Pencarian

Arca Ikan Biru 2

Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Bagian 2


pula para anak buahnya. Mereka hanya tahu menja-
lankan perintah-perintah dari Arya Demung, si pe-
mimpin yang menghidupi dan membiayai mereka den-
gan segala kebutuhan hidup. Yah, tak lain dari kebu-
tuhan hidup. Kebutuhan lahiriah yang dapat dikenyam
dan dinikmati oleh inderawi. Sedang kebutuhan batin, oh, entahlah. Mungkin Arya
Demung tidak pernah me-nyinggung ataupun memikirkannya.
Maka pada keesokan harinya, Arya Demung telah
menyiapkan sahabat dan pengikutnya. Belasan ekor
kuda yang tampak segar-segar, sementara beberapa
anak buah Arya Demung tengah mengatur pelana-
pelana mereka serta bekal-bekal yang perlu diba-
wanya. Pada masing-masing lambung kiri orang-orang itu
tergantunglah sebuah golok panjang. Wajah-wajah me-
reka kelihatan keras dan tandus dengan dihiasi kumis ataupun jenggot yang lekat
dan menyeramkan pandangan.
Arya Demung tampak mengenakan baju dan celana
singset berwarna coklat, sedang kain di pinggangnya
berwarna merah berbunga-bunga besar. Tangannya
menggenggam sebilah golok lebar bertangkai sepanjang satu depa, sehingga
merupakan tombak pendek.
Si Mulut Bertudung mengenakan pakaian tenun ha-
lus lurik bersenjata sepasang pedang pendek yang ter-selip di kiri kanan
pinggangnya. Sedang si genit Teja Biru tampaknya tidak membawa senjata apa-apa,
kecuali ujung saputangan birunya yang terjuntai dari ba-
lik bajunya. Meskipun cuma selembar sapu tangan,
namun bagi Teja Biru telah merupakan satu senjata
ampuh yang tidak sedikit telah menjatuhkan korban-
korban. Begitu juga Wasi Sableng tidak kelihatan membawa
senjata tajam di tangannya. Tapi para rekan-rekannya telah maklum bahwa pendekar
aneh angot-angotan
seperti dia, kadang-kadang mengeluarkan senjata aneh yang tak terduga-duga.
Seperti ia pernah bersenjata
tongkat kayu, batang ruas tebu, dan terakhir sewaktu bertanding dengan Teja
Biru, ia menggunakan seekor
ular weling sebagai senjatanya.
Nah, bukankah itu merupakan senjata yang aneh"
Pendekar aneh seperti Wasi Sableng sering pula mem-
punyai jurus-jurus asing yang sukar ditebak jenis dan macamnya. Pakaiannya
berwarna biru kehitaman.
Yang tampak seram adalah sepasang gelang hitam
berkilat berukuran tebal, menghias kedua pergelangan tangannya.
Di sebelahnya, sibuk menyiapkan kudanya, si Klen-
teng yang bertubuh pendek berkulit kehitaman. Ia bersenjata rantai logam yang dibelitkan pada
bahunya. "Ayo, kawan-kawan! Kita berangkat sekarang!" seru
Arya Demung beberapa saat kemudian, setelah ia me-
lihat bahwa segenap rombongannya telah selesai ber-
siap-siap untuk berangkat. Dan sejurus itu pula ia meloncat ke atas punggung
kudanya. Wasi Sableng, Teja Biru, Si Mulut Bertudung dan
Klenteng menyusul dengan meloncat ke punggung ku-
danya masing-masing, begitu pula belasan anak buah
Arya Demung segera menyusulnya.
Tak antara lama, rombongan itupun meninggalkan
pintu gerbang batu karang dengan suara gemuruh dan
debu bergulung ke udara, menuju ke arah utara. Bebe-
rapa orang yang tetap tinggal menjaga di situ, pada
melambai-lambaikan tangannya, sebagai ucapan sela-
mat jalan kepada rombongan yang telah berangkat itu.
BAGIAN III "APAKAH kau yakin bahwa di daerah terpencil itu
didiami oleh orang-orang seperti yang pernah kau lihat?" berkata sesosok
bayangan manusia yang men-
gendap di antara semak-semak kepada ketiga bayan-
gan yang lain. Waktu itu cahaya sore dan senja mulai turun. Po-
hon-pohon menjadi tersapu oleh warna merah darah.
Sesekali terdengar suara ayam jantan berkokok di ba-
lik semak belukar yang telah gelap melekat.
"Inilah daerah di mana kita pernah dicegatnya, Ka-
kang Wulung," ujar salah seorang yang tidak lain adalah Tungkoro. "Dua hari yang
lalu aku secara diam-
diam telah memeriksa daerah ini, dan aku melihat be-
berapa orang asing yang belum pernah kujumpai den-
gan gelagat yang mencurigakan."
"Hmmm, memang daerah Demak selatan ini jarang
didiami oleh manusia," sambung Gagak Cemani di se-
belah Mahesa Wulung. "Maka satu hal yang aneh bila
kita pernah diserang di daerah ini!"
"Aku merasakan sesuatu yang aneh di sini," ujar
Palumpang ikut mengutarakan isi hatinya. "Naluriku
seperti berkata bahwa kita tengah menghadapi sesuatu yang gawat!"
"Mungkin memang demikian," sahut Mahesa Wu-
lung pula. "Hati-hatilah, Sobat. Mungkin kita tengah memasuki daerah sarang para
iblis dan hantu!"
Mereka berempat meneruskan langkahnya, men-
gendap-endap laksana empat ekor harimau yang lagi
mengincar korbannya ke arah selatan. Angin senja ber-
tiup lembut tanpa menggoyangkan pepohonan, tapi
karenanya membuat suasana semakin tegang.
Pohon-pohon besar, seperti beringin, randu alas,
trembesi dan sebagainya berderetan bersela-sela tum-
buh di sana dalam lindungan sinar senja, bagaikan
pagar-pagar hantu yang menakutkan.
"Heei, kita terlalu jauh meninggalkan kuda-kuda ki-
ta," bisik Palumpang kepada ketiga rekannya.
"Ooh, hampir kita melupakannya karena keasyikan
ini," sahut Mahesa Wulung. "Tolonglah Anda memba-
wakannya kemari, Sobat Palumpang!"
"Baik," sahut Palumpang seraya berbalik mengen-
dap ke arah utara untuk mengambil keempat ekor ku-
da mereka yang semula ditambatkan dekat semak-
semak pohon salak.
Sebentar pula Palumpang telah mengambil kuda-
kuda itu dan sementara ketiga rekannya tiba-tiba berbisik-bisik seraya menunjuk
ke arah selatan beberapa kali.
"Lihat, ada gerakan manusia di sebelah pohon be-
ringin tua itu!" ujar Gagak Cemani. "Mereka duduk
bergerombol di sana."
"Barangkali satu rombongan orang-orang yang ten-
gah dalam perjalanan ke suatu tempat," sambung Pa-
lumpang pula. "Mungkin mereka tengah beristirahat
karena hari telah gelap."
"Itu mungkin pula," Tungkoro berkata. "Tetapi aku
telah melihat mereka dua hari yang lalu. Jadi sean-
dainya mereka beristirahat, masakan tiga hari ini belum selesai. Dan siapa tahu,
mungkin sebelum aku
melihat mereka, orang-orang itu telah bercokol di sa-na?"
Mahesa Wulung mengangkat dahi oleh pendapat
Tungkoro tadi. Tak dikiranya bahwa rekannya mem-
punyai pikiran sedemikian, setepat apa yang dipikir-
kannya pula. Karenanya iapun menjadi makin bercuri-
ga terhadap orang-orang asing itu dan berkatalah ia,
"Mari kita mendekati mereka dengan diam-diam. Tapi
berhati-hatilah dengan kuda-kuda itu, Sobat Palum-
pang. Jangan sampai ia mengeluarkan ringkikan yang
mengejutkan orang-orang itu!"
"Jangan khawatir. Aku dapat menjaga mereka den-
gan baik," bisik Palumpang yang menggenggam keem-
pat pasang tali kendali kuda-kuda itu.
Demikianlah, dengan gerakan hati-hati, Mahesa
Wulung berempat pelahan-lahan mendekati pohon be-
ringin tua, tempat di mana segerombolan orang-orang
duduk berkeliling menghadapi api unggun yang telah
mulai mengecil, namun bongkah-bongkah bara api
masih cukup mengeluarkan hawa panas, cukup
menghangati tubuh-tubuh mereka.
Dan sesungguhnya memang mereka adalah orang-
orang yang tengah berkelana. Saat ini mereka lagi
mendengar keterangan-keterangan si pemimpin yang
duduk di tengah, di atas sepotong bongkah kayu be-
sar. "Dengarlah baik-baik!" ujar si pemimpin yang ber-
tubuh kekar. "Sebentar malam, dengan lenyapnya sen-
ja di pojok barat, kita akan segera menempuh perjalanan ke arah barat. Nah,
apakah dirimu telah me-
nyiapkan untuk keperluan itu, Jimbaran?"
"Sudah, Guru," sahut Jimbaran kepada pemimpin-
nya, yakni Si Tangan Iblis. "Jika diijinkan, aku akan memeriksa sekali lagi."
"Boleh! Periksalah segala sesuatunya!"
Jimbaran si lengan tunggal itu lalu bangkit dengan
cekatan dan keluar meninggalkan gerombolan manusia
yang duduk berkeliling di dekat pohon beringin tua.
Tampaklah bahwa Jimbaran berjalan ke arah semak-
semak dan masuk ke dalamnya.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung berempat semakin
mendekati pohon beringin tua tersebut. Mereka dapat
melihat orang-orang duduk bergerombol di situ dari se-la-sela dedaunan semak di
sekitarnya. "Mereka lebih kurang sebanyak tiga puluh orang,"
bisik Mahesa Wulung kepada ketiga rekannya. "Satu
jumlah yang mencurigakan. Sayang kita tak menden-
gar pembicaraan mereka."
"Tapi untuk itu kita harus lebih mendekati!" sahut
Gagak Cemani menengahi. "Dan dengan kuda-kuda
ini, pasti tidak mungkin!"
"Andika berdua dapat mendekati mereka," Tungkoro
ikut berkata lirih. "Biarlah saya dan Sobat Palumpang tinggal di sini menjaga
kuda-kuda kita."
"Hmm, satu usul yang baik," gumam Mahesa Wu-
lung. "Jarak kita dengan pohon beringin tua itu kira-kira sejauh lima belas
tombak, dan kita bisa mendekati mereka sampai sedekat lima tombak, asal tanpa
membuat suara."
"Bagus. Marilah kita kerjakan, Adi Wulung!" sahut
Gagak Cemani yang sudah tidak sabar lagi melihat
pemandangan di depannya. Ia ingin segera tahu, sia-
pakah sebenarnya mereka itu" "Dan Sobat Palumpang
serta Tungkoro, haraplah berhati-hati."
"Terima kasih," jawab Palumpang berdua.
"Mari berangkat!" bisik Mahesa Wulung seraya men-
jentik pundak Gagak Cemari seraya menggenjotkan
kakinya ke tanah dengan pengerahan ilmu meringan-
kan tubuh. Sesaat itu pula Gagak Cemanipun melesat
menyusulnya. Mereka berdua berloncatan dari pohon-pohon tanpa
membuat suara gaduh, kecuali desir angin lembut
yang tak berarti. Gerakan mereka sangat ringan dan
gesit, ibarat dua ekor tupai berkejaran ke arah selatan.
Sementara itu Tungkoro dan Palumpang cuma
mengikuti kedua sahabatnya tadi dengan hati berde-
bar-debar. Selain kagum akan ilmu dan gerakan mere-
ka, juga kemungkinan bahaya yang bakal ditemui oleh
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani membuat hati Pa-
lumpang berdua menjadi berdebar-debar.
Sementara itu bulan yang separoh bulat telah terbit
di langit sebelah timur. Cahayanya tidak begitu terang, tapi cukuplah untuk
mengganti cahaya senja yang semakin menipis.
Daerah itu penuh pula ditumbuhi oleh semak po-
hon ilalang, menempati bagian-bagian yang tidak di-
tumbuhi oleh pohon-pohon besar, sehingga sangat co-
cok kiranya bila daerah tersebut ditempati sebagai sarang-sarang persembunyian.
Akan tetapi sangat cocok pula bagi Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani untuk mengintai si Tangan Iblis
dan segenap gerombolannya yang tengah berkumpul di
situ. Mereka hinggap di atas dahan pohon trembesi, tak
jauh dari beringin tua itu, kemudian turun ke bawah
dan bersembunyi di balik semak ilalang. Maka tak an-
tara lama Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dapat
lebih jelas melihat ke arah sasaran.
Tangan Iblis masih kelihatan bercakap-cakap den-
gan para pengikutnya dan tiba-tiba dari semak di sebelah selatan muncullah
Jimbaran yang langsung masuk
ke dalam gerombolan manusia itu dan berkatalah ia
kepada Tangan Iblis, "Guru, semua telah siap dan ku-
da-kuda kita telah pula dipelanai oleh orang-orang ki-ta!" "Yah, jika demikian
kita dapat berkemas sekarang,"
ujar Tangan Iblis seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Hayo, anak-anak, berkemaslah! Dan padamkan api
unggun itu!"
Mahesa Wulung menjentik pundak Gagak Cemani,
dan keduanya telah memegang tangkai golok dan pe-
dang mereka dengan eratnya. Mereka telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Tak dikira bahwa
saat mereka tiba di tempat itu, tepat pula Tangan Iblis dan gerombolannya siap
berkemas meninggalkan tempat itu. Hal ini sungguh di luar dugaan.
"Sttt, kita menunggu mereka?" desis Gagak Cemani.
"Ya, kita harus mengetahui, ke arah mana mereka
akan pergi," ujar Mahesa Wulung. "Inilah yang terpenting!"
"Heei, mereka memadamkan api unggun," bisik Ga-
gak Cemani. "Lihatlah, Adi Wulung!"
Beberapa orang anak buah Tangan Iblis tampak
menyiram-nyiramkan pasir dan percikan air dari sisa-
sisa air minum mereka. Akan tetapi Tangan Iblis sege-ra mencegah mereka dengan
nada keras, "Ahh, terlalu
lama! Biarlah aku matikan api unggun ini. Kalian bo-
leh berkemas-kemas dengan kuda-kuda itu. Ayoo!"
Habis berkata, Tangan Iblis tiba-tiba mendorongkan
telapak tangan kanannya ke arah api unggun itu dan
terdengarlah suara letupan kecil disusul desisan panjang. Ssss....
Sungguh mengagumkan, bahwa seluruh bara api
itu telah padam menjadi arang dan tumpukan abu
memutih seolah-olah tersiram olah curahan air hujan.
"Lihatlah, Kakang Cemani," bisik Mahesa Wulung
perlahan. "Si pemimpin itu mempunyai tenaga dalam
yang hebat. Pukulan telapak tangannya sanggup me-


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

madamkan api!"
"Jika aku boleh berprasangka, orang itulah yang
membunuh kedua orang tawanan kita di daerah ini
beberapa hari yang lalu," ujar Gagak Cemani.
Mahesa Wulung terperanjat dan berdesis, "Jika per-
kiraan itu benar... berarti orang inilah yang bernama Tangan Iblis! Bukankah ini
kesimpulan yang kita
tunggu-tunggu?"
"Lihatlah, mereka telah berkemas-kemas!" berkata
pula Gagak Cemani. "Mereka mengeluarkan kuda-
kudanya dari balik semak belukar di sebelah selatan."
Ternyata memang semak belukar di sebelah selatan
itu adalah tempat penambatan kuda yang tersembunyi
bagi gerombolan Tangan Iblis. Kini mereka telah me-
nyiapkan diri, dan sesaat kemudian Tangan Iblis ber-
seru kepada Jimbaran, "Jimbaran! Aturlah orang-
orang kita untuk berkuda dua-dua. Kita tidak melewati jalan umum, tetapi
menerobos semak-semak. Karenanya, tempatkanlah empat orang di sebelah depan
untuk merintis dan membuka jalan!"
"Baik, Guru Tangan Iblis! Kita telah siap," sahut
Jimbaran sekaligus meloncat ke punggung kudanya.
Demikian juga Tangan Iblis mencengklak ke atas
punggung kudanya dengan gerakan lincah dan sebat.
Sebentar itu pula si pemimpin ini mengacungkan
tangannya ke arah barat dan rombonganpun bergerak!
Dengan empat orang yang mendahului, barisan ini
mulai menempuh perjalanan yang tidak diketahui arah
tujuannya. Baik oleh Mahesa Wulung dan Gagak Ce-
mani, maupun oleh para anak buah Tangan Iblis sen-
diri, kecuali bagi Tangan Iblis dan Jimbaran.
Yang terang rombongan itu bergerak ke arah barat,
menerobos semak belukar yang menggelap, dan hanya
sedikit sekali sinar bulan membantu mereka.
"Kita kembali ke utara," bisik Mahesa Wulung ke-
pada Gagak Cemani. "Kita harus cepat-cepat menda-
patkan Sobat Palumpang dan Tungkoro!"
"Tapi tunggu dulu!" cegah Gagak Cemani. "Biarkan
mereka berlalu semua dari tempat ini. Nah, mereka telah menerobos ke barat
sekarang." Demikian Gagak
Cemani berkata seraya terus-menerus mengawasi
rombongan Tangan Iblis yang telah berangkat.
Dengan sigap mereka menyelinap di balik dedaunan
semak ke arah utara, dan selanjutnya berloncatan ba-
gaikan kijang berpacu keriangan. Cahaya senja, se-
mentara itu telah lenyap sama sekali, tenggelam di ka-ki langit barat dengan
diratapi oleh kokok ayam hutan yang akan masuk ke dalam sarangnya.
Tungkoro dan Palumpang terkejut pula melihat Ma-
hesa Wulung dan Gagak Cemani datang dengan sikap
tergopoh-gopoh sehingga mereka berseru mengajukan
pertanyaan, "Heei, kalian dikejar lawan!?"
"Tidak!" sahut Mahesa Wulung. "Bahkan kita yang
akan mengejar lawan! Bersiaplah dengan kuda kalian!"
Tanpa bertanya lebih banyak, Tungkoro dan Palum-
pang telah meloncat ke atas kudanya, disusul oleh
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. Merekapun men-
derapkan kudanya ke selatan ke arah jalan yang telah dikenal oleh Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani. Mereka berdua berpacu di sebelah depan lalu di bela-
kangnya, adalah Tungkoro dan Palumpang. Beberapa
ekor kunang-kunang bersibak menghindarkan diri dari
depan mereka, seolah-olah bagaikan kilatan air laut
yang tersibak oleh haluan perahu.
Dengan hati-hati, Mahesa Wulung segera memberi-
tahu kepada kedua rekannya yang berada di sebelah
belakang agar mereka melambatkan lari kudanya.
Karenanya, Tungkoro dan Palumpang dapat pula
memakluminya bahwa mereka berempat telah mulai
memasuki jalan rintisan yang menerobos semak belu-
kar dan pepohonan yang lebat. Rupanya saja ini ada-
lah jalan rintisan yang baru saja dilalui oleh Tangan Iblis dan rombongannya.
Sepanjang jalan itu, terlihat bekas-bekas dahan po-
hon yang putus, bekas ditebasi oleh senjata-senjata tajam. Pohon-pohon besar
tumbuh di kanan-kiri mereka,
dan kadang kala beberapa ekor burung yang terban-
gun dari tidurnya, seketika terkejut dan berkepak-
kepak menjauhkan diri.
Dalam pada itu Palumpang hampir saja terpekik
kaget, ketika ia melihat beberapa pasang mata bersinar bertengger di atas dahan-
dahan pohon. Maka dengan
gerakan agak lucu, Palumpang cepat-cepat menutup
mulutnya dengan telapak tangannya. Melihat ini,
hampir-hampir Tungkoro mengeluarkan tawanya yang
berderai. "Sttt, mengapa, Sobat?" tanya Tungkoro.
"Itu...! Ah, aku kira hantu dedemit!" sahut Palum-
pang seraya menunjuk ke arah pasangan mata yang
mengkilap. "Kiranya adalah burung-burung hantu
yang lagi bercanda!"
"Heh, heh. Untunglah Anda tidak jadi berteriak! Ka-
lau jadi... mungkin sayapun akan ikut berteriak ketakutan," ujar Tungkoro
setengah menggoda, membuat
Palumpang tersenyum kecut merasa malu.
Perjalanan semakin jauh menerobos ke arah barat,
seperti tak akan ada habisnya daerah yang tengah me-
reka lewati ini. Gagak Cemani yang berkuda di samp-
ing kiri senantiasa menggunakan ketajaman telinganya guna mendengarkan gerakan
ataupun suara-suara
yang datang dari sebelah depan.
Begitu pula Mahesa Wulung yang memiliki telinga
tajam, selalu waspada terhadap keselamatan mereka
berempat. Sebab tidak mustahil, bahwa tanpa disenga-
ja akan kecepatannya, mereka dapat menyusul terlalu
dekat terhadap rombongan Tangan Iblis. Jika itu terja-di maka berbahayalah
akibatnya. Mungkin iringan ter-
belakang dari rombongan Tangan Iblis dapat menden-
gar akan derap langkah kaki-kaki kuda Mahesa Wu-
lung berempat. Untuk ini, perlulah mereka menjaga jarak perjalanan.
Oleh sebab itu pula, tidak jarang mereka berempat
berkali-kali berhenti sejenak untuk mengatur jarak
tersebut. Hal ini sesungguhnya sangat membosankan
bagi para pemburu itu, namun hanya itulah satu-
satunya jalan yang paling baik, yang dapat mereka lakukan.
"Kemana kiranya mereka akan menuju" Kita belum
melihat tanda-tanda bahwa mereka akan berhenti!"
ujar Gagak Cemani dengan nada agak kaku.
"Kita tidak tahu!" sahut Mahesa Wulung. "Aku kira
mereka betul-betul menggunakan kesempatan malam
hari untuk menempuh perjalanan ini!"
"Dan lagi mereka memilih jalan yang belum pernah
dijamah oleh manusia," Gagak Cemani menyambung.
"Satu cara yang pandai dan penuh siasat."
"Mudah-mudahan kita akan segera tahu akan mak-
sud dan tujuan mereka, Kakang Cemani," kata Mahesa
Wulung sambil menahan tali kekang kudanya ketika
kuda tersebut akan menderap lebih cepat.
Dalam saat yang sama....
Jauh di sebelah depan, rombongan Tangan Iblis
maju dengan cepatnya. Empat orang yang berjalan di
sebelah depan dengan golok dan pedangnya, menebasi
ranting-ranting yang menghalang di depan mereka.
Sungguh suatu pekerjaan yang tidak ringan, apalagi
dilakukannya dalam waktu malam. Namun ternyata
bahwa mereka sangat terlatih untuk pekerjaan-
pekerjaan yang demikian itu.
"Jimbaran," ujar Tangan Iblis seraya berpaling ke
kiri, di mana murid utamanya ini berkuda. "Apakah
kau merasakan bahwa perjalanan kita ini sangat su-
lit!?" "Bagi orang biasa memang sulit, Guru. Tetapi bagi
gerombolan Tangan Iblis, tak ada jurang yang dalam,
tak ada gunung yang tinggi," berkata Jimbaran dengan mantapnya.
Tangan Iblis tersenyum kecil oleh kata-kata berse-
mangat dari muridnya. Memang dia pandai mengambil
hati gurunya dan sesungguhnya pula kata-kata terse-
but tidak jauh dari kebenaran yang ada.
Jauh waktu, sebelum Tangan Iblis membawa anak
buahnya sampai ke tempat itu, mereka telah digem-
bleng dan dilantik untuk tugas-tugas tertentu yang
cukup berat. Karenanya, setelah mereka berhasil me-
nyelesaikan latihan-latihan itu, tak ada lagi istilah sulit ataupun sukar di
dalam diri mereka.
Bersama pemimpinnya yang bergelar Tangan Iblis,
mereka sanggup menjelajah ke mana saja, tak mem-
perdulikan hutan lebat, lereng yang curam, lembah
yang angker ataupun setan dedemit. Sedang mengha-
dapi lawan-lawan sehebat apapun, mereka tidak men-
jadi gentar pula.
Namun, benarkah bahwa mereka tidak memiliki ra-
sa gentar" Sedangkan Tangan Iblis sendiri telah sekelumit merasakan kegentaran
ini ketika tiba-tiba ia berkenalan dengan Pukulan Angin Bisu milik Mahesa Wu-
lung beberapa waktu yang silam.
"Guru, apakah kita akan menghadapi tokoh-tokoh
yang tangguh?" bertanya Jimbaran.
Tangan Iblis mengerutkan dahinya oleh pertanyaan
si lengan tunggal itu, lalu katanya, "Aku kira begitu, Jimbaran. Apakah engkau
merasa cemas"!"
"Ooh, tidak Guru," sahut Jimbaran cepat. "Aku
memikirkan bahwa suatu saat Andika akan dapat me-
nemukan lawan yang dahulu pernah diceriterakan oleh
Guru!" "Ya, ya. Aku masih ingat hal itu," sahut Tangan Ib-
lis. Sesaat terkilaslah kenangan ketika ia diserang dengan Pukulan Angin Bisu
oleh seorang lawan di padang
rumput ilalang. "Justru merupakan suatu anugerah ji-
ka aku sampai berhasil menemukan orang itu!"
"Sudahkah Guru mengetahui nama orang itu?"
"Sayangnya memang belum. Tapi aku segera dapat
mengenal orang itu bila ia menggunakan ilmu puku-
lannya! Dan di saat itulah aku akan mengadu tenaga
dengan dia!"
Jimbaran tak berkata lagi dan membiarkan gurunya
bergelut dengan pikirannya sendiri tentang kemauan,
cita-cita dan sepak terjangnya. Maka rombongan itu
kembali sunyi, kecuali sesekali bunyi ringkikan kuda memecah kesepian, sedang di
barisan depan tetap terdengar bunyi tebasan-tebasan golok dan pedang yang
mematahkan ranting-ranting pepohonan serta semak.
Barisan berkuda itu tak ubahnya seekor ular hantu
yang menyelusup, menerobos hutan pekat di malam
hari dengan satu keberanian yang luar biasa. Mereka
terus bergerak ke barat.
BAGIAN IV DESA PETERONGAN dalam suasana ketenangan.
Sinar bulan yang separoh bulat, terbentang redup
oleh arak-arakan awan setipis kain sutera mengalir ke arah utara. Desa yang
terletak di sebelah tenggara dan termasuk dalam wilayah bandar Asemarang itu
selalu tampak tenang-tenang.
Beberapa rumah masih kelihatan menyalakan lam-
pu minyaknya, menandakan bahwa penghuninya ma-
sih berjaga, dan bila orang menengok ke rumah Ki
Demang Cundraka, akan tahulah bahwa Ki Demang
pun masih berjaga dan tengah bercakap-cakap dengan
beberapa orang.
"Biarlah aku ikut bersamamu, Ayah!" ujar Tuntari
dengan suara bernada manja.
Demang Cundraka menatap ke arah puterinya.
"Perjalanan kali ini sangat berbahaya, Atun!"
"Tapi... tapi bukankah Atun sudah dapat menjaga
keselamatan diri sendiri...?"
"Benar, Nak. Namun lebih baik bila engkau tinggal
di rumah bersama ibu dan adikmu," sahut Ki Demang
Cundraka seraya menatap ke arah Nyi Demang yang
ikut berkumpul di ruang itu.
"Begitulah sebaiknya, Angger Tuntari," sambung Ki
Dunuk ikut berbicara, menumpangi tutur kata De-
mang Cundraka. Sebagai seorang tua yang dapat me-
nangkap arti pandangan mata Ki Demang, Ki Dunuk
mengetahui bahwa Ki Demang tidak menghendaki pu-
terinya mengikuti dalam perjalanan yang akan diada-
kan oleh Ki Demang Cundraka. "Angger dapat menjaga
ibu dan adikmu di rumah. Kiranya aku dan beberapa
orang kawan sudah cukup untuk mengawani dan
mengawal Kakang Demang."
"Tuntari," berkata pula Nyi Demang kepada pute-
rinya, "turutlah akan kata-kata ayahmu dan pamanmu
Ki Dunuk itu, Ngger." Nyi Demang membujuk Tuntari
seraya mengelus-elus pundak anak gadisnya sebagai
curahan kasih sayang seorang ibu. "Aku menghargai
sekali akan tekadmu untuk mengawal ayahmu itu,
Ngger. Tetapi bila engkau tinggal di rumah, Anggerpun dapat mengawal ibu dan
adikmu. Bukankah kedua hal
itu sama pentingnya?"
Tuntari tak dapat menyangkal tutur kata ibunya,
maka iapun tertunduk diam, sementara hatinya berka-
ta-kata sendiri, "Apa yang dikatakan Ibu dan Paman
Dunuk adalah benar. Ibu dan Ayah sama pentingnya
bagiku. Maka menjaga Ibu di rumah sama saja dengan
mengawal Ayah di dalam perjalanan. Bukankah mere-
ka berdua adalah orang tuaku dan keduanya sama-
sama aku sayangi tanpa perbedaan apapun."
"Ayah pun sudah maklum, bahwa perjalanan Ayah
untuk mengantar Arca Ikan Biru ke Demak ini banyak
bahayanya. Beberapa orang, seperti yang pernah kau
alami, ternyata telah mengincar benda tadi, sehingga dapat dipastikan bahwa
setidak-tidaknya mereka akan
berusaha kembali mencari benda tersebut. Akan tetapi jangan dikira bahwa mereka
akan begitu saja dengan
mudahnya untuk merampas benda itu dari tanganku!"
berkata Ki Demang Cundraka sambil menatap wajah-
wajah di sekelilingnya. "Benda yang bernama Arca Ikan Biru ini sangat penting
bagi kita semua, dan ia harus secepat-cepatnya kita serahkan ke Demak. Jika


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai terlambat, pasti kota Asemarang bakal dilanda oleh bahaya!"
"Tuntari bersedia memenuhi perintah Ayahanda,"
ujar Tuntari dengan suara tenang, sebab ia banyak
mempertimbangkan segala persoalan. "Saya akan ting-
gal di rumah menjaga Ibu dan adik...."
Helaan napas lega terdengar dari hidung Ki Dunuk
dan Ki Demang Cundraka, sementara Nyi Demang ter-
senyum lebar seraya berkata, "Nah, engkau telah ber-
pikir bijaksana, Nak. Biarlah Ayah berangkat bersama Ki Dunuk dan beberapa
pengawal. Aku percaya bahwa
ayahmu akan sanggup menanggulangi segala kesulitan
serta bahaya yang ada. Kita di rumah dapat membantu
dengan doa semoga ia sampai ke Demak dengan sela-
mat." Sekali lagi Tuntari mengangguk pelan.
"Ayah akan berangkat pagi-pagi, Nak. Engkau boleh
menyiapkan bekal perjalanan bersama ibumu," ujar Ki
Demang Cundraka kepada Tuntari. Maka tidak antara
lama merekapun bekerja bersama Nyi Demang dan
Tuntari segera sibuk menyiapkan bekal bagi Ki De-
mang Cundraka untuk perjalanan yang cukup jauh
itu. Begitu pula Ki Dunuk membantu Demang Cundra-
ka, melipat beberapa potong pakaian, memberesi sen-
jata, dan yang paling penting adalah membungkus ko-
tak kayu berukir yang berisi Arca Ikan Biru. Benda inilah yang telah melibatkan
mereka dalam tugas yang
berat dan menyulitkan.
Siapakah menyangkal bahwa benda tersebut mem-
punyai taruhan nyawa bagi orang yang menyimpan-
nya. Telah terbukti bahwa Ki Saudagar Sungkana yang
menyimpan benda itu telah diserbu oleh Si Mulut Ber-
tudung dan orang-orangnya, sampai akhirnya ia men-
derita luka-luka cukup parah. Seandainya ia tidak keburu ditolong oleh Tuntari,
Ki Dunuk dan Bikhu
Gandharapati, pastilah ia telah tewas di ujung senjata para penyerang itu.
(Periksalah seri Naga Geni 22 "Jejak Tangan Iblis")
Begitupun si pelaut tua, orang yang mula-mula
membawa Arca Ikan Biru dan ditugaskan oleh Ki Rik-
ma Rembyak untuk menyampaikannya kepada Tangan
Iblis, kini telah mati. Ia dibunuh oleh kaki tangan
Rikma Rembyak, karena dia telah dianggap berkhia-
nat, setelah ia menyerahkan Arca Ikan Biru tadi, justru kepada Ki Sungkana dan
bukan kepada Tangan Iblis.
Mengapa hal itu bisa terjadi"
Ternyata si pelaut tua itu dapat mengetahui, bahwa
benda tersebut merupakan benda yang gawat dan ha-
rus segera disampaikan ke Demak lewat Ki Sungkana.
Ia telah insyaf bila benda itu benar-benar jatuh kepada Tangan Iblis maka bandar
Asemarang akan diancam
malapetaka. Dengan mengingat persoalan-persoalan di atas, ma-
ka sekali lagi Ki Demang Cundraka semakin sadar
bahwa perjalanan yang bakal dilakukan ini sangat
berbahaya. Ia tak ingin melibatkan puterinya, Tuntari, dalam bahaya itu.
"Biarlah," demikian tekad Ki Demang Cundraka. "Bahaya itu akan kuhadapi sendiri
bersama Ki Dunuk dan beberapa orang pembantu."
Beberapa kali Ki Demang Cundraka masih menggo-
sok-gosok mata pedangnya sambil merenunginya. Su-
dah beberapa lama ia tak menggunakan senjata itu
dan kini terpaksalah ia harus menghunusnya demi
memperjuangkan kebenaran.
Dalam pada itu, Ki Dunuk tak mau mengganggu
Demang Cundraka. Dibiarkannya sahabat kentalnya
itu membersihkan senjata dan bergelut dengan pere-
nungannya, sementara ia sendiri tengah asyik meni-
mang-nimang sebuah kapak bertangkai pendek, satu-
satunya senjata yang telah sekian lama tidak disen-
tuhnya. Besok pagi senjata-senjata itu akan tergan-
tung di pinggang mereka dan siap membela tuannya
dari segala marabahaya.
Pada keesokan harinya, tepat di saat ayam jantan
pertama berkokok, Ki Demang Cundraka telah bangun,
begitu pula dengan segenap isi rumah Ki Demang.
Dari gandok wetan, yakni rumah yang ditempati
oleh kelima pengawal Ki Demang, telah pula tampak
bersama-sama Ki Dunuk mengeluarkan tujuh ekor
kuda dari kandang di belakang rumah dan me-
nyiapkannya di halaman pendapa.
Sang matahari perlahan-lahan menyorotkan sinar-
nya dari balik gumpalan pepohonan di pojok timur, diiringi oleh kicau unggas
yang beterbangan di udara
dengan riangnya untuk menyambut udara segar dan
bersih. Persiapan Ki Demang Cundraka telah selesai.
"Nah, Nyai. Tinggallah baik-baik di rumah. Tuntari
akan menjagamu," ujar Demang Cundraka kepada is-
teri dan anak puterinya, sedang adik laki-laki Tuntari masih belum kelihatan.
Agaknya ia masih nyenyak tidur di balik selimutnya.
Nyi Demang dan Tuntari masih melambai-
lambaikan tangannya ketika Demang Cundraka, Ki
Dunuk, Linting dan empat orang lainnya telah berpacu meninggalkan halaman rumah,
menuju ke arah timur
laut dengan kencangnya.
"Aku merasakan, hatiku menjadi berdebar-debar
dengan keberangkatan Ayah, Bu!" ujar Tuntari seraya tidak melepaskan pandangan
matanya dari rombongan
ayahnya yang berkuda semakin jauh itu.
"Ah, engkau mencemaskan ayahmu, Atun!" ujar Nyi
Demang seraya merangkul Tuntari. "Apakah engkau
masih menyangsikan kesanggupan ayahmu dalam be-
rolah senjata?"
"Bukan hal itu, Ibu...."
"Jadi apa yang membuatmu khawatir?"
"Tidak lain adalah orang-orang yang selalu mengin-
car Arca Ikan Biru di tangan Ayah! Bukankah Ayah
adalah orang ketiga yang menyimpan benda tersebut?"
"Elho, jadi apa hubungannya dengan orang pertama
dan kedua, Tuntari?" bertanya Nyi Demang.
"Orang pertama telah tewas karena benda itu. Se-
dang orang kedua yakni Paman Sungkana telah pula
cedera akibat benda itu pula. Aku khawatir..., aku...
khawatir..., bila Ayah..., bila Ayah...."
"Ahh, janganlah kau berpikir begitu, Atun. Itu tak
baik!" ujar Nyi Demang dengan menghela napas. "Jan-
ganlah berpikir yang buruk-buruk tentang ayahmu.
Pikirkanlah tentang keselamatan dan hal yang baik-
baik, agar ayahmu memperoleh keselamatan serta ke-
lancaran dalam perjalanan mereka itu!"
"Maaf, Ibu," keluh Tuntari seraya memeluk ibunya,
membuat Nyi Demang terharu pula, mengingat betapa
besar cinta kasih putera-puterinya kepada kedua
orang tuanya. Dan Nyi Demang ikut menjadi cemas ke-
tika dirasanya bahwa kedua tangan Tuntari telah ber-
getar dan dingin.
Maka segeralah Nyi Demang membimbing Tuntari
masuk ke dalam pendapa sambil berkali-kali menase-
hatinya agar Tuntari beristirahat dan berpikir tenang.
"Beristirahatlah, Atun!" ujar Nyi Demang. "Barang-
kali engkau masuk angin, karena semalam engkau
berjaga sampai larut malam. Akan kubikinkan untuk-
mu ramuan jamu pengusir angin jahat, Nak!"
"Terimakasih, Ibu," ujar Tuntari seraya merebahkan
badannya ke atas balai-balai di dekat jendela kamar-
nya dengan perasaan yang gundah. Betapapun ia be-
rusaha menenangkan diri, tapi ternyata tidak semudah yang ia duga. Dan mungkin
kegelisahan Tuntari ini
merupakan satu firasat yang tidak mereka pahami,
bahwa sesungguhnya satu bahaya telah mengintai per-
jalanan Ki Demang Cundraka.
Bahaya itu tidak lain adalah berasal dari Arya De-
mung dengan gerombolannya yang selalu mengincar
Arca Ikan Biru!
Kembali ke daerah selatan Demak. Mahesa Wulung,
Gagak Cemani, Tungkoro dan Palumpang masih terus
membuntuti jejak Tangan Iblis yang bergerak ke arah
barat. Semalaman mereka terus berkuda.
Kini, matahari pagi telah mulai menampakkan diri,
dan sinarnya yang masih condong sekali itu menero-
bos sela-sela dedaunan menerangi kepekatan hutan di
sekeliling. Ternyata kini tampaklah pemandangan yang menyegarkan, berbeda sekali
dengan suasana di waktu
malam yang gelap pekat dan menyeramkan.
Bunga-bunga liar tumbuh di sana-sini dengan in-
dahnya, sementara beberapa burung pemakan madu
dan kupu-kupu beterbangan di atas dedaunan.
Palumpang berdesis gembira ketika ia mendapatkan
buah-buah pisang hutan yang telah ranum dan ma-
sak. Buru-buru ia memetiknya dari pohon.
"Haa, lumayan buat sarapan pagi!" ujar Palumpang
seraya menyungir-nyungir. "Hmm, beberapa di anta-
ranya telah berlobang! Dimakan burung atau tupai."
Mahesa Wulung bertiga tersenyum melihat keceka-
tan Palumpang memungut pisang-pisang hutan itu
dan mereka menerima bagian pisangnya dengan rasa
bersyukur. Dengan begitu mereka dapat sekedar men-
gisi perutnya yang telah mulai kosong, setelah sema-
laman mereka berkuda terus-menerus. Bagi mereka,
perjalanan ini dianggapnya biasa saja. Tetapi bagi
orang-orang biasa, ah, barangkali akan jatuh tertidur di atas pelana kudanya.
Atau barangkali malah terlempar jatuh di atas tanah, saking kelelahan dan kan-
tuknya. "Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung lalu meno-
leh ke samping, "apakah Kakang ingin mengambil isti-
rahat barang sejenak?"
"Sekarang belum perlu, Adi Wulung," sahut Gagak
Cemani pelan. "Nanti saja, menjelang tengah hari dan saat luhur, kita akan
beristirahat sebentar."
"Benar, Sobat Mahesa Wulung," sambung Palum-
pang pula. "Kita masih cukup segar untuk mene-
ruskan perjalanan ini. Lihatlah, merekapun terus me-
ninggalkan jejak yang baru!"
Mahesa Wulung melihat pula, beberapa ranting dan
semak belukar yang ditebas-tebas sebagai pembuka ja-
lan. Bekas-bekas itu telah ditinggalkan oleh rombon-
gan Tangan Iblis tanpa sedikitpun menduga bahwa
mereka dibuntuti oleh empat orang pendekar dengan
seksama. Akan tetapi benarkah bahwa pembuntutan itu akan
terus-menerus berjalan lancar" Suatu kejadian kecil
yang tak terduga dan sangat sepele telah merobah su-
asana itu. Hal itu bermula dari seekor kera kecil yang selalu duduk di atas
punggung kuda si Tangan Iblis.
Kera tersebut sudah sangat jinak dan berkali-kali ia
naik turun ke atas pundak Tangan Iblis tanpa rasa
sungkan-sungkan, sebab sebenarnya Tangan Iblispun
sangat menyayangi binatang kecil itu.
Namun tiba-tiba saja kera kecil itu telah mengang-
kat jidatnya, manakala dari sebuah cabang pohon ter-
dengar jeritan-jeritan nyaring dan riuh.
Tangan Iblis, Jimbaran serta beberapa orang anak
buahnya ikut terkejut sesaat, namun kemudian terta-
wa bila suara riuh tadi berasal dari beberapa ekor kera besar-kecil yang
bertenggeran di atas pohon. Dengan
gerakan-gerakan yang lucu dan lincahnya, kera-kera
itu mencibir dan meringis-ringis ke arah kera kecil
yang bertengger pada pundak Tangan Iblis, seolah-olah menggoda ataupun mengajak
bergurau dengan si kera
kecil itu. "Heh, heh, heh. Lihatlah, Jimbaran! Si kecil ini
mendapat sambutan dari munyuk-munyuk itu," ujar
Tangan Iblis sambil tersenyum lebar.
"Barangkali ia menerima salam ucapan selamat da-
tang dari mereka," ujar Jimbaran pula.
Akan tetapi mendadak saja semuanya pada terpe-
ranjat dan rupanya saja tafsiran mereka adalah keliru.
Si kera kecil tiba-tiba ikut berteriak dan menjerit-jerit dari atas pundak
Tangan Iblis. Bahkan sejurus kemudian ia meloncat pergi meninggalkan tuannya
dengan satu jeritan nyaring. "Nyitt... nguuk, nguuk, nguukkk!"
"Heeei" Dia pergi kepada mereka!" seru Tangan Iblis
kaget. "Hayo, Jimbaran. Kejarlah si munyuk kecil ke-
parat itu! Sungguh nakal dia!"
Jimbaran segera meloncat turun dari atas pung-
gung kudanya, lalu mengejar si kera kecil itu.
"Heei, kembali, Sireng! Kembali!" seru Jimbaran
sambil berloncatan mengejar. Namun si kera kecil
maupun rombongan kera-kera itu justru malah terke-
jut dan mereka berlarian ke arah timur dengan cepat-
nya. Jimbaran tidak mau menyerah dengan kera-kera
itu. Ia terus berloncatan gesit mengejar mereka. Ba-
gaimanapun sukarnya, ia akan berusaha mati-matian
untuk menangkap si kera kecil yang nakal itu. Jimba-
ran telah tahu bahwa Tangan Iblis sangat menyayangi
kera kecil yang bernama Sireng tadi, karenanya ia harus selekas mungkin
menangkapnya kembali.
Dengan kepergian Jimbaran, rombongan Tangan Ib-
lis terpaksa mengurangi kecepatan jalannya, untuk
menjaga supaya Jimbaran tidak ketinggalan terlalu
jauh bila ia kembali.
Tanpa menggubris akan segala rintangan, Jimbaran
berloncatan dari dahan pohon ke dahan yang lain.
Meski tangannya hanya sebelah saja, Jimbaran tidak
kehilangan kegesitannya untuk bergerak. Tubuhnya
bagaikan kijang melesat ke arah timur, di mana kera-
kera tersebut berlarian lewat dahan-dahan pohon.
Jimbaran menjadi semakin jengkel. Ternyata kera-
kera itu tidak mau begitu saja ditangkapnya. Setiap
kali hampir terjangkau oleh tangannya, setiap kali pula si kera kecil yang
bernama Sireng itu menambah kecepatan larinya. Sedang kera-kera lainnya ikut


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari di sampingnya, seolah-olah memberi semangat dan
membimbingnya, agar si kera kecil itu tidak kembali ke tangan manusia-manusia
itu. Terus saja Jimbaran berloncatan mengejar. Terus
dan terus ia memburu si kera kecil tadi tanpa mengingat-ingat telah seberapa
jauh ia meninggalkan bari-
sannya. Tetapi tiba-tiba ia mengendap turun ke bawah dan menghentikan
pengejarannya terhadap kera-kera
tadi. Seperti seekor bunglon ia menyelinap dan mengintai
dari balik batang pohon. Kedua matanya menatap ke
arah timur. Dari arah sinar matahari pagi, terlihat em-
pat sosok bayangan manusia berkuda.
"Hah, ada orang yang menuju kemari!" desis Jimba-
ran dengan hati tersontak kaget. "Mereka menuruti jejak yang dilalui oleh
pasukan kami! Hmm. Tegasnya,
mereka tengah membuntuti kami! Celaka, aku harus
cepat-cepat kembali, untuk melaporkan hal ini kepada Guru Tangan Iblis!"
Maka tanpa membuang waktu lagi, Jimbaran terus
berbalik dan meloncat kembali ke arah barat dengan
kecepatan yang luar biasa, seakan-akan ia dikejar oleh hantu mengerikan. Mungkin
bila diukur, akan terca-tatlah bahwa kecepatan geraknya jauh lebih tinggi bila
dibanding kecepatannya waktu ia berangkat.
Karenanya, Tangan Iblis menjadi terkejut tiba-tiba
ketika ia melihat Jimbaran berloncatan datang dengan napas yang terengah-engah.
"Heei, mengapa engkau, Jimbaran?" seru Tangan
Iblis. "Dikejar hantu!" Mana si kera nakal itu, ha?"
"Ampun, Guru. Saya mohon ampun sebesar-
besarnya," ujar Jimbaran. "Saya mengaku bersalah...!"
"Edan kau rupanya!" sahut Tangan Iblis dengan lu-
apan marahnya. "Ngomonglah dengan jelas! Belum-
belum sudah mengaku salah... apanya yang salah!?"
"Ses... saya terpaksa membiarkan si kera kecil itu
kabur!" ujar Jimbaran dengan kepala menunduk kuyu.
"Goblok! Mengapa berbuat demikian?"
"Karena ada sesuatu yang lebih penting."
"Yang lebih penting"!" ujar Tangan Iblis seraya
mengguncang-guncang pundak Jimbaran. "Apa itu?"
"Saya... melihat empat orang asing mengikuti jejak-
jejak kita, Guru. Mereka berkuda pula."
"Haahh, itu berbahaya! Lekas kumpulkan beberapa
orang!" berseru Tangan Iblis. "Enam orang yang terdepan mendapat tugas baru
dengan dipimpin oleh Doyo-
tan!" Orang yang bernama Doyotan segera turun dari
atas kudanya dan maju ke depan, begitu pula lima
orang di belakangnya segera berbuat sama Tokoh ini
memiliki perawakan gempal dengan otot darahnya
yang melilit-lilit melingkari tubuhnya bagaikan kawat-kawat tembaga yang kokoh.
Sedang dua orang yang
berdiri mengapit di kiri-kanannya bertubuh kekar pu-
la. Mereka adalah Growong dan Bungkil, dua tokoh
yang boleh diandalkan kesaktian dan keberaniannya.
"Dengarlah, Anak-anak!" ujar Tangan Iblis. "Menu-
rut Jimbaran, kita telah dibuntuti oleh empat orang
asing dari sebelah timur. Karenanya, kita harus me-
nyesatkan perhatian mereka dan kemudian menghan-
curkannya!"
"Kami telah siap, Guru," kata Doyotan.
"Baik! Siasat kita begini. Doyotan berenam terus
membuat jejak lurus ke arah barat dengan tetap me-
ninggalkan bekas-bekas tebasan semak belukar dan
ranting pepohonan. Sementara itu, aku dan yang lain-
lainnya akan merubah arah dengan serong ke utara,
tanpa meninggalkan jejak apapun. Nah, di saat orang-
orang asing itu tersesat, maka Doyotan berenam harus menghancurkannya! Cukup
jelas, bukan?" demikian
kata Tangan Iblis dengan singkat mengutarakan sia-
satnya. "Jelas, Guru!" ujar Doyotan seraya mengangguk.
"Biarlah orang-orang asing itu kami selesaikan. Mereka akan kami labrak sampai
hancur!" Tangan Iblis mengangguk puas dan bibirnya terse-
nyum lebar, katanya pula, "Sekarang juga kita mulai!
Doyotan dan rombongannya berjalan di sebelah bela-
kang. Hayo!"
Selesai berkata, Tangan Iblis, Jimbaran dan rom-
bongan besarnya telah bergerak kembali ke arah barat, sementara Doyotan berenam
berpindah tempat ke ba-
gian paling belakang. Mereka terus berjalan beberapa saat, dan ketika rombongan
besar Tangan Iblis meng-hampiri sebatang pohon randu alas, ia segera memberi
tanda untuk merubah haluan. Dengan melewati samping pohon raksasa itu, mereka
membelok serong ke
arah utara, tanpa meninggalkan jejak apapun, mene-
robos hutan itu dengan diam-diam.
Sedang Doyotan bersama kelima temannya tetap
dalam arahnya yang lurus ke arah barat dengan me-
ninggalkan jejak-jejak seperti semula.
Begitulah, dua rombongan itu mulai berpisah arah.
Doyotan dan kelima kawannya sesaat masih menatap
bagian ekor dari barisan besar Tangan Iblis yang melenyap di balik semak-semak,
bagaikan seekor ular yang menyelinap di antara dedaunan untuk menyelamatkan
diri. Doyotan tidak menjadi berkecil hati dengan perpi-
sahan itu, sebab sesudah melaksanakan tugasnya,
mereka akan menyusul kembali ke arah utara untuk
kemudian bergabung lagi dengan rombongan besar
Tangan Iblis. Yang kini memenuhi ingatannya adalah orang-orang
asing, seperti yang dikabarkan oleh Jimbaran telah berani membuntuti gerombolan
mereka. "Hemm, aku ingin tahu, apakah maksud mereka
sebenarnya" Bukankah tindakan mereka ini ibarat
membuntuti seekor harimau ganas, setiap saat siap
mencaplok mereka!?" demikian pikir Doyotan. Rom-
bongan yang dipimpinnya ini terus berjalan dengan
lancarnya, menerobos semak dan melewati pepohonan
yang besar-besar.
BAGIAN V HATI Mahesa Wulung mencelos kaget sewaktu tiba-
tiba berloncatan beberapa ekor kera besar-kecil, men-cerecet berteriak-teriak di
atas dahan-dahan pohon.
Kera-kera tersebut berlarian dari arah barat dengan
gerakan yang cepat bercampur kepanikan, seperti yang tercermin dalam wajah-wajah
mereka itu. Gagak Cemani, Tungkoro dan Palumpang ikut ter-
peranjat, lalu mendongak ke atas untuk melihat kera-
kera tersebut. "Sungguh aneh!" ujar Mahesa Wulung di dalam ha-
tinya. "Firasat apakah yang diberikan oleh kera-kera itu" Mereka berlarian
seperti dikejar sesuatu."
"Lihatlah kera-kera itu, Adi Wulung!" ujar Gagak
Cemani. "Mereka tampak ketakutan...!"
"Ya benar, Kakang Cemani. Mereka seperti dikejar
oleh sesuatu dari arah barat!"
"Tepat sekali penyimpulanmu!" sahut Gagak Cema-
ni pula. "Dengan begitu, akan berarti bahwa sebentar lagi kita akan dapat
melihat sesuatu yang muncul di
belakang kera-kera itu, yakni si pengejar mereka!"
Mahesa Wulung terpaksa kagum pula oleh keteran-
gan Gagak Cemani tadi, lalu katanya pula, "Mengapa
di belakang kera-kera itu, Kakang Cemani" Itu kan berarti bahwa si pengejar
mereka berada di atas pepohonan!"
"Yah, memang begitu, Adi Wulung."
"Apakah tidak mungkin bila si pengejar itu berada
di sebelah bawah?" kembali Mahesa Wulung bertanya.
"Saya kira, jika si pengejar itu berada di bawah,
maka kera-kera tersebut tidak bakal berlarian secepat dan sepanik itu. Paling-
paling mereka hanya berloncatan ke sana-kemari sambil memekik-mekik," ujar Ga-
gak Cemani. Dengan mengangguk-angguk, Mahesa Wulung me-
mahami pengupasan Gagak Cemani yang jitu tadi. Ju-
stru ia menjadi bergembira mempunyai sahabat kental
yang telah dianggapnya seperti saudara sendiri. Se-
mentara itu satu rasa kecurigaan yang dihubungkan
dengan kera-kera tersebut telah muncul di dalam dada Mahesa Wulung. Tiba-tiba
saja ia merasa harus bersiaga untuk menghadapi segala sesuatu, karenanya
iapun berkata kepada sahabatnya, "Kakang Cemani,
sebaiknya kita berhenti sejenak!"
"Mengapa, Adik Wulung?"
"Aku ingin meyakinkan apakah perjalanan kita ini
baik-baik saja, tanpa sesuatu bahaya yang mengan-
cam di depan kita," ujar Mahesa Wulung.
"Ya. Itu perlu juga," kata Gagak Cemani. "Bukankah
aku telah berkata pula tadi, bahwa sebentar lagi kita bakal melihat sesuatu yang
telah mengejar kera-kera
tersebut?"
"Aku masih ingat hal itu, Kakang Cemani!"
"Bagus. Karenanya akupun ingin melihat kenyataan
dari penyimpulanku tadi!" ujar Gagak Cemani. "Saya
kira, kera-kera tersebut tidak bakal berlarian tanpa sesuatu sebab."
Begitulah akhirnya, empat orang sahabat itu meng-
hentikan langkah kudanya. Mahesa Wulung, Gagak
Cemani, Palumpang, dan Tungkoro masing-masing
memperhatikan suasana di sekelilingnya, terutama ke
arah barat, di mana bekas-bekas jalan yang dirintis
oleh gerombolan Tangan Iblis masih kelihatan dengan
jelasnya. Ranting-ranting yang patah, dedaunan yang
terbabat putus, kelihatan berserakan di sana-sini.
Beberapa saat, mereka berempat telah duduk ter-
mangu, masing-masing di atas punggung kudanya. Te-
tapi sampai sejauh itu tak sesuatu kejadian apapun
yang membuat mereka terlepas dari ketegangan ini.
"Tak terjadi apa-apa, Kakang Cemani," ujar Mahesa
Wulung. "Aneh, bukan?"
"Yah! Aku menjadi bercuriga sekarang!" menyahut
Gagak Cemani. "Baiknya kita mempersiapkan senjata."
Palumpang dan Tungkoro telah bersiap-siap pula.
Kini hutan di sekelilingnya menjadi sepi tampaknya,
seakan-akan diliputi oleh kebisuan dan ketegangan
yang mencekam. Dan memang sesungguhnya, suatu
ketegangan tengah menanti-nanti untuk meletup den-
gan hebatnya! Jauh sedikit di sebelah barat atau lurus di depan
rombongan Mahesa Wulung berempat, Doyotan ber-
sama kelima orang pengikutnya telah berpencar di ba-
lik semak pepohonan ataupun tonjolan batu-batu.
Mereka terus-menerus mengintip keempat orang as-
ing yang tidak lain adalah Mahesa Wulung, Gagak Ce-
mani, Palumpang dan Tungkoro. Gerundal dan gera-
man tanda jengkel berkali-kali terdengar dari mulut
para pengintai itu.
"Hmmm, keparat! Mengapa mereka terhenti di sa-
na?" kata Doyotan dengan jengkelnya.
"Barangkali mereka telah tahu tentang kita...!" desis Growong seraya menggenggam
lebih erat senjata sabitnya yang berantai panjang dan berkeredapan.
"Tak mungkin mereka tahu," sahut Bungkil yang
bermata kecil, sementara golok besarnya dicocok-
cocokkan ke atas tanah. "Kita kan bersembunyi di sini baik-baik, tanpa membuat
gaduh. Jadi dari mana mereka tahu?"
"Kita serang saja sekarang!" ujar ketiga orang teman lain yang bersembunyi di
belakang mereka. "Apa lagi
yang kita tunggu-tunggu?"
"Biar mereka bergerak lebih dekat kemari!" bisik
Doyotan. "Setelah itu barulah kita serang dengan tiba-
tiba." "Hehh, tanganku sudah gatal untuk menarik senja-
taku ini!" geram si Growong yang berwajah angker. Pa-da dahinya terdapat bekas
luka yang cekung, dan
agaknya karena keanehan ciri tersebut maka ia di-
panggil dengan nama Growong.
"Tahan dahulu, Sobat, janganlah berbuat gila-
gilaan. Akulah yang memimpin di sini!" desah Doyotan yang wajahnya tidak saja
angker, tapi keras bagaikan gumpalan batu karang. "Apapun yang terjadi di sini,
baik ataupun buruk, akulah yang bertangguh jawab!"
Sesaat Growong melirik tajam ke arah Doyotan dan
menggemeretakkan giginya. Baginya, Doyotan cuma
lebih tinggi setingkat ilmunya dari dirinya. Tetapi, karena ia telah diserahi
memimpin rombongan kecil ini
oleh Tangan Iblis, maka terpaksalah ia berada di ba-
wah perintah Doyotan.
Itulah sekelumit gambaran tentang ketegangan yang
timbul di antara para pencegat. Baik ketegangan pri-
badi di antara mereka sendiri maupun ketegangan da-
lam menghadapi keempat orang asing yang tengah di-
nantinya! Terlihatlah betapa peluh mereka berbintik-bintik
menetes dari lobang kulit, selambat waktu yang dinantikan oleh mereka. Bahkan
terasa pula betapa rasa
gatal telah menyengat-nyengat permukaan kulitnya,
bagaikan belasan ekor semut yang tengah menge-
royoknya. Dalam pada itu, Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan kedua rekannya, juga merasakan saat-saat kete-
gangan yang timbul pada diri mereka.
"Sungguh aneh! Terasa sangat sepinya!" bisik Gagak
Cemani kepada Mahesa Wulung. "Bagaimana, Adik
Wulung" Apakah akan terus mengambil jalan ini,
ataukah kita berganti arah?"
"Kita tetap mengambil jalan ini, tapi terlebih dahulu aku ingin meyakinkan,
apakah di sana aman-aman sa-ja," begitu Mahesa Wulung berbisik ke arah Gagak
Cemani. "Aku akan melepaskan pukulan Angin Bisu ke
arah barat!"
"Heei, tapi bukankah hal ini bakal menerbitkan su-
ara dan gerombolan mereka pasti akan segera menge-
tahui tentang diri kita?" gumam Gagak Cemani sedikit cemas.
"Mereka tak bakal tahu, Kakang Cemani. Paling-
paling mereka hanya mengira adanya angin ribut yang
bertiup dari sebelah timur. Nah, dengan begitu, setidak-tidaknya mereka akan
menyerukan kepada teman-


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman rombongan tentang datangnya angin ribut. Dari
situlah kita akan mengetahui apakah mereka masih
berada di sana atau tidak."
"Baiklah!" ujar Gagak Cemani singkat serta mem-
biarkan Mahesa Wulung bersiaga lalu melancarkan
Pukulan Angin Bisu ke arah barat, yakni ke arah jalan rintisan yang berada di
depannya. Werrrr...! Angin ribut segera bertiup bersamaan ter-
lontarnya Pukulan Angin Bisu dari Mahesa Wulung.
Dedaunan porak-poranda terombang-ambing, semen-
tara ranting-ranting kecil segera berpatahan diiringi bunyi berderak-derak
membisingkan telinga.
Maka di saat itulah, Doyotan sudah tidak dapat
menahan marah dan kesabarannya, dan berserulah ia
kepada kelima orang kawannya, "Ayo, kita serang se-
karang!" Enam sosok tubuh bersenjata muncul dari sela-sela
dedaunan semak yang terombang-ambing angin bagai-
kan enam ekor ular berbisa yang siap memagut lawan-
nya. Seorang di antaranya berada di sebelah depan,
langsung menerjang ke arah Mahesa Wulung dengan
ganasnya. Senjatanya adalah tombak pendek yang
bermata kembar pada kedua ujungnya, berputar lak-
sana baling-baling maut. Si penyerang ini yang berotot seperti kawat tembaga,
tidak lain adalah Doyotan!
Mahesa Wulung sangat terkejut mendapat serangan
tiba-tiba dari Doyotan. Namun tanpa kehilangan pen-
gamatan ia segera memutar kudanya ke kiri sehingga
senjata tombak bermata kembar dari lawannya segera
dapat dielakkannya.
Dalam sekilas itu pula tampaknya si Doyotan bakal
terjungkal ke tanah, tetapi tiba-tiba saja ia telah melenting kembali ke atas
udara, sebab begitu kedua
ujung kakinya menyentuh bumi segera dihentakkan-
nya ke situ sehingga tubuhnya mencelat bagaikan be-
lalang. Sungguh mengagumkan!
Tanpa membuang waktu, Mahesa Wulungpun mele-
sat dari atas punggung kudanya, langsung menya-
betkan pedang di tangannya ke arah Doyotan,
Westt! "Heyaahh!" Doyotan menyambut serangan itu den-
gan tombaknya bermata kembar, sementara kaki ki-
rinya menyapu kepala Mahesa Wulung dengan deras.
"Mampus kau!"
Trengng...! Plakk...! Mahesa Wulung lebih dulu me-
nangkis kaki Doyotan dengan sabetan tangan kirinya
ke atas, sementara kedua senjata di tangan masing-
masing telah beradu sampai bergetaran hebat! Kalau
Mahesa Wulung hanya terperanjat sedikit, maka Doyo-
tan lebih banyak kagetnya karena hampir-hampir pu-
taran senjatanya mental balik dan menyobek tubuhnya
sendiri! Tak ubahnya seekor tupai, Doyotan mendarat di
atas tanah, begitu pula Mahesa Wulung telah memi-
jakkan kakinya ke bumi tanpa banyak suara, bagaikan
selembar daun kering. Melihat ini, Doyotan tercekat
kaget, dan batinnya, "Pantas, orang ini berani mengu-
sik rombongan Tangan Iblis! Tak tahunya memang dia
mempunyai ilmu pula!"
"Heei, seranganmu kurang terkendali, Sobat!" ujar
Mahesa Wulung setengah mengejek. "Untunglah kare-
nanya. Dadaku tidak jadi terlobang oleh senjatamu
itu!" "Eee, kau sudah bersombong diri, sedangkan seran-
ganku tadi belumlah serangan yang sesungguhnya!"
seru Doyotan sambil meludah ke tanah. "Sebentar lagi kau akan mati di tanganku
ini. Barulah kau tahu siapa sesungguhnya yang bergelar Doyotan!"
"Heh, heh. Mahesa Wulung akan bersedia melayani
beberapa jurus seranganmu yang sehebat apapun!"
"Kurang ajar! Sombongmu sudah kelewat batas!"
"Silahkan ngomong sepuas mulutmu!" teriak Gro-
wong. "Sebab setelah ini, ia tak akan sempat lagi untuk berkata-kata!"
"Bagus! Aku memang sangat senang berhadapan
dengan musuh yang bersemangat seperti kamu!" sahut
Gagak Cemani. "Terlebih-lebih lagi dengan golok pusa-kaku ini!"
"Keparat! Sambutlah seranganku yang berikutnya!"
umpat Gowang Growong seraya memutar sabitnya
kembali, sampai bersiutan nyaring mengeluarkan
bunyi yang memedihkan telinga.
Gagak Cemani telah kenyang akan segala pengala-
man peperangan yang beraneka coraknya. Menghadapi
senjata sabit berantai tersebut, buru-buru ia berseliweran di antara celah
belukar dan berharap agar sen-
jata lawannya itu akan terkait pada dahan pohon serta macet di situ.
Akan tetapi pendekar bergolok hitam ini terperanjat
pula, sewaktu sabit berantai lawannya tetap menyam-
bar-nyambar dan membuat putus segala semak belu-
kar yang melindungi Gagak Cemani, sampai pendekar
berkumis runcing ini mengeluh kaget.
"Tobat!" desis Gagak Cemani. "Memang kesombon-
gannya ternyata benar. Senjata sabitnya berantai itu sangat hebat!"
"Ha, ha, ha. Kau tahu sekarang bahwa senjataku ini
sangat hebat tak terlawankan. Hanya angin saja yang
kiranya sanggup menghadapinya!" ujar Gowang Gro-
wong seraya menarik serangannya. Seperti diketahui,
karena senjatanya itu berantai maka jarak serangan-
nya dapat diperjauh tapi dapat pula diperpendek.
Belum lagi Gowang Growong selesai berkata, Gagak
Cemani telah lebih dahulu melesat menerjang ke de-
pan. Golok hitam di tangannya menyambar laksana
sebuah taring naga dengan getaran hebat. Wusssss....
"Auuhh!" desis Gowang Growong seraya berjumpali-
tan ke samping, meski sedikit terlambat, karena ujung golok hitam Gagak Cemani
masih sempat menyentuh
pundaknya. "Keparat. Serangannya sangat cepat, se-
cepat burung gagak menyambar mangsa. Rupanya
nama Gagak Cemani dihubungkan pula dengan kece-
patan geraknya!"
Bagi Gowang Growong, luka kecil itu memang tidak
menimbulkan rasa sakit seperti. Sebagai seorang pen-
dekar gemblengan dari Tangan Iblis, ia tak bakal me-
nangis hanya disebabkan kulitnya terluka kecil oleh
senjata lawan. Namun yang membuat panas hatinya,
ialah kekalahan cepatnya dalam melukai seorang la-
wan. Ternyata Gagak Cemani belum cedera apa-apa,
sedang dia sendiri telah terluka pundaknya!
Oleh sebab itu Gowang Growong menjadi marah se-
kali. Senjatanya yang aneh tadi diputar kembali lebih hebat. Sebentar menyambar
sangat jauh, sebentar lagi menyambar dalam jarak yang lebih dekat, tak ubahnya
seekor ular berbisa yang siap mencari kelemahan la-
wan. Begitu lawannya terlengah, begitu cepat ia me-
nyambar dan akibatnya jangan diragukan lagi. Pasti
ada kepala copot dari tubuh ataupun tubuh lawannya
bakal berbelah menjadi dua.
Gagak Cemani tidak pula secara gegabah menang-
gap serangan-serangan tersebut. Ilmu meringankan
tubuhnya yang telah matang segera ditrapkan dengan
sebaik-baiknya, sehingga tubuhnya terlihat mencelat
ke sana-ke mari dengan gerakan-gerakan ringan yang
lincah. Hingga selintas lalu tampaklah ia bergerak seperti burung gagak dengan
jubahnya yang berkibaran
di atas punggung.
Ia berselinapan di celah-celah hujan sambaran sabit
lawannya yang berputar seperti bolang-baling tanpa
kenal ampun. Sekali-sekali golok hitamnya menyambar
ke arah Gowang Growong, tetapi secepat itu pula la-
wannya mengelak.
Di sebelah lain, Palumpang menghadapi dua orang
lawan yang menyerangnya secara beruntun sambung-
menyambung. Golok-golok mereka bersambaran dari
arah-arah yang tak terduga asalnya serta gesit.
Anehnya sampai sejauh itu, Palumpang tidak
menggunakan senjata apapun. Jadi dia cuma bertan-
gan kosong selama itu. Tak heranlah bila kedua la-
wannya itu menjadi semakin panas hatinya, sehingga
salah seorang yang bertubuh kecil berseru keras, "Heei lekas kau gunakan
senjatamu, supaya matimu secara
terhormat pula!"
"Heh, heh. Kau berkata tentang kehormatan. Tetapi
mengapa kalian main keroyok!?" ujar Palumpang ta-
jam. "Persetan! Kami tak ingin membiarkan seorang ka-
wan cuma berdiri sebagai penonton selagi kawannya
sibuk bertempur. Karenanya, apa salahnya bila te-
manku ikut bertempur di sampingku?" seru si tubuh
kecil yang tidak lain adalah Bungkil. Senjata golok
berkali-kali menebas dengan angin maut yang menggi-
riskan hati. Tak terkira bahwa musuh Palumpang yang
bertubuh kecil itu sanggup menggerakkan golok besar
sehebat itu. Kiranya orang-orang yang kini menyerang rombongan Mahesa Wulung itu
terhitung sebagai jagoan-jagoan terpilih dari gerombolan Tangan Iblis!
Lain lagi dengan Tungkoro. Ia cepat-cepat menghu-
nus pedangnya seraya menghantam kedua lawannya
yang bersenjata golok-golok panjang. Dengan begitu
segera terdengar bunyi gemerincing dan berdentang
dari benturan-benturan ketiga senjata mereka, diseling letupan asap panas yang
mengagumkan. Bagi Tungkoro, pertempuran ini betul-betul memin-
ta perhatian yang lebih banyak, sebab kedua lawannya ini sangat bernafsu untuk
membunuhnya, seperti terlihat dari sorot mata mereka yang tajam dan penuh
kebencian. Segala ilmu pedang yang pernah dipelajari, ditum-
plak oleh Tungkoro dalam pertemuan ini, sehingga pe-
dang Tungkoro tak henti-hentinya menyambar, mema-
tuk dam membacok ke arah sasaran. Namun kedua
lawannya bukankah anak kemarin sore. Golok-golok
mereka selalu menyerang dari dua arah yang berten-
tangan. Kalau yang satu menyerang ke arah kaki, maka
yang satu lagi ke arah kepala. Agaknya mereka ber-
maksud mencegat gerakan-gerakan Tungkoro dan hal
ini sebenarnya cukup menyulitkan pula bagi Tungkoro.
Bagaimanapun juga menghadapi seorang orang lawan
lebih mudah daripada dua orang lawan, sebab ia harus membagi dua perhatian
sekaligus yang tidak sama.
Begitulah maka pertarungan ini berlangsung sangat
dahsyatnya di tengah hutan, merupakan tiga lingkaran pertarungan yang masing-
masing penuh dengan ketegangan dan bentrokan-bentrokan maut.
"Heh" Jadi rombongan yang aku buntuti hanya ter-
diri dari enam orang ini saja"!" gumam Mahesa Wu-
lung sedikit heran. "Pasti tidak! Aku yakin bahwa kee-nam orang ini ditugaskan
oleh mereka untuk mence-
gatku!" Dalam pada itu, Bungkil dan seorang kawannya
semakin hebat melancarkan serangan-serangan golok-
nya ke arah Palumpang yang bertangan kosong. Sela-
ma ini, pendekar lautan itu cuma berloncatan ke sana-ke mari menghindari
serangan dan kadang-kadang ia
melancarkan tendangan maupun jotosan ke arah ke-
dua lawannya. Benar-benar gerakannya selincah ikan
cucut di atas permukaan air.
Akan tetapi Bungkil berdua terus-menerus meli-
patkan serangannya, sehingga akhirnya Palumpang
merasa sedikit kerepotan juga. Dan tiba-tiba saja Palumpang mencabut sesuatu
dari balik bajunya, mem-
buat kedua lawannya surut ke belakang dengan terte-
gun. Pada tangan kanan Palumpang tergenggamlah
seuntai akar laur bercabang-cabang, berwarna hitam
kemerahan. Itulah salah satu senjata aneh Palumpang
yang terbuat dari Akar Bahar Api. Begitu akar tadi di-gerakkan oleh Palumpang,
segera terlihatlah batang-
batang runcing merah hitam menyambar-nyambar
dengan bau air laut yang asin ke arah Bungkil dan
kawannya. Kedua lawan ini bertebaran menghindar
dengan memekik kecil saking kaget dan ngerinya. Me-
reka sadar bahwa akar tersebut sangat ampuh dan
berbisa. Tikamannya berarti maut, kecuali bagi pemi-
liknya yang memiliki obat penawar untuk menahan
dan menyembuhkan lukanya.
Hingga di sini selesailah ceritera "Arca Ikan Biru", seri Naga Geni yang kedua
puluh tiga. Segera akan
menyusul ke ruang Anda, seri Naga Geni 24 dengan
judul "PENDEKAR EMPAT SERANGKAI". Akan Anda
ketahui bagaimana dengan Demang Cundraka dan ke
mana tujuan Tangan Iblis" Apakah Tuntari tinggal
berpangku tangan di rumah" Tunggulah. Mungkin Pa-
nembahan Tanah Putih dan Pendekar Bayangan akan
muncul kembali.
TAMAT Titip salam buat Yan Mintaraga (Eres), G.M. Sudarta (Kompas), Jun Saptohadi
(Inter Vista) dan Mas Herman Pratikta (Bende Mataram).
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
BAGIAN I BAGIAN II BAGIAN III BAGIAN IV BAGIAN V Pendekar Setia 13 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Dendam Sembilan Iblis Tua 2
^