Pencarian

Badai Di Selat Karimata 1

Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Bagian 1


BADAI DI SELAT KARIMATA W.H. Wibowo 1 LANGIT di sebelah timur dipenuhi oleh rantai-rantai cahaya merah yang berpijar,
ketika dua buah perahu jung itu tengah membelah laut Jawa dengan lajunya ke arah
barat laut. Sebentar-sebentar dari permukaan air laut muncullah beberapa ekor
ikan terbang serta
membuat loncatan-loncatan panjang di sekitar perahu-perahu itu, seperti ingin
mengajak berlomba rupanya.
Sungguh suatu pemandangan yang indah.
Di buritan perahu itu berdiri tiga orang yang diam membisu memandang ke air laut
yang luas, dan berbuih buih yang ditinggalkan oleh buritan perahu.
Mereka seolah-olah sedang mengenang segala
pengalaman-pengalaman yang telah lewat. Pengalaman yang dipenuhi oleh kilatan
pedang dan dentuman
meriam. Terbayang kembali di mata mereka
pertempuran-pertempuran yang hebat di Karimun
Jawa ketika mereka berjuang menumpas bajak laut
Pulau Ireng. "Kakang Mahesa Wulung, lihatlah di sebelah utara
itu!" suara Jogoyudo memecah kesunyian pagi yang
bisu itu. "Hmm. Mengapa, Adi Jogoyudo" Adakah sesuatu
yang menguatirkan?" kata Mahesa Wulung kemudian.
Pikirannya tiba-tiba melayang ke arah peristiwa-
peristiwa lalu, karena di sinilah gerombolan bajak laut Iblis Merah sering
berkeliaran mencari mangsanya.
Bahkan lebih dari itu, ayahnya pun dikabarkan
telah lenyap dan tewas puluhan tahun yang lalu di laut Selat Karimata ini,
akibat keganasan mereka.
"Awan hitam itu sangat tebal. Rupanya badai akan
turun sebentar lagi, Kakang," sekali lagi Jogoyudo berkata pelan tapi matanya
tak lepas-lepas dari awan hitam yang tebal dan pekat menggantung di langit
utara. "Mungkin benar juga perkiraanmu itu, Adi. Angin
pun terasa bertiup semakin kencang," ujar Mahesa
Wulung. "Baiknya kau perintahkan saja anak-anak untuk
bersiap-siap menghadapi badai itu. Ikat erat-erat
semua barang-barang agar tidak terlepas dari perahu."
"Adi Pandan Arum, masuklah ke kamar bawah. Itu
lebih aman kiranya. Kami akan berjuang sekuat tenaga jika badai itu benar-benar
melanda kita."
"Baik, Kakang," sahut Pandan Arum singkat dan ia
cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Sementara
seluruh awak perahu, sibuk bekerja.
Meriam-meriam diikat lebih erat dan sementara
layar yang kurang penting ada yang diturunkan. Di
kapal yang satu tampaklah kesibukan pula. Hang
Sakti dan Egrang tak henti-hentinya memberi
petunjuk-petunjuk kepada awak kapal.
Ketika angin bertiup semakin kencang, orang-orang
di kedua kapal itu dikejutkan oleh alunan suara
seruling. Sayup-sayup ia meliuk-liuk dibawa angin
sangat merdunya.
"Seruling Kakang Mahesa Wulung," desis Egrang.
"Ya, itulah tiupan Dinda Mahesa Wulung. Pantaslah
ia murid Panembahan Tanah Putih," ujar Hang Sakti
menyambung. Memang di buritan perahu pertama, Mahesa
Wulung dengan tenangnya meniup seruling yang
berukir-ukir indah. Orang-orang pun setengah heran melihat sikap pimpinannya.
Dalam saat-saat yang
berbahaya ia masih sempat untuk memperdengarkan
irama serulingnya yang merdu. Ah, tapi pastilah ia punya maksud-maksud tertentu
dengan sikapnya itu.
Dan, dugaan sementara orang-orang itu memang
benar juga. Mahesa Wulung yang kini asyik meniup
seruling itu tidak hanya sekedar tiupan yang kosong belaka, tapi ia juga
menyalurkan aji 'Bayu Rasa' yang keluar lewat lubang-lubang nada dari batang
seruling itu. Dan akibatnya memang hebat sekali. Bersamaan
dengan bertiupnya badai yang melanda kedua perahu
jung itu, nada seruling itu pun bertambah semakin
keras dan melengking.
Badai yang kini melanda laut Selat Karimata itu
datangnya secara bergelombang dan dahsyat, hingga
kedua perahu itu hanya seperti sabut kelapa saja yang berguncang dan terombang-
ambing di air laut.
Angin yang bertiup menimbulkan bunyi
menyakitkan telinga. Seolah-olah siulan dari setan-setan laut yang kelaparan.
Beberapa orang anak buah perahu-perahu itu mulai tak tahan dengan siulan
angin badai itu, sampai-sampai mereka menutup
telinganya dengan kedua belah tangan. Tapi justru hal inilah kesalahan yang
besar yang dibuat oleh mereka.
Sebab dengan kedua belah tangan yang menempel ke
telinga itu berarti mereka tak berpegang pada sesuatu benda, hingga sebentar
kemudian tiga orang di
antaranya terseret oleh ombak yang melambung ke
tengah geladak perahu.
Melihat hal ini, Jogoyudo berteriak nyaring. "Heee, tutup telingamu dengan
sobekan kain dan jangan kau lepaskan pegangan tanganmu."
Mendengar seruan Jogoyudo itu, mereka pun segera
mengerjakannya. Dengan begitu telinga mereka
terbebas dari pengaruh angin yang bersiul menyerikan.
Sedang di buritan, Mahesa Wulung tetap tegak di
tempatnya dan nada serulingnya bertambah dahsyat
seperti berkejaran dengan tiupan badai. Bahkan
seruling itu bergulung-gulung laksana gerak seekor ular raksasa yang mencoba
menahan amukan gelombang laut yang ganas. Pertempuran ajaib itu
berjalan beberapa saat tapi cukup menakjubkan dan
membuat ngeri hati siapa saja yang menyaksikannya.
Dalam pada itu, sambil meniup serulingnya Mahesa
Wulung di dalam hatinya berdoa dan memohon kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih agar badai yang bertiup
itu menjadi reda. Dengan hati yang penuh pasrah dan rendah hati, permohonan
batin itu berulang-ulang
berkumandang di dalam rongga dadanya. Dan
sungguh di luar dugaan, badai yang tadinya bertiup dahsyat itu kini berangsur-
angsur berkurang, dan
mereda, kecuali bunyi seruling Mahesa Wulung yang
masih tetap berkumandang tinggi mengalun di
angkasa. Dengan diam-diam Mahesa Wulung mengucapkan
syukur kepada Tuhan, karena badai itu telah mereda.
Orang-orang di kedua perahu itu pun terheran-heran dibuatnya. Entah mengapa
badai itu bisa reda. Apakah sebab dikalahkan oleh tiupan seruling Mahesa Wulung
atau memang badai itu mereda karena sudah saatnya, tak seorang pun mampu
menjawabnya. Tapi yang terang, badai itu kini telah lenyap dan
mereka pun benar-benar merasa lega.
Awak-awak perahu kini sibuk kembali. Layar-layar
dipasang seluruhnya dan kedua perahu itu pun
kembali melaju ke arah barat laut. Beberapa orang
tampak memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil
akibat amukan badai tadi.
Matahari muncul dari balik awan hitam kini bertiup ke arah barat dan sinarnya
itu gemerlapan dipantulkan oleh riakan ombak. Kepak-kepak sayap-
sayap burung camar terdengar kembali di sekitar
perahu membuat tenteram hati awak-awak kapal itu.
Berlayar berhari-hari memang membosankan dan
membuat lelah di badan, sebab jika memandang ke
luar perahu yang tampak semata-mata hanyalah air
laut melulu, melimpah dan luas tak bertepi. Begitu luasnya laut hingga tepinya
di batas cakrawala itu seolah-olah bertemu dan berpaut dengan langit biru.
Malah sementara nenek moyang, takut berlayar jauh
karena mereka percaya jika terus berlayar ke tepi sana, mereka pasti akan
tergelincir dan jatuh ke jurang yang dalam bersama perahunya.
Memanglah kalau dibanding dengan luasnya lautan,
maka diri kita akan terasa kecil sekali dan semakin kecil lagi bila kita menatap
langit yang maha luas itu, yang kesemuanya telah diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Besar, bagi mahluk-mahlukNya. Dan di laut
yang luas itulah dua buah perahu jung tetap berlayar dengan teguhnya setelah
dihajar oleh badai di Selat Karimata. Kedua perahu itu terus berlayar ke arah
barat laut menuju ke gugusan pulau-pulau Riau.
"Ahooi, daratan!" tiba-tiba kesunyian yang
membosankan terpecah oleh teriakan penjaga tiang
layar. Kata-kata "daratan" bagi setiap orang yang
berlayar pastilah sangat menggembirakan, bagai air dingin menyiram tubuh yang
kepanasan. Di situlah
mereka dapat membayangkan untuk mendapatkan
persediaan makanan, air, dan lain-lainnya.
Serentak para awak perahu berlarian ke dinding
perahu sebelah kiri dan wajah-wajah mereka menjadi cerah ketika di arah barat
laut tampak gugusan pulau-pulau yang kehijauan subur. Ketika perahu bertambah
dekat, makin nyata kesuburannya. Puncak-puncak
pohon nyiur tampak melambai-lambai ditiup angin
laut. "Kakang Mahesa Wulung, kita telah sampai di
Kepulauan Riau. Pastilah Kakang Hang Sakti dan
Nurlela sudah tak sabar untuk menginjak kembali
tanah tumpah darahnya," Jogoyudo yang berdiri di
samping Mahesa Wulung berkata pelan, dan
mendengar itu Mahesa Wulung cuma tersenyum
manis. "Ya, sebentar lagi kita akan mendarat dan di saat
inilah kita mulai lagi langkah-langkah pertama untuk tugas yang baru," berkata
Mahesa Wulung menyambung. Ketika perahu jung berdua itu makin mendekati
pantai, tampaklah hal yang ganjil. Semua keadaan
tampak sepi. Seorang pun tak kelihatan berada di
bandar, meski beberapa perahu besar berlabuh dan
perahu-perahu kecil lainnya tertambat di tonggak-
tonggak kayu. "Hmm, ada sesuatu yang kurang beres rupanya,"
gumam Mahesa Wulung demi pandangannya
dilayangkan ke bandar tersebut. "Jogoyudo, lekas
perintahkan anak buah untuk meningkatkan
kewaspadaan."
"Apakah kita mendarat sekarang, Kakang?" tanya
Jogoyudo sementara Mahesa Wulung berpikir keras
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
"Ya, kita mendarat sekarang juga. Tapi jangan lupa beberapa orang tetap tinggal
di kapal untuk menciptakan meriam-meriam. Jika terpaksa, kita
mendarat di bawah lindungan tembakan-tembakan
meriam." "Oh, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu!" desis
Jogoyudo penuh cemas, sebab iapun merasa bahwa di
balik kesepian bandar Tanjung Pinang itu pastilah ada sesuatu yang tersembunyi.
Mungkin mautlah yang akan menyambut
kedatangan mereka. Sebentar kemudian tampak
Jogoyudo berkomat-kamit mengucapkan doa agar
mereka dijauhkan dari bencana.
Mahesa Wulung memberi isyarat kepada perahu
kedua dengan melambai-lambaikan pedangnya ke arah
daratan dan segera perahu keduapun tampak sibuk
menyiapkan pendaratan.
Suasana menjadi tegang. Lebih-lebih setelah
sampan-sampan pendarat telah turun ke air dan
didayung ke arah pantai. Semua awak perahu bersiaga dengan senjata masing-masing
di tangannya. Begitu kedelapan perahu kecil itu merapat di
pantai, segera pula berlompatan awak-awak perahu ke tanah dan bersiaga. Namun
tak sesuatu yang terjadi.
Melihat hal ini Mahesa Wulung melangkah ke sebelah kanan mendapatkan Hang Sakti
yang memimpin sayap
kanan dari pagar manusia bersenjata itu. Sedang di pojok kiri, sayap barisan
dipimpin oleh Jogoyudo.
"Kanda Hang Sakti, apakah kiranya Andika
mengetahui seluk-beluk kota ini?" tanya Mahesa
Wulung. "Benar Dinda, aku tahu, sebab aku dilahirkan di
sini dan semasa kecil telah kujelajahi segenap pelosok pulau ini," kata Hang
Sakti. "Biarlah, sekarang aku coba untuk menyelidiki keadaan."
Hang Sakti tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya
ke depan sampai beberapa langkah. Setelah kira-kira dua tombak jauhnya dari
barisan itu iapun berhenti tiba-tiba, tepat sebuah teriakan nyaring terdengar
dari balik-balik rumpun pohon kelapa
"Berhenti! Melangkah lagi berarti maut bagimu!"
Mendengar teriakan ancaman itu Hang Sakti
tertegun sejenak, sebab suara itu begitu lantang dan penuh mengandung tenaga
dalam. Demikian juga
Mahesa Wulung penuh bertanya-tanya dalam hati.
Siapakah gerangan orang ini" Ia pernah mendengar
dari perantau-perantau bahwa di Pulau Bintan ini
tinggal beberapa pendekar sakti dari Malaka yang
terpaksa bersembunyi di pulau ini setelah Malaka
jatuh ke tangan Portugis di tahun 1511.
"Aku datang dengan maksud baik," seru Hang Sakti
lantang. Sementara itu tampak Pandan Arum melolos
senjata ampuhnya berupa selendang berwarna merah
jingga. Begitu pula berkali-kali meraba cambuk pusaka Naga Geni yang diikatkan
pada pinggangnya.
"Sebut namamu dahulu!" kembali teriakan nyaring
terdengar dari rumpun pohon kelapa.
"Aku Hang Sakti dari Bintan." Hang Sakti sekali lagi berteriak menjawab
pertanyaan itu.
"Ooo, kau Hang Sakti" Baik, aku datang sekarang.
Ha, ha, ha, ha."
Bersamaan dengan derai ketawa yang
mengumandang, melesatlah satu bayangan dari atas
pohon kelapa yang mendarat ke tanah dengan
ringannya seperti seekor tupai tepat tiga tombak di


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan Hang Sakti. Semua terkejut menahan napas,
lebih-lebih dengan Mahesa Wulung sendiri. Ia begitu kagum melihat cara orang itu
turun dari atas pohon kelapa.
Orang ini berbaju dan celana biru tua dan sarung
tenun kotak-kotak hitam putih terpasang indah di
pinggangnya, sedang ikat kepalanya hijau muda. Di
tangannya tergenggam sebilah pedang yang berkilat
tertimpa sinar matahari siang.
"Anaknda Hang Sakti?" seru orang itu ragu.
"Benarkah penglihatanku ini ataukah mimpi, atau
mungkinkah kau adalah hantunya dari mendiang
muridku Hang Sakti?"
"Bapak Pendekar Prahara," Hang Sakti berseru
keheranan dan pada wajahnya terbayang kebingungan
menghadapi hal ini. "Akulah Hang Sakti muridmu. Aku masih hidup dan kini
berbicara di hadapanmu."
"Aku pernah dengar bahwa kau bersama adikmu
ketika berlayar ke Demak telah dicegat dan tewas oleh gerombolan bajak laut
hitam Pulau Ireng."
"Benar begitu, Bapak. Tapi kami berdua terhindar
dari maut. Kami ditolong oleh Pendekar Barong
Makara dari Demak!" berkata Hang Sakti untuk
meyakinkan gurunya. Juga tiba-tiba dari barisan
pendarat itu keluarlah Nurlela dan maju ke depan
mendekati kakaknya yang tengah asyik berbicara
dengan Pendekar Prahara.
"Bapak Pendekar, kami berdua masih hidup!" ujar
Nurlela pula, sehingga pendekar setengah tua itu
menjadi yakin dan manggut-manggut. Wajahnya
tampak cerah dan ia tersenyum. Meski begitu di sudut matanya mengembang butiran
air mata pertanda rasa
haru bercampur gembira.
Melihat ini, Mahesa Wulung pun segera pula
mendekati mereka bertiga. Hang Sakti segera
memperkenalkan Mahesa Wulung kepada gurunya.
"Bapak Pendekar Prahara, inilah sahabatku,
Pendekar Barong Makara dari Demak."
Keduanya berkenalan dan berjabat tangan.
"Perkenalkan Bapa, saya Barong Makara dari
Demak," kata Mahesa Wulung sambil mengangguk
hormat. Pendekar separo umur itupun mengangguk hormat.
"Terima kasih, Tuan. Anda telah menolong murid-
muridku. Untuk ini Prahara mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga besarnya. Semoga Tuhan
Yang Maha Pemurah melimpahkan karuniaNya untuk
Anda." Kini suasana tegang beralih cerah dan ketika
Pendekar Prahara melambaikan tangannya tiga kali ke arah rumpun kelapa dan
ilalang, dari balik batang-batang pohon kelapa bermunculanlah orang-orang
bersenjata. "Mereka adalah pasukan-pasukan dari pulau ini.
Maka lebih dulu, harap dimaafkan jika kami
mengejutkan kalian dengan sikap ini. Beberapa hari yang lalu pulau ini telah
didatangi oleh segerombolan bajak laut Iblis Merah dari Selat Karimata. Hanya
sayang pada waktu itu saya sedang berjalan jauh
hingga mereka sempat mengobrak-abrik bandar ini.
Sebelum gerombolan itu minggat lagi dari tempat ini, mereka masih mengancam
bahwa suatu ketika mereka
akan datang kembali. Gerombolan Iblis Merah memang termashur keganasannya.
Terutama yang paling
ditakuti orang-orang ialah pemimpinnya yang bernama Lanun Sertung."
"Lanun Sertung?" seru Mahesa Wulung kaget.
"Apakah Anda pernah mendengarnya?" kata
Pendekar Prahara. "Agaknya nama itu amat berkesan bagi Tuan Barong Makara."
"Benar, Bapak. Nama Lanun Sertung selalu terpatri
di dalam hatiku. Sebab kepadanyalah saya harus
menumpahkan dendam untuk membalas kematian
ayahku yang dirampoknya di Selat Karimata," kata
Mahesa Wulung, hingga Pendekar Prahara
mengangguk-angguk.
"Hmm, tapi menjatuhkannya tidaklah semudah
perkiraan kita. Karena ia terhitung pendekar jagoan dengan ilmu pedangnya, 'Si
Mata iblis' yang tak
terkalahkan. Ilmu itu lebih hebat dari yang aku punyai sekarang ini. Telah
berapa saja pendekar-pendekar
sakti yang tewas di ujung pedangnya. Jika ia telah menggerakkan pedangnya, maka
kita tidak akan
melihatnya kecuali hanya bunyi berdesing, dan tahu-tahu lawannya akan mati
tergeletak bermandi darah.
Begitulah, Lanun Sertung menjadi tokoh yang ditakuti dan untuk menyebut namanya
saja, orang sudah
cukup ngeri rasanya. Dengan dasar kenyataan
tersebut dan ancaman-ancaman yang ditimpakan
kepada kami, maka tak ada salahnya jika kami
mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap sepak
terjangnya yang malang melintang tanpa tandingan.
Meskipun kami sadar bahwa perlawanan itu tidak
akan banyak menolong kami, namun kami lebih
mantap jika menghadapi mereka dengan kekerasan
pula. Buat kami, mati bertempur melawan mereka
lebih baik daripada menyerah begitu saja atau mati secara cuma-cuma di tangan
mereka." "Kapankah mereka kira-kira menyerang tempat ini,
Bapak?" tanya Mahesa Wulung kepada pendekar tua
itu. "Itulah yang kami tidak ketahui dengan pasti," ujar
Prahara. "Mereka punya kebiasaan untuk menyerang
lawannya secara tiba-tiba. Namun kami telah siap-siap menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi.
Kedatangan Tuan Barong Makara dan kedua muridku
itu sungguh di luar dugaan dan sangat kebetulan
sekali dalam saat-saat seperti ini."
Prahara berhenti sejenak.
Sementara itu tampaklah keakraban yang cepat
terjalin antara laskar-laskar dari Bintan dan anak buah Mahesa Wulung dari
Demak. Di sana-sini mereka pada asyik bercerita dan kadang-kadang diselingi
dengan gelak ketawa.
"Aku kira ada baiknya kalau Tuan Barong Makara
beristirahat. Bukankah jarak Demak sampai ke Pulau Bintan ini cukup jauh"
Pastilah perjalanan tersebut sangat melelahkan," ujar Pendekar Prahara dengan
ramahnya. "Terima kasih, Bapak. Memang perjalanan sejauh
itu amat melelahkan," Mahesa Wulung berkata lirih.
"Besok Tuan akan kami antar ke kota Bintan untuk
menghadap Sultan Bintan. Beliaulah sebenarnya yang mengutus Hang Sakti untuk
datang ke Demak."
*** Tetapi malam itu Mahesa Wulung merasa gelisah
sedang matanya sukar sekali untuk diajak tidur.
Mengalami hal ini, Mahesa Wulung teringat akan
semua kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Sejak pertama ketika terlibat
dalam pertempuran melawan gerombolan hitam Alas Roban di pantai utara Jawa,
kemudian melawan bajak laut Pulau Ireng dari
Karimun Jawa dan kini ia sekali lagi ditugaskan
menumpas kawanan perompak laut Iblis Merah. Tugas
ini bukanlah tugas yang boleh dipandang ringan begitu
saja, karena ia sebagai ksatrya laut dari armada
Demak telah sadar bahwa tugas ini, yang telah
dipercayakan kepada dirinya oleh Kesultanan Demak, adalah atas permintaan Sultan
Bintan dan benar-benar harus dilaksanakan dengan baik
Malam itu sungguh terasa dingin sekali, lebih-lebih angin bertiup cukup kencang.
Daun kelapa terdengar bergesek-gesek seperti lagunya orang yang resah,
seresah hati Mahesa Wulung atau Barong Makara yang malam itu berjalan mondar-
mandir di kamarnya.
Hawa dingin yang bertiup di larut malam itu terasa tidak wajar, seolah-olah
bukan dari alam, tapi dari suatu kekuatan lain yang luar biasa hebatnya. Barong
Makara mula-mula juga merasakan dingin, maka
cepat-cepat ia duduk bersila dan mengerahkan
segenap kekuatan lahir batinnya untuk menolak rasa dingin tersebut. Dalam hati
Mahesa Wulung dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum ketemu
jawabannya. Jika orang sudah terserang rasa dingin ini, pastilah ia tertidur
pulas. "Hmm, menilik rasa dingin yang menyerang ini,
pastilah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai
kesaktian sirep cukup hebat. Tapi siapakah orangnya"
Tunggulah, aku kini sudah hampir mengatasi
pengaruh sirepnya."
Mahesa Wulung yang duduk bersila dengan kedua
sisi telapak tangan ditekuk lurus ke atas di depan dadanya tak lama kemudian
berhasil mengatasi rasa
dingin yang menusuk tulang itu. Dengan pelan
dibukanya sedikit jendela kamarnya, dan terlihatlah bulan penuh mengembang di
langit malam dengan
indahnya. Maka Mahesa Wulung terus menyelidiki. Mula-mula
ke pohon-pohon kelapa, kemudian beralih ke tepi
pantai sana. Beberapa perahu tampak berlabuh
dengan tenangnya di bandar, termasuk kedua perahu
jung yang dibawanya dari Demak. Tiba-tiba pandangan matanya tersampar ke sebelah
tenggara, di mana
tampak sebuah perahu terbujur di pasir terlindung
oleh semak-semak pohon bakau. Beberapa orang
tampak mengendap-endap dan mendekati rumah
tempat ia berada. Sedang penjaga tergeletak tidur
pulas di tanah karena termakan oleh sirep tadi.
Melihat hal ini, Mahesa Wulung cepat-cepat
bersiaga di belakang pintu masuk. Malam makin
bertambah larut dan sekali-sekali terdengar suara-
suara binatang malam, sehingga suasana menjadi
lebih tegang rasanya. Telinga Barong Makara yang
tajam dapat menangkap bunyi telapak-telapak kaki
yang menginjak tangga rumah. Bunyi itu berhenti
tepat di muka pintu masuk dan tiba-tiba sebuah
tangan menguak pintu pelan-pelan.
Ketika itu sebuah kepala melongok ke dalam rumah
dan Mahesa Wulung yang telah bersiaga itu, tak mau menunggu lebih lama lagi.
Cepat ia bertindak!
Betapa terkejutnya orang yang masuk itu ketika
tangannya terasa ditarik oleh sepasang tangan yang kokoh dan belum lagi ia
sempat memperbaiki dirinya, sebuah kepalan tangan sekeras batu telah menimpa
rahang kirinya. Maka tak ampun lagi si penyerang
jatuh terbanting ke lantai.
Semula dengan jatuhnya orang tadi, Mahesa
Wulung merasa lega, namun tiba-tiba saja orang
tersebut bangun dengan cekatan dan langsung kedua
tangannya menyerang leher Mahesa Wulung dengan
cekikan maut. Barong Makara tidak nyana sama sekali mendapat serangan demikian
dan betapa terkejutnya, mendadak nafasnya menjadi sesak karena serangan
tersebut. Hampir-hampir saja Mahesa Wulung
kehilangan akal.
Maka cepat-cepat ia mengepal kedua tangannya
menjadi satu, lalu dengan sekuat tenaganya ia
menghempaskannya ke atas, sampai membentur
kedua tangan lawannya dengan keras. Sebuah
teriakan tertahan meluncur dari mulut lawannya dan cekikan maut itu terlepaslah.
Yang mengherankan Mahesa Wulung ialah daya
tahan orang tersebut. Begitu serangannya merasa
gagal, ia kembali berputar dan sebuah kakinya
meluncur menyerang Mahesa Wulung di arah ulu hati.
Kali ini Mahesa Wulung lebih waspada. Sebelum ujung kaki itu mengenai dadanya,
ia berkelit ke samping dan hampir sukar ditangkap dengan mata, tahu-tahu si
penyerang kena ditangkap kakinya, kemudian
langsung ia mendorongnya ke arah pintu masuk.
Disertai bunyi berserak dan jeritan, tubuh si
penyerang yang didorong itu terhempas ke pintu yang ambrol berkeping-keping.
Mahesa Wulung segera memburu, tapi sampai di
ambang pintu, sekali lagi ia melihat satu pemandangan yang sukar ditangkap
kebenarannya. Tubuh lawannya
yang terpelanting keluar rumah dan melayang jauh ke bawah, ketika berada di
udara ia jungkir balik dan dengan kedua kakinya lebih dulu, ia mendarat dan
berdiri tegak di tanah.
"Hee, keparat kau. Ayo lekas turun kalau kau
memang laki-laki sejati. Jangan terus-terusan
bertengger di atas seperti ayam saja," terdengar
lawannya menantang dari bawah sambil bertolak
pinggang sangat sombongnya.
Benar-benar membuat telinga Mahesa Wulung
merah mendengar tantangan orang tersebut. Maka tak
ada jalan lain kecuali menerimanya. Sambil
mengetrapkan aji Baju Rasa, Mahesa Wulung segera
meloncat turun ke tanah dengan enaknya tepat di
muka lawannya, dan di saat yang bersamaan,
meloncatlah dari semak-semak gelap di sekelilingnya tidak kurang dari sepuluh
orang bersenjata pedang
yang segera mengurungnya serta membuka
serangannya. "Tahan! Kalian lihat saja dulu. Biar aku yang
pertama-tama melawan dan merobohkannya. Setelah
itu barulah kalian boleh mencincangnya lumat," seru orang yang menjadi lawan
utama Mahesa Wulung.
Di saat itu Mahesa Wulung agak merasa kaget,
sebab ia merasa pernah mendengar suara lawannya.
Dan ketika sinar purnama menerangi wajah orang itu, benar-benar ia merasa kaget.
Lawan yang dihadapinya berdiri di mukanya, tidak lain adalah Marangsang yang
dulu pernah bertemu di Karimun Jawa.
"Kau, Marangsang?" desis Barong Makara penuh
kemarahan. "Kau yang dulu pengecut dan lari dari
pertempuran melawan kami?"
"Keparat! Kau masih ingat aku, ya! Baiklah. Justru kedatanganku ke mari ini
untuk mengganyangmu,
setan!" seru Marangsang garang dan kini telah mulai membuka serangannya dengan
sabetan sisi telapak
tangannya. Dalam hati Mahesa Wulung mengakui ketangguhan
lawannya, tapi ini bukan berarti membikin kecil
hatinya, malahan ia lebih hati-hati dan
memperhitungkan langkah-langkah berikutnya dengan
teliti. Dalam sekejap mata saja, tempat itu sudah menjadi
gelanggang pertempuran dahsyat antara dua jago silat yang terbilang gemblengan.


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara mereka
bertempur, beberapa anak buah Marangsang tetap di
tempatnya dan berpencar merupakan lingkaran yang
mengelilingi arena pertempuran tersebut. Masing-
masing terpaku melihat lawannya dapat menandingi
pemimpin mereka dengan baik.
Marangsang yang selama ini selalu menjadi
kebanggaan mereka dan terkenal tak terkalahkan, kali ini mendapat lawan yang
seimbang. Bahkan setelah
bertempur lima belas jurus, tampaklah oleh mereka
bahwa Marangsang mulai tergeser kedudukannya.
Meski begitu, dasar ia seorang yang berkepala batu, maka segera ia melipat-
gandakan serangannya yang
datangnya bergulung-gulung laksana badai
menghempas ke arah Mahesa Wulung.
Suatu kali sebuah tebasan sisi telapak tangan
Marangsang mendatar dan membabat ke arah kepala
lawannya. Mahesa Wulung cepat merendahkan tubuh
dan kedua tangannya disilangkan melindungi kepala, siap untuk menyambut gempuran
tangan Marangsang.
Tapi rupa-rupanya gerakan tadi hanyalah tipuan
belaka, sebab di saat Mahesa Wulung merendahkan
tubuhnya, tiba-tiba kaki kanan Marangsang meluncur dan menggempur kaki kanan
lawannya. Gempuran itu sangat mengagetkan jadinya, sebab
tubuh Mahesa Wulung jatuh cekakaran di tanah. Dan
sebaliknya, Marangsang begitu kakinya menggempur
kaki lawannya, ia mengeluarkan satu jeritan pilu yang panjang disusul maki-
makian. Kalau semula ia mengira bahwa gempuran tersebut
akan mengakibatkan kaki lawannya remuk, tetapi kali ini lawannya masih segar
bugar ketika terjatuh sedang kakinya tak cidera sedikitpun. Lebih heran lagi
dengan kakinya sendiri, ketika bergempur itu seolah-olah kakinya menghantam satu
tembok batu karang
sehingga ia sambil menjerit cepat-cepat menarik
kembali kakinya dan mundur menjauhi Mahesa
Wulung dengan terpincang-pincang disertai mulutnya melolong-lolong kesakitan.
Kejadian yang terjadi demikian cepatnya itu,
menyebabkan para anak buah Marangsang heran dan
seperti terpukau. Mereka sesaat diam terpaku seperti arca.
Seorang di antaranya tersadar dan cepat melolos
pedangnya untuk kemudian dilemparkannya ke arah
Mahesa Wulung yang saat itu masih tergempuran tadi.
Bagai sinar putih, pedang tadi melesat dan begitu
seolah-olah hampir menancap di dada Mahesa
Wulung, pendekar ini dengan satu gerakan yang sukar ditangkap mata cepat
menggerakkan kedua tangannya
dan tahu-tahu kedua sisi telapak tangannya telah
menjepit bagian tengah dari bilah pedang.
Dalam sekejap sambil bangkit, Mahesa Wulung
telah menguasai pedang tadi yang sekaligus
diputarnya laksana baling-baling dan menimbulkan
pusaran angin panas. Melihat ini, ke sepuluh anak
buah Marangsang segera menyerangnya bersama dari
segenap jurusan. Mereka tetap dalam tata lingkaran dan sambil menyerang Mahesa
Wulung, mereka bergerak berkeliling berputar-putar dengan tujuan
untuk membingungkan lawannya.
Ternyata harapan mereka adalah sia-sia belaka.
Malahan mata pedang Mahesa Wulung bergerak begitu
cepat seperti ular yang mematuk-matuk, mengancam
jiwa mereka. Suara gemerincing pedang yang beradu
diseling dengus nafas dan teriakan-teriakan perang menggema di arena pertempuran
saling bergantian, tak ubah irama kematian.
Rupanya salah seorang anak buah Marangsang
sudah tak sabar lagi, maka ia lekas mengirim tebasan pedang ke arah perut Mahesa
Wulung. Trang! Tak! Si penyerang melongo kecut karena pedangnya kena
ditangkis oleh pedang Mahesa Wulung yang memagari
perutnya dengan teguh. Belum lagi ia sempat
memperbaiki diri, tiba-tiba....
Syraattt!!! Seleret sinar pedang Mahesa Wulung menebas
bahunya dan anak buah Marangsang ini menjerit ngeri lalu rebah ke tanah dengan
luka terbelah pada
bahunya yang menyemburkan darah segar!
Korban pertama telah jatuh. Biar begitu, kesembilan lawan Mahesa Wulung tak
menjadi takut, karena bau
darah bagi perompak-perompak laut itu seperti
menggugah semangat mereka untuk bertempur lebih
hebat lagi. Dan lama-lama Mahesa Wulung benar-
benar kerepotan juga menghadapi mereka.
Marangsang masih mengawasi saja jalannya
pertempuran. Jika rasa nyeri pada kakinya telah
hilang, pastilah ia segera ikut mengurung Mahesa
Wulung. Dengan sedikit terpincang-pincang,
Marangsang melangkahkan ke arah titik pertempuran
dengan menghunus pedangnya.
Marangsang di dalam hati mengakui kehebatan
Mahesa Wulung yang telah mampu menghadapi
kesepuluh anak buahnya yang terpilih dalam tugas ini.
Bahkan kini seorang di antaranya telah menjadi
korban sabetan pedang Mahesa Wulung sehingga
Marangsang betul-betul penasaran melihat kejadian
tadi. "Edan! Dia telah berani membunuh seorang anak
buahku," geram Marangsang. "Sekali ini kau harus
mampus di tanganku juga!"
Sambil memutar pedangnya yang berpusaran
seperti taufan, Marangsang kembali menyerang dengan ganas ke arah Mahesa Wulung.
Ternyata yang dikepung itu cukup lincah dan tubuh
Mahesa Wulung seolah-olah menjadi sepuluh saking
cepat gerakannya. Hanya saja Marangsang kini ikut
mengeroyoknya, sehingga terasa bahwa lama-
kelamaan Mahesa Wulung lebih banyak bersifat
mempertahankan diri daripada menyerang para
pengepungnya! Sayang sekali, dalam pertempuran ini Mahesa Wulung tidak sempat
menggunakan senjata
ampuhnya si cambuk sakti Naga Geni, karena masih
tersimpan di dalam kamarnya. Dan lagi keadaan
memang sangat mendesak pada waktu itu, serta
serangan Marangsang tidak terduga-duga sama sekali datangnya.
Di saat pertempuran itu berjalan dengan hebatnya,
sepasang mata di antara semak-semak di bawah
pohon kelapa terus mengawasinya dan tiba-tiba saja mulut orang ini mengeluarkan
tertawa kecil yang
berderai persis suara ringkikan kuda! Suara itu
bergetar di udara malam dan membuat mereka yang
bertempur itu sangat terkejut, sehingga mau tak mau terpaksalah mereka berhenti
sejenak. Bersamaan derai ketawa aneh itu menjadi surut,
bayangan hitam itu meleset dan dengan lincahnya
melayang turun di tengah lingkaran pertempuran.
Hampir semua orang merasa terpesona dengan
peristiwa itu, lebih-lebih dengan Mahesa Wulung
sendiri. Sebab orang tadi yang ketawanya aneh tahu-tahu saja sudah berdiri di
samping Mahesa Wulung.
"Eh, Bapak Pendekar Prahara!" seru Mahesa
Wulung gembira bercampur kagum, melihat orang tua
ini bisa terbebas dari pengaruh sirep Marangsang dan
anak buahnya. "Ha, ha, ha. Selamat malam, Anaknda Barong
Makara. Aku tadi terganggu tidurku karena suara
ribut-ribut di luar. Dan ternyata kalian tengah
bermain-main di bawah sinar bulan. Maka izinkanlah aku ikut serta meramaikan
permainanmu ini!" ujar
Pendekar Prahara penuh kelakar.
"Setan tua!" umpat Marangsang jengkel dan marah.
"Kau jangan turut campur dengan urusanku ini. Kami punya persoalan sendiri
dengan Barong Makara dan
harus kami selesaikan tanpa pihak lain yang campur tangan."
"Hmm, kau boleh ngomong semaumu, Marangsang!
Tapi kau harus ingat bahwa saat ini Barong Makara
menjadi tamuku di sini. Dan setiap tuan rumah pasti akan mati-matian menjaga
keselamatan tamunya,"
kata Pendekar Prahara dengan tenangnya, sampai-
sampai Marangsang dengan anak buahnya
bergemertakan giginya saking mangkalnya. "Nah,
kiranya kalian tidak keberatan, bukan, jika aku turut bermain-main?"
"Setan tua, aku tak keberatan kau ikut bermain-
main dengan kami. Justru pedang-pedang kami ini
sudah haus minum darah!" Marangsang berseru
sambil memberi isyarat kepada ke sembilan anak
buahnya untuk menyerang kedua lawannya.
Maka terjadilah untuk kedua kalinya di tempat ini
pertempuran yang lebih hebat daripada yang semula.
Kalau tadi hanya mampu menangkis serangan-
serangan lawan, kini Mahesa Wulung ganti menyerang dan menghantam lawannya. Ini
terjadi berkat kedatangan Pendekar Prahara yang tepat pada
waktunya. Meskipun ilmu pedang Mahesa Wulung tidak
sehebat Pendekar Prahara, tapi keduanya bergerak
saling mengisi, laksana dua ekor burung sikatan yang mengejar belalang.
Sambil bertempur itu Marangsang sibuk memeras
akalnya, sebab jika ia bersama anak buahnya
bersama-sama menyerang kedua musuhnya yang
bergerak berpasangan itu, pastilah pertempuran ini tidak ada kesudahannya.
Mungkin sampai pagi atau
siang belum selesai. Dengan satu suitan nyaring dari mulutnya, sekali lagi
Marangsang memberi isyarat
kepada anak buahnya dan mereka yang sudah terlatih itu, dapat menangkap segera
apa maksud isyarat
pemimpinnya. Kemudian Marangsang diikuti oleh ke empat anak
buahnya bergerak ke samping untuk memberi
tekanan-tekanan berat kepada Mahesa Wulung,
sementara ke lima anak buahnya yang lain bersama-
sama menyerang ke samping lain untuk menekan ke
arah Pendekar Prahara. Dengan demikian, mau tidak
mau akhirnya terpaksalah gerak berpasangan antara
Barong Makara dengan Pendekar Prahara menjadi
terpecah belah, sehingga pertempuran itu berubah
menjadi dua lingkaran.
Pendekar Prahara memang jago pedang yang sudah
terkenal namanya. Dan seperti namanya sendiri, ilmu pedangnya itu mampu bergerak
seperti prahara yang
dahsyat dan ia namakan 'Seribu Badai'.
Ketika pertempuran itu mencapai jurus yang ke
lima belas, pendekar tua itu dengan manisnya
menggenjotkan tubuh ke udara bertepatan dengan ke
lima pedang lawannya membacok berbareng.
Traaang! Senjata-senjata mereka saling beradu karena
sasarannya meleset ke atas. Hampir-hampir tak
percaya mereka melihat pendekar tua itu dengan
enaknya lolos dari serangan pedang mereka yang rapat dan ganas. Selagi pedang-
pedang tadi beradu, kembali Pendekar Prahara melayang turun sambil
menggerakkan pedangnya, dengan satu putaran
secepat baling-baling sampai sukar ditangkap oleh
pandangan mata kelima lawannya.
Sraaatt! Terdengar suara tebasan pedang, kemudian disusul
tiga jeritan ngeri sekeras-kerasnya, memenuhi udara malam yang dingin. Dua orang
lawan pendekar tua itu masing-masing memegang dada dan yang satu
menekan kepalanya, karena masing-masing terluka
hebat menyemprotkan darah segar. Sementara itu
seorang lagi menjerit-jerit karena tangan kanannya yang memegang pedang sebatas
siku terbabat putus
oleh pedang Pendekar Prahara dan benda itu
terhempas ke tanah disertai darah memercik di
sekitarnya. Tiga orang lawan pendekar tadi tak lama kemudian
telah tak bernyawa. Dua orang yang lain melihat hal ini serentak mundur ke
belakang dengan ketakutan.
Demikian yang lain, ketika terdengar jeritan ngeri, Mahesa Wulung yang sibuk
menghadapi ke lima
lawannya sempat melirik ke arah lingkaran
pertempuran antara Pendekar Prahara dengan anak
buah Marangsang. Betapa kagetnya ketika ia melihat sabetan pedang pendekar tua
itu sekaligus merobohkan tiga orang lawannya.
Demikian pula dengan Marangsang sendiri. Ia pun
terkejut menyaksikan ilmu pedang pendekar tua itu.
Selama ini ia hanya pernah menyaksikan ilmu pedang yang dimiliki oleh Lanun
Sertung pemimpinnya sendiri yang mirip dengan ilmu pedang pendekar tua itu.
Keduanya sama hebatnya.
Oleh sebab itu, ia pun sibuk menebak-nebak sendiri di dalam hatinya. Jangan-
jangan Barong Makara yang kini dihadapinya ini, juga memiliki ilmu pedang yang
sama dahsyatnya. Maka ia pun mulai bimbang
hatinya. Di saat itu tiba-tiba dilihatnya seleret sinar dan tahu-tahu pedang Mahesa
Wulung meluncur menetak
ke arah kepalanya. Untung ia sudah banyak
pengalaman, meski dengan cekakaran ia cepat
menangkis dengan pedangnya pula. Dua bunyi
benturan senjata yang keras terdengar, kemudian
disusul tubuh Marangsang terpental ke tanah, karena ia tak kuat menahan benturan
pedang Mahesa Wulung
yang dilambari oleh tenaga dalamnya.
Empat orang anak buahnya, melihat Marangsang
jatuh ke tanah, cepat-cepat menyerbu Mahesa Wulung bersama-sama sebelum lawannya
ini bertindak lebih
jauh. Tapi Mahesa Wulung sekali lagi secepat kilat menyambar pedangnya dan dua
jeritan terdengar
berbareng dan seorang bajak laut terluka dadanya
sedang yang seorang lagi rebah ke tanah dengan
bahunya yang terpotong dan mengucurkan darah.
Melihat lima orang anak buahnya telah rubuh tak


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernyawa dan seorang lagi luka-luka, maka hati
Marangsang menjadi berdebar ketakutan. Lebih-lebih jika ia ingat dengan si Lanun
Sertung pemimpinnya.
Apakah kata orang yang terkenal kejam itu, bila ia ternyata gagal dalam
melaksanakan tugasnya untuk
menyingkirkan Barong Makara.
Marangsang akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pertempuran ini tidak bakal
menguntungkan dirinya. Kalau seandainya tadi
mereka hanya menghadapi Barong Makara seorang
diri, pastilah keadaannya tidak seperti sekarang ini.
Tapi kedatangan Pendekar Prahara benar-benar
mengacaukan rencana!
Dengan demikian Marangsang tidak punya pilihan
lain kecuali harus melarikan diri. Karena itu dengan suitan nyaring seperti
siulan hantu yang bernada
tinggi dan penuh tenaga dalam, Marangsang memberi
isyarat kepada anak buahnya, sementara tangannya
merauk tanah dan secepat kilat dilemparkannya ke
arah kedua lawannya.
"Awas, Barong Makara! Tiarap!" teriak Pendekar
Prahara melihat bahaya yang mendatang.
Begitu kedua pendekar itu meniarap ke tanah,
terasalah di atas tubuh mereka butir-butir pasir pantai yang dilemparkan oleh
Marangsang itu berdesing-desing bunyinya lewat dengan kencangnya. Untunglah
mereka bertiarap dan luput dari serangan aneh tadi.
Seandainya tidak, pastilah tubuh-tubuh mereka akan ditembusi oleh butir-butir
pasir dan merasuk ke dalam hingga mereka menimbulkan kematian yang
mengerikan. Berbareng dengan serangannya itu, Marangsang
diikuti oleh kelima anak buahnya segera melarikan diri ke arah perahu mereka.
Semua berjalan dengan
cepatnya. Mahesa Wulung dan Pendekar Prahara yang
mengawasi cara berlari dari Marangsang dengan anak buahnya benar-benar kagum.
Mereka berdua seperti
kijang. Seperti berkemauan yang sama, mereka berdua
tidak berusaha untuk mengejar lawannya sebab masih banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan oleh
mereka, yaitu membebaskan orang-orang yang
termakan sirep hebat dari Marangsang.
Bagai disiram oleh tetesan-tetesan embun malam
yang dingin menyejukkan, terasalah hati Mahesa
Wulung menjadi lega, setelah maut yang mengancam
mereka telah berlalu. Kini ia bersama Pendekar
Prahara sibuk menolong orang-orang dari pengaruh
sirep. *** 2 BEBERAPA hari kemudian, sebuah rumah besar di
kota Bintan tampaklah berpuluh-puluh prajurit
menciptakan kudanya. Sementara itu, di depan tangga rumah, tampaklah Pendekar
Prahara dan Barong
Makara bergantian berjabat tangan dengan seorang
berpakaian bangsawan.
"Nah, Tuan Barong Makara," ujar bangsawan itu,
"bawalah prajurit-prajuritku ini untuk menjaga bandar Tanjungpinang. Jika perlu
Tuan boleh membawanya
ke Selat Karimata untuk menumpas kawanan bajak
laut Iblis Merah di sana!"
"Terima kasih, Pangeran Ahmad. Semoga keadaan
tidak berkembang terlalu buruk dan mereka dapat kita tumpas dengan cepat," kata
Mahesa Wulung kemudian. "Jika mereka benar-benar akan menyerang
bandar Tanjungpinang, pasti mereka kita hancurkan
di tempat itu juga!"
"Hmm, yah, aku pun berharap demikian, Tuan
Barong Makara. Dan Sultan Malaka menyampaikan
salamnya untuk Anda!"
Belum lagi mereka melanjutkan bicaranya, tiba-tiba dari arah tenggara tampaklah
debu-debu berkepul-kepul dan sesaat kemudian tampak seorang yang
memacu kudanya ke arah mereka dengan wajah yang
membayangkan kecemasan. Begitu menghentikan
kudanya, penunggang kuda tersebut meloncat turun
dan langsung mendapatkan Pendekar Prahara. Setelah memberi salam orang tersebut
berkata dengan terengah-engah.
"Wah... Bapak Pendekar Prahara. Ketiwasan, Bapak.
Mereka telah mengepung bandar Tanjungpinang dari
lautan dan rupa-rupanya mereka telah bersiap-siap
menyerbu ke darat!"
"Bandar Tanjungpinang terkepung?" Pendekar
Prahara terkejut mendengar penuturan orang itu.
"Siapa yang kau maksud dengan 'mereka' itu?"
"Mereka adalah orang-orang bajak laut Iblis Merah
dari Selat Karimata!"
"Kalau demikian, kita harus selekasnya kembali ke
Tanjungpinang serta membantu menghalau orang-
orang Iblis Merah!" terdengar Mahesa Wulung
memotong percakapan.
"Aku setuju dengan pendapatmu itu, Tuan Balung
Makara," sela Pangeran Ahmad. "Nah, saya kira kalian harus cepat-cepat menuju ke
sana! Kami doakan
semoga Tuhan menjauhkan kalian dari marabahaya."
"Terima kasih, Pangeran!"
Tak lama kemudian setelah mereka meminta diri
serta saling berjabat tangan, Mahesa Wulung,
Pendekar Prahara serta puluhan prajurit dari Bintan dengan cepat memacu kudanya
masing-masing ke
arah tenggara sampai debu berkepulan naik ke
angkasa. Mereka benar-benar merasa cemas dan ingin lekas
tiba di Tanjungpinang untuk membantu kawan-kawan
mereka dalam pertempuran melawan perompak-
perompak laut itu. Kuda Mahesa Wulung dilarikan
dengan kencangnya di udara siang yang amat panas
menyusuri sebuah teluk. Dan di belakangnya, kira-kira satu tombak jaraknya,
Pendekar Prahara juga memacu kudanya seperti dikejar setan. Di belakangnya pula
tampaklah prajurit-prajurit Bintan yang berkuda.
Kalau kawanan perompak laut Iblis Merah telah
menyerang bandar itu, Mahesa Wulung sebenarnya
merasa senang. Sebab memang itulah yang
diharapkan. Mereka pasti akan lebih mudah dilawan di daratan daripada di laut.
Hal ini sesuai dengan
kemampuan prajurit-prajurit Bintan yang dibawanya.
Mereka lebih sesuai dan terbiasa untuk pertempuran-pertempuran di darat.
Sambil berpacu itu, pikirannya jauh melayang ke
bandar itu, yang hanya dijaga oleh lima puluh orang, termasuk Hang Sakti,
Nurlela, Pandan Arum dan
Jogoyudo. Seandainya gerombolan Iblis Merah itu
mengerahkan semua pasukan, bandar Tanjungpinang
bisa bertahan sampai malam nanti.
Mengingat ini semua, lebih-lebih dengan
keselamatan sahabat-sahabatnya, Barong Makara
menyeringai dan giginya gemeretah penuh dendam
terhadap gerombolan Iblis Merah yang juga telah
menewaskan ayahnya di Selat Karimata beberapa
tahun yang silam.
Beberapa saat mereka berkuda menyusuri teluk
dan ombak pun menggeru-geru memecah ke pantai,
seolah-olah berteriak kepada mereka yang tengah
berkuda ke arah selatan itu, "Cepat! Cepatlah memacu kudamu! Teman-temanmu di
Tanjungpinang memerlukan bantuanmu! Jika kalian terlambat pastilah mereka dibinasakan oleh
orang-orang Iblis Merah itu. "
Kini mereka telah mendekati daerah Tanjungpinang.
Dari kejauhan tampaklah asap hitam berkepul
menggulung-gulung ke angkasa diseling dentuman
meriam terdengar sayup-sayup ke telinga mereka.
"Kebakaran!" seru Pendekar Prahara kepada
Mahesa Wulung yang kini telah berkuda
berdampingan. "Kita harus cepat-cepat tiba di sana, Barong Makara!"
"Ya, mari kita bersiap-siap memasuki arena
pertempuran!" teriak Mahesa Wulung keras-keras.
Kemudian tangan kanannya diacungkan ke atas
dan serentak prajurit Bintan bersiaga. Yang berpedang segera menghunus senjata-
senjata mereka dari
sarungnya, dan yang bertombak pun mempersiapkan
tombaknya pula. Setelah Mahesa Wulung melihat
prajurit-prajurit telah bersiap, kemudian tangan
kanannya yang mengacung ke atas segera memberi
isyarat. Antara ibu jari dan jari telunjuknya
membentuk setengah lingkaran dan para prajurit itu segera tahu akan tugasnya.
Mereka serentak bergerak dan membentuk barisan
berkuda setengah lingkaran. Pendekar Prahara segera pula berpacu ke arah ujung
yang kiri dan memimpin
sayap kiri dari barisan. Sedang Barong Makara
memimpin sayap kanan.
Berbareng dengan aba-aba "Serbu!!!", maka
pasukan berkuda dengan bentuk 'tapal kuda' itu cepat berpacu ke arah bandar
Tanjungpinang, dan mereka
berbareng meneriakkan semangat perang, gegap
gempita suaranya.
Sungguh tepat kedatangan pasukan itu, sebab
pertempuran di bandar itu sudah berlangsung
beberapa saat. Mereka gerombolan Iblis Merah itu
sudah mendarat dan kini mereka bertempur di pantai dengan ganasnya, seolah-olah
mereka seperti kerasukan setan.
Beberapa orang prajurit penjaga bandar
Tanjungpinang telah tewas berkaparan di ujung
senjata para bajak laut itu. Di tepi pantai terlihatlah lingkaran-lingkaran
pertempuran kecil. Hang Sakti
terlibat dalam pertempuran melawan seorang yang
bertubuh jangkung berkumis dan berjenggot kaku dan di tangan kirinya terlihatlah
gambar hiasan seekor naga.
"Hee, keparat. Ayo lekas menyerah kau, setan!"
teriak orang jangkung itu yang tidak lain adalah Lanun Sertung kepala gerombolan
Iblis Merah sendiri.
Ia memutar pedangnya laksana baling-baling
merupakan sebuah lingkaran putih yang mengurung
tubuh Hang Sakti dengan rapatnya.
"Ha, ha, ha, inilah saatmu yang terakhir, Hang
Sakti. Tubuhmu akan menjadi potongan-potongan
kecil. Jika kau bersedia menyerah dan meminta
ampun, kau akan tetap hidup!"
Walau bagaimanapun keadaannya, bagi seorang
pendekar seperti Hang Sakti yang tak kenal menyerah itu, menjadi tersinggung
juga mendengar kata-kata
Lanun Sertung yang penuh kesombongan itu. Maka
iapun memperhebat permainan kerisnya untuk
menangkis serangan-serangan Lanun Sertung.
"Persetan! Kaulah yang harus berlutut di kakiku,"
teriak Hang Sakti dengan penuh kemarahan.
Dalam bertempur itu, sesekali mata Hang Sakti
melirik ke arah lingkaran pertempuran yang lain. Ia sekali ini benar-benar
mencemaskan nasib adiknya,
Nurlela, walaupun gadis ini menguasai lima bagian
dari ilmu pedang 'Seribu Badai' ciptaan Pendekar
Prahara yang dahsyat itu. Ia pun sadar gerombolan Iblis Merah ini sangat kejam.
Tetapi ketika lirikan matanya sampai ke tempat Nurlela bertempur, iapun
menarik nafas lega, sebab adiknya bersama Pandan
Arum bergerak berpasangan dalam bertempur
melawan keroyokan orang-orang Iblis Merah.
Keduanya sangat lincah. Kalau Nurlela itu memainkan pedangnya yang bergerak dan
bergetar sangat cepat, Pandan Arum lain lagi. Ia memakai senjata selendang
jingga pemberian bibinya dari lereng Gunung Muria
yang mampu menyerang setiap lawannya dengan
ilmunya 'Sabet Alun'.
Hampir tak seorang pun yang mampu mendekati
mereka berdua bila senjata di tangan mereka sudah
beraksi, dan beberapa orang-orang Iblis Merah telah binasa di ujung senjata-
senjata tadi, ketika mencoba mengepung mereka.
Tak jauh dari dua pendekar putri itu, Jogoyudo
sibuk melayani Marangsang. Keduanya merupakan
lawan yang seimbang dan bertempur dengan serunya.
Kali ini putaran pedang Marangsang yang dahsyat
mendapat lawan sambaran-sambaran keris Jogoyudo
lincah seperti ular mematuk-matuk.
Sayap kiri pasukan berkuda yang dipimpin oleh
Pendekar Prahara sudah melingkar sampai ke tepi
pantai dan sambil berusaha mengepung orang-orang
Iblis Merah, orang-orang berkuda tadi menyerang
lawannya dengan tombak-tombaknya. Pertempuran
bertambah hebat dan beberapa saat kemudian
suasana menjadi berubah sama sekali. Kalau tadi
mula-mula kawanan bajak laut Iblis Merah sudah
hampir menguasai bandar Tanjungpinang, sekarang
dengan kedatangan pasukan-pasukan dari Bintan
orang-orang Iblis Merah benar-benar terdesak dan
mereka tidak sedikit yang telah binasa.
Dengan mengumpat-umpat Lanun Sertung melihat
anak buahnya porak-poranda dan banyak yang binasa, maka marahnya semakin menyala
sehingga ia ingin
cepat membinasakan lawannya. Hang Sakti dalam hati mengakui kehebatan Lanun
Sertung yang telah
mampu bertempur sampai berjalan puluhan jurus
tanpa kelihatan lelah ataupun kehabisan nafas. Hal inilah merupakan kelebihan
yang ada pada Lanun
Sertung, sedang Hang Sakti sendiri lama-kelamaan
tenaganya menjadi berkurang dan keringat menetes
dari dahinya. Melihat keadaan lawannya itu, Lanun Sertung
makin mempergencar serangannya. Pedangnya sampai
menimbulkan angin pusaran.
"Hua, ha, ha, ha, Hang Sakti, inilah saat ajalmu di tanganku. Lihatlah sinar
matahari untuk penghabisan kalinya!" Lanun Sertung berteriak sambil menetakkan
pedangnya disertai curahan tenaga dalam yang luar
biasa. Pedangnya berkelebat dan ketika hampir
membelah kepala Hang Sakti, pendekar muda ini


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakkan kerisnya untuk menangkis pedang
Lanun Sertung. Traak!!! Dua benturan senjata beradu dan kemudian
disusul tubuh Hang Sakti terhempas ke tanah.
Kerisnya terlempar lepas dari tangannya. Hang Sakti segera bangkit karena
badannya lemas tak berdaya,
bagai dilolosi urat dan tulang-tulangnya.
Oleh sebab itu ia kemudian memasrahkan hidup
matinya di tangan Tuhan, karena dilihatnya Lanun
Sertung mendekatinya sambil mengangkat pedangnya
siap mencabut nyawanya.
"Nah, apa kataku tadi! Kau harus mati di tanganku
ini, Hang Sakti!"
Sambil menyeringai puas, kepala bajak laut ini
segera membacokkan pedangnya ke arah dada Hang
Sakti. Pendekar ini memejamkan mata siap menanti
maut yang sebentar lagi akan merenggutnya. Tapi
belum lagi pedang itu menyentuh dadanya, tiba-tiba terdengar tiga kali ledakan
cambuk yang segera
membentur sisi pedang Lanun Sertung sampai
tergetar! Pemimpin bajak ini kaget dan ia cepat
menoleh ke samping untuk melihat orangnya yang
telah berani menggagalkan bacokan pedangnya.
"Barong Makara!" desis Lanun Sertung setengah
kaget melihat seorang berkedok kain penutup hidung dan mulutnya yang bergambar
Makara kuning emas.
Di tangannya tergenggam sebatang cambuk menyala
biru kehijauan. "Keparat! Kau berani menghalangi
maksudku, ha"! Marilah kalau kamu ingin mampus
berbareng! Belum pernah yang bisa lolos dari serangan ilmu pedangku. 'Mata Iblis
ini!'" Mendengar nama itu Mahesa Wulung terpaksa
hatinya tergetar, sebab ilmu pedang itu lebih dahsyat dari ilmu pedang Pendekar
Prahara, dan menurut
cerita, ilmu itu dipelajari dari kitab-kitab pusaka ilmu gaib yang tersimpan di
Candi Durga. Biar nama ilmu tadi mengerikan tapi bagi Mahesa
Wulung tidak menjadikan kendor semangatnya.
Bahkan ia bertekad untuk melenyapkan setiap ilmu
yang diselewengkan untuk kejahatan!
"Lanun Sertung, mari, aku siap meladeni permainan
pedang terkutuk milikmu itu!" seru Mahesa Wulung.
Kedua pendekar itu saling berpandangan sambil
menyiapkan masing-masing senjatanya, dan sesaat
kemudian dengan teriakan-teriakan perang kedua
pendekar jagoan itu terlibat dalam satu pertempuran hebat. Pedang di tangan
Lanun Sertung itu bergerak amat lincahnya bagaikan halilintar menyambar-nyambar,
persis gerak dewa maut. Kemana saja
Mahesa Wulung bergerak, pedang itu selalu mengejar
dan mengancamnya seolah-olah mempunyai mata.
Dan satu hal yang membuat hati Barong Makara
tergetar ialah cara Lanun Sertung memainkan pedang itu. Antara pedang dan tangan
yang menggenggamnya
seperti terjalin menjadi satu, bahkan pedang tadi
seolah-olah merupakan bagian dari tangan Lanun
Sertung. Itulah kehebatan ilmu pedang 'Mata Iblis'.
Menghadapi lawannya yang berilmu hebat itu,
Mahesa Wulung tidak kepalang tanggung dalam
melawannya. Cambuk pusakanya diputar dan begitu
ketat memagari tubuhnya dari ancaman ilmu pedang
'Mata Iblis'. Cambuk Naga Geni mendapat lawan
seimbang kali ini.
Yang mengagumkan Mahesa Wulung ialah pedang
si Lanun Sertung yang seolah-olah mempunyai mata
dan setiap kali cambuknya mencoba melibat pedang
itu, dengan mudah Lanun Sertung selalu berhasil
mengelakkannya. Mahesa Wulung cepat berpikir untuk mencari siasat yang cemerlang
guna mengalahkan
musuhnya yang ganas itu. Cepat tangan kirinya
mencabut sebuah pisau kecil dari ikat pinggangnya
yang sekaligus dilemparkan ke arah dada Lanun
Sertung. Tentu saja kepala bajak laut ini tak
menyangka dengan serangan yang amat tiba-tiba itu.
Begitu pisau itu hampir menyambar dadanya,
Lanun Sertung menyabetkan pedangnya setengah
lingkaran ke muka dan, "Trang", bunyi berdenting dari dua senjata beradu. Pisau
Mahesa Wulung beradu
dengan pedang Lanun Sertung sampai terpental ke
udara, kemudian tercampak ke tanah.
Tapi di saat itu cambuk Naga Geni meluncur dan
langsung melibat pedang Lanun Sertung dengan
eratnya sampai kepala bajak ini kaget setengah mati.
Kini kedua pendekar itu saling tarik-menarik
dengan senjatanya yang telah saling melibat dan
melekat sangat eratnya. Mereka sedang mengadu
tenaga dalamnya yang tersalur lewat senjatanya itu.
Butir-butir peluh mengalir dari dahi Lanun Sertung yang menitik-nitik seperti
gerimis, ketika tangan yang memegang pedang terasa panas seperti memegang
bara api. Tetapi Mahesa Wulung pun mengucurkan
keringat pula, manakala tangannya yang
menggenggam cambuk Naga Geni menjadi kesemutan
dan bergetar. Hampir-hampir saja, jika ia tidak
mengeluarkan segenap tenaganya, pastilah cambuknya akan tercabut lepas dari
jari-jarinya. Begitulah, dengan susah payah akhirnya iapun berhasil mengatasi
rasa kesemutan di tangannya.
Sementara itu pertempuran menjadi sedikit mereda
karena sebagian anak buah Lanun Sertung pada
berebahan tak bernyawa oleh senjata-senjata prajurit Bintan. Sedang sebagian
lagi sudah mulai menarik diri dari medan pertempuran dan mendekati perahu-perahu
mereka. Marangsang yang juga berhasil melepaskan diri dari lingkaran pertempuran melawan
Jogoyudo kini memimpin mereka mundur ke arah pantai. Melihat
lawannya lari itu, Jogoyudo diikuti oleh beberapa
prajurit segera mengejar ke arah Marangsang.
Maka terjadilah kejar-mengejar di tepi pantai yang sebentar-sebentar diseling
oleh pertempuran-pertempuran pendek, untuk kemudian mereka saling
berkejaran kembali..
Ketika kedua rombongan itu melewati lingkaran
pertempuran antara Mahesa Wulung melawan Lanun
Sertung, tiba-tiba saja pemimpin bajak laut ini segera menghentakkan pedangnya
sekeras-kerasnya sampai
berhasil lepas dari belitan cambuk Mahesa Wulung.
Gerakan Lanun Sertung sungguh lincah dan cepat.
Begitu pedangnya terbebas dari cambuk lawannya, ia meloncat ke belakang beberapa
langkah dan kemudian ia membalik serta berlari meninggalkan Mahesa
Wulung yang setengah keheranan melihat gerak lincah kepala bajak laut itu.
"Ayo, Marangsang. Cepat lari menuju ke perahu.
Kita harus meninggalkan tempat ini!" seru Lanun
Sertung ketika ia tiba di rombongan anak buahnya.
"Mereka masih mengejar! Apakah kita tidak perlu
melawannya?" ujar Marangsang.
"Jangan. Kita terus berlari saja. Biarkan mereka
mengejar. Nanti akan kubereskan dengan jarum
bisaku," kata Lanun Sertung sambil berlari dan
matanya sebentar-sebentar melirik ke arah para
pengejarnya. "Hee, pengecut! Jangan lari begitu hina. Ayo
bertempur lagi!" teriak Mahesa Wulung yang kini ikut mengejar bajak laut itu.
"Keparat, kau masih saja berani menghalangi
maksudku. Nah, terimalah ini kalau kamu semua ingin mampus!" Lanun Sertung
berpaling dan tangan
kanannya begitu cepat mengeluarkan jarum bisa dari ikat pinggangnya. Dengan satu
gerakan hebat tangannya melontarkan senjata rahasianya dibarengi teriakan keras menggetarkan
udara pantai. "Awas, Jogoyudo! Itu jarum bisa! Tiarap!" teriak
peringatan Mahesa Wulung sungguh mengagetkan,
sebab Jogoyudo dan para prajurit itu tidak melihat puluhan jarum berbisa yang
beterbangan di udara dan menuju ke arah mereka seperti air hujan derasnya.
Untungnya Jogoyudo dan beberapa prajurit sempat
bertiarap, sedang lima orang lagi yang terlambat
akhirnya jatuh terjungkal dengan beberapa jarum
berbisa bersarang di tubuhnya. Mereka itu terpaksa bertiarap agak lama sebab
Lanun Sertung tidak hanya sekali melempar jarum berbisanya, tetapi diulanginya
beberapa gelombang sampai bajak laut itu cukup
mencapai perahu mereka kembali.
Ketika serangan jarum bisa itu reda, mereka
bermaksud mengejar kembali para bajak itu,
sayangnya mereka terlambat, sebab Lanun Sertung
dengan anak buahnya telah berlayar jauh dari pantai.
Sesaat kemudian kedua perahu bajak laut yang
berhasil lari itu semakin jauh dan akhirnya lenyap diiringi derai ketawa Lanun
Sertung yang menyerikan telinga.
Mahesa Wulung, Jogoyudo dan enam orang prajurit
yang tinggal, cepat kembali ke daerah bekas
pertempuran yang kini telah sepi, kecuali beberapa orang yang luka-luka tengah
merintih dan di sana-sini tergeletak mayat-mayat. Ketika Mahesa Wulung tiba di
tempat itu, Pendekar Prahara, Hang Sakti, Nurlela dan Pandan Arum segera
menyambutnya. "Mereka berhasil melarikan diri dengan perahunya,"
ujar Mahesa Wulung. "Dan lima orang prajurit-prajurit kita menjadi korban
senjata rahasia mereka, ketika mengejarnya."
"Senjata rahasia?" seru Pendekar Prahara kaget.
"Ya, Lanun Sertunglah yang menyebar jarum-jarum
berbisa, sehingga kelima orang tadi yang terlambat bertiarap telah menjadi
korbannya," kata Mahesa
Wulung pelan. "Tapi biarlah sementara mereka
melarikan diri ke sarang mereka di Selat Karimata.
Segera kita akan mengejarnya."
Mahesa Wulung berhenti berkata karena matanya
kini sibuk melihat bekas medan pertempuran.
Beberapa prajurit tampak berkumpul dan pemimpin-
pemimpin kelompok menghitung anak buahnya, untuk
mengetahui berapa yang meninggal dan berapa yang
masih hidup. Sementara itu beberapa orang lainnya
mendapat tugas khusus untuk merawat dan
mengobati kawan-kawan mereka yang terluka.
Satria Penggali Kubur 1 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 13
^