Tombak Panca Warna 2
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna Bagian 2
na kapur. Rasa ngeri yang mencekam hati membuat
seluruh kemampuannya buyar. Malah, kedua kaki dan
sekujur tubuh Kusumawati terasa lemas tak bertena-
ga. Sambil menggeram laksana binatang buas salah
satu mayat hidup mencakari batang pohon. Kusuma-
wati semakin panik. Tapi, gadis ini tak mampu berbuat apa pun. Kemudian dengan
menggeram sekali lagi
mayat hidup itu mengerahkan tenaga untuk mengang-
kat. Batang pohon berguncang keras. Kusumawati ter-
paksa berpegangan agar tak jatuh. Gadis ini tak berani melompat karena lemahnya
tubuhnya. Bahkan, ketika
pohon itu tercabut dari tanah dengan membawa serta
akar-akarnya! Untuk ke sekian kalinya mayat hidup itu mengge-
ram keras. Tangannya diayunkan. Seketika pohon di
mana Kusumawati berada meluncur cepat bak anak
panah lepas dari busur. Kusumawati sadar keadaan
amat berbahaya. Diusahakannya untuk menenangkan
hati. Ditariknya napas panjang berulang-ulang selagi pohon itu meluncur. Usaha
Kusumawati berhasil. Ketenangannya berhasil dipulihkan dan seiring dengan
itu tenaganya mulai timbul kembali.
Kusumawati melompat ketika pohon tempatnya be-
rada hampir menghantam pohon lainnya. Berbarengan
dengan menjejaknya kedua kaki gadis ini di tanah,
bunyi hiruk-pikuk terdengar ketika pohon yang me-
luncur berbenturan dengan pohon tersebut. Begitu
menjejak tanah Kusumawati langsung berlari. Seluruh kemampuannya dikerahkan.
Gadis ini ingin sejauh
mungkin menghindari mayat-mayat hidup yang men-
gerikan. Sempat dilihatnya rombongan makhluk-
makhluk menjijikkan itu mengejarnya.
Kusumawati berlari sejadi-jadinya. Tak dipeduli-
kannya medan yang ditempuh. Beberapa kali gadis ini hampir terhuyung karena
terkait semak-semak kering
yang menghampar. Tapi semua itu tak dipedulikan.
Kusumawati tetap berlari dengan kepala sering dito-
lehkan ke belakang untuk melihat keadaan para pen-
gejarnya. *** Seorang pemuda berambut putih keperakan me-
langkah hati-hati. Pandangannya ditujukan ke depan
mengintai melalui celah-celah kerimbunan semak.
Tampak seekor kijang tengah merumput. Binatang itu-
lah yang menarik perhatian pemuda berpakaian ungu
itu. Pemuda yang bukan lain dari Arya Buana alias
Dewa Arak ini menudingkan jari telunjuknya ke arah
semak-semak yang masih satu tombak di depannya.
Terlihat salah satu daun putus dari tangkainya dan
melayang tanpa bunyi ke arah Arya. Pemuda ini segera menangkapnya.
Arya lalu melangkah dua tindak. Daun dilontarkan
ke arah kijang yang masih sibuk dengan santapannya.
Daun itu meluncur tanpa bunyi sedikit pun, meski ke-cepatannya bak anak panah
lepas dari busur.
Sudah diperkirakan oleh Arya daun itu akan me-
nembus kepala sang kijang, kemudian hewan itu akan
menggelepar dan mati. Tapi.. beberapa kaki lagi daun akan mengenai sasarannya
terdengar bunyi berkeroso-kan nyaring. Si kijang terperanjat dan langsung
berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Daun yang
dilontarkan Arya menancap di pohon yang berada di
samping binatang itu.
Arya hanya bisa menahan kecewa melihat buruan-
nya berhasil lolos. Sekelebatan muncul keinginan untuk berlari mengejar binatang
itu. Tapi maksudnya diurungkan ketika melihat seorang gadis berpakaian
kuning berlari menuju tempat kijang tadi berada.
Arya jadi memperhatikan si gadis. Dia ingin tahu
penyebab gadis itu berlari-lari sampai menimbulkan
bunyi gaduh. Melihat caranya berlari, Arya tiba-tiba menjadi curiga. Semakin
dekat dengan Arya semakin
kelihatan jelas sosok gadis itu. Arya mengernyitkan dahi melihat wajah si gadis.
Wajah itu tampak sarat dengan kengerian.
Dari tempatnya berada Arya memang dan dengan
leluasa memperhatikan gadis itu tanpa perlu merasa
khawatir akan diketahui. Di samping kerimbunan se-
mak-semak melindungi tubuhnya, gadis itu sendiri
berlari tanpa mempedulikan kanan kirinya. Memang
sering dilihat Arya gadis itu menolehkan kepala. Tapi tidak ke kanan atau ke
kiri, melainkan ke belakang.
Sifat kependekaran Arya membuatnya memperha-
tikan terus kejadian aneh itu. Arya tahu tak akan
mungkin gadis itu kerap kali menoleh ke belakang kalau tak ada apa-apa di sana.
Kemungkinan besar gadis itu tengah dikejar-kejar. Demikian dugaan pemuda
berpakaian ungu ini.
*** 4 Gadis berpakaian kuning itu telah melewati depan
Arya dan kini berada di sebelah kanannya. Arya jadi menujukan pandangannya ke
sebelah kiri. Namun di
sana tidak terlihat apa pun.
"Aaawww...!"
Jerit keterkejutan si gadis membuat Arya buru-
buru mengalihkan perhatian. Sepasang mata pemuda
ini membelalak melihat penyebab keluarnya jeritan da-ri mulut gadis itu. Dari
dalam tanah, sekitar dua tombak di depan gadis berpakaian kuning, menyembul
tangan-tangan kurus kering berkuku runcing kehita-
man. Sementara gadis berpakaian kuning itu kelihatan ketakutan bukan main.
Larinya dihentikan dan segera dibelokkan arahnya ke kanan menerobos ke rimbunan
semak-semak "Aaawww...!"
Lagi-lagi gadis itu menjerit setelah menerobos ke-
rimbunan semak-semak melihat adanya sesosok tubuh
di sana. Larinya langsung dihentikan. Tapi ketika melihat perbedaan pada sosok-
sosok di balik semak-
semak ini, kengeriannya mendadak sirna. Bahkan ada
kilatan harapan di wajah dan sorot matanya.
Sosok yang bukan lain dari Arya sempat kaget dan
melangkah mundur ketika mendapati gadis itu terpe-
kik ketakutan melihatnya. Untuk menghindari kesa-
lahpahaman, Arya buru-buru menjulurkan kedua tan-
gannya. "Tenang, Nona. Aku bukan orang jahat, percaya-
lah," ucap Arya sungguh-sungguh agar si gadis percaya.
Hanya sampai di situ Arya berbicara, karena telah
dilihatnya kilatan harapan di mata dan wajah si gadis.
Sorot ketakutan terusir dari wajahnya. Arya tak me-
nyalahkan kalau gadis itu kaget. Dia tengah ketakutan dan heran bukan main
mendapati Arya berada di balik
semak-semak. "Apakah kau Dewa Arak...?" tanya gadis itu tanpa basa-basi lagi. Kilatan harapan
semakin membesar di wajah dan sorot matanya.
"Benar, Nona. Akulah yang dijuluki Dewa Arak,"
jawab Arya. "Syukurlah...," desah si gadis gembira. "Aku memang tengah mencari-carimu, Dewa
Arak." "Kurasa mengenai hal itu dapat diurus belakangan, Nona. Yang penting sekarang
mengapa kau kelihatan
demikian ketakutan" Apakah kau dikejar-kejar oleh
makhluk-makhluk itu?" tanya Arya sambil menunjuk mayat-mayat hidup yang tengah
bergerak ke arah dia
dan gadis berpakaian kuning berada.
Si gadis menoleh ke arah yang ditunjuk Arya.
Tampak olehnya mayat-mayat hidup yang semula
baru muncul tangan-tangannya telah berbondong-
bondong menuju tempatnya berada. Gerakan mak-
hluk-makhluk itu kaku dan lambat
"Memang, yang sejenis dengan mereka tengah
mengejar-ngejarku," jawab gadis itu. "Tapi bukan mereka. Nah, itu makhluk-
makhluk yang mengejarku!"
Arya menoleh ke arah kiri, tempat di mana tadi
pandangannya sering ditujukan. Tanpa sadar pemuda
ini menggeleng-gelengkan kepala.
"Banyak juga jumlah makhluk-makhluk itu," desah Arya ketika melihat rombongan
mayat hidup. Mayat-mayat hidup yang baru muncul dari dalam
tanah memang tak terlalu banyak. Hanya belasan jum-
lahnya. "Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh, Dewa Arak!" beritahu si gadis
tanpa diminta. "Percuma melawan mereka. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri
rombongan prajurit kerajaan mereka bantai."
Kemudian secara sangat singkat, karena khawatir
mayat-mayat hidup lebih dulu mencapai tempat mere-
ka berada, gadis itu menceritakan hal-hal yang baru saja dialaminya.
"Entah bagaimana nasib kakakku, Dewa Arak. Aku khawatir dia menjadi korban
makhluk-makhluk jahanam itu!" ujar si gadis menutup ceritanya.
Gadis ini memang bukan lain Kusumawati. Nasib
baik masih berpihak padanya. Dewa Arak berada di
hutan yang sama dengannya dan kebetulan melihat-
nya. "Mumpung belum terlambat, kukira lebih baik kita tinggalkan mereka, Dewa
Arak. Mereka tak bisa dibunuh!" beritahu Kusumawati lagi.
"Aku tak bisa membiarkan hal itu, Wati," kilah Arya sambil menggelengkan kepala.
Pemuda ini tak ragu-ragu lagi untuk menyapa Kusumawati dengan na-
manya. Gadis itu tadi memang telah memperkenalkan
namanya. "Mengapa Dewa Arak?"
"Aku khawatir makhluk-makhluk ini akan menye-
bar ke tempat lain dan menimbulkan korban. Akan
kucoba untuk mengirim mereka ke tempatnya semula."
"Tapi...."
"Mudah-mudahan saja caraku berhasil, Wati," sela Arya buru-buru. "Menyingkirlah
sedikit agar makhluk-makhluk itu tak menyerangmu."
Tanpa banyak bantahan lagi Kusumawati melang-
kah mundur. Meski tahu mayat-mayat itu tak bisa di-
bunuh, Kusumawati agak berbesar hati juga. Julukan
Dewa Arak telah sering didengarnya. Tokoh muda itu
konon memiliki kepandaian tinggi. Siapa tahu Dewa
Arak mempunyai ilmu yang bisa membuat mayat-
mayat hidup itu mati"
"Ggrrrhhh...!"
Diawali geraman keras yang memekakkan telinga
dan menciutkan hati, dua makhluk menjijikkan itu
menerkam Dewa Arak.
Arya mendengus ketika mencium bau bangkai me-
nyengat hidungnya. Pemuda itu tak mau mencium
yang lebih bau lagi. Sebelum tubuh-tubuh mayat hi-
dup semakin mendekat, disambutnya dengan pukulan
jarak jauh yang dihentakkan dua kali.
Wusss! Angin menderu keras keluar dari kepalan tangan
Dewa Arak. Seperti biasanya, mayat-mayat hidup tak
mempedulikan serangan itu.
Desss, desss! Tubuh mayat-mayat hidup melayang jauh ke bela-
kang bagaikan daun kering dihembus angin keras ke-
tika terhantam pukulan jarak jauh Arya. Dan tepat seperti yang dikatakan
Kusumawati, begitu luncuran tubuh itu terhenti makhluk-makhluk dari dalam bumi
ini kembali merangsek maju. Dewa Arak tak kaget me-
lihat kenyataan ini, kendati angin pukulannya yang
mengenai dada mayat-mayat hidup itu cukup untuk
menghancurleburkan batu-batu sebesar gajah.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap bersikap te-
nang, Kusumawati mulai merasa gelisah. Dilihatnya
sendiri Dewa Arak pun tak mampu membuat mayat-
mayat hidup mati meski dengan pukulan yang demi-
kian dahsyat. Sungguh pun demikian putri Sanggara
ini tak berkata apa pun. Dia hanya merasa ngeri ketika melihat Dewa Arak
diterkam oleh beberapa mayat hidup sekaligus.
Dewa Arak sendiri tak bergeming dari tempatnya.
Pemuda ini mengibaskan kedua tangannya. Angin ke-
ras yang berhembus membuat mayat-mayat hidup
berpentalan tak tentu arah. Kejadian yang sama berulang pada mayat-mayat hidup
lainnya. Mereka berpen-
talan ke sana kemari sebelum berhasil menyentuh ku-
lit Dewa Arak. Tapi semua itu tak membuat mayat-mayat hidup
kapok. Serangan-serangan terus dilakukan. Dan pan-
dangan yang terlihat bagaikan semut-semut menyerbu
api, rontok sebelum berhasil mendekat. Setelah beberapa gebrakan bertarung
seperti itu, Dewa Arak meloloskan sabuknya. Dengan senjata di tangan pemuda
berambut putih keperakan itu menghadapi pengeroyo-
kan lawan-lawannya.
Kusumawati adalah gadis yang sangat mahir mem-
pergunakan sabuk. Dia menggunakan sabuk sebagai
senjata andalannya. Tapi ketika melihat permainan
sabuk Dewa Arak, gadis ini baru merasa kalau per-
mainan sabuknya belum apa-apa.
Di tangan Dewa Arak sabuk itu justru lebih berba-
haya dari pada senjata tajam lainnya. Terkadang Dewa Arak membuat sabuk menegang
kaku laksana pedang
atau golok. Tapi, tak jarang meliuk-liuk laksana ular sehingga sukar diketahui
arah yang dituju. Sering kali pula sabuk itu dipergunakan seperti cambuk,
melecut-lecut memperdengarkan bunyi nyaring.
Ctarrr, ctarrr!
Lecutan ujung sabuk Dewa Arak menghantam ke-
pala dua mayat hidup yang sial. Terdengar bunyi berderak keras ketika kepala
makhluk-makhluk itu han-
cur. Kusumawati tak kuasa untuk tidak berteriak.
Mayat-mayat hidup itu ambruk ke tanah dan tak
bangkit lagi. Tindakan Dewa Arak benar-benar mengiriskan. Ke
mana pun ujung sabuknya meluncur selalu mendarat
di kepala lawannya. Bunyi berderak keras terdengar
susul-menyusul. Tubuh-tubuh ambruk ke tanah dan
tak bangkit lagi. Hanya dalam waktu sebentar saja lebih dari separo mayat hidup
tergolek di tanah.
Kusumawati tak henti-hentinya bersorak gembira
melihat keberhasilan Dewa Arak membinasakan la-
wan-lawannya. Tak sedikit pun menyeruak perasaan
miris melihat kepala-kepala mayat hidup yang hancur.
Dua lecutan terakhir mengakhiri pertarungan itu.
Dewa Arak lalu menggulung kembali sabuknya dan
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikatkannya di pinggang. Sesaat pemuda ini mena-
tap mayat-mayat yang bergeletakan di tanah sebelum
membalikkan tubuh menghadap Kusumawati. Gadis
itu tampak memperhatikan Arya dengan sorot mata
kagum. Kepandaian Dewa Arak berada jauh di atas-
nya. Sempat dilihatnya ketika Arya menggulung sabuk, tak ada noda sedikit pun
pada kain berwarna ungu itu.
Padahal, puluhan kepala telah dihancurkan dengan
senjata lemas tersebut
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Kusumawati tak menyembunyikan perasaan kagumnya.
"Dari mana kau tahu kalau kepala mereka merupakan kelemahannya?"
"Aku pernah menghadapi makhluk-makhluk seper-
ti ini sebelumnya," ujar Arya kalem. Sekarang mari kita ke tempat kakakmu
berada, Wati. Barangkali saja belum terlambat untuk menolongnya," ajak Arya
dengan separo mengingatkan.
"Ah...! Mengapa aku bisa lupa?" sambut Kusumawati. Dia baru teringat kembali
dengan keadaan ka-
kaknya. Arya dan Kusumawati pun melesat meninggalkan
tempat itu. Di tengah perjalanan Arya mendapati pa-
sukan kerajaan yang menjadi korban amukan mayat-
mayat hidup. Karena sepasang muda-mudi itu mem-
pergunakan ilmu lari cepat, tak lama kemudian areal
pemakaman yang dimaksud Kusumawati telah terlihat
"Mengapa sepi, Dewa Arak?" keluh Kusumawati tanpa mampu menyembunyikan rasa
khawatirnya. Wajah dan sorot matanya menyiratkan kecemasan
yang menggelegak.
Arya tak memberikan tanggapan. Seperti juga Ku-
sumawati, pemuda ini mengkhawatirkan kedatangan
mereka terlambat. Areal pemakaman tampak lengang.
Kendati demikian, Arya dan Kusumawati tetap melan-
jutkan lari mereka untuk menuju ke tempat itu.
Apa yang mereka lihat dari kejauhan ternyata tak
berbeda dengan setelah berada di areal pemakaman.
Suasana tampak sunyi. Tidak terlihat sepotong mak-
hluk hidup pun di sana. Tempat itu porak poranda seperti telah terjadi
pertarungan. Kusumawati berdiri terpaku bagai patung. Wajah
gadis ini pucat bukan main. Sinar kesedihan yang
sangat tampak jelas pada sorot matanya yang seperti lampu kehabisan minyak.
"Tenangkan hatimu, Wati," hibur Arya sebisa mungkin. Suara pemuda ini penuh
perasaan prihatin.
"Mudah-mudahan saja kakakmu selamat. Bukankah
tak ada mayatnya di sini?"
Kusumawati tak segera memberikan tanggapan.
Gadis ini malah menarik napas berulang-ulang. Bebe-
rapa kali hal itu dilakukan hingga ketenangannya pun timbul. Seiring dengan itu
Kusumawati dapat merasakan kebenaran ucapan Dewa Arak. Benar. Bukankah
korban-korban mayat-mayat hidup dibiarkan begitu
saja" Dan, ketidakadaan mayat Angruna di sini bukan tak mungkin karena pemuda
itu berhasil meloloskan
diri! "Tapi mengapa Kak Angruna tak segera menyusul?"
bantah Kusumawati mulai khawatir lagi.
"Barangkali saja karena jalan menuju tempatmu
dipenuhi makhluk-makhluk itu, Wati," jawab Arya se-kenanya. "Atau mungkin karena
usahanya untuk menyelamatkan diri, Angruna tak memperhitungkan arah
lagi. Yang penting dia bisa selamat dari ancaman makhluk-makhluk itu."
Kusumawati terdiam. Hiburan yang diberikan Arya
berhasil menenangkan hatinya yang resah.
"Menurut ceritamu, aku atau kakek bercelana pendek yang akan mampu menyingkap
rahasia aneh di
langit," ujar Arya sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Begitulah menurut penuturan Kakek Setyaki, De-wa Arak"
"Kau tahu di mana Kakek Setyaki tinggal?" tanya Arya lebih jauh. "Kita akan coba
untuk menemuinya."
Kusumawati menggeleng. "Kakek Setyaki tak mem-
beritahukan tempat tinggalnya. Tapi beliau memberi-
kan suatu tanda yang membuatnya akan mengetahui
kalau aku atau Kak Angruna bertemu dengan orang
yang kami cari. Setelah itu, dengan mempergunakan
ilmunya akan diberitahukan ke mana kami harus me-
nemuinya."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang
apakah kau sudah mendapat pemberitahuan untuk
menuju ke mana, Wati?"
"Belum, Dewa Arak," jawab Kusumawati.
Arya menghela napas berat. Pemuda ini kelihatan
tidak tenang. Kusumawati jadi merasa heran melihat-
nya. "Ada hal yang menyusahkan pikiranmu, Dewa Arak?" tanya Kusumawati hati-
hati, takut dianggap bertindak lancang.
"Sebenarnya sih tidak, Wati. Aku hanya merasa
khawatir Kakek Setyaki tak akan pernah bisa meng-
hubungi mu."
"Aku belum mengerti maksudmu, Dewa Arak?" Kusumawati tampak mengernyitkan
kuning. "Bukankah kau tahu semua usaha Kakek Setyaki
untuk menyingkap tanda aneh di langit selalu berakhir dengan kegagalan?" Arya
malah balas mengajukan pertanyaan. Ketika dilihatnya Kusumawati mengangguk,
perkataannya segera dilanjutkan. "Itu menunjukkan kalau seseorang atau sesuatu
yang berada di balik peristiwa aneh ini mengetahui tindak tanduknya. Semua usaha
Kakek Setyaki akan dihalanginya tak terkecuali dengan pemberitahuan terhadap
dirimu, Wati. Bahkan
aku khawatir Kakek Setyaki sudah tak ada lagi. Tokoh yang berada di balik semua
kejadian ini tahu pasti Kakek Setyaki merupakan bahaya besar yang harus dile-
nyapkan dari muka bumi."
Kusumawati kelihatan terkejut mendengar penjela-
san Arya. Hal seperti itu tak pernah masuk dalam pikirannya.
"Kalau demikian halnya...," ucap Kusumawati kemudian. "Aku dan Kak Angruna pun
tak luput dari in-caran bahaya itu?"
"Bisa jadi, Wati," jawab Arya sejujurnya. "Asal kau tahu saja, mayat-mayat itu
tak akan mampu hidup lagi tanpa adanya campur tangan seseorang atau sesuatu.
Bukan tak mungkin penyerangan mayat-mayat hidup
terhadap kau dan kakakmu merupakan pekerjaannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Dewa
Arak?" tanya Kusumawati, bingung bercampur ngeri mengingat kemungkinan mayat-
mayat hidup akan
menyerangnya kembali.
"Bukan hanya kau saja, Wati, tapi juga aku. Kita berdua akan bekerja sama untuk
menyingkapkan masalah ini. Untuk langkah pertama, kita jumpai dulu
ayahmu. Beliau sedikit banyak bisa memperkirakan
tempat tinggal Kakek Setyaki. Tentu saja sambil kita selidiki ke mana Angruna
pergi," usul Arya setelah memperbaiki ucapan Kusumawati.
*** Malam ini tampak begitu cerah. Langit bersih tanpa
sepotong awan pun menggantung di sana. Binatang-
binatang leluasa memancarkan sinar lembutnya ke
persada. Bulan purnama berwarna kuning keemasan
semakin menambah indahnya suasana malam.
Dalam suasana seperti itu tampak sosok-sosok tu-
buh tengah bergerak. Mereka memiliki gerakan cepat
kendati tak ringan menjejak tanah. Bunyi langkah sosok-sosok itu berdebam-debam
menghantam tanah tak
ubahnya segerombolan gajah liar yang tengah berlari.
Mereka memang tak patut disebut manusia. Sebagian
besar tak memiliki daging yang utuh melekat di tubuh.
Bau bangkai pun menyeruak dari tubuh-tubuh itu.
Sosok-sosok ini adalah mayat-mayat hidup!
Gerombolan mayat hidup berlari dengan pasti me-
nuju kelompok bangunan yang dikelilingi pagar tem-
bok tinggi menjulang. Istana kerajaan! Sinar bulan
yang memancar membuat rombongan mayat hidup se-
gera terlihat oleh prajurit-prajurit kerajaan yang berjaga-jaga di atas tembok
istana. "Makhluk-makhluk celaka yang dikatakan Pangli-
ma Soka menuju kemari. Sepertinya hendak menye-
rang istana. Gila!" teriak prajurit bertubuh gemuk dengan suara menyiratkan
kengerian. "Kita akan habisi mereka...!" sahut prajurit yang berkumis mirip misai tikus.
Setelah berkata demikian, prajurit itu meniup te-
rompet dari tanduk menjangan. Bunyi khas yang men-
jadi pertanda adanya bahaya pun terdengar. Nyaring, menguak kesunyian malam.
Sekejap kemudian suasana kalut melingkupi se isi
istana. Puluhan prajurit berlarian dari beberapa bangunan. Gerakan mereka
tangkas dan cepat. Dalam
waktu sebentar saja prajurit-prajurit itu telah berada di atas tembok istana.
"Serang...!" Puluhan anak panah berapi melesat da-ri busurnya ketika rombongan mayat hidup telah se-
makin dekat. Suasana mendadak menjadi terang ben-
derang bak siang hari.
Namun seperti biasanya, mayat-mayat hidup itu
tak mempedulikan akan adanya serangan. Makhluk-
makhluk menyeramkan ini terus berlari. Maka tak pe-
lak lagi panah-panah berapi menembus tubuh mereka.
Sebagian besar mayat-mayat hidup yang terkena se-
rangan dengan tubuhnya terbakar tetap merangsek
maju bersama rekan-rekannya. Kobaran api di tubuh
mereka sama sekali tak dirasakan.
"Gila!"
"Luar biasa!"
"Ajaib!"
Seruan-seruan bernada kaget dan ngeri keluar dari
mulut para prajurit kerajaan. Kendati demikian mere-ka tak mempunyai pilihan
lain kecuali terus melontarkan anak-anak panah itu. Tapi hasil yang didapat tak
berbeda dengan sebelumnya. Gelombang penyerbuan
mayat-mayat hidup tak bisa dicegah. Seluruh prajurit menjadi panik.
"Panglima Soka benar. Makhluk-makhluk jahanam
itu tak bisa dibunuh," celetuk salah seorang prajurit dengan nada putus asa.
"Mayat-mayat gila! Apakah dunia telah terbalik se-
hingga mereka bangkit dari kubur dan menyerbu kera-
jaan" Apakah makhluk-makhluk itu pun ingin mendi-
rikan kerajaan mayat hidup?" gerutu seorang prajurit lain.
Dalam keadaan biasa ucapan prajurit itu akan
memancing rasa lucu di hati yang lain. Tapi karena
saat itu ketegangan menyelimuti, tak ada seorang pun yang tersenyum, apalagi
tertawa! Para prajurit terpaksa membuang busur-busur dan
menggantinya dengan tombak ketika jarak lawan telah semakin dekat. Bahkan
beberapa mayat hidup mulai
berusaha memanjat dinding istana. Sebagian lagi me-
nuju pintu gerbang.
Brakkk! Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati
tebal dan berukir hancur berantakan dilabrak bebera-pa mayat hidup. Hancurnya
pintu membuat mayat-
mayat hidup itu meluruk masuk ke dalam istana. Ser-
buan ini segera disambut oleh ratusan prajurit dengan pedang dan tameng.
Pertarungan besar-besaran pun
terjadi. Tak hanya di bawah, tapi juga di atas tembok istana.
Korban di pihak pasukan kerajaan pun berjatuhan.
Mayat-mayat hidup itu terlalu tangguh untuk mereka
hadapi. Jeritan kematian terdengar silih berganti diikuti dengan robohnya tubuh
mereka ke tanah. Darah
membanjiri halaman istana!
Pasukan kerajaan berusaha keras untuk bertahan.
Tapi ketangguhan lawan-lawan yang mereka hadapi
membuatnya tak berdaya. Betapapun keras perlawa-
nan yang mereka berikan namun terus terdesak mun-
dur ke arah bangunan istana.
Di antara pasukan kerajaan terdapat Panglima So-
ka. Panglima yang telah sembuh dari luka-lukanya ini
tak kuasa pula untuk diam di tempatnya, Panglima
tinggi besar ini ikut bergerak mundur. Panglima Soka menggertakkan gigi. Dia
kesal dan geram. "Haruskah kerajaan jatuh ke tangan mayat-mayat hidup itu?"
tanya sang panglima dalam hati.
Kekhawatiran Panglima Soka dan semua pasukan
kerajaan tampaknya akan terjadi. Mereka terus terdesak mundur. Namun sebuah
keajaiban terjadi! Setelah rombongan mayat-mayat hidup masuk lima tombak
dari pintu gerbang istana, makhluk-makhluk itu roboh ke tanah dan tak bergerak
lagi! Kejadian itu menggembirakan pihak pasukan kera-
jaan, meski mereka tak mengerti apa yang telah terja-di. Yang mereka ketahui,
setiap kali mayat-mayat hidup melewati jarak lima tombak dari daun pintu ger-
bang mereka lalu roboh dan mati! Panglima Soka sege-ra memerintahkan pasukannya
untuk berada di jarak
yang aman. Sorot-sorot kegembiraan dan kelegaan
tampak memancar di wajah pasukan kerajaan
Sisa rombongan mayat hidup rupanya merasa jeri.
Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu bergerak
mundur dan meninggalkan istana. Kegeraman rupanya
masih bersarang di hati makhluk-makhluk itu. Sambil meninggalkan istana mereka
mengeluarkan geraman-geraman kemarahan.
*** 5 "Hhh...!"
Prabu Rancamala menghela napas berat. Dahi raja
yang telah berusia hampir enam puluh lima tahun ini
berkernyit. Sepasang matanya kemudian beredar men-
gawasi sekelilingnya. Satu persatu dirayapinya wajah-wajah orang yang duduk
bersila di depannya.
"Tombak Panca Warna...," gumam Prabu Rancamala pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang kakek berjenggot panjang dan berpakaian
putih. "Benda itulah yang membuat makhluk-makhluk jahanam itu tak
mampu mendekati bangunan istana. Jawaban ini
hamba dapatkan melalui semadi hamba, Gusti Prabu."
"Aku memang pernah mendengar kabar tentang
benda pusaka itu di kerajaan ini, Eyang," ujar Prabu Rancamala lagi. "Tapi aku
sendiri belum pernah melihatnya. Jadi, ku sangsikan kebenaran berita itu."
"Menurut wangsit yang hamba terima, Gusti Pra-
bu," timpal Eyang Santer, ahli kebatinan kerajaan,
"Tombak Panca Warna dihadiahkan seorang ulama penyebar agama pada buyut Gusti
Prabu. Berkat penga-
ruh Tombak Panca Warna buyut Gusti Prabu tidak
menghadapi gangguan apa pun dari makhluk-makhluk
halus yang dulu mendiami wilayah kerajaan ini, yang di waktu zaman buyut Gusti
Prabu masih berupa hutan liar."
"Ayahanda pun pernah menceritakan hal itu,
Eyang. Tapi betapa pun kucari tak kutemukan pusaka
itu di sini. Apakah Eyang mampu menemukannya?"
tanya Prabu Rancamala penuh harap.
"Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Sejauh ini ham-
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ba belum berhasil mengetahui tempat Tombak Panca
Warna berada," jawab Eyang Santer seraya memberi hormat
Selebar wajah Prabu Rancamala menyiratkan ke-
kecewaan besar mendengar jawaban itu.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bi-
cara?" tanya Panglima Soka.
"Silakan, Panglima."
Panglima Soka kemudian mengalihkan perhatian
pada Eyang Santer.
"Aku menjumpai hal aneh, Eyang," ujar Panglima Soka memulai pembicaraannya. "Ini
sehubungan dengan mayat-mayat hidup itu. Mengapa mayat-mayat hi-
dup roboh pada jarak tertentu" Apakah Tombak Panca
Warna menyebarkan hawa yang dapat melumpuhkan
mayat-mayat hidup pada jarak tertentu" Misalnya..., tiga tombak, Eyang" Dengan
demikian kita bisa mencarinya dalam jarak sekian dari batas di mana mayat-mayat
itu roboh."
"Tombak Panca Warna tidak mempunyai pengaruh
demikian, Panglima," jawab Eyang Santer. "Tewasnya mayat-mayat hidup itu menurut
wangsit yang kudapat
karena pada tempat yang mereka lalui, jarak lima tombak dari pintu gerbang,
telah dikucuri air berkhasiat yang diberikan ulama ratusan tahun lalu. Dan
sebenarnya tempat di mana air itu dikucurkan dulu adalah dinding istana
kerajaan. Karena istana diperluas, tempat yang dikucuri air jadi berada di dalam
dinding istana. Air itu pun dimaksudkan untuk mencegah ma-
suknya makhluk-makhluk gaib yang bermaksud jahat
ke dalam lingkungan istana."
Eyang Santer lalu mengalihkan perhatian pada
Prabu Rancamala.
"Dan menurut pengetahuan hamba Gusti Prabu,
air itu berasal dari rendaman Tombak Panca Warna.
Tapi apabila Tombak Panca Warna lenyap dari ling-
kungan istana, air itu kehilangan kegunaannya. Pen-
garuh air bisa memudar oleh waktu. Keberadaan Tom-
bak Panca Warna yang membuat pengaruh air tetap
ada. Karena itu Gusti Prabu, hamba yakin sekali Tom-
bak Panca Warna masih berada di sini."
Prabu Rancamala mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti.
"Baiklah kalau demikian, Eyang. Panglima Soka!"
"Hamba, Gusti Prabu," jawab Panglima Soka cepat sambil memberi hormat.
"Kau perintahkan prajurit untuk mencari di mana adanya Tombak Panca Warna itu!"
titah sang raja yang berkulit wajah kemerahan itu dengan penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu. Titah Gusti Prabu akan, segera hamba laksanakan!"
"Bisa kau beritahukan ciri-ciri Tombak Panca Warna itu, Eyang?" tanya Prabu
Rancamala. "Ampunkan hamba, Gusti Prabu," Eyang Santer memberi hormat "Hamba belum
mengetahuinya. Akan hamba usahakan untuk mengetahuinya, Gusti Prabu.
Hamba akan bersemadi lagi untuk mendapatkan
wangsit." Prabu Rancamala terdengar menghela napas berat
mendengar jawaban ahli kebatinan istananya. Disan-
darkannya punggungnya ke singgasana yang mewah
dan indah. *** Bangunan itu besar dan megah. Dinding batu se-
tinggi satu tombak mengelilingi bangunan yang memi-
liki halaman luas. Bunga berwarna-warni menghiasi
sebagian besar halaman. Jika melihat tempat ini tak seorang pun akan menyangka
pemiliknya seorang datuk kaum sesat berhati kejam dan berwatak bengis. Iblis
Gelang Raksasa, julukannya.
Saat itu Iblis Gelang Raksasa, seorang kakek tinggi besar berpakaian indah dan
berkulit putih bersih, ten-
gah duduk di sebuah bangku di halaman samping
yang dipenuhi bunga-bungaan aneka warna. Iblis Ge-
lang Raksasa menarik napas dan mengeluarkan secara
berirama, sebagaimana layaknya orang yang tengah
bersemadi. Dan memang sesungguhnya demikian, ka-
kek yang telah berusia enam puluh lima tahun itu tengah bersemadi. Dan tempatnya
selalu di halaman
samping yang tertutup.
Setelah beberapa lama Iblis Gelang Raksasa men-
gatur jalan napasnya, tampaklah perubahan pada wa-
jah yang putih bersih itu. Wajah itu mulai memerah
dan akhirnya hitam kelam laksana arang. Kemudian
perlahan-lahan warna hitam memudar menjadi putih
seperti sediakala. Perubahan warna itu tak berhenti hanya sampai di sini. Wajah
Iblis Gelang Raksasa semakin putih pucat hingga akhirnya berwarna hijau!
Tokoh persilatan besar akan dapat mengetahui peru-
bahan seperti ini hanya dapat terjadi akibat penguasaan tenaga dalam berhawa
dingin dan panas yang
sampai ke puncaknya!
Wajah Iblis Gelang Raksasa yang telah berubah hi-
jau kemudian kembali memudar. Namun sebelum
sampai seperti sediakala, tampak kerutan di sepasang alis kakek ini, seakan-akan
ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kendati demikian, latihannya tetap
diteruskan hingga warna wajahnya putih kembali seperti sediakala. Iblis Gelang
Raksasa membuka sepa-
sang matanya. Peluh yang membasahi sedikit dahinya
dihapus dengan sapu tangan indah.
"Kunyuk-kunyuk itu rupanya sudah kepingin mati lebih cepat!" desis Iblis Gelang
Raksasa dengan sepasang mata memancarkan hawa pembunuhan. "Berani-beraninya
mereka mengganggu latihanku dengan
bunyi-bunyi gaduh."
Iblis Gelang Raksasa lalu bangkit dari semadinya
dan melangkah lebar-lebar menuju pintu halaman
samping yang tertutup dan diselot. Tangan kakek ini diulapkan seperti orang
mengusir lalat. Selot di pintu pun bergerak membuka bagai digerakkan oleh tangan
tak nampak. Padahal jarak kakek itu dengan daun pin-tu masih dua tombak.
Iblis Gelang Raksasa terus melangkah seakan hen-
dak menabrak daun pintu yang belum membuka. Tapi
setengah tombak sebelum sampai, daun pintu itu telah bergerak membuka sendiri.
Dengan langkah-langkah
lebar dan wajah bengis Iblis Gelang Raksasa terus me-langkahkan kakinya menuju
keluar. Pendengarannya
yang tajam mengisyaratkan kalau bunyi gaduh itu be-
rasal dari halaman depan.
Puluhan langkah berjalan baru Iblis Gelang Raksa-
sa sampai diambang pintu yang berbatasan dengan te-
ras. Dari tempat itu tampak pemandangan yang mem-
buat kemarahannya yang berkobar berganti dengan
keterkejutan! Di halaman depan belasan anak buah Iblis Gelang Raksasa tengah
terlibat pertarungan menghadapi seorang lelaki jangkung. Sepuluh anak buah
datuk kaum sesat ini dengan senjata di tangan, tapi mereka terdesak oleh
lawannya yang tak bersenjata.
Lelaki jangkung itu justru tak bergeming dari tem-
patnya. Hanya kedua tangannya yang digerakkan ke
sana kemari menangkis serangan-serangan yang da-
tang. Akibat tangkisan-tangkisan itu tubuh para pengeroyoknya berpentalan dan
jatuh terguling-guling.
Lelaki jangkung tampak tak terpengaruh sama se-
kali akan tindakan yang dilakukannya. Tak terlihat
tanda-tanda dia merasa kesakitan akibat benturan
tangannya yang telanjang dengan senjata-senjata la-
wan. Malah, beberapa kali senjata lawan dibiarkan
mengenai sekujur tubuhnya. Akibatnya, senjata-
senjata itu berbalik dan berpentalan seperti mengenai gumpalan karet kenyal.
"Minggir semua, kecoak-kecoak tak berguna!" seru Iblis Gelang Raksasa seraya
menghampiri kancah pertarungan.
Tanpa menunggu perintah dua kali anak-anak
buah Iblis Gelang Raksasa berbondong-bondong me-
ninggalkan kancah pertarungan. Yang tinggal hanya
lelaki jangkung berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Lelaki jangkung itu menatap tak berkedip pada Ib-
lis Gelang Raksasa. Si iblis sendiri tak mau kalah gertak. Sambil mengayunkan
kaki tatapannya ditujukan
pada lelaki jangkung. Dua pasang mata yang sama-
sama tajam saling bertemu tanpa ada yang mau men-
galah. "Selamat berjumpa lagi, Iblis Gelang Raksasa," ujar lelaki jangkung ketika Iblis
Gelang Raksasa telah
menghentikan langkahnya. Lelaki jangkung dan Iblis
Gelang Raksasa berdiri berhadapan dalam jarak tiga
tombak. Iblis Gelang Raksasa terdengar mendengus marah.
Ucapan lelaki jangkung tidak dipedulikannya sama sekali. "Apa yang mendorongmu
datang kemari, Antaboga"!" tanya Iblis Gelang Raksasa tak ramah. "Meminta ku
untuk membantu gerakan pemberontakan mu la-gi"!" Lelaki jangkung yang ternyata
Pangeran Antaboga langsung mengelam wajahnya. Sorot sepasang matanya seperti
memancarkan api. Namun hanya seben-
tar, kemudian kembali seperti biasa. Tenang dan dingin.
"Kau keliru besar kalau menduga demikian, Iblis Gelang!" dengus Pangeran
Antaboga. "Aku tahu tak ada gunanya mengajak orang yang takut. Kedatanganku
kemari hanya untuk menengok kawan lama."
"Tak usah berbasa-basi denganku, Antaboga! Ce-
patlah menyingkir dari tempat ini sebelum kesabaran-ku habis. Aku tak butuh
pangkat atau kedudukan ka-
rena keadaan sekarang sudah enak. Kau boleh menge-
jar keinginanmu, tapi jangan harap aku akan bersedia membantu!" tandas Iblis
Gelang Raksasa.
"Aku malah menunggu habisnya kesabaran mu, Ib-
lis Gelang!" sahut Pangeran Antaboga dengan berani.
"Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan terha-dapku?"
"Kuperingatkan sekali lagi, Antaboga. Pergi dari si-ni! Ini peringatan terakhir.
Kau bukan seorang pangeran lagi. Raja Rancamala malah telah membuang mu
ke tempat terkutuk. Kendati berhasilnya kau lolos dari tempat pembuangan itu
merupakan teka-teki, namun
tak menjadikan ku gentar. Kalau aku masih mempedu-
likan kedudukan dan pangkat, kutangkap kau dan ku-
serahkan pada kerajaan. Tapi aku tak ingin melaku-
kan hal itu. Pergilah, Antaboga!"
"Sesumbar mu besar sekali, Iblis Gelang!" sambut Pangeran Antaboga dengan suara
keras. "Dua tahun yang lalu mungkin kau bisa berkata demikian. Tapi
sekarang tak sepotong makhluk pun boleh menghina
Pangeran Antaboga. Majulah kau, Iblis! Ingin kulihat sampai di mana
kemampuanmu!"
"Keparat! kau mencari penyakit sendiri, Pangeran Pemberontak! Di istana kau
boleh ditakuti dengan kemampuan yang kau miliki. Tapi semua kemampuanmu
tak ada artinya bila dipertunjukkan padaku. Sikap
lancang mu cukup membuatku untuk membawamu ke
hadapan raja. Aku yakin Raja Rancamala akan gembi-
ra mendapat oleh-oleh dariku. Kudengar kerajaan me-
mang bermaksud membawamu kembali ke sana seba-
gai tahanan!"
"Cuhhhh!"
Dengan kasar Pangeran Antaboga meludah. Bukan
ke tanah tapi ke wajah Iblis Gelang Raksasa. Terdengar bunyi berdesing nyaring
bak anak panah lepas dari
busur, ketika cairan yang kental menjijikkan itu meluncur ke arah wajah Iblis
Gelang Raksasa.
Wajah Iblis Gelang Raksasa merah padam saking
marahnya mendapat serangan seperti itu. Meskipun
diakui serangan itu hanya seperti serangan anak pa-
nah, tapi Iblis Gelang Raksasa merasa terhina. Kemarahan yang sudah membakar
hati berkobar semakin
besar! Iblis Gelang Raksasa tak mengelakkan serangan itu
sama sekali. Tangan kanannya dijulurkan ke depan la-lu diputar ke kiri. Angin
menderu keras dari gerakan itu. Akibatnya, semburan ludah terhenti di tengah
jalan dan rubuh ke tanah.
"Kau masih lihai seperti dulu, Iblis Gelang! Tapi Pangeran Antaboga yang
sekarang tak bisa disamakan
dengan yang dulu. Bersiaplah, Iblis Gelang!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu Pange-
ran Antaboga melesat menerjang Iblis Gelang Raksasa.
Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan
dilayangkan ke arah lawan. Cakar kanan mengancam
leher sedangkan yang kiri mengancam dada. Kedudu-
kan buku-buku jari tangan kanan menghadap ke lan-
git, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan kiri yang menghadap ke bumi.
Iblis Gelang Raksasa tak mau kalah gertak. Seran-
gan itu segera di sambutnya dengan dorongan kedua
tangan terbuka. Jari-jari kedua tangannya lurus.
Ujung-ujung jari yang kanan menghadap ke langit se-
mentara yang kiri menghadap ke bumi. Gerakan kakek
ini mirip dengan gerakan Pangeran Antaboga. Hanya
saja berbeda kedudukan jari-jarinya.
Prattt! Diiringi bunyi keras ketika dua pasang tangan ber-
benturan tubuh kedua tokoh itu terhuyung ke bela-
kang. Iblis Gelang Raksasa lebih jauh selangkah dari Pangeran Antaboga.
Iblis Gelang Raksasa hampir-hampir tak percaya
akan kenyataan ini. Telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan
tadi. Namun tetap saja Pangeran Antaboga lebih unggul. Hal ini benar-benar di
luar perhitungannya!
Pangeran Antaboga mengetahui keterkejutan la-
wannya. Maka, dibentuknya seulas senyuman menge-
jek. Tindakan pangeran ini membuat kemarahan Iblis
Gelang Raksasa menggelegak. Keheranan yang semula
menyelimuti segera berganti dengan kemarahan besar.
Perasaan ini mendorong Iblis Gelang Raksasa un-
tuk melancarkan serangan lebih dulu. Kakek ini men-
gerahkan ilmu andalan dan seluruh kemampuannya
dalam serangan itu. Pangeran Antaboga segera me-
nyambutnya sehingga pertarungan sengit pun terjadi.
Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung me-
nyemaraki jalannya pertarungan. Gerakan kedua to-
koh yang sama-sama cepat membuat bentuk tubuh
mereka tak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya bayangan coklat dan keemasan
saling belit. Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi karena
perasaan geram dan penasaran. Pangeran Antaboga
tak bisa didesaknya kendati pertarungan telah melewa-ti jurus kelima puluh.
Sungguh tak disangkanya waktu
dua tahun telah membuat sang pangeran memperoleh
kemajuan yang demikian pesat
"Kurasa main-main ini sudah cukup, Iblis!"
Pangeran Antaboga kemudian mengubah gerakan-
nya. Dia tidak lagi mengirimkan serangan secara langsung. Pangeran itu malah
berlarian memutari Iblis Gelang Raksasa.
Tingkah Pangeran Antaboga membuat Iblis Gelang
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raksasa merasa heran. Meski telah kenyang pengala-
man bertempur tapi baru kali ini Iblis Gelang Raksasa menemui pertarungan
semacam ini. Dia pun berdiam
diri di tempatnya dan tak melakukan tindakan apa
pun kecuali memperhatikan perbuatan Pangeran An-
taboga. Mula-mula memang tidak ada hal aneh yang dida-
pati Iblis Gelang Raksasa. Tapi beberapa saat kemu-
dian kepalanya dirasakan pening. Pandangan matanya
pun berkunang-kunang karena terus dipergunakan
untuk melihat tubuh Pangeran Antaboga yang berpu-
taran di sekelilingnya. Sekarang Iblis Gelang Raksasa baru mengetahui
kedahsyatan yang terkandung dalam
cara pertarungan aneh itu. Kakek ini pun sadar kalau terus diikutinya gerakan
lawan dia akan roboh dengan sendirinya.
Iblis Gelang Raksasa buru-buru berdiri tegak di
tempatnya sambil memejamkan mata. Indera pengliha-
tannya tak dipergunakan lagi. Sekarang yang dipa-
kainya adalah sepasang telinganya. Dengan pendenga-
rannya yang luar biasa tajam diikutinya setiap gerakan Pangeran Antaboga.
Pertarungan unik pun terjadi. Iblis Gelang Raksasa
berdiam diri di tempatnya. Tapi ketika pendengarannya menangkap bunyi serangan,
ditangkis dan sekaligus
dilancarkannya serangan balasan. Di lain pihak, Pan-
geran Antaboga terus berlari mengitari lawannya sambil sesekali melancarkan
serangan. Tak sampai sepuluh jurus pertarungan aneh itu
berlangsung Iblis Gelang Raksasa telah terdesak hebat.
Begitu menginjak jurus ketiga belas sebuah tendangan Pangeran Antaboga mengenai
lututnya Iblis Gelang Raksasa terjengkang ke belakang. Ber-
kat kelihayannya kakek ini memang tak sampai terja-
tuh, tapi sambungan tulang lututnya terlepas. Iblis Gelang Raksasa menggigit
bibir menahan rasa nyeri yang mendera. Kendati demikian, kakek ini bersiap untuk
menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Tapi Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan
lagi. Lelaki itu malah menatap lawannya dengan sorot mata kemenangan. Pangeran
Antaboga berdiri dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
"Bagaimana, Iblis" Apakah kau masih berkeras ingin melanjutkan pertarungan" Asal
kau tahu saja, masih banyak ilmu-ilmu dahsyat lainnya yang kumiliki.
Kurasa hal ini telah cukup untuk membuatmu men-
gerti kalau kau bukan tandinganku!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga
dengan sorot yang sukar ditebak maksudnya. Namun
yang jelas datuk kaum sesat ini tak percaya akan apa yang dialaminya.
"Sebenarnya apa maksudmu datang kemari, Anta-
boga?" tanya Iblis Gelang Raksasa meminta kepastian.
"Hanya sebuah maksud kecil," jawab Pangeran Antaboga ringan. "Memintamu untuk
melaksanakan suatu pekerjaan."
"Pekerjaan apa?" tanya Iblis Gelang Raksasa setelah berpikir sebentar.
"Mengambil Tombak Panca Warna."
"Tombak Panca Warna"!" Iblis Gelang Raksasa
mengernyitkan dahi. Kakek ini telah mendengar ten-
tang senjata itu. Sebuah senjata pusaka di masa ratusan tahun silam. Namun, tak
ada seorang pun yang
tahu bagaimana bentuknya. "Di mana harus kuda-
patkan benda itu?"
"Di kerajaan," jawab Pangeran Antaboga dengan sikap biasa. Tak dipedulikannya
keterkejutan Iblis Gelang Raksasa. "Bagaimana" Kau setuju dengan usulku ini,
Iblis" Kalau kau tidak mau, taruhannya adalah
nyawamu!" ujar Pangeran Antaboga mantap.
Iblis Gelang Raksasa tak mempunyai pilihan lain.
Dihelanya napas berat kemudian dianggukkan kepa-
lanya. Kaku dan perlahan-lahan gerakan itu dilaku-
kan. "Bisa kau beritahukan di mana letaknya yang pas-ti?" tanya Iblis Gelang Raksasa
dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pangeran Antaboga mengangguk. Kemudian, seca-
ra gamblang diberitahukannya pada Iblis Gelang Rak-
sasa. Iblis itu mencatat semua keterangan Pangeran
Antaboga di benaknya.
"Ingat, Iblis Gelang," ujar Pangeran Antaboga penuh tekanan. "Jangan coba-coba
untuk mempermainkan ku. Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Iblis Gelang Raksasa hanya tersenyum pahit. Kalau
menuruti perasaan, ingin diterjangnya Pangeran Antaboga untuk mengadu nyawa.
Tapi segera ditekannya
keinginan itu karena akibatnya hanya akan mencela-
kakan diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini dia tak akan mungkin menang
menghadapi Pangeran Antaboga. Mengalah sedikit tak mengapa demi keuntungan,
demikian pikir kakek berpakaian keemasan ini.
*** 6 Angin lembut yang membawa hawa dingin menu-
suk tulang berdesir di malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Kendati
demikian suasana di persada cukup terang. Bahkan bintang-bintang bertabu-
ran di langit. Dalam suasana malam seperti itu Iblis Gelang Rak-
sasa melesat cepat menuju istana kerajaan. Gerakan-
nya yang cepat dengan kedua kaki bagai tak menginjak tanah membuatnya cepat tiba
di dinding tembok istana. Berlainan dengan biasanya, prajurit-prajurit yang
bertugas di atas tembok istana tak melihat kedatangan tamu tak diundang itu.
Iblis Gelang Raksasa merapatkan tubuh di dinding
beberapa saat. Kakek ini menanti saat yang mengun-
tungkan untuk dapat masuk ke dalam lingkungan is-
tana. Dan ketika saat yang dinantikannya tiba, dia melesat ke atas. Berkat ilmu
meringankan tubuh Iblis Gelang Raksasa yang telah mencapai tingkatan tinggi,
sekali menjejakkan kaki tubuhnya telah melesat melewa-ti dinding istana.
Tanpa menimbulkan bunyi, Iblis Gelang Raksasa
menjejakkan kaki di tanah, di dalam lingkungan ista-na. Untuk kedua kalinya
keuntungan seperti berpihak pada datuk sesat itu. Tak seorang pun anggota
pasukan kerajaan yang memergokinya. Prajurit-prajurit
yang berkeliling memperhatikan keadaan di sekitar istana telah melewati tempat
di mana Iblis Gelang Raksasa mendarat
Iblis Gelang Raksasa menghela napas lega. Dia me-
rasa gembira melihat keberhasilannya di tahap-tahap pertama. Kakek itu tak
membuang-buang waktu. Ber-
gegas dia melesat ke arah salah satu bangunan. Begitu tiba di bangunan yang
dituju Iblis Gelang Raksasa melompat ke atas genting. Kembali tak terdengar
bunyi yang berarti ketika kedua kakinya menjejak di sana.
Laksana seekor kucing Iblis Gelang Raksasa berla-
rian di atas genting menuju bagian belakang. Menurut penuturan Pangeran Antaboga
tepat di sebelah bawah
puncak genting tersimpan Tombak Panca Warna.
Baru juga mencapai pertengahan jalan, Iblis Gelang
Raksasa merasakan ada keanehan. Pendengaran ka-
kek ini yang tajam menangkap suara desah napas ha-
lus di tempat yang ditujunya. Tertangkap oleh pendengarannya desah napas itu tak
hanya keluar dari satu hidung. Banyak lubang hidung yang menimbulkan
bunyi seperti itu! Kecurigaan yang timbul membuat Iblis Gelang Raksasa
menghentikan lari. Saat itulah dari balik puncak genting bermunculan banyak
busur dalam keadaan terentang.
"Matilah kau, Pencuri Hina...!"
Berbarengan dengan keluarnya teriakan yang me-
mecahkan kesunyian malam itu, terdengar bunyi ber-
desingan nyaring bertubi-tubi dari melesatnya belasan anak panah menuju ke arah
Iblis Gelang Raksasa!
Iblis Gelang Raksasa segera mengeluarkan senjata
andalannya. Sebuah baja putih besar berbentuk ge-
lang. Garis tengah gelang ini mencapai setengah tombak. Tak aneh kalau datuk
sesat ini berjuluk Iblis Gelang Raksasa.
Trang, trang, trangngng!
Bunyi berdentang nyaring bertubi-tubi yang diikuti
dengan berpercikannya bunga-bunga api terjadi ketika gelang raksasa memapaki
anak-anak panah. Iblis Gelang Raksasa tak berani mengandalkan kekuatan te-
naga dalamnya untuk menerima hunjaman anak-anak
panah. Dari desingan yang terdengar agaknya anak-
anak panah itu dilepaskan oleh tenaga dalam yang
amat kuat. Dan tampaknya bukan prajurit sembaran-
gan yang melepaskan.
Baru saja serangan itu berhasil dipatahkan Iblis
Gelang Raksasa, dari tempat di mana busur-busur terlihat berlompatan belasan
sosok yang memilik gerakan gesit. Sosok-sosok dalam sekelebatan telah berada di
depan Iblis Gelang Raksasa. Sikap mereka terlihat penuh ancaman.
Iblis Gelang Raksasa dalam hati memaki Pangeran
Antaboga. Kakek ini yakin kedatangannya memang te-
lah ditunggu-tunggu. Dia telah dijebak Oleh siapa lagi kalau bukan pangeran
pemberontak itu"
Dugaan itu membuat Iblis Gelang Raksasa merasa
geram dan murka bukan main. Disadarinya kini tinda-
kan sang pangeran yang memintanya untuk mengam-
bil Tombak Panca Warna hanya sebuah siasat agar di-
rinya dimusuhi pihak kerajaan. Iblis Gelang Raksasa tahu Pangeran Antaboga
mempunyai alasan kuat untuk melakukan hal itu. Bukankah dulu ketika sang
pangeran mengajaknya ikut dalam pemberontakan dia
tak mau" Iblis Gelang Raksasa tak ingin terlibat keributan
dengan pasukan kerajaan. Maka, dibalikkan tubuhnya
untuk melesat meninggalkan tempat itu. Tapi niatnya langsung diurungkan ketika
melihat di bawahnya menunggu puluhan pasukan kerajaan bersenjata leng-
kap. Di tangan para prajurit itu tergenggam perisai dan pedang. Sebagian di
antaranya bersenjatakan tombak
panjang. Hanya sebagian kecil yang menggenggam
anak panah. Tanpa dapat ditahan lagi keringat dingin bermun-
culan di wajah Iblis Gelang Raksasa. Dirinya benar-
benar telah masuk perangkap! Jalan lolos sepertinya sudah tertutup! Satu-satunya
cara untuk selamat
hanya melawan dengan seluruh kemampuan yang ada.
"Tak ada jalan keluar bagi tamu tak diundang, Iblis Gelang Raksasa!" ejek
Panglima Soka, salah seorang dari belasan sosok di atas genting.
Iblis Gelang Raksasa hanya menggertakkan gigi se-
bagai tanggapan atas ucapan sang panglima. Bagi da-
tuk sesat ini Panglima Soka bukan lawan tangguh. Di-akuinya panglima tinggi
besar itu merupakan jago istana. Tapi, seorang Panglima Soka tak berarti apa-apa
baginya! Sementara sosok-sosok yang bersama Panglima
Soka memiliki kepandaian tak di bawah sang pangli-
ma. Melihat tanda-tanda khas di tubuh mereka, Iblis Gelang Raksasa tahu lima
sosok di antara mereka merupakan pasukan khusus kerajaan. Pasukan-pasukan
pengawal Raja Rancamala! Tentu saja sebagai pasukan khusus kepandaian mereka
amat tinggi. Di samping lima anggota pasukan khusus itu ma-
sih ada tujuh sosok yang bersikap gagah dan bermata tajam berkilat. Sorot mata
seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh bertenaga dalam amat kuat. Dan,
Iblis Gelang Raksasa tahu kalau ketujuh sosok itu me-
mang lawan-lawan yang cukup tangguh. Setidak-
tidaknya seorang di antara mereka; memiliki kemam-
puan di atas Panglima Soka.
Iblis Gelang Raksasa, memang belum pernah men-
jajal kepandaian ketujuh sosok yang terdiri dari lelaki-lelaki berusia tiga
puluhan. Tapi nama besar Tujuh
Pendekar Gunung Harimau telah lama didengarnya
sebagai tokoh-tokoh jarang tandingan. Telah banyak
tokoh-tokoh sesat yang tewas di tangan ketujuh pen-
dekar ini. Tujuh Pendekar Gunung Harimau memang
mempunyai hubungan satu perguruan dengan Pangli-
ma Soka. "Sungguh tak kusangka kau bermaksud tak baik
terhadap kerajaan, Iblis Gelang Raksasa," ucap Panglima Soka lagi. "Padahal
selama ini kerajaan bersikap tak peduli dengan segala tindakan yang kau lakukan.
Kerajaan tahu, kau menjadi kaya raya dari hasil keja-hatan anak-anak buahmu.
Rumah-rumah judi dan
tempat pelacuran yang kau kelola. Perampokan-
perampokan atas perusahaan pengawalan barang, dan
masih banyak lagi. Tapi kau menyangka diamnya kera-
jaan karena takut, Iblis Gelang Raksasa. Sehingga secara lancang kau masuk
kemari. Sayang sekali mak-
sud burukmu itu berhasil kami ketahui. Sekarang bersiaplah untuk menerima
kematian, Iblis Gelang Raksa-sa!" Iblis Gelang Raksasa hampir meledak dadanya
mendengar ucapan Panglima Soka. Yang membuat kakek ini marah adalah tindakan
licik sang pangeran
dengan menjerumuskannya ke dalam perangkap se-
perti ini. "Pangeran Antaboga! Keparat licik! Keluar kau!
Jangan bersembunyi saja! Mari kita mengadu nyawa
sampai salah seorang di antara kita tergeletak tanpa jiwa!" teriak Iblis Gelang
Raksasa dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga suaranya berkumandang
ke seluruh penjuru. Bahkan terdengar sampai ke tem-
pat yang jauh. Tingkah Iblis Gelang Raksasa membuat Panglima
Soka dan rekan-rekannya mengernyitkan alis. Mereka
kelihatan heran bercampur bingung.
"Jangan kira dapat mengalihkan perhatian kami
dengan tingkahmu yang aneh-aneh, Iblis!" sentak Panglima Soka setelah berpikir
sejenak. Panglima tinggi
besar ini menduga tingkah Iblis Gelang Raksasa hanya sebuah siasat belaka.
Iblis Gelang Raksasa kebingungan mendengar uca-
pan Panglima Soka. Sebagai datuk yang telah kenyang pengalaman kakek ini tahu
Panglima Soka bersung-guh-sungguh dengan ucapannya.
"Benarkah bukan Pangeran Antaboga yang mem-
bocorkan kedatangannya" Kalau begitu, siapa?" tanya hati Iblis Gelang Raksasa.
"Kelihatannya iblis itu tak bermain-main, Panglima," ujar salah satu tokoh dari
Tujuh Pendekar Gunung Harimau. "Barangkali saja Pangeran Antaboga pun ikut
menyelusup masuk kemari tanpa sepengeta-huan kita."
"Andaikata benar demikian kedatangan pangeran
itu pun akan diketahui, Adi," sahut Panglima Soka.
"Seluruh sudut istana telah dijaga ketat oleh para prajurit. Jangankan manusia,
seekor burung pun akan
ketahuan jika masuk kemari."
Anggota Tujuh Pendekar Gunung Harimau pun di-
am. Jawaban Panglima Soka tak terlalu berlebihan.
Hal yang dikatakan panglima itu memang benar-benar
sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya.
Iblis Gelang Raksasa segera mempunyai pikiran
lain mendengar percakapan itu. Mungkinkah dirinya
dijadikan Pangeran Antaboga sebagai pengalih perhatian" Dia dijadikan umpan agar
sang pangeran dapat
masuk ke istana tanpa mendapat gangguan!
Banyak pertanyaan yang menggayut di benak Iblis
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gelang Raksasa. Namun dia tak bisa berlama-lama
memikirkannya. Tujuh Pendekar Gunung Harimau te-
lah melancarkan serangan. Sesuai julukannya, tokoh-
tokoh golongan putih ini memang menyerang secara
bertujuh. Puncak Kematian Cinta 3 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Pedang Naga Hitam 8
na kapur. Rasa ngeri yang mencekam hati membuat
seluruh kemampuannya buyar. Malah, kedua kaki dan
sekujur tubuh Kusumawati terasa lemas tak bertena-
ga. Sambil menggeram laksana binatang buas salah
satu mayat hidup mencakari batang pohon. Kusuma-
wati semakin panik. Tapi, gadis ini tak mampu berbuat apa pun. Kemudian dengan
menggeram sekali lagi
mayat hidup itu mengerahkan tenaga untuk mengang-
kat. Batang pohon berguncang keras. Kusumawati ter-
paksa berpegangan agar tak jatuh. Gadis ini tak berani melompat karena lemahnya
tubuhnya. Bahkan, ketika
pohon itu tercabut dari tanah dengan membawa serta
akar-akarnya! Untuk ke sekian kalinya mayat hidup itu mengge-
ram keras. Tangannya diayunkan. Seketika pohon di
mana Kusumawati berada meluncur cepat bak anak
panah lepas dari busur. Kusumawati sadar keadaan
amat berbahaya. Diusahakannya untuk menenangkan
hati. Ditariknya napas panjang berulang-ulang selagi pohon itu meluncur. Usaha
Kusumawati berhasil. Ketenangannya berhasil dipulihkan dan seiring dengan
itu tenaganya mulai timbul kembali.
Kusumawati melompat ketika pohon tempatnya be-
rada hampir menghantam pohon lainnya. Berbarengan
dengan menjejaknya kedua kaki gadis ini di tanah,
bunyi hiruk-pikuk terdengar ketika pohon yang me-
luncur berbenturan dengan pohon tersebut. Begitu
menjejak tanah Kusumawati langsung berlari. Seluruh kemampuannya dikerahkan.
Gadis ini ingin sejauh
mungkin menghindari mayat-mayat hidup yang men-
gerikan. Sempat dilihatnya rombongan makhluk-
makhluk menjijikkan itu mengejarnya.
Kusumawati berlari sejadi-jadinya. Tak dipeduli-
kannya medan yang ditempuh. Beberapa kali gadis ini hampir terhuyung karena
terkait semak-semak kering
yang menghampar. Tapi semua itu tak dipedulikan.
Kusumawati tetap berlari dengan kepala sering dito-
lehkan ke belakang untuk melihat keadaan para pen-
gejarnya. *** Seorang pemuda berambut putih keperakan me-
langkah hati-hati. Pandangannya ditujukan ke depan
mengintai melalui celah-celah kerimbunan semak.
Tampak seekor kijang tengah merumput. Binatang itu-
lah yang menarik perhatian pemuda berpakaian ungu
itu. Pemuda yang bukan lain dari Arya Buana alias
Dewa Arak ini menudingkan jari telunjuknya ke arah
semak-semak yang masih satu tombak di depannya.
Terlihat salah satu daun putus dari tangkainya dan
melayang tanpa bunyi ke arah Arya. Pemuda ini segera menangkapnya.
Arya lalu melangkah dua tindak. Daun dilontarkan
ke arah kijang yang masih sibuk dengan santapannya.
Daun itu meluncur tanpa bunyi sedikit pun, meski ke-cepatannya bak anak panah
lepas dari busur.
Sudah diperkirakan oleh Arya daun itu akan me-
nembus kepala sang kijang, kemudian hewan itu akan
menggelepar dan mati. Tapi.. beberapa kaki lagi daun akan mengenai sasarannya
terdengar bunyi berkeroso-kan nyaring. Si kijang terperanjat dan langsung
berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Daun yang
dilontarkan Arya menancap di pohon yang berada di
samping binatang itu.
Arya hanya bisa menahan kecewa melihat buruan-
nya berhasil lolos. Sekelebatan muncul keinginan untuk berlari mengejar binatang
itu. Tapi maksudnya diurungkan ketika melihat seorang gadis berpakaian
kuning berlari menuju tempat kijang tadi berada.
Arya jadi memperhatikan si gadis. Dia ingin tahu
penyebab gadis itu berlari-lari sampai menimbulkan
bunyi gaduh. Melihat caranya berlari, Arya tiba-tiba menjadi curiga. Semakin
dekat dengan Arya semakin
kelihatan jelas sosok gadis itu. Arya mengernyitkan dahi melihat wajah si gadis.
Wajah itu tampak sarat dengan kengerian.
Dari tempatnya berada Arya memang dan dengan
leluasa memperhatikan gadis itu tanpa perlu merasa
khawatir akan diketahui. Di samping kerimbunan se-
mak-semak melindungi tubuhnya, gadis itu sendiri
berlari tanpa mempedulikan kanan kirinya. Memang
sering dilihat Arya gadis itu menolehkan kepala. Tapi tidak ke kanan atau ke
kiri, melainkan ke belakang.
Sifat kependekaran Arya membuatnya memperha-
tikan terus kejadian aneh itu. Arya tahu tak akan
mungkin gadis itu kerap kali menoleh ke belakang kalau tak ada apa-apa di sana.
Kemungkinan besar gadis itu tengah dikejar-kejar. Demikian dugaan pemuda
berpakaian ungu ini.
*** 4 Gadis berpakaian kuning itu telah melewati depan
Arya dan kini berada di sebelah kanannya. Arya jadi menujukan pandangannya ke
sebelah kiri. Namun di
sana tidak terlihat apa pun.
"Aaawww...!"
Jerit keterkejutan si gadis membuat Arya buru-
buru mengalihkan perhatian. Sepasang mata pemuda
ini membelalak melihat penyebab keluarnya jeritan da-ri mulut gadis itu. Dari
dalam tanah, sekitar dua tombak di depan gadis berpakaian kuning, menyembul
tangan-tangan kurus kering berkuku runcing kehita-
man. Sementara gadis berpakaian kuning itu kelihatan ketakutan bukan main.
Larinya dihentikan dan segera dibelokkan arahnya ke kanan menerobos ke rimbunan
semak-semak "Aaawww...!"
Lagi-lagi gadis itu menjerit setelah menerobos ke-
rimbunan semak-semak melihat adanya sesosok tubuh
di sana. Larinya langsung dihentikan. Tapi ketika melihat perbedaan pada sosok-
sosok di balik semak-
semak ini, kengeriannya mendadak sirna. Bahkan ada
kilatan harapan di wajah dan sorot matanya.
Sosok yang bukan lain dari Arya sempat kaget dan
melangkah mundur ketika mendapati gadis itu terpe-
kik ketakutan melihatnya. Untuk menghindari kesa-
lahpahaman, Arya buru-buru menjulurkan kedua tan-
gannya. "Tenang, Nona. Aku bukan orang jahat, percaya-
lah," ucap Arya sungguh-sungguh agar si gadis percaya.
Hanya sampai di situ Arya berbicara, karena telah
dilihatnya kilatan harapan di mata dan wajah si gadis.
Sorot ketakutan terusir dari wajahnya. Arya tak me-
nyalahkan kalau gadis itu kaget. Dia tengah ketakutan dan heran bukan main
mendapati Arya berada di balik
semak-semak. "Apakah kau Dewa Arak...?" tanya gadis itu tanpa basa-basi lagi. Kilatan harapan
semakin membesar di wajah dan sorot matanya.
"Benar, Nona. Akulah yang dijuluki Dewa Arak,"
jawab Arya. "Syukurlah...," desah si gadis gembira. "Aku memang tengah mencari-carimu, Dewa
Arak." "Kurasa mengenai hal itu dapat diurus belakangan, Nona. Yang penting sekarang
mengapa kau kelihatan
demikian ketakutan" Apakah kau dikejar-kejar oleh
makhluk-makhluk itu?" tanya Arya sambil menunjuk mayat-mayat hidup yang tengah
bergerak ke arah dia
dan gadis berpakaian kuning berada.
Si gadis menoleh ke arah yang ditunjuk Arya.
Tampak olehnya mayat-mayat hidup yang semula
baru muncul tangan-tangannya telah berbondong-
bondong menuju tempatnya berada. Gerakan mak-
hluk-makhluk itu kaku dan lambat
"Memang, yang sejenis dengan mereka tengah
mengejar-ngejarku," jawab gadis itu. "Tapi bukan mereka. Nah, itu makhluk-
makhluk yang mengejarku!"
Arya menoleh ke arah kiri, tempat di mana tadi
pandangannya sering ditujukan. Tanpa sadar pemuda
ini menggeleng-gelengkan kepala.
"Banyak juga jumlah makhluk-makhluk itu," desah Arya ketika melihat rombongan
mayat hidup. Mayat-mayat hidup yang baru muncul dari dalam
tanah memang tak terlalu banyak. Hanya belasan jum-
lahnya. "Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh, Dewa Arak!" beritahu si gadis
tanpa diminta. "Percuma melawan mereka. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri
rombongan prajurit kerajaan mereka bantai."
Kemudian secara sangat singkat, karena khawatir
mayat-mayat hidup lebih dulu mencapai tempat mere-
ka berada, gadis itu menceritakan hal-hal yang baru saja dialaminya.
"Entah bagaimana nasib kakakku, Dewa Arak. Aku khawatir dia menjadi korban
makhluk-makhluk jahanam itu!" ujar si gadis menutup ceritanya.
Gadis ini memang bukan lain Kusumawati. Nasib
baik masih berpihak padanya. Dewa Arak berada di
hutan yang sama dengannya dan kebetulan melihat-
nya. "Mumpung belum terlambat, kukira lebih baik kita tinggalkan mereka, Dewa
Arak. Mereka tak bisa dibunuh!" beritahu Kusumawati lagi.
"Aku tak bisa membiarkan hal itu, Wati," kilah Arya sambil menggelengkan kepala.
Pemuda ini tak ragu-ragu lagi untuk menyapa Kusumawati dengan na-
manya. Gadis itu tadi memang telah memperkenalkan
namanya. "Mengapa Dewa Arak?"
"Aku khawatir makhluk-makhluk ini akan menye-
bar ke tempat lain dan menimbulkan korban. Akan
kucoba untuk mengirim mereka ke tempatnya semula."
"Tapi...."
"Mudah-mudahan saja caraku berhasil, Wati," sela Arya buru-buru. "Menyingkirlah
sedikit agar makhluk-makhluk itu tak menyerangmu."
Tanpa banyak bantahan lagi Kusumawati melang-
kah mundur. Meski tahu mayat-mayat itu tak bisa di-
bunuh, Kusumawati agak berbesar hati juga. Julukan
Dewa Arak telah sering didengarnya. Tokoh muda itu
konon memiliki kepandaian tinggi. Siapa tahu Dewa
Arak mempunyai ilmu yang bisa membuat mayat-
mayat hidup itu mati"
"Ggrrrhhh...!"
Diawali geraman keras yang memekakkan telinga
dan menciutkan hati, dua makhluk menjijikkan itu
menerkam Dewa Arak.
Arya mendengus ketika mencium bau bangkai me-
nyengat hidungnya. Pemuda itu tak mau mencium
yang lebih bau lagi. Sebelum tubuh-tubuh mayat hi-
dup semakin mendekat, disambutnya dengan pukulan
jarak jauh yang dihentakkan dua kali.
Wusss! Angin menderu keras keluar dari kepalan tangan
Dewa Arak. Seperti biasanya, mayat-mayat hidup tak
mempedulikan serangan itu.
Desss, desss! Tubuh mayat-mayat hidup melayang jauh ke bela-
kang bagaikan daun kering dihembus angin keras ke-
tika terhantam pukulan jarak jauh Arya. Dan tepat seperti yang dikatakan
Kusumawati, begitu luncuran tubuh itu terhenti makhluk-makhluk dari dalam bumi
ini kembali merangsek maju. Dewa Arak tak kaget me-
lihat kenyataan ini, kendati angin pukulannya yang
mengenai dada mayat-mayat hidup itu cukup untuk
menghancurleburkan batu-batu sebesar gajah.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap bersikap te-
nang, Kusumawati mulai merasa gelisah. Dilihatnya
sendiri Dewa Arak pun tak mampu membuat mayat-
mayat hidup mati meski dengan pukulan yang demi-
kian dahsyat. Sungguh pun demikian putri Sanggara
ini tak berkata apa pun. Dia hanya merasa ngeri ketika melihat Dewa Arak
diterkam oleh beberapa mayat hidup sekaligus.
Dewa Arak sendiri tak bergeming dari tempatnya.
Pemuda ini mengibaskan kedua tangannya. Angin ke-
ras yang berhembus membuat mayat-mayat hidup
berpentalan tak tentu arah. Kejadian yang sama berulang pada mayat-mayat hidup
lainnya. Mereka berpen-
talan ke sana kemari sebelum berhasil menyentuh ku-
lit Dewa Arak. Tapi semua itu tak membuat mayat-mayat hidup
kapok. Serangan-serangan terus dilakukan. Dan pan-
dangan yang terlihat bagaikan semut-semut menyerbu
api, rontok sebelum berhasil mendekat. Setelah beberapa gebrakan bertarung
seperti itu, Dewa Arak meloloskan sabuknya. Dengan senjata di tangan pemuda
berambut putih keperakan itu menghadapi pengeroyo-
kan lawan-lawannya.
Kusumawati adalah gadis yang sangat mahir mem-
pergunakan sabuk. Dia menggunakan sabuk sebagai
senjata andalannya. Tapi ketika melihat permainan
sabuk Dewa Arak, gadis ini baru merasa kalau per-
mainan sabuknya belum apa-apa.
Di tangan Dewa Arak sabuk itu justru lebih berba-
haya dari pada senjata tajam lainnya. Terkadang Dewa Arak membuat sabuk menegang
kaku laksana pedang
atau golok. Tapi, tak jarang meliuk-liuk laksana ular sehingga sukar diketahui
arah yang dituju. Sering kali pula sabuk itu dipergunakan seperti cambuk,
melecut-lecut memperdengarkan bunyi nyaring.
Ctarrr, ctarrr!
Lecutan ujung sabuk Dewa Arak menghantam ke-
pala dua mayat hidup yang sial. Terdengar bunyi berderak keras ketika kepala
makhluk-makhluk itu han-
cur. Kusumawati tak kuasa untuk tidak berteriak.
Mayat-mayat hidup itu ambruk ke tanah dan tak
bangkit lagi. Tindakan Dewa Arak benar-benar mengiriskan. Ke
mana pun ujung sabuknya meluncur selalu mendarat
di kepala lawannya. Bunyi berderak keras terdengar
susul-menyusul. Tubuh-tubuh ambruk ke tanah dan
tak bangkit lagi. Hanya dalam waktu sebentar saja lebih dari separo mayat hidup
tergolek di tanah.
Kusumawati tak henti-hentinya bersorak gembira
melihat keberhasilan Dewa Arak membinasakan la-
wan-lawannya. Tak sedikit pun menyeruak perasaan
miris melihat kepala-kepala mayat hidup yang hancur.
Dua lecutan terakhir mengakhiri pertarungan itu.
Dewa Arak lalu menggulung kembali sabuknya dan
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikatkannya di pinggang. Sesaat pemuda ini mena-
tap mayat-mayat yang bergeletakan di tanah sebelum
membalikkan tubuh menghadap Kusumawati. Gadis
itu tampak memperhatikan Arya dengan sorot mata
kagum. Kepandaian Dewa Arak berada jauh di atas-
nya. Sempat dilihatnya ketika Arya menggulung sabuk, tak ada noda sedikit pun
pada kain berwarna ungu itu.
Padahal, puluhan kepala telah dihancurkan dengan
senjata lemas tersebut
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Kusumawati tak menyembunyikan perasaan kagumnya.
"Dari mana kau tahu kalau kepala mereka merupakan kelemahannya?"
"Aku pernah menghadapi makhluk-makhluk seper-
ti ini sebelumnya," ujar Arya kalem. Sekarang mari kita ke tempat kakakmu
berada, Wati. Barangkali saja belum terlambat untuk menolongnya," ajak Arya
dengan separo mengingatkan.
"Ah...! Mengapa aku bisa lupa?" sambut Kusumawati. Dia baru teringat kembali
dengan keadaan ka-
kaknya. Arya dan Kusumawati pun melesat meninggalkan
tempat itu. Di tengah perjalanan Arya mendapati pa-
sukan kerajaan yang menjadi korban amukan mayat-
mayat hidup. Karena sepasang muda-mudi itu mem-
pergunakan ilmu lari cepat, tak lama kemudian areal
pemakaman yang dimaksud Kusumawati telah terlihat
"Mengapa sepi, Dewa Arak?" keluh Kusumawati tanpa mampu menyembunyikan rasa
khawatirnya. Wajah dan sorot matanya menyiratkan kecemasan
yang menggelegak.
Arya tak memberikan tanggapan. Seperti juga Ku-
sumawati, pemuda ini mengkhawatirkan kedatangan
mereka terlambat. Areal pemakaman tampak lengang.
Kendati demikian, Arya dan Kusumawati tetap melan-
jutkan lari mereka untuk menuju ke tempat itu.
Apa yang mereka lihat dari kejauhan ternyata tak
berbeda dengan setelah berada di areal pemakaman.
Suasana tampak sunyi. Tidak terlihat sepotong mak-
hluk hidup pun di sana. Tempat itu porak poranda seperti telah terjadi
pertarungan. Kusumawati berdiri terpaku bagai patung. Wajah
gadis ini pucat bukan main. Sinar kesedihan yang
sangat tampak jelas pada sorot matanya yang seperti lampu kehabisan minyak.
"Tenangkan hatimu, Wati," hibur Arya sebisa mungkin. Suara pemuda ini penuh
perasaan prihatin.
"Mudah-mudahan saja kakakmu selamat. Bukankah
tak ada mayatnya di sini?"
Kusumawati tak segera memberikan tanggapan.
Gadis ini malah menarik napas berulang-ulang. Bebe-
rapa kali hal itu dilakukan hingga ketenangannya pun timbul. Seiring dengan itu
Kusumawati dapat merasakan kebenaran ucapan Dewa Arak. Benar. Bukankah
korban-korban mayat-mayat hidup dibiarkan begitu
saja" Dan, ketidakadaan mayat Angruna di sini bukan tak mungkin karena pemuda
itu berhasil meloloskan
diri! "Tapi mengapa Kak Angruna tak segera menyusul?"
bantah Kusumawati mulai khawatir lagi.
"Barangkali saja karena jalan menuju tempatmu
dipenuhi makhluk-makhluk itu, Wati," jawab Arya se-kenanya. "Atau mungkin karena
usahanya untuk menyelamatkan diri, Angruna tak memperhitungkan arah
lagi. Yang penting dia bisa selamat dari ancaman makhluk-makhluk itu."
Kusumawati terdiam. Hiburan yang diberikan Arya
berhasil menenangkan hatinya yang resah.
"Menurut ceritamu, aku atau kakek bercelana pendek yang akan mampu menyingkap
rahasia aneh di
langit," ujar Arya sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Begitulah menurut penuturan Kakek Setyaki, De-wa Arak"
"Kau tahu di mana Kakek Setyaki tinggal?" tanya Arya lebih jauh. "Kita akan coba
untuk menemuinya."
Kusumawati menggeleng. "Kakek Setyaki tak mem-
beritahukan tempat tinggalnya. Tapi beliau memberi-
kan suatu tanda yang membuatnya akan mengetahui
kalau aku atau Kak Angruna bertemu dengan orang
yang kami cari. Setelah itu, dengan mempergunakan
ilmunya akan diberitahukan ke mana kami harus me-
nemuinya."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang
apakah kau sudah mendapat pemberitahuan untuk
menuju ke mana, Wati?"
"Belum, Dewa Arak," jawab Kusumawati.
Arya menghela napas berat. Pemuda ini kelihatan
tidak tenang. Kusumawati jadi merasa heran melihat-
nya. "Ada hal yang menyusahkan pikiranmu, Dewa Arak?" tanya Kusumawati hati-
hati, takut dianggap bertindak lancang.
"Sebenarnya sih tidak, Wati. Aku hanya merasa
khawatir Kakek Setyaki tak akan pernah bisa meng-
hubungi mu."
"Aku belum mengerti maksudmu, Dewa Arak?" Kusumawati tampak mengernyitkan
kuning. "Bukankah kau tahu semua usaha Kakek Setyaki
untuk menyingkap tanda aneh di langit selalu berakhir dengan kegagalan?" Arya
malah balas mengajukan pertanyaan. Ketika dilihatnya Kusumawati mengangguk,
perkataannya segera dilanjutkan. "Itu menunjukkan kalau seseorang atau sesuatu
yang berada di balik peristiwa aneh ini mengetahui tindak tanduknya. Semua usaha
Kakek Setyaki akan dihalanginya tak terkecuali dengan pemberitahuan terhadap
dirimu, Wati. Bahkan
aku khawatir Kakek Setyaki sudah tak ada lagi. Tokoh yang berada di balik semua
kejadian ini tahu pasti Kakek Setyaki merupakan bahaya besar yang harus dile-
nyapkan dari muka bumi."
Kusumawati kelihatan terkejut mendengar penjela-
san Arya. Hal seperti itu tak pernah masuk dalam pikirannya.
"Kalau demikian halnya...," ucap Kusumawati kemudian. "Aku dan Kak Angruna pun
tak luput dari in-caran bahaya itu?"
"Bisa jadi, Wati," jawab Arya sejujurnya. "Asal kau tahu saja, mayat-mayat itu
tak akan mampu hidup lagi tanpa adanya campur tangan seseorang atau sesuatu.
Bukan tak mungkin penyerangan mayat-mayat hidup
terhadap kau dan kakakmu merupakan pekerjaannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Dewa
Arak?" tanya Kusumawati, bingung bercampur ngeri mengingat kemungkinan mayat-
mayat hidup akan
menyerangnya kembali.
"Bukan hanya kau saja, Wati, tapi juga aku. Kita berdua akan bekerja sama untuk
menyingkapkan masalah ini. Untuk langkah pertama, kita jumpai dulu
ayahmu. Beliau sedikit banyak bisa memperkirakan
tempat tinggal Kakek Setyaki. Tentu saja sambil kita selidiki ke mana Angruna
pergi," usul Arya setelah memperbaiki ucapan Kusumawati.
*** Malam ini tampak begitu cerah. Langit bersih tanpa
sepotong awan pun menggantung di sana. Binatang-
binatang leluasa memancarkan sinar lembutnya ke
persada. Bulan purnama berwarna kuning keemasan
semakin menambah indahnya suasana malam.
Dalam suasana seperti itu tampak sosok-sosok tu-
buh tengah bergerak. Mereka memiliki gerakan cepat
kendati tak ringan menjejak tanah. Bunyi langkah sosok-sosok itu berdebam-debam
menghantam tanah tak
ubahnya segerombolan gajah liar yang tengah berlari.
Mereka memang tak patut disebut manusia. Sebagian
besar tak memiliki daging yang utuh melekat di tubuh.
Bau bangkai pun menyeruak dari tubuh-tubuh itu.
Sosok-sosok ini adalah mayat-mayat hidup!
Gerombolan mayat hidup berlari dengan pasti me-
nuju kelompok bangunan yang dikelilingi pagar tem-
bok tinggi menjulang. Istana kerajaan! Sinar bulan
yang memancar membuat rombongan mayat hidup se-
gera terlihat oleh prajurit-prajurit kerajaan yang berjaga-jaga di atas tembok
istana. "Makhluk-makhluk celaka yang dikatakan Pangli-
ma Soka menuju kemari. Sepertinya hendak menye-
rang istana. Gila!" teriak prajurit bertubuh gemuk dengan suara menyiratkan
kengerian. "Kita akan habisi mereka...!" sahut prajurit yang berkumis mirip misai tikus.
Setelah berkata demikian, prajurit itu meniup te-
rompet dari tanduk menjangan. Bunyi khas yang men-
jadi pertanda adanya bahaya pun terdengar. Nyaring, menguak kesunyian malam.
Sekejap kemudian suasana kalut melingkupi se isi
istana. Puluhan prajurit berlarian dari beberapa bangunan. Gerakan mereka
tangkas dan cepat. Dalam
waktu sebentar saja prajurit-prajurit itu telah berada di atas tembok istana.
"Serang...!" Puluhan anak panah berapi melesat da-ri busurnya ketika rombongan mayat hidup telah se-
makin dekat. Suasana mendadak menjadi terang ben-
derang bak siang hari.
Namun seperti biasanya, mayat-mayat hidup itu
tak mempedulikan akan adanya serangan. Makhluk-
makhluk menyeramkan ini terus berlari. Maka tak pe-
lak lagi panah-panah berapi menembus tubuh mereka.
Sebagian besar mayat-mayat hidup yang terkena se-
rangan dengan tubuhnya terbakar tetap merangsek
maju bersama rekan-rekannya. Kobaran api di tubuh
mereka sama sekali tak dirasakan.
"Gila!"
"Luar biasa!"
"Ajaib!"
Seruan-seruan bernada kaget dan ngeri keluar dari
mulut para prajurit kerajaan. Kendati demikian mere-ka tak mempunyai pilihan
lain kecuali terus melontarkan anak-anak panah itu. Tapi hasil yang didapat tak
berbeda dengan sebelumnya. Gelombang penyerbuan
mayat-mayat hidup tak bisa dicegah. Seluruh prajurit menjadi panik.
"Panglima Soka benar. Makhluk-makhluk jahanam
itu tak bisa dibunuh," celetuk salah seorang prajurit dengan nada putus asa.
"Mayat-mayat gila! Apakah dunia telah terbalik se-
hingga mereka bangkit dari kubur dan menyerbu kera-
jaan" Apakah makhluk-makhluk itu pun ingin mendi-
rikan kerajaan mayat hidup?" gerutu seorang prajurit lain.
Dalam keadaan biasa ucapan prajurit itu akan
memancing rasa lucu di hati yang lain. Tapi karena
saat itu ketegangan menyelimuti, tak ada seorang pun yang tersenyum, apalagi
tertawa! Para prajurit terpaksa membuang busur-busur dan
menggantinya dengan tombak ketika jarak lawan telah semakin dekat. Bahkan
beberapa mayat hidup mulai
berusaha memanjat dinding istana. Sebagian lagi me-
nuju pintu gerbang.
Brakkk! Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati
tebal dan berukir hancur berantakan dilabrak bebera-pa mayat hidup. Hancurnya
pintu membuat mayat-
mayat hidup itu meluruk masuk ke dalam istana. Ser-
buan ini segera disambut oleh ratusan prajurit dengan pedang dan tameng.
Pertarungan besar-besaran pun
terjadi. Tak hanya di bawah, tapi juga di atas tembok istana.
Korban di pihak pasukan kerajaan pun berjatuhan.
Mayat-mayat hidup itu terlalu tangguh untuk mereka
hadapi. Jeritan kematian terdengar silih berganti diikuti dengan robohnya tubuh
mereka ke tanah. Darah
membanjiri halaman istana!
Pasukan kerajaan berusaha keras untuk bertahan.
Tapi ketangguhan lawan-lawan yang mereka hadapi
membuatnya tak berdaya. Betapapun keras perlawa-
nan yang mereka berikan namun terus terdesak mun-
dur ke arah bangunan istana.
Di antara pasukan kerajaan terdapat Panglima So-
ka. Panglima yang telah sembuh dari luka-lukanya ini
tak kuasa pula untuk diam di tempatnya, Panglima
tinggi besar ini ikut bergerak mundur. Panglima Soka menggertakkan gigi. Dia
kesal dan geram. "Haruskah kerajaan jatuh ke tangan mayat-mayat hidup itu?"
tanya sang panglima dalam hati.
Kekhawatiran Panglima Soka dan semua pasukan
kerajaan tampaknya akan terjadi. Mereka terus terdesak mundur. Namun sebuah
keajaiban terjadi! Setelah rombongan mayat-mayat hidup masuk lima tombak
dari pintu gerbang istana, makhluk-makhluk itu roboh ke tanah dan tak bergerak
lagi! Kejadian itu menggembirakan pihak pasukan kera-
jaan, meski mereka tak mengerti apa yang telah terja-di. Yang mereka ketahui,
setiap kali mayat-mayat hidup melewati jarak lima tombak dari daun pintu ger-
bang mereka lalu roboh dan mati! Panglima Soka sege-ra memerintahkan pasukannya
untuk berada di jarak
yang aman. Sorot-sorot kegembiraan dan kelegaan
tampak memancar di wajah pasukan kerajaan
Sisa rombongan mayat hidup rupanya merasa jeri.
Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu bergerak
mundur dan meninggalkan istana. Kegeraman rupanya
masih bersarang di hati makhluk-makhluk itu. Sambil meninggalkan istana mereka
mengeluarkan geraman-geraman kemarahan.
*** 5 "Hhh...!"
Prabu Rancamala menghela napas berat. Dahi raja
yang telah berusia hampir enam puluh lima tahun ini
berkernyit. Sepasang matanya kemudian beredar men-
gawasi sekelilingnya. Satu persatu dirayapinya wajah-wajah orang yang duduk
bersila di depannya.
"Tombak Panca Warna...," gumam Prabu Rancamala pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang kakek berjenggot panjang dan berpakaian
putih. "Benda itulah yang membuat makhluk-makhluk jahanam itu tak
mampu mendekati bangunan istana. Jawaban ini
hamba dapatkan melalui semadi hamba, Gusti Prabu."
"Aku memang pernah mendengar kabar tentang
benda pusaka itu di kerajaan ini, Eyang," ujar Prabu Rancamala lagi. "Tapi aku
sendiri belum pernah melihatnya. Jadi, ku sangsikan kebenaran berita itu."
"Menurut wangsit yang hamba terima, Gusti Pra-
bu," timpal Eyang Santer, ahli kebatinan kerajaan,
"Tombak Panca Warna dihadiahkan seorang ulama penyebar agama pada buyut Gusti
Prabu. Berkat penga-
ruh Tombak Panca Warna buyut Gusti Prabu tidak
menghadapi gangguan apa pun dari makhluk-makhluk
halus yang dulu mendiami wilayah kerajaan ini, yang di waktu zaman buyut Gusti
Prabu masih berupa hutan liar."
"Ayahanda pun pernah menceritakan hal itu,
Eyang. Tapi betapa pun kucari tak kutemukan pusaka
itu di sini. Apakah Eyang mampu menemukannya?"
tanya Prabu Rancamala penuh harap.
"Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Sejauh ini ham-
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ba belum berhasil mengetahui tempat Tombak Panca
Warna berada," jawab Eyang Santer seraya memberi hormat
Selebar wajah Prabu Rancamala menyiratkan ke-
kecewaan besar mendengar jawaban itu.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bi-
cara?" tanya Panglima Soka.
"Silakan, Panglima."
Panglima Soka kemudian mengalihkan perhatian
pada Eyang Santer.
"Aku menjumpai hal aneh, Eyang," ujar Panglima Soka memulai pembicaraannya. "Ini
sehubungan dengan mayat-mayat hidup itu. Mengapa mayat-mayat hi-
dup roboh pada jarak tertentu" Apakah Tombak Panca
Warna menyebarkan hawa yang dapat melumpuhkan
mayat-mayat hidup pada jarak tertentu" Misalnya..., tiga tombak, Eyang" Dengan
demikian kita bisa mencarinya dalam jarak sekian dari batas di mana mayat-mayat
itu roboh."
"Tombak Panca Warna tidak mempunyai pengaruh
demikian, Panglima," jawab Eyang Santer. "Tewasnya mayat-mayat hidup itu menurut
wangsit yang kudapat
karena pada tempat yang mereka lalui, jarak lima tombak dari pintu gerbang,
telah dikucuri air berkhasiat yang diberikan ulama ratusan tahun lalu. Dan
sebenarnya tempat di mana air itu dikucurkan dulu adalah dinding istana
kerajaan. Karena istana diperluas, tempat yang dikucuri air jadi berada di dalam
dinding istana. Air itu pun dimaksudkan untuk mencegah ma-
suknya makhluk-makhluk gaib yang bermaksud jahat
ke dalam lingkungan istana."
Eyang Santer lalu mengalihkan perhatian pada
Prabu Rancamala.
"Dan menurut pengetahuan hamba Gusti Prabu,
air itu berasal dari rendaman Tombak Panca Warna.
Tapi apabila Tombak Panca Warna lenyap dari ling-
kungan istana, air itu kehilangan kegunaannya. Pen-
garuh air bisa memudar oleh waktu. Keberadaan Tom-
bak Panca Warna yang membuat pengaruh air tetap
ada. Karena itu Gusti Prabu, hamba yakin sekali Tom-
bak Panca Warna masih berada di sini."
Prabu Rancamala mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti.
"Baiklah kalau demikian, Eyang. Panglima Soka!"
"Hamba, Gusti Prabu," jawab Panglima Soka cepat sambil memberi hormat.
"Kau perintahkan prajurit untuk mencari di mana adanya Tombak Panca Warna itu!"
titah sang raja yang berkulit wajah kemerahan itu dengan penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu. Titah Gusti Prabu akan, segera hamba laksanakan!"
"Bisa kau beritahukan ciri-ciri Tombak Panca Warna itu, Eyang?" tanya Prabu
Rancamala. "Ampunkan hamba, Gusti Prabu," Eyang Santer memberi hormat "Hamba belum
mengetahuinya. Akan hamba usahakan untuk mengetahuinya, Gusti Prabu.
Hamba akan bersemadi lagi untuk mendapatkan
wangsit." Prabu Rancamala terdengar menghela napas berat
mendengar jawaban ahli kebatinan istananya. Disan-
darkannya punggungnya ke singgasana yang mewah
dan indah. *** Bangunan itu besar dan megah. Dinding batu se-
tinggi satu tombak mengelilingi bangunan yang memi-
liki halaman luas. Bunga berwarna-warni menghiasi
sebagian besar halaman. Jika melihat tempat ini tak seorang pun akan menyangka
pemiliknya seorang datuk kaum sesat berhati kejam dan berwatak bengis. Iblis
Gelang Raksasa, julukannya.
Saat itu Iblis Gelang Raksasa, seorang kakek tinggi besar berpakaian indah dan
berkulit putih bersih, ten-
gah duduk di sebuah bangku di halaman samping
yang dipenuhi bunga-bungaan aneka warna. Iblis Ge-
lang Raksasa menarik napas dan mengeluarkan secara
berirama, sebagaimana layaknya orang yang tengah
bersemadi. Dan memang sesungguhnya demikian, ka-
kek yang telah berusia enam puluh lima tahun itu tengah bersemadi. Dan tempatnya
selalu di halaman
samping yang tertutup.
Setelah beberapa lama Iblis Gelang Raksasa men-
gatur jalan napasnya, tampaklah perubahan pada wa-
jah yang putih bersih itu. Wajah itu mulai memerah
dan akhirnya hitam kelam laksana arang. Kemudian
perlahan-lahan warna hitam memudar menjadi putih
seperti sediakala. Perubahan warna itu tak berhenti hanya sampai di sini. Wajah
Iblis Gelang Raksasa semakin putih pucat hingga akhirnya berwarna hijau!
Tokoh persilatan besar akan dapat mengetahui peru-
bahan seperti ini hanya dapat terjadi akibat penguasaan tenaga dalam berhawa
dingin dan panas yang
sampai ke puncaknya!
Wajah Iblis Gelang Raksasa yang telah berubah hi-
jau kemudian kembali memudar. Namun sebelum
sampai seperti sediakala, tampak kerutan di sepasang alis kakek ini, seakan-akan
ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kendati demikian, latihannya tetap
diteruskan hingga warna wajahnya putih kembali seperti sediakala. Iblis Gelang
Raksasa membuka sepa-
sang matanya. Peluh yang membasahi sedikit dahinya
dihapus dengan sapu tangan indah.
"Kunyuk-kunyuk itu rupanya sudah kepingin mati lebih cepat!" desis Iblis Gelang
Raksasa dengan sepasang mata memancarkan hawa pembunuhan. "Berani-beraninya
mereka mengganggu latihanku dengan
bunyi-bunyi gaduh."
Iblis Gelang Raksasa lalu bangkit dari semadinya
dan melangkah lebar-lebar menuju pintu halaman
samping yang tertutup dan diselot. Tangan kakek ini diulapkan seperti orang
mengusir lalat. Selot di pintu pun bergerak membuka bagai digerakkan oleh tangan
tak nampak. Padahal jarak kakek itu dengan daun pin-tu masih dua tombak.
Iblis Gelang Raksasa terus melangkah seakan hen-
dak menabrak daun pintu yang belum membuka. Tapi
setengah tombak sebelum sampai, daun pintu itu telah bergerak membuka sendiri.
Dengan langkah-langkah
lebar dan wajah bengis Iblis Gelang Raksasa terus me-langkahkan kakinya menuju
keluar. Pendengarannya
yang tajam mengisyaratkan kalau bunyi gaduh itu be-
rasal dari halaman depan.
Puluhan langkah berjalan baru Iblis Gelang Raksa-
sa sampai diambang pintu yang berbatasan dengan te-
ras. Dari tempat itu tampak pemandangan yang mem-
buat kemarahannya yang berkobar berganti dengan
keterkejutan! Di halaman depan belasan anak buah Iblis Gelang Raksasa tengah
terlibat pertarungan menghadapi seorang lelaki jangkung. Sepuluh anak buah
datuk kaum sesat ini dengan senjata di tangan, tapi mereka terdesak oleh
lawannya yang tak bersenjata.
Lelaki jangkung itu justru tak bergeming dari tem-
patnya. Hanya kedua tangannya yang digerakkan ke
sana kemari menangkis serangan-serangan yang da-
tang. Akibat tangkisan-tangkisan itu tubuh para pengeroyoknya berpentalan dan
jatuh terguling-guling.
Lelaki jangkung tampak tak terpengaruh sama se-
kali akan tindakan yang dilakukannya. Tak terlihat
tanda-tanda dia merasa kesakitan akibat benturan
tangannya yang telanjang dengan senjata-senjata la-
wan. Malah, beberapa kali senjata lawan dibiarkan
mengenai sekujur tubuhnya. Akibatnya, senjata-
senjata itu berbalik dan berpentalan seperti mengenai gumpalan karet kenyal.
"Minggir semua, kecoak-kecoak tak berguna!" seru Iblis Gelang Raksasa seraya
menghampiri kancah pertarungan.
Tanpa menunggu perintah dua kali anak-anak
buah Iblis Gelang Raksasa berbondong-bondong me-
ninggalkan kancah pertarungan. Yang tinggal hanya
lelaki jangkung berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Lelaki jangkung itu menatap tak berkedip pada Ib-
lis Gelang Raksasa. Si iblis sendiri tak mau kalah gertak. Sambil mengayunkan
kaki tatapannya ditujukan
pada lelaki jangkung. Dua pasang mata yang sama-
sama tajam saling bertemu tanpa ada yang mau men-
galah. "Selamat berjumpa lagi, Iblis Gelang Raksasa," ujar lelaki jangkung ketika Iblis
Gelang Raksasa telah
menghentikan langkahnya. Lelaki jangkung dan Iblis
Gelang Raksasa berdiri berhadapan dalam jarak tiga
tombak. Iblis Gelang Raksasa terdengar mendengus marah.
Ucapan lelaki jangkung tidak dipedulikannya sama sekali. "Apa yang mendorongmu
datang kemari, Antaboga"!" tanya Iblis Gelang Raksasa tak ramah. "Meminta ku
untuk membantu gerakan pemberontakan mu la-gi"!" Lelaki jangkung yang ternyata
Pangeran Antaboga langsung mengelam wajahnya. Sorot sepasang matanya seperti
memancarkan api. Namun hanya seben-
tar, kemudian kembali seperti biasa. Tenang dan dingin.
"Kau keliru besar kalau menduga demikian, Iblis Gelang!" dengus Pangeran
Antaboga. "Aku tahu tak ada gunanya mengajak orang yang takut. Kedatanganku
kemari hanya untuk menengok kawan lama."
"Tak usah berbasa-basi denganku, Antaboga! Ce-
patlah menyingkir dari tempat ini sebelum kesabaran-ku habis. Aku tak butuh
pangkat atau kedudukan ka-
rena keadaan sekarang sudah enak. Kau boleh menge-
jar keinginanmu, tapi jangan harap aku akan bersedia membantu!" tandas Iblis
Gelang Raksasa.
"Aku malah menunggu habisnya kesabaran mu, Ib-
lis Gelang!" sahut Pangeran Antaboga dengan berani.
"Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan terha-dapku?"
"Kuperingatkan sekali lagi, Antaboga. Pergi dari si-ni! Ini peringatan terakhir.
Kau bukan seorang pangeran lagi. Raja Rancamala malah telah membuang mu
ke tempat terkutuk. Kendati berhasilnya kau lolos dari tempat pembuangan itu
merupakan teka-teki, namun
tak menjadikan ku gentar. Kalau aku masih mempedu-
likan kedudukan dan pangkat, kutangkap kau dan ku-
serahkan pada kerajaan. Tapi aku tak ingin melaku-
kan hal itu. Pergilah, Antaboga!"
"Sesumbar mu besar sekali, Iblis Gelang!" sambut Pangeran Antaboga dengan suara
keras. "Dua tahun yang lalu mungkin kau bisa berkata demikian. Tapi
sekarang tak sepotong makhluk pun boleh menghina
Pangeran Antaboga. Majulah kau, Iblis! Ingin kulihat sampai di mana
kemampuanmu!"
"Keparat! kau mencari penyakit sendiri, Pangeran Pemberontak! Di istana kau
boleh ditakuti dengan kemampuan yang kau miliki. Tapi semua kemampuanmu
tak ada artinya bila dipertunjukkan padaku. Sikap
lancang mu cukup membuatku untuk membawamu ke
hadapan raja. Aku yakin Raja Rancamala akan gembi-
ra mendapat oleh-oleh dariku. Kudengar kerajaan me-
mang bermaksud membawamu kembali ke sana seba-
gai tahanan!"
"Cuhhhh!"
Dengan kasar Pangeran Antaboga meludah. Bukan
ke tanah tapi ke wajah Iblis Gelang Raksasa. Terdengar bunyi berdesing nyaring
bak anak panah lepas dari
busur, ketika cairan yang kental menjijikkan itu meluncur ke arah wajah Iblis
Gelang Raksasa.
Wajah Iblis Gelang Raksasa merah padam saking
marahnya mendapat serangan seperti itu. Meskipun
diakui serangan itu hanya seperti serangan anak pa-
nah, tapi Iblis Gelang Raksasa merasa terhina. Kemarahan yang sudah membakar
hati berkobar semakin
besar! Iblis Gelang Raksasa tak mengelakkan serangan itu
sama sekali. Tangan kanannya dijulurkan ke depan la-lu diputar ke kiri. Angin
menderu keras dari gerakan itu. Akibatnya, semburan ludah terhenti di tengah
jalan dan rubuh ke tanah.
"Kau masih lihai seperti dulu, Iblis Gelang! Tapi Pangeran Antaboga yang
sekarang tak bisa disamakan
dengan yang dulu. Bersiaplah, Iblis Gelang!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu Pange-
ran Antaboga melesat menerjang Iblis Gelang Raksasa.
Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan
dilayangkan ke arah lawan. Cakar kanan mengancam
leher sedangkan yang kiri mengancam dada. Kedudu-
kan buku-buku jari tangan kanan menghadap ke lan-
git, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan kiri yang menghadap ke bumi.
Iblis Gelang Raksasa tak mau kalah gertak. Seran-
gan itu segera di sambutnya dengan dorongan kedua
tangan terbuka. Jari-jari kedua tangannya lurus.
Ujung-ujung jari yang kanan menghadap ke langit se-
mentara yang kiri menghadap ke bumi. Gerakan kakek
ini mirip dengan gerakan Pangeran Antaboga. Hanya
saja berbeda kedudukan jari-jarinya.
Prattt! Diiringi bunyi keras ketika dua pasang tangan ber-
benturan tubuh kedua tokoh itu terhuyung ke bela-
kang. Iblis Gelang Raksasa lebih jauh selangkah dari Pangeran Antaboga.
Iblis Gelang Raksasa hampir-hampir tak percaya
akan kenyataan ini. Telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan
tadi. Namun tetap saja Pangeran Antaboga lebih unggul. Hal ini benar-benar di
luar perhitungannya!
Pangeran Antaboga mengetahui keterkejutan la-
wannya. Maka, dibentuknya seulas senyuman menge-
jek. Tindakan pangeran ini membuat kemarahan Iblis
Gelang Raksasa menggelegak. Keheranan yang semula
menyelimuti segera berganti dengan kemarahan besar.
Perasaan ini mendorong Iblis Gelang Raksasa un-
tuk melancarkan serangan lebih dulu. Kakek ini men-
gerahkan ilmu andalan dan seluruh kemampuannya
dalam serangan itu. Pangeran Antaboga segera me-
nyambutnya sehingga pertarungan sengit pun terjadi.
Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung me-
nyemaraki jalannya pertarungan. Gerakan kedua to-
koh yang sama-sama cepat membuat bentuk tubuh
mereka tak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya bayangan coklat dan keemasan
saling belit. Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi karena
perasaan geram dan penasaran. Pangeran Antaboga
tak bisa didesaknya kendati pertarungan telah melewa-ti jurus kelima puluh.
Sungguh tak disangkanya waktu
dua tahun telah membuat sang pangeran memperoleh
kemajuan yang demikian pesat
"Kurasa main-main ini sudah cukup, Iblis!"
Pangeran Antaboga kemudian mengubah gerakan-
nya. Dia tidak lagi mengirimkan serangan secara langsung. Pangeran itu malah
berlarian memutari Iblis Gelang Raksasa.
Tingkah Pangeran Antaboga membuat Iblis Gelang
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raksasa merasa heran. Meski telah kenyang pengala-
man bertempur tapi baru kali ini Iblis Gelang Raksasa menemui pertarungan
semacam ini. Dia pun berdiam
diri di tempatnya dan tak melakukan tindakan apa
pun kecuali memperhatikan perbuatan Pangeran An-
taboga. Mula-mula memang tidak ada hal aneh yang dida-
pati Iblis Gelang Raksasa. Tapi beberapa saat kemu-
dian kepalanya dirasakan pening. Pandangan matanya
pun berkunang-kunang karena terus dipergunakan
untuk melihat tubuh Pangeran Antaboga yang berpu-
taran di sekelilingnya. Sekarang Iblis Gelang Raksasa baru mengetahui
kedahsyatan yang terkandung dalam
cara pertarungan aneh itu. Kakek ini pun sadar kalau terus diikutinya gerakan
lawan dia akan roboh dengan sendirinya.
Iblis Gelang Raksasa buru-buru berdiri tegak di
tempatnya sambil memejamkan mata. Indera pengliha-
tannya tak dipergunakan lagi. Sekarang yang dipa-
kainya adalah sepasang telinganya. Dengan pendenga-
rannya yang luar biasa tajam diikutinya setiap gerakan Pangeran Antaboga.
Pertarungan unik pun terjadi. Iblis Gelang Raksasa
berdiam diri di tempatnya. Tapi ketika pendengarannya menangkap bunyi serangan,
ditangkis dan sekaligus
dilancarkannya serangan balasan. Di lain pihak, Pan-
geran Antaboga terus berlari mengitari lawannya sambil sesekali melancarkan
serangan. Tak sampai sepuluh jurus pertarungan aneh itu
berlangsung Iblis Gelang Raksasa telah terdesak hebat.
Begitu menginjak jurus ketiga belas sebuah tendangan Pangeran Antaboga mengenai
lututnya Iblis Gelang Raksasa terjengkang ke belakang. Ber-
kat kelihayannya kakek ini memang tak sampai terja-
tuh, tapi sambungan tulang lututnya terlepas. Iblis Gelang Raksasa menggigit
bibir menahan rasa nyeri yang mendera. Kendati demikian, kakek ini bersiap untuk
menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Tapi Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan
lagi. Lelaki itu malah menatap lawannya dengan sorot mata kemenangan. Pangeran
Antaboga berdiri dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
"Bagaimana, Iblis" Apakah kau masih berkeras ingin melanjutkan pertarungan" Asal
kau tahu saja, masih banyak ilmu-ilmu dahsyat lainnya yang kumiliki.
Kurasa hal ini telah cukup untuk membuatmu men-
gerti kalau kau bukan tandinganku!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga
dengan sorot yang sukar ditebak maksudnya. Namun
yang jelas datuk kaum sesat ini tak percaya akan apa yang dialaminya.
"Sebenarnya apa maksudmu datang kemari, Anta-
boga?" tanya Iblis Gelang Raksasa meminta kepastian.
"Hanya sebuah maksud kecil," jawab Pangeran Antaboga ringan. "Memintamu untuk
melaksanakan suatu pekerjaan."
"Pekerjaan apa?" tanya Iblis Gelang Raksasa setelah berpikir sebentar.
"Mengambil Tombak Panca Warna."
"Tombak Panca Warna"!" Iblis Gelang Raksasa
mengernyitkan dahi. Kakek ini telah mendengar ten-
tang senjata itu. Sebuah senjata pusaka di masa ratusan tahun silam. Namun, tak
ada seorang pun yang
tahu bagaimana bentuknya. "Di mana harus kuda-
patkan benda itu?"
"Di kerajaan," jawab Pangeran Antaboga dengan sikap biasa. Tak dipedulikannya
keterkejutan Iblis Gelang Raksasa. "Bagaimana" Kau setuju dengan usulku ini,
Iblis" Kalau kau tidak mau, taruhannya adalah
nyawamu!" ujar Pangeran Antaboga mantap.
Iblis Gelang Raksasa tak mempunyai pilihan lain.
Dihelanya napas berat kemudian dianggukkan kepa-
lanya. Kaku dan perlahan-lahan gerakan itu dilaku-
kan. "Bisa kau beritahukan di mana letaknya yang pas-ti?" tanya Iblis Gelang Raksasa
dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pangeran Antaboga mengangguk. Kemudian, seca-
ra gamblang diberitahukannya pada Iblis Gelang Rak-
sasa. Iblis itu mencatat semua keterangan Pangeran
Antaboga di benaknya.
"Ingat, Iblis Gelang," ujar Pangeran Antaboga penuh tekanan. "Jangan coba-coba
untuk mempermainkan ku. Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Iblis Gelang Raksasa hanya tersenyum pahit. Kalau
menuruti perasaan, ingin diterjangnya Pangeran Antaboga untuk mengadu nyawa.
Tapi segera ditekannya
keinginan itu karena akibatnya hanya akan mencela-
kakan diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini dia tak akan mungkin menang
menghadapi Pangeran Antaboga. Mengalah sedikit tak mengapa demi keuntungan,
demikian pikir kakek berpakaian keemasan ini.
*** 6 Angin lembut yang membawa hawa dingin menu-
suk tulang berdesir di malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Kendati
demikian suasana di persada cukup terang. Bahkan bintang-bintang bertabu-
ran di langit. Dalam suasana malam seperti itu Iblis Gelang Rak-
sasa melesat cepat menuju istana kerajaan. Gerakan-
nya yang cepat dengan kedua kaki bagai tak menginjak tanah membuatnya cepat tiba
di dinding tembok istana. Berlainan dengan biasanya, prajurit-prajurit yang
bertugas di atas tembok istana tak melihat kedatangan tamu tak diundang itu.
Iblis Gelang Raksasa merapatkan tubuh di dinding
beberapa saat. Kakek ini menanti saat yang mengun-
tungkan untuk dapat masuk ke dalam lingkungan is-
tana. Dan ketika saat yang dinantikannya tiba, dia melesat ke atas. Berkat ilmu
meringankan tubuh Iblis Gelang Raksasa yang telah mencapai tingkatan tinggi,
sekali menjejakkan kaki tubuhnya telah melesat melewa-ti dinding istana.
Tanpa menimbulkan bunyi, Iblis Gelang Raksasa
menjejakkan kaki di tanah, di dalam lingkungan ista-na. Untuk kedua kalinya
keuntungan seperti berpihak pada datuk sesat itu. Tak seorang pun anggota
pasukan kerajaan yang memergokinya. Prajurit-prajurit
yang berkeliling memperhatikan keadaan di sekitar istana telah melewati tempat
di mana Iblis Gelang Raksasa mendarat
Iblis Gelang Raksasa menghela napas lega. Dia me-
rasa gembira melihat keberhasilannya di tahap-tahap pertama. Kakek itu tak
membuang-buang waktu. Ber-
gegas dia melesat ke arah salah satu bangunan. Begitu tiba di bangunan yang
dituju Iblis Gelang Raksasa melompat ke atas genting. Kembali tak terdengar
bunyi yang berarti ketika kedua kakinya menjejak di sana.
Laksana seekor kucing Iblis Gelang Raksasa berla-
rian di atas genting menuju bagian belakang. Menurut penuturan Pangeran Antaboga
tepat di sebelah bawah
puncak genting tersimpan Tombak Panca Warna.
Baru juga mencapai pertengahan jalan, Iblis Gelang
Raksasa merasakan ada keanehan. Pendengaran ka-
kek ini yang tajam menangkap suara desah napas ha-
lus di tempat yang ditujunya. Tertangkap oleh pendengarannya desah napas itu tak
hanya keluar dari satu hidung. Banyak lubang hidung yang menimbulkan
bunyi seperti itu! Kecurigaan yang timbul membuat Iblis Gelang Raksasa
menghentikan lari. Saat itulah dari balik puncak genting bermunculan banyak
busur dalam keadaan terentang.
"Matilah kau, Pencuri Hina...!"
Berbarengan dengan keluarnya teriakan yang me-
mecahkan kesunyian malam itu, terdengar bunyi ber-
desingan nyaring bertubi-tubi dari melesatnya belasan anak panah menuju ke arah
Iblis Gelang Raksasa!
Iblis Gelang Raksasa segera mengeluarkan senjata
andalannya. Sebuah baja putih besar berbentuk ge-
lang. Garis tengah gelang ini mencapai setengah tombak. Tak aneh kalau datuk
sesat ini berjuluk Iblis Gelang Raksasa.
Trang, trang, trangngng!
Bunyi berdentang nyaring bertubi-tubi yang diikuti
dengan berpercikannya bunga-bunga api terjadi ketika gelang raksasa memapaki
anak-anak panah. Iblis Gelang Raksasa tak berani mengandalkan kekuatan te-
naga dalamnya untuk menerima hunjaman anak-anak
panah. Dari desingan yang terdengar agaknya anak-
anak panah itu dilepaskan oleh tenaga dalam yang
amat kuat. Dan tampaknya bukan prajurit sembaran-
gan yang melepaskan.
Baru saja serangan itu berhasil dipatahkan Iblis
Gelang Raksasa, dari tempat di mana busur-busur terlihat berlompatan belasan
sosok yang memilik gerakan gesit. Sosok-sosok dalam sekelebatan telah berada di
depan Iblis Gelang Raksasa. Sikap mereka terlihat penuh ancaman.
Iblis Gelang Raksasa dalam hati memaki Pangeran
Antaboga. Kakek ini yakin kedatangannya memang te-
lah ditunggu-tunggu. Dia telah dijebak Oleh siapa lagi kalau bukan pangeran
pemberontak itu"
Dugaan itu membuat Iblis Gelang Raksasa merasa
geram dan murka bukan main. Disadarinya kini tinda-
kan sang pangeran yang memintanya untuk mengam-
bil Tombak Panca Warna hanya sebuah siasat agar di-
rinya dimusuhi pihak kerajaan. Iblis Gelang Raksasa tahu Pangeran Antaboga
mempunyai alasan kuat untuk melakukan hal itu. Bukankah dulu ketika sang
pangeran mengajaknya ikut dalam pemberontakan dia
tak mau" Iblis Gelang Raksasa tak ingin terlibat keributan
dengan pasukan kerajaan. Maka, dibalikkan tubuhnya
untuk melesat meninggalkan tempat itu. Tapi niatnya langsung diurungkan ketika
melihat di bawahnya menunggu puluhan pasukan kerajaan bersenjata leng-
kap. Di tangan para prajurit itu tergenggam perisai dan pedang. Sebagian di
antaranya bersenjatakan tombak
panjang. Hanya sebagian kecil yang menggenggam
anak panah. Tanpa dapat ditahan lagi keringat dingin bermun-
culan di wajah Iblis Gelang Raksasa. Dirinya benar-
benar telah masuk perangkap! Jalan lolos sepertinya sudah tertutup! Satu-satunya
cara untuk selamat
hanya melawan dengan seluruh kemampuan yang ada.
"Tak ada jalan keluar bagi tamu tak diundang, Iblis Gelang Raksasa!" ejek
Panglima Soka, salah seorang dari belasan sosok di atas genting.
Iblis Gelang Raksasa hanya menggertakkan gigi se-
bagai tanggapan atas ucapan sang panglima. Bagi da-
tuk sesat ini Panglima Soka bukan lawan tangguh. Di-akuinya panglima tinggi
besar itu merupakan jago istana. Tapi, seorang Panglima Soka tak berarti apa-apa
baginya! Sementara sosok-sosok yang bersama Panglima
Soka memiliki kepandaian tak di bawah sang pangli-
ma. Melihat tanda-tanda khas di tubuh mereka, Iblis Gelang Raksasa tahu lima
sosok di antara mereka merupakan pasukan khusus kerajaan. Pasukan-pasukan
pengawal Raja Rancamala! Tentu saja sebagai pasukan khusus kepandaian mereka
amat tinggi. Di samping lima anggota pasukan khusus itu ma-
sih ada tujuh sosok yang bersikap gagah dan bermata tajam berkilat. Sorot mata
seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh bertenaga dalam amat kuat. Dan,
Iblis Gelang Raksasa tahu kalau ketujuh sosok itu me-
mang lawan-lawan yang cukup tangguh. Setidak-
tidaknya seorang di antara mereka; memiliki kemam-
puan di atas Panglima Soka.
Iblis Gelang Raksasa, memang belum pernah men-
jajal kepandaian ketujuh sosok yang terdiri dari lelaki-lelaki berusia tiga
puluhan. Tapi nama besar Tujuh
Pendekar Gunung Harimau telah lama didengarnya
sebagai tokoh-tokoh jarang tandingan. Telah banyak
tokoh-tokoh sesat yang tewas di tangan ketujuh pen-
dekar ini. Tujuh Pendekar Gunung Harimau memang
mempunyai hubungan satu perguruan dengan Pangli-
ma Soka. "Sungguh tak kusangka kau bermaksud tak baik
terhadap kerajaan, Iblis Gelang Raksasa," ucap Panglima Soka lagi. "Padahal
selama ini kerajaan bersikap tak peduli dengan segala tindakan yang kau lakukan.
Kerajaan tahu, kau menjadi kaya raya dari hasil keja-hatan anak-anak buahmu.
Rumah-rumah judi dan
tempat pelacuran yang kau kelola. Perampokan-
perampokan atas perusahaan pengawalan barang, dan
masih banyak lagi. Tapi kau menyangka diamnya kera-
jaan karena takut, Iblis Gelang Raksasa. Sehingga secara lancang kau masuk
kemari. Sayang sekali mak-
sud burukmu itu berhasil kami ketahui. Sekarang bersiaplah untuk menerima
kematian, Iblis Gelang Raksa-sa!" Iblis Gelang Raksasa hampir meledak dadanya
mendengar ucapan Panglima Soka. Yang membuat kakek ini marah adalah tindakan
licik sang pangeran
dengan menjerumuskannya ke dalam perangkap se-
perti ini. "Pangeran Antaboga! Keparat licik! Keluar kau!
Jangan bersembunyi saja! Mari kita mengadu nyawa
sampai salah seorang di antara kita tergeletak tanpa jiwa!" teriak Iblis Gelang
Raksasa dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga suaranya berkumandang
ke seluruh penjuru. Bahkan terdengar sampai ke tem-
pat yang jauh. Tingkah Iblis Gelang Raksasa membuat Panglima
Soka dan rekan-rekannya mengernyitkan alis. Mereka
kelihatan heran bercampur bingung.
"Jangan kira dapat mengalihkan perhatian kami
dengan tingkahmu yang aneh-aneh, Iblis!" sentak Panglima Soka setelah berpikir
sejenak. Panglima tinggi
besar ini menduga tingkah Iblis Gelang Raksasa hanya sebuah siasat belaka.
Iblis Gelang Raksasa kebingungan mendengar uca-
pan Panglima Soka. Sebagai datuk yang telah kenyang pengalaman kakek ini tahu
Panglima Soka bersung-guh-sungguh dengan ucapannya.
"Benarkah bukan Pangeran Antaboga yang mem-
bocorkan kedatangannya" Kalau begitu, siapa?" tanya hati Iblis Gelang Raksasa.
"Kelihatannya iblis itu tak bermain-main, Panglima," ujar salah satu tokoh dari
Tujuh Pendekar Gunung Harimau. "Barangkali saja Pangeran Antaboga pun ikut
menyelusup masuk kemari tanpa sepengeta-huan kita."
"Andaikata benar demikian kedatangan pangeran
itu pun akan diketahui, Adi," sahut Panglima Soka.
"Seluruh sudut istana telah dijaga ketat oleh para prajurit. Jangankan manusia,
seekor burung pun akan
ketahuan jika masuk kemari."
Anggota Tujuh Pendekar Gunung Harimau pun di-
am. Jawaban Panglima Soka tak terlalu berlebihan.
Hal yang dikatakan panglima itu memang benar-benar
sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya.
Iblis Gelang Raksasa segera mempunyai pikiran
lain mendengar percakapan itu. Mungkinkah dirinya
dijadikan Pangeran Antaboga sebagai pengalih perhatian" Dia dijadikan umpan agar
sang pangeran dapat
masuk ke istana tanpa mendapat gangguan!
Banyak pertanyaan yang menggayut di benak Iblis
Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gelang Raksasa. Namun dia tak bisa berlama-lama
memikirkannya. Tujuh Pendekar Gunung Harimau te-
lah melancarkan serangan. Sesuai julukannya, tokoh-
tokoh golongan putih ini memang menyerang secara
bertujuh. Puncak Kematian Cinta 3 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Pedang Naga Hitam 8