Pencarian

Titisan Darah Terkutuk 2

Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Bagian 2


kemudian tiga di antaranya dari kepalanya mengepul
asap putih yang makin lama makin membungkus. Be-
gitu asap itu lenyap, ketiga sosok Bawuk Raga Ginting yang terbungkus asap
hilang lenyap, tinggal satu yang ternyata tadi melepaskan terjangan dari arah
belakang! Melihat Pendekar Mata Keranjang roboh, Ba-
wuk Raga Ginting melangkah mendekat. Bibirnya yang
hitam legam tampak sunggingkan senyum buruk. Se-
mentara kedua tangannya siap hendak lepaskan puku-
lan. Saat itulah berkelebat bayangan putih, mem-
bentak sambil menyongsong Bawuk Raga Ginting yang
hendak lepaskan pukulan pada Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang masih mulai merambat bangkit dengan
meringis kesakitan.
Bawuk Raga Ginting urungkan niat, dan ber-
paling pada bayangan yang menyongsongnya. Dan ber-
samaan dengan itu Bawuk Raga Ginting menjejak ta-
nah, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu telah berada di belakang bayangan putih
yang ternyata adalah Ratu Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit nampak terkejut melihat ke-
cepatan lawan. Hingga sebelum dia sempat bergerak,
kedua tangan Bawuk Raga Ginting telah bergerak me-
notok jalan darah Ratu Sekar Langit bagian punggung dan bahu, membuat gadis ini
tegang kaku tak bisa
bergerak. Bawuk Raga Ginting tertawa terkekeh panjang,
hingga matanya menyipit.
"Bangsat keji. Lepaskan diriku!" raung Ratu Sekar Langit keras. Namun gadis ini
hanya bisa berteriak tanpa dapat menggerakkan anggota tubuhnya.
Bawuk Raga Ginting tak menghiraukan teria-
kan Ratu Sekar Langit, dia melangkah perlahan ke
arah Pendekar Mata Keranjang yang kini telah berdiri dengan pelipis bergerak-
gerak, dagunya terangkat menahan amarah.
"Keparat! Bebaskan dia. Kalau tidak...." Pendekar Mata Keranjang tidak
meneruskan ucapannya, ka-
rena Bawuk Raga Ginting telah menyela.
"Kalau tidak kenapa...?" tanya Bawuk Raga Ginting sambil menyeringai. "Kalau kau
berilmu tinggi, tentunya kau bisa bebaskan kekasihmu itu. Hik...
hik... hik...!"
"Kau benar-benar cari gara-gara untuk mam-
pus!" bentak Pendekar Mata Keranjang seraya hantamkan tangan kirinya melepas
pukulan 'Bayu Cakra
Buana' sedangkan tangan kanannya kibaskan kipas
ungu. Sinar putih yang membawa suara gemuruh
dahsyat dan hawa panas serta angin deras segera me-
lesat menyambar ke arah Bawuk Raga Ginting yang
tampak melangkah ke arahnya. Sambil lepaskan puku-
lan, sepasang mata Pendekar Mata Keranjang tak ke-
siap memperhatikan sosok Bawuk Raga Ginting, dia
waspada jika sewaktu-waktu manusia pendek ini me-
rubah dirinya menjadi beberapa sosok.
Di seberang, melihat serangan datang padanya,
Bawuk Raga Ginting tersenyum. Lantas masih dengan
tersenyum manusia pendek ini dorong kedua tangan-
nya ke depan dengan gerak perlahan.
Sinar berwarna hitam kelam yang disertai asap
melesat keluar dari kedua tangan Bawuk Raga Ginting menyongsong serangan
Pendekar Mata Keranjang.
Keadaan di tempat itu mendadak redup gelap
karena bertemunya dua serangan. Dan bersamaan
dengan itu terdengar ledakan dahsyat.
Blarrr! Sinar putih dan sinar hitam pecah dan lenyap
begitu bentrok di udara. Tanahnya bergetar hebat dan rengkah-rengkah. Tubuh Ratu
Sekar Langit yang tak
bisa bergerak tersapu hingga tiga tombak dan baru
terhenti ketika tubuhnya mengantuk sebatang pohon
besar. Begitu gema ledakan lenyap dan keadaan sedikit terang, tiba-tiba Bawuk
Raga Ginting meloncat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mencengkeram bahu
kiri Pendekar Mata Keranjang!
Sambil memaki panjang pendek, Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 segera ayunkan tangan kanannya
untuk menghantam tubuh kecil Bawuk Raga Ginting
yang kini mengapung di udara dengan kedua tangan
mencengkeram bahunya. Namun begitu tangan kanan
Pendekar Mata Keranjang 108 bergerak menghantam,
kaki kecil Bawuk Raga Ginting bergerak memapasi.
Prakkk! Astaga! Pendekar Mata Keranjang hampir tak
percaya. Tangkisan kaki mungil Bawuk Raga Ginting
itu ternyata mampu membuat tubuh Pendekar Mata
Keranjang berputar. Dan tatkala tubuhnya berputar,
Bawuk Raga Ginting menyentakkan tangannya yang
mencengkeram bahu. Hingga membuat putaran tubuh
Pendekar Mata Keranjang semakin deras.
Dalam keadaan berputar itulah tiba-tiba Bawuk
Raga Ginting meloncat ke udara. Lalu sepasang tan-
gannya dia satukan dan dengan gerak cepat dia han-
tamkan ke tangan kanan Pendekar Mata Keranjang
yang memegang kipas.
Pendekar Mata Keranjang meraung keras. Dan
bersamaan dengan itu tangan kanannya terasa dihan-
tam batangan pohon besar. Kipas ungunya terlepas,
dan jatuh di atas tanah. Namun dalam keadaan seke-
jap itu Pendekar Mata Keranjang sempat hantamkan
tangan kiri ke tubuh Bawuk Raga Ginting.
Tubuh Bawuk Raga Ginting melayang jauh.
Manusia pendek ini coba kerahkan tenaga untuk
menghentikan gerak laju tubuhnya, namun usahanya
sia-sia. Hingga sambil menjerit-jerit tubuhnya terus melayang dan jatuh terkapar
di atas tanah dengan kepala terlebih dahulu, membuat rambut jabriknya sebelah
atas terpangkas rata. Dadanya berdenyut sakit dan sukar untuk bernapas. Seraya
bangkit, manusia pendek ini batuk-batuk beberapa kali, lalu meludah ke tanah.
Ludah itu telah berwarna merah kehitaman, per-
tanda dia mengalami luka dalam cukup parah akibat
hantaman tangan kiri Pendekar Mata Keranjang.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang tak
jauh berbeda. Tubuhnya yang tadi berputar deras ak-
hirnya menukik deras menghujam tanah dengan bahu
terlebih dahulu, membuat pakaian di bagian bahunya
robek lebar dan bahu kirinya mengucur deras akibat
cengkeraman kedua tangan Bawuk Raga Ginting yang
ternyata berkuku runcing dan tajam!
"Manusia edan!" teriak Pendekar 108 sembari bangkit meski dengan memegangi
bahunya dan mencari-cari kipasnya.
Selagi pendekar murid Wong Agung ini menya-
pukan pandangannya berkeliling mencari kipasnya,
Bawuk Raga Ginting telah kirimkan serangan. Hingga saat itu juga keadaan tempat
itu menjadi gelap.
Dengan menahan rasa sakit dan terkejut, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 cepat pula hantamkan ke-
dua tangannya ke depan memapak serangan Bawuk
Raga Ginting. Blarrr! Kembali hutan kecil itu disentak dengan leda-
kan dahsyat. Pohon-pohon berderak tumbang, semen-
tara angin kencang menggemuruh bersiutan menderu-
deru menyambar ke sana kemari.
Saat keadaan jelas kembali, Pendekar Mata Ke-
ranjang terkejut.
"Sialan! Ke mana sirnanya manusia edan itu"!"
ujar Pendekar Mata Keranjang sambil melayangkan
pandangannya berkeliling. Namun hingga agak lama
matanya tidak menemukan sosok Bawuk Raga Ginting.
Dan Pendekar Mata Keranjang semakin tercengang
tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit juga tak terlihat di tempatnya dia
menggeletak. "Bajingan. Dia kabur! Namun ke mana geran-
gan Ratu Sekar Langit...?" Dia lantas menarik napas dalam-dalam. Sepasang
matanya menyapu kembali
berkeliling, dan Pendekar Mata Keranjang 108 merasa lega tatkala masih menangkap
kipasnya yang tergele-tak di atas tanah.
Dengan cepat Pendekar Mata Keranjang 108
berkelebat dan memungut kipas ungunya lalu dilipat
dan dimasukkan ke balik baju hijaunya.
Tatkala itulah, sepasang matanya melihat se-
buah tulisan di tanah. Tulisan itu tak karuan namun masih bisa dibaca.
Kekasihmu kubawa. Kalau kau benar mencin-
tainya, kau pasti bisa menemukanku.
"Manusia gila! Apa maksud dia sebenarnya
dengan semua ini..." Jangkrik betul. Urusan satu belum selesai kini timbul lagi
urusan lain. Namun aku harus meneruskan dahulu perjalanan ke lereng Gunung
Mahameru, mencari tahu keadaan Putri Tunjung
Kuning, karena bagaimanapun juga akulah yang me-
nyerahkan gadis itu pada Restu Canggir Rumekso yang ternyata adalah tokoh sesat.
Ah, kenapa aku selalu ter-tipu melulu...?"
Seraya berpikir, Pendekar Mata Keranjang 108
bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Namun
baru dua langkah, dia menghentikan gerakan kakinya.
Sepasang ekor matanya melirik tajam, sementara telinganya ditarik sedikit ke
atas. Kedua tangannya siap melepas pukulan. Dan begitu dapat menentukan letak
orang yang dirasa membuntuti, Pendekar Mata Keran-
jang cepat balikkan tubuh.
Pendekar Mata Keranjang 108 serta merta
urungkan niat untuk melepaskan serangan. Dia terli-
hat menarik napas dalam-dalam dan sesaat kemudian
tersenyum demi mengetahui siapa adanya orang yang
kini berada di hadapannya.
"Manik Angkeran!" seru Pendekar 108 seraya melangkah mendekat.
Yang dipanggil hanya tersenyum seraya anggu-
kan kepala. Dia adalah seorang laki-laki setengah
baya. Namun jenggotnya telah panjang dan memutih.
Rambutnya demikian juga, panjang dan memutih. Dia
mengenakan jubah putih panjang di tangannya tam-
pak seuntai tasbih yang terus bergerak-gerak memutar seiring bergeraknya tangan.
Di lehernya juga terlihat untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau yang
berkilau. "Bagaimana kau selama ini...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108 begitu dekat
dengan laki-laki yang baru datang yang bukan lain memang Manik Angkeran. Seorang
tokoh putih sahabat Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang turut serta membasmi para tokoh golongan hitam waktu terjadi
peristiwa diteluk Gonggong.
"Yakh. Aku baik-baik saja. Aku sangat gembira
sekali tanpa kuduga bisa bertemu denganmu lagi. Dan lebih suka lagi tatkala aku
dengar kabar bahwa kau telah berhasil menumpas gerombolan Malaikat Berdarah
Biru. Ngg.... Bagaimana tentang gadis berjuluk Ratu Sekar Langit yang dahulu
pergi bersamamu itu?"
"Ya begitulah. Aku memang telah berhasil me-
numpas gerombolan Malaikat Berdarah Biru. Namun
seperti pada waktu di teluk Gonggong, dia masih berhasil melarikan diri. Dan
soal gadis itu, baru saja dia bersamaku, tapi...," Pendekar Mata Keranjang 108
tak meneruskan kata-katanya.
"Tapi kenapa" Apa yang terjadi..." Kulihat kau tadi juga sepertinya sedang
tegang...."
Pendekar Mata Keranjang lantas menceritakan
perjalanannya bersama Ratu Sekar Langit dan perte-
muannya dengan Bawuk Raga Ginting.
"Kau menyebut Bawuk Raga Ginting!" kata Manik Angkeran setengah terkejut, begitu
mendengar cerita Pendekar Mata Keranjang.
"Kau harus berhati-hati menghadapi manusia
itu. Dia adalah seorang tokoh golongan sesat yang telah lama tak terdengar kabar
beritanya, namun dia
adalah tokoh yang ilmunya sukar dijajaki..."
"Kau benar. Namun aku tak habis pikir, kenapa
tanpa ujung pangkal tiba-tiba saja dia mencari gara-gara bahkan tampaknya
menginginkan nyawaku!"
Manik Angkeran berdehem beberapa kali, lalu
menarik napas dalam-dalam.
"Yang pernah kudengar, manusia pendek ini
menaruh dendam pada gurumu! Juga pada orang-
orang yang dahulu pernah mengucilkannya. Kau tahu"
Bawuk Raga Ginting adalah manusia yang diciptakan
Tuhan dengan keadaan kurang sempurna. Hanya
sayangnya, Bawuk Raga Ginting tak menyadari hal itu.
Dia terlalu ambisi. Hingga waktu itu katanya banyak orang yang mengucilkannya.
Bahkan orang yang diam-diam dicintainya pun menghinanya. Waktu itu Bawuk
Raga Ginting lantas menghilang. Namun selang bebe-
rapa tahun kemudian muncul dan membuat semua
orang hampir tak percaya, karena dia telah menguasai ilmu silat tinggi hingga
waktu itu banyak orang rimba persilatan tumbang di tangannya. Namun, pada
akhirnya lantas tersiar kabar jika Bawuk Raga Ginting dapat dikalahkan oleh Wong
Agung dan Ageng Panangka-
ran. Aku tak tahu apa masalahnya sampai Bawuk Ra-
ga Ginting bersengketa dengan Wong Agung dan Ageng
Panangkaran...."
Mendengar keterangan Manik Angkeran, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 angguk-anggukkan kepala.
"Kalau dia sekarang muncul lagi, dan tiba-tiba ingin membunuhmu, maka kau tentu
tahu apa sebabnya...," sambung Manik Angkeran pula.
"Hmm.... Lantas apakah kau juga tahu tentang
seseorang yang bernama Restu Canggir Rumekso...?"
tanya Pendekar Mata Keranjang.
Raut wajah Manik Angkeran kembali menam-
pakkan keterkejutan. Hingga untuk beberapa saat la-
manya sepasang matanya menatap pada Pendekar Ma-
ta Keranjang seakan ingin meyakinkan ucapan pemu-
da di hadapannya.
"Kau juga mempunyai sengketa dengan orang
itu..."!" Manik Angkeran balik bertanya.
"Sebenarnya tidak. Hanya saja sahabatku telah
kuserahkan padanya untuk diobati. Namun karena
aku lantas mendengar bahwa Restu Canggir Rumekso
adalah seorang tokoh sesat, aku berusaha untuk men-
carinya. Karena orang yang kuserahkan itu adalah
menjadi tanggung jawabku jika terjadi apa-apa den-
gannya!" "Melihat nada kekhawatiran ucapanmu, apakah
sahabatmu itu juga seorang gadis muda, dan can-


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tik...?" Wajah Pendekar Mata Keranjang berubah agak merah padam. Namun sesaat
kemudian dia tersenyum
meski dalam hatinya dia menyumpah habis-habisan
demi dilihatnya Manik Angkeran berkata seraya tersenyum penuh arti.
Melihat perubahan wajah Pendekar Mata Ke-
ranjang yang meski hanya sesaat, Manik Angkeran tertawa lebar.
"Kau tak perlu menjawab. Dari raut muka dan
nada bicaramu tadi aku tahu, sahabatmu adalah seo-
rang gadis muda berwajah cantik jelita, dan mungkin kau jatuh cinta padanya...,"
Manik Angkeran menghentikan ucapannya. Lantas matanya memandang ke
jurusan lain. "Orang itu dugaannya hebat juga. Semoga dia
juga mengetahui tentang Ratu Sekar Langit, biar aku memperoleh sedikit
jalan...," membatin Pendekar Mata Keranjang.
"Pendekar Mata Keranjang! Kalau kau memang
berurusan dengan orang bernama Restu Canggir Ru-
mekso, kau juga harus lebih hati-hati. Selain berilmu tinggi dan ahli
pengobatan, dia juga terkenal sangat licin dan licik!" kata Manik Angkeran
setelah agak lama berdiam diri.
"Namun sungguh kau kali ini menghadapi situ-
asi sulit. Karena sebenarnya Restu Canggir Rumekso
adalah orang yang dahulu diam-diam dicintai oleh Bawuk Raga Ginting...."
Pendekar Mata Keranjang membelalakkan se-
pasang matanya mendengar keterangan Manik Angke-
ran. Manik Angkeran lantas tengadahkan kepala meli-
hat ke atas. "Nampaknya sebentar lagi senja akan turun. Kalau benar apa yang
telah kau ceritakan, se-
baiknya kau lekas meninggalkan tempat ini. Perjala-
nanmu ke lereng Gunung Mahameru masih jauh. Lagi
pula kurasa kau telah rindu dengan gadismu yang kini berada di tangan Restu
Canggir Rumekso, Bukankah
begitu...?"
Meski dalam hati mengumpat habis-habisan,
Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya mengangguk
juga. Dia lantas maju selangkah, dan berkata.
"Aku berterima kasih atas keteranganmu. Me-
nuruti perkataan mu, memang sebaiknya aku pergi
sekarang. Tapi sebelumnya aku ingin tanya, apakah
kau tak ingin pesan sesuatu padaku. Gadis cantik untuk pendamping hidup
misalnya?"
Manik Angkeran tertawa lebar. Dalam hati laki-
laki ini membatin. "Anak ini benar-benar edan. Apa di-kiranya aku tak bisa cari
sendiri?" Setelah mendehem beberapa kali Manik Angkeran berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Aku tahu, te-
man-teman perempuanmu memang cantik-cantik, na-
mun mungkin dari sekian banyak temanmu itu tak
ada yang cocok untukku. Apalagi yang bekas kau jadikan kekasihmu. Jadi terpaksa
aku harus cari sendi-
ri...." Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk perlahan seraya tersenyum.
"Jika demikian, baiklah. Aku pergi sekarang.
Tapi tawaranku padamu tetap berlaku. Dan jika se-
waktu-waktu kau membutuhkan, kau dapat mencari-
ku!" Habis berkata Pendekar Mata Keranjang 108
balikkan tubuh dan berkelebat meninggalkan Manik
Angkeran yang memandangi kepergiannya dengan ge-
leng-geleng kepala.
LIMA SETELAH melakukan perjalanan selama tiga
hari tiga malam, dan setelah bertanya kian kemari akhirnya Pendekar Mata
keranjang 108 dapat menemu-
kan di mana Restu Canggir Rumekso berada.
Seraya melangkah perlahan-lahan dan tetap
waspada, Pendekar Mata Keranjang 108 mendatangi
bangunan tua di sudut desa yang menurut orang-
orang itu adalah tempat kediaman Restu Canggir Ru-
mekso. "Hmm.... Benar apa yang dikatakan Manik Angkeran. Restu Canggir Rumekso
adalah seorang tokoh hitam yang licin dan licik. Terbukti dari sekian banyak
penduduk kampung yang kutanyai, mereka
hampir semuanya mengenal, dan wajah mereka seper-
tinya tak menaruh curiga atau cemas tatkala kutanyakan tentang Restu Canggir
Rumekso. Malah mereka
sepertinya menaruh hormat.... Hmm.... Menghadapi
orang demikian memang lebih sulit...."
Sambil membatin Pendekar Mata Keranjang
108 terus melangkah, namun sampai dekat bangunan,
tak ada tanda-tanda orang akan muncul atau sesuatu
yang mencurigakan.
"He...! Ada orangkah di dalam?" teriak Pendekar Mata Keranjang keras begitu
ditunggu agak lama belum juga ada tanda-tanda orang. Namun seperti hal-
nya ketika dia menunggu, tak ada jawaban keluar dari dalam bangunan.
"Aku harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin
ini adalah jebakan...," batin Pendekar 108 seraya melayangkan pandangan ke dalam
bangunan lewat sela-
sela pintu depan yang sudah agak keropos.
Namun hingga matanya pedas dan kakinya le-
lah berdiri, orang yang diharapkan tak juga menam-
pakkan diri. Akhirnya dengan hati-hati sekali Pendekar Mata Keranjang 108
memutuskan untuk masuk.
Dengan kaki kanan didorongnya pintu depan.
Ternyata pintu itu tak direkatkan pakai paku, hingga tatkala kaki kanan Pendekar
Mata Keranjang 108 bergerak mendorong, pintu itu jatuh terhumbalang den-
gan keluarkan suara berderak, membuat Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 terkejut sendiri.
"Sialan!" seru pendekar murid Wong Agung ini sambil melangkah memasuki bangunan.
Sejenak sepasang matanya memandang berkeliling. Tak tampak pe-
rabotan rumah tangga di ruang itu. Yang ada hanyalah sebuah batu berbentuk
altar. "Apakah orang itu sudah meninggalkan tempat
ini..." Di sana ada ruangan, akan kulihat...," dia lantas melangkah ke sebuah
ruangan yang pintunya juga
tampak tertutup.
Takut jika pintu itu seperti pintu bagian depan,
Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak meneliti sisi
pintu. Dan begitu merasa yakin pintu itu direkatkan, dengan hati-hati
didorongnya pintu itu menggunakan
kaki. Sementara kedua tangannya siap jika sewaktu-
waktu ada sesuatu mendadak muncul.
"Sial! Dia memang benar-benar telah tidak be-
rada di sini lagi...," gumam Pendekar Mata Keranjang begitu pintu ruangan
terbuka dan matanya tak juga
menemukan siapa-siapa.
Belum yakin benar, akhirnya Pendekar Mata
Keranjang melangkah masuk, di ruangan itu hanya
ada sebuah meja bundar agak besar, dan seutas tam-
bang besar yang dibiarkan berserakan begitu saja di bawah meja.
"Hmm.... Ke mana gerangan Restu Canggir Ru-
mekso..." Dan Putri Tunjung Kuning bagaimana" Apa
dia tak mengalami halangan...?" seraya bergumam sendiri, Pendekar Mata Keranjang
108 jongkok dan
meneliti tambang besar itu dengan lebih seksama. Kecewa tak mendapati apa-apa
Pendekar Mata Keranjang
108 lantas kembali berdiri. Saat itulah sepasang matanya melihat bekas darah
yang telah mengering di
atas meja. "Darah.... Darah siapa ini" Jangan-jangan Putri Tunjung Kuning mengalami hal
yang tidak-tidak...,"
merasa khawatir dengan keadaan Putri Tunjung Kun-
ing, Pendekar Mata Keranjang 108 memperhatikan
dengan seksama setiap sudut ruangan bahkan tak ja-
rang tangannya memukul-mukul tembok ruangan ta-
kut jika tembok itu memiliki ruangan rahasia.
Namun hingga lama memperhatikan dan me-
nyelidik Pendekar Mata Keranjang 108 tidak menemu-
kan apa-apa. "Keparat! Ke mana sekarang aku harus menca-
rinya..." Hmm.... Bagaimana kalau sekarang aku mela-cak jejak Ratu Sekar Langit
yang dibawa Bawuk Raga
Ginting..." Tapi aku juga tak tahu di mana dia bertempat tinggal. Ah, benar-
benar sial aku!" seraya terus bergumam menggerutu panjang pendek, Pendekar 108
melangkah keluar dari dalam bangunan, dan berkele-
bat pergi ke arah mana tadi dia datang.
*** Sementara itu di sebuah ruangan bawah tanah,
di bawah bangunan tempat tinggal Restu Canggir Ru-
mekso terlihat sesuatu pemandangan aneh. Seorang
anak laki-laki berusia dua tahun sedang menggelan-
tung terbalik dengan kedua pergelangan kaki terikat jadi satu. Ikatan tali itu
menjulur ke atas dan ditalikan pada sebuah tiang yang terdiri dari ranting
kecil. Hebatnya ranting itu tidak patah ataupun bergerak-
gerak, padahal anak yang menggelantung itu sesekali tubuhnya bergoyang-goyang,
bahkan tak jarang berputar-putar.
Meski anak ini baru berusia sepuluh hari tetapi
besarnya sama seperti anak berusia dua tahun. Ram-
butnya amat tebal dan panjang, hingga saat mengge-
lantung begitu, wajahnya menjadi tak terlihat jelas.
Hanya dari sela-sela rambutnya yang menjuntai pan-
jang itu terlihat sepasang mata yang berkilat-kilat.
Di depan anak yang menggelantung terbalik,
tampak seorang laki-laki tua sedang duduk bersila. Dia mengenakan jubah hitam
agak kusam. Rambutnya
panjang hingga punggung, hanya saja rambut itu tum-
buh mulai dari bagian belakang kepala. Sementara kepala bagian samping dan atas
tak ditumbuhi rambut
sama sekali. "He... he... he.... Bagus, bagus!" terdengar nada suara memuji dari laki-laki
yang duduk bersila yang bukan lain adalah Restu Canggir Rumekso, begitu melihat
anak kecil di hadapannya bergerak-gerak seperti yang dia perintahkan.
"Seandainya waktunya telah tiba, tamu kita ta-
di yang tidak kita undang kedatangannya pasti sudah merasakan bagaimana
kedahsyatan mu. Ha... ha...
ha.... Namun aku tidak kecewa, suatu saat kelak kita pasti akan dipertemukan
lagi dengan manusia berju-
luk Pendekar Mata Keranjang 108 itu, dan kita akan
mendapatkan apa yang kita inginkan...," kata Restu Canggir Rumekso seperti
berkata pada dirinya sendiri.
Lantas laki-laki ini menggerakkan tangan ka-
nannya menyentak ke atas, ke arah ikatan yang ada di ranting. Tasss!
Tali pengikat di ranting putus tanpa menimbul-
kan bunyi. Anehnya anak laki-laki yang menggelan-
tung itu tidak jatuh, tubuhnya tetap terbalik dengan ujung pergelangan kaki
terikat jadi satu.
"Hmm.... Ilmu peringan tubuhmu rupanya telah
benar-benar tinggi.... Aku tak salah memilihmu.... Kau benar-benar anak ajaib!"
Ternyata tubuh anak kecil itu tak jatuh karena
tubuhnya ditopang oleh untaian rambutnya yang men-
julur ke bawah menyentuh tanah. Bahkan rambut itu
ujung-ujungnya hanya sedikit menyentuh tanah!
Tidak berselang lama, tanpa didahului bicara
atau bentakan, Restu Canggir Rumekso sentakan
kembali kedua tangannya ke arah rambut anak kecil
yang tampak kaku menopang tubuhnya.
Wesss! Sulit dipercaya, begitu serangkum angin deras
menyambar dari kedua tangan Restu Canggir Rumek-
so, anak kecil ini bergerak cepat membuat putaran sa-tu kali di udara dan
akhirnya berdiri dengan kedua
tangan sedekap di depan dada. Hingga sambaran an-
gin deras itu menghajar tempat kosong.
Begitu berdiri kedua tangan anak kecil ini me-
rapikan rambutnya yang rupanya menghalangi pan-
dangannya, hingga kini tampak jelas raut wajahnya.
Ternyata raut wajah anak laki-laki ini tampan dan
mungil, sama seperti anak-anak berusia sebaya den-
gannya. Hanya saja sepasang matanya terlihat berki-
lat-kilat beringas, sementara bibirnya tak henti-
hentinya mengeluarkan seringaian, serta tubuhnya telah tampak berotot!
Anak laki-laki ini yang bukan lain adalah anak
Putri Tunjung Kuning memang lahir dan tumbuh se-
perti yang diharapkan dan diyakini Restu Canggir Rumekso. Begitu lahir,
perkembangan anak ini begitu pe-sat. Dalam sepuluh hari perkembangan badannya
su- dah menyerupai anak berusia dus tahun.
Dan yang lebih membuat Restu Canggir Ru-
mekso bertambah girang, ternyata kecerdasan anak ini sungguh luar biasa. Dia
dapat segera menangkap apa
yang diajarkan dengan hanya melihat sepintas lalu.
Dan di lain pihak ternyata tubuh anak ini tahan terhadap pukulan dan tak
mengeluarkan darah meski kulit
tubuhnya robek!
"Hmm.... Dua puluh hari lagi usiamu akan ge-
nap satu purnama. Aku sebenarnya sudah tak sabar
menanti hari. Aku ingin rasanya segera memasukkan
tenaga sakti ke dalam tubuhmu, namun karena tu-
buhmu tidak boleh tersentuh tangan manusia sebelum
usiamu genap satu purnama, maka aku harus bersa-
bar...." Restu Canggir Rumekso lantas melirik pada anak laki-laki yang berdiri
tak jauh dari hadapannya.
Dan serta merta laki-laki tua ini sentakkan kedua tangannya ke arah sang anak.
Wesss! Wesss! Dua rangkum angin menggemuruh yang ber-
hawa panas melesat menerjang ke depan mengarah
pada anak kecil.
Melihat serangan, anak kecil ini keluarkan se-
ringai ganas, namun dia tak berusaha untuk bergerak
menghindar. Hingga tanpa ampun lagi serangan Restu
Canggir Rumekso menghantam telak tubuhnya. Na-
mun, seakan janggal, pukulan yang dilancarkan Restu Canggir Rumekso yang mampu
menumbangkan beberapa tokoh pada zamannya itu hanya mampu mem-
buat anak kecil ini bergoyang sedikit! Dan sesaat kemudian telah tegak kokoh
kembali. "Bagus.... Bagus...," ujar Restu Canggir Rumekso seraya memberi isyarat pada
sang anak untuk balik menyerangnya. Hingga tak lama kemudian di ruang
bawah tanah itu terjadilah pertukaran jurus yang
mengakibatkan ruang itu porak poranda.
Demikianlah hari-hari terus dipergunakan oleh
Restu Canggir Rumekso untuk mendidik sang anak
dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya.
ENAM DUA puluh hari kemudian.... Di lereng Gunung
Mahameru tampak dua bayangan berkelebat cepat me-


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewati sela-sela pohon yang berjajar rapat tak beraturan. Dan hanya sekejap saja
dua bayangan ini telah
sampai di kaki gunung. Lalu sepertinya sedang mengejar sesuatu, dua sosok
bayangan ini terus berkelebat ke arah barat.
Dan memang benar, begitu kedua bayangan ini
sampai pada sebuah hutan lebat, mereka menghenti-
kan gerakannya. Kedua bayangan ini ternyata adalah
seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan pakaian jubah warna putih. Di
atas kepalanya terlihat caping dari daun pandan lebar, membuat wajahnya tidak
begitu jelas. Sementara satunya lagi adalah seorang anak kira-kira berusia tujuh
tahun. Namun meski begitu tubuh anak ini tampak te-
gap dan berotot, dan yang lebih dari itu sepasang matanya berkilat-kilat dengan
bibir terus menerus menyeringai. Dua orang yang bukan lain adalah Restu Canggir
Rumekso dan anak muridnya ini tampak berdiri
dengan memandang lurus ke arah depan, di mana ter-
lihat sebuah belokan.
"Saatnya kita menggegerkan rimba persilatan!"
ujar Restu Canggir Rumekso dengan melirik pada anak yang berdiri di sampingnya.
Sang anak yang diajak bicara diam tak menya-
hut. Hanya sepasang matanya balas melirik tanpa
memalingkan wajah.
Restu Canggir Rumekso tersenyum rawan, da-
lam hati dia berkata.
"Hmm.... Harapanku menjadi anak ini tak
punya perasaan dengan tidak memberinya air susu ibu serta sentuhan tangan,
rupanya berhasil. Dengan demikian anak ini tak segan-segan melakukan tindakan
apa saja tanpa mempedulikan batas-batas...," orang tua ini lantas berucap seraya
matanya memandang lurus ke arah belokan yang agak jauh di depannya.
"Abilowo!" panggil Restu Canggir Rumekso pada sang anak. "Korban pertama mu akan
segera datang! Habisi mereka!"
Belum selesai Restu Canggir Rumekso berkata,
dari arah belokan muncul dua orang penunggang ku-
da. Kedua penunggang kuda ini serta merta menghen-
tikan kuda tunggangan masing-masing tatkala mereka
mengetahui dua orang sedang berdiri pada jalan yang hendak mereka lalui dengan
sikap menghadang.
Seraya menadangkan tangan masing-masing di
depan kening menangkis silaunya matahari, kedua pe-
nunggang kuda ini memandang ke depan dengan me-
nyipit dan membelalak. Keduanya lantas saling ber-
pandangan satu sama lain.
"Tampaknya ada tikus tua dan muda yang sen-
gaja menghadang perjalanan kita!" kata penunggang kuda sebelah kanan. "Sudah
beberapa hari ini memang tanganku gatal-gatal, rupanya ada orang yang
ingin diantar tanganku pergi ke liang kubur!"
Penunggang kuda yang sebelah kiri tak me-
nyambuti ucapan temannya, sebaliknya sepasang ma-
tanya menatap tajam pada dua orang penghadang di
depannya dengan tak kesiap.
"Kau kenal dengan manusia bercaping lebar
berjubah kusam itu...?" tanya penunggang kuda sebelah kiri ini tanpa berpaling
pada temannya. "Untuk mengirim orang ke neraka kita tak perlu tahu siapa mereka!" sahut
penunggang kuda sebelah kanan seraya kepalkan kedua tangannya dan dipertemukan
menjadi satu di depan dada.
Penunggang kuda sebelah kiri tertawa bergelak-
gelak. "Ucapanmu benar. Tapi tak ada salahnya jika kali ini kita tanya dahulu
siapa mereka. Karena sepertinya aku mengenali tikus yang tua!"
Penunggang sebelah kanan berpaling meman-
dang pada temannya. Lalu beralih pada orang yang
mengenakan caping lebar di hadapannya.
"Memakai caping lebar, rambut panjang, berju-
bah putih kusam.... Hmm...," dahi penunggang kuda sebelah kanan ini mengerut.
Matanya menyipit. Dan
setelah memperhatikan sekali lagi, penunggang kuda ini serta merta tersenyum
sinis. "Keparat ini rupanya belum tewas ketika kita hajar di kotaraja beberapa
puluh tahun yang lalu. Restu Canggir Rumekso! Seorang tokoh sesat segolongan
kita yang sangat licik dan pen-
gecut!" kata penunggang sebelah kanan perlahan, namun masih bisa ditangkap oleh
temannya. "Betul, dia memang Restu Canggir Rumekso.
Manusia yang pernah kita pecundangi beberapa puluh
tahun yang lalu...," sahut penunggang kuda sebelah kiri sambil alihkan
pandangannya pada anak kecil di samping Restu Canggir Rumekso. "Yang kecil itu
kau mengenalnya...?"
"Tidak!" jawab penunggang kuda sebelah kanan. "Kita harus cepat sampai di
kotaraja. Berarti siapa pun orang yang menghadang kita, harus segera kita
selesaikan!"
Kedua penunggang ini sejenak saling berpan-
dangan, lalu seperti dikomando keduanya meneruskan
langkah. Baru kuda masing-masing bergerak melang-
kah, Restu Canggir Rumekso berteriak lantang.
"Resi Rangrang Geni, Resi Jala Sukma! Kema-
tian kalian sudah digariskan berada di hadapanku!"
Restu Canggir Rumekso lantas berpaling pada anak
kecil di sampingnya yang tadi dipanggil Abilowo.
"Habisi mereka"
Begitu suara perintah Restu Canggir Rumekso
lenyap, Abilowo segera merentangkan kedua tangan-
nya ke samping. Lalu dengan tersenyum menyeringai
dihantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuuut! Wuuut! Dua rangkum angin deras laksana gelombang
amat dahsyat menggebrak ke arah dua penunggang
kuda di hadapannya yang tadi disebut Restu Canggir
Rumekso dengan nama Resi Rangrang Geni dan Resi
Jala Sukma. Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma sa-
ma-sama berseru keras dan dengan menahan rasa ter-
kejut dalam diri masing-masing mereka segera melom-
pat melayang dari kuda masing-masing selamatkan di-
ri. Kuda tunggangan mereka kaget dan segera pula melompat ke depan. Namun tak
urung bagian pantat ku-
da itu tersambar angin pukulan jarak jauh Abilowo,
membuat kedua binatang itu terbanting dan roboh di
atas tanah. Namun karena binatang malang itu tadi
masih sempat melompat, membuat badannya selamat
dari hantaman telak, hingga tak berapa lama kemu-
dian, kedua binatang malang itu bangkit dengan ter-
huyung-huyung sebelum akhirnya keluarkan ringki-
han keras dan menghambur kencang masuk ke dalam
hutan. Sunyi sejenak. Lalu tak berapa lama kemudian terdengar kekehan tawa keras
dan panjang keluar dari mulut Restu Canggir Rumekso.
"Rangrang Geni. Aku hampir tak percaya den-
gan anak itu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Resi Jala Sukma. Resi Jala Sukma
adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Dia mengenakan pakaian dari kain sutera
yang diselempangkan menyilang di bahu kirinya, sementara tubuh kanannya terbuka.
Kepalanya besar
dan tak ditumbuhi rambut sama sekali. Sedangkan
temannya Resi Rangrang Geni, adalah juga seorang la-ki-laki, usianya tak jauh
beda dengan Resi Jala Suk-ma, yang membedakan antara kedua orang ini adalah
warna pakaian yang dikenakannya. Resi Jala Sukma
memakai pakaian warna merah, sedangkan Resi Ran-
grang Geni warna biru gelap.
Konon, kedua resi ini adalah orang-orang pan-
dai besi yang terkenal. Hingga keduanya dipanggil oleh raja di kawasan barat
untuk dijadikan resi-resi kerajaan. Namun tatkala diketahui selain pandai besi
juga berilmu tinggi, pada akhirnya sang raja menjadikan
kedua orang ini sebagai penasihatnya. Dan nama ke-
dua orang ini semakin disegani ketika keduanya berhasil menumpas pemberontak
yang salah satu pimpi-
nannya adalah seorang yang waktu itu sangat ditakuti yaitu Restu Canggir
Rumekso. Namun dalam perjalanan selanjutnya, kedua
orang itu tampaknya terpengaruh dengan lingkungan.
Sikap dan perbuatan kedua orang ini sedikit demi sedikit berubah. Malah mereka
bersahabat dengan to-
koh-tokoh golongan hitam. Hingga pada akhirnya ke-
dua orang ini menjadi lain. Keduanya menjadi beringas dan tak segan-segan
menjatuhkan tangan pada siapa
saja! "Persetan dengan tikus cilik itu siapa lagi! Lagi pula apa yang kita
takutkan"!" berkata Resi Rangrang Geni lalu berkelebat dan tahu-tahu telah
berdiri lima langkah di hadapan Restu Canggir Rumekso dan Abilowo. Sementara itu
Resi Jala Sukma tak tinggal diam.
Dia pun ikut berkelebat dan berdiri menjajari sahabatnya. "Tak perlu ku
ingatkan. Kalian mestinya telah tahu masalah di antara kita beberapa puluh tahun
silam. Nakh, sekarang sebelum menghadapi aku, akan
ku coba kehebatan kalian dengan muridku ini!" lantas Restu Canggir Rumekso
melirik pada Abilowo dan berkata singkat.
"Habisi mereka!"
Tanpa berbicara, Abilowo langsung melompat
ke depan dan serta merta kirimkan serangan dengan
hantaman kedua tangannya ke arah kepala Resi Ran-
grang Geni dan Resi Jala Sukma.
Kedua orang yang diserang, tahu kalau hanta-
man tangan anak kecil itu bukan sembarang hanta-
man, maka mereka berdua segera rundukkan kepala
masing-masing. Hingga hantaman tangan Abilowo me-
nerpa tempat kosong sejengkal di atas kepala Resi
Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma.
Namun tak urung kedua orang ini dibuat terpe-
rangah. Meski hantaman kedua tangan Abilowo tak
mengenai sasaran, tapi bias sambarannya mampu
membuat kedua resi ini terhuyung-huyung dan un-
durkan kaki masing-masing ke belakang satu tindak.
Mendapati hantaman tangannya tak mengenai
sasaran, Abilowo keluarkan dengusan keras. Bibirnya menyeringai dengan tatapan
berkilat-kilat marah.
Dan sepertinya ingin segera menghabisi lawan,
Abilowo lantas kembali maju dan dengan bentakan ke-
ras kaki kanannya dia sapukan berputar dari kiri ke kanan. Yang dituju kali ini
adalah Resi Jala Sukma.
Wesss! Merasa penasaran, kali ini Resi Jala Sukma ti-
dak lagi menghindar. Dengan tegakkan kembali tu-
buhnya, resi ini sambut sapuan kaki Abilowo dengan
hujamkan tangan kanannya.
Prakkk! Terdengar benturan hebat ketika tangan sang
resi menyambut kaki Abilowo. Sang resi terkejut bukan alang kepalang. Raut
wajahnya meringis menahan sakit di pergelangan tangan. Sementara tubuhnya
terdorong dua langkah ke belakang.
Melihat sahabatnya bisa dibuat terdorong dan
meringis menahan sakit, Resi Rangrang Geni melompat ke depan, memanfaatkan
situasi karena dilihatnya
sang anak hendak tarik kakinya yang baru saja ben-
trok dengan tangan Resi Jala Sukma.
Sambil melompat, Resi Rangrang Gent lu-
ruskan sepasang tangannya menjurus pada dada Ab-
ilowo. Seeett! Namun Resi Rangrang Geni terkesima. Seran-
gannya yang begitu cepat dan pernah merontokkan
beberapa tokoh itu hanya menyambar angin di sebelah kanan sang anak. Malah
tatkala serangannya lolos,
dan belum sempat bergerak hendak melancarkan se-
rangan susulan, Abilowo telah lentingkan tubuhnya ke udara setinggi setengah
tombak, dan dengan gerakan
yang sukar diikuti pandangan mata biasa, Abilowo
menukik deras dengan kaki lurus. Dan tahu-tahu se-
pasang kaki anak ini telah menjepit leher Resi Ran-
grang Geni. Seraya meraung keras Resi Rangrang Geni pu-
tar-putar tubuhnya. Anehnya tubuh Abilowo bukannya
jatuh terhumbalang, malah sang resi merasakan le-
hernya hendak copot. Hingga dia menghentikan puta-
ran tubuhnya dan dengan sentakan keras kedua tan-
gannya dia hempaskan ke atas menepis kedua kaki
sang anak. Namun sebelum tangan Resi Rangrang Ge-
ni menepis, Abilowo telah sentakkan tubuhnya ke
samping dengan keras seraya melompat. Akibatnya tu-
buh Resi Rangrang Geni terbanting deras menghujam
tanah! Sementara di lain pihak, Abilowo mendarat
dengan kaki kokoh.
Abilowo tampak melangkah perlahan mendekat,
membuat Resi Rangrang Geni yang masih berusaha
bangkit terkejut apalagi ketika dilihatnya sepasang ma-ta lawan berkilat-kilat
merah. Resi ini lantas berpaling cepat pada sahabatnya seakan minta pertolongan.
Mengerti isyarat bahaya mengancam sahabat-
nya, Resi Jala Sukma segera takupkan kedua tangan-
nya di depan dada. Lantas sesaat kemudian kedua
tangan itu dihantamkan ke depan, ke arah Abilowo
yang kini semakin dekat dengan tempat Resi Rangrang Geni.
Serangan angin deras bersuara menggeledek
yang disertai kilatan-kilatan menyilaukan segera keluar menyambar ke arah
Abilowo. Mendapat serangan berbahaya, Abilowo tam-
paknya tidak berusaha untuk menghindar. Malah dia
menghentikan langkah seakan hendak menyongsong
serangan dengan tubuhnya.
Benar saja, Abilowo memang tak berusaha
mengelak apalagi menangkis. Dia diam tak bergeming
menyongsong serangan Resi Jala Sukma.
Hingga tanpa ampun lagi hantaman tangan Re-
si Jala Sukma menghajar tubuh Abilowo.
Desss! Ketika pukulan Resi Jala Sukma menghajar tu-
buh Abilowo, asap hitam segera melingkupi tempat di sekitar Abilowo. Hal ini
bisa dimengerti, karena saat itu Resi Jala Sukma melancarkan pukulan 'Sukma
Hitam'. Sebuah pukulan sakti yang akan mengeluarkan asap
hitam jika mengena sasaran, dan setelah itu orang
yang terbungkus asap hitam akan melayang dan me-
nyuruk tanah dengan tubuh hangus dan nyawa le-
nyap! Begitu tahu pukulannya menghajar lawan, dan
asap hitam sudah membungkus tubuh lawan, Resi Ja-
la Sukma tertawa terkekeh-kekeh. Dia sudah bisa
membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun kekehan tawa Resi Jala Sukma terpu-


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tus tiba-tiba. Malah kedua kakinya kini mundur dua
tindak ke belakang. Sepasang mata Abilowo meman-
dang tak kesiap.
Apa yang dibayangkan Resi Jala Sukma ternya-
ta keliru. Abilowo yang baru saja terhantam serangan
'Sukma Hitam' tetap kokoh berdiri. Pakaian yang dikenakannya pun tak hangus sama
sekali. Malah sepa-
sang matanya menyengat tajam berganti pada Resi Ja-
la Sukma dan Resi Rangrang Geni.
"Ha... ha... ha...! Rangrang Geni, Jala Sukma.
Kemampuan kalian ternyata tidak ada kemajuannya.
Kalian menghadapi anak didik ku saja sudah morat-
marit. Jadi terimalah kematian kalian hari ini dengan lapang dada! Ha... ha...
ha...!" kata Restu Canggir Rumekso dengan tertawa gelak-gelak, hingga air
matanya keluar. Meski dalam hati masing-masing resi ini diam-diam kecut, namun
karena mereka sudah pernah ma-
lang melintang berpuluh tahun dalam rimba persila-
tan, membuat mereka tidak begitu saja mudah menye-
rah kalah. Malah keduanya kini segera melompat agak menjauh dan berdiri
berjajar. "Aku tak habis pikir anak apa ini. Pukulanku
tidak ada apa-apanya ketika menghajar dirinya...!" ka-ta Resi Jala Sukma tanpa
menoleh. "Aku pun heran. Dari mana bang sat itu mem-
peroleh murid demikian hebat?" tanya Resi Rangrang Geni dengan pandangan
menyorot pada Abilowo yang
kini melangkah mendekati tempat mereka.
"Kita coba menyerang bersama-sama!" kata Resi Jala Sukma. Resi Rangrang Geni
mengangguk perlahan. Lantas kedua orang ini sama-sama keluarkan
bentakan dahsyat. Dan bersamaan dengan itu, kedua
orang ini dorong tangannya masing-masing ke depan.
Larikan-larikan sinar berkilau berhawa panas
segera bersiutan menggebrak ke arah Abilowo. Namun
kali ini pun Abilowo tak juga berusaha berkelit. Dia tetap melangkah seakan tak
ada serangan yang menuju
ke arahnya. Hingga tanpa ampun lagi hantaman tan-
gannya yang telah dialiri tenaga dalam tinggi dari Resi Rangrang Geni dan Resi
Jala Sukma itu menghujam
telak ke tubuh Abilowo.
Sebenarnya Restu Canggir Rumekso khawatir
juga melihat Abilowo tak berusaha mengelak. Karena
dia tahu, bahwa jika serangan kedua orang ini telah menyatu, sukar orang bisa
selamat. Dia yang pernah
dipecundangi kedua resi ini pada beberapa puluh tahun yang lalu pernah merasakan
hal itu, untung saja waktu itu Restu Canggir Rumekso telah menguasai il-mu
pengobatan, jika tidak nyawanya mungkin sudah
amblas waktu itu.
Namun untuk meyakinkan kedigdayaan murid-
nya, akhirnya Restu Canggir Rumekso tak hendak
memperingati muridnya untuk menghindar. Dia hanya
melihat, meski dalam hati dicekam perasaan khawatir.
Di lain pihak, Abilowo yang terhantam serangan
kedua orang resi mendengus keras. Tubuhnya ter-
humbalang satu tombak ke belakang dan roboh meng-
hantam tanah. Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma kelu-
arkan tawa pendek. Kepuasan nyata jelas meraupi raut wajah mereka. Sementara
Restu Canggir Rumekso ter-belalak kaget.
Namun semua itu hanya sesaat. Tak lama ke-
mudian, ganti Restu Canggir Rumekso yang tertawa
dengan mata mengejek, sementara kedua orang resi itu putus tawa masing-masing
berganti dengan belalakkan mata tak percaya.
Abilowo tanpa mengeluarkan keluhan, bangkit.
Tubuhnya tak mengalami cedera sama sekali dan tak
setetes darah pun yang mengalir.
"Jala Sukma. Kita rupanya tak mampu meng-
hadapi anak gila ini. Lebih baik kita segera kabur tinggalkan tempat ini!" kata
Resi Rangrang Geni seraya memperhatikan anak yang kini mulai melangkah kem-
bali ke arahnya.
"Betul. Kita harus segera meloloskan diri. Dan untuk memecahkan perhatiannya,
kau ke sebelah se-latan, aku ke sebelah utara...," jawab Resi Jala Sukma seraya
melirik keadaan sekeliling.
Habis berkata, Resi Jala Sukma segera ancang-
ancang hendak berkelebat, demikian juga Resi Ran-
grang Geni. Namun naluri sang anak rupanya tahu.
Sebelum kedua orang ini berkelebat melarikan diri, Abilowo telah jejakkan
sepasang kakinya. Tubuhnya me-
luncur deras ke depan, dan berdiri di tengah-tengah dua resi ini, dan belum
sempat kedua resi berbuat sesuatu, Abilowo telah melesatkan dirinya ke atas
dengan kedua kaki dipentangkan ke samping kiri dan ka-
nan, menghantam iga kanan Resi Ranggang Geni dan
iga kiri Resi Jala Sukma.
Kedua orang ini masih berusaha menangkis,
namun gerakan tangan menangkis mereka terlambat.
Hingga saat itu juga terdengar raungan keras bersahutan.
Tubuh Resi Rangrang Geni terbanting ke kiri
sedangkan Resi Jala Sukma terbanting ke kanan. Dan
belum sempat kedua orang ini merambat bangkit, Ab-
ilowo telah banting-bantingkan kedua kakinya ke atas tanah. Bumm! Bummm! Bummm!
Tanah di hutan itu laksana didera gempa dah-
syat, hingga membuat tanahnya rengkah-rengkah
bahkan tak jarang yang terbongkar. Bersamaan itu,
Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma berubah
tampang masing-masing menjadi pucat pasi, karena
tanah di bawahnya terasa bergerak hebat membelah.
Mereka berdua berusaha mengerahkan tenaga dalam
untuk segera bangkit dan menghentikan gerak tubuh-
nya yang sedikit demi sedikit bagai tersedot masuk ke dalam tanah yang semakin
menganga di bawah tubuh
masing-masing. Namun usaha mereka tampaknya sia-sia bela-
ka. Karena Abilowo menambah tenaga dalamnya pada
kedua kaki yang terus menerus dibanting-bantingkan.
Hingga tak lama kemudian kedua resi ini menjerit keras bersamaan dengan masuknya
tubuh keduanya ke
dalam tanah. Melihat kedua lawan telah masuk ke dalam ta-
nah, Abilowo menghentikan bantingan kakinya. Den-
gan mata tetap nyalang beringas, dia dorongkan kedua tangannya ke tanah rengkah
tempat kedua resi masuk.
Tanah rengkah itu mendadak laksana didorong
kekuatan dahsyat dan perlahan-lahan bergerak menu-
tup! Terdengar beberapa umpatan dan raungan ke-
ras bersahutan, makin lama makin lemah sebelum ak-
hirnya lenyap dengan menutupnya tanah tempat ke-
dua resi masuk dan hanya menyisakan empat perge-
langan tangan yang tampak kaku di atas tanah!
"Ha... ha... ha... Bagus.... Bagus...," kata Restu Canggir Rumekso sambil
melangkah mendekati Abilowo. Diusapnya kepala anak itu, dan disibakkan ram-
butnya yang menghalangi pandangannya. Lalu dengan
tersenyum lebar dia berkata.
"Abilowo, kita teruskan perjalanan ini. Namamu dan namaku akan segera ditakuti
bahkan oleh setan
sekalipun. Ha... ha... ha...!"
Seakan mengerti perkataan orang di samping-
nya, Abilowo mengangguk perlahan. Lantas keduanya
pun melangkah perlahan meninggalkan tempat itu
dengan tawa tetap terdengar keluar dari mulut Restu Canggir Rumekso.
TUJUH SEORANG pemuda tampan mengenakan pa-
kaian hijau yang dilapis dengan baju dalam lengan
panjang warna kuning, dan bukan lain adalah Aji Sa-
putra alias Pendekar Mata Keranjang 108, terlihat melangkah hendak memasuki
sebuah dusun yang tak
jauh di depannya.
"Sudah dua puluh hari menyelidik dan tanya ke
sana kemari, namun aku belum juga mendapatkan
kepastian di mana beradanya Restu Canggir Rumekso
serta Putri Tunjung Kuning.... Hmm.... Ke mana lagi aku harus mencari...?"
membatin murid Wong Agung ini seraya terus melangkah perlahan.
Selagi Pendekar Mata Keranjang. 108 batinnya
disarati dengan berbagai hal yang belum bisa dipecah-kannya, dari arah belakang
dia mendengar derap la-
dam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya.
"Aku masih punya urusan yang belum selesai.
Menilik derap langkahnya, yang datang dari belakang ini adalah beberapa orang.
Lebih baik aku menyingkir dulu, daripada ada masalah lagi...."
Berpikir begitu, Aji segera berkelebat masuk ke
balik semak belukar, dan mengendap-endap memper-
hatikan siapa gerangan yang datang.
"Hmm.... Melihat pakaian seragam yang mereka
kenakan, mereka adalah pasukan kerajaan...," duga Pendekar Mata Keranjang 108
begitu rombongan berkuda melintas di dekat tempatnya sembunyi. Rombon-
gan berkuda ini ternyata terdiri dari delapan orang, semuanya mengenakan pakaian
seragam kerajaan.
Hanya satu orang di antaranya yang mengenakan pa-
kaian lain. Dia berada paling belakang. Dia adalah seo-
rang laki-laki bertubuh kurus dan tinggi luar biasa.
Raut wajahnya hampir tak jelas kelihatan, karena wajah laki-laki dipenuhi dengan
jambang dan kumis le-
bat. Sepasang matanya sipit. Hidungnya kecil tetapi bibirnya begitu tebal dan
lebar. Kepalanya tak ditumbuhi rambut sama sekali.
Pendekar Mata Keranjang 108 dongakkan kepa-
la, memandang langit seraya coba menduga-duga siapa adanya laki-laki berpakaian
dan bertampang lain dari rombongan berkuda.
"Tubuh tinggi kurus, rambut tak ada sama se-
kali di kepalanya, bibir tebal dan lebar, Hmm.... Aku tak bisa mengenalinya,
tapi melihat mereka berbon-dong-bondong dan tergesa-gesa, pasti ada sesuatu
yang penting. Namun ah, peduli apa dengan mereka....
Aku tak ada urusan dengan pasukan kerajaan...."
Setelah rombongan lewat, Aji segera keluar dari
tempat persembunyiannya. Memandangi rombongan
yang terus berpacu memasuki dusun.
"Derap langkah mereka tampaknya lenyap.
Hmm.... Barangkali mereka singgah di kedai. Aku se-
benarnya juga sudah lapar, namun tak enak rasanya
makan bersama-sama dengan pasukan kerajaan. Lebih
baik aku mencari sumber air, sambil menunggu rom-
bongan tadi meninggalkan kedai...," Pendekar Mata Keranjang 108 lantas putar
tubuhnya, melangkah ke se-
buah danau berair jernih yang tak jauh dari tempatnya bersembunyi tadi.
Sementara itu, dugaan Pendekar Mata Keran-
jang 108 benar adanya. Rombongan berkuda ini ber-
henti di sebuah kedai besar yang berhalaman luas. Setelah menambatkan kuda
masing-masing, rombongan
ini satu persatu memasuki kedai.
Melihat siapa yang datang, pemilik kedai segera
memberi isyarat pada para pelayan untuk segera me-
nyambut. Para pengunjung kedai yang saat itu ramai
segera menyelesaikan makanannya masing-masing
dan keluar satu persatu dengan bersungut-sungut.
Melihat sikap para pengunjung kedai, kesepu-
luh orang berseragam kerajaan saling pandang satu
sama lain. Lalu meledaklah tawa mereka, keras dan
panjang bersahut-sahutan.
"Apa tampang kita mirip hantu pocong hingga
orang-orang tadi sampai lari ketakutan. He...?" kata salah seorang sambil
menyeret kursi kayu dan meng-hempaskan tubuhnya hingga kursi itu berderak-derak.
"He pelayan, sediakan untuk kami makanan
dan minuman. Cepat!" kata salah seorang lainnya pada dua orang pelayan yang
datang hendak menyambut.
"Untukku sediakan satu bumbung besar arak
murni!" seru laki-laki yang duduk sendirian dan berpakaian serta bertampang lain
itu. Meski dia berpa-
kaian lain, namun tampaknya dia adalah pimpinan
rombongan, terbukti ketika dia angkat bicara ke delapan orang berseragam itu
serta merta menghentikan
tawa masing-masing.
Ketika beberapa pelayan sibuk menyiapkan
makanan dan minuman serta membersihkan meja,
terdengar seseorang berkata dari ambang pintu kedai.
"Kami juga perlu makan dan minum. Sediakan
seperti pesanan tamu-tamu agung ini!"
Ke delapan orang berseragam, yang ternyata
adalah pasukan prajurit kerajaan sama-sama paling-
kan kepala masing-masing ke arah pintu. Hanya laki-
laki yang duduk sendirian tak memandang, malah dia
memandang ke jurusan lain.
Ke delapan prajurit melihat dua orang melang-
kah masuk kedai, lalu tanpa memandang kedua orang
ini memilih duduk agak menjauh. Yang satu adalah
seorang laki-laki mengenakan caping lebar. Sementara satunya adalah seorang anak
yang bertubuh seperti
anak tujuh tahun. Berbadan tegap dan bermata tajam.
Laki-laki yang duduk sendirian dan menjadi
pimpinan rombongan melirikkan sepasang matanya.
Dari nada bicara dan sikap, laki-laki ini segera menangkap gelagat buruk pada
kedua orang yang baru
masuk, yang bukan lain adalah Restu Canggir Rumek-
so dan Abilowo. Namun laki-laki berjambang dan ber-
kumis lebat serta bertubuh tinggi kurus ini menam-
pakkan sikap tenang.
"Rasa-rasanya aku mengenal siapa laki-laki
bercaping itu...," membatin laki-laki tinggi kurus sambil mendehem beberapa
kali. Dia lantas mendongak
sambil berpikir terus mengingat-ingat.
"Benar! Aku ingat. Dia pasti manusia bernama
Restu Canggir Rumekso bekas pimpinan pemberontak
yang berhasil ditumpas oleh Kakang Resi Rangrang
Geni dan Kakang Resi Jala Sukma pada beberapa pu-
luh tahun silam. Hmm.... Kukira anak yang bersa-
manya..." Aku tak bisa mengenalinya. Ada apa dia
muncul kembali..." Ingin melakukan makar lagi?" laki-laki tinggi kurus batinnya
disemaki beberapa dugaan.
"Kakang Resi Rangrang Geni dan Kakang Resi Jala Sukma, seharusnya mereka berdua
kemarin telah sampai di kotaraja. Hingga tak merepotkan aku untuk menyusulnya.... Apa mereka
dapat halangan di jalan?"
"Abilowo! Puaskan minum mu kali ini, karena
minuman itu adalah minuman terakhir yang kau rasa-


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan!" tiba-tiba Restu Canggir Rumekso berkata.
Nadanya memang ditujukan pada anak yang
duduk di hadapannya, namun wajah dan matanya lu-
rus menatap pada laki-laki tinggi kurus.
Laki-laki tinggi kurus tersentak kaget. Dia sege-
ra palingkan wajah. Hingga untuk beberapa saat la-
manya terjadi bentrok pandangan antara Restu Cang-
gir Rumekso dan laki-laki tinggi kurus.
Laki-laki tinggi kurus tersenyum sinis. Lantas
menyapukan pandangan pada prajurit, dan berkata.
"Prajurit! Hari ini kalian akan mendapatkan
hadiah besar. Domba yang berpuluh tahun menjadi
buruan kita, sedang siap menyerahkan nyawanya!"
Para prajurit yang tak mengerti maksud kata-
kata laki-laki tinggi kurus hanya saling pandang satu sama lain. Lantas
menyantap hidangan yang kini telah dihidangkan di meja mereka.
"Abilowo!" kata Restu Canggir Rumekso dengan suara keras, hingga semua orang
yang ada di dalam
kedai mendengar. "Delapan kecoak itu sudah terlalu kenyang makan enak. Jangan
sampai makanan kedai
ini masuk seluruhnya dalam perut mereka. Sisakan
makanannya untuk anjing-anjing jalanan yang lebih
terhormat dari kecoa-kecoa itu!"
Sekonyong-konyong ke delapan kepala prajurit
melengak dan menoleh pada Restu Canggir Rumekso
dan Abilowo. Mata-mata mereka menyengat tajam
memandang silih berganti pada dua orang ini. Dua
orang di antaranya tampak berdiri dan dengan langkah lebar keduanya mendekati
meja Restu Canggir Rumekso.
"Orang tua! Buka matamu lebar-lebar. Kau ta-
hu sedang berhadapan dengan siapa saat ini, he..."!"
kata salah seorang sambil siap cabut golok dari selipan bajunya.
Restu Canggir Rumekso tertawa gelak-gelak
mendengar ucapan prajurit. "Sedang berhadapan dengan siapa?" ulang Restu Canggir
Rumekso disela ta-
wanya. "Apa kau tadi tidak dengar ucapanku. Dengar baik-baik. Aku berhadapan
dengan manusia-manusia
yang lebih hina dari anjing jalanan!"
"Keparat!" bentak sang prajurit seraya cabut goloknya dan serta merta dibabatkan
pada Restu Canggir Rumekso. Sementara itu keenam prajurit lainnya segera pula
berdiri dan melangkah ke arah meja Restu
Canggir Rumekso lalu berdiri mengurung.
Mendapati babatan golok, Restu Canggir Ru-
mekso tak berusaha mengelak. Dia hanya angkat tan-
gannya dan secepat kilat disentakkan ke pergelangan tangan sang prajurit.
Tasss! Prajurit itu berseru tertahan. Pegangan pada
goloknya terlepas, membuat golok itu mencelat dan
menancap pada meja. Di lain kejap, Restu Canggir
Rumekso angkat pantatnya, dan kaki kirinya menen-
dang kursi yang didudukinya.
Settt! Kursi itu meluncur deras ke arah prajurit yang
tadi hendak membabat, karena sang prajurit tidak
menduga, hingga dia tak punya kesempatan untuk
menghindar, hingga tanpa halangan lagi kursi itu
menghantam kakinya, membuat jatuh bergedebukan
di lantai kedai.
Seett! Seett! Tujuh orang prajurit kontan mencabut golok
masing-masing dan dengan gerak cepat ketujuh orang
ini langsung menghujamkan golok masing-masing ke
arah Restu Canggir Rumekso.
Bersamaan dengan gerak ayunan tangan ketu-
juh prajurit, Abilowo yang sedari tadi hanya meman-
dang dengan tatapan tajam bergerak cepat. Tubuhnya
berkelebat lenyap dari pandangan. Dan tahu-tahu ke-
jap itu juga terdengar jeritan tujuh kali berturut-turut.
Tubuh ketujuh prajurit itu mental dan mence-
lat masing-masing dua tombak ke belakang, di anta-
ranya ada yang menumbuk meja dan kursi serta tiang
kedai, hingga saat itu terdengar berderaknya meja-
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 17 Manusia Harimau Marah Karya S B. Chandra Titisan Pamungkas 1
^