Pencarian

Tembang Maut Alam Kematian 3

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian Bagian 3


Bukkk! Reksi Gumarang berseru tertahan. Tangan
kirinya mental balik dengan tubuh terdorong ke
belakang. Dan ketika dia melirik, dia membelalak hampir tak percaya. Tangannya
menggembung dan berwarna merah!
"Keparat!" seru Reksi Gumarang dengan
mata memandang tajam pada Sakawuni yang ma-
sih tampak berdiri sambil tersenyum sinis. Paras wajah laki-laki ini berubah
merah padam. Namun
demikian, diam-diam dalam hatinya maklum jika
gadis muda di hadapannya tidaklah seperti apa
yang semula diduganya. Sementara itu Ganda
Wulung memperhatikan dengan lebih seksama.
"Siapa gadis ini sebenarnya" Dia tidak bisa dianggap remeh!"
"Siapa kau sebenarnya..."!" tiba-tiba Reksi
Gumarang membentak.
Yang dibentak bukannya segera menjawab.
Melainkan tertawa berderai-derai hingga dadanya
yang membusung terlihat naik turun.
Namun gerakan naik turun dada Sakawuni
tidak membuat Reksi Gumarang terpesona seperti
semula. Sepasang matanya memang membelalak
besar, namun bukan karena melihat dada Saka-
wuni, melainkan karena marah! Rencananya se-
mula yang ingin mengajak Sakawuni bersenang-
senang seakan hilang lenyap, berganti ingin me-
nundukkan Sakawuni.
"Laki-laki busuk!" teriak Sakawuni setelah agak lama tertawa. "Apakah kau selalu
menanyakan siapa mangsamu jika ingin bersenang-
senang"!"
Karena yang ditanya tidak ada yang mem-
buka mulut untuk menjawab, akhirnya Sakawuni
melanjutkan ucapannya.
"Kalau kalian tak mau jawab tak apa. Tapi
perlu kalian ketahui jika kalian memang selalu
ingin tahu mangsamu, aku tak keberatan membe-
ritahu! Dengar baik-baik. Aku adalah Pemangsa
Malam! Pencari nyawa laki-laki yang suka keluyu-
ran malam-malam! Hik... hik... hik...!"
"Bedebah setan siapa namamu! Kau akan
kubawa bersenang-senang setelah tubuhmu jadi
mayat!" kata Reksi Gumarang setengah berteriak.
Sementara Ganda Wulung terlihat diam saja, na-
mun diam-diam laki-laki ini kerahkan tenaga da-
lam. Dan diam-diam pula kedua tangannya dita-
rik ke belakang siap lancarkan pukulan.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar orang
melantunkan tembang syair.
Malam merangkak makin jauh.
Sang pemangsa malam telah kepakkan
sayap untuk menembusi kegelapan watak manu-
sia. Sungguh jelek nasib manusia malam.
Harus kembali pulang dengan nyawa
menggantung di awang-awang!
Ketiga orang serentak palingkan wajah
masing-masing ke arah datangnya suara tembang
syair. Di belakang pohon, terlindung oleh kegelapan malam yang tidak terbias
pancaran cahaya
perapian terlihat sesosok tubuh berdiri tegak dengan kepala tengadah. Hanya
jubah besarnya yang
berwarna hitam bergaris-garis putih tampak ber-
kibar-kibar diterpa angin malam.
"Penyair geblek! Hanya kuingatkan sekali
padamu. Lekas tinggalkan tempat ini!" teriak Reksi Gumarang sambil alihkan
kembali pandangan-
nya pada Sakawuni. Sementara Ganda Wulung
tampak menyipitkan sepasang matanya. Karena
dia berada lebih dekat dengan sosok yang menga-
lunkan tembang syair, dia lebih jelas bisa melihat paras wajah orang di belakang
pohon. "Hmm.... Aku samar-samar sepertinya per-
nah bertemu dengan orang ini..." batin Ganda Wulung. Matanya sekali lagi
ditajamkan. "Heran. Aku merasa yakin pernah menge-
nali wajahnya. Tapi aku lupa di mana.... Ah,
mungkin hanya persamaan wajah...," kata Ganda Wulung pada akhirnya menenteramkan
diri tatkala dia gagal mengingat-ingat.
"Siapa lagi manusia pendatang ini" Kalau
menilik nada suaranya, jelas jika sang penyair ini mempunyai ilmu. Juga melihat
kedatangannya yang tanpa bisa kusiasati, mengisyaratkan bahwa
dia tidak bisa dipandang remeh! Hm.... Perjalanan belum dimulai sudah ada
penghalang...," Sakawuni membatin seraya melirik pada Ganda Wu-
lung. "Laki-laki ini tampak sedikit berubah. Sepertinya dia mengenali orang yang
baru datang. Adakah mereka ini satu komplotan..." Peduli se-
tan! Siapa pun mereka adanya, akan kubikin
mampus jika bertindak kurang ajar!"
Selagi ketiga orang ini tidak ada yang buka
suara, sosok di belakang pohon kembali memper-
dengarkan alunan tembang syair.
Malam makin gelap pekat.
Darah telah menggelegak ingin segera tum-
pah membasahi bumi.
Penyair Berdarah inginkan darah manusia-
manusia serakah.
Reksi Gumarang, Ganda Wulung! Malam ka-
lian telah berakhir!
Reksi Gumarang dan Ganda Wulung terse-
dak leher masing-masing. Darah kedua orang ini
laksana sirap seketika. Reksi Gumarang alihkan
pandangannya lagi ke arah belakang pohon den-
gan kaki tersurut dua langkah. Sedangkan Ganda
Wulung ternganga sambil geser kakinya ke samp-
ing, seakan ingin memperhatikan lebih jelas wa-
jah orang. Tidak seperti Reksi Gumarang yang
meski terkejut tidak menampakkan paras takut,
sebaliknya Ganda Wulung jelas menunjukkan
raut ketakutan. Sementara Sakawuni sepertinya
acuh dengan rasa terkejut dua orang di samping-
nya. Dia berpikir tak ada untungnya dengan men-
getahui perasaan orang. Meski dia dapat mendu-
ga bahwa ada ganjalan antara dua orang di sam-
pingnya dengan sang pendatang.
Selagi Reksi Gumarang dan Ganda Wulung
dilanda rasa terkejut, sosok di belakang pohon luruskan kepalanya, merapikan
jubahnya lalu me-
langkah keluar dari balik bayangan pohon.
Dia adalah seorang pemuda bertubuh te-
gap. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai. Se-
pasang matanya tajam dengan dagu kokoh. Dekat
perapian sang pemuda yang bukan lain adalah
Manding Jayalodra alias Penyair Berdarah henti-
kan langkah. Sepasang matanya menatap satu
persatu pada Reksi Gumarang serta Ganda Wu-
lung. Matanya berkilat merah. Pelipisnya berge-
rak-gerak. Jelas bahwa dia sedang marah.
Jika Ganda Wulung masih sedikit banyak
bisa mengenali sang pemuda meski tak tahu sia-
pa, tidak demikian halnya dengan Reksi Guma-
rang. Hingga begitu Penyair Berdarah hentikan
langkah, dia segera membentak.
"Penyair edan! Siapa kau..."! Dan dari ma-
na kau tahu siapa adanya kami"!"
Penyair Berdarah memandang pada juru-
san lain. Tawanya tiba-tiba meledak. Dan bersa-
maan dengan itu, ketiga orang di hadapan Penyair Berdarah surutkan langkah
masing-masing ke belakang. Bukan hanya karena terkejut mendengar
ledakan tawa orang yang membuat telinga ber-
dengung sakit, melainkan juga karena tanah pija-
kan mereka bergetar. Hingga kalau masing-
masing orang tidak segera kerahkan tenaga da-
lam, bukan tak mungkin akan goyah dan jatuh
terduduk! Dari sini ketiga orang jadi maklum,
bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang
berilmu tinggi.
"Reksi Gumarang, Ganda Wulung! Buka
mata kalian lebar-lebar! Kalau aku dapat menge-
nali siapa kalian, orang tolol jika kalian tak men-genalku!" kata Penyair
Berdarah begitu suara tawanya terhenti.
Untuk beberapa saat baik Reksi Gumarang
maupun Ganda Wulung memperhatikan sekali la-
gi pada pemuda di hadapan mereka. Namun ke-
duanya tampak tidak bisa mengingat apalagi
mengenali si pemuda,
"Kau tak usah berteka-teki! Katakan siapa
kau adanya!" sahut Reksi Gumarang dengan sua-ra tinggi. Rasa marah laki-laki ini
makin bertum-puk.
"Baiklah kalau itu maumu." akhirnya Penyair Berdarah berkata. "Untuk menyegarkan
otak kalian yang buntu akan kusebutkan sebuah
nama. Kau ingat dengan seorang bernama Can-
drik Raturandang"!"
Serentak Reksi Gumarang dan Ganda Wu-
lung tercengang. Kedua orang ini memang men-
genal siapa adanya orang yang baru disebut na-
manya oleh sang pemuda. Candrik Raturandang
adalah adik kandung mendiang Panglima Perang
Kerajaan Dhaha yang tewas digantung karena
hendak mengadakan makar terhadap kerajaan.
Sedangkan Candrik Raturandang akhirnya juga
dihukum gantung karena kedapatan menyembu-
nyikan anak bungsu sang panglima.
"Candrik Raturandang.... Hmm..., berarti
pemuda ini adalah anak bungsu sang panglima!
Manding Jayalodra...,?" gumam Reksi Gumarang sambil busungkan dada. Lalu
berkata. "Ganda Wulung. Rezeki kita besar sekali
malam ini! Selain dapat menikmati santapan ga-
dis cantik, masih ditambah hadiah kepingan
emas dari Sri Baginda. Pemuda inilah yang sela-
ma ini dicari-cari kerajaan!"
Ganda Wulung yang telah juga dapat me-
nebak siapa adanya pemuda tertawa pendek. "Kalau kita bisa menyeret pamannya,
apa susahnya menyeret keponakannya..."!"
"Manusia-manusia keparat! Jangan bermu-
lut besar! Darah kalian akan kutumpahkan ma-
lam ini sebagai imbalan atas kelakuan kalian pa-
da pamanku!" Penyair Berdarah membentak dengan kacak pinggang. Mulutnya
mengembung lalu
memuntahkan ludah ke tanah.
Melihat suasana tegang, Sakawuni perla-
han-la-an melangkah mundur. Dan begitu Saka-
wuni berada agak jauh, tiba-tiba Penyair Berda-
rah melompat ke depan. Reksi Gumarang hanya
melihat kelebatan serta berdesirnya angin. Tahu-
tahu sepasang tangan Penyair Berdarah telah
bergerak menghantam dan kini berada satu jeng-
kal di sebelah kanan kiri kepalanya.
Dengan menahan rasa sakit serta sadar
bahaya maut mengancam dirinya, Reksi Guma-
rang cepat angkat tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu keluarkan sua-
ra keras. Reksi Gumarang terpekik. Sambil
menghindar dengan melompat mundur, laki-laki
ini hantamkan kaki kanannya. Penyair Berdarah
sibakkan jubahnya. Kepalanya bergerak merun-
duk. Terjangan kaki lewat sejengkal di atas kepalanya. Saat itulah Penyair
Berdarah sapukan ka-
kinya menyusur tanah menghajar betis Reksi
Gumarang yang digunakan sebagai tumpuan tu-
buhnya. Kaki kiri Reksi Gumarang mencelat dan
ini mengakibatkan tubuhnya terbanting deras
dengan posisi miring.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Pe-
nyair Berdarah. Kaki kirinya segera diangkat dan disapukan pada kepala Reksi
Gumarang. Namun
bersamaan dengan itu Ganda Wulung berteriak
dan berkelebat.
Penyair Berdarah urungkan niat menghan-
tam kepala Reksi Gumarang namun kakinya tetap
diterjangkan dengan sedikit diangkat lebih tinggi hingga lewat di atas kepala
Reksi Gumarang. Lalu tubuhnya diputar dan kakinya diteruskan ke depan. Bukkk!
Bukkk! Karena tak menyangka Penyair Berdarah
akan membuat gerakan demikian, Ganda Wulung
yang menyongsong dengan tangan di atas kepala
tampak terkejut. Tangannya segera dihantamkan
ke bawah. Namun yang dihantamnya hanyalah
udara kosong, karena ternyata lawan telah tarik
pulang kakinya sebatas lutut. Dan begitu tangan-
nya lolos menghajar sasaran, lawan telah mele-
jangkan kembali kakinya. Ganda Wulung berseru
tertahan. Tubuhnya mencelat ke belakang dan ja-
tuh bergedebukan ke atas tanah.
Pada saat Penyair Berdarah melejangkan
kaki kirinya menyongsong Ganda Wulung, Reksi
Gumarang melirik. Kesempatan ini tak disia-
siakan laki-laki berjubah putih ini. Kakinya cepat bergerak menghajar kaki kanan
Penyair Berdarah. Karena pusat bobot tubuhnya terhajar,
membuat tubuh Penyair Berdarah langsung ter-
banting! Melihat hal ini Reksi Gumarang langsung
bangkit. Namun baru saja hendak tegak, Penyair
Berdarah hantamkan kedua tangannya.
Angin dahsyat mengeluarkan suara seperti
bunyi-bunyian rebab melesat cepat ke arah Reksi


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gumarang. Suasana berubah redup meski di situ
ada cahaya perapian, dan hawa panas mengham-
par! Penyair Berdarah telah lancarkan pukulan
sakti 'Suara Kematian'!
Di depannya, Reksi Gumarang terkesima.
Namun sudah sangat terlambat untuk menghin-
dar. Hingga tanpa bisa dielakkan lagi, pukulan
Penyair Berdarah telah menghajar tubuhnya. So-
sok laki-laki berjubah putih ini yang ternyata adalah pengawal mendiang Panglima
Perang Kerajaan
Dhaha mencelat hingga beberapa tombak ke be-
lakang dan terhempas dengan kepala terlebih da-
hulu. Sejenak tubuhnya terlihat menggelepar, lalu sesaat kemudian diam kaku
dengan pakaian hangus dan tubuh berubah menjadi hitam legam!
Mendapati hal yang menimpa Reksi Guma-
rang, Ganda Wulung yang sejak semula telah je-
rih makin kecut. Seraya merayap bangkit laki-laki ini melirik kanan kiri. Dan
tanpa pikir panjang la-gi dia berkelebat meloloskan diri. Namun bersa-
maan dengan itu, tiba-tiba suasana di tempat itu berubah sangat dingin, lalu
berubah lagi panas
menyengat. Hal ini membuat tengkuk Ganda Wu-
lung merinding, namun karena dia telah men-
gambil keputusan melarikan diri, ia teruskan saja berkelebat.
Saat itulah Ganda Wulung merasakan
punggungnya terhantam benda keras. Tubuhnya
langsung terjungkal menggebrak tanah! Sebentar
terdengar erangan dari mulutnya, namun erangan
itu tiba-tiba terputus bersamaan dengan me-
layangnya nyawa!
SEMBILAN SAKAWUNI turunkan kedua tangannya.
Tebaran hawa sangat dingin lalu panas serta an-
gin dahsyat yang tidak mengeluarkan suara yang
melesat dari kedua tangan Sakawuni inilah yang
memutuskan nyawa Ganda Wulung. Sakawuni
ternyata telah lancarkan pukulan sakti
'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.
Sakawuni menunggu sebentar. Setelah ya-
kin Ganda Wulung tewas, dia putar tubuh dan
meninggalkan tempat itu. Bibirnya tampak terse-
nyum sinis. "Tunggu!"
Mendadak satu seruan agak keras terden-
gar di belakangnya. Sakawuni segera berpaling.
Penyair Berdarah tampak telah berdiri dan me-
mandang ke arahnya dengan pandangan sulit di-
artikan. "Hm.... Apa dia juga punya maksud sama
seperti dua laki-laki tadi?" batin Sakawuni lalu bertanya.
"Ada apa..."!"
"Kalau tak keberatan, boleh aku tahu siapa
kau sebenarnya"!'
"Hm.... Dua laki-laki tadi mengatakan
bahwa dia adalah buron kerajaan! Ah, itu bukan
urusanku. Yang penting dia tak membuat masa-
lah denganku! Dan mendengar nada bicaranya
dia sepertinya tak punya niatan buruk! Wajahnya
juga tampan...," Sakawuni sejenak merasa terkesima. Dadanya bergetar, apalagi
tatkala bola ma-
tanya bertemu dengan mata pemuda di hadapan-
nya. Namun sesaat kemudian kepalanya mengge-
leng perlahan. "Hm.... Gadis ini berparas cantik. Bentuk
tubuhnya siapa pun akan tergoda jika meman-
dangnya. Ilmunya juga tak bisa dianggap remeh.
Gadis macam inilah yang dimaksud oleh Guru....
Aku harus dapat membujuknya...."
"Gadis cantik! Kau tak usah berprasangka
buruk padaku. Aku bukannya macam dua laki-
laki jahanam itu!'
Sakawuni anggukkan kepalanya. Meski dia
sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat itu, namun ada rasa aneh yang
membuatnya mengu-rungkan niat. Malah dia balik bertanya.
"Kau mengenali dua laki-laki jahanam itu.
Siapa mereka" Dan kau sendiri siapa?"
"Hmm.... Apakah aku harus berterus te-
rang" Ah, tidak. Masa laluku harus kukubur da-
lam-dalam. Aku sekarang adalah Penyair Berda-
rah. Manusia yang akan menguasai jagat persila-
tan!" lalu Penyair Berdarah berkata.
"Mereka berdua adalah para pemberontak
Kerajaan Dhaha. Mereka adalah manusia-
manusia yang ikut serta menyeret salah seorang
pamanku ke tiang gantungan. Mereka menebar
fitnah hingga pamanku harus tewas di tiang gan-
tungan. Mereka pantas menemui aja!!" saat berkata, paras wajah Penyair Berdarah
tampak be- rubah merah padam. Setelah diam beberapa saat
dia melanjutkan.
"Aku sendiri tak tahu apa nama yang dibe-
rikan orangtuaku. Karena ketika umurku tiga ta-
hun, kedua orangtuaku telah meninggal. Hanya
karena aku senang dengan tembang-tembang
syair, orang-orang memanggilku dengan Penyair
Berdarah! Aku sendiri heran, kenapa orang-orang
memanggilku demikian. Padahal aku paling benci
dengan darah!"
Sakawuni mendengarkan penuturan Pe-
nyair Berdarah dengan seksama. Bahkan tak ja-
rang sepasang matanya mencuri pandang.
"Perjalanan hidup yang memilukan...," desis Sakawuni.
"Aku telah mengatakan siapa aku sebenar-
nya. Apakah kau masih keberatan mengatakan
siapa adanya dirimu"!" tiba-tiba Penyair Berdarah ajukan pertanyaan.
Sakawuni tampak terkejut. Namun gadis
ini segera bisa kuasai diri dengan sedikit tersenyum. "Meski ceritanya mungkin
benar, tapi dia masih menyembunyikan sesuatu. Dia tak menyebutkan nama.... Untuk
sementara aku pun harus
tidak berterus terang padanya!" pikir Sakawuni.
"Penyair Berdarah. Seperti halnya dirimu,
aku pun demikian!"
Penyair Berdarah kernyitkan kening. Sepa-
sang matanya sedikit membesar. Bukan meman-
dang pada wajah Sakawuni, melainkan ke arah
dada dan pinggulnya! Tapi begitu Sakawuni meli-
rik, Penyair Berdarah cepat alihkan pandangan-
nya dan berkata.
"Sama dengan diriku" Apa maksudmu..."!"
"Kedua orangtuaku meninggal saat aku
masih bayi. Konon, karena mereka belum membe-
ri nama, sampai besar pun aku tidak mempunyai
nama! Apalagi gelar! Tapi aku tak kecewa dengan
hal itu!" "Tapi kau tadi kudengar menyebutkan ge-
lar!" sahut Penyair Berdarah.
Sakawuni tertawa perlahan, memperli-
hatkan giginya yang putih rata serta bercahaya.
Seraya alihkan pandangan pada jurusan lain dia
berucap. "Aku hanya asal omong saja! Karena mere-
ka berniat buruk padaku!'"
Penyair Berdarah memandang lekat-lekat.
Bibirnya ikut menyungging senyum. "Kalau kau tak mau sebutkan nama atau gelar,
tak apa-apa. Namun kalau kau tidak keberatan bagaimana ka-
lau kau kuberi gelar Bidadari Malam" Gelar itu
layak kau sandang, karena parasmu cantik seper-
ti bidadari. Dan tak merasa takut meski sendirian di tengah malam...."
Mendengar ucapan Penyair Berdarah, Sa-
kawuni tertawa panjang. Namun diam-diam dia
merasa senang. Hingga dia tak menolak dengan
isyarat gelengan kepala atau berkata terus terang.
Dada gadis ini makin dibuncah oleh perasaan
yang sulit diartikan.
Hal demikian tampaknya tak luput dari
pandangan cerdik otak Penyair Berdarah. Dalam
hati dia berkata. "Hm.... Di mana-mana perempuan pasti akan lupa hatinya jika
dipuji. Aku harus bisa membuatnya melayang-layang dengan
pujian, lalu jatuh dalam rengkuhanku!" Dia lalu buka mulut hendak bicara. Namun
diurungkan ketika Sakawuni telah kembali berucap.
"Sebenarnya aku tak suka dengan gelar,
namun jika kau memberiku, aku tak menolak!"
habis berkata dia tengadah. Matanya menembusi
kegelapan malam. Tiba-tiba dia berseru seakan
baru sadar. "Ah, malam sudah hampir pagi. Tak terasa
sudah lama kita bicara. Aku harus segera pergi!"
Penyair Berdarah terkejut. Namun segera
disembunyikan di balik senyumnya. "Bidadari Malam Tampaknya kau tergesa-gesa.
Apakah kau punya masalah..." Sebagai sahabat, jika kau mau
memberitahu, mungkin aku bisa membantu. Se-
tidak-tidaknya bisa menjadi teman seperjala-
nan...." "Terima kasih atas perhatianmu. Aku memang punya urusan. Tapi urusan
itu bisa kusele-
saikan sendiri!"
Penyair Berdarah tunjukkan wajah mu-
rung. Napasnya berhembus panjang membuat
Sakawuni hampir urungkan niat untuk pergi.
Namun begitu teringat pada Pendekar Mata Ke-
ranjang, dia kuatkan hati untuk segera pergi. Tapi entah karena tidak mau
membuat Penyair Berdarah tersinggung dengan penolakannya, dia berka-
ta. "Maaf. Bukannya aku menolak budi baik-
mu untuk membantuku. Namun karena urusan-
ku begitu penting dan aku rasa bisa menyelesai-
kannya sendiri maka untuk kali ini aku belum
membutuhkan bantuan orang lain!"
"Urusan apa sebenarnya"!" tanya Penyair Berdarah.
"Urusan ini pun tak bisa kukatakan pada-
mu! Hmm.... Kau sendiri hendak ke mana?" Sakawuni balik ajukan tanya dengan
maksud men- galihkan pembicaraan.
"Aku sebenarnya dalam perjalanan mencari
seseorang. Dia seorang pemuda bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108!"
Terkejutlah Sakawuni mendengar ucapan
Penyair Berdarah. Langkahnya tersurut satu tin-
dak ke belakang. Dipandanginya pemuda di ha-
dapannya dengan seksama seakan baru bertemu.
"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108"!" desis Sakawuni menegaskan ucapan Penyair Berdarah dengan tak sadar.
"Betul! Pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Kau kenal dengannya!?" ujar Penyair Berdarah dengan kening
berkerut. Melihat tingkah Sakawuni, dia menjadi curiga. Namun dalam
hati dia telah berkeputusan jika Sakawuni men-
gatakan sebagai sahabat Pendekar 108, dia akan
mengatakan sesuatu yang baik tentang pendekar
itu. Jika sebaliknya, maka kesempatan itu tak
akan disia-siakan.
"Kau berubah. Kau kenal dengan pemuda
itu"! ulang Penyair Berdarah tatkala ditunggu
agak lama Sakawuni tidak juga menyahut uca-
pannya. "Ada urusan apa antara pemuda ini dengan
pendekar keparat itu" Atau dia teman pendekar
jahanam itu..." Hmm.... Aku harus segera menca-
ri manusia keparat cabul itu!" putus Sakawuni.
Kepalanya lalu menggeleng dan berkata.
"Aku memang pernah mendengar nama
pemuda yang kau sebut. Namun aku belum per-
nah bertemu apalagi mengenalnya! Kalau boleh
tahu, ada urusan apa kau dengan pemuda itu"
Teman atau...," Sakawuni tidak melanjutkan ucapannya karena saat itu Penyair
Berdarah telah memperdengarkan suara tawa.
"Bidadari Malam. Dia bukan teman dan
bukan apa-apaku. Urusanku dengannya pun ti-
dak baik diketahui orang lain. Hanya saja aku
akan mencarinya sampai ketemu!"
"Hmm.... Begitu" Kau punya urusan, aku
pun demikian. Moga-moga kita nanti bisa jumpa
lagi dengan tanpa ada urusan dengan orang lain.
Aku harus pergi sekarang!" habis berkata begitu, Sakawuni putar tubuh dan
meninggalkan Penyair
Berdarah. "Hmm.... Aku curiga pada gadis itu. Aku
rasa dia mengenal Pendekar 108. Akan kuikuti ke
mana dia pergi. Dan aku ingin tahu apa urusan
yang dihadapinya! Aku telah menemukan orang
yang kukira dapat melicinkan jalanku. Ini tak boleh kusia-siakan begitu
saja...," berpikir sampai di situ, Penyair Berdarah segera pula berkelebat
menembus kepekatan malam menyusul arah ke-
lebatan Sakawuni.
Di depan, pada suatu tempat Sakawuni
hentikan larinya. Sejenak kepalanya berputar,
matanya liar menyapu berkeliling. Kepalanya lan-
tas tengadah. "Penyair Berdarah. Siapa pun dia yang pas-
ti dia berilmu tinggi. Dan menilik nada suaranya, dia memang bukan teman
Pendekar 108. Malah
kulihat dia menyimpan marah pada pemuda itu.
Hm.... Urusan apa sebenarnya" Ah, kenapa aku
memikirkan hal itu" Urusanku adalah urusanku.
Masalah dia biarlah diurus sendiri! Yang penting, pendekar jahanam itu harus
tewas di tanganku!"
sejenak gadis ini bimbang, kepalanya lurus dan
berputar. Matanya menebar. Namun sesaat ke-
mudian dia berkelebat lagi.


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di bawah pohon besar, Penyair Berdarah
bangkit. Setelah mengedarkan pandangan dia
pun berkelebat ke arah yang diambil Sakawuni.
SEPULUH SEBUAH bayangan berkelebat menembus
kerapatan semak belukar dan jajaran pohon-
pohon besar. Meski malam menambah kepekatan
suasana, namun bayangan ini tampaknya enak
saja berkelebat. Bahkan tak lama kemudian
bayangannya lenyap laksana ditelan bumi. Dan
tahu-tahu muncul di bawah pohon yang tidak be-
gitu besar dengan punggung bersandar. Kepa-
lanya ditengadahkan, tangan kanannya lalu ber-
gerak mengusap keringat yang membasahi da-
hinya. Sepasang matanya lalu memandang berke-
liling. Sosok ini ternyata seorang pemuda berpa-
ras tampan. Tubuhnya tegap mengenakan pa-
kaian warna hijau yang dilapis dengan baju kun-
ing lengan panjang. Rambutnya panjang dan di-
kuncir ekor kuda.
"Sialan! Ke mana perginya manusia aneh
itu" Hm.... Manusia macam dia bukan saja mod-
elnya yang mengherankan serta menggelikan.
Namun sifatnya juga membingungkan!" sang pemuda berpikir.
"Beberapa waktu silam dia tiba-tiba menga-
jarkan ilmu padaku. Lalu tiba-tiba saja pergi tan-pa omong-omong lagi. Apa aku
melakukan suatu
kesalahan" Wah, bisa pusing sendiri memikirkan
hal-hal mengenai orang aneh itu!"
Tiba-tiba mata sang pemuda yang bukan
lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
sedikit membelalak memandangi ke jurusan agak
jauh. Tangannya ditepukkan pada keningnya.
"Ada asap di sebelah sana. Kata orang tua,
ada asap pasti ada api! Menurutku, ada api pasti ada orang yang membakar! Hm....
Mungkin manusia arak yang membuat api itu. Mungkin dia
kedinginan dan berapi-api sambil menenggak
araknya! Aku akan ke sana!"
Pendekar 108 segera berkelebat menuju
arah terlihatnya asap. Di bawah pohon besar,
murid Wong Agung ini menemukan perapian yang
masih menyala. Namun dia tampak kecewa, kare-
na orang yang diduganya tidak ada di tempat itu.
Tapi karena udara dingin, dia melangkah mende-
kati perapian. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sepasang
matanya melihat sesuatu menggeletak sepuluh
tombak di sebelah kanan perapian.
"Apakah Setan Arak..." Tapi kenapa tidur
melingkar seperti cacing tanah" Manusia itu me-
mang amburadul!" bisik Aji seraya melangkah mendekat.
"Bukan. Bukan Setan Arak. Tapi orang
lain. Darah terlihat menggenang. Tubuhnya han-
gus. Dia telah mati..." desis Pendekar 108 begitu sampai di hadapan sesuatu yang
menggeletak. "Darahnya belum membeku. Dan perapian
belum padam. Berarti hal ini baru saja terjadi.
Hmm.... Siapa yang melakukan hal ini..."!' sepa-
sang mata Pendekar 108 lantas menebar berkelil-
ing. Dan matanya kembali melotot tatkala me-
nangkap sosok tubuh yang juga menggeletak di
balik bayangan batang pohon. Sekali melompat
dia telah berada di hadapan sosok yang ternyata
juga sudah tewas.
"Yang ini tidak mengeluarkan darah. Tapi
punggungnya jebol! Hm.... Siapa pun yang mela-
kukan pasti bukan orang sembarangan...," gumam Pendekar 108 sambil kembali
mengedarkan pandangan. Dia khawatir masih ada lagi mayat,
atau orang yang melakukan pembunuhan. Na-
mun hingga sepasang matanya lelah mencari dia
tidak menemukan orang lagi.
"Hm.... Apa pun urusan orang-orang ini
aku tak peduli. Aku akan menyelidiki siapa pela-
kunya. Jangan-jangan dia akan melakukan pem-
bunuhan-pembunuhan. Ini akan mengacaukan
suasana!" dia kembali melangkah mendekati perapian. Matanya jelalatan seakan-
akan mencari sesuatu. "Aku tak berhasil menemukan tanda-tanda
yang menjurus pada sang pelaku. Tapi yang pasti
dia belum jauh dari sini. Aku akan coba menyu-
sul!" Namun sesaat dia tampak bimbang tentang arah mana yang harus diambil.
Setelah memikirkan sejenak, dia memutuskan mengambil arah
utara. Dan tanpa disadarinya ternyata arah itu
adalah arah ke mana Sakawuni dan Penyair Ber-
darah berkelebat.
*** Kali ini Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
lari dengan kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Hingga tak lama kemudian terlihat sekujur tu-
buhnya telah basah oleh keringat meski saat itu
dingin malam menghampar!
Pada suatu tempat, tiba-tiba murid Wong
Agung menangkap kelebatan bayangan. Merasa
bahwa itu adalah orang yang hendak diselidiki,
dia tambah tenaga dalamnya. Hingga sosoknya
seakan lenyap. Dibantu oleh suasana gelap serta
kerapatan semak belukar, gerakan Pendekar 108
tampak lebih leluasa.
Ketika dia benar-benar telah dapat me-
nangkap sosok bayangan yang ada tak jauh di
depannya, Pendekar Mata Keranjang makin mem-
percepat larinya.
"Aku harus tahu siapa adanya orang. Be-
rarti aku harus mendahuluinya. Setidak-tidaknya
dapat menjajari...," bisiknya seraya putar tubuh setengah lingkaran dan
berkelebat lewat jalan
memutar. Dia berpikir, dengan jalan berputar, dia dapat mendahului orang di
depannya dan dapat
terlebih dahulu mengetahui siapa adanya orang
yang dikuntit. Setelah agak jauh dan merasa telah berada
di depan orang yang dikuntit Aji memotong jalan.
Dan dugaan murid dari Karang Langit ini pun ti-
dak meleset. Karena sesaat kemudian dia telah
berada di depan orang yang diikuti. Namun beta-
pa terkejutnya murid Wong Agung ini. Matanya
sekali lagi dipertajam. Keningnya mengernyit.
"Malam memang sangat gelap. Namun ma-
taku tidak bisa ditipu. Orang yang kuikuti tadi
dapat kupastikan seorang laki-laki. Tapi yang
berkelebat kali ini pasti orang perempuan. Belum lagi harum tubuhnya dapat
kurasakan. Yang tadi
baunya sengak!"
Seraya membatin Pendekar 108 terus men-
gikuti bayangan di depannya. "Hmm.... Menilik bau harum tubuhnya, setengah yakin
jika perempuan itu berparas cantik.... Tapi.... Jangan-
jangan dia seorang kuntilanak. Tadi kulihat laki-laki sekarang perempuan.
Bukankah hantu kun-
tilanak bisa merubah-rubah wujud?" kuduk Pendekar Mata Keranjang jadi dingin.
"Sebaiknya kubuktikan dulu bahwa me-
mang ada dua orang yang sedang berlari. Satu la-
ki-laki dan satu perempuan!" pikir Aji sambil berpaling ke belakang. Dan ketika
samar-samar ma-
tanya dapat menangkap kelebatan sebuah bayan-
gan di belakangnya, Pendekar 108 jadi lega.
"Berarti dia bukan kuntilanak. Dan aku
curiga jangan-jangan laki-laki itulah yang mela-
kukan pembunuhan. Sekarang sedang mengejar
perempuan yang lolos melarikan diri. Hmm.... La-
ki-laki macam begitu harus diberi pelajaran. Tapi aku harus tahu dulu
masalahnya...," Pendekar 108 terus berkelebat sambil membatin.
Sementara itu di depan, sosok yang berke-
lebat dan bukan lain adalah Sakawuni diam-diam
juga membatin. "Sialan! Aku sudah berusaha mengerahkan
segenap tenaga dalam. Namun aku tak bisa melo-
loskan diri dari kuntitan orang! Sialan benar! Apa maunya dia mengikuti
perjalananku" Dapat kupastikan orang dibelakangku adalah Penyair Ber-
darah! Jika saja urusanku bukan dengan Pende-
kar Mata Keranjang, aku tak akan sembunyi-
sembunyi begitu rupa. Hm.... Penyair Berdarah.
Wajahnya memang tampan.... Tapi kalau diban-
dingkan dengan Pendekar Mata Keranjang 108....
Sialan! Kenapa aku membanding-bandingkan
dengan pendekar keparat itu" Aku harus mence-
gah dia mengikuti langkahku, meski aku tahu dia
berniat menolongku. Aku ingin urusan dengan
Pendekar Mata Keranjang kuselesaikan sendiri!"
Kalau Sakawuni membatin demikian, sosok
di belakang Pendekar 108 dan bukan lain adalah
Penyair Berdarah juga berkata sendiri dalam hati.
"Keparat! Siapa bayangan di depan itu"
Aku tak dapat ditipu, dia tadi ada di belakangku.
Melihat gerakannya yang begitu cepat, bukan
mustahil jika dia orang berkepandaian tinggi....
Hmm.... Aku harus dapat mengetahuinya apa
yang menjadi tujuannya hingga ikut-ikutan mem-
buntuti!" setelah membatin seperti itu, Penyair Berdarah lipat gandakan tenaga
dalamnya hingga
kelebatannya bertambah kencang. Tiba-tiba pada
sebuah tempat yang di kanan kirinya agak jarang
semak belukar, Sakawuni hentikan larinya.
Di belakangnya, Pendekar 108 terkejut.
Untung dia segera bisa kuasai diri, jika tidak bukan tak mungkin Sakawuni akan
memergokinya, karena begitu berhenti, gadis ini secepat kilat balikkan tubuh dan menebarkan
pandangan. "Busyet! Untung aku segera menyelinap, ji-
ka tidak...," Pendekar Mata Keranjang tak teruskan ucapannya. Dia sejajarkan
tubuh dengan tanah. Karena tak jauh dari tempatnya, semak
belukar terlihat bergoyang-goyang.
"Hmm.... Aku makin curiga jika laki-laki di belakang itu ada urusan. Buktinya
dia juga tak menampakkan diri...!" gumam Pendekar 108 seraya pandangi tempat yang semak
belukarnya bergoyang-goyang. Namun ketika dia tak mene-
mukan seseorang di situ, matanya diarahkan ke
tempat di mana sang perempuan berhenti.
Karena tempatnya dengan tempat Sakawu-
ni tak begitu jauh, lagi pula cahaya keputihan telah tampak di ujung langit
sebelah timur, maka
dari tempatnya mendekam Pendekar 108 bisa je-
las melihat ke arah sang perempuan.
"Sakawuni!" seru Pendekar 108 dalam hati begitu dapat mengenali siapa adanya si
perempuan. Seakan masih tak percaya, sepasang ma-
tanya dipelototkan besar.
"Benar. Dia Sakawuni. Apa yang dikerja-
kannya malam-malam begini" Dan siapa orang
yang mengejarnya" Aku akan menunggu.... "
Sementara itu, di balik semak belukar Pe-
nyair Berdarah yang ikut-ikutan mendekam te-
barkan pandangannya.
"Setan alas! Ke mana perginya bayangan
itu" Tapi aku yakin dia masih ada di sekitar sini!
Jika saja gadis itu tidak berhenti, mungkin aku
telah dapat menangkapnya!"
Selagi Pendekar 108 dan Penyair Berdarah
berkata sendiri-sendiri dalam hati, Sakawuni te-
barkan pandangan. Dan ketika pandangan ma-
tanya tak berhasil menemukan orang, dia berte-
riak. "Aku tahu kau berada di sekitar sini! Keluarlah. Dan katakan apa maksudmu
sebenar- nya!" Baik Pendekar 108 maupun Penyair Berdarah sama-sama membatin. "Dia telah
mengetahui jika diikuti!" Namun di antara kedua pemuda ini tidak ada yang
bergerak dari tempatnya mendekam. Karena tak ada orang yang keluar menun-
jukkan diri, Sakawuni mengulangi teriakannya.
Namun lagi-lagi tak ada sahutan apalagi sosok
yang tampakkan diri. Hal ini membuat Sakawuni
naik pitam. Dengan suara meradang gadis ini
berseru. "Keluarlah! Jangan bersifat pengecut! Men-
gikuti orang dengan diam-diam!" kepalanya berputar dengan mata sedikit
dibesarkan. Tiba-tiba terdengar orang mendehem. Sa-
kawuni palingkan wajah. Dia telah menduga jika
orang yang keluarkan deheman adalah Penyair
Berdarah. Bersamaan lenyapnya suara deheman
sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak
sepuluh langkah di hadapan Sakawuni.
Mungkin karena terkesima dengan orang
yang baru muncul, Sakawuni untuk beberapa
saat terdiam. Begitu sadar, kakinya tersurut dua langkah ke belakang. Matanya
mendelik memandangi pemuda berbaju hijau di hadapannya. Ga-
dis ini tampak terguncang.
"Kau!" seru Sakawuni begitu dapat menguasai diri. Parasnya berubah merah padam.
"Manusia keparat cabul!" teriak Sakawuni seakan ingin terbang menerkam murid
Wong Agung ini.
Di tempat mendekamnya, Penyair Berdarah
terperangah demi melihat siapa adanya orang
yang kini ada di hadapan Sakawuni.
"Pendekar Mata Keranjang 108!" serunya dalam hati dengan kepalkan tinjunya.
"Sekarang kau tak akan bisa melarikan diri!" namun dia tak hendak keluar dari
persembunyiannya. Otaknya
yang cerdik memikir. "Kulihat gadis itu mengenalnya. Dan tiba-tiba marah.
Hmm.... Apa urusan
dengan pemuda ini yang disembunyikannya pa-
daku..." Bila benar, sungguh ini sebuah kebetu-


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan!" Penyair Berdarah sunggingkan senyum
sambil manggut-manggut.
"Pendekar keji dan cabul!" seru Sakawuni dengan mata berkilat-kilat. "Terimalah
kematian-mu saat ini! Dunia persilatan akan tercoreng jika manusia sepertimu
dibiarkan hidup!"
"Sakawuni!" kata Aji dengan suara pelan.
Matanya memandang gadis di depannya dengan
tatapan kosong. "Aku heran dengan sikapmu. Belum lama kau menuduhku sebagai
pembunuh ke- ji. Sekarang sudah bertambah lagi dengan cabul.
Apa maksudmu sebenarnya"!"
Mendengar Pendekar 108 sebutkan nama
si gadis, Penyair Berdarah makin membeliakkan
matanya. Hatinya makin bersorak girang.
"Hmm.... Jadi gadis ini yang diceritakan
Guru! Nasibku baik.... Sekali jalan dua tujuan ku-temukan!"
"Kau memang pintar bicara. Sayang, kepin-
taranmu kau gunakan untuk menutupi perilaku
bejatmu!" Sakawuni berkata dengan suara tinggi.
Dadanya sudah terlihat bergerak turun naik me-
nahan gejolak amarah. Sementara kedua tangan-
nya perlahan diangkat siap lancarkan pukulan.
"Sakawuni! Aku bersedia kau hajar bahkan
sampai mati jika aku memang berbuat seperti
yang kau tuduhkan! Sekarang buktikan tudu-
hanmu itu!"
Sakawuni menyeringai. Hidungnya kelua-
rkan dengusan keras.
"Bangsat pengecut! Apa kau juga masih
mungkir atas perbuatanmu yang hendak melaku-
kan perbuatan tidak senonoh padaku saat aku
pingsan, he"!"
Pendekar 108 tersenyum dingin.
"Kau salah, Sakawuni. Justru saat itu aku
berusaha menolongmu. Kau kutinggalkan sendi-
rian di sebuah tempat. Aku mencari daun-daunan
untuk mengobati cideramu. Tapi waktu aku kem-
bali kau telah tiada. Aku memang salah mening-
galkanmu sendirian dalam keadaan cidera. Na-
mun aku tak menyangka jika hal itu akan terja-
di...." Sakawuni terdiam. Pendekar 108 melangkah maju dua langkah lebih
mendekat. Lalu aju-
kan pertanyaan.
"Aku yakin, kepergianmu pasti ada orang
yang membawa. Karena dalam keadaan cidera be-
gitu tak mungkin kau bisa pergi. Kalau boleh ku-
tahu, siapa orang yang membawamu"!"
"Itu bukan urusanmu! Urusanmu sekarang
mengakui perbuatanmu dan menerima kematian!"
sahut Sakawuni garang.
Pendekar 108 gelengkan kepala. Bibirnya
masih tetap tersenyum. "Sakawuni. Aku jadi curiga. Jangan-jangan orang yang
membawamu itu- lah yang menebar fitnah ini. Atau bisa jadi ini
semua hanyalah sandiwaramu belaka karena...."
"Kau segera mampus. Jangan menuduh
seenak mulutmu!" potong Sakawuni dengan suara lantang membahana. Kedua kakinya
lantas di-bantingkan hingga tanah di tempat itu sedikit
bergetar. "Aku tidak menuduh, hanya aku curiga!
Sakawuni, sadarlah! Kau telah diperalat orang!"
"Banyak mulut!" hardik Sakawuni. Dan
bersamaan dengan itu kedua tangannya dihan-
tamkan ke depan.
Seberkas sinar melesat tanpa keluarkan
suara. Bersamaan itu hawa panas menebar, lalu
berganti dingin. Inilah pukulan sakti 'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.
Pendekar 108 berseru keras. Dia sebenar-
nya masih tak menduga jika Sakawuni benar-
benar ingin menghabisinya. Karena itu dia hanya
mengelak dengan melompat mundur dan menja-
tuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun, mu-
rid Wong Agung ini jadi terkejut bukan alang-
kepalang, karena meski sinar yang melesat itu lewat di atas tubuhnya tapi
sambaran angin yang
tak kelihatan terasa menghantam tubuhnya,
hingga tubuhnya mental sampai beberapa tombak
ke belakang. Begitu bangkit, Pendekar 108 cepat meneli-
ti tubuhnya. Ternyata tidak ada yang mengalami
cidera, namun anehnya, dia merasakan dadanya
berdenyut sakit dan aliran darahnya seperti ka-
cau-balau. Melihat hal ini Pendekar Mata Keran-
jang segera sadar jika pukulan Sakawuni benar-
benar hebat. Dia pun segera salurkan tenaga da-
lam ke arah dada dan jantung sebagai pusat pe-
redaran darahnya.
Di depan, melihat serangannya hanya
mampu membuat lawan tidak cidera, Sakawuni
segera melompat dan sekali lagi hantamkan ke-
dua tangannya. Karena kali ini dengan pengera-
han tenaga dalam penuh, maka panas yang me-
nebar makin menyengat, demikian pula hawa
dingin yang menebar berganti semakin dingin.
Sementara sinar yang melesat semakin cepat me-
nyambar! Setelah dapat tahu bagaimana pukulan
Sakawuni, Pendekar 108 tidak mau bertindak ay-
al. Kipas miliknya segera dicabut dan serta-merta
dikebutkan menyilang sementara tangan kirinya
mendorong. Sinar berkilau putih menebar ke depan
membentuk kipas, sedangkan bersamaan itu se-
rangkum angin menyambar dengan keluarkan
suara menggemuruh.
Bummm! Terjadi ledakan dahsyat ketika dua puku-
lan bentrok di udara. Tempat itu berguncang.
Semak belukar tercerabut dari akarnya dan akar-
nya semburat. Begitu terjadi ledakan, baik Sakawuni
maupun Pendekar 108 sama-sama berseru terta-
han. Pendekar 108 terseret hingga dua tombak ke
belakang. Dia sejenak berusaha menahan tubuh-
nya, namun karena saat itu tanah bergetar, hing-
ga tak ampun lagi kakinya goyah sebelum akhir-
nya dia jatuh terduduk! Di depannya, Sakawuni
tampak mencelat, dan jatuh menerabas semak
belukar. Seraya menyumpah habis-habisan, Sa-
kawuni cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu den-
gan tertatih-tatih dia sibakkan rimbun semak be-
lukar keluar hendak menyerang kembali.
Namun Sakawuni terkejut. Dia tak lagi me-
lihat Pendekar 108. Matanya yang merah segera
liar menyapu. Saat itulah tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Tanpa
menoleh lagi, Sakawuni hantamkan kedua tangannya sekaligus den-
gan putar tubuh.
Namun Sakawuni jadi terperangah sendiri.
Kedua tangannya hanya menghantam angin. Ka-
rena di belakangnya tidak tampak orang. Selagi
melengak begitu rupa terdengar suara tawa pen-
dek. Sakawuni cepat berpaling. Sepuluh lang-
kah di sampingnya terlihat Pendekar 108 terse-
nyum. Hal ini membuat Sakawuni mau tak mau
jadi terguncang. Karena dia barusan bisa memas-
tikan jika Aji ada di belakangnya. Dan dia yakin pukulan tangannya pasti tidak
akan meleset karena dihantamkan dengan sangat cepat. Kalau
secepat itu Pendekar 108 bisa mengelak, maka
sulit baginya untuk bisa mengatasi. Namun piki-
ran demikian segera lenyap begitu teringat perbuatan pemuda yang dulu sangat
dikaguminya itu.
Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaima-
na caranya bisa membunuh. Kemampuan yang
ada dalam dirinya tidak diperhitungkan lagi.
Dan apa yang baru saja dilakukan oleh
Pendekar 108 memang suatu gerakan yang amat
menakjubkan. Dia memang baru saja ada di bela-
kang Sakawuni. Dan kalau saja dia mau, mudah
baginya untuk menghantam Sakawuni. Tapi hal
itu tidak dilakukannya. Dia hanya ingin agar Sa-
kawuni sadar tanpa ada mengalami cidera. Dan
saat Sakawuni hantamkan kedua tangannya dia
bergerak menghindar dengan cepatnya. Pendekar
108 sendiri hampir tak percaya bisa mengelak se-
cepat itu. Namun nyatanya Pendekar 108 berhasil
menghindar. Inilah gerakan menghindar yang di-
ajarkan Setan Arak pada murid Wong Agung pada
beberapa waktu yang lalu.
"Sakawuni! Tak ada gunanya kita teruskan
urusan ini! Marilah kita bicara dengan kepala
dingin!" "Manusia cabul! Bicaralah sesukamu! Tapi
jangan mimpi aku akan goyah!" seru Sakawuni sambil angkat kedua tangannya.
"Hmm.... Bagaimana ini" Kalau dia menye-
rang kembali dan aku menangkis, mungkin dia
akan cidera. Kalau aku tidak menangkis, aku
akan mati konyol dan tak dapat membuktikan ji-
ka tuduhannya tidak benar. Hmm.... Sebaiknya
aku menghindar. Memang diperlukan waktu un-
tuk mengubah pikirannya...," batin Pendekar 108
lalu balikkan tubuh hendak berkelebat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
Namun baru saja Pendekar 108 hendak
bergerak berkelebat dan Sakawuni baru saja akan
hantamkan kedua tangannya, tiba-tiba terdengar
orang melantunkan tembang syair.
Manusia cabul berlagak pendekar adalah
noda hitam rimba persilatan.
Tiada hukuman yang layak dipikulkan pa-
danya selain simbahan darahnya.
Penyair Berdarah datang sebagai hakim da-
rah bagi manusia pembuat noda.
Baik Pendekar Mata Keranjang 108 mau-
pun Sakawuni segera palingkan wajah masing-
masing ke samping. Semak belukar di sebelah
kanan tampak bergerak-gerak menyibak. Dan tak
lama kemudian muncullah seorang pemuda ber-
jubah hitam bergaris putih-putih.
"Penyair Berdarah!" Pendekar 108 dan Sakawuni berseru berbarengan.
"Hmm.... Jadi manusia ini yang mengikuti
Sakawuni. Mereka rupanya sudah saling kenal...."
"Pendekar Mata Keranjang 108! Beberapa
waktu yang lalu kau masih bisa menyelamatkan
nyawamu karena bantuan manusia arak keparat
itu! Tapi kali ini kau tidak akan bisa lolos! Dosa-mu telah bertambah. Selain
harus tewas kini tu-
buhmu juga layak dicincang!"
"Penyair Berdarah! Kita tidak ada silang
sengketa. Harap kau tidak ikut-ikutan urusan
ini!" hardik Pendekar 108 sedikit geram.
Penyair Berdarah dongakkan kepala. Dari
mulutnya menyembur suara tawa panjang. Kedua
tangannya diangkat kacak pinggang.
"Kau telah menodai rimba persilatan. Siapa
pun orang yang melibatkan diri dalam kancah
persilatan, dia punya hak untuk menghukummu!"
"Ini masih fitnah! Kau jangan coba-coba
membakar suasana!"
"Fitnah?" ulang Penyair Berdarah dengan nada mengejek. Kepalanya kini
diluruskan. "Apakah jika seorang gadis telah mengatakan apa
yang dialaminya itu masih dikatakan fitnah" Ha...
ha... ha.... Kata-katamu konyol dan tak masuk
akal! Ternyata kau manusia dungu. Atau kau pu-
ra-pura bodoh.... He"!"
Mendengar ucapan Penyair Berdarah, da-
rah muda Pendekar 108 naik ke ubun-ubun. Na-
mun murid Wong Agung ini masih menekannya.
Dia berusaha tidak terpancing dengan ucapan
Penyair Berdarah yang menurutnya mencari-cari
masalah. Sementara itu Sakawuni menarik napas
panjang dan lega begitu mendapati kemunculan
Penyair Berdarah. Dia merasa lega karena seti-
dak-tidaknya Penyair Berdarah akan turun tan-
gan membantunya jika keadaan terdesak. Pada
mulanya, Sakawuni memang tidak mengharapkan
munculnya orang ketiga, namun setelah menya-
dari bahwa dia tak mungkin dengan mudah me-
nundukkan Pendekar 108 maka kemunculan
orang ketiga kali ini tidak lagi membuatnya teru-sik. Bahkan dengan kemunculan
Penyair Berda- rah semangat Sakawuni makin membara. Hingga
ketika kedua pemuda di hadapannya sama-sama
terdiam, dia berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau tak
usah berdalih lagi. Kalau kau takut malu tewas di tanganku, buanglah sifat
pengecutmu! Kau kuberi
kesempatan untuk bunuh diri!"
Mendengar kata-kata Sakawuni, Pendekar
108 tengadahkan kepala. Suara tawanya tiba-tiba
meledak panjang.
"Kau rupanya telah ikut-ikutan jadi orang
bodoh, Sakawuni! Bukankah bunuh diri itu ba-
paknya pengecut" Justru seharusnya kau sadar
jika kau sekarang dibuat alat oleh seseorang yang ingin mengambil keuntungan!"
"Keparat! Katakan siapa orangnya!" bentak Sakawuni sambil angkat kembali kedua
tangannya. , "Ha... ha... ha...! Pertanyaan itu tak perlu dijawab, karena kau
tentunya lebih tahu!"
"Bangsat! Kau tak dapat buktikan uca-
panmu! Berarti kau mengada-ada!"


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, itu berarti sama denganmu. Kau me-
nuduhku, tapi tak dapat membuktikannya. Berar-
ti kau juga mengada-ada dengan tuduhanmu itu!"
"Jahanam!" teriak Sakawuni. Kedua tan-
gannya langsung dihantamkan.
Melihat hal itu Penyair Berdarah tak buang
kesempatan. Kedua tangannya pun diangkat dan
dihantamkan ke arah Pendekar 108.
Tempat itu seketika berubah panas me-
nyengat. Cuaca yang semula agak terang karena
sang mentari telah mulai merangkak naik beru-
bah menjadi redup. Seberkas sinar tanpa suara
melesat, kemudian disusul dengan bongkahan bo-
la merah! Tampaknya Sakawuni telah kirimkan
lagi pukulan 'Menggiring Sinar Menebar Hawa',
sementara Penyair Berdarah lancarkan pukulan
sakti 'Alam Kematian'! Dari sini jelas, jika kedua orang ini memang ingin segera
membuat Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mampus. Karena
keduanya telah lancarkan pukulan andalan mas-
ing-masing. Di depan, melihat ganasnya serangan,
Pendekar 108 sempat terkesiap. Untung dia sege-
ra sadar jika bahaya maut mengincar dirinya.
Sambil meloncat mundur segera tenaga dalamnya
dipusatkan pada kedua tangannya. Tangan ki-
rinya mendadak berubah menjadi biru berkilau.
Murid Wong Agung telah siapkan jurus 'Mutiara
Biru' yang berhasil didapatnya dari Arca Dewi
Bumi. Dan didahului bentakan melengking tan-
gan kanannya menghentakkan kipas, sementara
tangan kirinya dibuka dengan jari tengah dan te-
lunjuk tegak, jari lainnya menekuk. Lalu didorong kuat-kuat ke depan.
Apa yang terjadi kemudian sungguh sangat
mengerikan. Bersamaan terdengarnya ledakan
dahsyat akibat bertemunya tiga pukulan sakti,
asap hitam menutupi tempat itu. Semak belukar
terabas rata dan langsung hangus. Pohon-pohon
berderak tumbang. Lalu disusul terdengarnya je-
ritan melengking dan dua seruan tertahan. Ke-
mudian terdengar suara bergedebukan tiga kali
berturut-turut. Setelah itu sunyi mencekam!
Beberapa saat berlalu. Dan begitu asap hi-
tam surut, dan cuaca agak terang di sebelah kiri dekat batang pohon yang telah
tumbang, terlihat
Pendekar 108 terkapar. Baju hijaunya sebelah
bawah terlihat terbakar. Sudut bibirnya meleleh
darah berwarna hitam menunjukkan bahwa dia
terluka dalam cukup parah. Sementara kedua
tangannya terlihat membiru dan sedikit meng-
gembung! Namun entah karena takut lawan akan
segera menyerang lagi, Pendekar Mata Keranjang
108 segera menggeliat bangkit. Tapi dia terkejut.
Dadanya berdenyut sangat sakit. Demikian juga
kedua tangannya laksana hendak penggal saat
digerakkan. Hingga meski dengan perasaan was-
was akhirnya Pendekar 108 merebahkan kembali
tubuhnya dan mengerahkan tenaga dalam.
Lima belas tombak dari tempat Aji terka-
par, terlihat Penyair Berdarah telungkup tak bergerak-gerak. Tapi sesaat
kemudian tangannya
menggapai-gapai, kepalanya terangkat. Namun
kepala itu segera luruh kembali. Dengan menge-
rang kedua tangannya lalu bersitekan ke tanah,
tubuhnya bergerak bangkit. Saat itulah terlihat
tetesan darah hitam mengalir dari mulutnya!
Tak jauh dari Penyair Berdarah, Sakawuni
tampak mengerang dengan tubuh melingkar me-
megangi perutnya. Mulutnya juga dibuncah den-
gan darah kehitaman. Gadis ini mencoba kerah-
kan tenaga dalam, namun rasa sakit tampaknya
lebih menguasai dirinya, hingga pengerahan tena-
ganya tidak sempurna. Ini menyebabkan pandan-
gannya berkunang-kunang lalu segalanya menja-
di gelap, dan tak lama kemudian gadis ini terkulai pingsan!
Setelah merasa dapat kuasai diri, Pendekar
108 bangkit. Kipasnya yang ternyata terlepas dari tangannya segera dipungut.
Lalu terbungkuk-bungkuk melangkah ke arah Penyair Berdarah.
Mengetahui hal ini, Penyair Berdarah pun
segera bangkit. Meski kakinya tampak goyah na-
mun dia kuatkan. Sepasang matanya lantas me-
mandang tajam ke arah Pendekar 108 yang men-
dekatinya. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tawa
mengekeh. Sebuah bayangan berkelebat. Dan ta-
hu-tahu telah berdiri di hadapan Pendekar 108.
Pendekar 108 tersurut karena terkejut. Sepasang
matanya sejenak mengawasi sosok yang kini di
hadapannya. Dia adalah seorang perempuan tua renta.
Mengenakan baju hitam sutera. Pakaian bawah-
nya putih kembang-kembang. Rambutnya putih
dan panjang sampai betis. Pada kedua tangannya
terlihat melingkar beberapa gelang emas.
"Hmm.... Siapa dia?" batin Pendekar 108
seraya terus memperhatikan.
Yang dipandang terus mengumbar tawa
mengekeh. Pendekar 108 membuka mulut hen-
dak menegur, namun diurungkan ketika terden-
gar Penyair Berdarah berseru.
"Guru!"
"Hmm.... Jadi ini guru manusia penyair
itu...." Si nenek yang bukan lain memang guru Penyair Berdarah yakni Iblis
Gelang Kematian
hentikan tawanya. Bola matanya liar berputar
menyengat tajam ke arah Pendekar 108. Namun
tak lama kemudian tawanya mengekeh kembali.
"Anak muda!" kata Iblis Gelang Kematian setelah tawanya berhenti.
"Sungguh sial nasibmu. Dari sini kau telah
tercium bau mayat! Apakah kau telah tahu, apa
isyarat itu"!"
Meski Pendekar 108 menjadi terkesiap
mendengar ucapan si nenek, namun dia tak hen-
dak menunjukkan sikap takut. Malah sambil ter-
senyum yang sebenarnya tak lebih karena mera-
sakan sakit di dadanya, dia berkata.
"Nenek tua. Kuingatkan padamu, biasanya
penciuman orang tua menyaru! Dia telah merasa
mencium bau orang lain, padahal bau itu keluar
dari dirinya sendiri. Aku khawatir hal itu terjadi pada dirimu! Coba kau endus
sekali lagi!"
Iblis Gelang Kematian parasnya berubah.
Matanya melotot angker. Sementara di hadapan-
nya, Pendekar 108 bungkuk-bungkukkan tubuh
dengan mengendus-endus. Lalu tiba-tiba kepa-
lanya terangkat dan sambil tersenyum dia berkata seolah terperanjat.
"Astaga! Apakah penciumanku telah ikut-
ikutan tersaru" Aku mencium bau pesing. Jan-
gan-jangan kau ngompol! Atau...," Pendekar 108
tak meneruskan kata-katanya karena saat itu Ib-
lis Gelang Kematian telah angkat tangannya dan
langsung dipukulkan pada Pendekar 108.
Karena cepatnya gerakan si nenek, hingga
tak ada jalan lain bagi Pendekar 108 kecuali mengangkat tangannya untuk
menangkis. Bukkk! Bentroknya dua tangan yang telah sama-
sama dialiri tenaga dalam membuat Pendekar 108
terpental sampai satu tombak. Ketika Pendekar
108 melirik, dia jadi tersirap. Tangannya yang ta-di telah menggembung berubah
merah biru. Dan
gembungannya makin besar, namun kini ditam-
bah dengan rasa panas! Hal ini telah menyadar-
kan Pendekar 108 jika nenek di hadapannya be-
nar-benar berilmu tinggi. Sementara Iblis Gelang Kematian juga terkejut. Meski
dia hanya tersurut satu langkah ke belakang namun dia maklum jika
pemuda di hadapannya tidak bisa dianggap re-
meh. "Hmm.... Ternyata kabar yang beredar selama ini benar adanya. Pemuda ini
memiliki ilmu yang tidak sembarangan! Dia harus segera dis-
ingkirkan!" batin sang nenek. Diam-diam dia segera kerahkan tenaga dalam. Lalu
serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Pendekar
Mata Keranjang 108.
Sinar membentuk gelang-gelang melesat
cepat tanpa keluarkan suara sama sekali.
Darah Pendekar Mata Keranjang laksana
sirap. Dia tak menduga sama sekali jika gerakan
nenek itu demikian cepatnya. Dia segera melom-
pat mundur. Namun sinar gelang-gelang itu ma-
kin cepat. Mungkin karena sudah terluka dalam
yang membuat gerakannya lamban, hingga ketika
baru saja Pendekar 108 hendak mendorong kedua
tangannya, sinar gelang-gelang telah ada di hadapannya!
"Tamat sudah!" bisik Pendekar 108 dengan paras pucat. Namun dia masih tetap
meneruskan dorongan tangannya.
Saat itulah mendadak berkelebat sebuah
bayangan. Bersamaan dengan itu serangkum an-
gin dahsyat menggebrak memapak sinar gelang-
gelang. Terdengar ledakan membahana. Pendekar
108 terjengkang. Namun sebelum tubuhnya ro-
boh, dua tangan terasa menyentuh tengkuk dan
pantatnya. Lalu tubuhnya terasa melayang. Dan
ketika tubuhnya setengah tombak di atas tanah,
kembali tengkuk dan pantatnya dipegang tangan.
Tangan itu lalu seperti melempar tubuhnya.
Hingga tubuhnya kembali melayang jauh. Hal itu
terjadi hingga beberapa kali. Dalam waktu sesaat, Pendekar 108 telah berada jauh
dari tempatnya semula. Dan ketika terakhir kali melayang, Pende-
kar 108 tetap enak-enakan. Dia merasa tangan
itu akan terus mempermainkan tubuhnya. Na-
mun kali ini dugaan murid dari Karang Langit ini meleset. Karena meski tubuhnya
telah hampir menukik di atas tanah dia tak merasakan sentu-
han tangan, Pendekar 108 sadar namun terlam-
bat. Hingga tak ampun lagi tubuhnya jatuh ber-
gulingan. Dengan meringis kesakitan, Pendekar 108
bangkit. Sepasang matanya memandang lurus ke
depan. Dia ingin tahu siapa adanya orang yang
memainkan tubuhnya melayang-layang di udara
yang juga berarti telah menyelamatkannya dari
tangan maut Iblis Gelang Kematian.
"Ah.... Dia!" seru Pendekar 108 tatkala mengenali orang yang duduk menggelosoh
sepuluh langkah di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki tua. Pakaian-
nya telah robek di sana-sini. Pada pundaknya
menyelempang ikat pinggang besar yang diganduli
beberapa bumbung bambu yang menebarkan bau
arak. Sambil duduk menggelosoh, kedua tangan
kakek ini silih berganti menenggakkan bumbung
bambu berisi arak ke mulutnya.
"Setan Arak! Terima kasih. Kau telah me-
nolongku!" teriak Pendekar 108 seraya tertatih bangkit dan melangkah ke arah
kakek tua yang bukan lain memang Setan Arak.
"Simpan dulu basa-basi rombeng itu! Ayo
kita cepat tinggalkan tempat ini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tampak
bimbang. Kepalanya berpaling ke belakang.
"Sakawuni.... Bagaimana nasibnya..?"
"He! Gadismu itu sudah ada yang mengu-
rus! Saatnya kelak kau pasti akan bertemu lagi!
Sekarang urus dirimu dulu! Kau terluka parah!"
teriak Setan Arak, lalu tanpa mempedulikan pera-
saan Pendekar 108, dia berkelebat.
"Sialan!" maki Pendekar 108. Dia merenung sejenak.
"Hmm.... Moga-moga Penyair Berdarah ti-
dak berbuat yang bukan-bukan pada Sakawuni!
Jika dia nanti ternyata berbuat tidak senonoh, se-lembar nyawanya tidak akan
kuampuni lagi!" gumam Pendekar 108 lalu berkelebat menyusul Se-
tan Arak. Di tempat lain, ketika Iblis Gelang Kema-
tian berhasil bangkit matanya tidak lagi melihat batang hidung Pendekar Mata
Keranjang 108. "Keparat! Ada seseorang memapak seran-
ganku dan menolong pemuda itu!" gumam Iblis Gelang Kematian seraya usap-usap
dadanya yang terasa nyeri akibat bias bentrokan pukulannya
dengan sambaran angin dahsyat dari bayangan
yang menolong Pendekar 108.
"Hmm.... Siapa pun adanya bayangan pe-
nolong itu, yang pasti dia bukan orang sembaran-
gan! Jika saja aku tidak mengkhawatirkan Mand-
ing dan gadis ini akan kukejar keparat itu!"
Setelah mengedarkan pandangan sekali la-
gi, nenek ini melangkah ke arah Penyair Berdarah yang terlihat terkapar kembali
karena terkena sambaran bentroknya pukulan Iblis Gelang Ke-
matian dengan bayangan yang menolong Pende-
kar Mata Keranjang 108.
"Hmm ... Dengan dua orang ini, rencanaku
akan lebih mudah!" desis Iblis Gelang Kematian seraya memperhatikan Penyair
Berdarah dan Sakawuni. Tangan kanannya lantas menjulur den-
gan sedikit rendahkan tubuh! Tahu-tahu tubuh
Penyair Berdarah telah berada di pinggang ka-
nannya, lalu melangkah mendekati tubuh Saka-
wuni. Tangan kirinya berkelebat dan sesaat ke-


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudian tubuh Sakawuni telah berada di pinggang
kirinya. Sesaat nenek ini berdiri tegak. Kepalanya
mendongak dan digerakkan menyibak rambut
yang menghalangi pandangan matanya. Tiba-tiba
sepasang kakinya menghentak, dan bersamaan
dengan itu tubuhnya melesat meninggalkan tem-
pat itu. SELESAI Segera terbit: MISTERI HUTAN LARANGAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Mutiara Hitam 4 Dewi Ular Misteri Gadis Tengah Malam Rahasia Ciok Kwan Im 5
^