Pencarian

Tumpahan Darah Di Supit 1

Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Bagian 1


TUMPAHAN DARAH DI SUPIT URANG Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Tumpahan Darah Di Supit Urang
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
SATU SANG mentari telah sejak tadi menampak-
kan diri di angkasa. Dan sekarang bola raksasa
itu telah hampir mencapai titik tengahnya. Di ba-
wah sinar sang Mentari yang garangnya bagai
hendak melelehkan bumi, seorang wanita menge-
nakan pakaian ketat berwarna gelap berlari ter-
huyung-huyung memasuki sebuah hutan kecil.
Dia adalah seorang perempuan berparas
cantik, berusia kurang lebih dua puluh lima ta-
hun. Rambutnya panjang tergerai dan berombak.
Sepasang matanya bulat besar dan berwarna ke-
biruan. Hidungnya mancung. Bibirnya bagus.
Dadanya kencang membusung dengan pinggul
besar. Perempuan berpakaian gelap ini hentikan
larinya ketika telah memasuki hutan kecil itu!
Pantatnya dihempaskan ke tanah, sedangkan
punggungnya disandarkan pada batang pohon
yang cukup besar.
Perempuan bermata kebiruan ini menye-
ringai. Dengan hati-hati tangan kirinya diangkat.
Tapi, seringai kesakitan semakin menghiasi wa-
jahnya. "Bangsat...! Terkutuk...! Dewi Kayangan
keparat...! Kau telah membuatku cacat! Aku tak
akan mati meram jika belum bisa membalaskan
sakit hati ini!"
Perempuan berpakaian gelap ini kelihatan
sangat geram. Rahangnya menggembung besar.
Tangannya mengepal kencang. Sepasang matanya
memancarkan kebencian besar!
"Gongging Baladewa! Kau pun tak akan
kubiarkan hidup tenang! Tunggu saja pembala-
sanku! Asal kalian tahu saja, Ratu Pulau Merah
tak bisa dihina begitu saja!"
Perempuan bermata kebiruan yang ternya-
ta adalah Ratu Pulau Merah ini, wajahnya terlihat mengelam didera dendam!
Namun, mendadak Ratu Pulau Merah
arahkan sepasang matanya ke sekeliling.
"Aku merasa diawasi seseorang! Sialan be-
tul! Padahal, aku telah memilih tempat yang
sunyi. Bahkan jalan-jalan yang kupilih pun yang
jarang dilalui orang pula! Apa boleh buat, aku harus mencari tempat yang lebih
aman. Keadaanku
tengah tak memungkinkan untuk bertarung."
Ratu Pulau Merah bergerak untuk bangkit
dan tinggalkan tempat itu. Tapi, baru saja tubuh-
nya tegak, sekonyong-konyong semak belukar
yang berjarak lima tombak di sebelah kanannya,
menguak! Sesosok bayangan berkelebat seraya
memperdengarkan dengusan keras!
Sepasang mata Ratu Pulau Merah membe-
liak. Untuk beberapa jurus lamanya, perempuan
ini memperhatikan sang Pendatang. Dahinya
mengernyit seakan mengingat-ingat sesuatu. Da-
lam hati dia berucap.
"Hm.... Jika tak salah manusia ini adalah
orang yang tergeletak sewaktu aku hendak mere-
but Arca Dewi Bumi dari tangan Pendekar Mata
Keranjang.... Bahkan, kalau aku tak salah den-
gar, dia memanggil guru pada Kakang Dadung
Rantak. Mungkin dia murid tua bangka itu."
Si pendatang yang menjadi pusat perhatian
Ratu Pulau Merah adalah seorang perempuan
yang tidak muda lagi. Ini terlihat dari kerutan
yang menghiasi kulit wajahnya. Dia mengenakan
pakaian panjang berwarna hitam yang dilapis
dengan jubah besar berwarna putih. Rambutnya
yang panjang dibiarkan bergerai hingga menutupi
sebagian punggung dan wajahnya. Sepasang ma-
tanya bulat besar dan tajam. Hidungnya man-
cung! Pada lubang hidung di sebelah hidungnya,
melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning!
"Masih ingat padaku"!" tanya perempuan
berjubah putih, setengah mengejek.
"Tentu! Tentu aku masih ingat...!" jawab Ratu Pulau Merah, seraya tetap
memandang tak berkesip. "Kau yang memanggil guru pada Da-
dung Rantak bukan"!"
"Hm.... Bagus kau masih ingat! Aku me-
mang murid tua bangka itu. Aku, Dayang Naga
Puspa!" tandas perempuan berjubah putih seraya angkat kepalanya.
"Kalau begitu kau terhitung muridku juga
karena Dadung Rantak adalah kekasihku."
Diam-diam di dalam hatinya, Ratu Pulau
Merah berkata. "Kalau aku tak sedang terluka sudah kuki-
rim kau ke neraka! Pula, siapa kesudian mempu-
nyai kekasih tua bangka itu"!"
"Bagiku itu bukan masalah!" tandas
Dayang Naga Puspa keras. "Kau telah melakukan satu kesalahan padaku! Kesalahan
yang amat besar! Dan, aku tak bisa membiarkannya!"
"Keparat...! Kalau aku tak tengah begini,
kurobek-robek mulutmu dan kucincang tubuh-
mu!" maki-maki Ratu Pulau Merah dalam hati.
Perempuan berpakaian gelap ini menun-
dukkan kepala untuk menyembunyikan kemara-
han yang membayang di wajah. Ketika kepalanya
diangkat kembali, wajah itu telah berubah kem-
bali seperti semula, bahkan terhias senyum.
"Seingatku..., kita hanya bertemu sekali,
Dayang Naga Puspa."
"Betul!"
"Kalau begitu, kapan aku membuat kesala-
han terhadapmu"!"
"Saat itu juga, Ratu Keparat!" dengus
Dayang Naga Puspa dengan mata membeliak ka-
rena marah besar. "Kau telah membawa kabur
senjataku. Tombak Naga Puspa dan Keris Papak
Geni! Sayang, saat itu aku tengah tak berdaya ka-
rena totokan Dewi Kayangan sialan itu! Kalau ti-
dak, saat itu juga kau telah kukirim ke lubang
kubur! Ratu keparat! Kau tahu, begitu berhasil
bebas dari totokan, aku mencari-carimu! Tapi, ba-
ru kali ini usahaku membuahkan hasil! Hm....
Kau telah membuatku susah besar! Untuk kesa-
lahan itu nyawamu pun belum cukup untuk pe-
nebusnya!"
"Meskipun aku... mempunyai hubungan
dekat dengan gurumu"!" pancing Ratu Pulau Merah.
"Jangankan hanya kekasih guruku, sekali-
pun tua bangka itu sendiri yang mengambilnya,
akan kucopot nyawanya! Sekarang, cepat serah-
kan kembali milikku itu! Bila itu kau lakukan,
dengan mengingat adanya kemungkinan kau tak
tahu kalau senjata itu milikku, dan mengingat
hubunganmu dengan Eyang Dadung Rantak, kau
boleh tinggalkan tempat ini!"
Di mulut Dayang Naga Puspa berkata se-
perti itu, tapi hatinya berbicara pula, menyam-
bung ucapannya.
"Kau boleh tinggalkan tempat ini tapi sete-
lah terlebih dulu melepas nyawa!"
Ratu Pulau Merah menampakkan paras
penuh penyesalan.
"Sayang sekali, Dayang Naga Puspa. Senja-
ta-senjata itu telah tidak ada padaku lagi diram-
pas orang! Kau lihat keadaan diriku"! Ini terjadi karena mencoba mempertahankan
senjata itu. Kalau saja tak dirampas orang, dengan senang
hati akan kuberikan padamu."
"Benar akan kuberikan padamu, tapi sete-
lah kau jadi mayat di tanganku, Perempuan Sun-
dal!" sambung perempuan berpakaian gelap ini dalam batin.
"Ratu Keparat!" bentak Dayang Naga Puspa dengan rahang menggembung karena marah
besar mendengar jawaban yang didapatnya. "Aku tak punya banyak waktu untuk main-
main. Cepat serahkan senjata-senjataku! Atau..., kau ingin
nyawamu kucopot"!"
"Bangsat! Budak perempuan ini benar-
benar keterlaluan! Aku tak rela mati bila belum
membalas hinaan ini!" rutuk Ratu Pulau Merah dalam hati, tapi segera berkata.
"Aku tidak main-main, Dayang Naga Puspa!
Senjata-senjata itu memang tak ada padaku lagi!
Telah dirampas oleh Gongging Baladewa dan Dewi
Kayangan. Bahkan kipas hitamku pun telah di-
rampasnya! Kalau kau tidak percaya, silakan ge-
ledah!" Dayang Naga Puspa mendengus. Sepasang matanya masih membeliak besar.
"Gongging Baladewa dan Dewi Kayangan.
Bagaimana mungkin aku dapat merampasnya
kembali"! Baru Gongging Baladewa seorang saja,
tak mampu kutanggulangi," kata Dayang Naga
Puspa dalam hati. "Semua ini akibat ulah si ratu keparat ini!"
"Kalau begitu, kau harus menggantinya
dengan nyawamu, Ratu Keparat!" bentak Dayang Naga Puspa seraya sentakkan tangan
kirinya! Wuttt! Serangkum angin dahsyat menggebrak ke-
luar dari tangan kiri Dayang Naga Puspa.
Ratu Pulau Merah terkejut. Dia segera re-
bahkan tubuh sejajar tanah seraya bergulingan.
Hingga serangan Dayang Naga Puspa menerabas
di atas tubuhnya.
Dayang Naga Puspa tak sia-siakan kesem-
patan. Sepasang kakinya segera saja disapukan
menyusur sejengkal di atas tanah! Sementara ke-
dua tangannya berkelebat menunggu di atas!
Ratu Pulau Merah tahu dirinya terkurung
dari bawah dan atas, cepat menambah tenaga,
sehingga gulingan tubuhnya semakin cepat. Wa-
jah perempuan berpakaian gelap ini menyeringai
karena tangan kirinya yang sakit beberapa kali
terhimpit tubuhnya. Tapi, demi menyelamatkan
selembar nyawa, hal itu tak dipedulikannya.
Rupanya nasib kurang bagus berpihak pa-
da Ratu Pulau Merah, karena saat itu gulingan
tubuhnya mendekati sebatang pohon. Di lain pi-
hak, Dayang Naga Puspa yang tak mau kehilan-
gan buruan, terus melayang mengikuti gulingan
tubuh Ratu Pulau Merah.
"Sial!" batin Ratu Pulau Merah, mengetahui adanya hambatan itu. "Kalau tidak
bertindak cepat, nyawaku bisa melayang."
Perempuan bermata kebiruan ini semakin
mempercepat gulingannya, dan begitu tubuhnya
mentok pada batang pohon, serta merta dia jejak-
kan kakinya di tanah.
Desss! Terdengar suara tertahan dari mulut Ratu
Pulau Merah tatkala tangan kiri Dayang Naga
Puspa menghantam dada kanannya! Seketika tu-
buh perempuan ini melayang dan terbanting ke-
ras di tanah! Gerakan Ratu Pulau Merah untuk
selamatkan diri sedikit terlambat. Dan sekarang
tubuh perempuan berpakaian gelap ini rebah di
tanah. "Alam kubur telah menunggumu, Ratu Keparat!" Berbareng lenyap seruannya,
Dayang Naga Puspa lepas tawa berderai seraya dongakkan ke-
pala. Dan ketika kepala itu dikembalikan ke tem-
pat semula, tangan kanannya dijulurkan ke arah
Ratu Pulau Merah. Perempuan bermata kebiruan
ini sadar akan adanya ancaman maut, berusaha
kerahkan tenaga dalam untuk bangkit. Namun,
yang dapat dilakukannya hanya mengangkat tu-
buh bagian atasnya, dan hanya sebentar. Hingga
tanpa ampun lagi tubuhnya terkapar di atas ta-
nah. "Pergilah ke neraka, Ratu Keparat!" maki Dayang Naga Puspa. Dia serta-merta
sentakkan kedua tangannya.
Serangkum angin deras menggebrak ke
arah Ratu Pulau Merah. Paras wajah Ratu Pulau
Merah pias. Dia membatin.
"Celaka...! Rupanya nyawaku harus lepas
di tangan budak perempuan sundal itu! Sial be-
tul...! Padahal, aku masih belum puas menikmati
hidup!" Bersamaan dengan melesatnya serangan jarak jauh Dayang Naga Puspa,
serangkum angin
dahsyat yang tak keluarkan suara menyambar,
memapaki dari arah yang berlawanan.
Blaaarrr...! Terdengar suara ledakan dahsyat ketika
dua pukulan jarak jauh itu bertemu. Tanah di
bawah tempat bertemunya dua pukulan dahsyat
itu terbongkar. Bongkahannya berpentalan ke sa-


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na kemari. Tubuh Dayang Naga Puspa terseret
sampai beberapa langkah ke belakang. Tapi, pe-
rempuan ini cepat kerahkan tenaga untuk mema-
tahkan daya luncuran itu, hingga tidak terjeng-
kang dan terbanting di atas tanah.
Dayang Naga Puspa terperangah kaget ke-
tika kedua kakinya telah menjejak tanah. Diam-
diam perempuan berjubah putih ini segera mak-
lum jika orang yang menghalangi tindakannya
adalah orang yang tidak bisa dipandang sebelah
mata. Belum hilang rasa kaget Dayang Naga Pus-
pa, dari sebelah depannya melesat dua sosok
bayangan hitam dan putih. Si bayangan hitam
berkelebat terus melewati tubuh Ratu Pulau Me-
rah dan menjejakkan kaki berjarak dua tombak
dari Dayang Naga Puspa. Sedangkan bayangan
putih berdiri di belakang Ratu Pulau Merah.
Sepasang mata Dayang Naga Puspa mem-
beliak mengawasi dua orang pendatang baru. Da-
hinya berkerut seakan-akan mengingat. Namun,
dia tak bisa mengenali dua sosok bayangan itu.
Si bayangan hitam, yang berdiri di depan
Dayang Naga Puspa, memunggungi Ratu Pulau
Merah adalah seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap. Sepasang matanya menyorot tajam. Ra-
hangnya kokoh. Rambutnya panjang dan lebat.
Mengenakan jubah hitam besar yang dilapis den-
gan baju putih yang pada bagian dadanya tampak
sebuah lukisan pintu gerbang.
Sementara si bayangan putih yang berdiri
di dekat Ratu Pulau Merah adalah seorang gadis
muda berparas jelita. Rambutnya panjang dan di-
biarkan jatuh bergerai di punggungnya. Sepasang
matanya bulat serta tajam. Mengenakan pakaian
warna putih tipis dan ketat, hingga dadanya yang
membusung kencang tampak menonjol, apalagi
karena pakaiannya dibuat agak rendah di bagian
dada hingga buah dadanya yang putih kencang
itu tersembul sebagian.
"Siapa kedua orang itu" Apa hubungannya
dengan Ratu Pulau Merah" Tapi, siapa pun
adanya, dia telah mencampuri urusanku! Aku ha-
rus usir dia! Kalau perlu kubunuh!" batin Dayang Naga Puspa seraya memperhatikan
si pemuda dan si gadis. DUA HE...! Siapa kau"! Dan apa hubunganmu
dengan wanita sundal itu"!" bentak Dayang Naga Puspa, keras. Dibentak demikian,
sang pemuda tengadahkan kepala, lalu berkata tak kalah keras.
"Pasang telingamu baik-baik! Aku adalah
Dewa Maut! Dan aku tak mempunyai hubungan
dengan wanita itu. Aku akan pergi dari sini apabi-la kau dapat menunjukkan
padaku di mana adanya orang yang kucari!"
Entah karena merasa gentar menyadari
orang di hadapannya berilmu tinggi - mengingat
dalam benturan tadi dibuat terpental - atau kare-
na ingin si pemuda segera pergi, agar dia dapat
membunuh Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Pus-
pa segera angkat bicara.
"Siapa yang kau cari, Dewa Maut"!"
Si pemuda yang bukan lain dari Dewa
Maut, keluarkan tawa panjang. Tapi, secara men-
dadak tawanya putus seperti direnggut setan. Ke-
palanya didongakkan.
"Katakan padaku, di mana dapat kutemu-
kan Pendekar Mata Keranjang dan Malaikat Ber-
darah Biru!"
Paras wajah Dayang Naga Puspa berubah.
Dia memandang tajam ke arah Dewa Maut den-
gan dahi mengernyit dalam. Hati perempuan ini
berucap. "Hm.... Jadi pemuda ini yang baru muncul
dan menurut berita yang tersiar memiliki kepan-
daian tinggi.... Mengapa dia mencari Pendekar
Mata Keranjang. Apakah ada silang sengketa an-
tara mereka"!"
"Dewa Maut! Aku memang pernah dengar
bahkan pernah beberapa kali bertemu dengan
Pendekar Mata Keranjang. Katakan, mengapa kau
mencarinya"!" tanya Dayang Naga Puspa seraya menyambung pernyataan itu dalam
hatinya. "Malah aku telah beberapa kali bertempur dengan
pemuda tolol itu. Pendekar Mata Keranjang ada-
lah musuh besarku! Tapi, ini tak mungkin kuka-
takan padamu, Dewa Goblok! Karena aku belum
tahu di pihak mana kau berdiri. Barangkali saja
kau merupakan sahabat Pendekar Mata Keran-
jang!" "Itu urusanku! Dan, kau tak perlu tahu!"
tandas Dewa Maut, tak senang.
"Kalau begitu aku pun tak bisa memberita-
hukan jawabannya," Dayang Naga Puspa ikut
berkeras. Paras wajah Dewa Maut mengelam. Ra-
hangnya menggembung besar. Dia marah men-
dengar tanggapan yang tak diharapkannya itu.
"Bangsat! Kalau tak mengingat keteran-
gannya kuperlukan, kuhancurkan mulut wanita
sundal ini...!" maki Dewa Maut dalam hati.
"Aku ingin mengambil nyawanya!" tandas
Dewa Maut sambil mengepalkan kedua tangan-
nya. "Kalau begitu kita segolongan. Aku pun mempunyai silang sengketa dengan
pemuda itu. Dan karena mempunyai musuh yang sama, ba-
gaimana kalau kita bergabung, agar lebih besar
kemungkinannya untuk bisa melenyapkan Pen-
dekar Mata Keranjang"!" lanjut Dayang Naga Puspa, mengajukan diri.
"Dewa Maut tak perlu bantuan! Dewa Maut
sanggup mengirim siapa pun ke akhirat tanpa
campur tangan orang lain! Sekarang, katakan di
mana adanya Pendekar Mata Keranjang"!"
"Dan Malaikat Berdarah Biru"!" Dayang
Naga Puspa menyambung seraya mengingatkan.
Dewa Maut anggukkan kepalanya.
"Itu lebih baik lagi kalau kau mengeta-
huinya juga! Tapi ingat, jika kau tak dapat mem-
berikan jawaban yang memuaskan, saat ini ada-
lah terakhir kalinya kau melihat matahari!"
Dayang Naga Puspa kertakkan gigi. Dia
marah besar. Perempuan berjubah ini tak kuasa
sabar lagi. Sikap Dewa Maut yang terus-menerus
menekannya tanpa memandang sebelah mata
sama sekali, membuat kemarahannya tak bisa di-
bendung. "Kaulah yang akan pergi ke neraka, Dewa
Maut!. Dayang Naga Puspa bukan orang yang
mudah kau hina!"
Dewa Maut berkacak pinggang seraya don-
gakkan kepala memperdengarkan tawa berderai.
Di lain pihak, Dayang Naga Puspa kontan komat-
kamit. Sepasang matanya terpejam. Dan dengan
didahului bentakan keras, perempuan berjubah
putih ini melesat ke arah Dewa Maut. Tapi, bebe-
rapa langkah lagi tiba di sasaran, dia berbelok, kemudian berputar-putar
mengelilingi Dewa Maut
yang tetap tak bergeming!
Tubuh Dayang Naga Puspa lenyap terganti
dengan bayang-bayang yang berputaran cepat.
Sejurus kemudian, angin kencang bergemuruh,
mengurung tubuh Dewa Maut. Malah, perlahan-
lahan tubuh pemuda itu terangkat naik!
Mendadak, seberkas sinar hitam menyam-
bar ke arah dada Dewa Maut! Saat itu baru Dewa
Maut sentakkan tangan kanannya.
Bummm! Dayang Naga Puspa terpekik. Tubuhnya
melayang ke udara. Setelah bersalto beberapa kali di udara, akhirnya perempuan
ini berhasil menjejak tanah dengan kedua kakinya. Sementara, De-
wa Maut tetap diam di tempatnya, seakan tak ter-
pengaruh sama sekali!
Dayang Naga Puspa maklum jika dirinya
belum mampu untuk menandingi lawan. Hingga
saat itu juga dia memutuskan untuk menyudahi
pertarungan. "Tahan...!" teriak Dayang Naga Puspa keti-
ka melihat Dewa Maut hendak bergerak melan-
carkan serangan.
Dewa Maut hentikan gerakan. Dia dongak-
kan kepala sambil tertawa. Nadanya jelas mere-
mehkan. "Kalau kau masih tak mau jawab tanyaku,
akan kukirim kau ke lubang kubur sebelum Pen-
dekar Mata Keranjang dan Malaikat Berdarah Bi-
ru!" "Dewa Maut keparat! Kali ini kau boleh tertawa. Tapi, kelak kau akan
menangis di bawah
kakiku!" maki Dayang Naga Puspa dalam hati,
penuh rasa dendam.
"Dewa Maut! Aku akan jawab tanyamu.
Tapi, aku ingin tahu mengapa kau mencari Ma-
laikat Berdarah Biru?"
"Kurasa tak ada salahnya wanita sundal ini
tahu. Barangkali saja, itu akan membuat usaha-
ku lebih mudah." batin Dewa Maut. Setelah berpikir sejenak dia buka mulut.
"Sebenarnya aku tak punya silang sengketa
dengannya! Kenal pun tidak! Dia menjadi burua-
nku karena di tangannyalah kipas hitam buatan
Empu Jaladara!"
Dayang Naga Puspa dan Ratu Pulau Merah
terperangah. Kedua perempuan itu sama-sama
terkejut. Malah gadis berpakaian hitam ketat,
ikut-ikutan terkejut.
"Rasa-rasanya aku pernah melihat kipas
hitam yang dimaksud Dewa Maut keparat ini!
Hm... benar! Bukankah sewaktu perebutan Arca
Dewi Bumi"! Aku ingat sekarang. Kipas hitam itu
ada di tangan Ratu Pulau Merah! Tapi, kalau ku-
beritahukan, dan Dewa Maut mendapatkannya,
bukankah aku rugi sendiri"! Eh..., bukankah ki-
pas itu katanya telah dirampas oleh Gongging Ba-
ladewa"! Ini merupakan jalan yang baik bagiku
untuk dapat merampas kembali senjata-senjata
milikku. Dengan bantuan Dewa Maut, kemungki-
nan merampasnya senjata-senjata itu jauh lebih
besar! Setelah itu, tinggal pikirkan jalan untuk
singkirkan Dewa Maut!" batin Dayang Naga Puspa berbicara.
"Melihat sikap dan perubahan wajahnya,
aku yakin wanita sundal ini mengetahui sesuatu.
Kalau, jawabannya tak memuaskan hatiku, akan
kubunuh dia!" kata hati Dewa Maut. Lalu dia
membentak. "Mengapa malah tercenung"! Atau..., kau
tak ingin jawab tanyaku"!"
"Aku bukannya tercenung, Dewa Maut, tapi
aku kaget mendengar alasanmu mencari Malaikat
Berdarah Biru!" jawab Dayang Naga Puspa. "Kau tahu, kipas hitam itu telah
dirampas lagi dari
tangan Malaikat Berdarah Biru oleh Pendekar Ma-
ta Keranjang. Pendekar Mata Keranjang memberi-
kannya lagi pada gurunya, Wong Agung dari Ka-
rang Langit."
"Jadi..., kipas dan bumbung itu berada di
Karang Langit"!" geram Dewa Maut.
Pertanyaan Dewa Maut membuat Ratu Pu-
lau Merah tegang. Dia berharap Dayang Naga
Puspa anggukkan kepala. Tapi, harapannya kan-
das, ketika dilihatnya Dayang Naga Puspa men-
gerling ke arahnya seraya sunggingkan senyum
mengejek. Kemudian, perempuan berjubah putih
ini angkat bicara.
"Semula memang demikian, Dewa Maut.
Tapi, seseorang telah mencurinya dari Karang
Langit." "Keparat! Katakan siapa pencuri keparat
itu! Dia akan berhadapan dengan Dewa Maut!"
desak pemuda berjubah hitam, tak sabaran. Ra-
hangnya sampai menggembung besar.
"Ratu keparat itulah yang mencurinya!" jawab Dayang Naga Puspa dengan suara
lebih dike- raskan seraya menuding Ratu Pulau Merah. "Kipas dan bumbung yang kau cari ada di
tangan- nya!" Dewa Maut arahkan pandangan pada Ratu Pulau Merah. Kemudian, alihkan lagi
pada gadis berpakaian hitam.
"Dewiku.... Minta kipas dan bumbung itu.
Kalau tidak diberikan, siksa dia!" Dewa Maut berkata pada si gadis yang bukan
lain dari Anting
Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam memandang Ratu
Pulau Merah yang juga menatapnya. Setelah ter-
senyum sinis, gadis cantik ini buka mulutnya.
"Kau telah dengar apa yang dikatakan oleh
kekasihku, bukan"! Cepat serahkan kipas hitam
dan bumbung sebelum kau lebih menderita lagi
karenanya."
"Bangsat terkutuk! Dayang Naga Puspa ke-
parat! Kau akan kubuat menyesal hidup ke du-
nia!" maki Ratu Pulau Merah dalam hati seraya
arahkan sepasang matanya pada Dayang Naga
Puspa. Si perempuan berjubah malah tersenyum
mengejek. Ratu Pulau Merah semakin geram. Dia


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alihkan pandangannya pada Dewa Maut dan Dewi
Tengkorak Hitam.
"Kipas dan bumbung itu memang ada pa-
daku. Tapi, telah dirampas oleh Gongging Bala-
dewa dan Dewi Kayangan. Malah, aku dilukainya.
Kalau masih ada padaku, dengan senang hati
akan kuserahkan!" beritahu Ratu Pulau Merah
sejujurnya, kendati hatinya ingin memberikan ja-
waban berbeda. Tapi, perempuan bermata kebi-
ruan ini khawatir berbohong terhadap Dewa Maut
yang pemarah. "Keparat!" Dewa Maut membanting kaki
kanannya hingga amblas ke dalam tanah sampai
mata kaki. Rahangnya menggembung besar. Pe-
muda ini marah bukan main, mengetahui urusan
demikian berbelit-belit. "Katakan di mana adanya Gongging Baladewa! Kalau tidak,
kalian berdua akan mati tak meram!"
"Kukira tak ada gunanya mencari Gongging
Baladewa, Dewa Maut," kali ini Dewi Tengkorak Hitam yang bicara. "Tokoh itu tak
mempunyai tempat tinggal tetap. Senantiasa berkelana."
"Dewiku..., jadi kau ingin aku hentikan
pencarian terhadap kipas hitam dan bumbung
itu"!" "Tidak, Dewa Maut," Dewi Tengkorak Hitam gelengkan kepalanya. "Kalau ada
cara yang mudah mengapa mencari cara yang sukar"!"
"Dewiku, jangan berteka-teki lagi. Katakan
saja terus terang," Dewa Maut mulai tak sabar.
Dewi Tengkorak Hitam melangkah maju
kemudian lingkarkan tangannya pada pinggang
Dewa Maut, dan rapatkan dadanya pada pung-
gung si pemuda.
"Beberapa hari lagi pertemuan di Lembah
Supit Urang tiba. Aku yakin, orang-orang yang
kau cari, Gongging Baladewa dan Pendekar Mata
Keranjang, serta Dewi Kayangan, akan hadir di
sana. Nah! Bukankah itu lebih mudah daripada
mencari-cari ke sana kemari tanpa tujuan"!"
Dewa Maut dongakkan kepala seraya per-
dengarkan tawa berderai.
"Dewiku.... Saranmu itu tepat sekali! Se-
perti yang kukatakan pada Manusia Titisan Dewa
dan Iblis Gelang Kematian, aku akan hadir di sa-
na. Aku akan menjadi raja di raja rimba persila-
tan. Mereka semua akan menjadi laskarku! Dan,
orang-orang golongan putih, terutama Pendekar
Mata Keranjang, Wong Agung, Dewi Kayangan,
dan Gongging Baladewa akan kulenyapkan! Da-
rah mereka akan tertumpah di Supit Urang!
Tumpahan darah mereka membasahi Lembah
Supit Urang! Ha ha ha...! Dewiku.... Mari kita per-gi!"
Tanpa mempedulikan Dayang Naga Puspa
dan Ratu Pulau Merah lagi, Dewa Maut menyam-
bar tangan Dewi Tengkorak Hitam dan memba-
wanya melesat meninggalkan tempat itu. Di lain
kejap, yang tinggal hanya Dayang Naga Puspa dan
Ratu Pulau Merah. Kedua perempuan ini sama-
sama tercenung. Dalam hati, masing-masing ber-
kata. "Pertemuan di Lembah Supit Urang" Ki-
ranya berita itu bukan hanya kabar burung bela-
ka." "Ada baiknya aku pergi ke sana juga, melihat lihat apa yang terjadi pada
pertemuan itu. Toh, dari sini ke tempat itu tidak terlalu jauh lagi.
Tapi, terlebih dulu, ratu keparat ini akan kube-
reskan!" Dayang Naga Puspa membatin. Lalu, perempuan berjubah ini ayunkan
kakinya mendeka-
ti tempat Ratu Pulau Merah tergolek.
"Pertemuan di Lembah Supit Urang....
Hm.... Kalau saja bisa selamat dari tangan wanita sundal ini, aku akan pergi ke
sana," kata wanita berpakaian gelap ini dalam hati.
Tapi, Ratu Pulau Merah sadar, kecil ke-
mungkinannya untuk selamat. Dia lihat paras
wajah dan sinar mata Dayang Naga Puspa yang
tertuju padanya penuh dengan hawa maut.
Selagi Ratu Pulau Merah tengah menunggu
takdirnya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan.
Begitu cepatnya kelebat sosok ini, hingga tahu-
tahu telah berdiri di sebelah Ratu Pulau Merah.
"Kakang...!" seru Ratu Pulau Merah begitu berpaling dan mengenali siapa adanya
orang yang baru datang. Sementara Dayang Naga Puspa luruskan
kepala dan kerutkan dahi. Sepasang matanya
menyipit. "Eyang Guru Dadung Rantak! Bangsat!
Mengapa tua bangka bau tanah ini bisa berada di
sini"! Celaka! Kalau ratu keparat itu bisa mem-
pengaruhinya, keadaanku bisa runyam!" rutuk
perempuan berjubah putih ini seraya mundur se-
langkah karena kaget.
Di hadapan Dayang Naga Puspa, di samp-
ing Ratu Pulau Merah berdiri seorang laki-laki berusia amat lanjut. Rambutnya
awut-awutan serta
berwarna putih. Demikian pula jenggotnya. Dia
bertelanjang dada, hanya mengenakan celana
pendek agak gombrang dan terlihat kumal. Sepa-
sang mata serta wajahnya tidak begitu jelas terlihat karena tertutup oleh rambut
dan jenggotnya.
Laki-laki bertelanjang dada yang bukan
lain dari Dadung Rantak, palingkan wajahnya pa-
da Ratu Pulau Merah. Kemudian angkat bicara.
"Kinanti...."
"Kang...," ujar Ratu Pulau Merah agak dili-rihkan suaranya, mengunjukkan seakan-
akan keadaannya parah sekali. Diam-diam di dalam
hatinya, wanita bermata kebiruan ini merutuk.
"Sekaranglah saatnya membalas sakit hati terhadap Dayang Naga Puspa, dengan
mengandalkan rasa cinta tua bangka bau tanah ini terhadapku!
Rasakan pembalasanku, Wanita Sundal!"
Dadung Rantak menyipitkan sepasang ma-
tanya untuk memperhatikan lebih jelas keadaan
Ratu Pulau Merah. Rebahnya tubuh wanita ber-
pakaian gelap itu, dan lirihnya suara yang dikeluarkan membuatnya merasa heran.
"Apa yang terjadi terhadap dirimu, Kinan-
ti?" Dadung Rantak ajukan tanya.
"Wanita itu, Kang! Wanita sundal itulah
yang membuatku seperti ini! Malah dia ingin
membunuhku! Padahal, sudah kukatakan kalau
diriku adalah kekasihmu. Dia marah ketika kuka-
takan, bahwa aku akan tinggal di Rawa Buntek
bersama dirimu," beri tahu Ratu Pulau Merah, berdusta.
Dayang Naga Puspa terperangah. Perem-
puan berjubah ini melangkah mundur satu tin-
dak. "Sialan betul! Kalau tua bangka itu terpengaruh ucapan ratu keparat itu,
aku bisa celaka!"
batin Dayang Naga Puspa, cemas.
Dadung Rantak menatap Ratu Pulau Me-
rah tajam-tajam. Lalu, berpaling pada Dayang
Naga Puspa. Tanpa sadar Dayang Naga Puspa
mundur lagi selangkah. Sempat dilihatnya Ratu
Pulau Merah tersenyum mengejek. Perempuan
berjubah ini geram bukan kepalang. Dia ingin
buka mulut. Tapi, ditahannya lagi ketika dilihat-
nya Dadung Rantak, alihkan pandangan pada Ra-
tu Pulau Merah.
"Kau tidak berdusta lagi, Kinanti?"
"Tidak, Kang. Aku ingin tinggal bersamamu
di Rawa Buntek. Tapi, kau harus balaskan sakit
hatiku dulu pada wanita sundal itu...!" tuding Ra-tu Pulau Merah dengan tangan
yang dibuatnya gemetar. "Asal kau mau tinggal bersamaku di Rawa
Buntek, jangankan hanya satu wanita sundal ini.
Sekalipun ada seribu pun, semuanya akan kubu-
nuh! Tapi, jika berdusta, kau tahu apa akibat-
nya"! Ingat, Kinanti. Ini adalah kesempatan te-
rakhir yang kuberikan padamu. Tak ada lagi sya-
rat atau alasan lainnya!" tandas Dadung Rantak, tegas. Ratu Pulau Merah
tersenyum dan men-gangguk, tapi batinnya memaki.
"Tua bangka keparat! Siapa yang kesudian
tinggal denganmu di tempat yang buruk itu"!
Kaulah yang akan mampus di tanganku, Tua
Bangka tak tahu diri!"
TIGA DAYANG Naga Puspa melangkah mundur-
mundur ketika Dadung Rantak menatapnya le-
kat-lekat. "Kekhawatiranku beralasan. Tua bangka
yang dimabuk cinta ini kena dirayu oleh si ratu
keparat! Celaka! Sialan betul!" rutuk perempuan berjubah putih ini, dalam hati.
Lalu, dia berkata.
"Eyang Guru.... Kau kena ditipu oleh ratu
keparat itu! Dia akan meninggalkanmu lagi seper-
ti sebelumnya," Dayang Naga Puspa mencoba
mengingatkan. "Sarpakenaka. Tutup mulutmu...! Antara
kau dan aku tak ada hubungan apa-apa lagi. In-
gat ucapanku"! Urusanmu urusanmu, urusanku
urusanku!" sergah Dadung Rantak seraya ayun-
kan kakinya mendekati Dayang Naga Puspa.
"Gila! Jahanam!" maki Dayang Naga Puspa dalam kecemasan hati yang mendera.
"Terimalah kematianmu, Sarpakenaka...!"
Dayang Naga Puspa tak bisa lagi mene-
ruskan kata hatinya, karena saat itu juga Dadung
Rantak dorongkan kedua tangannya ke depan.
Wuttt! Tak ada sambaran angin yang keluar,
ataupun suara yang terdengar. Tapi, sekitar tem-
pat itu bergetar hebat. Pohon-pohon berguncang,
menggugurkan daunnya. Sejurus kemudian, ha-
wa panas menyengat melingkupi tempat itu.
Hingga daun-daun berguguran ke tanah dalam
keadaan hangus.
Bersamaan dengan mendorongnya kedua
tangan Dadung Rantak, Dayang Naga Puspa
membentak nyaring. Perempuan berjubah putih
ini melempar tubuhnya ke samping kiri dan ber-
gulingan menjauh.
Ternyata Dadung Rantak benar-benar ber-
keinginan membunuh muridnya. Dia melesat
mengejar seraya hantamkan tangannya ke arah
kepala. Dayang Naga Puspa cepat rundukkan ke-
palanya. Kaki kanannya diangkat dan dihantam-
kan ke arah lambung Dadung Rantak.
Bukkk! Kaki perempuan berjubah ini mental balik
ketika mengenai sasaran. Seakan-akan yang di-
hantamnya adalah segundukan karet keras dan
kenyal. Dayang Naga Puspa terhuyung-huyung
terbawa ayunan kakinya.
Dadung Rantak tak memberi kesempatan.
Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Dayang
Naga Puspa, laki-laki ini ulurkan tangan.
Tappp! Dayang Naga Puspa terpekik ketika perge-
langan kakinya tercekal. Perempuan berjubah pu-
tih ini sadar akan bahaya yang tengah mengan-
camnya. Maka, buru-buru hentakkan tangan ki-
rinya. Wuttt! Serangkum angin dahsyat menggebrak ke-
luar dan meluncur cepat ke arah Dadung Rantak!
Karena tak ada kesempatan lagi untuk
menghindari serangan Dayang Naga Puspa, Da-
dung Rantak mundur setindak seraya lepaskan
cekalannya. Kemudian tangan kanannya dido-
rongkan! Bummm! Dua pukulan yang sama-sama bertenaga
dalam kuat bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga
Puspa terhuyung-huyung. Namun, setelah kerah-
kan tenaga dalam untuk menahan huyungan tu-
buhnya, perempuan berjubah putih itu segera te-
gak kembali dengan kokohnya.
Dadung Rantak sendiri tersurut satu tin-
dak ke belakang. Dan, laki-laki tua ini punya ke-
sempatan untuk melancarkan desakan saat
Dayang Naga Puspa terhuyung. Tapi, itu tak di-
pergunakannya. Dadung Rantak sengaja memberi
Dayang Naga Puspa kelonggaran.
"Aku ingin tahu sampai di mana kemajuan
dicapai Dayang Naga Puspa," Dadung Rantak
membatin. Sementara Dayang Naga Puspa langsung
menerjang setelah berhasil menguasai diri! Perta-
rungan kembali berlangsung!
Dayang Naga Puspa kerahkan seluruh ke-
mampuan yang dimilikinya. Perempuan ini tahu
kalau pertarungan kali ini adalah pertarungan
antara hidup dan mati. Tapi, setelah belasan ju-
rus berlangsung, Dayang Naga Puspa mulai ter-
desak. Dan, hanya bisa bertarung sambil mun-
dur-mundur! Bukkk! Terdengar seruan tertahan dari mulut
Dayang Naga Puspa ketika gedoran tangan kanan
Dadung Rantak menghantam dadanya secara te-
lak. Tubuh perempuan yang berusia tidak muda
lagi ini terjengkang dan jatuh terduduk di atas
tanah di dekat Ratu Pulau Merah.


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesempatan ini memang yang ditunggu-
tunggu Ratu Pulau Merah! Perempuan berpakaian
gelap ini hantamkan pukulan dengan posisi jari
dalam jurus 'Macan Tutul'. Ratu Pulau Merah ta-
hu tenaganya telah berkurang jauh, maka yang
diserang adalah bagian yang mematikan! Ubun-
ubun! Tukkk! Dayang Naga Puspa memekik ngeri ketika
ubun-ubunnya pecah berantakan. Cairan merah
bercampur putih kental pun muncrat-muncrat.
Tubuh perempuan berjubah putih ini mengejang.
Di lain kejap, terkulai lemas, tak bergerak-gerak lagi. Sepasang matanya
membeliak besar, penuh
perasaan penasaran!
Dadung Rantak agak terkejut melihat tin-
dakan Ratu Pulau Merah. Tapi, dia tak bicara
apa-apa. Paras wajah laki-laki bertelanjang dada
ini tak unjukkan guratan perasaan apa pun,
meski di hatinya ada rasa menyesal, mengapa
Dayang Naga Puspa harus mati akibat tangannya.
"Persetan! Kalau punya kesempatan dan
kemampuan pun, wanita sundal itu akan mem-
bunuhku! Jadi, ada baiknya dia mati!" cetus Dadung Rantak dalam hati, setengah
menghibur di- ri. Kemudian, setelah berpikir sebentar, dia buka mulut. "Bagaimana, Kinanti"!"
Dadung Rantak ajukan tanya, setengah menekan.
Ratu Pulau Merah ukir seulas senyum ma-
nis. Senyum penuh rasa puas!
"Kau telah penuhi janjimu, Kang. Maka,
aku pun akan penuhi janjiku," jawab Ratu Pulau Merah meski dalam hatinya
berkata. "Terpaksa aku mengikuti kehendakmu, Tua Bangka. Keadaan tak
memungkinkan bagiku untuk mengam-
bil pilihan lainnya! Tapi, kelak kau pun akan ku-
buat mengalami nasib serupa dengan bekas mu-
ridmu!" "Kalau begitu, mari kita pergi, Kinanti,"
ajak Dadung Rantak, tak sabar. Dia melesat ke
arah Ratu Pulau Merah dan bersiap membawanya
kabur! "Tapi, Kang.... Aku tak mampu berdiri.
Apalagi untuk berlari."
Dadung Rantak menghela napas berat, ke-
cewa. Dengan agak segan diperiksanya keadaan
Ratu Pulau Merah.
"Gila! Luka-lukanya parah juga. Sebelah
tangannya tak bisa dipergunakan lagi. Aliran te-
naganya pun tak beraturan. Kacau. Bagaimana
ini bisa terjadi. Mungkinkah oleh Dayang Naga
Puspa"! Tapi.... Rasa-rasanya kepandaian Ratu
Pulau Merah masih di atas Dayang Naga Puspa.
Aneh! Jadi, jelas, Ratu Pulau Merah menipuku!
Tapi..., biarlah! Yang penting dia mau tinggal bersamaku di Rawa Buntek!' Dadung
Rantak mem- batin, setelah memeriksa keadaan Ratu Pulau
Merah sejurus lamanya.
"Apa yang terjadi, Kinanti" Apakah ini se-
mua karena Dayang Naga Puspa"!" tanya Dadung Rantak seraya arahkan pandangannya
pada sepasang mata Ratu Pulau Merah.
Ratu Pulau Merah bukan orang bodoh. Dia
tahu kalau Dadung Rantak mulai curiga terha-
dapnya. Di hatinya, perempuan bermata kebiruan
ini berkata. "Tua bangka ini rupanya telah bisa mengi-
ra-ngira kejanggalan ceritaku. Apa boleh buat,
terpaksa kuberitahukan hal yang agak-
sebenarnya...."
"Aku terluka oleh Gongging Baladewa dan
Dewi Kayangan, Kang. Tapi, aku berhasil selamat
hingga tiba di tempat ini. Sialnya aku bertemu
muridmu itu! Dan, dia hendak membunuhku! En-
tah karena apa! Kalau kau datang terlambat,
mungkin tak akan bisa bertemu denganku lagi...."
Dadung Rantak tak memberikan sambu-
tan. Tapi, laki-laki ini berbicara dalam hati.
"Ada kejanggalan dalam ceritanya. Musta-
hil tanpa alasan Dayang Naga Puspa hendak
membunuhnya! Tapi, masa bodoh. Itu bukan
urusanku! Yang penting, dia mau ikut tinggal
bersamaku di Rawa Buntek."
Melihat Dadung Rantak diam, Ratu Pulau
Merah ceritakan secara singkat tapi jelas kejadian yang membuatnya terluka.
"Aku tak bisa hidup tenang sebelum bisa
membalaskan sakit hatiku pada Gongging Bala-
dewa dan Dewi Kayangan, Kang," Ratu Pulau Merah mengakhiri ceritanya sambil
kertakkan gigi,
memperlihatkan rasa dendamnya.
Dadung Rantak dongakkan kepalanya.
Kemudian berdehem beberapa kali untuk mene-
nangkan hati. "Dewi Kayangan dan Gongging Baladewa"!
Tokoh-tokoh itu memiliki kepandaian luar biasa!
Rasanya sulit bagiku untuk mengalahkan seorang
saja di antara mereka.... Kinanti.... Orang-orang yang kau sebutkan itu
berkepandaian tinggi...."
"Jadi.... Kakang gentar terhadap mereka"!
Sama sekali tak kusangka!" selak Ratu Pulau Merah setengah tak percaya.
Dadung Rantak dongakkan kepalanya. Ma-
tanya berkilat-kilat karena merasa tersinggung
mendengar ucapan perempuan berpakaian gelap
itu. "Kinanti.... Aku tak gentar pada Dewi
Kayangan, Gongging Baladewa, atau siapa pun!
Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya!"
tandas Dadung Rantak dengan suara agak dike-
raskan. "Bukankah mereka berkepandaian ting-
gi"! Gongging Baladewa terkenal sebagai tokoh
tua yang luar biasa sakti. Sedangkan Dewi
Kayangan sendiri telah kurasakan kelihaiannya!"
"Hm.... Jadi kau tak ingin membalaskan
sakit hatiku pada mereka, Kang"! Kau ingin aku
hidup di Rawa Buntek dengan memendam sakit
hati terhadap mereka"!" Ratu Pulau Merah ajukan desakan, meminta penegasan.
Sikap penasaran-nya terlihat jelas.
Paras wajah Dadung Rantak seketika be-
rubah. Dia batuk-batuk kecil untuk menyembu-
nyikan rasa kecewa, tak suka, dan tersinggung-
nya. Laki-laki bertelanjang dada ini merasa dite-
kan. Dadung Rantak memaki-maki, tapi hanya di
dalam hati. "Keparat! Urusan keparat ini akan membuat kepulangan ke Rawa Buntek
terhambat. Sialan betul!"
"Kinanti.... Bukannya aku takut atau tak
ingin membalaskan sakit hatimu. Tapi, aku tak
ingin gegabah! Untuk apa tergesa-gesa mencari
dan berusaha membalas dendam kalau hanya be-
rakhir dengan kegagalan"! Bukan hanya kekua-
tan saja yang merupakan hal penting. Ada yang
lebih penting lagi, Kinanti. Bahkan paling pent-
ing!" beri tahu Dadung Rantak, panjang lebar bernada menggurui.
"Apa itu, Kang"!" tanya Ratu Pulau Merah, ingin tahu. Di dalam hatinya dia
bertanya. "Baru pertama kali kudengar, tua bangka ini memperhitungkan kekuatan
lawan. Biasanya dia langsung
melabrak. Dan, aku yakin, tokoh semacam Dewi
Kayangan akan dapat dikalahkannya. Apa yang
membuatnya memperhitungkan tindakannya itu"!
Jahanam! Jangan-jangan, ini hanya merupakan
siasatnya. Barangkali dia sudah tak sabar ingin
mengajakku ke tempat tinggalnya yang busuk itu!
Hm.... Aku harus berkeras!"
"Otak!"
"Otak, Kang"!" Ratu Pulau Merah meminta kepastian.
"Benar, Kinanti. Otak yang terpenting!"
tandas Dadung Rantak dengan nada suara lebih
meninggi. "Untuk menghadapi orang semacam Dewi
Kayangan mempergunakan otak pula"! Labrak sa-
ja! Apa yang perlu ditakuti"!"
Dadung Rantak menatap Ratu Pulau Me-
rah lekat-lekat. Seringai buruk menghiasi wajah-
nya. Seringai yang mengisyaratkan orang yang le-
bih mengetahui suatu persoalan daripada lawan
bicaranya. Kemudian, mulutnya membuka.
"Kinanti.... Melabrak Dewi Kayangan me-
mang tak memerlukan otak! Tinggal gebrak saja!
Aku yakin akan mampu mengalahkannya! Tapi,
kau harus tahu, Kinanti.... Tempat di mana wani-
ta itu tinggal, tidak hanya didiami olehnya sendiri.
Ada saudara-saudaranya. Dewi Bayang-bayang
dan Dewi Bunga Iblis! Bahkan mungkin Gongging
Baladewa! Karena menurut berita yang kusirap,
Dewi Bayang-bayang telah akur kembali dengan
Gongging Baladewa!"
Ratu Pulau Merah terdiam mendengar per-
kataan Dadung Rantak. Dia memandang laki-laki
di hadapannya lekat-lekat. Akal sehatnya dapat
merasakan kebenaran ucapan pemilik Rawa Bun-
tek itu. "Lalu... apa yang akan kau lakukan,
Kang"!"
Dadung Rantak menarik napas lega menge-
tahui alasan yang diberikannya diterima Ratu Pu-
lau Merah. "Kinanti! Beberapa hari lagi, tepat pada
malam purnama di Lembah Supit Urang akan ada
pertemuan untuk menentukan siapa yang patut
menjadi raja di raja rimba persilatan, sekaligus
menyusun kekuatan untuk melenyapkan Pende-
kar 108 dan tokoh-tokoh golongan putih. Jadi,
aku akan terjun untuk merebut kedudukan jago
nomor satu, agar dapat membalaskan sakit hati-
mu! Dengan tokoh-tokoh jajaran atas dunia hitam
lainnya yang membantu, kurasa tak sulit untuk
menggulung Gongging Baladewa, Dewi Kayangan,
dan Dewi Bayang-bayang, kalau perlu Dewi Bun-
ga Iblis!"
"Pertemuan di Lembah Supit Urang,
Kang"!" tanya Ratu Pulau Merah, ingin tahu karena dalam beda waktu sekejap telah
dua kali mendengar orang meributkan tentang itu. "Aku pun mendengar kabar angin mengenai
pertemuan itu. Tapi, aku masih belum jelas. Tampaknya kau
tahu persis, Kang. Ceritakanlah padaku...! Dan,
siapa-siapa sajakah yang akan ke sana"!"
Dadung Rantak kernyitkan dahi seperti
tengah berpikir. Kemudian, buka mulutnya.
"Menurut pendapatku akan banyak tokoh
yang hadir, baik dari golongan hitam maupun pu-
tih karena berita itu disebarluaskan. Tapi, kalau yang kutahu, tokoh-tokoh yang
pasti datang ada-
lah Iblis Gelang Kematian dan Dewa Maut! Kare-
na, kudengar sendiri dari mulut mereka mengenai
kesediaan untuk menghadiri pertemuan itu."
"Dewa Maut...! Tokoh yang tadi mencari-
cari Malaikat Berdarah Biru dan Pendekar Mata
Keranjang! Kepandaiannya tinggi sekali! Mampu-
kah Kakang Dadung Rantak merebut kedudukan
jago nomor satu"!" Ratu Pulau Merah membatin.
"Kurasa perbincangan kita sudah cukup
panjang, Kinanti. Nanti bisa kita lanjutkan dalam perjalanan menuju ke Lembah
Supit Urang. Yang
paling penting sekarang adalah mengobati luka
dalammu. Sayang, untuk sementara tangan kiri-
mu tak bisa kau gunakan," ujar Dadung Rantak bernada keluh.
"Dewi Kayangan keparat! Kau akan men-
dapat ganjaran atas perbuatanmu ini!" maki Ratu Pulau Merah, geram.
Dadung Rantak tak berikan sambutan. Dia
duduk bersila di dekat perempuan bermata kebi-
ruan itu, bersiap untuk mengobati luka dalam
Ratu Pulau Merah dengan pengerahan hawa
murni. Kedua tangannya dijulurkan, tapi terhenti
di tengah jalan, dan berkata.
"Sebenarnya..., sewaktu bertemu dengan-
mu, keinginan yang menggebu-gebu untuk men-
datangi Lembah Supit Urang itu telah pupus, Ki-
nanti. Aku ingin hidup tenang bersamamu di Ra-
wa Buntek. Sayang, kau tak bisa melupakan sakit
hatimu. Tak ada jalan lain kecuali menghadiri
pertemuan itu agar kau bisa tenang tinggal ber-
samaku." "Tua bangka tak tahu diri! Sekalipun den-
damku telah terbalaskan aku tak akan sudi un-
tuk tinggal di tempat busuk itu! Apalagi bersama
dengan tua bangka seperti kau!" batin Ratu Pulau Merah mengutuk, tapi mulutnya
yang berbentuk indah membuka dan keluarkan kata.
"Kalau kau tega membiarkanku tersiksa
diamuk dendam dan sakit hati, tak apa, Kang,"
Ratu Pulau Merah merajuk, jengkel karena telah
memiringkan tubuh, Dadung Rantak tak juga
menempelkan tangan untuk menyembuhkan luka
dalamnya, tapi malah bicara. "Tapi, mungkin perlu kuingatkan sedikit, Kang. Kau
sendiri telah ta-hu bagaimana tidak enaknya mendendam sakit
hati. Bukankah kau pun sampai bercapai lelah
mendatangi Wong Agung di Karang Langit untuk
membalaskan sakit hati karena adik kandungmu
tewas di tangannya"!"
Dadung Rantak terdiam. Mulutnya terka-
tup. Tanpa bicara apa pun ditempelkan kedua
tangannya yang terbuka ke punggung Ratu Pulau
Merah. EMPAT SEORANG pemuda berwajah tampan ber-


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaian hijau yang dilapis dengan pakaian dalam
berwarna kuning lengan panjang, tampak me-
langkah perlahan. Dia berambut panjang dan di-
kuncir ekor kuda. Wajah serta lehernya dibasahi
peluh. Pakaiannya pun demikian. Ini menjadi per-
tanda kalau pemuda ini telah melakukan perjala-
nan jauh. Sambil berjalan pelan, si pemuda
menggerak-gerakkan kipas lipat berwarna ungu
yang berada di tangan, pulang balik di depan wa-
jahnya. "Lembah Supit Urang. Hm.... Apa pun yang
terjadi aku harus sampai di tempat itu. Tapi, aku yakin akan bisa berada di sana
sebelum bulan purnama. Hhh...! Apa pun yang terjadi, aku harus
berada di tempat Itu, agar tahu rencana yang
akan mereka lakukan!" si pemuda membatin.
Saat itu, terasa deru angin berkesiur di be-
lakangnya. Pemuda berpakaian hijau ini segera
berpaling ke belakang seraya membalikkan tu-
buh. Dan, sekitar lima langkah di hadapannya
tampak seorang pemuda berdiri tegak meman-
dang ke arahnya sambil tersenyum. Wajahnya
sangat tampan, malah lebih mendekati jelita. So-
rot sepasang matanya yang bentuknya bundar
itu, sayu. Rambutnya panjang dan dikepang dua.
Bibirnya yang berbentuk bagus itu diberi pemerah
yang menyolok. Tubuhnya semampai dan ter-
bungkus oleh pakaian seorang perempuan!
"Setan Pesolek...!" gumam pemuda berpa-
kaian hijau tanpa bisa menyembunyikan kegem-
biraan dalam suara dan sikapnya.
Yang ditegur, dan bukan lain dari Setan
Pesolek, tertawa pelan. Kemudian sibakkan ram-
butnya di tengkuk dengan menarik sedikit kepa-
lanya ke belakang.
"Aku tahu kau gembira bertemu denganku,
Pendekar 108," kata Setan Pesolek seraya kelua-
rkan tawa panjang. Tangan kanannya bergerak
pulang balik dengan gemulai. Setelah meliukkan
bahu dan pinggulnya serta mengedipkan mata ki-
rinya, dia berkata. Suaranya mirip seorang pe-
rempuan. Tapi, menilik keberadaan jakun di le-
hernya, orang ini adalah laki-laki.
Pemuda berpakaian hijau yang memang
bukan lain dari Aji alias Pendekar Mata Keran-
jang, usap-usap hidungnya seraya sunggingkan
senyum di bibir.
"Manusia satu ini sepertinya selalu tahu
saja urusan orang. Dia mampu menebak pera-
saanku. Malah, dulu beberapa kali ucapannya tak
meleset. Tapi, aku ingin tahu sampai di mana
manusia banci ini tahu urusanku!" kata hati Aji, lalu setelah berpikir sejenak,
dia ajukan tanya.
"Tentu saja aku gembira, Setan Pesolek.
Siapa orangnya yang tidak gembira bertemu den-
gan sahabat lama"!"
Setan Pesolek kembali keluarkan tawa ce-
kikikan. Seraya terus menggerak-gerakkan tan-
gannya secara lemah gemulai, dia berucap.
"Pendekar Mata Keranjang! Mungkin apa
yang kau katakan itu benar. Tapi, aku lebih con-
dong menduga kalau kegembiraanmu bertemu
denganku, bukan hanya karena itu."
"Benar dugaanku, manusia banci ini seper-
ti bisa membaca isi hati orang. Tapi, aku masih
belum yakin kalau dia belum memberikan jawa-
ban yang tepat!" batin Pendekar 108 belum puas.
Setan Pesolek sendiri, seperti tak mempedulikan
perasaan Aji. Dia keluarkan batu cerminnya dan
berkaca sambil rapikan rambut dan polesan me-
rah di bibirnya. Tapi, saat Aji buka mulut, dan belum sempat keluarkan suara,
Setan Pesolek telah
lebih dulu berkata.
"Kau gembira bertemu denganku karena
memang kau tengah mencari kawan-kawan seha-
luan guna menghadapi tokoh-tokoh dari haluan
lain." Aji terperangah mendengar jawaban yang tepat itu. Di dalam hatinya dia
berkata. "Manusia satu ini benar-benar menge-
jutkan! Dia tahu apa yang hendak kulakukan!"
"Sebenarnya tak baik mengatakan apa
yang belum terjadi," Setan Pesolek lanjutkan ucapannya. "Tapi, kuusulkan lebih
baik kau urungkan niatmu untuk mencegah terjadinya perte-
muan di Lembah Supit Urang."
Pendekar Mata Keranjang undur selangkah
karena kaget. Air mukanya berubah hebat.
"Si banci ini memang bukan manusia! Dia
mampu menebak dengan tepat tindakan yang
akan kulakukan! Apakah dia mampu meramal"!"
kata hati pemuda berpakaian hijau ini. Beberapa
jurus Aji terdiam. Baru setelah dapat menguasai
perasaan, dan berpikir sebentar, pemuda ini ang-
kat bicara. "Aku tak tahu bagaimana kau bisa mene-
bak dengan demikian tepat tindakan yang akan
kulakukan, Setan Pesolek. Tapi, aku tak bisa me-
nerima usulmu. Apa pun yang terjadi terhadap di-
riku aku tetap akan ke sana! Dan, perlu kau ke-
tahui, aku telah memperhitungkannya cukup ma-
sak. Oleh karena itu, dengan sisa waktu yang ma-
sih kumiliki, kuputuskan untuk mencari kawan-
kawan sehaluan untuk membantuku mencegah
terjadinya pertemuan itu!" tandas Pendekar 108
berapi-api, penuh semangat.
Setan Pesolek tertawa pelan seraya ang-
guk-anggukkan kepala seperti memaklumi jawa-
ban yang diberikan Aji.
"Tapi, waktu telah demikian mendesak.
Beberapa hari lagi pertemuan di Supit Urang itu
akan berlangsung. Kalau kau tetap teruskan te-
kad untuk mencari kawan-kawan sehaluan, kau
akan terlambat untuk mengikuti pertemuan itu!"
"Kalau memang demikian halnya, apa bo-
leh buat"! Tapi, aku akan tetap pergi ke sana! Apa pun yang akan terjadi! Dan
perlu kau ingat, Setan Pesolek! Meski kau telah beberapa kali membuat
jasa padaku, tidak berarti bahwa aku akan menu-
ruti saranmu. Bahkan, kalau kau bersikeras un-
tuk menahan, aku tak segan-segan untuk mela-
brakmu!" "Pendekar Mata Keranjang!" kata Setan Pesolek dengan suara agak dikeraskan. "Kau
juga perlu tahu, aku tak pernah mengingat-ingat akan
jasaku terhadapmu. Pula, aku tak mengharapkan
imbalan apa-apa darimu! Hanya kusarankan, se-
belum bertindak itu lebih dulu berpikir! Sebagai
tambahan, perlu kuberitahukan karena kau telah
salah menafsirkan ucapanku! Pendekar Mata Ke-
ranjang! Dengar baik-baik, aku tak mencegah
atau menghalangimu ke Lembah Supit Urang!"
Aji kernyitkan dahi. Bingung.
"Apa maksudmu sebenarnya, Setan Peso-
lek"!" Pemuda berpakaian hijau itu ajukan tanya setelah memikirkan ucapan si
banci, tapi tetap
tak paham. "Kau katakan aku salah menafsirkan ucapanmu"!"
Setan Pesolek anggukkan kepala. Lalu,
sambil gerak-gerakkan tangan secara lemah-
gemulai, dia buka mulut.
"Pendekar Mata Keranjang. Kau boleh in-
gat-ingat ucapanku. Adakah yang berisi larangan
bagimu untuk pergi ke sana"! Tidak bukan"! Aku
hanya katakan, agar kau hentikan usahamu un-
tuk mencegah terjadinya pertemuan itu! Bukan
melarangmu pergi ke sana! Tapi, melarangmu
mencegah pertemuan itu! Dengar baik-baik, Pen-
dekar Mata Keranjang. Tidak semua urusan dapat
diselesaikan dengan kekuatan! Terkadang, otak
mampu membereskannya dengan hasil yang jauh
lebih baik!"
Pendekar 108 terdiam. Tapi, di dalam ha-
tinya dia berkata.
"Sialan betul! Manusia banci ini benar. Aku
yang salah mengartikan ucapannya. Tapi.... Ba-
gaimana aku bisa menghadiri pertemuan itu"!
Bukankah sebagian besar di antara mereka telah
mengenaliku"!"
"Pendekar Mata Keranjang. Perlu kuberita-
hukan padamu, aku tak bisa hadir di pertemuan
itu. Aku mempunyai urusan lain yang lebih pent-
ing. Jadi, aku tak bisa menemanimu ke sana. Aku
tak bisa menyumbangkan tenaga. Tapi, aku bisa
menyumbangkan pikiran."
Laki-laki banci ini kemudian ayunkan kaki
beberapa tindak, dekati Pendekar 108. Si pemuda
telah bisa menduga kalau Setan Pesolek hendak
beritahukan sesuatu. Tapi, sifat konyol Aji timbul.
Begitu Setan Pesolek maju, dia malah mundur.
"Pendekar Mata Keranjang! Bukan saatnya
sekarang untuk bercanda. Setiap kesempatan
yang ada harus dimanfaatkan. Bukan tak mung-
kin di lain kejap akan muncul gangguan yang
membuat kita tak bisa bicara panjang lebar!" sentak Setan Pesolek, dengan nada
suara lebih keras
daripada sebelumnya.
Aji hentikan langkah. Senyum tersungging
di bibirnya. Hidungnya pun diusap-usap. Agak
puas hatinya setelah dapat mempermainkan Se-
tan Pesolek meski hanya sebentar. Tapi, di lain
kejap laki-laki banci itu telah berada di dekatnya dan dengan bisik-bisik
beritahukan rencananya.
Air muka Aji berubah. Berseri-seri.
"Mengapa aku tidak berpikir seperti itu"!
Bukankah aku pernah mencobanya"!" batin pe-
muda berpakaian hijau ini. Tapi, yang keluar dari mulutnya perkataan lainnya.
"Kalau hanya sumbangan pikiran seperti
ini, aku pun merencanakannya. Bahkan aku te-
lah pernah mempraktekkannya. Malah beberapa
kali!" Setan Pesolek tertawa cekikikan. Kemudian seraya gerak-gerakkan tangannya
secara lemah-gemulai, dia keluarkan suara.
"Kau memang telah mencobanya beberapa
kali. Tapi, untuk pertemuan ini, kau tak terpikir
untuk menggunakannya. Yahhh...! Sudahlah, se-
lamat tinggal, Pendekar Mata Keranjang!"
Habis berkata begitu, laki-laki banci ini ra-
pikan rambutnya. Lalu, dia ayunkan langkah me-
ninggalkan tempat itu. Aji pandangi kepergiannya
sambil membatin.
"Banci! Kendati wujudmu aneh, kau mem-
punyai keistimewaan luar biasa! Kau seperti tahu
semua urusan orang! Bahkan, apa yang bergolak
di batin!"
Setelah Setan Pesolek tak terlihat lagi, Pen-
dekar 108 pun melesat meninggalkan tempat itu.
LIMA DUA ekor kuda berlari congklang melalui
hamparan tanah berdebu yang luas membentang.
Demikian luasnya, sehingga sejauh mata meman-
dang yang terlihat hanya hamparan tanah coklat
kemerahan. Penunggang kuda di sebelah kanan adalah
seorang gadis cantik berambut panjang berkulit
putih. Sepasang matanya bulat dan tajam. Pa-
kaian yang dikenakannya berwarna kuning dan
ketat, sehingga dadanya yang kencang membu-
sung tampak jelas.
Sedangkan penunggang kuda satunya lagi
adalah seorang laki-laki bertubuh tegap dan be-
sar. Rambutnya kaku dan panjang tergerai. Sepa-
sang matanya tajam. Sesekali bibirnya sungging-
kan seringai buruk. Dan, kendati parasnya keli-
hatan angker, tampak jelas kalau laki-laki ini berusia sangat muda! Masih anak-
anak! Kedua penunggang kuda ini terlihat tak
tergesa-gesa. Malah seperti ada yang mereka cari
atau tunggu. Beberapa kali si gadis mengedarkan
pandangan ke sekeliling dengan sinar mata penuh
harap. Tapi, sorot matanya berbalur kekecewaan
ketika hanya menjumpai hamparan tanah luas
membentang. Dalam batinnya, gadis ini berkata.
"Sialan betul! Sejak tadi tak kutemukan sa-
tu orang pun! Hm.... Benar-benar sial! Padahal,
aku ingin tanyakan kebenaran tentang pertemuan
tokoh-tokoh persilatan di Lembah Supit Urang.
Aku yakin, orang yang kucari akan berada di sa-
na! Tapi, tentu saja jika dia masih hidup!"
"Kau kelihatan resah sekali. Ada apa"!" Si anak laki-laki, ajukan tanya.
Gadis berpakaian kuning palingkan wajah
ke arah anak laki-laki, dan menatapnya lekat-
lekat beberapa jurus. Kemudian, dia tarik napas
dalam-dalam lalu berkata.
"Aku tengah mencari-cari, barangkali dapat
bertemu paling tidak seorang tokoh persilatan di
sini. Aku ingin tanyakan mengenai pertemuan di
Lembah Supit Urang!"
"Jadi.... Kau berniat pergi ke sana dan me-
nunda pencarian terhadap Malaikat Berdarah Bi-
ru"!" Si anak laki-laki ajukan tanya dengan nada suara tak sembunyikan rasa
kecewa dan tak sukanya. Gadis berpakaian kuning tarik napas da-
lam-dalam, lalu sunggingkan senyum manis. La-
lu, dengan suara lembut dan hati-hati dia buka
mulut. "Abilowo.... Aku tak pernah menunda pencarian terhadap ayahmu, si
Malaikat Berdarah Bi-


Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ru itu. Malah, tujuanku mencari kebenaran men-
genai pertemuan di Lembah Supit Urang adalah
dalam usaha untuk menemukannya."
"Bagaimana bisa begitu"!" Abilowo mendesak tanpa menyembunyikan rasa penasaran
ha- tinya. "Abilowo.... Jika pertemuan di Lembah Supit Urang bukan kabar burung,
Malaikat Berda-
rah Biru pasti akan datang ke tempat itu. Ayah-
mu itu sangat berhasrat sekali untuk menjadi ra-
ja di raja rimba persilatan! Dan, pertemuan di
Supit Urang dapat digunakannya untuk mengga-
pai tujuan itu. Jadi..., sekarang kau bisa mengerti mengapa aku hendak mencari
tahu mengenai benar tidaknya pertemuan itu!"
Abilowo anggukkan kepala seraya buka
mulut. "Sekarang aku mengerti. Setidak-tidaknya dengan cara seperti itu kita
mempunyai tujuan
pencarian. Tidak seperti sekarang, mencari secara ngawur."
"Syukur kalau kau mengerti," timpal si gadis yang bukan lain dari Putri Tunjung
Kuning, ibu dari Abilowo, seraya menarik napas lega. Dia
sunggingkan seulas senyum manis untuk pu-
tranya. Abilowo tak memberikan sambutan sama
sekali. Malah, anak laki-laki ini alihkan pandan-
gannya ke depan seraya mempermainkan ram-
butnya! Tanpa bicara apa pun, Putri Tunjung
Kuning arahkan pandangan ke sana.
"Ada orang di depan!" anak laki-laki itu angkat bicara.
"Aku tak melihat apa pun di depan. Mung-
kinkah Abilowo salah lihat"! Tapi, bukan tak
mungkin pula dia benar. Kepandaiannya memang
tinggi. Malah jauh di atasku!" Putri Tunjung Kuning membatin. Setelah berpikir
sebentar, dia alihkan pandangan pada Abilowo.
"Apakah kau tak salah lihat, Abilowo"!" Putri Tunjung Kuning meminta kepastian.
"Aku tidak akan pernah salah lihat!" tandas Abilowo setengah merutuk. Nada
suaranya jauh lebih keras daripada sebelumnya, menunjukkan
rasa tak sukanya dengan ucapan ibunya.
"Watak kurang baik anak ini masih belum
hilang! Aku harus sabar menghadapinya. Toh,
memang sejak lahir hingga umurnya beberapa
puluh hari, aku tak pernah dapat kesempatan
untuk mengurusnya. Tapi, memang ada untung-
nya juga. Bukankah, tua bangka itu katakan Ab-
ilowo tak akan jadi sakti bila tersentuh tangan
orang lain" Tak terkecuali ibunya," kata hati Putri Tunjung Kuning (Untuk
jelasnya mengenai Abilowo dan pengalamannya serta tua bangka yang
dimaksud Putri Tunjung Kuning, silakan baca ep-
isode : "Titisan Darah Terkutuk" dan "Misteri Hutan Larangan").
"Kalau begitu, kita harus segera susul dia.
Aku yakin orang itu tahu mengenai pertemuan di
Supit Urang," Putri Tunjung Kuning angkat bicara seraya tarik tali kekang
kudanya. Abilowo menyeringai, lalu ikut melakukan
hal yang sama. Di kejap lain, binatang-binatang
tunggangan itu pun melesat menimbulkan bunyi
gemuruh dan meninggalkan kepulan debu tebal
di belakangnya.
Tak lama kemudian, Putri Tunjung Kuning
dapat membuktikan kebenaran ucapan Abilowo.
Di kejauhan, dilihatnya tiga ekor kuda tengah
berpacu cepat ke arah yang sama dengannya.
Putri Tunjung Kuning dan Abilowo semakin
perkeras usaha mereka untuk memacu tunggan-
gannya secepat mungkin. Tali kekang mereka ke-
prakkan. Tak ketinggalan, pecut pun mereka han-
tamkan pada bagian belakang tubuh tunggangan
mereka agar binatang itu berlari lebih cepat lagi.
Sekitar beberapa tombak lagi menyusul, ti-
ga penunggang kuda mengetahui kedatangan Pu-
tri Tunjung Kuning dan Abilowo. Laju tunggangan
mereka perlambat seraya tolehkan kepala ke be-
lakang! Saat itu, mereka melihat dua ekor kuda
coklat bercak-bercak putih dipacu cepat ke arah
mereka. Di kejap lain, binatang-binatang itu telah melampaui mereka, dan
dihentikan secara mendadak tepat di depan mereka!
Seketika kepulan debu pun menghambur
ke arah tiga orang itu! Mereka pun kelabakan
menggerakkan tangan untuk menutup wajah dari
sergapan debu. "Setan Belang! Siapa berani main gila ter-
Geger Pantai Rangsang 2 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Lencana Pembunuh Naga 4
^