah seorang laki-laki
setengah baya. Mengenakan pakaian jubah kun-
ing terbuat dari kulit harimau. Pakaian dalamnya berupa baju warna putih dengan
celana juga warna putih. Paras wajahnya masih terlihat tampan


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kumis tipis dan rambut tertata rapi. Pada kepalanya terikat kain warna
kuning sementara di jari-jarinya terlihat beberapa cincin emas.
Sedang orang di sebelah kiri adalah juga
seorang laki-laki yang usianya tak jauh beda dengan orang yang di sebelah kanan.
Dia mengena- kan jubah warna putih dengan pakaian dalam
warna hitam. Seperti halnya orang di sebelah ka-
nan, orang ini pun mengenakan beberapa cincin
di jari-jarinya. Wajahnya pun tampak masih tam-
pan. Hanya kumisnya lebat dengan berewok yang
terawat rapi. "Hmm... melihat sikap dan pakaiannya,
mereka tampaknya orang-orang kaya. Siapa me-
reka dan mengapa malam-malam begini berada di
tempat sepi begini" Tapi meski orang kaya, mere-
ka sepertinya bukan orang baik-baik! Pandangan
mata mereka menjijikkan!" batin Sakawuni dengan alihkan pandangan dan buka
suara. "Siapa kalian"! Jangan coba-coba berniat
buruk jika masih sayang nyawa!"
Mendengar teguran kedua laki-laki seten-
gah baya ini bukannya segera jawab, sebaliknya
sepasang mata keduanya makin liar memandangi
tubuh Sakawuni. Apalagi saat itu Sakawuni ber-
diri membelakangi perapian, hingga cahaya pera-
pian itu menampakkan lekukan tubuhnya.
Melihat sikap kedua laki-laki ini, Sakawuni
geram. Namun untuk sementara ditahannya rasa
geram itu. Dia kembali menegur dengan suara
agak keras. "Kurasa kalian tidak tuli dan gagu. Kenapa
tidak jawab pertanyaan orang" Atau kalian me-
mang minta digampar dulu baru bisa bunyi"!"
Tiba-tiba laki-laki yang di sebelah kanan
keluarkan suara tawa mengekeh panjang yang
kemudian disusul oleh laki-laki di sebelah kiri.
Setelah puas tertawa, laki-laki sebelah kanan
angkat tangannya seakan memberi isyarat pada
temannya jika dia akan bicara. Setelah laki-laki di sebelah kiri mengangguk,
orang di sebelah kanan
buka mulut. "Gadis cantik! Ucapanmu benar. Kami ber-
dua memang tidak tuli juga tidak gagu. Dan per-
tanyaanmu akan kujawab. Aku adalah Ganda
Wulung. Sedang temanku itu Reksi Gumarang.
Harap kau tak salah duga. Kami tidak berniat bu-
ruk. Justru kami berdua punya niat baik pada-
mu! Bukankah begitu, Reksi?" seraya berkata la-ki-laki yang menyebutkan namanya
Ganda Wu- lung ini anggukkan kepala ke arah Reksi Guma-
rang. Reksi Gumarang langsung menyahut. "Benar. Kami berniat mengajakmu
bersenang- senang. Apakah itu bukan berarti niat baik..."
Ha... ha... ha...!"
"Hmm.... Begitu" Katakan, bersenang-
senang apa yang kau maksud!" kata Sakawuni
meski hatinya dongkol dan tahu ke mana arah
pembicaraan orang.
Ganda Wulung dan Reksi Gumarang kem-
bali perdengarkan tawa mendengar ucapan Saka-
wuni. Reksi Gumarang usap-usap dagunya, se-
mentara Ganda Wulung elus-elus kumisnya sam-
bil mengangguk-angguk.
"Gadis cantik...," kali ini yang bicara Reksi Gumarang. Suaranya terdengar agak
serak parau. "Soal bersenang-senang macam apa yang akan
kau nikmati tak usah diceritakan panjang lebar di sini. Daripada untuk
bercerita, lebih baik kita gunakan saja untuk segera memulai acara berse-
nang-senang itu. Percayalah. Kau pasti akan me-
nyukainya!" habis berkata begitu, Reksi Gumarang melangkah mendekat. Melihat hal
ini Ganda Wulung pun tak tinggal diam. Laki-laki berjubah
kulit harimau ini ikut-ikutan melangkah mende-
kat. "Manusia-manusia anjing! Tentunya kalian berwatak seperti anjing. Akan
kubersihkan otak
kalian agar seperti watak manusia!" desis Sakawuni tanpa bergerak dari
tempatnya. Mungkin karena tak sabar atau mengang-
gap remeh orang, tiba-tiba Reksi Gumarang me-
lompat ke depan. Tangan kanannya bergerak
hendak merengkuh tubuh gadis di depannya. Ta-
pi laki-laki ini terperanjat. Tangannya hanya merengkuh angin. Bukan hanya
sampai di situ, tu-
buhnya tiba-tiba terdorong ke belakang. Dan se-
belum laki-laki ini mengetahui apa yang terjadi
dengan dirinya, sebuah tendangan keras mengha-
jar bahunya. Laki-laki ini terputar dan jatuh terbanting di atas tanah! Bahkan
kalau saja laki-laki ini tidak segera menarik tubuhnya, niscaya kepalanya akan
menyusup ke perapian!
Mendapati apa yang terjadi pada Reksi
Gumarang, Ganda Wulung hentikan langkah.
Dahinya mengernyit dengan mata sedikit membe-
liak. Sementara Reksi Gumarang segera bangkit.
Namun laki-laki ini bukannya marah mendapati
dirinya terjengkang roboh. Justru seraya bangkit laki-laki ini tertawa tergelak-
gelak. "Ganda Wulung! Rupanya malam ini kita
akan menyantap makanan yang geliatannya me-
nakjubkan! Makanan yang demikian inilah yang
paling kusuka. Selain bisa menghangatkan sua-
sana juga menggairahkan nafsu! Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba Reksi Gumarang berkelebat. Tan-
gannya kembali hendak merengkuh. Gerakan
tangannya kini lebih cepat. Namun lagi-lagi Reksi Gumarang terlengak. Tangannya
hanya merengkuh angin! Tapi kali ini dia waspada. Ketika terdengar berdesirnya
suara angin, dia cepat me-
runduk. Dan tangan kirinya diangkat ke atas.
Pangeran Perkasa 8 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Pendekar Pemanah Rajawali 20
^