Pencarian

Kemelut Rimba Hijau 2

Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau Bagian 2


lagi untuk segera bertempur. Maka sulingnya segera diselipkan di pinggang.
"Haaat..!"
Diawali teriakan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu, Raja Ular Beracun
menerjang Dewa Arak. Serangannya kali ini dibuka dengan sebuah sampokan ke arah
pelipis Dewa Arak.
Wuttt...! Angin berhembus keras ketika sampokan tangan Raja Ular Beracun meluncur ke arah
sasaran. Dari suara yang terdengar bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung pada sampokannya.
Memang, Raja Ular Beracun mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada
serangan pendahuluannya. Hal ini dilakukan, karena dia tahu kalau Dewa Arak
adalah seorang lawan yang amat lihai! Berita yang didengar, dan juga kenyataan
kalau pemuda itu mampu membuat suara seolah-olah berasal dari delapan penjuru
angin, telah memperjelas kelihaiannya.
Sementara itu, Dewa Arak yang diserang, belum memperlihatkan tanda-tanda untuk
mengelak atau menangkis. Baru ketika serangan itu menyambar dekat, Arya melompat
ke belakang. Wuttt...! Sampokan itu hanya menyambar lewat beberapa jengkal di depan wajah Dewa Arak.
Namun, Raja Ular Betacun rupanya sudah memperhitungkannya. Maka begitu salah
satu kakinya mendarat di tanah, langsung saja dikirimkan serangan lanjutannya.
Tapi, Dewa Arak tetap mampu menanggulanginya. Bahkan bisa mengirimkan serangan
balasan yang tak kalah dahsyat Maka sesaat kemudian, pertarungan sengit pun
berlangsung. Dewa Arak sama sekali belum mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Dia
masih mempelajari kedahsyatan ilmu lawan dan perkembangannya. Jadi selama
beberapa jurus lamanya, dia hanya menggunakan ilmu yang diwariskan ayahnya,
yakni ilmu .'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan
Pehakluk Naga'.
Pertarungan yang terjadi antara dua orang sakti ini berlangsung seru bukan
kepalang. Padahal, kedua belah pihak belum menggunakan ilmu andalan. Suara mendesing,
mengaung, dan mencicit menyemaraki pertarungan.
Baik Dewa Arak maupun Raja Ular Beracun sama-sama memiliki gerakan cepat. Tak
aneh, hanya dalam sekejap saja, sepuluh jurus sudah terlewat Memang, pertarungan
tampaknya berlangsung cepat. Saking cepatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu
seperti lenyap.
Yang terlihat hanyalah bayangan ungu dan kekuning-kuningan. Terkadang saling
belit, tapi tak jarang saling pisah.
Setelah lebih sepuluh jurus bertarung, baik Dewa Arak maupun Raja Ular Beracun
harus sama-sama mengakui kalau satu sama lain memiliki kepandaian luar biasa.
Plak, plak...! Untuk yang pertama kali terjadi benturan dahsyat antara dua pasang tangan dari
orang-orang yang tengah bertarung itu. Akibatnya, tubuh Raja Ular Beracun
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Dewa Arak hanya selangkah
saja. Raja Ular Beracun menggertakkan gigi. Hatinya merasa penasaran bukan main
melihat hasil benturan yang terjadi. Karena, hal itu membuktikan kalau tenaga
dalamnya kalah kuat, dibanding Dewa Arak. Kalau tidak mengalami sendiri, datuk
sesat penguasa daratan ini tidak akan percaya. Seorang pemuda mengalahkannya
dalam hal kekuatan tenaga. Sungguh sulit dipercaya!
Perasaan penasaran mendorongnya untuk buru-buru mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung. Bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti
Raja Ular Beracun, bukan hal sulit untuk melakukannya.
Dan ketika telah berhasil melaksanakan maksudnya, langsung saja dikirimkan
serangan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Tapi serangan Raja Ular Beracun bisa
dipunahkan Arya. Bahkan dia segera melancarkan serangkaian serangan balasan yang
bertubi-tubi, sehingga membuat Raja Ular Beracun kerepotan.
Sementara itu, Sangga Juwana dan Garuda Laut Timur menyaksikan jalannya
pertarungan penuh perhatian. Mereka tampak sungguh-sungguh memperhatikan
pertarungan yang tengah berlangsung. Namun rupanya hanya Garuda Laut Timur yang
dapat menyaksikan dengan jelas jalannya pertarungan. Memang, gerakan-gerakan
Dewa Arak dan Raja Ular Beracun terlalu cepat untuk bisa diikuti mata Sangga
Juwana. Yang bisa dilihat oleh pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu hanyalah
kelebatan bayangan ungu dan kuning yang terkadang saling belit dan tak jarang
berpencar. Diam-diam, Dewa Arak memuji kelihaian lawannya. Padahal, seluruh kemampuan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'
telah dikerahkannya. Namun tetap saja agak sulit baginya untuk mendesak lawan.
Ilmu yang dimiliki Raja Ular Beracun tidak kalah dahsyatnya dibanding ilmu-ilmu
warisan ayahnya Sebenarnya, bukan hanya Dewa Arak saja yang merasa penasaran.
Raja Ular Beracun pun demikian pula. Sungguh di luar dugaan kalau Dewa Arak akan
memiliki ilmu-ilmu yang mempunyai daya serang laksana gelombang. Tambahan lagi,
setiap serangan yang dilakukannya mengandung tekanan-tekanan berat. Susul-
menyusul, bertubi-tubi, dan berat untuk ditahan.
Akhirnya setelah pertarungan berlangsung hampir tujuh puluh jurus, perlahan
namun pasti Dewa Arak mulai bisa menguasai keadaan. Tanda-tanda kemenangan
pemuda itu telah tampak. Buktinya Raja Ular Beracun tampak mulai kewalahan.
Serangan-serangan yang dilancarkannya mulai berkurang, dan kini lebih sering
mengelak atau menangkis.
Hal ini sebenarnya tidak aneh. Karena, Raja Ular Beracun memang kalah dalam
segala hal. Baik tenaga, kelincahan, maupun mutu ilmu silat
Meskipun demikian. Raja Ular Beracun belum merasa kalah. Memang, ilmu
andalannya belum dikeluarkan. Demikian pula kemampuan racunnya.
Walaupun dia tahu kalau Dewa Arak juga belum mengeluarkan ilmu andalannya, tapi
dia yakin ilmu yang dimilikinya akan ma mpu digunakan untuk menggilas habis
pertahanan lawan.
Berpikir sampai di sini, membuat Raja
Ular Beracun memutuskan untuk mengeluarkan ilmu andalannya. Tapi....
"Hey...!"
Seru keterkejutan dari Sangga Juwana membuat Raja Ular Beracun menoleh. Dan
ketika itu pula, dia pun terkejut. Betapa tidak" Karena tiba-tiba saja Garuda Laut Timur
melesat cepat ke arah kereta. Tanpa berpikir lebih lama lagi, datuk sesat
wilayah daratan ini tahu apa yang hendak dilakukan Garuda Laut Timur. Pasti
mengambil barang kawalan yang dibawa rombongan Perguruan Harimau Terbang!
Berbareng keluarnya teriakan itu, Sangga Juwana segera melesat mengejar Garuda
Laut Timur. Jelas, perasaan tanggung jawabnya akan keselamatan barang kawalan
membuat laki-laki berkumis tebal ini melupakan kenyataan kalau dirinya bukan
tandingan datuk sesat yang merajai wilayah lautan itu.
Tapi, Sangga Juwana bukan satu-satunya orang yang bergerak mengejar Garuda Laut
Timur. Ternyata, Raja Ular Beracun pun ikut pula mengejar. Kakek kecil kurus ini
melesat cepat mengejar Garuda Laut Timur yang tengah meluruk ke arah kereta.
Dalam ketakutannya kalau barang kiriman yang ada di dalam kereta itu jatuh ke
tangan Garuda Laut Timur, Raja Ular Beracun melupakan Dewa Arak Pemuda berambut
putih keperakan yang menjadi lawannya ditinggalkan begitu saja.
Cepat bukan kepalang gerakan Raja Ular Beracun. Sehingga, meskipun Sangga Juwana
melesat lebih dulu, tetap saja tersusul. Namun meskipun demikian, Raja Ular
Beracun tetap saja terlambat! Hal ini tidak aneh, karena orang yang dikejarnya
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya.
Sementara itu, Garuda Laut Timur yang telah berada dekat sekali dengan kereta
langsung menghantamkan tangan kanannya ke arah samping kereta.
Brakkk..! Didahului suara berderak keras, samping kereta itu hancur berantakan terhantam
tangan yang dialiri tenaga dalam dahsyat. Dan secepat badan kereta itu hancur
berantakan, secepat itu pula Garuda Laut Timur melesat ke dalamnya. Dan begitu
keluar, di ketiaknya terkempit sebuah peti berukir berwarna hitam. Ukurannya,
dua jengkal kali dua jengkal tangan lelaki dewasa.
Namun ketika tubuhnya berada di luar, Raja Ular Beracun telah berhasil pula
mendekati kereta. Tak pelak lagi, kedua datuk golongan hitam itu hampir
bertubrukan, apabila masing-masing meneruskan langkahnya.
Rupanya, Raja Ula r Beracun sudah memperhitungkan hal ini. Terbukti, dia
langsung saja mengirimkan sebuah gedoran telapak tangan terbuka ke arah dada
Garuda Laut Timur.
Garuda Laut Timur terkejut bukan kepalang mendapat serangan tak terduga-duga
ini. Tapi sebagai seorang datuk yang telah terbiasa menghadapi bahaya, dan berkat
pengalamannya bertarung, serangan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru
dipapaknya serangan Raja Ular Beracun dengan gedoran tangan kanan pula.
Prattt..! Benturan antara kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu
menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga. Sesaat kemudian, tubuh kedua
belah pihak sama-sama terjajar mundur sejauh dua langkah dengan tangan bergetar
hebat. Jelas, tenaga dalam dua orang datuk kaum sesat ini berimbang.
Namun baik Raja Ular Beracun maupun Garuda Laut Timur sama sekali tidak
mempedulikannya.
Bahkan dengan kecerdikannya, Garuda Laut Timur memanfaatkan kesempatan
tubuhnya yang terhuyung ke belakang, untuk meninggalkan tempat itu.
Garuda Laut Timur cepat-cepat menjejakkan kaki kanannya, sehingga tubuhnya
melenting ke udara. Tubuhnya kemudian bersalto beberapa kali. Dan ketika
mendarat di tanah, dia langsung melesat kabur.
"Keparat! Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Garuda Licik!" bentak Raja Ular
Beracun keras, sambil melesat mengejar.
Tapi Garuda Laut Timur sama sekali tidak mempedulikan makian saingannya. Dia
terus saja berlari meninggalkan tempat itu. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya dikerahkan untuk dapat meninggalkan Raja Ular Beracun sejauh-
jauhnya. "Hih...!"
Raja Ular Beracun yang tidak ingin kehilangan buruannya, segera melesat
mengejar. Giginya bergemeletuk geram, sambil mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya sampai
ke puncak tertinggi.
Sesaat kemudian, dua orang datuk golongan hitam itu sudah terlibat dalam adu
kejar-kejaran yang menakjubkan. Gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang
terhilat hanya dua sosok bayangan kuning dan merah, yang melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas berat. Dengan sinar mata hampa, ditatapnya dua
sosok bayangan yang semakin lama semakin menjauh. Sungguh dia tidak pernah
bermimpi kalau barang kawalannya akan bisa diambil orang. Sementara, dirinya
selaku pengawal barang itu sama sekali tidak terluka. Sulit dibayangkan, sampai
di mana kemarahan gurunya apabila mendengar berita ini.
Suara batuk-batuk kecil menyadarkan Sangga Juwana dan kesibukan lamunannya.
Dia tahu, siapa orang yang telah mengeluarkan batuk-batuk kecil itu. Pasti Dewa
Arak! Karena memang tidak ada orang lain di tempat ini kecuali mereka berdua.
Dengan lesu, Sangga Juwana menoleh. Dan tepat seperti yang diduga, Dewa Araklah
yang mengeluarkan batuk-batuk kecil itu. Sangga Juwana tentu saja tahu maksud
batuk buatan itu. Apalagi kalau bukan untuk menyadarkan dirinya dari
keterpakuan. Dan kini, Arya tengah melangkah menghampirinya.
"Mengapa kau tidak mengejar mereka, Dewa Arak?" tanya Sangga Juwana ketika
pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di sebelahnya.
"Untuk apa, Kisanak" Aku tidak suka bertarung dengan orang yang tidak mau
melawan," jawab Arya kalem.
"Apakah..., kau tidak berminat, Dewa Arak?" tanya Sangga Juwana, agak ragu.
"Berminat"!" Arya tersentak.
Ada kerutan di dahi Dewa Arak. Kerutan yang timbul karena tidak mengerti maksud
pembicaraan Sangga Juwana.
"Berminat terhadap apa, Kisanak" Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu"!"
Sangga Juwana menatap wajah Arya lekat-lekat. Dirayapinya selebar wajah pemuda
berambut putih keperakan itu, seakan-akan ingin mencari kebenaran ucapan tadi
lewat pandangan matanya.
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas berat, seakan-akan ingin membuang sesuatu yang
mengganjal hatinya.
"Aku juga tidak mengerti, Dewa Arak.... Tapi.... "
"Panggil saja aku dengan nama saja, Kisanak. Na maku Arya Buana. Orang-orang
biasa memanggilku Arya," potong Arya yang merasa risih mendengar panggilan yang
dikeluarkan Sangga Juwana.
Sangga Juwana merasakan adanya tekanan pada nada suara pemuda berambut
keperakan itu, meskipun tadi diucapkan dengan suara datar. Maka dia pun tidak
berani banyak membantah.
"Kalau begitu, baiklah," sahut laki-laki berkumis tebal, mengalah. "Tapi kuminta
kau pun juga demikian. Namaku Sangga Juwana. Kau boleh memanggilku Sangga, atau
Juwana. Itu terserah. Tapi, orang biasa memanggilku Sangga."
"Kuturuti panggilan orang-orang saja, Sangga," sahut Arya memutuskan. "Nah!
Sekarang, ceritakanlah semua kejadiannya. Dan apa maksud ucapanmu tadi."
Sangga Juwana tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia tercenung
beberapa saat lamanya, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Semua ceritamu akan kudengarkan sampai selesai, Sangga. Sepanjang apa pun yang
akan kau ceritakan. Tapi, akan lebih bagus lagi kalau kau bisa menceritakannya
secara singkat tapi jelas."
"Akan kucoba, Arya," sambut Sangga Juwana, penuh semangat mendengar sambutan
Dewa Arak. "Saat itu, perguruan kami kedatangan seorang tamu. Dia meminta agar perguruan
kami bersedia mengantarkan suatu barang ke tempat yang diinginkannya. Maaf, aku
tidak bisa menyebutkan nama tempatnya, Arya," ucap Sangga Juwana memulai
ceritanya. "Tidak mengapa, Sangga. Aku bisa memakluminya," sahut Arya bijaksana.
"Terima kasih, Arya. Baiklah, akan kulanjutkan ceritaku. Tidak seperti biasanya,
kali ini guruku menyuruhku agar ikut dalam rombongan ini. Katanya, barang yang
akan dikirimkan sangat penting. Dengan adanya aku, guru akan merasa lega melepas
kepergian kami."
Sangga Juwana menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Sementara,
Arya sama sekali tidak memberi tanggapan apa pun. Didengarkannya saja cerita
yang dituturkan pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang penuh perhatian.
"Tapi sungguh tidak kami sangka-sangka, da lam perjalanan kali ini begitu penuh
halangan," sambung Sangga Juwana lagi.
Kemudian secara singkat tapi jelas, kejadian demi kejadian yang dialami
rombongan yang dipimpinnya diceritakan. Arya terus mendengarkan. Sedikit pun
tidak diselaknya cerita yang dituturkan Sangga Juwana.
"Begitulah ceritanya, Arya," urai laki-laki berkumis tebal hu menutup ceritanya.
"Itulah sebabnya, aku menduga kau pun berminat terhadap barang itu. Hhh...! Aku
sama sekali tidak pernah mimpi kalau datuk-datuk persilatan aliran hitam itu
akan memperebutkannya."
Arya tercenung ketika Sangga Juwana menyelesaikan cerita. Benak pemuda berambut
putih keperakan ini berputar keras. Seperti juga halnya Sangga Juwana, dia pun
merasa heran. Datuk-datuk persilatan aliran hitam sampai menjadi perampok" Sulit
dipercayai! Tapi, dia sendiri telah melihat kenyataannya. Kalau bukan sebuah
benda yang amat berharga, tidak akan mungkin melakukan perbuatan serendah itu!
"Apakah mereka tidak menyebutkan benda yang dimaksud itu, Sangga" Barangkali,
salah seorang dan mereka?" tanya Arya, mulai mencari keterangan.
Sangga Juwana hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Benda yang
dikirimkan memang merupakan rahasia pemiliknya. Maka Dewa Arak yakin Sangga
Juwana tidak mengetahuinya. Makanya, pemuda berambut putih keperakan ini tidak
menanyakan hal itu lagi."Mereka sama sekali tidak menyebut-nyebut benda yang
dimaksud. Tapi yang jelas, hampir semua tokoh persilatan mengetahui, dan
berusaha memperebutkannya. Hanya saja, mereka semua belum sempat bertemu
rombonganku. Mereka semua bertemu Garuda Laut Timur, dan langsung dibantainya."
"Kalau kau tidak bertemu mereka, bagaimana kau tahu kalau Garuda Laut Timur yang
membantai mereka?" tanya Arya ingin tahu.
"Aku mendengarkan pembicaraan Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun," jelas
Sangga Juwana. Semakin dalam kerutan di dahi Dewa Arak.
"Jadi tanpa diketahui, barang yang kalian bawa telah diincar tokoh-tokoh


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan. Hal itu sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang membuatku bingung, dari mana asal
berita itu?"
"Jangan-jangan, ada orang yang memancing di air keruh, untuk menghancurkan
Perguruan Harimau Terbang," duga Sangga Juwana.
"Maksudmu?"
"Selain kami, ada satu lagi yang membuka jasa pengawalan barang. Namanya
Perguruan Naga Laut. Barangkali saja mereka menyebarkan berita yang tidak benar
ke dunia persilatan," jelas Sangga Juwana.
"Maksudmu, orang-orang Perguruan Naga Laut menyebarkan berita ke dunia
persilatan kalau kalian membawa sebuah barang yang amat berharga. Barang
yang..., yah katakanlah digandrungi semua orang persilatan. Padahal, sebenarnya
barang yang kalian bawa itu barang biasa saja" Begitu maksudmu, Sangga?" tebak
Arya. "Tepat, Arya!"
Arya mengernyitkan kening sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Aku tidak setuju pada dugaanmu itu, Sangga."
"Mengapa, Arya" Apa alasannya?" kejar Sangga Juwana, penasaran.
"Kudengar, Perguruan Naga Laut adalah kelompok pengawal barang aliran putih
seperti kalian. Jadi, rasanya tak mungkin kalau mereka melakukan hal sekeji
itu," sahut Arya memberi alasan. "Mestinya, memang kemungkinannya ada. Tapi,
lebih baik kita menyelidikinya dan awal dulu."
"Kita?" tanya Sangga Juwana setengah tak percaya. "Maksudmu..., kau akan ikut
campur dalam masalah ini, Arya"!"
"Begitulah, Sangga," mantap jawaban Dewa Arak. "Masalah ini sudah bukan masalah
kecil lagi. Dunia persilatan telah guncang karenanya. Jadi, aku ingin ikut serta
menyingkap rahasia aneh ini. Tentu saja kalau kau tidak keberatan."
"Tentu saja tidak, Arya!" jawab Sangga Juwana cepat tanpa menyembunyikan
kegembiraannya.
"Kalau begitu, mari kita ke Perguruan Harimau Terbang," ajak Arya.
"Hehhh..."! Mengapa harus ke sana, Arya. Itu kan tempatku"!" tanya Sangga
Juwana, heran. "Untuk memecahkan masalah pelik ini, kita harus memulainya dari awal timbulnya
masalah, Sangga. Dan sumbernya adalah perguruanmu!" jelas Arya. "Barangkali saja
ada titik terang di sana."
Kali ini Sangga Juwana tidak membantah lagi. Disadari ada kebenaran dalam ucapan
pemuda berambut putih keperakan itu. Perasaan kagumnya terhadap Dewa Arak pun
semakin menjadi. Sama sekali tidak disangka dalam diri orang semuda Dewa Arak
terdapat wawasan yang begitu luas.
"Kapan kita berangkat, Arya?" tanya Sangga Juwana, setelah terdiam beberapa saat
lamanya. "Lebih cepat, lebih baik, Sangga," jawab Arya.
"Berarti..., sekarang juga kita berangkat, Arya."
"Itu lebih baik, Sangga. Bagaimana" Apa kau keberatan kalau kita berangkat
sekarang?" tanya Arya ketika melihat adanya keraguan di wajah maupun sikap laki-
laki berkumis tebal itu.
Sejenak Sangga Juwana gugup. Rupanya, dia tidak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu.
"Keberatan ah tidak, Arya. Malah aku senang. Tapi..., aku tidak tega
meninggalkan rekan-rekanku dalam keadaan seperti itu, tanpa dikubur secara
layak." Sambil berkata demikian, Sangga Juwana mengedarkan pandangan ke arah mayat-mayat
rombongan Perguruan Harimau Terbaog yang telah tak berbenruk itu.
"Kuatkanlah hatimu, Sangga. Toh, mereka telah menjadi mayat beracun. Jadi tidak
ada binatang buas yang akan mengganggju. Nanti setelah dari perguruanmu, kita
akan menguburkan mereka secara layak. Barangkali saja dengan keberadaan mereka
di situ, akan berguna bagi kita untuk menyelidiki masalah ini," hibur Arya.
Sangga Juwana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pikbannya buntu, tidak bisa
digunakan sama sekali. Dihelanya napas berat untuk menguatkan hati.
"Kalau begitu, mari kita berangkat, Arya," ujar Sangga Juwana sambil
menggertakkan gigi.
Tanpa banyak bicara, Dewa Arak melangkah menyusul Sangga Juwana yang telah
berjalan lebih dulu.
6 Sesosok tubuh berpakaian coklat tampak berlari cepat menuju ke arah sebuah
bangunan yang terkurung pagar ka yu bulat tinggi. Pada ba gian atas pintu
gerbang bangunan, terpampang sebuah papan tebal berukir bertuliskan huruf-huruf
yang berbunyi 'Perguruan Harimau Terbang'.
Sosok tubuh berpakaian coklat itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh cukup
tinggi. Tidak heran bila hanya dalam beberapa kali lesatan saja, dia sudah
berada dalam jarak dua batang tombak di depan pintu gerbang Perguruan Harimau
Terbang. Beberapa tindak sebelum mencapai pintu gerbang, sosok berpakaian coklat ini
menghentikan langkahnya. Karena, dua orang berpakaian putih yang pada dada
kirinya bersulamkan gambar seekor harimau bersayap dan berwarna merah telah
menghadangnya. "Katakan kepada Ki Waringin. Sancaka ingin bertemu dengannya. Ada hal amat
penting yang akan kubicarakan padanya," ujar sosok berpakaian coklat itu,
sebelum kedua orang penjaga pintu gerbang menanyakannya.
Dua orang penjaga pintu gerbang itu saling berpandangan sejenak. Mereka tentu
saja mengenal nama Sancaka, yang biasa disebut orang Ki Sancaka. Dia adalah
pemilik Perguruan Naga Laut
Dalam adu pandang sejenak tadi, kedua orang anggota Perguruan Harimau Terbang
itu sama-sama dilanda keraguan. Sebuah pertanyaan besar berkecamuk dalam benak
kedua orang itu. Apa maksud Ki Sancaka ingin bertemu dengan guru mereka"
Melihat kedua orang penjaga pintu gerbang itu hanya saling pandang, Ki Sancaka
yang tengah tergesa-gesa menjadi tidak sabar.
"Cepat beritahukan kedatanganku pada Ki Waringin, sebelum semuanya terlambat!"
ujar Ketua Perguruan Naga Laut itu. Nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.
"Atau..., aku yang akan masuk sendiri ke dalam"!"
Rupanya ucapan yang lebih mirip bentakan ini membuat kedua orang penjaga pintu
gerbang itu kaget. Maka, beberapa saat lamanya mereka gugup. Bahkan jawaban yang
diberikan salah seorang dari mereka terdengar terbata-bata.
"Ba..., baik.... Akan kami sampaikan, Ki"
Usai berkata demikian, salah seorang penjaga pintu gerbang itu berlari cepat ke
dalam. Sedangkan yang satunya lagi tetap berjaga di luar bersama Ki Sancaka.
Hanya sebentar saja. Ki Sancaka menunggu, karena sesaat kemudian penjaga pintu
gerbang yang tadi masuk telah kembali. Hanya saja, dia tidak sendirian. Di
sebelahnya kini berdiri seorang kakek bertubuh sedang. Rambutnya yang berwarna
putih pada kedua atas telinganya, menambah kewibawaannya.
"Sancaka," sapa kakek berpakaian putih itu.
"Waringin," sahut Ki Sancaka cepat. Orang yang bernama Ki Sancaka ternyata
seorang kakek yang masih terlihat kekar. Hanya bulu-bulu alisnya saja yang
kelihatan mulai berwarna putih. Pada bagian dada kiri pakaiannya yang berwarna
coklat, tersulam gambar seekor naga dari benang emas.
"Angin apa yang membawamu kemari, Sancaka?" tanya Ki Waringin lagi.
Terdengar akrab nada suara Ketua Perguruan Harimau Terbang ini. Sehingga,
membuat kedua orang penjaga pintu gerbang menjadi heran. "Bukankah Ki Waringin
sedang berbicara dengan saingan usahanya" Mengapa kini mereka teriihat demikian
akrab" "Angin buruk, Waringin," jawab Ki Sancaka, setelah beberapa saat lamanya
termenung. Ki Waringin tertegun mendengar jawaban Ketua Perguruan Naga Laut itu. Apalagi
ketika melihat kegelisahan Ki Sancaka. Maka perasaan heran yang mendera hatinya
semakin menjadi-jadi.
"Kalau begitu, mari kita bicara di dalam," ajak Ki Waringin.
Ketua Perguruan Harimau Terbang ini lalu melangkah mendahului masuk ke dalam.
Sedangkan tanpa memberikan tanggapan apa-apa, Ki Sancaka segera
melangkah mengikutinya. Karuan saja pemandangan ini membuat kedua orang penjaga pintu gerbang itu
menjadi semakin heran. Mereka sama sekali tidak tahu kalau puluhan tahun yang
lalu, Ki Sancaka dan Ki Waringin adalah sahabat baik. Tentu saja sikap yang
ditunjukkan pun ramah satu sama lain. Memang, sampai sekarang kedua kakek itu
masih tetap menjalin persahabatan, walaupun jarang bertemu.
Ki Waringin dan Ki Sancaka berjalan melalui halaman yang cukup luas dan sepi.
Tidak ada seorang pun anggota Perguruan Harimau Terbang terlihat, kecuali kedua
orang penjaga pintu gerbang dan beberapa pelayan di belakang.
Memang, sebenarnya Perguruan Harimau Terbang bukan sebuah perguruan silat,
karena tidak menerima murid. Ki Waringin hanya mengambil beberapa orang,
kemudian dididik ilmu silat. Dia kemudian menjadikan mereka sebagai pengawal
barang. Demikian pula Perguruan Naga Laut
*** "Sekarang, ceritakanlah berita buruk yang kau bawa itu, Sancaka," tagih Ki
Waringin, ketika mereka telah berada di sebuah ruangan tengah yang cukup luas.
"Berita yang menyedihkan dan mengerikan, Waringin," jawab Ki Sancaka langsung
pada pokok persoalan.
"Jangan membuatku penasaran, Sancaka. Ceritakan secara jelas, apa yang kau
maksudkan," desak Ki Waringin tidak sabar lagi.
Sancaka tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas panjang-panjang
dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan dia tengah mencari kekuatan hati
sebelum memulai cerita.
Meskipun keinginan untuk mendengar cerita yang dibawa Ki Sancaka meluap-luap,
Ketua Perguruan Harimau Terbang itu masih tetap mampu untuk tidak langsung
mendesak rekannya. Dengan sabar, ditunggunya hingga Ki Sancaka siap bercerita.
"Aku mendengar kabar yang tersiar dalam dunia persilatan, Waringin. Sebuah kabar
yang mengerikan," Ki Sancaka memulai ceritanya.
"Kabar apa, Sancaka?" tanya Ki Waringin.
"Murid-murid asuhanmu yang membawa sebuah barang, telah membuat dunia persilatan
gempar. Semua tokoh persilatan, baik dari aliran hitam maupun putih, telah
keluar dari sarangnya untuk merampas barang kiriman itu," tutur Ki Sancaka.
"Ah!" desah Ki Waringin kaget. "Apakah ada yang aneh terhadap barang kiriman
itu, Sancaka" Padahal, pemilik barang hanya mengatakan kalau barang itu penting.
Maka, kutugaskan Sangga Juwana untuk ikut dalam rombongan. Rasanya, aku tidak
melihat adanya keanehan dalam hal ini. Andaikan barang yang dititipkannya amat
berharga, rasanya belum tentu mampu menarik hati tokoh-tokon persilatan tingkat
atas." Ki Sancaka menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Kau tahu, Waringin. Berpuluh-puluh tokoh persilatan dari berbagai aliran dan
tingkatan menyerang rombongan anak didikmu. Mereka semuanya ingin merampas
barang kawalan itu. Mungkin kau tidak percaya kalau kuberitahu bahwa ada dua
tokoh hitam yang menggiriskan, ikut berminat pula terhadap barang kiriman itu."
"Katakanlah, Sancaka. Aku ingin mendengarnya," sahut Ki Waringin cepat
"Kau tidak akan kaget mendengarnya?"
"Akan kuusahakan," jawab Ki Waringin, tidak berani memastikan.
"Di antara orang-orang yang akan merampas barang itu..., adalah Raja Ular
Beracun dan Garuda Laut Timur!" tandas Ki Sancaka.
"Hahhh..."!"
Ki Waringin sampai tersentak kaget. Raut keterkejutan yang amat sangat tergambar
jelas pada wajahnya. Kedua tokoh yang disebutkan rekannya adalah datuk-datuk
persilatan aliran hitam. Rasanya, mustahil kalau mereka akan merampok barang
kawalan Perguruan Harimau Terbang!
"Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur..."!" ulang Ki Waringin dengan suara
bergetar karena perasaan terkejut
"Benar," jawab Ki Sancaka sambil menganggukkan kepala.
"Aku tidak percaya!" sentak Ki Waringin keras. "Mustahil orang seperti mereka
ikut-ikutan memperebutkan sebuah benda kiriman!"
"Aku tidak memaksamu untuk percaya, Waringin," keluh Ki Sancaka. "Hanya yang
perlu diketahui, murid-murid asuhanku secara kebetulan bertemu mereka berdua
yang tengah memperebutkan sebuah peti kecil berukir."
Deggg! Dada Ki Waringin tiba-tiba terasa sesak seperti diseruduk seekor kerbau liar.
Peti kecil! Ucapan Ki Sancaka sama sekali tidak salah! Barang kiriman itu memang berupa
sebuah peti kecil. Entah apa isinya, Ketua Perguruan Harimau Terbang ini memang
tidak tahu. "Dari mana muridmu tahu kalau kedua orang itu adalah Garuda Laut Timur dan Raja
Ular Beracun?" kejar Ki Waringin, masih belum mempercayai.
"Kedua tokoh itu saling memanggil satu sama lain," jawab Ki Sancaka, setelah
termenung sejenak untuk mengingat-ingat cerita muridnya.
"Hanya itu?" ada nada kekecewaan dalam ucapan Ki Waringin. Kalau hanya itu,
belum pasti kalau kedua tokoh itu adalah Raja Ular Beracun dan Garuda Laut
Timur. "Tidak. Muridku itu juga menceritakan ciri-cirinya. Dan ternyata, keterangan
yang diberikan sama dengan yang kuketahui selama ini," jawab Ki Sancaka, bernada
menang. "Muridku melihat mereka berkejaran, jauh di luar Hutan Kaji. Garuda Laut Timur
yang dikejar, karena dia yang membawa peti."
"Lalu, bagaimana nasib murid-muridku, Sancaka?" tanya Ki Waringin tanpa
menyembunyikan kecemasan, baik pada raut wajah maupun nada suaranya.
Ki Sancaka mengangkat bahu.
"Maafkan aku, Waringin. Aku tidak tahu. Hanya kedua datuk sesat itulah yang
terlihat olah muridku. Itu pun secara tidak sengaja. Dan dia lalu
memberitahukannya padaku. Hhh...
Untung saja kedua datuk sesat itu tidak melihatnya. Kalau saja terlihat, nasib
muridku pasti sudah bisa kutebak."
Ki Waringin sama sekali tidak memberi tanggapan. Rupanya, dia masih terpengaruh
cerita yang dibawa Ki Sancaka. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam dan
dihembuskannya kuat-kuat
"Kau belum mendengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan mengenai barang
kiriman yang dititipkan padamu, Waringin?" tanya Ki Sancaka lagi.
Ketua Perguruan Harimau Terbang itu menggelengkan kepalanya. Sikapnya kelihatan
lesu sekali. "Peti yang kau kirimkan itu berisikan..., kepala manusia...."
"Hahhh..."! Kau tidak main-main, Sancaka"! Kepala manusia"! Kepala siapa"!"
tanya Ki Waringin bertubi-tubi, sambil bangkit berdiri.
"Siapa adanya pemilik kepala itu, aku tidak tahu. Tapi menurut berita yang
kudengar, pemilik kepala itu telah meninggal hampir seratus lima puluh tahun
yang lalu."
"Hhh...!"
Ki Waringin menghela napas berat. Tangan kanannya memegangi kepalanya.
Kemudian, kepalanya tergeleng-geleng seperti hendak mengusir rasa pusing yang
mendera. Lalu, perlahan-lahan pantatnya dijatuhkan kembali ke kursi.
"Aku pusing, Sancaka. Pusing sekali. Persoalan ini semakin tidak kumengerti.
Untuk apa orang itu memintaku mengantarkan barang, kalau ternyata isinya hanya
kepala manusia.
Bahkan manusia yang telah meninggal seratus lima puluh tahun yang lalu. Tak bisa
kubayangkan, sudah bagaimana bentuknya kepala manusia itu," keluh Ki Waringin
sambil memijit-mijit kepalanya.
"Tenanglah, Waringin. Aku akan menceritakan semuanya secara singkat tapi jelas,
agar kau bisa mengerti dan tidak kebingungan lagi. Bagaimana" Setuju"!"
Ki Waringin menatap wajah Ki Sancaka sejenak. Sementara, Ki Sancaka pun tengah
menatapnya. Tak pelak lagi, untuk sesaat lamanya kedua orang pemilik jasa
pengawalan barang itu pun saling berpandangan. Namun kemudian, perlahan-lahan
kepala Ki Waringin terangguk.
"Nah, begitu dong!" seru Ki Sancaka gembira. "Sekarang, dengarkan baik-baik!"
Ki Waringin terdiam. Seluruh perhatiannya dipusatkan untuk mendengarkan cerita
yang akan disampaikan Ki Sancaka.
33 "Menurut cerita yang tersebar dan yang kudengar, sekitar hampir dua ratus tahun
yang lalu hidup seorang tokoh amat sakti. Dia banyak memiliki kepandaian ajaib.


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayangnya, tokoh itu memiliki watak telengas sehingga perbuatannya sangat
sewenang-wenang.
Kesukaannya adalah menyebar malapetaka di sana-sini," tutur Ki Sancaka memulai
ceritanya. Ki Waringin sama sekali tidak menyelak cerita rekannya. Dibiarkannya Ki Sancaka
bercerita, sambil mendengarkan penuh minat.
"Kelakuannya yang buruk itu tentu saja mendapat tentangan dari tokoh-tokoh
persilatan aliran putih. Tidak terhitung sudah tokoh sesat ini bertarung, namun
selalu berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Entah sudah berapa ratus tokoh
golongan putih yang tewas di tangannya."
Ki Sancaka menghentikan ceritanya sejenak. Ditatapnya wajah Ki Waringin sejenak.
Barangkali saja ada yang ingin ditanyakan. Tapi, ternyata tidak. "Tokoh sesat
itu semakin merajalela ketika tindakan angkara murkanya tidak bisa dibendung
tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Bahkan tindak kejahatannya semakin beringas
saja. Membunuh, memperkosa, dan menganiaya. Malah, masih banyak kejahatan lain
yang diperbuatnya," lanjut Ki Sancaka.
"Sampai akhirnya, semua tokoh golongan putih mengadakan pertemuan untuk
menanggulangi tindakan angkara murka tokoh sesat itu."
"Tidak adakah tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari
tokoh sesat itu?" tanya Ki Waringin tiba-tiba, ketika Ki Sancaka menghentikan
ceritanya sejenak.
"Menurut berita yang kudengar, ada beberapa tokoh golongan putih yang memiliki
kepandaian di atas tokoh sesat itu," jawab Ki Sancaka.
"Lalu, mengapa mereka tidak rnembasmi tokoh sesat itu"!" potong Ki Waringin,
cepat. Ada nada penasaran besar dalam kata-katanya.
"Tokoh sesat itu memiliki ilmu yang membuatnya tidak bisa mati," sahut Ki
Sancaka. "Setiap kali berhasil dibunuh, dia hidup kembali. Telah berbagai macam cara
dilakukan, tapi dia tetap hidup. Sampai akhinya tokoh golongan putih kelelahan,
dan mati dibantai tokoh sesat itu."
"Ah! Jadi, tokoh sesat itu memiliki ilmu yang membuatnya tidak bisa dibunuh?"
"Benar. Namun, waktu itu belum ada seorang pun yang tahu nama ilmunya dan
penangkalnya," jawab Ketua Perguruan Naga Laut. "Baru setelah pertemuan
diadakan, seorang
tokoh tua berilmu tinggi memberitahukan tentang ilmu itu dan cara penanggulangannya."
"Apa nama ilmu itu, Sancaka?" tanya Ki Waringin penuh gairah.
"Ilmu 'Rawa Rontek'," jawab Ki Sancaka." Dan menurut tokoh tua itu, kalau hendak
menumpas tokoh sesat yang memiliki ilmu 'Rawa Rontek', harus memisahkannya
dengan tanah. Tubuhnya jangan dibiarkan bersatu dengan tanah. Dengan kata lain,
membunuh tokoh sesat itu harus sewaktu tubuhnya berada di udara. Dan memang,
ketika petunjuk dan kakek itu diikuti, tokoh sesat yang angkara murka itu
berhasil ditumpas. Dan sesuai petunjuk dari kakek itu pula, kepala dan badannya
yang sengaja dipisahkan dan diletakkan di tempat yang berjauhan. Itu pun tidak
sampai berhubungan dengan tanah."
"Jadi.... kepala yang berada dalam peti barang kawalan adalah kepala tokoh sesat
yang tewas seratus lima puluh tahun yang lalu itu?" tanya Ki Waringin, mulai
mengerti. "Benar," Ki Sancaka menganggukkan kepala.
"Lalu , kenapa tokoh-tokoh persilatan hendak merebutnya"!" tanya Ketua Perguruan
Harimau Terbang tidak mengerti.
"Kalau tokoh-tokoh aliran putih, mungkin ingin menghalang-halangi agar kiriman
itu tidak sampai ke tempat tujuan. Entah apa maksud tokoh aliran hitam
merebutnya," jawab Ki Sancaka.
Ki Waringin pun terdiam. Dia memang tidak mengetahui, karena itu tidak
memberikan jawaban. Tapi mendadak....
"Aku harus pergi sekarang, Sancaka!" ucap Ketua Perguruan Harimau Terbang, tiba-
tiba. Ki Waringin segera bangkit dari kursinya. Karuan saja, hal itu membuat Ki
Sancaka terkejut. Maka dia pun cepat bangkit dan berdiri menghadang sahabatnya.
"Tunggu sebentar, Waringin! Mau ke mana kau" Apa yang akan kau lakukan?" tanya
kakek berpakaian coklat ini ingin tahu.
"Menyusul murid-muridku, Sancaka. Sebelum mereka tertimpa marabahaya," jawab Ki
Waringin, apa adanya.
"Kalau begitu, aku ikut!" tandas Ki Sancaka.
"Kau..."!" desis Ki Waringin tidak percaya. "Kau ingin ikut bersamaku?"
"Benar, Waringin," Ketua Perguruan Naga Laut itu menganggukkan kepala. "Ingat!
Kita adalah sahabat. Kesusahanmu, adalah kesusahanku juga. Jadi, biarkan aku
ikut bersamamu!"
Ki Waringin tidak langsung menjawab permintaan itu. Ditatapnya wajah kakek
berpakaian coklat itu lekat-lekat, sebelum akhirnya kepalanya terangguk sambil
tersenyum simpul.
"Sudah kuduga, kau akan mengizinkanku, Waringin," kata Ki Sancaka, gembira.
"Sudahlah. Yang penting, sekarang kita harus bergegas!"
"Kau benar, Waringin," hanya itu yang bisa dikatakan Ki Sancaka, karena harus
buru-buru melesat mengejar Ki Waringin yang telah berjalan keluar lebih dulu.
*** "O ya, Waringin," kata Ki Sancaka ketika mereka berdua telah berada di luar
pintu bangunan tempat mereka bercakap-cakap tadi.
"Ada apa, Sancaka?" tanya Ki Waringin sambil membalikkan tubuh.
Hal itu terpaksa dilakukan kakek berpakaian putih ini, karena Ki Sancaka memang
berada di belakangnya.
"Ada sesuatu hal yang kulupakan," jawab Ketua Perguruan Naga Laut.
"Apa itu, Sancaka?" tanya Ki Waringin ingin tahu.
"Aku ingin tahu orang yang telah menyuruhmu mengirimkan barang itu," ujar Ki
Sancaka. Ki Waringin tercenung sejenak, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Dia seorang wanita cantik. Menilik dari keadaannya, dia bukan orang daerah
sini. Kulit wajahnya putih bersih. Dan rambutnya melingkar-lingkar," jelas Ketua
Perguruan Harimau Terbang tentang ciri-ciri pemilik barang.
Ki Sancaka mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa arti anggukannya. Hanya dia
sendiri yang mengerti maknanya.
"Hebatnya, orang hitam itu membayar begitu banyak. Padahal, jarak yang
diajukannya sebagai tempat pengiriman barang tidak terlalu jauh. Maka, begitu
dia mengatakan kalau barang itu penting dan berharga sekali, segera
kuperintahkan Sangga Juwana untuk ikut dalam rombongan."
"Bagaimana kalau setelah menemukan murid-muridmu, tempat pengantaran barang itu
kita datangi, Waringin?" usul Ki Sancaka.
"Kau ini bagaimana, Sancaka" Tanpa kau usulkan pun, rombongan kami akan ke sana
untuk mengantarkan barang?" bantah Ki Waringin, keras.
"Kau lupa, Waringin," tuding Ki Sancaka.
"Menurut cerita muridku, peti itu telah diambil Garuda Laut Timur."
"Kalau begitu, usulmu kita bicarakan lagi nanti," jawab Ki Waringin setelah
kebingungan sejenak.
Usai berkata demikian, Ki Waringin lalu membalikkan tubuh dan kembali melangkah
menuju pintu gerbang.
Ki Sancaka bergegas menyusul dan menjajari langkah sahabatnya.
"Ada sebuah hal yang ingin kuketahui. Mengapa Garuda Laut Timur membutuhkan
kepala itu. Mungkinkah dia ingin menghidupkan kembali tokoh sesat yang telah
tewas itu?"
tanya kakek berpakaian coklat itu. Rupanya, dia belum puas membicarakan masalah
itu. Ki Waringin diam saja, tanpa memberikan tanggapan sama sekali. Tapi, hal itu
tidak membuat Ki Sancaka berhenti berbicara. Rupanya, bagi kakek berpakaian
coklat itu tak ada masalah apakah ditanggapi atau tidak. Yang penting, uneg-uneg
yang mengganjal telah keluar.
"Masalah kedua yang membingungkanku adalah, siapakah sumber berita yang
menyebarkan kalau Perguruan Harimau Terbang membawa kepala tokoh sesat yang
tewas seratus tahun lalu"!" sambung Ki Sancaka lagi
Langkah Ki Waringin kontan terhenti. Mulai disadari adanya ketidakberesan dalam
masalah ini. Apa yang dikatakan Ki Sancaka sama sekali tidak salah. Memang, dari
mana asal berita kalau iring-iringan pengawalan barang Perguruan Harimau Terbang
itu membawa kepala tokoh sesat zaman dulu yang memiliki ilmu 'Rawa Rontek'"
Namun sebelum Ki Waringin sempat memberikan tanggapan, tiba-tiba terdengar
jeritan keras. Jelas, jeritan kematian!
Jeritan itu saja rupanya sudah cukup menimbulkan keterkejutan di hati Ki
Waringin dan Ki Sancaka. Apalagi, ketika Ki Waringin mengenali pemilik suara.
Yang rupanya seorang dari murid Perguruan Harimau Terbang penjaga pintu gerbang.
Keyakinan Ki Waringin semakin membesar setelah mendengarkan lebih seksama, arah
jerit kematian itu. Dan memang, itu benar berasal dari pintu gerbang.
"Kau dengar suara itu, Sancaka?" tanya Ki Waringin untuk lebih meyakinkan diri.
Dia takut kalau telinganya salah dengar.
Ki Sancaka menganggukkan kepala.
"Sepertinya jeritan kematian."
Bagai kucing dibawakan sapulidi, Ki Waringin segera melesat cepat menuju pintu
gerbang. Dia ingin tahu kejadian yang menimpa di sana. Cepat bukan kepalang
gerakannya. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar putih yang melesat cepat
menuju pintu gerbang.
"Heyyy...!"
Ki Sancaka memekik keras ketika melihat tubuh Ki Waringin melesat. Tanpa
membuang-buang waktu, dia pun bergerak mengejar. Sesaat kemudian sosok bayangan
coklat yang tak jelas bentuknya telah melesat mengejar sosok bayangan putih yang
tak lain adalah Ki Waringin.
Ki Waringin mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya untuk tiba
di depan pintu gerbang secepat mungkin. Kekhawatirannya akan nasib kedua orang
muridnyalah yang membuatnya bersikap demikian.
Tapi belum juga mencapai pintu gerbang, tampak sesosok tubuh tinggi kurus tengah
melangkah masuk dengan tenang. Dia adalah seorang kakek berpakaian merah
menyala. Bahkan kedua tangannya tertutup sarung tangan yang juga berwarna merah.
Tapi yang membuat Ki Waringin terkejut adalah sebuah peti kecil berwarna hitam
berukir yang terkempit di ketiak kanan kakek tinggi kurus itu. Peti itu adalah
barang kiriman yang dibawa Sangga Juwana dan rombongannya. Kalau peti kecil itu
kini berada di tangan kakek ini, sudah bisa diperkirakan nasib rombongan murid-
muridnya. Sepasang alis Ki Waringin berkerut ketika teringat cerita Ki Sancaka. Dia kini
berdiri terpaku dengan sepasang mata terbelalak lebar, menatap tamu tak diundang
itu. Memang sejak
melihat kedatangan kakek itu, Ki Waringin sudah menghentikan larinya. Keterkejutannyalah yang membuat langkahnya terhenti tanpa sadar.
"Garuda Laut Timur...," sebuah desisan keluar dari mulut Ki Sancaka yang telah
berada di sebelah Ki Waringin. Dia ingin meyakinkan Ketua Perguruan Harimau
Terbang ini kalau kakek berpakaian putih itu adalah Garuda Laut Timur.
Wajah Ki Sancaka tampak cemas bukan kepalang. Gambaran perasaan yang sama juga
tampak pada wajah Ki Waringin. Memang kehadiran datuk kaum sesat yang merajai
wilayah lautan itu amat mengejutkan hati mereka.
Sementara orang yang membuat mereka gentar tengah melangkah menghampiri. Raut
wajahnya memancarkan kemarahan
yang amat sangat. Bahkan
sepasang matanya
menyiratkan hawa maut. Jelas, Garuda Laut Timur tengah murka.
Selangkah demi selangkah, jarak Garuda Laut Timur dengan Ki Waringin dan Ki
Sancaka semakin bertambah dekat. Baik Ki Waringin maupun Ki Sancaka kini tahu,
kepada siapa pandangan mata penuh kemarahan dari Garuda Laut Timur itu
ditujukan. Jelas, pada Ki Waringin!
Ketika jarak antara Garuda Laut Timur dengan Ki Sancaka dan Ki Waringin berdiri
tinggal sekitar dua tombak lagi, langkah tokoh sesat yang menggiriskan itu
berhenti. Brakkk! Peti kecil berukir yang terkempit di ketiak kanannya dibanting ke tanah. Dan
karena disertai pengerahan tenaga dalam, tak pelak lagi peti itu hancur
berkeping-keping. Sehingga, isi peti itu terpental keluar, lalu menggelinding di
tanah beberapa saat lamanya sebelum akhirnya berhenti.
Mata Ki Waringin dan Ki Sancaka yang mengikuti arah benda yang menggelinding itu
langsung terbelalak. Mereka kini tahu, apa sebenarnya benda itu. Ternyata sebuah
kepala. Tapi yang membuat mereka lebih terkejut, adalah ketika mengetahui secara pasti
kalau kepala itu bukan kepala manusia. Melainkan, kepala sejenis kera! Tepatnya
kepala seekor orang hutan.
"Berani kau mempermainkan dengan menciptakan lelucon seperti ini, Keparat
Busuk"!"
Teguran keras bernada kemarahan membuat Ki Waringin dan Ki Sancaka mengalihkan
pandangan. Kini mata mereka tertuju pada Garuda Laut Timur. Lagi-lagi, kedua
orang ini langsung tahu, kepada siapa kemarahan Garuda Laut Timur ditujukan.
Ki Waringin dan Ki Sancaka langsung bisa meraba-raba penyebab kemarahan datuk
penguasa wilayah lautan itu. Pasti karena peti yang berisi kepala orang hutan
itu. Bukankah berita yang tersiar luas di dunia persilatan mengatakan, kalau
peti itu berisi kepala manusia pemilik ilmu 'Rawa Rontek'" Jelas, Garuda Laut
Timur merasa dirinya dipermainkan. Tak heran kalau dia datang ke sini dan
langsung murka.
"Kau tahu, tidak ada ampun bagi orang yang berani mempermainkan Garuda Laut
Timur!" sambung kakek tinggi kurus itu, masih dengan nada tinggi.
Garuda Laut Timur sama sekali tidak peduli ucapannya didengar atau tidak. Yang
dibutuhkannya adalah pelampiasan kekesalan yang terpendam. Baik pelampiasan
dalam bentuk ucapan, maupun tindakan.
Betapa Garuda Laut Timur tidak menjadi jengkel bukan kepalang" Dengan susah
payah peti yang diperebutkan didapatkan. Bahkan dia datang dari tempat yang amat
jauh. Dan ketika sudah berhasil memperolehnya, juga harus bermain kucing-kucingan
dengan Raja Ular Beracun, agar tidak terjadi bentrokan. Bukan karena Garuda Laut
Timur takut, tapi karena ingin menyelamatkan peti berukir itu lebih dulu.
Dapat dibayangkan betapa geram hatinya, ketika akhirnya berhasil lolos dari
kejaran Raja Ular Beracun dan hanya menjumpai kepala seekor orang hutan di
dalamnya. Dengan kemarahan yang meluap-luap dalam dada, maka diputuskannya untuk
menyatroni tempat Perguruan Harimau Terbang. Dan setelah bertanya sana sini,
markas Perguruan Harimau terbang berhasil ditemukannya.
Brakkk! Garuda Laut Timur membanting peti kecil berukir yang terkempit di ketiaknya.
Sehingga, isi peti yang berupa kepala seekor orang hutan, terpental ke luar,
lalu menggelinding di tanah beberapa saat lamanya.
8 Ki Waringin tahu, bahaya besar tengah mengancamnya. Garuda Laut Timur tak akan
mungkin mau mengampuninya. Datuk sesat penguasa wilayah lautan itu jelas akan
membunuhnya. Bahkan mungkin dengan cara mengerikan. Maka, diputuskannya untuk
melakukan perlawanan. Sekalipun disadari kalau bukan tandingan Garuda Laut
Timur, namun dia tidak mau mati konyol. Setidak-tidaknya, dia tewas secara gagah
berani. Maka tanpa ragu-ragu lagi, senjatanya segera dicabut.
Srattt! Sinar terang berkiblat ketika pedang bergagang kepala harimau itu keluar dari
sarungnya.

Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srattt! Untuk yang kedua kali sinar terang menyilaukan mata kembali berkeredep ketika Ki
Sancaka mencabut senjatanya pula, berupa sebilah golok pendek bergagang kepala
naga. Rupanya Ki Sancaka tidak ingin berpangku tangan saja melihat bahaya besar yang
tengah mengancam keselamatan sahabatnya. Meskipun tidak masuk calon korban
Garuda Laut Timur, Ketua Perguruan Naga Laut ini berniat mengadakan perlawanan.
Dan itu jelas dilakukannya untuk membela Ki Waringin.
Ki Sancaka tahu Garuda Laut Timur adalah seorang tokoh amat sakti. Jangankan Ki
Waringin sendirian. Biarpun dibantu olehnya pun, belum tentu Garuda Laut Timur
bisa dikalahkan. Meskipun demikian, tetap Ki Sancaka nekat. Dia tidak rela
membiarkan Ki Waringin mati sendirian. Biariah, kalau perlu mati bersama-sama.
Ki Waringin merasa terharu melihat pembelaan Ki Sancaka. Dia tahu, tindakan Ki
Sancaka sama saja mempertaruhkan nyawa. Dan itu dilakukan laki-laki berpakaian
coklat itu untuk membelanya. Betapa Ketua Perguruan Harimau Terbang ini tidak
terharu" "Mengapa kau lakukan ini, Sancaka?" tanya Ki Waringin. Agak serak suaranya.
karena perasaan haru yang menggelegak.
Ki Sancaka menoleh, menatap wajah sahabatnya lekat-lekat
"Aku tidak mau melihat kau mati dibantai iblis itu, Waringin. Biariah kita mati
bersama," jawab Ki Sancaka kalem.
"Terima kasih, Sancaka. Kau memang sahabatku yang terbaik," puji Ki Waringin
dengan suara semakin serak.
"Lupakanlah, Waringin. Kita adalah sahabat baik. Kau ingat"!"
"Apakah kalian sudah saling mengucapkan selamat tinggal" Kalau belum, cepat
lakukan! Kalian kuberi kesempatan agar tidak mati penasaran!"
Ucapan keras Garuda Laut Timur menghentikan percakapan antara Ki Waringin dan Ki
Sancaka. Mereka pun kembali mengalihkan perhatian ke arah datuk sesat penguasa
lautan itu. Memang, kedua pimpinan tertinggi jasa pengawalan barang kiriman itu
bercakap-cakap tanpa memperhatikan Garuda Laut Timur. Mereka tahu, Garuda Laut
Timur tidak akan mungkin membokong!
"Kami tidak perlu mengucapkan kata-kata itu, Garuda Laut Timur!" sambut Ki
Waringin lantang, untuk menutupi kegentaran hatinya. "Karena kami akan
melenyapkanmu untuk selama-lamanya!"
"Keparat! Kau mencari mati sendiri, Macan Ompong! Haaat..!"
Diiringi suara mendesing nyaring, Garuda Laut Timur melompat menerjang Ki
Waringin. Dan sewaktu berada di udara, tubuhnya berbalik seraya mengibaskan kaki
kanan ke arah pelipis.
Wuttt..! Hembusan angin keras mengiringi tibanya tendangan datuk sesat penguasa wilayah
lautan itu. Ki Waringin tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru Ketua Perguruan Harimau
Terbang ini melompat ke belakang. Sehingga, serangan itu mengenai tempat kosong,
beberapa jengkal dari sasaran. Meskipun demikian, angin kihasan serangan itu
saja telah membuat rambut dan pakaian Ki Waringin berkibar keras. Dari sini saja
sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam kibasan itu.
Tapi, bukan Garuda Laut Timur namanya kalau serangan yang dilancarkannya hanya
berhenti sampai di situ. Begitu kakinya menyentuh tanah, langsung saja
dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah Ki Waringin.
Karuan saja, hal ini membuat Ki Waringin kelabakan. Dengan susah payah Ketua
Perguruan Harimau Terbang ini berusaha keras mengelakkan serangan. Malah
tubuhnya sampai terpontang-panting ke sana kemari dalam usaha mengelakkan
serangan itu. Sebuah keuntungan bagi Ki Waringin, Ki Sancaka tidak tinggal diam. Begitu
sahabatnya tampak terancam bahaya maut, dia langsung terjun ke dalam kancah
pertarungan. Ketua Perguruan Naga Laut ini langsung saja mengirimkan serangan
mematikan dan bertubi-tubi ke arah Garuda Laut Timur yang tengah memburu Ki
Waringin. Sing, sing, sing...!
Desingan tajam terdengar saling susul ketika golok di tangan Ki Sancaka
menyambar ke arah leher dan pelipis Garuda Laut Timur. Pada saat yang sama,
tubuh datuk sesat penguasa wilayah lautan itu tengah meluruk, memburu Ki
Waringin. Garuda Laut Timur menggeram. Sungguh sama sekali tidak diduganya kalau Ki
Sancaka akan secerdik ini. Yang diserang Ketua Perguruan Naga Laut adalah
bagian-bagian terlemah dari tubuhnya, yang tidak mungkin bisa dilindungi dengan
pengerahan tenaga dalam. Jadi, Garuda Laut Timur tidak mungkin membiarkan
serangan itu begitu saja.
Mau tak mau, Garuda Laut Timur terpaksa membatalkan serangannya terhadap Ki
Waringin Namun, kini serangannya dialihkan untuk menangkis serangan-serangan
yang dikirimkan Ki Sancaka. Dengan tangan telanjang, dipapaknya sambaran golok
Ki Sancaka. Trak, trak, trak...!
"Akh...!"
Sebuah pekik kesakitan keluar dari mulut Ki Sancaka ketika golok di tangannya
berbenturan dengan tangan Garuda Laut Timur. Tangannya kontan terasa linu-linu.
Bahkan jari-jari tangan yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Sehingga, hampir
saja golok itu terlepas dari pegangan.
Sedangkan Garuda Laut Timur seperti tidak merasakan akibat benturan itu.
Tangannya yang dipakai menangkis babatan golok tidak kurang suatu apa. Jangankan
terluka, tergores pun tidak! Hal ini membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam
Garuda Laut Timur mampu membuat tangannya seperti sekuat baja!
Tapi, Ki Sancaka berusaha tidak mempedulikan perasaan sakit yang mendera
tangannya. Kembali diterjangnya Garuda Laut Timur dengan serangan-serangan
mematikan. Bukan hanya Ki Sancaka saja yang bertindak demikian. Ki Waringin pun melakukan
hal yang sama. Pedang di tangannya berkelebat cepat, mengancam berbagai bagian
berbahaya di tubuh Garuda Laut Timur.
Di lain pihak, Garuda Laut Timur pun memang tidak bertindak main-main lagi.
Meskipun kakek berpakaian merah ini sama sekali tidak menggunakan senjata, tapi
seluruh kemampuannya dikerahkan. Maka tak pelak lagi pertarungan yang cukup seru
dan menarik pun berlangsung.
Tapi, menariknya pertarungan itu tak berlangsung sampai lama. Lewat lima belas
jurus, Garuda Laut Timur mulai menguasai kancah pertarungan. Memang tingkat
kepandaian datuk sesat penguasa lautan ini terlalu tinggi untuk bisa ditandingi
Ki Waringin dan Ki Sancaka. Sekalipun, mereka menghadapinya secara bersama-sama.
Kekuatan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan mutu ilmu silat mereka
terlalu jauh. Sehingga, perlawanan yang dilakukan tampaknya sia-sia. Setiap
serangan yang dilancarkan Ki Sancaka dan Ki Waringin selalu kandas. Kalau tidak
tertangkis, pasti bisa dielakkan. Ki Sancaka dan Ki Waringin seperti menyerang
bayangan saja, karena kecepatan gerakan Garuda Laut Timur.
Dan menginjak jurus ke dua puluh dua....
Tuk, tuk...! "Akh..., akh...!"
Ki Sancaka dan Ki Waringin memekik tertahan ketika tiba-tiba tangan mereka
terasa lumpuh. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata-senjata mereka pun terlepas
dari pegangan. Ki Sancaka dan Ki Waringin sama sekali tidak tahu kalau Garuda
Laut Timur dengan kecepatan geraknya yang luar biasa, telah menotok sikut-sikut
mereka. Sehingga, membuat tangan-tangan mereka lumpuh seketika. Walaupun hanya
sekejap. Dan sebelum Ki Sancaka dan Ki Waringin sempat berbuat sesuatu, kaki Garuda Laut
Timur telah menendang kedua senjata yang terlepas dari pegangan.
Tak, tak...! Singgg, singgg...!
"Akh, akh...!"
Pekik kesakitan tertahan keluar dari mulut Ki Sancaka dan Ki Waringin ketika
pedang dan golok yang ditendang Garuda Laut Timur, menghunjam telak pada paha
kanan masing-masing sampai setengahnya lebih. Seketika itu pula, tubuh kedua
kakek itu terhuyung-huyung ke belakang sambil menyeringai kesakitan.
*** "Hak hak hak...!"
Garuda Laut Timur tertawa terbahak-bahak. Sejenak ditatapnya kedua lawan yang
masih terhuyung-huyung mundur ke belakang. Kemudian dengan langkah lambat-
lambat, dia menghampiri kedua kakek tak berdaya itu. Ada sorot kematian pada
sepasang matanya.
Ki Sancaka dan Ki Waringin saling berpandangan pasrah. Keduanya yakin, tidak
akan selamat dari maut.
"Bersiap-siaplah menerima kematian, Monyet-Monyet Kecil!" ujar Garuda Laut Timur
dengan suara menyeramkan.
Namun sebelum Garuda Laut Timur mengirimkan pukulan terakhir...
"Sungguh gagah sekali tindakanmu, Garuda Laut Timur! Beraninya hanya membunuh
lawan tidak berdaya!"
Keras dan lantang suara itu diucapkan, sehingga terdengar jelas ke seluruh
penjuru. Jelas, hal ini membuktikan kekuatan tenaga dalam pemiliknya.
Bukan hanya Garuda Laut Timur saja yang menoleh untuk melihat orang yang telah
begitu berani mencelanya. Ki Sancaka dan Ki Waringin pun ikut pula menoleh.
Kedua kakek yang sudah tidak berdaya ini ingin tahu pula orang yang sudah pasti
bermaksud menolong.
Garuda Laut Timur menggeram, begitu melihat salah satu dari dua orang yang
berdiri di ambang pintu gerbang. Dia seorang pemuda berpakaian ungu dan berambut
putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak" Sedangkan orang yang satunya
lagi sudah bisa ditebak. Ya. Sangga Juwana! Sebab, dia memang diajak Dewa Arak
untuk kembali ke perguruannya.
"Lagi-lagi kau, Dewa Arak!" desis Garuda Laut Timur tajam. "Tapi bagus kau
datang kemari, sehingga aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu. Memang,
sudah lama aku ingin membuat perhitungan denganmu!"
Arya hanya tersenyum getir.
"Pantang bagiku menolak tantangan, Garuda Laut Timur!" sambut pemuda berambut
putih keperakan itu.
Usai berkata demikian, Arya segera melangkah menghampiri Garuda Laut Timur,
Sementara, Sangga Juwana bergegas mendekati Ki Sancaka dan Ki Waringin.
"Kau tidak apa-apa, Guru?" tanya Sangga Juwana bernada khawatir, seraya menatap
kaki Ki Waringin yang tertancap senjatanya sendiri.
Ketua Perguruan Harimau Terbang hanya menggelengkan kepala.
"Hanya sebuah luka kecil, Sangga," jawab Ki Waringin kalem. "O ya, benarkah
pemuda yang datang bersamamu itu Dewa Arak?"
Sangga Juwana menganggukkan kepala.
"Benar, Guru."
"Ah...!"
Hampir berbareng Ki Sancaka dan Ki Waringin berseru kaget. Memang keduanya sama
sekali tidak menduga bisa berjumpa pendekar muda yang mempunyai julukan menggemparkan dunia persilatan itu.
"Berita yang tersebar itu benar," desah Ki Sancaka dengan pandangan mata tak
lepas dari Dewa Arak. "Tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu ternyata
demikian muda."
"Hm...!"
Hanya gumam perlahan dari mulut Ki Waringin yang menyambuti ucapan penuh
kekaguman dari Ki Sancaka. Dia lebih tertarik memperhatikan Dewa Arak dan Garuda
Laut Timur yang sudah pasti akan terlibat dalam pertarungan.
Memang, pertarungan antara Dewa Arak melawan Garuda Laut Timur tidak akan
mungkin bisa dielakkan lagi. Garuda Laut Timur sudah terlalu dilanda amarah, dan
tidak akan mungkin bisa disabarkan kembali.
Dan itu terbukti. Tampaknya Garuda Laut Timur tidak sabar menunggu hingga Arya
mendekat. Dia pun melangkah menghampiri. Dan kini kedua belah pihak saling
menghampiri satu sama lain. Lalu langkah keduanya baru terhenti ketika telah
berjarak dua tombak lagi.
Sesaat, baik Dewa Arak maupun Garuda Laut Timur saling berpandangan. Seakan-akan
kedua tokoh yang hendak berlaga itu saling mengadu kekuatan pandangan lebih
dulu, sebelum bertarung.
"Haaat..!"
Garuda Laut Timur berteriak, keras menggelegar laksana halilintar. Dan sebelum
gema teriakan itu lenyap, dia sudah melompat menerjang Dewa Arak. Dan ketika
tubuhnya telah berada di udara, Garuda Laut Timur meluruk turun menyerang Dewa
Arak. Kedua tangannya yang membentuk cakar garuda, siap merejam lawannya. Ibu
jari dan kelingking terlipat ke dalam, sementara jari-jari lainnya terkembang
membentuk cakar. Serangannya mirip seekor garuda menyerbu mangsa.
Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah Garuda Laut Timur melancarkan
serangan, bertubi-tubi ke arah pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak. Suara mencicit
nyaring, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangannya. Inilah jurus 'Garuda', ilmu andalan Garuda Laut Timur.
Dewa Arak tahu kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan. Maka dia tidak
berani bertindak gegabah. Buru-buru kakinya digenjot, sehingga tubuhnya melayang
ke belakang. Akibatnya, serangan serangan yang dilancarkan Garuda Laut Timur
kandas. Dan di saat tubuhnya tengah melayang ke belakang, Dewa Arak mengambil gucinya
yang tersampir di punggung. Kemudian isinya dituangkan ke dalam mulut
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Kini,
pemuda berambut putih keperakan itu telah siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
"Hup!"
Begitu kedua kaki Dewa Arak menginjak tanah, serangan susulan dari Garuda Laut
Timur kembali meluncur tiba. Suara bercicitan nyaring mengawali serangan yang
dilancarkan. Tapi, Dewa Arak telah siap. Dan rasanya, tak sulit baginya untuk mengelakkan
serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya. Bahkan, langsung
dikirimkannya serangan balasan yang membuat Garuda Laut Timur agak sibuk. Sesaat
kemudian, kedua tokoh sakti ini sudah teriibat pertarungan sengit
Pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak dan Garuda Laut Timur memang
benar-benar menarik. Tubuh kedua tokoh sakti itu seperti melayang-layang di
udara. Memang, keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Baik Dewa Arak maupun Garuda Laut Timur sama-sama mengerahkan seluruh
kemampuan masing-masing Kedua tangan, guci, dan semburan-semburan, dikeluarkan
Dewa Arak dalam usaha menggilas habis semua perlawanan Garuda Laut Timur.
Tapi, Garuda Laut Timur pun bukan tokoh sembarangan. Dia adalah seorang datuk
sesat penguasa wilayah lautan yang memiliki kepandaian tinggi. Maka perlawanan
yang dilakukannya pun tak kalah hebat
Suara mencicit dan mengaung menyemaraki pertarungan yang terjadi. Debu pun
mengepul tinggi ke udara. Memang dahyat sekali pertarungan yang berlangsung.
Sehingga, mampu memaksa. Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Semgga Juwana mundur
menjauhi arena, tanpa mengalihkan pandangan dari pertempuran. Bahkan tanpa
berkedip! Sementara itu, pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan
perlahan-lahan, Dewa Arak berhasil mendesak lawannya. Padahal, Garuda Laut Timur
telah menggunakan senjata andalannya, yang berupa tongkat berujung logam tajam,
berbentuk bulan sabit. Hebatnya, Dewa Arak tidak terdesak. Memang ilmu 'Belalang
Sakti' yang terdiri dari kumpulan serangan tangan, guci, dan semburan arak,
merupakan satu kesatuan yang mampu menggilas habis perlawanan lawan. Dan kini,
yang menjadi korbannya adalah Garuda Laut Timur.
Menginjak jurus keseratus dua puluh lima, Garuda Laut Timur semakin terdesak.
Dan datuk sesat ini pun sadar kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengalahkan
Dewa Arak. Kemungkinan besar dia yang akan tewas. Padahal, seumur hidupnya Garuda Laut
Timur belum pernah kalah. Namun, dia juga tidak ingin kalah. Maka, diputuskannya
untuk mengajak Dewa Arak mati bersama!
Setelah mengambil keputusan demikian, Garuda Laut Timur menyerang kalang kabut
Namun serangannya tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. Yang ada di
benaknya hanya satu. Dewa Arak harus mati!
Dan memang, menyerang secara kalap seperti ini membuat desakan Dewa Arak
berkurang. Bahkan kini, ganti pemuda berambut putih keperakan itu yang terdesak.


Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi terdesaknya Dewa Arak hanya berlangsung beberapa jurus saja. Dan hal itu
pun karena Dewa Arak tidak mau meladeni keinginan gila lawannya.
Memang, dengan cara menyerang kalap seperti itu kedahsyatannya semakin berlipat
ganda. Tapi akibatnya, pertahanan pun melemah. Banyak celah kosong yang dapat
dijadikan sasaran serangan lawan. Hal ini pun telah diperhitungkan oleh Dewa
Arak. "Haaat...!"
Garuda Laut Timur menusukkan tongkat berujung bulan sabit ke arah perut Dewa
Arak. Dan dengan perhitungan matang seorang tokoh
berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas, Dewa Arak melangkahkan kaki kanannya ke belakang sambil
mencondongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya digerakkan.
Tappp! Tongkat itu berhasil dicekal jari tangan kiri Dewa Arak. Maka pemuda berambut
putih keperakan itu langsung menyentakkannya. Sedangkan Garuda Laut Timur sama
sekali tidak menduga tindakan lawan. Tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kontan
melayang ke arah Dewa Arak.
Dan saat inilah yang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Tubuh Garuda Laut Timur yang
melayang itu dipapak dengan gedoran guci araknya. Semua kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Maka....
Bukkk! "Akh...!"
Garuda Laut Timur melolong memilukan, ketika gedoran guci Dewa Arak tepat
menghantam dadanya. Seketika itu pula tubuhnya terjungkal ke belakang. Suara
berderak keras dari tulang-tulang yang patah kontan terdengar.
Sungguh mengerikan kejadian yang teriihat Sepanjang tubuh Garuda Laut Timur
melayang, darah segar mengalir deras dari dalam mulutnya, mengotori tanah
berumput. Brukkk! Sama sekali tidak ada gerakan ketika tubuh Garuda Laut Timur menghantam tanah.
Datuk sesat ini tewas ketika tubuhnya masih berada di udara. Memang, pukulan
guci Dewa Arak keras sekali, hingga membuat isi dada lawan hancur berantakan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Ditatapnya sejenak mayat lawannya, baru kemudian
tubuhnya berbalik. Dihampirinya Sangga Juwana, Ki Sancaka, dan Ki Waringin yang
tengah menatap penuh kekaguman.
Perlahan-lahan matahari mulai turun tergelincir dari titik kulminasi. Angin yang
bertiup sepoi-sepoi, seakan-akan menyambut kemenangan Dewa Arak.
Siapakah sebenarnya pemilik peti itu" Benarkah peti itu hanya berisi kepala
seekor orang hutan" Lalu, kalau benar berisi kepala tokoh sesat yang telah tewas
seratus lima puluh tahun yang lalu, seperti yang tersiar di dunia persilatan, ke
manakah perginya kepala tokoh sesat itu" Lalu, apakah alasan tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam merampas kiriman barang yang dikawal orang-orang
Perguruan Harimau Terbang. Untuk jelasnya, silakan ikuti petualangan Dewa Arak
dalam episode "Tokoh dari Masa Silam".
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Seruling Gading 4 Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Tiga Dara Pendekar 13
^