Pencarian

Tenaga Inti Bumi 1

Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Bagian 1


Serial Dewa Arak 48
Tenaga Inti Bumi
Aji Saka Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting : A. Suyudi. Hak cipta
pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1 "Haaat..!"
"Hiyaaat..!"
Keheningan pagi yang sejuk di lereng Gunung Ganjar tiba-tiba terpecah oleh
teriakan-teriakan keras melengking yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Suara riuh rendah itu ternyata berasal dari mulut dua sosok tubuh yang terlibat
dalam sebuah pertarungan. Ciri-ciri mereka sulit dikenali karena cepatnya
gerakan yang dilakukan. Yang pasti kedua sosok itu mengenakan pakaian abu-abu
dan kuning. Pertarungan itu berlangsung begitu seru dan menarik. Deru angin keras terdengar
setiap kali tangan atau kaki kedua sosok itu melancarkan serangan. Hal ini
menjadi pertanda kalau kedua belah pihak sama-sama memiliki tenaga dalam kuat.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan keras, sosok bayangan kuning menghentakkan kedua tangan ke
arah lawan. Seketika itu pula segumpal angin keras keluar dari kedua belah
telapak tangannya.
Rupanya sosok berpakaian abu-abu tahu kedahsyatan serangan lawannya. Buktinya
sosok berpakaian kuning tak berusaha menanggapi.
Namun sambil menggertakkan gigi tubuhnya melenting ke atas, sehingga serangan
itu lewat di bawah kakinya. Dan....
Glarrr! Suara menggelegar terdengar memekakkan telinga.
Gundukan baru sebesar kerbau di belakang sosok berpakaian abuabu hancur
berantakan ketika angin pukulan sosok berpakaian kuning menghantamnya.
"Cukup, Gandara!" seru sosok berpakaian abu-abu ketika kedua kakinya telah
mendarat di tanah.
Sosok berpakaian kuning yang baru saja hendak mengeluarkan serangan susulan,
langsung menghentikan gerakan begitu mendengar ucapan itu.
"Bagaimana, Guru?" tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata seorang pemuda
berwajah persegi bernama Gandara, setelah terlebih dulu memberi hormat.
"Memuaskan! Kau benar-benar tidak mengecewakan Gandara!
Kau tahu, tingkat kepandaian yang kau miliki sekarang malah telah melampaui
tingkatanku. Aku bangga padamu, Gandara," sahut sosok berpakaian abu-abu yang
ternyata seorang kakek bertubuh kecil kurus.
"Ah! Itu semua berkat gemblengan Guru," kilah Gandara merendah.
"He he he...! Kau keliru, Gandara. Betapapun kerasnya aku mengajarmu, tapi kalau
kau tak berlatih keras, hasilnya tetap akan sia-sia!"
ujar kakek kecil kurus bernada sungguh-sungguh. "Dengan kata lain, keberhasilan
ini tercipta atas kerjasama kita berdua."
Gandara mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan gurunya.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Gandara. Jangan kau sembarangan mempergunakan
'Tenaga Inti Bumi', kecuali apabila keadaan memaksa.
Perlu kau ketahui, Gandara. Akibatnya akan sangat dahsyat!" pesan kakek kecil
kurus itu lagi. "Kau tahu, aku sendiri pun tidak memiliki 'Tenaga Inti Bumi'
itu. Hanya kau yang memilikinya karena pemusatan pikiran dari semadi yang kau
lakukan. Dan untuk yang terakhir kalinya kuperingatkan, jangan sembarangan
mempergunakannya! Kau mengerti, Gandara"!"
"Mengerta, Guru," jawab Gandara penuh hormat "O ya, kapan kau pergi meninggalkan
tempat ini, Gandara?"
"Kemungkinan besar besok pagi, Guru. Tapi sebelum pergj, aku ingin menyajikan
sebuah acara perpisahan antara kita. Aku ingin membuatkan masakan kesenangan
Guru," ucap Gandara, agak malu-malu.
"Ha ha ha...!"
Kakek kecil kurus tertawa lunak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya
hatinya merasa geli mendengar perbuatan yang akan dilakukan muridnya.
"Ada-ada saja kau, Gandara!"
"Bagaimana, Guru?" tanya Gandara meminta kepastian karena kakek itu belum
memberikan jawaban.
"Kalau hal itu akan membuat kau merasa tenang untuk meninggalkan tempat ini,
lakukanlah!" ujar kakek kecil kurus itu bijaksana
Orang tua berpakaian abu-abu itu menyadari kalau muridnya ingin membalas jasa.
Itulah sebabnya keinginan Gandara dikabulkan.
"Terima kasih, Guru," wajah Gandara berseri-seri mendengar persetujuan gurunya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan mempersiapkan
segala sesuatunya "
Kakek kecil kurus hanya mengembangkan senyum. Bahkan sampai Gandara melesat
meninggalkan tempat itu senyumnya masih tersungging.
"Seorang pemuda yang baik. Aku yakin Gandara akan menggemparkan dunia
persilatan. Dia akan menjadi seorang pendekar yang tangguh. Hhh...! Prakasa...,
kau boleh bangga dengan anakmu," gumam kakek kecil kurus itu pelan sambil
menatap tubuh muridnya yang semakin mengecil di kejauhan.
Masih dengan senyum tersungging di bibir, kakek kecil kurus itu membalikkan
tubuh. Kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat itu.
Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah, terdengar panggilan keras dari
belakang.... "Tirta Geni...! Berhenti...!"
Kakek kecil kurus yang ternyata bernama Tirta Geni itu menolehke belakang sambil
membalikkan tubuh. Lalu pandangannya diarahkan ke depan. Tampak dua titik hitam
tengah melesat cepat ke arahnya. Kakek kecil kurus itu mengernyitkan dahi.
Disadari kalau dua titik hitam yang tengah menuju ke arahnya tentu tokoh-tokoh
sakti. Suara panggilan barusan terdengar begitu keras di telinganya, padahal
pemiliknya masih demikian jauh. Hal itu menjadi pertanda betapa hebat kekuatan
tenaga dalam mereka.
Tirta Geni tak perlu menunggu lama untuk bisa melihat jelas dua titik hitam yang
tengah menuju ke arahnya. Gerakan mereka begitu cepat.
Sehingga hanya dalam sesaat kedua titik itu telah berada sekitar tiga tombak di
depannya. "Hak hak hak...!"
Setelah berada di depan Tirta Geni, terlihat kedua titik hitam itu ternyata dua
sosok tubuh berwajah seram. Salah seorang dari mereka memperdengarkan tawanya
yang mirip suara burung. Dan memang, ciri-ciri sosok yang tertawa itu mirip
burung elang. Potongan tubuhnya tinggi kurus dengan kulit berwama gelap dan
hidung melengkung. Sorot mata yang bersinar hijau kebiruan, benar-benar
memperlihatkan sosok manusia yang mirip burung!
"Elang Cakar lima!" desah Tirta Geni tanpa menyembunyikan perasaan kagetnya.
Jelas, dia mengenal sosok yang tengah tertawa dengan suara aneh itu.
"Rupanya kau masih mengenaliku, Tirta Geni"!" sahut sosok mirip burung elang
yang sudah berusia tidak muda lagi itu. Nada suaranya mangandung ejekan.
"Apa kau juga masih mengenaliku, Tirta Geni"!" selak kawannya
yang juga seorang laki-laki tua.
Tirta Geni mengalihkan perhatian pada sosok yang berdiri di
sebelah Elang Cakar Lima. Tak berapa lama kemudian, sosok laki-laki tua
itu telah dikenalinya.
"Kiranya kau, Macan Terbang Berekor Sembilan."
"Syukur kalau kau masih mengenaliku, Tirta Geni. Berarti,
sekarang kau sudah dapat menduga maksud kedatangan kami kemari,
heh"!" sambut Macan Terbang Berekor Sembilan dengan suara keras
menggelegar laksana auman harimau
Tirta Geni tak segera menanggapi ucapan bernada kasar itu. Kakek
kecil kurus itu hanya tersenyum getir sambil menganggukkan kepala.
"Sedikit banyak aku bisa menduga, karena aku sudah mengenal
betul orang orang macam kalian. Bukankah kedatangan kalian kemari untuk
membalas dendam atas kekalahan yang kalian terima dariku"!"
Dengan tenang Tirta Geni mengucapkan perkataan itu, meski
sebenarnya perasaan tegang luar biasa tengah melanda hatinya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Tirta Geni!" sahut Elang Cakar
Lima dengan suara parau. "Tapi kau tak perlu khawatir. Meskipun kami
datang berbarengan, untuk menghadapimu kami tak akan melakukan
pengeroyokan."
Sekali lagi Tirta Geni hanya tersenyum getir mendengar ucapan
itu. Disadarinya, meskipun Elang Cakar Lima dan Macan Terbang Berekor
Sembilan tidak bersama-sama menghadapinya, bukan berarti dirinya akan
mudah dapat mengalahkan mereka. Kesaktian dan kepandaian kedua tokoh
itu sekarang sudah sangat tinggi. Belasan tahun lalu Elang Cakar Lima
memang dapat dikalahkannya, tapi dengan susah payah. Hal yang sama pun
terjadi atas Macan Terbang Berekor Sembilan. Memang, dulu tingkat
kepandaian mereka tidak berselisih jauh dengan dirinya.
"Kalau tak berniat melakukan pengeroyokan, mengapa kalian
datang bersamaan"!" tanya kakek kecil kurus tercenung sesaat.
Bukan tanpa alasan Tirta Geni mengajukan pertanyaan itu, dia tahu
kalau tempat kediaman kedua tokoh yang merupakan datuk-datuk persilatan
itu saling berjauhan satu sama lain. Kalau tak bersepakat lebih dulu, mana
mungkin bisa tiba berbarengan di sini" Mungkinkah hanya sebuah
kebetulan" Pikir Tirta Geni sambil menatap kedua tamu tak diundang itu.
"Jangan khawatir, Tirta Geni! Ini hanya sebuah kebetulan. Nah,
sekarang bersiaplah kau! Selama di perjalanan kami telah mengadakan
undian tentang siapa yang lebih dulu menghadapimu. Dan akulah yang
mendapat keberuntungan itu!" seru Macan Terbang Berekor Sembilan
dengan pongah. "Aku sudah bersiap sejak tadi, Macan Terbang," ringan jawaban
Tirta Geni. Mendengar jawaban Tirta Geni, Elang Cakar Lima yang mendapat
giliran selanjutnya, segera menjauhkan diri dari tempat itu. Dengan
menghentakkan kakinya perlahan, tubuhnya sudah berada jauh di pinggir.
Tirta Geni bersikap waspada. Meskipun sikapnya tetap seperti
semula, sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari mengawasi setiap
gerak-gerik Macan Terbang Berekor Sembilan. Memang, tokoh yang
mengenakan rompi loreng itu telah bersiap-siap hendak melancarkan
serangan. Dengan langkah hati-hati dan penuh perhitungan, didekatinya
Tirta Geni yang masih berdiri tenang di tempatnya.
"Hiaaat...!"
Diawali sebuah teriakan menggelegar yang membuat keadaan di
sekitar tempat itu bergetar hebat, Macan Terbang Berekor Sembilan
melancarkan serangan perdananya. Kedua tangannya yang terkembang
membentuk cakar harimau, dengan cepat diluncurkan ke dada Tirta Geni.
Ciiit! Deru angin tajam dari udara yang terobek menjadi pertanda
kuatnya tenaga dalam yang dikerahkan pada serangan itu. Nampaknya Tirta
Geni telah mengetahui secara pasti tindakan lawannya. Meskipun begitu,
kakek kecil kurus berpakaian abu-abu ini tanpa ragu-ragu langsung
memapak serangan itu.
Prakkk...! Bunyi keras terdengar seperti benturan dua logam, ketika dua
pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat saling
berbenturan. Akibatnya, tubuh Tirta Geni terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. Dan kedua tangannya dirasakan sakit sekali.
"Ha ha ha...!"
Tawa Macan Terbang Berekor Sembilan menggelegar keras.
Sebuah tawa kemenangan karena melihat benturan yang baru saja terjadi,
jelas menunjukkan kalau tenaga dalamnya berada di atas Tirta Geni. Dalam
benturan itu kejadian seperti Tirta Geni tidak dialaminya. Tubuhnya hanya
dirasakan sedikit tergetar akibat benturan itu.
Berbeda dengan Macan Terbang Berekor Sembilan, Tirta Geni
terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Betapa tidak!" Seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya telah dikerahkan untuk memapak serangan lawan.
Ternyata, akibatnya di luar dugaan. Tenaga dalam Macan Terbang Berekor
Sembilan kini berada di atasnya!
"Kaget, Tirta Geni"!" ejek Macan Terbang Berekor Sembilan. "Itu
belum seberapa. Hhh...! Kau benar-benar mengecewakanku! Semakin tua
malah semakin lemah!"
Tirta Geni tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas ejekan
yang diberikan lawannya. Diyakininya kalau tenaga dalam, ilmu
meringankan tubuh, dan juga kemampuannya telah meningkat cukup pesat
jika dibandingkan dengan yang dimilikinya belasan tahun lalu. Namun,
kenyataannya benturan yang baru saja terjadi telah menjadi bukti yang tak
bisa dibantah. Macan Terbang Berekor Sembilan ternyata telah mengalami
kemajuan lebih pesat.
Tapi hanya sebentar Tirta Geni larut dalam perasaan kagetnya. Dia
yakin selama belasan tahun ini, Macan Terbang Berekor Sembilan telah
berlatih keras untuk dapat membalas kekalahannya. Sedangkan dirinya"
Meskipun tetap berlatih dan menyempurnakan ilmu yang dimiliki, tetap
usahanya tak bisa sekeras Macan Terbang Berekor Sembilan. Hal ini juga
karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mendidik Gandara! Jadi,
tak aneh kalau perkembangan ilmunya tak secepat yang dialami Macan
Terbang Berekor Sembilan.
Tirta Geni tak bisa terlalu lama tenggelam dalam alam pikirannya,
karena Macan Terbang Berekor Sembilan telah bersiap-siap melakukan
serangan susulan. Rupanya, kakek berompi kulit harimau ini telah bisa
menguasai rasa gembira yang melanda hati atas keunggulannya. Sesaat
kemudian, Macan Terbang Berekor Sembilan telah melancarkan serangan
kembali. Pertarungan kedua tokoh yang berbeda aliran dan sama-sama
memiliki kepandaian tinggi itu, kembali berlangsung. Kedua pihak
mengeluarkan seluruh kemampuan untuk dapat merobohkan lawan
secepatnya. Sesaat kemudian, tubuh kedua kakek itu telah lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanya kelebatan sosok bayangan abu-abu dan loreng dalam
bentuk tidak jelas. Kedua sosok bayangan itu saling belit, dan hanya
kadang-kadang saja saling pisah.
Bunyi riuh rendah pun mengiringi jalannya pertarungan. Bunyi itu
berasal dari setiap gerakan tangan atau kaki kedua belah pihak. Ditambah
lagi dengan terbongkarnya tanah di sana-sini. Debu pun mengepul ke udara.
Jurus demi jurus berlangsung demikian cepat karena kedua tokoh
tua itu memang sama-sama memiliki gerakan yang cepat. Sehingga dalam
waktu tidak lama, empat puluh jurus telah berlalu. Dan sampai saat itu
keadaan belum berubah, Tirta Geni tetap dalam keadaan terdesak.
Tidak aneh kalau Tirta Geni berada di pihak yang terdesak. Sejak
awal dirinya telah merasa kalah dari segi tenaga dalam maupun ilmu
meringankan tubuh. Dan kekalahan ini menyebabkan kakek kecil kurus itu
menerapkan taktik pertarungan gerilya. Setiap kali Macan Terbang Berekor
Sembilan melancarkan penyerangan, tubuhnya selalu mengelak. Demikian
juga, setiap kali melancarkan serangan balasan. Jika dilihatnya Macan
Terbang Berekor Sembilan akan melakukan tangkisan, Tirta Geni selalu
membatalkannya.
Hal itu terpaksa dilakukan Tirta Geni karena kekuatan tenaga
dalamnya berada di bawah Macan Terbang Berekor Sembilan. Jika sampai
terjadi benturan, rasa sakit pasti akan menderanya. Itulah sebabnya, sedapat
mungkin diusahakan untuk tidak mengadu tenaga dengan Macan Terbang
Berekor Sembilan. Tentu saja hal itu terpaksa dilanggarnya kalau keadaan
tak memungkinkan.
Karena keputusan yang diambilnya itu, tidak aneh kalau Tirta Geni
berada di pihak yang terus-menerus didesak. Dan apabila hal itu terus
dilakukan, sampai kapan dirinya dapat bertahan" Elakan demi elakan yang
dilakukan, membuat kakek kecil kurus itu semakin terdesak.
Semua kejadian itu disaksikan oleh Elang Cakar Lima. Tanpa
sadar kepalanya terangguk-angguk. Dalam hati dipujinya kelihaian Macan
Terbang Berekor Sembilan. Diakuinya pula kalau kakek berompi kulit
harimau itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dan dia pun
menduga kalau akhirnya Tirta Geni akan roboh di tangan Macan Terbang
Berekor Sembilan.
Elang Cakar Lima tak perlu menunggu terlalu lama untuk
membuktikan kebenaran dugaannya. Ketika pertarungan menginjak jurus
ketujuh puluh, keadaan Tirta Geni semakin terjepit. Hal ini menjadi
pertanda kalau robohnya Tirta Geni sudah semakin dekat.


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada jurus ketujuh puluh empat, sambil mengeluarkan auman
keras menggelegar laksana harimau murka, Macan Terbang Berekor
Sembilan melakukan lompatan harimau ke depan. Kemudian dengan
bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Hanya sebentar saja,
karena langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke dada dan perut Tirta
Geni. Serangan itu dilakukannya dengan kedudukan tubuh setengah
berjongkok. Kali ini Tirta Geni tidak punya kesempatan untuk mengelak. Maka
diputuskan untuk memapak serangan itu kalau tidak ingin dada dan
perutnya tercabik-cabik cakar Macan Terbang Berekor Sembilan.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi dalam usahanya untuk mengumpulkan
seluruh tenaga yang dimilikinya, Tirta Geni menghentakkan kedua tangan
untuk memapak serangan Macan Terbang Berekor Sembilan.
Prakkk! "Akh!"
Tubuh Tirta Geni terhung-huyung ke belakang disertai jerit
tertahan dari mulutnya karena sakit yang mendera kedua tangannya.
Ketika Tirta Geni tengah berada dalam keadaan yang tidak
menguntungkan itu, Macan Terbang Berekor Sembilan kembali
menggenjotkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya melesat ke arah lawan.
Tirta Geni terkejut bukan kepalang melihat hal itu. Apalagi ketika
melihat kedua tangan Macan Terbang Berekor Sembilan yang meluncur
deras ke arahnya. Karena tak memungkinkan untuk menghindar, kakek
kecil kurus ini memaksakan diri menangkis, meskipun kedua tangannya
masih terasa sakit akibat benturan sebelumnya.
Prattt! Jrebbb!
"Akh...!"
Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Tahu-tahu tubuh Tirta Geni
terjengkang ke belakang dengan cucuran darah dari perut dan dadanya.
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut kakek kecil kurus itu. Kedua cakar
Macan Terbang Berekor Sembilan berhasil menghunjam dada dan perut
Tirta Geni hingga robek lebar. Karena serangan itu datang bertubi-tubi dan
begitu cepat, membuat serangan itu tetap mengenai sasaran, meskipun
beberapa kali Tirta Geni berhasil menangkisnya.
"Ha ha ha...!"
Macan Terbang Berekor Sembilan tertawa bergelak-gelak melihat
Tirta Geni berdiri dengan kedua kaki menggigil dan kedua tangan
mendekap dada dan perut. Kakek berompi kulit harimau itu tahu kalau Tirta
Geni tak akan mungkin bisa diselamatkan lagi karena luka-lukanya terlalu
parah itulah sebabnya dia tak kembali melancarkan serangan susulan.
"Tidak percuma aku menyiksa diri selama belasan tahun,
mengurung diri di tempat yang terpencil dan menjauhi keramaian. Karena
sakit hati belasan tahun lalu berhasil kutuntaskan hari ini. Ha ha ha...!"
Terbayang kembali di benak Macan Terbang Berekor Sembilan
saat-saat kekalahannya dahulu ketika bertarung dengan Tirta Geni. Dan hal
itu terjadi akibat kecerobohannya juga. Belasan tahun lalu, dirinya seperti
juga Elang Cakar Lima adalah datuk-datuk kaum sesat. Namun, berbeda
dengan Elang Cakar Lima, dia sama sekali tak mau punya pengikut. Macan
Terbang Berekor Sembilan selalu bertualang ke sana kemari mengumbar
kejahatan dan kekejaman.
Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan kali Macan Terbang
Berekor Sembilan bertarung tak terkalahkan. Sampai suatu hari dia
melakukan sebuah kesalahan, dalam sebuah pertarungan, telah membunuh
seorang pendekar muda. Pendekar muda itu ternyata memiliki seorang
kakak kandung dan orang itu adalah Tirta Geni. Tirta Geni pun mencarinya,
dan ketika bertemu pertarungan sengit pun tak bisa dielakkan lagi.
Saat itulah, untuk pertama kalinya, Macan Terbang Berekor
Sembilan menerima kenyataan pahit. Dia dikalahkan oleh Tirta Geni.
Bahkan hampir tewas kalau saja tidak sempat meloloskan diri dengan
berlindung di balik asap beracun. Sejak saat itulah Macan Terbang Berekor
Sembilan bersumpah untuk membalas kekalahannya. Dan kini sumpahnya
terpenuhi.Tirta Geni sama sekali tidak mempedulikan ucapan-ucapan
bernada gembira yang keluar dari mulut Macan Terbang Berekor Sembilan.
Saat itu dia tengah disibukkan oleh rasa sakitnya. Dan meskipun telah
berusaha sekuat tenaga untuk dapat berdiri tegak, ternyata dia tetap tak
mampu. Dan.... Brukkk! Tirta Geni pun ambruk di tanah.
"Ha ha ha...!"
Macan Terbang Berekor Sembilan kembali tertawa bergelak.
Suaranya begitu keras dan memekakkan telinga, karena disertai pengerahan
tenaga dalam. Dan keriuhrendahan itu semakin menjadi-jadi ketika Elang
Cakar Lima ikut pula tertawa.
"Kau mendapat kehormatan besar dariku, Tirta Geni. Kau menjadi
orang pertama yang tewas di tanganku semenjak aku keluar dari tempat
menyiksa diri. Dan korban berikutnya adalah Dewa Arak! Ha ha ha...!
Nama besar tokoh muda itu telah lama kudengar! Tapi dia pun harus tewas
di tanganku! Setelah itu, aku, Macan Terbang Berekor Sembilan, akan menjadi
tokoh tak terkalahkan di dunia persilatan! Ha ha ha...!"
Kegembiraan meluap luap di hati Macan Terbang Berekor
Sembilan. Suara tawanya pun terdengar semakin keras membahana.
"Kau melupakanku rupanya, Macan Terbang. Apa kau kira aku
tidak memiliki keinginan yang sama denganmu, heh"!" selak Elang Cakar
Lima dengan suara paraunya.
"Ha ha ha...! Kalau begitu, kita berlomba untuk lebih dulu
menemukan dan membunuh Dewa Arak! Setelah itu, baru kita tentukan
siapa yang lebih patut menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Ha ha
ha...!" sahut Macan Terbang Berekor Sembilan ringan pertanda menantang.
"Baik! Aku terima tantanganmu!" sambut Elang Cakar Lima
mantap. "Dua bulan lagi kita bertemu di Bukit Angsa!"
Setelah berkata demikian, Elang Cakar Lima melesat cepat dari
situ. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya tinggal berupa titik
hitam yang semakin lama semakin kecil dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Dan ketika tubuh Elang Cakar Lima telah lenyap dari pandangan,
Macan Terbang Berekor Sembilan baru mengalihkan perhatiannya yang
sejak tadi ditujukan pada Elang Cakar Lima. Diperhatikannya tubuh Tirta
Geni sekilas sebelum melesat dengan cepat pula meninggalkan tempat itu.
2 "Hhh...! Betul betul hari yang sial!" keluh seorang pemuda
berpakaian kuning bernada kesal.
Sepasang mata pemuda itu diedarkan ke sekelilingnya yang terdiri
jejeran pohon besar kecil diseling semak-semak lebat. Jelas, pemuda
berpakaian kuning ini berada di sebuah hutan.
"Mengapa hari ini tak seekor kijang pun yang kulihat" Sejak tadi
hanya kelinci yang ada. Hhh...! Haruskah kubatalkan maksudku" Sejak tadi
berkeliling, belum juga nampak yang kucari."
Keputusasaan nampak jelas dalam ucapan pemuda berpakaian
kuning itu. Langkahnya pun dihentikan.
"Tapi di mana harus kutaruh mukaku atas kegagalan ini" Padahal
aku sudah berjanji pada guru untuk membuatkan makanan kesukaannya"!"
Sesaat lamanya pemuda berpakaian kuning itu termenung dengan
menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. Perasaan bimbang menjalari
hatinya. Akan diteruskan maksud semulanya atau tidak.
Namun keinginan untuk menyediakan masakan kegemaran
gurunya jauh lebih kuat. Maka pemuda berpakaian kuning itu pun
mengambil keputusan untuk melanjutkan pencarian. Kaki yang semula
sudah berhenti, kembali diayunkan.
Pilihan pemuda berpakaian kuning itu rupanya tidak sial seperti
sebelumnya. Baru beberapa tindak kakinya melangkah, telah dilihatnya apa
yang tengah dicarinya.
Dalam jarak beberapa tombak di hadapannya tampak empat ekor
kijang tengah asyik memakan rumput Melihat hal ini tanpa dapat dicegah,
jantung pemuda berpakaian kuning berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Rasa tegang menyelimuti hatinya.
Khawatir akan menimbulkan keterkejutan hewan-hewan itu,
sehingga mengakibatkan kegagalan usahanya, pemuda berpakaian kuning
itu tidak berani bertindak gegabah. Selama beberapa saat dia hanya berdiam
diri di tempatnya. Tubuhnya disembunyikan di balik sebatang pohon besar.
Dan dari sini matanya mengintai terus sambil memutar otak mencari cara
untuk menangkap binatang buruannya.
Beberapa saat kemudian, pemuda berpakaian kuning itu langsung
menentukan pilihan salah satu di antara keempat kijang yang akan dijadikan
hidangan untuk gurunya. Dipilihnya kijang yang paling besar dan gemuk.
Kemudian nampak pemuda berpakaian kuning memasukkan
tangannya ke balik baju. Dan ketika ditarik kembali, telah tercekal empat
bilah pisau tajam berkilat. Semua itu dilakukan dengan hati-hati, karena
khawatir kijang-kijang itu akan mengetahui kehadirannya.
"Hih!"
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring dari luncuran pisau-pisau yang merobek
udara, terdengar ketika pemuda berpakaian kuning melemparkannya.
Karuan saja bunyi berisik itu menimbulkan kekagetan kijang-kijang yang
tengah asyik merumput
Seketika itu pula binatang-binatang itu berhamburan mencari
selamat secara panik karena mengetahui ada bahaya tengah mengancam.
Namun.... Cappp! Kijang paling besar yang diincar pemuda berpakaian kuning
melenguh kesakitan, ketika dua bilah pisau menancap di tubuhnya. Satu
menancap di paha kanan belakang, sedangkan yang lainnya menembus
leher Meskipun demikian, binatang itu masih terus berusaha untuk
menyelamatkan diri. Kijang itu terus berlari. Tapi, baru beberapa langkah
tubuhnya ambruk di tanah, menggelepar-gelepar sejenak lalu diam tak
bergerak lagi. Semua kejadian itu disaksikan secara jelas oleh pemuda berpakaian
kuning yang begitu gembira melihat keberhasilan usahanya. Maka buruburu
tubuhnya melesat menghampiri kijang yang telah terkulai berlumur
darah. Diperhatikannya sejenak, dibopong, kemudian dibawanya pulang.
Pemuda berpakaian kuning mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya karena ingin segera tiba di tempat gurunya. Dia
ingin segera menghidangkan masakan daging kijang ini. Seketika itu pula
bentuk tubuhnya lenyap. Sekarang yang terlihat hanyalah sekelebatan
bayangan kuning yang melesat cepat meninggalkan Hutan Ganjar.
Tak berapa lama kemudian, pemuda berpakaian kuning itu telah
berada tidak jauh dengan kediaman gurunya. Namun wajahnya yang semula
penuh kegembiraan, perlahan-lahan memudar dan berganti keheranan. Tibatiba
matanya melihat sosok tubuh yang tergeletak di kejauhan.
Masih dengan hati yang diliputi tanda tanya, pemuda berpakaian
kuning terus berlari. Dari jarak kejauhan, matanya belum mampu mengenali
dengan jelas sosok tubuh yang tergolek itu.
Semakin dekat, kian terlihat jelas sosok yang tengah tergolek itu.
Dan seiring dengan itu pula, perasaan cemas mulai bergayut di hatinya.
Segumpal perasaan khawatir timbul ketika melihat sosok yang tergeletak itu
mengenakan pakaian abu-abu.
"Guru...!" ucapnya tersendat-sendat, setelah meletakkan kepala
sosok abu-abu itu di pangkuannya. "Siapa yang telah melakukan semua
kekejian ini..."!"
"Gandara...," ucap sosok abu-abu perlahan.
"Katakan, siapa yang telah melakukan kekejian ini. Guru...!" desak
pemuda berpakaian kuning.
"Dewa Arak..., Gandara, kumohon kau... akh...!"
Dan ketika jarak antara keduanya tinggal sepuluh tombak lagi,
kekhawatiran yang melanda hati pemuda berpakaian kuning langsung
meledak. Sosok tubuh yang tergolek itu ternyata memang gurunya.
"Guru...!" seru pemuda berpakaian kuning itu keras.
Rasa sedih dan kaget tercuat dalam jeritannya. Tanpa rasa sayang
lagi, kijang yang tengah dibopongnya dilemparkan begitu saja. Lalu dia
meluruk cepat menghampiri tubuh gurunya.
"Guru...!" ucapnya tersendat-sendat, setelah meletakkan kepala
sosok abu-abu itu di pangkuannya. "Siapa yang telah melakukan semua
kekejian ini..."!"
Perlahan-lahan kelopak mata sosok abu-abu itu membuka.
"Gandara...," ucap sosok abu-abu perlahan.
"Katakan, siapa yang telah melakukan semua kekejian ini, Guru!"
desak pemuda berpakaian kuning yang ternyata Gandara.
Sosok abu-abu yang tak lain Tirta Geni tidak langsung menjawab
pertanyaan muridnya. Keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan
ketika akhirnya ucapannya keluar, itu pun secara tersendat-sendat dan
perlahan sekali.
"Dewa Arak..., Gandara, kumohon kau.... Akh...!"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, nyawa Tirta Geni telah
lebih dulu melayang. Kepalanya langsung terkulai. Kakek kecil kurus itu
tewas di pangkuan muridnya tanpa sempat memberi tahu kejadian yang
telah menimpanya. Bahkan ucapan yang dikeluarkannya menimbulkan
salah paham pada Gandara. Dan ini terbukti sesaat kemudian....
"Tenanglah, Guru! Aku berjanji akan membalaskan semua
kekejian yang telah dilakukan Dewa Arak padamu!"
Usai berkata demikian, Gandara lalu bangkit. Dibopongnya tubuh
Tirta Geni meninggalkan tempat itu. Dibawanya menuju tempat tinggal
mereka selama ini.
Gandara ingin menguburkan gurunya di tempat kediamannya.
*** Hari telah siang. Sang Surya telah berada di atas kepala. Tapi
keberadaan awan tebal yang menggantung di angkasa membuat suasana di
persada tak begitu panas. Angin yang berhembus pun terasa cukup nikmat
membelai kulit.
Dalam suasana seperti itu, sebuah rombongan bergerak perlahan di
atas jalan tanah yang berdebu. Rombongan itu terdiri dari sebuah kereta
kuda sederhana dan delapan ekor kuda yang masing-masing ditunggangi
seorang laki-laki berwajah dan bersikap gagah. Keberadaan delapan ekor
kuda itu nampaknya sebagai pelindung kereta. Buktinya empat kuda berada
di belakang dan empat lainnya di depan.
"Hooop...!"
Salah seorang penunggang kuda terdepan menghentikan langkah
kudanya sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Seketika itu pula
rombongan di belakangnya berhenti.
"Mengapa berhenti, Kang Jaladri?" tanya laki-laki berpakaian biru
tua yang berada di sebelah kirinya. Sepasang alisnya yang tebal dan hitam
tampak berkerut karena rasa heran tengah melandanya.
"Beritahukan saja agar semua bersikap waspada, Wiraja!" jawab
orang yang dipanggil Jaladri tegas. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh
kekar dan berkumis melintang.
Dan seperti juga laki-laki beraks tebal, Jaladri pun mengenakan
pakaian biru tua. Dan pakaian yang sama pun membungkus tubuh semua
anggota rombongan. Ini menandakan kalau mereka semua berasal dari satu
perguruan. "Boleh kutahu mengapa demikian, Kang"! Bukankah barang
kiriman telah kita antarkan pada orang yang bersangkutan" Mengapa kita
harus khawatir lagi"!" tanya laki-laki beralis tebal yang merasa heran
mendengar perintah Jaladri
Meskipun hanya Wiraja saja yang mengajukan pertanyaan, semua
rekannya pun ikut berdiam diri untuk mendengarkan jawaban Jaladri.
"Apakah selama tugas kita mengantarkan barang kiriman, pernah
melalui tempat ini"!" Jaladri malah balas mengajukan pertanyaan.
Hampir semua kepala tergeleng begitu mendengar pertanyaan
Jaladri. Memang, mereka belum pernah melewati tempat ini. Bahkan ketika
mengantarkan barang yang terakhir kalinya, yaitu saat ini, mereka tidak
melewati tempat ini. Hanya dalam waktu kembali mereka melalui tempat


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini untuk mempercepat perjalanan.
"Nah! Itulah sebabnya kuperingatkan pada kalian agar waspada.
Kalian lihat dinding gunung yang menjulang tinggi di kanan dan kiri
jalan"!"
Dengan mempergunakan dagunya, Jaladri menunjukkan tempat
yang dimaksud. "Lihat, Kang," sekali lagi Wiraja memberikan jawaban, mewakili
teman-temannya.
"Tempat itu berbahaya bagi kita. Orang-orang yang berada di atas
sana dengan mudah dapat menghancurkan kita. Apalagi dinding tebing itu
cukup panjang. Ini berarti tersedia cukup banyak waktu bagi orang-orang
yang berada di atas untuk melaksanakan maksudnya," jelas Jaladri, panjang
lebar. Wiraja dan rekan-rekannya mengangguk-anggukkan kepala,
membenarkan alasan yang dikemukakan laki-laki berkumis melintang itu.
"Perlu kau ketahui, perasaanku membisikkan adanya bahaya
mengancam. Itulah sebabnya aku menyuruh kalian bersikap lebih hati-hati.
Dan satu-satunya tempat yang akan digunakan orang-orang itu, menurut
dugaanku adalah ketika kita melalui jalan di antara dinding dinding batu itu.
Kalian semua telah siap"!"
"Siap, Kang!"
Hampir serentak seluruh anggota rombongan berpakaian biru tua
itu menyatakan kesiapsiagaannya.
"Kalau demikian, mari kita berangkat! Tapi, periu kalian dengar
baik-baik taktik yang akan kita jalankan. Dari sini kita bersikap biasa-biasa
saja. Maksudnya, perjalanan yang kita lakukan tidak usah tergesa-gesa. Tapi
begitu mendekati jalan di tengah-tengah dinding tebing itu, langsung pacu
kecepatan kuda kalian. Mengerti"!"
"Mengerti, Kang!"
"Kalau kau mengetahui adanya bahaya, mengapa tetap kau
teruskan perjalanan melalui tempat itu" Apa tak lebih baik kalau kita ambil
jalan lain" Jalan semula, misalnya"!" usul Wiraja.
"Tidak malukah dengan ucapan yang kau keluarkan itu, Wiraja"!"
sembur Jaladri keras. "Kita sudah telanjur basah. Lebih baik mandi
sekalian!"
Wiraja kontan terdiam.
"Nah, sekarang mari kita berangkat!"
Jaladri lalu mengibaskan tangannya ke depan, memberi isyarat
pada rombongannya untuk melanjutkan perjalanan. Sesaat kemudian
rombongan orang-orang berpakaian biru tua itu telah bergerak kembali.
Meskipun terlihat tenang, hati mereka sebenarnya diliputi perasaan
tegang. Sekujur urat syaraf dan otoeotot mereka telah menegang. Sikap
waspada pun telah semakin ditingkatkan untuk menghadapi kemungkinan
yang bakal terjadi.
Semakin mendekati jalan di antara dua dinding tebing, semakin
besar ketegangan yang melanda. Dan ketika akhirnya mencapai permulaan
jalan yang diapit dinding batu itu, dengan serempak mereka semua
melecutkan cambuk ke bagian belakang tubuh kuda masing-masing.
Ctar! Ctar! Ctar!
Seketika itu pula bumi tergetar hebat bagai dilanda gempa akibat
berpacunya kuda-kuda itu. Derap kaki kuda dan gerit roda kereta yang
dipantulkan dinding-dinding batu bergema, menambah riuh rendahnya
suasana. Dan kejadian yang dikhawatirkan Jaladri ternyata terbukti! Begitu
rombongan mereka berada di tengah jalan antara dua tebing itu, terdengar
suara bergemuruh seperti bukit akan mntuh. Bagai diberi perintah, mereka
semua mendongak ke atas. Dan mendadak wajah-wajah mereka memucat
ketika melihat di atas tebing kanan dan kiri meluruk deras batu-batu sebesar
kerbau! "Awaaasss...!"
Meskipun sudah menduga kalau kawan-kawannya mengetahui
adanya bahaya itu, Jaladri tetap berteriak memberikan peringatan. Seketika
itu pula rombongan berpakaian biru itu dengan cepat mencabut senjata
mereka Srat! Srat! Cring! Cring! Dan secepat senjata-senjata tercabut, secepat itu pula digerakkan
memapak batu-batu yang meluncur ke arah mereka.
Pyarrr! Pyarrr!
Batu-batu sebesar kerbau itu hancur berantakan ketika berbenturan
dengan pedang di tangan Jaladri dan rombongannya. Namun sebuah batu
sebesar kerbau sempat lolos dari hadangan dan meluncur ke arah mereka.
Akibatnya.... Brakkk! Seketika itu pula atap kereta hancur berantakan. Untunglah sang
Kusir telah bertindak cepat. Tubuhnya telah lebih dulu melesat dari tempat
duduknya bersamaan dengan jatuhnya batu itu di atap kereta.
Karuan saja kejadian mengejutkan itu membuat kuda-kuda
tunggangan rombongan itu panik. Binatang-binatang itu kontan melonjaklonjak.
Nampak Jaladri dan kawan-kawannya sibuk menenangkan kudakuda
itu. Dan saat itulah dari atas tebing berlompatan belasan sosok tubuh.
Hanya dalam sekejap saja rombongan Jaladri telah terkurung.
"Ha ha ha...!"
Seorang laki-laki bertubuh gemuk, berperut gendut, dan berkepala
botak tertawa bergelak. Nampaknya dialah pemimpin gerombolan yang
mencegat rombongan Jaladri.
Melihat tak ada lagi jalan keluar bagi rombongannya, Jaladri
segera melompat dari punggung kudanya. Hal yang sama dilakukan kawankawannya.
"Siapa kalian" Mengapa merintangi jalan kami"!" tanya Jaladri
tenang sambil merayapi wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Dalam hati,
dihitungnya jumlah gerombolan itu. Ternyata mereka berjumlah enam belas
orang. Jaladri menghentikan tatapannya pada laki-laki berkepala botak yang
masih tertawa-tawa.
"Apa hubungan kalian dengan Prakasa?" tanya laki-laki berkepala
botak setelah menghentikan tawanya. Sepasang matanya menatap penuh
selidik pada gambar sebuah kepalan yang tersulam dengan benang emas di
dada kiri Jaladri dan rombongannya.
"Beliau adalah guru sekaligus ketua kami. Dan kami semua murid
Perguruan Seribu Kepalan," jawab Jaladri dengan sikap masih tenang.
"Ooo..., begitu kiranya" Kalau begitu tak sia-sia kami bersusah
payah mencegat perjalanan kalian. Kami semua bekas anggota
Perkumpulan Gajah Hitam. Sekarang, kami yakin kalau kau telah bisa menduga
maksud penghadangan kami!" mantap dan tegas jawaban yang
dikeluarkan laki-laki berkepala botak itu.
Jaladri tersenyum mengejek.
"Tentu saja. Bukankah kalian bermaksud membalas dendam atas
hancurnya ketua dan perkumpulan kalian di tangan guru kami" Dan karena
kalian takut gagal, kalian melakukannya terhadap kami! Bukankah
demikian"!"
"Tutup mulutmu!" bentak laki-laki berkepala botak. "Serbuuu...!
Hancurkan mereka...!"
Belasan anak buah laki-laki berkepala botak yang ternyata bekas
anggota Perkumpulan Gajah Hitam meluruk ke arah Jaladri dan kawankawannya.
Senjata-senjata yang sejak tadi telah tercekal di tangan, langsung
diayunkan. Pada saat yang bersamaan, laki-laki berkepala botak pun
melancarkan serangan pada Jaladri. Pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi. Dentang senjata beradu diselingi teriakan-teriakan keras
membahana, menyemarakkan jalannya pertarungan. Bunga-bunga api pun
bepercikan dari senjata-senjata yang saling berbenturan.
Kedua rombongan sama-sama tidak bersikap setengah-setengah
dalam melakukan tindakan. Nampaknya mereka tahu kalau lawan yang
dihadapi adalah musuh bebuyutan. Dan kalau bertindak setengah-setengah
hanya akan mencelakakan diri sendiri. Karenanya pertarungan pun
berlangsung seru.
Pada jurus-jurus awal, pertarungan masih berlangsung seimbang.
Tapi begitu memasuki jurus kesepuluh, mulai terlihat rombongan murid
Perguruan Seribu Kepalan mulai terdesak. Hal ini tidak aneh karena jumlah
mereka hanya separuh dari lawannya. Meskipun rata-rata kepandaian
mereka di atas lawannya, tapi tidak terlalu banyak selisihnya. Maka
menghadapi dua orang lawan, mereka kewalahan.
Di antara mereka semua, Jaladrilah yang paling parah keadaannya.
Meskipun lawan yang dihadapi hanya seorang laki-laki berkepala botak,
pemimpin rombongan bekas anggota Perkumpulan Gajah Hitam, tetap saja
dia kewalahan. Ternyata kepandaian yang dimiliki laki-laki berkepala botak
itu sangat tinggi dan berada di atas tingkatannya. Tak sampai lima jurus
bertarung, Jaladri telah dibuat terpontang-panting untuk menyelamatkan
diri. Akhir dari pertarungan ini nampaknya sudah dapat diduga. Muridmurid
Perguruan Seribu Kepalan akan tewas di tangan lawan-lawannya.
Dan dugaan itu langsung menjadi kenyataan!
"Aaakh!"
Salah seorang murid Perguruan Seribu Kepalan menjerit, ketika
golok besar salah seorang lawannya menoreh pergelangan tangannya. Darah
pun mengalir dari lukanya dan tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas
dari pegangan. Sebelum murid Perguruan Seribu Kepalan yang sial itu sempat
berbuat sesuatu, lawan yang lain menusukkan tombak ke perutnya.
Jrebbb! "Hekh!"
Seketika tubuh berpakaian biru itu menggelepar-gelepar di tanah
ketika anak buah laki-laki berkepala botak mencabut tombak dari perutnya.
Darah membanjir keluar sebelum akhirnya murid Perguruan Seribu Kepalan
yang malang itu menghembuskan napas terakhir.
Tewasnya satu orang itu membuat rombongan Perguruan Seribu
Kepalan semakin kalut. Keadaan mereka semakin terdesak dan gawat. Satu
orang anggotanya tewas. Sementara kedua orang yang telah berhasil
membunuh anak buah Jaladri tidak tinggal diam. Keduanya langsung
bergabung dengan teman-temannya, terus menggempur rombongan
Perguruan Seribu Kepalan.
Tak lama kemudian, seorang murid Perguruan Seribu Kepalan
menyusul tewas. Murid yang apes ini tewas dengan kepala terpisah dari
lehernya. Melihat keadaan ini, nampaknya sudah dapat dipastikan tewasnya
murid-murid Perguruan Seribu Kepalan tinggal menunggu saatnya.
Sementara itu, meskipun tak melihat sendiri kema-tian rekanrekannya,
Jaladri dapat mengetahuinya. Kenyataan itu membuatnya geram
bukan kepalang. Tapi apa dayanya" Dia sendiri hanya bisa bermain kucingkucingan
untuk menyelamatkan diri. Dengan susah payah, Jaladri
mempertahankan diri hingga sampai sekarang belum roboh, meskipun
tubuhnya terpontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.
Namun, pada jurus keempat betas Jaladri jatuh terjerembab, akibat
gaetan kaki lawannya. Dan sebelum sempat bangkit, laki-laki berkepala
botak melancarkan serangan susulan. Tongkat baja putih di tangannya
dipukulkan ke arah kepala Jaladri.
Jaladri tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Untuk mengelak
sudah tak mungkin lagi. Sedangkan menangkis hanya tindakan konyol,
karena pedangnya sudah terlepas dari tangan ketika tubuhnya terjerembab.
Sehingga yang dapat dilakukannya hanya berdiam diri menunggu ajal.
Namun, rupanya nasib baik masih berpihak pada Jaladri. Ketika
keadaan sangat gawat, tiba-tiba sesosok bayangan ungu berkelebat
menyelak di antara dirinya dan laki-laki berkepala botak. Dan....
Takkk! Tubuh laki-laki berkepala botak terjengkang ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah, ketika sosok bayangan itu menangkis tongkat bajanya
dengan tangan kosong.
"Keparat!"
Begitu berhasil bangkit, laki-laki berkepala botak langsung
memaki. Ditatapnya sosok yang telah menggagalkan serangannya, dan kini
telah berdiri membelakangi Jaladri.
Sosok itu ternyata seorang pemuda berpakaian ungu. Rambutnya
yang putih keperakan dan panjang, dibiarkan melambai-lambai tertiup
angin. Wajahnya tampan dan terlihat jantan.
Dengan didahului geraman keras, laki-laki berkepala botak hendak
menyerbu pemuda berambut putih keperakan yang telah mencampuri
urusannya itu. Namun gerakannya segera terhenti, ketika mendengar jeritan
menyayat susul-menyusul.
Dengan rasa penasaran, lelaki berkepala botak menolehkan
kepalanya. Betapa kaget hatinya ketika melihat seorang gadis berpakaian
putih yang juga berambut panjang tengah mengobrak-abrik anak buahnya.
Dan jeritan-jeritan menyayat itu ternyata berasal dari mulut anak buahnya
yang keluar dari kancah pertarungan.
"Bagaimana, Kisanak"! Sebuah pemandangan yang menarik,
bukan"!" tanya pemuda berambut putih keperakan, bernada mengejek.
"Keparat! Kubunuh kau...! Hiyaaat...!"
3 Sambil mengeluarkan jeritan keras menggelegar, laki-laki
berkepala botak menerjang pemuda berambut putih keperakan itu. Tongkat
bajanya diputar-putarkan di atas kepala sebelum diayunkan ke kepala
lawannya. Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringj meluncurnya tongkat baja itu
menunjukkan betapa kuatnya tenaga laki-laki berkepala botak. Hantaman
tongkat itu mampu menghancurkan batu karang yang paling keras. Apalagi
kali ini yang dijadikan sasaran kepala manusia yang mempunyai kekuatan
di bawah batu karang!
Kedahsyatan serangan itu tentu saja diketahui pemuda berambut
putih keperakan. Meskipun demikian, dia tetap bersikap tenang. Sama
sekali tidak nampak tanda-tanda kalau hendak melakukan tindakan apa pun.
Baik mengelak maupun mencabut senjatanya untuk menangkis.
Tentu saja kenyataan ini membuat Jaladri yang sudah bangkit
berdiri merasa heran bercampur khawatir. Apakah pemuda berambut putih
keperakan itu sudah gila, sehingga merelakan kepalanya hancur dihantam
tongkat lawan" Perasaan yang sama melanda laki-laki berkepala botak.
Hanya saja dia tidak mempedulikan! Tentu saja hatinya berharap agar pemuda
berambut putih keperakan yang usilan itu bisa tewas dalam
segebrakan! Ternyata dugaan Jaladri dan laki-laki berkepala botak sama sekali
meleset! Pemuda berambut keperakan itu tidak gila! Terbukti begitu ujung
tongkat hampir mengenai sasaran, tubuhnya dibungkukkan.
Wusss! Tongkat pun menyambar lewat di atas kepala pemuda berambut
putih keperakan. Dan pada sat itu tangan kanan pemuda itu bergerak.
Tappp! Begitu cepat tindakan pemuda berambut putih keperakan itu! Tahu
tahu pergelangan tangan laki-laki berkepala botak telah berhasil dicekalnya.
Lalu pemuda itu menyentakkannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki
berkepala botak pun ikut tertarik. Dan pada saat itulah kaki kanan pemuda
berambut putih keperakan itu meluncur ke perutnya.
Bukkk! "Hugkh!"
Telak dan keras sekali tendangan pemuda berambut putih
keperakan itu mengenai sasaran. Sehingga tubuh laki-laki berkepala botak
terlipat ke depan dengan wajah merah padam. Sepasang matanya pun
melotot keluar. Nampaknya, pemimpin bekas anggota Perkumpulan Gajah
Hitam itu menderita sakit yang hebat.
Dan seketika pemuda berambut putih keperakan melepaskan
cekalannya. Tubuh laki-laki berkepala botak pun ambruk ke tanah. Pingsan!
Tanpa mempedulikan keadaan lawannya, pemuda berambut putih
keperakan mengalihkan perhatian ke gadis berpakaian putih yang tadi
mengamuk. Ternyata, gadis itu pun telah menyelesaikan tindakannya. Di
sekelilingnya bergeletakan tubuh-tubuh anak buah laki-laki berkepala botak


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang semuanya berseragam hitam. Mereka semua mengerang kesakitan
tanpa mampu bangkit lagi.
Dan kini, gadis berpakaian putih itu menghampiri pemuda
berambut putih keperakan yang berdiri menunggunya.
"Bagus, Melati! Aku sangat bangga atas tindakanmu kali ini.
Bukankah tak ada di antara mereka yang tewas?" ujar pemuda berambut
putih keperakan itu ketika gadis berpakaian putih telah berada di dekatnya.
"Tidak, Kang," jawab gadis berpakaian putih yang ternyata Melati
sambil tersenyum manis. "Untung saja kau telah mengingatkanku lebih
dulu. Kalau tidak..., mungkin aku tak akan mau mengampuni mereka."
"Ha ha ha...! Kau masih saja penuh semangat," puji pemuda
berambut putih keperakan itu.
Saat itulah Jaladri menghampiri pasangan muda-mudi yang samasama
berwajah elok itu.
"Terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Kalau saja tak ada
kalian, mungkin aku dan kawan-kawan hanya tinggal nama," sopan dan
penuh hormat Jaladri mengucapkan kata-katanya.
"Lupakan, Kisanak!" sahut pemuda berambut putih keperakan
cepat "Hanya kebetulan kami lewat di tempat ini."
"Boleh aku tahu nama kalian berdua" Aku Jaladri. Dan mereka
kawan-kawanku. Kami dari Perguruan Seribu Kepalan," ujar laki laki
berkumis melintang itu memperkenalkan diri. Ditudingkan telunjuknya ke
arah kawan-kawannya yang tengah sibuk mengurus kawan mereka yang
tewas. 'Tentu saja boleh, Kang Jaladri," jawab pemuda berambut putih
keperakan sambil tersenyum lebar. Terpaksa sapaannya dirubah karena
Jaladri telah memperkenalkan diri. "Namaku Arya. Dan kawanku, Melati.
Kami berdua pengelana...."
"Arya..."!" ulang Jaladri dengan alis berkernyit dalam. "Sepertinya
aku pernah mendengar nama itu. Arya.... Ah! Apakah nama lengkapmu
Arya Buana"!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala.
Bibirnya menyunggingkan senyum lebar. Sudah bisa diduganya kelanjutan
yang akan diucapkan Jaladri. Dan memang dia tidak salah. Hal itu terbukti
sesaat kemudian.
"Jadi..., kau Dewa Arak! Ya! Kau pasti Dewa Arak! Rambutmu...,
pakaianmu..., kesaktianmu..., dan juga guci arak di punggungmu. Ya! Kau
pasti Dewa Arak!" urai Jaladri seraya merayapi sekujur tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu.
Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya dan lebih
dikenal dengan julukan Dewa Arak hanya menyunggingkan senyum lebar.
Sama sekali tak diberikannya tanggapan atas ucapan Jaladri.
"Bolah aku tahu ke mana tujuanmu, Dewa Arak"!" tanya Jaladri
lagi. "Kami tidak punya tujuan, Kang Jaladri. Dan kuharap kau panggil
aku dengan namaku saja."
"Ah! Maaf, De..., eh, Arya! Bagaimana kalau ikut kami" Ketua
kami, Prakasa, sudah lama sekali mengagumi sepak terjangmu. Dia ingin
sekali bertemu denganmu. Beliau sering berpesan, apabila di dalam
perjalanan kami bertemu denganmu, harap diminta untuk singgah ke
tempatnya. Bagaimana, Arya"!" tanya Jaladri penuh harap.
Arya tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya menoleh
ke arah Melati. Dia ingin melihat tanggapan kekasihnya. Meskipun tahu
kalau Melati selalu menyerahkan keputusan padanya, tetap tak pernah
dilupakannya untuk meminta tanggapan Melati.
Dan seperti biasa, Melati hanya mengangkat kedua bahunya
pertanda menyerahkan keputusan ini padanya.
"Baiklah, Kang Jaladri. Kami ikut rombonganmu," jawab Arya
menyetujui. Tentu saja Arya tak begitu mudah menerima permintaan itu. Telah
dipertimbangkannya masak-masak terlebih dahulu. Dewa Arak telah
mengetahui kalau Prakasa seorang tokoh aliran putih. Meskipun demikian,
tokoh itu ternyata amat menghormatinya. Itu bisa diketahuinya dari pesan
yang disampaikan lewat muridnya. Kalau tidak menerima undangan itu,
sama saja dirinya tak menghargai Prakasa. Itulah sebabnya Dewa Arak
menerima undangan itu.
Kemudian, setelah kawan-kawan Jaladri selesai mengurus mayat
murid murid Perguruan Seribu Kepalan, rombongan itu pun berangkat.
Tujuan mereka Desa Kedu, tempat Perguruan Seribu Kepalan berada.
*** "Luar biasa! Sama sekali tak kusangka kalau Jaladri bisa bertemu
denganmu, Dewa Arak! Tapi yang lebih tak kusangka lagi kesediaanmu
menerima undangan ku! Terima kasih, terima kasih, Dewa Arak!"
Ucapan keras penuh kegembiraan itu keluar dari mulut seorang
kakek berpakaian biru tua. Tubuhnya yang tinggi besar dan terlihat kekar itu
membuatnya kelihatan angker. Apalagi ditambah lagi dengan cambang
bauk lebat yang menghias wajahnya. Dialah Prakasa, Ketua Perguruan
Seribu Kepalan.
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Seharusnya bukan kau yang
mengucapkan terima kasih, tapi aku. Karena aku telah mendapat
kehormatan yang demikian besar, mendapat undangan dari seorang tokoh
besar sepertimu. Bukan begitu, Melati?" kilah Arya sambil menoleh ke arah
kekasihnya. "Apa yang dikatakannya benar, Ki. Memang, seharusnya kami
yang berterima kasih padamu. Kang Arya hanyalah seorang tokoh muda,
dan kau tokoh tua. Sepantasnya, yang mudalah harus memberikan
penghormatan, bukan yang tua," sambut Melati.
"Ha ha ha...! Kalian berdua memang pasangan yang luar biasa.
Sama-sama lihai, sama-sama merendah, dan sama-sama menyenangkanku.
O ya, sebelum kita lanjutkan pembicaraan ini. Bagaimana kalau kita serbu
dulu hidangan di depan kita"!" dengan sikap yang menyenangkan hati,
Prakasa menawari Dewa Arak dan Melati untuk mencicipi hidangan.
"Terima kasih, Ki."
Hanya itu yang diucapkan Dewa Arak dan Melati. Sesaat
kemudian, didahului oleh Prakasa, ketiga orang yang duduk di sebuah meja
bundar indah dan berukir itu mencicipi hidangan yang tersedia.
"O ya, Ki. Apakah kau sudah mempunyai persiap-n..., ehm
maksudku..., siapa yang akan menggantikanmu memimpin Perguruan
Seribu Kepalan ini"!" tanya Arya ingin tahu.
"Tentu saja pada putraku, Dewa Arak," ringan jawaban kakek
tinggi besar itu.
"Boleh kami berkenalan dengannya, Ki"!" kali ini Melati yang
mengajukan pertanyaan. "Tentu dia pun gagah seperti dirimu."
"Itu sudah pasti, Melati!" sahut Prakasa membanggakan. "Bahkan
mungkin lebih gagah daripadaku. Tapi tentu saja tak sehebat kalian berdua."
"Ah! Kau bisa saja, Ki. Kalau dia lebih sakti dari padamu,
bagaimana mungkin kami akan mampu menghadapinya. Dibandingkan
dengan dirimu saja, kami berdua bukan apa-apa," sahut Arya merendahkan
diri. "Kau memang terlalu merendahkan diri, Dewa Arak," sergah
Ketua Perguruan Seribu Kepalan penuh kagum.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki"!" celetuk Melati.
"Tentu saja boleh, Melati. Silakan! Tanyakan saja semua yang
kalian perlu ketahui. Untuk tamu-tamu kehormatan seperti kalian, tidak ada
hal yang berupa rahasia!"
'Terima kasih atas kesediaanmu, Ki. Pertanyaanku tidak berupa
rahasia. Aku hanya ingin penjelasan atas ucapan yang tadi kau berikan."
"Apa itu, Melati. Katakan saja, jangan ragu-ragu," sambut Prakasa
memberi dukungan.
Sikap Melati yang agak ragu-ragu membuat Ketua Perguruan
Seribu Kepalan itu jadi semakin ingin tahu. Itulah sebabnya dia
memberikan dukungan. Perasaan yang sama pun melanda hati Arya. Dia
pun ingin tahu pertanyaan yang akan diajukan Melati.
"Begini, Ki. Kau tadi mengatakan bahwa putramu itu lebih hebat
darimu. Mengapa bisa begitu" Sepengetahuanku, jarang ada murid atau
anak yang bisa me-ebihi guru atau ayahnya."
"Ha ha ha...! Sebuah pertanyaan yang bagus, Melati. Dan memang,
ucapanmu itu tidak salah. Tapi perlu kau ketahui, kukatakan putraku akan
lebih hebat daripadaku. Hal itu karena dia menjadi murid kawanku yang
memiliki kepandaian di atasku. Jadi, bukan tak mungkin putraku akan
memiliki kepandaian melebihiku," urai Prakasa panjang lebar.
"Ooo..., begitu kiranya, Ki"! Berarti dia tidak ada di sini?" tanya
Melati lagi. "Benar. Putraku masih berada di tempat gurunya. Tapi, mungkin
dalam beberapa hari ini akan berada di sini. Karena dia menjadi murid
kawanku itu hanya untuk waktu sepuluh tahun. Dan kini sepuluh tahun telah
lewat" "Boleh aku mengetahui kisahnya sehingga putramu bisa menjadi
murid kawanmu itu, Ki" Sepantasnya kaulah yang lebih dulu mendidiknya.
Baru setelah putramu itu mewarisi sebagian besar ilmu-ilmumu, boleh
menjadi murid kawanmu. Maaf, kalau ucapanku ini terlalu lancang," ujar
Arya hati-hati.
"Tidak apa apa, Dewa Arak. Bukankah sudah kukatakan, bagi
kalian berdua, tak ada rahasia. Nah, sekarang akan kujawab pertanyaanmu.
Memang, ada alasan kuat yang mendorong untuk menitipkan anakku pada
kawanku." Prakasa menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkannya dengan sabar.
"Sekitar sepuluh tahun lalu, aku bentrok dengan seorang datuk
sesat aliran hitam, Elang Cakar Lima julukannya. Hal itu terjadi karena
anak buahnya gemar menyebar bencana di mana-mana. Nah, dalam
pertarungan itu kami sama-sama terluka parah. Meskipun Elang Cakar Lima
menderita lebih parah aku tetap harus beristirahat sekitar satu tahun untuk
memulihkan seluruh kemampuan tubuhku."
Sekali lagi Ketua Perguruan Seribu Kepalan ini menghentikan
ceritanya. Ditelannya air liur untuk, membasahi tenggorokannya yang
kering. "Dalam keadaanku yang seperti itu, amat berbahaya kalau putraku
bersamaku. Saat itu, Perguruan Seribu Kepalan belum mempunyai murid
sebanyak sekarang. Sedangkan aku banyak menanam permusuhan di manamana.
Karena aku tidak bisa tinggal diam mengetahui adanya tindak
ketidakadilan. Maka ketika kawanku datang, segera kutitipkan putraku
padanya. Nah! Itulah ceritanya, Dewa Arak, Melati," ujar Prakasa menutup
ceritanya. Dewa Arak dan Melati pun terdiam. Setelah Prakasa menghentikan
ucapannya, keheningan pun menyelimuti tempat itu. Dan kini ketiga orang
itu kembali menyantap hidangannya.
Sementara itu, ketika Dewa Arak, Melati, dan Ketua Perguruan
Seribu Kepalan tengah sibuk dengan hidangannya, seorang pemuda
berpakaian kuning tengah mengayunkan langkah menuju pintu gerbang
Perguruan Seribu Kepalan. Sudah bisa diduga siapa sebenarnya pemuda ini.
Ya! Dialah Gandara, murid Tirta Geni.
Dan tepat di depan pintu gerbang, Gandara berhenti. Kemudian
kepalanya didongakkan untuk membaca deretan huruf-huruf yang tertera
pada sebuah papan tebal berukir yang cukup tebal dan tergantung di pintu
gerbang. "Perguruan Seribu Kepalan...," gumamnya perlahan.
Tentu saja kelakuan pemuda berpakaian kuning itu menarik
perhatian dua murid Perguruan Seribu Kepalan yang tengah berjaga-jaga di
depan pintu gerbang.
"Apa yang kau cari, Kisanak?" tanya salah satu dari dua murid
Perguruan Seribu Kepalan agak curiga.
"Aku ingin bertemu dengan ayahku," jawab Gandara ringan.
"Ingin bertemu ayahmu?" dua penjaga itu saling berpandangan
satu sama lain. "Siapa ayahmu, Kisanak?"
"Prakasa."
"Hahhh"!" dua murid Perguruan Seribu Kepalan itu langsung
terlonjak. "Jadi..., kau..., Gandara"!"
"Benar," Gandara menganggukkan kepala.
"Ah! Kalau begitu silakan masuk, Gandara! Ayahmu ada di ruang
khususnya. Kau tahu, kan?"
Kembali Gandara menganggukkan kepala.
"Tapi, sepengetahuanku ayah hanya ada di ruangan khusus apabila
hendak membicarakan sesuatu yang penting," ujar Gandara, bimbang.
"Memang benar, Gandara. Beliau kedatangan dua orang tamu yang
amat dihormatinya," sahut salah satu penjaga yang bertubuh pendek kekar.
"Siapa kedua tamu itu?" tanya Gandara penuh rasa ingin tahu.
"Dewa Arak dan kawannya."
"Apa"!" jerit Gandara karena rasa kaget yang menggelegak. "Dewa
Arak"!"
"Benar, Gandara. Mengapa...?"
Belum juga ucapan laki-laki pendek kekar itu selesai, Gandara
telah melesat ke dalam. Bunyi gemeretak pertanda geram keluar dari
mulutnya. "Gandara! Tunggu...!" seru murid Perguruan Seribu Kepalan yang
satu lagi. Tapi Gandara tidak mempedulikannya sama sekali. Terus saja
kakinya diayunkan. Tujuannya sudah pasti. Ruangan khusus ayahnya. Dan
dia sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuju ke sana. Karena
sewaktu meninggalkan perguruan ini, usianya sudah sepuluh tahun. Dan
saat itu Gandara sudah cukup mempunyai ingatan untuk mengetahui likuliku
perguruan ayahnya.
Kelebatan sosok bayangan kuning menuju ruangan khusus
Prakasa, tidak luput dari pandangan murid-murid Perguruan Seribu Kepalan
yang ada di sana. Buru-buru mereka menghadang. Tapi....
"Jangan dihalangi! Dia Gandara!" seru laki-laki pendek kekar yang
ikut menyusul ke dalam.
Mendengar ucapan itu, murid-murid Perguruan Seribu Kepalan
yang hendak menghadang pun mengurungkan maksudnya. Mereka hanya
mengikuti kepergian Gandara, karena masih belum begitu percaya kalau
pemuda berpakaian kuning itu Gandara. Walaupun ketika melihat gerakgeriknya,
yang sepertinya mengetahui liku-liku di Perguruan Seribu
Kepalan, kecurigaan mereka berkurang. Namun kewaspadaan mereka tetap
tidak dikendurkan.
Sementara itu, Gandara terus melesat cepat menuju ruangan khusus
ayahnya. Dan ketika akhirnya telah berada di depan pintu ruangan yang
terpisah cukup jauh dari bangunan lainnya, diketuknya pintu.
Tok, tok, tok...!
"Siapa di luar?" sebuah suara keras bernada tidak senang langsung
menyambut Siapa lagi kalau bukan Prakasa"!
"Aku," jawab Gandara tenang.
"Aku siapa" Cepat jawab sebelum kesabaranku hilang! Tahukah
kau kalau saat ini aku tak mau diganggu"!" semakin tinggi suara Ketua
Perguruan Seribu Kepalan.
"Gandara."
"Hah"!" Gandara"!" seruan keras karena kaget terdengar.
Sesaat kemudian, daun pintu itu terkuak lebar. Gandara langsung
melangkah mundur. Ditatapnya sosok yang berdiri di ambang pintu. Hal
yang sama pun dilakukan sosok yang tak lain Prakasa.
"Gandara! Kau benar Gandara" Ah! Sekarang kau tampak
demikian perkasa," ucap Prakasa dengan suara bergetar menahan rasa haru
yang melanda hatinya.
"Ayah...!" seru Gandara.
Lalu tanpa sempat diketahui siapa yang lebih dulu memulai, tahutahu
Gandara dan Prakasa sudah saling berpelukan erat. Rasa rindu yang
sekian lamanya tertahan tertumpah saat itu. Seketika Gandara pun lupa akan
tujuannya semula.
Sementara itu, murid-murid Perguruan Seribu Kepalan yang tadi
membuntuti bergerak mundur ketika melihat pemuda berpakaian kuning
yang masih mereka curigai ternyata benar putra ketua mereka. Telah
mereka lihat sendiri buktinya. Prakasa dan Gandara saling berpelukan.


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukup lama juga ayah dan anak itu saling me-numpahkan
kerinduannya sebelum akhirnya sadar. Prakasa yang lebih dulu sadar dari
cekaman perasaan yang melanda hatinya. Perlahan-lahan pelukannya
dilepaskan. "O, ya. Bagaimana kabar gurumu?" tanya Prakasa sambil melepas
pelukannya. Dia menduga kalau jawaban Gandara akan menyenangkan
hatinya. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Prakasa ketika melihat
perubahan hebat pada wajah Gandara. Raut wajah itu menyiratkan
kesedihan yang amat sangat Sedih, kecewa, dendam, dan marah bercampur
dalam hati Gandara.
"Guru telah tewas, Ayah," jawab Gandara dengan suara bergetar
menahan luapan perasaan.
"Tewas"!" ucapan yang keluar dari mulut Prakasa tidak kalah
bergetarnya. Sama sekali tak disangka akan seperti ini jawaban yang
didengarnya. "Tirta Geni tewas"!"
"Benar, Ayah," Gandara menganggukkan kepala.
"Ohhh..., Tirta Geni mengapa kau mendahuluiku..."!" keluh
Prakasa penuh sesal. Terlihat jelas kalau kakek tinggi besar ini merasa
terpukul dengan berita yang didengar dari putranya.
Suasana seketika hening. Baik Prakasa maupun Gandara
tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Prakasa dengan rasa
kagetnya, sedangkan Gandara dengan ingatannya akan kejadian yang
menimpa gurunya.
Sementara, Dewa Arak dan Melati masih tetap duduk di tempat
masing-masing. Sepasang pendekar muda itu tahu diri dan tidak
mencampuri. Karena tahu kalau itu bukan urusan mereka.
"Bagaimana kejadiannya sampai bisa seperti itu?" tanya Prakasa
ketika telah berhasil menguasai diri.
"Aku juga tidak tahu, Ayah," jawab Gandara, kemudian
menceritakan semua kejadian yang dia-laminya. "Begitu aku kembali,
kulihat tubuh guru tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat. Tapi sebelum
tewas, beliau sempat menyebutkan orang yang telah melakukan tindakan
keji itu...."
"Siapa dia, Gandara"! Biar aku yang akan men-cincang tubuhnya
sampai hancur!" desis Prakasa geram.
"Orang itu adalah Dewa Arak!" tandas Gandara mantap.
"Apa"!" bagai disengat ular berbisa, tubuh Prakasa langsung
terlonjak. Jelas, kakek tinggi besar ini tengah dilanda perasaan kaget yang
luar biasa. "Apakah kau tidak salah dengar, Gandara"!"
"Tidak, Ayah. Aku tidak salah dengar. Dan kudengar Dewa Arak
ada di sini! Biar aku yang akan mencincang tubuhnya atas tindakan kejinya
terhadap guru!"
Usai berkata demikian, Gandara langsung menerobos masuk ke
dalam. Prakasa sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun. Berita yang
didengarnya terlampau mengejutkan hatinya, sehingga membuat otaknya
tidak bisa diajak berpikir.
4 Dewa Arak dan Melati terkejut bukan kepalang mendengar
jawaban Gandara tentang pelaku pembunuhan terhadap Tirta Geni. Apalagi
ketika melihat pemuda berpakaian kuning itu menerobos masuk dan
menghampiri meja mereka.
"Dewa Arak!" terdengar penuh getaran ucapan yang dikeluarkan
Gandara. "Telah lama kudengar julukanmu yang menggetarkan dunia
persilatan. Bahkan guruku pun sering menyebuenyebut namamu dengan
perasaan kagum. Sama sekali tak kusangka kau akan bertindak sedemikian
keji terhadapnya. Sekarang bersiaplah untuk menerima pembalasan dariku,
Dewa Arak! Kalau kau bukan seorang pengecut, cepat temui aku di luar!"
"Gandara! Tunggu...! Aku...."
Dewa Arak terpaksa menghentikan ucapannya karena Gandara
telah melesat ke luar. Maksudnya sudah jelas. Apalagi kalau bukan mencari
tempat yang lebih luas untuk bertarung. Mau tak mau, Dewa Arak pun
melesat ke luar. Kalimat Gandara yang terakhir telah menyinggung harga
dirinya. Pantang baginya untuk bertindak sebagai pengecut!
Melihat hal ini, Melati pun ikut melesat ke luar. Sementara Prakasa
masih berdiri terpaku di tempatnya. Berita demi berita yang mengejutkan
itu membuatnya jadi seperti orang bodoh dan kebingungan.
Jliggg! Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya sekitar tiga tombak di
hadapan Gandara. Terlihat jelas kalau pemuda berpakaian kuning itu telah
siap untuk bertarung. Dan memang, tempat yang dipilih cukup
memungkinkan. Mereka berdua telah saling berhadapan di luar rumah.
"Harap kau bisa menahan amarahmu, Gandara! Percayalah! Bukan
aku orang yang telah membunuh gurumu. Lagi pula bagaimana mungkin
aku bisa membunuh gurumu, bertemu muka pun belum pernah! Tempat
kediaman gurumu pun belum kuketahui!" Dewa Arak berusaha
menenangkan hati murid Tirta Geni itu. Nampaknya dia tahu pasti, ada
kesalahpahaman di sini.
"Apakah kau hendak mengatakan kalau guruku bermaksud
memfitnahmu" Kau keliru, Dewa Arak! Kau tahu, guruku amat
mengagumimu! Dia selalu menceritakan tentang sepak terjangmu
kepadaku! Dan dia menginginkan aku menjadi orang seperti dirimu! Sama
sekali tak kusangka kalau kau, orang yang dikaguminya, sampai hati
membunuhnya! Bersiaplah, Dewa Arak! Walaupun mungkin bukan
tandinganmu, akan kupertaruhkan nyawa untuk membalaskan sakit
hatinya!" tegas Gandara.
"Tunggu sebentar, Gandara! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku
tidak bermaksud mengatakan kalau gurumu memfitnahku! Tapi, aku yakin
ada kesalahpahaman di sini. Mungkin ada orang yang menyamar sebagai
diriku dan...."
"Tidak usah bersilat lidah lagi, Dewa Arak! Guruku bukan orang
bodoh! Dia pasti tahu kalau ada orang yang menyamar sebagai dirimu!"
potong Gandara keras.
"Tapi...."
"Tidak usah bersilat lidah lagi, Dewa Arak! Kalau kau bukan
seorang pengecut, bersiaplah untuk menghadapiku!" tajam dan keras bukan
main ucapan Gandara.
Muka Dewa Arak merah mendengar ucapan itu. Sudah dua kali
dirinya dimaki pengecut! Padahal, ucapan seperti itu merupakan pantangan
bagjnya. Hatinya begitu tersinggung.
Kalau Dewa Arak saja yang mempunyai sikap sabar mulai terbakar
emosi, apalagi Melati" Gadis berpakaian putih itu memang memiliki watak
keras. Sejak tadi hatinya sudah cukup bersabar melihat kekasihnya yang
telah bersikap demikian mengalah, terus-menerus mendapat hinaan. Dan
sekarang kesabarannya sudah tak bisa ditahan. Maka tubuhnya pun melesat
maju dan berdiri di sebelah Dewa Arak.
"Biar aku yang menghajar orang sombong ini, Kang!"
Dewa Arak menggelengkan kepala. "Tidak, Melati. Kali ini biar
aku yang menghadapinya. Aku yang telah ditantangnya."
"Tapi, Kang," Melati masih mencoba mengalah.
"Apakah kau rela membiarkan orang lain menganggapku sebagai
pengecut"!" tanya Arya.
Melati pun terdiam. Kemudian dengan kepala tertunduk kakinya
melangkah mundur, membiarkan Dewa Arak bertarung dengan Gandara.
Bukan hanya Melati saja yang bertindak sebagai penonton. Prakasa
pun melakukan hal yang sama. Memang, dia telah berhasil menguasai diri.
Meskipun demikian, lelaki tua bertubuh tinggi besar itu tidak bermaksud
untuk memisahkan pertarungan yang akan berlangsung.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tak ada yang paling
disukai kecuali menyaksikan pertarungan antara tokoh-tokoh tingkat tinggi
seperti Dewa Arak dan putranya! Terlepas dari benar tidaknya Dewa Arak
yang menjadi pelaku pembunuhan itu, Prakasa ingin memenuhi
kegemarannya lebih dulu.
Sementara itu, Gandara dan Dewa Arak telah sama-sama bersiap
untuk melangsungkan pertarungan. Dengan langkah hati-hati, Gandara
mendekati Dewa Arak. Sepasang mata pemuda berpakaian kuning itu terus
menatap tajam tindak-tanduk Dewa Arak.
"Hiaaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras menggelegar yang membuat suasana
di sekitar tempat itu tergetar hebat, Gandara melancarkan serangan terhadap
Dewa Arak. Memang, saat itu jarak antara mereka sudah tidak begitu jauh
lagi. Gandara membuka serangannya dengan sebuah tendangan kaki
kanan ke pelipis Dewa Arak. Dan itu dilakukannya sambil mencondongkan
tubuh bagian kirinya.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringj tibanya serangan itu
membuktikan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam
tendangan lawannya itu. Hal itu pun diketahui secara pasti oleh Dewa Arak.
Maka dia tidak berani bertindak gegabah. Dengan cepat kaki kanannya
ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh, sehingga serangan itu
tidak mencapai sasaran.
Selalu mengelak yang dilakukan Dewa Arak, setiap kali mendapat
serangan dari lawannya. Hal itu dilakukannya agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Misalnya saja, tenaga yang dikerahkan ketika melakukan
tangkisan terlalu sedikit atau terlalu banyak. Hal itu juga karena belum
mengetahui besarnya tenaga dalam yang dimiliki lawan.
Melihat serangan pertamanya mengalami kegagalan, Gandara
menjadi penasaran bukan kepalang. Kembali serangan susulan yang tidak
kalah dahsyat dilancarkannya. Sesaat kemudian, dua jago muda itu telah
terlibat dalam pertarungan sengit.
Gandara benar-benar ingin membuktikan sumpahnya. Seranganserangan
yang dilancarkannya selalu mengarah pada bagian yang
mematikan. Itu pun masih ditambah lagi dengan pengerahan seluruh keampuannya.
Sehingga tiap kali serangannya meluncur, maka maut pun siap
merenggut nyawa Dewa Arak.
Dewa Arak tahu kalau setiap serangan Gandara selalu mengandung
hawa maut. Oleh karena itu, dia tak berani bertindak main-main. Meskipun
belum mengeluarkan ilmu andalan, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'
dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang merupakan ilmu-ilmu
simpanan yang diwarisi dari ayahnya langsung dikeluarkan.
Dewa Arak siap mengerahkan kedua ilmu warisan ayahnya itu.
Dan dengan menggunakan kedua ilmu itu, dicobanya untuk mengatasi
amukan Gandara.
Akibatnya, pertarungan antara kedua jago muda ini pun
berlangsung seru. Gandara yang tengah dilanda amarah, melakukan
penyerangan bagai gelombang laut, susul-menyusul seperti tidak pernah
putus. Hal yang sama dilakukan pula oleh Dewa Arak. Meskipun
sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu tidak bermaksud
membunuh atau melukai lawannya, karena kedua ilmu yang digunakannya
memang menitikberatkan pada penyerangan, membuat orang yang
menyaksikan menafsirkan Gandara dan Dewa Arak hendak saling bunuh.
Prat! Prat! Prat!
Untuk pertama kalinya, benturan keras dan bertubi-tubi terjadi.
Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat saling
beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Kenyataan itu menandakan kalau tenaga dalam kedua
tokoh muda ini berimbang.
Karuan saja hal itu bukan hanya membuat Dewa Arak terkejut
Prakasa dan Melati pun demikian pula. Mereka sama sekali tidak
menyangka kalau tenaga dalam Gandara bisa sekuat itu. Sebuah dugaan
langsung menyelinap di dalam benak mereka. Kalau Gandara saja memiliki
tenaga dalam sekuat ini, apalagi gurunya"!
Tapi Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alam
pikirannya. Gandara telah kembali melangsungkan penyerangan.
Pertarungan yang sempat terhenti sejenak itu, langsung berlanjut kembali.
*** Jurus demi jurus berlangsung secara cepat. Karena, baik Gandara
maupun Dewa Arak memiliki gerakan yang sama-sama cepat. Sehingga,
dalam waktu sebentar saja tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu
belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Riuh rendah suara pertarungan yang tengah berlangsung. Suara
angin menderu, mencicit dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau
kaki Dewa Arak dan Gandara bergerak. Akibatnya suasana pertarungan
kian mencekam dan menggiriskan. Di sana sini nampak tanah terbongkar.
Pohon pohon besar juga bergetar hebat. Bahkan ranting dan dedaunan
berguguran ke tanah karena tersambar angin pukulan kedua belah pihak.
"Hih!"
Pada jurus kelima puluh delapan, Gandara melempar tubuhnya ke
belakang. Dewa Arak sama sekali tidak mengejarnya. Diketahuinya kalau
Gandara tak bermaksud melarikan diri. Bukan tak mungkin malah hendak
menggunakan ilmu simpanan. Maka Dewa Arak pun bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
Jliggg! Tanpa mendapat kesulitan sedikit pun karena Dewa Arak sama
sekali tak mengejar, Gandara berhasil mendaratkan kakinya di tanah. Lalu,
tanpa membuang-buang waktu segera kedua tangannya disilangkan di
depan dada. Kedudukan jari-jari tangannya sulit untuk dilukiskan. Sikap
jari-jari tangannya memang terbuka, tapi seperti tak beraturan. Sebagian
terbuka lurus, sebegian lagi agak tertekuk.
"Ssshhh...!"
Diiringi desisan keras, Gandara menarik kedua tangannya ke
tempat masing-masing. Yang kanan ke kanan dan yang kiri, ke kiri. Itu
dilakukannya secara perlahan-lahan tapi dengan pengerahan tenaga. Dan
seiring dengan gerakan itu, ada sinar kebiruan yang melingkari sekujur
tubuhnya. Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati yang mengernyitkan
kening melihat gerakan pembukaan ilmu yang akan digunakan Gandara,
Prakasa malah terkejut bukan kepalang.
"Gandara! Tahan! Jangan keluarkan ilmu 'Kelabang Seribu' itu!"
seru Prakasa. Sebagai kawan dekat Tirta Geni, Prakasa mengetahui ilmu yang
akan digunakan Gandara. Ilmu andalan Tirta Geni yang bernama 'Kelabang
Seribu' itu adalah sebuah ilmu dahsyat yang untuk menguasainya
membutuhkan pemusatan pikiran yang tinggi. Bahkan Tirta Geni hanya
menguasai kulitnya, tidak seluruhnya. Itu pun jarang dikeluarkannya,
karena ilmu 'Kelabang Seribu' membutuhkan pengerahan seluruh tenaga
dalam. Dalam penggunakan ilmu itu, pengerahan tenaga tidak boleh
mengendur. Apabila hal itu dilanggar, seluruh otot si pemakai akan lumpuh!
Itulah sebabnya, Prakasa terkejut bukan kepalang melihat putranya
menggunakan ilmu itu.
Tapi teriakan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu terlambat
Gandara telah lebih dulu melompat menerjang Dewa Arak. Terjangan yang
dilakukan Gandara itu sama sekali tidak patut di katakan melompat,
melainkan terbang! Tubuh pemuda berpakaian kuning itu seperti terapung
di udara dan melayang ke arah Dewa Arak.
Kalau Prakasa dan Melati yang bertindak sebagai penonton
terkejut bukan kepalang melihat kedahsyatan ilmu itu, apalagi Dewa Arak
yang menjadi sasarannya" Pemuda berambut putih keperakan ini sampai
tertegun. Dan sikap inilah yang hampir saja membuat nyawanya melayang!
Betapa tidak" Dalam keadaan tubuh mengapung dj udara dan terus
melayang ke arah Dewa Arak, Gandara melancarkan serangan sampokan ke
pelipis pemuda berambut putih keperakan itu.
Untuk yang kedua kalinya Dewa Arak merasa terkejut bukan
kepalang ketika merasakan adanya suatu kekuatan tak nampak telah
membuat tubuhnya hampir terjungkal ke belakang. Untung saja dia
bertindak sigap dengan mengalirkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lalu
tanpa ragu-ragu ditangkisnya sampokan Gandara dengan tangan kiri.
Takkk!

Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh!"
Tanpa sadar jerit kekagetan meluncur dari mulut Dewa Arak.
Tangannya yang beradu dengan tangan Gandara dirasakan bagai lumpuh.
Bahkan tulang tangan yang berbenturan seperti hancur berantakan. Sakit
bukan kepalang. Sedangkan tubuh Arya te-huyung-huyung ke belakang
bagaikan diseruduk seekor kerbau liar!
Dewa Arak segera menyadari keadaan gawat ini. Disadari kalau
ilmu 'Kelabang Seribu' milik Gandara ini tidak bisa ditanggulangi dengan
ilmu-ilmu warisan ayahnya. Kalau hal itu terus dilakukan, kemungkinan
besar jiwanya bisa melayang. Telah dibuktikannya sendiri kedahyatan ilmu
lawannya itu. Ilmu 'Kelabang Seribu' telah membuat tenaga dalam Gandara
bertambah. Entah bagaimana caranya hal itu terjadi, Dewa Arak sama sekali
tidak mengetahuinya.
Karena menyadari keadaan yang berbahaya itulah, Dewa Arak
memutuskan untuk menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa
menunggu lebih lama lagi, tepat ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang, diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Dan langsung
dituangkan ke mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu ditenggaknya dan mengalir
ke perut melalui tenggorokan. Sesaat kemudian hawa hangat berputar di
perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa itu merayap ke atas. Dan ketika
akhirnya pengaruh arak itu telah muncul, tanpa menemui kesulitan sedikit
pun Dewa Arak mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung.
Bahkan kemudian tubuhnya telah berdiri dengan kedudukan kaki tidak
tetap, oleng ke sana kemari. Saat itulah serangan susulan Gandara
meluncur. Namun, kali ini tidak terlalu sulit bagi Dewa Arak untuk
mengelakkan serangan itu. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' dan
gerakan sempoyongan seperti akan jatuh, semua serangan Gandara berhasil
dielakkan. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu mampu
melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebat. Akibatnya, pertarungan
yang jauh lebih sengit dari sebelumnya pun berlangsung.
Pertarungan yang tengah berlangsung pun semakin menakjubkan
dan menggiriskan. Bahkan Prakasa dan Melati beberapa kali nampak
menggeleng-gelengkan kepala karena tak kuatnya menahan kekaguman
mereka. Kalau Prakasa dan Melati saja merasa kagum bukan kepalang,
apalagi murid-murid Perguruan Seribu Kepalan" Memang, keributan itu
telah mengundang sebagian murid Prakasa datang ke tempat pertarungan.
Dan begitu melihat sebuah pertarungan menarik tengah berlangsung,
mereka pun langsung menonton.
Memang murid-murid Perguruan Seribu Kepalan tidak dapat
melihat secara jelas, karena gerakan kedua tokoh muda yang tengah
bertarung itu begitu cepat. Meskipun demikian, mereka bisa memperkirakan
dari kelebatan bayangan Dewa Arak dan Gandara yang saling sambar.
Sebenarnya tak terlalu aneh kalau Prakasa dan Melati sampai
begitu takjub. Betapa tidak" Dalam menggunakan ilmu andalan masingmasing,
Dewa Arak dan Gandara tak ubahnya dua ekor burung. Terlihat
mudah dan ringan sekali keduanya saling melayang ke sana kemari. Jelas
Pisau Terbang Li 10 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 7
^