Pencarian

Tokoh Dari Masa Silam 1

Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam Bagian 1


TOKOH DARI MASA SILAM
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy at au memperbany ak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode; Tokoh dari Masa Silam
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Matahari telah ag ak tergelincir dari titik tengahnya. Sinarnya yang masih
garang menyiram bumi, perlahan-lahan mulai terhal ang sekumpulan awan yang b
erarak. Sehingga membuat suasan a di pers ada mulai terasa lebih sejuk.
Tampak dua orang tua tengah melangkah mendek ati seorang pemuda yang juga tengah
mel angkah menghampiri. Seorang laki-laki berkumis tebal yang berada di sebelah kedu a
orang tua itu pun bergerak pula menghampiri pemuda berambut putih keperakan ini.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap seorang laki-l aki tua y ang
berpak aian putih, ketika mereka t elah dek at dengan pemud a berambut putih
keperak an yang terny ata memang Dewa Arak. "Kalau kau tidak datang, mungkin
Garuda Laut Timur telah membinasakan kami."
"Lupakanlah, Ki Waringin," sahut Arya sambil mengulapkan tangan. "Tolong-
menolong merupakan kewajiban sesama manusia. Bukan tidak mungkin kalau suatu
saat nanti kau akan menolongku, Ki?"
Memang, Dewa Arak baru saja menyeles aikan k emelut yang terjadi di dal am rimba
persilatan. Sebuah
kemelut yang bermula dari pengiriman sebuah b enda di dalam sebuah k eret a
berkud a. Waktu itu, Ki Waringin yang membuka usaha pengiriman, mengutus Sangga
Juwana untuk ikut serta d alam peng awalan yang dilakuk an oleh murid-murid
Perguruan Harimau Terbang.
Namun pada akhirny a, benda itu berhasil dirampas Garuda Laut Timur. Kemudian,
Ki Sancaka yang
merupakan pimpinan Perguru an Naga Laut datang menjel askan duduk persoal annya
kep ada Ki Waringin yang
merupakan Ketua Perguru an Harimau Terbang. Dan s elagi mereka b erbincang-
bincang, Garud a Laut Timur datang karen a merasa tertipu. Masalahnya, terny ata
b enda y ang dirampasny a hany alah kep ala s eekor o rang hut an! Untung saja,
pada saat yang gawat, Dewa Arak dat ang membantu (Untuk jelasnya, silakan baca
seri al Dewa Arak dalam episode "Kemelut Rimba Hijau").
Ki Waringin, seorang laki-laki tua b erpak aian cokl at, dan seorang laki-laki
berkumis tebal, saling
berpand angan. Laki-laki b erpak aian coklat adalah Ki San cak a. Sedangkan
laki-laki yang b erkumis teb al ad alah Sangga Juwana. Mereka kemudian melemp
arkan senyum, mendengar penuturan Dewa Arak.
"O ya, Ki. Kumohon, kau memanggilku dengan nama s aja. Bukankah Sangg a Juwan a
telah memberitahukan namaku pad amu?"
Ki Waringin menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan Dewa Arak.
"Dan kau tidak keberat an memanggilku dengan nama saja kan, Ki?" tanya Arya
lagi. "Tentu saja tidak, De..., eh! Arya," jawab Ki Waringin cepat. "Bukan begitu,
Sancaka?" "Eh..., ya.... Ya, benar," Ki Sancaka yang sama sekali tidak menduga pertanyaan
itu menjadi gugup.
"Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas kesediaan kalian."
Ki Waringin dan Ki Sancaka h anya bis a ters enyum. Merek a sama sekali tidak
memb erikan t anggap an.
Sehingga, suasana menjadi hening. Masing-masing orang tenggelam dalam alun
pikiran yang menerawang jauh.
"Ah! Mengapa aku sampai lupa"!" pekik keterkejutan Ki Waringin, memecahkan
keheningan yang terj adi.
Ki Sancak a, Arya, dan Sangga Juwana agak kaget b ercampur h eran melihat sikap
k akek b erp akaian putih itu. Dengan penuh rasa ingin tahu, mereka menatap Ki
Waringin. "Sangga! M engapa kau hanya datang sendiri" Mana kawan-k awanmu y ang lain"!" t
anya Ki Waringin, bernad a sungguh-sungguh.
Rupanya saking tertarik oleh pertarung an antara Dewa Arak melawan Garuda Laut
Timur, Ki Waringin
lupa menanyakan k eadaan murid-muridnya yang lain. Sama sekali dia tidak merasa
heran melihat kedat ang an Sangga Juwana yang hanya seorang diri.
Kontan wajah laki-laki berkumis tebal itu berub ah muram mend engar pert anyaan
gurunya. Mem ang,
pertanyaan itu mengingatkan Sangg a Juwana akan masib buruk yang menimpa rek an-
rekanny a, sesama anggota Perguruan Harimau Terbang.
Ki Waringin bukan orang bodoh. Melihat perubah an waj ah Sangga Juwana, sudah
bisa dip erkirak an nasib
murid-muridnya yang ditugaskan mengantar barang kiriman. Tapi meskipun demikian,
Ketua Perguruan Harimau
Terbang ini ingin mendengar sendiri mengenai kejadian yang menimpa rombongan
perguruanny a dari mulut Sangga Juwana.
Bukan hanya Ki Waringin saja y ang ingin men dengar berita tentang rombongan
Pergu ruan Harimau
Terbang. Tapi juga Ki Sancak a, wal aupun sudah d apat m enduga k ejadian yang m
enimpa. Hal itu memang terlihat dari sikap Sangga Juwana.
Tapi lain halnya bagi Dewa Arak. Dia memang tidak ingin mengetahuinya, karena
telah melihat sendiri
kejadiannya. Maka, pemuda berambut putih keperak an ini pun diam menunggu.
"Katakanl ah, Sangga. Seburuk apa pun b erita y ang ak an kudeng ar, adal ah
lebih baik. Darip ada, aku bertanya-tanya sendi ri dalam hati tanpa ada kep
astian," desak Ki Waringin ketika Sangga Juwana belum juga menceritak annya.
Sangga Juwana men arik napas panjang -panjang d an menghembuskanny a kuat-kuat.
Mungkin dia berharap,
dengan melakukan hal itu akan membuat hatinya lebih tenang.
"Merek a semua telah tewas, Guru," kata Sangga Juwana. Pelan sekali suaranya,
sehingga mirip bisikan.
"Hhh...!"
Meskipun sudah menduga, tapi tak urung Ki Waringin merasakan ny eri pad a dad
anya. Sehingga, tanpa
sengaja dihelanya nap as berat.
Sementara, Ki Sancaka tahu perasaan yang meland a hati sahabatnya. Maka ditepuk-
tepuknya bahu Ki
Waringin untuk memberi kekuatan batin.
Ki Waringin menoleh s ambil melempark an senyum p enuh terima kasih p ada Ketua
Perguru an Naga Laut
itu. Maka senyum itu langsung disambut Ki Sancaka dengan angguk an kepala.
"Apakah Garuda Laut Timur yang telah membunuh mereka, Sangga?" tanya Ki Waringin
lagi, masih serak suarany a. Jelas, berita yang baru saja didengar mempengaruhi
jiwanya. Sangga Juwana menggelengk an kepala.
"Raja Ular Beracun yang telah membunuh merek a semua, Guru. Dengan cara yang
amat mengerikan !"
Lalu secara singkat d an jel as, laki-laki b erkumis tebal itu menceritakan
kejadi annya. Sementara, Ki
Waringin dan Ki Sancaka mendengarkan penuh perhatian. Hanya Dewa Arak seorang
yang mendeng ark annya
sambil lalu, karena memang telah tahu.
"Demikianlah ceritany a, Guru. Kalau s aja Arya tidak d atang menolong, aku pun
akan menjadi ko rban kekejian Raja Ular Beracun itu," tutur Sangga Juwana
mengakhiri ceritanya.
Ki Waringin tersenyum getir. Ditatapnya wajah Sangga Juwana lekat-lek at
"Sayang sekali, Sangga. Aku tidak akan pernah bisa membalas sakit hati Lantar
dan yang lain-lain. Raja Ular Beracun terlalu sakti bagiku."
Ada nada ketidakb erday aan dan keg etiran yang am at sangat dalam ucap an Ki
Waringin. Sehingga Arya,
Sangga Juwana, dan Ki Sancaka merasa terharu mendeng arny a.
"Ah! Mengapa aku begini ceng eng!" sentak Ki Waringin mendadak dan tiba-tiba.
Rupanya Ketu a Pergu ruan Harimau Terb ang ini mulai menyad ari k etidakpantas
an sikapnya. M aka
diusahakannya untuk mengeluark an kata-k ata bern ada jantan. Tapi, tetap saja
terdengar sumbang di telinga.
"Ah! Aku tolol! Tolol sekali! Mengapa harus bers edih" Yang telah mati, ya relak
an! Sekalipun kita
menangis darah pun, yang telah mati tidak akan hidup kembali! Hey, Sangga!
Hilangkan kesedihanmu! Tidak
malukah kalau keceng enganmu dilihat Dewa Arak"!"
Usai berk ata d emikian, Ki Waringin menyunggingkan senyum di bibir. Tapi karena
perasaan sedih belum
sepenuhnya hilang, senyum itu lebih mirip seringai kesakitan.
Sangga Juwana pun berusaha tersenyum, meskipun terasa pahit dan datar.
Akibatnya, senyumnya jadi
terlihat kecut.
"Ki...," tegur Arya hati-hati.
"Ada apa, Arya?" tanya Ki Waringin. "Ada yang bisa kubantu?"
"Banyak, Ki. Banyak sekali," sahut Arya.
"Kalau begitu, katakanlah."
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak langsung mengutarakan hal yang ingin
dikatakannya. Dia
tercenung seb entar memikirkan kata-kata yang tepat.
"Sebelumnya, aku ingin minta maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud untuk ikut campur
dalam masalah perguru anmu," kata Arya, memulai. "Tapi karen a mas alah ini telah m embesar,
terpaks a aku m emberanikan diri untuk ikut campur. Dan untuk itu, aku
membutuhkan bantuanmu, Ki."
Ki Waringin tertegun sejen ak. Kemudian, ditat ap nya wajah Ki San cak a. Tapi,
yang ditatap m alah angkat bahu.
"Katakanl ah sejel as-jelasnya, Arya. Mereka bingung k au bicara b erputar-putar
sep erti itu," kata Sangga Juwana.
Rupanya, laki-laki berkumis tebal itu mengetahui arti raut wajah kedua kakek
pemimpin perguruan yang
membuka jasa p engawalan barang itu. Memang wajah Ki Waringin dan Ki San caka
sama-s ama menyiratkan
kebingungan. "Baiklah kalau begitu," sahut Arya mengalah.
Kemudian, pemuda berpakai an ungu itu menatap wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka
berg anti-ganti.
"Begini, Ki. Kedatanganku kemari seben arny a hany a untuk mencari ket erang an,
yang barangk ali saja bisa kugunakan untuk m emecahkan masalah pelik ini. Yaitu,
masal ah perampas an b arang kawalan Perguruan Harimau Terbang oleh tokoh-tokoh
persilatan berbagai aliran dan tingkatan."
Arya m enghentikan p enuturanny a sej enak. Sedangk an Ki Waringin dan Ki
Sancaka y ang sej ak tadi
mendengark an penuh perh atian, kini mulai mengerti maksud pembicaraan Arya.
"Kau menemukan adany a hal-hal yang an eh, Dewa Arak?" duga Ki Sancaka.
Kakek berpak aian coklat itu lupa memanggil Arya d engan julukanny a. Tapi,
rupanya pemuda berambut
putih keperakan itu pun lupa. Buktinya, dia sama sekali tidak menegurnya.
"Benar, Ki. Apakah kau juga menemukan dugaan yang sama?" balas tanya Arya penuh
gairah. Ki Sancaka mengangguk-anggukkan kep ala.
"Baru saja aku dan Ki Waringin memperbincangkan masalah itu, Arya. Jadi, kau
rupanya tertarik untuk
mengungkap rahasia barang kiriman itu?"
"Aku hanya merasa heran karena bany aknya tokoh persilatan d ari berb agai
aliran hitam dan tingkatan yang mencoba merampas barang itu. Yang menjadi
pertanyaan bagiku, apa seben arny a jenis barang itu sehingga
membuat geger rimba persilatan."
"Jadi..., kau belum tahu bentuk barang kiriman itu, Arya?"
Ada nada keh eran an dalam suara kakek berpakaian coklat itu. Dan memang, dia
tidak menyangka kalau
Dewa Arak belum mengetahuinya.
"Benar, Ki," jawab Arya jujur. "Justru karena ingin tahulah aku mengaj ak Sangga
Juwana k emari. Apa kau tahu, benda apa yang dikawal Sangga Juwana dan rek an-
rekanny a itu, Ki?"
"Kalau secara pasti, aku juga tidak tahu, Ary a," jawab Ki San cak a terus
terang. "Tapi menurut kabar yang tersiar, barang kawalan itu adalah sebuah kepal
a manusia."
"Kepala manusia, Ki" Lalu, mengapa s ampai membuat dunia p ersilatan g empar?"
tany a Ary a, tanpa mehyembunyikan peras aan heran.
"Karena kepal a itu bukan sembarang kepala, Arya," jelas Ketua Perguruan Nag a
Laut itu. Kemudian Ki Sancak a menceritakan k epad a Ary a mengen ai kepala itu (Untuk
jelasny a, silakan baca s erial Dewa Arak dalam episode "Kemelut Rimba Hijau").
Meskipun yang diceritakan ad alah Arya, tapi Sang ga Juwana pun ikut mend engark
an pula. Memang, laki-
laki berkumis tebal itu juga belum menget ahuinya. Sedangkan Ki Waringin hanya
diam s aja. Dibiarkan s aja sahabatnya yang bercerita kepad a Dewa Arak, karen a
Ki Sancakalah yang lebih mengetahui.
Arya d an Sangg a Juwana mendeng ark an cerita Ki San caka penuh perhatian. Sama
sekali cerita k akek
berpak aian coklat itu tidak diselaknya hingga selesai.
Suasana menjadi hening ketika Ki Sancaka meny elesaikan cerita. Masing-masing
telah tenggelam dalam
alun pikiran. "Sekarang s atu perso alan telah b erh asil ditemukan jawab annya. Yakni, teka-
teki mengen ai barang kiriman itu," kata Arya setelah beberap a saat lamanya
termenung. "Sekarang tinggal dua masalah lagi."
"Apa itu, Arya?" tanya Ki Waringin, angkat bicara.
"Orang yang telah menyeb ark an berita mengen ai barang kiriman. Dan, untuk apa
barang kiriman itu?" jelas Arya.
"Aku tidak setuju dengan pendapatmu, Arya," selak Ki Sancaka. "Kalau menurutku,
belum ada satu pun masalah yang terpecahk an. Semuanya masih gelap!"
Arya terkejut mendeng ar ucapan Ketua Pergu ruan Naga Laut itu. Sedangkan Ki
Sancak a tahu peras aan
yang tengah berkecamuk dalam hati Dewa Arak.
"Barang yang dikawal Sangga Juwana d an kawan-kawannya b elum tentu kepala
manusia. Bahkan kalau
boleh kutebak, tengkorak itu adalah tengkorak kepala monyet besar. Sejenis orang
hutan!" Usai berkata demikian, Ki Sancaka menudingkan telunjuknya ke arah kep ala orang
hutan yang tergelet ak di tanah.
"Itulah benda yang terdap at di dalam peti yang akan dikirimkan rombongan
Perguruan Harimau Terbang ke tempat yang telah disepakati," runjuk Ki Sancaka
Arya, dan Sangga Juwana mengikuti arah tudingan t elunjuk Ki Sancaka. Mak a,
kontan sep asang mata
mereka terb elalak.
"Mengapa bend a itu bisa berada di sini?" tanya Sangga Juwana.
"Garud a Laut Timur yang membawanya. Dan karen a benda itulah, dia ingin
membunuh gurumu, Sangga."
"Mengapa demikian, Ki?" tanya Sangga Juwana masih belum mengerti.
"Garud a Laut Timur jauh-jauh datang untuk merampas barang kawalanmu. Konon, dia
telah mendengar
berita yang t ersiar di dunia persilatan, bahwa i ring-iringan Pergu ruan
Harimau Terb ang membawa kep ala tokoh sesat pemilik ilmu 'Rawa Rontek' yang
meninggal dunia seratus lima puluh tahun yang lalu. Maka, bisa kau
bayangkan sendiri kem arah annya ketika bend a yang diperebutkannya diketahui


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hany a kepala seekor orang hutan.
Dia merasa diperm ainkan."
"Jadi, berita yang tersi ar di dunia persilatan itu hanya kab ar bohong b
elaka?" Sangga Juwana jadi bingung sendiri.
"Itulah yang harus kita pecahkan, karen a itulah pokok masalahnya!" sambut Ki
Sancaka, cepat.
"Lalu..., bagaimana carany a memecahkan masalah yang rumit itu?" tanya Sangga
Juwana lagi. Kalau s aja rekan -rek annya dari Perguru an Hari mau Terbang masih hidup, pasti
akan m eras a heran bukan kepalang melihat sikap Sangg a Juwana. Laki-laki b
erkumis teb al itu dikenal sebag ai orang y ang mampu
menyelesaikan persoalan, betapapun rumitnya. Tapi sekarang"
"Tentu saja mencari hal-h al yang ada hubungannya deng an barang itu," sahut
Dewa Arak. "Bet apapun tampaknya remeh, tapi jangan diabaik an. Bukan tidak
mungkin dari situlah akan ditemukan pemecahan mas alah pelik ini."
Ki Sancaka d an Ki Waringin mengangguk-anggukkan k epala, pert anda meny etujui
ucapan p emuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau m enurut pend apatmu, dari mana kita h arus memulai, Arya?" tanya Ki
Waringin, ingin tahu pendapat Dewa Arak.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pert anyaan Ki Waringin. Dia tercenung sejen
ak, dengan dahi
berkernyit "Kalau menu rut pendap atku..., kita harus menyelidikinya dari awal dulu, Ki?"
kata Arya m engutarakan pendapat.
"Maksudmu, dari pemilik barang?" Ki Sancaka yang menyambuti.
"Benar, Ki."
"Usulmu sama dengan rencana yang akan kujalank an, Arya!" sambut Ki Sancak a,
gembira. "Kita harus yakinkan dulu kalau dari pemiliknya, barang kiriman itu
benar kep ala tokoh sesat pemilik ilmu 'Rawa Rontek'. Dan, bukan kepala seeko r
orang hutan."
"Dan untuk itu, bantuan Ki Waringin sangat kita perluk an," sambut Arya, sambil
melirik Ketua Perguruan Harimau Terbang.
"Dengan senang hati aku akan membantu kalian," mantap dan tegas kata-k ata yang
keluar dari mulut Ki Waringin.
"Apa yang dik atakan Arya tidak s alah, Waringin. Kau ad alah satu-s atunya
saksi hidup yang m engenali pengirim barang itu. Hanya, kau yang mengenalnya dan
bukan orang lain!" dukung Ki Sancaka.
"Lalu..., ke mana kita harus mencarinya?" tanya Ki Waringin, bingung. "Aku sama
sekali tidak tahu tempat tinggalnya."
Arya, Sangga Juwan a, dan Ki Sancaka pun terdi am seketika. Kemb ali merek a
menemukan j alan buntu.
Dahi masing-masing tampak berkernyit, pertan da benak mereka tengah dipak ai
untuk berpikir keras.
"Mengapa tidak ke tempat tujuan pengiriman saja, Guru?" celetuk Sangga Juwana
tiba-tiba. Kontan semua wajah berseri. Sungguh tidak disangka, jalan keluarnya akan bisa
ditemukan semudah itu.
"Sebuah usul yang bagus," puji Arya, tulus.
Berbeda d engan Dewa Arak, Ki Waringin dan Ki Sancaka sama sekali tidak memuji
Sangga Juwana. Tapi,
sorot kebanggaan terp ancar jelas pada sinar mata Ketua Pergu ruan Harimau
Terbang itu. "Kalau begitu, tunggu apa lagi?" tanya Ki Sancaka bern ada teguran. "Mari kita
satroni tempat tujuan pengiriman barang itu."
Sesaat kemudian, empat orang gagah ini segera melangk ah meninggalkan tempat
itu. Tujuan mereka sudah
jelas, tempat tujuan pengiriman barang. Desa Sintang!
2 Angin kering membawa d ebu bertiup lembut. Hari memang b elum siang. Matahari
juga belum lama
muncul di u fuk Timur. Hembusan angin memang masih semilir. Tapi karena daerahny
a kering dan b erd ebu, maka tiupan angin itu jadi tidak terasa nikmat sama
sekali. Empat sosok laki-laki yang mengenak an pak aian berl ainan, mendekapk an tangan
k e waj ah ketika angin
yang membawa debu berh embus lebih keras dari sebelumnya. Wajah mereka tentu
saja tidak ingin dilumuri debu.
"Itu Desa Sintang, Arya," kat a laki-laki b erkumis teb al yang m engen akan p
akaian putih. Dia tak lain d ari Sangga Juwana.
Sambil berkata demikian, Sangga Juwana menudingkan jari telunjuk kanannya ke
depan. Memang, di
kejauhan tampak tembok batas sebuah desa. Apa lagi kalau bukan tembok batas Desa
Sintang" "Jadi di situkah tempat tinggal Ju rag an Durs ana, Sangga?" tany a p emuda b
erambut putih k eperakan yang memang Dewa Arak.
Sementara itu, dua orang tua yang mendampingi mereka tak lain dari Ki Sancaka
dan Ki Waringin. Ada
sedikit kelainan p ada diri Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Sangga Juwana. Ketiga
orang itu walaupun masih
mengenak an pakai an pergu ruan masing-masing, namun tidak nampak adany a
sulaman gambar harimau bers ayap atau naga emas. Memang, atas persetujuan Ki
Waringin dan Ki Sancaka, diputuskan untuk melepaskan saja lambang perguru an
masing-masing demi kelancaran tugas.
"Hehhh..."! Apa itu?" tanya Arya ketika melihat adanya sesosok tubuh yang
berlari cepat. Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pandangan matany a yang tajam menangkap adany a
kean ehan dari sesosok
tubuh yang melesat cepat k e arah mereka. Seb entar saj a, pemuda berpak aian
ungu itu tahu k alau sosok tubuh yang tengah berlari terny ata tidak bertangan
kosong. Ada sesuatu yang dipanggulnya di pundak.
Bukan hanya Arya saja. Sangga Juwana, Ki Waringin, dan Ki Sancaka pun
memperhatikan penuh
perhatian. Dan sesaat kemudian, tampak jelas terlihat oleh sepasang mata mereka.
Untuk beberap a saat lamanya, Arya, Ki Waringin, dan Ki Sancaka, serta Sangga
Juwana kebingung an. Tapi
sebentar kemudian mereka sad ar dan mengerti, ketika mendengar jeritan meminta
pertolongan. Sosok tubuh yang tengah berlari menuju ke arah mereka itu membawa
seseorang di pondongannya.
"Tolong...! Tolong...!"
Kembali terdengar jeritan yang menilik dari nadanya, jelas keluar dari mulut
seorang wanita.
"Keparat!" geram Sangga Juwana.
Laki-laki berkumis teb al ini sudah bisa memperkirakan, apa y ang teng ah
terjadi. Sosok tubuh yang tengah menuju ke arah mereka jelas seorang p enculik
wanita! Dan tentu saj a sudah bisa dip erkirakan, ap a y ang akan dilakukannya!
Yakin ak an dug aanny a, membuat Sangg a Juwana berg erak mel esat mend ahului
tiga o rang teman
seperjal anannya.
"Biar aku yang memberi pelajaran pad a makhluk terkutuk itu, Guru."
Begitu ucapan yang dikeluarkan Sangga Juwan a, sebelum tubuhnya melesat
menghadang kedatang an sosok
tubuh itu. "Jangan sembrono, Sangga! Selidiki dulu kebenarannya!" nasihat Ki Waringin.
Sangga Juwana yang sudah berada beb erap a tombak dari tempat semula, tidak
sempat menyambutinya lagi.
Dia hanya menganggukkan kep ala, pertanda ak an mematuhi nasihat yang diberikan
gurunya. Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Dewa Arak sam a sekali tidak mengejar Sangg a
Juwana. Dibiark an saja laki-
laki berkumis tebal itu mencoba membereskan masal ah. Ketiga orang itu hanya
memperhatikan saja dari kejauhan.
*** Sementara itu, Sangga Juwana deng an penuh semang at berlari menyongsong
kedatang an sosok tubuh yang
ternyata b erp akaian kuning. Sosok itu tampak tengah mem anggul seseo rang y
ang diyakini Sangg a Juwan a seb agai wanita. Karen a kedua b elah pihak sama-s
ama bergerak mendek at, maka tak berap a lama kemudian jarak mereka telah
demikian dekat.
"Berhenti...!" teriak Sangga Juwan a ketika j arakny a tinggal tiga tombak lagi
dari sosok berp akaian kuning itu.
Sosok berpakaian kuning itu menghentikan larinya. Seketika, dirayapi sekujur
tubuh Sangga Juwana penuh
selidik. Sangga Juwana juga bertindak sama, merayapi sosok tubuh berpakaian kuning di
hadapannya. Sosok tubuh berpakaian kuning itu ternyata s eorang laki-laki yang terlihat
matang. Usiany a tentu tidak
akan kurang d ari tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, tertutup pakaian yang
terlihat indah. Wajahnya juga cukup tampan. Apalagi dengan ad anya seb aris
bulu-bulu halus di bawah hidungnya. Laki-laki berpakaian kuning itu ternyata
seorang pesolek. Benda kecil berbentuk seekor kumbang terbu at dari emas, tampak
menghiasi keningnya.
"Siapa kau"! Berani-beraninya kau menghadang jalanku !" bentak laki-laki berpak
aian kuning, keras.
"Hmh...! Kukira siapa. Rupanya kau, Kumbang Emas!" desis Sangga Juwana sambil
mengangguk- anggukkan kepala.
Rupanya, Sangga Juwana meng enal laki-laki berpakaian kuning di hadap annya. Dan
memang, hal itu tidak
aneh. Sangga Juwana ad alah seorang pengawal barang kiriman yang telah puluhan
kali menjalankan tugasnya
dengan baik. Hubungannya d engan tokoh-tokoh dunia persilatan amat luas. Tak
aneh kalau tokoh persilatan dari berbag ai aliran banyak dikenalnya. Meskipun,
sebagian besar hanya diken al lewat ciri-cirinya saja.
Wajah laki-laki berpakaian kuning itu berubah pucat. Raut keterkejutan tampak
jelas di wajahnya.
"Kalau sudah tahu, mengapa tidak lekas menyingkir?" sambut laki-laki berpakai an
kuning yang ternyata berjuluk Kumbang Emas. Secercah senyum mengejek tersungging
di bibirnya. Memang, Kumbang Emas semula terkejut bukan kepalang kalau julukannya banyak
dikenal orang. Tapi,
hanya seb entar saja p erasaan itu meland a. Bahkan dia langsung bisa merubah
sikap, deng an menggert ak Sangga Juwana.
"Menyingkir katamu, Manusia Cabul"!" sahut Sangga Juwan a tak kal ah gertak.
"Justru sudah lam a aku mencari -carimu, tahu! Kau adalah manusia terkutuk yang
h arus cepat-cep at dimusnahkan dari muka bumi sebelum semua wanita menjadi
korbanmu!"
Sambil berkata demikian, Sangga Juwana melay angkan pand angan sekilas ke arah
sosok dalam pondongan
Kumbang, Emas. Dugaannya tidak salah. Orang yang dipondong Kumbang Emas ad alah
seorang wanita b erpak aian hijau.
"Kalau begitu, kau mencari penyakit sendiri, Keparat!"
Si Kumbang Emas menggeram keras. Dia marah bukan k epalang melihat kek erasan
hati orang yang
lancang menghad angnya. Namun demikian, Kumbang Emas bukan orang bodoh! Dia
tahu, calon lawannya tidak
sendirian. Di belakangnya masih ada tiga orang lagi. Memang, tadi laki-laki
berpakaian kuning ini melihat kalau Sangga Juwan a berjalan b ersam a-sama dua o
rang tua, d an seorang pemud a berambut putih keperak an. Dia pun melihat pula
ketika orang di hadapannya ini memisahkan diri dari rombongan.
Sekali pandang saja, Kumbang Emas tahu kal au tiga orang y ang masih berj arak s
ekitar sepuluh tombak di belakang calon lawanny a, bukan orang sembarangan.
Langkah mereka yang rata-rat a ring an telah mempertebal dugaan Kumbang Emas.
Kumbang Emas memutar otakny a untuk mencari jalan kelu ar dari kead aan y ang
tidak menguntungkan ini.
Dan karen a otakny a memang telah t erbias a melakuk an h al-hal y ang licik,
sekej ap kemudian sebuah jalan telah ditemukan.
Tampak seulas senyum keji tersungging di bibir Kumbang Emas.
"Kau menginginkan wanita ini, Keparat"! Ambillah untukmu!"
Pada saat ucapan itu b erakhir, Kumbang Emas melemparkan tubuh wanita y ang
dipanggulny a ke arah
Sangga Juwana. Wuttt...! "Hey...!"
Sangga Juwana terk ejut bukan kepalang. Disadari kalau tidak buru-buru
ditangkapny a, wanita yang hampir
saja menjadi korban kekejian n afsu setan Kumbang Emas ak an tewas. Maka tanpa b
erpikir dua kali, Sangga Juwana segera membalikkan tubuh dan melesat mengejar
tubuh wanita itu.
Inilah kesempatan licik yang ditunggu-tunggu Kumbang Emas. Begitu Sangga Juwana
membalikkan tubuh
dan meles at meng ejar tubuh wanita itu, tanganny a s egera dimasukk an k e
balik baju. Dan ketika tangan itu kelu ar lagi, di tangannya telah terg enggam b
eberap a buah bend a b erb entuk kumbang berwarn a kuning k eem asan. Hanya
saja, benda itu tidak terbuat dari emas sungguhan seperti yang bertengger di
dahi. Wuttt...! Tiba-tiba, wanita yang dipanggulnya dilemparkan begitu saja oleh
Kumbang Emas! "Hey...!" Sangga Juwan a sang at terk ejut. Buru-buru ia mel esat meng ejar
wanita itu. Sangga Juwana s ama sekali tidak menyadari siasat Kumbang Emas!
Kini, bahaya sedang mengintainya!
Benda-bend a y ang b erbentuk kumbang itu terbuat d ari log am. Lagi pula, p ada
bagian kep alanya terd apat bagian yang meruncing. Tampaknya tajam mengkilat,
dan cukup panjang.
Dan secep at benda-b enda berbentuk kumbang itu tergenggam di tangan, secepat
itu pula dilemparkan ke
arah Sangga Juwan a. Kemudian, dia langsung melesat kabur, menempuh arah ke
kanan. Wut, wut, wut...!
Sangga Juwan a b egitu terp eranjat. Walau tidak melihat, tapi d ari suara
desingan yang tertangk ap t elinga, laki-laki berkumis tebal ini tahu akan ada
bahaya yang tengah meng ancam. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di
udara. Apalagi dia tengah melompat untuk menangkap tubuh wanita berpakaian
hijau. Haruskah niatnya diurungkan" Tapi, bagaimana mungkin Sangga Juwana melakukan hal
itu" Kakinya
sama sekali tidak mempunyai pijakan untuk melenting. Dalam waktu sek ejap itu,
Sangga Juwana meng ambil
keputusan nekat! Maksudny a tetap diteruskan untuk menangk ap tubuh wanita berp
akaian hijau yang masih
melayang. Tapi pada saat y ang b ersam aan, tubuh Sangga Juwan a mengg eliat.
Ini dilakukan untuk menyel amatkan diri dari ancaman bah aya maut yang tidak dik
etahui bentuknya. Memang, hany a itulah satu-satunya jal an yang bisa dilakukan,
Sangga Juwana. "Sangga! Awaaas...!" teriak Ki Waringin memperingatkan.
Memang, Ketua Perguru an Harimau Terbang ini melihat adanya bah aya meng ancam
terhad ap kesel amatan
muridnya. Bukan hanya dia saja yang melihatnya, tapi juga Ki Sancaka, dan Arya.
Tidak cukup dengan peringatan saja, Ki Waringin segera melesat ke depan untuk
menyelamatkan nyawa
muridnya. Dan pada saat yang bersamaan, Ki Sancaka dan Arya melesat pula.
Ketiga orang ini seperti berlomba meny elamatkan Sangg a Juwana. Raut kecem asan
tampak di wajah Ki
Waringin, Ki Sancaka, dan Arya. Memang, serangan mendadak itu sama sekali tidak
diduga. Sementara itu....
Tappp! Sangga Juwan a b erhasil men angkap tubuh wanita berp akai an hijau. Dan pad a
saat tubuhnya t engah


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluruk turun itulah beberapa senjata rah asia yang dikirimkan Kumbang Emas
meluncur ke arahnya.
Sudah dapat diperkirakan, bend a-b enda b erb en tuk kumbang ini akan menghunjam
tubuh Sangga Juwan a.
Namun di saat yang gawat itu, berh embus serangkum angin keras memap ak luncu
ran senjata-senjata rahasia yang mengancam tubuh Sangga Juwana. Dewa Arak yang t
ahu akan s empitnya waktu, sambil melompat menghentakkan
kedua tangannya ke arah senjata-senjata rahasia yang dikirimkan Kumbang Emas.
Prattt...! Benda-bend a berbentuk kumbang itu langsung terp ental balik ke arah Kumbang
Emas, begitu terp apak
hembusan angin keras yang dihentakkan oleh kedua tangan Dewa Arak.
"Hup!"
Ketika kedu a k aki Sangga Juwana hinggap di tan ah, Ki Sancaka, Ki Waringin,
dan Dewa Arak pun telah
berad a di sebelahnya.
"Dugaanku b enar, Guru," lapor Sangg a Juwana. "Orang itu adalah p enjahat
terkutuk! Dia Kumbang Em as, Guru!"
Sangga Juwana kemudian seg era memb ebaskan totokan pad a wanita berb aju hijau,
yang telah dilakukan
Kumbang Emas. Lalu, dibiarkannya wanita itu berdiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kang," kata wanita berpakai an hijau itu pada
Sangga Juwana. "Lupakanlah," sahut Sangga Juwana.
*** Sementara itu, Dewa Arak y ang mend engar ucapan Sangg a Juwan a langsung m
elesat meng ejar Kum bang
Emas. Bahkan Ary a tel ah bertekad untuk meleny apkan Kumbang Em as selam a-
lamany a. Dan untuk itu, alasan Dewa Arak am at kuat. Memang Dewa Arak p aling
ben ci terh adap p enjah at pemerkosa wanita! Tidak ada k ata ampun baginya
apabila bertemu pen jahat seperti itu.
Kumbang Emas k elabak an ketika mengetahui dirinya dikej ar. Segera seluruh ilmu
meringank an tubuhnya
dikerahkan sampai ke puncaknya dalam usaha untuk melarikan diri sejauh-jauhnya.
Dapat dibayangk an betap a kag et hati tokoh durjana ini ketika ekor mat anya
melihat seleret bay angan ungu melesat lewat sebel ahnya. Bahkan kemudian
menyusulnya. Dan ketika telah berjarak beberapa tombak di depanny a, sosok
bayangan ungu itu menghentikan lesatan dan membalikkan tubuh.
Dengan s endirinya, Kumbang Emas m enghentikan l arinya. Dirayapiny a sejen ak s
ekujur tubuh sosok
bayangan ungu y ang tak lain d ari Dewa Arak. Diam-diam, bulu tengkuk Kumbang
Emas m erem ang ketika melihat tidak ada tand a-tand a kelel ahan sedikit pun
kal au Ary a telah meng erahkan k emampuan untuk meng ejar diriny a.
Padahal, dia sendiri agak terengah-engah.
Dari sini saja, sudah dapat diperkirakan kalau Dewa Arak memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi. Dan
dugaannya s emakin mengu at ketika teringat senjata-senjat a rah asianya yang
dirobohk an pemuda berambut putih keperakan itu pula.
Tengkuk Kumbang Emas teras a dingin ketika tering at akan tokoh y ang memiliki
ciri seperti yang dimiliki pemuda berambut putih keperak an itu. Dewa Arak! Ben
ark ah pemuda y ang berdiri di had apanny a ini Dewa Arak"!
Kalau m emang d emikian, nasib celak alah y ang akan m enimpanya! Man a mungkin
dia mampu m enghadapi Dewa Arak!
Tanpa pikir panjang lagi, Kumbang Em as segera m embalikkan tubuh. Rupanya, dia
bermaksud melarikan
diri ke lain arah. Namun, langkahnya kontan terhenti ketika di belak angnya
berdiri empat sosok tubuh. Yang berdiri paling depan ad alah Ki Waringin.
Sementara Ki San cak a, Sangga Juwana, d an wanita berpak aian hijau, b erdiri
di belakangny a.
Seketika waj ah Kumbang Emas pucat pasi. Disad ari kal au dirinya tidak ak an
mungkin bisa lolos lagi!
Maka otaknya segera diputar untuk bisa meloloskan diri.
"Luar biasa! Apak ah kalian ini adalah gerombolan pengecut yang berm aksud
mengeroyokku"! Ha ha ha...!
Majulah! Kumbang Emas tidak bakal takut menghadapi keroyokan!" teriak Kumbang
Emas memulai siasat liciknya.
Ki Waringin, Ki Sancak a, Sangga Juwana, d an Arya buk an orang bodoh. Merek a
tentu s aja t ahu maksud
tokoh durjana ini mengu capkan kata-kata s eperti itu. Meskipun demikian, tetap
saja membu at wajah mereka memerah.
"Menghadapi manusia busuk sepertimu, tidak perlu mengandalkan keroyokan!" tandas
Ki Waringin. "Ah! Begitukah"!" sambut Kumbang Emas bersikap meremehkan ucap an Ki Waringin.
Bahkan seulas senyum mengejek pun menghias wajahny a. "Jadi, kalian akan menghadapiku satu
pers atu! Bila satu di antara kalian kalah, lalu diganti yang lain. Begitu" Ah,
benar! Siasat kalian benar-b enar jitu. Aku akan mati kelelahan!"
"Tutup mulutmu, Manusia Cabul!" bentak Sangga Juwana tak kuat menahan kem arah
an. "Untuk
menghadapi orang busuk sepertimu, aku pun sudah cukup ! Kal au berh asil
mengalahkan diriku, kau boleh b ebas pergi dari sini!"
"Sangga!" seru Ki Waringin dan Ki Sancaka terk ejut.
Ketua Pergu ruan Harimau Terbang d an Ketua Pergu ruan Naga Laut itu memang kag
et bukan kep alang
mendengar u cap an Sangga Juwan a. Sama sekali tidak disangka kalau Sangga
Juwana ak an mengelu arkan p erkat aan seperti itu. Sungguh merupakan sebuah
sikap yang ceroboh. Bahkan Arya pun diam-diam menyayangkan sikap yang diambil
laki-laki berkumis tebal itu.
Kini merek a hany a d apat menunggu sambutan Kumbang Em as. Harapan mereka, penj
ahat cabul itu akan
menolak usul yang diajukan Sangg a Juwan a. Tapi, ketiga orang lelaki ini tahu
kalau h al itu tidak mungkin. Karena mereka t ahu, Kumbang Emas memang menunggu-
nunggu k eluarny a ucapan itu. Buktinya sejak tadi laki-laki
berpak aian kuning itu tengah memancing-man cing keluarny a ucap an itu. Dan
dugaan mereka rasany a tidak akan keliru. Kini tampak sepasang mata Kumbang Emas
berkilat-kilat gembira.
"Kalau itu memang sudah menjadi keh endakmu, akan kuturuti, Kecebong Kecil!" s
ambut Kumbang Emas cepat. Hatinya meras a lega karen a tidak menyangka siasat
yang dijalankannya berl angsung mulus.
"Semua yang ada di sini menjadi saksi atas ucapanmu!"
"Kami bukan orang semacam dirimu, Kumbang Emas!" tandas Sangga Juwana tegas.
"Sangga!" tegur Ki Waringin lagi.
"Biar, Guru. Aku yang akan menghabisi riwayat penjahat cabul ini!" sergah Sangga
Juwan a gagah. "Hhh...!" Ki Waringin menghela napas berat. "Hati-hati, Sangga!"
"Akan kuperhatikan semua nasih atmu, Guru!" sahut Sangga Juwana gagah sambil
melangkah maju.
Sementara Ary a, Ki Waringin, dan Ki Sancaka terp aksa melangk ah mundur untuk
memberi tempat pada
kedua pihak y ang ak an bert arung. Mereka kini memperhatikan gerak -gerik Sangg
a Juwan a dan Kum bang Emas dengan hati berdeb ar tegang, dan merasa khawatir
akan kesel amatan Sangga Juwana.
Kumbang Emas s ebenarnya adal ah seo rang tokoh s esat yang memiliki kepandai an
tinggi. Dan itu bisa
diketahui dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, dan juga kekuatan tenaga
dalamnya sewaktu melemparkan benda-b enda berb entuk kumbang. Akan mampukah
laki-laki berkumis tebal itu menghadapi lawanny a"
Sementara itu, Sangga Juwan a dan Kumb ang Emas tampak sud ah siap siaga. Kedu a
belah pih ak sudah
mengambil jarak. Sepasang mata mereka menat ap satu sama lain. Untuk sesaat
lamanya, kedua belah pihak tidak saling menggebrak, tapi hanya saling menilai
kepandaian lawan melalui pandangan.
"Haaat...!"
Kumbang Emas ternyat a mulai menyerang lebih dulu. Seranganny a dibuka deng an
sebuah tend angan lurus
ke arah perut. Wuttt! Tendangan itu mengen ai tempat kosong ketika Sangg a Juwana menarik kaki k
ananny a mundur s ambil
mendoyongkan tubuh ke belakang.
Kumbang Emas tidak merasa p enasaran melihat seranganny a berh asil dielakkan
lawan secara mud ah.
Kembali dilancarkan s erangan susulan. Kakiny a yang tidak berh asil disarangk
an ke sasaran, ditarik seteng ah jal an.
Kemudian, kembali diluncu rkan d alam b entuk tend angan miring k e arah leh er.
Untuk mel akukan hal ini, terp aksa Kumbang Emas harus mengubah letak tubuhnya.
Kali ini, Sangga Juwana tidak m engelak l agi. Rupanya dia sudah bisa
memperkirak an keku atan ten aga
dalam. Dan kini, laki-laki berkumis tebal itu menangkis tendangan dengan kedua
tang annya. Maksudnya h endak menangkis sekaligus menangkapnya.
Plakkk! Suara berd erak k eras terd engar ketika kaki dan tangan berb enturan.
Akibatnya, tubuh Sangga Juwana
terhuyung-huyung tiga langkah ke balakang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung
satu langkah. Jelas, tenaga dalam Kumbang Emas lebih kuat daripada Sangga
Juwana. Kenyataan ini tentu saja tidak hanya meng ejutkan Sangga Juwan a, tapi juga Ki
Waringin, Ki Sancaka, dan
Arya. Rupanya Kumbang Emas tidak ingin memberi kesempatan pada lawan. Secepat kekuatan
yang membuat tubuhnya terhuyung dipatahkan, secep at itu pula serangan lainnya dilancark an.
Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat pertarung an sengit.
3 Arya, Ki Sancak a, dan Ki Waringin memperhatikan jalanny a pertarung an dengan
perasaan cem as.
Benturan yang pertama k ali terjadi antara Sangg a Juwana d an Kumbang Em as,
telah membuat mereka
mengkhawatirk an keselamat an laki-laki berkumis tebal itu. Tapi apa yang dapat
dilakukan" Sangga Juwana
sendirilah yang telah menentukan pilihannya!
Kini yang dapat mereka lakukan hany alah mem perhatikan jalannya pertarung an,
dan berharap Sangga
Juwana dapat meman faatk an kesempatan.
Sementara itu, pertarungan yang b erlangsung t elah berjalan semakin s engit.
Namun perlah an-lah an, begitu menginjak jurus ke lima b elas, Kumbang Em as
mulai d apat mend esak Sangga Ju wana. Hal ini tidak an eh, mengingat laki-laki
berpakai an kuning ini memang memiliki keunggulan dalam segala hal. Baik tenaga
dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Sepertinya, robohnya Sangga Juwana hanya
tinggal menunggu waktu saja.
Sekarang, Sangga Juwana lebih b anyak b ertah an. Serangan -serangan y ang
dilancarkanny a berku rang j auh.
Bahkan men angkis pun jarang dilakuk an, karena hal itu akan merugikan dirinya.
Kekuatan tenag a d alamnya yang berad a di bawah lawan, menyebabkan tang annya
sakit-sakit setiap kali terjadi benturan.
Semakin lama, keadaan Sangga Juwan a semakin memburuk. Bahkan menginjak jurus
kedua puluh lima,
dia sudah tidak mampu melan carkan serang an lagi. Kini laki-laki berkumis lebat
itu hany a meng elak dari serangan lawan. Itu pun tampak terpontang-panting ke
sana kemari dalam upaya menyelamatk an selembar nyawa.
"Sangga! Kumbang Emas ad alah penjah at keji yang licik. Dia telah berhasil
memperday aimu dengan
tantangannya. Kal au kau kalah, dia ak an lolos. Dan aku tidak suka hal itu
terjadi. Kau paham"! Maka aku akan memberi petunjuk padamu. Perhatikan baik-baik
dan ikuti!"
Mendadak Sangga Juwan a tertegun. Dia mendengar ad anya suara bisikan halus di
telinganya. Sambil terus mengelakkan setiap s erang an yang dilan cark an, Sangga Juwan a
mendeng ark an ucapan itu.
Tanpa sadar kep alanya terangguk ketika mendengar k alimat terakhir yang terd
engar di telinganya. Sangg a Juwana tahu, siapa pemilik suara itu. Dewa Arak!
Ben ar, Aryalah yang berbicara pad anya. Tapi, apakah tidak ada orang lain yang
mendengarny a"
Karen a p eras aan p enas aran yang mend era, Sangga Juwana s ekilas
memperhatikan wajah-wajah yang
berad a di sekitarnya. Terutama sekali, wajah Kumbang Emas! Tapi, tidak nampak
adanya tanda-tand a kalau laki-laki berpakaian kuning itu mendengarnya.
Sangga Juwan a sama s ekali tidak tahu kal au Dewa Arak tel ah menggunak an ilmu
mengirim suara d ari
jauh. Bagi orang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, hal
itu seperti merupakan pekerj aan mudah.
Dewa Arak ben ar-b enar menep ati janjinya. Sesaat set elah ucapan itu dikelu
arkan, p etunjuk-petunjuk yang dijanjikan pun muncul. Sedangkan Sangga Juwana
seg era mengikuti setiap petunjuk yang diberikan Dewa Arak.
Memang, setelah Sangg a Juwan a mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberik an Dewa
Arak dari j auh,
perlahan -lahan kead aanny a yang sudah terdesak hebat mulai b erub ah. Laki-
laki b erkumis tebal ini tidak lagi terpontang-p anting seperti s ebelumnya.
Bahkan dengan gerak an sed erhan a serang an Kumbang Emas sud ah bisa
dielakkannya. Tak sampai lima jurus setelah mend apat petunjuk dari Dewa Arak, keadaan telah k
embali seperti sewaktu
pertarung an baru menginjak jurus-jurus awal. Bahkan Sangga Juwana sudah bisa
melan cark an serangan-s erangan balasan kembali! Hebatnya, bagian-b agian yang
ditujunya adalah celah-cel ah terlemah dari tubuh lawan. Yang lebih gila lagi,
setiap serangannya selalu dilancarkan secara mendadak dan tiba-tiba.
Karuan s aja hal ini membuat Kumbang Emas kelabak an bukan kep alang. Sama
sekali tidak disangka kalau
keadaan ak an berubah s eperti ini. Padahal, semula dia sudah y akin ak an memen
angkan p ertarungan, mengingat keadaan Sangga Juwana yang sudah terdes ak.
Kumbang Emas hampir tidak percay a melihat kenyataan y ang dialaminya. Dan
memang, hal itu sulit
dipercay a! J elas-jelas k alau Sangg a Juwan a hany a memiliki kemampuan di
bawahnya. Baik tenag a dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi mengapa dia
bisa mendesak"
Bukan hanya laki-laki b erp akaian kuning itu saja yang dilanda perasaan
bingung. Ki Sancaka, d an Ki
Waringin pun heran bukan k epalang. Beberap a kali kedu a kakek ini mengg
elengkan k epala d an mengucek-u cek mata, untuk meyakinkan diri kalau tidak
salah lihat. Namun ketika beberapa kali melakukan hal itu, tetap saja tidak berubah. Padahal
Ki Sancaka dan Ki
Waringin yakin kalau mereka tidak sal ah lihat. Buktinya, Sangga Juwana ternyat
a mem ang berhasil mengimbangi Kumbang Emas.
Berbeda d engan Kumb ang Emas yang h anya bisa heran melihat perubahan m endad
ak itu, sementara di
pihak Ki Sancaka d an Ki Waringin bukanlah orang bodoh. Mereka t ahu, Sangga
Juwana tidak ak an mungkin bisa melakukan hal s eperti itu. Terutama sekali, Ki
Waringin yang tahu pasti kalau g erak an-g erak an yang dilakukan Sangga Juwana
berlain an aliran dengan miliknya.
Ki Sancak a d an Ki Waringin langsung bisa men duga kalau ad a orang y ang telah
memberi petunjuk p ada
Sangga Juwana. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak" Kedua kak ek ini tidak merasa
heran kalau Dewa Arak memiliki ilmu mengirimkan suara dari jauh. Sebagai orang-
orang yang telah memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, mereka sudah pernah
mendengar tentang ilmu itu. Meskipun, mereka tidak memilikinya.
Yakin akan keben aran dugaanny a, maka kedua ketua pergu ruan itu pun
mengalihkan pandangan ke arah
Arya. Tapi, alis Ki Sancaka dan Ki Waringin langsung berk erut k etika tidak
terlihat adany a tand a-tand a k alau pemuda berambut putih keperak an itu


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah mengerahk an ilmu mengirim suara dari jauh. Buktinya, kedua bibir Dewa
Arak tidak bergerak sama sekali.
Ki Sancaka dan Ki Waringin sama sekali tidak tahu kalau cara yang dilakukan Dewa
Arak menand akan
kalau penguasaan ilmunya sudah begitu tinggi. Jadi tidak heran kalau komat-
kamitnya tentu saja tidak akan muncul.
Ki Sancaka dan Ki Waringin saling berpand angan. Mak a perasaan bingung kemb ali
melanda k edua o rang
ini. Apakah memang tidak ada orang yang membantu Sangga Juwana"
Sadar k alau tidak ada gun anya memikirkan h al itu, Ki Sancak a d an Ki
Waringin langsung membuang
pertanyaan yang mengganggu b enak mereka. Kini pandangan merek a dialihkan ke
arah pert arungan y ang tengah berlangsung sengit.
*** Di arena pertarung an, keadaan sudah berubah. Baik Sangga Juwana maupun Kumbang
Emas tidak bertarung d engan t angan kosong lagi. Mereka tel ah sama-sama mengg enggam s
enjata. Kalau Sangg a Ju wana menggunakan ped ang, maka Kumbang Emas menggunakan
kipas baja berwarn a kuning yang ujung-ujungnya lancip seperti pisau.
Dengan tel ah digunakanny a senjata m asing-masing, maka pert arungan y ang
berlangsung pun jadi semakin
ramai. Kedua belah pihak tampak telah sama-sam a mengerahk an seluruh kemampuan.
Hebat dan mengagumk an permainan kipas Kum bang Emas! Benda itu memang merupakan
senj ata yang serba guna. Apabila ditutup bisa seperti pedang, dan bila dibuka berguna sebagai
tameng. Meskipun demikian, permainan p edang Sangga Juwan a tidak kalah h ebat. Pedang
di tang annya menyambar-nyambar secara tidak terdug a-duga. Bah kan Ki Sancak a dan Ki
Waringin y ang melihatnya pun jadi terbeliak k aget. Terutama sekali Ki
Waringin! Di a tahu pasti kalau permainan p edang Sangga Ju wana bukan ilmu yang
diajarkanny a. Orang yang p aling meras akan k edahsyat an ilmu pedang Sangga Juwana adalah
Kumbang Emas! Laki-laki
berpak aian kuning ini merasakan betap a beratny a tekanan ped ang yang
dilancarkan lawannya. Betapapun seluruh kemampuan yang dimiliki telah
dikerahkan, tapi tetap saja berada dalam pihak yang terdesak.
Dan pada jurus yang keempat puluh tujuh....
"Akh...!"
Kumbang Emas menjerit kesakitan ketika ujung pedang Sangg a Juwan a meny eremp
et perg elangan t angan
kanannya. Darah segar mengalir dari luka itu. Seketika itu juga, kipas yang
digenggamnya terlepas dari pegangan.
Dan sebelum Kumbang Emas semp at berbu at sesuatu, pedang di tangan Sangga
Juwana k embali meluncur
cepat ke arah perutnya. Dan....
Blesss! "Aaakh...!"
Kumbang Emas kontan melolong kesakitan. Pedang Sangga Juwan a menan cap di
perutny a, hingga tembus
ke punggung. Darah muncrat-muncrat seketika dari bagian yang terluka.
Sangga Juwana mencabut kembali pedangnya dari perut Kumbang Emas. Maka, darah
yang muncrat- muncrat pun semakin banyak keluar.
Tubuh Kumbang Emas jadi terbungkuk. Sepasang kelop ak matanya pun membelalak l
ebar. Dengan k edua
tangan, didekapnya luka p ada p erutnya. Tapi karena t erlalu bes ar, tetap saja
d arah m engalir deras lewat cel ah-celah jarinya. Kedua kakinya pun tampak
menggigil keras.
Sangga Juwana h anya memp erhatikan s aja laki-laki b erpak aian kuning itu
berjuang mel awan maut. Dia
ingin tahu, berapa lama Kumbang Emas mampu bertahan terhad ap panggilan malaikat
maut. Ternyata, Sangga Juwana tidak menunggu terlalu lama. Sesaat kemudian tubuh
Kumbang Emas ambruk ke
tanah. Setelah berkelojotan meregang nyawa sebentar dia tidak bergerak lagi
untuk selama-lamanya. Tewas!
Sangga Juwana mengh ampiri. Dibersihkannya batang p edangnya y ang berlumuran d
arah, deng an cara
menggosok-gosokkannya pad a pakaian Kumbang Emas. Baru setelah itu, dimasukkan
kembali ke dalam sarungnya.
Trek! Sangga Juwan a menatap wajah Ki Sancak a, Ki Waringin, dan Arya s erta wanita b
erpak aian hijau. Wajah-
wajah merek a tampak menyiratkan keg embiraan at as kemenanganny a.
"Kau heb at, Sangga! Sungguh tidak kusangka k alau kau bis a mengalahk an
Kumbang Emas. O ya, dari
mana ilmu-ilmu hebat itu kau dapat" Dan mengapa kau tidak memberitahukannya p
adaku?" sambut Ki Waringin ketika Sangga Juwana telah berada di dekatnya.
"Ah! Semuanya k arena bantu an Ary a, Guru," jawab Sangg a Juwan a, gembira.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya."
"Lupakanlah, Sangga! Bukank ah sekarang kita telah menjadi sah abat" Di antara
sahab at, mana bisa ada sikap sungkan-sungkan?" kalem jawaban yang keluar dari
mulut Arya. Ki Waringin dan Ki Sancaka s aling berp andang an. Jadi, benar. Rupany a Dewa
Arak -lah yang telah
membantu Sangga Juwana, dengan memberi petunjuk dari jauh. Tapi, mengapa bibir
Arya tidak berkemik-kemik
sama sekali"
"O ya, Arya. Bagaimana caranya sehingga k au bisa mengirimkan suara padaku tanp
a ad a orang lain
mendengarny a?" tanya Sangga Juwana, ingin tahu.
Meskipun hanya laki-laki b erkumis teb al itu saja yang mengajukan pertanyaan,
tapi secara di am-diam Ki
Sancaka d an Ki Waringin pun memasang kuping. Mereka rupany a juga ingin tahu
jawaban y ang akan diberikan Dewa Arak. Hany a seo rang s aja y ang tidak p
eduli terh adap masalah yang diributkan keempat o rang itu, yakni wanita berpak
aian hijau. "Aku menggunak an ilmu mengirimkan suara dari jauh, Sangga," jawab Ary a jujur.
"Deng an ilmu itu, aku bisa mengucapkan sesuatu terh adap orang yang kutuju,
tanpa ada orang lain yang mendengarnya."
"Ah...!" desah Sangga Juwana penuh kagum.
"Luar biasa...!"
"Tapi, mengapa tadi kami lihat bibirmu tidak bergerak -gerak, Arya?" desak Ki
Waringin bernad a penuh harap.
Arya hanya ters enyum.
"Tanda seperti itu hanya akan nampak pad a orang y ang belum terlalu tinggi
tingkat ilmu mengirim suara dari jauhnya, Ki," jelas Arya, tanpa bernada
menggurui. Hampir bersam aan, Ki Sancak a dan Ki Waringin mengangguk-anggukkan kep ala.
Perasaan kagum mereka
terhadap Dewa Arak menjadi semakin mendalam. Karena, jawab an tadi membuktikan
kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah memiliki ilmu mengirimkan suara
dari jauh yang hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
"Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalan an lagi, Ki?" tanya Arya untuk
mengalihkan persoalan.
"Boleh," jawab Ki Waringin, singkat "Tapi..., apa tidak lebih baik kalau kita
kembalikan wanita itu ke tempatnya lebih dulu?"
Hampir bersam aan Ary a, Ki Sancaka, dan Sangga Juwan a menganggukk an kepala.
Jelas, merek a semua
menyetujui usul Ki Waringin.
Tanpa diminta, Sangga Juwana segera mengham piri wanita berpakaian hijau itu.
"Siapa namamu, Nisanak" Kal au aku, Sangga Juwana. Panggil saja aku Sangga,"
tanya l aki-laki berkumis tebal itu.
"Namaku Sarini," jawab wanita berpak aian hijau, malu-malu.
"Sarini" Sebuah nama yang bagus," puji Sangga Juwana sambil menatap wajah
Sarini. Karuan saj a wajah Sarini jadi merah. Jelas dia merasa malu mendapat pujian
seperti itu. Wajahnya yang
sudah cantik, jadi semakin menarik seiring memerah wajahny a.
"Kini kau telah selamat, Sarini," kata Sangga Juwana yang diam-diam mengagumi
kecantikan Sarini.
"Sekarang, kami akan mengantark anmu kembali ke tempat tinggalmu. Bisa kau
beritahukan tempat tinggalmu?"
"Desa Sintang," jawab Sarini.
"Desa Sintang"!" ulang Sangga Juwan a, gembira. "Mengapa bisa b egitu kebetulan.
Kami sendiri tengah menuju ke sana."
"O ya, Sangg a"!" Sarini tamp ak terkejut juga. " Apakah ad a urus an p enting
yang membuat k alian h endak menuju ke desaku?"
Kini Sarini sudah bisa berbicara agak bany ak. Mungkin sikap Sangg a Juwana-l ah
yang membuatny a jadi
berani. "Kami memang mempunyai kep erluan di s ana," jawab Sangga Juwana ap a ad anya.
"Kami tengah mencari tempat tinggal orang yang bernama Juragan Durs ana. Dan....
Hey! Kau..., kenapa, Sarini"!"
Sangga Juwan a terp aksa m enghentikan u capanny a k etika melihat wajah Sarini
mend adak b erub ah.
Keterk ejutan yang amat sangat tampak jelas pada raut wajah gadis itu.
Bukan hanya Sangga Juwana s aja yang menjadi heran melihat perubah an hebat di
wajah wanita b erpak aian
hijau itu. Dewa Arak, Ki Sancaka, dan Ki Waringin pun meras a heran juga. Namun
deng an pand ainya, mereka menyembunyikan peras aan itu hingga tidak tampak pada
wajah. Meskipun demikian, ketiga orang itu tidak ingin ikut campur. Mereka
membiarkan saja Sangga Juwan a yang mencoba menyeles aikan masalah itu.
"Aku tidak apa-ap a, Sangga," jawab Sarini sambil menyunggingkan senyum. Jelas,
wanita berpakaian hijau ini bermaksud menimbulkan kesan seolah-olah benar-b enar
tidak mengalami apa pun.
Tapi Sangga Juwana orang yang telah berp engal aman. Dia tahu, nama Juragan Durs
ana mempunyai arti
bagi Sarini. Itulah sebabnya, mengapa gadis itu merasa terkejut bukan kepalang
ketika Sangga Juwan a menyebut nama tokoh penting di Desa Sintang itu.
Meskipun demikian, Sangga Juwan a memilih bertindak bijaks ana. Maka, Sarini sam
a sek ali tidak dipaksa
untuk menjelaskan mengenai Juragan Dursana. Bahkan sikapnya seolah-olah tidak
mengetahui keterk ejutan Sarini.
"Syukurlah kau tidak apa-apa. Aku khawatir sek ali tadi, barangkali kau jatuh
sakit?" Sangga Juwana mencoba mengalihkan persoalan.
"Mungkin kau benar, Sangga. Memang tadi aku merasa sedikit pusing," sambut
Sarini cepat. Rupanya, kini dia sudah mendapatkan alasan untuk menutupi
keterkejutan hatinya. "Tapi sekarang, sudah agak sembuh."
"Syukurlah," hanya itu yang diucapkan Sangga Juwana.
Suasana menjadi hening sejenak k etika laki-laki berkumis tebal itu tidak
berkata-kata lagi. Memang, Sarini pun tidak bersuara lagi.
"Sebenarny a..., apa urusanmu dengan Juragan Durs ana, Sangga?" tanya Sarini
memecahk an keh eningan yang terjadi.
Sangga Juwana tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sudah diduga kalau gadis
itu pasti akan menanyak annya. Dan itu menunjukkan kalau Sarini ada hubungan dengan Juragan
Dursana. "Sebenarny a, tidak ada u rusan ap a pun," jawab Sangg a Juwan a, jujur. "Kami
sebenarnya pun b elum kenal dengan Juragan Du rsana. Bahkan mendengar namanya
karen a orang lain yang memberitahukannya."
"Kalau tidak ada urusan ap a-apa, mengapa ingin mengunjunginya?" kejar Sarini
lagi, tanpa menyembunyikan peras aan ingin tahunya.
"Kami adalah orang -orang yang bertugas mengawal barang dengan imbalan bay aran.
Dan ked atangan kami hanya ingin memberitahukan pad anya, kalau barang kiriman
miliknya telah dirampas orang. Dan tentu saja kami tidak ingin lepas d ari
tanggung jawab. Barangkali, kami bisa m engganti kerugian y ang dial ami Jurag
an Du rsana,"
jawab Sangga Juwana ag ak sedikit berbohong.
Arya, Ki Sancaka, dan Ki Waringin merasa pu as mendeng ar p enuturan Sangga
Juwana. Mereka sudah
khawatir sekali kalau Sangga Juwan a akan mengutarakan ap a adany a. Kini,
mereka tinggal menunggu jawaban yang keluar dari mulut Sarini.
Sementara orang yang ditunggu-tunggu untuk berbicara, masih terdiam. Tarikan
wajahnya masih menyiratkan kebimbangan.
"Sepengetahu anku..., Juragan Dursana jarang dikirimi barang...," sahut Sarini
ragu-ragu. "Hhh...!"
Sangga Juwana menghela nap as berat.
"Sebenarny a..., siapa pemilik barang itu kami tidak tahu, Sarini. Yang jelas,
ada orang y ang membay ar kami untuk mengirimkan barang itu kepada Juragan Durs
ana di Desa Sintang. Karena kami tidak tahu alamat
pengirim barang itu, yahhh..., terpaksa kami bermaksud memb eritahukanny a kep
ada o rang y ang menjadi tempat tujuan barang kiriman," jelas Sangga Juwana,
panjang lebar. "Jadi..., begitu kiranya?" Sarini mulai mengerti.
"Benar, Sarini. Kau bisa memberitahukannya pada kami, di mana tempat ringgal
Juragan Dursana?"
Sarini menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang," ajak Sangga Juwana.
Maka rombongan kecil itu kini berangkat menuju Desa Sintang.
4 "Apa kalian tidak salah alamat?"
Sebuah pert anyaan bern ada l esu terd engar d ari d alam sebuah rumah b esar
dan terkurung p agar k ayu bulat tinggi. Suara itu ternyata berasal dari sebuah
ru ang tengah yang cukup luas. Di sana, tampak duduk bersila enam sosok tubuh.
Lima laki-laki, dan seorang wanita. Sedangkan y ang berbicara tadi terny ata
seorang laki-laki set engah baya. Pakaian mewah dan indah, membungkus tubuhnya
yang berperut buncit.
Usai berkat a demikian, laki-laki berpak aian mewah itu mengedark an pandang an
berk eliling, ke arah empat sosok tubuh di depannya. Sedangk an di seb elahnya
adalah gadis berpak aian hijau yang memang Sarini. Sementara empat sosok tubuh
yang duduk di hadapannya, tak lain dari Arya, Ki Sancaka, Ki Waringn, dan Sangga
Juwana. "Aku yakin tidak salah, Dursa," jawab Ki Waringin, mantap. "Meskipun sudah tua,
pendengaranku tidak kalah deng an orang muda. Jelas s ekali kal au pemilik
barang itu meminta ag ar b arangnya diant ar k e tempat tinggal Juragan Dursan
a, di Desa Sintang. Bukankah kau yang bernama Juragan Durs ana?"
"Kuakui, aku yang bernam a Juragan Du rsan a," jawab laki-laki berp erut buncit
itu. "Tapi secara jujur kutegaskan, aku tidak tahu-menahu mengenai adany a
barang kiriman itu untukku."
"Lalu kalau bukan..., mengapa minta dikirimkan ke alamat Ayah?" celetuk Sarini.
Sangga Juwan a, Ki Sancak a, Arya, dan Ki Waringin menatap k e arah Sarini.
Pertanyaan gadis b erpakaian
hijau yang ternyata putri Juragan Dursana itu membuat benak merek a berputar.
Sementara itu, Juragan Dursana yang mendap at pertanyaan itu langsung mengangkat
bahu. "Mana aku tahu, Sarini?" laki-laki berpakaian mewah itu malah balas bertanya.
"Siapa tahu ada kawan baik Ayah yang ingin memberi hadiah?" kata Sarini lagi.
Juragan Dursan a menggelengk an kepala.
"Sepengetahu anku..., aku tidak pernah mempunyai kawan seorang wanita muda.
Apalagi, yang mempunyai


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ciri-ciri seperti itu," bantah Juragan Dursana.
Memang, Ki Waringin telah menceritakan pad a Jurag an Dursan a tentang orang
yang telah mengirim kan
barang. Ki Sancak a, Ki Waringin, Arya, dan Sangga Juwana y ang memp erhatikan tany a
jawab anak beranak ini,
langsung berp andangan satu sam a lain. Mereka s emua y akin, Juragan Dursan a
sam a sek ali tidak terlihat meng enai barang yang k abarny a berisi kepal a
tokoh sesat yang tewas seratus lima puluh tahun lalu. Buktinya, raut wajah laki-
laki berperut buncit itu menyiratkan kesungguhan yang amat sangat.
"Juragan...," ucapan Arya membuat Sarini men-urungkan niatnya untuk bertanya
lagi. "Hm...," laki-laki berpakaian mewah itu meng-gumam pelan sambil menoleh.
Jelas, Juragan Du rsana ingin meng etahui hal yang ingin dikatak an Ary a.
Bahkan, bukan hany a Juragan
Dursana, tapi juga semua orang yang berada di situ. Tak terkecu ali Sarini.
Sikap tenang Dewa Arak itulah yang membuat orang ingin tahu hal yang akan
dikatakannya. "Kurasa, ad a ketidakberesan d alam masalah ini," lanjut Arya ketika semu a
pasang mata t elah tertuju ke arahny a.
"Maksudmu bagaimana, Arya?" tanya Juragan Durs ana, masih belum mengerti.
Laki-laki berp erut buncit ini memang tel ah mengenal nama empat orang t amunya,
karena merek a telah
saling memperkenalkan diri sebelumnya.
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Pandangannya bered ar ke arah wajah
-waj ah di sekelilingnya. Tampak di wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka sama sekali tidak
tampak raut k ebingungan. Jelas, kedua kakek itu sudah mengerti maksud
pembicaraanny a.
"Kami sudah yakin, Juragan tidak terlibat dalam masalah ini. Dan kami minta
maaf, karen a telah
mengganggu isrirahat Jurag an."
"Ah! Sama sekali tidak, Arya," sahut Jurag an Dursan a cep at. Kedua tang annya
digoyang-goy angkan untuk lebih menjelaskan k enyat aan k alau dia sama s ekali
tidak merasa terg anggu. "Aku justru merasa s enang atas kehadiran kalian. Aku
berkata sejujurny a. Tanpa keh adiran kalian, aku tidak bisa memb ayangkan hal
yang t erjadi pada putriku...."
"Ah! Lupakanlah itu, Juragan. Bukankah orang hidup memang harus saling tolong-
menolong. Lagi pula,
bukan tidak mungkin suatu saat nanti Juragan atau Sarini yang akan ganti
menolongku," sambut Sangga Juwana cepat.
Arya, Ki Sancak a, dan Ki Waringin menoleh men atap Sangga Juwana. Ary a deng an
alis berk ernyit,
sementara Ki Waringin dan Ki Sancaka d engan bibir tersenyum. Dua tangg apan y
ang berb eda ini terjadi akibat mendengar j awab an Sangga Juwan a atas u cap an
terima kasih yang disamp aikan Jurag an Durs ana. Arya bingung karen a perasaan
dia pernah mendeng ar perkataan seperti itu, tapi sayangnya lupa kapan dan di
mana mendeng arny a.
Sedangkan Ki Waringin dan Ki Sancaka meras a geli, karena mendengar Sangga
Juwana mengulang perk ataan Arya.
"Tapi merupakan perbuatan yang waj ar pula kalau kami mengucapkan terima kasih
atas pertolongan kalian.
Coba bagaimana tanggap anmu kalau..., misalkan..., aku kau tolong, tapi tanpa
mengucapkan sep atah kata pun.
Bagaimana?" debat Sarini.
"Ini..., ini...," Sangga Juwana kebingungan. Dan untuk beb erap a saat lamanya,
dia h anya m engucap kan kata-kat a yang tidak jelas maksudnya.
"Nah! Percaya tidak" Biar b agaimanapun juga, bas a-basi itu perlu, Sangga," uj
ar Sarini, bernad a m enang ketika melihat Sangga Juwana sama sekali tidak bisa
berbuat ap a pun. Bahkan hanya diam saja tanpa tahu harus berbuat apa.
Ki Sancaka, Dewa Arak, dan Ki Waringin hanya tersenyum lebar melihat Sangga
Juwana sama sek ali tidak
mampu membalas bantahan gadis berpakai an hijau itu.
"Sudahlah, Sarini. Kau ini keterlaluan s ekali samp ai menggoda orang," t egur
Juragan Dursan a, merasa tidak enak hati.
Sarini pun diam, dan tidak berkata-kata lagi. Tampak jelas kalau gadis
berpakaian hijau ini adalah gadis
yang patuh. "O ya, Arya," kat a Juragan Dursan a sambil men atap p emuda b erambut putih
keperak an itu lekat -lekat Rupanya, dia masih ingin melanjutkan pembicaraannya
yang terputus tadi.
"Ada apa, Juragan?" tanya Arya.
"Entah mengap a..., akhir-akhir ini para penj ahat kemb ali berani mel ancarkan
und ak kej ahatanny a. Di desa ini saja, hampir setiap hari terjadi kekacau an
yang disebabkan orang -orang aliran hitam itu.... Ah, aku ingat!"
Juragan Du rsana t ersentak. Dia tercenung beberap a saat lam anya, sebelum
akhirny a melanjutkan
ucapanny a kembali. Sementara, Arya dan rombongan yang semp at terkejut melihat
sikap laki-laki b erpak aian mewah itu hanya menunggu dengan sabar.
"Aku ingat sekarang. Semakin mengganasnya tindakan orang -orang aliran hitam itu
semenjak adanya kabar di dunia persilatan. Kabar mengenai sebuah perkumpulan
pengawalan barang yang membawa kep ala tokoh sesat.
Bahkan tokoh sesat yang sudah meninggal dunia seratus lima puluh tahun lalu. Ya!
Sejak saat itulah di sana-sini terjadi kekacauan."
Juragan Dursan a menghentikan ceritanya sejen ak untuk mengambil napas.
"Untung saja, Des a Sintang bany ak memiliki tokoh aliran putih. Dan merekalah
yang mered am tindak
kejahatan tokoh-tokoh aliran hitam itu."
Kembali Juragan Dursan a m enghentikan ceritanya. Kali ini, untuk membasahi
tenggorok annya yang
mendadak kering. Sementara, Arya dan yang lain tetap diam mendengarkan.
"Dalam keadaan tidak aman sep erti itu, Sarini sudah kularang untuk bermain
jauh. Tapi, tetap saja aku kecolongan. Kumbang Emas telah menculiknya tanpa
diketahui. Hhh...! Untung saja ada kalian. Kalau tidak...."
Sarini bergidik ngeri k etika tering at kembali ak an Kumb ang Emas. Sudah bisa
dibay angkan, nasib apa
yang akan menimpanya.
Sementara itu, Ki Waringin berd ehem k etika suas ana tel ah hening, karena
tidak ad a yang m embuka suara lagi
"Karena tidak ad a lagi yang d apat kami lakuk an di sini, kami ingin pamit
saja, Dursa," kata Ketua Perguruan Harimau Terbang itu seraya bangkit berdiri.
Juragan Du rsana tahu, tidak akan ada gun anya lagi m embujuk. Maka rombongan Ki
Waringin diantarkanny a sampai pintu pagar rumahnya.
*** "Auuunggg...!"
Lolong anjing hutan mengaung panjang mengusik kesunyian malam. Bulan sepotong
yang ada di langit
semakin menambah keseraman suasan a malam ini.
Dalam siraman sinar rembulan, tampak dua sosok tubuh bergerak cep at menuju
Gunung Bubat. Gerakan
mereka g esit bukan main, sehingga yang terlihat hanyalah k elebatan b ayang an
yang berg erak cep at mendaki lereng.
Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan mengira sebagai hantu-hantu
yang tengah berg entay angan.
Lincah laks ana k era, du a sosok bay angan itu berg erak mendaki l ereng. Sesek
ali, kaki kedu a bayangan itu menotol bebatuan y ang menonjol, untuk kemudian m
elenting ke atas. Lalu, mereka menotol lagi ke beb atuan, dan melenting lagi.
Gerak an du a sosok bay angan itu baru berhenti ketika telah b erada di d epan s
ebuah gu a yang garis
tengahnya sekitar satu tombak.
"Jadi di sini kau menyembunyikannya, Cendani?" tanya salah satu dari dua sosok
bayangan itu. Orang y ang dipanggil Cend ani meng anggukkan k epala. Terny ata dia ad alah s
eorang gadis cantik berkulit putih bersih. Rambutnya juga tampak keriting halus.
"Itu pun masih menggunakan cara kucing-kucing an. Kalau tidak...."
Cendani tidak melanjutkan u cap annya. Tapi, rupanya sosok bay angan hitam s atu
lagi, yang terny ata
seorang kak ek bertubuh tinggi kurus dan bergigi tonggos, sudah mengerti.
Buktinya dia tidak melanjutkan
ucapanny a lagi.
Kini merek a berdua m elangkah menuju ke dalam gu a itu. Tapi ketika telah
berada di amb ang gua, k akek
bergigi tonggos itu menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Ki Ringkul?" tanya Cendani, heran.
Kakek tinggi kurus yang ternyata bern ama Ki Ringkul tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Ditatapnya
wajah Cendani tajam-tajam.
"Kalau aku berhasil melaksan akan tugasku ini, kau berjanji akan memenuhi
permintaanku?" Ki Ringkul malah balas bertanya.
"Aku janji, Ki," jawab Cendani, mantap.
"Bagus! Sekarang hatiku tenang! Mari kita ke dalam!"
Cendani dan Ki Ringkul pun melangkah masuk ke dalam gua. Di dalam gua itu,
ternyata tidak ada
penerangan sam a sekali. Sehingga, suasana tampak g elap. Tapi baik Cendani
maupun Ki Ringkul sama sekali tidak mempedulikannya, dan terus saja melangkah
masuk. Menembus kegelapan yang pekat.
Tapi setelah melangk ah s ebanyak lima tindak, Cendani mengambil dua batang kayu
dari selipan pinggangnya. Kemudian k edua batang kayu itu digosok-gosokkanny a. Luar biasa!
Hanya b eberap a kali gosok, api pun memercik, dan tak lama kemudian sebatang
obor pun menyala.
Seketika itu pula, suasana di dalam gua itu terang-benderang. Sehingga, kini
mereka berdu a dapat
melangkah leluasa.
Gua itu ternyata m empunyai lorong yang p anjang dan b erliku-liku. Cendani dan
Ki Ringkul harus melalui
belokan demi belokan. Entah berapa b anyakny a belokan, kedu a orang itu tidak
menghitungnya. Yang jelas, mereka menghentikan langk ah k etika tel ah berada di
s ebuah ruang an y ang luas. Uku ranny a tak kurang dari en am tombak kali lima
tombak. Ki Ringkul mengedark an pandang an ke sekeliling ruangan itu. Tidak ada apa-ap a
di dalamnya, kecuali dua buah peti hitam berukir. Yang s atu beruku ran dua j
engkal kali dua j engkal, sedangkan y ang satunya l agi beruku ran biasa.
Ukurannya seperti layaknya peti mati manusia dewasa.
"Dari k edua peti itulah sesosok mayat h arus k au b angkitkan, Ki," kata
Cendani, setel ah beb erapa s aat lamanya membiarkan kak ek bergigi tonggos itu
memperhatikan seisi ruangan.
"Hm..., ya," hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Ki Ringkul.
Kemudian, Ki Ringkul melangkah menghampiri kedua peti mati itu. Diperhatikannya
sejen ak, lalu tubuhnya berb alik kembali. Kemudian, ditatapnya waj ah Cendani lekat-l ekat.
Dal am siram an sinar obor, wajah gadis itu terlihat semakin cantik. Tubuhnya
yang terbungkus pak aian b erwarna biru tua tamp ak montok dan menggiurkan. Hal
itu tidak aneh, karena Cendani baru berusia dua puluh tahun.
"Sebenarny a aku takut melakukanny a, Cendani. Apalagi kalau kuingat cerita
leluhur-leluhu r kita dulu....
Aku jadi semakin takut saja. Kal au saja tubuhmu tidak dijadikan upah atas usah
aku ini, tak akan nantinya aku mau melakukannya."
Cendani tersenyum mengejek.
"Dan..., upah yang akan kuberikan ini tergantung pad amu, Ki Ringkul. Kalau kau
ingin mencicipi tubuhku lebih cepat, tentu saja harus sesegera mungkin memulai
tugasmu." Usai berkata demikian, Cendani segera meraih bajunya di bagian dada.
Brettt! Baju itu kontan robek lebar. Tak pelak lagi, dua buah bukit kembar yang
berbentuk indah men cuat ke luar.
Kulit dada Cendani yang putih halus dan mulus tampak mengkilat-kilat terjilat
sinar obor. Ki Ringkul menelan ludahny a deng an susah -payah. Sement ara, s epasang matanya
terb elalak m enatap dua bukit kembar yang mencuat ke luar, seperti menatang.
"Kalau kau ingin cepat menikmatinya, lakukan pekerjaanmu cep at!" tandas
Cendani. "Baik..., baik.... Akan kulakukan segera...," sahut Ki Ringkul terbata-bat a.
Kemudian, kakek bergigi tonggos itu mengambil buntalan kain hitam yang
tergantung di punggungnya,
lalu diletakkannya di lantai. Dan kini perlahan-lahan dibukanya ikatan buntalan
itu. Dari d alam buntal an itu, Ki Ringkul mengelu arkan bermacam-macam b enda. Kain
leb ar b erwarn a merah
menyala, beberapa obor kecil, bunga tujuh macam, dan air dari tujuh tempat di
dalam guci. "Padamkan obor itu, Cendani," perintah Ki Ringkul dengan suara berg etar.
Tanpa banyak membantah, Cend ani segera memadamk an obor itu. Kontan suasan a di
d alam gua menjadi
gelap. Tidak terlihat apa pun lagi, kecuali kegelapan.
Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Dan kini Ki Ringkul telah meny alakan obo
r-obor kecilnya. Tapi,
terlebih dulu digelarnya kain berwarna merah menyala itu, yang ternyata lebar
juga. Panjangnya tak kurang dari satu tombak. Sedangkan lebarnya sekitar
setengah tombak.
Kemudian, Ki Ringkul meletakkan obor-obo r kecilnya yang b erjumlah tujuh buah
di sek eliling kain. Bau-
bauan y ang aneh menusuk hidung s egera t ercium, dan berasal dari obor-obo r k
ecil itu. Jelas, obor itu bukan obor sembarang an!
Ki Ringkul memperhatikan sejen ak, kemudian dijumputnya sebagian kembang tujuh
macam. Kemudian,
ditaburkannya bunga itu di dalam keliling kain berwarna merah. Sementara,
sebagian lagi direndam ke dalam air.
Cendani memperhatikan semua perbuatan Ki Ringkul tanpa berkedip. Tampak kakek
bergigi tonggos itu
menghampiri kedua peti.
Kriiiet! Suara berd erit tajam terdengar ketika tutup peti mati terbuka. Ki Ringkul
langsung menatap isi peti mati sekilas. Dan seperti yang sudah diduga, di
dalamnya terbujur sesosok mayat tanp a kepal a. Agak meremang bulu kuduk Ki
Ringkul ketika menyad ari kal au mayat itu tel ah meninggal dunia seratus lima
puluh tahun lalu. Tapi anehnya, mayat itu sama sekali tidak membusuk. Menilik
dari keadaan pakaian yang diken akan, jelas pakaian itu telah berkali-kali
diganti dengan yang baru.
Dengan tangan agak menggigil, Ki Ringkul mengeluarkan tubuh mayat tanpa kepala
itu. Kemudian dengan
hati-hati, diletakkannya di atas hamparan kain merah.
Untuk pertama kalinya, Ki Ringkul merasa takut terhad ap mayat. Padahal bias
anya, tidak ada sep ercik pun rasa takut. Mungkin karena mayat kali ini lain
dari biasanya, kakek bergigi tonggos ini jadi takut.
Kemudian, Ki Ringkul membuka peti yang kecil. Dari situ, dikeluarkannya sebu ah
kepala manusia. Dan
kini, kepala itu dibawanya ke tempat m ayat tadi diletakkan. Ses aat k emudian,
tubuh may at itu telah disatukan dengan kepalany a. Walaupun belum menempel,
tapi sudah menciptakan ketegangan.
Ki Ringkul lalu duduk bersila. Perlahan-lah an, sepasang matany a dipejamkan.
Mulutnya tampak komat-
kamit, mengucapkan k ata-k ata y ang tidak j elas. Terkadang, suarany a sep erti
orang menggumam. Tapi di lain saat, seperti ada sekumpulan tawon yang sarangny a
diganggu. Semakin lama, ucapan yang k eluar d ari mulut Ki Ringkul terdengar semakin
keras. Gerakan pad a bibirnya
pun semakin cep at Tubuhnya juga mulai meng gigil. Semakin lama semakin keras,
lalu kemudian diam. Hal itu terjadi ketika tubuhnya telah menggigil beberapa


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat lamanya. Tanpa mempedulikan k eringat yang m embasahi wajah dan dahinya, Ki Ringkul
mengambil guci yang
berisi air dan kembang. Dihirupnya air itu, lalu disemburkannya ke sekujur tubuh
mayat yang terbujur sebanyak tiga kali.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Ki Ringkul. Mulutnya kembali berkomat-
kamit mengu capkan
kalimat-kalimat tak jelas pada guci yang telah didekatkan ke bibirnya.
Beberap a saat lamanya Ki Ringkul berbuat demikian, kemudian air di dalam kendi
dituangkannya ke
sekujur tubuh mayat di atas kain, mulai dari kaki sampai kepala.
Cesss...! Ajaib! Seperti besi panas disiram air dingin, tiba-tiba asap putih tebal
mengepul ketika ai r kendi itu
menyiram tubuh mayat yang terbaring!
5 Mula-mula hanya sedikit saja asap yang timbul. Tapi semakin lama, semakin bany
ak. Bahkan sampai
menyelubungi seluruh tubuh mayat itu.
Ki Ringkul segera b angkit dan bersilanya, dan m elangkah k e b elakang. Tapi,
dia berdiri di seb elah
Cendani. Wajah kakek bergigi tonggos ini tampak tegang, seperti orang ketakutan.
Perlahan-l ahan asap itu kembali menipis. Semakin lama, semakin sedikit. Sampai
akhirnya, tidak tersisa
asap sam a sek ali. Sekarang, mayat itu k embali terlihat. Tapi, tidak nampak ad
anya p erubah an sedikit pun p ada mayat itu.
Namun sesaat kemudian, pemandang an yang m encek am hati dan membu at bulu kuduk
berdiri pun terjadi.
Betapa tidak" Jari-jari mayat itu tampak mulai bergerak-g erak. Mula-mula pelan
d an kelihatan sulit, tapi kian lama kian cepat dan lancar.
Tanpa sadar, Cendani melangkah mundur. Sedangkan Ki Ringkul yang lebih tabah,
hanya bisa memandang
dengan wajah pucat pasi. Meskipun demikian, pandangan matanya tetap tidak
beralih. Cukup lama juga hal itu berlangsung. Sampai akhirnya, tiba-tiba tubuh itu
bangkit berdiri. Dan ketika telah tegak, kepalanya yang kelihatan belum
menyambung benar, juga tidak terlepas. Seperti sudah melekat begitu saja!
Wajah Ki Ringkul semakin m emucat. Tanpa bisa dicegah l agi, kedua kakinya
menggigil keras. Hal yang
sama juga terjadi pada Cendani. Bahkan gadis itu mengalaminya sejak tadi.
Kedua orang yang berbed a usia dan jenis itu sama-sama diland a ketakut an
hebat. Apalagi, ketika
mendadak.... Tappp! Kedua tang an mayat itu bergerak mengusap leh erny a yang masih belum tersambung
benar. Setelah diusap,
tidak nampak ada t anda-t anda k alau l eher itu bekas buntung. Kulit leher itu
k embali sep erti semula, tidak n ampak tanda ada sayat an sama sekali.
"Ha ha ha...!"
Mayat hidup itu tertawa terb ahak -bahak. Suarany a keras s ekali, sampai-s
ampai membuat dinding-dinding gua bergetar hebat, seakan-akan ak an runtuh! Jelas, tawa itu dikeluarkan lewat
pengerah an tenaga dal am.
*** Memang menggiriskan sekali k ead aan may at itu. Tubuhnya tinggi kurus, laksana
tulang t erbungkus kulit.
Tapi, bukan itu yang membuat orang ng eri. Wajahnya y ang pucat karena lama t ak
ken a sinar m atahari itulah yang membuat orang bergidik memandangnya. Demi kian
pula sinar matanya. Rasanya, tak pantas dimiliki manusia,
melainkan iblis! Begitu mengerikan!
Setelah puas tertawa, mayat hidup yang kalau menilik keadaanny a berusia tiga
puluh lima tahun itu,
menatap Ki Ringkul dan C endani b erganti-g anti. Karu an s aja h al itu membuat
kedu a orang y ang sud ah sej ak tadi merasa gentar, melangkah mundur tanpa
sadar. "Ha ha ha...! Jangan takut...!" cegah mayat hidup itu. Suaranya terdeng ar
kering dan parau. "Aku tidak akan menyakiti kalian. Bahkan aku merasa bert erima
k asih karena k alian tel ah membangkitkan j asadku d ari tidur panjang. Ha ha
ha...!" Cendani dan Ki Ringkul dengan sus ah pay ah menel an ludah untuk membas ahi
tenggorokan yang
mendadak kering.
Sementara, mayat yang telah bangkit itu seperti berpura-pura tidak tahu tentang
perasaan yang b erkecamuk di hati Cendani dan Ki Ringkul. Masih dengan tawa
tidak putus-putus, kakinya melangkah menghampiri.
"Namaku Burangrang," kata mayat hidup itu memperkenalkan namany a. "Siapa
kalian?" "Aku..., Ki Ringkul," jawab kakek bergigi tonggos. Pelan sekali suaranya, hampir
tidak terdengar.
"Hm.... Ki Ringkul," ulang mayat hidup yang ternyata bernama Burangrang. "Dan
kau. Siapa n amamu, Anak Manis?"
"Cendani," jawab gadis berambut keriting itu, tak kalah lirih dengan Ki Ringkul.
Memang, dalam cekaman ras a takut yang melanda, lidah Cendani dan Ki Ringkul
terasa kelu. Sehingga,
sulit mengeluarkan suara.
Burangrang mengangguk -anggukkan kep ala. Entah apa maksudnya. Hanya laki-laki b
erwajah pu cat itu
sendiri yang tahu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki Ringkul," ucap Burangrang parau.
"Jangan berterima kasih padaku. Tapi, berterima kasihlah pada Cendani," jawab Ki
Ringkul tanpa sadar.
Perasaan takut yang m elanda, membuat akal seh at Ki Ringkul menguap entah ke
mana. Sehingga, ucapan
yang keluar tercetus tanpa sempat terpikir lebih dulu.
"Heh..."! Mengapa demikian?" tanya Burangrang heran.
Sambil berkata demikian, Burangrang menatap wajah Cendani dan Ki Ringkul
berganti-ganti.
"Karena..., karena akulah yang menginginkan kau bangkit kembali," jawab Cendani,
masih tetap lirih suarany a.
Jelas, gadis berambut keriting ini belum mampu menghilangkan rasa takut yang
Bangau Sakti 33 Dewi Ular 76 Tamu Dari Alam Gaib Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16
^