Pencarian

Manusia Titisan Dewa 3

Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa Bagian 3


kembali berkobar, apalagi setelah dilihatnya Sakawuni berubah pikiran dan
ilmunya bertambah pe-
sat. Dia berpikir, Pendekar Mata Keranjang 108
akan dapat ditaklukkan jika bersatu dengan Sa-
kawuni. Sejengkal lagi pukulan Singa Betina Dari
Timur menghajar tubuhnya, dia meloncat ke
samping, lalu kedua tangannya dihantamkan ke
depan. Maka terjadilah pertempuran saling adu
pukulan jarak jauh di tempat itu. Beberapa kali
terdengar suara letupan-letupan keras menggema
dan tak jarang pula diseling dengan suara seruan-
seruan tertahan. Karena Gembong Raja Muda te-
lah terluka waktu bentrok dengan Pendekar 108,
maka pukulannya tidak sehebat sebelum cidera,
hingga Singa Betina Dari Timur dapat melayani se-
rangannya. Di seberang, Sakawuni terlihat takupkan
kedua tangannya, sepasang matanya terpejam se-
saat, mulutnya bergerak komat-kamit.
"Sakawuni! Hentikan semua ini! Akan kuje-
laskan padamu...!" seru Aji begitu melihat sikap Sakawuni.
Sakawuni buka kelopak matanya. Bibirnya
sunggingkan senyum ejekan. Lalu berkata.
"Aku tak butuh penjelasan! Yang kubutuh-
kan sekarang adalah kepalamu! Dan aku tak akan
pergi dari tempat itu dengan berhampa tangan!"
Aji gelengkan kepalanya perlahan. "Hmm....
ilmunya tidak bisa diremehkan, kalau aku terus
hanya menangkis, tak mustahil aku akan konyol
sendiri. Namun jika aku melawan.... Bagaimana
kalau dia cidera" Sialan! Lebih baik tak kulayani.
Suatu saat pasti akan bertemu lagi, dan siapa ta-
hu pikirannya berubah lagi.... Tapi Singa Betina
Dari Timur..." Aku akan menyelinap dan balik lagi ke sini...," berpikir begitu
murid Wong Agung ini segera balikkan tubuh dan siap meninggalkan
tempat itu. "Pengecut! Kau hendak lari ke mana" Dan
apa kau kira bisa pergi begitu saja"!" sergah Sakawuni dengan mata melotot.
Tanpa balikkan tubuhnya kembali, Aji men-
jawab. "Aku punya urusan penting yang harus ku-selesaikan!"
"Boleh! Tapi tinggalkan dulu kepalamu!"
bentak Sakawuni. Selesai berkata Sakawuni segera
menyergap seraya lancarkan serangan. Tangan
kanannya melesat ke arah pelipis kanan Pendekar
108. "Sialan! Dia benar-benar hendak memenggal kepalaku!" membatin Aji begitu
angin dahsyat berdesir di sebelah kepalanya. Tanpa berpaling lagi
Pendekar Mata Keranjang 108 segera jejakkan se-
pasang kakinya. Tubuhnya melesat ke depan,
hingga hantaman tangan Sakawuni mengenai
tempat kosong. Melihat serangannya lolos, Sakawuni berte-
riak nyaring. Tangannya cepat ditarik pulang dan
serta-merta dihantamkan ke depan sekaligus den-
gan pengerahan tenaga dalam penuh!
Wuttt! Wuutttt!
Hawa sangat panas dan dingin menebar,
sementara larikan-larikan sinar hitam dan putih
melesat menyusul kelebatan tubuh Pendekar 108!
Sadar dalam bahaya, Pendekar 108 segera
me-lompat ke depan untuk menghindar sekaligus
mencari posisi. Lalu tubuhnya segera membalik
dengan tangan kiri mendorong ke depan, tangan
kanan menebarkan kipas.
Mendadak dari telapak tangan Pendekar
108 melesat seberkas cahaya biru tanpa keluarkan
suara. Hebatnya, larikan-larikan sinar hitam dan
putih yang mengarah pada Pendekar 108 ditera-
basnya dan ambyar seketika! Tanpa ada suara
bentrok pukulan yang terdengar. Dan bukan
hanya sampai di situ, begitu dapat membuyarkan
larikan sinar hitam dan putih, sinar kemilau biru terus melabrak dan kini
melesat ke arah Sakawuni!
Pendekar Mata Keranjang 108 menjadi ter-
cekat sendiri. Dia memang telah kerahkan jurus
'Mutiara Biru'. Namun dia tak menduga sama se-
kali jika kehebatannya begitu dahsyat! Untuk me-
nyelamatkan Sakawuni jelas tak mungkin karena
saat itu sinar kemilau biru telah satu depa di depan Sakawuni.
Di depan sana, melihat pukulan 'Menggiring
Sinar Menebar Hawa' yang dilancarkan dapat di-
buat ambyar oleh sinar kemilau biru, Sakawuni
melengak terkesima. Dan gadis ini terguncang
dengan paras pucat pasi saat sinar biru itu mele-
sat ke arahnya. Sekalipun dia berusaha untuk
menghindar, namun tampaknya akan sia-sia ka-
rena serangan itu telah setengah depa lagi di ha-
dapannya. Hingga mungkin karena merasa tak bi-
sa selamat, gadis ini pejamkan mata seakan pa-
srahkan diri menghadapi ajal.
"Sialan! Bagaimana ini..." Tak kusangka
sama sekali. Padahal aku hanya mengerahkan se-
perempat tenaga dalam...," gumam Pendekar 108
seraya melompat ke depan dengan berteriak lan-
tang. "Sakawuni! Cepat selamatkan dirimu!"
Yang diteriaki tak bergeming.
Pada saat yang demikian itulah tiba-tiba
terdengar suara cekikikan ditingkahi suara geme-
rincing anting-anting.
Namun mendadak saja suara cekikikan le-
nyap begitu juga suara gemerincing anting-anting.
Dan bersamaan dengan itu sesosok bayangan ber-
kelebat. Sakawuni yang telah pasrah merasakan tu-
buhnya melayang lalu menukik turun dan bergu-
lingan di atas tanah. Sementara tubuh Pendekar
108 yang berusaha menyelamatkan dengan me-
lompat, tubuhnya mental balik ke belakang dan ja-
tuh terduduk! SEMBILAN Sinar kemilau biru melesat terus dan
menghantam sebuah batang pohon. Pohon itu
langsung tumbang dengan akar tercerabut! Tanah
di sekitar pohon itu terbongkar dan langsung
membentuk sebuah lobang sedalam setengah tom-
bak! Begitu derakan tumbangnya pohon lenyap,
terdengar suara orang tertawa cekikikan. Sakawu-
ni segera bangkit dan berpaling. Sepasang ma-
tanya mendelik memperhatikan, dahinya berkerut.
Tak jauh di sampingnya berdiri seorang pe-
rempuan tua bertubuh gemuk besar. Rambutnya
yang telah memutih disanggul ke atas. Pada salah
satu telinganya terlihat sebuah anting-anting besar yang dimuati beberapa
anting-anting kecil.
"Dewi Kayangan!" seru Aji. Dia memang telah dapat menduga siapa adanya orang
yang me- nyelamatkan Sakawuni dari hantaman jurus
'Mutiara Biru'-nya.
Di tempat lain, terlihat Gembong Raja Muda
terbungkuk-bungkuk bangkit dari tanah dengan
paras meringis dan mengusap-usap dadanya, se-
mentara sepuluh langkah di depannya, Singa Beti-
na Dari Timur tampak terkapar, lalu segera bang-
kit dan mendelik memandang Gembong Raja Mu-
da. Kedua tangannya lantas ditarik ke belakang
hendak kirimkan serangan. Namun sebelum kedua
tangannya menghantam, Pendekar 108 segera
berkelebat dan berteriak.
"Tahan serangan!"
Pendekar 108 tahu-tahu telah berdiri di
tengah-tengah antara Singa Betina Dari Timur dan
Gembong Raja Muda. Sejenak dia memandang
Singa Betina Dari Timur. Lalu berpaling pada
Gembong Raja Muda.
"Pandu! Cepat tinggalkan tempat ini!"
Pandu mendengus pelan, sepasang matanya
berkilat menyengat pada Aji. Sebenarnya pemuda
ini masih enggan untuk meninggalkan tempat itu.
Namun begitu mendengar Pendekar 108 menyebut
nama Dewi Kayangan, hatinya keder. Kalau Dewi
Bunga Iblis dan gurunya bisa dibuat bertekuk lu-
tut, dapat diduga bagaimana ketinggian ilmunya.
Berpikir sampai di situ pemuda ini lantas balikkan tubuh dan melangkah ke arah
tergeletaknya tubuh
gurunya Bawuk Raga Ginting.
Setelah tubuh gurunya dipanggul, dia ber-
paling pada Pendekar 108 dan berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Saatnya
nanti akan tiba untuk bertemu lagi!" habis berkata begitu, dia berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Kenapa bangsat itu kau biarkan pergi begi-
tu saja"!" ujar Singa Betina Dari Timur seraya memandang pada Pendekar 108.
Pendekar 108 tersenyum. Melangkah men-
dekat dan berkata.
"Dia masih muda, dan masalahnya hanya
salah paham dan cemburu. Aku berharap suatu
saat kelak dia bisa mengerti!"
"Tapi terlalu enak jika manusia seperti dia
masih diberi hidup!" sahut Singa Betina Dari Timur dengan alihkan pandangannya
karena saat itu Pendekar 108 balas menatapnya.
"Ah, sudahlah. Sekarang kau hendak ke
mana?" Singa Betina Dari Timur tidak segera men-
jawab. Wajahnya mendadak berubah keruh. Malah
sepasang matanya terlihat berkaca-kaca. Namun
pada akhirnya dia menjawab.
"Aku akan kembali ke Bima. Sekali lagi
kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu.
Ng.... Kalau boleh tahu, siapa sebenarnya gadis
cantik itu?"
Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut
mendengar pertanyaan Singa Betina Dari Timur.
Sejurus ditatapnya mata gadis di hadapannya.
Sambil tersenyum dia menjawab.
"Dia temanku. Kami memang telah lama ti-
dak jumpa. Hanya saja aku jadi heran, dia seka-
rang sifatnya tiba-tiba berubah. Bahkan yang sea-
kan tidak kupercaya, dia menuduhku bahwa aku-
lah yang melakukan pembunuhan terhadap gu-
runya.... Pasti ada orang ketiga yang membakar-
nya!" Selagi kedua orang ini tengah bercakap-cakap, di sebelah terdengar
Sakawuni berkata
dengan suara lantang.
"Siapa kau..."!" sambil menegur, sepasang matanya tak kesiap pandangi perempuan
gemuk beranting-anting satu di hadapannya yang bukan
lain adalah Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan tertawa cekikikan. Sepasang
matanya yang besar melirik pada Sakawuni, lalu
berkata. "Soal siapa aku, biarlah untuk sementara
kujadikan barang simpanan buatmu. Suatu saat
nanti, kau akan kuberitahu.... Hik... hik... hik....
Yang perlu kuberitahukan sekarang adalah...,"
Dewi Kayangan hentikan ucapannya, wajahnya
berpaling pada Pendekar 108 yang berbincang
dengan Singa Betina Dari Timur. Lalu melanjutkan
ucapannya. "Berhati-hatilah bergaul dengan orang! Sa-
lah bergaul, kau akan tergelincir! Jika itu terjadi, hidupmu akan celaka! Sekian
saja. Aku harus pergi!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan balik-
kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu. "Tunggu! Aku ingin bicara!" yang berseru adalah Pendekar 108 seraya
berkelebat. Namun
Dewi Kayangan telah lenyap. Hanya suara cekiki-
kan serta gemerincingnya anting-anting yang ter-
tinggal. Sakawuni yang sejenak seperti terkesima
dengan ucapan Dewi Kayangan segera palingkan
wajah, tubuh gadis ini sedikit berguncang, ma-
tanya berkilat-kilat. Hatinya makin panas tatkala tadi melihat Pendekar Mata
Keranjang 108 berbincang demon Singa Betina Dari Timur. Namun se-
belum gadis itu buka mulut, Pendekar 108 telah
mendahului bicara
"Sakawuni! Marilah kita bicara baik-baik!
Aku percaya, ini semua bukanlah kehendakmu
sendiri. Kau telah dihasut orang!"
"Pendekar Mata Keranjang! Jaga bicaramu.
Jangan kau menutup-nutupi perbuatanmu dengan
mengkambinghitamkan orang!"
Pendekar 108 tertawa perlahan. Hidungnya
diusap-usap berulang kali. Masih dengan tertawa
dia berkata. "Aku tidak membawa-bawa kambing orang.
Namun aku dapat merasakan. Kau jauh berubah.
Kau bukan lagi Sakawuni yang dahulu. Sakawuni
yang lembut namun tegar dan tegas! Kau sekarang
pemberang dan tak mau dengar kata orang!"
"Jahanam! Ini semua karena kau telah
mendustai ku! Seandainya saja waktu itu aku per-
caya pada Kakang Pandu, tak mungkin masalah
ini berlarut-larut hingga sekarang!"
Habis berkata, Sakawuni palingkan wajah
ke tempat di mana tadi Pandu berada. Namun ga-
dis ini menjadi terkejut tatkala dilihatnya Pandu telah tidak ada lagi di
tempatnya. Sebenarnya Sakawuni tadi ingin berbicara dengan Pandu, namun
karena keburu dadanya diamuk marah dan cem-


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buru pada Pendekar 108, maka Pandu begitu saja
dilupakan. Dia baru teringat lagi tatkala menye-
butkan namanya.
"Hmm.... Dia telah pergi.... Tapi tak apa. Kelak kalau umur panjang pasti akan
bertemu la- gi...." Kalau Sakawuni terkejut dengan perginya Pandu. Pendekar 108 pun tampak
terkejut. Sepasang matanya segera menyapu berkeliling di tem-
pat itu. "Ah, Singa Betina Dari Timur nampaknya
telah pergi tanpa sepengetahuanku.... Gadis cantik yang malang.... Semoga kau
selamat hingga tempatmu...," Pendekar 108 membatin dengan paras sedikit kecewa.
Lalu melirik pada Sakawuni yang
masih tampak tercenung karena kepergian Pandu
alias Gembong Raja Muda yang sebenarnya adalah
kakak seperguruannya.
"Gadis ini masih dibakar marah dan mung-
kin juga bercampur cemburu.... Dalam keadaan
begini orang pasti sulit untuk diajak bicara baik-baik. Untuk sementara, lebih
baik aku menghin-
dar...." Berpikir begitu, murid Wong Agung ini langsung berkelebat meninggalkan
tempat itu. "Keparat! Mau lari ke mana kau..."!" bentak Sakawuni tatkala melihat kelebatan
Pendekar 108. Dia segera pula berkelebat menyusul. Namun be-
kas murid Ageng Panangkaran ini segera kelua-
rkan makian panjang pendek tatkala buruannya
tak dapat ditemukan.
"Kali ini dia bisa lolos. Tapi tidak untuk kedua kalinya!" gumam Sakawuni seraya
rapikan rambut dan usap keringat di dahi dan lehernya.
"Siapa perempuan tua bertubuh gemuk
yang telah menyelamatkanku dari pukulan pemu-
da keparat itu" Hmm... pemuda itu mengenalnya.
Tapi kenapa dia menolongku..." Ucapannya sea-
kan menyindirku. Apa dia kenal dengan Manusia
Titisan Dewa" Pendekar Mata Keranjang 108....
Sebenarnya...," Sakawuni tak meneruskan kata hatinya. Sepasang matanya memandang
kosong ke depan. Lalu kepalanya terlihat menggeleng perla-
han. "Tidak! Dia adalah pembunuh Ageng Pa-
nangkaran. Dan gadis tadi pastilah kekasihnya!
Hm....Mungkin karena itu dia lancarkan pukulan
mematikan padaku! Tapi, seandainya dia mau,
mungkin aku dapat dikalahkannya. Aku sadar, il-
muku ternyata belum mampu untuk mengalah-
kannya.... Dan apakah aku benar-benar ingin
membunuhnya...?"
Sakawuni diombang-ambingkan oleh bebe-
rapa perasaan. Mungkin karena tak dapat mengu-
asai diri, gadis ini lantas melangkah ke sebuah pohon besar. Dengan perasaan
lusuh dia duduk di
bawah pohon. Wajahnya segera ditekapkan pada
kedua pahanya. Tak terlihat apa yang dikerjakan
gadis cantik ini. Yang jelas sebentar terdengar gumamannya lalu terhenti, namun
saat itu juga ba-
hunya tampak sedikit berguncang-guncang.
SEPULUH Pendekar 108 terus berlari seraya sesekali
berpaling ke belakang. Saat dirasa Sakawuni tidak mengejar lagi, pada satu
tempat yang sepi dia hentikan larinya. Sejenak dia memandang se-keliling
lalu melangkah ke arah gundukan batu padas di
bawah sebuah pohon yang rindang.
"Sakawuni.... Sungguh tak kuduga pada
akhirnya di antara kita terjadi salah paham...,"
gumam Aji sambil hempaskan tubuhnya pada
gundukan batu padas. Tangan kanannya bergerak
mengusap keringat yang membasahi wajahnya.
"Pada pertemuan terakhir kali beberapa
waktu yang lalu, kau masih tampak lembut. Tapi
sekarang..." Kau begitu pemarah dan ucapanmu
kasar. Aku merasa ini bukan sifat aslimu. Ada
orang yang membuatmu jadi berubah! Melihat si-
kapnya saat bertemu dengan Pandu, aku menduga
bukanlah Pandu yang menyebabkan dia berubah.
Lalu siapa..." Aku juga heran. Ilmunya maju demi-
kian pesat. Adakah dia telah menemukan seorang
guru" Apakah gurunya itu yang kemudian meru-
bah sifatnya..." Hmm.... Masalah yang membutuh-
kan waktu untuk menyelidikinya...," murid Wong Agung ini lantas usap-usap
hidungnya. Karena
udara sangat panas, sebentar kemudian dia telah
bersandar pada batang pohon sambil berkipas-
kipas. "Sakawuni.... Sebenarnya aku suka pada-mu. Dan melihat sorot kedua
matamu, aku yakin
kau mempunyai perasaan yang sama. Ah, apakah
kemarahannya padaku karena cemburu melihat
aku bersama Singa Betina Dari Timur..." Mungkin
saja begitu. Sayang dia keburu marah sebelum je-
las siapa adanya Singa Betina Dari Timur...," Pendekar 108 lantas teringat pada
Singa Betina Dari
Timur. "Gadis cantik bernasib tidak baik. Dia tampaknya masih terguncang jiwanya
karena tewas- nya saudara seperguruannya. Hmm... apakah dia
benar-benar kembali ke Bima" Sayang, pertemuan
itu hanya sebentar. Sebenarnya aku ingin menge-
tahui lebih banyak tentang dia...."
Murid Wong Agung ini terlihat meraba tan-
gannya yang masih tampak memerah karena ben-
trok dengan Sakawuni. Lalu memeriksa kakinya
yang juga terasa masih kesemutan.
"Untung saat itu muncul Dewi Kayangan.
Jika tidak, aku tak dapat membayangkan apa yang
akan menimpa Sakawuni. Tak kukira jika pukulan
'Mutiara Biru' demikian dahsyatnya. Benar kata
Sahyang Resi Gopala. Aku tidak boleh mengguna-
kannya kecuali saat-saat terdesak.... Dewi Kayan-
gan. Dia seperti hantu saja, begitu muncul, begitu saja pergi. Tapi aku harus
menemuinya. Mengatakan apa yang telah ku alami, karena bagaimana-
pun juga dia telah menolongku mendapatkan Arca
Dewi Bumi. Tapi ke mana aku mencarinya..."
Hm.... Aku akan menyusulnya ke Dusun Kepati-
han...." Pendekar 108 lantas bangkit. Sejenak me-rapikan pakaiannya lalu
melangkah hendak me-
lanjutkan perjalanan menuju Dusun Kepatihan,
tempat tinggal Dewi Kayangan. Namun baru saja
melangkah, sayup-sayup terdengar suara orang
tertawa mengekeh. Mendengar suara tawanya,
Pendekar Mata Keranjang bisa memastikan jika
orang itu berada jauh dari tempatnya meski arah
tujuannya melewati tempat itu.
Pendekar 108 tak ambil peduli. Dia mene-
ruskan langkah dan hendak berkelebat, namun
betapa terkejutnya murid Wong Agung ini. Suara
tawa yang tadi sayup-sayup terdengar jauh, kini
seakan ada di depan telinganya! Dengan menindih
rasa heran, dia cepat palingkan wajahnya. Sepa-
sang mata Aji kontan mendelik besar. Dahinya
berkerut malah tanpa sadar kakinya tersurut dua
tindak ke samping.
Di hadapannya tahu-tahu telah berdiri seo-
rang laki-laki amat tua. Tubuhnya kurus tinggi,
dan telah bungkuk. Sepasang matanya amat besar
dan masuk ke dalam rongga mata yang amat ce-
kung. Bibirnya tebal dengan alis mata kaku ke de-
pan. Laki-laki tua ini mengenakan jubah besar
berwarna biru gelap. Di kepalanya tampak sebuah
caping besar berwarna hitam terbuat dari kulit.
Bagian atas capingnya dibuat terbuka hingga me-
nampakkan rambutnya yang jarang dan tegak ka-
ku. Namun bukan keangkeran wajah yang mem-
buat Aji terperanjat. Ternyata meski berdiri ter-
bungkuk-bungkuk, laki-laki ini sepasang kakinya
tidak menginjak tanah!
"Menurut cerita orang-orang tua, ciri hantu
adalah sepasang kakinya tidak menginjak tanah.
Apakah yang di hadapanku ini hantu..." Tapi ma-
na ada hantu kelayapan siang-siang begini"
Hmm.... Ini manusia betulan! Siapa dia..." Tak bi-sa disangkal, orang tua ini
mempunyai ilmu san-
gat tinggi. Suara tawanya tadi dapat kupastikan
orangnya masih jauh. Namun tahu-tahu sudah be-
rada di sini. Dan dia dapat terus di atas udara
tanpa pengerahan tenaga dalam!" Pendekar 108
membatin sambil menduga-duga dan sepasang
matanya tak kesiap memperhatikan orang tua di
hadapannya. Setelah lama memperhatikan dan orang tua
di hadapannya tidak juga keluarkan suara, malah
memandang ke jurusan lain, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 beranikan diri angkat bicara.
"Orang tua.... Kalau boleh tahu, adakah kau
mencari seseorang...?"
Yang ditanya masih terdiam. Bahkan sepa-
sang matanya kini mengedari tempat itu seakan
mencari sesuatu. Pendekar 108 yang berada tak
jauh darinya malah tidak dipedulikan. Dia seakan
tak mendengar pertanyaan orang.
"Mungkin pendengarannya agak berku-
rang...," gumam Aji. Lalu ia mengulangi pertanyaan dengan suara agak dikeraskan.
Namun se- telah ditunggu sejenak, orang tua itu tidak juga
buka mulut untuk menjawab. Hanya sepasang
matanya kini melirik sebentar pada Pendekar 108,
tapi lantas memandang liar ke jurusan lain.
Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng ke-
pala. Kipas miliknya dilipat lalu disimpan ke balik pakaiannya. Sejenak dia
memandang pada Orang
tua sambil tarik-tarik kuncir rambutnya.
"Mulutku bisa dower sendiri jika meladeni
orang kurang pendengaran seperti ini. Lebih baik
aku meneruskan perjalanan ke tempat Dewi
Kayangan...." Pendekar 108 balikkan tubuh lalu berkelebat meninggalkan tempat
itu. Namun gerakannya tertahan tatkala orang tua di belakangnya
buka suara. "Anak muda! Aku hendak ke Dusun Kepati-
han. Adakah kau tahu, jalan mana yang harus
kuambil?" Mendengar pertanyaan orang tua, Pendekar
108 cepat kembali balikkan tubuhnya. Dahinya
mengernyit. Sepasang matanya kembali mengawa-
si orang tua di hadapannya dengan dada penuh
pertanyaan. "Siapa orang tua ini sebenarnya" Kalau me-
lihat sikapnya, pasti dia seorang tokoh silat. Dan
yang dicari pastilah juga seorang tokoh. Padahal
Dusun Kepatihan dihuni oleh Dewi Kayangan, seo-
rang tokoh silat. Hmm.... Bukan mustahil Dewi
Kayangan yang dicarinya. Aku terlebih dahulu ha-
rus mengetahui siapa dia adanya!" lalu Aji ajukan pertanyaan. "Kek! Siapa
kau...?" Seperti tidak mendengar pertanyaan orang,
laki-laki tua ini alihkan pandangannya pada juru-
san lain. Malah sambil tertawa perlahan. Membuat
Pendekar 108 garuk-garuk tengkuknya yang tidak
gatal. "Dia benar-benar tuli atau pura-pura tidak mendengar" Kalau melihat
ilmunya, mustahil dia
tidak bisa mendengar pertanyaan orang. Kalau
aku bicara terlalu keras, dan dia tidak tuli pasti dia akan marah besar. Hmm...
menghadapi orang
tua begini bikin sakit perut...," Aji sejenak terlihat merenung. Tiba-tiba
bibirnya tersenyum. Dari mulutnya lantas terdengar dia berucap. Ucapannya
sengaja dipelankan.
"Kau pastilah orang tua yang pendengaran-
nya telah berkurang. Aku sebenarnya tahu mana
arah Dusun Kepatihan. Tapi kau akan kutunjuk-
kan jalan yang salah. Kepadamu akan kutunjuk-
kan jalan menuju tempat gadis-gadis cantik yang
bisa membawamu melayang-layang di angkasa....
Hm...," seraya berkata begitu Pendekar Mata Keranjang lirikkan matanya pada
orang tua di hada-
pannya. Pendekar 108 tersenyum lebar ketika me-
lihat orang tua di hadapannya alihkan pandangan
ke arahnya dengan mata mendelik dan bibirnya
yang tebal bergerak-gerak. Namun sebelum orang
tua ini keluarkan suara, Pendekar 108 telah berka-ta. Kali ini suaranya agak
dikeraskan. "Orang tua.... Kalau kau memang ingin ke
Dusun Kepatihan, ambillah jalan itu!" seraya berkata Pendekar 108 angkat
tangannya dan menun-
juk pada satu jurusan.
Sepasang mata orang tua itu bukannya
mengikuti arah tangan Aji yang menunjuk. Namun
sebaliknya memandang Aji dengan mata melotot
seram. Paras wajahnya yang hanya dibungkus ku-
lit tipis tampak berubah mengelam. Tulang peli-
pisnya bergerak-gerak pertanda dadanya telah di-
rasuki hawa amarah karena merasa akan ditipu
orang. Karena ternyata memang dia tidak kurang
pendengarannya, sebab begitu Aji berpaling sete-
lah menunjuk, orang tua ini keluarkan suara ben-
takan garang. "Kurang ajar! Kau berani hendak menjeru-
muskan aku ke tempat laki-laki iseng. Kalau kau
tak ingin kutampar, sebutkan siapa dirimu yang
berani hendak menipuku!"
Murid Wong Agung ini sesaat terkesima
dengan ucapan orang tua di hadapannya. Namun
sekejap kemudian bibirnya telah sunggingkan se-
nyum dan berkata.
"Kek! Berarti kau tadi mendengar perta-


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyaanku.... Hanya kau pura-pura kurang penden-
garan. Buktinya kau mendengar jika aku akan
menunjukkan padamu jalan yang salah, padahal
aku berkata sangat pelan sekali. Kenapa kau pura-
pura tuli...?"
Meski sambil berkata dan bibir Pendekar
108 tampak tersenyum, namun diam-diam dalam
hatinya berkata sendiri. "Hmm.... Siapa pun dia adanya, yang jelas dia
berkepandaian sangat tinggi! Ucapanku tadi ku usahakan sangat pelan seka-
li. Namun, dia tetap mendengarnya...."
Orang tua di hadapan Pendekar 108 yang
bukan lain sebenarnya adalah Manusia Titisan
Dewa tengadahkan kepala. Dari mulutnya kembali
terdengar ucapannya.
"Anak muda! Kau telah menipuku. Kalau
kau tidak segera sebutkan siapa dirimu, maka
jangan menyesal jika mulutmu mendapat tampa-
ran!" "Aduh. Kenapa kau sekarang berubah jadi pemarah..." Kek! Orang tua jangan
lekas naik darah, bisa...."
"Jahanam! Sekali lagi kau berkata bukan
menjawab pertanyaanku, mulutmu tidak hanya
kutampar, tapi kuremukkan! Kau dengar"!" sahut Manusia Titisan Dewa sebelum
Pendekar 108 meneruskan kata-katanya.
Pendekar 108 kucek-kucek mata kanannya.
Lalu berkata menjawab.
"Namaku Aji. Aji Saputra.... Kau sendiri sia-pa..."!" Manusia Titisan Dewa
angguk-anggukkan kepalanya. Namun hanya sesaat. Tak lama kemudian dari mulutnya
kembali terdengar bentakan-
nya. "Aku tak tanya namamu! Yang ku maksud
gelarmu siapa"!"
"Waduh, bikin sakit perut betulan mengha-
dapi orang tua macam ini! Aku tidak akan menga-
takan siapa aku sebenarnya sebelum kuketahui
siapa dia sebenarnya! Aku harus hati-hati, mung-
kin saja dia salah seorang yang memburu Arca
Dewi Bumi...," lantas pada orang tua di hadapannya Aji berucap.
"Orang tua. Yang ku punya hanyalah se-
buah nama. Soal gelar, aku tidak memiliki. Hanya
yang bisa kau tahu, aku adalah seorang pengelana
jalanan tidak punya arah tujuan. Diajak siapa pun mau, apa-lagi gadis cantik. He
he he.... Apa kau
juga demikian" Jika betul, sungguh senang sekali.
Kita bisa jalan bersama sambil mencari gadis-gadis cantik.... Setuju?"
"Hm... Kau berani lagi menipu!" ujar Manusia Titisan Dewa dengan senyum seringai.
"Mulutmu memang pantas ditampar!" selesai berkata begitu, Manusia Titisan Dewa
angkat tangannya.
Pendekar 108 terkejut. Dan sebelum tangan
orang tua di hadapannya bergerak, dia cepat tarik kepalanya ke belakang. Namun
gerakan yang diduga Aji meleset. Manusia Titisan Dewa bukannya
gerakkan tangannya yang telah diangkat. Dia ter-
nyata gerakkan kaki kirinya yang ada sejengkal di atas tanah dan dilejangkan ke
depan. Weesss! Serangkum angin dahsyat menderu. Bukan
hanya itu saja, karena kaki orang ini melejang, jubah birunya ikut tersibak.
Anehnya, sibakan ju-
bahnya juga mengeluarkan sambaran angin dah-
syat! Pendekar 108 melengak. Cepat segera me-
lompat mundur sambil geser tubuhnya ke samp-
ing. Sambaran angin yang keluar dari lejangan
Manusia Titisan Dewa dapat dihindari, namun
sambaran angin yang keluar dari sibakan jubah-
nya yang tidak diduga sama sekali oleh Pendekar
Mata Keranjang, tak bisa lagi dielakkan! Dia langsung berkelit dengan lesatkan
tubuhnya ke udara,
namun sambaran jubah Manusia Titisan Dewa
ternyata laksana baling-baling yang pulang balik
ke atas ke bawah. Hingga saat tubuh Pendekar
108 melesat ke udara, mendadak seperti ada yang
menghantamnya dari atas. Hingga saat itu juga
tubuh Pendekar Mata Keranjang kembali menukik
ke bawah! Buukkkk! Tubuh Pendekar 108 tersuruk di atas tanah
dengan posisi terduduk. Selagi murid Wong Agung
ini belum lenyap rasa terkejutnya, Manusia Titisan Dewa ayunkan tangannya yang
sedari tadi terangkat. Wuuttt!
Tak terdengar suara deruan angin, namun
saat itu juga Aji merasakan seakan ada kekuatan
dahsyat tak kelihatan menghantam bahu kanan-
nya. Aji segera buka telapak tangan kirinya dan
dihantamkan ke samping kanan. Tapi hantaman-
nya hanya menghajar angin. Malah bahunya yang
terhantam makin kencang berputar karena terdo-
rong oleh gerakan tangan kirinya. Hingga saat itu juga mukanya menyusup tanah
dengan mulut terantuk gundukan tanah keras!
Manusia Titisan Dewa dongakkan kepala.
Terdengar suara tawanya mengekeh perlahan.
"Kalau kau masih berani menipuku, mu-
lutmu akan kuhancurkan! Jawab siapa gelarmu"!"
Dengan memaki panjang pendek dalam ha-
ti, Aji merambat bangkit. Diusapnya bibirnya yang telah berdarah karena terantuk
tanah keras. Dia
sadar bahwa orang tua dihadapannya tidak bisa
dipandang sebelah mata. Namun karena Aji ingin
lekas menemui Dewi Kayangan dan tak ingin
membuat masalah, maka tanpa memandang lagi,
dia balikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu.
Tapi belum sempat tubuhnya berkelebat,
Manusia Titisan Dewa telah berteriak garang.
"Jangan kira bisa tinggalkan tempat ini se-
belum jawab pertanyaanku!"
"Tua sialan!" maki Aji pelan. "Apa yang membuatmu begitu terangsang ingin tahu
gelar-ku" Bukankah lebih baik melihat gadis-gadis can-
tik yang bisa merangsang mu..." Atau kau mung-
kin bisa terangsang jika orang sebutkan gelar" Hal aneh.... Hiii...!" lalu tanpa
balikkan tubuh, Aji melangkah meninggalkan tempat itu.
Sejenak tak terdengar suara sahutan dari
belakangnya. Tapi sesaat kemudian, Pendekar 108
merasakan tubuhnya terangkat ke udara! Murid
Wong Agung ini cepat berpaling. Dia jadi terperangah kaget. Di belakangnya
terlihat Manusia Titisan Dewa duduk bersila sejengkal di atas tanah. Kedua
tangannya lurus ke depan dan membuka. Sementara kedua matanya terpejam setengah
membuka. Ketika orang tua ini gerakkan tangannya ke atas
ke bawah, tubuh Pendekar 108 yang berada lima
belas langkah di depannya dan kini terapung di
udara terlihat ikut bergerak naik turun!
Pendekar 108 merasa jengkel dipermainkan
orang demikian rupa. Sambil menyumpah habis-
habisan dia kerahkan tenaga dalam untuk menu-
runkan tubuhnya. Perlahan-lahan tubuhnya pun
bergerak turun. Namun saat itu Manusia Titisan
Dewa segera tarik tangannya ke bawah dengan de-
rasnya! Wuttt! Pendekar 108 terkejut bukan alang kepa-
lang. Karena saat itu kerahkan tenaga untuk tu-
runkan tubuhnya, ditambah dengan kekuatan tak
terlihat yang mengikuti gerakan tangan Manusia
Titisan Dewa, membuat tubuh Aji turun dengan
derasnya. Tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar
108 untuk kembali angkat tubuhnya, hingga tanpa
bisa dihindarkan lagi tubuhnya melesat dan jatuh
berkaparan di atas tanah!
"Gila!" umpat Aji seraya meringis dan segera bangkit. Dilihatnya orang tua itu
telah sedekap dengan mata tetap terpejam setengah membuka.
Tubuhnya masih ada sejengkal di atas tanah, dan
jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan suara
menderu-deru tertiup angin.
"Orang tua ini tidak main-main dengan
ucapannya. Dia seakan ingin membunuhku perla-
han-lahan! Aku tak akan tinggal diam. Mungkin
saja dia telah tahu siapa diriku, juga jalan menuju Dusun Kepatihan.
Pertanyaannya tadi hanyalah
pura-pura untuk memancing masalah!"
Berpikir sampai di situ, Pendekar 108 sege-
ra keluarkan seruan lantang.
"Orang tua! Kalau kau tak mau sebutkan
siapa dirimu, tak apa! Namun apa maumu dengan
semua ini"! Kita tak kenal dan tak punya silang
sengketa. Apa kau hanya ingin unjuk kebole-
han..."!"
Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak. Kali
ini suaranya keras meradang. Hingga Pendekar
108 dapat merasakan getaran pada pijakan ka-
kinya! "Tak kenal?" ulang Manusia Titisan Dewa.
"Karena kau bodoh, maka tidak mengenalku. Sebaliknya aku mengenalmu dan tahu
siapa kau se- benarnya! Bukankah kau manusianya yang berge-
lar Pendekar Mata Keranjang 108" Seorang manu-
sia tengik yang telah membunuh sahabatku Ageng
Panangkaran..."!"
Aji jadi tersedak mendengar ucapan orang
tua di hadapannya. Untuk beberapa lama dia ter-
diam dengan kening berkerut.
"Edan! Jadi masalah fitnah ini telah mene-
bar ke mana-mana. Hmm.... Siapa bangsatnya
yang telah menebar berita celaka ini?"
"Kau memikir sesuatu"!" tegur Manusia Titisan Dewa dengan tersenyum sinis. "Kau
tak usah berkelit, semua orang rimba persilatan telah tahu itu!" "Orang tua!"
teriak Aji dengan muka merah padam. Niatnya untuk meninggalkan tempat itu
diurungkan. Dia memutuskan untuk mengorek
siapa penebar berita itu dari mulut orang tua di
hadapannya. "Kau telah mengetahui siapa aku sebenar-
nya, lalu kau pura-pura tanya untuk memancing
masalah. Aku khawatir jangan-jangan ucapanmu
tadi juga hanya pura-pura saja. Kau sebenarnya
punya maksud tertentu. Betul..."!"
Manusia Titisan Dewa keluarkan dengusan
keras. Bersamaan dengan itu serangkum angin
melesat ke depan. Namun ini bukan merupakan
serangan. Tapi hal ini telah menambah keyakinan
Pendekar 108 bahwa manusia di hadapannya be-
nar-benar punya ilmu sangat tinggi. Dengusan na-
pasnya saja mampu menyambarkan serangkum
angin. "Pendekar Mata Keranjang! Sengaja aku pu-ra-pura tanya, untuk menyelidik.
Ternyata kau memang manusia yang suka menipu! Jadi sangga-
han mu atas tuduhan membunuh Ageng Panang-
karan pasti juga tipuan mulutmu belaka!"
"Orang tua! Hati-hati bicara. Jangan sampai
anak muda berani karena kau ceroboh keluarkan
kata-kata!"
"Kau memang pandai bicara! Dan mulutmu
layak dihajar, bahkan kalau perlu kau harus te-
was! Sebagai orang persilatan, aku malu melihat
sikapmu!" "Kau tak perlu malu, Orang, Tua. Karena
semua itu masih berita! Justru seharusnya kau
malu pada dirimu sendiri. Kau pura-pura tuli dan
pura-pura tak tahu siapa aku. Dan hal itu kau
buat untuk masalah! Kau ternyata mempunyai
bakat untuk menjadi orang licik!"
Mendengar kata-kata Pendekar Mata Keran-
jang, Manusia Titisan Dewa naik pitam. Sepasang
matanya membuka dan langsung berkilat-kilat
merah. Tapi kali ini Aji tak mau didahului. Sebe-
lum orang tua itu lancarkan serangan, Pendekar
108 telah melompat ke arah samping, lalu kedua
tangannya dihantamkan ke depan.
Sebenarnya murid Wong Agung ini tidak
mau gegabah turun tangan untuk lakukan seran-
gan. Namun melihat gelagat tidak baik pada uca-
pan orang, Pendekar 108 dapat menduga jika
orang tua ini mempunyai niat jelek padanya.
Mendapat serangan, Manusia Titisan Dewa
bukannya segera menangkis atau cepat menghin-
dar. Dia terlihat mengumbar tawa panjang. Bah-
kan ketika rangkuman angin kiriman Pendekar
108 telah satu depa di hadapannya! Namun ketika
serangan itu sejengkal lagi menghajar, Manusia Titisan Dewa takupkan kedua
tangannya. Settt! Tiba-tiba tubuh Manusia Titisan Dewa ber-
putar dan lenyap! Pukulan Pendekar 108 meng-
hantam tempat kosong. Dan tahu-tahu tubuhnya
telah berada di atas Pendekar Mata Keranjang!
Wess! Wess! Weesss! Weessss!
Manusia Titisan Dewa sapukan kedua ka-
kinya, sedangkan kedua tangannya pegang tangan
jubahnya dan disibakkan. Kejap itu juga terdengar deruan angin dahsyat empat
kali berturut-turut.
Dua terdengar dari kakinya, dua lagi karena kele-
batan jubahnya.
Dalam situasi demikian akan membahaya-
kan jika bertindak ayal. Apalagi membuat gerakan
menghindar. Sadar akan hal itu, Pendekar Mata
Keranjang 108 jejakkan kakinya hingga tubuhnya
melesat ke udara. Di udara dia juga segera sapu-
kan kakinya ke depan, tangannya bergerak men-
dorong. Prakk! Praakkk!
Bentrok dua pasang kaki tak dapat dihin-
darkan lagi. Suaranya keras dan mengerikan, ka-
rena keduanya telah alirkan tenaga dalam masing-
masing pada kaki. Namun akibat yang ditimbul-
kannya lebih mengerikan lagi. Karena begitu terja-di bentrok, tubuh Pendekar 108
terputar balik

Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti mentalan kakinya. Lalu tubuhnya me-
layang dan jatuh terhempas di atas tanah! Suara
gedebukan tubuhnya tak lama kemudian disusul
dengan suara erangan dari mulutnya.
Lima tombak di hadapan Pendekar 108,
Manusia Titisan Dewa terlihat terhuyung-huyung
sebentar, namun begitu kakinya meliuk hendak ja-
tuh, tiba-tiba orang tua ini tubuhnya terangkat sa-tu jengkal di atas tanah,
hingga meski tubuh orang ini pada akhirnya terkapar, tapi berada satu jengkal di
atas tanah! Hingga selamatlah dia dari benturan dengan tubuh di bawahnya! Orang
tua ini segera bergerak bangkit. Dengan kaki terpentang
kokoh sejengkal di atas tanah, dia segera hantam-
kan kedua tangannya disertai bentakan melengk-
ing. Wuttt! Wuutttt!
Tak terlihat sambaran angin atau gemuruh
suara deruan. Namun saat itu juga cuaca menda-
dak berubah redup. Hawa dingin menghampar.
Namun cuma sekejap. Sesaat kemudian cuaca te-
rang-benderang, dan udara dingin berubah panas
menyengat! Hal ini terjadi silih berganti. Hebatnya makin lama udara dingin
makin mencekam, sementara udara panas makin menyengat. Bersa-
maan dengan itu, larikan-larikan sinar hitam dan
putih serta kuning pelangi melesat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108!
Manusia Titisan Dewa tampaknya telah lan-
carkan jurus sakti 'Menggiring Pelangi Membalik
Hawa' yang merupakan kesatuan dan pendalaman
dari jurus 'Menggiring Sinar Menebar Hawa' yang
diwariskan pada Sakawuni.
"Celaka!" gumam Aji melihat ganas dan hebatnya serangan yang dilancarkan orang
tua di hadapannya. Tiba-tiba Pendekar 108 berkerut.
"Serangannya mirip dengan serangan Sa-
kawuni! Apakah...?" Aji tak dapat meneruskan ka-ta hatinya, karena saat itu
tubuhnya telah berke-
ringat panas dingin, akibat tebaran hawa yang di-
lancarkan Manusia Titisan Dewa. Tubuhnya pun
berguncang karena tanah pijakannya perlahan-
lahan juga bergetar! Dan lebih dari itu semua, sinar pelangi telah melabrak ke
arahnya! "Saat kugunakan pukulan 'Mutiara Biru'!"
Pendekar 108 cabut kipas dari balik pa-
kaiannya, kaki kiri ditarik ke belakang. Tangan
kanannya menebar kipas sementara tangan kiri
didorong ke depan dengan tenaga dalam penuh!
SEBELAS Telapak tangan kiri Pendekar Mata Keran-
jang 108 berubah menjadi biru berkilau. Lalu se-
berkas sinar biru berkilau melesat ke depan me-
mapak sinar pelangi. Tak terdengar adanya letu-
pan keras saat sinar biru bertemu dengan sinar
pelangi. Namun hebatnya, kejap itu juga cuaca be-
rubah menjadi tak karuan. Tebaran panas dan
dingin lenyap seketika! Keadaan menjadi temaram.
Padahal matahari bersinar sangat terik! Bersa-
maan dengan itu, tempat itu bergetar hebat! Po-
hon-pohon berderak lalu tumbang. Semak belukar
tercerabut dan menghambur ke udara! Tanah di
sana-sini terbongkar keluarkan suara menggidik-
kan. Angin laksana badai menghempas.
Ketika semuanya sirap, tampak Pendekar
108 terkapar di atas tanah dengan tubuh basah
kuyup. Pada sudut bibirnya meleleh cairan kehi-
taman pertanda dia terluka dalam. Kedua tangan-
nya terlihat gemetar hebat, hingga kipas ungunya
terlepas dan jatuh di samping tubuhnya. Namun
murid Wong Agung ini tidak mau bertindak gega-
bah. Meski dengan menahan sakit dan nyeri pada
dada serta kedua tangannya, dia merambat bang-
kit. Kipas yang tergeletak segera dipungutnya.
Tangan kirinya bergerak mengusap dadanya sa-
lurkan tenaga dalam. Sepasang matanya memejam
rapat dengan napas dihembuskan panjang dan da-
lam-dalam. Murid dari Karang Langit ini coba pu-
lihkan kembali tenaganya.
Sementara itu, di depannya terlihat Manu-
sia Titisan Dewa juga melintang di atas tanah.
Namun orang tua ini cepat bangkit duduk. Kedua
tangannya pun terlihat bergetar. Demikian juga
tubuhnya. Bibir orang tua ini terlihat menyeringai, lalu kepalanya bergerak ke
samping dan meludah.
Ternyata ludahnya telah berwarna kehitaman. Per-
tanda tubuh bagian dalamnya juga cidera. Dia se-
gera pula usap-usap dadanya seraya salurkan te-
naga dalam. Ternyata, meski kedua orang ini hanya sal-
ing bentrok tenaga dalam lewat hantaman tangan
masing-masing, namun karena tenaga dalam yang
mereka keluarkan demikian kuat, hingga meski
tubuh mereka tak bertemu, namun masing-masing
orang mengalami luka dalam yang cukup parah!
Beberapa saat berlalu. Kedua orang ini ter-
lihat sama-sama duduk seraya salurkan tenaga
dalam masing-masing untuk mengatasi cidera pa-
da dada masing-masing. Namun orang tua di ha-
dapan Pendekar 108 terlihat segera bisa kuasai dirinya. Meski begitu diam-diam
dalam hati Manusia
Titisan Dewa berucap.
"Seumur-umur baru kali ini aku berhada-
pan dengan anak muda yang mampu menahan se-
ranganku! Tapi kulihat dia terluka cukup parah.
Ini kesempatan baik. Akan kuhantam dia sekali
lagi dengan pukulan 'Menggiring Pelangi Membalik
Hawa'!" Manusia Titisan Dewa lantas takupkan kedua tapak tangannya. Lalu dibuka
perlahan-lahan. Dan serta-merta dihantamkan ke arah Pen-
dekar Mata Keranjang 108.
Melihat orang tua kembali kirimkan seran-
gan, Pendekar 108 tampak terkejut. Karena waktu
itu dia masih kerahkan tenaga dalam untuk men-
gatasi dadanya. Kalau dia menangkis serangan
dan tubuhnya belum dapat dia kuasai, tak musta-
hil dirinya akan mengalami akibat yang sangat fat-al. Kalau tidak menangkis,
maka dirinya akan
dengan telak menerima hajaran.
Karena bimbang dengan apa yang hendak
dilakukannya, maka untuk beberapa saat murid
Wong Agung ini tampak tercenung.
"Habis riwayatmu, Anak Manusia!" gumam
Manusia Titisan Dewa dengan bibir sunggingkan
seringai maut. Apalagi tatkala dilihatnya Pendekar Mata Keranjang tak membuat
gerakan menangkis
padahal meski serangannya tak terlihat namun si-
nar pelangi telah satu depa lagi di hadapannya!
Kalau Manusia Titisan Dewa sunggingkan
senyum pertanda kepuasan, sebaliknya Pendekar
Mata Keranjang 108 sunggingkan senyum kecut.
Malah wajahnya tampak pucat pasi, tubuhnya ge-
metar. Dia tak menduga jika lesatan serangan la-
wan demikian cepat, hingga meski kini dia telah
dapat kuasai tubuhnya, namun keadaannya su-
dah sangat terlambat untuk membuat gerakan
menangkis atau menghindar!
"Celaka! Tuntas riwayat hidupku...," gumam Aji dengan paras pias.
Pada saat yang mengerikan itu, tiba-tiba
melesat sesosok bayangan. Aji merasakan ada
sambaran angin dahsyat menerpa tubuhnya dari
arah samping yang membuat tubuhnya terpental
dan bergulingan di atas tanah. Namun hal itu te-
lah menyelamatkan tubuhnya dari hantaman se-
rangan Manusia Titisan Dewa.
Serangan Manusia Titisan Dewa terus me-
nerabas dan menghantam sebuah pohon. Pohon
itu langsung tumbang dan hancur berkeping-
keping. Tanah di sekitar pohon itu terbongkar be-
sar dan tanahnya membumbung ke angkasa me-
nutupi tempat itu. Hingga tempat itu sesaat men-
jadi gelap tertutup hamburan tanah.
Begitu hamburan tanah sirap, sepasang
mata Manusia Titisan Dewa terlihat liar berkilat-
kilat. Pelipisnya bergerak-gerak dengan dagu te-
rangkat. Tubuhnya terguncang menahan amarah
yang melanda dadanya melihat ada orang ikut
campur menyelamatkan jiwa Pendekar 108.
Dan ketika sepasang matanya menangkap
sesosok manusia di samping Pendekar Mata Ke-
ranjang, dia segera membentak dengan suara lan-
tang. "Kau ikut masalah ini, berarti kau harus tebus dengan nyawamu!"
Sosok yang dibentak bukannya menjawab.
Malah tertawa cekikikan dan bergerak putar-putar
seakan sedang menari lalu tiba-tiba 'Bukkk' dia
duduk menggelosoh di atas tanah!
Dia adalah seorang perempuan tua bertu-
buh gemuk besar. Rambutnya putih dan disanggul
ke atas. Sepasang matanya besar dan sayu. Bibir-
nya dipoles dengan merah-merah. Dia mengena-
kan anting-anting sebelah sangat besar yang di-
muati beberapa anting-anting kecil.
Pendekar 108 segera bergerak bangkit, dan
mulutnya ternganga melihat siapa adanya orang
yang telah menyelamatkannya.
"Dewi Kayangan....," gumam Aji seraya
usap-usap hidungnya dengan kepala menggeleng
melihat tingkah perempuan gemuk besar yang bu-
kan lain memang Dewi Kayangan.
Pendekar 108 segera melangkah mendekat.
Namun belum sampai dia keluarkan kata-kata,
Manusia Titisan Dewa telah kembali membentak.
"Kali Nyamat!" kata Manusia Titisan Dewa menyebut nama asli Dewi Kayangan. "Kau
datang pada saat yang tepat. Dan terimalah ajalmu bersama-sama manusia pembunuh
itu!" Dewi Kayangan masih tidak menyahut. Ma-
lah kini berpaling pada Pendekar Mata Keranjang
dan serta-merta tertawa cekikikan dengan keras!
"Kau dengar manusia yang bergelar Manu-
sia Titisan Dewa telah menentukan ajal seseorang"
Bukan seseorang, dua orang. Kau dan aku! Heran
ya.... namanya saja masih manusia, tapi dapat
menentukan ajal.... Kau sudah siap...?"
Ditanya demikian, Pendekar 108 segera
menimpali. "Dikatakan siap ya sudah, dikatakan belum
ya belum...."
"Wan, omongmu terlalu sukar dicerna. Coba
terangkan lebih jelas bukankah di sini ada manu-
sia yang bisa menentukan ajal" Kalau dia bisa
mengerti omongan mu, siapa tahu dia memper-
panjang umur kita..." Untung buatmu, karena kau
masih bisa melihat gadis-gadis cantik. Hik... hik...
hik...!" "Aduh, aku tidak bisa lagi menjabarkan omongan itu. Hanya saja yang
namanya manusia
pasti dapat mencerna kata-kataku. Kalau tidak bi-
sa... ya mungkin saja orang tolol yang hampir
mendekati ajal...."
"Husss! Jangan keras-keras bicara soal ajal.
Di sini ada orang yang bagian mengurusi! Bisa-
bisa nyawamu dicabut!"
"Keparat! Akan kubuktikan bahwa kalian
memang orang-orang yang pantas menemui ajal!"
bentak Manusia Titisan Dewa seraya buka telapak
tangannya dan siap lancarkan serangan.
Di depan Pendekar 108 jongkok dan meme-
gang Dewi Kayangan lalu berbisik.
"Dewi. Siapakah orang tua angker itu?"
"Dialah manusianya yang bergelar Manusia
Titisan Dewa!"
Pendekar Mata Keranjang terhenyak. Dia
memang pernah mendengar tokoh silat bergelar
Manusia Titisan Dewa. Menurut yang didengar, to-
koh ini berilmu tinggi dan jarang muncul. Sikap
dan jalan pikirannya sukar ditebak.
"Dewi. Apakah dia mempunyai seorang mu-
rid?" Dewi Kayangan cekikikan, namun di sela-sela cekikannya dia menjawab.
"Dulu kabarnya dia punya murid. Namun
muridnya itu akhirnya dibunuh sendiri gara-gara
menolak perintahnya. Kenapa kau menanyakan
hal itu?" Pendekar 108 sejenak terdiam. Lalu setelah
berpikir dia berkata. "Aku melihat jurus yang dipe-ragakan Sakawuni mirip dengan
jurus orang tua
itu!" "Sakawuni..." Siapa Sakawuni" Laki apa perempuan..."!"
Pendekar 108 jadi geleng-geleng kepala
mendengar pertanyaan Dewi Kayangan. Seraya
nyengir dia berkata.
"Sakawuni adalah seorang gadis cantik yang
kau tolong beberapa saat yang lalu dari serangan-
ku! Kau ingat" Dia mengenakan baju coklat berga-
ris-garis, rambutnya segini...!" kata Pendekar 108
sambil gerakkan tangan kanannya diletakkan di
punggung. "Hmm...," Dewi Kayangan manggut-
manggut hingga terdengar gemerincing anting-
antingnya. "Berat dugaan gadismu itu memang telah berguru pada tua bangka itu.
Sekarang kau ta-
ruh di mana gadismu itu?"
Meski dalam hati menggerendeng habis-
habisan karena menyamakan Sakawuni dengan
barang yang bisa ditaruh namun murid Wong
Agung ini gelengkan juga kepalanya memberi isya-
rat bahwa dia tak tahu di mana Sakawuni.


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat kedua orang ini sedang berbisik-bisik,
tiba-tiba Manusia Titisan Dewa telah hantamkan
kedua tangannya.
Seberkas sinar pelangi melesat ke arah Dewi
Kayangan dan Pendekar 108 tanpa keluarkan sua-
ra. Namun karena dadanya bagian dalam telah ci-
dera akibat bentrok pukulan dengan Pendekar
108, maka lesatan sinar pelangi itu telah tidak se-
ganas tadi. Bahkan hamparan hawa panas dan
dingin yang menyertai sinar itu tidak lagi begitu menyengat dan mencekam.
Dewi Kayangan segera tarik tangan Pende-
kar Mata Keranjang. Kedua orang ini saling bergu-
lingan di atas tanah. Begitu gulingan Dewi Kayan-
gan terhenti, perempuan ini cepat tekankan kedua
sikunya ke atas tanah. Settt! Tubuhnya membum-
bung dan lenyap di udara. Sementara Pendekar
108 langsung bangkit dan memperhatikan. Sebe-
narnya dia ingin juga lancarkan serangan balasan, namun ketika Dewi Kayangan
dilihatnya bergerak,
dia urungkan niat. Dia merasa tidak layak untuk
mengeroyok. Di depan, tiba-tiba sosok Dewi Kayangan
muncul dan tahu-tahu telah tegak dua langkah di
samping Manusia Titisan Dewa. Kakek ini bukan
main terkejutnya. Namun dia segera tersadar. Ser-
ta-merta kedua tangannya dihantamkan sekaligus
ke samping. Namun karena gerakannya telah lamban,
maka sebelum kedua tangannya menghantam,
Dewi Kayangan telah angkat kedua tangannya dan
didorongkan ke samping ke arah Manusia Titisan
Dewa yang sedang hendak lepaskan pukulan.
Desss! Manusia Titisan Dewa terpekik. Sosoknya
terpelanting sampai lima tombak ke samping dan
jatuh bergelimpangan di atas tanah tak jauh dari
tempat Pendekar 108 berdiri.
Terbungkuk-bungkuk Manusia Titisan De-
wa bergerak bangkit. Ketika dia memeriksa ba-
hunya yang terasa nyeri dan panas, sepasang ma-
tanya membelalak besar. Jubah birunya bagian
bahu terlihat robek besar dan hangus! Bahkan ku-
lit di bahunya terlihat berubah menjadi hitam le-
gam! "Jahanam keparat!" maki Manusia Titisan Dewa sambil pejamkan matanya
kerahkan tenaga
dalam untuk menahan rasa panas yang mulai
menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Kalau saja aku tidak dalam keadaan cide-
ra, akan kubuat tanggal kepalanya! Hm.... Untuk
sementara masalah ini harus ku tunda. Terlalu
bodoh jika aku melawan...."
Di seberang, Dewi Kayangan keluarkan ce-
kikikan panjang dan keras. Lalu tengadahkan ke-
pala dan berucap.
"Manusia Titisan Dewa! Kalau kau masih
berdiri saja, jangan menyesal jika aku mewakili
malaikat pencabut nyawa untuk menanggalkan
nyawamu! Meski sang malaikat tidak memerintah-
ku! Hik... hik... hik...!"
"Bangsat!" teriak Manusia Titisan Dewa
dengan amarah yang meluap. Dia sebenarnya in-
gin mengadu jiwa. Namun karena sadar keadaan-
nya terluka, maka tak mungkin dia melakukan-
nya. Tapi kemarahannya tidak bisa ditahan lagi.
Dan rasa marahnya ditumpahkan pada Pendekar
108 yang berdiri tak jauh darinya.
Tangan kanan kakek ini lantas digerakkan
kirimkan serangan pada Pendekar Mata Keran-
jang. Karena tidak menyangka, Aji terlihat terpe-
rangah kaget. Hingga dia diam saja seakan terke-
sima. Pada saat itulah sebuah bayangan berkele-
bat. Bersamaan dengan itu terdengar deruan angin
dahsyat. Pukulan jarak jauh Manusia Titisan Dewa
terlabrak dan terdengarlah letupan dahsyat.
Pendekar 108 terpental dan jatuh terduduk.
Sedang Manusia Titisan Dewa tersurut hingga tiga
langkah ke belakang. Sepasang mata kakek ini
menyengat tajam. Dia menduga bahwa Dewi
Kayangan telah menyelamatkan Pendekar 108,
namun dugaan orang tua ini meleset.
Sama halnya dengan Manusia Titisan Dewa,
Pendekar 108 pun menyangka bahwa Dewi Kayan-
gan-lah yang menyelamatkannya. Namun murid
Wong Agung jadi terbeliak tatkala mengetahui sia-
pa adanya orang yang menangkis serangan Manu-
sia Titisan Dewa.
Di seberang Dewi Kayangan makin keras
dengan cekikikannya.
DUA BELAS Di situ, tak jauh dari tempat Manusia Titi-
san Dewa tampak berdiri seorang gadis muda ber-
paras cantik mengenakan pakaian warna coklat
bergaris-garis.
"Sakawuni!" seru Pendekar Mata Keranjang 108 mengenali siapa adanya si gadis.
Dahi murid Wong Agung ini mengernyit. Dalam hati diam-diam
dia berucap. "Heran. Bukankah sesaat yang lalu dia
menginginkan nyawaku" Namun kenapa tiba-tiba
menyelamatkanku..." Atau hal ini dilakukan kare-
na dia ingin membunuhku dengan tangannya sen-
diri...?" Selagi Aji tercenung dengan menduga-duga, Manusia Titisan Dewa
terlihat melotot angker begitu mengetahui siapa adanya si gadis. Dengan sua-
ra keras dia membentak.
"Sakawuni! Sadarkah kau dengan kela-
kuahmu" Atau kau telah melupakan sumpah-
mu"!" Gadis muda berparas cantik yang memang bukan lain adalah Sakawuni tak
segera menyahut
ucapan Manusia Titisan Dewa yang bukan lain
adalah gurunya sendiri. Dalam hati gadis ini dige-layuti beberapa perasaan. Dia
sendiri heran, kena-pa hatinya masih juga tak tega melihat Pendekar
108 tewas. "Keparat! Kenapa aku masih juga tak tega
padanya"! Apakah karena aku masih mengha-
rapkan dirinya"! Hmm.... Tidak! aku tak akan
mengharap orang yang merenggut nyawa guruku!
Tapi.... Kenapa dia masih menyangkal dengan per-
buatannya" Hm.., ini perlu waktu untuk menyeli-
dikinya! Dan aku ingin dia roboh di tanganku sen-
diri jika perbuatannya terbukti!" setelah berpikir sejenak, dia berpaling pada
gurunya. Lalu melangkah mendekat dan berkata.
"Guru! Aku sengaja memperpanjang umur-
nya, karena aku mengadu jiwa dengan. Dan aku
ingin agar keparat itu tewas dengan tanganku
sendiri!" Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit.
Tubuhnya gemeletar menahan marah mendengar
jawaban muridnya. Kepalanya berpaling pada ju-
rusan lain. "Murid Keparat! Seandainya tak disela-
matkannya, pendekar itu pasti sudah tumbang!
Hm.... Alasan yang diucapkannya mungkin men-
gada-ada! Namun yang sebenarnya dia masih
mencintai pemuda itu! Jahanam!"
Berpikir sampai di situ, hawa amarah Ma-
nusia Titisan Dewa tak dapat dibendung lagi. Ke-
palanya bergerak kembali dan kini lurus mengha-
dap Sakawuni. "Murid Jahanam!" kata Manusia Titisan
Dewa setengah berteriak. "Kau layak dapat huku-man atas ulahmu!"
Kaki Manusia Titisan Dewa tiba-tiba berke-
lebat menyambar.
Deesss! Karena jaraknya dekat, hingga tak ada ke-
sempatan bagi Sakawuni untuk bergerak meng-
hindar dan menangkis terjangan kaki yang meng-
hajar dadanya. Gadis ini terjengkang ke belakang
sampai lima tombak dan jatuh bergelimpangan di
atas tanah. Sesaat tubuhnya tampak bergerak-
gerak bahkan kepalanya terlihat terangkat lalu
muntahkan darah kehitaman. Pertanda tubuh ba-
gian dalamnya terluka parah.
"Sakawuni!" teriak Pendekar 108 sambil
berkelebat mendatangi. Dipegangnya bahu gadis
itu, lalu tubuhnya ditolong untuk bangkit. Namun
mungkin karena terluka agak parah, sepasang ma-
ta gadis ini tampak meredup lalu memejam seraya
keluarkan erangan tertahan. Tak lama kemudian
kepalanya lunglai di pangkuan Pendekar 108. Ga-
dis ini pingsan.
"Tua bangka jahanam!" teriak Aji lalu arahkan pandangannya pada Manusia Titisan
Dewa. Namun murid Wong Agung ini terperangah. Manu-
sia Titisan Dewa telah tidak ada lagi di tempatnya!
"Dewi! Ke mana larinya bangsat itu?" teriak Pendekar 108 pada Dewi Kayangan yang
melangkah terbungkuk-bungkuk ke arahnya.
"Mana aku tahu! Lagi pula apa enaknya
ngurusi ke mana perginya orang" Bukankah lebih
baik menolong gadismu itu..." Bukankah dia yang
kau ceritakan tadi. Hik... hik... hik...! Pucuk dicin-ta, ulam dibikin sate....
Enak memang!"
"Dewi. Jangan terus-terusan bercanda. To-
long aku menyelamatkan jiwa gadis ini!"
"Dasar anak geblek! Kalau ada susahnya te-
riak-teriak minta tolong, tapi kalau lagi mesra-
mesraan menyinggung nama pun tidak! Hik...
hik... hik...! Jadi orang tua memang selalu bernasib jelek. Tidak seperti
gadismu itu. Dia enak-
enakan diam, kamu yang pontang-panting seperti
cacing kedinginan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menyumpah
habis-habisan dalam hati demi mendengar kata-
kata Dewi Kayangan. Dan dadanya makin jengkel
tatkala dilihatnya Dewi Kayangan bukannya me-
langkah cepat, namun justru melenggak-lenggok
laksana orang sedang menari. Malah seraya me-
lenggak-lenggok dan mulutnya yang dipoles merah
menyala tak putus-putusnya memperdengarkan
suara tawa cekikikan!
Namun tiba-tiba saja suara cekikikannya
lenyap. Aji yang telah alihkan pandangan pada Sa-
kawuni segera angkat kepalanya. Dia terkejut, ka-
rena Dewi Kayangan tidak terlihat batang hidung-
nya. "Sialan! Ke mana dia..."!"
Selagi Aji mencari-cari bahunya terasa dite-
puk orang. Secepat kilat Aji menoleh. Hatinya lega, Dewi Kayangan ternyata telah
ada di belakangnya.
"Masukkan ini ke mulutnya!" kata Dewi
Kayangan seraya ulurkan tangannya memberikan
dua butiran kecil berwarna merah. Tanpa pikir
panjang lagi Pendekar 108 segera memungut dan
memasukkannya pada mulut Sakawuni.
"Aji.... Setelah urusan gadis-gadis ini selesai, kau cepat temui aku! Dan satu
hal lagi, ba- gaimana kalau gelarmu diganti saja! Gelar Pende-
kar Mata Keranjang 108 terlalu mendatangkan
masalah bagimu! Hik... hik... hik...!"
"Gadis-gadis...?" gumam Pendekar 108
mengulangi ucapan Dewi Kayangan. "Dewi.... Di sini hanya ada satu gadis. Dan apa
maksudmu dengan mendatangkan banyak masalah..."!" kata Aji seraya palingkan wajahnya ke
samping. Namun betapa terkejutnya murid Wong Agung ini, Dewi
Kayangan ternyata telah tidak ada di sampingnya.
Hanya sayup-sayup terdengar ucapannya di sela
tawa cekikikan.
"Lihatlah jauh ke samping kiri... Hik... hik...
hik!" Pendekar 106 teruskan putaran kepalanya menuruti ucapan Dewi Kayangan.
Tiba-tiba Aji merasa terhenyak. Sepasang matanya menyipit
dan membeliak. Jauh di samping kiri Aji tegak berdiri seo-
rang gadis cantik mengenakan pakaian warna hi-
jau tipis. Sepasang mata gadis ini memandang lu-
rus ke arah Aji yang sedang memangku kepala Sa-
kawuni. "Singa Betina Dari Timur...!" seru Pendekar 108 dengan suara tercekat di
tenggorokan. "Dia nyatanya belum kembali ke Bima...," Pendekar 108
lalu lambaikan tangannya memberi isyarat agar si
gadis mendekati
Namun yang dilambai segera balikkan tu-
buh dan berkelebat meninggalkan tempat. Pende-
kar Mata Keranjang 108 menarik napas dalam-
dalam. Kepalanya menggeleng pelan.
"Gadis baik, bernasib belum baik...."
Perlahan-lahan diangkatnya tubuh Saka-
wuni ke dalam rengkuhannya. Pendekar 108 lalu
melangkah mencari tempat yang bisa digunakan
untuk istirahat.
SELESAI Segera menyusul:
TEMBANG MAUT ALAM KEMATIAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pedang Sakti Tongkat Mustika 16 Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah Pedang 3 Dimensi 7
^