Pencarian

Titisan Darah Terkutuk 3

Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Bagian 3


meja patah, serta pecahnya beberapa piring.
Abilowo kini tegak di samping Restu Canggir
Rumekso dengan mata nyalang memandang ketujuh
prajurit. Bibirnya menyeringai tak henti-henti. Dan di tangannya tergenggam
tujuh golok! Restu Canggir Rumekso makin ngakak. Semen-
tara diam-diam laki-laki kurus tinggi membelalakkan sepasang matanya yang sipit.
Dia hampir saja tidak mempercayai apa yang baru saja dilihat. Namun dia
menindih perasaan terkesimanya dengan tersenyum
sinis. Di lain pihak, ketujuh prajurit nyalinya meng-keret seketika. Namun salah
satu dari mereka, yakni yang tadi terhajar kursi Restu Canggir Rumekso berteriak
lantang. "Jangan takut! Dia hanya anak kecil"
Meski nyali mereka telah lumer, melihat salah
seorang temannya memberi semangat, serta merta me-
reka pun berdiri kembali dan dengan tampang masing-
masing merah padam, mereka pun merangsek maju
seraya hantamkan tangan masing-masing ke arah Ab-
ilowo. Terdengar suara menggereng dari mulut Abilo-wo. Dia tak bergerak sama
sekali mendapati serangan hantaman tangan para prajurit itu. Namun sejengkal
lagi tangan-tangan itu menghantam tubuhnya, Abilowo bergerak memutar dengan
cepat. Jeritan menyayat terdengar menyalak berturut-
turut. Begitu jeritan itu lenyap, tampak tujuh prajurit
roboh dengan perut masing-masing tertancap golok!
Sementara yang satu tubuhnya hangus dengan tangan
hampir sempal! Melihat keadaan, si empunya kedai serta para
pelayan segera menghambur keluar melarikan diri.
"Jambu Naga!" seru Restu Canggir Rumekso
pada laki-laki tinggi kurus yang masih tampak duduk di mejanya.
"Cepat bunuh dirimu dengan tanganmu sendi-
ri!" seraya berkata Restu Canggir Rumekso lemparkan salah satu golok yang
dicabutnya dari salah seorang prajurit ke meja laki-laki tinggi kurus yang
dipanggil dengan Jambu Naga.
"Bedebah! Kau kira aku takut menghadapi ma-
nusia macam kau dan anjing kecilmu itu!" ucap Jambu Naga sambil berdiri dan
melesat keluar kedai.
"Abilowo! Habisi bapak anjing-anjing itu!" kata Restu Canggir Rumekso seraya
melangkah menuju
ambang pintu kedai.
Jika Restu Canggir Rumekso melangkah perla-
han hendak keluar dari kedai, tak demikian halnya
dengan Abilowo. Seakan tak sabar, bocah ini segera
berkelebat ke udara, menembus langit-langit kedai dan serta merta melayang turun
dengan kirimkan serangan hantaman kedua tangannya pada Jambu Naga yang
tampak berdiri menunggu di halaman kedai.
Wuutt! Wuutt! Dengan menahan rasa terkejut, Jambu Naga
segera berkelit rebahkan diri ke samping. Hampir seja-jar tanah, kedua tangan
laki-laki kurus ini menyentak ke bawah, membuat tubuhnya membumbung ke udara.
Dari udara setelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, sepasang kakinya yang
panjang menyapu deras ke arah kepala Abilowo.
Abilowo keluarkan dengusan marah, karena se-
rangannya dapat dihindari. Tapi mendapati serangan
balik ini dia tak bergerak sedikit pun. Hingga sapuan kaki Jambu Naga menghantam
telak kepalanya.
Prakk! Tubuh bocah ini oleng dengan kepala mendon-
gak, lalu roboh ke atas tanah, membuat Jambu Naga
tertawa mengejek lalu melangkah mendekati Abilowo
yang masih diam tak bergerak di atas tanah.
Namun lima langkah lagi sampai, dan Jambu
Naga baru ancang-ancang akan kirimkan pukulan, ke-
dua kali Abilowo bergerak menendang tanah, hingga
tubuhnya melesat ke atas.
Jambu Naga yang ternyata adalah salah satu
penasihat raja dan pengawal pribadi raja segera jatuhkan diri bergulingan, saat
gulingan ke tiga, dan dilihatnya sang bocah terus menukik ke arahnya, dia ce-
pat kirimkan serangan dengan sentakan kedua tan-
gannya. Sett! Settt! Sepuluh senjata rahasia berupa pisau kecil-
kecil berwarna hitam redup melesat keluar dari kedua tangan Jambu Naga.
Karena jaraknya begitu dekat, hingga tak ada
ruang lagi untuk Abilowo bisa menghindar dari senjata rahasia Jambu Naga.
Sepuluh senjata rahasia itu pun tak terbendung menghujam. Namun sepasang mata
Jambu Naga kembali dibuat mendelik. Senjata raha-
sianya yang berisi racun jahat itu bermentalan bahkan diantaranya ada yang
mental keras mengarah pada dirinya yang masih rebah di atas tanah!
"Jahanam!" teriak Jambu Naga sambil melompat berdiri menghindari senjata
rahasianya sendiri
yang mental. Saat itulah Abilowo mendarat di atas ta-
nah dan hantamkan kedua tangannya.
Wess! Wesss! Dua rangkum angin deras menggeledek melesat
menyambar. Jambu Naga tak tinggal diam, dia pun se-
gera sentakkan kedua tangannya menangkis serangan.
Bumm! Bumm! Terdengar dentuman keras tatkala kedua puku-
lan itu bertemu di udara. Begitu tingginya tenaga dalam sang bocah, membuat
tubuh Jambu Naga ter-
huyung-huyung ke belakang. Pada saat itulah, Abilowo jejakkan sepasang kakinya
ke tanah. Tubuhnya melesat cepat ke depan.
Jambu Naga yang kerahkan tenaga untuk me-
nahan tubuhnya agar tidak roboh terkejut besar. Dia coba berkelit, namun
gerakannya terlambat. Hingga
sepasang kaki Abilowo tak terhalang lagi menggebrak dadanya!
Dess! Desss! Bukan hanya sampai di situ, begitu sepasang
kakinya berhasil menggebrak dada lawan, kaki kanan-
nya cepat bergerak ke atas, dan menghantam kepala.
Prakkk! Darah muncrat dari bibir dan hidung Jambu
Naga. Tubuhnya deras menghujam tanah dengan
punggung terlebih dahulu. Sebentar Jambu Naga tam-
pak bergerak-gerak, namun sesaat kemudian tubuh
itu diam kaku! Restu Canggir Rumekso tersenyum puas meli-
hat kejadian itu. Lantas dia melambaikan tangan. Abilowo melangkah mendekat.
"Masih ada yang harus kita kerjakan. Kita tinggalkan tempat ini...," kata Restu
Canggir Rumekso sambil mengangguk pada Abilowo. Abilowo tidak membalas anggukan
sang guru, dia hanya menatap tanpa
berkata, lalu melangkah begitu dilihatnya Restu Canggir Rumekso bergerak
melangkah meninggalkan hala-
man kedai yang telah sepi.
DELAPAN DUA orang terlihat berlari kencang sampai
ujung desa, mereka tampaknya ketakutan. Terbukti
sambil berlari kencang, keduanya sesekali berpaling ke belakang hingga tak heran
jika salah satu dari mereka tak jarang jatuh menyusup tanah karena tak dapat
menyiasati jalanan di depannya. Bahkan tak jarang
kedua orang ini saling terguling bersamaan karena
bertubrukan satu sama lain.
"He..." Apa yang terjadi..."!" mendadak ada orang menegur tatkala kedua orang
ini hampir keluar dari ujung desa.
Kedua orang yang ternyata adalah sebagian da-
ri para pelayan kedai sama palingkan wajah masing-
masing pada orang yang menegur.
"Kau.... Apakah kau.... Bu..., bukan teman me-
reka...?" tanya salah seorang di antara dua orang pelayan ini dengan tergagap
dan memandang pada orang
yang menegur dengan tatapan menyelidik.
Yang ditanya, seorang pemuda berpakaian hi-
jau dan bukan lain adalah Aji atau Pendekar Mata Keranjang 108 kernyitkan kening
dengan mata membela-
lak. "Sialan! Ditanya malah ganti bertanya!" bentak Aji sambil tersenyum. "Lekas
katakan ada apa...!"
sambung Pendekar Mata Keranjang 108 dengan me-
mandang bergantian pada orang di hadapannya yang
masih tampak ketakutan.
Setelah dapat menguasai diri dan yakin bahwa
pemuda di hadapannya bukan orang jahat, salah seo-
rang dari pelayan kedai itu berkata. Suaranya bergetar dan parau.
"Di kedai.... Ada orang berkelahi...!" Belum selesai sang pelayan ini dengan
ucapannya, Pendekar Ma-
ta Keranjang telah menyela.
"Sialan! Ada perkelahian saja kalian lari tunggang langgang...."
"Tapi.... Ini lain. Para prajurit kerajaan itu dibuat mati hanya dalam satu
ginian...!" kata salah seorang sambil ayunkan tangan dari bawah ke atas. "Dan
yang membuat mati itu adalah.... Seorang anak kecil!"
timpal satunya seraya menoleh ke belakang.
"Heran. Tampaknya mereka sangat ketakutan
sekali. Namun aku belum begitu jelas dengan maksud
kata-kata mereka. Dasar orang-orang penakut!" Pendekar Mata Keranjang 108
melangkah mendekat, dan
berkata. "Kalian tak perlu takut. Ceritakan dengan jelas apa yang terjadi!"
Setelah merasa yakin tak ada orang yang men-
gejar, salah satu dari pelayan ini menceritakan apa yang terjadi dalam kedai.
"Kau ingat ciri-ciri mereka. Maksudku anak ke-
cil itu...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108.
"Dia berusia kira-kira delapan atau tujuh ta-
hun. Badannya tegap dan berotot, matanya berkilat-
kilat garang. Dia tak pernah tertawa. Justru yang tua yang terus-terusan tertawa
bergelak-gelak...."
"Yang tua...?" sela Pendekar 108.
"Benar. Anak itu datang bersama seorang laki-
laki agak tua. Raut wajahnya tak jelas kulihat, karena dia mengenakan caping
lebar. Pakaiannya jubah putih
kusam, rambutnya panjang sepunggung...."
"Restu...," Pendekar Mata Keranjang 108 bisa menduga siapa adanya laki-laki yang
diceritakan orang di hadapannya. Hingga tanpa menunggu orang meneruskan kata-
katanya, Pendekar Mata Keranjang 108
balikkan tubuh dan berkelebat cepat ke arah desa.
"Orang edan! Tanya-tanya belum selesai sudah
minggat tanpa bilang ba, bu!" rutuk salah seorang pelayan itu seraya pandangi
arah berkelebatnya Pende-
kar Mata Keranjang 108.
"Jangan-jangan dia orang gila. Kau lihat tadi, sambil terus bertanya, dia tak
henti-hentinya cen-gengesan! Sial betul kita. Dikibuli orang gila...," kata
satunya sambil tertawa.
"Ah, persetan dengan dia. Gila atau tidak. Yang penting sekarang kita harus
cepat tinggalkan tempat ini!" ujar yang tadi bercerita seraya bergerak melangkah
meninggalkan tempat itu, lalu diikuti temannya.
Sementara itu, Pendekar Mata Keranjang 108
menggenjot larinya, dan dalam waktu singkat telah
sampai pada halaman kedai.
"Jangan-jangan aku terlambat. Suasana seper-
tinya sudah sunyi!" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya menyapukan
pandangannya berkeliling di
halaman kedai. Ketika sepasang matanya tertumbuk
pada seseorang yang menggeletak, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera berkelebat mendatangi.
"Astaga! Orang yang paling belakang dari rom-
bongan prajurit...," membatin Pendekar Mata Keranjang 108 dengan memperhatikan
lebih seksama. "Hm.... Pasti yang membunuhnya adalah seorang berilmu tinggi...." Dia lantas
memandang sekali lagi berkeliling. "Tapi ke mana Restu Canggir Rumekso..." Dan
siapa anak kecil itu...."
Mendapati di halaman kedai tak ada orang lagi,
Pendekar Mata Keranjang melangkah memasuki kedai.
Dan baru sampai di ambang pintu, dia hentikan lang-
kahnya. Matanya mengawasi berkeliling. Mata itu me-
nyipit lantas membeliak.
"Benar-benar tidak berperikemanusiaan orang
yang melakukan ini...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108 sambil memperhatikan
mayat-mayat prajurit
yang masing-masing perutnya tertembus golok.
Pendekar 108 balikkan tubuh, melangkah
kembali ke halaman kedai. "Ke arah mana aku harus mengejar...?"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berpikir
keras untuk menentukan arah mana yang harus di-
tempuh untuk melakukan pengejaran, mendadak ter-
dengar langkah-langkah ladam kuda berderap.
"Hmm.... Tampaknya derap ladam kuda itu
menuju kemari!" batin Pendekar Mata Keranjang 108
seraya palingkan wajah ke arah datangnya langkah-
langkah derap kuda.
Baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 pa-
lingkan wajah, dari arah barat tampak tiga orang berkuda mendatangi. Sampai
halaman kedai, ketiga pe-
nunggang ini hentikan kuda masing-masing.
Ketiga penunggang itu serentak membelalakkan
mata masing-masing bahkan salah satu di antaranya
berseru keras kala mereka mengetahui siapa adanya
orang yang tewas menggeletak di halaman kedai.
"Keparat busuk! Kau harus bayar kematian Re-
si Jambu Naga dengan nyawamu!"
Salah seorang dari ketiga penunggang kuda ini
membentak garang.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih tak
mengerti pada siapa bentakan ditujukan, hanya se-
nyum-senyum bahkan hendak bergerak meninggalkan
halaman kedai. "Jahanam! Mau lari ke mana kau, he..."!" bentak salah satunya sambi meloncat
turun dari kuda
tunggangannya, dan menghadang langkah Pendekar
Mata Keranjang 108. Sementara dua lainnya segera
pula loncat dari punggung kuda masing-masing dan
mengurung Pendekar Mata Keranjang 108.
"Ada apa sebenarnya ini..."!" tanya Pendekar Mata Keranjang sambil memandang
berputar ke arah
tiga orang yang mengurungnya.
"Keparat! Justru kami yang harus tanya pada-
mu! Siapa kau dan apa yang telah kau lakukan pada
Resi Jambu Naga!" kata salah seorang dengan nada membentak.
"Jangkrik! Kenapa aku selalu dan selalu ditim-


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pa nasib jelek! Dasar apes...," batin Pendekar Mata Keranjang 108 sambil
gelengkan kepala.
"Manusia! Jawab pertanyaan kami!" bentak satunya dengan mata mendelik.
Pendekar 108 usap-usap cuping hidungnya.
Lantas dengan tetap tersenyum dia angkat bicara.
"Aku bernama Aji Saputra. Aku tiba di sini su-
dah dalam keadaan begini. Kalau tak percaya tanya
pada mayat temanmu itu!"
Tiga orang ini saling berpandangan satu sama
lain. Tampang mereka berubah merah padam. Mereka
ini yang ternyata adalah tiga laki-laki berusia setengah baya. Mengenakan
pakaian seragam kerajaan. Namun
melihat pakaiannya yang begitu mentereng, bisa segera ditebak jika mereka adalah
para perwira tinggi kerajaan. Yang membedakan ketiga orang ini adalah ban
dari kain yang diikatkan pada lengan masing-masing.
Salah seorang di antaranya memakai warna merah, sa-
tunya putih, sedang satunya lagi warna kuning.
"Manusia! Sekali lagi kuperingatkan. Jawab
dengan jujur pertanyaan kami!" kata laki-laki yang mengenakan ban warna merah,
dan tampaknya lebih
tua dibanding dua lainnya.
"Manusia!" kata Aji ikut-ikutan memanggil pada orang yang baru berkata. "Sudah
kukatakan, kalau kalian tak percaya, tanya pada temanmu itu!" sambil berkata
Pendekar Mata Keranjang 108 serahkan pandangannya pada mayat Jambu Naga.
"Bangsat!" serapah laki-laki yang memakai ban merah seraya member! isyarat pada
laki-laki yang mengenakan ban putih.
Laki-laki yang mengenakan ban putih segera
melangkah maju, dan tanpa berkata-kata lagi, dia meloncat sambil hantamkan kedua
tangannya ke arah
kepala Pendekar Mata Keranjang 108.
Sambil mengusap cuping hidungnya Pendekar
Mata Keranjang 108 memiringkan bahunya, hingga
hantaman tangan ini lewat menghajar tempat kosong
sejengkal di samping kepala Pendekar Mata Keranjang 108. "Setan alas! Kucincang
tubuhmu!" kertak laki-laki yang mengenakan ban putih ini dengan tarik pu-
lang kedua tangannya dan didahului dengan bentakan
menggeledek, dia merangsek maju dengan tangan kiri
menjotos, sementara tangan kanan di depan dada. Ka-
ki kanannya juga bergerak menerjang.
"Benar-benar apes! Aku tak akan meladeni me-
reka. Lebih baik aku menyingkir...," sambil berpikir begitu, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat jejakkan
kaki, tubuhnya melenting tinggi, menghindari seran-
gan laki-laki berbaju putih. Lalu setelah membuat gerakan salto dua kali di
udara, murid Wong Agung ini
mendarat agak jauh dari kurungan tiga laki-laki.
Begitu mendarat, Pendekar Mata Keranjang 108
segera hendak berkelebat pergi. Namun langkahnya
terhenti ketika tahu-tahu tiga laki-laki itu sudah tegak di hadapannya
menghadang. "Dengar!" kata Pendekar Mata Keranjang lantang. Benaknya telah disarati dengan
kejengkelan. "Aku tak tahu menahu dengan semua hal yang telah terjadi. Harap kalian jangan
menghalangi langkahku!"
Laki-laki yang mengenakan ban kuning terse-
nyum sinis. Lalu dengan mata membeliak angker dia
berkata. "Siapa percaya dengan omongan mu. Melihat
gerakanmu, tak mustahil kaulah yang membuat ulah
itu! Sekarang terimalah hukumanmu!"
Habis berkata, laki-laki itu sentakkan kedua
tangannya ke depan.
Wesss! Serangkum angin bertenaga dalam tinggi
menggebrak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Rupanya kalian memaksa!" ujar Pendekar 108
seraya melangkah tiga tindak ke samping. Dari samp-
ing Pendekar Mata Keranjang 108 kirimkan serangan
tangkisan dengan sentakan kedua tangannya, le-
paskan pukulan 'Ombak Membelah Karang'.
Blem! Dentuman keras segera menyeruak di tempat
itu. Laki-laki yang mengenakan ban kuning terkejut.
Tubuhnya terseret hingga lima langkah ke belakang.
Untung dia masih sempat kerahkan tenaga untuk me-
nahan huyungan tubuhnya, kalau tidak, pasti tubuh-
nya telah terjengkang menyuruk tanah.
Sementara itu di seberang, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tampak tetap tak bergeming, membuat ti-
ga laki-laki di hadapannya kernyitkan dahi masing-
masing. Dalam benak mereka, ditumbuhi berbagai per-
tanyaan tentang pemuda berbaju hijau di hadapannya.
"Kakang...," kata laki-laki berbaju putih pada laki-laki berbaju merah. "Siapa
gerangan pemuda ini.
Dia sepertinya tak sepenuh hati dalam menghadapi ki-ta. Dan kalau mau tentunya
dia tadi telah mengerah-
kan jurus yang mematikan. Kurasa kata-katanya be-
nar. Bukan dia yang menewaskan Resi Jambu Naga!"
"Lantas siapa?" laki-laki berbaju merah membentak. Dibentak seperti itu, laki-
laki berbaju putih gelengkan kepalanya. "Namun satu hal yang pasti, kuat dugaan
bukan dia yang membuat ulah itu!"
Laki-laki berbaju merah tertawa pendek. "Kalau kau jerih menghadapinya, kau
pergilah. Biar aku yang hadapi!"
Mendengar kata-kata temannya itu, meski ha-
tinya dongkol, laki-laki mengenakan ban putih ini tetap berdiri di tempatnya
tanpa memandang pada laki-
laki di sampingnya yang kini tampak melangkah maju
hendak lepaskan pukulan pada Pendekar Mata Keran-
jang. "Keparat jahanam! Kalau kau masih tetap tak mengaku, mampuslah kau!"
hardik laki-laki berbaju merah dengan meloncat ke depan. Kakinya lantas dia
angkat tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya diputar cepat, tiba-tiba kaki kirinya
menyapu deras. Wesss! Begitu derasnya sapuan kaki itu, hingga sebe-
lum kaki itu sampai, angin kencang mendahului,
membuat Pendekar Mata Keranjang 108 harus undur-
kan kakinya satu tindak ke belakang, menghindari sapuan angin yang mendahului
serangan. Pada saat itulah sapuan kaki sesungguhnya da-
tang. Karena tak ada waktu lagi jika menghindar,
membuat mau tak mau Pendekar Mata Keranjang 108
tangkis sapuan kaki itu dengan ayunkan kedua tan-
gannya. Prakk! Prakk!
Dua kali terdengar benturan hebat, lantas dis-
usul dengan seruan tertahan keluar dari mulut laki-laki berbaju merah. Tubuh
laki-laki ini mental balik dan terjungkal di atas tanah. Di lain pihak, Pendekar
Mata Keranjang 108 hanya terhuyung-huyung sebentar, lalu kembali tegak meski
tampak meringis.
Melihat temannya jatuh terjungkal, laki-laki
berbaju putih dan kuning segera berdiri berjajar. Mata mereka masing-masing
menghujam tajam ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108.
Laki-laki berbaju kuning mengangguk. Lantas
kedua orang ini melangkah masing-masing satu tindak ke depan. Kedua tangan
mereka menakup di depan
dada masing-masing, lalu sesaat kemudian tangan itu mereka rentangkan dan siap
hendak kirimkan serangan. Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan
kuning disertai teguran keras.
"Hentikan pertempuran!"
Dua laki-laki yang hendak menyerang, urung-
kan niat dan memandang tajam pada orang yang baru
datang. Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
paling ke kanan.
*** SEMBILAN PUTRI Tunjung Kuning!" seru murid Wong
Agung, begitu mengetahui siapa adanya orang yang ki-ni tegak di hadapan dua
laki-laki yang siap menye-
rangnya. "Bukan mata kalian lebar-lebar! Kau sedang
berhadapan dengan siapa kali ini!" bentak orang yang baru datang, yang ternyata
adalah seorang gadis cantik jelita dan bukan lain adalah Putri Tunjung Kuning,
Dua laki-laki yang tadi hendak menyerang,
memandang tak kesiap ke arah Putri Tunjung Kuning.
Bukan karena marah sebab urusannya dicampuri,
namun karena melihat bentuk tubuh gadis di hada-
pannya yang memang membentuk bagus karena tubuh
itu dibungkus dengan pakaian warna kuning tipis dan ketat, membuat lekukan
tubuhnya membayang jelas.
"Cepat tinggalkan tempat ini!" sambung Putri Tunjung Kuning begitu melihat dua
laki-laki di hadapannya bengong memandangi dirinya. Sementara laki-
laki berbaju merah yang baru saja bangkit juga melangkah menjajari temannya, dan
ikut-ikutan menatap pada Putri Tunjung Kuning dengan tatapan gairah.
"Gadis cantik! Baiklah. Menuruti kemauanmu,
kami akan meninggalkan tempat ini. Namun kau ha-
rus ikut dengan kami sebagai ganti pemuda itu!" kata laki-laki berbaju merah
seraya mengerdipkan sebelah matanya.
Dua laki-laki temannya menyambuti ucapan
laki-laki berbaju merah dengan tawa gelak-gelak dan angguk-anggukkan kepala.
"Tua bangka tak tahu diri!" teriak Putri Tunjung Kuning dengan raut muka berubah
merah padam. "Ka-
lau kalian tak lekas minggat dari hadapanku, aku tak segan-segan merobek mulut
kalian!" Laki-laki berbaju merah walau sangat marah
mendengar ucapan gadis di depannya, namun dia ma-
sih tersenyum. "Gadis cantik. Kau tak perlu khawatir jika ikut dengan kami. Segala maumu akan
ku turuti. Daripada
kau ikut pemuda gembel itu, apa yang akan dia beri-
kan padamu...?"
"Benar. Pemuda itu paling-paling hanya punya
biji. Ha... ha... ha...!" sahut laki-laki berbaju putih dengan kerjap-kerjapkan
matanya. "Tidurnya pun di sembarang tempat. Mana ada
nikmatnya...!" timpal satunya sambil tertawa terbatuk-batuk. Paras Putri Tunjung
Kuning makin merah men-
gelam. Bibirnya bergetar menahan marah. Sepasang
matanya yang bulat membeliak berkilat.
"Kalian boleh menghina dia. Namun dengar du-
lu siapa dia adanya!" kata Putri Tunjung Kuning dengan menindih hawa amarah yang
menyesaki dadanya.
"Katakan siapa dia!" seru laki-laki berbaju merah dengan mata beralih memandang
Pendekar Mata Keranjang 108. "Pasang telinga kalian baik-baik. Dia adalah
pemuda yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108!"
ucap Putri Tunjung Kuning, lantang.
Ketiga laki-laki di hadapannya serentak saling
berpandangan satu sama lain. Malah tanpa sadar ketiganya undurkan langkah
masing-masing satu tindak
ke belakang. Mata-mata mereka memandang tak ke-
siap. Lantas bagai dikomando ketiganya melangkah
maju. Laki-laki yang mengenakan ban merah berkata
dengan membungkukkan sedikit badannya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Maafkan kami
yang tak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kami
gembira dapat bertemu dengan pendekar bernama be-
sar. Sekali lagi maafkan sikap kami tadi...."
Pendekar Mata Keranjang merasa jengah diper-
lakukan seperti itu, membuatnya hanya mengangguk
seraya mengerling pada Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning melangkah mendekati
Pendekar 108, wajahnya disembunyikan dengan me-
mandang ke jurusan lain, membuat Pendekar Mata
Keranjang 108 heran dan bertanya-tanya.
"Dia tampaknya pucat. Apakah dia...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan
kata hatinya, karena saat itu Putri Tunjung Kuning telah berada di
sampingnya dan berkata.
"Pendekar 108, syukur kita dipertemukan di si-
ni. Aku sudah bermaksud menyusulmu ke Kampung
Blumbang...."
"Menyusul ku...?" ulang Pendekar Mata Keranjang 108 dengan kernyitkan kening.
Matanya meman- dang menyelidik.
"Ya. Aku hanya ingin mengucapkan terima ka-
sih atas pertolongan yang kau berikan padaku...," kata Putri Tunjung Kuning
sambil menundukkan kepala.
"Ah, lupakan masalah itu. Justru kalau tidak
ada kau, mungkin waktu itu nyawaku sudah melayang
di tangan Malaikat Berdarah Biru. Ngg.... Lantas bagaimana dengan Restu Canggir
Rumekso...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108 hati-hati.
Sejenak Putri Tunjung Kuning melayangkan
pandangannya. Dan demi dilihatnya ketiga laki-laki
masih tegak dengan memandang ke arah mereka, Putri
Tunjung Kuning palingkan wajah dan berkata perla-
han. "Pendekar 108. Kita tak bisa membicarakan hai
itu di sini. Kita harus cari tempat lain...."
Tanpa menunggu sahutan dari Pendekar Mata
Keranjang, Putri Tunjung Kuning berkelebat mening-
galkan tempat itu. Sejenak Pendekar Mata Keranjang
hanya memandangi kepergian Putri Tunjung Kuning.
Lalu dia pun lantas berkelebat menyusul Putri Tun-
jung Kuning. "Hmm.... Pendekar muda tampan, sudah se-
mestinya banyak yang menggandrungi. Apalagi berge-
lar Mata Keranjang...," gumam laki-laki berbaju merah.
Lalu menoleh pada dua temannya.
"Kita lanjutkan perjalanan. Mayat Resi Jambu
Naga nanti kita bisa suruh orang untuk mengubur-
nya!" Di satu tempat agak sepi, Putri Tunjung Kuning menghentikan larinya. Dan
tatkala Pendekar Mata Keranjang 108 sampai juga di tempat itu, gadis ini ajukan
pertanyaan. "Pendekar 108, kau tak keberatan jika kuminta
untuk menceritakan bagaimana jalinan kisahnya,
hingga aku berada di tangan Restu Canggir Rumek-
so...?" Sesaat Pendekar Mata Keranjang 108 seperti terkejut. Namun setelah
dipikir agak lama, dia pun
berkata.

Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu itu aku kebingungan harus membawa-
mu ke mana, karena saat itu keadaanmu sungguh pa-
rah. Nah, saat itulah datang Restu Canggir Rumekso.
Karena siapapun juga telah mengenai jika Restu Canggir Rumekso adalah seorang
tabib, dan juga waktu itu dia mengulurkan tangan untuk menolong, maka aku
pun merelakan mu dibawa olehnya. Apa yang terjadi dengan dirimu di tangan Restu
Canggir Rumekso..."
Apa dia menyakitimu...?"
Gadis di depan Pendekar Mata Keranjang 108
ini menggeleng perlahan. Namun pandangannya mene-
rawang jauh. "Apakah aku harus berterus terang padanya
bahwa aku sebenarnya telah melahirkan seorang anak, dan anak itu.... Tidak. Aku
harus menyimpan semua
ini...," kata Putri Tunjung Kuning dalam hati.
"Katakan apa sebenarnya yang terjadi!" kata Pendekar Mata Keranjang makin
penasaran dan agak
jengkel. Namun perasaan itu ditahannya dalam-dalam, karena dia juga merasa salah
menyerahkan Putri Tunjung Kuning pada orang yang baru dikenalnya. Hingga dengan
nada menyesal, murid Wong Agung berkata.
"Putri Tunjung Kuning, kalau kau tak mau
mengatakannya tak apa. Semua ini memang salahku.
Aku begitu percaya pada orang, hingga tanpa pikir
panjang lagi aku menyerahkanmu pada Restu Canggir
Rumekso. Tapi percayalah.... Hal itu kulakukan karena aku mengkhawatirkan
keadaanmu!"
"Aku mengerti...," kata Putri Tunjung Kuning perlahan.
"Putri Tunjung Kuning. Aku perlu memberitahu
padamu, sesungguhnya Restu Canggir Rumekso ada-
lah seorang tokoh dari jajaran atas golongan hitam. Ia telah lama menyembunyikan
diri, namun tampaknya
kini mulai unjuk diri lagi. Aku tak tahu apa yang dica-rinya saat ini. Tapi satu
hal yang pasti, dia mulai menebar maut di sana-sini. Mayat yang menggeletak di
depan halaman kedai tadi adalah salah satu dari kor-bannya!"
"Aku sekarang juga telah tahu, siapa sebenar-
nya Restu Canggir Rumekso!"
"Juga tahu, tentang anak yang bersamanya...?"
Pendekar Mata Keranjang 108 ajukan pertanyaan.
Putri Tunjung Kuning terkesiap kaget menden-
gar pertanyaan Pendekar Mata Keranjang 108. Sepa-
sang matanya membelalak lebar, dahinya mengernyit
penuh keheranan.
"Anak...?" kata Putri Tunjung Kuning seakan tak sadar dengan ucapannya.
"Benar. Restu Canggir Rumekso kini gentayan-
gan bersama dengan anak kira-kira berusia tujuh ta-
hun. Hebatnya anak itu telah pula memiliki kepan-
daian yang mengagumkan. Aku sendiri hanya menyi-
rap kabar, hal yang sesungguhnya aku belum tahu...."
Putri Tunjung Kuning makin terkesiap kaget.
Diam-diam dia ingat kata-kata Restu Canggir Rumek-
so. "Bayimu adalah bayi lain daripada yang lain. Dalam waktu satu hari dia sudah
seperti bayi berumur tiga bulan. Bayimu kelak tidak akan mempan senjata atau
pukulan apa pun juga. Dia kelak akan menjadi seo-
rang sakti tiada tanding...," Putri Tunjung Kuning dongakkan kepala berpikir.
"Sekarang bayi itu sudah berumur satu pur-
nama. Kalau satu hari sama dengan umur tiga bulan,
satu purnama berarti sama dengan umur tujuh tahun.
Berarti yang bersama Restu Canggir Rumekso adalah
anakku. Oh, anakku...."
"Kau tahu...?" ulang Pendekar Mata Keranjang 108 setelah ditunggu agak lama
Putri Tunjung Kuning tak juga menjawab.
Sambil menindih rasa gagap, Putri Tunjung
Kuning menggelengkan kepala.
"Hmm.... Aku harus pergi sekarang, mencari je-
jak Restu Canggir Rumekso dan mengambil kembali
anakku...," berpikir begitu Putri Tunjung Kuning lantas berpaling pada Pendekar
Mata Keranjang dan berkata.
"Aku ada masalah yang harus kuselesaikan.
Jadi maaf aku tidak bisa bicara lebih lama. Sebelum aku pergi ada satu hal yang
ingin kutanyakan. Kalau kau keberatan, kau boleh tidak menjawab. Setelah terjadi
pertempuran antara kau dan Malaikat Berdarah
Biru, apakah Malaikat Berdarah Biru tewas...?"
"Aneh. Kenapa kau tanya tentang dia...?"
"Jawab saja!" tukas Putri Tunjung Kuning cepat. Meski dipenuhi perasaan heran
akhirnya Pende-
kar Mata Keranjang 108 menjawab. "Dia berhasil melarikan diri. Namun sudah dalam
keadaan luka parah....
Ada...." Pendekar Mata Keranjang belum sampai meneruskan kata-katanya Putri
Tunjung Kuning telah ba-
likkan tubuh dan berkata menukas.
"Terima kasih. Kalau umur panjang, aku masih
ingin bertemu denganmu lagi...," habis berkata, Putri Tunjung Kuning berkelebat
tinggalkan Pendekar Mata
Keranjang 108. "Tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang 108.
Tapi Putri Tunjung Kuning terus berkelebat dan menghilang. Begitu Putri Tunjung
Kuning pergi, Pendekar Mata Keranjang 108 usap-usap hidungnya. "Rasa-rasanya ada
yang tak beres antara Putri Tunjung Kuning, Restu Canggir Rumekso dan Malaikat
Berdarah Biru.... Ada apa sebenarnya di balik semua ini...?"
SEPULUH RESTU Canggir Rumekso dan Abilowo terus
berkelebat cepat. Mereka telah dua hari dua malam
berlari. Hingga wajar saja jika Restu Canggir Rumekso
sudah nampak lelah. Wajahnya kusut masai, nafasnya
berhembus tak teratur dan terengah-engah. Namun
sebaliknya, Abilowo tak sedikit pun terlihat payah. Bocah ini masih kelihatan
segar bugar. "Gila! Aku bisa mati kelelahan kalau terus berlari. Sebaiknya aku istirahat
dahulu. Di depan tam-
paknya ada kedai...," lalu orang tua bercaping lebar ini berkata pada Abilowo.
"Abilowo. Kita singgah sebentar di kedai itu. Pe-rutmu pun kukira sudah minta
diisi!" Abilowo tak menyahut. Dia hanya palingkan
wajahnya sebentar. Lalu menatap ke arah kedai yang memang sudah terlihat dari
tempatnya. Begitu sampai di depan kedai yang tidak begitu
besar, Restu Canggir Rumekso dan Abilowo hentikan
larinya. Keduanya lantas melangkah beriringan menu-
ju kedai. Saat itu matahari sudah menggelincir dari titik
tengahnya, hingga kedai itu nampak sepi dari pengunjung. Pemilik kedai, seorang
laki-laki tua segera melangkah menyambut begitu terlihat ada orang masuk.
Dia sejenak menatap pada pengunjungnya dengan ta-
tapan sedikit heran.
"Laki-laki ini nampaknya baru saja melakukan
perjalanan jauh. Peluhnya masih nampak meleleh di
sekujur tubuhnya. Tapi kenapa anak ini kelihatan segar sekali.... Dan aneh, anak
ini tidak seperti anak yang umurnya sebaya dengannya. Tidak mau omong
atau tersenyum, padahal anak yang...."
Pemilik kedai tak meneruskan kata hatinya, ka-
rena saat itu Restu Canggir Rumekso telah berkata.
"Sediakan makan dan minum!"
"Ngg.... Baik, Den...."
Sang pemilik kedai lantas balikkan tubuh un-
tuk menyediakan pesanan, namun saat membalik, ma-
tanya sempat melirik pada sang anak. Kuduk pemilik
kedai ini merinding seketika, dan dia buru-buru berlalu.
"Mata, ya. Mata anak itu tajam berkilat dan bibirnya menyeringai...," batin sang
pemilik kedai seraya menyediakan pesanan.
Setelah pesanan selesai dan diantar ke meja di
mana Restu Canggir Rumekso dan Abilowo berada,
pemilik kedai ini cepat berlalu dan tak berani lagi memandang pada tamunya.
Selagi kedua orang ini sedang menyantap ma-
kanannya, seorang pemuda tampak celingak-celinguk
di depan kedai. Lantas pemuda ini kelihatan mengu-
sap-usap cuping hidungnya, lalu tangan kirinya bergerak menarik-narik kuncir
rambutnya. Dari mulutnya
terdengar dendang nyanyian yang tak jelas ditangkap telinga. Orang tua pemilik
kedai beranjak ke depan. Dia tampaknya curiga dengan tingkah sang pemuda.
Begitu sampai pintu kedai dan melihat sikap
sang pemuda, sang pemilik kedai ini geleng-geleng kepala seraya bergumam pelan.
"Kasihan. Tampangnya sikh boleh. Tapi gila...,"
lalu orang tua pemilik kedai ini berkata sedikit membentak. "He.... Hari ini tak
ada jatah makan untuk orang gila. Lekas tinggalkan tempat ini. Kau hanya
akan membuat tamuku takut dan mengurungkan niat
untuk masuk kemari!"
Sang pemuda tak mengacungkan kata-kata
pemilik kedai. Malah kini melangkah menuju pintu.
Kepalanya tetap celingak-celinguk, dan nyanyiannya
juga tak berhenti.
"Kalau kau meneruskan langkah, kuhajar kau!"
hardik sang pemilik kedai seraya acungkan kepalan
tangannya. Matanya yang sudah sayu melotot.
Namun lagi-lagi yang diancam tak menghirau-
kan. Dia tetap melangkah, membuat pemilik kedai itu akhirnya menyingkir sendiri,
berlalu ke belakang hendak mengambilkan makanan.
Namun begitu pemilik kedai telah kembali ke
depan dengan membawa bungkusan, dia hentikan
langkahnya mendadak. Dia memandang heran pada
sang pemuda yang terus menatap pada laki-laki ber-
caping dan anak kecil yang menyantap makanan di
sudut kedai. "Hmm.... Rupanya arah yang kutempuh tak me-
leset. Mereka kutemukan di sini. Akan kutunggu me-
reka di luar. Tidak layak menanyai orang sedang ber-santap...," membatin sang
pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas balikkan
tubuh dan keluar dari kedai, lalu berkelebat menyeli-nap di balik sebuah pohon
tak jauh dari kedai, mende-kam seraya mengawasi pintu kedai.
Pemilik kedai yang berteriak memanggil tak di-
hiraukannya, membuat orang tua ini jengkel dan me-
lemparkan bungkusan nasi ke halaman kedai seraya
berkata. "Dasar orang gila!"
"Tapi pandangan pemuda tadi pada tamu itu
sepertinya pandangan orang waras. Atau pandangan
yang sudah lamur, hingga salah mengartikan pandan-
gan orang..." Ah, kenapa aku harus memikirkan orang edan. He... he... he...!"
batin pemilik kedai dengan tertawa sendiri dalam hati seraya kembali masuk.
Pendekar Mata Keranjang 108 tak menunggu
lama. Dari pintu kedai tampak Restu Canggir Rumekso dan Abilowo melangkah
keluar. Laki-laki tua bercaping lebar ini sejenak memandang berkeliling. Dia
sebenarnya ingin tahu pemuda yang dikatakan gila oleh sang pemilik kedai. Namun
ketika pandangannya tak menemukan siapa-siapa lagi di luar, kedua orang ini
mulai melangkah menuju arah barat.
Baru tiga langkah, dari balik pohon tiba-tiba
melesat seorang pemuda, dan tahu-tahu telah berdiri sepuluh langkah di hadapan
Restu Canggir Rumekso
dan Abilowo. "Kuharap kau tak lupa padaku, Orang Tua!"
berkata Pendekar Mata Keranjang 108 sambil terse-
nyum. Namun matanya tak memandang pada Restu
Canggir Rumekso. Sepasang mata Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tak kesiap menatap pada anak di sebelah Restu Canggir Rumekso.
Langkah Restu Canggir Rumekso dan Abilowo
terhenti seketika. Keduanya menatap tajam ke depan.
"Pendekar Mata Keranjang 108!" seru Restu Canggir Rumekso lantas melangkah maju
mendekat dengan tersenyum. Sementara Abilowo tetap di tem-
patnya. Namun matanya tak henti-hentinya menyengat
tajam pada Pendekar Mata Keranjang.
"Jadi rupanya kau yang dikatakan pemuda gila
oleh pemilik kedai tadi! Sungguh kebetulan sekali. Aku hari ini memang bermaksud
ke tempat gurumu si
Wong Agung. Untuk menagih nyawanya serta men-
gambil bumbung bambu dan kipas hitam. Bukankah
benda pusaka itu kau berikan padanya...?"
Pendekar 108 tak menyambuti kata-kata Restu
Canggir Rumekso. Dalam hati murid Wong Agung ini
bertanya-tanya sendiri.
"Dari mana dia tahu aku memberikan benda
pusaka itu pada Eyang Wong Agung..." Hmm.... Ki-
ranya itu yang menjadi niatannya.... Terpaksa aku harus mencegahnya. Mereka
rupanya orang-orang yang
tak boleh dibiarkan hidup. Dunia persilatan akan
gempar jika mereka merajalela...,"
"Restu Canggir Rumekso! Kau salah alamat jika
pergi ke Karang Langit untuk mencari benda itu. Ben-da itu sudah musnah!"
Restu Canggir Rumekso tertawa lebar menden-
gar kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108.
"Aku bukan orang yang bisa kau bodohi. Lagi
pula hidupku tidak akan tenang sebelum bisa mengan-
tar gurumu ke alam baka. Beberapa puluh tahun yang
lalu, gurumu memang pantas disebut-sebut sebagai
orang tiada tanding. Namun sekarang hal itu akan dilupakan orang. Sekarang
orang-orang rimba persilatan akan mempunyai orang baru yang pantas disebut
manusia tiada tanding!"
Lalu Restu Canggir Rumekso berpaling pada
Abilowo dan berkata.
"Abilowo! Habisi kecoa itu!"
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
mendelik hampir tak percaya, Abilowo nampak me-
langkah maju dengan senyum seringai. Matanya tak
kesiap menyengat tajam pada Pendekar Mata Keran-
jang 108. "Siapa sebenarnya anak ini...?"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 bertanya-
tanya, Abilowo telah meloncat seraya kirimkan serangan dengan hantamkan kedua
tangannya. Pemandangan di tempat itu serentak agak gelap
redup. Pendekar Mata Keranjang 108 terlengak kaget
melihat dari kedua telapak tangan Abilowo melesat ke-
luar berlarik-larik sinar hitam dengan suara menggi-dikkan. Sambil menahan rasa
tak percaya pada pengli-hatannya, Pendekar 108 segera berkelebat ke samping
selamatkan diri. Selagi Pendekar 108 berkelit inilah, Abilowo kembali melompat
menyusur ke samping dan
kembali sentakkan kedua tangannya dengan menge-
rahkan tenaga dalam penuh. Terbukti serangannya
kali ini membuat tanah di halaman kedai itu bergetar hebat! "Edan! Bagaimana


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin anak sekecil dia bi-sa melakukan serangan sehebat ini...?" membatin
Pendekar Mata Keranjang seraya kembali melompat ke
samping. Hingga dua serangan hebat pembuka itu me-
nerpa tempat kosong.
Walau serangan itu menghantam tempat ko-
song, Pendekar Mata Keranjang 108 segera sadar jika anak ini tak boleh diberi
kesempatan lagi untuk lancarkan serangan. Hingga tanpa menunggu sang anak
lancarkan serangan, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera berkelebat. Dan tahu-tahu kaki kirinya melesat ke arah kepala Abilowo.
Sebenarnya lesatan kaki kiri ini hanyalah sebuah gerak tipu. Karena begitu
bergerak menghindar, kaki kiri itu dia tarik cepat dan tangan kanan dan kiri segera
menghantam dari arah samping!
Namun kali ini serangan Pendekar Mata Keran-
jang 108 itu hanya disambut senyum seringai oleh Abilowo. Bocah ini secepat
kilat rundukkan kepalanya
dan kedua kakinya dia geser ke belakang, hingga tu-
buhnya sedikit menyusur di atas tanah. Dan serta
merta Abilowo bergerak menyusup melewati selang-
kangan Pendekar Mata Keranjang 108. Begitu berada
di belakang Pendekar Mata Keranjang 108, kedua kaki Abilowo cepat menyapu kaki
kanan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang kini dibuat tumpuan tubuhnya.
Desss! Pendekar Mata Keranjang 108 keluarkan se-
ruan keras. Kaki kanannya goyah, dan hampir saja dia jatuh terjerembab ke depan
jika dia tidak segera lesatkan diri ke udara dan mendarat kembali dengan
kaki kanan kesemutan.
"Sialan!" sumpah Pendekar Mata Keranjang geram. Dia tak habis pikir, bagaimana
Abilowo bisa menduga serangannya, padahal serangannya tadi begitu
cepat. Dengan katupkan rahang, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 balikkan tubuh. Kini murid Wong Agung
ini tak main-main lagi. Dia sadar, meski nakal kecil, Abilowo adalah lawan
tangguh. Pendekar Mata Keranjang 109 kembali berkele-
bat. Kedua tangannya lantas bergerak cepat menghan-
tam dari samping kiri kanan mengarah pada kepala
Abilowo. Sedangkan tubuhnya mengapung di udara
dengan sepasang kaki diangkat sedikit berjaga-jaga ji-ka lawan melesat ke udara.
Namun apa lacur. Abilowo memburu gerakan salto. Begitu kepalanya berada di
bawah, tubuhnya lantas kaku dan kini bergerak meng-
gelundung dengan cepat.
Kira-kira satu tombak jauhnya, Abilowo henti-
kan gerakan tubuhnya. Lalu dengan miringkan tubuh,
anak ini hantamkan kedua tangannya lepas serangan
jarak jauh yang dialiri tenaga dalam kuat.
Sinar hitam berlarik-larik yang menghalangi
pandangan segera melesat keluar dan menyambar ke
arah murid Wong Agung yang masih tegak keheranan.
Melihat serangan berbahaya, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera berkelebat. Tubuhnya lenyap da-ri pandangan sebelum
larikan-larikan sinar hitam yang
berhawa panas itu menyambar. Hingga larikan sinar
hitam serangan Abilowo menerabas terus dan mela-
brak kedai. Kedai yang terbuat dari kayu dan pelepah daun
kelapa itu berderak roboh dan mengeluarkan asap! Da-ri sini bisa dilihat
bagaimana dahsyatnya pukulan Abilowo. "Gila! Sebelum terlambat, aku harus melum-
puhkannya dahulu!" batin Pendekar Mata Keranjang 108 seraya keluarkan kipas
ungunya. Melihat Pendekar 108 keluarkan senjata, Restu
Canggir Rumekso tertawa mengekeh.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Keluarkan selu-
ruh kepandaianmu. Kalau kau bisa mengalahkan dia,
baru hadapi aku!"
Ucapan bernada mengejek Restu Canggir Ru-
mekso membuat telinga dan wajah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 merah mengelam. Tanpa menunggu lama
lagi, dia segera melesat ke depan dengan kibasan kipasnya, sementara tangan
kirinya lepaskan pukulan
'Bayu Cakra Buana'.
Sinar putih yang berkilau melesat dari tangan
kiri Pendekar Mata Keranjang 108, sementara dari kipasnya menyambar angin deras
menggemuruh. Di seberang, Abilowo hanya menyeringai meli-
hat serangan itu. Bahkan tampaknya dia tidak beru-
saha untuk menghindari. Malah dia melangkah me-
nyongsong serangan dengan kedua tangan merentang.
Weesss! Deesss!
Sambaran kipas dan hantaman pukulan 'Bayu
Cakra Buana' menggebrak telak tubuh Abilowo, mem-
buat tubuh anak kecil itu mencelat jauh dan jatuh
bergedebuk di atas tanah, dan diam tak bergerak-
gerak lagi. Restu Canggir Rumekso sangat cemas menyak-
sikan kejadian itu. Senyumnya yang sedari tadi ter-
sungging pupus tiba-tiba. Dia segera melangkah men-
dekati Abilowo. Namun langkahnya tertahan tatkala dilihatnya Abilowo bangkit
berdiri dan memandang tajam ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar Mata Keranjang hampir tak percaya.
Bocah kecil yang terhantam telak pukulan 'Bayu Cakar Buana' ini tak cedera sama
sekali. Setetes darah pun tak terlihat keluar dari hidung atau sudut bibirnya.
Padahal pukulan sakti 'Bayu Cakra Buana' telah ba-
nyak membuat tokoh-tokoh hitam babak belur dan tak
jarang pula yang menemui ajal!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-
gah heran, Abilowo telah merangsek maju dengan me-
lompat seraya hantamkan kedua tangannya. Namun
Pendekar Mata Keranjang 108 dibuat bingung bukan
alang kepalang, karena tubuh anak ini berkelebat cepat dan mengitari dirinya
dari bawah ke atas dan sesekali memutar.
Karena baru pertama kali ini menemui seran-
gan macam begini, Pendekar Mata Keranjang 108 kehi-
langan akal. Hingga dengan memutar otak bagaimana
mencari jalan untuk melumpuhkan sang anak, Pende-
kar Mata Keranjang 108 putar-putar kipasnya, semen-
tara tangan kirinya dia putar pula di atas kepala.
Hingga saat itu juga tubuh murid Wong Agung ini di-
bungkus sinar putih dan angin yang menderu-deru
dahsyat. Melihat lawan bagai dibentengi dinding tebal,
Abilowo kertakan rahang, dia segera sentakkan kedua tangannya tak putus-putus ke
arah sinar putih yang
membungkus tubuh Pendekar Mata Keranjang 108.
Kini Pendekar Mata Keranjang 108 dan Abilowo sama-
sama kerahkan tenaga. Yang satu membentengi di-
rinya seraya sesekali lancarkan serangan, sementara satunya tak putus-putusnya
lancarkan serangan untuk menjebol pertahanan lawan.
Setelah sekian lama saling mengerahkan tena-
ga, benteng pertahanan Pendekar Mata Keranjang 108
yang terus menerus dihujani serangan itu tampak mu-
lai goyah. Dan pada suatu kesempatan, dengan mem-
bentak lengking, Abilowo tubrukkan tubuhnya.
Sinar putih yang membungkus Pendekar Mata
Keranjang 108 menguak, dan seketika itu juga kedua
tangan Abilowo menelusup masuk menghantam! Meski
Pendekar Mata Keranjang 108 berhasil berkelit, namun tangan kiri Abilowo
menggebrak bahunya!
Tubuh Pendekar 108 terhuyung. Dan pada saat
itulah kaki kanan Abilowo datang menghajar dada!
Desss! Pendekar Mata Keranjang keluarkan pekik ke-
ras. Dadanya terasa terhantam batangan kayu besar
hingga untuk beberapa saat lamanya tak bisa diguna-
kan untuk bernapas. Tubuhnya melesat sampai dua
tombak dan terkapar di atas tanah dengan baju robek sebelah bahu dan dada.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera kerahkan
tenaga dalam untuk mengurangi sakit yang mendera
dada dan bahunya. Lalu dengan tertatih-tatih dia merambat bangkit. Keringat
dingin membasahi sekujur
tubuhnya. Di seberang, Restu Canggir Rumekso tertawa
terbahak-bahak. Sementara Abilowo tegak memandang
sambil menyeringai.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Rupanya kau
ditulis untuk tewas mendahului gurumu!" kata Restu Canggir Rumekso di sela-sela
tawanya. Pendekar Mata Keranjang 108 kertakkan gera-
ham. Rautnya merah padam seraya meringis menahan
sakit dan sesak.
"Hmm.... Terpaksa aku harus menggunakan ju-
rus 'Bayu Kencana'!" batin Pendekar Mata Keranjang sambil memindahkan kipas ke
tangan kirinya sementara tangan kanannya dibuka.
Abilowo yang melihat lawan masih siap hendak
menyerang segera palingkan wajah pada Restu Canggir Rumekso seakan minta
perintah. "Habisi dia!" kata Restu Canggir Rumekso lantang. Abilowo segera melesat ke
depan, dan begitu
empat langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang
108, dia cepat sentakkan kedua tangannya.
Larikan-larikan sinar hitam melesat lurus ke
arah murid Wong Agung ini. Bersamaan dengan itu,
Pendekar Mata Keranjang 108 tarik tangan kanannya
sedikit ke belakang. Terjadi suatu keanehan.
Larikan-larikan sinar hitam yang melesat dari
kedua tangan Abilowo bagai tertahan sesuatu yang tak terlihat, dan perlahan-
lahan menerabas terus masuk
ke telapak tangan Pendekar Mata Keranjang 108.
Abilowo yang nampak tersentak kaget menam-
bah tenaga dalamnya. Namun begitu hampir mengge-
brak, sinar yang keluar dari sentakan tangannya bergerak pelan dan perlahan-
lahan masuk ke telapak tangan kanan Pendekar Mata Keranjang 108.
Abilowo merasakan bahunya kebas dan ngilu
bukan main, dadanya bergetar sakit karena perlahan-
lahan tubuhnya juga mulai tertarik ke depan. Namun
anak ini tak hendak menyerah begitu saja. Dia coba
hentakkan kedua kakinya ke atas tanah, hingga tanah itu bergetar dan membentuk
kubangan. Untuk beberapa saat Abilowo memang berhasil
menahan gerak tubuhnya yang bergerak maju. Namun
begitu Pendekar Mata Keranjang 108 membentak sam-
bil menarik tangan kanannya, tanah tempat pijakan
Abilowo yang membentuk kubangan itu pecah, dan
bersamaan dengan itu kembali tubuh Abilowo bergerak ke depan.
Begitu dua langkah lagi tubuh Abilowo sampai
di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108, murid
Wong Agung ini sentakkan tangan kanannya cepat,
sementara tangan kirinya yang memegang kipas dia
tusukkan ke depan.
Desss! Untuk pertama kali dari mulut Abilowo terden-
gar seruan lengking. Bersamaan dengan itu, tubuhnya tertahan oleh tusukan kipas
Pendekar Mata Keranjang 108. Hebatnya, tubuh Abilowo tak mengeluarkan darah
setetes pun meski tusukan ujung kipas itu mero-
bek bahunya. Malah dalam keadaan demikian, kedua
tangannya masih sempat bergerak hendak merampas
kipas. Pendekar Mata Keranjang 108 yang tahu gela-
gat, cepat tarik kipasnya dan dengan gerak kilat tangan kanannya dia sentakkan
ke depan. Desss! Abilowo meraung keras. Tubuhnya melayang
jauh dan jatuh terkapar di atas tanah. Untuk beberapa lamanya tubuh kecil itu
tidak tampak bergerak-gerak.
Namun tak lama kemudian, tubuh kecil itu bergerak
merambat bangkit. Tapi begitu bangkit, tubuh Abilowo kembali oleng dan jatuh
telungkup, membuat Restu
Canggir Rumekso segera berkelebat mendatangi.
Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah men-
dekat. Kedua tangannya siap akan kirimkan serangan.
Namun saat itu berkelebat sebuah bayangan seraya
menegur. "Apa layak melakukan pembunuhan pada la-
wan yang sudah tak berdaya?"
Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan wajah
ke arah bayangan yang baru saja menegur.
"Ah, Putri Tunjung Kuning!" kata Pendekar Ma-ta Keranjang 108.
"Menghadapi orang berbahaya seperti mereka,
terlalu enak jika peraturan begitu diterapkan! Alam kubur lebih baik bagi mereka
daripada hidup menebar maut di mana-mana!"
"Ucapanmu benar. Namun kali ini kuharap kau
melihatku. Beri mereka kesempatan demi aku!" kata Putri Tunjung Kuning perlahan.
Dari sudut matanya
terlihat air mata hendak bergulir.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
menyipit dan melebar. Keningnya mengernyit. Dari
mulut murid Wong Agung ini keluar ucapan bernada
heran. "Putri Tunjung Kuning. Apa arti ucapanmu"
Apa hubunganmu dengan anak itu...?"
Putri Tunjung Kuning tidak menjawab. Dia ma-
lah balikkan tubuh dan menghambur ke arah Abilowo
yang kini telah ada di bopongan kedua tangan Restu
Canggir Rumekso.
"Serahkan anak itu padaku! Kau tak berhak
atas anak itu!" seru Putri Tunjung Kuning begitu dekat dengan Restu Canggir
Rumekso. Restu Canggir Rumekso tersenyum sinis. Lalu
berkata. "Siapa pun tak berhak atas anak ini!"
Habis berkata, Restu Canggir Rumekso balik-
kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
Mungkin karena masih terkesima dengan keadaan, Pu-
tri Tunjung Kuning terlambat untuk mencegah keper-
gian Restu Canggir Rumekso. Dia baru sadar tatkala
Restu Canggir Rumekso telah berkelebat hilang dari
pandangan. Menyadari hal itu, Putri Tunjung Kuning segera
pula hendak berkelebat mengejar. Namun Pendekar
Mata Keranjang menghadang dan berkata.
"Putri Tunjung Kuning. Katakan terus terang,
apa hubunganmu dengan anak itu!"


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak Putri Tunjung Kuning menatap bola
mata Pendekar Mata Keranjang 108. Dari mata gadis
cantik ini telah bergulir air bening membasahi pipinya.
"Aku tak bisa mengatakan sekarang. Suatu
saat kelak kau akan tahu sendiri...."
Habis berkata, Putri Tunjung Kuning segera
berkelebat ke arah menghilangnya Restu Canggir Ru-
mekso. "Tunggu!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108.
Namun Putri Tunjung Kuning tak menghiraukan teria-
kan Pendekar Mata Keranjang 108. Dia terus berkele-
bat dan meninggalkan murid Wong Agung dengan ba-
tin disarati beberapa pertanyaan.
SELESAI Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: GEMBONG RAJA MUDA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tusuk Kondai Pusaka 8 Gento Guyon 23 Racun Darah Tiga Dara Pendekar 27
^