Pencarian

Tumpahan Darah Di Supit 2

Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Bagian 2


hadap Lelawa Ijo"!" bentak penunggang kuda ter-depan, keras penuh kemarahan.
Dia adalah seorang lelaki setengah baya
berpakaian serba hitam. Tubuhnya kekar dan be-
rotot. Raut wajahnya hanya terlihat sebagian ka-
rena tertutup oleh kumis, jenggot, dan cambang
bauk lebat yang tidak terurus! Lelaki ini menung-
gang kuda yang terlihat paling besar dan perkasa
daripada dua ekor kuda yang ditunggangi oleh
orang-orang di kanan kirinya.
Laki-laki bercambang bauk yang menye-
butkan dirinya Lelawa Ijo gerak-gerakkan tangan
kirinya. Angin keras menggebrak. Sejurus kemu-
dian, debu-debu yang menghalangi pandangan
pun terusir pergi
Lelawa Ijo dan dua orang bertampang ga-
rang di kanan kirinya, terperangah ketika melihat orang-orang yang berani
bertindak demikian kurang ajar! Tapi, pandang mata mereka segera ter-
tuju pada Putri Tunjung Kuning! Abilowo hanya
dilihat sekelebatan saja. Dan, pandang mata tiga
orang itu terhadap ibunya Abilowo liar, penuh
nafsu berahi! Tiga pasang mata memandang tak berke-
dip, lalu geleng-geleng kepala dengan mulut ber-
decak-decak. Sikap mereka seperti sekawanan
harimau lapar melihat seekor kambing gemuk.
Putri Tunjung Kuning merasa muak melihatnya,
karena mengingatkannya akan nasib yang diteri-
manya dari Malaikat Berdarah Biru.
"Binatang-binatang semacam inilah yang
membuat wanita menjadi barang permainan. Ka-
lau saja tak ingat akan keperluanku, sudah kuko-
rek keluar mata mereka!" batin gadis berpakaian kuning geram.
"Duhai, Sang Bidadari. Seandainya dari
semula kutahu, yang melakukan tindakan ini
adalah kau, tak akan kekeluarkan kata-kata se-
perti itu. Kalau boleh kutahu, apa maksud sang
Bidadari bercapai lelah turun dari kahyangan dan
menghadang perjalananku bersama anak-anak
buahku"!" seperti seorang penyair, Lelawa Ijo mengatur kata-katanya sementara
dua rekannya hanya tersenyum-senyum memuakkan.
Putri Tunjung Kuning semakin muak dan
sebal melihat tingkah mereka. Diam-diam di da-
lam hatinya dia berkata.
"Sekarang kalian boleh tersenyum-senyum
dan bergembira. Tapi, sebentar lagi kalian akan
meratap-ratap di bawah kakiku!"
"Kau memang memiliki kecerdasan yang
mengagumkan, Lelawa Ijo," ujar gadis berpakaian kuning itu berusaha sedapat
mungkin melem-butkan ucapannya. "Kau mampu mengetahui ka-
lau aku sengaja menghadangmu. Dan itu, karena
adanya satu keperluan."
"Begitukah, Bidadariku"!" sambut Lelawa Ijo seraya lemparkan senyum yang
diyakininya merupakan senyumnya yang paling manis. "Katakan apakah keperluanmu itu"!
Membunuh orang"! Jangan khawatir, aku Lelawa Ijo akan
memenggal kepalanya! Siapa yang tak kenal den-
gan Lelawa Ijo, gembong penjahat yang merajai
hutan-hutan yang ada di Jawa Barat"!"
Meski di lubuk hatinya melecehkan, Putri
Tunjung Kuning ukir senyum yang menawan. Se-
dangkan di sebelahnya, Abilowo bersikap tak pe-
duli. Dia sibuk mainkan rambutnya. Anak lelaki
ini mempunyai watak aneh. Dia tak akan turun
tangan, bila belum diperintahkan oleh ibunya.
"Aku pun pernah dengar. Namamu meng-
getarkan rimba persilatan. Tapi, sepengetahua-
nku, tempatmu cukup jauh dari sini. Atau..., jan-
gan-jangan kau adalah orang yang memalsu se-
bagai Lelawa Ijo yang amat terkenal itu"!" Putri Tunjung Kuning ajukan
pancingan. Paras wajah Lelawa Ijo mengelam. Tapi,
hanya sebentar, lalu kembali cerah. Malah, dia
umbar tawa terkekeh.
"Bidadariku.... Kalau saja ucapan itu ke-
luar bukan dari mulutmu yang berbentuk bagus
itu, saat ini juga pemiliknya telah menjadi bang-
kai! Merupakan pantangan besar bagi Lelawa Ijo
untuk dicurigai. Tapi, Kau merupakan kekecua-
lian. Bahkan, kau pun akan mendapatkan jawa-
ban bagi keherananmu itu," Lelawa Ijo terdiam sebentar seperti tengah berpikir,
sebelum buka mulutnya kembali untuk bicara. "Memang tempat tinggalku jauh dari sini. Tapi,
perlu kau ketahui itu memang kusengaja. Aku tengah dalam perjalanan untuk
menjadi raja di raja rimba persilatan.
Oleh karena itu aku melakukan perjalanan ke
Lembah Supit Urang untuk mengikuti pertemuan
tokoh-tokoh persilatan."
"Ahhh...!" Putri Tunjung Kuning pura-pura
terkejut. "Jadi..., berita tentang pertemuan di Lembah Supit Urang itu bukan
hanya isapan jempol belaka"!"
"Tentu saja bukan!" tandas Lelawa Ijo,
mantap. "Kalau tidak, untuk apa aku bercapai lelah meninggalkan tempat
kediamanku yang nya-
man?" "Begitukah"!" Putri Tunjung Kuning sunggingkan senyum sinis. Parasnya pun
berubah bengis. "Sayangnya, perjalananmu sia-sia, Binatang! Kau akan terkapar tanpa
makam di tempat
ini!" Perubahan sikap gadis berpakaian kuning itu membuat Lelawa Ijo terkejut.
Dialihkan pandangannya pada dua anak buahnya. Mereka pun
angkat bahu dengan sorot mata bingung.
"Bidadariku.... Apa maksud ucapanmu"!
Aku masih belum mengerti! Atau.... kau tengah
mengajakku bercanda sebelum bercumbu"!" Le-
lawa Ijo ajukan pertanyaan untuk mendapatkan
kepastian. "Binatang bermulut kotor!" hardik Putri Tunjung Kuning, bengis. "Orang
sepertimu, dan juga gerombolanmu memang harus dilenyapkan
dari muka bumi! Kalau tidak, hanya akan me-
nimbulkan borok-borok di dunia ini!"
"Keparat! Perempuan sundal! Rupanya kau
lebih suka diperlakukan kasar, heh"!" Lelawa Ijo tak kalah keras berteriak.
Amarahnya bangkit
dan tak terkendali, melihat sikap dan ucapan Pu-
tri Tunjung Kuning tetap kasar. "Semula, aku akan menggaulimu dengan baik-baik!
Tapi seka- rang, kau akan kuperkosa sampai mati! Dengar!
Sampai mati!"
Sekujur tubuh Putri Tunjung Kuning
menggigil keras. Tapi, bukan karena takut, me-
lainkan marah besar. Ancaman Lelawa Ijo men-
gingatkannya akan perlakuan yang diterimanya
dari Malaikat Berdarah Biru.
"Binatang bermulut kotor! Ambrol dada-
mu...!" teriak Putri Tunjung Kuning seraya melompat ke depan dan hantamkan kedua
tangan- nya. Saat itu juga berlarik-larik sinar kuning melesat ke arah Lelawa Ijo.
Lelawa Ijo segera sadar kalau gadis berpa-
kaian kuning itu bukan orang sembarangan. Dia
pun lompat dari punggung kudanya pula, dan
pukulkan kedua tangan untuk memapak seran-
gan. Laki-laki bercambang lebat ini tak segan-
segan lagi kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bummm! Ledakan dahsyat membahana ketika dua
pukulan jarak jauh itu bertemu di udara. Tempat
itu berguncang. Debu mengepul tinggi ke udara.
Dua anak buah Lelawa Ijo yang berada di tempat
itu terjengkang dan terguling seraya keluarkan
keluhan tertahan.
Putri Tunjung Kuning dan Lelawa Ijo ter-
jengkang ke belakang. Gadis berpakaian kuning
itu salurkan hawa murni ke dada untuk mengu-
rangi rasa nyeri yang mendera. Di lain pihak, Le-
lawa Ijo hanya merasakan nyeri pada kedua tan-
gannya. Putri Tunjung Kuning sadar kalau nama
besar Lelawa Ijo bukan hanya berita burung. La-
ki-laki berpakaian hitam itu benar-benar tangguh.
Gadis ini segera takupkan kedua tangan sejajar
dada, seraya memejamkan mata. Putri Tunjung
Kuning hendak mengirimkan serangan andalan.
Tapi, sebelum gadis berpakaian kuning ini
melancarkan serangan, Abilowo telah lompat ke
depan dan langsung kirimkan pukulan bertubi-
tubi ke arah dada dan leher Lelawa Ijo! Angin ke-
ras telah menggebrak mendahului sebelum seran-
gan itu sendiri tiba di sasaran.
"Gila! Serangan anak yang masih netek pa-
da ibunya ini kiranya jauh lebih dahsyat!" Lelawa Ijo membatin dengan sepasang
mata membeliak besar karena keterkejutan yang melanda.
Plakkk! Dua tinju beradu keras di udara ketika Le-
lawa Ijo pukulkan kedua tangan untuk menang-
kis. Lelaki bercambang bauk lebat ini terhuyung-
huyung ke belakang seraya kernyitkan dahi. Se-
ringai kesakitan menghias wajahnya, ketika me-
rasakan ngilu dan nyeri mendera kedua tangan-
nya yang baru saja berbenturan. Di lain pihak,
Abilowo sama sekali tak bergeming.
"Setan belang! Ini anak manusia atau anak
jin"! Tenaga dalamnya sangat kuat. Pula, dia se-
pertinya tak merasa sakit akibat benturan itu.
Padahal, tanganku ngilu dan nyeri-nyeri. Malah,
dadaku pun terasa sesak! Gila! Bagaimana
mungkin, anak kecil mampu mempunyai tenaga
dalam demikian kuat"!" kata hati Lelawa Ijo, seraya cabut golok yang terselip di
pinggang kanan-
nya. Sebatang golok yang mempunyai gagang
berbentuk kelelawar hijau. Dan, karena goloknya
itulah pemiliknya memperkenalkan diri dengan
nama Lelawa Ijo!
Lelawa Ijo bolang-balingkan goloknya di
depan dada. Gerakannya cepat bukan main, se-
hingga bentuk senjatanya lenyap. Yang terlihat
hanya kelebatan sinar yang menyilaukan mata
dalam bentuk tak jelas. Lalu, dengan diawali te-
riakan menggeledek, lelaki bercambang bauk le-
bat ini menerjang maju.
Sing, sing, sing...!
Bunyi yang menyakitkan telinga dan mem-
buat giris hati mengiringi meluncurnya golok yang kelihatan tajam mengkilap itu
ke arah Abilowo.
Tapi, anak lelaki itu sama sekali tak bergeming
dari tempatnya. Bahkan mengerjapkan mata pun
tidak! "Mampuslah kau, Anak Setan!" Lelawa Ijo membatin penuh rasa gembira di
dalam hatinya. Sudah terbayang di benaknya kalau Abilowo akan
menggelepar di tanah dengan darah berhamburan
keluar. Cras, cras, crasss!
Bertubi-tubi golok berhulu kelelawar hijau
itu menghantam sekujur tubuh Abilowo. Tapi, si
bocah tak bergeming sedikit pun. Lelawa Ijo dan
bahkan rekan-rekannya hampir tak percaya akan
apa yang mereka saksikan. Abilowo sama sekali
tak terluka. Tak ada kulit yang terobek, atau da-
rah yang mengalir.
"Iblisss...!" desis Lelawa Ijo seraya mundur-
mundur tanpa mampu menyembunyikan keterke-
jutannya. Sepasang matanya yang membeliak be-
sar memperlihatkan ketidakpercayaan akan apa
yang disaksikannya.
Di depan Lelawa Ijo, Abilowo komat-kamit.
Kedua tangannya dikepalkan, lalu dihentakkan
seraya memutar tubuh.
Wuttt! Wuttt! Lelawa Ijo menjerit keras, kaget campur
ngeri karena dari dorongan tangan Abilowo me-
nyembur gelombang dahsyat berhawa panas me-
nyengat! Lelaki ini berusaha sedapat mungkin un-
tuk mengelak. Tapi, terlambat. Pukulan jarak
jauh putra tidak sah Malaikat Berdarah Biru itu
telah lebih dulu menghantamnya. Di kejap lain
tubuh Lelawa Ijo terjengkang jauh ke belakang.
Dari mulut, hidung, dan telinganya mengucur da-
rah segar. Lelaki ini tewas seketika itu juga dengan kulit tubuh hangus!
Dua orang anak buah Lelawa Ijo terkejut
ketika melihat kejadian yang menimpa pemimpin
mereka. Seperti telah disepakati sebelumnya, ke-
duanya membalikkan tubuh dan berlari mening-
galkan tempat itu.
Tapi, baru beberapa tindak, sesosok
bayangan kuning berkelebat mendahului. Ayunan
kaki dua orang bertampang sangar ini pun ter-
henti. Paras mereka pucat, bagaikan tak berda-
rah, ketika melihat keberadaan Putri Tunjung
Kuning yang menghadang.
"Sudah kukatakan tadi..., orang semacam
kalian tak pantas dibiarkan berlama-lama hidup
di dunia," dengus gadis berpakaian kuning itu.
Lalu, melesat ke arah anak buah Lelawa Ijo.
Dua lelaki bertampang seram ini tak mau
menyerahkan nyawa begitu saja. Golok yang ter-
selip di pinggang, segera dicabut. Tapi, sebelum
sempat digunakan, Putri Tunjung Kuning telah
lebih dulu menyarangkan serangan. Kaki gadis


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian kuning ini menendang leher kedua-
nya. Masing-masing sekali, namun telah cukup
untuk mengirim nyawa mereka ke akhirat saat itu
juga. Putri Tunjung Kuning tersenyum penuh
rasa puas. Kemudian pandangannya dialihkan
pada Abilowo. "Abilowo.... Aku yakin pencarian kita tak
akan sia-sia lagi. Malaikat Berdarah Biru akan ki-ta temukan di Lembah Supit
Urang. Mari kita
bergegas, biar tak ketinggalan...!" Putri Tunjung Kuning berkata sambil melompat
ke arah punggung kudanya.
Tanpa banyak cakap, Abilowo mengikuti
tindakannya. Beberapa jurus kemudian, ibu dan
anak ini telah memacu kudanya meninggalkan
tempat itu. Arah yang mereka tuju sudah jelas,
Lembah Supit Urang!
ENAM ALAM telah larut. Sinar sang Dewi Malam
yang lemah hanya mampu membuat keadaan di
persada remang-remang. Dalam suasana seperti
itu, sesosok bayangan berkelebat. Gerakannya
cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanya
sekilas bayangan dalam bentuk yang tak Jelas.
Kecepatannya tak mengendur kendati melalui ke-
rimbunan semak-semak dan pepohonan yang le-
bat. Ketika berada di hamparan tanah luas
yang ditumbuhi rumput-rumput setinggi mata
kaki, si bayangan terlihat cukup jelas. Ternyata
dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap. Sinar
matanya tajam. Rambutnya panjang sebahu dan
dibiarkan menjuntai. Wajahnya tampan. Menge-
nakan pakaian warna putih. Di pakaian bagian
dada tampak sekuntum bunga berwarna hitam.
Si pemuda mengarahkan pandangan ke
depan. Tapi, yang terlihat hanya kegelapan. Hitam pekat. "Bandar Lor masih cukup
jauh. Hm.... Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk segera
sampai dan memberitahukan semuanya pada
guru. Aku yakin, dengan adanya guru, kekuatan
akan jadi lebih besar. Mudah-mudahan saja be-
liau ada karena banyak lawan tangguh yang ha-
rus kuhadapi. Terutama sekali Malaikat Berdarah
Biru. Bangsat itu memiliki kepandaian luar bi-
asa!" pemuda berpakaian putih membatin seraya mengusap peluh yang membasahi
dahinya dengan punggung tangan. Kemudian, dia melesat
kembali. Pemuda berpakaian putih berlari tanpa
henti. Kelihatan tergesa-gesa sekali. Tak diperha-tikannya malam yang menginjak
dini hari. Bias
kemerahan pun mulai muncul di ufuk timur. Su-
asana mulai terang. Seraya mengayunkan kaki,
hatinya berkata.
"Mudah-mudahan saja guru tidak pergi ke
mana-mana. Kalau tidak sia-sia saja usahaku.
Susah-payah dan capai lelah kutempuh untuk
menuju ke Bandar Lor, untuk memberitahukan
masalah penting ini."
Selagi pemuda berpakaian putih itu berlari,
tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berderak.
Dialihkan pandangannya ke asal suara. Dan ha-
tinya tercekat ketika melihat sebatang pohon be-
sar yang berada di sebelah kirinya tumbang ke
arahnya. "Keparat! Rupanya ada manusia usilan
yang sudah tak sabar ingin menemui malaikat
maut"!" dengus si pemuda di dalam hatinya, seraya hentakkan tangan kanannya. Di
kejap lain, segundukan angin keras menggebrak.
Blarrr! Batang pohon yang besarnya sekitar dua
pelukan orang dewasa itu hancur berantakan ke-
tika terhantam pukulan jarak jauh pemuda ber-
pakaian putih. Serpihannya berpentalan ke sana
kemari, tak tentu arah.
Sesosok bayangan berkelebat tanpa mem-
pedulikan debu-debu hancuran pohon yang ma-
sih menutupi pandangan. Pemuda berpakaian pu-
tih tak berani ambil risiko. Dia hentakkan kedua
tangannya menyambuti.
Wusss! Serangkum angin keras menggebrak! Sosok
yang belum terlihat jelas oleh si pemuda sentak-
kan tangan, memapak!
Blarrr! Terdengar ledakan dahsyat ketika dua pu-
kulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan di
tengah jalan. Sekitar tempat itu bergetar. Bahkan tanah terbongkar dan membubung
ke udara menambah pekatnya pemandangan.
Tubuh si pemuda terjengkang ke belakang
dengan tangan terasa ngilu dan dada sesak. Sang
penyerangnya pun terhuyung-huyung ke bela-
kang. "Gila! Siapa gerangan bangsat usilan ini"!
Tenaga dalamnya kuat sekali!" maki pemuda berpakaian putih dalam hati, seraya
patahkan daya yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dia
segera mengatur napas untuk berjaga-jaga terha-
dap serangan susulan lawannya yang misterius.
Meski debu-debu tanah dan kotoran serpi-
han pepohonan masih menghalangi pandangan si
pemuda, tapi bisa dilihatnya kalau sang penye-
rang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Pemuda berpakaian putih kertakkan gigi. Bersiap
siaga. Tapi, kewaspadaannya terlalu berlebihan.
Si penyerang itu ternyata bukan melancarkan se-
rangan, melainkan mengusir debu yang mengha-
langi pandangan. Di kejap lain, kedua belah pihak telah dapat melihat satu sama
lainnya. "Guru...!" seru pemuda berpakaian putih, kaget bercampur gembira.
Sosok yang dipanggil guru ternyata adalah
seorang perempuan yang tingginya tak lebih dari
setengah tombak. Kulit wajahnya tak jelas war-
nanya karena tertutup oleh bedak putih tebal. Bi-
birnya tebal sebelah atas dan berwarna merah
menyala. Rambutnya panjang mencapai pung-
gung, namun bagian samping dan atas dipotong
begitu pendek. "Pandu.... Hendak ke mana kau?" Perem-
puan bertubuh pendek ajukan tanya.
"Tua bangka dungu! Seharusnya kau su-
dah bisa menduga ke mana tujuanku. Bukankah
tempat ini telah dekat dengan Bandar Lor"!" Si pemuda yang ternyata adalah Pandu
alias Gembong Raja Muda membatin. Lalu, dia buka mulut.
"Tentu saja hendak ke Bandar Lor, Guru.
Aku mempunyai berita yang amat penting!"
Si perempuan bertubuh pendek yang bu-
kan lain dari Bawuk Raga Ginting, keluarkan ta-
wa mengekeh panjang.
"Berita penting yang bagaimana, Pandu"!
Menyenangkan atau menyedihkan"!"
"Tentu saja menyenangkan. Guru!" tandas Gembong Raja Muda, yakin.
"Apakah tentang Pendekar Mata Keran-
jang"! Kau telah berhasil membunuhnya"!"
Wajah si pemuda langsung berubah merah
padam. Rahangnya menggembung, dan pelipisnya
bergerak-gerak. Dia tatap gurunya sejenak sebe-
lum gelengkan kepala.
"Bukan, Guru. Aku belum berhasil mem-
bunuh pemuda keparat itu! Tapi, aku yakin kali
ini akan berhasil! Gurunya pun akan kuhabisi
pula!" Bawuk Raga Ginting tertawa bergelak hingga bedak tebal di wajahnya
rontok. Dalam hati dia berkata.
"Keinginan anak ini untuk membunuh
Pendekar Mata Keranjang ternyata tak kunjung
pudar." "Aku senang mendengar tekadmu, Pandu.
Tapi, mengapa kau yakin kalau kali ini usahamu
untuk membunuh Pendekar Mata Keranjang akan
berhasil!?" perempuan pendek itu ajukan tanya.
"Tua bangka tak tahu diri! Kalau saja kau
tak menyelak ceritaku, kau tak perlu bercapai le-
lah untuk bertanya, karena saat ini mungkin kau
telah mengerti!" rutuk Gembong Raja Muda dalam hati. Dia berpikir sejenak
sebelum akhirnya berkata. "Itu ada hubungannya dengan berita penting yang ingin
kusampaikan padamu, Guru. Kau
tahu, di Lembah Supit Urang, pada malam bulan
purnama nanti akan ada pertemuan tokoh-tokoh
hitam untuk menyusun kekuatan guna menghan-
curkan Pendekar 108 dan tokoh-tokoh putih lain-
nya. Di tempat itu pula akan ditentukan siapa
yang akan menjadi raja di raja rimba persilatan!"
"Benarkah apa yang dikatakan bocah ini"
Kalau benar, pertemuan ini benar-benar tak boleh
kulewatkan. Apabila berhasil menjadi raja di raja rimba persilatan, akan lebih
mudah bagiku untuk
membalas sakit hati. Hm.... Aku yakin kedatan-
gan bocah ini kemari untuk membuat kedudu-
kannya lebih kuat. Dia pasti membutuhkan ban-
tuanku!" pikir Bawuk Raga Ginting, lalu angkat bicara. "Kau yakin berita itu
bukan hanya sekadar kabar burung belaka"! Apakah kau tahu siapa
yang menjadi penggerak pertemuan itu"!"
"Iblis Gelang Kematian, Guru!"
"Iblis Gelang Kematian"!" ulang Bawuk Ra-ga Ginting seraya kernyitkan dahi. Di
dalam ha- tinya dia berpikir. "Kalau tua bangka itu yang mencetuskan pertemuan ini,
berarti bukan hal
yang remeh lagi. Tapi, aku yakin dia mempunyai
maksud lainnya" Bukan tak mungkin dia akan
mengambil kedudukan tertinggi dengan cara yang
licik!" "Benar, Guru. Dan, seorang tokoh yang berjuluk Malaikat Berdarah Biru,
telah menyang-gupi untuk datang di pertemuan itu. Dia memiliki
kepandaian tinggi. Guru. Malah, aku yakin lebih
tinggi daripadaku. Kalau Iblis Gelang Kematian
tak segera muncul, mungkin aku celaka." Kemudian secara singkat tapi jelas,
Gembong Raja Mu-
da menceritakan semua kejadian yang diala-
minya. Bawuk Raga Ginting sendiri mendengar-
kannya secara sambil lalu, seperti orang yang ku-
rang tertarik. Padahal, dia menyimak dengan pe-
nuh minat, dan membatin di dalam hati.
"Kalau benar apa yang dikatakan Pandu,
berarti Malaikat Berdarah Biru merupakan lawan
yang luar biasa berat. Benarkah dia tak bisa dilukai"!" "Lalu..., apa maksud
kedatanganmu me-nemuiku"!" Bawuk Raga Ginting berpura-pura
tak mengerti. Hal ini membuat Gembong Raja
Muda merasa geram.
"Bangsat tua! Aku tahu kau berpura-pura!
Kalau saja tak benar-benar membutuhkan ban-
tuan, kau sudah kutinggal pergi! Tapi, apa boleh
buat!" Setelah berpikir demikian, dengan suara agak dikeraskan, Gembong Raja
Muda berikan penjelasan. "Aku menemuimu untuk mengajakmu per-
gi ke sana, Guru. Dengan berdua, kedudukan kita
akan menjadi lebih kuat, dan bukan tak mungkin
gelar raja di raja rimba persilatan akan dapat kita genggam!"
Bawuk Raga Ginting tertawa bergelak. Mu-
lutnya membuka lebar, sehingga lagi-lagi bedak
tebal yang menghias wajahnya rontok. Tapi, pe-
rempuan pendek ini tak mempedulikannya. Gem-
bong Raja Muda sendiri, setelah melihat gurunya
tertawa, ikut tertawa. Tapi tawanya langsung pu-
tus seperti direnggut hantu, ketika sang Guru
hentikan tawa secara tiba-tiba, dan menatapnya
dengan sorot penuh teguran.
Selebar wajah si pemuda mengelam karena
rasa tak senang yang mendera. Dia mengutuk si
perempuan pendek itu dalam hati.
"Tua bangka keparat! Kau yang lebih dulu
tertawa. Tapi, begitu kudukung tawamu kau ma-
lah tutup mulutmu! Kelak, akan kututup mulut-
mu selamanya!"
"Cita-citamu memang bagus. Keinginanmu
tak berlebihan. Tapi, kau harus ingat, Pandu.
Yang mempunyai keinginan untuk menjadi raja di
raja rimba persilatan bukan hanya kau! Semua
tokoh persilatan pun memimpikannya. Dan mere-
ka, pasti akan mempergunakan segala macam ca-
ra untuk bisa menggenggam dunia persilatan. Ja-
di, bukan hanya kekuatan saja yang penting. Ta-
pi, juga otak. Itu yang harus kau ingat, Pandu!"
beri tahu Bawuk Raga Ginting panjang lebar.
"Aku sudah memperhitungkan hal itu.
Guru! Dan, aku yakin akan bisa menjadi raja di
raja rimba persilatan dalam pertemuan di Lembah
Supit Urang!" tandas Gembong Raja Muda, yakin.
Padahal di dalam hatinya, pemuda ini tercekat.
"Tua bangka cerewet! Kau pikir aku anak kecil yang tak mengerti apa-apa"! Tapi,
sarannya itu memang masuk akal. Aku harus lebih hati-hati."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Pandu"!
Mari kita ke Supit Urang, dan menetapkan diri
menjadi raja di raja rimba persilatan!" kata Bawuk Raga Ginting seraya melesat
mendahului di- ikuti oleh Gembong Raja Muda di belakangnya.
TUJUH SANG mentari baru saja kembali ke pera-
duannya. Bias sinarnya yang berwarna kemera-
han masih tampak menerangi langit bagian barat.
Tapi, secara perlahan-lahan bias-bias itu mere-
dup dan lenyap sama sekali. Kini gelap telah
membungkus bumi. Namun, tak lama kemudian,


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang Dewi Malam muncul di angkasa. Bentuknya
bulat sempurna! Bulan purnama! Kemunculan
sang Dewi Malam ini membuat keadaan di persa-
da agak remang-remang.
Saat suasana demikian, tampak berkeleba-
tan beberapa sosok dari berbagai arah menuju ke
satu tempat. Sebagian besar sosok itu melesat
berbarengan. Berdua. Tapi, ada juga yang berke-
lebat sendirian.
Sementara itu di tanah lapang luas yang
terhampar di Lembah Supit Urang, berdiri dua
sosok. Padahal, biasanya tempat yang kering dan
gersang itu sepi seakan-akan mati! Hampir tak
pernah ada orang yang singgah ke situ.
"Guru! Mereka telah berdatangan...! Apa-
kah kau yakin semua rencana berjalan seperti
yang kita harapkan"!" tanya salah satu dari dua sosok hampir berbisik, nadanya
khawatir. Dia adalah seorang berwajah tampan, ber-
dagu kokoh, dan bermata tajam, serta bertubuh
tinggi tegap. Rambutnya lebat dan panjang seba-
hu. Terlihat gagah. Dan, kegagahannya semakin
menonjol karena dia mengenakan jubah besar
berwarna hitam bergaris-garis putih.
"Manding! Kau tak usah cemas! Tenanglah!
Jangan sampai mereka curiga! Aku yakin rencana
ini akan berjalan lancar. Dan, kau akan menjadi
raja di raja rimba persilatan! Sekarang, jangan
banyak ribut. Tutup saja mulutmu!" sahut sosok yang dipanggil guru, bernada
yakin. Sosok itu adalah seorang nenek berambut
putih panjang hingga ke betis. Dia mengenakan
pakaian atas berupa baju panjang dari sutera
berwarna hitam. Bawahannya hitam berkembang-
kembang putih. Sepasang matanya besar. Hi-
dungnya mancung. Bibirnya merah tanpa pole-
san. Pada kedua tangannya melingkar beberapa
gelang berwarna kuning.
Pemuda berjubah hitam bergaris putih
yang dipanggil Manding, bernama lengkap Mand-
ing Jayalodra alias Penyair Berdarah ini terdiam.
Tapi, dia sempatkan diri untuk mengerling ke
arah sang Guru yang berdiri di sebelahnya. Yang
dikerling, dan bukan lain adalah Iblis Gelang Ke-
matian, tetap arahkan pandangan ke depan. Ne-
nek ini tak tahu kalau Penyair Berdarah memaki-
maki di dalam hatinya.
"Setan alas! Tua bangka sialan! Kelak, bila
cita-citaku kesampaian, dan kau masih berani bi-
cara seperti itu, kurobek mulutmu!"
Tapi, pemuda ini terpaksa arahkan tatapan
ke depan yang merupakan jalan satu-satunya
yang paling mudah untuk menuju Lembah Supit
Urang. Dilihatnya beberapa titik hitam di kejau-
han. Dan, di kejap lain, Penyair Berdarah telah
dapat melihat secara jelas orangnya.
"Dewa Maut...!" sebut Penyair Berdarah dalam hati ketika mengenali salah seorang
di anta- ranya. "Tapi, siapa perempuan cantik yang ber-samanya itu"!"
"Dewa Maut dan Dewi Tengkorak Hitam...!"
Iblis Gelang Kematian membatin. Memang berbe-
da dengan Manding Jayalodra, nenek ini telah
pernah berjumpa dengan Dewi Tengkorak Hitam.
Sejurus kemudian, Dewa Maut dan Dewi
Tengkorak Hitam telah berjarak beberapa tombak
dari Iblis Gelang Kematian dan Penyair Berdarah
yang berdiri bersebelahan. Dewa Maut sendiri,
menghentikan ayunan kakinya ketika telah berja-
rak beberapa langkah dari Penyair Berdarah dan
Iblis Gelang Kematian. Dewi Tengkorak Hitam
ikut-ikutan hentikan lari.
"Selamat datang, Dewa Maut, Dewi Tengko-
rak Hitam," sambut Iblis Gelang Kematian dengan sunggingkan senyum seraya
menatap pendatang-pendatang baru itu bergantian sebelum akhirnya
dihentikan pada Dewa Maut. "Dewa Maut! Ternya-ta kau benar-benar bukan seorang
pengecut!"
Dewa Maut menyeringai. Tatapannya ditu-
jukan pada Iblis Gelang Kematian. Tak sedikit
pun dia menoleh pada Penyair Berdarah. Kemu-
dian sambil berkacak pinggang, dia berkata.
"Iblis Gelang Kematian! Dewa Maut bukan
seorang pengecut! Malah, Dewa Maut yang akan
menjadi raja di raja rimba persilatan! Kau dan
semua tokoh-tokoh persilatan lainnya akan men-
jadi laskarku! Ha ha ha...!"
"Kau mimpi, Dewa Maut!" Penyair Berdarah yang menyambuti ucapan Dewa Maut.
Pemuda ini memang sudah merasa geram bukan main ketika
Dewa Maut tak mempedulikannya.
Dewa Maut dongakkan kepala seraya lepas
tawa berderai, tanpa menoleh sedikit pun pada
Penyair Berdarah!
"Dewa Maut tak mau bicara dengan seo-
rang pengecut!"
"Setan!" maki Penyair Berdarah seraya
ayunkan kaki dua tindak. Pemuda ini kelihatan
marah besar. Rahangnya menggembung, dan dia
tatap Dewa Maut dengan mata membeliak besar.
Dan nada suaranya penuh ancaman ketika berbi-
cara dengan suara yang lebih keras. "Siapa yang kau katakan pengecut itu"!"
"Siapa lagi kalau bukan kau"!" tandas De-wa Maut, tak kalah keras bicara, tanpa
merasa takut sedikit pun. "Beberapa waktu lalu sewaktu kuajukan tantangan, kau janjikan
pertemuan hari ini di sini! Tapi, apa yang kutemui"! Kau ditemani oleh tua bangka ini! Rupanya
kau takut bertarung
menghadapiku sendirian! Kau ingin mengeroyok-
ku"!" "Jahanam!" Suara Penyair Berdarah semakin keras. Rahangnya pun menggembung
sema- kin besar. Tampak kalau Pemuda berjubah hitam
bergaris putih ini hampir tak kuasa menahan
amarahnya. "Di sini memang aku berdua. Tapi, tengok dirimu! Kau pun tak datang
sendirian! Aku curiga, jangan-jangan kau yang mempunyai niat
untuk mengeroyokku!"
"Tutup mulutmu! Dewa Maut bukan pen-
gecut! Orang yang bersamaku ini adalah kekasih-
ku! Dan, dia tak akan ikut campur urusan kita!"
"Begitu pula aku!" Penyair Berdarah tak mau kalah. "Orang yang berada di
sebelahku ini adalah guruku! Dan, beliau tak akan mau tahu
urusanku denganmu! Jadi, aku bukan pengecut
seperti dugaanmu!"
"Setan! Kalau begitu, kita selesaikan uru-
san ini sekarang!" Dewa Maut ajukan tantangan.
"Baik!" sambut Penyair Berdarah tak mau kalah. "Kita selesaikan saat ini juga!"
"Dewiku.... Cepat menjauh dari sini...!" beri tahu Dewa Maut, pada Dewi
Tengkorak Hitam.
Yang diperintahkan, buru-buru menghindar. Ta-
pi, baru beberapa langkah terdengar bentakan ke-
ras. "Tahan!"
Dewa Maut dan Penyair Berdarah arahkan
pandangan pada si pemilik bentakan. Orang itu
adalah Iblis Gelang Kematian.
"Dewa Maut! Sekarang bukan saatnya un-
tuk bertarung. Aku tahu, kau hendak mengun-
jukkan kesaktianmu! Tapi, apa artinya bila dila-
kukan sekarang"! Menang atau kalah pun tak ada
yang menyaksikan! Kalau kau mau lebih bersabar
sebentar, pertarungan ini akan disaksikan oleh
banyak mata! Bagaimana"!"
Dewa Maut tatap Iblis Gelang Kematian le-
kat-lekat seraya kernyitkan dahi. Pemuda ini ber-
pikir. "Apa yang dikatakan tua bangka bau tanah ini memang tak keliru! Tak ada
salahnya kalau aku menunggu sebentar lagi. Akan lebih nikmat
rasanya kemenangan yang kugapai, bila banyak
mata yang menyaksikan! Tapi, tantangan telah
kuajukan. Dan, Penyair Berdarah keparat itu te-
lah menerima. Kalau sekarang kubatalkan, pe-
muda itu akan mengira aku takut padanya! Ini
akan membuatnya besar kepala!"
"Iblis Gelang Kematian! Tantangan telah
kuajukan! Dan muridmu telah menerima, bila
aku mundur, sama artinya dengan mengaku ta-
kut!" Dewa Maut keluarkan ganjalan hatinya.
Penyair Berdarah buka mulut. Tapi, sebe-
lum ucapan keluar dari mulutnya, Iblis Gelang
Kematian telah lebih dulu membentaknya.
"Manding! Hentikan kekonyolanmu! Atau...,
kau ingin kulempar dari sini"!"
Penyair Berdarah katupkan mulutnya
kembali. Paras wajahnya mengelam, memperli-
hatkan kemarahan. Tapi, tidak ada suara yang
keluar dari mulutnya, kendati di dalam hati pe-
muda itu telah bertumpuk makian yang menun-
tut dikeluarkan.
Di lain pihak, Iblis Gelang Kematian bagai
tak tahu pergolakan yang ada di batin Manding
Jayalodra. Perempuan tua ini menatap muridnya
tajam-tajam, kemudian berdesis menyeramkan.
"Berikan jawaban yang benar terhadap tan-
tangan Dewa Maut, Manding!"
Penyair Berdarah mendengus untuk seka-
dar melampiaskan gejolak amarah yang mendera.
Kemudian, dengan suara dan sikap kaku, Pemu-
da berjubah hitam bergaris putih ini angkat bica-
ra. "Sebenarnya aku ingin menghadapimu se-
karang, Dewa Maut. Tapi sayang, aku lebih suka
bertarung dengan disaksikan banyak orang. Tan-
tanganmu kuterima, tapi bila tokoh-tokoh persila-
tan lainnya telah hadir pula."
Iblis Gelang Kematian sunggingkan se-
nyum. Dewa Maut dongakkan kepala dan kelua-
rkan tawa bergelak. Sementara Penyair Berdarah
hanya dapat memaki-maki di dalam hati. Mengu-
tuki Dewa Maut dan juga Iblis Gelang Kematian!
* * * Gelak tawa Dewa Maut terhenti, ketika ter-
dengar dengusan keras. Dengusan yang menurut
patutnya tak tercipta oleh seorang manusia! Tapi, hebatnya gelak tawa Dewa Maut
tertindih. Rasa
kaget yang mendera, membuat Dewa Maut meng-
hentikan tawanya.
Pada saat yang bersamaan dengan lenyap-
nya tawa Dewa Maut, Dewi Tengkorak Hitam, Pe-
nyair Berdarah, dan Iblis Gelang Kematian arah-
kan sepasang mata ke arah asal dengusan. Dewa
Maut merupakan orang terakhir yang bertindak
demikian. Dari sebelah kanan Iblis Gelang Kematian
melesat sesosok bayangan biru. Sejurus kemu-
dian, setelah berjarak tujuh tindak di sebelah kanan Iblis Gelang Kematian dan
sebelah kiri Dewa
Maut, sosok itu hentikan lesatannya.
Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi
kurus mengenakan jubah besar warna biru gelap.
Sepasang matanya besar dan masuk ke dalam
cekungan rongga yang menjorok dalam. Bibirnya
sangat tebal. Sebaliknya, kulit wajahnya amat ti-
pis hampir tak kelihatan. Di atas kepalanya ber-
tengger sebuah caping lebar dari kulit berwarna
hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka, se-
hingga rambutnya yang jarang dan jabrik men-
cuat ke atas. Anehnya, meski terlihat berdiri te-
gak, namun telapak kakinya tak menjejak tanah!
"Manusia Titisan Dewa.... Kukira kau tak
datang," ejek Iblis Gelang Kematian.
"Iblis Gelang Kematian! Urusan di antara
kita belum selesai, bagaimana mungkin kubiar-
kan kau hidup tenang"!" sergah kakek berpakaian biru yang bukan lain dari
Manusia Titisan Dewa.
Kemudian palingkan wajahnya pada Dewa Maut.
"Kau juga telah datang, Anak Muda"! Rupanya
kau sudah tak sabar lagi untuk mati muda!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka!" Dewa Maut
memaki. "Aku Dewa Maut! Kau dengar"! Panggil aku Dewa Maut!"
Paras Manusia Titisan Dewa mengelam
mendengar bentakan itu. Dia merasa tersinggung.
Dan perasaan itu langsung dilontarkan lewat mu-
lutnya. "Anak Muda! Kau tak usah mengajariku cara menyapa seseorang!"
"Keparat!" Dewa Maut kertakkan gigi. "Sebentar lagi, mau tak mau kau akan
menerima pengajaranku, Tua Bangka!"
Manusia Titisan Dewa buka mulut untuk
memberikan sambutan. Tapi, dibatalkannya ka-
rena mendengar suara tawa keras menggelegar.
Beberapa jurus kemudian, melesat sesosok
bayangan merah. Hampir tanpa ada perbedaan
waktu, melesat beberapa sosok bayangan lainnya.
Hanya dalam sekejapan, setelah kedatangan Ma-
nusia Titisan Dewa, enam sosok telah berada di
tempat itu! Iblis Gelang Kematian, Penyair Berdarah,
Dewa Maut, Dewi Tengkorak Hitam, dan Manusia
Titisan Dewa arahkan tatapan pada para penda-
tang baru. Sosok pertama adalah seorang pemuda
berwajah tampan namun keras karena rahangnya
yang kokoh membatu. Rambutnya panjang lebat


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan dibiarkan tergerai di bahunya. Di telinga ki-
rinya tampak anting-anting dari tembaga. Se-
dangkan tubuhnya yang tinggi tegap dibungkus
oleh jubah toga warna merah menyala!
Sosok kedua adalah seorang pemuda yang
juga berwajah tampan. Tubuhnya pun tinggi te-
gap. Pandangannya tajam. Dagunya kokoh. Dia
mengenakan pakaian putih dengan bunga hitam
di dada. Pemuda ini saling tatap penuh sorot ma-
ta permusuhan dengan pemuda bertoga warna
merah. "Malaikat Berdarah Biru...!" Pemuda berpakaian putih membatin. "Tak lama
lagi akan ku-balaskan kekalahanku tempo hari. Kau akan ku-
kirim ke neraka! Kalau tidak, aku tak akan puas!"
Sebaliknya pemuda bertoga merah yang
memang Malaikat Berdarah Biru adanya, berkata
pula di dalam hatinya.
"Gembong Raja Muda. Tempo hari kau
berhasil lolos dari tangan mautku! Tapi, jangan
harap kali ini keberuntunganmu akan terulang!"
Kedua pemuda ini hanya saling kerling se-
bentar. Kemudian, edarkan tatapan untuk perha-
tikan tokoh-tokoh yang berada di sekitar mereka.
Sedangkan Iblis Gelang Kematian dan yang lain-
lainnya, masih memperhatikan para pendatang
baru. Orang ketiga adalah seorang perempuan
bertubuh pendek, tak lebih dari setengah tombak.
Kaki dan tangannya mungil. Rambutnya panjang
sepunggung, namun bagian samping dan atas di-
potong pendek. Wajahnya sukar dikenali karena
tertutup oleh bedak putih yang tebal. Perempuan
ini berdiri di sebelah kanan Gembong Raja Muda,
karena dia adalah guru pemuda berpakaian putih
itu. Bawuk Raga Ginting!
Orang keempat adalah seorang kakek ber-
tubuh kurus kering. Itu terlihat jelas karena dia tak mengenakan baju. Rambut
dan kumisnya yang panjang serta awut-awutan, berwarna putih!
Di sebelah kakek bertelanjang dada ini,
berdiri seorang perempuan cantik berpakaian ge-
lap. Dia mengenakan pakaian yang pada bagian
dadanya dibuat rendah, sehingga bukit-bukit
payudaranya terlihat jelas.
Sedangkan orang keenam adalah seorang
kakek berkepala botak bertubuh bongkok. Demi-
kian bongkoknya hingga wajahnya tak terlihat.
Yang dapat terlihat langsung oleh orang adalah
bagian atas kepalanya. Gundul! Dia mengenakan
pakaian kumal dan penuh tambalan.
DELAPAN KURASA sekarang saatnya untuk mulai
menentukan siapa yang berhak untuk menyan-
dang gelar sebagai raja di raja rimba persilatan!"
Yang memecahkan keheningan itu adalah Iblis
Gelang Kematian, karena memang perempuan tua
ini yang mempunyai usul. Iblis Gelang Kematian
pula yang sibuk mengundang tokoh-tokoh persi-
latan agar datang ke Lembah Supit Urang.
"Iblis Gelang Kematian! Bagaimana caranya
menentukan siapa yang berhak menjadi raja di
raja rimba persilatan, dengan sekian banyaknya
kita"!" Kakek bertelanjang dada ajukan tanya seraya kernyitkan dahi.
"Benar, Iblis Gelang Kematian!" Manusia Titisan Dewa Ikut-ikutan buka suara.
"Apakah setiap orang yang berada di sini, harus bertarung
menghadapi semuanya"!"
Iblis Gelang Kematian arahkan pandangan
pada kakek bertelanjang dada dan Manusia Titi-
san Dewa sebentar. Kemudian, alihkan pandan-
gannya pada setiap orang yang berada di situ.
Dengan tertawa pelan dia berkata.
"Dadung Rantak! Manusia Titisan Dewa!
Kurasa tidak perlu setiap orang menghadapi se-
mua orang yang berada di sini! Cara itu terlalu
bodoh, karena akan memakan waktu yang lama!
Mungkin tak perlu kuberitahukan panjang lebar
pun, kalian semua telah mengerti! Kalau setiap
orang harus bertarung dengan semua orang yang
berada di sini, berarti setiap orang akan berta-
rung puluhan kali! Kapan akan berakhir"!"
Kakek bertelanjang dada yang ternyata
adalah Dadung Rantak, dan Manusia Titisan De-
wa keluarkan dengus tak senang mendengar
uraian Iblis Gelang Kematian yang membodoh-
bodohkan mereka. Tapi, kedua kakek ini tak buka
suara. Mereka bisa menyadari kebenaran ucapan
Iblis Gelang Kematian.
"Aku punya cara yang kuyakini tepat," Iblis Gelang Kematian lanjutkan ucapan.
"Tapi, aku memberikan kesempatan pada kalian semua untuk mengajukan usul.
Barangkali saja ada saran
yang lebih tepat, sekalipun kuyakini tak akan ada yang lebih tepat daripada cara
yang akan kute-rapkan!"
"Aku punya usul bagus!" seru Malaikat
Berdarah Biru lantang seraya busungkan dada.
Berpasang-pasang mata tertuju pada pe-
muda bertoga merah. Mereka ingin tahu, usul
Malaikat Berdarah Biru.
"Itukah orang yang kau puji-puji itu"!"
tanya Bawuk Raga Ginting dengan suara berbisik
seraya arahkan tatapan pada Gembong Raja Mu-
da. Yang ditanya anggukkan kepala dengan ra-
hang menggembung dan tangan mengepal.
"Malaikat Berdarah Biru! Silakan utarakan
usulmu!" Iblis Gelang Kematian berikan kesempatan. Sebagian tokoh-tokoh
persilatan yang be-
lum mengenal siapa adanya pemuda bertoga me-
rah itu, terperanjat ketika mendengar sapaan Iblis Gelang Kematian. Terutama
sekali Dewa-Maut.
"Malaikat Berdarah Biru! Hm.... Jadi, ini
orangnya yang semula memegang kipas hitam.
Sungguh kebetulan sekali, hingga aku bisa men-
getahui sampai di mana tingkat kepandaiannya!"
Dewa Maut membatin dengan pandangan tertuju
pada Malaikat Berdarah Biru.
"Sebelum kukatakan usulku yang amat ba-
gus dan tepat ini, lebih dulu kuajukan tanya,"
ujar Malaikat Berdarah Biru seraya dongakkan
kepala. "Dan, pertanyaanku ini harus terjawab."
"Tergantung pada siapa kau bertanya!"
timpal Gembong Raja Muda, cepat dan keras. "Bi-la kau tujukan padaku, yang akan
kau terima adalah tinjuku!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak mendengar ucapan Gembong Raja Muda.
Dia usap-usap dadanya sambil berkata. Nada dan
sikapnya pongah.
"Rupanya kau masih belum kapok, Gem-
bong! Ingat baik-baik! Kalau saja tidak muncul Iblis Gelang Kematian, nyawamu
telah kukirim ke
akhirat! Tapi, tak mengapa. Toh, sebentar lagi
kau akan tewas di tanganku!"
"Binatang! Kau yang akan menggeletak
tanpa nyawa di tanganku, Malaikat Berdarah Bi-
ru!" sambut Gembong Raja Muda tak mau kalah.
"Pendekar Mata Keranjang memang terlalu bodoh, sehingga tak mampu mengirimmu ke
lubang kubur. Tapi, aku tak sebodoh Pendekar Mata Keran-
jang!" "Kau memang tak sebodoh Pendekar Mata Keranjang! Tapi, kerbau yang paling
goblok masih lebih cerdik dari padamu!" sentak Malaikat Berdarah Biru.
"Keparat!"
"Cukup!" Iblis Gelang Kematian buru-buru menengahi keadaan yang mulai memanas
itu. "Kapan penentuan raja di raja rimba persilatan akan dilaksanakan kalau kalian
ribut-ribut melu-lu! Malaikat Berdarah Biru cepat katakan apa
yang ingin kau tanyakan!"
"Tua bangka keparat! Kau akan mendapat
ganjaran yang setimpal karena berani mencegah
Malaikat Berdarah Biru! Kau akan kubuat berna-
sib seperti Gembong Raja Muda!" ancam Malaikat Berdarah Biru dalam hati sambil
menatap perempuan tua itu tajam-tajam, sebelum akhirnya buka
mulut. "Aku hanya ingin tahu, apakah setiap
orang yang berada di sini ikut bertarung"!"
Iblis Gelang Kematian ikut edarkan pan-
dangan berkeliling ketika melihat Malaikat Berda-
rah Biru tatap satu persatu tokoh-tokoh yang be-
rada di situ. Tapi, tak ada seorang pun yang
memberikan jawaban.
"Keparat! Binatang-binatang sombong ini
akan menerima akibat tingkah mereka yang bera-
ni meremehkan Malaikat Berdarah Biru!" Pemuda bertoga merah itu membatin dengan
rahang menggembung. Kemudian, dengan suara bergetar
karena dorongan amarah, dia keluarkan seruan
menggelegar. "Kalian semua boleh diam! Hanya saja, ka-
lau tak ingin kuanggap pengecut, yang ingin ikut
memperebutkan gelar raja di raja rimba persila-
tan, buka suara! Atau, aku yang akan mengang-
kat diriku sendiri sebagai raja di raja rimba persi-
latan, karena kalian semua adalah pengecut-
pengecut yang hanya besar mulut tapi kecil hati!"
"Tutup mulutmu, Malaikat Berdarah Biru!"
Dewa Maut yang lebih dulu memberikan sambu-
tan dengan sepasang tangan terkacak di ping-
gang. "Dewa Maut bukan seorang pengecut! Dan, akan kau saksikan sendiri nanti
kalau Dewa Maut-lah yang akan menjadi raja di raja rimba
persilatan!"
"Omong kosong!" Gembong Raja Muda tak
mau kalah. "Akulah yang akan menjadi pemimpin kalian semua! Dengar baik-baik!
Gembong Raja Muda-lah yang akan menjadi raja di raja rimba
persilatan!"
bicara memang mudah karena lidah tak ber-
tulang tapi membuktikan ucapan itu yang sukar karena untuk menggapainya butuh
keringat dan darah Penyair Berdarah yang tak mau kalah ger-
tak segera lantunkan tembang seraya dongakkan
kepala dan busungkan dada. Dan, setelah usai
menembang, dia pentang bacot.
"Kalian semua keliru! Aku, Penyair Berda-
rah, yang akan menjadi raja di raja rimba persilatan!" "Orang-orang muda!"
Manusia Titisan De-wa ikut keluarkan ucapan. "Kalian semua adalah pengkhayal-
pengkhayal yang luar biasa! Masih
bau susu kalian sudah bercita-cita seperti itu!
Akulah yang akan menjadi raja di raja rimba per-
silatan! Aku! Manusia Titisan Dewa!"
Berturut-turut, malah hampir berebut,
masing-masing tokoh menyombongkan diri. Ma-
laikat Berdarah Biru menghitung jumlah mereka.
Delapan, karena Dewi Tengkorak Hitam, kakek
bongkok, dan perempuan berpakaian gelap di se-
belah Dadung Rantak yang bukan lain dari Ratu
Pulau Merah, tak ajukan diri.
"Aku telah terlalu tua untuk menjadi pe-
mimpin. Bagiku, siapa pun yang akan menjadi
orang nomor satu aku tak peduli. Aku hanya
akan turun tangan apabila kalian berniat untuk
menyerang Setan Arak. Si peminum arak itu telah
membunuh muridku. Dan, aku tak akan bisa me-
ram bila belum dapat membalaskan kematian-
nya," Kakek bongkok ajukan alasan.
"Kebetulan sekali!" Malaikat Berdarah Biru lontarkan seruan gembira. "Jumlah
kita tepat. Empat tokoh tua dan empat tokoh muda. Jadi,
dalam waktu bersamaan, dapat dilangsungkan
semua pertarungan. Pemenang dari masing-
masing pertarungan akan berlaga. Sedangkan
yang kalah tak mempunyai kesempatan untuk
bertarung kembali!"
"Malaikat Berdarah Biru! Itu caraku! Kau
mencurinya!" seru Iblis Gelang Kematian, keras.
"Iblis Gelang Kematian! Kau memang licik!
Kau tak keluarkan usul, tapi begitu kulontarkan
usul yang bagus, kau akui sebagai usulmu! Ba-
gaimana, caraku bagus dan tepat bukan"!"
Tak ada seorang pun yang anggukkan ke-
pala. Tapi, di batin masing-masing menyeruak
perkataan. "Malaikat Berdarah Biru sungguh cerdik!
Usul yang diajukannya benar-benar tepat. Den-
gan mempertarungkan tokoh-tokoh yang menang,
di akhir pertarungan, hanya akan ada satu orang
pemenang. Dan, dia yang akan bergelar sebagai
raja di raja rimba persilatan!"
"Tunggu sebentar...!" seru Manusia Titisan Dewa, buru-buru karena khawatir
pertarungan lebih dulu berlangsung. Dia arahkan tatapannya
pada Iblis Gelang Kematian. "Bagaimana menentukan tokoh-tokoh yang harus
bertarung"! Mak-
sudku..., siapa yang akan menentukannya"!"
"Mengapa mesti repot-repot"!" tukas Malaikat Berdarah Biru dengan sunggingan
senyum mengejek menghias bibir. "Serang saja siapa yang kau inginkan!"
"Tentu saja, Bocah! Dan kupilih Iblis Ge-
lang Kematian!" tandas Manusia Titisan Dewa dengan tulang wajah bergerak-gerak
karena rasu-kan hawa kemarahan yang melanda. Sepasang
matanya pun membeliak besar. "Iblis Gelang Kematian! Sekali lagi katakan di mana
adanya Sa- kawuni, muridku!" (Untuk jelasnya mengenai nasib Sakawuni dan keributan antara
Manusia Titi-

Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san Dewa dan Iblis Gelang Kematian silakan baca
episode : "Tembang Maut Alam Kematian" dan
"Laskar Dewa").
Iblis Gelang Kematian keluarkan tawa ter-
kekeh. Dan, dengan tawa yang belum putus, ne-
nek ini keluarkan ucapan.
"Manusia Titisan Dewa. Kau tak usah kha-
watir. Bukankah sudah kukatakan kalau urusan
muridmu akan kita bicarakan setelah pertemuan
di Supit Urang"! Nah, dengar baik-baik! Sakawuni
memang ada padaku. Tapi, kau tak perlu khawa-
tir, setelah urusan ini selesai dan aku menjadi ra-ja di raja rimba persilatan,
muridmu akan kuse-
rahkan!" "Iblis Gelang Kematian! Jika itu yang kau
inginkan, kuterima!" hardik Manusia Titisan De-wa. Bersamaan dengan itu,
sepasang tangannya
direntangkan, lalu dihentakkan ke depan.
Wuuuttt! Tak ada suara yang terdengar atau pun
sambaran angin yang terlihat. Tapi, mendadak
udara panas menyengat, dan Iblis Gelang Kema-
tian terasa terdorong ke belakang.
Iblis Gelang Kematian tak membiarkan tu-
buhnya terseret lebih jauh. Buru-buru kemudian
dihantamkan kedua tangannya ke arah Manusia
Titisan Dewa. Wusss! Angin dahsyat meluruk dari kedua tangan
Iblis Gelang Kematian.
Blaaarrr! Pertemuan dua pukulan jarak jauh itu
membuat sekitar tempat itu bergetar keras bak
diguncang gempa. Tubuh Iblis Gelang Kematian
dan Manusia Titisan Dewa sama-sama ter-
huyung-huyung ke belakang. Hanya saja Iblis Ge-
lang Kematian terhuyung dua langkah lebih jauh.
Dadanya pun dirasakan sesak.
Iblis Gelang Kematian menyadari akan
keunggulan lawannya. Maka, begitu berhasil
menguasai diri, dikibaskan kedua tangannya. Se-
ketika itu pula, dua buah gelang di tangannya
meluncur ke arah Manusia Titisan Dewa.
Manusia Titisan Dewa tak mau kalah ger-
tak. Begitu melihat meluncurnya dua cahaya ke-
kuningan ke arahnya, dia segera tahu kalau Iblis
Gelang Kematian telah menggunakan senjata an-
dalan. Oleh karena itu, kakek ini hentakkan ke-
dua tangannya untuk memukul jatuh gelang-
gelang lawannya. Seketika itu pula, seberkas si-
nar pelangi menggebrak ke depan.
Tapi, Manusia Titisan Dewa kecelik. Ge-
lang-gelang itu bagaikan makhluk hidup. Sebe-
lum tersambar angin pukulannya, benda-benda
melingkar berwarna kekuningan itu meliuk. Di
lain kejap kembali meluncur ke arah Manusia Ti-
tisan Dewa, seraya perdengarkan bunyi menggi-
dikkan! Manusia Titisan Dewa perdengarkan kelu-
han kaget, kemudian lempar tubuh ke samping
untuk menghindar. Tapi, gelang-gelang yang tak
ubahnya makhluk hidup itu terus memburunya.
Malah, jumlahnya semakin bertambah ketika Iblis
Gelang Kematian, kembali kibaskan sepasang
tangannya, melontarkan gelang-gelang lain di
pergelangan tangannya,
Sementara itu, pada saat yang bersamaan
dengan serangan perdana Manusia Titisan Dewa,
tokoh-tokoh yang berkeinginan untuk menjadi ra-
ja di raja rimba persilatan, telah saling gebrak.
Gembong Raja Muda segera menerjang Malaikat
Berdarah Biru. Dewa Maut tak punya pilihan lain
kecuali bertarung dengan Penyair Berdarah. Begi-
tu pula dengan Dadung Rantak. Kakek bertelan-
jang dada ini mau tak mau harus berhadapan
dengan Bawuk Raga Ginting.
SEMBILAN PERGILAH menghadap malaikat maut, Ma-
laikat Berdarah Biru!" teriak Gembong Raja Muda seraya kirimkan jotosan dengan
kedua tangannya. Angin dahsyat yang memekakkan telinga ke-
luar dari kedua tangannya dan meluruk ke arah
Malaikat Berdarah Biru.
Tapi Malaikat Berdarah Biru yang telah
mengetahui kalau dirinya kebal pukulan, tak
membuat gerakan menangkis atau menghindar.
Gembong Raja Muda tak merasa heran melihat
tingkah lawannya. Pemuda berpakaian putih ini
telah tahu kalau Malaikat Berdarah Biru kebal
pukulan. Namun, rasa penasaran yang mendera
membuatnya berkeinginan untuk memastikannya
sekali lagi. Desss! Tak terdengar jeritan kesakitan dari mulut
Malaikat Berdarah Biru ketika pukulan itu meng-
hajarnya. Bahkan keluhan pun, tidak! Hanya sa-
ja, tubuhnya terpental beberapa tombak ke bela-
kang. Tapi, pemuda bertoga merah itu mampu
menjejak tanah dengan kedua kaki! Malaikat Ber-
darah Biru tatap lawannya dengan kepala didon-
gakkan! "Setan alas! Pemuda ini ternyata benar-
benar kebal pukulan! Tak ada jalan lain, aku ha-
rus gunakan jurus Sapu Bumi. Apakah dia akan
sanggup menahannya pula"!" Gembong Raja Mu-
da membatin, setelah yakin kalau Malaikat Ber-
darah Biru benar-benar kebal pukulan.
"Gembong! Aku sengaja memberikan kau
kesempatan untuk menyerang, agar nanti kau tak
mati penasaran! Setidak-tidaknya, rohmu akan
tenteram karena telah berhasil menyarangkan se-
rangan, dan membuatku terlempar! Ha ha ha...!"
Mendadak Malaikat Berdarah Biru henti-
kan tawanya. Begitu tiba-tiba bagaikan direnggut
hantu. Kemudian dia tatap Gembong Raja Muda
tajam-tajam. Bibirnya sunggingkan senyum pe-
nuh ejekan. Kemudian, dia melesat menerjang
Gembong Raja Muda. Pemuda berpakaian putih
itu menyambutinya. Pertarungan pun berlang-
sung. Tak kalah seru dengan pertarungan antara
Iblis Gelang Kematian menghadapi Manusia Titi-
san Dewa. Tak jauh dari tempat itu, Dewa Maut dan
Penyair Berdarah telah saling labrak pula. Begi-
tupun Dadung Rantak dan Bawuk Raga Ginting.
Tempat yang semula sunyi senyap jadi riuh ren-
dah! Kakek bongkok, Dewi Tengkorak Hitam, dan
Ratu Pulau Merah menyingkir lebih jauh agar lo-
los dari serangan nyasar! Pandangan tiga orang
ini beralih dari satu pertarungan ke pertarungan
lain. "Gembong! Bersiaplah untuk menghadap
malaikat maut!" seru Malaikat Berdarah Biru, ketika pertarungan telah
berlangsung belasan jurus.
Pemuda bertoga merah dorongkan kedua tangan-
nya ke depan, lancarkan serangan dengan jurus
'Bayu Sukma'! Wuttt! Sinar hitam melesat dengan keluarkan
bunyi gaduh. Keadaan di sekitar tempat itu men-
dadak pekat dan berhawa panas menyengat. Be-
berapa kilatan menakutkan, tampak!
Gembong Raja Muda menyadari akan
adanya bahaya maut. Sejurus sebelum sinar hi-
tam dan kilatan-kilatan itu bersarang di tubuh-
nya, disentakkan kedua tangannya, memapak. Di
saat yang sama, pemuda berpakaian putih ini me-
lompat ke samping untuk menghindar!
Di kejap lain terdengar bunyi keras meng-
gelegar! Sekitar tempat itu berguncang keras. Ta-
nah terbongkar dan berhamburan sehingga me-
nambah pekatnya pemandangan. Pada saat yang
bersamaan, tubuh Gembong Raja Muda melayang
dan terbanting keras di tanah. Sedangkan, Malai-
kat Berdarah Biru hanya bergoyang-goyang tu-
buhnya, tapi kakinya tak tergeser sama sekali!
Malaikat Berdarah Biru perdengarkan tawa
bergelak bernada kemenangan. Dadanya dibu-
sungkan ketika kakinya diayunkan menghampiri
Gembong Raja Muda. Di lain pihak, Gembong Ra-
ja Muda bergegas bangkit sambil usap darah yang
keluar dari mulutnya.
"Gembong! Saat untuk menemui malaikat
maut telah tiba! Bersiaplah!" seru Malaikat Berdarah Biru di sela-sela tawa
bergelaknya. Pemuda
bertoga merah ini angkat tangan kanannya untuk
lancarkan serangan. Malaikat Berdarah Biru sen-
gaja melakukannya lambat-lambat untuk me-
nyiksa perasaan Gembong Raja Muda.
Paras wajah Gembong Raja Muda pucat
pasi. Bulu tengkuknya berdiri. Dia tahu kalau,
saat-saat akhir bagi hidupnya akan segera tiba.
Kendati demikian, pemuda ini masih alirkan hawa
murni ke seluruh tubuhnya yang terasa panas.
Jantung Gembong Raja Muda berdetak jauh lebih
cepat dari pada sebelumnya, karena perasaan te-
gang menyadari usahanya mengusir pengaruh
akibat serangan Malaikat Berdarah Biru, tak akan
tuntas karena serangan Malaikat Berdarah Biru
pasti akan lebih dulu menerpanya!
Di saat tangan Malaikat Berdarah Biru te-
lah terangkat tinggi-tinggi, Gembong Raja Muda
buka mulut. "Malaikat Berdarah Biru! Tahan serangan!"
seru Gembong Raja Muda, tanpa malu-malu lagi,
karena masih ingin hidup.
Malaikat Berdarah Biru menatap Gembong
Raja Muda dengan sorot mata dingin. Tangan ka-
nannya tetap terangkat tinggi-tinggi. Bahaya
maut masih mengancam pemuda berpakaian pu-
tih itu. "Malaikat Berdarah Biru!" Gembong Raja Muda lanjutkan ucapannya. "Hanya
para penge- cut hina saja yang mau melukai, apalagi membu-
nuh lawan yang tak berdaya! Dan, aku yakin kau
bukan terhitung pengecut! Tapi, kalau kau me-
mang tergolong pengecut, silakan lukai atau bu-
nuh aku!" Air muka Malaikat Berdarah Biru menge-
lam. Sorot pembunuhan kembali terpancar pada
sepasang matanya. Rahangnya pun menggem-
bung keras. Kedua tangannya yang terangkat ber-
getar keras. Ucapan Gembong Raja Muda yang
bernada penekanan membuatnya marah besar.
Tapi, diusahakannya untuk menanggulangi rasu-
kan amarah itu. Kemudian Malaikat Berdarah Bi-
ru berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk
memancing amarah Gembong Raja Muda, agar
dia mempunyai alasan untuk membunuhnya!
"Gembong! Kau memang licik! Kau guna-
kan kata-kata itu untuk menyelamatkan diri!" teriak pemuda bertoga merah dengan
suara berge- tar karena menahan kemarahan. "Tapi, setelah kupikir-pikir, orang seperti kau
tak ada harganya!
Membunuh manusia sepertimu hanya akan
membuang-buang tenagaku saja! Pula, orang se-
pertimu mampu berbuat apa terhadapku! Jan-
gankan hanya seorang, sekalipun ada seratus
pun, tak ada artinya! Gembong! Lebih baik kau
ganti julukanmu! Tak pantas kau pergunakan ju-
lukan Gembong Raja Muda, seharusnya Gembong
Kantong Nasi! Menyingkirlah, Gembong Kantong
Nasi! Ha ha ha...!"
Wajah Gembong Raja Muda membesi. Dia
marah besar karena hinaan Malaikat Berdarah
Biru yang telah melampaui batas. Tapi, dia sadar
tak akan mampu berbuat apa pun terhadap pe-
muda bertoga merah yang memiliki kepandaian
mukjizat itu. Maka, setelah melempar tatapan
yang sarat dengan kebencian, dia balikkan tubuh
dan menyingkir dari tempat itu. Tawa bergelak
Malaikat Berdarah Biru mengiringi ayunan lang-
kah Gembong Raja Muda.
SEPULUH HIH!" Seruan keras itu keluar dari mulut
Manusia Titisan Dewa. Kakek ini sejak puluhan
jurus yang lalu, memang telah dibuat kelabakan
oleh serangan-serangan gelang yang tak ubahnya
makhluk hidup itu. Dan sekarang, dia berdiri te-
gak dengan kedua tangan menakup di depan da-
da! Hampir berbareng dengan seruan keras-
nya, Manusia Titisan Dewa julurkan kedua tan-
gan ke depan. Iblis Gelang Kematian beliakkan
sepasang matanya, kaget karena gelang-gelang
yang semula meluncur dari segenap arah menuju
berbagai bagian tubuh Manusia Titisan Dewa kini
berbelok. Semuanya menuju ke arah tangan si
kakek! Belum sempat keterkejutan Iblis Gelang
Kematian sirna, Manusia Titisan Dewa telah ki-
baskan tangan. Di lain kejap, benda-benda kun-
ing itu meluncur ke arah Iblis Gelang Kematian!
Hampir tanpa selisih waktu, Manusia Titi-


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san Dewa melompat menerjang lawannya. Hal ini
membuat Iblis Gelang Kematian terperanjat. Dia
tahu akan berbahayanya serangan beruntun ini.
Maka, Iblis Gelang Kematian berusaha sedapat
mungkin untuk mengelakkan serangan beruntun
itu. Tapi, nenek ini kalah cepat. Serangan gelang-gelang memang berhasil
dielakkannya. Tapi, ge-
doran Manusia Titisan Dewa tetap mendarat di
dada kirinya! Desss! Tubuh Iblis Gelang Kematian terpental dan
jatuh terguling-guling! Cairan merah kental men-
galir dari sudut mulut perempuan tua itu. Dia terluka dalam!
Belum sempat Iblis Gelang Kematian berdi-
ri tegak, Manusia Titisan Dewa berkelebat dan
berhenti beberapa kaki di depannya.
"Iblis Gelang Kematian! Kuberi kau kesem-
patan sekali lagi! Bila kau tak memanfaatkannya,
aku tak segan-segan untuk mengambil nyawa-
mu!" dengus Manusia Titisan Dewa, penuh ancaman. "Manusia Titisan Dewa keparat!
Tak lama lagi kau akan tahu siapa yang menjadi pihak yang
menekan!" batin Iblis Gelang Kematian. Lalu, dia terkekeh pelan. "Manusia
Titisan Dewa! Kali ini kau menang. Tapi, itu tak berarti kalau kau bisa
menekanku!"
"Jangan kau tunggu kesabaranku habis!
Katakan di mana adanya Sakawuni!"
Iblis Gelang Kematian benar-benar berhati
tabah. Meski Manusia Titisan Dewa telah marah
besar, dan tak main-main dengan ancamannya,
dia tetap mampu bersikap tenang. Malah, perem-
puan tua ini masih sempat edarkan pandangan
memperhatikan jalannya pertarungan antara Pe-
nyair Berdarah dan Dewa Maut. Lalu, dia berkata.
"Sebelum pertarungan dimulai sudah ku-
katakan, jika urusan di Supit Urang ini selesai,
muridmu akan kuserahkan. Bukankah begitu"!"
"Tidak salah!" tandas Manusia Titisan De-wa. "Nah! Kalau begitu mengapa kau
sekarang memaksaku menyerahkannya"! Urusan di Supit
Urang belum selesai. Pertarungan masih berlang-
sung! Bagaimana mungkin muridmu bisa kuse-
rahkan"!" tangkis Iblis Gelang Kematian, penuh nada menang.
Manusia Titisan Dewa terperangah. Diam.
Tak bicara sepatah kata pun kendati di batinnya,
menyeruak kata-kata.
"Iblis Gelang Kematian! Manusia licik! Kau
telah berhasil menipuku! Kau membuatku tak bi-
sa memaksamu! Tapi, tak apa! Tak lama lagi pun,
urusan di Supit Urang ini akan beres!"
Bara Naga 12 Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Hantu Wanita Berambut Putih 4
^