Pencarian

Gembong Raja Muda 1

Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Bagian 1


GEMBONG RAJA MUDA Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Gembong Raja Muda
128 hal. SATU MALAM telah meniti semakin jauh. Gelap dan
dingin menyeruak membungkus lingkaran jagad raya.
Sesosok bayangan samar-samar terlihat berkelebat cepat menembus kepekatan malam.
Sosok ini sepertinya
tergesa-gesa sekali dan tampak khawatir. Terbukti tak jarang dia masuk
menyelinap ke balik semak belukar
dan baru muncul lagi begitu suasana dirasa aman,
dan matanya tak menangkap sesuatu yang patut dicu-
rigai. "Hmm.... Pendengaranku tak bisa ditipu. Sejak melintas kawasan hutan
pinus tadi, seseorang mengikuti perjalananku. Jahanam busuk! Siapa dia" Tam-
paknya dia berilmu juga, karena beberapa kali ku je-bak, dia seolah mengerti.
Hmm.... Kali ini dia tak akan lolos!" membatin sosok ini. Lantas sosok ini
berkelebat laksana kilat dan tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi.
Tak berselang lama kemudian, tak jauh dari
tempat sosok tadi lenyap, muncul satu sosok lagi. Seraya mengusap-usap dagu,
sosok yang baru muncul
ini menyapukan sepasang matanya membelah kepeka-
tan malam. Namun sedemikian lama, sosok ini tak
menemukan siapa-siapa.
Sosok yang baru muncul ternyata adalah seo-
rang pemuda. Tubuhnya tegap, sinar matanya menyo-
rot tajam. Rambutnya panjang sebahu dan dibiarkan
menjuntai. Wajahnya tampan, mengenakan pakaian
warna putih. Di pakaian bagian dada tampak sekun-
tum bunga berwarna hitam.
"Sialan. Ke mana dia pergi. Aku yakin, dia ma-
sih berada di sekitar sini, karena meski gelap pekat mataku masih bisa melihat
bahwa dia baru saja di si-
ni!" Sosok ini kembali menyapukan pandangannya berkeliling.
"Heran. Gerakannya begitu cepat. Berarti aku
masih belum bisa menjajari kecepatannya. Hmm...."
Sosok ini lantas bergerak melangkah ke arah dia tadi muncul. Lalu tiba-tiba
berkelebat seakan tak meneruskan niat untuk mengikuti orang. Padahal, dia
sebenarnya menyelinap dan mendekam di balik semak-
semak yang meranggas tinggi dengan sepasang mata
membeliak menyelidik.
Namun gerak tipu sang pemuda ini ternyata
sia-sia. Orang yang tadi diikutinya tak juga menam-
pakkan batang hidungnya. Hingga karena menyangka
orang yang diikuti telah tiada, pemuda ini kembali keluar dari persembunyiannya.
"Sebaiknya aku meneruskan perjalanan ke
Lembah Bandar Lor. Namun, aku tak bisa ditipu,
orang yang kuikuti tadi adalah...."
Belum selesai sang pemuda membatin, menda-
dak melesat deras larikan-larikan sinar yang mengeluarkan siutan dahsyat,
menggebrak ke arahnya.
Karena sejak semula sang pemuda telah was-
pada, meski dengan menindih rasa terkejut, pemuda
ini segera melesatkan diri ke samping, menghindari serangan. Dari arah samping
dia cepat dorong kedua
tangannya ke arah sumber serangan.
Wesss! Brett! Breett! Breett!
Semak belukar rimbun tak jauh dari tempat
sang pemuda terbabat rata, hingga sampai terbongkar ke akar-akarnya. Bersamaan
dengan menerabasnya
serangan sang pemuda, dari semak belukar mencuat
sebuah bayangan dengan keluarkan sumpah serapah
tak karuan. Begitu sosok dari balik semak belukar mencuat,
sang pemuda cepat memburu. Namun tanpa disangka-
sangka, sosok yang diburu menukik balik dan ki-
baskan tangan kirinya dua kali berturut-turut.
Wesss! Wesss! Dua buah benda meluncur deras. Hebatnya
meski sosok ini lancarkan serangan tanpa melihat di mana beradanya sang pemuda,
serangannya menggebrak lurus ke arah sang pemuda.
"Kiranya dugaanku tak meleset!" kata sang pemuda dalam hati begitu mengetahui
benda apa yang kini meluncur deras ke arahnya.
Seraya membuat putaran dua kali, sang pemu-
da cepat tarik kaki kanannya ke belakang, lalu kedua tangannya menghantam ke
depan, menggempur dua
benda yang mengarah kepadanya yang ternyata adalah
dua kuntum bunga warna hitam!
Bess! Beess! Serta merta dua kuntum bunga hitam itu han-
cur lebur dan bertaburan di udara sebelum mencapai
sasaran. Namun baru saja sang pemuda berhasil me-
nangkis serangan, sosok yang tadi diikuti sudah hentakkan sepasang kakinya ke
atas tanah. Blamm! Blamm! Tanah di tempat itu bergetar hebat dengan ke-
luarkan suara berdebam-debam dahsyat. Sang pemu-
da terperangah, namun cepat pula dia kerahkan tena-
ga dalam untuk menahan gerak tubuhnya yang ter-
huyung-huyung akibat bergetarnya tanah yang dipijak.
Namun lagi-lagi sang pemuda dibuat kalang kabut, karena baru saja dia kerahkan
tenaga dalam, dari arah kegelapan menyambar serangkum angin deras membawa hawa
panas menyengat.
"Busyet! Meski serangannya bisa kuduga, tapi
kecepatannya yang belum bisa kutandingi...!" bisik sang pemuda sambil dorongkan
kembali kedua tangannya ke depan menangkis sambaran angin.
Blarrr! Terdengar ledakan dahsyat saat dua pukulan
yang mengandung tenaga dalam tinggi itu bentrok di
udara. Tempat itu makin bergetar. Bahkan tanahnya
terbongkar dan membumbung ke udara menambah
pekatnya pemandangan!
Karena sewaktu menangkis serangan dalam
keadaan terhuyung-huyung dan tampaknya sang pe-
muda melepas serangan dengan setengah hati, mem-
buat tubuhnya terpental tiga tombak ke belakang dan jatuh terjengkang di atas
tanah dengan pantat terlebih dahulu. Melihat lawan jatuh terjengkang, sosok yang
diikuti sang pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah
berdiri lima langkah di hadapan sang pemuda dengan
tangan kiri siap hendak kirimkan serangan. Namun
belum sampai tangan kirinya bergerak, sang pemuda
berteriak. "Guru! Aku Pandu...!"
Sosok di hadapan sang pemuda, yang dipanggil
Guru sepertinya tak mengacuhkan teriakan sang pe-
muda yang menyebut dirinya Pandu. Dia terus han-
tamkan tangan kirinya, malah kali ini sebelah kakinya juga bergerak menyapu
luruhan tanah yang melayang
turun dari udara.
Weeess! Seeett!
Deru angin dahsyat dan taburan tanah melesat
cepat ke arah Pandu, membuat pemuda ini mau tak
mau harus segera bangkit dan lesatkan diri ke udara.
Namun begitu tubuh Pandu berada di udara, sosok
yang dipanggil Guru ini mencungkilkan kaki kirinya,
mengambil tanah. Dan serta merta tanah itu dia sapukan ke udara, bersamaan
dengan itu tangan kirinya
kembali bergerak menghantam ke atas! Bukan hanya
sampai di situ, begitu serangannya melesat, tubuh sosok ini ikut pula melesat
dengan kaki lurus!
Mendapat hujan serangan, Pandu tampaknya
tidak gugup. Di udara dia putar sekali tubuhnya. Lalu dengan bentakan sedikit
keras kedua tangannya didorong pelan. Anehnya, meski dorongan tangan sang
pemuda ini begitu pelan namun serangan lawan serta
merta ambyar lenyap terkena sambaran yang keluar
pelan dari kedua tangannya.
Meski kedua serangannya ambyar lenyap, na-
mun sosok yang dipanggil Guru ini terus melesat. Pan-du hanya mendengar angin
bersiur dan tahu-tahu dua
buah pasang kaki telah satu depa di depan hidungnya.
Dengan sedikit terkejut Pandu undurkan lang-
kah satu tindak ke belakang, lantas kedua tangannya dia tebaskan menyilang di
depan tubuhnya.
Deess! Terdengar benturan hebat, Pandu merasakan
kedua tangannya menghantam tiang beton, dan sakit
bukan alang kepalang. Sebaliknya sosok yang mener-
jang lurus keluarkan dengusan. Tubuhnya berputar.
Namun sosok ini tak mau kehilangan kesempatan. Be-
gitu tubuhnya berputar dia membentak garang dan
kakinya kembali menerjang!
"Celaka! Dia benar-benar ingin menghajar ku!"
membatin Pandu seraya hendak bergerak menangkis
kembali. Namun gerakannya kalah cepat, hingga baru
saja kedua tangannya bergerak, kedua kaki telah me-
nyongsong menghantam bahunya!
Deess! Tubuh Pandu berputar dan terbanting di atas
tanah. Takut jika sosok di hadapannya akan kembali
kirimkan serangan, pemuda ini cepat bangkit meski
bahunya terasa nyeri. Namun begitu bangkit, sang
pemuda terkejut. Matanya tak lagi menangkap sosok di hadapannya.
"Heran. Ke mana lagi dia menghilang...," seru Pandu seraya menebarkan pandangan
matanya. Saat itu suasana sudah agak terang, karena sang fajar lamat-lamat telah unjuk diri di
langit sebelah timur.
Selagi Pandu mencari, tiba-tiba semak belukar
sepuluh langkah di sampingnya menguak, dan dari ba-
liknya muncul sosok tubuh seraya memanggul seseo-
rang! "Guru!" seru Pandu dengan memandang tak kesiap. Bukan pada sosok yang
dipanggil Guru, namun pada seseorang yang berada di pundak gurunya.
Sosok yang dipanggil Guru melangkah keluar
dari semak belukar. Dia ternyata adalah seorang pe-
rempuan. Kulit wajahnya tak jelas warnanya karena
wajah itu memakai bedak putih tebal. Bibirnya tebal sebelah atas dan berwarna
merah menyala. Rambutnya panjang sepunggung, namun bagian samping dan
atas dipotong begitu pendek. Dan tingginya tak lebih hanya setengah tombak!
Hebatnya meski sosok yang
dipanggil Guru oleh Pandu ini pendek dengan sepa-
sang tangan dan kaki mungil, namun memanggul se-
seorang di pundaknya dia seolah tak merasakan beban sama sekali.
"Siapa orang yang ada di pundaknya..."
Hmm.... Harum tubuhnya bisa aku rasakan...," kata Pandu dalam hati seraya terus
memandang tak berkedip pada seseorang di pundak gurunya.
Manusia pendek yang dipanggil Guru oleh Pan-
du hentikan langkah begitu jaraknya tinggal tiga depa
di hadapan Pandu. Dia sejenak memandang Pandu
dengan tatapan dingin. Manusia pendek ini bukan lain adalah tokoh hitam rimba
persilatan yang beberapa
puluh tahun silam pernah membuat geger dunia persi-
latan, karena dengan tubuh pendek begitu, dia mampu merontokkan dan membuat
beberapa tokoh disegani
waktu itu harus mengakui kehebatannya. Manusia
pendek ini dikenal dengan panggilan Bawuk Raga
Ginting. Sementara pemuda di hadapan manusia pen-
dek ini adalah bekas anak didik Ageng Panangkaran.
Namun karena merasa Ageng Panangkaran tak sepe-
nuh hati menurunkan ilmu padanya, serta akibat ditolak cintanya oleh adik
seperguruannya dia bertekad
mencari Bawuk Raga Ginting untuk menimba ilmu
(Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Ma-ta Keranjang 108 dalam
episode: "Neraka Asmara").
"Pandu! Dari mana kau" Dan kenapa kau men-
gikutiku seperti pencuri?" Bawuk Raga Ginting angkat bicara. Bibirnya yang merah
menyala dan tebal sebelah atas bergerak sedikit membuka, namun suara yang
terdengar cukup membuat gendang telinga bagai ditu-
suk. Pandu tampak terkejut mendengar pertanyaan
Bawuk Raga Ginting. Hingga untuk beberapa saat la-
manya dia tak segera menjawab.
"Kau tahu, jika aku tak segera mengenali siapa dirimu sejak dini mungkin kau
telah tewas!" sambung Bawuk Raga Ginting dengan sepasang mata menyelidik.
"Sejak kepergianmu, aku merasa kesepian.
Maklum sudah beberapa tahun aku tak melihat lagi
dunia luar. Jadi untuk mengusir rasa sepi aku keluar dari Lembah Bandar Lor.
Selain itu kepergianku juga
untuk menyirap kabar dan mengendus sepak terjang
Pendekar Mata Keranjang 108. Karena kurasa seka-
rang aku sudah mempunyai kekuatan untuk membuat
pembalasan padanya!" Berkata Pandu dengan dagu terangkat membatu. Suaranya
terdengar bergetar dan
parau, pertanda menahan marah yang menggejolak di
dadanya. Perempuan pendek di hadapan Pandu keluar
kan tawa mengekeh panjang.
"Hmm.... Dendam anak ini pada Pendekar Mata
Keranjang 108 nampaknya sudah mendarah daging.
Aku senang itu. Namun apakah dia nantinya mampu
menaklukkan pendekar doyan gadis itu?" membatin Bawuk Raga Ginting. Lalu dia
berkata. "Muridku. Pembalasan memang harus dilaksa-
nakan. Namun kau juga harus berhati-hati. Musuhmu
bukan orang sembarangan!"
Wajah pemuda di hadapan perempuan pendek
ini langsung berubah merah padam. Rahangnya men-
gencang dengan pelipis bergerak-gerak. Seraya mengalihkan pandangan ke jurusan


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain, Pandu berkata.
"Siapa pun dia adanya, aku tak takut. Kalau
perlu gurunya pun akan kuhabisi sekalian!"
Perempuan pendek tertawa ngakak hingga be-
dak tebal di wajahnya merekat dan air matanya keluar.
Dia lantas mendongak, dalam hati dia membatin.
"Semangat anak ini tinggi sekali! Kiranya aku
tak salah memutuskan dia menjadi murid sekaligus
pembantuku...." Setelah diam beberapa saat, perempuan pendek ini berkata.
"Aku senang mendengar ucapanmu. Percaya-
lah, segala yang kau inginkan akan segera terwujud!"
"Guru! Kalau aku boleh tahu, siapakah...."
Belum habis kata-kata Pandu, Bawuk Raga
Ginting telah menyela seraya alihkan pandangannya
pada orang yang ada di pundaknya.
"Aku sendiri belum tahu, siapa nama gadis ini.
Tapi satu hal yang harus kau ingat, kau jangan coba-coba mendekatinya. Saat ini
kau masih dalam keadaan puasa! Kau dengar itu"!"
Pandu anggukkan kepala. Namun diam-diam
dalam hati dia mengumpat panjang pendek seakan
menyesali diri.
"Sialan benar. Baru kali ini aku menimba ilmu
harus dengan pantangan tidak boleh menggauli pe-
rempuan dalam jangka waktu seribu sembilan puluh
lima hari. Tapi apa boleh buat. Toh waktu itu cuma
kurang lima belas hari lagi. Dan setelah itu aku bisa menikmati hangat dan
nikmatnya tubuh perempuan...."
"Kau nampaknya menyesal. Apa kau sudah
ngebet sekali sama perempuan..." Yang berarti kau harus mengorbankan kerja keras
mu selama ini"!" kata Bawuk Raga Ginting seakan mengerti apa yang ada dalam
benak muridnya.
Meski dalam hati masih mengumpat, Pandu ge-
lengkan kepala, membuat Bawuk Raga Ginting terse-
nyum menyeringai. Lalu perempuan pendek ini berka-
ta. "Kita pulang ke Lembah Bandar Lor! Dan kau
yang bawa gadis ini!" Habis berkata, Bawuk Raga Ginting melangkah lebih mendekat
ke arah muridnya. Lan-
tas dengan gerakan ringan, gadis di pundaknya dia balik dan enak saja dia
lemparkan pada Pandu.
Dengan agak gugup Pandu menyambuti tubuh
sang gadis. Setelah sang gadis berada di atas kedua tangannya, barulah pemuda
ini dengan jelas bisa melihat raut sang gadis. Ternyata dia adalah seorang gadis
muda berwajah cantik jelita. Rambutnya panjang se-
bahu. Bulu matanya lentik dengan bibir ranum dan
merah tanpa polesan. Tubuhnya padat dengan buah
dada membusung kencang, sementara pinggulnya be-
sar dan kulitnya putih mulus. Di leher gadis ini nampak melingkar untaian kalung
dari bunga-bunga ber-
warna hitam. Sejenak Pandu dibuat terkesima, hingga untuk
beberapa saat sepasang matanya tak kesiap meman-
dang. Dadanya berdetak lebih kencang, sementara ja-
kunnya terlihat bergerak naik turun.
"Ingat Pandu, belum saatnya kau menikmati
apa yang ada dalam pikirannya!" kata Bawuk Raga Ginting seraya berkelebat
mendahului. Pandu seakan tak mendengar ucapan gurunya.
Dengan dada makin berdetak kencang dan mata mem-
beliak lebar, pemuda ini terus memandang gadis di
atas pangkuan tangannya. Bahkan dengan napas
memburu kencang dia turunkan sedikit kepala dide-
katkan pada bibir sang gadis.
"Anak goblok! Apa kau ingin memulai sesuatu
yang membuat kerja keras mu selama ini tiada guna"!"
mendadak terdengar suara keras menegur begitu bibir Pandu menyentuh bibir sang
gadis. Tahu siapa yang keluarkan teguran, Pandu ce-
pat tarik kembali kepalanya dan dengan raut merah
padam dia segera berkelebat.
"Keparat! Seandainya aku sedang tidak menun-
tut ilmu demi balas dendam pada Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, sudah ku langgar pantangan itu. Peduli setan...!" kata Pandu dalam
hati seraya terus berkelebat menyusul Bawuk Raga Ginting.
DUA SEORANG pemuda bertubuh tegap dan berwa-
jah tampan, mengenakan pakaian warna hijau yang di-
lapis dengan baju lengan panjang warna kuning serta rambut panjang dan dikuncir
ekor kuda nampak melangkah perlahan seraya berkipas-kipas. Dari mulut-
nya tak henti-henti terdengar dendang nyanyian yang tak bisa dimengerti.
"Apa aku sekarang harus kembali ke lereng
Mahameru menyusul Restu Canggir Rumekso..." Ah,
kukira itu tiada guna. Restu Canggir Rumekso ten-
tunya sudah pindah tempat. Lagi pula setelah melihat keadaan Putri Tunjung
Kuning sehat-sehat saja, itu
sudah cukup membuatku lega, meski kini timbul bebe-
rapa pertanyaan baru yang belum bisa kujawab...," ba-
tin sang pemuda seraya terus melangkah.
"Siapa anak kecil bersama Restu Canggir Ru-
mekso itu..." Dan kenapa Putri Tunjung Kuning men-
cegahku saat dia sudah dalam keadaan tak berdaya"
Putri Tunjung Kuning sepertinya mengenali anak itu.
Seandainya bukan Putri Tunjung Kuning yang mence-
gah, saat itu juga mungkin anak itu telah kubuat ba-bak belur. Heran, kenapa
anak sekecil dia sudah me-
miliki ilmu demikian hebat..." Gara-gara anak kecil itu juga pukulan 'Bayu
Kencana' kulepaskan, dan berarti aku harus menunggu setengah purnama lagi untuk
bi-sa menggunakan ilmu itu...," sang pemuda yang bu-
kan lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang
108 terus membatin.
"Masalah Putri Tunjung Kuning kuanggap sele-
sai, dan sekarang aku harus mencari tahu di mana beradanya Bawuk Raga Ginting.
Ratu Sekar Langit telah
berhasil dia bawa pergi, aku khawatir tentang kesela-matannya dan...."
Aji cepat memotong kata hatinya. Dia segera
berkelebat dan lenyap dari tempatnya semula.
"Aku merasa diikuti seseorang. Hmm.... Siapa
lagi dia. Sialan benar! Jangan-jangan Restu Canggir Rumekso. Jika benar dia,
celaka aku! Pukulan 'Bayu
Kencana' belum dapat kugunakan lagi...," gumam Aji
yang ternyata kini telah mendekam di balik semak belukar. Matanya tak kesiap
menebar berkeliling, sementara kedua telinganya dia pasang baik-baik.
Tak berapa lama berlalu, dari arah depan,
muncul seseorang. Dia adalah seorang laki-laki. Mengenakan pakaian warna biru
gelap. Tubuhnya amat
besar dengan perut tambun. Begitu besarnya tubuh
laki-laki ini sehingga wajahnya hampir tak menggam-
barkan raut muka seseorang. Pipinya menggelantung
hampir menutupi bibirnya. Demikian pula dahinya, dipenuhi daging yang kendor
hampir menghalangi kedua
mata dan hidungnya.
Saat melangkah, terdengar bunyi berdebam-
debam. Ternyata laki-laki tambun ini tidak mempunyai sepasang kaki. Dia berjalan
dengan menggunakan
tongkat yang dipancangkan pada kedua ketiaknya.
Hebatnya, tongkat yang dia pakai sebagai pengganti
kedua kakinya itu hanya terbuat dari bambu kecil.
Namun demikian bambu kecil itu tidak patah, bahkan
mengeluarkan suara yang menggidikkan.
Sepasang mata Aji sejenak dibuat tak kesiap.
"Heran. Aku tadi bisa memastikan bahwa orang
yang mengikutiku berada di belakangku. Laki-laki
tambun ini muncul dari arah depanku, dan dari tadi
aku tak mendengar debaman tongkatnya, hanya begitu
dekat saja suara itu baru terdengar. Apa laki-laki ini
yang mengikutiku" Namun kenapa tiba-tiba dia mun-
cul dari arah depan" Atau memang orang yang mengi-
kutiku dari belakang dan laki-laki ini memang muncul dari arah depan...," seraya
membatin menduga-duga,
sepasang mata Aji tak sedikit pun lepas dari sosok la-ki-laki tambun itu.
Laki-laki tambun bertongkat bambu tiba-tiba
hentikan langkah. Dan dengan gerakan yang sulit di-
ikuti pandangan mata tongkat kirinya dia angkat sedikit. Lalu sebuah ranting
kecil yang berserakan di bawah pohon tak jauh dari tempatnya berdiri dia sentak
pakai tongkatnya.
Seeett! Ranting kecil itu melesat bagai anak panah dan
menerabas semak belukar di mana Aji mendekam.
"Busyet! Dia mengerti jika aku di sini!" gumam
Aji sambil lesatkan diri ke udara. Bersamaan dengan itu, semak belukar di mana
tadi Aji mendekam tertera-bas rata! Malah di kejap itu juga tercium bau sangit
bagai kayu terbakar!
Setelah membuat putaran sekali di udara, Aji
mendarat dengan sepasang mata membeliak, lalu me-
nyipit. Keningnya mengernyit pertanda berpikir keras.
Seumur-umur baru kali ini aku menemui orang
macam ini. Tak dapat disangka, pasti dia mempunyai
ilmu tinggi. Hmm.... Siapa dia" Dan kenapa tiba-tiba
menyerangku" Apes betul nasibku. Di mana-mana se-
lalu dimusuhi orang!" batin Aji. Lalu dia berkata.
"Kurasa kita belum pernah bertemu. Apa ge-
rangan yang membuatmu mendadak menyerangku"!"
Laki-laki tambun palingkan wajah menghadap
Aji. Dahinya yang dipenuhi daging bergerak-gerak,
akibat gerakan kelopak matanya yang terangkat ke
atas, hingga sepasang matanya terlihat jelas.
Sepasang mata laki-laki ini sebentar menger-
jap-ngerjap memandang Aji. Namun tak lama kemu-
dian telah tertutup kembali dengan daging dahinya.
Bersamaan dengan tertutupnya mata, laki-laki ini
menggerakkan bibirnya yang terlindung daging pipi,
dan terdengarlah suaranya.
"Sebut nama dan gelarmu!"
Aji jadi terganggu sendiri. Dia menyungging se-
nyum kecut. Dalam hati dia bertanya-tanya heran.
"Ah, dalam rimba persilatan memang banyak
orang yang bertingkah dan berciri aneh-aneh...." Lalu Aji memandang jurusan lain
dan berkata. "Namaku Aji Saputra. Aku tidak pernah meng-
gelari diri, karena aku hanyalah seorang pengelana jalanan yang tak tentu
juntrungannya!"
"Hmm...," laki-laki bertongkat bambu menggu-
mam lalu berkata seperti pada dirinya sendiri.
"Susah benar mencari pemuda setan itu. Kalau
saja usiaku masih muda.... Segalanya mungkin dapat
kuatasi sendiri...."
"Orang ini mencari seseorang...," membatin Aji
seraya melangkah kembali wajahnya memandang laki-
laki bertongkat bambu di hadapannya.
Laki-laki bertongkat bambu tampak lurus
menghadap Aji, lalu enak saja dia melangkah pergi
tanpa berucap lagi. Suara hujaman tongkatnya kemba-
li menyentak-nyentak.
"Sulit dipercaya. Jika dia tidak memiliki ilmu
peringan tubuh luar biasa, tidak mungkin dia bisa me-lakukannya. Tongkat itu
dari bambu dan begitu kecil, namun kuat menahan tubuh sebesar itu.... Dengan
serangan tadi, jika aku tidak segera minggat, tentu tubuhku sudah rata!" Aji
geleng-geleng kepala dan begitu ingat kata-kata orang, dia lantas berteriak.
"Tunggu!"
Suara hentakan tongkat lenyap. Laki-laki itu
menghentikan langkah. Lalu tanpa balikkan tubuh dia berkata.
"Apa maumu"!"
"Kau sepertinya sedang kebingungan mencari
seseorang. Karena aku seorang pengelana jalanan,
mungkin aku sendiri bisa membantu jika kau sudi se-
butkan nama orang yang kau cari...!"
"Hm.... Begitu" Sayang sekali, aku tak senang
jika dibantu orang hanya sedikit-sedikit. Kalau kau memang ingin menolong,
jangan setengah-tengah!"
"Wah, jika begitu maunya aku tak bisa meno-
long dan lebih baik aku meneruskan perjalanan...," pikir Aji seraya balikkan tubuh
dan berkata seraya melangkah menjauh.
"Bila itu maumu, aku pun menarik ucapanku.
Selamat jalan...."
Begitu tubuh Aji berkelebat meninggalkan tem-
pat itu, laki-laki bertongkat bambu melanjutkan langkah. Namun baru dua hentakan
tongkatnya, menda-
dak. Beett! Sebuah bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di
hadapan laki-laki ini telah berdiri sesosok tubuh.
Meski datangnya sosok ini begitu tiba-tiba, laki-laki ini tak menampakkan rasa
terkejut sama sekali, malah
seakan acuh dengan kedatangan orang, laki-laki ini
meneruskan langkah tanpa memandang orang di ha-
dapannya. "Ke mana dia"!" orang yang di hadapan laki-laki
membentak. Mendapat teguran yang bernada membentak,
laki-laki bertongkat urungkan niat untuk meneruskan
langkah. Sejenak dahinya bergerak seiring membu-
kanya mata. Sepasang mata laki-laki ini sebentar membela-
lak bolak balik, memperhatikan orang yang menegur.
Di hadapannya tampak seorang gadis berwajah cantik, mengenakan pakaian coklat
bergaris-garis. Rambutnya panjang dan dikuncir. Matanya bulat dengan hidung
mungil. "Orang tua! Harap segera jawab tanyaku, ke
mana perginya dia"!" kembali sang gadis menegur. Suaranya semakin lantang,
membuat laki-laki bertongkat bisa segera menebak jika sang gadis menahan marah.
"Anak gadis.... Siapa yang kau maksud dengan
dia...?" tanya laki-laki bertongkat sambil merapatkan kembali sepasang matanya.
"Jangan berpura-pura!" hardik sang gadis. "Ba-
ru saja dia berada di sini. Berbicara denganmu! Dan kau berpura-pura balik
bertanya. Lekas katakan sebelum hilang rasa sabarku!"
Laki-laki bertongkat dongakkan kepala. Lalu
mendadak dari mulutnya keluar tawa mengekeh pan-
jang. Gadis di hadapannya surutkan langkah hingga
tiga tindak. Raut wajahnya berubah kecut. Suara tawa laki-laki bertongkat
demikian membahana, hingga
meski sang gadis menyalurkan hawa murni untuk me-
nangkis denging sakit di telinganya, namun usahanya hanya membantu sedikit,


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat gadis ini sadar
bahwa laki-laki di hadapannya adalah orang yang be-
rilmu tinggi. Hingga meski laki-laki bertongkat telah hentikan tawanya, sang
gadis tidak lagi buka mulut.
Dia hanya tegak bagai patung seraya memandang ta-
jam ke depan, diam-diam keringat dingin mulai terasa membasahi tengkuknya.
"Anak gadis...," kata laki-laki dengan suara pe-
lan, membuat ketegangan sang gadis sedikit reda. "Aku tidak berpura-pura. Aku
bersama orang tadi hanya bicara sebentar. Itu pun hanya terbatas pada tanya na-
ma, lain tidak! Setelah dia sebutkan nama, dan ternyata bukan orang yang kucari,
aku dan dia pun saling meneruskan perjalanan masing-masing...."
"Ngg.... Kau mencari seseorang...?" sang gadis
balik bertanya. Kini suaranya pelan, malah gadis ini berkata seraya menjura
sedikit. Beberapa saat laki-laki bertongkat tak segera
menjawab. Namun akhirnya dia membuka mulut juga.
"Yang kau katakan benar. Aku memang dalam
perjalanan mencari seseorang. Tapi aku tidak seberuntung kau!"
"Apa maksudmu...?" tanya sang gadis sedikit
heran mendengar kata-kata laki-laki di hadapannya.
Laki-laki bertongkat tersenyum, membuat dag-
ing yang menutupi bibirnya bergerak ke kanan dan ki-ri.
"Melihat sikap dan tingkahmu, pada dasarnya
kita dalam perjalanan yang sama, yakni mencari se-
seorang. Hanya saja kau beruntung, kau masih bisa
mengenali orang yang kau cari, malah kau hampir
mendapatkannya. Sedangkan aku" Aku mencari seseo-
rang yang hanya tahu nama tanpa dapat mengetahui
bentuk, usia apalagi tempat tinggalnya...." Laki-laki bertongkat hentikan
ucapannya, membuka matanya
sebentar lalu melanjutkan ucapannya.
"Orang yang kau cari berkelebat ke sana...."
Laki-laki bertongkat angkat salah satu tongkat pe-
nyangga tubuhnya dan menunjuk ke satu arah.
"Dia kekasihmu..." Hmm.... Kalian kurasa co-
cok untuk berdampingan. Yang perempuan seorang
gadis cantik yang laki-laki tampan. Hari sudah panas,
aku harus pergi...."
Raut wajah sang gadis mendadak berubah me-
rah padam, hingga begitu mendengar ucapan laki-laki di hadapannya, gadis ini
sembunyikan wajah dengan
memandang jurusan lain.
"Tunggu!" kata sang gadis begitu melihat laki-
laki bertongkat hendak melangkah pergi.
"Bisakah kau sebutkan nama orang yang kau
cari...?" tanya sang gadis masih dengan tak berani menatap laki-laki di
hadapannya. Laki-laki bertongkat tarik napas panjang, lalu
mengangguk. "Aku mencari orang yang bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108...."
Sepasang bola mata gadis itu membelalak, ke-
ningnya mengernyit.
"Orang itu aneh. Bukankah tadi dia sudah ber-
temu dengan orang yang dicarinya" Atau saat itu Pendekar Mata Keranjang 108 tak
mau sebutkan gelar"
Ada apa dia mencari pemuda itu..." Meski aku sakit
hati pada pemuda itu, tapi aku tak tega melihat dirinya celaka. Aku akan
menyelidik siapa laki-laki ini dan apa masalahnya dia mencari Pendekar 108!"
membatin sang gadis. "Kau tampaknya terkejut, apa kau mengetahui
orang yang ku sebut tadi?" tanya laki-laki bertongkat begitu melihat perubahan
pada wajah gadis di hadapannya. "Kau tahu...?"
Ditanya begitu, sang gadis tidak menjawab, ma-
lah dia balik berkata.
"Kalau tak keberatan, katakan siapa dirimu
orang tua!"
Laki-laki bertongkat sejenak terdiam. Sepasang
matanya kembali membuka memperhatikan seksama
gadis di hadapannya dari ujung kaki sampai ujung
rambut, membuat orang yang dipandang terjengah dan
tersipu-sipu. "Anak gadis...," kata laki-laki bertongkat perla-
han. "Melihat perubahan pada wajahmu, aku menduga
kau tahu orang yang kucari. Namun jika kau menga-
jukan syarat ingin tahu siapa diriku, baiklah. Aku oleh orang-orang dipanggil
Gongging Baladewa...."
Mendengar orang itu sebutkan nama, sang ga-
dis surutkan langkah.
"Gongging Baladewa. Hmm.... Aku rasa-rasa
pernah dengar nama itu. Benar, aku pernah dengar
dari mendiang Guru...," membatin sang gadis. "Menu-
rut penuturan Guru, Gongging Baladewa adalah seo-
rang tokoh nomor wahid yang sulit dicari tandingnya.
Dia tokoh aneh, hingga tak satu pun orang tahu, di
mana dia tinggal. Dia pun tak akan muncul tanpa ada sesuatu yang sangat penting.
Sekarang dia muncul,
berarti ada sesuatu yang sangat penting. Kenapa dia mencari Pendekar 108...?"
"Aku telah sebutkan apa yang kau minta. Nah,
sekarang katakan di mana aku bisa temukan orang
yang kucari!" kata laki-laki bertongkat menyentak la-munan gadis di hadapannya.
Gadis cantik itu kembali tercenung, hingga un-
tuk beberapa saat dia tak segera menjawab pertanyaan orang itu. "Apa aku harus
katakan...?"
"Anak gadis.... Kalau kau keberatan, aku tak
memaksa. Aku akan mencarinya sendiri...."
Habis berkata, Gongging Baladewa balikkan tu-
buh dan melangkah pergi.
"Sebaiknya kukatakan saja. Toh, kalau dia ber-
niat jahat, kurasa Pendekar Mata Keranjang 108
mampu untuk menjaga diri!" berpikir begitu, gadis ini
lantas berteriak menahan kepergian laki-laki bertongkat.
"Orang tua, tunggu!"
Laki-laki bertongkat hentikan langkah. Dia te-
gak menunggu. Dan demi didengarnya langkah-
langkah halus mendekat, laki-laki itu balikkan tubuh.
"Orang yang kau cari adalah orang yang tadi
berbicara denganmu di sini!" kata sang gadis seraya memandang laki-laki itu,
ingin mengetahui reaksinya.
Mendengar kata-kata gadis di hadapannya,
Gongging Baladewa membuka sepasang matanya. Dari
mulutnya terdengar ucapan.
"Jangan berkelakar denganku!"
"Aku berkata sesungguhnya. Pendekar Mata
Keranjang 108 adalah orang yang tadi sempat bicara
denganmu...," kata gadis meyakinkan.
Laki-laki bertongkat mengangguk. "Sial betul!
Inilah susahnya mencari orang yang hanya tahu na-
manya tanpa mengetahui rupa dan tempat tinggalnya!"
Lalu laki-laki ini bertanya.
"Waktu menegur tadi, nada suaramu terdengar
menahan marah, ada apa sebenarnya antara kau dan
pemuda itu" Kalian bertengkar..." Atau...," laki-laki ini tak melanjutkan ucapannya,
karena sang gadis telah
menyahut. "Dia adalah laki-laki yang paling kubenci saat
ini, karena dia adalah pembunuh mendiang guruku!"
suara gadis ini kembali melengking. Matanya berkilat-kilat dengan pelipis
bergerak-gerak.
"Hanya itu masalahnya" Tidak ada hal lain...?"
tanya Gongging Baladewa.
"Heh, apa maksud kata-katamu..."!" balik ber-
tanya sang gadis.
"Melihat kau tadi masih menyembunyikan sia-
pa dia, aku curiga. Jangan-jangan kemarahanmu
hanya karena ada hal lain yang mempengaruhi...!"
"Orang ini cerdik. Dia sepertinya dapat meraba
apa yang ada dalam benakku. Aku benci dan sakit hati padanya karena dia terlalu
meremehkan perempuan.
Di sana-sini selalu menggaet perempuan! Tak mau
mengerti aku. Tapi apa boleh dikata. Dia adalah seorang laki-laki yang menarik,
hingga tak heran jika banyak gadis cantik yang tertarik padanya....." membatin
sang gadis. "Aku menangkap sesuatu yang tak wajar di ba-
lik kemarahanmu. Jika kau tak keberatan, harap kau
ceritakan apa sebenarnya yang ada di balik itu. Siapa tahu aku bisa sedikit
membantu, hitung-hitung kau telah membantuku hingga aku sekarang dapat mengeta-
hui ciri-ciri orang yang selama ini kucari...."
Agak lama, setelah menimbang-nimbang akhir-
nya gadis di hadapan laki-laki itu berkata.
"Aku.... Aku Sebenarnya mencintai pemuda itu.
Bahkan karena dia pula aku putus hubungan dengan
saudara seperguruanku, yang diam-diam menyintai-
ku...." Mendengar kata-kata sang gadis, Gongging Ba-
ladewa tersenyum lebar, membuat sang gadis bersemu
merah. "Kau tadi mengatakan bahwa dia pembunuh
gurumu! Siapa gurumu?"
"Aku sebenarnya masih tak percaya jika dia
membunuh Guru. Hanya saja saat kutemukan tewas,
pemuda itu ada di samping Guru. Kalau aku masih be-
lum percaya, tak demikian dengan saudara seperguru-
anku. Dia tetap mengatakan bahwa pemuda itulah
yang membunuh Guru! Hingga saudara seperguruan
ku itu menaruh dendam!"
Laki-laki bertongkat menyeringai, beberapa kali
dia berdecak. "Siapa gurumu...?" ulang laki-laki bertongkat
ketika sang gadis belum juga mengatakan nama gu-
runya. "Ageng Panangkaran...."
Senyum laki-laki bertongkat mendadak ter-
penggal seketika. Rautnya berubah terkejut. Seakan
tak sadar dia lantas bergumam.
"Ageng Panangkaran. Rupanya kau telah men-
dahuluiku. Hmm.... Usia manusia memang tak dapat
ditentukan...."
"Kau mengenalnya?" tanya sang gadis.
"Dia sahabatku!"
Mendengar ucapan Gongging Baladewa, gadis
itu serta merta menjura.
"Anak gadis.... Menyimpul dari kata-katamu,
kemarahan serta kebencianmu pada manusia yang
bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 mungkin kare-
na kau dipengaruhi rasa cemburu. Begitu bukan?"
Gadis di hadapan Gongging Baladewa paling-
kan wajahnya yang makin merah mengelam. Dan pada
akhirnya kepala gadis ini mengangguk perlahan, mem-
buat Gongging Baladewa kembali tersenyum.
"Cinta. Hmm.... Cinta memang kadang-kadang
memutuskan persaudaraan. Dan juga menyulut sesua-
tu yang terpendam jika cinta itu terganggu. Tapi kalau boleh aku mengatakan,
jika kau memang ingin menyelidik siapa pembunuh gurumu, hilangkan rasa cembu-
ru. Kau harus bisa memisah-misah. Sulit memang, ta-
pi itulah jalan terbaik jika kau tidak ingin salah menurunkan tangan maut!"
Sang gadis mengangguk seraya menghela napas
panjang dan dalam, lalu berkata. "Kau mungkin be-
nar...." Gongging Baladewa lantas memandang berkelil-
ing, lalu mendongak ke atas.
"Hari sudah menjelang senja. Aku harus me-
ninggalkan tempat ini. Ngg.... Siapa namamu...?"
"Sakawuni...," jawab sang gadis.
"Nama bagus, secantik orangnya. Nah, terima
kasih atas pemberitahuanmu. Semoga kapan-kapan
kita bisa jumpa lagi...," kata Gongging Baladewa seraya hendak melangkah pergi.
"Eh, kalau boleh aku tahu, ada apa hingga kau
mencari Pendekar 108...?" tanya Sakawuni.
"Aku tak bisa mengatakan itu padamu. Hanya
saja jika aku nanti bertemu dengannya, akan kukata-
kan bahwa seorang gadis cantik sedang mengharap
dan menunggunya. Dan jika nanti dia bandel, masih
suka mempermainkan perempuan biar kujewer telin-
ganya!" Habis berkata, Gongging Baladewa berkelebat ke arah dari mana tadi dia
muncul, karena dia tahu
orang yang dicari berkelebat ke arah itu.
Sakawuni untuk beberapa saat lamanya masih
tegak di tempatnya, sepasang matanya memandang ke
jurusan mana Gongging Baladewa berkelebat.
"Orang hebat. Meski tubuhnya besar dan cacat,
namun gerakannya begitu cepat, hampir aku tak bisa
mengikuti kelebatnya...."
Gadis itu lantas balikkan tubuh dan berkelebat
pula mengambil jalan sama dengan Gongging Balade-
wa. *** TIGA GONGGING Baladewa menggenjot larinya,
hingga tubuhnya hanya kelihatan membersit cepat
laksana berkas cahaya.
"Segala ucapan gadis tadi moga-moga benar,
bahwa pemuda itulah yang bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108...," membatin Gongging Baladewa begitu jauh di depannya sepasang
matanya menangkap orang
yang dikejar tampak melangkah perlahan seraya ber-
kipas-kipas dan mendendangkan nyanyian.
"Anak sinting! Dia tampak enak-enakan. Apa
dia tak tahu, nyawanya diancam orang...."
Gongging Baladewa semakin mempercepat ke-
lebat tubuhnya. Begitu agak dekat, laki-laki besar bertongkat bambu ini kibaskan
kedua tongkatnya.
Wess! Wess! Dua rangkum angin deras segera melesat ke-
luar dari tongkat bambu dan berderak ke depan, ke
arah pemuda di hadapannya.
Yang diserang, dan bukan lain memang Aji alias
Pendekar 108 alias Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera palingkan wajah dan kibaskan kipas ungunya
yang sedari tadi dibuat berkipas-kipas.
Wesss! Angin deras yang menggebrak ke arahnya tiba-
tiba bagai tertahan, bahkan mental balik ke sang penyerang, membuat Gongging


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baladewa terkejut dan
buru-buru berkelebat ke samping, menghindari sam-
baran angin tongkatnya yang mental dan menyambar
ke arahnya. Begitu tahu siapa adanya orang yang membo-
kong, Aji cepat palingkan kembali wajahnya dan berke-
lebat cepat. Tubuhnya lenyap dari hadapan Gongging
Baladewa. "Jangkrik! Ternyata dia yang terus mengikuti-
ku.... Apa tujuannya" Lebih baik aku menghindar. Tak ada guna meladeni orang
aneh...," kata Aji dalam hati seraya terus berkelebat.
Begitu dirasa orang yang mengikuti tak bisa
mengejar, apalagi suasana gelap mulai turun, Aji
memperlambat larinya, namun demikian dia masih te-
tap waspada. Bahkan untuk meyakinkan diri, dia sege-ra menyelinap ke balik
sebuah pohon. Dan begitu agak lama tak ada orang yang dicurigai, Aji keluar dan
terus melangkah.
"Di depan kulihat banyak lampu-lampu, berarti
ada sebuah perkampungan. Semoga aku dapat mene-
mukan orang yang bisa memberitahu di mana tempat
tinggal perempuan pendek itu...."
Selagi Aji berpikir begitu dan hendak melang-
kah, dari arah depan berkelebat sesosok bayangan.
"Ha... ha... ha...! Kau kira bisa lolos dari mataku, he..."! Pemuda pendusta!
Kau pantas mendapat
gebukan tongkat ini!"
Belum habis kata-kata orang yang baru datang,
dan benda hitam melesat, dan terdengar suara.
Clepp! Cleepp! Begitu dua benda hitam yang ternyata adalah
dua batang bambu menancap di tanah di hadapan Aji,
Aji undurkan langkah dua tindak ke belakang. Ma-
tanya menatap tajam ke depan, lalu menyapu berkeliling.
"Di mana si gendut itu?" membatin Aji dengan mata tak kesiap, sementara kedua
tangannya siap pula menyentak.
Aji tak menunggu terlalu lama. Dari kegelapan
di sampingnya berdesir angin kencang. Satu bayangan besar berkelebat dan tahu-
tahu berdiri di hadapannya, kedua ketiaknya menopang pada dua bambu yang
menancap! "Sebutkan nama dan gelarmu!" kata sosok yang berdiri di hadapannya dan
bukan lain adalah Gongging Baladewa.
"Itu lagi, itu lagi yang dikatakan! Apa dia pen-gumpul nama. Menghadapi orang
begini, susah! Dika-
sih tahu benar-benar tidak percaya. Apa dia ingin di-bohongi...?"
"Namaku Aji Saputra...," kata Aji, lalu tersenyum dan melanjutkan. "Gelarku
Enceng Gondok! Kau sendiri siapa?"
Orang yang ditanya keluarkan dengusan keras.
Dahinya bergerak-gerak, namun sebentar kemudian
yang terdengar adalah ledakan tawanya yang meng-
gembor keras dan panjang terbahak-bahak. Karena
suara tawa itu dialiri tenaga dalam, membuat Aji harus pula kerahkan tenaga.
Maka untuk menangkis tenaga
dalam laki-laki di hadapannya, Aji pun ikut-ikutan tertawa. Hingga sebentar
kemudian, di tempat itu ramai sekali suara tawa.
Namun secara mendadak Gongging Baladewa
hentikan tawanya. Lalu membentak garang.
"Mulut seorang pendusta memang pantas un-
tuk dikoyak-koyak!" selesai bicara, Gongging Baladewa langsung melesat. Tubuhnya
melayang deras tanpa
tongkat di kedua ketiaknya. Tongkat bambu itu tetap di tempatnya semula.
Prakkk! Terdengar benturan keras ketika dua lengan
beradu di udara. Ternyata sewaktu diserang, Aji me-
nangkis dengan hempaskan kedua tangannya menyi-
lang. Aji merasakan kedua tangannya laksana hanta-
man tiang baja, hingga saat itu juga wajahnya meringis menahan sakit, sementara
dari mulutnya terdengar ke-luhan pelan. Di lain pihak, Gongging Baladewa
tubuhnya terus meluncur ke depan. Namun tubuh besar itu
segera membuat gerakan berputar dan kini membalik
seraya putar-putar tangan kiri-kanan.
Aji yang masih menahan sakit cepat rebahkan
diri ke depan hingga sejajar dengan tanah. Begitu laki-laki besar tambun berada
di atasnya, sepasang kaki Aji melenting ke udara, menghadang serangan lawan.
Namun Aji jadi terperangah. Sepasang kakinya
tak merasakan menghantam sesuatu, padahal dia su-
dah memastikan bahwa saat itu laki-laki besar berada tepat di atasnya. Malah Aji
semakin terperanjat tatkala sepasang kakinya terasa dihempaskan keras ke bawah.
Begitu derasnya hempasan itu, hingga jika saja Aji tidak segera angkat kepalanya
dan membuat gerakan berputar niscaya kakinya akan patah menghan-
tam tanah. Tapi begitu kepala Aji terangkat dan akan berkelit menyamping, sebuah
tangan besar menyeruak
menghajar mulutnya.
Plak! Tubuh Aji terhuyung ke belakang. Saat demi-
kian itulah, sebuah tangan besar kembali berkelebat ke arah lambung. Dengan
perasaan marah yang mulai
mendera, Aji segera memapasi tangan itu dengan han-
taman kedua tangannya!
Namun Aji terkecoh. Gerakan tangan yang me-
lesat ke arah lambung itu hanyalah gerak tipu belaka.
Karena saat kedua tangan Aji bergerak memapas, se-
buah tangan lain telah berkelebat ke arah mulutnya.
Plaaakk! Kali ini Aji tak bisa lagi menahan gerak tubuh-
nya, hingga kejap itu juga tubuhnya terjengkang dengan mulut mengeluarkan darah!
"Siapa manusia ini sebenarnya. Dan apa mak-
sud dia sebenarnya?" membatin Aji seraya bangkit dan memandang melotot pada
laki-laki besar tambun yang
kini kembali berdiri dengan kedua ketiak menopang
pada dua bambu.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya"!" Yang ditanya tengadahkan kepala. Sepasang
matanya mem- buka dan menatap tajam ke arah Aji. Lalu mulutnya
membuka memperdengarkan suara tawa pendek.
"Jika kau masih tak jujur padaku, bukan tam-
paran akan kau terima! Dan mulutmu akan berubah
bentuknya! Lekas sebutkan nama dan gelarmu!"
"Bedebah! Apa dikira aku takut...?", Aji seraya melesat ke depan dan dengan hati
panas dia hantamkan tangan kiri-kanan ke arah kepala laki-laki besar tambun.
Yang diserang tidak beranjak dari tempatnya,
malah dia keluarkan tawa mengejek. Lalu kepalanya
bergerak aneh seperti orang yang menari patah-patah.
Hebatnya gerakannya itu mampu menghindarkan ke-
palanya dari hantaman tangan Aji yang kini terus
menghujam kiri-kanan.
Merasa dipermainkan, Aji segera melompat ba-
lik ke belakang. Dari tempat ini dia segera rentangkan kedua tangannya lalu
dihantamkan ke depan.
Weess! Weess! Dua rangkum angin yang menggemuruh mele-
sat ke depan. Gongging Baladewa kembali hanya tertawa
pendek. Begitu serangan Aji sedepa lagi menghajar tubuhnya, laki-laki besar
bertongkat ini sentakan kedua tongkatnya ke tanah. Terdengar bunyi berdebam, dan
bersamaan dengan itu tubuh Gongging Baladewa le-
nyap. "Sialan! Lari ke mana dia...?" batin Aji begitu melihat serangannya
menerabas tempat kosong dan
lawan lenyap dari hadapannya.
Tiba-tiba dari arah sebuah pohon tak jauh dari
tempat Aji terdengar suara tawa mengekeh.
"Pukulan 'Segara Geni', apa hebatnya..." Itu
hanya pantas kau tunjukkan pada nyamuk-nyamuk
kecil!" Pendekar Mata Keranjang 108 segera berpaling dan tengadah. Darahnya
sirap ketika mendapati lawan mengetahui pukulan yang baru saja dilancarkan.
Panas oleh ejekan, Pendekar Mata Keranjang
108 segera keluarkan kipas ungunya. Begitu kipas dibuka, tubuhnya cepat
melenting ke udara, ke arah la-ki-laki tambun yang kini menggelantung dengan
perut di atas dahan. Bagaimanapun marahnya, diam-diam
Aji merasa kagum juga. Dahan itu tidak begitu besar, namun digelantungi tubuh
yang begitu gendut tidak
berderak patah, bahkan bergoyang pun tidak.
Begitu tubuh Aji menjejak sebuah dahan yang
tak jauh dari laki-laki besar, dia segera lepaskan pukulan ke arah dahan yang
digelantungi laki-laki besar.
Dahan itu patah berderak. Tubuh Gongging Ba-
ladewa melayang turun, namun kira-kira setengah
tombak menukik, tubuhnya kembali melesat ke atas
dan hinggap lagi pada sebuah dahan!
Begitu hinggap Gongging Baladewa balik me-
nyerang dengan tebaskan tongkat bambunya pada da-
han yang dijejaki Pendekar Mata Keranjang 108. Hing-ga sejenak kemudian
terjadilah pertempuran seru di
atas pohon. Jika saja ada orang yang menyaksikan kejadian
ini, pasti dia akan melongo terheran-heran. Dan dari sini bisa dilihat, betapa
telah sempurnanya ilmu peringan tubuh kedua orang ini. Karena hingga beberapa
jurus berlalu, tak satu pun di antaranya yang terje-rembab jatuh. Bahkan batang
pohon itu tidak bergem-
ing, hanya daun dan rantingnya saja yang berhambu-
ran tersambar serangan!
Namun pada suatu kesempatan, Gongging Ba-
ladewa berhasil memanfaatkan kelengahan Pendekar
Mata Keranjang 108. Saat itu Pendekar Mata Keran-
jang 108 sedang menggempur dengan tendangan kaki
kanannya pada tubuh besar Gongging Baladewa yang
baru saja hinggap. Namun dengan kecepatan luar bi-
asa, laki-laki tambun ini gelundungkan tubuhnya di
atas dahan. Dan bersamaan dengan itu, tongkat bam-
bu di tangan kirinya bergerak menusuk pada kaki kiri Pendekar Mata Keranjang 108
yang dibuat untuk tumpuan tubuhnya.
Desss! Kaki kiri Aji tergelincir dari dahan, membuat
tubuhnya memberosot deras ke bawah. Tapi dalam si-
tuasi demikian, Aji segera gerakkan tangan kirinya untuk menangkap sebuah dahan
di bawahnya. Namun
Gongging Baladewa seakan mengerti. Begitu tangan ki-ri Aji berhasil menangkap
dahan hingga tubuhnya tak jadi meluncur, Gongging Baladewa menukik dan hantamkan
kedua tongkatnya pada tangan Aji.
Desss! Terdengar seruan tertahan dari mulut Aji. Tan-
gannya bagai dihantam besi batangan, hingga pegan-
gannya pada dahan lepas, membuat tubuhnya menu-
kik! Selagi tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 me-
layang deras ke bawah, Gongging Baladewa menyusul
tubuh. Dan baru saja Aji mendarat dengan tubuh ter-
huyung-huyung, tongkat Gongging Baladewa telah
menyambar dari arah belakang!
Beett! Tubuh Aji berputar. Gongging Baladewa me-
nunggu. Begitu putaran tubuh Aji tepat menghadap ke arahnya, laki-laki tambun
ini sabetkan tongkat kanannya ke bahu Aji.
Aji tak bisa lagi menguasai tubuhnya. Dia ter-
banting telungkup. Dengan raut merah padam dan
marah besar, Aji segera hendak bangkit. Namun dia
tercekat. Lehernya bagai dijepit dan tak bisa digerakkan! "Ha... ha... ha...!
Kalau kau tetap membisu kau mau sebutkan nama dan gelar, lehermu akan penyet!"
kata Gongging Baladewa. Ternyata laki-laki tambun ini kini tubuhnya berada di
atas tubuh Aji dengan tongkat menjepit batang leher.
"Keparat sial!" serapah Pendekar Mata Keranjang 108 sambil menggerakkan tangan
kanannya yang memegang kipas hendak dikibaskan ke belakang, se-
mentara tangan kirinya menekuk hendak menghantam
tongkat di atas lehernya.
Namun baru saja kedua tangan Pendekar Mata
Keranjang 108 hendak bergerak, Gongging Baladewa
tunggingkan pantatnya hingga tubuh bagian depannya
menukik ke depan. Bersamaan dengan itu tangan ki-
rinya bergerak cepat menyambar kuncir rambut Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dan menariknya kuat-kuat!
"Sinting! Edan! Uhhh...!" umpat Pendekar Mata Keranjang 108 seraya merasakan
sakit pada batok kepalanya, hingga dia urungkan niat untuk menggerak-
kan kedua tangannya.
"Ha... ha... ha...! Keluarkan seluruh kepan-
daianmu, Bocah!"
Pendekar Mata Keranjang 108 melenguh keras.
Lalu segera kerahkan tenaga dalam untuk melepaskan
diri dari jepitan tongkat Gongging Baladewa. Namun
usahanya tak ada hasil, malah jepitan pada lehernya semakin keras, sementara
kepalanya terus dikedut-kedutkan oleh Gongging Baladewa.
"Sialan!" maki Pendekar Mata Keranjang 108
dalam hati. "Manusia ini benar-benar edan. Rambutku bisa ambrol dan leherku bisa
putus jika terus-terusan begini!" "Baik. Akan kukatakan siapa diriku.... Tapi
lepaskan dulu tongkatmu!" kata Pendekar 108 dengan suara tersengal-sengal.
Gongging Baladewa mengekeh, lalu dengan ke-
cepatan luar biasa, tongkat kirinya dia gerakkan men-congkel, sementara
tangannya yang menarik rambut
Pendekar Mata Keranjang 108 dia kibaskan. Akibatnya sungguh aneh, tubuh Pendekar
Mata Keranjang terangkat sedikit ke atas dan membalik, hingga kini
pendekar murid Wong Agung itu telentang!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera hendak
bergerak bangkit tatkala dilihat posisinya memungkinkan. Namun baru saja
bergerak, tongkat Gongging Ba-
ladewa telah bergerak dan kini ujungnya menekan da-
danya. Melirik ke kiri, terlihat laki-laki tambun itu tersenyum dengan berdiri
bertopang pada tongkat sa-
tunya. "Lekas katakan!" kata Gongging Baladewa. Senyumnya pupus, sementara
sepasang matanya berge-
rak membuka. "Namaku Aji Saputra. Aku tak menggelari di-
ri...." Belum habis Aji dengan kata-katanya, Gongging
Baladewa menekankan tongkatnya pada dadanya,
membuat murid Wong Agung susah bernapas.
"Ingat! Jika kau tetap bohong, aku tak segan-
segan membongkar dadamu!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berusaha meng-
gerakkan anggota tubuhnya, namun begitu hendak
bergerak, tusukan pada dadanya semakin keras,
membuatnya hanya bisa berteriak mengaduh-aduh.
"Ba.... Baik. Orang-orang menjulukiku dengan


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mata Keranjang 108...." Pada akhirnya Aji berkata. Suaranya pelan dan
tersendat-sendat.
Gongging Baladewa angkat tongkat dari dada
Pendekar 108. Lalu berdiri tegak dengan sepasang ma-ta mengawasi lebih seksama.
Pendekar Mata Keranjang 108 terseok-seok
bangkit dan duduk. Memandang ke arah Gongging Ba-
ladewa, lalu berdiri dan menghela napas panjang-
panjang. "Aku tak habis pikir, apa gunanya nama buat-
nya" Tapi dia tampaknya tak berniat jahat. Jika dia punya niat jelek, sejak
tadi-tadi aku telah roboh di tangannya. Tapi siapa pun dia adanya, yang pasti
dia adalah orang berilmu tinggi!"
"Aji. Sini!" kata Gongging Baladewa seraya memberi isyarat agar Pendekar Mata
Keranjang 108 mendekat. Merasa yakin orang di hadapannya tak punya
niat jelek, Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah
mendekat. "Kau tentunya bertanya-tanya siapa aku. Den-
gar baik-baik. Aku dipanggil orang Gongging Balade-
wa!" Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
membelalak besar. Keningnya berkerut. "Ah, jika sejak tadi-tadi dia mengatakan
siapa dirinya, tidak sampai terjadi seperti ini.... Aku pernah dengar nama dari
Eyang Selaksa. Dia adalah salah seorang tokoh besar rimba persilatan dari
golongan putih yang akan muncul jika ada sesuatu yang sangat penting dalam rimba
persilatan. Hmm.... Apakah dia sekarang muncul karena kejadian akhir-akhir ini
yang banyak menelan
korban beberapa tokoh silat, yang kabarnya dilakukan oleh seseorang?"
"Aji. Aku sengaja mencarimu. Ada satu hal
penting yang harus kusampaikan padamu. Hal ini ber-
hubungan dengan masa depan dunia persilatan. Da-
lam kesendirianku, aku bermimpi...."
Gongging Baladewa tak melanjutkan ucapan-
nya. Matanya berputar menyelidik. "Di sini tak aman.
Aku mendengar orang mendatangi tempat ini. Ikuti
aku!" Habis berkata, Gongging Baladewa berkelebat ke arah selatan.
"Pendengarannya tajam sekali. Padahal aku ba-
ru menangkap orang yang datang itu sekarang...,"
membatin Pendekar Mata Keranjang 108 sambil berke-
lebat menyusul.
EMPAT DI suatu tempat yang dirasa aman, Gongging
Baladewa hentikan larinya. Ketika Pendekar 108 sam-
pai di tempat beradanya Gongging Baladewa, murid
Wong Agung ini segera berkata.
"Cerita mengenai mimpi sebenarnya aku tidak
begitu tertarik. Namun coba ceritakan mimpimu itu!"
Laki-laki bertubuh besar tambun tersenyum
menyeringai. Setelah ketuk-ketukkan tongkatnya beberapa kali, laki-laki ini
berkata. "Sebelum bicara tentang mimpi, aku ingin
tanya padamu dahulu. Apakah kau telah mendengar
berita bahwa akhir-akhir ini banyak tokoh rimba persilatan tiba-tiba ditemukan
tewas, atau mendadak saja hilang tanpa kabar berita?"
Mendengar pertanyaan Gongging Baladewa,
Pendekar Mata Keranjang luruskan pandangannya ke
depan. Dia tidak angkat bicara untuk menjawab, na-
mun kepala bergerak mengangguk.
"Syukur jika kau telah tahu. Lantas apakah
kau juga tahu siapa gerangan di balik semua kejadian itu?" Gongging Baladewa
lanjutkan pertanyaannya.
Pendekar 108 tetap tak mengalihkan pandan-
gan. Namun gerakan kepalanya kini ke kanan dan ke
kiri, memberi isyarat bahwa dia tidak mengetahui. Lalu Aji berkata.
"Aku sudah mencoba untuk menyelidik, namun
selama ini aku belum berhasil!"
Gongging Baladewa tertawa perlahan. Dia don-
gakkan kepala dengan sepasang mata menembus ke-
pekatan malam yang sudah menjelang, dan tak lama
kemudian dia berkata.
"Mimpiku memberi isyarat tentang siapa orang
di balik kejadian itu!"
Aji mendehem, lalu berkata.
"Mimpi tidak bisa dijadikan bukti kuat untuk
menuduh seseorang...."
"Ucapanmu tidak salah. Namun aku bukan
hanya mengandal mimpi. Kenyataannya sudah kulihat
dengan mata kepalaku sendiri!"
"Apa kenyataannya?" tanya Aji cepat.
"Aku telah menyelidiki beberapa orang tokoh
yang tewas. Dan jenis pukulan yang menewaskannya
mengarah pada kebenaran mimpiku!"
"Maksudmu, kau mengenali jenis pukulan itu,
dan mimpimu menunjukkan ke arah orang yang memi-
liki pukulan tersebut"!" simpul Pendekar Mata Keranjang. Gongging Baladewa
terdiam, namun akhirnya
dia mengangguk.
"Betul. Aku sebenarnya hampir tak percaya.
Tapi itulah kenyataannya. Dan aku merasa ikut bersalah dalam hal ini...."
Mendengar penuturan Gongging Baladewa,
Pendekar Mata Keranjang kerutkan dahi keheranan.
Dia belum bisa menangkap arah pembicaraan laki-laki tambun di hadapannya.
"Kalau kau tak merasa melakukan, kenapa kau
ikut bersalah?"
Raut muka Gongging Baladewa bergerak-gerak,
dari mulutnya terdengar gumaman perlahan yang tak
bisa ditangkap artinya. Dia seolah berkata pada diri sendiri. "Aneh. Tak
melakukan namun ikut bersalah.
Hmm...," batin Aji dengan geleng kepala.
"Dengar Aji. Aku ikut bersalah karena pukulan
yang menewaskan beberapa tokoh rimba persilatan itu adalah milikku!"
Aji kuncupkan mulut lalu dibuka lebar-lebar.
Murid Wong Agung ini lantas melangkah mendekat,
dan memandangi Gongging Baladewa lekat-lekat. Na-
mun yang dipandangi seolah acuh saja malah sepa-
sang matanya memejam rapat!
"Jika demikian, berarti ada orang lain yang me-nyadap ilmumu, atau kau pernah
menurunkan ilmu
itu pada seseorang, lalu dibuat yang tidak semestinya.
Harap kau ceritakan bagaimana jalinan kisahnya hing-ga ilmu milikmu bisa
dipunyai orang lain...!"
"Beberapa puluh tahun yang silam...." Gongging Baladewa mulai kisahnya. "Aku
yang waktu itu sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari sejarah
dunia persilatan didatangi seseorang. Dia datang ingin menimba ilmu. Aku menolak
keinginannya karena aku
tak berniat mengambil murid. Aku sudah berniat men-
gisi hari-hari tuaku dengan ketenangan. Namun orang itu bersikeras. Malah dia
berkata lebih baik mati di tempatku daripada harus pulang. Sejauh itu aku masih
tetap pada prinsipku, tak akan mengambilnya se-
bagai murid. Namun orang itu tampaknya tabah dan
tak putus asa, bahkan pernah dia kutinggalkan pergi selama dua purnama, dengan
maksud agar di meninggalkan tempatku. Namun begitu aku kembali, dia ma-
sih tetap di tempatku, malah dia berusaha meladeni
kebutuhan sehari-hariku. Hingga akhirnya aku izinkan dia menetap di tempatku.
Meski begitu aku belum
goyah, aku masih tidak berniat mengambilnya sebagai murid. Lama kelamaan,
melihat sikap dan tingkahnya
aku kasihan juga, hingga akhirnya hatiku meleleh dan meluluskan
keinginannya...."
Sejenak laki-laki besar tambun ini menghenti-
kan kisahnya. Sementara Pendekar Mata Keranjang
108 menunggu dengan memperhatikan lebih seksama.
"Sejak itulah orang itu kuangkat menjadi mu-
rid. Segala ilmu kuturunkan padanya, karena aku me-
lihat dia bersikap baik. Meski begitu ada satu ilmuku yang tak kuturunkan
padanya, karena ilmu itu demikian bahaya jika disalahgunakan. Setelah beberapa
tahun menimba ilmu, dia akhirnya pamit padaku un-
tuk hidup di lingkungan luar. Sebagai Guru, aku men-
gizinkannya dengan harapan dia bisa memanfaatkan
segala ilmunya. Sejak saat itu dia tak kudengar lagi kabar beritanya. Tapi
beberapa tahun kemudian, dia
datang lagi. Dia bercerita bahwa dunia persilatan sedang dilanda duka, karena
munculnya seseorang yang
digdaya dan merajalela membunuh di mana-mana. En-
tah dari mana tahu, dia memintaku untuk menurun-
kan ilmu yang selama ini kusimpan. Aku menolak. Dia waktu itu tampaknya menerima
alasanku, hingga
meski dia sementara tinggal di tempatku lagi, dia tak memintaku untuk menurunkan
ilmu simpanan itu.
Tapi pada suatu saat, aku lengah. Dia berhasil mencu-ri kitab yang berisi ilmu
simpanan itu, dan bersamaan dengan itu suatu malam tanpa kuketahui dia
menyerangku dan memutus kedua kakiku...."
Gongging Baladewa kembali menghentikan
ucapannya. Dia terlihat menarik napas dalam-dalam.
Dadanya tampak bergetar keras. Setelah dia dapat
menguasai diri, laki-laki ini melanjutkan bicaranya.
"Kau tentunya bertanya-tanya, kenapa dia me-
mutus kedua kakiku...," kata Gongging Baladewa seakan berkata pada diri sendiri
dan tak membutuhkan
jawaban. Karena sebentar kemudian, Gongging Bala-
dewa telah berkata.
"Ilmu simpananku itu memang bertumpu pada
kedua kaki. Jadi dengan memutus kedua kakiku, aku
tak bisa lagi menggunakan ilmu ciptaanku itu!"
Mendengar keterangan Gongging Baladewa,
Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 6 Legenda Kematian Karya Gu Long Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6
^