Pencarian

Tombak Panca Warna 1

Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna Bagian 1


TOMBAK PANCA WARNA Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Tombak Panca Warna
128 hal; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Malam telah datang menjelang. Kegelapan pun mu-
lai menyelimuti persada. Suasana malam ini terasa
berbeda dengan sebelumnya. Tidak terdengar suara
kukuk burung hantu, kepak kelelawar, serta kerik
jangkrik. Suasana terasa hening dan sepi
Suasana seperti itu sebenarnya sudah cukup me-
nyeramkan. Tapi, yang lebih mengiriskan hati adalah keadaan malam ini. Langit
merah membara seperti
terbakar! Tidak ada awan, bulan ataupun bintang di
angkasa raya Seluruh penjuru langit berwarna merah.
Keadaan ini sungguh berbeda dengan biasanya.
Peristiwa aneh ini membuat orang-orang yang me-
nyaksikan kaget bercampur ngeri. Orang-arang yang
tidak mengerti ilmu silat buru-buru masuk ke dalam
rumah lalu ditutupnya pintu dan jendela rapat-rapat.
Mereka semua merasa yakin keadaan alam yang demi-
kian suatu pertanda akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Berbeda dengan para penduduk desa itu, orang-
orang yang merasa memiliki ilmu bela diri tak bersembunyi. Di antara mereka
adalah tiga sosok tubuh yang kini tengah berdiri di halaman rumah dengan kepala
menengadah menatap langit
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ayah?" tanya salah satu dari ketiga sosok itu. Dia
seorang gadis berusia dua puluh tahun. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk-lekuk
yang menawan. Wajahnya cantik jelita, berkulit halus dan putih.
"Aku juga tak mengerti, Wati," jawab sosok yang dipanggil ayah. Sang ayah adalah
seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih panjang mirip kambing. Sang-
gara namanya. "Tapi yang jelas, sesuatu yang hebat pasti akan terjadi," lanjut
Sanggara. Gadis cantik yang bernama lengkap Kusumawati
terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
"Kejadian apa, Ayah?" tanya Kusumawati kemudian.
"Sabarlah, Wati," sergah sosok yang satu lagi. Seorang pemuda berusia sekitar
dua puluh lima tahun
dan berpakaian putih.
"Maafkan aku, Kak Angruna," ucap Kusumawati pelan sambil menundukkan kepala.
Angruna, pemuda bertubuh kekar itu, adalah ka-
kak kandung dari Kusumawati. Permintaan maaf
adiknya disambutnya dengan senyum penuh penger-
tian. Sanggara membiarkan saja keributan kecil itu
terjadi. Hal seperti itu memang sudah biasa. Meski keduanya saling akrab satu
sama lain, tapi perselisihan kecil juga kadang terjadi. Itulah sebabnya, kakek
ini tak mau ikut campur.
"Kurasa...," ucap Sanggara sambil mengerutkan kening, setelah berdiam diri
beberapa saat lamanya.
"Kejadian seperti ini bukan disebabkan dari dunia kita.
Aku lebih condong menduga hal-hal seperti ini berasal dari alam gaib."
"Apa yang kau katakan itu benar, Sanggara."
Hampir berbarengan Sanggara, Angruna, dan Ku-
sumawati menolehkan kepala ke arah asal suara. Ta-
hu-tahu saja, tak jauh dari tempat mereka berada telah berdiri seorang kakek
tinggi besar. Cambang bauk berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya.
Pakaian dalamnya berwarna merah menyala, kemu-
dian dibungkus dengan jubah hitam kelam.
"Ah...! Kiranya Setyaki...." sambung Sanggara. "Apa maksud ucapanmu, Adi
Setyaki?" Kakek tinggi besar yang dipanggil Setyaki tidak se-
gera menjawab. Kakinya melangkah menghampiri
Sanggara. "Dugaan yang kau katakan itu benar, Sanggara,"
tegas Setyaki. Angruna dan Kusumawati mengerutkan alis meli-
hat Setyaki. Keduanya merasa seram melihat penampi-
lan Setyaki yang mengiriskan. Kendati demikian, ka-
kak beradik ini tak berkata apa-apa. Ayah mereka telah bercerita cukup banyak
tentang kakek itu.
Setyaki adalah kawan akrab Sanggara. Sejak muda
mereka sudah bersahabat Setyaki dan Sanggara per-
nah belajar silat dari guru yang sama, sebelum akhirnya mereka berpisah karena
Setyaki lebih menyukai
ilmu-ilmu gaib. Puluhan tahun mereka berpisah. Me-
reka bertemu lagi sekitar tiga tahun lalu. Namun, baru kali ini Setyaki
mengunjungi Sanggara.
"Maksudmu..., semua keanehan alam ini karena
hal-hal gaib?" Sanggara menegaskan.
"Benar," Setyaki menganggukkan kepala. "Ada hal yang luar biasa terjadi di
mayapada ini sehingga me-maksaku keluar dari tempat tinggalku."
"Ah...!" Sanggara berseru kaget Kakek berjenggot kambing ini baru teringat kalau
Setyaki tinggal agak jauh dari tempat tinggalnya. Meski memang berada di gunung
yang sama, tapi di lereng yang berlawanan.
Keberadaannya di sini jelas karena adanya urusan
yang amat penting. Padahal, kakek itu sudah berkeinginan tak akan terjun lagi ke
dunia ramai. "Bisa kau ceritakan lebih jelas, Setyaki?" pinta Sanggara penuh perasaan
tertarik. "Hhh...!"
Setyaki menghela napas berat. Sementara Sangga-
ra dan anak-anaknya menunggu keluarnya ucapan da-
ri mulut kakek tinggi besar itu.
"Kalau menuruti perasaan, lebih baik aku tak men-ceritakannya. Agar kalian tak
ikut menjadi ngeri kare-nanya...," pelan dan satu-satu ucapan yang dikeluarkan
Setyaki. "Aku tak setuju dengan pendapatmu, Setyaki,"
bantah Sanggara. "Menurut pendapatku, lebih baik kau katakan saja apa yang
sebenarnya tengah terjadi.
Dengan begitu mungkin kita bisa bersiap-siap untuk
menghadapinya."
Setyaki menghembuskan napas kuat-kuat setelah
terlebih dulu menariknya dalam-dalam.
"Sejak tiga hari yang lalu aku selalu merasa gelisah tanpa sebab. Perasaan
hatiku selalu tak enak," Setyaki memulai ceritanya dengan suara kering dan
getir. Sanggara, Angruna, dan Kusumawati mendengar-
kannya dengan sabar. Mereka tak ingin menyelak,
kendati Setyaki berhenti beberapa saat
"Dengan kemampuan yang kumiliki kucoba menca-
ri sebab kegelisahanku. Tapi hasilnya peralatan yang kugunakan untuk menyelidiki
porak-poranda. Tentu
saja hal ini membuatku kaget karena peristiwa seperti ini tak pernah ku alami
sebelumnya."
Setyaki menghentikan ceritanya lagi. Diperhati-
kannya satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya. Wajah-wajah yang
penuh rasa ingin tahu, di samping rasa tegang yang tersirat jelas.
"Meskipun hasil yang ku peroleh mengejutkan, tapi aku tidak kapok. Aku malah
merasa ditantang," lanjut Setyaki. "Baru ketika usahaku yang kedua juga
mengalami kegagalan, aku tak berani mencobanya lagi.
Terlalu dahsyat akibat yang kuterima. Tidak hanya peralatan ku yang hancur tapi
tubuhku juga terpental ke belakang...."
"Lalu dari mana kau tahu kalau penyebab keane-
han ini dari alam gaib?" kejar Sanggara tak puas.
"Hasil yang ku peroleh dari usahaku," jelas Setyaki.
"Meski memang tak memuaskan, tapi cukup meyakinkan aku kalau hal itu disebabkan
dari ilmu gaib. Dan menilik dari kekuatannya, aku merasa yakin bukan
manusia biasa yang menjadi penyebabnya...."
"Maksudmu siluman?" tanya Sanggara meminta penegasan dengan suara seperti
tercekik di tenggorokan.
"Kira-kira demikian, Sanggara."
Sanggara tidak memberikan tanggapan lagi. Dalam
hal ilmu gaib Setyaki memang ahlinya. Dia sendiri tak tahu apa-apa.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Setyaki?"
tanya Sanggara kebingungan.
Ucapan kakek berjenggot kambing memecahkan
keheningan yang menyelimuti tempat itu. Keheningan
yang menegangkan hati.
Setyaki terlihat menggelengkan kepala.
"Aku pun tak tahu, Sanggara. Meski demikian aku akan tetap berusaha mencari
tahu, sebelum nyawaku
keburu melayang."
"Apa maksudmu, Setyaki" Siapa yang mengancam
mu"!"
"Tak ada yang mengancamku, Sanggara," jawab Setyaki sambil tersenyum pahit.
"Hanya saja, aku merasa yakin bahaya akan datang dari alam gaib. Sesuatu
yang menjadi penyebab keanehan alam ini pasti tahu aku telah berusaha
menyelidikinya. Aku akan dicarinya untuk dilenyapkan. Karena itu, sebelum
terjadi aku harus menyingkap rahasia ini."
Sanggara terdiam. Campur tangan Setyaki memang
bisa jadi telah diketahui oleh sesuatu dari alam gaib
itu. Campur tangan itu pasti tak menyenangkannya.
"Tidak adakah jalan untuk mengetahui bahaya
yang mengancam, Setyaki" Jika memang mencegahnya
merupakan hal yang tak mungkin, dengan mengetahui
berupa apakah bahaya itu kita akan lebih siap meng-
hadapinya."
"Karena itulah aku datang menjumpai mu, Sangga-ra. Aku khawatir akan lebih dulu
tewas sebelum mem-
beritahukan mu. Kau satu-satunya sahabatku. Nah,
dengarkan baik-baik. Juga kalian, Anak-anak Muda,"
ucap Setyaki seraya menatap Angruna dan Kusuma-
wati Putra-putri Sanggara itu buru-buru menundukkan kepala ketika bertemu
pandang dengan Setyaki. Mereka tak kuat menahan rasa ngeri melihat sepasang ma-
ta yang memiliki sinar aneh itu. Sinar dari orang yang memiliki ilmu gaib
tinggi. "Setelah gagal mengungkapkan rahasia keanehan
alam itu, lalu kucoba mengalihkan usaha. Ku kerah-
kan seluruh kemampuan untuk mencari orang-orang
yang bisa mengungkapkan rahasia itu. Kali ini aku
mujur. Aku berhasil mengetahuinya."
"Syukurlah...!" desah Sanggara dengan wajah berseri-seri, karena merasa lega.
"Jangan bergembira dulu, Sanggara. Bukan tak
mungkin orang-orang yang kumaksudkan ini tak akan
pernah kau temukan. Hhh...! Baru kali ini aku me-
nyesal karena jarang terjun ke dunia persilatan. Kalau tidak, mungkin aku akan
mengetahui nama atau julukan orang-orang ini."
"Bukankah kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?" hibur Sanggara.
"Itu memang benar, Sanggara," masih terasa nada keluhan dalam ucapan Setyaki.
"Orang yang pertama
kali muncul adalah seorang kakek kecil bertelanjang dada dan hanya mengenakan
celana pendek kumal."
Sanggara mengernyitkan kening. Dia berpikir un-
tuk mengingat-ingat. Barangkali saja pernah melihat atau mendengar tentang tokoh
persilatan yang memiliki ciri-ciri demikian. Tapi sampai dahinya berkeringat,
dia tak mampu menemukannya.
"Rupanya tokoh-tokoh itu termasuk orang seperti-ku. Gemar bersembunyi juga.
Kalau tidak, mana
mungkin kau yang berpengalaman luas tidak menge-
tahuinya," ujar Setyaki agak kecewa melihat ketidak-tahuan Sanggara.
"Mungkinkah tokoh itu bukan seorang tokoh persilatan, Kek?" Kusumawati yang
sejak tadi diam membe-ranikan diri angkat bicara.
"Tokoh yang ku maksud bukan hanya orang persi-
latan saja, Nona Kecil. Dia seorang tokoh berilmu sangat tinggi. Sorot sepasang
matanya yang tajam berkilat menandakan kuatnya tenaga dalam yang dimiliki!"
tandas Setyaki.
"Barangkali saja dia merupakan tokoh sepertimu, Kek?" Angruna membela adiknya.
"Tokoh yang tak terjun ke dunia persilatan. Meski memiliki kepandaian
tinggi dia cenderung menyembunyikan diri"
"Jawabanmu lebih bagus! Tapi itu tidak menjadi alasan untuk berputus asa
mencarinya. Sekarang kuberitahukan tokoh yang lain. Yang kedua seorang pe-
muda berambut putih keperakan dan berpakaian un-
gu. Kulihat ada guci perak tergantung di punggung-
nya." "Dia pasti Dewa Arak!" sergah Kusumawati
"Dewa Arak"!" Setyaki mengernyitkan kening.
"Benar, Setyaki," Sanggara ikut memberikan jawaban. "Seorang pendekar muda yang
belakangan ini menggemparkan dunia persilatan dengan tindakan-
tindakannya yang luar biasa."
"Bagus, kalau kau mengetahuinya Dengan demi-
kian lebih mudah untuk mencarinya. Kini sudah saat-
nya bagiku untuk mohon diri. Yang perlu kalian ketahui adalah aku tak akan
tinggal diam. Selama nyawa-
ku masih melekat di tubuh, dua tokoh itu akan kuca-
ri!" Setyaki kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Sanggara, Angruna, dan
Kusumawati hanya menatap kepergiannya.
"Sungguh tak kusangka tokoh yang selama ini
Ayah ceritakan sebagai orang yang tak pernah peduli pada dunia persilatan
ternyata mempunyai perhatian
penuh terhadap malapetaka yang akan menimpa per-
sada ini," gumam Kusumawati.
"Kau salah menduga. Wati," ralat Sanggara. "Dia bersusah payah melakukan hal itu
bukan demi orang
lain. Tapi karena rasa ingin tahunya akan kejadian
langka ini. Sebagai seorang yang mengerti ilmu-ilmu gaib, kejadian aneh seperti
ini bagai tantangan terha-dapnya!"
Kusumawati mengernyitkan kening, bingung. Tapi
Angruna tidak. Pemuda itu bisa merasakan kebenaran
yang terkandung dalam ucapan ayahnya.
"Wati, Angruna, kurasa sudah tiba saatnya bagi ki-ta menyumbangkan kemampuan
yang kita miliki un-
tuk keamanan dunia persilatan," ajak Sanggara kemudian pada anak-anaknya.
*** "Hooop...!"


Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang lelaki bertubuh kekar dan berpakaian lu-
suh menarik tali kekang kudanya tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan
megah. Tindakannya membuat kuda coklat yang ditunggangi menghentikan
langkah. Dengan gerakan yang indah dan manis lelaki berkumis, cambang, dan
jenggot kasar tak teratur itu melompat dari atas punggung kuda. Ringan tanpa
suara kedua kakinya menjejak tanah.
Tingkah lelaki itu membuat dua orang berseragam
prajurit yang menjaga pintu gerbang memperhatikan
dengan penuh rasa curiga. Apalagi ketika melihat lelaki lusuh itu menghampiri
pintu gerbang. Serentak keduanya bergerak menghadang seraya meraba gagang
golok masing-masing. Kelihatan keduanya bersiap un-
tuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?" tanya lelaki lusuh. Nada suaranya sedikit
mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang terlihat saling ber-
pandangan. Sorot mata mereka memancarkan kebin-
gungan. Tidak salahkah pendengaran mereka"
"Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kau, Sobat"
Apa maksudnya datang kemari?" tanya salah seorang pengawal yang berkumis tapis
dan jarang. Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada hati-hati.
"Kalian tak mengenalku" O ya, mungkin kalian
orang baru di sini. Apakah kalian pernah mendengar
nama Antaboga?" Lelaki lusuh itu malah balik ber-tanya.
Wajah kedua penjaga itu langsung berubah. Meski
memang belum pernah melihat orang yang bernama
Antaboga, tapi namanya sering mereka dengar.
Kedua penjaga itu segera menganggukkan kepala.
"Benar," jawab pengawal yang bermuka hitam. "Apa hubunganmu dengan Antaboga,
Sobat?" "Akulah orang yang bernama Antaboga itu!" tegas
lelaki lusuh. "Ah...!"
Kedua penjaga itu mengeluarkan seruan kaget. Pe-
rasaan terkejut yang sangat menghias wajah mereka:
"Kalau begitu maafkan kami, Pangeran. Kami tidak mengenal pangeran sehingga
bersikap tidak sopan,"
ucap kedua pengawal itu sambil membungkukkan tu-
buh. "Hmh...!" Laki-laki berpakaian lusuh yang mengaku bernama Antaboga itu
mendengus. "Menyingkirlah kalian! Aku ingin lewat!"
Pengawal yang bermuka hitam segera beringsut
menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan pen-
gawal yang berkumis jarang-jarang. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Pangeran. Sebelum kami yakin kalau Pangeran benar-benar Pangeran
Antaboga, kami tak bisa memperkenankan masuk. Maafkan kami,
Pangeran. Kami tak ingin terjadi sesuatu atas diri Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa."
Pengawal bermuka hitam tercekat. Ucapan rekan-
nya menyadarkan dirinya kalau lelaki lusuh itu belum tentu Pangeran Antaboga.
Maka, dia pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya.
Pangeran Antaboga tersenyum.
"Bagus! Aku ingin tahu kepandaian kalian. Ingin kulihat apakah kalian mampu
menghalangiku," ujar Pangeran Antaboga bernada menantang.
"Maafkan kami, Pangeran. Kami hanya menjalan-
kan tugas," pengawal bermuka hitam rupanya masih merasa tidak enak dengan
tindakan yang dilakukannya. "Tidak usah banyak berbasa-basi! Ayo, serang aku!"
bentak Pangeran Antaboga.
"Maafkan kami, Pangeran Hiyaaa...!"
Pengawal berkumis jarang-jarang lalu menyerang
Pangeran Antaboga. Kaki kanannya diayunkan dalam
bentuk tendangan miring.
Pangeran Antaboga hanya mendengus pelan. Tu-
buhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan
itu mengenai tempat kosong di depannya. Pada saat
yang bersamaan, tangan kanan Pangeran itu bergerak
cepat. Tappp! "Akh...!"
Pengawal berkumis jarang-jarang memekik kaget.
Pergelangan kakinya berhasil dicekal lawan, kemudian disentakkan dengan keras.
Kuat bukan main tenaga
sentakan itu. Tubuh lelaki Itu sampai terlempar ke
atas. Pengawal bermuka hitam tentu saja terkejut meli-
hat rekannya dengan mudah ditanggulangi. Tanpa ra-
gu-ragu lagi goloknya segera dicabut. Lalu diputarnya sambil mendekati Pangeran
Antaboga yang tetap berdiri tenang. Dengan mengeluarkan seruan melengking
nyaring, golok itu ditusukkannya ke arah perut Pangeran Antaboga. Tapi, lelaki
lusuh itu, tidak bertindak apa pun. Pangeran Antaboga tak mengelak atau pun
menangkis. Pengawal bermuka hitam yang tidak bermaksud
untuk membunuh menjadi kaget Sedapat mungkin se-
rangannya diurungkan. Tapi dia tak mampu. Yang da-
pat dilakukannya hanya mengurangi tenaga!
Wukkk! Kengerian pengawal bermuka hitam berganti den-
gan keterkejutan. Tampak jelas batang golok menem-
bus perut, tapi tidak terdengar suara apa pun. Tidak ada darah yang keluar.
Tubuh Pangeran Antaboga tak
ubahnya bayangan! Batang golok yang seharusnya se-
bagian tak terlihat karena masuk ke dalam perut, terlihat semuanya.
Pengawal bermuka hitam terpaku bagai orang kena
sihir. Matanya membelalak lebar penuh ketidakper-
cayaan. Pemandangan yang disaksikannya ini terlalu
luar biasa. Malah, rekannya sendiri pun terkesima di tempatnya dan tidak
melanjutkan penyerangan.
"Nyi Marca...!" seru Pangeran Antaboga ketika melihat sesosok tubuh berpakaian
hitam berdiri di bagian dalam pintu gerbang.
Sosok hitam yang ternyata seorang wanita berusia
sekitar lima puluh tahun. Wanita itu tertegun mendengar panggilan Pangeran
Antaboga. "Siapa kau, Sobat! Dari mana kau tahu namaku?"
tanya wanita berpakaian hitam. Kakinya diayunkan
mendekati Pangeran Antaboga. Wanita yang dipanggil
Nyi Marca ini menatap sekujur tubuh Pangeran Anta-
boga dengan penuh selidik.
Nyi Marca memang patut merasa heran. Nama
yang disebutkan Pangeran Antaboga adalah nama as-
linya. Nama itu jarang diketahui orang. Dia tak pernah memperkenalkan namanya
kecuali pada junjungannya
dan keluarganya. Selain keluarga junjungannya, orang hanya mengenal dirinya
sebagai Camar Hitam!
*** 2 Pangeran Antaboga mengembangkan senyum geli.
Tapi karena keadaan wajahnya yang tak terurus dan
kotor berdebu, senyuman yang diukirnya terlihat se-
perti seringai kesakitan.
"Kau lupa padaku, Nyi Marca?" tanya Pangeran Antaboga, tak dipedulikannya
pertanyaan Camar Hitam.
Wajah Camar Hitam tampak menegang. Dahinya
berkerut-kerut. Wanita anggun yang menjadi pengawal pribadi Raden Ajeng Dewi
Cipta Rasa ini kelihatan berpikir keras.
"Rasanya aku memang seperti pernah mengenal-
mu, Anak Muda. Sayang, aku lupa...," gumam Nyi Marca.
"Aku Antaboga, Nyi," sahut lelaki lusuh memberitahu.
"Ya Allah...! Aku memang sudah pikun sehingga
tak mengenalmu lagi, Pangeran!" pekik Nyi Marca penuh rasa kaget. Kelihatan
jelas rasa gembira membias di wajah wanita tua itu. "Beliau adalah Pangeran
Antaboga," beritahu Nyi Marca pada kedua pengawal yang menjaga pintu gerbang.
"Ah...! Maafkan kami, Pangeran. Kami telah bertindak lancang. Kami siap menerima
hukuman," ucap kedua pengawal itu buru-buru seraya membungkuk
hormat "Lupakanlah. Aku bangga kalian berdua telah men-jalankan tugas dengan baik,"
sahut Pangeran Antaboga. Tentu saja kedua pengawal itu menjadi girang bukan
main. Tadi ketika Camar Hitam memanggil lelaki
lusuh itu dengan Pangeran Antaboga, mereka menjadi
gelisah. Menurut dugaan mereka, sang pangeran akan
memberikan hukuman. Ternyata Pangeran Antaboga
sama sekali tak marah. Malah, mereka mendapat pu-
jian. "Mari, Pangeran. Aku yakin Raden Ajeng akan
gembira melihat kedatangan Pangeran," ajak Camar
Hitam. Dibawanya Pangeran Antaboga memasuki ban-
gunan megah itu.
"Boga...! Antaboga, Anakku...!"
"Ibu...!"
Pangeran Antaboga memburu ke arah seorang wa-
nita berpakaian indah. Wanita yang kelihatan anggun itu baru saja ke luar dari
ruangan dalam. Sedangkan Pangeran Antaboga berdiri baru memasuki ambang
pintu ruangan tengah yang mewah dan megah.
Pangeran Antaboga menjatuhkan tubuhnya duduk
bersimpuh di hadapan Ibunya. Dipeluknya kedua kaki
wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun itu.
"Ibu, betapa rindunya aku pada Ibu...," adu Pangeran Antaboga.
"Aku pun demikian, Boga," balas Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sambil mengusap-usap
rambut sang pangeran dengan penuh kasih sayang. "Aku hampir tak percaya ketika
mendengar berita kedatanganmu, Boga.
Kukira aku tak akan pernah bertemu dengan dirimu
lagi." "Nasib baik berpihak kepadaku, Ibu," jawab Pangeran Antaboga. Wajahnya
ditengadahkan untuk bisa
menatap wajah ibunya yang sudah lama tak dijum-
painya. "Aku tidak saja selamat. Tapi juga telah mendapatkan kepandaian, Ibu."
Pangeran Antaboga lalu perlahan-lahan bangkit
berdiri. Tubuhnya yang jangkung membuat Raden
Ajeng Dewi Cipta Rasa terpaksa agak menengadah agar bisa menatap wajah putranya.
"Syukurlah kalau demikian, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Karena
memandang muka Ibu, mungkin Gusti Prabu tidak memperpanjang masa-
lah yang telah lalu."
"Dia boleh melupakan masalah itu, Ibu. Tapi aku
tak akan pernah lupa! Tua bangka yang tak tahu diri dan telah menyengsarakan Ibu
itu akan ku binasakan!" tandas Pangeran Antaboga.
Lelaki jangkung ini mengepalkan tangan kanannya
sehingga menimbulkan bunyi bergemeretak nyaring.
Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa kelihatan terkejut. Bu-
kan hanya karena sekitar ruangan itu bergetar seiring dengan timbulnya bunyi
itu, tapi juga karena sikap
Pangeran Antaboga.
"Apa maksudmu, Boga?" tanya Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa dengan suara bergetar.
"Artinya, aku akan kembali menyusun kekuatan
untuk meruntuhkan kekuasaan tua bangka itu, Ibu!"
tegas Pangeran Antaboga.
Sepasang mata Pangeran Antaboga memancarkan
hawa membunuh. Wajahnya yang meskipun tak tera-
wat tapi kelihatan gagah dan tampan itu tampak
membesi. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sampai me-
langkah mundur dengan bibir gemetar. Kentara jelas
keterkejutan melanda wanita itu
"Boga, Anakku...," setelah terdiam beberapa saat akhirnya keluar juga ucapan
dari mulut Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. Suaranya terdengar sarat dengan
kekhawatiran. "Urungkan saja niatmu. Nak. Aku tak ingin kehilangan kau. Kaulah
satu-satunya anak ibu.
Gusti Prabu tak akan menyakitimu. Apalagi jika kau
datang kepadanya untuk meminta maaf. Dan...."
"Ibu!" Meski tetap lembut, tapi ucapan Pangeran Antaboga dipenuhi tekanan.
"Selama nyawa masih ada di badan dan selama darahku masih berwarna merah,
tak akan pernah terjadi Pangeran Antaboga meminta
maaf pada tua bangka licik itu!"
Sekujur tubuh Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa lang-
sung menggigil. Air mata mengalir membasahi kedua
pipinya. Selir raja ini merasa sedih bukan main mendengar keputusan yang diambil
putranya. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa tahu maksud Pangeran Antaboga tak
bisa dicegah lagi. Dirasakan adanya kesungguhan yang besar dalam ucapan lelaki
jangkung itu. "Boga, Anakku.... Apakah kau tak sayang lagi pada Ibu, Nak" Tegakah kau melihat
Ibu yang telah renta ini tinggal sendiri" Kalau niatmu itu kau teruskan, Gusti
Prabu tak akan mengabulkan permintaan Ibu, Nak.
Gusti Prabu tak akan memaafkanmu lagi. Kau akan
dihukum mati, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Ra-sa dengan suara tersendat
dan air mata mengalir de-
ras. "Aku tak perlu ampunan tua bangka gila itu, Ibu!
Aku lebih suka mati daripada beroleh maafnya. Maaf-
kan aku, Bu. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu
yang satu ini. Apa pun yang terjadi, raja sialan itu akan ku gulingkan!"
Tangis Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa semakin men-
jadi-jadi. Wanita ini sampai menutupi wajahnya den-
gan kedua tangan. Pangeran Antaboga yang amat
sayang pada ibunya menggertakkan gigi kuat-kuat
agar tak ikut terharu.
"Ingatlah, Boga...," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Biar bagaimanapun Gusti
Prabu adalah ayahmu. Dia yang telah menyebabkan kau lahir ke dunia
ini. Tak baik seorang anak membunuh ayahnya sendi-
ri...." "Aku tak pernah menganggapnya sebagai ayahku,
Bu!" geram Pangeran Antaboga dengan wajah merah padam. "Sejak kecil aku tak
pernah merasa kasih sayangnya. Dia lebih sayang pada anak-anaknya yang
lain. Malah, kedudukan sebagai raja akan diberikan-
nya pada si keparat Kertasana! Padahal akulah pange-
ran yang paling tua di antara semua pangeran yang
ada. Tidakkah Ibu melihat semua ketidakadilan ini"!"
Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa hanya membisu. Apa
yang dikatakan putranya memang benar. Raja telah
bertindak tak adil. Padahal menurut perhitungan Pangeran Antabogalah yang
seharusnya diangkat sebagai
raja. Ibunya adalah selir pertama raja, sementara per-maisuri tak mempunyai
keturunan. "Maafkan aku, Ibu. Aku tak bisa memenuhi per-
mintaanmu," ujar Pangeran Antaboga. Dia lalu melangkah meninggalkan Raden Ajeng
Dewi Cipta Rasa
yang tenggelam dalam kedukaan.
*** "Ibu..."
Suara pelan mengandung isak tangis memecah ke-
sunyian pagi. Suara itu berasal dari seorang gadis berpakaian kuning. Dia tengah
duduk bersimpuh di de-
pan gundukan tanah merah sebuah kuburan.
"Aku dan Kakak Angruna akan pergi merantau un-
tuk menunaikan sebuah tugas suci, Ibu. Kami tak bisa lagi menjengukmu setiap


Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari seperti biasanya. Kuharap kau berbaring tenang di tempat istirahat mu, Bu.
Doakan agar aku dan Kakak Angruna berhasil menye-
lesaikan tugas suci itu. Aku mohon pamit, Bu"
Sosok yang bukan lain dari Kusumawati itu bang-
kit perlahan-lahan. Bunga di tangan ditaburkannya ke atas makam ibunya. Angruna
yang sejak tadi berdiri
dengan wajah ditundukkan ikut menaburkan bunga.
Setelah melepaskan pandangan berat yang terakhir kalinya, Kusumawati dan Angruna
membalikkan tubuh.
Kaki-kaki mereka diayunkan meninggalkan area pe-
makaman. Tapi baru beberapa langkah, ayunan kaki sepasang
muda-mudi ini terhenti. Pendengaran mereka menang-
kap bunyi-bunyi yang mencurigakan dari arah bela-
kang. Hampir berbarengan Kusumawati dan Angruna
menolehkan kepala ke sana. Dan... seketika mata me-
reka membelalak dengan mulut ternganga.
Pemandangan yang mereka saksikan terlalu mengi-
riskan hati! Permukaan gundukan semua tanah kubu-
ran yang ada di situ tak terkecuali makam ibu mereka, bergetar keras seperti ada
sesuatu yang hendak keluar.
Kusumawati dan Angruna adalah pemuda-pemudi
gemblengan. Mereka telah memiliki kepandaian tinggi.
Menghadapi ancaman maut pun kakak beradik ini
akan dapat menghadapinya dengan hati tenang. Tapi
apa yang mereka saksikan ini terlalu mengerikan. Angruna dan Kusumawati terdiam
di tempat dengan jan-
tung memukul keras. Wajah kakak beradik ini tampak
tegang bukan main!
Getaran pada makam-makam semakin menghebat
Angruna dan Kusumawati yang berdiri terpaku tak sa-
dar kalau kaki-kaki mereka menggigil keras. Rasa nye-ri membersit baik dari
sorot mata maupun wajah me-
reka. "Oooh...!"
Kusumawati tak kuasa untuk menahan jeritan li-
rih. Gundukan-gundukan tanah kuburan ambrol ka-
rena ada tangan-tangan berkuku runcing kehitaman
menyembul dari dalamnya.
Angruna yang lebih tabah masih sempat mengga-
mit tangan Kusumawati. Meski demikian, kengerian
yang mencekam membuat tangan Angruna menggigil
seperti orang terkena demam tinggi.
Angruna dan Kusumawati hampir tak percaya akan
penglihatan mereka. Sosok-sosok tubuh tampak keluar dari lubang kuburan! Sosok
yang memiliki ciri-ciri mengiriskan hati. Tubuh mereka kurus kering, tak
memiliki daging dan terbungkus pakaian koyak-koyak.
Sehelai pakaian yang telah rapuh terjatuh ke tanah ketika angin berhembus agak
keras. Sosok-sosok itu adalah mayat-mayat yang bangkit
dari kuburnya! Ciri-ciri mereka, dan terutama sekali bau bangkai yang menyebar
dari sekujur tubuh, telah menjadi bukti tak terbantahkan lagi!
Mayat-mayat itu dengan langkah kaku bergerak
mendekati Angruna dan Kusumawati. Jumlah mereka
puluhan. Bau busuk yang hampir membuat Angruna
dan Kusumawati muntah-muntah semakin menyengat,
seiring dengan mendekatnya mayat-mayat. Angruna
yang lebih tabah segera sadar akan adanya bahaya
mengancam. "Kuatkanlah hatimu, Wati. Bangkitkan semangat
mu. Kalau tidak makhluk-makhluk jahanam itu akan
merencah-rencah kita," beritahu Angruna dengan suara bergetar, menahan perasaan
ngeri. Ucapan Angruna membangkitkan kesadaran Ku-
sumawati. Ditariknya napas dalam-dalam lalu dibu-
sungkan kuat-kuat untuk menenangkan hati. Cara itu
memang berhasil mengurangi ketegangan yang melan-
da dirinya. Angruna sendiri telah mencabut golok yang menja-
di senjata andalannya. Kusumawati segera mengikuti
dengan meloloskan sabuknya. Sabuk jingga berbau
harum. Ctarrr! Kusumawati yang tak ingin sabuknya menyentuh
tubuh mayat-mayat hidup, sengaja melecutkan senja-
tanya ke udara. Diharapkan lecutan nyaring yang ter-
cipta akan membuat makhluk-makhluk menjijikkan
itu menjauh. Tapi harapan Kusumawati kandas. Mayat-mayat
hidup sama sekali tak mempedulikan bunyi sabuk.
Mereka terus bergerak menghampiri. Gerakan-gerakan
makhluk menjijikkan ini sekarang jauh lebih gesit.
Rupanya mereka mulai terbiasa bergerak.
Melihat kebandelan mayat-mayat hidup ini Kusu-
mawati tak mempunyai pilihan lain. Gadis ini tak ingin bau busuk yang menyergap
hidungnya semakin menjadi-jadi. Kusumawati segera melecutkan ujung sa-
buknya ke arah mayat hidup terdepan. Sabuk melun-
cur dan menghantam dada makhluk menjijikkan itu.
Ctarrr! Mayat hidup yang sial itu terhuyung-huyung ke be-
lakang beberapa langkah. Pakaiannya hancur beranta-
kan pada bagian yang terkena lecutan. Mayat hidup itu sendiri sedikit pun tak
terluka! Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung punah, mahluk
menjijikkan itu kembali merangsek maju.
Bukan hanya Kusumawati saja yang terkejut meli-
hat kekuatan mayat hidup itu, Angruna pun demikian.
Lecutan sabuk adiknya mampu menghancurkan batu
karang yang paling keras sekalipun. Dia sendiri bila terkena lecutannya akan
terluka berat. Tapi, mayat hidup itu tak kurang suatu apa! Makhluk menjijikkan
itu bagai tak merasakan.
Angruna dan Kusumawati tak bisa berlama-lama
tenggelam dalam keheranannya. Mayat-mayat hidup
telah semakin dekat. Sambil berteriak keras untuk
menguatkan semangatnya, Angruna membolang-
balingkan golok di depan dada.
Seperti juga Kusumawati, Angruna menerima ke-
nyataan pahit. Serangan-serangannya sama sekali tak
berarti. Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaga babatan, bacokan, dan
tikaman goloknya tidak mampu
membuat buntung anggota tubuh makhluk-makhluk
menjijikkan itu. Malah serangan-serangan yang menu-
suk dada dan perut tak ubahnya menusuk batang pi-
sang. Amblas ke sasaran tapi tak membuahkan hasil
sama sekali! Angruna dan Kusumawati tak putus asa. Kedua
anak Sanggara ini dengan gagah berani melakukan
perlawanan. Tak terhitung sudah senjata, tangan, atau kaki mereka mengenai
sasaran. Tapi, kesudahannya
hanya membuat tubuh makhluk-makhluk menjijikkan
itu terhuyung-huyung. Setelah itu, mayat-mayat hidup kembali menyerbu. Dan
meskipun Angruna serta Kusumawati telah mempergunakan berbagai cara, hasil
yang didapat tetap sia-sia.
Kedua kakak beradik ini sadar benar lama-
kelamaan merekalah yang akan celaka. Tenaga mereka
mulai berkurang dan akan terus berkurang. Sementa-
ra makhluk-makhluk menjijikkan itu bagai memiliki
tenaga yang tak pernah habis. Kekuatan dan kegesitan mereka sedikit pun tak
berkurang. Tak sampai dua puluh jurus Angruna dan Kusu-
mawati sudah terdesak. Serangan-serangan yang se-
mula gencar semakin tak terlihat. Gerakan senjata
yang mereka lakukan sebagian besar hanya untuk
menangkis serangan lawan.
"Wati...! Tak ada gunanya melakukan perlawanan!
Selamatkan dirimu...!"
Seiring dengan selesainya seruan itu Angruna me-
lesat menerjang dengan nekat. Tanpa mempedulikan
pertahanan diri pemuda ini mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang masih tersisa. Goloknya diputar laksa-
na kitiran kemudian dibabatkan ke arah lawan-
lawannya. Kenekatan Angruna tidak sia-sia. Kerumunan
mayat hidup langsung membuyar. Beberapa di antara
mereka berpentalan tak tentu arah. Namun, tindakan
nekat itu harus ditebus cukup mahal oleh Angruna.
Dua di antara mayat-mayat hidup berhasil menya-
rangkan sampokan yang mengenai perut dan bahu ka-
nan. Tidak ada jeritan atau keluhan dikeluarkan putra
Sanggara ini. Hanya seringai pada mulutnya menun-
jukkan kalau pemuda ini merasa kesakitan. Darah
mengalir dari bagian tubuh Angruna yang tersampok.
Bagian perut dan bahunya tergurat oleh kuku-kuku
mayat-mayat hidup yang runcing dan kehitaman.
"Kak Angruna...!" jerit Kusumawati kaget dan khawatir. Gadis ini segera bergerak
untuk menolong ka-
kaknya. "Jangan pedulikan aku! Cepat kau tinggalkan tempat ini!" cegah Angruna sebelum
Kusumawati mendekat. Pemuda itu lalu kembali menyerang lawannya dengan membabi
buta. Serangannya tidak ditujukan pada
seorang lawan, melainkan semuanya. Tindakan itu di-
lakukan untuk mengalihkan penyerangan mayat-
mayat hidup dari Kusumawati
"Tapi, Kak...!"
Ucapan Kusumawati terhenti di tengah jalan kare-
na dua mayat hidup menyerbunya. Gadis ini memain-
kan sabuknya hingga terbentuk gulungan-gulungan
seperti gelang besar. Dan, gelang-gelang itu menghantam tubuh mayat-mayat hidup
hingga terpental ke be-
lakang. "Pergilah cepat, Wati! Aku akan menyusulmu...!"
perintah Angruna penuh tekanan.
Kusumawati tak membantah lagi. Dengan hati dia
melesat meninggalkan tempat itu. Dirasakan benar
ucapan Angruna tak menghendaki adanya bantahan.
Karena itu Kusumawati tak berani menentangnya. Ku-
sumawati amat menghormati kakaknya karena gadis
ini tahu kalau Angruna amat sayang padanya.
Tiga mayat hidup berusaha mencegah kepergian
Kusumawati. Tapi dengan lecutan sabuknya gadis ini
mampu membuat makhluk-makhluk menjijikkan itu
mencium tanah. Angruna tersenyum lega melihat
adiknya berhasil lolos. Sekarang pemuda ini berjuang sendiri untuk
mempertahankan nyawanya.
Kusumawati terus berlari tanpa mengendurkan ke-
cepatannya. Sempat dilihatnya beberapa mayat hidup
mengejarnya. Lari mereka ternyata cukup cepat. Na-
mun demikian makhluk-makhluk menjijikkan itu tak
mampu menandingi kecepatan lari Kusumawati.
Gadis itu berlari menuju arah yang akan ditem-
puhnya bersama Angruna. Dengan begitu kakaknya
nanti akan bisa menemukannya. Kusumawati baru
menghentikan lari ketika tak melihat pengejaran dari mayat-mayat hidup.
Disandarkannya punggungnya
pada salah satu pohon yang ada di dekatnya. Peluh
yang membasahi sekujur wajah disusutnya dengan sa-
pu tangan warna jingga. Kusumawati memutuskan un-
tuk menunggu Angruna di tempat ini.
Sambil membayangkan kejadian mengerikan yang
ditemuinya, Kusumawati mengedarkan pandangan ke
sekitar. Tampak pohon besar yang rata-rata tingginya sama. Dia rupanya tengah
berada di hutan karet
Debaran jantung Kusumawati yang telah mulai me-
reda tiba-tiba berpacu dengan cepat lagi. Perasaan
khawatir kembali melanda ketika pendengarannya me-
nangkap suara langkah-langkah mendekati tempatnya
berada. Bunyi langkah bergemuruh seakan-akan ada
serombongan orang tengah bergerak. Nadanya terden-
gar tetap dan berirama.
Kusumawati memutar benaknya sebentar untuk
mencari jalan selamat. Pengalaman pertamanya terjun ke dunia persilatan yang
mengerikan tadi membuatnya jadi bersikap lebih hati-hati. Setelah memperhatikan
keadaan sekitarnya sebentar, Kusumawati melompat
ke atas. Laksana seekor kera Kusumawati melompat
dari satu cabang ke cabang yang lain. Dan, pada ca-
bang pohon yang tinggi dan banyak ditumbuhi daun-
daun gadis ini berhenti melompat lalu duduk di da-
hannya. Dari balik kerimbunan dedaunan Kusumawati
mengintai ke bawah. Tampak serombongan pasukan
berkuda tengah menuju ke tempat putri Sanggara ini
tadi berada. Jarak antara pasukan berkuda dengan
tempat Kusumawati berada tak kurang dari lima belas tombak. Hanya karena
terhalang banyak pohon mereka tak bisa saling melihat
Pasukan berkuda itu berjumlah dua puluh orang.
Yang berkuda paling depan adalah dua orang bersera-
gam panglima. "Benarkah Pangeran Antaboga telah kembali, So-
ka?" tanya panglima bermuka kuning.
"Hhh...!" Panglima Soka yang bertubuh tinggi besar terlebih dulu menghela napas
berat "Menurut berita yang kudengar memang demikian, Gardika. Karena itu
Gusti Prabu menyuruh kita untuk mencek kebenaran-
nya, Gusti Prabu khawatir Pangeran Antaboga akan
kembali memberontak!"
"Aku sependapat dengan Gusti Prabu, Soka," ujar Panglima Gardika. "Dulu aku tak
setuju Gusti Prabu menghukum buang pangeran pemberontak itu. Aku
cenderung menginginkan Pangeran Antaboga dihukum
mati agar peristiwa pemberontakan itu tak terulang la-gi." "Gusti Prabu tak
ingin mengecewakan Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. Raden Ajenglah yang membuat
Pangeran Antaboga lolos dari hukuman mati. Raden Ajeng meminta pada Gusti Prabu
agar Pangeran Antaboga
diampuni," sambung Panglima Soka setengah menye-salkan keputusan rajanya.
"Apakah Gusti Prabu tak tahu kalau Pangeran Antaboga merupakan orang yang amat
berbahaya?" ujar Panglima Gardika lagi "Padahal melihat keinginan dan kepandaian
Pangeran Antaboga sudah seharusnya dia
dihukum mati. Dulu pun tak ada tokoh kerajaan yang
mampu menandingi kepandaiannya. Entah sekarang
apakah kepandaian Pangeran Antaboga telah maju pe-
sat. Tapi aku yakin pangeran itu lebih berbahaya daripada dulu."
Panglima Soka terlihat menganggukkan kepala.


Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terlepas dari kekhawatiran dan dugaan kita, aku lebih suka kalau Pangeran
Antaboga menyadari kekeli-ruannya. Tentu saja jika berita mengenai kembalinya
Pangeran Antaboga itu benar."
"Aku pun berharap demikian, Soka," dukung Panglima Gardika.
*** 3 Brosss! Brosss! Brosss!
Panglima Soka dan Panglima Gardika bergegas
menghentikan langkah kuda mereka, ketika sekitar sa-
tu tombak di depan mereka muncul sosok-sosok dari
dalam tanah. Sosok mayat hidup!
Tindakan kedua panglima itu membuat pasukan di
belakang mereka menghentikan laju kudanya. Mereka
semua lalu mencabut pedang yang tergantung di ping-
gang. Bunyi-bunyi berdesing nyaring terdengar.
Keberanian rombongan di bawah pimpinan Pangli-
ma Soka dan Panglima Gardika rupanya tidak dimiliki binatang tunggangan mereka.
Kuda-kuda yang besar
dan kuat itu meringkik ketakutan. Kedua kaki depan-
nya diangkat tinggi-tinggi. Binatang-binatang itu rupanya merasa terancam.
Panglima Soka, Panglima Gardika, dan delapan be-
las prajurit kerajaan berusaha sekuat tenaga mene-
nangkan binatang tunggangannya. Tapi sia-sia belaka.
Kuda-kuda yang biasanya amat taat pada perintah ma-
jikannya itu, sekarang jadi tak terkendali. Malah, binatang-binatang itu
berusaha sekuat tenaga melempar-
kan majikannya.
"Biarkan binatang-binatang itu kabur!" seru Panglima Soka untuk mengatasi riuh
rendah ringkik kuda yang ketakutan.
Binatang tunggangan itu sudah tak bisa dikendali-
kan lagi. Tindakan liar binatang-binatang itu akan
membuat mereka memusatkan perhatian untuk men-
gendalikannya. Padahal, mayat-mayat hidup telah bersiap untuk menyerang.
Perintah Panglima Soka langsung dituruti oleh se-
mua prajurit, tak terkecuali Panglima Gardika. Mereka semua berlompatan ke
tanah. Kuda-kuda yang mereka
tunggangi pun berlarian kalang kabut meninggalkan
tempat itu. Panglima Soka segera memerintahkan para praju-
ritnya untuk membentuk lingkaran, karena mayat-
mayat hidup bermunculan dari dalam tanah di sekeliling tempat mereka. Panglima
Soka dan rombongannya
terkurung oleh puluhan mayat-mayat hidup itu.
"Astaga,..! Apakah mereka tak betah tinggal di dalam tanah sehingga beramai-
ramai keluar"!" ujar Panglima Gardika dengan suara tercekat di tenggorokan.
Panglima bermuka kuning ini telah menghunus
pedangnya. Demikian juga Panglima Soka. Dua pan-
glima ini dan seluruh prajurit kerajaan menatap makhluk-makhluk menjijikkan yang
mendekati mereka
dengan mata membelalak kaget. Mulut mereka tak
henti-hentinya memercikkan ludah. Bau busuk me-
nyengat hidung hingga membuat isi perut seperti hendak keluar.
"Ini ada hubungannya dengan tanda aneh di langit beberapa hari yang lalu aku
rasa," ucap Panglima Soka dengan suara kering karena perasaan tegang. Memang,
meskipun Panglima Soka telah puluhan kali berhadapan dengan bahaya kematian,
tapi menghadapi mayat-
mayat hidup merupakan hal yang belum pernah di-
alaminya. "Kau benar, Soka. Sekarang terjawab sudah teka-teki keanehan angkasa itu,"
timpal Panglima Gardika mendukung dugaan kawannya.
Tapi Panglima Soka dan Panglima Gardika tak bisa
berbincang-bincang lebih lama. Mayat-mayat hidup telah menerjang mereka.
Rombongan Panglima Soka pun
segera menyambutnya.
Wuttt! Panglima Soka yang mendapat giliran diserang le-
bih dulu. Sesosok mayat hidup menerkam dengan ke-
dua cakar terkembang tak ubahnya tingkah seekor ha-
rimau. Panglima Soka tak ingin maksud mayat hidup itu
tercapai. Di samping merasa ngeri terkena sambaran
kuku-kuku runcing dan hitam itu, dia juga merasa jijik. Mayat hidup yang
menyerang panglima ini memang terlalu rusak keadaannya. Daging di sekujur tubuh
makhluk itu sebagian besar telah hilang. Mulutnya
mengeluarkan lendir kekuningan mirip nanah yang
berbau amat busuk.
Panglima Soka segera menyambut terkaman mayat
hidup itu dengan tusukan pedang ke arah leher!
Cappp! Telak dan keras sekali serangan Panglima Soka
mendarat di sasaran. Batang pedang panglima tinggi
besar ini sampai amblas ke leher belakang. Tapi, hasilnya membuat Panglima Soka
terperanjat Bukan hanya tidak adanya darah yang keluar dari
leher mayat hidup yang tertembus pedang, tapi tak
terpengaruhnya mayat hidup itu oleh tusukan. Mayat
itu tetap meluncur ke arah Panglima Soka dengan ca-
kar-cakar siap menghunjam! Panglima Soka terpaksa
membanting tubuh ke tanah dan bergulingan. Pedang-
nya tertinggal di leher makhluk menjijikkan itu.
"Mayat hidup itu tak membiarkan buruannya lolos.
Tubuh Panglima Soka yang tengah bergulingan dike-
jarnya. Pedang yang masih menembus leher itu mem-
buatnya kerepotan untuk menyerang. Kejadian menak-
jubkan ini tak hanya melanda Panglima Soka. Semua
anggota rombongannya pun demikian. Mereka semua
terlibat dalam pertarungan aneh yang baru pertama
kali ini mereka alami.
Di atas pohon Kusumawati memperhatikan semua
yang terjadi dengan hati ngeri. Gadis ini tahu lambat laun rombongan pasukan
kerajaan akan hancur. Tanda-tanda ke arah itu sudah dilihatnya. Kusumawati
tak kuasa untuk terus melihat ketika beberapa orang
prajurit mengalami nasib naas.
Mereka tewas secara mengerikan, direncah-rencah
mayat-mayat hidup. Makhluk-makhluk menjijikkan itu
membunuh lawannya tak hanya dengan cakar. Gigi-
gigi mereka yang runcing dan hitam pun dipergunakan untuk menggigit leher
korbannya. Pertarungan belum berlangsung dua puluh jurus.
Tapi, jerit kematian dari rombongan Panglima Soka tak henti-hentinya
berkumandang. Satu persatu mereka
roboh ke tanah. Tubuh-tubuh para prajurit yang ma-
lang itu bergeletakkan memenuhi sekitar tempat itu.
Panglima Soka dan Panglima Gardika yang paling he-
bat di antara rombongan itu hanya bisa menggertak-
kan gigi. Untuk menolong mereka tak mempunyai daya
sama sekali. Jangankan menolong, keadaan mereka
sendiri tengah terjepit
"Kurasa tak ada gunanya melawan mereka terus,
Gardika!" teriak Panglima Soka.
"Benar, Soka!" sambung Panglima Gardika yang ju-ga tengah terjepit oleh
keroyokan mayat-mayat hidup.
"Mereka bukan manusia! Mereka tak bisa kita binasakan!"
"Gusti Prabu harus kita beritahu agar berjaga-jaga dari serangan makhluk-makhluk
jahanam ini, Gardika. Aku khawatir mereka akan menyebar ke mana-
mana dan menimbulkan kekacauan!"
Panglima Soka menyempatkan diri mengerling ke
arah anak buahnya yang masih tersisa.
"Tidak ada gunanya melawan. Tinggalkan mereka!
Selamatkan diri masing-masing. Kerajaan harus tahu
akan adanya makhluk-makhluk jahanam ini. Kembali
dan laporkan pada Gusti Prabu...!"
Seruan Panglima Soka itu keras bukan main. Pan-
glima ini memang mengerahkan tenaga dalam ketika
berteriak, agar bisa terdengar oleh semua anak buahnya. Seruan Panglima Soka
membuat seluruh anggota
rombongan berusaha membebaskan diri dari kepun-
gan. Panglima Soka dan Panglima Gardika segera me-
nyusul. Dengan kemampuannya kedua panglima ini
berhasil meloloskan diri pari kepungan
Keberuntungan yang diterima Panglima Soka dan
Panglima Gardika tak dialami anak buah mereka. Ke-
mampuan para prajurit memang tak bisa dibanding-
kan dengan kedua panglima kosen itu. Meski kemam-
puan mayat-mayat hidup tak melebihi kepandaian pa-
ra prajurit, tapi jumlah mereka yang sudah menyusut jauh membuat setiap prajurit
berhadapan dengan tiga mayat hidup. Satu persatu para prajurit itu roboh dalam
usahanya membebaskan diri dari kepungan
Hanya Panglima Soka dan Panglima Gardika yang
berhasil lolos meninggalkan tempat itu. Untuk usaha keras itu mereka berdua
harus menebusnya dengan
luka-luka. Terhuyung-huyung keduanya berlari me-
ninggalkan lawan-lawannya. Panglima Soka setengah
menyeret Panglima Gardika yang menderita luka-luka
parah. Di belakang mereka mayat-mayat hidup ber-
bondong-bondong mengejar.
Rupanya, makhluk-makhluk menjijikkan itu tak
ingin melepaskan lawannya hidup-hidup.
"Aku sudah tak kuat lagi, Soka," ujar Panglima Gardika dengan napas terengah.
Panglima bermuka kuning ini sudah tak kuat lagi
mengayunkan kaki. Darah yang mengalir deras dari
luka-luka di sekujur tubuhnya membuat panglima ini
lemas dengan cepat. Apa lagi dalam kuku-kuku mayat-
mayat hidup memang mengandung racun.
"Kuatkan dirimu, Gardika! Aku akan membawamu
ke kerajaan. Tabib-tabib istana akan mengobati luka-
lukamu," sahut Panglima Soka seraya terus berlari dengan sebelah tangan mencekal
pergelangan tangan
Panglima Gardika.
Keadaan Panglima Soka sendiri tak terlalu meng-
gembirakan. Luka-luka yang dideritanya memang tak
separah Panglima Gardika, tapi racun yang menyeruak dari luka-luka akibat
cakaran mayat-mayat hidup
membuatnya lemas dan pusing. Keadaan membuat ke-
cepatan larinya berkurang jauh.
Sementara itu mayat-mayat hidup memiliki kecepa-
tan lari di bawah Panglima Soka. Namun makhluk-
makhluk itu bagaikan mempunyai tenaga yang tak
pernah habis. Mereka tetap segar. Maka, jarak yang
memisahkan kedua panglima itu dengan mayat-mayat
hidup semakin dekat. Baik Panglima Soka maupun
Panglima Gardika menyadari keadaan yang gawat itu.
Meskipun demikian, Panglima Soka tetap membawa
rekannya berlari.
"Tinggalkan aku, Soka. Kau kembalilah ke kera-
jaan. Jangan sia-siakan nyawamu untuk membawaku.
Aku sudah tak kuat lagi," beritahu Panglima Gardika lagi yang tak ingin rekannya
karena ingin menyelamatkan dirinya lalu ikut dikejar-kejar mayat hidup.
"Tidak!" bantah Panglima Soka berkeras dengan maksudnya. "Apa pun yang akan
terjadi tak akan kubiarkan kau sendiri menunggu maut. Kita akan kem-
bali ke kerajaan dengan selamat, Gardika. Berdua, kau dan aku!"
Panglima Gardika menoleh ke belakang. Dilihatnya
rombongan mayat-mayat hidup semakin dekat. Dia ta-
hu tak lama lagi mayat-mayat hidup itu akan berhasil menyusul. Dan bila itu
terjadi, dia dan Panglima Soka akan celaka. Panglima Gardika menggertakkan gigi.
Pedang yang masih tergenggam di tangan dibacokkan
ke arah tangannya yang dicekal Panglima Soka.
Panglima Soka sempat menangkap bunyi desir ge-
rakan pedang Panglima Gardika. Panglima tinggi besar ini terkejut. Kepalanya
cepat-cepat ditolehkan ke belakang
"Gardika...!" seru Panglima Soka kaget. Dia tak menyangka tindakan nekat
rekannya. Panglima Soka tak sempat mencegah perbuatan
Panglima Gardika. Dia hanya sempat melihat tangan
Panglima Gardika putus. Sehingga hanya potongan
tangan panglima bermuka kuning itu yang ada di
genggaman tangannya.
Panglima Soka yang cerdik segera bisa menerka
maksud Panglima Gardika. Dan, panglima ini tak mau
membiarkan maksud rekannya itu terlaksana. Segera
dihentikan larinya dan melesat untuk menangkap
Panglima Gardika.
Panglima Gardika lebih cepat bertindak. Tanpa
mempedulikan darah yang mengalir dari tangannya
yang buntung, dia menjejakkan kaki lalu melempar
tubuhnya ke belakang. Panglima bermuka kuning ini
malah terjun ke dalam kerumunan mayat-mayat hi-
dup! "Selamat tinggal, Soka! Sampaikan hormatku untuk Gusti Prabu...!" teriak
Panglima Gardika sebelum tubuhnya dihujani serangan cakar dan gigitan mayat-
mayat hidup yang berebut untuk menyambut kedatan-
gan tubuhnya. "Gardika...!" seru Panglima Soka sekeras-kerasnya melihat nasib yang menimpa
Panglima Gardika.
Panglima tinggi besar ini bergerak untuk menyela-
matkan rekannya. Tapi, langkahnya terhenti ketika
menangkap ucapan Panglima Gardika.
"Jangan sia-siakan usahaku ini, Soka...."
Tubuh Panglima Soka menggigil melihat kematian
rekannya tanpa dia mampu berbuat apa pun untuk
menolong. "Tak akan ku sia-siakan pengorbanan mu, Gardi-ka. Aku akan selamat Tapi kelak
akan kubalaskan
kematianmu..!" desis Panglima Soka penuh dendam.
Panglima tinggi besar ini kemudian membalikan
tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Mayat-
mayat hidup mengejarnya berbondong-bondong. Kali
ini makhluk-makhluk menjijikkan itu terus tertinggal.
Semakin lama jarak yang terentang semakin jauh. Te-
kad yang besar untuk selamat agar pengorbanan Pan-
glima Gardika tak sia-sia, menyebabkan Panglima So-
ka seperti mendapat tambahan tenaga baru.
Sementara itu, Kusumawati hampir jatuh dari ca-
bang pohon yang didudukinya. Seluruh tenaganya se-
perti lenyap. Ingin rasanya gadis ini menjerit-jerit mengingat nasib Angruna.
Kusumawati menggigit bibirnya keras-keras untuk
mengusir perasaan sedih dan haru yang menggelegak.
Dia tak ingin mengeluarkan bunyi sekalipun lirih. Gadis ini khawatir
keberadaannya di atas pohon akan diketahui rombongan mayat hidup. Siapa tahu
makhluk-

Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makhluk menjijikkan itu memiliki pendengaran yang
tajam. Kusumawati sebenarnya tak takut mati. Tapi mati
di tangan mayat-mayat hidup dia merasakan ngeri bu-
kan main. Karena itu sedapat mungkin gadis ini berusaha untuk tak bergerak.
Bahkan bernapas pun ham-
pir-hampir ditahan.
Kusumawati sudah merasa lega ketika melihat
mayat-mayat hidup berbondong-bondong mengejar
Panglima Soka. Panglima kerajaan itu berlari menuju kerajaannya, arah semula dia
dan rombongannya da-
tang. Arah itu menjauhi tempat di mana Kusumawati
berada. Dengan hati tegang Kusumawati mengarahkan
pandangan ke arah di mana tadi dia meninggalkan An-
gruna. Putri Sanggara ini berharap kakaknya selamat dan segera tiba di tempat
ini. Dia akan mengajak Angruna bersembunyi dulu di atas pohon, menunggu
sampai mayat-mayat hidup tak ada lagi.
Kusumawati mengarahkan pandangan lagi ke arah
mayat-mayat hidup yang mengejar Panglima Soka.
Hampir jantung gadis ini lepas dari dada. Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu
menuju kemari! Ku-
sumawati tak tahu apakah nasib yang menimpa Pan-
glima Soka. Berhasilkah panglima itu menyelamatkan
diri dari makhluk-makhluk yang haus darah ini.
Pertanyaan yang bergayut di benak Kusumawati itu
segera berganti dengan perasaan tegang, ketika melihat mayat-mayat hidup
mengedarkan pandangan ke
sekitar tempatnya berada. Tingkah makhluk-makhluk
menjijikkan itu seperti ada yang tengah dicarinya.
"Akukah yang dicari-cari mereka?" tanya Kusumawati dalam hati
Kekhawatiran Kusumawati semakin membesar me-
lihat makhluk-makhluk menjijikkan itu melangkah
mendekati pohon tempatnya berada. Kepala mayat-
mayat hidup itu ditolehkan ke sana kemari, Semakin
mayat-mayat hidup mendekat semakin tegang pera-
saan Kusumawati. Detak jantungnya berpacu lebih ce-
pat. Semakin besarlah dugaannya kalau dialah yang
dicari mayat-mayat hidup itu!
"Grrrhhh...!"
Tepat di sekitar pohon di mana Kusumawati ber-
sembunyi, mayat-mayat hidup menghentikan langkah.
Mereka mengelilingi pohon dengan kepala didongak-
kan. Geraman yang dikeluarkan terdengar bergemuruh
karena dilakukan secara bersamaan.
Wajah Kusumawati langsung berubah putih laksa-
Maut Dari Hutan Rangkong 2 Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Pendekar Latah 27
^