Pencarian

Tumpahan Darah Di Supit 3

Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Bagian 3


Seperti mendukung kata hati Manusia Titi-
san Dewa, terdengar pekik kesakitan, disusul
dengan terjengkangnya tubuh Penyair Berdarah.
Tapi, pemuda berjubah hitam garis-garis putih ini mampu berdiri, kendati agak
terbungkuk. Dari
sudut-sudut mulutnya, mengalir darah segar.
Dewa Maut tak menyia-nyiakan kesempa-
tan itu, sambil berseru keras pemuda ini segera
lompat memburu, siap jatuhkan serangan mema-
tikan. "Dewa Maut! Tahan! Muridku sudah ka-
lah...! Kau tak lebih dari seorang pengecut besar, jika lanjutkan seranganmu!"
Iblis Gelang Kematian yang mengkhawatirkan keselamatan Penyair
Berdarah, berteriak lantang.
Seruan Iblis Gelang Kematian berhasil me-
nyelamatkan nyawa Penyair Berdarah yang telah
kritis. Dewa Maut yang paling pantang dianggap
pengecut, lentingkan tubuh ke belakang, berjum-
palitan beberapa kali di udara sebelum akhirnya
jejakkan kaki secara mantap, lalu berseru lantang dengan sorot mata menghunjam
Iblis Gelang Kematian.
"Dewa Maut bukan seorang pengecut! Ka-
lau memang muridmu mengaku kalah, akan
kuampuni nyawanya! Toh, kepandaiannya tak
mengecewakan untuk menjadi anak buahku!"
Penyair Berdarah kertakkan gigi. Sepasang
matanya membeliak besar penuh kemarahan dan
ditujukan pada Dewa Maut. Pemuda berjubah hi-
tam garis-garis putih yang memiliki watak som-
bong dan tinggi hati ini tak bisa menerima kenya-
taan kalau dirinya dikalahkan oleh Dewa Maut!
Mulutnya sudah membuka siap lontarkan kata-
kata tantangan. Tapi, maksud itu diurungkannya.
Penyair Berdarah katupkan kembali mulutnya
tanpa keluarkan suara.
"Kau boleh senang-senang, Dewa Maut.
Tapi, sebentar lagi kau akan tahu siapa yang
menjadi pemimpin dan siapa yang menjadi anak
buah!" kata hati Penyair Berdarah. Lalu, pemuda
berjubah hitam garis-garis putih ini ayunkan kaki tinggalkan kancah pertarungan.
Baru saja Penyair Berdarah meninggalkan
kancah pertarungan, terdengar teriakan kesaki-
tan. Hampir tanpa selang waktu, Bawuk Raga
Ginting terjengkang dan terguling-guling di tanah ketika telapak tangan Dadung
Rantak menghajar
dada kirinya secara telak!
Perempuan bertubuh pendek ini masih
bersikeras bangkit. Tapi, ternyata tak mampu.
Tubuhnya rebah kembali ke tanah, seraya sem-
burkan darah. Dadung Rantak tahu kalau Bawuk Raga
Ginting tak akan sanggup melanjutkan pertarun-
gan. Oleh karena itu, dia berdiam diri menunggu.
Tapi, itu tak bisa lama dilakukannya. Malaikat
Berdarah Biru telah lebih dulu menerjangnya! Di
lain kejap, kedua tokoh ini terlibat dalam perta-
rungan sengit! Bukan hanya Dadung Rantak yang terlibat
pertarungan. Manusia Titisan Dewa pun demi-
kian. Kakek ini diserang oleh Dewa Maut! Perta-
rungan sengit pun berlangsung! Bunyi gaduh me-
nyemaraki jalannya pertarungan!
Tapi, hukum alam rupanya berlaku pada
tokoh-tokoh yang bertarung itu. Rupanya sudah
menjadi suratan kalau tokoh-tokoh tua harus ter-
singkir, terganti dengan tokoh-tokoh muda. Kare-
na, baik Dadung Rantak maupun Manusia Titisan
Dewa, terdesak oleh lawannya. Kendati demikian,
tokoh-tokoh muda itu tetap mengalami kesulitan
untuk merobohkan lawannya!
Puluhan jurus berlalu. Dan, napas Dadung
Rantak maupun Manusia Titisan Dewa telah
menderu-deru karena pengerahan tenaga yang
terlalu dipaksakan. Padahal, usia tua menjadi
kendala. Otot-otot anggota-anggota tubuh lainnya
tak seperkasa orang-orang yang mereka hadapi.
Mendekati jurus ke seratus, hampir berbarengan,
Dadung Rantak dan Manusia Titisan Dewa ter-
jengkang ke belakang seraya semburkan darah
segar dari mulutnya.
Setelah melayang-layang sejauh beberapa
tombak, tubuh kedua tokoh itu terbanting keras
di tanah. Kekerasan hati membuat mereka me-
maksakan diri untuk bangkit, tapi kemampuan
mereka telah tak mendukung lagi. Baik Manusia
Titisan Dewa maupun Dadung Rantak rebah
kembali ke tanah. Malah keadaan Dadung Rantak
lebih parah lagi. Kakek ini menggelepar-gelepar
seperti binatang disembelih, kemudian diam tak
bergerak untuk selamanya.
Hampir semua tokoh yang berada di situ
terkejut melihat kematian Dadung Rantak! Hanya
Ratu Pulau Merah, seorang yang meski kaget tapi
bercampur gembira.
"Syukurlah tua bangka itu tewas! Dengan
demikian aku terbebas dari ajakannya!" kata hati perempuan berpakaian gelap itu.
Lima pasang mata tokoh yang telah ter-
singkir dari kemungkinan untuk terpilih sebagai
raja diraja rimba persilatan, tertuju pada dua sosok di kancah pertarungan.
Malaikat Berdarah
Biru dan Dewa Maut!
Malaikat Berdarah Biru dan Dewa Maut ti-
dak langsung saling gebrak. Kedua belah pihak
saling tatap seperti hendak mengukur kekuatan
lawan lewat sorot mata. Baik Malaikat Berdarah
Biru maupun Dewa Maut hunjamkan tatapan se-
raya dongakkan dagu, mengunjukkan kesombon-
gan dan kepercayaan diri yang kuat akan ke-
mampuannya. "Mampukah aku mengalahkan Malaikat
Berdarah Biru"! Dia mempunyai ilmu mukjizat
yang membuatnya tak bisa dibunuh atau dilukai!
Tadi pun, beberapa kali kulihat dia terhantam se-
rangan lawannya, tapi semua itu tak berpengaruh
sama sekali," batin Dewa Maut.
Bukan hanya Dewa Maut saja yang merasa
ragu dapat mengalahkan Malaikat Berdarah Biru.
Malah, sebagian besar tokoh yang tersingkir dari
arena pertarungan, menjagoi Malaikat Berdarah
Biru. Mereka yakin pemuda bertoga merah itu
akan keluar sebagai pemenang.
"Dewa Maut! Kau hanya akan melelahkan
diri sendiri jika bertarung melawanku! Kurasa
kau telah lihat sendiri kalau aku tak bisa dibu-
nuh atau pun dilukai! Jadi, bagaimana mungkin
kau akan bisa mengalahkanku" Lebih baik kau
menyerah!"
"Malaikat Berdarah Biru! Dewa Maut tak
suka berdebat! Tapi, akan kau buktikan sendiri
kalau Dewa Maut-lah yang akan menjadi raja di-
raja rimba persilatan!" teriak Dewa Maut. Di lain kejap, dia menerjang ke depan
dengan bacokan sisi tangan ke arah leher!
Malaikat Berdarah Biru mendengus. Di-
angkat tangan kiri untuk mementahkan serangan
Dewa Maut. Pada saat yang sama dikirimkannya
jotosan tangan kanan ke arah dada.
Dukkk! Plakkk! Dua benturan keras terdengar ketika Dewa
Maut memapak serangan Malaikat Berdarah Biru
dengan jari-jari tangan terkepal. Bentrok dua tin-ju itu hanya berselisih waktu
sedikit saja dengan benturan yang terjadi akibat tangkisan Malaikat
Berdarah Biru pada serangan Dewa Maut! Tubuh
Dewa Maut dan Malaikat Berdarah Biru sama-
sama terhuyung ke belakang. Seringai kesakitan
menghias wajah masing-masing, karena rasa nye-
ri pada anggota tubuh yang berbenturan.
Tapi, dua tokoh ini, tak pedulikan rasa
nyeri yang melanda. Malah, baik Malaikat Berda-
rah Biru mau pun Dewa Maut seperti saling ber-
lomba untuk melancarkan serangan. Sekejap ke-
mudian, keduanya telah terlibat dalam pertarun-
gan yang sengit!
Hanya dalam waktu sebentar, pertarungan
telah berlangsung belasan jurus. Dan, selama itu
jalannya pertarungan tetap berimbang. Belum ter-
lihat adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar
sebagai pemenang, karena kelincahan dan kekua-
tan tenaga dalam mereka berimbang!
"Dewa Maut memang luar biasa! Kabar
yang tersiar mengenai kesaktiannya tak berlebi-
han. Kalau tak mengandalkan kekebalanku, bu-
kan tak mungkin bisa roboh di tangannya. Pula,
kurasa sudah cukup menjajagi kepandaiannya.
Dia harus merasakan kehebatan ilmu yang kumi-
liki! Kendati demikian, aku harus memperguna-
kan pada waktu yang tepat, sehingga tak bercapai
lelah lagi untuk merobohkan Dewa Maut!" kata hati Malaikat Berdarah Biru,
bersiasat. Beberapa jurus kembali berlalu, tapi pe-
muda bertoga merah masih belum memperguna-
kan kemampuannya yang menakjubkan. Tinda-
kan Malaikat Berdarah Biru ini membuat Dewa
Maut heran. "Mengapa Malaikat Berdarah Biru belum
mempergunakan ilmunya yang mukjizat"! Aku
harus hati-hati. Jangan-jangan dia tengah meren-
canakan sebuah siasat! Ataukah ada sesuatu tak
terduga yang membuatnya mengalami kesulitan
untuk melakukannya. Tapi, meskipun demikian,
aku harus hati-hati," Dewa Maut membatin, tan-pa mengendurkan serangannya.
Bahkan, teka- nan-tekanan yang dilancarkan terhadap lawannya
semakin menjadi-jadi.
"Uh...!"
Malaikat Berdarah Biru mengeluh tertahan
ketika sapuan kaki kanan Dewa Maut menghan-
tam betisnya. Keras, hingga pemuda bertoga me-
rah ini terpelanting. Melihat kesempatan baik ini, Dewa Maut tak menyia-
nyiakannya. Dilihatnya
sendiri, Malaikat Berdarah Biru menyeringai ke-
sakitan ketika kakinya terkena serangannya.
"Tepat dugaanku! Ada sesuatu yang mem-
buat pemuda ini tak bisa menggunakan ilmunya
yang hebat itu! Aku harus cekatan agar tak mem-
buang waktu lebih lama lagi untuk merobohkan-
nya!" Dewa Maut membatin dalam hati. Lalu, tanpa berpikir lebih lama lagi, dia
melesat menerjang Malaikat Berdarah Biru.
Wuttt! Deru angin yang luar biasa keras mengirin-
gi sampokan tangan Dewa Maut ke arah kepala
Malaikat Berdarah Biru. Serangan maut! Karena,
jangankan kepala manusia, batu karang yang pal-
ing keras pun akan pecah berantakan bila terke-
na hantaman tangan bertenaga dalam luar biasa
kuat itu! Dan Dewa Maut yakin, serangannya ini
akan berhasil mendarat di sasaran. Dilihatnya
sendiri, saat itu Malaikat Berdarah Biru berada
dalam kedudukan yang tak menguntungkan!
Beberapa jari sebelum telapak tangan De-
wa Maut menghantam pelipis, Malaikat Berdarah
Biru melayangkan tendangan ke arah perut. Dewa
Maut terperangah. Dia tak menyangka kalau da-
lam keadaan seperti itu, pemuda bertoga merah
mampu melancarkan serangan.
"Setan! Jangan-jangan semua ini sudah di-
rencanakan oleh pemuda ini!" rutuk Dewa Maut, dalam hati. Kalau saja masih
mempunyai kesempatan, Dewa Maut lebih suka membatalkan se-
rangannya dan menghindari serangan. Jika, saat
ini serangannya diurungkan pun percuma, kare-
na serangan Malaikat Berdarah Biru tak akan
mungkin bisa dielakkannya. Dewa Maut tak
punya pilihan lagi kecuali menantikan hasil mas-
ing-masing serangan!
Plakkk! Bukkk! Hampir berbareng tangan Dewa Maut dan
kaki Malaikat Berdarah Biru bersarang pada sa-
saran yang dituju. Di kejap lain, tubuh masing-
masing pihak terlontar. Namun, berkat kelihaian
kedua tokoh sakti itu, mereka mampu menjejak
tanah dengan kedua kaki.
Dewa Maut berusaha menegakkan tubuh.
Tapi, tak mampu. Dia memang mampu berdiri,
tapi dengan tubuh membungkuk. Perutnya terasa
mual bukan main. Isi perutnya bagaikan diaduk-
aduk. Dengan punggung tangan, diusapnya darah
yang mengalir dari sela-sela bibirnya. Dewa Maut
telah terluka dalam.
Di seberang sana, Malaikat Berdarah Biru
berdiri tegak. Kepalanya didongakkan. Kedua tan-
gannya terkacak di pinggang. Sorot sepasang ma-
tanya menghunjam pada Dewa Maut. Mulutnya
menyunggingkan senyum kemenangan sekaligus
seringai ejekan! Serangan Dewa Maut tak berpen-
garuh sedikit pun padanya, kendati telak meng-
hantam! Paras muka Dewa Maut pias melihat kek-
hawatirannya terbukti. Dia sadar tak akan mung-
kin menang menghadapi Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini hanya bisa menyumpah-nyumpah di


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hati. "Keparat! Mengapa aku demikian bodoh!
Keparat licik itu pasti telah merencanakannya!
Dia berhasil mengecohku! Mengapa aku bisa diti-
pu"! Bodoh! Aku kena dipancing!"
Malaikat Berdarah Biru ayunkan kaki
menghampiri Dewa Maut. Pelan-pelan. Tidak ter-
gesa-gesa, mengunjukkan orang yang telah yakin
akan kemenangannya! Setiap langkah pemuda
bertoga merah ini membuat detakan jantung De-
wa Maut bertambah cepat.
SEBELAS Di saat kritis bagi keselamatan Dewa Maut,
berkelebat sesosok bayangan putih. Di kejap lain, Dewi Tengkorak Hitam telah
berdiri tegak, mem-belakangi Dewa Maut.
"Malaikat Berdarah Biru! Dewa Maut telah
kalah! Kaulah yang berhak menjadi raja di raja
rimba persilatan!" teriak Dewi Tengkorak Hitam ketika Malaikat Berdarah Biru
telah bersiap untuk menjatuhkan pukulan mautnya!
Terdengar bunyi gemeretak dari belakang
Dewi Tengkorak Hitam. Bunyi itu berasal dari
Dewa Maut. Dewa Maut tak sudi mengaku kalah.
Pemuda berjubah hitam ini mempunyai harga diri
tinggi. Dia lebih suka mati daripada mengaku ka-
lah! Mulutnya telah membuka, siap lontarkan
tantangan terhadap Malaikat Berdarah Biru. Pa-
dahal, Dewa Maut sudah tak berdaya! Tapi, Dewi
Tengkorak Hitam, telah lebih dulu mendekatinya
dan berbisik. "Dewa Maut.... Waktu masih panjang. Saat
ini mungkin maksudmu untuk menjadi raja di ra-
ja rimba persilatan tak kesampaian. Tapi, itu bu-
kan berarti tak mungkin. Tak mengapa saat ini
kau kalah, kelak kau bisa menebusnya setelah
menemukan kelemahan ilmu iblisnya!"
Rahang Dewa Maut menggembung besar.
Pelipisnya bergerak-gerak. Dia murka bukan main
melihat sikap dan mendengar ucapan Dewi Teng-
korak Hitam. Dia tak suka dinasihati. Maki-
makian telah siap terlontar dari mulutnya. Tapi,
ketika kata-kata itu telah berada di ujung lidah, siap untuk dilontarkan, akal
sehat Dewa Maut
bekerja. "Apa yang dikatakan Dewi Tengkorak Hi-
tam memang masuk akal. Kalau saat ini aku ber-
keras untuk bertarung. Sudah pasti aku akan te-
was di tangan si keparat Malaikat Berdarah Biru
ini! Jika itu terjadi, dendam leluhurku tak akan tuntas! Biarlah kali ini aku
mengalah!"
Dewa Maut memang mengalah. Tapi, tak
sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dengan
wajah mengelam, dia mundur dari kancah perta-
rungan, diikuti oleh Dewi Tengkorak Hitam!
Malaikat Berdarah Biru edarkan pandan-
gan ke sekitarnya, menatap satu persatu wajah-
wajah tokoh persilatan yang sejak tadi menyaksi-
kan jalannya pertarungan. Kemudian, kepalanya
didongakkan seraya perdengarkan tawa berderai
dengan kedua tangan terkacak di pinggang.
"Ha ha ha...! Sekarang, akulah raja di raja
rimba persilatan! Aku pemimpin kalian! Dan, ka-
lian tak akan kubuat kecewa! Di bawah pimpi-
nanku, akan kita hancurkan tokoh-tokoh golon-
gan putih! Terutama sekali Pendekar Mata Keran-
jang! Ha ha ha...!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa keras. Ta-
pi, secara mendadak tawanya terhenti seperti di-
renggut setan. Lalu dengan kedua tangan masih
terkacak di pinggang, diedarkan pandangannya.
"Kalian semua! Dengarkan baik-baik uca-
panku ini! Beberapa hari lagi, setelah keadaan kalian semua pulih seperti sedia
kala, aku akan mu-
lai membagi-bagi perintah. Kalian semua akan
mendapat tugas dariku untuk menemukan orang-
orang yang kucari."
Malaikat Berdarah Biru hentikan ucapan-
nya sejenak untuk melihat tanggapan tokoh-
tokoh tingkat atas golongan hitam yang sekarang
mau tidak mau telah menjadi anak buahnya. Ta-
pi, sebagian besar dari mereka bersikap dingin.
Hanya Iblis Gelang Kematian dan Penyair Berda-
rah yang kelihatan bersikap tenang. Meskipun
begitu, Malaikat Berdarah Biru tak peduli. Ba-
ginya tak masalah, mereka senang atau tidak!
Yang penting mereka melaksanakan perintahnya!
"Orang-orang yang kucari itu adalah Setan
Arak, Dewi Bunga Iblis, dan Pendekar Mata Ke-
ranjang. Ketiga orang itu telah kutetapkan untuk
menjadi calon korbanku! Sayang, aku belum da-
pat mengetahui di mana adanya mereka!"
Iblis Gelang Kematian kernyitkan dahi. He-
ran. Diam-diam di dalam hatinya, nenek ini ber-
kata. "Sepengetahuanku, Malaikat Berdarah Biru hanya mempunyai urusan dengan
Pendekar Mata Keranjang. Karena Pendekar Mata Keranjanglah
yang hampir menamatkan riwayatnya! Entah, apa
silang sengketa pemuda ini dengan Setan Arak
dan Dewi Bunga Iblis!"
Iblis Gelang Kematian bahkan juga semua
tokoh di situ tak akan pernah tahu. Karena me-
mang Malaikat Berdarah Biru tak mempunyai si-
lang sengketa dengan Dewi Bunga Iblis serta Se-
tan Arak. Orang yang menjadi guru pemuda ber-
toga merah itu yang mempunyai silang sengketa
dengan Dewi Bunga Iblis serta Setan Arak (Untuk
jelasnya, silakan baca episode : "Laskar Dewa").
"Malaikat Berdarah Biru!" Penyair Berdarah buka suara. Lantang.
Seketika, semua pasang mata terutama se-
kali milik Malaikat Berdarah Biru, tertuju pada
Penyair Berdarah. Mereka semua merasakan
adanya nada penentangan dalam ucapan pemuda
berjubah hitam garis-garis putih itu. Dan, hal ini menimbulkan keheranan.
"Apa yang ingin dilakukan Penyair Berda-
rah"! Apakah dia sudah bosan hidup"! Sikap dan
tindakannya akan memancing kemarahan Malai-
kat Berdarah Biru, dan berakibat nyawanya bisa
lepas dari badan!" pikir semua tokoh, agak bingung. Penyair Berdarah tak gugup
kendati men- jadi pusat perhatian. Dia tahu, orang yang berada di situ hendak mendengar
kelanjutan ucapannya
yang terputus di tengah jalan. Tapi, Penyair Ber-
darah malah berpura-pura tak tahu kalau ucapan
lanjutannya tengah ditunggu-tunggu! Dia bersi-
kap tak peduli. Malah arahkan perhatian pada
gurunya! Tapi kali ini Iblis Gelang Kematian tak bi-
cara ataupun menghardiknya. Nenek ini malah
senyum-senyum dan bersikap tak peduli, men-
gunjukkan sikap yang menyerahkan seluruh ke-
putusan pada Penyair Berdarah.
Malaikat Berdarah Biru yang sudah merasa
tersinggung dengan sikap yang ditunjukkan Pe-
nyair Berdarah, semakin meluap amarahnya me-
lihat tingkah Penyair Berdarah. Dengan kedua
tangan terkepal kencang, dan sepasang mata se-
perti menyinarkan api, dia berteriak. Suaranya
keras menggelegar. Malah, sekitar tempat itu ter-
getar hebat seperti dilanda gempa.
"Penyair Berdarah! Kalau kau masih mem-
bisu, akan kubuat kau bisu selama-lamanya!" geram Malaikat Berdarah Biru.
Penyair Berdarah tertawa bergelak. Anca-
man Malaikat Berdarah Biru yang terlihat bukan
main-main itu ternyata tak membuatnya gentar!
Bahkan, dengan berani pemuda berjubah hitam
garis-garis putih ini menentang pandang mata
Malaikat Berdarah Biru, seraya keluarkan ucapan
keras dan lantang yang disertai dengan senyum
sinis yang menghias mulutnya.
"Malaikat Berdarah Biru! Kau tak usah ba-
nyak lagak! Keberhasilanmu keluar sebagai pe-
menang tunggal dalam pertemuan ini hanya seca-
ra kebetulan saja! Nasib baik! Tapi, perlu kau ketahui. Itu tak berarti kau
menjadi raja di raja
rimba persilatan! Apalagi berani memerintahku
untuk mencari orang yang kau inginkan! Kau
mimpi terlalu jauh!"
"Keparat! Setan! Penyair Berdarah! Je-
laskan maksud ucapanmu, atau kujadikan kau
mayat tak berkubur!" Malaikat Berdarah Biru benar-benar hampir tak kuasa menahan kemara-
hannya lagi. Pelipisnya bergerak-gerak keras. Ra-
hangnya menggembung karena amarah yang
mendera. Dan, pemuda bertoga merah ini telah
bertekad di hatinya.
"Apabila si keparat Penyair Berdarah masih
mengajak berteka-teki lagi, akan kukirim nya-
wanya ke neraka!"
Penyair Berdarah tahu kalau Malaikat Ber-
darah Biru telah marah besar. Tapi, dia tetap tak peduli. Senyum sinis masih
tersungging di bibirnya. Tapi, senyum itu langsung lenyap ketika ter-
dengar teguran dari sebelahnya.
"Manding! Kau benar-benar bodoh! Tak ta-
hu kapan tetap main, dan kapan harus berhenti!
Cepat katakan yang ingin kau utarakan!" Iblis Gelang Kematian yang seperti
mengetahui tekad Ma-
laikat Berdarah Biru, membentak muridnya. Yang
dibentak tampakkan paras tak senang. Bahkan
memaki-maki, tapi hanya di dalam hati.
"Tua bangka sialan! Kesalahanmu telah
bertumpuk-tumpuk! Kau perlakukan aku seperti
sampah! Nyawa tuamu tak cukup untuk menutu-
pi semua kesalahanmu terhadapku! Kau layak
mati berkali-kali di tanganku!"
Dengan batin yang melontarkan sumpah
serapah, mulut Manding Jayalondra keluarkan
ucapan. Nadanya kaku, penuh rasa tak senang,
dan menunjukkan keterpaksaan.
"Malaikat Berdarah Biru! Kau tak usah ba-
nyak tingkah! Karena nyawamu ada di tanganku!
Bahkan bukan hanya kau! Tapi juga semua orang
yang berada di sini!"
Iblis Gelang Kematian tertawa terkekeh-
kekeh, ketika muridnya selesai berbicara dengan
penuh tekanan untuk menguatkan maksud uca-
pannya. Dengan mulut sunggingkan seringai ke-
menangan, nenek ini angkat bicara.
"Manding! Calon-calon pengikut kita ru-
panya masih belum paham. Utarakan yang lebih
jelas!" Memang, semua tokoh persilatan yang ada di situ, tak menampakkan
tanggapan yang diharapkan Iblis Gelang Kematian dan muridnya. Se-
mula murid dan guru ini menyangka akan meli-
hat keterkejutan dan kepanikan membayang di
wajah tokoh-tokoh itu. Tapi, harapannya kandas.
Wajah-wajah mereka tak beriak sama sekali! Te-
tap kaku! Malaikat Berdarah Biru sendiri, malah
keluarkan tawa bergelak bernada mengejek. Pe-
muda bertoga merah yang sebelumnya telah ma-
rah besar, malah merasa geli mendengar ucapan
Penyair Berdarah. Seakan-akan seorang dewasa
yang mendapat ancaman dari anak kecil!
"Rupanya kau telah menjadi gila karena
keinginan yang gagal, Penyair Berdarah!" dengus Malaikat Berdarah Biru di
tengah-tengah gelak
tawanya. "Tutup mulutmu, Malaikat Berdarah Biru!
Sekarang kau boleh menganggapku gila. Tapi, se-
telah kau dengar ucapanku, ingin kutahu apakah
kau masih beranggapan demikian"!"
"Bicaralah, Penyair Berdarah! Kau akan
kuberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
mengeluarkan semua ganjalan di hatimu. Ini ku-
lakukan karena kasihan padamu. Aku tahu, kau
sangat menggilai kedudukan raja di raja rimba
persilatan. Sayang, kemampuan yang kau miliki
hanya sebatas mata kaki! Bicaralah! Mudah-
mudahan kau menjadi terhibur karenanya!"
Meski merasa tersinggung bukan main, ta-
pi perasaan gembira yang melanda, membayang-
kan keterkejutan yang akan dialami oleh Malaikat
Berdarah Biru, membuat Penyair Berdarah tetap
mampu tersenyum. Senyum mengejek bernada
kemenangan. "Malaikat Berdarah Biru! Dan juga semua
orang yang berada di sini! Dengar baik-baik! Ka-
lian semua telah terkena racun yang amat ganas!
Racun yang mematikan dan berdaya kerja cepat!
Hanya dalam waktu tiga hari, bila tak menda-
patkan pemunahnya, kalian semua akan mati!"
Suasana di tempat itu langsung hening ke-
tika Penyair Berdarah menyelesaikan ucapannya.
Andaikata, ada daun yang jatuh pun pasti akan
terdengar, saking sunyinya suasana. Penyair Ber-
darah dan Iblis Gelang Kematian edarkan pan-
dangan untuk meneliti wajah-wajah di sekitarnya.
Mereka gembira ketika melihat keterkejutan yang
membayang di sana. Pada masing-masing batin
mereka bergayut pernyataan yang tak terlontar-
kan. "Benarkah ucapan Penyair Berdarah"! Rasanya memang masuk akal, karena sejak
tadi guru dan murid ini bersikap tenang, menunjuk-
kan orang yang mempunyai andalan. Ataukah...,


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini hanya gertakan belaka"!"
Malaikat Berdarah Biru-lah yang merupa-
kan orang pertama yang memecahkan kehenin-
gan yang mencekik leher. Pemuda bertoga merah
ini mendengus keras seraya perdengarkan tawa
mengejek. "Penyair Berdarah! Kau keliru besar bila
mengira bisa menipuku dengan gertakan kosong
itu! Malaikat Berdarah Biru tak bisa ditipu atau
digertak! Kau dengar"! Sekarang, bersiaplah un-
tuk menerima kematian, Penyair Berdarah! Kau
telah terlalu banyak membuatku jengkel, dan aku
tak akan puas sebelum berhasil mengirimmu ke
akhirat!" Malaikat Berdarah Biru langsung bersiap
untuk membuktikan ucapannya. Tapi, terpaksa
diurungkan ketika mendengar ucapan Penyair
Berdarah yang bernada mengejek dan merendah-
kan. "Rupanya kau takut mendengar ucapanku
selanjutnya, Malaikat Berdarah Biru! Maka, kau
buru-buru menyerangku, agar aku tak sempat bi-
cara lagi!"
"Penyair Berdarah! Malaikat Berdarah Biru
tak pernah takut pada siapa pun! Apalagi pada
orang sepertimu! Bicaralah sampai kau merasa
puas! Karena setelah itu kau tak akan pernah bi-
sa bicara lagi untuk selama-lamanya!"
"Dengar baik-baik! Tadi, sewaktu terlibat
pertarungan, aku dan guruku telah sebarkan ser-
buk yang amat beracun, tapi tidak berbau atau
berwarna. Kalian semua telah menghirup serbuk
itu tanpa kalian sadari! Perlu kalian ketahui, terutama sekali kau, Malaikat
Berdarah Biru, racun
yang terkandung dalam serbuk itu berbeda den-
gan racun lainnya, dan tak akan bisa dilenyapkan
dengan penawar racun biasa."
Malaikat Berdarah Biru mendengus. Ge-
ram. Diam-diam di dalam hatinya, pemuda berto-
ga merah ini berkata. Perkataan yang sama ter-
kandung dalam hati semua tokoh yang berada di
situ. "Benarkah apa yang dikatakan oleh Penyair Berdarah"!"
"Kalau kalian tak percaya," kali ini Iblis Gelang Kematian yang bicara. "Kalian
bisa tunggu sebentar lagi. Aku yakin, racun itu akan menunjukkan akibatnya.
Tanda-tanda pertama adalah
rasa gatal yang amat sangat, mendera. Muncul-
nya tanda-tanda ini tidak sama, tergantung keku-
atan tenaga dalam orang yang keracunan itu! Se-
makin kuat tenaga dalamnya, semakin lambat
timbulnya gatal itu."
Iblis Gelang Kematian hentikan penjela-
sannya sebentar. Kemudian edarkan pandangan
berkeliling, untuk melihat tanggapan orang-orang
yang diajaknya bicara. Tapi, tak satu pun yang
buka mulut. Pandang mata mereka semua seperti
tertuju pada mulut Iblis Gelang Kematian. Me-
nunggu mulut itu membuka dan keluarkan uca-
pan. "Rasa gatal itu tak tertahankan! Dan, te-
rus-menerus terasa. Rasa itu bahkan mampu
membuat seorang tokoh sakti seperti kehilangan
kesaktiannya. Yang menjadi keinginan adalah
agar gatal itu lenyap. Lewat satu hari, nyawa
akan melayang!"
Seperti mendukung ucapan Iblis Gelang
Kematian, terdengar keluhan tertahan. Seketika,
semua pasang mata tertuju ke arah asal suara.
Tampak Gembong Raja Muda meringis-ringis,
kemudian menggeliat.
"Pandu! Hentikan kekonyolanmu sebelum
kesabaranku hilang!" bentak Bawuk Raga Gint-
ing, keras. Perempuan pendek ini memang tengah
tak senang hati karena kegagalannya menjadi raja
di raja rimba persilatan. Maka, tingkah muridnya
membuatnya marah.
Tapi, yang diancam seperti tidak menden-
gar, dan tetap saja meneruskan tingkahnya. Me-
ringis dan menggeliat. Malah, di kejap lain, ber-
tambah dengan menggaruk. Mula-mula hanya
tangan kiri yang digaruk. Sesaat kemudian, tan-
gan yang digaruk ikut-ikutan menggaruk tangan
kanan. Selanjutnya, kedua tangan itu menggaruk
hampir sekujur tubuh.
Penyair Berdarah keluarkan tawa bergelak.
Kemudian sambil dongakkan kepala dia berseru
lantang. "Baru satu orang yang membuktikan kebe-
naran ucapanku. Tak lama lagi akan bertambah
banyak, sampai akhirnya kalian semua kegatalan!
Ha ha ha...!"
Bawuk Raga Ginting kertakkan gigi. Ge-
ram. Di dalam hatinya, dia membatin.
"Apa yang kukhawatirkan ternyata tidak
keliru. Iblis Gelang Kematian merencanakan se-
suatu. Sama sekali tak kusangka kalau renca-
nanya benar-benar menakjubkan! Kalau misalkan
terpaksa, apa boleh buat"! Demi menyelamatkan
nyawa, tak ada ruginya kalau aku menakluk."
Sementara itu keadaan Gembong Raja Mu-
da semakin mengenaskan. Garukan yang dilaku-
kannya semakin menggila. Tubuhnya sampai
menggelepar ke sana kemari seperti binatang dis-
embelih. Garukan jari-jari tangannya telah mem-
buat kulitnya mengelupas. Darah pun mulai
mengalir. Semua tokoh persilatan yang berada di situ
terperangah. Bulu kuduk mereka merinding. Hati
masing-masing tokoh berseru galau.
"Kalau hal itu berlangsung terus, bukan
hanya kulit Gembong Raja Muda saja yang terku-
pas, dagingnya pun akan habis! Benar-benar ra-
cun yang amat ganas!"
Di antara semua yang menyaksikan keja-
dian itu, hanya Bawuk Raga Ginting yang di
samping merasa kaget dan ngeri juga disergap ra-
sa khawatir. Dia tak ingin murid yang dididiknya
susah-payah itu menemui ajal secara mengeri-
kan. Pandangannya segera dialihkan pada Iblis
Gelang Kematian.
"Iblis Gelang Kematian! Hentikan kekeja-
man itu! Aku bersedia menjadi anak buahmu! Ta-
pi, sembuhkan dulu muridku...!" teriak perempuan bertubuh pendek ini, keras.
Iblis Gelang Kematian keluarkan kekeh ter-
tahan, sebelum akhirnya berkata.
"Obat penawar racun itu akan kuberikan
belakangan apabila kau dan muridmu telah
membuktikan janji. Tapi, karena kau telah me-
mutuskan demikian, kau dan muridmu kuberi-
kan obat untuk menyembuhkan rasa gatal itu!"
Di akhir ucapannya itu, Iblis Gelang Kema-
tian lemparkan dua buah kendi sebesar ibu jari
kaki. Dengan sigap Bawuk Raga Ginting menang-
kapnya. "Habiskan isinya...!" seru Iblis Gelang Kematian, singkat.
Tanpa banyak pikir lagi, Bawuk Raga Gint-
ing segera menghampiri Gembong Raja Muda
yang masih menggelepar-gelepar. Kemudian, diju-
lurkan jari-jari tangannya mengirimkan totokan
ke tubuh pemuda berpakaian putih itu. Di kejap
lain, tubuh Gembong Raja Muda terkulai lemas,
sehingga leluasa Bawuk Raga Ginting menua-
ngkan isi kendi itu ke dalam mulutnya.
Selagi Bawuk Raga Ginting meminumkan
isi kendi, Iblis Gelang Kematian perhatikan seki-
las, kemudian kembali berkata dengan nada pe-
nuh kemenangan.
"Sebelum rasa gatal itu muncul, pada tu-
buh kalian, tepatnya pada pergelangan tangan
akan muncul bercak merah sebesar ibu jari!"
DUA BELAS MALAIKAT Berdarah Biru termasuk salah
satu dari sekian banyaknya tokoh-tokoh persila-
tan yang memperhatikan lengannya. Pemuda ber-
toga merah mendengar seruan-seruan ke-
terkejutan dari mulut-mulut tokoh persilatan
yang ada di situ. Seruan keterkejutan yang ber-
campur dengan kengerian, ketika melihat tanda
yang dimaksud Iblis Gelang Kematian!
Tapi, Malaikat Berdarah Biru tak melihat
tanda apa pun di lengannya. Jangankan bercak
sebesar ibu jari, sebesar kutu pun tak terlihat!
Semula dia merasa heran, dan menyangka Iblis
Gelang Kematian dan Penyair Berdarah hanya
menggertak belaka. Tapi, dia teringat akan uca-
pan gurunya. "Apa yang dikatakan tua bangka itu ternya-
ta tak salah! Aku tak hanya kebal pukulan, tapi
juga racun!" kata Penyair Berdarah dalam hati.
Kenyataan ini membuat Malaikat Berdarah
Biru sangat gembira. Didongakkan kepala dan di-
kacakkan kedua tangannya di pinggang, seraya
lontarkan ucapan keras bernada sombong!
"Iblis Gelang Kematian! Penyair Berdarah!
Kalian dengar baik-baik! Segala macam racun tak
ada artinya bagiku! Aku tak bisa mati! Justru ka-
lianlah yang akan mati karena berani berbuat li-
cik padaku!" Malaikat Berdarah Biru menghentikan ucapannya berbarengan dengan
terjangan ke arah Penyair Berdarah! Pemuda bertoga merah ini
langsung kirimkan serangan maut! Penyair Ber-
darah yang melihat kejadian tak disangka-sangka
itu, terperanjat. Tapi, dia masih sempat untuk
melempar tubuh ke belakang, dan bergulingan
menjauh. Di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru be-
nar-benar telah bertekad untuk membinasakan
Penyair Berdarah. Dia melesat memburu, siap un-
tuk kirimkan serangan maut! Melihat hal ini wa-
jah Penyair Berdarah berubah pias. Lesatan Ma-
laikat Berdarah Biru terlalu cepat, dan kecil ke-
mungkinannya untuk dapat lolos!
Iblis Gelang Kematian sendiri, saking ka-
getnya melesat untuk menyelamatkan nyawa mu-
ridnya. Tapi, saat tubuh Iblis Gelang Kematian
tengah melayang, sesosok bayangan telah lebih
dulu melesat memapaki serangan Malaikat Berda-
rah Biru! Blarrr...! Diawali benturan keras yang membuat se-
kitar tempat itu bergetar, tubuh Malaikat Berda-
rah Biru dan sang penyelamat Penyair Berdarah
sama-sama terjengkang ke belakang. Namun, ke-
duanya mampu mematahkan daya luncuran dan
menjejak tanah secara mantap!
Seketika berpasang-pasang mata tertuju
pada sang Pendatang Baru ini. Dia adalah seo-
rang lelaki bertubuh tegap besar, dan berambut
panjang tergerai. Meski demikian, terlihat kalau
lelaki ini masih berusia sangat muda!
Dari sekian banyaknya yang menatap,
hanya dua pasang mata yang menyiratkan keter-
kejutan, mata Dewa Maut dan mata kakek bong-
kok! "Kiranya si anak ajaib itu! Hm.... Pertarungan yang seru akan tercipta.
Entah bagaimana
akhirnya, karena kedua belah pihak sama-sama
kebal pukulan," Dewa Maut membatin, dengan
pandangan mata hampir tak berkedip. Kekalahan
yang diderita dari Malaikat Berdarah Biru yang
tak pernah disangka-sangkanya, membuat Dewa
Maut terpukul dan kehilangan kegarangannya.
Dia masih sangat terpukul!
"Abilowo...! Mengapa bocah ini bisa berada
di sini"! Berarti, Putri Tunjung Kuning pun ada di sekitar sini," kakek bongkok
yang berada tak jauh dari Dewa Maut, berkata pula dalam hati seraya
edarkan pandangan berkeliling. Tapi, tak terlihat seorang pun di tempat itu.
Maka, perhatiannya
diarahkan kembali pada Malaikat Berdarah Biru
yang telah berhadapan dengan Abilowo.
Kakek bongkok ini tak tahu kalau dugaan-
nya tak keliru. Putri Tunjung Kuning memang be-
rada di sekitar tempat itu. Di salah satu gua yang tersembunyi, yang dari luar
hanya terlihat pekat
dan kelam! Perasaan perempuan ini tak sanggup
untuk bertemu dengan Malaikat Berdarah Biru.
Apalagi mengungkapkan dirinya menjadi korban
perkosaan kepada sekian banyak orang! Putri
Tunjung Kuning mewakilkan Abilowo. Dia sendiri
menyaksikannya dari kejauhan!
"Sialan betul!" kakek bongkok kembali melanjutkan kata hatinya. "Kedatangan
Abilowo bisa merubah rencana. Aku tak mungkin bisa mem-
biarkan bocah ini celaka. Hhh.... Keadaan jadi
serba salah dan runyam!"
Sementara itu, Malaikat Berdarah Biru
memperhatikan Abilowo lekat-lekat. Orang yang
diperhatikan, ikut lakukan hal yang sama.
"Kau orang yang berjuluk Malaikat Berda-
rah Biru..."!" Abilowo ajukan tanya dengan nada penuh ancaman.
"Tak salah. Aku orang yang berjuluk Ma-
laikat Berdarah Biru! Kau siapa, Bocah"!" Malaikat Berdarah Biru balik bertanya.
Abilowo mendengus keras.
"Kenalkah kau dengan perempuan yang
bernama Putri Tunjung Kuning?" Abilowo malah balas bertanya, bukannya memberikan


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawaban. "Keparat! Anak sialan! Ditanya malah balas
bertanya! Tapi, dari mana dia tahu tentang pe-
rempuan itu"!" Malaikat Berdarah Biru memba-
tin. Kemudian setelah berpikir sejenak, kepalanya dianggukkan. "Apa hubunganmu
dengannya"!"
"Namaku Abilowo. Aku adalah putra dari
Putri Tunjung Kuning. Dan, ayahku yang ingin
kubunuh, karena telah menyengsarakan ibuku
itu, berjuluk Malaikat Berdarah Biru! Kaulah
orangnya! Terimalah kematianmu, Malaikat Ber-
darah Biru!"
Abilowo menutup ucapannya dengan se-
buah terjangan ke arah Malaikat Berdarah Biru
yang tak pernah disangka-sangkanya itu, Malai-
kat Berdarah Biru terpaksa melesat menghindar.
Pemuda bertoga merah ini tak menangkis seran-
gan karena masih didera perasaan kaget.
"Putraku..."! Mana mungkin"! Andaikata
benar Putri Tunjung Kuning melahirkan anak ka-
rena perbuatanku pun, mana mungkin bisa sebe-
sar ini"!" pikir Malaikat Berdarah Biru, bingung.
Kalau Malaikat Berdarah Biru merasa bin-
gung, tak demikian halnya dengan kakek bong-
kok. Meski mulutnya tak keluarkan suara, tapi di
dalam hatinya dia berkata.
"Sekarang masalahnya telah menjadi jelas.
Abilowo benar anak dari Putri Tunjung Kuning.
Tapi, sama sekali tak kusangka kalau ayahnya
adalah Malaikat Berdarah Biru...."
Kakek bongkok dan semua tokoh persila-
tan yang berada di situ, terutama sekali Dewa
Maut, memperhatikan jalannya pertarungan den-
gan penuh minat. Pertarungan yang seru. Kedua
belah pihak sama-sama memiliki kekuatan tenaga
dalam, dan kelincahan setingkat. Jalannya perta-
rungan pun berimbang. Beberapa kali ketika ter-
jadi benturan tangan atau kaki, Malaikat Berda-
rah Biru meringis karena merasakan nyeri dan
sakit-sakit. Tapi, rasa kaget mendengar dirinya
mempunyai keturunan, membuat Malaikat Berda-
rah Biru tak teringat akan hal aneh ini. Biasanya, jangankan hanya berbenturan,
terkena pukulan
yang mematikan pun, pemuda bertoga merah ini
tak merasakan sakit.
"Gila! Bocah ini ternyata benar-benar luar
biasa! Persetan! Anakku atau bukan, kalau akan
menjadi penghalang di kemudian hari, lebih baik
kusingkirkan!" kata hati Malaikat Berdarah Biru, seraya menunggu-nunggu
kesempatan yang baik.
Malaikat Berdarah Biru tak menunggu la-
ma. Karena sekejap kemudian, Abilowo kirimkan
jotosan ke arah dada kirinya. Pemuda bertoga me-
rah ini sengaja bergerak lambat, membiarkan se-
rangan itu mendekat. Ketika beberapa jari lagi
menghantam sasaran, dia kirimkan tendangan ke
arah perut Abilowo!
Desss! Desss! Hampir berbarengan, serangan masing-
masing pihak mengenai sasarannya. Baik Malai-
kat Berdarah Biru maupun Abilowo sama-sama
terjengkang ke belakang. Tapi, dari mulut Malai-
kat Berdarah Biru keluar teriakan menyayat hati.
Teriakan kesakitan. Bahkan dari mulutnya keluar
darah segar! Malaikat Berdarah Biru terbanting keras di
tanah. Namun, pemuda bertoga merah ini beru-
saha bangkit, karena dilihatnya Abilowo telah
berhasil menguasai diri dan siap untuk melan-
carkan serangan. Sepasang mata Malaikat Berda-
rah Biru membeliak besar penuh keterkejutan ke-
tika melihat Abilowo terlihat tak terpengaruh akibat serangannya.
Semua tokoh persilatan yang menyaksikan
terperangah, tak terkecuali kakek bongkok! Mere-
ka sama sekali tak menyangka kalau Malaikat
Berdarah Biru yang semula memiliki tubuh demi-
kian kuat, dan tak bisa dilukai, kini sekarat!
Malaikat Berdarah Biru sendiri begitu ber-
hasil tegak, teringat akan ucapan gurunya. Kata
demi kata gurunya itu, terngiang kembali di telinganya.
"Kau hanya dapat dikalahkan dan dilukai
oleh seseorang yang lahir dari darahmu sendiri!
Dan hal itu akan terjadi saat bulan purnama!"
Malaikat Berdarah Biru merasakan kerin-
gat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Hatinya
memekik penuh rasa putus asa.
"Abilowo adalah anakku. Dan, sekarang
bulan purnama nampak di langit! Akankah ini be-
rarti ajalku akan tiba"!"
Pemuda bertoga merah ini masih belum
mampu berdiri tegak ketika Abilowo hentakkan
kedua tangannya. Di kejap lain, bunyi bergemu-
ruh terdengar, mengiringi menyerbunya angin ke-
ras ke arah Malaikat Berdarah Biru. Seketika itu
pula paras pemuda bertoga merah pucat pasi.
Dengan sisa-sisa kemampuan yang dimiliki, dia
berusaha untuk mengelak. Pada saat bersamaan,
berpasang-pasang mata memperhatikan kejadian
ini dengan penuh minat. Memperhatikan saat-
saat yang menentukan itu. Pada semua benak,
bergayut sederetan kata-kata.
"Tewaskah Malaikat Berdarah Biru"!"
Jawaban bagi pertanyaan itu tak membu-
tuhkan waktu lama. Sesaat kemudian, terdengar
jeritan menyayat hati dari mulut Malaikat Berda-
rah Biru ketika pukulan jarak jauh Abilowo, me-
labraknya. Keadaan pemuda bertoga merah yang
sudah payah, membuat gerakan menghindarnya
terlalu lambat! Tubuh Malaikat Berdarah Biru
pun melayang-layang jauh, terbanting keras di
tanah! Semua pasang mata tertuju pada Malaikat
Berdarah Biru yang tergolek, melihat perkemban-
gan. Tapi, tak terlihat adanya gerakan sedikit pun dari pemuda bertoga merah.
Sedangkan Abilowo,
begitu berhasil menyarangkan pukulan, segera
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tak seo-
rang pun tokoh persilatan yang menahan tinda-
kannya. Mereka masih terpaku melihat Malaikat
Berdarah Biru yang demikian menggiriskan hati,
menemui ajalnya!
"Syukurlah Abilowo segera pergi. Kalau ti-
dak, dan terjadi pertempuran dengan tokoh-tokoh
yang ada di sini, aku bisa terlibat! Dan, itu berarti mereka akan segera tahu
siapa adanya diriku, sebelum kutahu rencana mereka," kakek bongkok
bergumam dalam hati.
Keadaan di sekitar tempat itu menjadi hen-
ing. Sepi. Semua pasang mata masih tertuju pada
tubuh Malaikat Berdarah Biru. Iblis Gelang Ke-
matlanlah yang menjadi orang pertama yang me-
mecahkan keheningan itu.
"Rekan-rekan segolongan! Mungkin perlu
kutegaskan sekali lagi. Tujuan utama berkumpul
di tempat ini adalah agar kita dapat bergabung
melenyapkan tokoh-tokoh golongan putih. Agar
masa kejayaan golongan hitam kembali muncul."
"Kalau begitu..., mengapa kau mempergu-
nakan kecurangan"! Kau racuni kami"!" sentak Dewa Maut, keras.
Semangatnya mulai agak timbul ketika me-
lihat Malaikat Berdarah Biru telah tewas. Tapi,
kesombongannya belum sepenuhnya pulih, men-
gingat adanya racun ganas yang bersemayam di
dirinya. Iblis Gelang Kematian terkekeh pelan sebe-
lum keluarkan ucapan.
"Hanya sekadar berjaga-jaga. Kalian boleh
percaya atau tidak, terserah. Yang jelas, aku ber-maksud baik. Bahkan aku tak
ingin memaksakan
kehendak. Tidak seperti Malaikat Berdarah Biru
tadi. Aku memberi kebebasan pada kalian untuk
mengajukan saran, tentang tokoh golongan putih
mana yang harus lebih dulu kita lenyapkan!"
Tak seorang pun keluarkan ucapan. Kea-
daan menjadi sunyi. Hal ini membuat Iblis Gelang
Kematian kembali berbicara. Lantang.
"Perlu kalian ketahui, bila kalian setuju ki-ta bersatu, saat ini juga kuberikan
obat penghi- lang gatal itu. Kemudian, kita serbu tokoh-tokoh
golongan putih!"
* * * "Celaka...! Aku harus bergegas tinggalkan
tempat ini! Harus kuberitahukan pada Dewi
Kayangan kabar yang berbahaya ini!" kakek
bongkok berkata dalam hati, setelah mendengar
keputusan yang disetujui oleh tokoh-tokoh hitam
itu. Memang, karena kepandaian Iblis Gelang
Kematian bersilat lidah, tokoh-tokoh golongan hi-
tam itu setuju untuk bergabung. Manusia Titisan
Dewa termasuk di antara yang setuju. Kakek ini,
untuk sementara bersedia melupakan masalah
Sakawuni! Saat, tokoh-tokoh hitam itu sibuk dengan
urusan penyerbuan itu, dengan diam-diam si ka-
kek bongkok meninggalkan tempat itu. Nasib baik
berpihak padanya. Karena, tak seorang pun yang
melihat kepergiannya. Di lain kejap, kakek ini
menyelinap ke balik batu besar. Sebentar kemu-
dian, ketika keluar lagi, si kakek telah berganti menjadi seorang pemuda
berwajah tampan. Dia
mengenakan pakaian hijau yang melapis baju
kuning tangan panjang. Rambutnya dikuncir ekor
kuda. Sedangkan tangan kanannya menggenggam
kipas ungu, dan dikipaskan pulang balik di depan
wajahnya. Kakek bongkok itu ternyata adalah
Pendekar Mata Keranjang 108, yang bernama asli
Aji Saputra! Aji segera perhatikan pergelangan tangan-
nya sekali lagi. Tapi, tetap saja tak terlihat bercak merah seperti yang
dimaksud oleh Iblis Gelang
Kematian. Pemuda ini jadi bingung.
"Apakah aku tak terkena racun"! Tapi,
mengapa"! Apakah.... Jangan-jangan mutiara biru
yang dulu kutelan yang membuatku bebas dari
racun. Atau..., ah.... Mengapa harus pusing-
pusing kupikirkan hal aneh ini"! Lebih baik aku
segera memberitahukan Dewi Kayangan...!"
Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Ma-
ta Keranjang melesat meninggalkan tempat itu.
Pada saat yang bersamaan, di tempat yang diting-
galkan Aji, terjadi kegegeran, setelah mengetahui si kakek bongkok, tak berada
di situ. "Iblis Gelang Kematian! Sebenarnya.... Sia-
pa kakek bongkok itu"!" Bawuk Raga Ginting aju-
kan tanya. Iblis Gelang Kematian gelengkan kepala.
"Aku tak tahu. Tadi pun, ingin kutanyakan,
karena aku tak merasa mengundangnya. Tapi,
aku lupa, karena ribut mulut dengan Manusia Ti-
tisan Dewa," Jawab perempuan tua itu, bernada menyela.
"Jangan-jangan dia mata-mata golongan
putih! Dan bukan tak mungkin Pendekar Mata
Keranjang!" Penyair Berdarah ajukan dugaan.
"Pendekar Mata Keranjang"!" Dewa Maut
yang menyambuti. "Mengapa aku lupa"! Benar!
Kakek itu pasti Pendekar Mata Keranjang! Bu-
kankah pendekar keparat itu berpakaian hijau"
Tadi, ketika pakaian tambalannya tersibak, kuli-
hat pakaian hijau yang berada di baliknya!
Sayang, aku lupa kalau pemuda itu mengenakan
pakaian hijau! Dan aku baru teringat ketika Pe-
nyair Berdarah ajukan dugaannya!"
"Kalau begitu, rencana harus kita rubah!
Kalau tidak, kita akan menghadapi hambatan
yang besar. Pemberitahuan Pendekar 108 akan
membuat sasaran kita segera pergi atau malah
mengumpulkan kekuatan!"
"Kurasa kita tak perlu khawatir!" sambut Iblis Gelang Kematian setelah tercenung
sejenak. "Andaikata benar kakek itu Pendekar Mata Keranjang. Dan pendekar keparat itu
memberitahukan rencana kita, tetap akan terlambat karena perbe-
daan waktu yang terlalu singkat. Kita akan lebih
dulu datang sebelum keparat-keparat itu pergi
atau mengumpulkan kekuatan!"
"Kalau begitu, tunggu apa lagi"! Kita harus
bertindak cepat!" Ratu Pulau Merah dan Dewa
Maut, hampir berbareng berbicara!
Iblis Gelang Kematian anggukkan kepala
seraya perdengarkan tawa terkekeh.
* * * Sang Surya hampir saja mencapai titik ten-
gahnya ketika beberapa bayangan berkelebatan
cepat memasuki sebuah hutan kecil di Dusun
Kepatihan. Suasana yang terang benderang,
membuat sosok-sosok itu terlihat jelas. Ternyata
mereka adalah Iblis Gelang Kematian dan rom-
bongannya. "Sebentar lagi rombonganku akan tiba di
sasaran. Tua bangka-tua bangka pelindung Pen-
dekar Mata Keranjang itu akan segera menghadap
malaikat maut! Dan, setelah semua tokoh golon-


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan putih lenyap, kacung-kacungku ini pun akan
menyusul pula. Hi! hi hi...!" Iblis Gelang Kematian membatin, lalu keluarkan
kata. "Sebentar lagi kita akan tiba. Aku yakin,
Pendekar Mata Keranjang pun baru tiba pula.
Dan, mereka tak akan sempat berbuat apa pun.
Dengan jumlah kita yang jauh lebih banyak, pi-
hak lawan akan dapat kita gulung!"
"Dan.... Kipas, tombak, serta, kerisku pun
akan kembali!" lanjut Ratu Pulau Merah, dalam hati. "Bila itu terjadi, kipas dan
bumbung bam-bu peninggalan Empu Jaladara akan dapat ku-
musnahkan!" Dewa Maut, menyambung ucapan
Iblis Gelang Kematian, tapi tanpa suara, hanya
dalam batinnya.
"Hik... hik... hik...! Tak kusangka istanaku akan didatangi oleh rombongan tikus
busuk. Rupanya, binatang-binatang ini minta digebuk!"
Seruan bernada ejekan yang mengiringi
tawa cekikikan, membuat rombongan Iblis Gelang
Kematian terperanjat. Sebagian di antara mereka,
telah mengetahui siapa pemilik suara itu.
"Kalau aku tak salah duga, Dewi Kayan-
ganlah pemilik suara itu...," Ratu Pulau Merah angkat bicara.
"Bila benar demikian, perempuan jelek itu
minta dikirim ke neraka sekarang!" geram Iblis Gelang Kematian. "Kita harus
lebih bergegas. Aku tak sabar lagi untuk memuntir lehernya!"
"Hik... hik... hik...! Tak usah terburu-buru, Tikus Tua! Sebentar lagi pun
maksud hatimu akan kesampaian...!"
Apa yang dikatakan pemilik suara tanpa
wujud itu ternyata tak salah. Tak sampai sepuluh
tombak, begitu keluar dari hutan kecil, di lapan-
gan tanah yang luas membentang, sekitar sepu-
luh tombak di depan mereka, telah berdiri berja-
jar beberapa sosok. Menilik dari sikap rombongan
itu, Iblis Gelang Kematian dan kelompoknya sege-
ra tahu kalau rombongan di depan sengaja meng-
hadang. Dan, di antara rombongan penghadang
itu tampak Pendekar 108!
"Gila! Sama sekali tak kusangka kalau se-
muanya jadi berantakan begini! Mungkinkah da-
lam waktu yang demikian singkat, Pendekar Mata
Keranjang berhasil mengumpulkan begitu banyak
orang untuk menghadang perjalanan kita"!" rutuk Iblis Gelang Kematian, kesal.
Iblis Gelang Kematian tak pernah tahu, ka-
lau dugaannya itu keliru! Tepat seperti yang telah diperkirakannya, Pendekar
Mata Keranjang baru
saja tiba di tempat itu. Dan, ketika tiba pun, pemuda itu telah bertemu dengan
sosok-sosok yang
berdiri berjajar.
Semula Pendekar 108 merasa heran ketika
melihat sosok-sosok yang dijumpainya di tempat
itu. Karena, diduganya, yang berada di tempat itu hanya Dewi Kayangan, dan Dewi
Bayang-bayang. Keberadaan Gongging Baladewa masih merupa-
kan teka-teki, meski sebelumnya pemuda ini telah
mempunyai sedikit dugaan, karena telah melihat
sendiri kalau Dewi Bayang-bayang dan Gongging
Baladewa bersatu lagi (Untuk jelasnya silakan ba-
ca episode : "Dayang Naga Puspa").
Pendekar Mata Keranjang sempat kaget be-
sar ketika melihat tak hanya Gongging Baladewa.
Tapi juga Setan Arak, Ratu Sekar Langit, Putri Kipas, dan Setan Pesolek!
Belakangan, pemuda ini
baru tahu kalau mereka semua bisa berkumpul di
situ berkat Setan Pesolek. Laki-laki banci itu dengan ilmu meramalnya, telah
bisa mengetahui ka-
lau hasil dari pertemuan di Supit Urang adalah
penyerbuan ke tempat tinggal Dewi Kayangan.
Pertemuan dengan Ratu Sekar Langit kem-
bali, dipergunakan Aji untuk menanyakan bagai-
mana kekasihnya bisa lolos dari tahanan Bawuk
Raga Ginting. Dari mulut Ratu Sekar Langit, Pen-
dekar Mata Keranjang tahu kalau sang Penyela-
mat itu adalah Setan Arak. Bahkan, gadis itu te-
lah menjadi murid Setan Arak!
Sayang, kedatangan rombongan Iblis Ge-
lang Kematian membuat Aji tak bisa berbincang-
bincang lebih lama lagi. Apalagi setelah rombon-
gan penyerbu itu langsung menyerang. Pendekar
108 hampir tak percaya ketika melihat Dewi
Tengkorak Hitam ikut-ikutan menyerbu. Seka-
rang, pemuda ini baru paham maksud peringatan
Setan Pesolek dan Setan Arak.
Serbuan rombongan Iblis Gelang Kematian
segera mendapatkan sambutan! Masing-masing
pihak seperti telah tahu lawan masing-masing.
Manusia Titisan Dewa menerjang Dewi Bayang-
bayang. Iblis Gelang Kematian menyerang Setan
Pesolek. Sedangkan Dewi Kayangan diterjang oleh
Bawuk Raga Ginting.
Pada saat yang bersamaan, Gongging Bala-
dewa diserang berbareng oleh Penyair Berdarah
dan Gembong Raja Muda. Ratu Sekar Langit ber-
hadapan dengan Ratu Pulau Merah, Putri Kipas
bertarung dengan Dewi Tengkorak Hitam. Se-
dangkan Pendekar Mata Keranjang sendiri diser-
bu oleh Dewa Maut. Hanya Setan Arak yang enak-
enakan menenggak araknya. Kakek ini tak keba-
gian lawan! Pertarungan besar-besaran pun terjadi.
Masing-masing tokoh yang bersenjata, segera
menggunakannya. Yang tak bersenjata, seperti
Dewa Maut, menyergap lawannya dengan tangan
kosong. Pemuda pengemban tugas dendam dari
leluhurnya itu langsung pukulkan kedua tangan-
nya, lepaskan pukulan sakti 'Dewi Membakar
Bumi'! Asap merah membara keluar dari kedua
tangan Dewa Maut, dan menggebrak ke arah Pen-
dekar Mata Keranjang.
Pendekar 108 tak berani bertindak main-
main. Dengan sebelah tangan tetap menggenggam
kipas yang terlipat, dikerahkan tenaga dalamnya
ke kedua tangan. Di kejap lain, warna kedua tan-
gannya jadi biru berkilau. Secepat kilat Pendekar Mata Keranjang dorongkan ke
depan. Pelan. Wuttt! Wuttt! Dua berkas sinar biru melesat cepat, lalu
mengembang dan melabrak asap merah! Bentu-
ran dahsyat segera terjadi, dan tubuh kedua be-
lah pihak sama-sama terjengkang ke belakang.
Namun, keduanya segera bangkit kembali dan
saling gebrak. Pertarungan pun berlangsung sen-
git. Bukan hanya pertarungan Pendekar Mata
Keranjang 108 dan Dewa Maut yang berlangsung
sengit. Kancah lainnya pun demikian. Sebagian
besar pertarungan berjalan seimbang. Tapi, hal
itu hanya berlangsung belasan jurus. Lewat dua
puluh jurus, rombongan Dewi Kayangan mulai
dapat mendesak.
Ratu Pulau Merah dan Gembong Raja Mu-
da yang pertama kali terpental dari kancah perta-
rungan! Tubuh kedua orang ini terpental dan ter-
guling-guling. Namun, Ratu Pulau Merah dan
Gembong Raja Muda ternyata keras hati. Begitu
gulingan berakhir, keduanya berusaha untuk
bangkit. Sayang, mereka tak mampu. Bahkan ma-
lah darah yang keluar dari mulut mereka!
Hanya berbeda waktu sebentar, berturut-
turut rombongan Iblis Gelang Kematian berpenta-
lan dari kancah pertarungan. Memang, mereka
tak mati, tapi tak mampu melanjutkan pertarun-
gan kembali. Dan, yang tinggal hanya pertarun-
gan antara Pendekar Mata Keranjang menghadapi
Dewa Maut, dan antara Dewi Bayang-bayang me-
lawan Manusia Titisan Dewa.
"Haaat...!" Dewa Maut membentak keras
seraya melompat ke depan, kedua tangannya di-
hentakkan. Pendekar 108 tak mau kalah. Kipas-
nya dilipat dan diselipkan ke balik baju. Pemuda
ini ikut lompat dan menyentakkan kedua tangan-
nya. Pendekar Mata Keranjang nekat mengadu
keras lawan keras.
Blarrr! Benturan keras yang terdengar mengawali
terpentalnya tubuh Dewa Maut dan Pendekar Ma-
ta Keranjang ke belakang. Melayang-layang se-
jauh beberapa tombak dan terbanting keras di ta-
nah. Baik Dewa Maut maupun Pendekar 108 ber-
keras untuk bangkit. Akibatnya, dari mulut kedu-
anya menggelogok darah segar. Mau tak mau,
pemuda-pemuda sakti ini mengurungkan niatnya
untuk bertarung kembali.
Pada saat yang bersamaan dengan keluar-
nya darah dari mulut Dewa Maut dan Pendekar
Mata Keranjang, terdengar dua teriakan keras
yang hampir berbarengan. Sesaat kemudian, Ma-
nusia Titisan Dewa dan Dewi Bayang-bayang sa-
ma-sama terhuyung ke belakang, dan jatuh ter-
duduk. Tapi, Dewi Bayang-bayang mampu bang-
kit kendati dengan susah-payah. Sedangkan, Ma-
nusia Titisan Dewa malah menggelepar-gelepar,
kemudian diam tak bergerak untuk selamanya.
Dengan penuh khawatir, Gongging Balade-
wa segera melesat ke arah Dewi Bayang-bayang.
Sedangkan, Ratu Sekar Langit segera mengham-
bur ke arah Aji. Kekhawatiran tergambar jelas di
wajah yang jelita itu.
"Hi hi hi...! Tikus-tikus busuk! Sayang se-
kali istanaku tak sudi menerima kedatangan ka-
lian. Mumpung masih ada kesempatan, cepat
tinggalkan tempat ini! Atau kalian ingin kuma-
sukkan ke dalam lubang kubur"! Hi hi hi...!" Dewi Kayangan buka mulut.
"Keparat! Sakit hati ini akan kubalas! Se-
karang aku memang kalah. Tapi, lain kali..., akan tiba waktunya bagiku untuk
mengecap kemenangan...!" kata hati masing-masing orang di rombongan Iblis Gelang
Kematian. Setelah melempar pandangan penuh den-
dam dan sakit hati, Iblis Gelang Kematian dan
rombongannya dengan tertatih-tatih meninggal-
kan tempat itu. Segunduk dendam berbaur di da-
lam hati. Tapi, mereka pun menyadari, membu-
tuhkan waktu yang lama untuk membalaskan-
nya. Karena, luka yang mereka derita terlalu pa-
rah. Akan membutuhkan waktu yang lama untuk
menyembuhkannya. Berbulan-bulan! Malah,
mungkin bertahun-tahun.
SELESAI Segera terbit: BUKIT SILUMAN https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
DELAPAN Jodoh Si Mata Keranjang 2 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Misteri Pulau Neraka 18
^