Pencarian

Arca Ikan Biru 1

Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Bagian 1


BAGIAN I ANGIN YANG MENGALIR santer menerpa gundukan
batu-batu karang, kemudian terpuntir berpusing-
pusing menimbulkan bunyi suitan nyaring, seolah-olah menjerit keriangan ataupun
kesakitan karena setiap
kali ia membentur mereka.
Di depan pintu gerbang yang terpahat dari batu ka-
rang itu, masih terlihat dua orang yang bertanding
mengadu tenaga dengan tangan kosong. Sedang di se-
kitar mereka masih berdiri belasan pasang mata yang
mengawasi kedua tokoh tadi dengan pandangan melo-
tot kagum dan takjub. Mereka ini adalah para pengikut Saudagar Arya Demung, yang
dengan hati berdebar-debar senantiasa mengikuti gerakan pemimpinnya
yang lagi bertarung melawan Wasi Sableng, si jagoan
kawakan yang berwatak aneh.
Arya Demung diam-diam merasa jengkel karena be-
berapa kali serangannya ke arah Wasi Sableng telah
terpatah di tengah jalan. Tubuh lawannya itu seolah-
olah bagaikan bayangan yang bergerak berseliweran
sangat cepatnya.
Apakah nantinya ia akan terpaksa mengaku kalah
kepada Wasi Sableng di depan hidung anak buahnya
ini" Rasa kekhawatiran ini sedikit banyak mempenga-
ruhi gerakan tubuhnya, walau cuma sesaat saja.
"Sudahlah, Ki Saudagar! Serahkan saja sekantong
uang dan selodong tuak kepadaku, agar Anda tidak
susah-susah lagi mencucurkan keringat untuk per-
mainan ini!" demikian seru Wasi Sableng, disusul ke-
tawa mengkikik tak ubahnya seorang anak kecil yang
mempermainkan jengkeriknya.
Seketika wajah Arya Demung diwarnai oleh warna
merah, saking geram dan marahnya. Masakan seorang
pendekar seperti dia tidak mampu mengalahkan seo-
rang lawan seperti Wasi Sableng itu!" Bukankah nama
Arya Demung telah terkenal malang melintang di dae-
rah barat daya, sehingga akan memalukan kalau ia tak sanggup menanggulangi
lawannya itu. Maka sudah sewajarnya bila Arya Demung menge-
rahkan segenap tenaga dan ilmunya, guna menghadapi
serangan-serangan Wasi Sableng yang gencar itu.
"Kau terlalu congkak, Sobat! Apakah kau akan
sanggup menerima seranganku ini, haa"! Aeeittt!!!" teriak Arya Demung seraya
melenting ke depan dengan
melancarkan satu tendangan maut yang tak terhitung
dahsyatnya, sampai menimbulkan suara berdesis.
Ternyata Wasi Sableng tergagap buat sesaat oleh
datangnya tendangan kaki lawannya. Untung ia secara
naluriah meliukkan tubuhnya ke samping, dan ten-
dangan berat tadi nyaris menggampar bahunya.
"Huh, bertingkah juga kau!" desis Arya Demung
bercampur kagum, dan secepat kilat iapun memutar
gerakan tubuhnya sambil melancarkan kembali ten-
dangan geledeknya dengan sebelah kakinya yang lain.
Wesss!!! Sekali lagi Wasi Sableng melenting menghindarkan
serangan itu dan tiba-tiba ia menerkam ke bawah den-
gan gerakan yang gesit.
"Haarrh"!" dengus Arya Demung sangat terperanjat,
bila saja sesuatu yang kuat terasa telah menjepit lehernya, tak bedanya belitan
belalai seekor gajah.
Tapi lebih terkejut lagi ketika ia melirik ke samping.
Ternyata belitan yang menjepit lehernya itu, adalah belitan dari lengan si Wasi
Sableng yang semula diang-
gapnya sebagai lawan yang ringan dan boleh disepele-
kan. "Heh, heh, heh. Heh, heh, heh. Kegesitanmu tidak
seberapa, Ki Saudagar!" gereneng Wasi Sableng seraya
mencibir mencemooh.
Dalam pada itu, Si Mulut Bertudung, Klenteng dan
segenap pengikut Arya Demung tampak bersiaga dan
bergegas untuk menolong pemimpinnya yang kini telah
diringkus lehernya oleh Wasi Sableng.
Namun mereka terperanjat ketika Arya Demung
berseru lantang, "Kalian jangan bergerak! Ini adalah urusan kami berdua. Tak
usah kamu cemas. Aku belum benar-benar kalah olehnya!"
Teriakan Ki Saudagar tadi cukup menakjubkan.
Bukan saja bagi segenap anak buahnya sendiri, tapi
lawannyapun ikut terkejut pula oleh hal itu.
Wasi Sableng mengerutkan dahinya dan ia berkata
dalam hati, "Luar biasa! Dengan jepitan pada lehernya ia masih sanggup untuk
berteriak begitu lantang. Satu tanda bahwa dia memiliki ilmu yang tinggi!"
Belum selesai Wasi Sableng menyadari rerasannya
tadi, mendadak saja lawannya ini berteriak lagi, "Heei, kalian tak usah cemas,
Anak-anak. Lihatlah dengan
mudah aku akan melepaskan diri! Aku akan lolos dari
tangan Wasi Sableng ini!"
Begitulah teriakan Arya Demung dan tiba-tiba ia
berkomat-kamit lalu tubuhnya bergetar seperti orang
terkena sakit demam, membuat Wasi Sableng ikut ter-
getar pula tubuhnya dengan satu ketakjuban yang tak
terpahami. Maka sesaat kemudian, entah bagaimana asal mu-
lanya, Arya Demung tahu-tahu dapat meloloskan ke-
palanya dari kungkungan lengan Wasi Sableng, diba-
rengi teriakan mengagetkan,
"Hyaaatt... lepas kataku!"
Hampir setiap mulut pada melongo ketika Arya De-
mung dengan mudah meloloskan diri tak ubahnya
seekor belut yang lolos dari genggaman tangan manu-
sia. "Gerakannya dan tubuhnya licin bagaikan belut!"
desis Wasi Sableng sambil ia mengejar gerakan tubuh
lawannya dengan sebuah terkaman kilat.
Akan tetapi sekali ini, justru Wasi Sablenglah yang
menjadi lebih terkejut, sebab begitu kedua tangannya terjulur dengan terkamannya
ke depan, maka sepasang jari-jari tangan yang kokoh telah mengunci kedua
pergelangan tangannya.
"Heei, kau..."!" seru Wasi Sableng sewaktu menya-
dari bahwa Arya Demunglah yang menangkap kedua
pergelangan tangannya. Hampir-hampir ia tak dapat
mempercayainya apa yang terjadi pada dirinya.
"Heh, heh, heh. Sekarang giliranku, Sobat!" kata
Arya Demung sambil ia mengerahkan tenaganya untuk
kemudian menghentakkan tubuh Wasi Sableng ke
samping dengan kerasnya, sehingga tubuh lawannya
tersebut terlempar dan terhempas bagaikan sebuah
bola permainan.
Selintas saja dapat dibayangkan bahwa tubuh Wasi
Sableng bakal rontok tulang-tulangnya akibat hempa-
san itu, jika seandainya ia tidak lekas-lekas mengatasi keadaan ini.
Dengan mengandalkan kelincahan gerakannya, Wa-
si Sableng membuat putaran tubuhnya di tengah uda-
ra, mematahkan tenaga serangan tadi dan betul-betul
mirip dengan kelincahan seekor kera.
Bruuukkk! Kedua telapak kaki Wasi Sableng tepat
mendarat dan berpijak di atas tanah dengan iringan
suara berdebuk keras, bagaikan sepasang cakar garu-
da yang menancap ke bumi.
Itulah suatu hal yang luar biasa. Karenanya Wasi
Sableng tetap tegak berdiri, tak seperti lawan-lawan Arya Demung yang lain, yang
biasanya akan remuk
untuk sekali banting saja. Korban-korbannya keba-
nyakan bertubuh ringsek.
Kendatipun demikian, meskipun Wasi Sableng da-
pat mendarat kembali dengan selamat, namun ternya-
ta bahwa kedua telapak kakinya telah amblas ke da-
lam tanah sampai ke batas mata kaki, disertai asap tipis mengepul ke atas.
Hati Wasi Sableng seketika mencelos setengah mati,
mengalami hal seperti ini. Apa ini bukan berarti bahwa tenaga dalam dari Arya
Demung yang melemparkannya
berukuran kelewat hebat"!
Sementara itu, Arya Demung yang melihat ketang-
guhan Wasi Sableng terpaksa manggut-manggut gem-
bira. Demikian pula Si Mulut Bertudung, Klenteng dan lain-lainnya sama-sama
menarik napas panjang.
Biarpun lontarannya tadi tidak sampai mencederai
lawannya, Arya Demung tidak menjadi berkecil hati,
bahkan ia segera dapat meraba seberapa takaran tena-
ga lawannya ini. Maka semakin gembiralah dirinya,
seandainya ia berhasil mengikat persekutuan dengan
Wasi Sableng. "Hmmm, cukup pantas orang ini bila menjadi seku-
tuku! Dengan bantuannya, pasti aku sanggup merebut
Arca Ikan Biru yang sangat berharga itu," demikian pikir Saudagar Arya Demung
sambil bersiap siaga kem-
bali untuk menghadapi lawannya.
Biarpun ia sendiri tak kalah ilmunya, toh masih ha-
rus memperhatikan lawannya, serta berhati-hati sekali dalam mengambil langkah-
langkah yang paling tepat,
sebab dari gerakan tubuh Wasi Sableng yang tidak terlalu besar, cukup membuat
debu-debu tanah menge-
pul ke udara. Satu pertanda bila Wasi Sableng ini bukan lawan sembarangan.
Bagi Arya Demung sendiri, hal ini merupakan tam-
bahan pengalaman yang jarang ditemui, maka sudah
seharusnya ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tadi.
Selama ini, ia telah menyusun diri dan kehidupan-
nya dengan mengandalkan ilmunya sampai akhirnya ia
dapat menjadi seorang saudagar yang kaya raya dan
berpengaruh di daerah Asemarang. Perjumpaannya
dengan Wasi Sableng ini merupakan kesempatan un-
tuk menguji, sampai di manakah kelebihan dan keku-
rangan ilmunya selama ini.
Tak antara lama Arya Demung telah memulai lagi
serangan-serangannya dengan bertangan kosong bela-
ka. Gerakannya sangat cepat dan ia memutari lingka-
ran di mana tubuh Wasi Sableng berdiri. Inilah gera-
kan ilmu Lingkaran Roda yang mendasarkan gerakan
berputar dengan kecepatan tinggi, sehingga akan
membuat lawan yang dikitari akan menjadi pusing,
dan di saat-saat demikian serangan penutup pasti
akan berhasil merobohkan lawannya.
Kenyataannya memang demikian. Ketika Wasi Sab-
leng melihat gerakan tubuh Arya Demung ini, mulai
timbullah rasa peningnya. Untung saja pendekar yang
angot-angotan ini masih bisa berpikir agak tenang.
"Huupp!" dengus Wasi Sableng seraya melenting ke-
luar dari lingkaran gerak tubuh lawannya. Sayangnya
terpaksalah mulutnya mencomel-comel, manakala
Arya Demungpun menyusul gerakannya, dan ketika ia
berhasil mendarat, tahu-tahu tubuhnya telah berada
kembali di dalam kepungan tubuh Arya Demung yang
senantiasa bergerak melingkarinya.
"Bukan main!" desis Wasi Sableng penuh kagum
kepada lawannya. Tapi sekali lagi pendekar aneh ini
berbuat seenaknya diri. Dengan tenangnya ia duduk di tanah sementara tangannya
mengeluarkan seruas batang tebu dari balik baju dan membrakotinya. Terden-
gar mulutnya mencepak-cepak memamah serabut-
serabut tebu dan menghisap sari gulanya.
"Edan!" seru Arya Demung dalam gerakannya. "Kau
mengaku kalah, bukan!" Buktinya kau telah berhenti
dan mendeprok di tanah!"
"Heh, heh. Siapa bilang aku telah kalah"! Itu kan
mulutmu sendiri yang ngomong! Menyentuh tubuhku
saja engkau belum mampu, kenapa sudah berani
mengaku menang?"
"Lalu apa maksudmu dengan mengesot di tanah se-
perti itu!?" bentak Arya Demung jengkel. Sebab seolah-olah lawannya telah tidak
sudi lagi melayani seran-
gannya. Bahkan ia telah berkesan bahwa dirinya yang
selalu bergerak cepat mengelilingi kedudukan Wasi
Sableng itu, kini menjadi bahan tontonan yang murah.
"Inipun termasuk salah satu silatku, Sobat!" seru
Wasi Sableng dengan mengandung kelakar, meski itu-
pun dianggap sesuatu yang luar biasa oleh lawannya.
"Lekas melawan aku!" Arya Demung berteriak.
"Atau kau harus dipaksa dengan tembakan panah dari
orang-orangku?"
"Weh, weh, kau mulai tidak sabar, Sobat!?" ujar
Wasi Sableng. "Bagus! Bagus! Aku akan memenuhi
keinginanmu!! Tapi lebih dulu sambutlah barang sam-
pah yang tak berharga ini, sebab teriakanmu telah
mengganggu seleraku dalam menikmati ruas-ruas tebu
ini!! Hiaattt!"
Dengan gerakan gesit Wasi Sableng menimpukkan
serabut-serabut sampah tebu ke segenap arah, di ma-
na tubuh Arya Demung bergerak. Tentu saja Arya De-
mung tidak berani memandangnya remeh, sebab Arya
Demung telah melihat sendiri, betapa pendekar angot-
angotan yang menjadi lawannya itu dapat merobohkan
seorang anak buahnya dengan bersenjatakan seruas
batang tebu saja! Apalagi kini! Arya Demung dapat melihat jelas bahwa serabut-
serabut sampah tebu itu meluncur ke arah dirinya, bagaikan belasan jarum-jarum
berbisa! Keruan saja Arya Demung menjadi kaget dan seke-
tika melentingkan diri ke udara guna menghindari se-
rabut-serabut tebu yang mengancamnya.
Wasi Sableng dapat melihat hal itu pula, ketika tu-
buh Arya Demung menghindari serabut tebunya, maka
tanpa memberi kesempatan lagi iapun melesat ke uda-
ra menyambut gerakan tubuh lawannya.
Seketika itu pula terlihatlah dua tubuh manusia
berpapasan di udara dengan serangkaian serangan-
serangan yang saling bergempur sangat seru dan men-
gagumkan! Wesss. Plak! Plaakk!
"Huuhh?"
"Hah, ha, ha, ha. Bagaimana, Sobat Demung" Apa-
kah Anda telah puas?" seru Wasi Sableng sambil ter-
tawa-tawa kesenangan. Sementara tangan kanannya


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melipat ke belakang tubuh.
"Asem! Memang aku telah puas dengan pertunju-
kanmu!" sahut Saudagar Arya Demung meringis. "Tapi
kau tak mampu menandingiku, bukan"! Ini merupa-
kan ujung dari kekalahanmu...!"
Tangan kiri Wasi Sableng sibuk menggaruk-
garukkan kepala seraya berkata, "Mana boleh engkau
berkata demikian, Sobat" Kau kira aku belum mampu
menghilangkan kesombonganmu!" Heh, heh, heh, coba
periksa barang-barangmu. Apakah tidak ada sesuatu
yang hilang!?"
Kata-kata ini bagai sengatan lebah, terasa menga-
getkan hati Arya Demung. Maka cepat-cepat ia meme-
riksa tubuh dan tiba-tiba berseru, "Kantong uangku!
Heei, jatuh ke mana dia?"
"Weh, heh, heh. Ternyata kau sama gobloknya den-
gan diriku, Sobat!" dengus ketawa Wasi Sableng sangat riuhnya , lalu tangan
kanannya yang melipat ke belakang ditunjukkannya ke depan, membuat Arya De-
mung dan para pengikutnya terbelalak kaget, sebab
pada genggaman jari-jemari tangan Wasi Sableng tadi
tergantunglah sekantong uang milik Arya Demung
yang semula disangkanya jatuh! "Lihat ini, Sobat. Sekarang jadi milikku. Kau
setuju, bukan!?"
Arya Demung masih ternganga dan sejurus kemu-
dian berserulah ia, "Heh, jadi... jadi kau... curi kantong uangku itu, hah"!
Hmm, bagus, bagus! Karenanya aku
lebih senang seandainya Anda mau bergabung sebagai
sahabatku, sebab aku bersedia membayarmu lebih
banyak dari yang sekantong itu!"
"Uang ini akan kugunakan untuk membeli tuak dan
anggur kesukaanku."
"Ha, ha, ha. Itu tak usah kau takutkan, Wasi Sab-
leng! Di dalam rumahku tersedia beberapa tempayan
dan gentong penuh berisi minuman yang lezat-lezat,"
ujar Arya Demung bergirang, sebab ia boleh berharap
bahwa Wasi Sableng akan bersedia menjadi sahabat
dan sekutunya. "Kau tahu Sobat Wasi Sableng, bahwa
kita mempunyai selera yang sama" Hih, hih, hih!"
"Jadi aku boleh minum sepuas-puasku!"
"Hi, hi, hi. Tentu saja boleh! Perutmu tidak akan
sanggup menampung persediaan tuak dan anggurku."
"Baik. Jika kata-katamu itu dapat kupegang, aku
bersedia mengikat persahabatan dengan dirimu!"
Arya Demung, Si Mulut Bertudung dan segenap
pengikut mereka berjingkrak gembira mendengar per-
nyataan Wasi Sableng tadi. Seolah-olah mereka men-
dapat runtuhan gunung emas.
Dengan bergabungnya Wasi Sableng tadi, bolehlah
diharap bahwa mereka akan jauh lebih kuat dan per-
kasa. Pendekar angot-angotan itu selain tangguh, juga memiliki kecerdikan-
kecerdikan seperti terlihat, bahwa ia berhasil menyambar kantong uang Arya
Demung selagi mereka berlintasan dan bergerak di udara bebera-
pa saat yang lalu.
Bukankah itu semua merupakan satu kecerdikan
dan kecepatan gerak yang sukar dicari tandingannya"!
Satu kepandaian yang tidak dimiliki oleh setiap orang!
"Ha, ha, ha. Marilah Sobat Wasi Sableng. Silahkan
masuk ke dalam pendapa rumahku untuk beristirahat
dan mereguk anggur dan tuak persediaanku! Ayolah,
Sobat!" seru Arya Demung serta merangkul pundak
Wasi Sableng lalu diajaknya masuk ke dalam rumah
pendapa, diikuti oleh Si Mulut Bertudung, Klenteng
dan para pengikut lainnya. Mereka mengiringkan ke-
dua pendekar jagoan itu dengan gembira.
Si Mulut Bertudung bergumam sendiri, "Hmm, ter-
nyata Wasi Sableng nampak lebih hebat daripada saat
ia bertempur melawan Bikhu Gandharapati di halaman
rumah Ki Sungkana! Apakah ia menggembleng dan
meningkatkan diri dalam waktu yang singkat. Atau
memang sebenarnya justru Bikhu Gandharapati itu
benar-benar seorang yang sakti mandraguna?"
Begitulah mereka akhirnya duduk-duduk di penda-
pa rumah Saudagar Arya Demung, sementara bebera-
pa wanita pelayan yang masih muda tampil ke arah
mereka dengan membawa lodong-lodong dan kendi ke-
ramik berisi minuman.
Tawa riang dan penuh kegembiraan bergema di
ruangan itu, apalagi para wanita belia itu melayani
minuman sambil tersenyum-senyum gairah penuh pe-
sona. Wasi Sableng bahkan berusaha menarik pinggang
salah seorang wanita tadi, tapi Arya Demung mencab-
lek tangan sahabatnya seraya berkata lirih, "Husss,
jangan keburu nafsu, Sobat! Bersabarlah. Engkau toh
akan mendapat salah satu di antara mereka nanti! He, he, he!"
Ruangan itu makin tergetar oleh suara tawa dan ob-
rolan dari mereka yang minum-minum dengan puas,
melicin-tandaskan semua minuman yang tersedia di
situ. Sementara itu, jauh di tempat lain, di Dusun Pete-
rongan, terlihatlah satu ketenangan yang meliputi se-galanya. Pohon-pohon
bergoyang tertiup angin pagi
yang sejuk dan segar. Beberapa ekor burung berkeja-
ran di sela-sela dedaunan dengan kicau kegembiraan.
Dari sebuah kandang di belakang rumah, muncul-
lah seorang anak laki-laki kecil berumur kurang lebih sembilan tahun. Di
tangannya tergenggam sebatang
cambuk pendek, untuk penggiring lima ekor kerbau
yang telah berjalan di depannya. Sebentar anak itu
melihat ke samping rumah.
"Ayo, Ayunda Tuntari! Kita berangkat sekarang. Kan
kerbau-kerbau ini telah rindu untuk berkubang dan
memamah rumput hijau"!" ujar anak laki-laki tadi ke-
pada seorang gadis yang lagi memutar-mutar tongkat
hitamnya. Tampaknya ia tengah melatih jurus-jurus
silatnya. "Ayunda ternyata lebih mencintai tongkat itu daripada diriku! Huhh!"
Berkata begitu, anak laki-laki sembilan tahun itu
tak ketinggalan mencungir-cungirkan hidung dan bi-
birnya untuk menggoda kakak perempuannya tadi.
Meski berkesan nakal, tapi menimbulkan pula kesan-
kesan lucu yang segar.
"Hai, kau berani menggodaku, bocah nakal!" dengus
Tuntari seraya meloncat ke arah anak tersebut dengan cepatnya. Tahu-tahu, entah
bagaimana mulanya, tangan Tuntari telah menjewer telinga si bocah nakal.
"Hayo, Mundong, coba kau berani nakal lagi"!"
Bocah yang bernama Mundong tidak berani mela-
wan dan cuma menggebruk-gebrukkan kedua kakinya
berganti-ganti ke tanah seraya mulutnya pecuca-
pecucu. "Ngengng, Ayunda cuma berani sama adik...
itu tandanya Ayunda tidak sayang kepadaku...."
Tuntari cuma tersenyum geli dan gemas. Ia tahu
bahwa jewerannya terhadap telinga adiknya itu hanya-
lah berpura-pura saja, dan yakin tidak menyakitinya.
Tapi kenyataannya, si Mundong telah bersikap benar-
benar kesakitan, sehingga hal ini menyebabkan Tunta-
ri kegelian dibuatnya.
Kemudian gadis bertongkat hitam itu memeluk
adiknya seraya mencium pipinya sambil berkata, "Nih, siapa bilang Ayunda tidak
menyayangi adiknya. Nah,
kau berangkatlah lebih dahulu, Anak manis, nanti
ayunda akan menyusulmu!"
Mundong tersenyum-senyum, demi ayundanya ber-
kata demikian dan terasa bahwa jari-jari kakaknya
menggosok-gosok rambutnya yang hitam mulus. Satu
kesayangan seorang kakak terasa olehnya. "Baiklah,
Ayunda! Aku berangkat duluan!"
Tuntari tersenyum kecil, begitu si Mundong menyu-
sul kerbau-kerbau yang berlenggang perlahan dan ke-
mudian meloncat gesit ke atas punggung dari salah
seekor kerbau itu. Sekali lagi si Mundong melambai-
lambaikan cambuknya ke arah kakaknya, dan gadis
inipun membalas dengan lambaian tongkatnya.
Kini Tuntari melangkah perlahan ke arah pendapa
rumah itu, sambil menyelipkan tongkat hitamnya ke
ikat pinggang. Ketika ia menoleh ke arah timur, dilihatnya si Mundong bersama
lima ekor kerbau itu telah melewati rumpun bambu.
Dengan menghela napas, gadis itu mendekati hala-
man pendapa, di mana seorang laki-laki setengah tua
tengah meneliti dan mengamat-amati sebuah benda di
tangannya yang berwarna biru cemerlang, berbentuk
ikan. "Arca Ikan Biru!" gumam Tuntari perlahan sambil
mendekati pendapa tadi. Sejenak ia teringat betapa
terharunya sewaktu menerima benda berharga itu dari
tangan Ki Sungkana yang dalam keadaan luka-luka.
"Heh, mudah-mudahan Paman Sungkana sembuh
kembali." Laki-laki setengah tua tersebut cepat-cepat mema-
lingkan kepala, begitu telinganya menangkap langkah-
langkah halus dari samping rumah.
"Haaa, kau Tuntari. Adikmu sudah berangkat?" ber-
tanya laki-laki tersebut yang tidak lain adalah Ki Demang Cundraka.
"Sudah, Ayah! Sebentar lagi aku akan menyusul-
nya," sahut Tuntari seraya mengambil tempat duduk di samping Demang Cundraka.
"Apakah Ayah telah memeriksa Arca Ikan Biru itu?"
"Mm, sudah... sudah. Tapi aku tak tahu, di mana
letak nilai dan kepentingannya sampai benda ini diincar oleh banyak orang,"
desah Demang Cundraka, se-
raya mengangkat Arca Ikan Biru dan menentangkan
benda tersebut ke arah luar, di mana sinar matahari
mulai memancar dari tepi langit.
"Apakah Ayah tidak cukup hanya menyerahkan
benda ini ke Demak tanpa mengutik-utiknya?" ber-
tanya Tuntari. "Memang itu yang baik. Namun aku tak mempunyai
maksud jahat, jika berkeinginan mengetahui seluk-
beluk dari Arca Ikan Biru ini," sambung ayah Tuntari.
"Jika aku berhasil mengetahuinya, setidak-tidaknya
akan tahu betapa penting dan harus kujaga mati-
matian dari setiap bahaya."
"Apakah tidak mungkin bila Arca Ikan Biru ini be-
nar-benar sekedar permata berukir yang berbentuk
ikan?" bertanya Tuntari.
"Itupun mungkin, Angger," jawab Demang Cundra-
ka. "Karenanya aku harus memeriksanya seteliti
mungkin." Tuntari menghela napas, mengetahui betapa Arca
Ikan Biru ini merupakan barang penting yang harus
diserahkan segera ke Demak, seperti permintaan Ki
Sungkana kepada ayahnya ini.
"Ehh," desah Tuntari. "Permisi Ayah, aku harus
menyusul adik Mundong dengan kerbau-kerbaunya!"
Sambil berkata Tuntari mengundurkan diri dari tempat duduknya.
"Ya, ya. Hati-hatilah engkau mengawani adikmu,
Tuntari!" ujar Demang Cundraka seraya tersenyum
gembira. Ia menatap ke arah halaman dan tampaklah
betapa anak puterinya itu meloncat-loncat gesit ke
arah timur dengan gerakan gesit bagai belalang ber-
canda. Sesaat kemudian Demang Cundraka telah sibuk
kembali memeriksa Arca Ikan Biru yang masih berada
di tangannya. Kadang-kadang ditimangnya benda ini
dan sebentar kemudian diterawangkannya kembali ke
arah luar. "Hhh, sampai di mana benda ini dinyatakan sebagai
benda berharga. Aku harus berhasil memecahkannya.
Harus!" kembali mendesah Demang Cundraka karena
rasa keinginan-tahunya tentang seluk-beluk benda
yang berada di tangannya.
Memang ia melihat bahwa antara ukiran kepala dan
bentuk tubuh dari Arca Ikan Biru ini, terdapat satu
guratan yang dalam, seolah-olah memisahkan bentuk
kepala dan tubuh.
"Ini memang garis insang yang aneh!" desis Demang
Cundraka, dan ketika ia berulang menerawangkan
bentuk itu ke arah cahaya matahari, tampaklah bahwa
pada bagian dalam atau bagian perut dari Arca Ikan
Biru ini sangat gelap, sedang bagian lain dan tepinya kelihatan terang karena
tembus cahaya! "Rupanya ada sesuatu di dalam Arca Ikan Biru ini!"
gumam Ki Cundraka seraya menarik bagian kepala
dan bagian tubuh arca tersebut ke arah yang berlai-
nan. Tapi semua itu sia-sia saja, sebab benda tersebut
tetap tak bergeming sedikitpun, seolah-olah memang
bagian kepala dan tubuhnya benar-benar menjadi sa-
tu, merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Hal ini tidak membuat Demang
Cundraka berputus asa, dan
ia berpikir lebih-keras lagi. "Kalau dengan gerakan
mencabut dan menarik tidak berhasil, bagaimana jika
kurobah dengan gerakan memutar kepala?"
Mula-mula Demang Cundraka memutar kepala arca
ikan ini ke kanan, tapi tetap tak bergerak sedikitpun.
Maka dirobahnya dengan putaran ke kiri, dan ternyata bagian kepala arca ikan itu
bergerak! "Huh?" desis Demang Cundraka kaget, maka dite-
ruskannya memutar bagian kepala tadi terus ke kiri diiringi hati yang berdebar-
debar sangat kerasnya.
Bagian kepala arca ikan itu makin memisah, se-
mentara guratan batas leher atau insang tadi semakin melebar. Rupanya, bagian
kepala dan tubuh memang
dihubungkan oleh sebuah bagian membuat seperti se-
kerup, sehingga benda ini hanya dapat dipisahkan
dengan cara memutar, jadi bukan dengan cara mena-
rik dan mencabutnya.
Tak lama kemudian, terpisahlah bagian kepala den-
gan badan, dan ini membuat Demang Cundraka ber-
gemetaran tangannya. Lebih-lebih sewaktu ia melihat
bahwa lobang pada bagian badan arca ikan itu me-
nyimpan segulungan kain berwarna putih.


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan hati-hati, dipungutnya gulungan kain ter-
sebut dari tempatnya, yakni dari lobang perut arca
ikan ini! Kemudian dibukanya pelahan-lahan. Di situ
terdapat tulisan yang dapat dibacanya dengan jelas,
meskipun belum keseluruhannya dibaca. Dilihatnya
lebih teliti lagi seperti tak mau percaya untuk menerima begitu saja, apa yang
tertulis di situ.
"Bahaya tengah mengancam kota Asemarang!" desis
Demang Cundraka gemetar. Cepat ia meraih ledeng be-
risi air minum di sampingnya untuk direguk guna
menghapus kekagetannya.
Hampir-hampir Demang Cundraka tak dapat mem-
percayai apa yang diketemukannya ini. Ia tak mengira sama sekali bahwa ketika
bagian kepala dan perut dari Arca Ikan Biru ini dapat dipisahkan, ternyata di
dalamnya berisi gulungan kain dengan sebuah tulisan
yang membuat Demang Cundraka menjadi gemetar.
"Orang-orang Rikma Rembyak akan menyerang
bandar Asemarang...!" desis Demang Cundraka begitu
mulutnya mengeja huruf-huruf yang tertulis di situ.
"Mereka datang pada saat bulan purnama penuh.
Mmmm, berarti saat ini masih berapa pekan lagi da-
tangnya...!"
Demang Cundraka masih termangu-mangu seraya
memegangi Arca Ikan Biru dan surat rahasia tadi.
Gumamnya terdengar kembali. "Pantaslah bila Ki
Sungkana pernah menceritakan kepadaku bahwa ben-
da ini sangat penting dan harus segera aku serahkan
ke Demak. Tak tahunya benda ini jauh lebih berharga
daripada dugaanku semula."
Kemudian Demang Cundraka memasukkan kembali
gulungan surat tadi ke dalam rongga perut dari Arca
Ikan Biru dan menyumbatnya dengan bagian kepala,
sehingga benda tersebut menjadi utuh seperti sedia
kala, merupakan sebuah patung ikan berwarna biru
kemilauan. "Tak mengherankan pula benda tersebut telah me-
narik beberapa orang untuk memilikinya, seperti peristiwa yang telah menimpa Ki
Sungkana beberapa hari
yang lalu. Tetapi... apakah maksud mereka sebenar-
nya" Apakah mereka sekedar mengingini bahan pa-
tung ikan yang terbuat dari batu permata biru laut ini"
Memang bahan patung ini sangat mahal harganya, dan
jarang sampai dijumpai yang seindah ini! Ataukah me-
reka mungkin pula mengetahui letak kepentingan dari
Arca Ikan Biru ini" Yakni pada surat rahasia ini"
Hehh, cukup memusingkan... tapi yang terang, benda
ini harus segera kuserahkan ke Demak!"
Dengan hati-hati Demang Cundraka membung-
kuskan patung ikan itu dalam selembar kain sutra bi-
ru dan dimasukkannya ke dalam peti kayu berukir.
Suasana sekeliling masih tampak sepi dan ruangan
di mana Demang Cundraka berada seolah dicengkam
oleh kebisuan abadi. Hanya bunyi gemerisik dedaunan
yang disapu angin terdengar dari luar rumah diseling oleh kicauan burung-burung
yang berkejaran di sela
dedaunan. Memang Ki Demang Cundraka harus segera menye-
rahkan benda tersebut ke Demak agar segera sesua-
tunya menjadi kian jelas. Biarpun begitu, satu rasa ke-sangsian menyelinap di
dalam dadanya, sehingga se-
bentar ia menarik napas karena keresahannya itu.
Pangkal keresahan itu sebenarnya adalah Arca Ikan
Biru yang kini berada di tangannya. Benarkah bahwa
surat tersebut mempunyai tujuan seperti apa yang tertulis di situ" Ataukah hanya
merupakan sebuah siasat saja untuk menimbulkan kekacauan"
Dan lagi, siapakah sebenarnya yang bernama Tan-
gan Iblis, seperti yang disebut-sebut dalam surat itu"
Demang Cundraka sama sekali belum mengenal nama
tersebut. Beberapa deretan nama tokoh-tokoh sakti
dan persilatan telah dikenalnya, namun nama Tangan
Iblis masih baru dan sangat asing baginya!
Panembahan Tanah Putih, si kakek yang berilmu
tinggi itu, telah dikenalnya. Juga nama-nama seperti
Ki Kebo Kenanga, Jaka Tingkir, Kyai Paku Waja, Kyai
Kendil, Wesi Mahesa Wulung dan lain-lainnya. Begitu
pula dengan beberapa tokoh golongan hitam yang telah mati, ia masih mengingatnya
dengan jelas, antara lain, Ki Topeng Reges, Singalodra, Ki Macan Kuping, dan
sebagainya. Maka jelaslah bahwa nama Tangan Iblis masih sa-
ma sekali baru baginya dan merupakan satu teka-teki
yang memusingkan. Pengalamannya yang selama ini
telah dikumpulkan masih belum mencukupi untuk
mengenal tokoh yang tersebut di dalam surat rahasia
itu, dan tetap gelaplah nama Tangan Iblis bagi Demang Cundraka.
BAGIAN II WASI SABLENG kini lebih terjamin hidupnya, se-
menjak ia tinggal di rumah Saudagar Arya Demung.
Makan-minum, pakaian dan apa saja yang dikehenda-
ki, dengan mudahnya akan terpenuhi oleh rekannya, si Arya Demung.
Memang lebih beruntung bagi Wasi Sableng untuk
bersekutu dengan saudagar tersebut, dan keduanya
merupakan pasangan yang cocok dan saling mengun-
tungkan. Bila Arya Demung mendapatkan kesulitan, maka
Wasi Sablenglah yang mendapat tugas untuk membe-
reskannya, dan sebaliknya bila Wasi Sableng membu-
tuhkan sesuatu, maka saudagar itulah yang memenu-
hinya. Maka tak ubahnya Wasi Sableng sebagai seekor
jago aduan yang setiap kali bertarung untuk tuannya.
Hari itu, seperti biasanya berlangsunglah acara mi-
num-minum di ruang pendapa Arya Demung, Ki Sau-
dagar itu sendiri duduk di situ bersama Wasi Sableng,
Si Mulut Bertudung dan para pengikutnya yang lain.
"Hayo, habiskanlah tuak-tuak itu, Sobat!" seru Arya
Demung. "Hari ini aku banyak mendapat keuntungan
dari barang daganganku."
Cleguk... cleguk... cleguk.... Wasi Sableng dengan
lahapnya meneguk selodong tuak dan sejurus kemu-
dian iapun berkata, "Hee, jangan khawatir hidangan-
mu akan tersisa, Ki Saudagar! Apa yang dapat kau ke-
luarkan, tunjukkanlah supaya aku dapat mengenyam-
nya!" "Ya, ya. Kau harus makan banyak, Sobat. Tugas-
tugas yang lebih berat akan segera sampai kepada ki-
ta," demikian sahut Arya Demung.
"Tapi sayang, ada sesuatu yang kurang lengkap,"
ujar Wasi Sableng seraya menyeringai lucu ke arah
Saudagar Arya Demung di sampingnya.
"Hehh!" Ada yang kurang!" Apakah itu!?"
"Pelayan-pelayan wanita cantik itu belum muncul.
Tanpa mereka, ruangan ini menjadi hambar rasanya."
"Ooo, itu mudah saja," sahut Arya Demung seraya
bertepuk tiga kali, dan berlarianlah beberapa wanita genit dari balik tirai
sutera pintu di samping pendapa, tak ubahnya beberapa orang bidadari yang muncul
da-ri balik sela awan lembayung. Maka suasanapun ma-
kin bertambah meriah.
Ruangan pendapa itupun masih diliputi oleh gelak
ketawa dan bau tuak yang menghambur di udara, seo-
lah-olah hanya kegembiraan belaka yang mengisi kehi-
dupan mereka. Sedang para wanita genit pengantar
hidangan itupun telah pula ikut terjun di antara mere-ka dengan menikmati
hidangan yang melimpah ruah di
atas meja-meja panjang berkaki pendek.
Hanya seorang wanita saja yang tampaknya tak ter-
hanyut oleh kegembiraan tersebut. Dengan tenangnya
ia tetap bekerja mengantarkan hidangan-hidangan
yang perlu ditambahkan dan mengumpulkan lodong-
lodong tuak serta pinggan mangkuk yang telah kosong.
Rupanya saja wanita itu menarik perhatian bagi
Wasi Sableng, yang sejak tadi selalu mengincar dengan lirikan matanya. Yah,
sungguh aneh, bukan, bahwa
wanita itu seakan-akan tidak menggubris akan pesta
gembira itu"
Perawakannya yang genit dengan wajah yang lon-
jong benar-benar merupakan perpaduan tepat. Di atas
matanya yang berbulu melengkung itupun terdapat
sepasang alis yang tebal hitam, seolah melambangkan
kekerasan yang sukar diduga.
Perhatian Wasi Sableng tak lepas-lepasnya dari si
genit beralis tebal itu. Sesungguhnya baru kali ini ia melihat wanita yang
cantik itu menurut ukurannya.
Maka tak ayal lagi, ketika si genit itu berlalu di sampingnya, Wasi Sableng
segera menyambarkan kedua
tangannya ke arah pinggang si pelayan untuk meme-
luknya. Wesssttt, plaaak!
"Uuuahhh...?"
Wasi Sableng terkejut bukan main dan mulutnya
berkomat-kamit menahan marah disertai rasa kagum
yang sangat besar. Sebab ketika kedua tangannya
hampir mencapai pinggang si genit, mendadak saja si
pelayan itu melegoskan pinggangnya, dibarengi tangan kirinya yang menggenggam
selembar sapu tangan menyapu ke samping dan mencegat gerakan tangan Wasi
Sableng. Biarpun gerakan tadi dalam gaya yang gemulai,
namun cukup hebat akibatnya. Oleh Wasi Sableng
tangannya seolah-olah telah ditampel dengan sebilah
lempengan benda keras, sehingga mulutnya meringis
menahan rasa sakit yang menyengat-nyengat pada ke-
dua belah tangannya.
Yang membuat Wasi Sableng lebih melongo adalah
sikap si genit itu. Seolah-olah ia tidak mengetahui
bahwa orang yang baru saja ditampel dengan sapu
tangannya itu telah peringisan menderita sakit.
Masih dalam ketidak-percayaannya akan kenyataan
itu, sekali lagi Wasi Sableng meraihkan kedua tangannya ke pundak si genit
beralis tebal yang masih berdiri di situ sambil mengerling dengan sudut matanya
ke arah Wasi Sableng.
"Ehh, sabar, Tuan," desis si genit sambil memiring-
kan tubuhnya diiringi senyuman sinis dan tahu-tahu
jari-jarinya telah mencubit lengan si Wasi Sableng.
"Huuaaduuhh!" seru Wasi Sableng kesakitan, sebab
dirasanya cubitan tadi sekeras paruh burung betet
yang mematuk, dan buru-burulah Wasi Sableng mena-
rik kedua tangannya. "Keparat! Kau menghinaku!?"
Arya Demung dan lain-lain yang menyaksikan keja-
dian, pada tertawa terbahak-bahak kegelian. Tapi ju-
stru ini pulalah Wasi Sableng menjadi semakin berin-
gas dan marah. Hanya Arya Demung sendiri yang da-
pat memaklumi siapakah sebenarnya si genit itu, sam-
pai ia berani menolak tangan Wasi Sableng yang ber-
maksud memeluknya.
"Heh, he, he, ayolah sobatku Sableng! Tangkaplah si
genit itu kalau engkau ingin memeluknya. Aku ingin
tahu apakah Sobat masih cukup lincah untuk itu"!"
ujar Arya Demung disertai tawa yang beruntun.
"Hee, Sobat ingin mengujiku?" seru Wasi Sableng
sambil mencereng tajam ke arah sahabatnya, karena
sedikit banyak ia merasa tersinggung oleh kata-kata
itu. "Hooo, janganlah sobatku Sableng berhati sekaku tangan tombak. Anggaplah
ini sebagai permainan yang
segar. Nah, tangkaplah si genit itu sekarang juga!"
"Bagus! Dan kau akan menghadiahi apa, jika aku
sampai berhasil menangkapnya?" seru Wasi Sableng.
"Heh, heh, heh, sekantong uang emas utuh itu!"
ujar Arya Demung sambil mengguncang-guncang se-
pundi uang emas yang dikeluarkan dari balik bajunya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menangkap-
nya!" geram Wasi Sableng sekaligus melesat menubruk
ke arah si genit beralis tebal itu. "Hyaaattt!"
Terkaman Wasi Sableng memang tidak begitu hebat,
sebab ia telah yakin bahwa dengan sekali tubruk saja, pasti ia dapat
menangkapnya. "Hi, hi, hi, meleset!" ujar si genit seraya meloncat ke samping, dan akibatnya
Wasi Sableng hampir saja ter-sungkur di atas lantai pendapa yang mengkilat itu.
Untung saja si jagoan itu cepat-cepat memutar ge-
rakan-gerakan tubuhnya untuk mematahkan tenaga
dorongan dari dirinya sendiri.
Kini Wasi Sableng mengambil ancang-ancang sam-
bil menatap ke arah si genit yang berdiri melenggang-lenggok sementara jari-
jarinya mempermainkan sapu-
tangan biru dengan gerakan gemulai.
Tak ketinggalan pula si genit melontarkan senyu-
man sinis ke arah Wasi Sableng dan karenanya pula
Wasi Sableng merasa bahwa si genit itu telah menggo-
danya. "Menjengkelkan!" gumam Wasi Sableng. "Ia mem-
permainkanku" Apakah aku tak sanggup menangkap-
nya?" Wasi Sableng berdesah dan menyungar-
nyungirkan hidungnya, lantaran bau harum semerbak
turut menghambur bersama goyangan sapu tangan bi-
ru di tangan si genit itu.
"Hiihh! Sekarang rasakan!" seru Wasi Sableng se-
raya menerkam ke depan dengan jari-jari mengembang
tak ubahnya sepasang cakar garuda yang siap beraksi.
Wuuutt...! Sambaran tersebut berlalu ke arah si ge-
nit dengan hebatnya dan tampaknya pastilah sasaran
itu akan teringkus seketika.
Namun tidak demikian kiranya. Si genit secepat ki-
lat berjongkok serendah mungkin dan tangan kirinya
tahu-tahu menyodok ke arah lambung Wasi Sableng.
"Wah, berbahaya!" gumam Wasi Sableng, sekaligus
membuang diri ke samping dan bergulingan di lantai
sangat cepatnya, tanpa memperdulikan guruh ketawa
dari orang-orang di sekitarnya. Yang teringat hanyalah keselamatan dirinya dari
sodokan tangan kiri si genit itu. Akan tetapi hati Wasi Sableng mencelos
seketika. Sewaktu ia melenting berdiri, ternyata si genit telah berada di samping, dan
tangan kanannya yang meng-


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genggam sapu tangan biru itu serentak mengebut ke
arahnya diiringi bunyi menjetar keras.
Dengan kekagetan yang luar biasa, Wasi Sableng
melesat ke udara menghindari sapu tangan itu yang
mematuknya bagai seekor ular ganas memburu mang-
sanya. "Luar biasa!" desis Wasi Sableng penuh keheranan
dan rasa jerih. "Siapakah dia ini" Bukankah ia juga
seorang pelayan yang mengatur hidangan!?"
Pada jarak yang cukup jauh, Wasi Sableng menda-
rat di lantai, disertai dada yang kembang kempis. Cepat ia bersiaga kembali.
Gerutunya, "Bagus! Jika dengan cara yang halus ia sukar ditangkap, dengan cara
keraslah ia akan kutundukkan!"
Bagi Wasi Sableng, tindakan si genit yang beberapa
kali menghindari tangkapannya benar-benar menjeng-
kelkan. Tapi lebih memanaskan hati Wasi Sableng ada-
lah kelancangan si genit yang berani menyerangnya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Wasi Sableng mener-
jang ke depan. Tangan keduanya menerkam, sementa-
ra kaki kanan menyapu ke arah tubuh si genit, dengan harapan bila si genit itu
jatuh maka ia akan mering-
kusnya. Tapi apa yang terjadi" Dalam gerakan tenang, si ge-
nit menangkis sambaran kaki Wasi Sableng dengan te-
basan telapak tangan kirinya. Blaaakk...! Dan selan-
jutnya dengan gesit ia melenting ke udara sehingga
Wasi Sableng tak berhasil dengan terkaman tangan-
nya. "Heei, dia bukan pelayan sembarangan!" desis Wasi
Sableng tak habis herannya. "Jadi dia sengaja ingin
mencoba kekuatanku!"
Belum habis Wasi Sableng merenungi si genit tadi,
mendadak saja lawannya itu menyerbu ke arahnya.
Sapu tangan biru di tangannya menyambar bagaikan
kilat cepatnya dan Wasi Sableng benar-benar terkesiap setengah mati.
"Hihh!" Wasi Sableng ganti menebaskan pukulan te-
lapak tangannya ke samping. Ia bertekad untuk me-
megat gerakan sapu tangan si genit, dan jika mungkin merebutnya.
Blaashh...! Satu bentrokan lemah tapi berhawa pa-
nas terjadi ketika tangan Wasi Sableng berbentur dengan sapu tangan si genit.
Sambil mengibaskan tangannya yang seperti tersen-
tuh bara api, Wasi Sableng ganti menyodokkan tangan
kirinya ke depan menerjang ke arah lambung si genit.
Akan tetapi, si genit beralis tebal itu meloncat ke
atas dan kaki kirinya tanpa terduga menyapu ke arah
pundak Wasi Sableng dalam serangan kilat.
Tak ada pilihan lain bagi Wasi Sableng, selain me-
nerjang kaki si genit dengan geprakan tangan kanan-
nya sehingga benturan terjadi cukup kerasnya.
Satu hal yang benar-benar mengagumkan adalah
gerakan si genit. Begitu kaki berbentur, tubuhnya
menggeliat melenting menjauhi Wasi Sableng dengan
sangat lincah bagaikan gerakan udang di atas air.
Suara ketawa riuh menggema di ruangan pendapa
rumah Arya Demung karena pertandingan tersebut.
Bahkan saking terpikatnya oleh hal itu, Arya Demung
selalu menggebrak-gebrak meja panjang di depannya
seperti memberi semangat dan irama bagi kedua tokoh
yang tengah bertanding di depannya.
Si Mulut Bertudung sendiri ikut tercekat kagum
oleh gerakan si genit, sebab selama ini setiap pelayan di rumah Arya Demung
selalu bersedia melayani ta-munya, dan soal dipeluk bukanlah sesuatu yang asing
bagi mereka. Namun si genit itu berani menentang ke-
hendak Wasi Sableng, bahkan kini berani bertarung
mengadu tenaga. Selintas lalu si Mulut Bertudung ini jadi teringat dengan
Tuntari, si pendekar puteri yang pernah bertempur melawannya di halaman rumah Ki
Sungkana beberapa waktu berselang.
"Hmm, ternyata puteripun sanggup bertarung dan
memiliki kesaktian pula. Tapi siapakah si genit itu sesungguhnya" Aku hanya tahu
bahwa dia seorang ang-
gota baru di rumah ini, dan namanya, sama sekali aku belum tahu. Hmm, menilik
gerak-gerakannya, ada jurus-jurus yang mirip dengan jurus milik Ki Saudagar
Arya Demung!"
Kedua orang itu makin bergerak serang-menyerang
dengan cepatnya, sampai kadang-kadang sukar di-
tangkap oleh mata orang-orang yang melihatnya. Me-
reka bergerak ke sana-ke mari tak ubahnya dua ekor
jago yang lagi berlaga memperebutkan kemenangan.
Sapu tangan biru milik si genit senantiasa mematuk-
matuk ke arah pertahanan Wasi Sableng yang kosong.
Gerakannya sangat cepat, sehingga selintas yang tam-
pak adalah sinar-sinar biru yang menyambar-nyambar
ke arah Wasi Sableng.
Dapat dibayangkan, seandainya bukan Wasi Sab-
leng yang menghadapi serangan tersebut, pastilah su-
dah menggeletak orang itu sejak tadi karena terkena
hajaran sapu tangan biru dari si genit.
Wasi Sableng makin terbuka matanya begitu mera-
sakan terjangan-terjangan si genit yang semula cuma
dipandangnya dengan sebelah mata saja. Tak tahunya
wanita itu sanggup melawannya sampai beberapa ju-
rus, dengan serangan-serangan yang gencar menggi-
riskan. Sekarang juga Wasi Sableng tak mau membuang-
buang waktu lagi. Lawannya itu sanggup mengatasi
serangannya lantaran ia membekal sapu tangan biru,
maka bagi Wasi Sableng sendiri iapun tak ayal lagi untuk melolos sesuatu dari
balik bajunya, membuat se-
mua mulut berteriak kaget dibarengi bulu kulit mereka pada berdiri mengkirik
seperti melihat hantu di siang hari.
"Ular weling!"
Yah, begitulah memangnya. Benda yang dilolos oleh
Wasi Sableng dari balik bajunya, tidak lain adalah seekor ular weling yang
kulitnya berbelang-belang hitam dan putih kekuningan, salah satu jenis ular
berbisa yang ditakuti orang.
Sedang Wasi Sableng sendiri cuma cengar-cengir
ketawa lantaran ular weling ini adalah salah satu sahabat atau binatang
kesayangannya. Sejenak kemu-
dian, Wasi Sableng menatap ke arah Arya Demung
sambil berseru, "Sobat Demung! Lekas katakan kepa-
daku, sebelum aku marah benar-benar. Siapakah se-
benarnya si genit ini"!"
Arya Demung tertegun sesaat lalu menyahut, "Baik-
lah kalau engkau ingin mengenalnya. Dialah yang ber-
nama si Teja Biru, salah seorang pendekar undangan
dari daerah barat yang datang bergabung kepada kita!"
"Hee, jadi mengapa dia menyaru dan ikut mengatur
hidangan seperti pelayan-pelayan itu semua"! Tamba-
han lagi, mengapa engkau tidak memperkenalkan si
genit itu sejak tadi, sampai kami terlibat dalam pertarungan ini!?"
"Jangan gusar, Sobat Sableng! Itu semua adalah
kehendaknya sendiri. Ia memang mempunyai cara-
cara yang aneh untuk memperkenalkan diri, seperti
caranya yang menyamar sebagai pelayan hidangan ta-
di," demikian ujar Saudagar Arya Demung menje-
laskan. "Hmm, kalau begitu ia sengaja mengelabui diriku"
Keterlaluan! Dia harus membayar kerugian kepadaku
untuk kekurangajarannya!" bentak Wasi Sableng se-
raya menatap ke arah si genit Teja Biru tajam-tajam.
"Heh, heh, heh. Kau boleh bertanya sendiri kepa-
danya, Sobat!" sahut Arya Demung kemudian. "Apakah
dia bersedia membayar kerugian itu atau tidak."
"Heei, Teja Biru! Lekas katakan, apakah engkau
bersedia membayar kerugian itu!" kembali Wasi Sab-
leng membentak keras-keras sementara ular weling di
tangan kanannya menggeliat-geliat menjijikkan.
"Hih, hi, hi. Mana boleh ada yang untung rugi di si-
ni" Apakah kita telah berjual beli di tempat ini?" balas Teja Biru dengan
sindiran yang tajam memanaskan telinga. "Aku sengaja ingin berkenalan dengan
kamu, Sobat!" "Tapi dengan cara yang menyakitkan hati?" balas
Wasi Sableng. "Tidak! Kau harus kuhukum untuk itu!"
"Hi, hi. Jangan terlalu gegabah mengancamku. Hu-
kuman apa yang kau maksudkan"!" sahut Teja Biru
seraya berlenggak-lenggok genit seraya menggoyang-
kan sapu tangan birunya yang berbau harum itu. Pen-
dek kata, seolah tingkah Teja Biru ini sangat memikat dan menggairahkan,
sehingga tak mengherankan bila
Wasi Sableng menghadapinya dengan beringas dan ha-
ti yang kembang-kepis. Belum pernah ia dipermainkan
dan digoda oleh wanita secantik si genit Teja Biru ini.
"Kau... kau...," seru Wasi Sableng dengan perkataan
yang sukar, gara-gara nafsu amarah yang bercampur
aduk dengan rasa kegilaan untuk mendapatkan si ge-
nit beralis tebal, berambut hitam mengombak itu.
"Kau..., kau harus melayani semua perintahku! Itulah
hukuman bagimu!"
"Hi, hi, hi, hi. Mudah sekali kata-katamu. Kau boleh menghukumku jika aku telah
dapat kau kalahkan dalam pertarunganku ini nanti!" ujar Teja Biru seraya
bibirnya mencibir dan memerot ke sana-ke mari dalam
gaya yang menjengkelkan tapi memikat, membuat hati
Wasi Sableng makin gulung-koming. "Dan sebaliknya,
apa jadinya jika engkau yang kukalahkan"!"
"Kau boleh menghukumku, dan aku bersedia men-
gerjakan segala perintahmu!"
"Bagus. Itu perkataan seorang jagoan yang sejati!"
sambung Teja Biru. "Ayo kita mulai bertarung! Aku
sengaja ingin mencoba kegagahanmu dan sedikit men-
dapat pelajaran dari seorang pendekar jagoan yang
bergelar Wasi Sableng!"
"Hmm, aku sudah dapat membayangkan, bahwa
engkau akan segera dapat kukalahkan dan kupeluk
dengan kedua belah tanganku yang kokoh ini!"
"Sambutlah ini!" seru Teja Biru. Serentak sapu tan-
gan biru di tangannya melecut ke arah dada Wasi Sab-
leng dengan bunyi menjetar nyaring. Taaarr...!
"Asem! Dia telah menyerang lagi!" desis Wasi Sab-
leng seraya meloncat mundur dan ganti menyabetkan
ular weling di tangan kanannya ke samping tepat keti-ka Teja Biru telah
mengejarnya ke situ. "Heeit!"
Teja Biru mendesah kaget. Naluri kewanitaannya
yang biasa jijik menghadapi binatang-binatang se-
bangsa cacing, tikus, ulat dan ular membuat ia merasa jerih menghadapi ular
weling di tangan Wasi Sableng.
Beruntung bahwa ia menggenggam sapu tangan bi-
ru, salah satu senjata andalannya yang selama ini telah melindungi dirinya dari
setiap bahaya. Sssss...! Suara desisan ular weling di tangan Wasi
Sableng menyambar dengan ganasnya ke arah si Teja
Biru. Tapi si genit itu cukup gesit menghindari dari senjata aneh lawannya yang
mematuk-matuk dengan
gerakan kilat. Melihat kedua tokoh itu sudah bertarung kembali,
para penonton menjadi terpesona kembali. Hampir se-
mua mata pada melotot terpaku mengawasi, betapa
Wasi Sableng dan Teja Biru saling melibat dan serang-menyerang.
"Mulut Bertudung!" bisik Saudagar Arya Demung
kepada Si Mulut Bertudung yang duduk di sebelahnya.
"Bukankah mereka berdua sama-sama hebatnya!?"
"Benar, Kakang Arya Demung."
"Dengan kedua orang itu, kita akan lebih kuat lagi."
"Aku khawatir kalau mereka menjadi sungguh-
sungguh bertempur, Kakang Demung!"
"Memang mereka sungguh-sungguh, bukan?"
"Dan bagaimana bila sampai Teja Biru jatuh sebagai
korbannya"!"
"Itu tak mungkin!" sahut Arya Demung.
"Mengapa tak mungkin?" sambung Si Mulut Bertu-
dung. "Bukankah mereka bertarung sungguh-
sungguh" Dan setiap pertarungan, tidak mustahil
membawa korban!"
"Sebab Wasi Sableng tak akan sampai hati mence-
derai si Teja Biru!" Arya Demung berkata pasti.
"Dari mana Kakang Demung mengetahui hal itu?"
"Ahh, kau kurang membawa mata!" sahut Arya De-
mung. "Bukankah Wasi Sableng cukup menyayangi
tubuh si genit Teja Biru" Ia sangat tergila-gila kepada si genit itu!"
Si Mulut Bertudung manggut-manggut mendengar
keterangan Saudagar Arya Demung tadi. Pangkal per-
tarungan ini bila dipikir adalah disebabkan keinginan Wasi Sableng untuk memeluk
tubuh si genit Teja Biru
yang padat semampai itu. Tapi hal itu ternyata tidak semudah yang diduga, sebab
mana boleh seorang pendekar puteri seperti Teja Biru sudi dianggap remeh
oleh orang lain, meski orang itu adalah rekannya sendiri"!
"Nah, lihat itu!" bisik Arya Demung kembali kepada
Si Mulut Bertudung. "Beberapa kesempatan untuk se-
rangan mematikan telah dilewatkan oleh Wasi Sableng.
Apakah itu tidak berarti bahwa Wasi Sableng cukup
menyayangi Teja Biru?"
"Hmm, benar, Kakang. Tapi bagaimana sebaiknya?"
"Maksudmu?"
"Bagaimana bila si genit Teja Biru berusaha mence-
derai Wasi Sableng?" tanya Si Mulut Bertudung.
"Itupun tak bakal terjadi," jawab Arya Demung.
"Heeiii?"
"Tak perlu heran, sebab sebelumnya aku telah pula
berpesan kepada si genit Teja Biru!"
"Ooohh."
"Aku telah berpesan kepadanya, agar sekeras-
kerasnya tidak sampai mencederai terhadap Wasi Sab-
leng." "Hebat! Jadi Kakang telah mengaturnya?"
"Heh, heh, heh. Aku tahu bahwa Wasi Sableng se-
nang dengan wanita-wanita cantik. Karenanya aku be-
rusaha mengikat persekutuan kita lebih erat dengan
cara-cara yang sesuai dan cocok!"
"Heh, ini pasti akan merupakan pertunjukan yang


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebat dan menarik," ujar Si Mulut Bertudung.
"Memang demikian, Adi!"
"Mereka sama-sama gesit dan tangguh!"
Pertarungan antara si genit Teja Biru dan Wasi Sab-
leng makin seru. Kedua senjata mereka saling pagut-
memagut, sambar-menyambar tak henti-hentinya,
tanpa jemu. Adakalanya terjadilah benturan antara
sapu tangan biru di tangan si genit dengan ular weling milik Wasi Sableng.
Anehnya ular tersebut seakan-akan tahan benturan yang sedahsyat apapun. Sung-
guh menakjubkan.
Bahkan setiap kali berbentur, ular weling milik Wasi Sableng selalu berusaha
untuk mencaplok sapu tangan biru yang menjadi lawannya.
Mengingat hal itu semua, si genit Teja Biru menjadi
lebih waspada dan berhati-hati dalam menggunakan
sapu tangan birunya. Salah langkah, senjatanya bisa
terampas oleh lawan dan itu berarti pula sebagai keka-lahannya.
Meskipun pertarungan ini telah berlangsung berpu-
luh jurus, belum seorangpun di antara mereka berdua
yang menunjukkan tanda-tanda kelelahan ataupun
kehabisan tenaga.
"Kau belum menyerah!?" seru Wasi Sableng kepada
lawannya yang terus-menerus gigih melancarkan se-
rangan. "Kaulah yang mesti menyerah kepadaku, hi, hi, hi,"
sahut Teja Biru. "Dengan begitu, kau boleh membung-
kuk minta ampun di hadapanku. Atau kau pilih me-
meriksa kutu di kepalaku"!"
"Haaah!?" desis Wasi Sableng dengan nada kaget,
marah bercampur heran. Bukankah itu kata-kata hi-
naan bagi dirinya" Tapi lantaran kata-kata tadi di-
ucapkan dengan gaya yang memikat dan genit oleh Te-
ja Biru, justru membuat Wasi Sableng tidak menjadi
marah lebih lanjut. Malahan ia menjadi senang pula
karenanya. Dan katanya kemudian, "Babo-babo! Tob-
las. Wong denok ayu, hati-hati jika sampai dapat kuka-
lahkan. Engkau akan kupondong keliling Asemarang
terus-menerus selama tujuh hari!"
"Pikiran gendeng! Hi, hi, hi, hi. Tak akan semudah
itu mengalahkan Teja Biru!" seru si genit sementara
sapu tangannya terus-menerus menyambar mencari
sasaran. Dalam pada itu, sesungguhnya Teja Biru merasa
bingung dan kerepotan memikirkan cara, bagaimana
harus mengalahkan Wasi Sableng dengan cara yang ti-
dak menyakitkan hatinya. Begitulah, sambil bertempur menghadapi Wasi Sableng, ia
terus memikirkan cara
yang tepat dan jitu.
Rupanya Wasi Sableng pun tengah mencari cara
untuk menundukkan si binal Teja Biru dalam jurus-
jurus berikutnya. Untuk menggebrak sampai roboh, te-
rang ia tidak sampai hati dan sesungguhnya ia sendirilah yang bakal rugi jika si
genit sampai mengalami cedera.
Dasar Wasi Sableng seorang pendekar yang suka
berpikir ugal-ugalan dan lucu, maka sebentar kemu-
dian bibirnya menampakkan senyum lebar, merupa-
kan pertanda bahwa ia telah menemukan gagasan
yang sejak tadi dicari-carinya. Berkali-kali matanya menatap baju Teja Biru yang
berbunga-bunga biru
kuning dan garis hitam tersebut dari bahan sutera halus. Leher baju itu sangat
lebar, begitu pula lengan bajunya yang panjang, merupakan perpaduan yang sera-
si. Setiap kali bergerak, laksana puluhan bunga-bunga beraneka warna ikut
terayun ke sana ke mari.
Selagi sibuk berpikir-pikir itu, mendadak Teja Biru
mengebutkan sapu tangannya ke arah dada Wasi Sab-
leng, sehingga jagoan ini dengan kelabakan menangkis dengan putaran ular
welingnya ke kiri.
Namun dalam saat yang berbareng pula, tahu-tahu
tangan kiri si genit Teja Biru mendorong ke depan ke
arah lambung lawannya, berisi dorongan tenaga dalam
yang sukar diukur kekuatannya.
"Berbahaya!" desis Wasi Sableng serta melenting ke
atas, sebab itulah satu-satunya tindakan yang tepat
dalam waktu yang kritis dan gawat, terlebih-lebih ia tak menduga sama sekali
akan serangan tersebut.
"Inilah saat yang tepat!" gumam si genit Teja Biru
dengan disertai kecepatan kilat, lalu tubuhnya melesat ke atas mengejar Wasi
Sableng. Sekali lagi Wasi Sableng dibikin kaget, tapi dengan
lincahnya pula ia membelok ke samping memapaki ke-
jaran si genit Teja Biru, sementara masing-masing senjata telah siap beraksi ke
arah lawannya. Maka sesaat kemudian, terjadilah satu papasan di udara antara
Wasi Sableng dengan si genit Teja Biru, persis dua ekor jago yang melambung di
udara! Bettt! Wessss! Wasi Sableng menangkis sapu tangan Teja Biru
dengan tebasan sisi telapak tangan kirinya, sedang
ular welingnya bergerak ke bawah mencari sasaran.
Akan tetapi pada saat itu pula Wasi Sableng mera-
sakan sambaran angin kencang melintas di kepalanya
tanpa dapat diduga dan dicegah terlebih dahulu.
Wasi Sableng menangkis sapu tangan Teja Biru
dengan tebasan sisi telapak tangan kirinya sedang ular welingnya bergerak ke
bawah mencari sasaran.
Dalam detik berikutnya, kedua tokoh itu telah men-
darat kembali di atas lantai dengan diikuti oleh semua mata yang menontonnya.
Baik Wasi Sableng dan Teja
Biru masing-masing memeriksa keadaan tubuhnya.
"Hahh?" dengus Wasi Sableng ketika ia mendapati
ikat kepalanya telah tanggal dari kepala dan entah jatuh di mana tadi. Tapi
betapa hatinya menjadi runtuh mencelos sewaktu ia melihat bahwa ikat kepalanya
itu tergenggam di tangan kiri si genit Teja Biru.
"Hah, ha, ha, ha. Akui saja terus terang, Sobat! Sia-pa yang kalah kali ini,
heei"!" seru si genit Teja Biru seraya melambai-lambaikan kedua tangannya yang
masing-masing menggenggam sapu tangan biru dan
ikat kepala Wasi Sableng, sementara pinggangnya ber-
goyang ke kanan kiri bagai alunan ombak kecil yang
mampu menghanyutkan hati.
Maka tak ubahnya si Teja Biru melakukan gerak ta-
rian yang mempesona para penonton, ditambah ping-
gulnya yang selalu berputar-putaran ibarat pusaran
angin ribut, dan kata-kata godaan terus meluncur dari bibirnya yang merah mawar.
"Ayo, Wasi Sableng! Jangan berlagak pilon! Kau te-
lah kukalahkan! Hi, hi, hi!"
Wasi Sableng mengangkat alisnya, lalu katanya pu-
la sambil ketawa geli, "Hooo" Hiha, ha, ha, ha! Wong denok ayu, denok ayu!
Mengapa engkau begitu cepat
mengambil kesimpulan menang atas diriku, wong ayu!
Coba rasakan, apakah tidak ada sesuatu yang terjadi pada dirimu sendiri"!"
Sudah barang tentu si genit Teja Biru tidak cuma
tinggal diam ataupun menganggap kosong akan kata-
kata si Wasi Sableng tadi. Itulah sebabnya ia buru-
buru menenangkan diri, sebab memang sejak tadi ia
belum merasakan apa-apa.
"Hihh?" desah Teja Biru tiba-tiba ketika ia merasa-
kan ada sesuatu yang bergerak-gerak di antara celah
dadanya, membuat kegelian tapi juga mengkirik bulu
tengkuknya. Sesaat ia memejamkan mata keenakan,
namun sejurus itu pula ia menjerit ketakutan. "Hihhh, hiiii... tolong...
hhii...!" Si genit Teja Biru berjingkrakan seperti orang gate-
len dan betapa terkejutnya, lebih-lebih ketika dari sela-sela leher bajunya yang
lebar itu mencungul sebuah
ekor belang-belang berwarna hitam kuning sambil ber-
gerak-gerak nakal ke kiri kanan. Maka kontan si genit Teja Biru menjerit
sekeras-kerasnya. "Hiii... ular we-liiing!"
Dapat dibayangkan betapa mengerikan peristiwa
ini, terlebih lagi bagi si cantik Teja Biru, yang kadang kala bergaya agak
sombong. Sehingga keadaan seperti
berbalik sama sekali. Kalau semula ia tertawa girang, tiba-tiba kini ia
menjerit-jerit ketakutan.
Arya Demung, Si Mulut Bertudung dan segenap
orang-orang di situ pada kebingungan. Tapi dapat berbuat apakah mereka ini"
Bukankah kejadian ini cukup
mengagetkan sehingga kebanyakan mereka tertegun
seperti arca. "Heh, heh, heh. Wong denok ayu, engkaulah yang
kalah. Kau tak perlu takut. Ularku itu cuma nunut
agar tidak kedinginan," ujar Wasi Sableng, jagoan yang suka berlaku lucu edan-
edanan itu. "Ular welingku tidak akan menggigit. Mengaku kalahlah, Teja Biru!
Nanti ia akan kuambil kembali dari tempat itu!"
"Lekas ambil!" teriak Teja Biru sambil berjingkrakan dan berlari keluar dari
pendapa dengan diiringi pandangan mata yang melotot dan mulut melongo dari pa-
ra penonton yang kebingungan. "Hiii... tolong... tolong!"
Sejenak kemudian meledaklah ketawa para penon-
ton dengan berakhirnya pertandingan tadi dalam peristiwa yang mengerikan tapi
juga lucu. Mereka yakin
bahwa kedua tokoh itu akan selamat tanpa cedera
apapun. Di tengah-tengah gelak ketawa yang riuh itu, ma-
suklah si Klenteng dengan wajah yang tegang dan na-
pas berangsur-angsur tak teratur. Rupanya saja ia ba-ru melakukan perjalanan
jauh dan tergesa-gesa. Ber-
bintik-bintik peluh yang menempel pada dahinya.
Saudagar Arya Demung terkejut pula melihat keda-
tangan Si Klenteng. Sebentar saja, iapun lebih tertarik kepada kedatangan
Klenteng, sebab ia yakin bahwa setiap kedatangan orang ini, pastilah membawa
berita- berita penting.
"Hei, kau tampak terengah-engah, Klenteng" Ada-
kah sesuatu yang penting sampai engkau krenggosan
seperti itu?" ujar Arya Demung menanyakan perihal
keadaan pengikutnya yang bertubuh pendek hitam itu.
"Benar, Ki Demung! Sesuatu yang penting!"
"Bagus! Oih, minumlah terlebih dahulu supaya na-
pasmu lebih teratur. Kau harus berbicara dengan te-
nang," kata Arya Demung seraya menyodorkan selo-
dong tuak ke depan Klenteng.
"Heh, terima kasih," sahut Klenteng sekaligus me-
nyambut lodong tuak itu dan meneguknya dengan la-
hap, sampai-sampai mulutnya basah kuyup dengan
tuak yang menetes-netes.
Setelah Arya Demung melihat kepuasan minum dari
Klenteng itu segera ia berkata, "Nah, sekarang kau boleh berkata dengan tenang."
Klenteng mengajukan duduknya lalu berkata perla-
han, "Ki Demung, ketahuilah bahwa sebentar lagi Arca
Ikan Biru akan dibawa ke Demak!"
"Heei, dibawa ke Demak!?" ulang Arya Demung den-
gan kaget. "Memang ini kabar yang penting."
"Kira-kira empat-lima hari lagi."
"Siapa yang mengantar benda itu?"
"Siapa lagi kalau bukan si Demang Cundraka!"
"Jadi dia sendiri yang membawa benda itu?"
"Mungkin disertai beberapa orang teman."
"Hmm, dari mana engkau tahu perihal itu?"
"Aku menyamar dan menyelidik ke sana, seperti pe-
rintah Andika, Ki Demung," ujar Klenteng.
"Bagus, apa yang kau ketahui...."
"Mereka telah menyiapkan kuda dan bekal-bekal
untuk perjalanan tersebut, dan itu kuketahui dari si Demang Cundraka sendiri!"
"Hai, bagaimana bisa begitu?"
"Karena aku telah menjual kudaku yang bagus ke-
padanya, dan ia menceriterakan hal itu."
"Hmm, itulah kesempatan yang kita tunggu-tunggu,
Klenteng!" ujar Arya Demung seraya mengepal-
ngepalkan tangannya. "Kita akan mendapat uang ba-
nyak jika memperoleh Arca Ikan Biru tadi!"
"Jadi bagaimana rencana Andika?"
"Tunggu dulu. Kita harus membicarakan hal itu
lengkap dengan Wasi Sableng dan si genit Teja Biru,"
sahut Arya Demung. "Dengan demikian rencana akan
sekaligus menjadi matang."
Si Mulut Bertudung dan Klenteng mengangguk se-
tuju, dan mendadak mereka mengalihkan pandangan
ke arah halaman ketika terdengar teriakan dan suara ketawa riuh bercampur aduk
tak menentu. Maka segera tampaklah bahwa dengan langkah
yang tergopoh-gopoh, Wasi Sableng masuk ke dalam
pendapa seraya memondong si genit Teja Biru yang
meronta-ronta bergeronjalan sambil mengutuk-ngutuk.
"Lepaskan! Turunkan aku, bedebah! Kau membuat
malu di hadapan orang banyak!"
"Heh, he, he. Bukankah kau telah mengaku kalah?"
sahut Wasi Sableng. "Dan aku boleh memondongmu
selama tujuh hari keliling kota"!"
"Ya, tapi tidak sekarang! Turunkan!"
"Hah, ha, ha," Arya Demung ikut ketawa dan ka-
tanya pula. "Sobat Wasi Sableng! Marilah kalian ber-
dua mendekat kemari. Ada sesuatu yang akan kita
percakapkan. Ini sangat penting bagi kita semua!"
"Hih, baiklah. Turunlah, denok ayu," ujar si Wasi
Sableng sambil menurunkan tubuh si genit Teja Biru
yang masih memberengut dengan wajah malu kemera-
han. Mereka berlima berkumpul dan duduk mengelilingi
meja panjang, sementara Arya Demung telah memberi
tahu orang-orang di ruang pendapa, bahwa mereka
akan berunding. Maka segenap pengikut Arya Demung
boleh beristirahat dan berjaga-jaga di luar.
Kini ruangan pendapa itu menjadi senyap kembali,
kecuali alunan napas teratur dari kelima tokoh yang
berkumpul di tengah ruangan.
Arya Demung segera mengulang segala laporan
Klenteng agar Wasi Sableng dan Teja Biru mengeta-
huinya. "Satu-satunya jalan ialah mencegat mereka!" ujar
Arya Demung dengan pasti. "Dan merampas benda itu
dari tangan mereka!"


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi, bukankah Demang Cundraka setidak-
tidaknya telah mengenal Andika?" bertanya Klenteng.
"Ya, Anda adalah orang yang cukup terkenal di kota
ini, pasti ia telah melihat Anda sebelumnya," sela Wasi Sableng pula.
"Itu mudah diatasi!" sahut si genit Teja Biru. "Anda boleh memakai topeng, agar
tidak dikenal oleh Demang Cundraka. Saya kira itu cukup baik!"
"Ya, ya, benar. Aku setuju dengan pendapatmu,"
ujar Arya Demung menerima pikiran Teja Biru. "Nah,
bagaimana pendapat kalian bertiga?"
"Setuju! Kiranya itulah jalan yang paling tepat," ujar Wasi Sableng, Si Mulut
Bertudung dan Klenteng hampir berbareng.
"Di mana kira-kira kita akan menghadang mereka?"
bertanya Si Mulut Bertudung seraya memilin-milin
kumisnya sampai meruncing seperti ujung jarum.
"Aku hafal dengan jalan dan tempat-tempat yang
menuju ke Demak," ujar Klenteng sambil mencelupkan
jari tangannya ke dalam mangkok berisi tuak, lalu
membuat coretan-coretan di atas meja, menggambar-
kan sebuah peta sederhana antara Asemarang dengan
Demak. "Hmm, baik," ujar Arya Demung seraya memberi
tanda pada peta tersebut. "Inilah Desa Genuk! Kita harus mendahului kesana
sebelum keberangkatan De-
mang Cundraka dan kawan-kawannya."
"Jadi kita akan mencegat mereka di Desa Genuk?"
sambung Si Mulut Bertudung dengan wajah penuh
tanda tanya. "Jika terjadi pertarungan di desa itu, pasti memba-
hayakan keselamatan kita," menyela si Teja Biru.
"Tentu saja tidak di sana kita mencegatnya," potong
Arya Demung segera. "Kita akan menghadang mereka
sebelum mereka mencapai Genuk. Kita sikat habis
orang-orang itu, lalu memungut Arca Ikan Biru dan
kemudian kabur ke arah Asemarang! Nah, bagaimana
pendapat kalian?"
Keempat pembantu Arya Demung tidak segera me-
nyahut, kecuali memanggut-manggutkan kepalanya,
tanda mereka dapat menerima gagasan tadi.
"Kapan kita akan berangkat?" bertanya Wasi Sab-
leng. "Sebaiknya besok pagi kita memulai perjalanan,"
ujar Arya Demung. "Kalian akan segera mendapat tu-
gasnya masing-masing, dan inilah kesempatan bagi
kalian untuk memperlihatkan keberanian dan kegaga-
han yang Anda punyai."
Wasi Sableng berempat termenung sesaat, tapi seju-
rus kemudian mereka berlima telah sibuk memperbin-
cangkan tentang rencana dan segala sesuatunya. Me-
reka segera tenggelam dalam suasana kesungguhan
yang mencekam. Sementara itu para pengikut Arya Demung di luar,
senantiasa berjaga-jaga dan sebagian lagi beromong-
omong di bawah kerindangan dedaunan pohon-pohon
yang tumbuh rapi di sekeliling halaman rumah Arya
Demung. Entah apalagi yang diperbincangkan oleh Arya De-
mung berlima, tak seorangpun lain yang tahu, begitu
Kisah Sepasang Rajawali 1 Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Pendekar Muka Buruk 18
^