Pencarian

Tokoh Dari Masa Silam 2

Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam Bagian 2


melanda hatinya.
Sepasang alis Burangrang berk erut dalam, sehingga hampir saja bertautan satu
sama lain. "Mengapa kau menginginkan aku bangkit dari kematian, Cendani?" desak Burangrang,
penuh tekanan. Cendani membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.
"Karena kau adal ah buyutku," kali ini Cendani mampu berkata lantang. Bahkan
gadis itu mampu membalas tatapan Burangrang, meskipun dengan hati kebat-kebit.
"Heh..."!"
Burangrang terjingkat ke belak ang. Jelas, ucapan yang dikeluarkan Cendani amat
mengejutkan hatinya.
"Aku buyutmu"!" ulang Burangrang s ambil menudingkan jari telunjuk ke d adany a
sendiri. "Tidak kelirukah kau, Cendani"! Usiaku belum tiga puluh tahun. Dan
tidurku tidak lama. Mana mungkin aku buyutmu"!"
"Kau memang buyutku. Kau telah tertidur selama seratus lima puluh tahun lebih,"
jelas Cendani. "Ahhh...!" desah Burangrang, kaget "Benarkah aku telah tertidur selama seratus
lima puluh tahun"!"
Cendani mengangguk-anggukkan kepal a pertanda m embenarkan. Sementara, Ki
Ringkul diam saja. Tidak
nampak adanya tand a-tand a kalau kakek bergigi tonggos itu ingin ikut ambil
bagian dalam pembicaraan.
Burangrang tercenung melihat anggukan kepal a Cendani.
"Mungkin kau benar, kalau aku tertidur lebih d ari seratus lima puluh tahun.
Tapi, tetap saja aku bukan buyutmu. Perlu kau ketahui, Cendani. Aku tidak pernah
beristri! Jadi, mana mungkin mempunyai keturunan."
Pelan dan halus Burangrang meng eluark an kata-k atany a. Padahal, ini bukan
tabiat Burangrang. Tapi entah mengapa, terhad ap Cendani dia tidak sampai hati
bersikap kasar.
"Kau memang tidak beristri. Tapi, berapa bany ak wanita y ang menjadi korbanmu !
Dan kak ekku, lahir dari salah seorang wanita yang menjadi korb anmu! Wanita
itulah yang menceritakan kepad a kakek, ketika ditanyakan tentang siapa
ayahnya," jelas Cendani.
Kali ini Burangrang tidak bisa berkata-kata lagi. "Jadi, aku mempunyai
keturunan"!" des ah Burangrang, setengah tak percaya.
Ada nad a keg embiraan dal am ucap an Burang rang. Dan memang, seb enarnya
Burangrang merasa g embira
bukan kepalang. Bahkan bercampur bangga karena keturun annya yang berh asil
membebaskanny a dari tidur panjang.
"Lalu..., mana kakekmu, ayahmu, ibumu, dan seluruh k eluarg amu, Cendani?" tanya
Burang rang, penuh gairah.
Wajah Cendani kontan muram. Karu an saja hal ini membuat Burangrang heran bukan
kep alang. Perasaan
tidak enak pun b ers emayam di h atinya. Dia yakin, ad a sesu atu yang tidak b
eres telah terjadi terhadap keluarga Cendani.
"Itulah sebabny a, aku bersusah-p ayah men empuh bah aya d an pend eritaan h
anya untuk m embangunkanmu dari tidur panjang," kata Cendani, serak.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Cendani," sahut Burangrang, heran.
"Semua keluargaku tel ah tiada, tewas dibunuh orang. Kakekku, ayahku, dan saud
araku, dan juga pam anku.
Dan orang satu-satunya yang dap at membalaskan semua sakit hati ini adalah kau!"
jelas Cendani. Terdengar geraman k eras laksan a binat ang terluka d ari mulut Burang rang. J
elas, laki-laki b erwajah pu cat ini dilanda kemarahan hebat.
"Kakek t ewas di tangan R aja Ular Beracun. Demikian pula h alnya ayah," sambung
Cend ani lagi. "Paman tahu kalau tidak gunanya membalas dendam bila mempergunak
an kemampuan sendiri. Kemudian, diusahakannya
untuk mencari tempat disembunyikannya tubuh dan kepalamu. Paman tahu, kau telah
mati. Tapi, dia tahu pula kalau kau bisa bangkit kembali dari kematian. Maka,
dia pun mulai berk elana untuk mencari tempat berad anya tubuh dan kepalamu.
Hampir sepuluh tahun paman berkelana, baru tempat itu ditemukannya."
Cendani menghentikan ceritany a sejenak untuk mengambil napas.
"Tapi sayang, usaha penyelidikan paman dik etahui tokoh-tokoh aliran putih yang
memang mendapat tugas dari leluhurnya untuk menjaga tubuh dan kepalamu baik-
baik." "Tapi, bukankah tubuh dan k epalaku ditemp atkan di temp at yang t erpisah j
auh"!" kejar Burang rang ingin tahu.
"Paman dipergoki sewaktu menyelidiki kepalamu. Tapi sebelum ajal menjemput ny
awany a, beliau sempat memberitahukanny a padaku. Dan akulah yang meneruskan
usahany a. Waktu mengambil tubuhmu, sama sekali tidak menemui kesulitan. Tapi
sewaktu mengambil kepalamu, sempat terjadi kegemparan. Perbuatanku diket ahui
merek a. Untung saja, itu terjadi setelah aku berada jauh dari tempat itu."
"Lalu...?" tanya Burangrang tidak sabar ketika melihat Cendani menghentikan
ceritanya. "Aku dikejar," sahut Cend ani cep at. "Dan karen a khawatir usah aku gag al,
segera kucari jalan untuk membebaskan diri d ari kejaran. Maka kud atangilah
Pergu ruan Harimau Terb ang yang meny ediakan j asa
pengawalan barang. Lalu, kumasukkan kepala s eekor o rang hutan dal am peti
kecil, dan kuminta agar dikirimkan ke Desa Sintang. Dan seperti yang sudah kudug
a, hal itu tersebar luas di dunia persilat an. Perguruan Harimau Terbang yang
diburu-buru, baik oleh tokoh aliran hitam, aliran putih, maupun tokoh-tokoh
aliran putih yang b ertugas menjaga kepalamu." Cendani menghentikan ceritanya
sebentar. "Kau cerdik, Cendani," puji Burangrang. "Tidak memalukan menjadi keturunanku."
"Akhirnya, kudengar k alau para p engejarku tewas di tang an Garud a Laut Timur.
Syukurlah! Dengan
demikian, aku aman. Dan deng an leluas a, kusembunyikan kepala d an tubuhmu di
gua ini. Di sini beberapa kali kucoba untuk membangkitkanmu dari kem atian, tapi
gagal. Karen a putus asa, maka kuhubungi Ki Ringkul, sahabat paman," sambung
Cendani, yang kini tidak lagi menggunakan istilah tidur panjang.
"Lalu, kau meminta pertolongan padanya kan, Cendani?" duga Burangrang tidak
sabar. "Benar," jawab Cendani. "Tapi sayang, Ki Ringkul tidak bersedia. Namun setelah
kudesak-des ak, dia bersedia juga, walau dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, Cendani?" tanya Burangrang sambil melemparkan k ening penuh
ancaman pada Ki
Ringkul. Tentu saja Ki Ringkul jadi takut bukan kepalang. Tapi apa daya" Tempat
Burangrang b erdiri membuat
jalan keluar jadi terhalang. Maka, dia tidak bisa berbuat apa-ap a, kecuali
menunggu perkembang an yang akan terjadi.
"Dia memintaku agar menjadi istrinya."
"Jahanam!" seru Burangrang keras.
Terdengar suara b erkerotokan k eras s eperti ad a tulang-tulang p atah.
Padahal, tokoh yang menggiriskan itu sama sekali tidak berbuat ap a-ap a. Suara
itu timbul karena t enag a dalamnya m engalir sendiri, akibat k emarahan yang
melanda. Burangrang men atap Ki Ringkul. Ada hawa maut yang mem ancar dari sepasang m ata
yang memiliki sorot
menakutkan itu.
"Lalu..., kau menyetujuinya?" desak Burangrang, semakin tinggi nada suaranya.
Cendani menggelengkan kep ala.
"Kukatakan terus terang, kalau aku tidak mau! Tapi Ki Ringkul pun berkeras pula
dengan keinginanny a.
Kami saling silang pend apat. Cukup lama jug a, sampai akhi rnya aku meng alah.
Aku b ersedi a memenuhi
permintaannya, tapi hanya sehari!"
"Kau..., kau memenuhi permintaan gila itu, Cendani"!" tanya Burangrang setengah
tidak percaya. "Apa boleh bu at!" d esah Cend ani "Tidak ada jal an lain lagi untuk
membangkitkanmu d ari k ematian. Jadi, permintaannya terp aksa kupenuhi"
"Jadi kau..., sudah...."
Burangrang menghentikan ucapanny a di tengah jalan, tidak sanggup untuk
menyambung ucapannya lagi.
Cendani menggelengkan kep ala.
"Belum," jawab Cendani. "Menurut perjanjian yang disep akati, apabila kau b
erhasil bangkit dari kem atian, baru aku akan memenuhi permintaanny a."
"Jangan kau penuhi permintaan gila itu, Cendani!" tandas Burangrang cepat dan
keras. "Aku tidak ingin keturunanku berjodoh deng an orang semb arang an! Hany a
orang y ang bisa mengalahkanku yang akan menjadi jodohmu, Cendani!"
"Tapi..., aku sudah berjanji pada Ki Ringkul. Dan...."
"Perjanjian tidak berlaku bila salah s atu pihak terpaksa mel akukanny a! Itu
pand anganku! Dan kau
keturunanku, Cendani! Dengan demikian, kau harus ikut pula memegang pand anganku
itu! Saat ini juga, perjanjian dengan Ki Ringkul batal!" potong Burangrang, cep
at. Wajah Cendani dan Ki Ringkul berubah. Tapi, gadis berambut keriting itu hanya
terkejut saja. Tidak
demikian halnya dengan Ki Ringkul. Kakek bergigi tonggos itu kaget bercampur
gentar, karena tahu ada bah aya besar yang tengah mengan cam.
*** Dengan langk ah satu-s atu, Burangrang melangkah menghampiri Ki Ringkul. Kakek b
ergigi tonggos ini
memang sudah sejak tadi ketakutan, karena t ahu ada bah aya b esar y ang tengah
meng ancamny a. Maka ketika Burangrang menghampiri, dia menjadi kalangkabut.
"Ampun..., ampunkan aku. Kutarik kembali perjanjianku deng an Cendani..., tapi
jangan bunuh aku," ratap Ki Ringkul terputus-putus, seraya melangkah mundur.
"Tidak semudah itu, Ringkul!" desis Burang rang. "Tindakanmu sud ah k eterlalu
an! Dan aku tidak bisa mengampuninya lagi! As al kau tahu s aja, Ringkul! Aku
tidak pern ah mengampuni orang yang b erani menghin aku!
Dan perjanjianmu dengan Cendani sama saja penghinaan untukku! Dan balasanny a,
mati!" Sambil berkata demikian, Burangrang terus melangkah maju. Lambat-lambat saj a
kakinya mel angkah. Dia
terus mendekati Ki Ringkul yang melangkah mundur.
Tapi baru beb erap a tindak, Ki Ringkul sudah tidak bisa mundur lagi. Bagian b
elakangny a ad alah dinding gua. Dan kini, punggungnya telah menyentuh dinding
itu. Wajah Ki Ringkul semakin memucat ketika menyadari keadaan kalau dirinya tidak
bisa mundur lagi.
Dengan raut waj ah membayangkan ketakut an amat sangat, ditatapnya Burangrang
yang tengah mengham piri.
Bagi Ki Ringkul, satu tindak Burangrang melang kah mendekati, berarti satu
pukulan keras menghantam
dadanya. Jantungnya yang mem ang sejak tadi sudah berd egup ken cang, semakin
keras berdet ak. Maka dalam cengkeraman rasa takut yang memuncak, Ki Ringkul
jadi nekat. Dicabutnya golok yang terselip di pinggang.
Srattt! Sinar terang menyilaukan berkel ebat ketika golok itu keluar dari sarungnya.
Lalu.... "Haaat...!"
Diiringi pekik melengking ny aring, Ki Ringkul melompat men erjang. Goloknya
dibab atkan ke arah leh er
secara mendatar.
Singgg! Suara mendesing nyaring, mengawali tibanya babatan golok itu.
"Hmh...!"
Burangrang hanya mendengus melihat serang an itu. Tanpa berusaha mengel ak at au
men angkis, dibiarkan
saja golok itu meluncur ke arahny a. Memang, dia bermaksud menerima serangan itu
deng an peng erah an ten aga dalamnya.
Takkk! Telak dan keras sekali mata golok itu menghantam sasaran. Tapi akibatnya,
senjata itu yang justru terpental balik seperti membentur sebuah karet kenyal.
"Ukh...!"
Sebuah keluhan tak terasa keluar dari mulut Ki Ringkul. Tangan yang menggenggam
ped ang kontan terasa
sakit-sakit. Sementara, leher Burangrang sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan luka, tergores pun tidak.
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak Burangrang menyambuti perasaan terkejut yang melanda hati Ki
Ringkul. "Kau boleh pilih bagian yang paling lunak di tubuhku, Ringkul!" seru Burangrang.
Ada nad a kesombongan d alam ucapan tokoh ses at yang b eras al dari mas a silam
itu. Perasaan y ang timbul karen a dirinya merasa jauh lebih unggul daripada
lawanny a. 6 Cendani menat ap ng eri semu a k ejadian di dep an matany a. Meskipun bisa diras
akan kalau Burang rang
menyayanginya, namun tetap saja tidak mampu menghilangkan peras aan takut yang
melanda. Sikap maupun tindak-tanduk Burangrang memang membuat orang meras a
ngeri. Walaupun demikian, gadis berambut keriting itu tetap saja memaks akan matany a
untuk memperhatikan
kejadian yang terpamp ang di hadapannya.
Tampak Ki Ringkul tengah kelabakan. Kakek bergigi tonggos itu nampak terpaku di
tempat. Namun hal itu
hanya b erlangsung s ebentar saj a, karena sesaat kemudian sudah k embali melan
cark an s erang an. Goloknya dikelebatkan ke berb agai bagian tubuh Burangrang.
Tak, tak, tak...!
Berkali-kali golok Ki Ringkul menghantam sasaran. Menusuk, men etak, membacok,
dan membab at. Dan
itu dilakukan pada seluruh bagian tubuh Burangrang. Hasil yang didapatkan kakek
bergigi tonggos tidak berbeda dengan sebelumnya. Sia-sia!
"Ha ha ha...!"
Sambil berkacak pinggang, Burangrang tertawa terb ahak-b ahak. Hujan serangan
golok Ki Ringkul sama
sekali tidak dirasakannya. Padahal, senjata itu bertubi-tubi menghantam berbagai
bagian tubuhnya.
Akhirnya, Ki Ringkul sendiri yang kelelah an. Napasny a memburu h ebat. Memang,
dia telah meng erah kan
seluruh kemampuan dalam serang an itu.
"Sudah selesai, Ringkul" Sudah puaskah kau melancarkan serangan -seranganmu?"
ejek Burangrang.
Memang, Ki Ringkul sudah mengh entikan serangan -seranganny a. Nap asnya m
emburu heb at. Bahkan
tubuhnya pun sampai terbungkuk-bungkuk.
"Sekarang giliranku," ucap Burangrang lagi, sambil melangkah maju bersikap
mengancam. Ki Ringkul tidak bisa berbuat apa-ap a lagi. Disadari, tidak ad a gunany a
melakukan p erlawan an yang akan membuatnya lelah sendiri. Oleh karena itu, Ki
Ringkul hanya pasrah saja ketika melihat Burangrang
menghampirinya.
Karen a perasaan ngeri, Ki Ringkul tidak berani menent ang pand angan mata
Burangrang. Malah kepal anya
ditundukkan, untuk menghindari adu pandang deng an Burangrang. Sepasang mata
laki -laki berwajah pucat yang memiliki sorot mata menakutkan itu, membuat
nyalinya ciut! "He he he...!"
Burangrang tert awa bernada meny eramkan. Kemudian, tangan kanannya diulurkan ke
arah dada Ki Ringkul. Susunan jari-jari tangannya seperti membentuk totokan jurus 'Bangau'.
Tukkk. Tubuh Ki Ringkul langsung terkulai ketika totokan tangan Burang rang mengh antam
sas aranny a. Bagaikan
sehelai karung basah, tubuh kakek bergigi tonggos itu ambruk ke tanah.
Masih dengan tawa yang belum putus, Burangrang membungkukkan tubuh. Dilihatnya
sejenak tubuh Ki


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ringkul yang tergolek tidak b erday a, dan h anya bisa memperh atikan semu a
tindakan Burangrang deng an peras aan ngeri yang mencek am hati.
"Aku membutuhkan mak anan -makan an berkhasiat untuk m engisi perutku y ang
sudah l ama tidak terisi, Ringkul! Untung saja, ada kau di sini sehingga aku
tidak repot-repot lagi mencarinya," kata Burangrang, bern ada menyeramk an.
Kontan bulu tengkuk Ki Ringkul berdiri. Terasa ada ancaman yang meng erikan dal
am ucap an Burangrang.
Dan peras aan itu bukan hanya dialami Ki Ringkul saja, tapi juga oleh Cendani.
Usai berkat a demikian, Burangrang mengulurk an tangan k ananny a, dengan jari
telunjuk dijulurkan.
Sementara, jari-jari tanganny a dilipat ke dalam.
Cendani dan Ki Ringkul bergidik ngeri ketika melihat kuku panjang dan hitam yang
menyembul dari ujung
jari telunjuk Burangrang. Dan kini, kuku yang menyeramkan itu meluncur ke arah
dahi Ki Ringkul.
Tappp! Kuku jari yang panjang dan runcing itu telah menempel di dahi Ki Ringkul. Dan
ketika Burangrang
mengerahk an sedikit tenaga dalamnya, maka....
Krrrsss! Dahi Ki Ringkul kontan amblas, diiringi darah segar yang merembes keluar. Tapi
karena Burangrang
memang tidak bermaksud memb enamkan kuku jari tanganny a dalam-d alam, darah y
ang mengalir k eluar pun h anya sedikit saja.
Ki Ringkul meringis karena menahan perih pada kulit dahinya. Rasa heran seketika
melanda hatinya.
"Apa yang hendak dilakukan Burangrang?" tanya kakek bergigi tonggos dalam hati.
Tapi, Ki Ringkul tidak terlalu lama dilanda perasaan heran, k aren a s esaat k
emudian j awab annya telah ditemukan. Rupanya tang an Burang rang s eperti hen
dak membuat gu ratan yang digoreskan ke s ekeliling kepal a Ki Ringkul, secara m
endatar. Mulai dari d ahi melewati bel akang k epala, d an k embali lagi ke
dahi. Sepertinya, Burangrang ingin membelah kepala Ki Ringkul menjadi dua
bagian! Rasa sakit yang mendera Ki Ringkul makin luar bias a! Lolong kesakitan yang k
eluar dari mulutnya telah
menjadi bukti nyata. Keringat sebesar biji jagung pun bermunculan di selebar
wajahnya yang pucat pasi.
Tapi, Ki Ringkul tidak terlalu lama mengalami penderitaan itu. Karena seb elum
Burangrang menyeles aikan
kekejiannya d engan memb elah kep ala korbanya menj adi dua bagi an, kakek
bergigi tonggos itu sudah tidak mampu lagi bertahan. Ki Ringkul tewas sebelum
kepalanya terbelah menjadi dua bagian !
*** Rasa mual y ang amat sang at mend era Cendani ketika t empurung k epala Ki
Ringkul bagian at as terpis ah.
Hampir saja isi perut gadis itu keluar.
Kini, di depan mata Cendani tampak gumpalan benda putih yang menempel di dalam
tempurung kepala
bagian bawah Ki Ringkul. Tempurung kepala bagian bawah itu masih bersatu dengan
utuh. Cendani tahu, gumpalan benda putih itu adalah otak Ki Ringkul!
Meskipun perasaan ngeri yang amat sangat melan da hati, Cendani memaksakan diri
untuk terus melihatnya. Dia ingin tahu kelanjutan tindakan tokoh yang menjadi buyutnya itu.
Cendani melihat Burangrang tertawa terk ekeh -kek eh deng an s epas ang mata
berbinar-binar. Raut
kegembiraan yang amat sang at tampak jelas terlihat, karena Burangrang memang
tidak menyembunyikanny a. Atau, sengaja tidak menyembunyikannya.
Kemudian sambil mengeluarkan g eram an laksan a seeko r beruang lap ar, tanganny
a diulurkan k e arah
gumpalan otak Ki Ringkul. Tampak hati-hati sekali laki-laki berwajah pucat itu
melakukannya. Sesaat kemudian, gumpalan otak itu telah berada di tangan Burang rang. Laki-laki
berwajah pucat itu
memandanginya ses aat, lalu..., memakannya deng an lahap ! Burangrang memak an
otak Ki Ringkul mentah-ment ah, dengan penuh nafsu! Seak an-ak an, benda putih
lunak itu adalah makanan lezat!
Cendani yang menyaksikan kejadianny a itu hampir tidak mampu lagi menahan isi
perutnya keluar. Rasa
mual yang amat sangat, timbul ketika menyaksikan adegan itu.
Tak lama kemudian, otak Ki Ringkul telah h abis disantap Burangrang, tanpa
bersisa sedikit pun! B ah kan
Burangrang sampai menjilat jilati seluruh jari tangannya hingga licin tandas.
Tapi, tindakan Burangrang tidak hany a sampai di situ saja. Begitu otak Ki
Ringkul telah habis dilahap,
tangan kanannya kemb ali bergerak. Kali ini, ke arah perut Ki Ringkul.
Blosss! Perut Ki Ringkul kontan jebol ketika tangan kanan Burangrang menghunjam
perutnya. Memang, tokoh dari
masa silam itu mengerahkan tenag a dalamnya sewaktu menjulurkan tangannya.
Untuk yang kesekian k alinya, darah k embali mengalir keluar dari perut Ki
Ringkul yang ambrol.
Sedangkan tangan Burangrang terus saja menerobos masuk ke dalam perut. Dan
ketika keluar kembali, di tangan yang berlumuran darah itu telah tergenggam hati
Ki Ringkul. Tanpa merasa jijik sama sekali, Burangrang memakan lahap hati yang masih
berlumuran darah itu. Tak
dipedulikannya sama sekali darah yang mengotori wajah dan pakai annya.
Sementara itu, Cendani yang masih n ekat m emperh atikan, kali ini tidak s
anggup lagi bert ahan. Tanpa
mampu dicegah lagi, isi perutnya keluar.
"Huakhhh...!"
Tubuh Cendani terbungkuk-bungkuk ketika isi perutnya keluar. Karuan saja suara
muntah-muntah gadis itu
terdengar Burangrang. Tanpa menghentikan kesibukannya, kepala laki-laki berwajah
pucat ini pun menoleh ke belakang. Memang, saat itu Cendani berada di belakang
Burangrang. "Mengapa, Cendani?" tanya Burangrang, pelan tapi bernada teguran.
"Aku tidak tahan melihat kelakuanmu," kata Cendani sambil mengangkat wajah.
Suara itu terdengar cukup lantang, meskipun wajah Cendani masih pucat pasi.
"He he he...!"
Sambil masih tetap menggeragoti hati Ki Ringkul, Burangrang tertawa terkek eh.
"Masih bisa kumaklumi ucapanmu, Cend ani. Tapi apabila tel ah men coba menci
cipi makan an-mak anan
berkhasiat ini, aku yakin kau akan ketagihan. Dan yang pasti, kau akan
meninggalkan makanan -makan an yang biasa kau makan," ujar Burangrang bern ada
yakin. "Hal itu tidak akan mungkin terjadi!" tandas Cendani mantap.
"Kita lihat saja buktinya, Cendani," sambut Bu rangrang s ambil memasukkan
potongan h ati Ki Ringkul yang terakhir ke dalam mulutnya.
Cendani sama s ekali tidak meny ambuti ucap an Burang rang. Ditariknya nap as
dalam-d alam, dan
dihembuskannya kuat-kuat untuk menghilangkan sisa rasa mual yang masih
bersarang. "Apakah kau bers edia membantuku, Buyut?" tanya Cendani setelah perasaan mualnya
lenyap. "Maksudmu..., membalas dendam, Cendani?"
Cendani menganggukkan kepal a pertanda memben ark an dugaan buyutnya.
"Tentu saja, Cendani!" tegas Burangrang. "Akan kubal askan sakit hati
keturunanku ! Katak an, siapa saja orang yang harus kubunuh!"
"Seperti yang telah kuceritakan seb elumnya, orang pertama ad alah Raja Ular
Beracun!" tandas Cendani.
Sepasang mat a gadis b erambut keriting itu tampak meman carkan so rot keb
encian ketika m engucapkan
kata-kat a terakhir. Jelas, perasaan dendam yang melanda hatinya sangat besar.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita satroni tempatnya!" sambung
Burangrang, cepat.
Kontan wajah Cend ani bers eri-seri. Dia yakin, dengan perantaraan buyutny a,
dendam yang mem bara di
hatinya dapat terlampiaskan. Memang, kesaktian leluhurnya ini sudah lama
terdengar telinganya.
Sesaat kemudian, du a tokoh yang berasal d ari zaman yang b erb eda jauh itu
segera m elesat m eninggalkan tempat itu. Tak mereka pedulikan mayat Ki Ringkul
yang tergolek diam di tanah, tanpa bentuk lagi.
*** Matahari sudah berad a di ufuk Barat. Bias-bias kemerah an telah tampak di kaki
langit, tempat bola raksasa
itu terbenam. Hari telah petang. Tak lama lagi persada akan diliputi kegelapan.
Dan sang Dewi Malam pun akan memulai tugasnya, menyorotkan sinarnya untuk
menguak kepekatan malam.
Dalam suasan a yang s ebentar lagi akan dis elimuti kegelapan, tampak berkeleb
atan emp at sosok bayang an.
Merek a semuanya m enuju ke arah sebuah b angunan cukup b esar y ang terku rung
pagar kayu bulat tinggi. Di bagian atas pintu gerbang itu tergantung sebuah
papan tebal berukir yang bertuliskan, Perguruan Harimau Terbang.
Karen a gerak an empat sosok tubuh itu rat a-rata cepat, sehingga suk ar meng
enali mereka. Yang terlihat hanyalah warn a pak aian yang dikenak an. Itu pun
tidak terlalu j elas. Satu sosok mengenak an pak aian ungu, dua sosok mengenak
an pak aian putih, dan satu sosok lagi m engenak an pak aian coklat. Sudah bisa
diduga, siapa empat sosok bayangan itu. Ya! Mereka tak lain adalah Arya, Ki
Sancaka, Sangga Juwana, dan Ki Waringin!
"Aneh...," kata Ki Waringin tanpa menghentikan larinya. "Mengapa di dalam
perguruan tampak terang?"
Ki Sancaka, Ary a, dan Sangga Juwana s aling pandang, tanpa menghentikan
larinya. Sorot keheranan
memancar pada p andang an mata mereka s emua. Memang, sejak kedat angan Garuda
Laut Timur, Ki Waringin telah menyuruh semua pelay an di Perguruan Harimau
Terbang untuk segera meninggalk an tempat itu. Dia tidak ingin mereka menjadi
korb an. Dan memang, seb elum keberangk atan Ki Waringin dan rombongan ke Des a
Sintang, para pelayan itu sudah meninggalkan tempat ini. Tapi, mengapa bagian
dalam perguruan tampak terang"
"Mungkin ada pelayan yang kembali lagi, kemudian menyalakan obor ketika bagian
dalam pergu ruan
dilihatnya gelap, Guru?" sambut Sangga Juwana, terengah-eng ah.
"Mudah-mudahan dugaanmu benar, Sangga," hanya itu jawaban yang diberikan Ki
Waringin. Ki Sancaka, Arya, dan Sangga Juwana tahu k alau Ki Waringin merasa tidak yakin
akan dugaan tadi. Kata-
kata, maupun nada suaranya tel ah menjelask an keny ataan y ang telah terjadi.
Namun meskipun d emikian, tidak ada lagi yang mengajukan dugaan. Karen a memang
mereka sama sek ali tidak tahu hal yang tengah terjadi.
Yang dilakukan keempat orang itu adalah terus melanjutkan langk ah, agar bisa s
ecepatnya meng etahui hal yang tengah terjadi. Maka, sesaat kemudian m erek a
telah b erjarak tiga tombak dari pintu gerbang Pergu ruan Harimau Terbang.
"Hati-hati, Ki," seru Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu terp aksa berkata d emikian ketika melihat
Ki Waringin hendak
menerobos masuk.
Ucap an Ary a seketika m enyadarkan Ki Waringin ak an keceroboh an tindakanny a.
Bukan tidak mungkin
kalau di dal am perguruan telah siap tokoh-tokoh persilatan y ang ak an menu
runkan t angan j ahat, apa-bila dia telah berad a di dalam. Maka, langkahnya pun
segera dihentikan.
"Terima kasih atas peringatan yang kau berikan, Arya," ucap Ketua Perguru an
Harimau Terbang itu.
"Lupakanlah, Ki," sambut Arya cepat
"Kalau menurut perhitunganku...," Ki Sancaka angkat bicara. "Rasanya tidak
mungkin ada serang an dari orang yang berad a di dalam, Arya!"
Sangga Juwana, Arya, dan Ki Waringin mengalihkan pandang.
"Dugaanmu sama sek ali tidak salah, Ki," sambut Arya sambil tersenyum lebar.
"Memang, aku yang terlalu hati-hati."
Sangga Juwana menjadi bingung.
"Mengapa kau yakin kalau dugaan Ki Sancak a benar, Arya?" tanya Sangga Juwan a,
bingung. Memang, laki-laki berkumis tebal ini belum mengerti maksud pembicaraan yang terj
adi. "Menurut perhitungan, tidak mungkin orang yang berada di dalam akan melan carkan
serangan, apabila kita berad a di dalam. Kau tahu, mengapa?" Arya malah balas
bertanya. Sangga Juwana menggelengk an kepala pertanda tidak tahu.
"Kalau orang yang berad a di dalam hendak membokong orang yang hendak masuk ke
dalam dengan serang an mendadak, mengapa mesti menyalakan lampu?" jelas Ki Waringin berapi-
api. Sangga Juwana mengangguk-anggukkan kep ala pertand a mengerti.
"Tapi kan..., bisa saja orang itu terlupa. Atau sengaja memperliihatkan k eberad
aannya agar orang menjadi lengah?" bantah Sangga Juwana.
"Itu hanya kemungkinan kecil saja, Sangga," seiak Ki Sancaka cep at
"Apa yang dikatak an Ki Sancaka tep at sekali, Sangga," sambung Arya.
"Terjadinya serangan dari orang yang berad a di dalam terhadap orang yang masuk,
merupakan kemungkinan yang amat kecil."
"Kalau b egitu, mengapa k au menyuruh gu ruku berhati-hati, Ary a?" kejar Sangga
Juwana p enas aran. Arya tersenyum.
"Seperti yang sud ah kukat akan tadi, aku memang m empunyai sikap d emikian.
Selalu berh ati-hati, bah kan cenderung
terlalu berhati-hati. Mungkin dikarenak an
seringnya aku bertemu k elicikan-k elicikan
dalam petualanganku," urai Arya members penjelasan.
Ucap an Arya terh enti ketika telah berjarak satu tombak dari pintu gerbang
Perguru an Harimau Terbang.
Memang meskipun terlibat percakapan, k eempat orang itu terus s aja m elanjutkan
langk ah. Dan kini, merek a tidak berlari seperti semula.
Seperti hendak menunjukkan k enyataan ucap an nya, Ki Sancaka langsung saja
melangk ah mendahului
masuk ke d alam. Ketiga rekannya sama sek ali tidak men ceg ah, dan h anya
saling pand ang s ejenak sebelum melangkah mengikuti.
Tapi karena langkah Ki Waringin, Sangga Juwana, dan Ary a tidak seperti langkah
Ki Sancak a yang
tergesa-gesa, mereka tertinggal ag ak jauh. Ki Sancaka telah berada di ambang
pintu gerbang, sedangk an rombongan Ki Waringin masih berjarak setengah tombak
lebih di belakangnya.
Tampak oleh mereka Ki San cak a mel angkah memasuki pintu g erbang. Dan seperti
ucapan yang dikeluarkanny a, kakinya melangkah tanpa sikap waspada sama sek ali. Bahkan
secara sembarang an saja.
Wunggg, singgg...!
"Ah...!"
Ki Sancak a menj erit tertahan ! Dia merasa kag et bukan kep alang mend engar d
esingan ny aring, disusul berkeleb atnya beberap a b atang s enjata k e arahny
a. Satu meny ambar leher, sedangk an y ang lain mengan cam perutnya!
Serangan itu datang mend adak s ekali. Tambahan lagi, Ki Sancaka tengah b erada
dal am kead aan tidak siap sama sekali. Dia tengah mel angkah masuk secara semb
arang an, akibatnya serang an itu membuatnya jadi kelab akan bukan main.
Meskipun demikian, sebag ai seorang ahli silat yang t elah ratusan k ali
bertarung, seluruh otot dan u rat syaraf Ki Sancaka sep erti telah m empunyai


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemau an sendiri. Mak a begitu an caman b ahay a itu muncul, dengan sendirinya
Ki Sancaka langsung bertindak menyel amatkan diri. Dan gerakan itu tanpa
diperintah otaknya lagi, melainkan langsung begitu saja.
Tukkk! Kaki Ki Sancaka langsung menotol tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melayang ke
atas. Memang inilah
jalan satu-satunya bagi Ketua Perguru an Naga Laut ini untuk menyelamatkan diri.
Namun..... "Ah...!"
Ki Sancaka menjerit tertahan. Dia meras a kaget bukan kepal ang mendengar desing
an nyaring, disusul
berkeleb atanny a beberapa batang senjat a ke arahny a.
Meskipun tidak sempat melihat jel as karena cep atnya s erang an, tapi eko r
matany a sempat m elihat ad anya dua sosok bayang an yang mel ancarkan s erangan
ke arahnya. Satu menyambar leher, sedangkan yang lain
mengancam perutnya.
7 Crasss...! "Aaakh...!"
Ki Sancaka menj erit keras ketika kedu a kakinya terbab at putus sampai sebatas
lutut. Darah seg ar langsung memancur deras seiring jatuhnya dua potongan kaki
Ki Sancaka ke tanah.
Memang, elakan yang dilakukan Ki Sancaka tadi kurang cepat. Sehingga, walaupun
serangan yang menuju
perutnya bisa diel akkan, namun serangan y ang menuju ke leh er tak m ampu
dielakkanny a. Tubuhnya belum sempat melayang tinggi, ketika bab atan s enjata
itu akhirnya menyambar k edua k akinya. Dan akibatny a, kedua k aki Ki Sancaka
terb abat putus.
"Sancaka...!"
"Ki...!"
Hampir berb areng, Ki Waringin, Arya, dan Sangga Juwan a bers eru k aget melihat
k ejadian y ang menimpa
Ki Sancaka. Bagai diperintah, ketiga orang itu segera melesat ke depan. Masing-
masing berlomba untuk lebih dahulu tiba agar bisa menolong Ki Sancaka segera.
Sementara Ki Sancak a dengan k edua kakinya y ang telah buntung, terus meluncur
ke atas. Baru ketika daya luncuran habis, tubuhnya pun meluruk turun. Dan selama
itu, luka yang keluar dari kedua kakinya yang buntung terus mengucurkan darah
segar. Sebelum mendarat di tanah, Ki Sancaka seg era bertindak cepat d engan bergeg as
mengulurkan k edua
tangannya. Kakek berp akai an coklat ini bermaksud mendarat dengan kedua tang
annya. Tappp! Usaha Ki Sancaka tidak sia-sia. Kedua t elapak tanganny a berhasil mend arat di
tanah. Dan d engan s edikit gulingan, tubuhnya langsung menggelinding di tanah.
Dan ketika telah berput ar kembali, kedua tangan nya langsung berg erak cepat
menotok jalan darah di kedua lututnya.
Tuk, tuk, tuk...!
Beberap a totokan b eruntun l angsung dilakukan pad a jalan darah di s ekitar
lutut. Sehingga, cu curan darah yang mengalir keluar kontan terhenti.
Namun sebelum Ki Sancaka sempat berbuat se suatu, dua orang peny erangny a telah
kembali menyerbu.
Senjata-senjat a di tangan mereka langsung dikelebatkan ke arah berbag ai bagian
tubuh Ki Sancaka yang mematikan.
Wajah Ki Sancaka kontan pucat ketika m enyadari keny ataan sulit itu. Maka,
jalan satu-satuny a ad alah
menangkis.Tapi menangkis menggunakan kedu a tangan telanj ang terh adap dua s
enjata yang dig erakk an d engan tenaga d alam cukup tinggi, justru akan m
embuat tang annya buntung. Dan memang, tingkat t enaga dalam yang dimiliki Ki
Sancaka belum mampu memapak serangan senjat a tokoh persilatan dengan tangan
kosong. Di saat g awat b agi kesel amatan Ki Sancaka, tiba-tiba m elesat sesosok bayang
an ungu y ang langsung s aja memapak serang an senjata dua orang peny erang Ki
Sancaka, menggunakan tangan kosong.
Tak, tak, tak...!
Suara berd erak keras terdeng ar ketika tang an dan golok berb enturan. Dan
akibatny a, tubuh kedua orang penyerang Ki Sancak a langsung terhuyung-huyung ke
b elakang. Sedangkan sosok bay angan ungu sama sek ali tidak terpengaruh.
Sosok bayangan ungu y ang tak l ain dari Dewa Arak itu men atap penuh selidik
pada dua o rang lawanny a.
Sedangkan kedu a orang itu tampak teng ah tertegun. Rasa ngilu yang m endera
kedu a tang an, menjadi peny ebab kebingungan merek a.
Kedua orang itu berusia sekitar emp at puluh tahun. Wajah dan bentuk tubuh
mereka serupa s atu sama lain.
Tapi anehnya, mereka m empunyai kulit tubuh yang saling bertolak belakang. Yang
s atu, putih. Sedangkan yang lain, hitam. Yang lebih aneh lagi, mereka pun
mengenakan pakaian yang sama deng an kulit wajahnya.
"Siapa kalian"! Mengapa menyerang kawanku"!" tanya Dewa Arak pelan tapi tegas.
Bukannya menjawab pertanyaan Arya, kedua orang itu malah terlongong. Raut wajah
dan sinar mata mereka meman carkan keterk ejutan yang amat sangat
"Kau..., kau.... Bukankah kau Dewa Arak..."!" tanya orang yang berkulit putih,
terbata-bat a. "Begitulah julukan yang diberikan orang kepadaku," jawab Arya. "Lalu, siapakah
Kisanak berdu a?"
"Tidak usah kau tanyakan, Arya!" seru Sangga Juwan a keras. "Aku tahu, siapa
kedua orang itu!"
Laki-laki yang berkulit hitam membalikkan tubuh untuk melihat orang yang
berbicara. Di h adap annya
tampak berdi ri dua o rang l aki-laki. Yang s atu berpakaian warna putih,
sedangkan y ang lainny a coklat. Merek a tak lain adalah Ki Waringin dan Sangga
Juwana yang tadi bersama-sama Dewa Arak saling mendahului untuk mencapai tempat
Ki Sancaka. "Kau tahu, siapa mereka, Sangga?" tanya Arya seray a menatap laki-laki berkumis
tebal itu. Sangga Juwana menganggukk an kepala.
"Dua Dewa Kembar. Yang satu berjuluk Dewa Hitam. Sedangkan yang satunya Dewa
Putih," jelas Sangga Juwana.
Dewa Arak meng ernyitkan d ahi. Sepenget ahuanny a, kedua orang itu ad alah
tokoh persilatan aliran putih, dan amat terk enal di wilayah Sel atan. Kepand
aian mereka cukup tinggi. Hanya say angnya, merek a tidak pernah mencampuri
urusan persilat an. Lalu, mengapa kini mereka menyerang Ki Sancaka"
"Mengapa kalian menyerang Ki Sancaka?" tanya Ary a ingin tahu.
"Siapa pun orangny a yang b ersah abat d engan Ki Waringin, akan k ami basmi!
Tidak terkecuali kau, Dewa Arak!" tand as Dewa Hitam keras.
"Mengapa?" kejar Ary a.
"Karena seb entar lagi akibat tindak an Ki Waringin, ak an terjadi b encana di
duni a persilatan," sahut Dewa Putih yang kelihatannya lebih sabar.
"Maaf. Kuras a kalian berdua salah pah am," ujar Arya hati-hati.
"Tidak!" tandas Dewa Hitam dan Dewa Putih berbareng. "Kami jelas-jelas mendeng
ar berita itu. Perguruan Harimau Terb ang tel ah memb awa barang ki riman yang
berupa kepal a Burangrang, tokoh sesat p embawa b encana yang tewas lebih dari
seratus lima puluh tahun lalu!"
Arya tersenyum lebar.
"Kalian salah paham! Berita itu tidak benar! Kami berempat telah membuktikan
ketidakbenaran berita yang tersiar! Seb enarny a, bukan kepal a tokoh sakti yang
dlkirim, melainkan kepala seeko r orang hutan ! Mungkin ada orang yang ingin
menciptakan keresah an dalam dunia persilatan!" jelas Dewa Arak.
Dewa Hitam dan Dewa Putih saling berpandangan.
"Bagaimana kalian tahu kalau kepala itu berisi kepala seekor orang hutan?" tanya
Dewa Hitam. Arya lalu men ceritak an semuany a. Sementara, Dewa Hitam dan Dewa Putih
mendengark an penuh
perhatian. Sekali pun mereka tak menyelak cerita pemud a berambut putih
keperakan itu. Sementara, Ki Waringin tampak sibuk mengurusi Ki Sancaka yang terluka.
*** "Celaka...!" cetus Dewa Hitam ketika Dewa Arak mengakhiri ceritanya. "Jangan-j
angan, wanita siluman itu telah mengecoh semua orang !"
"Wanita siluman?" ulang Arya dengan dahi berkernyit dalam.
"Tentu saja bukan siluman sungguhan, melainkan seorang manusia sep erti kita.
Menurut berita yang
berhasil k ami perol eh, wanita itu adal ah k eturunan Burangrang. Hm.... Dia
pasti ingin membangkitkan leluhu rnya dari kematian," jelas Dewa Hitam.
Kemudian wajah Dewa Hitam berpaling ke arah Ki Sancak a yang terb aring dengan
kaki buntung, ditemani
Ki Waringin. Lalu, tokoh itu berpaling menatap Dewa Putih. Sementara, yang
ditatap hanya menganggukkan kep ala saja.
Sebentar kemudian, Dewa Hitam dan Dewa Putih menghampiri Ki Sancaka.
"Maafk an kami, Ki. Sungguh kami tidak tahu kalau ini ternyata siasat wanita
itu," ucap Dewa Hitam.
Ki Sancaka h anya tersenyum getir. Walaupun dia meny adari kesalahp aham an ini,
tapi rasanya b erat untuk memberi maaf. Masalahnya, kedua peny erangny a tidak
bertanya lebih dahulu, dan langsung menyerang.
"Kami berjanji akan mengobati luka-lukamu, Ki," tambah Dewa Putih.
Ki Sancaka masih diam saja. Dewa Putih dan Dewa Hitam jadi salah tingkah. Mereka
jadi tidak tahu harus
berbuat apa. Sungguh suatu kesalahan bodoh yang baru mereka perbu at kali ini.
Maka sejenak suasana jadi hening.
"Bisa kau ceritakan sejelas -jelasnya, Dewa Hi tam," pinta Ki Waringin yang
masih menolong Ki San cak a.
Hal itu dilakukan untuk menghilangkan kekakuan yang terjadi.
Dewa Hitam menatap Ki Waringin.
"Baik! Kami akan ceritak an dari awal," Dewa Hitam mengambil keputusan.
Usai berkata demikian, laki-laki berpak aian hitam ini termenung. Rupanya, dia
tengah mencari kata-k ata
yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Sejak keturun an s ebelum kami, telah ad a k ewajiban untuk menjag a s ebuah
tempat terlarang untuk didatangi siapa pun. Tempat itu berisi kepala seorang
tokoh sakti angk ara murk a yang tewas seratus lima puluh tahun lalu. Burangrang
namany a. Maaf, nama tempat itu tidak bisa kami beritahukan."
Dewa hitam menghentikan ceritanya sejen ak un tuk melihat tanggap an di antara
merek a. Sementara Ki
Waringin mengangguk, memaklumi permintaan maaf Dewa Hitam yang tidak bis a
menyebutkan tempat berad anya
kepala Burangrang.
"Kepala Burangrang digantung di atas langit-langit tempat itu. Maksudnya, agar
tak bersentuhan d engan tanah," sambung Dewa Hitam lagi. "Selama ratusan tahun,
temp at itu am an. Sampai pad a su atu saat, ada seo rang laki-laki keturunan
Burang rang berusia empat puluh tahun yang mengetahui tempatny a. Untung kami
berhasil membungkam mulutnya untuk selamanya. Tapi entah bagaimana caranya,
tahu-tahu seorang wanita muda yang juga keturunan Burang rang, berh asil membawa
l ari kepal a itu. Kami pun mengejarnya k arena tidak ingin malapet aka
mengerikan terulang kemb ali."
Kembali Dewa Hitam menghentikan ceritanya. Ditelannya ai r liur, untuk membasahi
tenggorokannya yang
kering karen a terlalu banyak berbi cara.
Tapi sebelum laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan cerita, sudah didahului
Dewa Putih. "Sayangnya, pengejaran yang k ami lakukan terlamb at. Wanita itu ternyata telah
pergi jauh. Maka, kami pun berpen car untuk mengikuti jejakny a. Salah seorang
dari kami memberi tahukan kalau wanita itu masuk ke Perguruan Harimau Terbang s
ambil membawa peti. Dan berita yang kami dap atkan adal ah, wanita siluman itu
menitipkan peti pada Perguruan Harimau Terbang. Maka, rombongan kami pun
merencanak an untuk merampasny a.
Sebagian menuju ke tempat asal Burangrang, sedangkan kami berdu a menuju tempat
persembunyian tubuh
Burangrang, yang m emang cukup j auh dari t empat kami. Dan bet apa g egerny a
kami k etika tahu tubuh Burang rang ternyata telah lenyap !"
Dewa Putih menghentikan ceritanya untuk meng ambil napas. Dan kesempatan itu
digunakan oleh Ki
Waringin sebaik-baiknya.
"Apakah wanita yang k au maksudk an meng enakan pak aian biru, berambut keriting
h alus, dan berkulit putih?" tanya Ketua Perguruan Harimau Terbang ingin
memastikan. Dewa Putih menganggukkan kepala, pertand a membenark an dugaan Ki Waringin.
"Dialah wanita itu. Cendani namanya," sambut Dewa Hitam, tak mau ketinggalan.
"Tak kami sangka tel ah terjadi peristiwa mengerikan. Rombongan yang bertug as
men cegat rom bongan
Perguruan Harimau Terb ang tewas terb antai bers ama-s ama tokoh lainnya. Menu
rut kabar yang b erhasil kami dengar, pembunuh itu adalah Garuda Laut Timur."
"Dari mana kalian tahu, kalau laki-laki dan wanita itu adalah keturun an
Burangrang?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Dari berita yang did apatkan rombongan k ami ketika menuju ke t empat as al
Burangrang. Bahkan seo rang penganut ilmu hitam di tempat Burangrang tinggal,
telah lenyap tanpa k etahuan k abar b eritanya. Kami khawatir kalau kep ergian
tokoh ahli ilmu hitam itu berhubungan d engan Burangrang. Bahkan bukan tidak
mungkin Cendani yang datang memintanya untuk membangkitkan Burangrang kembali."
Dewa Hitam mengh entikan ceritany a. Tapi, tidak ada seo rang pun yang membuka p
embicaraan. M aka
Suasana pun menjadi hening sejenak.
"Andaikata dugaanmu itu benar, untuk apa Cendani membangkitkan kembali
leluhurnya?" tanya Arya
ingin tahu. Dewa Hitam menarik nap as dalam-d alam, dan mengh embuskannya ku at-kuat s
ebelum menjawab
pertanyaan Arya.
"Semula kami pun merasa bingung juga. Tapi dari berita yang didapat ketika
rombong an kami mendatangi tempat asal Cend ani, kami bisa memperkirak an alas
annya. Keluarg a Cendani dibinas akan oleh Raja Ul ar Beracun.
Kalau mengukur kemampuan sendiri, tidak akan mungkin Cendani bisa mengalahkan
Raja Ular Beracun. Jalan satu-satunya adalah memb angkitkan kembali Burangrang
Karena, hanya Burang ranglah satu-s atunya yang bisa
membalaskan sakit hati itu!" jelas Dewa Hitam.
Arya menggangguk-anggukkan kep ala.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mendahului Cendani dan Burangrang?" usul
Dewa Arak "Maksudmu..., kita satroni sarang Raja Ular Beracun?" sambut Dewa Hitam cepat
Arya menganggukk an kepala, pertand a membenark an.
"Hal itu pun sudah kami pikirkan sebelumnya, Dewa Arak. Hany a saja set elah
kami pertimbangk an,
maksud itu pun kami urungkan. Apabila Burangrang belum menuju ke sana, akibatnya
kami malah akan bentrok
dengan Raja Ular Beracun" Dan itulah yang sama sekali tidak diinginkan," urai
Dewa Hitam. "Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana," kata Arya. "Kebetulan aku mempunyai
urusan dengan Raja Ular Beracun !"
"Aku ikut, Arya!" selak Sangga Juwana.
Arya menggelengk an kepalany a.
"Maaf, Sangg a! Bukanny a tidak mengizinkan, t api aku harus bertindak cepat.
Maksudku, apabila
Burangrang b enar-ben ar telah b angkit dari kematianny a, dapat segera
kutanggul angi sebelum menelan ko rban lebih banyak," jelas Dewa Arak.
"Apa yang dikat akan Arya tidak sal ah, Sangga!" Ki Waringin memberi dukung an
pada Arya. "Lebih baik, kau temani aku mengobati Ki Sancaka!"
"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas berat. "Kalau demikian, apa boleh
buat...." "Benar! Kami juga tetap akan membantu Ki Waringin untuk mengobati luka-luka Ki
Sancak a! Maaf sekali lagi. Kami benar-ben ar menyes al atas kejadi an yang
menimpa Ki Sancak a," kata Dewa Putih disertai raut wajah penuh penyesalan.


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafk an kami sekali lagi, Ki Sancaka," ucap Dewa Hitam pula seraya berjongkok
di sebelah Ketua Perguruan Nag a Laut itu.
Sementara itu, Dewa Arak tidak menunggu lebih lama lagi. Setelah berpamitan pad
a semua orang yang
berad a di situ, pemuda berambut putih keperak an itu melesat cepat. Tujuannya
sudah jelas, yakni tempat k ediaman Raja Ular Beracun. Dari Sangga Juwan a, Dewa
Arak tahu, ke mana harus pergi.
8 "Ssshhh...!"
Suara desisan tajam terdeng ar dari mulut seorang kakek bermata picak. Tubuhnya
yang kecil dan kurus,
terbungkus rompi dan celana dari kulit ular.
Kakek itu rupanya tengah berl atih pern apasan. Tubuhnya memb entuk kuda-kud a
sej ajar, deng an k edua
tangan tampak menegang penuh tenag a. Jari-jari kedua tanganny a menegang lurus,
kaku. "Ssshhh...!"
Seiring keluarnya d esisan dari mututnya, kakek bermata picak yang tak lain dari
Raja Ular Beracun itu
menyodokkan tang an kan annya k e d epan s ecara perl ahan-l ahan, tapi penuh
tenag a. Lalu s etelah s emuanya terjulur penuh, tangan kananny a ditarik kem
bali secara cepat d an diletakkan di pinggang s ambil menarik napas. Kemudian,
ganti tangan kirinya yang dijulurkan. Demikian seterusnya.
Hari masih sangat pagi. Matahari baru saja muncul di ufuk Timur. Angin yang
bertiup pun masih terasa
sejuk di kulit dan nikmat dalam dada. Dan sepagi itulah, Raja Ular Beracun telah
berl atih pemapasan.
Meskipun tengah berlarih, rupanya kemampuan pend engaran Raja Ular Beracun tetap
tidak berkurang.
Terbukti, telinganya menangkap ad anya langkah di balik tembok pelataran
tempatny a berlatih. Memang,
Raja Ular Beracun tengah berlatih di halaman samping rumahnya. Dan antara
halaman rumah deng an dunia luar, dibatasi tembok batu setinggi hampir dua
tombak! Dan dari luar itulah suara berasal.
Tapi Raja Ular Beracun sam a sek ali tidak mempedulikanny a. Dari langkah itu
bisa diketahui k alau
kepandai an orang y ang berada di luar t embok, tidak perlu ditakutinya. Maka,
dia pun terus saja meneruskan lahhannya.
Raja Ular Beracun b ersikap t enang-t enang saj a sambil menunggu hingga pemilik
langkah itu masuk ke
dalam. Ingin diketahuinya, apa yang akan dilakukan orang itu.
Raja Ular Beracun tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sesaat kemudian....
"Hup! Hup!"
Dua sosok bay angan t elah mend aratk an kakinya di hadap an Raja Ular Beracun,
hanya berj arak dua
tombak. Yang seorang m endaratkan kakiny a deng an suara terd engar j elas oleh
telinga Raj a Ular Beracun. Tapi, tidak demikian halnya d engan sosok tubuh y
ang satu lagi. Sepasang kakinya m endarat laksan a seh elai daun k ering jatuh
ke tan ah. Tidak terdeng ar s edikit pun suara ketika hinggap di tan ah. Jelas,
ilmu meringank an tubuhnya telah mencap ai tingkat tinggi
Raja Ular Beracun tidak berani bertindak sem brono. Buru-buru latihannya
dihentikan. Kemudian,
ditatapnya dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya, penuh selidik.
Yang seo rang adalah g adis berambut keriting halus. Wajahnya cantik jelita.
Kulit tubuhnya yang pu tih
halus dan mulus, dibungkus pakaian berwarna biru.
Tapi, Raja Ular Beracun tidak memp erhatikan gadis berambut keriting lama-lama,
k aren a hany a lawan
ringan. Walaupun, tampak ada sorot kebencian yang memancar dari sepas ang mata
indah dan bening itu.
Raja Ular Beracun lebih memusatkan perh atian pad a sosok tubuh di sebel ah
gadis itu. Dia ad alah seo rang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya
kurus kering sep erti seekor cicak kel aparan. Ad a rasa nyeri yang menyelinap
di dalam hati k akek berpak aian ular ini ketika menat ap sosok tubuh kurus
kering di had apanny a. Sorot matanya memancarkan keng erian ! Rasanya, sinar
mata seperti itu tidak akan dimiliki manusia.
Raja Ular Beracun s ama sek ali tidak tahu kalau laki-laki yang m enumbuhkan
rasa takut di hatinya tak lain dari Burangrang. Walaupun pernah mendeng arny a,
tapi dia tak pernah melihatnya. Padahal, tokoh sesat di
hadapanny a ini kepalany a telah berus aha direbutnya. Dan memang, dia tidak
ingjn tokoh berilmu 'Rawa Rontek' itu bangkit kembali dari kematiannya. Raja
Ular Beracun tahu, kalau Burangrang bangkit kembali dari kematianny a,
kedudukannya seb agai datuk ses at akan bisa tergusur. Alasan y ang sama juga
mendorong Garud a Laut Timur untuk merebut kepala Burang rang agar tidak bisa
bersatu kembali dengan tubuhnya.
"Inikah orang y ang berjuluk Raja Ular B eracun itu, Cendani?" tanya Burang rang
d engan suara parau dan serak.
"Benar, Buyut," jawab Cendani sambil menganggukkan kepal a. "Dialah yang telah
membunuh ayah dan kakek!"
Setelah mendapat pemberitahu an dari Cendani, Burangrang melangkah maju.
"Bersiaplah untuk menerima kematian, Raja Ular Beracun!" desis tokoh sesat dari
masa silam itu.
Tapi orang seperti Raja Ular Beracun mana bisa digertak" Apalagi belum pernah
melihat orang yang
menggertakny a. Dia malah tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa ngeri
yang melanda hatinya.
"Orang s eperti k alian ingin merobohk an Raja Ular Beracun"! Jang an mimpi!
Kalian berdu alah y ang akan kubantai! Dengarkan ! Kalian berdu a akan kusiksa
sebelum kubunuh karena telah bertindak kurang ajar! Kalian telah mengganggu
latihanku dan juga mengancamku!"
Meskipun tidak mengerti, siapa ayah d an k akek Cend ani yang t elah dibunuhnya,
Raja Ular B eracun tidak ingin memperpanjang urusan itu. Perasaan ang kuhlah
yang mendorongnya bertindak demikian.
Burangrang mengg eram keras, hingga terdengar mengerik an sekali! Geraman y ang
keluar dari mulutnya
seakan -akan k eluar d ari mulut seekor binatang buas yang t engah murka.
Memang, Burangrang tengah murk a bukan kepalang. Untungnya, meski dalam keadaan
seperti itu, dia masih ingat untuk tidak mengerahkan seg enap ten aga dalamnya.
Karen a bila hal itu dilakukan, Cendani pasti akan celaka.
Meskipun demikian, walaupun h anya m engerah kan sebagian kecil dari ten aga d
alamnya, n amun toh tetap
saja berpeng aruh pad a Cendani. Gadis berambut keriting itu cepat mendekapk an
kedua tang annya ke telinga, karena dengungan keras telah menyerangny a.
*** Seiring lenyapnya g eraman itu, Burangrang melompat menerjang Raja Ular Beracun.
Kedu a tang an nya
terkembang memb entuk cak ar. Dan selagi tubuh nya berad a di udara, tangan
kananny a berg erak menyampok kep ala Raja Ular Beracun. Arah gerak annya dari
atas ke bawah. Sedangkan tangan kirinya disiapkan di pinggang.
Cittt..! Suara mencicit nyaring menyakitkan telinga terdengar ketika cak ar itu bergerak
menuju sasaran. Sementara Raja Ular Beracun y ang memang sej ak tadi sadar kalau
calon lawannya memiliki kepand aian lihai, tidak berani bertindak sembarangan.
Buru-bu ru dia melompat ke b elakang, sehingga sampok an itu lewat beb erap a
jengkal di depan wajahny a.
Luar biasa! Dalam kead aan tubuh berad a di udara seperti itu, Burangrang mampu
melancark an serangan
susulan! Entah b agaiman a caranya, tahu-t ahu kaki k anan tokoh sesat dari m
asa silam ini tel ah bergerak mengib as.
Dan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.
Wuttt!! Kali ini, pelipis Raja Ular Beracun yang diancam. Menilik dari deru angin k eras
yang m engawali tibanya
serang an, bisa diperkirakan bes arny a kekuatan ten aga dal am yang terkandung.
Memang, jangank an kepala manusi a, batu karang yang paling keras pun akan hancu
r berantak an apabila terl anda kibasan Burang rang.
Untuk yang kedua kalinya, Raja Ular Beracun tidak berani bertindak sembarangan.
Dia tidak sudi melakukan elak an-elakan jarak pend ek, karen a belum mengetahui perkembang an
ilmu lawannya. Padahal, serangan itu bisa dielakkan dengan merendahk an tubuh.
Tapi karen a b elum membaca perkembang an ilmu lawan, Raja Ul ar Beracun tidak
mengel ak seperti itu. Datuk sesat yang merajai daratan itu cep at melempar
tubuh ke belak ang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan....
"Hup!"
Begitu kedua k akinya menginjak tanah, Burang rang pun b erhasil mend arat pula.
Dan secepat itu pul a,
dilancark annya serangan bertubi-tubi ke arah Raja Ular Beracun. Pertarungan
sengit antara dua tokoh sakti pun tidak bisa dielakkan lagi.
Pertarungan y ang mend ebark an hati itu memang h anya disaksik an Cendani seo
rang. Gadis b erambut
keriting ini memperhatikan penuh perh atian. Sepasang matany a hampir tidak pern
ah berk edip memperh atikan.
Namun betapapun mat anya telah disipitkan agar dapat melihat lebih jelas, tetap
saja jalanny a pertarung an tidak bisa disaksikan secara jelas. Memang, gerakan
kedua tokoh sakti berbeda zaman itu berlangsung cep at bukan kepalang.
Yang tampak dari pertarungan itu hanyalah bayangan hitam dan kuning yang
terkadang saling belit, tapi
tak jarang saling pisah. Namun terpisahnya dua bay angan itu hanya berlangsung
sebent ar saja. Karena begitu bayangan kuning terpental dari kancah pertarungan,
bay angan hitam seg era m elesat memburu. Sesaat k emudian, kedua bayang an itu
telah saling belit kembali.
Raja Ular Beracun menggertakk an gigi. Hatinya merasa heran bukan kepalang
melihat cara bert arung
lawannya. Kelihatanny a Burangrang bertarung tanpa mempedulikan kes elamatan
diri sendiri. Bahkan seperti sengaja hend ak mengadu nyawa. Yang dilakukan
Burangrang adalah mel ancarkan serang an terus-men erus, tanpa mempedulikan
pertahan an sama sekali.
Tentu saja Raja Ular Beracun yang belum ingin mati, tidak sudi meladeni tindakan
Burangrang. Dan
sebagai akibatnya, datuk s esat pengu asa d aratan ini jadi terd esak h ebat.
Namun s eben arnya, Raja Ular Beracun menunggu saat yang tepat untuk melancarkan
serangan ke arah pertah anan lawan yang terbuk a di sana-sini.
Beberap a k ali serangan dilancarkan ke bagian bagi an tubuh Burangrang. Memang,
b anyak cel ah-celah
yang terbuk a di s ana-sini. Tapi, serang annya s egera ditarik kembali ol eh
Raja Ular Beracun. Karen a p ada s aat serang an itu dilancark an, Burangrang
sama s ekali tidak mempedulikanny a. Bahkan dia m elan carkan s erangan serupa.
Melihat hal ini, Raja Ular Beracun tidak mau mati konyol.
Maka, pada s aat p ertarung an belum men cap ai tujuh puluh jurus, Raja Ular
Beracun sudah terdes ak.
Memang, apabila dibuat perbanding an dengan Bu rangrang, Raja Ular Beracun k
alah segal a-gal anya. Baik tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuhnya.
Beberapa kali sewaktu terjadi benturan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
disertai ras a nyeri yang amat sangat.
Kini, Raja Ular Beracun h anya bisa b ermain mundur. Serang an-seranganny a yang
semula b ertubi-tubi kini sudah tidak terlihat l agi. Dia lebih bany ak meng
elak. Menangkis pun apabila keadaan sudah terlahj memaks a saj a.
Dengan tingkat tenaga dalam yang berada di bawah lawan, banyak menangkis hanya
ak an merugikan dirinya.
Tapi berapa lama Raja Ular Beracun dapat bertah an" Mengelak terus-men erus,
sementara lawan yang
dihadapinya buk an tokoh s embarangan" Sebag ai seo rang tokoh tingkat tinggi,
Raja Ular Beracun pun m engetahui hal itu. Maka, sambil mengelak dicarinya
kesempatan baik.
Sementara, Burangrang terus saja melakuk an serang an bertubi-tubi tanpa
mempedulikan pertahan an diri.
Hal ini sebenarnya cukup membuat Raja Ular Beracun jadi kebingungan. Tapi, buru-
buru pikiran itu dihilangkan dari benakny a. Saat ini, dia tangah menghadapi
lawan am at tangguh. Bahkan dalam keadaan terd esak. Kalau masih harus
memusingkan masalah yang mengherank an itu, dia akan celaka.
*** "Haaat..!"
Pada jurus kedelapan puluh tiga, disertai suara teriakan nyaring, Burangrang
melan cark an serang an bertubi-tubi. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah
dada dan ulu hati Raja Ular Beracun.
Raja Ular Beracun memutar b enakny a. Kesem patan baik untuk mend apatkan k emen
angan, telah terpampang di dep an mata. Kalau tidak bisa mem an faatkan, belum t entu kesemp
atan b aik sep erti ini ak an muncul kembali.
Setelah mempertimbangkannya sej enak, Raja Ular Beracun langsung berrindak.
Buru-buru tubuhnya
didoyongkan ke samping k anan untuk meng elakkan serangan. Pada saat y ang
bersamaan, kaki kirinya diluncu rkan ke arah dad a.
Prat, prat... Bukkk! "Akh...! Akh...!"
Kejadianny a berl angsung demikian cepat. Serangan-s erang an dari Burangrang
maupun Raj a Ular Beracun
mendarat di tubuh satu s ama lain. Hany a saja, serang an-serangan Raja Ular
Beracun m endarat tepat di sas aran.
Sedangkan s erang an Burangrang meles et dari sasaran, karen a daruk s esat
pengu asa daratan itu t elah k eburu mengelak. Serangan-s erangan Burangrang
hanya mengen ai dada kiri atas sebanyak dua kali berturut-turut.
Akibatnya, disertai jeritan kesakitan dari mulut tubuh kedu a tokoh sakti itu
terjengk ang ke b elak ang. Dari mulut masing-masing keluar darah segar. Tapi,
darah yang keluar dari mulut Burangrang jauh lebih banyak. Namun meskipun
demikian, bukan berarti Raja Ul ar Beracun tidak apa-ap a. Luka-luka yang
dideritanya ternyata cukup parah. Karena serangan-s erangan Burangrang memang
dahsyat bukan kepalang.
"Buyut...!" jerit Cendani ketika melihat tubuh laki-laki berwajah pucat itu
terjengkang deras ke belakang disertai semburan darah dari mulutnya
Dengan raut waj ah beringas, Cendani memalingkan wajahnya ke arah Raja Ular
Beracun. Dan....
"Hiyaaat..!"
Disertai teriak an keras melengking tinggi, Cendani meluruk ke arah Raja Ular
Beracun. Dan ketika b erada di udara, tangan kanannya berg erak meng ambil
pedang yang tergantung di punggung. Dan....
Srattt! Sinar terang berkel ebat ketika pedang Cendani tercabut dari sarungny a. Dan
secepat ped ang itu tercabut, secep at itu pula ditusukkan ke perut Raja Ular
Beracun. Datuk sesat penguas a daratan itu terkejut bukan kep alang. Padahal saat itu
tubuhnya tengah terluka dan
tengah terhuyung. Jadi, merupakan suatu hal yang amat sulit untuk mengelak.
Maka, jalan satu-satunya untuk mengelak hany a menangkis! Seg era s aja Raja Ul
ar Beracun menggun akan tang an kan annya untuk menangkis serang an itu. Memang
tangan kirinya sudah tidak bisa digunakan lagi. Langsung dipapaknya serangan ped
ang itu dengan tangan telanjang.
Trak! Suara berderak keras terdeng ar ketika batang ped ang itu berbenturan dengan
tangan Raja Ular Beracun.
"Akh...!"
Cendani menjerit tertah an. Tangannya yang menggengg am pedang terasa lumpuh.
Akibatnya, senjata yang
tergenggam pun terlepas dari pegangan.
Tapi, bukan hanya Cendani s aja y ang m enderita kerugian d alam b enturan itu.
Raja Ular Beracun pun
mengalami hal y ang s ama. Tangannya t ergores pedang, hingga kulit d agingnya
sobek. Darah seg ar pun mengu cur keluar. Memang, sewaktu memap ak serang an
tadi, Raja Ular Beracun tidak bisa meng erahk an seluruh ten aga dalamnya, karen


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

a tengah terluka cukup parah. Jadi dia hanya mengerahkan separuh tenagany a.
Sementara itu, Cendani rup anya sudah m emperhitungkanny a. Karena begitu p
edangnya terl epas d ari
pegangan, tangan kiriny a berg erak k e arah perut Raja Ul ar Beracun. Ada sinar
b erkilat seiring meluncu r tanganny a.
Ternyata, di genggaman tangan gadis itu tercekal sebilah pisau yang berkilat-
kilat saking tajamnya.
Raja Ular Beracun terp eranjat. Namun, sudah tidak ada waktu lagi untuk
mengelak. Maka....
Blesss! Pisau di tangan Cend ani kontan amblas ke dalam p erut s ampai ke gag ang.
Kemudian, gadis b erambut
keriting itu langsung melepaskan cekal an pada pisaunya, dan melompat menjauh.
"Hup!"
Baru saja k edua k akinya hinggap di t anah, terd engar tawa yang amat dikenalny
a. Suara tawa Bu rangrang, buyutnya! Bag ai
disengat k alajengking, Cen dani menoleh ke belak ang. Tampak Burangrang t engah menghampirinya. Namun, tidak nampak ada tanda-tanda kalau tokoh sesat dan masa
silam itu terluka.
"Kau..., kau tidak apa apa, Buyut?" tanya Cendani gagap karena kag et
Burangrang menggel engkan kepal a.
"Tidak akan ada seorang pun yang bisa membinasakanku, Cendani!" sahut Burangrang
sombong. "Tap..., tadi kulihat..."
"Memang kubiarkan s erang an itu meng enaiku, Cendani. Karena aku tahu, tidak ak
an terj adi ap a pun atas diriku," tenang ucapan yang keluar d ari mulut
Burangrang. "Jangan panggil aku Burangrang kalau ceco ro seperti Raja Ular
Beracun mampu melukaiku!"
Karuan s aja ucapan Burang rang membuat wajah Raja Ular Beracun yang sudah pu
cat karena t engah
menjelang ajal, semakin bertambah pias. Tarikan wajahnya juga menampakk an
keterk ejutan yang amat sangat.
"Jadi, kau..., kau...."
Sebelum sempat menyelesaikan ucapanny a, tubuh Raja Ular Beracun sudah roboh,
tidak bangkit lagi untuk
selamanya. Namun di akhir hay atnya, dia sempat tahu kalau pembunuhny a adal ah
tokoh sesat dari masa silam yang kepalany a dicari-cariny a agar tidak bisa
bersatu dengan tubuhnya.
"He he he...!"
Burangrang t ertawa bergelak panjang, bernad a kemen angan. Tapi, mendadak t
awany a dihentikan
Kepalany a langsung menoleh ke balik tembok. Memang, pendengaran Burangrang yang
tajam mendengar ad anya
deheman pelan di balik tembok
"Ada o rang lihai datang," kata Burangrang p ada Cendani yang t ampak k
ebingungan. Burangrang tahu kalau orang yang berada di balik tembok sengaja
mengunjukkan diri.
Belum juga lenyap gema suara Burangrang, sesosok bayangan ungu melompat melewati
atas tembok. Indah dan manis gerakanny a. Ketika kedu a kakinya mend arat di tanah, sedikit
pun tak terdengar su ara. Laks ana daun kering yang jatuh ke tanah saja gerakan
nya. Begitu berada di dalam, pandangan mata sosok bayangan ungu yang tak lain dari
Dewa Arak itu segera
bered ar berk eliling. Yang pertama kali dilihatnya adalah dua sosok tubuh yang
berdiri menghadap ke arahny a. Salah satu dari mereka sudah bisa diduga. Siapa
lagi kalau bukan Cendani! Dan yang satunya lagi, pasti Burangrang.
Dugaan Dewa Arak semakin m enguat k etika melihat mayat R aja Ul ar B eracun
tergelet ak di tan ah. Sama
sekali tidak disangka kal au ak an keduluan. Dia t ahu, di balik tembok ada
orang. Makanya di a pun berdehem untuk memberitahukan keb erad aan dirinya pada
orang yang ada di dalam.
"Siapa kau?" tegur Burangrang keras.
Burangrang tahu Dewa Arak adal ah seorang calon lawan tangguh. Itu bisa dilihat
dari gerakanny a tadi, dan dari sorot matanya yang menco rong taj am. Tokoh
sesat mas a silam ini tahu, so rot mata sep erti itu hany a dimiliki orang yang
telah memiliki tenaga dalam tinggi.
Arya tidak m eras a heran k alau Burang rang tidak mengen alinya. Tokoh yang
menggiriskan ini telah tewas lebih dari seratus lima puluh tahun yang l alu, dan
baru bangkit d ari kem atian. Jadi bukan h al yang aneh jika tidak mengenalinya.
"Dia pasti Dewa Arak, Buyut!" celetuk Cendani yang sudah mendengar berita mengen
ai Dewa Arak. "Dewa Arak"!" ulang Burangrang deng an alis berkernyit
"Benar," Cendani menganggukk an k epala. "Seorang p endek ar mud a sakti y ang
telah bany ak merobohkan pentolan golongan hitam! Selama ini, dia belum pernah
terkalahkan !"
Burangrang mengangguk -anggukk an kepala pertanda mengerti.
"Lalu, apa maumu, Dewa Arak?" tanya Burang rang keras.
"Sederhan a saja. Melenyapk anmu selama-lamanya agar tidak meng acau dunia
persilatan lagi!" tegas Dewa Arak.
"He he he...! Kau hanya akan mencari mati, Dewa Goblok!"
"Kematian buk an merup akan h al yang meny eramkan bagiku, Burang rang! Apalagi,
mati di dalam mempertahank an keben aran !" tegas dan mantap kata-k ata yang keluar dari mulut
Dewa Arak. "Kalau begitu, mampuslah!"
Usai berkata demikian, Burangrang melan carkan serangan bertubi-tubi ke arah
Dewa Arak. Serang an nya
dibuka dengan sebuah tendang an miring k aki kan an, bertubi-tubi ke arah d ada,
ulu hati, dan pus ar. Semuany a, dilakukan dengan peng erahan ten aga dalam
sepenuhnya. Kal au tepat mengen ai sasaran, sudah bisa diperkirak an hal yang
akan terjadi. Dewa Arak tentu saja mengetahui hal itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
tubuhnya segera
dilempar ke belakang. Lalu, Dewa Arak bersako beberap a kali di udara. Dan
selagi kedua kakinya b elum menginjak tanah, diambilnya guci arak yang tersampir
di punggung dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terd engar ketika arak itu melewati tenggorokan pemud a berambut
putih keperakan itu.
Sesaat kemudian, hawa hang at pun menjalari perutnya dan terus meray ap naik ke
atas kep ala. Dan ketika k edua kakinya mendarat di tanah, Dewa Arak telah siap
menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Tapi, bukan hanya pemuda berambut putih keperak an itu saja yang telah bersiap s
edia. Burangrang pun
telah bertindak s ama. Sadar kal au lawan t elah m enggunakan ilmu and alan,
dikerahkan pula hal y ang sam a. Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di
tangan tokoh yang menggiriskan itu telah tergenggam sebilah kapak besar yang
bertangkai panjang.
"Hiiih...!"
Disertai teriak an keras yang m endirikan bulu roma, Burangrang mengayunk an kap
aknya k e arah pinggang
Dewa Arak Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawannya menjadi dua bagian.
Wuttt..! Babatan k apak itu lewat di bawah k aki, ketika Dewa Arak melompat k e atas.
Tapi, tindakan Burang rang
tidak hanya sampai di situ saja. Kembali dilancarkannya serangan susulan ke arah
Arya. Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu
terlibat pertarungan sengit
Kapak bes ar berg agang p anjang di tangan Burangrang menyambar-nyamb ar ke arah
Dewa Arak disertai
deru angin keras yang menyeramkan. Apabila terken a sedikit saja, maka kulit
Dewa Arak akan robek leb ar.
Hebat bukan kep alang permainan k apak Bu rangrang, tapi masih tak kalah heb at
lagi ilmu 'Belalang Sakti'
Dewa Arak. Gu ci, kedua tang an, dan semburan arakny a saling tunjang-menunj
ang, menanggulangi setiap s erangan Burangrang.
Beberap a geb rak an kemudian, tubuh kedu a tokoh yang t engah b ertarung itu
telah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanyalah bayang an ungu dan hitam yang
saling sambar dan gempur.
Dewa Arak meng erutkan alisnya. Hatinya meras a heran bukan kep alang melihat
cara bertempur Burangrang. Tokoh dari masa silam itu bertempur tanpa mempedulikan pertah anan.
Yang dilakukannya h anya
menyerang dan terus merangsek
Sudah tidak terhitung lagi, banyaknya cel ah yang terbuka di tubuh lawan.
Beberapa kali serangan
dilancark an, tapi langsung ditarik kembali ketika Bu rangrang tidak
mempedulikannya. Bahkan malah balik
melancarkan serangan.
Pada jurus k edel apan puluh tiga, Dewa Arak melihat b agian dada Burang rang
terbuk a leb ar. Mak a t anpa membuang-buang waktu lagi, gucinya segera
disorongkan. Bukkk! Telak dan keras sekali guci Dewa Arak menghant am sasaran. Seketika itu juga,
tubuh Burangrang
terlempar ke belak ang. Darah bermuncratan dari mulutnya.
Brukkk! Tubuh Burangrang jatuh b erdebuk di tan ah, bah kan sampai terguling-guling.
Arya sud ah mengh ela n apas lega. Sudah bisa diperkirakan k alau Burangrang
pasti ak an tewas. Atau paling tidak g edoran gucinya t adi telah membuat
Burangrang terluka parah.
Bahkan Cendani pun menjerit ngeri. Dia lupa akan ucapan buyutnya tadi. Dengan
kem arah an meluap-lu ap,
diserbunya Dewa Arak. Pedang di tangan Cen dani berkel ebat cepat membentuk
gulungan sinar terang m enyilaukan mata. Kemudian, dari gulungan sinar pedang
itu mendadak mencuat ujung pedang ke arah leher Dewa Arak.
Melihat serangan maut yang meluncur ke arahnya, Dewa Arak bersikap tenang.
Dipapaknya luncu ran
ujung pedang itu dengan sentilan jari telunjuknya.
Tinggg! "Ikh!"
Cendani menjerit kaget ketika t angannya terasa mendad ak lumpuh. Maka ped
angnya pun terl epas d ari
pegangan. Bukan itu saja. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung ke
belakang. Tapi, Cendani benar-ben ar seorang gadis keras kep ala. Tangan kirinya segera
dimasukkan ke balik baju.
Ketika ditarik k embali, sebilah pisau tampak t elah tergenggam di t angan, dan
langsung dilempark an ke arah Dewa Arak.
Serangan s eperti itu tentu saja tidak b erarti apa pun b agi Dewa Arak. Segera
gucinya diayunkan untuk
memapak kedatang an pisau itu.
Tranggg! Singgg...! Cappp! "Akh...!"
Kejadianny a berlangsung terl alu cepat. Tahu-tahu, Cendani menjerit memilukan
ketika pisau miliknya
menyate lehernya hingga t embus ke tengkuk. Rupanya, tangkisan guci Dewa Arak
membuat pisau itu membalik ke arah pemiliknya!
Dewa Arak menatap may at Cendani dengan sinar mata penuh penyesal an. Memang,
hal seperti itu sama
sekali tidak disangka. Walaupun harus diakui, kematian memang lebih baik bagi
Cendani. Sebuah geraman keras b ernad a p enuh kem arahan, menyad ark an Dewa Arak d ari
termenungnya. Dapat
dibayangkan, betap a kaget h atinya ketika melihat Burangrang telah b angkit
berdiri! Bahk an terlihat segar bugar, tidak nampak adanya tanda-t anda kalau
Burang rang telah terluka dalam.
"Kubunuh kau....'" geram Burangrang keras sam bil melompat menerjang.
Tokoh dari masa silam itu memang murka bukan kep alang m elihat keturun annya
yang bernama Cen dani
itu tewas. Akibatnya, kedahsyatan serangannya pun berlipat ganda.
Tapi lawan yang dihadapinya ad alah Dewa Arak, seorang pendek ar muda y ang
memiliki kepandaian
menakjubkan. Ilmu-ilmu yang dimilikinya memungkinkan dirinya untuk menanggulangi
setiap serangan
Burangrang. Deng an jurus 'Delap an Langkah Bel alang', Dewa Arak tel ah membuat
kandas s etiap serangan
Burangrang. Sebaliknya, dengan jurus 'Belalang Mabuk' berkali-kali Dewa Arak
berhasil menyarangk an sasaran.
Namun seben arnya, Dewa Arak mulai diray api perasaan putus asa. Pertarung an
telah b erlangsung lebih
dari dua ratus jurus. Bahkan serangannya telah berk ali-kali mendarat di
sasaran, tapi semua sama sekali tidak berarti.
Memang, sewaktu terken a serang annya, tubuh Burangrang tampak tak berd aya.
Tapi ketika tubuhnya menyentuh tanah, dan bisa bangkit k embali, tidak ada
tanda-tanda kalau pentolan sesat s eratus lima puluh tahun silam itu terluka!
Kalau sep erti ini terus, bukan tidak mungkin kalau dirinya yang akan tewas di
tangan lawan. Sambil terus berjuang keras untuk menundukk an lawan, Dewa Arak memutar ot
aknya. Dan mend adak
pemuda itu tersentak ketika m enemukan suatu k esimpulan. Mungkinkah yang
membuat Burangrang tidak bisa mati adalah tanah"! Hampir Dewa Arak berso rak
ketika m enemukan keny ataan yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran
dugaanny a! Setiap kali b angkit dari tan ah, Burangrang k embali seg ar bug ar.
Haruskah tokoh ini dibuat tewas tanpa menyentuh tanah" Maka Dewa Arak pun
bersiap melaksan akan ren can anya.
Sementara itu, Burangrang s ama s ekali tidak t ahu kal au Dewa Arak telah
bersiap melakuk an rencanany a.
Tokoh sesat dari masa silam itu terus saja melakuk an peny erang an d ahsyat.
Memang, seperti juga Dewa Arak, Burangrang seakan-akan tidak pernah merasak an
lelah. Tenaganya kontan pulih, sehabis bangkit dari tanah. Bahkan kedahsyatan
seranganny a sama sekali tidak mengendur.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan menggel edek, Burangrang melesat memburu Dewa Arak dengan k
apak di tang an. Hal itu
dilakukan karen a melihat Dewa Arak melompat ke belakang.
Tapi, sama sekali tidak diduga d eh Burang rang k alau h al itu memang sud ah
diren can akan Dewa Arak
Maka begitu pemuda berambut putih keperak an itu melihat Burangrang mengej
arnya, kedua tang annya dihent akkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss! Deru angin keras berhawa panas menyeng at, meluruk ke arah tubuh Burangrang yang
tengah merangsek
maju. Seperti juga sebelumnya, tokoh dari masa silam ini sama sekali tidak
mempedulikannya. Bahkan kapaknya dibabatkan dengan dahsy at
Bresss! Crattt! Tubuh Burangrang melayang ke bel akang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak
mendarat telak di


Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya. Seketika itu juga, tubuhny a menghitam hangus. Sedangk an Dewa Arak hanya meringis k
arena pergelang an tangannya terserempet kapak Burangrang.
Namun, Dewa Arak sama sekali tidak mempedu likan lukanya. Segera tubuh
Burangrang yang tengah
melayang dikejarny a. Kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu terjulur
ke depan. Dan....
Tappp! Tubuh Burangrang b erhasil ditangk ap Dewa Arak. Dan m emang, seperti yang sudah
diduga, Burang rang
tidak bangkit lagi. Dia tewas deng an seluruh tubuhnya gosong. Samar-samar
tercium bau d aging yang terbak ar hangus.
Kemudian, dengan satu tangan, Dewa Arak menotok jalan darah di sekitar lukanya,
untuk mencegah cai ran
merah kental lebih banyak membanjir keluar. Sementara mayat Burang rang disangga
dengan satu tangan lainnya.
Tuk, tuk, tuk...!
Seketika aliran darah pad a tangan Dewa Arak terh enti.
Matahari naik semakin tinggi. Dan kini, telah hampir mencapai titik tengahnya.
Angin yang bertiup pun
sudah tidak nyam an di kulit ketika Dewa Arak beranjak meninggalkan tempat itu
sambil memanggul tubuh
Burangrang. Entah dibawa ke mana mayat itu. Hanya Dewa Arak sendiri yang tahu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Baju Putih 5 Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Kemelut Di Telaga Dewa 1
^