Pencarian

Bukit Siluman 1

Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman Bagian 1


BUKIT SILUMAN Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Bukit Siluman 128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
SATU BULAN seperempat bergerak pelan keluar
dari lintasan awan lalu menapak langit, membuat
hamparan bumi yang sedari tadi digenggam kege-
lapan pelan-pelan mulai agak terang, meski
hanya samar-samar.
Di sebuah ruangan yang hanya diterangi
nyala sebuah obor kecil terlihat dua orang sedang duduk berdampingan di atas
sebuah dipan kayu
besar beralas jemari tebal. Mulut kedua orang ini sama-sama terkancing, tak ada
yang buka suara.
Keduanya hanya saling pandang satu sama lain.
Tiba-tiba orang di sebelah kanan melaku-
kan gerakan dengan palingkan wajahnya sedikit
ke samping. Pandangannya berpindah ke arah
sebuah jendela kayu. Dia lantas bangkit dan me-
langkah perlahan menuju jendela. Sepasang tan-
gannya yang kokoh bergerak. Di kejap lain, jende-
la itu terpentang. Sepasang mata orang ini untuk
beberapa lama memandangi bulan seperempat
yang naik ke bentangan langit. Dia menghela na-
pas dalam. Lalu menutup kembali jendela dan
putar tubuhnya. Sepasang matanya yang tajam
kembali memandang ke arah orang yang masih
duduk di atas dipan kayu.
Yang memiliki mata tajam dan tangan ko-
koh ini adalah seorang laki-laki berumur dua pu-
luh tujuh tahun. Paras wajahnya tampan namun
keras. Dagunya kokoh dengan kumis lebat. Ram-
butnya panjang yang dibiarkan tergerai lepas me-
nutupi tengkuk dan sebagian bahunya. Dia men-
genakan pakaian hitam-hitam.
Sedangkan orang yang duduk di atas dipan
adalah seorang perempuan muda berwajah cantik
jelita. Dia mengenakan pakaian tipis ketat warna
putih. Rambutnya panjang dan diikat ke bela-
kang. Sepasang matanya tajam dan berbinar. Da-
danya kencang menantang, pinggulnya besar
menggairahkan. "Hm.... Melihat bentuk bulan, kira-kira
masih sembilan hari lagi malam pertemuan itu
akan berlangsung. Jahanam betul! Rasanya aku
sudah tak sabar!" Tiba-tiba si pemuda memaki sendiri dalam hati. Dagunya sedikit
terangkat dengan mulut terkancing, pertanda menahan rasa
marah. Pada saat bersamaan, si gadis palingkan
wajah. Melihat perubahan pada air muka si pe-
muda, gadis berwajah cantik ini sunggingkan se-
nyum. Lalu melangkah ke arah si pemuda dengan
dada di busungkan.
"Saat pertemuan itu sudah dekat. Bersa-
barlah sedikit!" kata si gadis seraya pentangkan kedua tangannya lalu ditakupkan
di tengkuk si pemuda. Perlahan-lahan si gadis menarik kedua
tangannya hingga kepala si pemuda tertarik ke
depan, mendekati wajahnya yang sepasang ma-
tanya telah dipejamkan dengan bibir setengah
membuka. Mula-mula si pemuda diam saja, namun
sejengkal lagi wajahnya bertemu dengan wajah
cantik di hadapannya, si pemuda tahan gerakan
kepalanya. Sepasang matanya memandang tajam
tanpa keluarkan sepatah kata, membuat si gadis
buka matanya. Dia tertegun sejenak. Belum sam-
pai mulutnya terbuka mengucapkan sesuatu, si
pemuda telah angkat kedua tangannya, mencekal
bahu gadis di hadapannya dan berkata datar.
"Nilam Sari.... Pikiranku sedang kacau-
balau. Tahan dulu gejolakmu!"
Ucapan si pemuda sesaat membuat rona
wajah si gadis merah padam. Namun sesaat ke-
mudian bibirnya sunggingkan senyum. Seolah tak
menghiraukan ucapan si pemuda, dia angkat tu-
mitnya lalu wajahnya disorongkan ke depan, bi-
birnya segera melumat bibir si pemuda. Si pemu-
da diam saja, namun ketika si gadis yang dipang-
gil Nilam Sari lepaskan kedua tangannya dan me-
nelusup ke balik pakaiannya, si pemuda dadanya
bergetar, perlahan-lahan pula bibirnya membalas
lumatan. Kedua tangannya bergerak turun ke
pinggul si gadis.
Merasa mendapat balasan, Nilam Sari mu-
lai membuka kancing pakaian si pemuda dengan
tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya
membuka satu persatu kancing pakaiannya sen-
diri. Si pemuda darahnya menggelegak tatkala
dadanya merasakan dua payudara besar dan
hangat menempel ke dadanya.
Nilam Sari angkat kedua tangannya ke ba-
hu, lalu sekali sentak pakaian yang dikenakannya
jatuh, membuat dirinya kini polos. Namun sebe-
lum pakaian itu jatuh, si pemuda telah pula ang-
kat kedua tangannya, pakaian si gadis ditang-
kapnya lalu dikenakan kembali. Bersamaan den-
gan itu, kepalanya ditarik ke belakang, membuat
Nilam Sari bukan hanya terperangah tapi juga
memberengut dengan dada turun naik. Sepasang
mata gadis itu memandang tajam, namun dia bu-
ru-buru mengalihkan pandangannya tatkala dili-
hatnya sang pemuda juga memandang ke arah-
nya dengan tatapan aneh.
"Nilam Sari.... Untuk sementara urusan
senang-senang kita tunda dahulu. Masalah per-
temuan ini benar-benar penting. Sekali perte-
muan ini gagal, gagal pula cita-citaku!"
"Kau nampaknya masih khawatir dengan
rencana yang telah kita buat...," kata Nilam Sari sambil menggenggam tangan si
pemuda. Gadis ini
tak berusaha mengancingkan kembali pakaian-
nya, hingga dadanya yang kencang masih terpen-
tang. Namun entah karena terpancing dengan
masalah yang akan dihadapi, dada putih kencang
itu kali ini tak membuat si pemuda tertarik.
"Kegagalan adalah hal yang paling kuta-
kutkan! Dan aku tak mau hal itu terjadi!"
"Rencana telah kita atur, malah kita telah
atur rencana susulan jika rencana pertama gagal.
Apalagi yang perlu dikhawatirkan?" Nilam Sari coba menenangkan si pemuda.
"Aku tahu. Namun aku baru benar-benar
tenteram jika rencana ini berjalan baik dan ber-
hasil!" "Keyakinan adalah modal utama. Kalau kau masih gelisah sebelum semuanya
berlangsung, berarti kau mundur sebelum perang! Cita-
citamu hanya akan jadi impian!"
"Cita-citaku! Bukan, Nilam Sari. Ini cita-
cita kita bertiga!"
Nilam Sari tersenyum. Genggaman tangan-
nya makin dipererat. Kepalanya menggeleng per-
lahan. "Tidak. Sejak malam ini aku tak ingin lagi lembaran kulit itu! Aku hanya
akan membantumu mendapatkannya. Dan aku senang jika kau
berhasil!"
Si pemuda tersentak. "Kau tak mengingin-
kan lembaran kulit itu"!"
Nilam Sari gelengkan kepalanya. "Dulu ya.
Tapi sekarang tidak! Yang kuinginkan sekarang
adalah dirimu berada di sampingku selamanya,
karena...,"
Nilam Sari tak meneruskan ucapannya ka-
rena bersamaan dengan itu si pemuda lepaskan
tangannya dari genggaman Nilam Sari, lalu me-
rengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Sungguh aku bahagia sekali mendengar-
nya, Nilam Sari.... Kau tak perlu cemas. Hanya
kaulah kelak yang patut mendampingiku...." Habis berkata begitu, si pemuda
melumat bibir Ni-
lam Sari. Nilam Sari menggeliat seraya mendesah
panjang tatkala kedua tangan si pemuda mulai
masuk ke balik pakaiannya.
"Apakah aku harus mengatakannya seka-
rang jika aku...," Nilam Sari tak meneruskan kata hatinya, sebab kedua tangan si
pemuda telah tarik lepas pakaiannya dan dirinya diangkat serta
dibawa ke atas dipan
Gadis berparas cantik itu duduk bersila di
mulut gua yang nyaris tak kelihatan karena tertu-
tup kerapatan semak belukar di sekitarnya. Ke-
dua tangannya dirangkapkan di depan dada se-
mentara kedua matanya terpejam rapat. Rambut-
nya yang panjang tergerai dibiarkan menutupi se-
bagian wajahnya. Melihat sikapnya, gadis berpa-
kaian ungu ini sedang memusatkan mata hatinya.
Namun agaknya gadis ini tak berhasil. Karena se-
saat kemudian helaan napasnya berhembus pan-
jang dengan kepala digoyang-goyang. Pada saat
bersamaan matanya membuka, mulutnya per-
dengarkan gumaman tak jelas.
"Menurut perjanjian, seharusnya tadi ma-
lam dia sudah datang. Apa yang membuatnya tak
menepati janji" Belum berhasil bertemu dengan
Nilam Sari..." Atau...." Si gadis menarik nafas dalam. "Kenapa aku berpikir
sejauh itu..." Tapi seandainya dia macam-macam, tak kubiarkan dia
hidup! Segala milikku telah kuserahkan padanya.
Lebih dari itu, kini aku telah...," bisikan hati si gadis terputus tatkala
telinganya menangkap suara semak belukar diterabas.
Si gadis tidak menunggu lama. Karena se-
saat kemudian, semak belukar di sekitar mulut
gua di mana dia berada menguak, lalu muncullah
seseorang! Dia adalah seorang lelaki bertubuh tegap.
Mengenakan pakaian hitam-hitam. Parasnya
tampan tapi keras. Kumisnya lebat dengan dagu
kukuh. Rambutnya panjang dengan sepasang ma-
ta tajam. "Braja Musti...," gumam si gadis dengan memandang tak berkedip pada pemuda yang
kini tegak memandangnya. Kegelisahan mendadak le-
nyap dari sikapnya meski wajahnya masih me-
nyimpan gurat kecewa.
"Sekar Arum.... Harap kau maafkan keter-
lambatanku. Nilam Sari...."
"Kenapa dengan dia"!" si gadis yang di-
panggil Sekar Arum cepat menukas sebelum si
pemuda meneruskan ucapannya. Wajahnya tam-
pak tegang. "Baru tadi malam aku bertemu dengan-
nya...." Sekar Arum menghela napas panjang. Si pemuda bernama Braja Musti itu
melangkah mendekat. Sepasang matanya memandang tajam
pada Sekar Arum dari atas hingga bawah.
"Apa rencana itu tetap"!" Sekar Arum ajukan tanya begitu Braja Musti berhenti
dua lang- kah di depannya.
Braja Musti mengangguk. "Kau siap bu-
kan"!" Sekar Arum tersenyum. "Demi kau, apa pun akan kulakukan! Walau nyawaku
sebagai ta-ruhan!" Ucapan Sekar Arum menyentuh hati Bra-ja Musti, hingga pemuda
ini bungkukkan tubuh.
Kedua tangannya meraih bahu sang gadis lalu
menariknya ke atas hingga Sekar Arum bergerak
bangkit. Sejenak kedua orang ini saling berpandan-
gan. Lalu Braja Musti menarik tubuh sang gadis
dalam pelukannya. Untuk beberapa lamanya ke-
duanya tenggelam dalam peluk cium.
"Sampai kapan hubungan kita ini berjalan
begini"!" Sekar Arum berkata seraya rebahkan kepalanya di dada Braja Musti.
"Bersabarlah. Jika rencana kita berjalan
tanpa halangan dan lembaran kulit itu telah men-
jadi milik kita, hubungan kita tak perlu lagi sembunyi-sembunyi!"
Sekar Arum menarik napas dalam-dalam.
"Sebenarnya kita tak perlu menyembunyikan masalah hubungan kita. Paling tidak di
hadapan Ni- lam Sari...."
Braja Musti berdebar. Pandangannya me-
natap jauh. "Kau salah, Sekar Arum. Justru kita harus
menyembunyikan hubungan kita di hadapannya.
Kita menjaga agar tak ada keretakan di antara ki-
ta bertiga, setidak-tidaknya sebelum pertemuan
itu berlangsung."
Sekar Arum tarik kepalanya dari dada Bra-
ja Musti. Sepasang matanya menatap lekat-lekat
wajah pemuda di depannya. "Nada bicaramu
mengisyaratkan kau menyimpan sesuatu. Ada


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa antara kau dan Nilam Sari"!"
Braja Musti menggeleng. "Kau jangan men-
duga yang tidak-tidak. Aku bilang kita hanya
menjaga agar tak terjadi keretakan. Purnama de-
pan, kita bertiga akan menghadap guru. Jika di
antara kita terjadi keretakan, dan guru mencium-
nya, gagallah rencana kita! Aku tak mau gagal!
Kau dengar itu?" Sekar Arum tak menyahut. "Aku khawatir Nilam Sari tak senang
dengan hubungan
kita ini. Namun jika lembaran kulit itu telah ber-
hasil kita raih, kita tak perlu lagi menghiraukan perasaannya. Dengar, Sekar
Arum. Kita masih
butuh tenaga Nilam Sari!" ujar Braja Musti melanjutkan kata-katanya. "Paling
tidak sebelum lembaran kulit itu berhasil kita rebut! Bersabarlah. Purnama tidak
lama lagi...."
"Apakah Nilam Sari tak berubah pendi-
rian"!" "Hingga tadi malam, rencana tak ada perubahan. Maka dari itu, kita harus
menjaga pera- saannya. Percayalah! Hanya kau satu-satunya
yang kelak mendampingiku...!"
Mendengar ucapan Braja Musti, Sekar
Arum rebahkan kepalanya kembali ke dada bi-
dang si pemuda. Perasaan cemburu yang mengge-
layut di dadanya lenyap.
"Aku gembira. Dan kau tentu akan lebih
senang Jika mendengar sesuatu dariku...."
Kening Braja Musti mengernyit. Dengan
memandang ke arah semak belukar lebat di seki-
tar mulut gua, pemuda ini bergumam.
"Tak ada kegembiraan selain berdekatan
denganmu dan memperoleh lembaran kulit itu!"
Sekar Arum menggoyang-goyangkan kepa-
lanya membuat Braja Musti sedikit terkejut. "Sekarang, ada sesuatu yang melebihi
dari itu, Braja Musti!" "Katakanlah, apa sesuatu itu"!"
"Tunggulah hingga pertemuan itu usai...,"
jawab Sekar Arum dengan makin rapatkan tu-
buhnya, membuat tubuh Braja Musti dialiri hawa
panas dan dada berdebar.
"Heran. Apa gerangan yang disembunyi-
kannya" Apakah dia mencium hubunganku den-
gan Nilam Sari" Lalu akan membuka setelah per-
temuan malam purnama depan" Ah, tak mung-
kin. Seorang perempuan tak mungkin bisa me-
mendam bara begitu lama. Lantas apa"!"
Selagi Braja Musti menduga-duga sendiri
dalam hati, Sekar Arum mendesah panjang. "Kau terdiam. Pasti kau mencari
jawaban. Bersabarlah!
Kelak jawaban itu akan kau peroleh. Yang pasti
sesuatu itu akan menambah erat hubungan ki-
ta...." Braja Musti menghela napas lega. Kalau sesuatu itu mempererat hubungan,
berarti tak ada sangkut pautnya dengan Nilam Sari. Namun
kelegaan si pemuda hanya sesaat.
"Aku sudah lama menjalin hubungan. Se-
suatu yang mempererat hubungan.... Sesuatu
yang mempererat hubungan adalah.... Hah" Apa-
kah dia...." Tubuh Braja Musti bergetar. Ditarik-nya bahu Sekar Arum menjauh
dari dadanya. "Sekar Arum. Katakan apakah kau..."!"
Sekar Arum tersenyum. Kepalanya mengge-
leng pelan. "Saatnya akan tiba untuk mengatakan semua itu. Kekasih.... Sudah
semalaman aku me-nunggumu. Aku merindukan dirimu. Bawalah
aku terbang seperti malam-malam yang lalu...."
Habis berkata begitu, Sekar Arum pejam-
kan sepasang matanya. Kedua tangannya berge-
rak menarik kepala si pemuda mendekat wajah-
nya. Bibir mereka bertemu. Sekar Arum lalu men-
gambil kedua tangan Braja Musti dan ditaruh di
dadanya. DUA MESKI saat itu malam telah jauh merang-
kak namun Sungai Siluman tampak berkilat-kilat.
Riak air memancarkan sinar putih berkilau terke-
na cahaya sang rembulan purnama yang bergerak
leluasa tanpa terhalang awan. Dalam keadaan se-
perti itu sebuah sampan kecil terlihat meluncur
deras membelah permukaan air.
Di bagian depan sampan, tegak seorang
pemuda bertubuh tegap mengenakan pakaian hi-
tam-hitam. Rambutnya panjang berkibar-kibar di-
tiup angin sungai. Kedua tangan pemuda ini me-
megang dua batang bambu yang terus menerus
ditusukkan ke dalam air sungai. Sementara di se-
belah kanan dan kiri sampan duduk dua orang
gadis. Sebelah kanan adalah gadis berwajah can-
tik mengenakan pakaian warna putih tipis ketat.
Dadanya kencang dengan mata tajam berbinar,
rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Tan-
gan kanannya memegang batang bambu yang se-
kali-kali dihujamkan ke dalam air sungai di ba-
wahnya. Sedangkan yang di sebelah kiri adalah
gadis berparas cantik mengenakan pakaian warna
ungu. Rambutnya yang panjang dibiarkan berge-
rai hingga melambai-lambai ditiup angin sungai.
Tangan kirinya juga memegang sebatang bambu
yang ditusuk-tusukkan ke dalam air sungai di
sampingnya. Meski batang-batang bambu yang diguna-
kan sebagai dayung oleh ketiga orang ini hanya
sebesar dua kali ibu jari, namun karena gerakan
mereka dengan kerahkan tenaga dalam, maka tak
heran jika begitu ketiganya sama-sama menghu-
jamkan batang bambu di tangan masing-masing
ke dalam air sungai, sampan itu meluncur den-
gan derasnya! "Kita sudah dekat...!" Tiba-tiba sang pemuda keluarkan suara memecah suara
gelombang air tanpa berpaling ke arah dua gadis cantik di
samping kiri dan kanan sampan. Sepasang mata
pemuda ini memperhatikan permukaan air sun-
gai. Air tak lagi berwarna jernih, melainkan merah seperti darah! Anehnya,
bersamaan dengan ber-gantinya warna air, berhembus bau harum.
Dua gadis tak ada yang menyahut. Seba-
liknya kedua gadis ini ikut-ikutan arahkan pan-
dangan masing-masing ke arah air sungai. Seje-
nak kemudian kedua gadis ini sama-sama paling-
kan wajah ke kanan kiri, hingga keduanya saling
berpandangan. Keduanya lantas sama-sama
sunggingkan senyum meski ketegangan tak bisa
lenyap dari wajah kedua gadis ini.
"Nilam Sari, Sekar Arum.... Kalian siap..."!"
si pemuda kembali membuka suara masih tanpa
palingkan wajahnya ke belakang.
Kembali tak ada sahutan dari pertanyaan
si pemuda, membuat pemuda ini putar tubuhnya
lalu memandang ke samping kanan kiri.
"Pertanyaanmu tidak perlu dijawab, Braja
Musti. Perjalanan ini cukup menjelaskan semua-
nya! Bukankah begitu, Sekar Arum"!" kata gadis berpakaian putih yang bukan lain
adalah Nilam Sari adanya seraya berpaling pada gadis di sebe-
lah kirinya yang tidak lain adalah Sekar Arum.
Sekar Arum menjawab dengan anggukan
kepala. "Semua rencana tetap, Braja Musti...."
Sang pemuda yang adalah Braja Musti
adanya tersenyum menutupi kegelisahan serta
ketegangan. Lalu tanpa berkata lagi, dia balikkan tubuh dan hujamkan kembali
bambu di kedua tangannya. Nilam Sari dan Sekar Arum tak ting-
gal diam. Keduanya pun segera pula menusukkan
batang bambu di tangan masing-masing ke dalam
air sungai, hingga sampan itu kembali meluncur,
tidak lagi ke depan, melainkan ke sebelah kanan.
Sampan itu bergerak menepi.
Braja Musti segera berkelebat, disusul ke-
mudian oleh Nilam Sari dan Sekar Arum sebelum
sampan itu merapat ke pinggir sungai. "Hem....
Sepuluh tahun kutinggalkan, tempat ini hampir
tak mengalami perubahan. Akankah pertemuan
ini benar-benar akan membuahkan hasil"! Semo-
ga Nilam Sari dan Sekar Arum menjalankan tu-
gasnya dengan baik. Jika aku berhasil, hem....
Aku akan jadi raja diraja rimba persilatan!" Braja Musti membatin. Lalu
berpaling ke belakang dan
memberi isyarat pada Nilam Sari serta Sekar
Arum untuk mengikutinya.
Ketiga orang ini terus berkelebat. Medan
yang mereka tempuh menanjak, karena tempat di
mana sampan itu mendarat, berupa bukit, tinggi
di bagian tengah. Sekitar sepuluh tombak, keti-
ganya berhenti. Mata masing-masing orang me-
mandang berkeliling. Yang tampak hanyalah gun-
dukan-gundukan tanah dan pohon-pohon gundul
di sana-sini. Pohon-pohon yang tak mempunyai
daun sehelai pun! Tak tampak adanya tanda-
tanda kehidupan sama sekali!
"Braja Musti. Apalagi yang kita tunggu"!"
Nilam Sari berbisik mengejutkan si pemuda,
membuat wajahnya makin tegang. Pemuda ini
lantas melangkah ke sebelah kanan, diikuti oleh
dua gadis di belakangnya. Sampai pada sebuah
gundukan agak besar, ketiganya hentikan lang-
kah. Di situ tampak sebuah lobang menganga
menyerupai mulut gua.
Braja Musti memandang pada Nilam Sari
dan Sekar Arum. Kedua gadis ini mengangguk.
Belum sampai keduanya benar-benar mengang-
guk, Braja Musti telah melangkah memasuki lo-
bang yang kemudian diikuti oleh Nilam Sari dan
Sekar Arum. Lobang itu ternyata sebuah terowongan
panjang. Namun ketiga orang ini melangkah den-
gan tenang meski wajah mereka tetap tegang.
Langkah-langkah mereka menunjukkan bahwa
tempat ini sudah tak asing lagi bagi ketiganya.
Sampai ujung terowongan, mereka sejenak
hentikan langkah. Di hadapan mereka kini tam-
pak hamparan tanah membentuk lingkaran sebe-
sar dua puluh tombak berkeliling. Di sebelah de-
pan sana, terlihat beberapa lobang terowongan.
Ada keanehan di hamparan tanah gersang yang
menghubungkan antara terowongan pertama
dengan beberapa terowongan di depan sana. Di
hamparan tanah itu pada beberapa tempat tam-
pak beberapa batu bertulisan angka satu sampai
dua puluh delapan.
Kalau dilihat sepintas, tak ada yang aneh
pada hamparan tanah gersang yang ditonjoli ba-
tu-batu bertulisan angka itu. Namun sebenarnya,
hamparan tanah itu adalah lumpur hidup yang
tertutup lapisan tanah tipis! Hal itu terbukti ketika Braja Musti mengambil
sebuah kerikil dan di-
lemparkan, hamparan tanah bergoyang. Kerikil
itu pun tenggelam!
Namun melihat hal ini, ketiga orang yang
ada di mulut terowongan pertama tak menam-
pakkan rasa terkejut. Sebaliknya Braja Musti se-
gera melangkah ke hamparan tanah dengan men-
jejak pada tonjolan batu berangka tiga. Dari tem-
patnya berdiri, Braja Musti lantas bergerak me-
lompat ke tonjolan batu berangka enam. Dia lan-
tas putar tubuhnya menghadap pada Nilam Sari
dan Sekar Arum yang masih tegak di mulut tero-
wongan. "Kalian masih ingat bukan mana yang ha-
rus dibuat batu loncatan"!" serunya dengan suara sedikit ditahan. Namun gema
suaranya bergaung
keras! Memantul ke setiap lobang terowongan
yang ada di situ.
Dua gadis yang diteriaki tidak ada yang
menyahut. Malah Nilam Sari cepat melompat ke
arah tonjolan batu berangka tiga. Lalu berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di
atas tonjolan batu
berangka sembilan. Begitu Nilam Sari berkelebat,
Sekar Arum melompat ke tonjolan batu berangka
tiga. Melihat hal ini, Braja Musti segera putar
kembali tubuhnya. Nilam Sari ternyata telah ber-
pindah lagi. Kini gadis berpakaian putih tipis ini telah tegak di atas tonjolan
batu berangka lima
belas. Sementara Sekar Arum telah berada di ton-
jolan batu angka dua belas.
Ketiga orang ini tampak berkelebat dari
tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya. Dan seke-
jap kemudian, ketiganya telah berada di depan
beberapa terowongan.
Braja Musti melangkah maju tiga tindak ke
depan terowongan paling tengah. Dia berpaling
sejenak pada dua gadis di belakangnya. Lalu
mengangguk dan berkelebat. Bukan masuk ke da-
lam terowongan, melainkan berkelebat ke atas! Di
mana terdapat lamping batu lurus ke atas yang
tingginya kira-kira sepuluh tombak yang meng-
hubungkan bagian atas terowongan-terowongan
dengan langit-langit tempat itu.
Begitu di atas udara, tangan kanannya
bergerak mendorong batu. Begitu tangannya dita-
rik kembali, batu yang terdorong tangan membu-
ka! Dari dalam batu yang membuka membersit
seberkas cahaya kuning kemerahan.
Pada saat batu membuka, Braja Musti ce-


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat berkelebat masuk lalu lenyap dari pandangan.
Nilam Sari jejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke
udara lalu masuk ke batu yang membuka. Ber-
samaan masuknya Nilam Sari, Sekar Arum segera
menyusul berkelebat lalu lenyap masuk ke batu
yang membuka. Begitu ketiganya masuk, batu
yang tadi membuka itu menutup kembali tanpa
keluarkan suara!
Ternyata di balik batu itu terdapat tangga
menurun dari batu-batu kerikil. Tangga menurun
itu menghubungkan dengan sebuah terowongan
agak besar yang di tengah-tengahnya terdapat se-
buah cermin besar yang diikat dan digantungkan
di bawah sebuah lobang. Dari lobang di atas cer-
min membersit cahaya kuning kemerahan. Na-
mun memancarkan sinar panas. Cahaya dari lo-
bang itu lantas dipantulkan cermin ke sekitar
tempat itu, hingga terowongan agak besar itu se-
dikit terang. Begitu Braja Musti, Nilam Sari, serta Sekar
Arum sampai pada terowongan agak besar yang
diterangi pantulan cahaya dari cermin, ketiganya
berhenti. Ketegangan terlihat pada wajah ketiganya.
Hingga dahi dan leher mereka tampak basah oleh
keringat dingin. Namun mungkin karena malam
ini adalah malam yang dijanjikan untuk perte-
muan, meski dengan tegang akhirnya ketiga
orang ini melangkah menelusuri terowongan.
Anehnya, kali ini Braja Musti melangkah dengan
menghitung setiap langkahan kakinya. Sementara
dua gadis di belakangnya hanya mengikuti.
Sampai pada hitungan langkah ke dua pu-
luh satu, Braja Musti hentikan langkah. Lalu pu-
tar tubuh setengah lingkaran menghadap batu
bagian samping terowongan. Setelah menarik na-
pas panjang dan dalam, dia melangkah maju lima
tindak. Kedua tangannya bergerak mendorong ba-
tu samping terowongan. Seolah sulit dipercaya,
batu bagian samping terowongan itu bergerak
membuka! Sebesar pintu rumah biasa.
Tanpa menunggu lama lagi, Nilam Sari dan
Sekar Arum cepat mengikuti Braja Musti yang te-
lah masuk. Begitu mereka masuk, batu yang
membentuk pintu itu menutup kembali dengan
keluarkan suara berdebam dahsyat! Tempat di
mana ketiga orang itu kini berada bergetar keras.
Malah ketiganya hampir saja terjerembab jika ti-
dak segera kerahkan tenaga dalam masing-
masing untuk mengatasi huyungan tubuhnya.
Mereka bertiga kini berada pada sebuah
ruangan besar yang di pojoknya terlihat nyala se-
buah obor yang ditancapkan begitu saja pada
dinding yang terbuat dari batu. Hingga ruangan
besar itu tampak terang. Pada bagian depan
ruangan yang menghadap ke pintu batu, hampir
bersebelahan dengan dinding, tampak sebuah
tonjolan batu rata sebesar dua tombak berkelil-
ing. Ketiga orang ini melangkah pelan-pelan ke
arah tonjolan batu rata. Sepuluh langkah lagi
sampai, ketiganya berhenti lalu masing-masing
orang ini lorotkan tubuhnya dan duduk bersila.
Braja Musti berada paling kanan, Nilam Sari be-
rada di tengah, sedangkan Sekar Arum berada
paling kiri. Untuk beberapa lama ketiga orang ini diam
tak bergerak dan tak ada yang buka suara. Mata
mereka masing-masing terpentang lebar tak ber-
kedip memandang ke tonjolan batu rata di hada-
pannya. Keringat telah membasahi sekujur tubuh
mereka dari kepala hingga kaki. Padahal ruangan
itu sangat lembab, pertanda jika mereka dilanda
rasa tegang yang amat sangat.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Braja Mus-
ti lirikkan matanya ke samping. Mulutnya yang
telah membuka hendak mengucapkan sesuatu
terkancing lagi ketika lirikan matanya menangkap
Nilam Sari diam tak bergerak dengan mata nya-
lang tak berkedip memandang ke arah tonjolan
batu rata. "Jahanam! Akankah pertemuan ini tak
membawa hasil" Atau barangkali aku salah
menghitung hari"! Tidak. Aku masih ingat pesan
Guru. Pertemuan akan berlangsung sepuluh ta-
hun kemudian pada purnama bulan terakhir. Ta-
pi kenapa dia tak muncul"! Lupakah dia dengan
ucapannya" Atau...." Braja Musti tidak mene-
ruskan membatin, karena bersamaan dengan itu
terdengar suara berderit yang memekakkan telin-
ga. Kepala mereka segera berpaling ke arah da-
tangnya suara berderit. Mereka melihat salah sa-
tu dinding ruangan itu menguak lubang sebesar
pintu. Dari dalamnya mengepul asap putih, lalu
melesat sebuah bayangan. Demikian cepatnya
daya lesat bayangan itu, hingga mereka tak dapat
memastikan apa yang baru saja melesat keluar.
Selagi ketiga orang ini terpaku, telinga me-
reka mendengar suara batuk-batuk kecil bebera-
pa kali. Serentak ketiganya berpaling kembali.
Masing-masing orang terperangah dengan mulut
terbuka tatkala mereka melihat seseorang telah
duduk bersila di atas tonjolan batu rata di hada-
pan mereka! "Eyang Pandanaran!"
Setelah dapat mengatasi rasa terkejut,
masing-masing orang serentak keluarkan suara
hampir bersamaan. Lalu ketiganya membungkuk
dalam-dalam. Orang yang duduk di atas tonjolan batu ra-
ta dan dipanggil dengan Eyang Pandanaran ada-
lah seorang laki-laki berusia sangat lanjut. Men-
genakan jubah warna putih. Rambutnya sedikit
dan berwarna putih. Kumis dan jenggotnya yang
juga putih, panjang menjulai ke bawah. Sebagian
besar wajahnya yang terlihat, hampir-hampir tak
berdaging! TIGA BRAJA Musti, Nilam Sari, Sekar Arum.
Rentang waktu sepuluh tahun bukanlah masa
yang pendek. Murid-muridku, apakah kalian
baik-baik saja selama sepuluh tahun hidup di
tengah keramaian"!" Eyang Pandanaran buka ke-heningan yang melingkupi ruangan
itu. Ketiga orang di hadapan Eyang Pandana-
ran sama-sama angkat kepala. Memandang lekat-
lekat pada orang tua yang duduk bersila di hada-
pannya. Ketegangan tak dapat disembunyikan da-
ri wajah mereka walaupun Eyang Pandanaran ter-
lihat tersenyum meski samar-samar.
"Guru...," akhirnya Braja Musti buka mulut. "Keadaan kami bertiga baik-baik
saja...," suara Braja Musti terdengar serak parau dan sedikit
bergetar, membuat Eyang Pandanaran kernyitkan
dahi. "Hem.... Bagus. Itulah yang memang selalu kuharapkan. Seperti ucapanku
pada sepuluh tahun lalu, malam ini adalah malam kalian menge-
tahui apakah ada di antara kalian yang digurat
untuk memiliki apa yang selama ini dipercayakan
padaku untuk menjaga dan merawatnya! Namun
sekali lagi kalian harus ingat, apa pun yang akan kalian dengar terimalah
sebagai kenyataan!"
"Guru.... Apakah ucapanmu melambang-
kan di antara kami tidak ada yang ditakdirkan
memiliki lembaran kulit itu"!" kembali Braja Musti yang keluarkan suara.
Eyang Pandanaran sipitkan sepasang ma-
tanya. Orang tua ini sedikit terkejut mendengar
pertanyaan murid laki-lakinya itu.
"Hem.... Ternyata kau telah tahu apa yang
selama ini dipercayakan padaku untuk menyim-
pan, menjaga sekaligus merawatnya. Braja Musti,
dari mana kau tahu bahwa yang kusimpan sela-
ma ini adalah sebuah lembaran kulit"!"
"Terbukti kebenaran berita yang tersebar di
rimba persilatan. Lembaran kulit hebat bernama
Lembaran Kulit Naga Pertala itu ada di tangan-
nya! Hem.... Tinggal selangkah lagi. Kini giliran Nilam Sari dan Sekar Arum yang
harus bertindak!
Mudah-mudahan berjalan sesuai rencana...." Di-am-diam Braja Musti membatin. Lalu
memandang pada gurunya dan berkata.
"Guru.... Kalangan rimba persilatan akhir-
akhir ini diguncang dengan berita tentang Lemba-
ran Kulit Naga Pertala. Dan menurut kabar yang
berhasil kusirap dari orang yang terpercaya, lem-
baran kulit itu disimpan seseorang yang bermu-
kim di Bukit Siluman! Sebenarnya aku belum
percaya dengan kabar berita itu. Aku tadi berkata seraya menduga-duga. Ternyata
menuruti kata-katamu, sedikit banyak aku mulai percaya kabar
itu...." Eyang Pandanaran mengangguk-angguk.
Diam-diam pula dalam hati orang tua ini berkata.
"Meski kalangan rimba persilatan telah tahu, namun bukan hal mudah untuk
mendapatkannya.
Untuk mencapai tempat ini diperlukan tenaga
dan pikiran jeli. Jika tidak, nyawa mereka akan
melayang! Tempat ini telah kupersiapkan berta-
hun-tahun demi menjaga agar lembaran kulit ini
tak jatuh ke tangan orang yang tidak diharapkan!
Aku percaya, murid-muridku tidak akan membu-
ka rahasia jalan ke ruangan ini!"
"Braja Musti, Nilam Sari dan kau Sekar
Arum. Kurasa kalian telah mendapat kabar yang
benar. Terus terang saja, apa yang selama ini ku-
simpan memang adalah sebuah lembaran kulit
bernama Lembaran Kulit Naga Pertala...," kata Eyang Pandanaran sambil memandang
satu persatu pada muridnya.
Ketegangan terlihat lebih terbayang di wa-
jah ketiga murid Eyang Pandanaran daripada pe-
rasaan terkejut mendengar kata-kata gurunya itu.
"Tapi seperti kataku tadi, apa yang akan
kalian dengar terimalah sebagai kenyataan!" sam-bung sang guru. "Murid-muridku.
Sebagai guru, aku sebenarnya menghendaki salah satu di antara kalian ada yang
mewarisi lembaran kulit itu.
Tapi kehendak manusia ada di bawah kehendak
sang Pencipta. Lebih dari itu, takdir ketetapan
sang Pencipta tidak bisa dirubah dengan apa pun
juga! Meresapi kenyataan itu, kuharap kalian ber-
lapang dada jika di antara kalian memang tidak
ada yang ditetapkan untuk mewarisi lembaran
kulit itu!"
Mendengar keterangan Eyang Pandanaran,
ketegangan makin menyelimuti murid-muridnya.
Hingga untuk beberapa lama, tak ada satu pun
yang bicara. "Murid-muridku. Aku tahu, kalian kecewa
karena sepuluh tahun menanti dan tak menda-
patkan apa-apa dari masa penantian itu. Tapi aku
akan menyesal dan kecewa berlebih-lebih jika ha-
rus memaksakan diri untuk menyerahkan sesua-
tu bukan pada orangnya! Harap kalian menger-
ti...." "Jika demikian halnya, kami akan menerima dengan hati lapang, Guru...!"
ucap Braja Musti seraya bungkukkan tubuh menjura dalam. Na-
mun diam-diam sambil menjura, pemuda ini li-
rikkan matanya ke arah Nilam Sari.
"Benar, Guru. Kalau lembaran kulit itu ti-
dak ditetapkan untuk kita, kami akan meneri-
manya sebagai kenyataan...," Nilam Sari me-
nyambung ucapan Braja Musti sambil ikut-ikutan
bungkukkan tubuh yang kemudian juga diikuti
oleh Sekar Arum.
Eyang Pandanaran menghela napas lega
sambil tersenyum melihat para muridnya dapat
menerima kenyataan yang didengarnya. Namun
senyum orang tua ini terputus seketika. Sepasang
matanya membeliak besar, dadanya bergetar ke-
ras. Betapa tidak" Begitu Nilam Sari dan Sekar
Arum angkat kembali kepalanya dan luruskan
tubuh, pakaian bagian atas kedua gadis ini telah
terbuka! Hingga dua pasang payudara kencang
membusung dan putih terpentang tanpa penutup
lagi! "Nilam Sari, Sekar Arum! Jangan berbuat macam-macam. Tutup kembali auratmu
itu!" bentak Eyang Pandanaran seraya alihkan pandan-
gannya pada jurusan lain. Sementara Braja Musti
seolah-olah masygul dengan tindakan kedua ga-
dis di sampingnya, namun dia tak keluarkan se-
patah kata. Bahkan menoleh pun tidak.
Mendengar bentakan gurunya, bukannya
membuat Nilam Sari dan Sekar Arum menutup
dadanya, malah dengan tersenyum kedua gadis
ini selonjorkan kaki masing-masing ke depan. Ke-
dua tangannya lalu melepas kancing-kancing ba-
gian bawah. Lalu perlahan-lahan kedua gadis ini
bergerak bangkit dengan pakaian bagian depan
terbuka! "Guru...," kata Nilam Sari seraya melangkah mendekat. "Bertahun-tahun hidup
menyendi- ri apakah tidak merindukan kenikmatan" Sebagai
imbalan atas ilmu yang kau berikan pada kami,
malam ini kami ingin guru menikmati apa yang
ada pada kami...."
"Berhenti!" Eyang Pandanaran kembali
membentak. "Tak pantas ucapan dan perbuatan


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kalian perlihatkan di hadapan guru kalian!
Sekali lagi tutup kembali tubuh kalian berdua
atau...." Eyang Pandanaran tak meneruskan uca-
pannya karena bersamaan dengan itu Nilam Sari
dan Sekar Arum telah meloncat ke samping kiri
kanan gurunya. Dan tanpa malu-malu lagi kedua
gadis ini segera menciumi gurunya dengan tangan
menekan pada tangan gurunya.
"Kurang ajar! Kalian telah gila!" teriak Eyang Pandanaran dengan suara bergetar
parau. Orang tua ini tampaknya mulai merasakan hawa
hangat merasuki sekujur tubuhnya. Pelan-pelan
pula dia mulai menikmati ciuman-ciuman yang
dilakukan oleh Nilam Sari dan Sekar Arum. Bah-
kan kedua tangannya yang tadi hendak digerak-
kan untuk menepis tubuh gadis di hadapannya
seolah lumpuh tak bisa digerakkan.
"Hem.... Aroma perangsang yang dipakai
oleh Nilam Sari dan Sekar Arum tampaknya telah
bekerja dengan baik. Orang tua itu mulai terang-
sang. Aku harus menepi dan tinggal tunggu saat
yang tepat!" Braja Musti mendesis dalam hati seraya melirik ke depan. Bibir
pemuda ini mengulas
senyum seringai tatkala melihat sebagian tubuh
kedua gadis itu hampir terbuka seluruhnya.
"Keparat! Seandainya tidak demi lembaran
kulit itu, tak akan kubiarkan tubuh bagus itu me-
rengek-rengek di depan mataku!" maki Braja
Musti lalu bangkit dan melangkah ke samping.
Meski sadar jika gelora nafsu telah mera-
suki jiwanya namun Eyang Pandanaran masih
mencoba menekannya dengan pejamkan sepa-
sang matanya. Namun tindakannya ini justru menambah
dirinya makin terangsang, hingga tatkala tangan
Nilam Sari dan Sekar Arum melepas jubahnya,
orang tua ini diam saja. Hal ini membuat kedua
gadis itu makin berani. Dan dengan keluarkan
desahan-desahan panjang kedua gadis ini mulai
membuka pakaian dalam yang melapis jubah pu-
tih gurunya. Saat jubah putih besar itu jatuh tercam-
pak, ekor mata Braja Musti yang sejak tadi terus
memperhatikan membeliak besar. Karena dicam-
pakkan dengan kasar, jubah itu menyingkap. Pa-
da bagian punggung jubah putih itu tampak se-
buah lipatan berbentuk segi empat yang dilapis
kain hingga benda itu tak tampak. Lipatan yang
tipis. Andaikata Braja Musti tak terlalu memper-
hatikan, tak akan mungkin dapat melihatnya.
"Hem.... Pasti itu lembaran kulit yang ku-
cari!" desis Braja Musti seraya tak berkedip memperhatikan. Merasa yakin, pemuda
ini lalu alih- kan pandangannya ke atas tonjolan batu rata. Ni-
lam Sari dan Sekar Arum tampak duduk di pang-
kuan kiri kanan Eyang Pandanaran dengan pa-
kaian tersingkap sebatas perut. Eyang Pandana-
ran sendiri tampak terengah-engah. Pakaian yang
dikenakannya pun sudah terbuka. Tinggal pa-
kaian bagian bawah.
Nilam Sari dan Sekar Arum perlahan-lahan
merebahkan tubuh gurunya dengan terus menci-
umi bagian tubuh orang tua itu. Saat tubuh
Eyang Pandanaran bergerak hendak telentang,
Braja Musti berkelebat menyambar jubah putih
yang tercampak. Dan tanpa berpaling lagi, pemu-
da ini putar tubuhnya lalu berkelebat menuju
pintu batu yang tertutup.
Saat itulah Eyang Pandanaran menangkap
kelebatan tubuh Braja Musti. Orang tua ini tiba-
tiba tersadar. Kedua tangannya cepat ditepiskan
ke samping kanan kiri hingga tubuh Nilam Sari
dan Sekar Arum terjengkang. Dia cepat bergerak
duduk, dan melihat Braja Musti telah berada di
belakang pintu yang masih tertutup dengan
membawa jubahnya, orang tua ini tersentak. Dia
baru benar-benar sadar apa yang ada di balik
perbuatan murid-muridnya.
"Laknat! Ternyata mulut kalian yang mau
menerima, tapi hati kalian tidak! Kalian mengin-
ginkan lembaran kulit itu!" teriak Eyang Pandanaran. Karena lembaran kulit itu
berada di jubah-
nya, mau tak mau orang tua ini harus segera me-
rebutnya dari tangan Braja Musti. Takut Braja
Musti segera kabur, orang tua ini angkat kedua
tangannya lalu dihantamkan ke depan.
Wuuttt! Wuttt! Gelombang angin dahsyat segera keluar
menyambar ke arah Braja Musti. Braja Musti ber-
paling lalu hantamkan kedua tangannya.
Ruangan itu segera berguncang keras keti-
ka dua pukulan itu bentrok. Braja Musti terpental ke belakang. Karena di
belakangnya adalah dinding batu, maka tak ampun lagi tubuh Braja Musti
mental menghantam dinding batu itu. Lalu berge-
debukan jatuh ke bawah. Paras pemuda ini beru-
bah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari su-
dut bibirnya. Namun pemuda ini tak menghirau-
kan. Dia cepat bangkit lalu mengenakan jubah
putih milik gurunya.
Di seberang, Eyang Pandanaran terdorong,
namun orang tua ini segera dapat kuasai tubuh.
Begitu melihat Braja Musti bangkit dan telah
mengenakan jubahnya, marah orang tua ini tidak
bisa ditahan lagi.
"Murid murtad! Mampus adalah bagian
yang layak untukmu!" serunya sambil kembali lepaskan pukulan.
Sebenarnya Braja Musti tak berniat mela-
deni gurunya. Dia sadar, ilmunya masih jauh di
bawah gurunya itu. Dia telah siap menghantam
dinding untuk segera meloloskan diri, namun se-
belum tangannya sempat menghantam, serangan
gurunya telah datang, hingga mau tak mau kedua
tangannya dihantamkan untuk menangkis.
Blaarrr! Untuk kedua kalinya ruangan itu bergetar
keras. Obor yang tertancap di dinding bergoyang-
goyang sebelum akhirnya jatuh dan padam,
membuat ruangan itu gelap.
Braja Musti merasakan tubuhnya terhan-
tam gelombang angin dahsyat hingga untuk kali
kedua tubuhnya mental. Begitu derasnya gelom-
bang, hingga dinding batu di belakangnya yang
terkena pentalan tubuhnya berderak ambrol dan
tubuhnya telentang di luar ruangan!
Eyang Pandanaran sendiri terseret dan ter-
sandar di dinding. Orang tua ini segera meneliti, merasa tak mengalami cedera
yang parah, dia cepat bangkit hendak mengejar. Namun langkahnya
tertahan tatkala menyadari tubuhnya hanya
mengenakan pakaian bawah saja.
Dengan mengumpat panjang pendek, orang
tua ini segera meraba-raba mencari pakaiannya.
Saat itulah dari arah samping kanan kiri berdesir angin keras.
"Laknat! Kalian berdua juga harus mam-
pus!" teriak Eyang Pandanaran tahu siapa gerangan yang lepaskan pukulan dari
arah samping- nya. Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tangan Eyang Pandanaran berkele-
bat menghantam ke arah samping kiri kanan
memapak pukulan yang datang yang ternyata di-
lepaskan oleh Nilam Sari dan Sekar Arum.
Terdengar letupan dua kali berturut-turut.
Disusul dengan seruan tertahan lalu terdengar
benturan di dinding sebelah kanan dan kiri.
Nilam Sari dan Sekar Arum yang tubuhnya
baru saja menghantam dinding ruangan pelo-
totkan mata masing-masing untuk mengetahui
keadaan tubuhnya, namun karena keadaan gelap,
keduanya tak dapat mengetahuinya. Mereka
hanya merasakan tubuhnya seakan remuk. Dada
mereka bergetar keras dan sakit. Cairan hangat
terasa meleleh dari mulutnya!
Kedua gadis ini cepat kerahkan tenaga da-
lam masing-masing. Lalu sepasang mata mereka
memandang ke depan. Mata mereka pelan-pelan
mulai terbiasa dengan gelap, dan samar-samar
mereka dapat menangkap sosok Eyang Pandana-
ran yang sedang bergerak-gerak mengenakan pa-
kaiannya. Kesempatan ini tak disia-siakan. Nilam
Sari yang berada di sebelah kiri cepat bangkit lalu melompat satu tombak ke
depan. Bersamaan
dengan itu kedua tangannya lepaskan pukulan.
Eyang Pandanaran merasakan gelombang
angin dahsyat menghantam dirinya. Sebelum ge-
lombang angin itu menyapu tubuhnya, orang tua
ini segera melompat ke samping dengan kedua
tangan dihantamkan.
Pada saat Eyang Pandanaran hantamkan
kedua tangannya ke sebelah kiri, Sekar Arum
yang berada di sebelah kanan lepaskan pukulan.
Ruangan itu kembali laksana dilanda gem-
pa ketika pukulan yang dilepas Nilam Sari berte-
mu dengan pukulan Eyang Pandanaran. Nilam
Sari mental menghantam dinding sebelum akhir-
nya jatuh telengkup di lantai ruangan. Eyang
Pandanaran hanya terjajar dua langkah ke bela-
kang. Namun baru saja terjajar, pukulan Sekar
Arum datang menggebrak!
Orang tua itu tersedak. Dia buru-buru ber-
gerak menghindar, namun pukulan Sekar Arum
lebih cepat datangnya, hingga tanpa ampun lagi
orang tua ini keluarkan pekikan tinggi sebelum
akhirnya mencelat menghantam dinding di bela-
kangnya. "Nilam! Lari!" teriak Sekar Arum seraya berkelebat ke dinding yang telah ambrol.
Mendengar teriakan saudara seperguruan-
nya, Nilam Sari bangun. Meski masih merasakan
sakit bukan alang kepalang, gadis ini cepat ke-
rahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Lalu dengan
menahan rasa sakit di sekujur tubuh dia berkele-
bat menyusul Sekar Arum yang telah menerobos
keluar. Braja Musti sendiri, ketika mengetahui Nilam Sari dan Sekar Arum
lancarkan serangan pa-
da Eyang Pandanaran tak sia-siakan kesempatan.
Ia sadar dirinya telah terluka cukup parah. Dia
harus selamatkan diri lebih-lebih selamatkan
lembaran kulit yang telah berada di tangannya.
Berpikir sampai di situ, pemuda ini tertatih-tatih bangkit lalu melangkah keluar
terowongan. Eyang Pandanaran memaki sendiri dalam
hati. Penyesalan dan kecewa atas tindakan mu-
rid-muridnya terbayang jelas dari wajahnya yang
pucat pasi seakan tak berdarah itu. Darah telah
mengalir dari mulutnya. Namun mengingat jubah
berisi lembaran kulit telah lepas dari tangannya, orang tua ini tidak
menghiraukan cedera tubuh
dalamnya. Dia segera bangkit lalu berkelebat
mengejar murid-muridnya.
Namun sampai di tengah-tengah ruangan,
kelebatannya tertahan. Dia merasakan hawa aneh
mendorong tubuhnya hingga meski dia kerahkan
tenaga dalam untuk melawan, tubuhnya tak bisa
bergerak! Orang tua ini kerutkan dahi dengan hati
menggerendeng marah. Saat itulah entah dari
mana datangnya, dia mendengar suara desiran
angin aneh menyerupai gemeretak ranting-ranting
yang berjatuhan. Belum sempat mengetahui apa
yang terjadi, sepuluh langkah di hadapannya
asap putih mengepul dengan keluarkan cahaya
berkilau hingga ruangan yang tadinya gelap sa-
mar-samar berubah agak terang.
Eyang Pandanaran tercekat dengan sepa-
sang mata membeliak besar. Memandang tak ber-
kesiap ke arah asap putih di hadapannya. Tiba-
tiba orang tua ini surutkan langkah dua tindak
dengan mulut menganga tatkala dari asap putih
itu sepasang matanya samar-samar menangkap
munculnya sesosok tubuh!
EMPAT MESKI hanya samar-samar terbalut asap
putih namun Eyang Pandanaran dapat dengan je-
las melihat sosok yang ada di balik asap putih itu.
Dia adalah seorang laki-laki berusia amat tua. Ini jelas tergambar dari
rambutnya yang panjang dan
digelung ke atas telah berwarna putih. Demikian
juga alis mata, kumis serta jenggotnya. Tapi wa-
jah orang tua ini tak terlihat, karena memancar-
kan sinar yang menyilaukan mata, seakan-akan
dilapisi kabut. Dia mengenakan pakaian warna
putih-putih. Eyang Pandanaran menahan napas untuk
beberapa lama. Mulutnya bergerak membuka
hendak keluarkan suara. Tapi ternyata suaranya
terputus di tenggorokan.
"Raden Inu Kertapati...," orang tua di balik asap putih perdengarkan suara.
Eyang Pandanaran terlonjak kaget. Sepasang matanya makin
membesar, dahinya makin dipenuhi kerutan.
Berpuluh-puluh tahun dia merahasiakan siapa
dirinya, bahkan nama pemberian kedua orangtu-


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anya pun dikubur dalam-dalam.
Raden Inu Kertapati yang sebenarnya me-
rupakan nama pemberian orangtuanya yang men-
jadi adipati di Kadipaten Langkat. Beranjak besar Raden Inu Kertapati menjalin
hubungan dengan
gadis berparas cantik. Namun si gadis akhirnya
tergoda dengan pemuda lain yang selain berparas
tampan juga memiliki ilmu tinggi. Raden Inu Ker-
tapati kecewa. Diam-diam dia meninggalkan Ka-
dipaten Langkat dengan membawa luka hati. Dia
lantas berkelana sebelum akhirnya menemukan
seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid.
Setelah bertahun-tahun belajar, Inu Kerta-
pati keluar lagi. Tapi kini dia telah berubah. Tubuhnya tegap dengan ilmu
tinggi. Meski telah la-
ma berselang, namun luka hatinya masih mem-
bekas dan luka hati itu dilampiaskannya dengan
mengumbar nafsu pada perempuan-perempuan
cantik yang dijumpainya. Bahkan dia tak segan-
segan merebut si perempuan dari tangan orang
lain dengan cara kekerasan bahkan membunuh.
Lingkungan lambat laun menyeret Inu Kertapati
menjadi orang yang kejam dan rimba persilatan
pun mulai mengenalnya.
Hanya beberapa tahun kemudian, Inu Ker-
tapati telah dikenal kalangan persilatan sebagai
tokoh yang ditakuti, dan menggelarinya Iblis Pe-
metik Bunga. Beberapa tahun lamanya Inu Ker-
tapati malang melintang dalam kancah persilatan
sebelum akhirnya dia dapat dikalahkan oleh seo-
rang sakti. Inu Kertapati akhirnya menemui gurunya
kembali. Sang guru bersedia memenuhi permin-
taan muridnya itu, asal si murid mau merubah
sikap. Berkat bimbingan dari gurunya, akhirnya
Inu Kertapati berubah. Malah ketika muncul
kembali, dia dikenal sebagai tokoh yang ditakuti golongan hitam dan disegani
golongan putih. Inu
Kertapati memperkenalkan diri dengan nama
Pandanaran. Setelah malang melintang dan merasa
usianya beranjak tua, dia mengundurkan diri dari
kancah persilatan lalu mengasingkan diri. Tapi
pada suatu hari, gurunya datang dan menyerah-
kan sebuah benda yang bukan saja harus disim-
pan dan dirawat namun juga harus dijaga laksa-
na menjaga nyawa sendiri. Menuruti pesan men-
diang gurunya, Pandanaran akhirnya mencari
tempat yang selain rahasia juga sulit ditempuh.
Beberapa tahun hidup menyendiri Eyang
Pandanaran akhirnya dihantui perasaan takut
akan benda yang dititipkan gurunya. Sang guru
berpesan bahwa kelak akan datang orang yang di-
tetapkan menjadi pemilik benda yang ternyata be-
rupa sebuah lembaran kulit itu. Karena ditunggu
hingga bertahun-tahun orang yang ditetapkan be-
lum juga ada tanda-tandanya, akhirnya Eyang
Pandanaran mengambil keputusan untuk men-
gangkat murid dengan harapan muridnya kelak
dapat meneruskan pesan mendiang gurunya.
Dia akhirnya mengambil Braja Musti, Ni-
lam Sari, dan Sekar Arum sebagai murid. Setelah
beberapa tahun dibimbing dan ajari ilmu silat,
untuk mencoba murid-muridnya, Eyang Panda-
naran memberi kesempatan murid-muridnya un-
tuk melanglang buana di rimba persilatan dan di-
pesan untuk kembali lagi setelah masa sepuluh
tahun. Selama masa itu pula Eyang Pandanaran
kebingungan tentang lembaran kulit yang berada
di tangannya. Hingga pada suatu malam dia ber-
mimpi bertemu dengan mendiang gurunya yang
mengatakan bahwa di antara murid-muridnya ti-
dak ada yang ditetapkan untuk memiliki atau
menyimpan lembaran kulit itu.
Kekhawatiran Eyang Pandanaran makin
besar tatkala beberapa orang rimba persilatan te-
lah mencium keberadaan Lembaran Kulit Naga
Pertala itu, dan mulai mencarinya. Namun, bebe-
rapa orang yang datang secara bergelombang itu
tak pernah menemukan tempat tinggal Eyang
Pandanaran. Malah, sebagian besar tak pernah
muncul lagi di rimba persilatan. Hingga sejak saat itu bukit tempat Eyang
Pandanaran tinggal dikenal orang dengan sebutan Bukit Siluman, ka-
rena mengandung misteri!
Malah, kabarnya, bukit itu pernah lenyap
dari permukaan bumi! Begitu pula dengan sun-
gainya! Oleh karena itu bukit dan sungai itu
mendapatkan nama Bukit dan Sungai Siluman!
"Orang... tua. Siapa kau..."!" Eyang Pandanaran alias Raden Inu Kertapati ajukan
tanya dengan suara gemetar.
Orang tua samar-samar di balik asap putih
sunggingkan senyum dingin.
"Inu Kertapati. Kau tak perlu tahu siapa
aku. Yang pasti aku adalah salah seorang yang
mempunyai tugas untuk menjaga lembaran kulit
yang dititipkan mendiang gurumu. Kau telah ber-
tindak menyalahi pesan gurumu! Kau telah ter-
makan nafsu!"
Tubuh Eyang Pandanaran bergetar hebat
hingga tak lama kemudian tubuhnya melorot ja-
tuh. Seraya menjura dalam-dalam, Eyang Panda-
naran berkata gagap.
"Aku mohon maaf. Gadis-gadis laknat itu
telah memberiku aroma perangsang hingga aku
tak sadar. Tapi lembaran kulit itu selamat. Lem-
baran itu kusimpan di tempat yang aman. Murid-
muridku hanya mendapat Lembaran Kulit Naga
Pertala yang palsu...."
"Aku tahu!" tukas orang tua di balik asap putih dengan mata menyengat. "Tapi
jika saja im-anmu kukuh, apa pun yang diperbuat orang, kau
tak akan goyah. Permintaan maaf tidak menyele-
saikan masalah, Inu. Kali ini tak ada maaf lagi.
Pula, bukankah kau sendiri yang menentukan-
nya"! Ingat"! Kau yang bersumpah!"
Eyang Pandanaran tercenung sebentar un-
tuk mengingat-ingat. Sesaat kemudian, kepalanya
dianggukkan. "Bagus kalau kau ingat, Inu! Tapi, untuk
jelasnya biarlah kuuraikan. Dulu, begitu menda-
patkan ilmu yang tinggi dari gurumu, kau lupa
diri. Kau sebar angkara murka di mana-mana.
Tak terhitung wanita yang menjadi korban kebua-
san nafsu birahimu!"
Orang tua di balik asap putih hentikan
ucapannya. Ditatapnya Eyang Pandanaran. Yang
ditatap malah tundukkan kepala, seperti orang
yang pasrah, menerima akibat perbuatannya.
"Kenikmatan dunia membuatmu lupa diri.
Dan, kau baru sadar dan kembali kepada gurumu
ketika seorang tokoh sakti hampir merenggut
nyawamu. Untung gurumu cukup bijaksana un-
tuk menerimamu kembali. Bahkan tanpa meng-
hukummu! Saat itu, kau ucapkan sumpahmu.
Bisa kau ulangi sumpah yang kau sampaikan pa-
da gurumu"!"
Lagi-lagi Eyang Pandanaran anggukkan
kepala, kemudian mulutnya bergerak membuka.
Suaranya terdengar gemetar.
"Guru! Aku berjanji, mulai saat ini akan
senantiasa berbuat kebajikan. Seluruh anggota
tubuhku tak akan menyengsarakan apalagi sam-
pai melenyapkan nyawa orang yang tak berdosa.
Bahkan mulai detik ini, aku akan menjauhi wani-
ta! Tak akan kubiarkan nafsu birahi merasuki
benakku lagi. Dan, bila itu terjadi biarlah aku hilang dari permukaan bumi! Ini
sumpahku. Guru!"
"Dan bagaimana kenyataannya sekarang,
Inu"!" Eyang Pandanaran hanya bisa berdesis lirih. "Aku siap menerima
hukuman...."
"Tidak ada yang menghukummu, Inu.
Sumpahmulah yang menyebabkanmu terhukum.
Sumpahmu telah kau langgar. Kesalahan serupa
kembali kau buat.... Kau akan termakan oleh
sumpahmu sendiri...."
Baru saja, ucapan orang tua di balik asap
putih, tuntas, asap putih tampak mengurung tu-
buh Eyang Pandanaran sampai setengah tombak
berkeliling dan tingginya mencapai dua tombak.
Bersamaan dengan itu, Eyang Pandanaran mera-
sakan tubuhnya dialiri hawa dingin. Orang tua ini kerahkan tenaga dalam untuk
melawan, namun dia tersentak tatkala menyadari tenaga dalamnya
tak bisa dialirkan! Hingga pada akhirnya dia diam saja sambil pejamkan sepasang
matanya hingga asap yang mengurung dirinya lenyap!
"Inu Kertapati.... Kau harus rela menerima
ini. Ketahuilah.... Meski dirimu ada, namun pan-
dangan mata biasa tak dapat menangkap wujud-
nya. Ini sesuai dengan sumpahmu. Bukankah
kau mengatakan kalau melanggar sumpahmu,
kau akan hilang dari permukaan bumi" Nah, se-
karang kau telah masuk dalam lingkaran tak
berwujud yang melindungi dirimu dari pandangan
mata biasa. Kau akan tampak jika lingkaran tak
berwujud itu pecah. Aku tak tahu sampai kapan
kau di dalam lingkaran tak berwujud itu. Hanya
saja akan datang seseorang yang memecahkan
lingkaran itu. Dialah orang yang ditetapkan un-
tuk mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala. Kau
harus mengatakan padanya!"
Eyang Pandanaran membuka mulut untuk
berkata. Namun tiada suara yang terdengar di
ruangan itu. Bahkan yang tampak di ruangan itu
sekarang adalah asap putih yang membungkus
orang tua berpakaian putih-putih yang samar-
samar menggoyangkan kepalanya. Bersamaan
dengan itu asap bergerak meliuk-liuk sebelum
akhirnya lenyap meninggalkan ruangan yang di-
am kosong tanpa seorang pun!
LIMA BRAJA Musti merasakan sekujur tubuhnya
luluh lantak. Namun sadar harus mempertahan-
kan lembaran kulit sakti yang telah berada di
tangan, dengan menahan rasa sakit pemuda itu
terus melangkah menelusuri terowongan sebelum
pada akhirnya sampai di luar.
Dia menarik napas sejenak lalu berpaling
ke belakang. Meski belum tampak seseorang na-
mun nalurinya mengatakan jika tak lama lagi
orang itu akan muncul untuk merebut lembaran
kulit yang berada di jubah putih yang kini dike-
nakannya. Berpikir sampai di situ, Braja Musti
tak menghiraukan keadaan dirinya yang terluka
cukup parah. Darah tak henti-hentinya mengalir
dari mulut dan lobang hidungnya. Malah sesekali
dia harus memuntahkan gumpalan darah hitam
dari mulutnya! Pemuda ini meneruskan langkah menuju
sampan di pinggir sungai. Namun karena ba-
nyaknya darah yang keluar, begitu sampan terli-
hat tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhir-
nya jatuh berlutut di pinggir sungai.
Sambil mengerang pendek, Braja Musti se-
ret tubuhnya mendekat sebuah gundukan agak
besar yang dapat melindungi tubuhnya dari pan-
dangan orang di atasnya. Dia sandarkan pung-
gung pada lamping gundukan besar itu seraya
mengatur napas dan jalan darahnya. Namun
usaha pemuda ini tak membawa hasil. Malah da-
rah hitam makin tersedot ke atas dan menggum-
pal di mulutnya, hingga mau tak mau dia harus
memuntahkannya.
"Keparat! Setan tua itu telah membuatku
cedera parah...!" makinya seraya mengurut dada dan mengusap darah yang mengalir
dari mulut dan hidungnya. "Aku harus cepat meninggalkan tempat
ini!" desisnya lalu bangkit. Tapi belum sampai tubuhnya tegak, kakinya telah
goyah membuat tu-
buhnya oleng sebelum akhirnya jatuh kembali.
Braja Musti kembali memaki panjang pen-
dek. Raut wajahnya jelas membayangkan takut
dan gelisah. Sambil bersandar kembali pemuda
ini berpikir. "Hem.... Untuk mempertahankan lembaran
kulit itu, aku harus menyembunyikannya! Dalam
keadaan begini, terlalu berani jika memba-
wanya...." Pemuda ini lantas memandang berkeliling. Sejenak kemudian dia
tanggalkan jubah pu-
tih milik Eyang Pandanaran yang dikenakannya.
Dengan tangan gemetar dan mata membe-
liak, pemuda ini memperhatikan bagian pung-
gung jubah yang menyembul di balik kain lapisan
membentuk empat persegi. Dengan sedikit kerah-
kan tenaga luar, kain pelapis di punggung jubah
itu dirobeknya. Begitu robekan menyingkap, tam-
paklah lembaran-lembaran kulit binatang. Den-
gan dada berdebar, Braja Musti mengambil lem-
baran kulit itu lalu diperiksanya lekat-lekat.


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tangan masih gemetar dan dada
berdebar, Braja Musti balikkan tubuh. Lembaran
kulit diletakkan di sampingnya, lalu kedua tan-
gannya mulai bergerak membuat lobang di tanah
samping tubuhnya. Tak selang lama, tanah di
sampingnya telah berlobang sedalam dua jengkal
dengan lebar dua jengkal. Setelah menarik napas
dalam dan memandang berkeliling, dia angkat
lembaran kulit lalu dimasukkannya ke dalam lo-
bang yang baru saja digali.
Tiba-tiba dia bimbang. Lembaran kulit
berwarna coklat itu kembali diangkat dari dalam
lobang. Diperhatikannya berlama-lama.
"Hem.... Tak ada salahnya aku melihat
isinya barang sejenak...," batin Braja Musti. Tangan kirinya menopang lembaran
kulit sementara
tangannya mulai membuka sampul.
Lembaran pertama terbuka. Braja Musti
kerutkan kening. Pada halaman itu tak ada tuli-
san. Kosong! Braja Musti teruskan membuka
lembaran kedua. Kerutan di keningnya makin me-
lipat. Karena lembaran kedua juga tanpa tulisan!
Pemuda ini mulai gelisah dan geram. Na-
mun dia teruskan membuka lembaran ketiga
lembaran terakhir. Kemarahannya kini tak dapat
dibendung lagi hingga saat itu juga dari mulutnya terdengar makian tak karuan,
karena ternyata
lembaran ketiga juga kosong!
"Bangsat! Aku tertipu! Lembaran kulit ini
palsu!" teriak Braja Musti seraya campakkan lembaran kulit itu ke tanah. Tangan
kiri kanannya segera dipukulkan ke tanah hingga tanah itu ter-
bongkar dan membentuk lobang. Dia lupa bahwa
keadaan dirinya terluka parah. Hingga begitu tan-
gannya ditarik dari tanah, tubuhnya limbung lalu
jatuh terkapar dengan megap-megap!
Pada saat bersamaan, Nilam Sari dan Se-
kar Arum muncul dari terowongan dan menjejak-
kan kaki masing-masing di luar. Mungkin merasa
Eyang Pandanaran akan segera mengejar, dua
gadis ini segera pula berkelebat ke arah gundu-
kan batu yang agak besar. Lalu mendekam den-
gan mata masing-masing mengarah pada lobang
terowongan dari mana mereka tadi muncul.
Beberapa saat berlalu. Kedua gadis ini tak
juga melihat munculnya sang guru, membuat me-
reka berdua bernapas agak lega.
"Mungkin dia mengira tak ada gunanya
mengejar. Atau mungkin juga dia cedera!" Nilam Sari keluarkan dugaannya seraya
merapikan pakaiannya. Sekar Arum tak menyahut.
"Kita harus segera mencari Braja Musti.
Pasti dia menunggu di sampan!" Nilam Sari kembali keluarkan suara, lalu tanpa
menunggu sahu- tan Sekar Arum, gadis berpakaian putih itu ber-
kelebat ke arah mana sampan ditaruh. Sekar
Arum segera menyusul.
Begitu sampai jalan menurun menuju arah
sampan, kedua gadis ini hentikan langkah den-
gan kening sama-sama mengernyit dan mata nya-
lang. "Sampan masih ada. Berarti Braja Musti masih berada di sekitar sini!"
gumam Sekar Arum seraya layangkan pandangannya berkeliling. Nilam Sari anggukkan
kepala lalu putar kepala den-
gan mata jelalatan kian kemari. Namun keduanya
tak menemukan Braja Musti.
"Jangan-jangan dia menipu kita!" desis Sekar Arum mulai mencium gelagat tidak
balk. "Mana mungkin. Setinggi apa pun ilmu
orang, dia tak akan ambil resiko berenang menga-
rungi permukaan air berwarna merah itu. Apalagi
dia cedera! Pasti dia masih di sekitar tempat ini.
Kita berpencar. Beri tanda jika menemukannya!"
ujar Nilam Sari lalu berkelebat menyusur pinggi-
ran sungai ke arah utara.
Meski masih digelayuti berbagai macam
pertanyaan dan dugaan, akhirnya Sekar Arum
melangkah juga menyusuri pinggiran sungai ke
arah selatan. Baru saja gadis cantik berpakaian warna
ungu ini melangkah sepuluh tindak, di balik se-
buah gundukan batu agak besar sepasang ma-
tanya melihat sesosok tubuh terkapar. Sekilas
memandang, dia telah tahu siapa adanya sosok
itu. Rasa terkejut dan khawatir akan keselamatan
Braja Musti membuat Sekar Arum melupakan
ucapan Nilam Sari agar memberi tanda jika me-
nemukan Braja Musti.
Sekar Arum cepat berkelebat. Dia tercekat
mendapati Braja Musti terpejam dengan napas
satu dua. Dengan memanggil-manggil nama Braja
Musti, Sekar Arum mengguncang-guncang tubuh
pemuda itu. Guncangan itu membuat Braja Musti buka
kelopak matanya. Mengerjap sejenak lalu me-
mandang ke tubuh yang berlutut di sampingnya.
Jodoh Rajawali 7 Bendera Maut Sam Goan Leng Hun Hoan Karya Kwee Oen Keng Pendekar Elang Salju 10
^