Pencarian

Tombak Panca Warna 3

Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna Bagian 3


Lima anggota pasukan khusus hendak ikut ambil
bagian. Tapi tindakan itu mereka urungkan ketika melihat Panglima Soka memberi
isyarat untuk tidak mencampuri jalannya pertarungan.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau ternyata bukan
hanya besar julukan saja. Kepandaian rata-rata mere-ka pun hebat. Memang bila
dibandingkan satu persatu dengan Iblis Gelang Raksasa, mereka bukan tandingan
iblis itu. Tapi begitu maju bertubuh dan dengan menggunakan golok yang menjadi
senjata andalan mereka,
Iblis Gelang Raksasa dibuat kerepotan bukan main.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau mampu bekerja
sama secara baik. Mereka dapat menutup kekurangan
masing-masing rekannya dan kemudian menambah
kedahsyatan serangan yang dilancarkan.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi menahan
geram. Semula, menyadari keunggulannya baik dalam
kecepatan dan kekuatan tenaga, datuk sesat ini ber-
maksud sesering mungkin membenturkan senjata un-
tuk memperoleh kemenangan. Dengan tenaga dalam-
nya yang jauh lebih kuat mudah baginya untuk mem-
buat senjata lawan lepas dari genggaman. Bahkan,
dengan benturan yang terjadi Iblis Gelang Raksasa yakin mampu mematahkan tangan
lawan-lawannya.
Tapi, semua itu hanya dapat diwujudkan Iblis Ge-
lang Raksasa dalam angan-angan saja. Tujuh Pende-
kar Gunung Harimau tak kalah cerdik. Dalam bentu-
ran yang tak terelakkan dengan gelang raksasa lawan, mereka tak sendiri-sendiri
bertindak. Serangan yang dilakukan selalu bertiga.
Hal itu membuat tangkisan Iblis Gelang Raksasa
selalu berbenturan dengan tiga senjata. Gabungan tiga tokoh Pendekar Gunung
Harimau dalam hal tenaga ini
ternyata terlalu kuat untuk dapat ditahan Iblis Gelang
Raksasa. Kakek ini selalu terhuyung setiap kali serangan lawan-lawannya
ditangkis. Iblis Gelang Raksasa menguras seluruh kemam-
puannya. Tapi tetap saja harus diakui kalau penge-
royokan itu terlalu tangguh. Kalau saja tujuh pendekar itu tak bekerja sama
demikian baik, Iblis Gelang Raksasa masih mempunyai harapan. Tapi kerja sama Tu-
juh Pendekar Gunung Harimau yang demikian baik
membuat harapan Iblis Gelang Raksasa pupus di ten-
gah jalan Iblis Gelang Raksasa akhirnya memutuskan untuk
bertahan saja. Sebagai tokoh kawakan datuk sesat ini merasakan kedudukan
bertahan jauh lebih mengun-tungkan daripada menyerang. Gelang raksasanya di-
putar mengelilingi tubuhnya bagaikan benteng. Andaikata saat itu hujan hebat pun
tak setitik air akan
membasahi tubuhnya.
Iblis Gelang Raksasa sambil terus bertahan men-
coba mencari cara agar bisa meninggalkan lawan-
lawannya. Jika dia memaksakan diri untuk terus ber-
tahan, hanya akan memperoleh akibat yang merugi-
kan! Di saat-saat genting bagi keselamatan Iblis Gelang
Raksasa itu terjadi kegaduhan di bawah. Pasukan ke-
rajaan yang semula menunggu di bawah dengan sikap
siaga kelihatan kalang kabut. Bunyi terompet tanda
bahaya menguak kesunyian malam, mengatasi riuh
rendah bunyi pertarungan.
Bunyi tanda bahaya dikeluarkan oleh prajurit-
prajurit yang berjaga-jaga di atas dinding istana. Mereka melihat serombongan
orang menuju ke istana.
Jumlah rombongan tak kurang dari seratus orang!
Rombongan yang sebagian besar mengenakan se-
ragam kerajaan itu berada di bawah pimpinan Pange-
ran Antaboga! Lelaki jangkung ini berlari paling depan, meninggalkan
rombongannya. Sepertinya, pangeran
pemberontak ini sudah tak sabar untuk merebut ista-
na kerajaan. "Pasukan dari mana itu?" tanya seorang prajurit yang bertubuh pendek gemuk
"Kalau melihat dari seragamnya sebagian besar pasukan Kadipaten Bringin," jawab
prajurit yang bertubuh tinggi kurus. "Tapi, sebagian lagi sepertinya orang-orang
persilatan!"
"Keparat!" Panglima Soka yang telah berada di atas dinding istana, karena
meninggalkan Tujuh Pendekar
Gunung Harimau bertempur dengan Iblis Gelang Rak-
sasa, memaki penuh kemurkaan. "Berani-beraninya pasukan Kadipaten Bringin
memberontak. Akan ku-penggal kepala Adipati Menak!"
Sambil berkata demikian Panglima Soka menyi-
pitkan mata untuk dapat melihat sosok yang tengah
melesat dengan kecepatan menakjubkan. Kecepatan
gerakan Pangeran Antaboga membuat Panglima Soka
tak bisa melihatnya dengan jelas.
Seperti yang sudah diperkirakan Pangeran Antabo-
ga, begitu tubuhnya semakin mendekati tembok istana dan telah berada dalam
jangkauan luncuran anak panah, prajurit-prajurit kerajaan yang sejak semula
telah siap dengan busur terentang segera membidiknya.
Twang, twang, twangngng...!
Puluhan anak panah meluncur ke arahnya, namun
tak dipedulikan sedikit pun oleh Pangeran Antaboga.
Lelaki jangkung ini hanya mengerahkan tenaga da-
lamnya. Maka, anak-anak panah yang mendarat di se-
kujur tubuhnya berpentalan kembali bagai mengenai
gumpalan karet keras.
Puluhan prajurit istana, tak terkecuali Panglima
Soka, terkejut melihat kenyataan itu. Kendati demi-
kian, para prajurit tetap melepaskan anak-anak pa-
nah. Panglima Soka sendiri tak mencegahnya. Baru ketika anak-anak panah kedua
runtuh semua dalam
keadaan patah ketika membentur tubuh Pangeran An-
taboga, Panglima Soka memerintahkan sebagian praju-
ritnya untuk mengganti senjata dengan golok.
Bertepatan dengan sebagian prajurit itu menghu-
nus golok, Pangeran Antaboga menjejak dinding tem-
bok istana. Seketika itu pula belasan batang golok telanjang menghujani sang
pangeran. Pangeran Antaboga hanya mendengus. Tangan dan
kakinya digerakkan ke sekitarnya. Bunyi berpatahan-
nya golok-golok pasukan kerajaan ketika membentur
sekujur tubuh Pangeran Antaboga terdengar berbaren-
gan dengan jeritan menyayat hati para pemiliknya. Tubuh-tubuh prajurit yang
malang itu pun berjatuhan ke tanah. Nyawa mereka telah melayang ke alam baka
sebelum tubuh mereka menimpa tanah.
Panglima Soka menggeram keras melihat tewasnya
prajurit-prajurit bawahannya. Dan, kegeramannya se-
makin bertambah ketika melihat tokoh yang menge-
jutkan itu. "Pangeran Antaboga...!" desis Panglima Soka seakan tak percaya dengan akan apa
yang dilihatnya.
Sekarang Panglima Soka baru percaya kalau Pan-
geran Antaboga benar-benar telah lolos dari tempat
pengasingan. "Syukur kau masih mampu mengenaliku, Soka,"
dengus Pangeran Antaboga setelah mengirim nyawa
lima orang prajurit yang mengeroyoknya dengan kiba-
san tangan dan kaki. "Kedatanganku kemari di samping ingin melenyapkan raja
keparat itu juga untuk
membunuh antek-anteknya yang setia seperti kau!"
"Jangan mimpi, Antaboga! kaulah yang akan ter-
kubur di sini!" sergah Panglima Soka. Kemudian dikirimkannya tusukan pedang ke
arah leher lelaki jang-
kung itu. Serangan Panglima Soka berbahaya bukan main.
Ujung pedangnya kelihatan seperti berjumlah belasan ketika meluncur ke arah
Pangeran Antaboga. Namun
pangeran itu tetap bersikap tenang.
Kreppp! Panglima Soka hampir tak percaya. Semula pan-
glima tinggi besar ini yakin betul pedangnya akan menembus leher lawan. Tapi
dengan gerakan, cepat yang tak bisa diikuti mata, Pangeran Antaboga merendah-kan
tubuh dengan cara menekuk lututnya. Tusukan
pedang yang semula mengarah ke leher jadi menembus
mulut. Dan sebelum ujung pedang melukai tenggoro-
kan, Pangeran Antaboga telah lebih dulu memupusnya
dengan menggigitnya! Sekali gigi-gigi itu ditekankan batang pedang Panglima Soka
yang terbuat dari baja
pilihan patah dua!
Tindakan Pangeran Antaboga tak berhenti hanya
sampai di situ. Kepalanya kemudian diegoskan. Aki-
batnya, potongan pedang Panglima Soka yang berada
di giginya melayang ke arah panglima itu dengan kecepatan yang luar biasa
tinggi. Panglima Soka terkejut bukan main. Sebisa-
bisanya dia berusaha mengelak. Tapi jarak yang demikian dekat dan kecepatan
meluncurnya potongan pe-
dang yang menakjubkan membuat panglima tinggi be-
sar ini tak terlalu berhasil dengan usahanya. Potongan pedang yang semula
mengincar jantung jadi menancap
di dada kiri atas Panglima Soka.
Tubuh Panglima Soka terjajar ke belakang akibat
hunjaman potongan pedang. Namun hal inilah yang
menyebabkan nyawa sang panglima lolos dari maut.
Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya po-
tongan pedang itu Pangeran Antaboga mengirimkan
tendangan ke arah pusar. Andaikata mengenai sasaran seluruh isi perut Panglima
Soka akan hancur berantakan!
Terjajar tubuh Panglima Soka ke belakang mem-
buat tendangan Pangeran Antaboga mendarat di paha
kanan. Itu pun tidak telak. Kendati demikian cukup
untuk membuat tubuh Panglima Soka terjengkang ke
belakang dengan tulang paha remuk.
Untungnya Panglima Soka memiliki watak keras
hati. Tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya, kendati rasa sakit yang
amat sangat mendera-dera pa-hanya. Bahkan panglima tinggi besar ini tak
mengeluarkan keluhan kaget meski semangatnya seperti terbang ketika kedua
kakinya tak menginjak landasan lagi. Sesaat kemudian, Panglima Soka baru
tersadar kalau dia telah terjatuh dari tembok istana
Pangeran Antaboga bergegas ikut melompat ke ba-
wah. Tapi tubuh Panglima Soka tak dipedulikannya.
Panglima Soka pingsan karena luka-luka yang dideri-
tanya terlalu menyakitkan. Dan Pangeran Antaboga
tak mengirimkan serangan susulan yang akan mem-
bawa sang panglima ke neraka. Tanpa dikirimkan se-
rangan susulan lagi pun nyawa Panglima Soka akan
sulit untuk diselamatkan. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah!
Bertepatan dengan menjejaknya kedua kaki Pange-
ran Antaboga di tanah, daun pintu gerbang hancur berantakan dengan diiringi
bunyi hiruk-pikuk yang me-
mekakkan telinga. Rupanya rombongan yang dipimpin
Pangeran Antaboga berhasil tiba di depan pintu ger-
bang dan menghancurkannya. Untuk kedua kalinya
daun pintu gerbang kerajaan hancur. Padahal baru
beberapa hari yang lalu daun pintu itu hancur berkeping-keping.
Dengan hancurnya daun pintu gerbang rombongan
Pangeran Antaboga leluasa masuk ke dalam lingkun-
gan istana. Berbondong-bondong mereka masuk yang
segera disambut oleh rombongan pasukan kerajaan.
Pertarungan besar-besaran pun terjadi.
Seketika dentang senjata beradu, pekikan-pekikan
perang, dan jerit kematian terdengar saling susul. Tubuh-tubuh malang berjatuhan
ke tanah dalam kea-
daan tak bernyawa. Tanah halaman kerajaan pun ber-
simbah darah. Pangeran Antaboga tak mempedulikan pertempu-
ran itu. Lelaki jangkung ini merasa dirinya terlampau tinggi untuk mencampuri
pertarungan semacam itu.
Pertarungan keroco-keroco. Sang pangeran ini melesat cepat menuju bangunan
istana raja. Beberapa kali lelaki jangkung ini terpaksa melem-
parkan tubuh-tubuh orang yang menghalangi jalan-
nya. Semua itu dilakukan hanya dengan mengibaskan
tangan atau kaki.
Pangeran Antaboga sama sekali tak ambil peduli
kalau rombongannya terdesak hebat. Rombongan yang
terdiri dari campuran pasukan Kadipaten Bringin dan tokoh-tokoh persilatan
golongan hitam itu terus didesak mundur ke luar tembok yang melingkari bangu-
nan-bangunan istana. Rombongan Pangeran Antaboga
kalah banyak jumlahnya. Karena itu, rombongan ini
terdesak hebat!
*** 7 Rombongan pasukan kerajaan sudah berbesar hati
melihat pihak penyerang berhasil mereka desak. Na-
mun kegembiraan itu hanya berlangsung sebentar sa-
ja. Perubahan besar-besaran segera terjadi! Gerombolan mayat hidup muncul dan
menyerang pihak mere-
ka. Sebuah hal yang aneh. Pihak penyerang tidak
mendapatkan serangan mayat-mayat hidup!
Kemunculan makhluk-makhluk menjijikkan itu
benar-benar merupakan malapetaka besar bagi pasu-
kan kerajaan. Hanya dalam sekejapan pihak kerajaan
ganti terdesak. Jeritan kematian terdengar saling susul di antara mereka.
Pihak penyerang semula ikut menyerang pasukan
kerajaan. Tapi sesaat kemudian mereka bertindak se-
bagai penonton saja. Rombongan penyerang menyak-
sikan jalannya pertarungan yang lebih layak disebut pembantaian besar-besaran.
Setapak demi setapak pasukan kerajaan terdesak
mundur. Malah ketika korban yang jatuh semakin ba-
nyak dan pasukan kerajaan telah putus asa, mereka
berbondong-bondong bergerak mundur untuk menca-
pai tempat di mana jarak lima tombak dari daun pintu gerbang berada. Mereka
ingin secepatnya berada di
tempat yang aman dari serangan mayat hidup.
Yakin akan keampuhan air bekas rendaman Tom-
bak Panca Warna yang dikucurkan mengitari tempat di mana dulu dinding istana
terdapat, rombongan pasukan kerajaan berhenti mundur. Mereka semua berdiri
menanti tewasnya mayat-mayat hidup dalam jarak sa-
tu tombak dari batasan untuk makhluk itu. Rombon-
gan pasukan kerajaan baru kelabakan ketika menge-
tahui mayat-mayat hidup terus melangkah maju mele-
wati batas tersebut. Mayat-mayat hidup itu tak mengalami kejadian apa pun ketika


Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melewati batas maut itu.
Malah, berbondong-bondong mereka melaluinya tanpa
terpengaruh sedikit pun!
Rombongan pasukan kerajaan tak mempunyai pili-
han lain kecuali terus bergerak mundur. Yang tak
sempat segera melakukan perlawanan semampunya.
Korban-korban di pihak kerajaan kembali berjatuhan.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Prabu Rancamala yang menyaksikannya dari
bangunan istana. Belasan
pasukan khusus berada di sekeliling raja yang masih terlihat gagah di usianya
yang senja itu.
"Apa yang terjadi, Eyang?" tanya Prabu Rancamala tanpa mampu menyembunyikan
kecemasan di wajahnya. "Mengapa makhluk-makhluk celaka itu mampu melewati tempat
yang telah dikucuri air sakti?"
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," jawab Eyang Santer sambil memberi hormat "Ini
berarti Tombak Panca Warna telah tidak berada di lingkungan istana lagi..."
"Maksud Eyang pusaka itu telah dicuri orang"!"
tanya Prabu Rancamala.
"Begitulah kira-kira, Gusti Prabu."
"Keparat!" geram Prabu Rancamala penuh kemarahan. Jari-jari tangannya
dikepalkan. "Apa kerjanya pa-ra prajurit itu"!"
Tak ada yang memberikan tanggapan sama sekali.
Tak juga Eyang Santer. Mereka semua khawatir terke-
na pelampiasan kemarahan Prabu Rancamala yang
tengah murka. "Menyesal dulu kubiarkan anak durhaka Antaboga itu hidup. Kalau ku tahu akan
seperti ini jadinya sudah ku hukum mati dia!" geram Prabu Rancamala lagi.
"Entah di mana dia memperoleh ilmu yang mampu
membuatnya melakukan hal-hal terkutuk itu!"
Di lain tempat Pangeran Antaboga yang tengah di-
maki-maki oleh Prabu Rancamala sedang melesat me-
nuju atas genting, di mana tengah terjadi pertarungan sengit antara Iblis Gelang
Raksasa dengan Tujuh Pendekar Gunung Harimau.
Saat itu kedudukan Iblis Gelang Raksasa sangat
mengkhawatirkan. Gerakan kakek ini sudah tak sege-
sit sebelumnya. Iblis Gelang Raksasa kelelahan karena terus menerus mengadu
tenaga dengan lawan-lawannya. Sekujur tubuh datuk sesat ini dibasahi peluh.
Gulungan gelang baja yang semula rapat melin-
dungi seluruh tubuhnya kini agak terbuka. Bunyi
mengaung yang mengiringi pergerakan gelangnya juga
semakin melemah.
Saat itulah Pangeran Antaboga muncul. Lelaki
jangkung ini langsung terjun ke dalam kancah perta-
rungan. Sang pangeran melesat ke tengah-tengah an-
tara Iblis Gelang Raksasa dan ketujuh lawannya. Pa-
dahal saat itu tiga batang golok tengah meluncur ke arah Iblis Gelang Raksasa.
Dengan melesat masuknya
Pangeran Antaboga menjadikan lelaki ini sasaran se-
rangan! Cap, cap, cappp!
Ujung tiga batang golok mengenai tiga sasaran di
tubuh Pangeran Antaboga dengan telak. Kendati me-
nyambar di tiga tempat, tenaga yang terkandung dalam setiap serangan merupakan
gabungan tenaga tiga
orang. Semula tiga tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung
Harimau ini kaget mendapati sesosok bayangan coklat melesat masuk ke dalam
kancah pertarungan dan terkena sasaran serangan mereka. Keterkejutan itu se-
makin membesar ketika melihat senjata-senjata mere-
ka tak mampu menembus tubuh Pangeran Antaboga!
Golok-golok itu hanya menembus pakaian sang pange-
ran tapi tak bisa melukai kulit. Mereka berusaha untuk menarik senjatanya.
Ternyata hal itu tak mampu
mereka lakukan.
Senjata itu seakan-akan telah bersatu dengan tu-
buh Pangeran Antaboga.
Di saat tokoh-tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung
Harimau berusaha keras menarik pulang senjatanya,
Pangeran Antaboga meludah tiga kali! Tiga gumpalan
cairan kental yang menjijikkan pun meluncur ke arah dahi masing-masing tokoh
golongan putih itu. Ketiganya kelihatan terperanjat. Serangan ludah itu amat
berbahaya. Terkena telak akan membuat dahi berlu-bang yang mengakibatkan nyawa
mereka melayang ke
alam baka. Dengan hati terpaksa golok-golok di tangan pun dilepaskan. Hampir
berbarengan ketiganya me-rendahkan tubuh sehingga serangan yang menjijikkan
itu lewat di atas kepala.
Pangeran Antaboga memang menunggu-nunggu
saat ini! Serangan dengan ludahnya itu hanya sekadar tipuan belaka. Dan,
serangan yang sesungguhnya adalah tendangan kaki kanan bertubi-tubi ke arah
perut ketiga lawannya.
Des, des, desss!
Tiga kali berturut-turut tendangan Pangeran Anta-
boga mendarat di sasaran. Seketika tubuh tiga pendekar yang malang itu
terjengkang ke belakang dengan
darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telin-ga mereka, Di saat tubuh
pendekar-pendekar itu me-
layang, nyawanya pun melayang!
Empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau yang
tersisa terkejut bukan main melihat hal ini
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat,
sehingga mereka tak sempat bertindak untuk mem-
bantu. Kemarahan terhadap Pangeran Antaboga pun
menyeruak. Dengan diiringi teriakan nyaring memba-
hana mereka menerjang sang pangeran. Golok-golok di tangan empat tokoh golongan
putih itu lenyap bentuknya menjadi gulungan sinar menyilaukan mata yang
mengancam keselamatan Pangeran Antaboga.
Tapi sebelum serangan empat dari Tujuh Pendekar
Gunung Harimau mengenai sasaran, dari belakang Ib-
lis Gelang Raksasa telah mengirimkan serangan den-
gan ayunan gelang bajanya ke arah kepala Pangeran
Antaboga! Sang pangeran terkejut bukan main men-
dengar deru angin keras dari arah belakangnya. Dalam sekejapan benaknya
memberitahukan akan adanya
bahaya maut. Buru-buru tubuhnya direndahkan.
Saat serangan gelang baja Iblis Gelang Raksasa le-
wat jauh di atas kepalanya, serangan golok-golok empat dari Tujuh Pendekar
Gunung Harimau meluncur
tiba. Pangeran Antaboga melesat cepat dengan mem-
pergunakan tangan dan kaki melalui bawah para pe-
nyerangnya. Pangeran itu seperti telah berubah menjadi bina-
tang berkaki empat.
Tindakan Pangeran Antaboga membuatnya berada
di belakang lawan-lawannya. Dan sebagai akibatnya,
Iblis Gelang Raksasa yang mendapatkan serangan la-
wan-lawan Pangeran Antaboga. Iblis Gelang Raksasa
yang tak mempunyai kesempatan mengelak segera
menangkis dengan senjata andalan.
Trangng! Dentang beradunya dua macam senjata yang diiku-
ti berpercikannya bunga api mengiringi terhuyungnya tubuh Iblis Gelang Raksasa.
Kakek berpakaian indah
ini masih sempat mengirimkan pukulan jarak jauh
dengan tangan kirinya.
Serangan yang mendatangkan deru angin kuat itu
membuat empat pendekar dari Tujuh Pendekar Gu-
nung Harimau yang tengah berada di udara tak kuasa
untuk bertahan. Mereka tak terluka. Tapi, ketika menjejak tanah tubuh mereka
limbung. Di saat itulah Pangeran Antaboga mencabut pe-
dang yang selama ini tergantung di pinggang dan tak pernah digunakan. Begitu
dicabut pedang itu langsung dikelebatkan. Tak terlihat bentuk pedang itu. Hanya
seleret sinar menyilaukan mata yang melesat. Sesaat kemudian, empat dari Tujuh
Pendekar Gunung Harimau yang tersisa memekik meregang maut sebelum
ambruk ke tanah.
Di punggung empat tokoh golongan putih yang ma-
lang itu tampak guratan memanjang yang mengalirkan
darah. Pangeran Antaboga sendiri telah menyimpan
pedangnya kembali.
Pangeran Antaboga menatap Iblis Gelang Raksasa
dengan sorot tajam. Sinar sepasang matanya maupun
raut wajahnya demikian dingin.
Meski merasa gentar, namun karena kemarahan
yang melanda hati mengingat Pangeran Antaboga telah menjebaknya, Iblis Gelang
Raksasa balas menatap.
Dua pasang mata tajam mencorong penuh tenaga da-
lam kuat saling beradu.
"Rupanya kau benar-benar bermaksud untuk ber-
musuhan denganku, Iblis Gelang"!" rungut Pangeran Antaboga, datar dan dingin
suaranya. "Apakah kau telah mempunyai andalan yang dapat kau pergunakan
untuk melawanku?"
"Cuhhh!"
Iblis Gelang Raksasa malah membuang ludah den-
gan pandang mata penuh tantangan.
Sikap Iblis Gelang Raksasa membuat kemarahan
Pangeran Antaboga semakin menjadi-jadi. Namun
pangeran ini masih mampu menahan diri karena ma-
sih mempunyai kepentingan terhadap datuk kaum se-
sat itu. "Aku masih mempunyai persediaan kesabaran, Ib-
lis Gelang. Maka, tindakanmu sekarang dan juga yang tadi ku maafkan. Kau bukan
termasuk musuhku. Apalagi kau telah memenuhi janji untuk menyatroni istana ini
dan mengambil Tombak Panca Warna. Kau termasuk rekan ku pula. Kita sahabat,
Iblis Gelang. Karena itu agar tak merusak persahabatan kita, kuharap kau
bersedia memberikan Tombak Panca Warna kepadaku!" "Tak usah bermanis mulut di
depanku, Antaboga!"
sentak Iblis Gelang Raksasa dengan nada tinggi. "Kua-kui kau memiliki kemampuan
dahsyat. Tapi itu tak berarti kau dapat mempermainkan diriku. Majulah, Ke-
parat! Penghinaan yang kau timpakan padaku hanya
dapat ditebus dengan nyawamu!"
Pangeran Antaboga menggertakkan gigi mendapat
sambutan pedas. Kemarahan semakin membakar ha-
tinya. Tapi, besarnya kemarahan itu masih kalah dengan rasa heran dan bingung
mendengar ucapan Iblis
Gelang Raksasa. Itulah sebabnya Pangeran Antaboga
masih bisa bersabar.
"Apa maksudmu, Iblis Gelang" Aku benar-benar tidak mengerti."
"Tidak mengerti"!" ulang Iblis Gelang Raksasa dengan suara semakin meninggi.
Sepasang matanya
membelalak lebar bagaikan hendak melompat keluar.
"Rupanya kau masih mencoba untuk terus berpura-pura, Boga! Baiklah ku jelaskan
agar kau tak me-
nyangka aku demikian bodoh. Permintaanmu untuk
mengambil Tombak Panca Warna hanya merupakan
sebuah jebakan"! Kau tak usah mungkir. Yang tahu
masalah ini hanya kau, aku dan sedikit anak buahku.
Tapi kenyataannya begitu aku tiba di sini langsung dikepung. Kalau tak beruntung
mungkin nyawaku telah
melayang. Nah, dari mana pasukan kerajaan tahu aku
akan menyatroni tempat ini kalau bukan darimu"!"
"Jaga mulutmu, Iblis Gelang!" bentak Pangeran Antaboga murka mendengar tuduhan
keji yang diala-
matkan padanya. "Untuk apa aku melakukan hal itu"
Membunuhmu dengan tangan sendiri pun tidak sulit.
Untuk apa aku meminjam tangan keroco-keroco untuk
menghabisi nyawamu" Kau saja yang terlalu bodoh
sehingga keroco-keroco mengetahui kedatanganmu!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga
lekat-lekat, dicobanya melihat kesungguhan lelaki
jangkung itu melalui mata dan wajahnya. Pangeran
Antaboga balas menatap. Iblis Gelang Raksasa menjadi bingung. Dilihatnya ada
kesungguhan baik dalam ucapan maupun sikap Pangeran Antaboga.
"Kalau bukan kau yang membocorkan hal ini, siapa lagi?" ujar Iblis Gelang
Raksasa dengan suara melu-nak. Nada ucapannya penuh pembelaan terhadap diri
sendiri "Kau yakin bukan anak buahmu?" tanya Pangeran Antaboga meminta kepastian.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk dengan pasti.
"Berarti ada orang lain yang mengetahui hal ini,"
sambut Pangeran Antaboga. "Tapi itu tak penting. Bagaimana dengan Tombak Panca
Warna itu" Berhasil
kau dapatkan?"
"Bagaimana mungkin aku mendapatkan pusaka itu
kalau sebelum tiba di tempatnya aku telah dikepung
oleh orang-orang kerajaan!" bantah Iblis Gelang Raksasa memberikan alasan
kegagalannya. "Berarti kau belum ke tempat pusaka itu"!" Pangeran Antaboga meminta penegasan
dengan sorot mata
lain. Iblis Gelang Raksasa mengangguk.
Tanpa membuang-buang waktu Pangeran Antaboga
melesat ke arah puncak genting. Hanya sesaat saja dia di sana, dan kemudian
kembali dengan sikap bingung
yang tak tersembunyikan.
Tanpa diberi penjelasan pun Iblis Gelang Raksasa
telah bisa menduga kalau Pangeran Antaboga tak ber-
hasil mendapatkan pusaka yang diinginkannya. Kakek
berpakaian indah itu pun lalu diam membisu.
"Benar kau belum mengambil Tombak Panca War-
na itu, Iblis Gelang"!" tanya Pangeran Antaboga dengan nada ucapan yang
mengandung ancaman.
"Apakah perlu aku bersumpah, Antaboga?" Iblis Gelang Raksasa malah balas
mengajukan pertanyaan.
Pangeran Antaboga tak memberikan jawaban. Dia
merasa Iblis Gelang Raksasa tak berbohong dengan
ucapannya. "Berarti ada orang ketiga yang mengetahui hal ini,"
desis Pangeran Antaboga penuh perasaan geram.
"Orang itu pula yang menyebabkan kau seperti terje-bak, Iblis Gelang" Dan...
orang itu pula yang telah mengambil Tombak Panca Warna! Keparat! Pengecut
hina itu akan menyesali perbuatannya!"
Iblis Gelang Raksasa tak memberikan sambutan
sama sekali. Dia tak terlalu memusingkan masalah
ada atau tidaknya Tombak Panca Warna. Karena dia
pribadi tak membutuhkan pusaka itu.
Sorak-sorai kemenangan dari bawah menyadarkan
Pangeran Antaboga kalau dirinya masih mempunyai
urusan penting. Tanpa mempedulikan Iblis Gelang
Raksasa dilayangkan pandangannya ke bawah.
Wajah sang pangeran tampak membiaskan keter-
kejutan yang sangat. Pandangannya tertumbuk pada


Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerombolan mayat hidup yang melesat berbondong-
bondong meninggalkan halaman istana. Di pinggir ber-gerombolan rombongan yang
dipimpinnya, bersorak-
sorak memekikkan kemenangan dan kegembiraan.
Pangeran Antaboga melesat ke bawah. Dalam hati
dimaki dirinya sendiri yang telah melupakan segala hal karena terlalu memikirkan
Tombak Panca Warna. Begitu menjejak tanah Pangeran Antaboga langsung me-
layangkan pandangan ke sekelilingnya. Tak terlihat la-gi pasukan kerajaan. Yang
tampak di sana-sini dan di dalam bangunan hanya rombongannya.
"Ke mana raja keparat itu"!" tanya Pangeran Antaboga pada seorang anggota
rombongannya. "Mereka semua melarikan diri melalui jalan rahasia, Gusti Pangeran," jawab yang
ditanya. "Keparat!" Pangeran Antaboga memukulkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan
kirinya. Kelihatan jelas pangeran itu merasa geram dan ke-
cewa dengan kegagalannya. Beberapa kali ditariknya
napas panjang untuk menenangkan hati. "Tak mengapa. Kelak pun masih ada
kesempatan untuk mele-
nyapkan nyawa raja jahanam itu," gumam Pangeran Antaboga pelan. "Tapi benarkah
apa yang kulihat tadi"
Mayat-mayat hidup meninggalkan tempat ini?" tanya sang pangeran ketika teringat
lagi dengan pemandangan yang menimbulkan keterkejutan di hatinya.
"Benar, Gusti Pangeran. Bahkan mayat-mayat hi-
dup itu membantu kami memerangi pasukan kerajaan.
Tanpa adanya bantuan makhluk-makhluk itu kami
akan dapat dilumpuhkan pasukan raja lalim itu!" ja-
wab orang yang ditanya.
Pangeran Antaboga mengernyitkan kening. Dia
memang memiliki kemampuan untuk membangunkan
mayat-mayat dan memerintahkannya melakukan per-
buatan yang dikehendakinya. Tapi tidak kali ini! Pangeran Antaboga baru
melakukannya dua kali. Pertama, mayat-mayat itu dibangunkan untuk mencegah
kedatangan rombongan Panglima Soka untuk menemuinya.
Yang kedua, sewaktu menyerbu kerajaan sebagai uji
coba kekuatan bala tentara Prabu Rancamala sebelum
serangan sesungguhnya dilancarkan.
"Mungkinkah mayat-mayat hidup itu bangkit sen-
diri lalu melancarkan penyerangan?" tanya hati Pangeran Antaboga, bingung.
Tapi setelah tidak menemukan jawabannya cukup
lama, Pangeran Antaboga melupakannya. Yang meme-
nuhi benaknya sekarang adalah perasaan gembira ka-
rena telah berhasil memenuhi sebagian keinginannya, merebut kerajaan!
*** 8 "Relakanlah kepergiannya, Wati. Semua kejadian yang ada di muka bumi ini atas
kehendak Allah.
Ayahmu tewas pun demikian. Kalau kau terus-
menerus terlibat kesedihan seperti ini, sama saja artinya kau tak setuju dengan
keputusan Allah. Itu tak baik, Wati"
Ucapan yang sarat dengan nasihat itu dikeluarkan
Arya. Saat itu dia tengah berdiri di belakang seorang gadis yang duduk bersimpuh
di depan sebuah kubu-
ran. Gadis itu adalah Kusumawati.
"Aku akan dapat menerima kepedihan ini dengan
lapang dada kalau tidak demikian bertubi-tubi, Dewa Arak," timpal Kusumawati.
"Bagaimana mungkin aku tak akan terpukul menerimanya. Baru saja Kak Angruna
lenyap, telah muncul lagi musibah lain. Ayahku tewas secara demikian mengerikan.
Melihat keadaan
mayatnya, pasti beliau direncah-rencah oleh mayat-
mayat hidup jahanam itu! Terkutuk! Akan ku basmi
orang yang telah menggerakkan makhluk-makhluk ja-
hanam itu!"
Arya hanya menggelengkan kepala melihat sikap
Kusumawati. Di lubuk hatinya pemuda ini tak bisa
menyalahkan gadis itu. Arya bisa merasakan kepedi-
han hatinya. Tewasnya sang ayah saja sebenarnya su-
dah memukul perasaan. Apalagi tewasnya Sanggara
dengan cara yang mengenaskan. Tubuh ayah Kusu-
mawati itu cerai-berai seperti dikoyak-koyak binatang buas.
"Sekarang dengan siapa aku harus tinggal, Dewa Arak" Ayahku tak mempunyai
kenalan lagi. Apakah
aku boleh ikut bersamamu merantau," tanya Kusumawati setelah membalikkan tubuh
dan berdiri mena-
tap wajah Arya lekat-lekat. Sinar mata gadis ini terlihat penuh harapan.
Arya jadi kebingungan. Bagaimana mungkin per-
mintaan Kusumawati bisa diterimanya. Kusumawati
adalah seorang gadis. Akan tak baik akibatnya apabila ikut bersamanya merantau.
Apa tanggapan Melati nanti" Tapi untuk menolak terang-terangan Arya tak bera-ni.
Pemuda ini takut Kusumawati akan tersinggung
dan semakin larut dalam kesedihan.
"Kita lihat saja nanti, Wati," jawab Arya setelah mempertimbangkannya sejenak.
"Pada pokoknya aku
setuju saja kau ikut bersamaku merantau. Lagi pula
saat ini pun kita tengah bersama-sama merantau un-
tuk mencari jejak kakakmu yang lenyap dan mencari
siapa yang menjadi penyebab timbulnya tanda aneh di langit. Bukankah demikian?"
Kusumawati mengangguk-anggukkan kepala. Ala-
san yang diajukan Arya bisa diterimanya. Bagi gadis ini, asal Arya sudah setuju
dia merasa sangat senang.
"Ssst...! Aku mendengar banyak langkah kaki mendekati tempat ini, Wati.
Bersembunyilah dulu," beritahu Arya dengan suara lirih ketika dilihatnya
Kusumawati hendak berbicara lagi.
Kusumawati menahan ucapan yang hendak dike-
luarkannya. Dia bergegas berlindung di balik gundu-
kan batu yang cukup banyak berada di tempat itu.
Arya pun melakukan hal yang sama. Dari celah-celah
yang ada pasangan muda-mudi ini mengintai ke arah
asal suara. Kusumawati yang belum mendengar bunyi yang
dimaksud Dewa Arak hanya mengikuti ke mana pe-
muda itu mengarahkan pandangan. Sepasang mata
Arya ternyata dilayangkan ke arah lubang sebuah gua yang tadi berada di belakang
mereka. Sebentar kemudian Kusumawati pun mendengar
bunyi langkah yang tadi didengar Arya. Gadis ini semakin bertambah kagum.
Kenyataan ini menunjukkan
ketinggian ilmu pemuda berambut putih keperakan
itu. Dengan hati berdebar tegang karena perasaan ingin tahu, Kusumawati
menunggu. Tak lama kemudian penyebab suara itu terlihat
muncul di depan gua. Sebagian besar adalah lelaki-
lelaki gagah dan kekar terbungkus pakaian kerajaan.
Seragam itu sama dengan seragam yang dikenakan
rombongan yang dipimpin Panglima Soka dan Pangli-
ma Gardika. Rombongan yang diserbu oleh gerombolan
mayat hidup! Dugaan Kusumawati memang tak keliru. Rombon-
gan itu adalah pasukan kerajaan yang mengawal Pra-
bu Rancamala menyelamatkan diri. Di antara mereka
terdapat Eyang Santer.
"Kurasa tempat ini cocok untuk beristirahat. Aku sangat lelah sekali," ujar
Prabu Rancamala yang wajahnya sudah dibasahi peluh.
Seketika itu pula rombongan pasukan khusus be-
kerja. Dengan gerak cepat mereka membersihkan tem-
pat itu dan menyediakan hal-hal yang pantas untuk
menyenangkan junjungan mereka.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?"
tanya Prabu Rancamala
Raja yang kelelahan ini kelihatan mengantuk. Be-
liau duduk bersandar dengan dikipasi dua anggota pasukan khususnya.
"Ampun, Gusti Prabu," sembah Eyang Santer. "Menurut hemat hamba, yang penting
sekarang adalah ki-
ta bersantai dulu. Dengan perut yang kenyang akan
mudah dan enak bagi kita untuk berpikir."
Wajah Prabu Rancamala kelihatan berseri. Sebuah
usul yang amat bagus, pikirnya. Saat ini dia memang tengah lapar. Namun,
perasaan takut yang besar akan kehilangan nyawa membuat Prabu Rancamala seperti
lupa dengan hal itu. Dia baru teringat kembali ketika diingatkan.
Prabu Rancamala dengan suara keras segera me-
merintahkan semua prajuritnya untuk mencari maka-
nan yang enak-enak. Yang disuruhnya tinggal hanya
dua orang, itu pun yang bertugas mengipasi tubuhnya.
"Sambil kita menunggu makanan tiba tak ada sa-
lahnya kalau perbincangan dilanjutkan, Eyang."
"Benar, Gusti Prabu. Tambahan lagi hamba me-
mang hendak membicarakan sesuatu. Hanya hamba
masih ragu."
"Mengapa mesti ragu" Apa yang harus diragukan"
Katakan saja, Eyang!" timpal Prabu Rancamala.
"Baiklah kalau begitu, Gusti Prabu," Eyang Santer seperti terpaksa. menyerah.
"Sebenarnya sudah lama hamba hendak membicarakan hal ini. Sesungguhnya
hamba... maksudku, aku ingin membunuhmu, Raja
Keparat!" Prabu Rancamala sampai terjingkat kaget menden-
gar ucapan itu. Dua pengawal khususnya pun tersen-
tak. Serentak keduanya maju ke depan dua langkah
sehingga berada di kanan dan kiri sang raja. Sikap mereka terlihat demikian
melindungi. "Perlu kuberitahukan padamu, Raja Kejam! In-
gatkah kau akan peristiwa pemberontakan Pangeran
Antaboga dan aku memintamu untuk membebaskan
seorang pemuda dari hukuman mati" Pemuda yang
menjadi anak buah pangeran itu kukatakan amat me-
narik hatiku. Ketahuilah, pemuda itu adalah cucuku!
Ayah dari pemuda itu adalah menantuku. Kau tak
akan mengenal anakku karena aku telah terpisah den-
gannya sebelum mengabdi kepadamu!"
Prabu Rancamala tak berkata apa pun selain
menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap bingung.
Dua pengawal khususnya telah mencabut senjata mas-
ing-masing untuk menghadapi serangan tak terduga
Eyang Santer. "Aku dendam sekali akan kejadian itu! Kalau saja dulu aku berani mengutarakan
hal ini, aku khawatir
kedudukanku akan dicopot dan ikut kau hukum mati
sebagai seorang pemberontak. Maka meski sakit hati
aku mampu meredamnya."
Eyang Santer menghentikan ucapannya sebentar
untuk menelan liur, membasahi kerongkongannya
yang terasa kering.
"Sakit hati yang berhasil kutekan semakin menyakitkan ketika ku tahu anakku
meninggal karena me-
nanggung kesedihan besar akibat tewasnya anaknya.
Aku sudah mulai berpikir untuk membunuhmu. Tapi,
sayang aku masih khawatir mati sebagai seorang pem-
berontak. Aku ingin hidup terhormat. Maka, ku buang jauh-jauh lagi pikiran itu!"
Prabu Rancamala hanya diam. Raja ini terlalu ka-
get mendengar berita yang didapatnya.
"Tapi sekarang kau bukan lagi seorang Raja! Jadi, aku tak mempunyai harapan apa
pun lagi jika tetap
menjadi orangmu! Kau harus mati, Raja Lalim!"
Setelah berkata demikian, Eyang Santer menyerang
Prabu Rancamala. Kedua tangannya dipukulkan ber-
tubi-tubi berupa pukulan kanan dan kiri ke arah dada orang nomor satu dalam
kerajaan itu. Dua orang anggota pasukan khusus tak tinggal di-
am. Mereka segera bergerak maju dan memapaki da-
tangnya serbuan. Tapi hanya dengan kibasan kedua
tangannya Eyang Santer berhasil membuat kedua pen-
gawal itu terpental ke kanan dan kiri. Prabu Rancama-la terperanjat melihat
kenyataan ini. Sementara Eyang Santer melangkah lambat-lambat menghampirinya.
Kakek ini kembali mengirimkan serangan ketika jaraknya telah dekat.
Dewa Arak tak bisa tinggal diam lagi. Dari perbin-
cangan yang ditangkapnya bisa diketahui kalau Eyang Santer bukan orang baik-
baik. Kendati Prabu Rancamala sendiri belum tentu merupakan raja yang baik,
tapi Dewa Arak lebih condong terhadap sang raja. Arya bergegas melompat keluar
dari tempat persembu-
nyiannya. Pemuda ini langsung memapaki serangan
Eyang Santer. Plak, plak, plakkk!
Bunyi benturan berkali-kali terdengar ketika puku-
lan Eyang Santer berhasil ditangkis Dewa Arak. Tubuh kakek itu terjengkang ke
belakang dan terbanting di tanah. Untung baginya Dewa Arak tak ingin mencela-
kainya. Papakan yang dikirimkannya hanya untuk me-
lumpuhkan serangan Eyang Santer.
Begitu berhasil bangkit Eyang Santer membelalak-
kan mata melihat Dewa Arak. Kakek ini sadar seorang tokoh hebat telah datang
untuk menolong Prabu Rancamala. Dan dirinya bukan tandingan pemuda itu.
Setelah melempar pandang sebentar pada Dewa
Arak, Eyang Santer menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Wajah kakek itu
memperlihatkan kenyerian
yang besar. Darah tampak mengalir keluar dari mulutnya. Dewa Arak terperanjat
bukan main melihat tindakan yang diambil Eyang Santer. Nyawa kakek itu tak
akan bisa diselamatkan lagi. Arya tak mengerti menga-pa Eyang Santer membunuh
diri" Padahal, dia tak
berniat membunuh kakek berjenggot panjang ini.
Dewa Arak tak tahu kalau Eyang Santer mempu-
nyai pendirian aneh. Dari pada terbunuh orang lain, Eyang Santer lebih suka mati
di tangan sendiri, membunuh diri!
Dewa Arak menghambur ke arah si kakek. Tapi se-
belum pemuda berambut putih keperakan ini berhasil
menyentuh tubuh Eyang Santer, kakek itu ambruk di
tanah dan diam tak bergerak lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Kalau tak ada dirimu mungkin saat ini nyawaku telah melayang ke alam baka. Boleh
ku tahu nama atau ju-
lukanmu?" tanya Prabu Rancamala penuh rasa terima kasih dan gembira. Sambil
berkata demikian Prabu
Rancamala melangkah menghampiri Dewa Arak.
"Lupakanlah, Gusti Prabu. Hanya sebuah pertolongan kecil yang tak ada artinya. O
ya, namaku Arya Buana. Panggil saja, Arya," ujar Arya memperkenalkan di-ri tanpa
menyebutkan julukannya.
"Dan aku Kusumawati, Gusti Prabu," sambung sebuah suara yang melesat dari balik
gundukan batu. Prabu Rancamala menoleh lalu tertawa bergelak.
Raja ini merasa geli melihat tingkah Kusumawati.
"Kalian adalah pasangan pendekar muda yang sa-
ma-sama cakapnya. Senang bertemu kalian di sini."
"Kami pun senang bertemu dengan Gusti Prabu.


Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah apa gerangan keperluan Gusti Prabu di tempat
ini. Berburukah?" tanya Arya ingin tahu.
Wajah Prabu Rancamala jadi tertutup mendung
kedukaan. Tentu saja Arya dan Kusumawati terperan-
jat melihatnya. Sebenarnya, ucapan yang didengar dari Eyang Santer sedikit
membuat Arya bisa memperkirakan apa yang terjadi. Namun untuk kepastiannya per-
tanyaan itu diajukan juga.
"Malapetaka besar menimpa kerajaan kami, Arya, Wati," beritahu Prabu Rancamala
dengan suara sendu.
Kemudian secara singkat diceritakannya semua
yang menimpa kerajaan akibat ulah Pangeran Antabo-
ga. Dewa Arak dan Kusumawati mendengarkan dengan
penuh perhatian. Tak sekali pun pasangan pendekar
muda ini menyela cerita.
"Berbahaya sekali...!" cetus Arya ketika Prabu Rancamala telah selesai
bercerita. "Lalu, apa tindakan yang akan Gusti Prabu lakukan?"
"Entahlah," jawab Prabu Rancamala sambil menggeleng.
"Menurut pendapat hamba, kita minta bantuan
pada kerajaan tetangga. Kita serbu kembali para pemberontak itu," usul
Kusumawati. "Hamba yakin Pangeran Antabogalah yang menjadi sumber kekacauan se-
lama ini. Maksudku, kau ingat perkataan Kakek Se-
tyaki, Dewa Arak?" tanyanya kemudian pada Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengang-
guk. Ketika dia akan memberikan jawaban, sebuah
suara lain mendahuluinya.
"Tapi sebelum mereka menyerbu, agar tak ada lagi mayat hidup yang mengganggu dan
ikut campur dalam
pertempuran, setiap prajurit harus mendapatkan ku-
curan air ini!"
Prabu Rancamala, Dewa Arak, dan Kusumawati
menolehkan kepala ke arah asal suara. Mereka melihat dua sosok tubuh berjalan
menghampiri. Dua sosok
yang masih berjarak sepuluh tombak.
Sosok yang pertama seorang kakek berkepala bo-
tak dan bertelanjang baju. Hanya sepotong celana
pendek membungkus bagian bawah tubuhnya. Kusu-
mawati dan Dewa Arak terkejut bercampur gembira.
Kakek inilah yang dimaksud Setyaki.
Sosok kedua tak dikenal Arya. Dia seorang pemu-
da. Tapi tidak demikian halnya dengan Kusumawati.
Wajah gadis ini terlihat menyiratkan kegembiraan yang sangat. Bahkan, seruan
kegembiraan terlontar dari
mulutnya. "Kak Angruna...!" seru Kusumawati dalam luapan kegembiraan yang besar.
"Kusumawati...!" panggil Angruna tak kalah keras.
Kakak beradik ini berlari menghambur dengan ke-
dua tangan terkembang. Sebentar kemudian tubuh
keduanya telah saling berangkulan.
"Syukurlah kau selamat, Kak Angruna. Aku sangat
gelisah sekali. Kupikir kau telah...," Kusumawati menghentikan ucapannya di
tengah jalan. "Kakek yang bersamaku ini telah menolongku sebelum mayat-mayat hidup mencelakai
ku, Kusumawati,"
beritahu Angruna.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari" Apakah
hanya kebetulan saja?" tanya Kusumawati.
"Tidak, Wati," Angruna menggeleng.
Kakek Setyaki yang memberitahukan kami. Beliau
berhasil menemui kami karena tanda yang telah dibe-
rikannya pada kita berdua. Kau ingat kan, Wati?"
Kusumawati mengangguk.
"Kau mengenal benda ini, Gusti Prabu," tanya kakek botak pada Prabu Rancamala.
Gaya bicaranya se-
perti berbincang-bincang dengan seorang kawan yang
setingkatan. Prabu Rancamala memperhatikan benda yang di-
angsurkan kakek botak. Sebuah benda yang aneh ka-
rena berbentuk bintang persegi lima. Ujung-ujungnya mirip tombak kecil. Panjang
tiap sisi tak kurang dari dua jengkal.
"Aku tak pernah melihat benda seperti ini," jawab Prabu Rancamala setelah
memperhatikan beberapa
saat lamanya. "Sekarang lihatlah lagi dengan kau kerahkan sedikit tenaga dalam, Gusti Prabu,"
ucap kakek botak lagi.
"Ah...!"
Seruan kaget itu bukan hanya keluar dari mulut
Prabu Rancamala, tapi juga Dewa Arak. Tiap-tiap segi pada benda berbentuk segi
lima itu memancarkan
warna yang berbeda. Merah, kuning, hijau, biru, dan putih. Lima macam warna.
"Apakah itu Tombak Panca Warna"!" tanya Prabu Rancamala ketika teringat akan
senjata pusaka kera-
jaan yang telah lenyap.
"Benar, Gusti Prabu. Aku mengambilnya sebelum
Pangeran Antaboga atau tokoh lainnya yang bersem-
bunyi di balik Pangeran Antaboga mencurinya. Aku ta-hu, keduanya bermaksud
mengambilnya. Jatuhnya
Tombak Panca Warna ke tangan salah satu di antara
mereka berarti malapetaka besar bagi dunia persila-
tan," jelas kakek botak.
Dewa Arak dan Prabu Rancamala hanya menden-
garkan semua keterangan kakek botak dengan sikap
takjub. "Tombak Panca Warna ini akan ku rendam air dan ku kucurkan pada setiap prajurit.
Kemudian, kita serbu kerajaan. Dengan kemukjizatan air rendaman tom-
bak ini mayat-mayat hidup tak akan berarti apa pun.
Nah, kau laksanakan penjelasanku tadi, Dewa Arak!"
Kakek botak melemparkan tombak itu pada Arya,
yang segera menangkapnya. Tapi, raut wajah Arya me-
nyiratkan keheranan.
"Mengapa harus aku, Kek?"
"Karena kaulah yang memiliki kepandaian setingkat dengan iblis-iblis penyebar
bencana itu. Tak ada lagi orang lain," jelas kakek botak tak sabaran.
Arya tak memberikan tanggapan lagi. Prabu Ran-
camala termangu. "Jadi, inikah tokoh yang berjuluk Dewa Arak?" tanya raja ini
dalam hati. *** Bantuan kerajaan tetangga, tokoh-tokoh persilatan
aliran putih, dan sisa-sisa prajurit kerajaan cukup untuk membuat pasukan yang
dipimpin Prabu Rancama-
la menjadi besar. Berbondong-bondong mereka menuju
istana kerajaan.
Kedatangan rombongan penyerbu ini segera dike-
tahui oleh pasukan Kadipaten Bringin yang telah men-guasai kerajaan. Anak-anak
panah pun berhamburan
bagaikan hujan ke arah rombongan pasukan penyer-
bu. Tapi rombongan yang dipimpin Prabu Rancamala
memang telah bersiap sedia. Tameng-tameng yang me-
reka bawa segera dipergunakan untuk memapaki hu-
jan anak panah.
Dengan adanya tameng itu serangan anak panah
pasukan Kadipaten Bringin kandas. Pasukan kerajaan
terus meluruk maju. Pertempuran besar-besaran pun
terjadi ketika pintu gerbang berhasil didobrak Dewa Arak.
Suasana siang yang semula hening dipecahkan
oleh teriakan-teriakan kemarahan, jerit kesakitan, dan dentang senjata beradu.
Darah mengalir membasahi
tanah seiring dengan robohnya beberapa sosok tubuh.
Pertempuran yang terjadi berlangsung sengit. Se-
bagian besar memiliki kemampuan berimbang. Itu ter-
jadi karena masing-masing diri memilih lawan yang
seimbang. Hanya Iblis Gelang Raksasa seorang yang
bertarung bagai orang mencabuti rumput. Ke mana
pun tangan atau kakinya bergerak akan ada sesosok
tubuh jatuh tak bernyawa lagi.
Dewa Arak yang melihat hal ini tak bisa tinggal di-
am. Pemuda ini menerobos kerumunan orang-orang
yang sedang bertempur untuk menghampiri Iblis Ge-
lang Raksasa. Dan ketika kedua tokoh itu telah dekat, pertarungan pun tak bisa
dicegah lagi. Senjata Iblis Gelang Raksasa memang hebat bukan
main. Apalagi di tangan seorang tokoh seperti datuk sesat ini. Gelang itu dapat
diperlakukan semaunya.
Tapi, lawan yang dihadapi datuk sesat itu adalah Dewa Arak. Dengan gucinya
pemuda ini mampu mengim-
bangi lawan, dan bahkan mengirimkan serangan tak
kalah dahsyat. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Sampai em-
pat puluh jurus jalannya pertarungan masih berlang-
sung imbang. Kedua belah pihak saling serang dan
tangkis. Tapi ketika menginjak jurus keenam puluh, Iblis
Gelang Raksasa harus mengakui keunggulan lawan-
nya. Perlahan-lahan Dewa Arak mampu mendesak.
Arya mempergunakan kedua tangan, guci, dan sembu-
ran arak dari mulutnya. Dipadu dengan ilmu 'Belalang Sakti' yang aneh serta
jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang ajaib.
"Haaat!"
Di saat Iblis Gelang Raksasa menyorongkan gelang
dengan kedua tangan pada dada Dewa Arak, pemuda
itu melompat ke atas dan mengirimkan tendangan ke
arah dada. Desss! "Aaakh...!"
Iblis Gelang Raksasa meraung memilukan hati.
Tendangan Dewa Arak secara telak mengenai dadanya.
Tubuh datuk sesat ini melayang jauh ke belakang. Darah menyembur dari mulut,
hidung, dan kedua telin-
ganya. Saat itu juga nyawa Iblis Gelang Raksasa mela-wat ke akhirat. Tulang-
tulang dadanya hancur beran-
takan! Dewa Arak tak peduli pada Iblis Gelang Raksasa.
Pemuda ini segera melesat ke atas genting dan mele-
takkan Tombak Panca Warna di tempat semula.
Terdengar raungan laksana puluhan ekor macan
terluka dari dalam bangunan istana. Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat keluar
dengan kecepatan luar
biasa. Sekujur tubuhnya diselimuti kobaran api. Meski
begitu orang mengenalinya sebagai sosok Pangeran Antaboga!
Baru beberapa tombak melalui anak tangga istana
yang paling bawah, terdengar bunyi letupan keras,
disusul dengan hancurnya tubuh Pangeran Antaboga.
Seulas senyum tersungging di mulut Dewa Arak.
Dia tak merasa heran melihat kejadian aneh itu. Kakek botak telah
memberitahukannya. Rupanya, Kakek Setyaki bersama-sama dengan kakek botak telah
berhasil mengungkapkan rahasia tanda aneh di langit.
Tanda itu muncul karena sebuah lorong yang
menghubungkan alam gaib dan alam nyata terbuka.
Sebenarnya hal ini sering terjadi. Tapi, tanda itu muncul karena adanya
keinginan seorang manusia, Pange-
ran Antaboga. Melalui lorong itu dia meninggalkan
alam gaib dengan membawa ilmu dari alam itu. Dua
tahun yang lalu sang pangeran terjerumus ke sana secara tak sengaja.
Arya kemudian mengalihkan perhatian pada perta-
rungan yang berlangsung. Keadaan sudah dikuasai
oleh pasukan kerajaan di bawah pimpinan Prabu Ran-
camala. Kemenangan yang akan dipetik hanya tinggal
menunggu waktu saja. Angruna dan Kusumawati ber-
laga dengan penuh semangat. Mereka seperti berlomba untuk merobohkan lawan
sebanyak-banyaknya.
Arya tersenyum lagi ketika teringat akan maksud
Kusumawati. Munculnya Angruna membuat gadis itu
tak mempunyai alasan untuk berpetualang dengannya.
Arya merasa lega. Dia lebih suka bertualang dengan
Melati. "Bagaimana kabar Melati sekarang?" tanya pemuda ini dalam hati dengan rasa rindu
yang menggebu-gebu.
Dengan benak masih membayangkan Melati, Dewa
Arak melangkah meninggalkan tempat itu. Tak sampai
lima puluh tombak melangkah, kegaduhan yang ter-
dengar sejak tadi telah sirna. Kini yang terdengar
hanya pekik kemenangan dari pihak kerajaan.
Di antara kegaduhan itu tertangkap oleh telinga
Arya seruan Kusumawati yang mencari-cari dirinya.
Arya hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan
kepala. Dia tetap meneruskan ayunan kakinya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Bangsa Petualang 12 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Pedang Penakluk Iblis 9
^