Pencarian

Bencana Selaput Iblis 2

Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis Bagian 2


dadanya. Bahkan sesekali ia berhasil menggigit kecil telinga Suto, lalu menyapu
telinga itu bagaikan seekor induk kucing memandikan anaknya. Sapuan hangat itu
semakin membakar gairah Suto Sinting membuat Suto tak ingin melarang tangan Awan
Setangkai menjamah dan meremas sesuatu yang
telah terpegang oleh perempuan itu.
"Oh, Suto... berikan itu lebih dari ini, maka akan kuberikan pula rahasia
menghancurkan 'Selaput Iblis'
itu!" bisik Awan Setangkai, membuat Suto terperanjat dan segera menarik diri,
menatap Awan Setangkai yang telah bermata sayu itu.
"Benarkah kau akan memberikan rahasia kekuatan penghancur 'Selaput Iblis' itu"!"
"Ooh, tentu saja, Sayang.... Apa pun yang kau inginkan akan kukabulkan, asal kau
mau memberiku secawan anggur kenikmatan."
"Kau tidak mendustaiku nantinya"!"
"Tidak mungkin, Sayang... sebab... sebab aku tahu di mana 'Jemparing Malaikat'
itu berada."
"Ap... apa itu 'Jemparing Malaikat'"!"
"Panah pusaka milik Begawan Parang Giri. Oh,
lekaslah beri aku secawan kenikmatan, jangan bicara soal itu dulu, Suto!"
"Tidak bisa, Awan Setangkai! Aku harus bisa
menghancurkan 'Selaput Iblis' itu lebih dulu sebelum menghancurkan Selaput
kesucianmu!"
"Suto, aku sudah tidak berselaput lagi. Tapi aku punya kesucian hati kepadamu,
Suto! Sumpah mati, aku punya kesucian hati padamu, Sayang.... Oh, lekaslah peluk
aku dan berikan apa yang kudambakan sejak kita berpisah dulu, Suto...," bujuk
Awan Setangkai dalam rengekan manjanya. Napasnya sudah terengah-engah
dan tangannya meremas serta merayap ke mana-mana.
"Awan Setangkai," bisik Suto. "Bagaimana kalau hal
itu kita bicarakan di kamar tidurmu saja"!"
"Ooh.... itu pasti lebih indah, Suto! Kalau begitu, sekarang juga kau harus
segera kubawa ke Istana Selat Bantai, Sayang...! Aku punya ranjang hangat untuk
kita berdua. Ayo, lekaslah, Suto!" Awan Setangkai menarik-narik Suto, tampak tak
sabar lagi. Sementara itu, Suto Sinting sempat berpikir dalam benaknya,
"Haruskah kulayani gairahnya untuk dapatkan rahasia itu" Oh, celaka! Gairahku
sendiri telah menggebu-gebu dan menuntut kemesraan yang lebih dalam lagi. Oh,
sebaiknya apa yang harus kulakukan kalau sudah
begini?" * * * 4 TIBA-TIBA sekelebat bayangan menyambar mereka
dari arah depan. Bayangan itu berupa senar putih yang menyilaukan yang muncul
dari balik semak yang akan dilalui mereka.
Claap, blaaab...!
Untuk sesaat Suto dan Awan Setangkai tak bisa
bernapas. Mereka sama-sama tumbang dan pingsan.
Sinar putih yang tiba-tiba menyerang mereka itu
ternyata datang dari tangan seorang perempuan
berambut jabrik, acak-acakan. Perempuan itu
mengenakan pakaian serba hitam, ketat dengan tubuh, bagaikan terbuat dari karet
atau bahan lainnya yang
elastis. Perempuan yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu sebenarnya berwajah
cantik, walau berkesan liar dan galak. Sayang sekali rambutnya yang jabrik itu
tidak pernah disisir rapi, sehingga kecantikannya sangat tersembunyi.
Perempuan berdada sekal dan berbibir sensual itu tak lain adalah Angin Betina,
yang berstatus masih gadis walau belum tentu masih perawan, dan sangat mencintai
Suto Sinting. Ia banyak membantu Suto dalam berbagai masalah, dan sering menjadi
penyelamat jiwa Suto
Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pedang Kayu Petir").
Agaknya Angin Betina cemburu mengintip Suto
Sinting bermesraan dengan Awan Setangkai, sehingga sebelum mereka berdua
bergerak ke Istana Selat Bantai, Angin Betina lebih dulu melumpuhkan mereka.
Padahal sebenarnya Angin Betina masih sakit hati kepada Suto yang seolah-olah
memusuhinya ketika Angin Betina
berhadapan dengan Payung Serambi, utusan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Geger Selat Bantai").
"Seharusnya aku berkerjasama denganmu mencari kekuatan pemunah Selaput Iblis
itu, agar kecantikan kakakku; si Merpati Liar, tetap terjaga dan tidak menjadi
luntu karena Selaput Iblis itu. Tapi sayang, aku masih sakit hati dengan sikapmu
kala itu, Suto. Terpaksa aku menggagalkan rencanamu bercumbu dengan gadis rakus
itu!" kata Angin Betina bagai bicara sendiri, karena pada waktu itu Suto Sinting
masih dalam keadaan pingsan.
Angin Betina segera membawa pergi Suto Sinting
jauh-jauh. Ia hanya tak ingin Suto dan Awan Setangkai terlibat percumbuan asmara
yang akan menyenangkan
hati Awan Setangkai. Ia membawa Suto ke dalam
sebuah gua, lalu meninggalkannya disana.
"Maaf, aku terpaksa memisahkan kau dengan
perempuan rakus itu agar perempuan itu sama denganku; yaitu sama-sama tak
mendapatkan kemesraan darimu!
Kau harus kutinggalkan di gua ini, sementara aku akan menuju Bukit Canting untuk
temui Begawan Parang
Giri, sesuai petunjuk kakakku; Merpati Liar. Nanti kau akan buta oleh seranganku
tadi. Tapi jika kau minum tuakmu, maka kebutaan itu akan cepat sirna dan
penglihatanmu pulih seperti sediakala. Selamat tinggal, Suto!"
Wees...! Angin Betina bergerak cepat nyaris tak bisa diikuti oleh pandangan mata
siapa saja. Gadis yang memiliki kitab 'Lorong Zaman' itu ternyata juga menuju ke
Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri.
Rupanya ia diutus oleh kakaknya; si Merpati Liar, yang juga menggunakan aji awet
ayu hingga tetap kelihatan muda dan cantik.
Seperti apa kata Angin Betina, ketika Suto sadar ia segera menggeragap karena
matanya menjadi buta. Ia sempat tegang sesaat, lalu tangannya yang meraba-raba
segera temukan bumbung tuak di sampingnya. Tuak pun diteguknya beberapa kali,
dan ternyata tak sampai
sepuluh helaan napas, kedua mata Pendekar Mabuk
sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya saja ia
sempat termenung dan membatin dalam hatinya.
"Samar-samar tadi sepertinya kudengar suara si Angin Betina. Hmmm... benarkah
yang membawaku kemari Angin Betina" Benarkah dia sedang menuju ke Bukit Canting" Ah, mungkin
itu hanya bayanganku saja di alam pingsan! Tapi... tapi di mana si Awan
Setangkai tadi"! Oh, aku kehilangan jejak orang yang bisa jelaskan tentang
rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Aduh, celaka! Ke mana aku harus
mencari Awan Setangkai,
ya?" Suto keluar dari gua dan garuk-garuk kepala
menandakan sedang bingung menentukan arah
langkahnya. Instingnya mulai digunakan. Melalui
instingnya ia tentukan langkah penuh keyakinan bahwa ia harus menuju ke timur
jika ingin bertemu Awan
Setangkai. "Kau harus pergi ke arah timur jika ingin bertemu Awan Setangkai," kata hatinya.
Namun sebenarnya yang berkata demikian bukan hati Suto, melainkan Suto Sejati
alias Guru Sejati yang pernah ditemuinya di alam gaib, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gerbang Siluman").
Sementara itu, Awan Setangkai segera sadar dari
pingsannya. Tapi ia terpekik kaget setelah mengetahui matanya menjadi buta.
"Suto..."! Sutooo..."!" panggilnya dengan kedua tangan meraba-raba. Ia memeriksa
pedangnya, ternyata masih di punggung, ia memeriksa kanan-kirinya,
ternyata yang ditemukan hanya pohon dan gundukan
batu. "Suto, ke mana kau..."!' serunya dengan harapan mendapat jawaban dari Pendekar
Mabuk. Tetapi ternyata harapannya sia-sia. Tak ada jawaban apa pun dari Suto
Sinting, dan ia tak tahu di mana Suto berada saat itu.
"Gawat! Mataku menjadi buta begini"! Sinar apa tadi yang menerpaku"! Oh, di mana
Suto berada" Mengapa
ia tak menjawab seruanku?" batin Awan Setangkai berkecamuk sendiri sambil
mencoba melangkah dengan meraba-raba.
Namun langkahnya segera terhenti ketika tangannya
menyentuh sesosok tubuh kekar.
"Oh, Suto... kenapa kau tak menjawab seruanku!
Kukira kau jauh dariku, Pendekar Mabuk!" ujarnya sambil tersenyum lega.
Tangannya masih meraba-raba tubuh kekar itu, dan ia yakin tubuh itu adalah milik
Suto, sebab Suto memang berbadan kekar serta dadanya keras berotot, sama dengan
lengannya. Bahkan ketika ia
menyentuh wajah, meraba bibir dan hidung bangir, ia semakin yakin bahwa pemuda
yang di depannya adalah Suto Sinting.
Padahal pemuda itu bukan Suto Sinting. Pemuda
kekar berperawakan tinggi tegap itu adalah Taring Naga, yaitu kakak dari Naga
Langit. Taring Naga memang
mengejar-ngejar Suto Sinting karena Suto telah
melenyapkan seluruh ilmu Naga Langit. Taring Naga
bermaksud menuntut balas, ia belum tahu kalau adiknya sudah mati di tangan Nyai
Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Tanpa Raga").
Melihat gadis cantik berdada montok terkapar, Taring Naga mulai berpikiran
kotor. Sayang waktu itu Awan Setangkai segera siuman dan memanggil-manggil Suto.
Namun Taring Naga masih ingin mencoba
keberuntungannya dengan mendekati gadis itu, lalu ia disangka sebagai Suto
Sinting oleh sang gadis.
"Dia menyangkaku Suto Sinting dan berani merabaku segala. Ah, sebaiknya
kumanfaatkan kebutaan-nya itu untuk berlagak sebagai si Pendekar Mabuk keparat
itu!" kata Taring Naga dalam hatinya.
"Suto, apakah keadaanmu baik-baik saja?"
"Iya...," jawab Taring Naga sambil memberanikan diri mencium pipi Awan
Setangkai. "Ah, kau sudah mulai nakal lagi," ucap Awan Setangkai sambil tertawa kecil.
"Apakah kau juga buta karena sinar putih tadi?"
"Iya...," jawab Taring Naga lagi dalam suara mendedah supaya suara aslinya tidak
diketahui. "Oh, Suto... rupanya kau sudah tak sabar lagi, ya?"
bisik Awan Setangkai sambil membiarkan wajah
pemuda itu mendusal di dadanya, ia justru tertawa
cekikikan disiram kebahagiaan.
Taring Naga menjadi semakin bergairah ketika Awan
Setangkai berbisik kembali, "Dapatkah kau mencari semak-semak yang aman, Suto?"
"Ooh, yaah... kurasa di sini pun sudah cukup aman,"
suara Taring Naga mendesah diburu gairah. Awan
Setangkai memaklumi, karena ia menyangka Suto
Sinting sudah diburu oleh kebutuhan batinnya. Bahkan
gerakan tangan pemuda yang merayapinya itu lebih liar dari Suto Sinting. Tapi
Awan Setangkai menyangka
bahwa keganasan gairah Suto Sinting yang asli telah keluar. Awan Setangkai
justru menyukainya, ia semakin dibuat mabuk gairah oleh sapuan bibir Taring Naga
yang sampai ke tempat-tempat tersembunyi itu.
Tawa yang cekikikan membuat Taring Naga kian tak
sabar, akhirnya ia hanya melepaskan baju dan pedang ditaruh di samping kanan.
Awan Setangkai sendiri yang sudah terengah-engah tampak tak bisa menunggu lebih
lama lagi. Bahkan perempuan itu telah berbaring di bawah pohon berumput tebal.
"Suto, cepatlah...," desah Awan Setangkai sambil menarik tangan Taring Naga.
Lalu ketika Taring Naga memberikan apa yang diinginkan Awan Setangkai, gadis itu
memekik dengan suara tertahan.
"Oouh.... Sutooo...!!" sambil tangannya meremas pundak tak berbaju itu.
Awan Setangkai menjadi ganas walau dalam keadaan
buta. Ia tak sempat memikirkan beberapa kejanggalan karena otaknya sudah
dipenuhi harapan indah dan
hanyut oleh kenikmatan bercumbu yang tak tertahankan lagi itu. Bahkan gadis itu
menjerit kecil lepas kontrol ketika mencapai puncak keindahannya. Tak lama
kemudian jeritan itu terulang kembali, kali ini disertai dengan remasan tangan
di punggung pasangannya,
karena sang pasangan menyemburkan sejuta keindahan yang tertinggi.
"Ooooh... nikmat sekali, Suto. Tapi kenapa hanya
sebentar saja. Ooh, aku ingin mengulangi lagi, Suto!
Aku masih ingin mengarungi samudera cinta bersamamu di sini. Ooh... ayolah,
Sutooo...!" rengek Awan Setangkai, tapi Taring Naga sudah tidak mempunyai
kemampuan, ia hanya terengah-engah sambil terbaring di samping Awan Setangkai.
Gadis itu akhirnya tertawa sambil tangannya meraba, sesuatu yang sudah tak
berdaya lagi. "Hik, hik, hik, hik...! Rupanya kau terlalu mengumbar gairah hingga tak bisa
mengendalikan lagi, ya" Oh, tak apalah! Nanti di tempatku kau mau mengulanginya
lagi, bukan?"
"Ya, Sayang...," jawab Taring Naga masih dengan suara desah.
"Aku sudah cukup lega dan bahagia menerimanya.
Tapi nanti kalau kau sudah meminum jamu seduhanku, ooh... kau akan menjadi
seperti kuda jantan yang
sanggup berperang menembus ratusan musuh di
depanmu. Hik, hik, hik, hik...!"
Tiba-tiba dari arah semak-semak seberang muncul
seorang pemuda yang berlari sambil mencari sesuatu.
Pemuda itu segera terkejut ketika memergoki Taring Naga sedang dibelai oleh
seorang gadis dalam keadaan tanpa baju.
"Ooh..."!" pekik pemuda itu dengan mata terbelalak.
Taring Naga juga kaget dan menggeragap
menyambar baju dan pedangnya.
"Suto, apakah menurutmu ada orang lain di sekitar kita"!" Awan Setangkai mulai
curiga ketika Taring Naga
menarik diri dan segera membetulkan pakaiannya.
"Sialan! Bocah itu lagi!" gerutunya dalam hati.
Orang yang membuat Taring Naga menjadi tegang itu
adalah Panji Klobot, seorang pemuda usia dua puluh tahun yang menjadi pelayan
sang adipati dan kemudian menjadi sahabat Suto Sinting. Dua kali Taring Naga
selalu dibuat mules perutnya oleh tendangan Panji
Klobot yang dinamakan jurus 'Tendangan Cuci Perut'
itu. Taring Naga menyangka Panji Klobot berilmu
tinggi, padahal Panji Klobot hanya mempunyai satu
jurus konyol pemberian pamannya itu.
"Celaka! Kalau dia menyerangku, padahal di sini jauh dari sungai, waah... bisa
habis semua daun kupakai untuk membersihkan diri! Lebih baik kabur saja sebelum
bocah sakti itu membuat perutku mules lagi!"
Wuuut...! Taring Naga lari tanpa pamit kepada Awan Setangkai. Panji Klobot
sendiri segera lari berlainan arah, karena ia takut bertemu Taring Naga tanpa
Suto Sinting. Padahal Panji Klobot hanya kebetulan lewat di
tempat itu. Ia sedang mencari Tenda Biru, gadis yang belakangan ini mengajarkan
ilmu kanuragan padanya, walau belum membuat Panji Klobot bisa menangkis
serangan lawan. Tetapi hubungannya dengan Tenda Biru semakin akrab, sudah
seperti kakak sendiri, sehingga Panji Klobot merasa kehilangan ketika Tenda Biru
menyaksikan sayembara tanding laga di Pesanggrahan Janda Liar, (Tentang Panji
Klobot dan Tenda Biru,
silakan baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gadis Tanpa Raga").
"Sutooo..."! Ke mana kau"!" Awan Setangkai tak berani bersuara terlalu keras, ia
curiga ada orang yang mengintai perbuatannya tadi. Tapi setelah dirasakan
suasana menjadi sepi, ia pun mulai bangkit dan
membenahi pakaiannya.
"Suto..."! Suto, kau di mana"!" panggilnya sambil mulai melangkah meraba-raba.
Panji Klobot sudah jauh, meneruskan usahanya mencari gadis berjuluk Tenda


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biru itu. Sedangkan Taring Naga juga sudah berlari sejauh mungkin, karena tak
ingin isi perutnya terkuras lagi oleh tendangan Panji Klobot. Akibatnya, Awan
Setangkai menjadi kebingungan sendiri.
"Tadi sepertinya ada orang datang, tapi kenapa sekarang orang itu pergi"
Kudengar suara larinya ke arah depanku. Dan Suto Sinting sendiri..." Oh, mengapa
dia harus lari juga" Apakah dia mengejar orang yang
muncul dari semak-semak sana" Ah, sepertinya Suto
Sinting lari lebih dulu. Kalau begitu, orang yang tadi muncul itu mengejar Suto
Sinting" Atau... aduh,
bagaimana ini sebenarnya" Mengapa pandangan mataku tetap buta begini?"
Awan Setangkai sengaja diam bersandar di bawah
pohon sambil berkecamuk dalam hatinya, ia memikirkan langkah selanjutnya yang
harus dilakukan.
Beberapa kejap kemudian, Suto Sinting menemukan
tempat itu. "Awan Setangkai...!" serunya dari kejauhan.
Gadis itu tergugah dari lamunan dan menjadi ceria.
Walau matanya masih buta, tapi hatinya sudah lega
karena ia mendengar suara langkah Suto Sinting yang tadi menyapanya di kejauhan.
"Awan, kau... kau masih buta"!"
"Masih! Tapi... tapi aku bahagia sekali karena kau telah kembali lagi."
"Minumlah tuakku ini, biar matamu bisa melihat lagi."
Ternyata setelah Awan Setangkai meminum tuak
beberapa teguk, kegelapan di matanya menjadi buram, lalu ia dapat melihat
bayangan pohon dan benda lain secara samar-samar. Beberapa kejap berikutnya
kebutaan itu telah hilang, kini kedua mata Awan
Setangkai itu dapat dipakai untuk melihat lagi dengan jelas.
"Ooh, sayang sekali tadi kita sama-sama buta, ya?"
ujarnya kepada Suto sambil memeluk dan menjatuhkan kepala di dada Suto Sinting.
Pendekar Mabuk tak jelas yang dimaksud ucapan
Awan Setangkai, ia hanya berkata dalam gumam lirih.
"Iya, sayang kita tadi sama-sama buta. Kalau tidak...
pasti kita bisa mengetahui dengan jelas siapa orang yang menyerang kita tadi."
"Mungkin itu orang iseng yang tidak suka melihat kemesraan kita, Suto. Biarkan
saja dia, tapi waspadalah mulai sekarang. Sekali ia muncul lagi, kuhabisi dia
saat itu juga!"
"Kau jadi mengajakku ke Istana Selat Bantai?"
"O, ya... tentu jadi! Aku ingin mengulang kemesraan
yang tadi."
Suto Sinting tersenyum, karena ia menduga maksud
Awan Setangkai adalah kemesraan saat mereka saling beradu ciuman tadi. Sedangkan
maksud Awan Setangkai adalah kencan yang lebih dalam di balik semak-semak itu.
"Agaknya kau harus minum jamu agar mampu
berpacu lebih lama lagi."
"Ah, kau pikir aku seorang penunggang kuda yang payah"!"
"Buktinya kau tadi cepat menyelesaikan tugas, padahal aku masih ingin
melanjutkannya ke puncak
yang lebih tinggi," ujar Awan Setangkai tanpa malu-malu lagi, karena merasa
sudah menyatu dalam satu
pribadi, ia hanya tertawa cekikikan sambil tetap
melangkah dan merangkul pinggang Suto dari samping.
Suto Sinting masih belum paham maksud kata-kata
Awan Setangkai sebenarnya.
"Tak kusangka kalau kau ternyata juga ganas dan sangat panas!" ujar Awan
Setangkai lagi. Suto menyangka permainan tangan dan ciumannya tadi
dianggap ganas.
"Ah, baru segitu masa' sudah kau anggap ganas?"
"Eh, tadi... menurutmu siapa tadi yang mengintip kita, Suto?"
"Yang... yang mana?"
"Tadi, saat kau sedang terkulai ngos-ngosan di sampingku dan aku sedang
membelaimu. Bukankah tadi ada orang yang mengintip pergumulan kita?"
"Pergumulan"! Maksudmu, pergumulan yang
bagaimana?"
"Ah, jangan berlagak pikun kau," sambil Awan Setangkai mencubit hidung Suto dan
tertawa riang, ia sengaja hentikan langkah untuk menatap Suto Sinting.
"Terus terang saja, biar hanya sebentar, tapi aku sudah lega. Aku sudah puas
menerima kemesraanmu.
Maaf kalau sampai aku tadi menggigit pundakmu dan
mencakar punggungmu, aku sering lupa daratan kalau sedang begitu!"
"Mencakar..."! Rasa-rasanya punggungku tidak ada yang mencakarnya"!" kata Suto
Sinting dengan heran.
"Kau pasti tak ingat, karena kita tadi sama-sama terbang tinggi. Tapi...
ternyata indah juga bercumbu dalam keadaan sama-sama buta, ya?"
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk mulai memahami maksud kata-kata Awan Setangkai.
"Kapan kita
bercumbu dalam keadaan buta?"
"Aaah... kau suka berlagak pikun, nanti pikun betul lho!" goda Awan Setangkai.
Suto pun membatin, "Wah, agaknya tadi ada orang yang memanfaatkan kebutaan Awan
Setangkai dan memberinya kepuasan. Buktinya gadis ini tidak segalak tadi" Celaka! Kalau
begitu, ini namanya tidak makan nangka tapi kena getahnya!"
"Awan Setangkai, jujur saja kukatakan padamu, saat aku siuman dari pingsanku,
kudapatkan mataku telah buta. Lalu, aku minum tuak ini, dan kebutaanku hilang.
Tapi kutemukan diriku sudah berada di dalam gua. Lalu
aku keluar dan mencarimu kemari!"
Awan Setangkai justru tertawa berkepanjangan.
"Kau pandai mengarang cerita yang menggoda
hatiku, Suto. Ooh... aku senang sekali punya
pendamping sepertimu. Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi. Sebaiknya kita segera
ke Istana Selat Bantai. Aku akan bicara tentang pusaka 'Jemparing Malaikat'
milik Begawan Parang Giri itu. Kuanggap, kau sudah
memberiku secawan anggur kenikmatan, aku telah lega.
Tidak penasaran seperti tadi. Terserah kau mau berlagak bodoh atau berlagak
pikun, yang jelas aku sudah
mendapatkannya darimu. Kini aku akan memenuhi
janjiku untuk bicara tentang rahasia 'Selaput Iblis' yang ada di langit itu!"
"Wah, kacau kalau begini...!" gumam Suto dalam hati. "Dia tetap merasa bergumul
denganku! Tapi... ah, masa bodoh soal itu! Yang penting aku harus bisa cepat-
cepat hancurkan 'Selaput Iblis' agar Bibi Guru Bidadari Jalang tidak mengalami
perubahan pada wajahnya."
Namun tiba-tiba muncul ketegangan kecil dari pikiran Suto.
"Bagaimana kalau sampai Awan Setangkai nanti
hamil" Pasti dia akan menyangka akulah yang
menghamilinya, dan dia akan menuntut tanggung
jawabku, lalu kami harus kawin, oooh... kiamat! Aku tak mau menikah dengan siapa
pun kecuali Dyah
Sariningrum, calon istriku itu!"
Pikiran Suto pun menjadi bercabang lagi antara
'Selaput Iblis' dan bekas 'Selaput Dara'-nya Awan
Setangkai itu. Suto menjadi jengkel sendiri dan
menggerutu dalam hati.
"Persoalan selaput bikin kacau pikiranku! Sial!
Kenapa aku dihadapkan persoalan seperti ini"!"
Tanpa sadar Pendekar Mabuk bersungut-sungut
sendiri, sehingga Awan Setangkai menertawakan, karena dianggapnya Suto tetap
bersandiwara untuk menggoda hatinya. Gadis itu justru semakin tertarik kepada
Suto Sinting. Malahan ia bertekad untuk membantu kesulitan Suto dengan harapan
akan mendapatkan kemesraan yang lebih indah dari kemesraan yang dinikmati dalam
kebutaan tadi. * * * 5 ENTAH sudah berapa hari sebenarnya Suto dibuat
sibuk oleh kasus 'Selaput Iblis' itu. Mungkin sudah dua hari, mungkin juga baru
sehari semalam. Semuanya tak jelas, karena matahari tak mau bergerak. Seakan
sang matahari lakukan mogok terbenam dan mogok terbit.
Bayangan manusia sudah berubah menjadi ungu.
Orang-orang Selat Bantai, sisa anak buah Ratu Cendana Sutera banyak yang menjadi
korban ketuaan, karena
ternyata mereka banyak yang menggunakan aji
pengawet ayu mengikuti mantan sang Ratu Selat Bantai itu. Mereka yang wajahnya
menjadi keriput, peot,
kempot, dan beruban, kebanyakan mulai mengenakan
cadar penutup wajah. Akibat banyaknya perempuan di
Selat Bantai yang mengenakan cadar, maka suasana
Selat Bantai seperti suasana di Mesir.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat ketika baru saja tiba di Istana Selat Bantai,
karena melihat banyaknya perempuan bercadar, ia sempat berkata pelan kepada Awan
Setangkai yang disambut oleh mereka dengan
penghormatan, karena Awan Setangkai sebenarnya
sekarang seorang ratu di Selat Bantai. Hanya saja karena Awan Setangkai masih
berjiwa muda, maka ia masih
gemar keluyuran sendiri, bahkan keluar dari istana tanpa diketahui para
pengawalnya. "Apakah prajuritmu sekarang banyak yang bergigi tonggos, sehingga menutup wajah
dengan kain cadar?"
"Kurasa persoalannya bukan terletak pada gigi mereka, tapi pada perubahan
kecantikan mereka yang menjadi keriput dan menua," jawab Awan Setangkai.
"Kau masih kenal gadis berbaju tak berlengan warna biru itu?"
"Hmmm... maksudmu yang memakai ikat kepala
rantai emas berbandul merah itu?"
"Benar. Apakah kau masih ingat dia?"
Suto memandang perempuan yang berbadan sekal
dengan rambut sepunggung dikepang dan bersenjata
pisau kembar serta membawa busur yang melintang di punggung. Ingatan Suto
melayang sejenak pada
peristiwa penyergapan terhadap dirinya beberapa waktu yang lalu.
"Kalau tak salah, dia adalah si Bunga Ranjang!"
sambil benak Suto membayangkan pertarungannya
dengan Bunga Ranjang, mantan pengawalnya Ratu
Cendana Sutera itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Cendana
Sutera"). "Benar. Akan kupanggil dia biar kau jelas semuanya."
Bunga Ranjang yang kini tunduk di bawah perintah
Awan Setangkai segera berlari menghadap Awan
Setangkai begitu dipanggil dengan suitan. Perempuan itu mengenakan kerudung
hitam di kepalanya dengan wajah tertutup kain tersebut. Bagian wajah yang
kelihatan hanya bagian sepasang matanya yang mulai tampak
buram itu. "Bunga Ranjang, bukalah kain cadarmu itu. Kau tidak menghormati tamu agung kita
ini jika tetap mengenakan kain cadar."
"Tapi...."
"Bukalah kain cadarmu!" Awan Setangkai
mempertegas dengan nada wibawanya sebagai Ratu atau Ketua orang-orang Selat
Bantai. Mau tidak mau Bunga Ranjang membuka kain cadarnya, lalu cepat-cepat
menundukkan kepala, karena ia kenal siapa tamu agung yang dimaksud itu. Ia malu
kepada Pendekar Mabuk
yang dulu pernah dipameri kecantikannya bersama
Mawar Rimba. "Selamat berjumpa lagi denganku, Bunga Ranjang.
Bagaimana keadaanmu sekarang" Betah punya ratu
ganjen macam si Awan Setangkai ini?"
Pluk...! Awan Setangkai menepuk lengan Suto sambil tertawa malu, sedangkan Bunga
Ranjang hanya tersenyum-senyum sambil kian menundukkan kepala.
Rupanya ia tak ingin Pendekar Mabuk melihat wajahnya lebih jelas lagi.
Tapi keadaan itu sudah cukup membuat Suto Sinting
menjadi prihatin dan merasa iba terhadap Bunga
Ranjang, sehingga ia perlu membuat suasana menjadi ceria dengan kelakarnya tadi.
Siapa orangnya yang tak merasa terharu jika melihat mata yang dulu sayu indah
berbulu lentik, sekarang menjadi mata yang keruh tanpa bulu selengkap dulu.
Kulit yang dulu kencang dan bersih, sekarang berkeriput bagai kain tak
disetrika. Bibir yang dulu mungil sensual menggemaskan, sekarang berkerut
tepiannya dan tenggelam ke dalam karena keompongan gigi depannya.
Hidung yang dulu mancung, sekarang melebar ke
samping bagai sisa permadani digelar di wajah.
Awan Setangkai segera menyuruh Bunga Ranjang
pergi mempersiapkan tempat untuk menjamu sang tamu agung itu. Lalu, dengan hati
sedih pula Awan Setangkai berkata kepada Suto Sinting.
"Dia korban kabut sinar ungu itu! Dulu ia tampak cantik, bukan?"
"Memang cantik dan menggairahkan. Matanya yang sayu jika memandang seakan sebuah
ajakan untuk berkencan di balik semak-semak."
"Dia seperti itu karena menggunakan mantra
kecantikan pemberian mendiang Ratu Cendana Sutera.
Sekarang mantra itu tidak berguna lagi, dan akibatnya seperti kau lihat sendiri
tadi." "Kasihan sekali," gumam Suto Sinting sambil
membayangkan wajah Bidadari Jalang yang usianya
hanya terpaut setahun dua tahun dari si Gila Tuak.
Semangat Suto untuk menghancurkan kabut sinar ungu itu semakin membara, sehingga
ia segera mengarahkan pembicaraannya tentang pusaka milik Begawan Parang Giri
itu. "Seperti kukatakan padamu sebelum kau memberikan kehangatan yang indah itu
padaku," Awan Setangkai mengawali dengan senyum dan kerlingan mata nakalnya.
"Pusaka itu adalah sebuah panah emas yang dapat memudarkan segala macam kekuatan
gaib atau ilmu siluman. Ratu Cendana Sutera dan orang-orang Selat Bantai ini, termasuk diriku,
paling takut kalau melihat lawan membawa panah emas, walau sebenarnya belum
tentu panah emas itu pusaka 'Jemparing Malaikat'-nya sang Begawan."
"Apakah dulu ketika gurunya Nyai Watu Wadon
melapisi matahari dengan 'Selaput Iblis' juga
dihancurkan oleh panah emas itu?"
"Menurut cerita mendiang Ratu Cendana Sutera
memang begitu, tetapi yang memanahkannya bukan
Begawan Parang Giri, melainkan seorang tokoh
angkatan lama bernama Raja Maut."
"Oh, aku kenal dengan Raja Maut yang kini sudah almarhum itu."
"Hanya orang berilmu tinggi yang bisa menarik busur untuk melepaskan panah
'Jemparing Malaikat' itu. Sang Begawan sendiri sudah tidak mempunyai kekuatan
untuk menarik tali busur dan melepaskan panah itu, karena ia
sudah sangat tua dan ilmunya sudah dibuang semua.
Kini sang Begawan hanya ingin menyepi, menyucikan
diri, mendekatkan hidupnya dengan Yang Maha Kuasa
sambil menunggu saat kematiannya tiba."
"Dan panah itu masih ada padanya?"
Awan Setangkai menggelengkan kepala. Langkah
mereka berhenti di taman indah yang dulu sering dipakai kencan oleh mendiang
Ratu Cendana Sutera dengan
lawan jenisnya. Di taman itu ada bangku dari batu
marmer hitam mengkilat. Awan Setangkai mengajak
Suto duduk di batu itu sambil memandangi kolam
berikan warna-warni dan bunga-bunga aneka ragam.
"Panah itu semula ada padaku. Tapi sekarang hilang dicuri oleh salah seorang
anggota Partai Janda Liar."
"Oh, ya..."!" Suto terperanjat. Matanya memandang Awan Setangkai dengan dahi
berkerut tajam.
"Ketika aku datang menemui Begawan Parang Giri di Bukit Canting, aku mengeluh
pada beliau karena


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menurut silsilah, beliau masih ada hubungan darah
dengan leluhurku. Aku mengeluh tentang hak
kekuasaanku di Selat Bantai ini yang direbut oleh Ratu Cendana Sutera. Pusaka
itu kupersiapkan untuk saat-saat penggulingan kekuasaan nanti, terutama jika aku
sudah punya pendukung cukup banyak. Tetapi sebelum makar itu kulakukan, ternyata
sudah ada peristiwa 'Bulan Kesuburan' yang melibatkan dirimu dan akhirnya sang
Ratu mati di tanganmu."
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, Awan
Setangkai terpaksa hentikan ceritanya sesaat, karena ia
ingin ceritanya didengar Suto dengan serius. Setelah Pendekar Mabuk selesai
menenggak tuaknya, Awan
Setangkai lanjutkan pula ceritanya.
"Beberapa waktu yang lalu, orang Partai Janda Liar datang kemari, ia meminta
panah itu dengan paksa. Aku mencoba mempertahankannya dengan perlawanan
sengit. Tetapi dia punya keberuntungan dapat melihat sisi kelemahanku. Aku
dibuatnya tak berdaya dan nyaris mati. Satu langkah lagi, jika aku tidak
serahkan panah itu, nyawaku akan melayang dan sekarang tak bisa
menjumpaimu, tak bisa merasakan kenikmatan
cumbuanmu."
"Jadi panah itu kau serahkan padanya?" sahut Suto Sinting yang tak mau bicara
tentang cumbuan, karena merasa kesal hati; tidak mencumbu dikatakan
mencumbu dengan mesra.
"Ya, panah itu kuserahkan padanya. Lalu, aku segera pergi ke Bukit Canting dan
melaporkan hal itu kepada Begawan Parang Giri."
"Apa tindakan sang Begawan"!"
"Dia menyuruhku membiarkan panah itu ada di
tangan orang tersebut, karena orang itu adalah cucunya sendiri yang memang
berhak memiliki panah pusaka
itu." "Ooo... jadi cucunya Begawan Parang Giri ada yang menjadi anggota Partai Janda
Liar?" "Benar. Dia seorang perempuan yang patah hati karena dua kali menikah dua kali
pula dikhianati oleh suaminya. Lalu ia menggabungkan diri dengan Partai
Janda Liar agar mendapat bantuan dari Nyai Watu
Wadon dalam melepaskan dendamnya kepada kedua
mantan suami itu. Ternyata usahanya berhasil, kedua mantan suami dibunuhnya
dengan bantuan kekuatan
Nyai Watu Wadon."
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Siapa nama perempuan yang menjadi
cucunya Begawan
Parang Giri itu?"
"Perempuan itu dikenal dengan nama Selimut Senja."
"Ooh..."!" Suto Sinting kaget. "Bukankah Selimut Senja yang membunuh Nyai Watu
Wadon" Saat itu aku
melihatnya sendiri!"
"Memang benar. Rupanya Selimut Senja ingin
merebut kekuasaan di dalam Partai Janda Liar. Mungkin ia punya maksud menyusun
kekuatan bersama para
pengikut Partai Janda Liar yang terdiri dari janda-janda sakit hati itu untuk
memerangi kaum pria yang pernah menyakiti hati mereka."
"Padahal kulihat Selimut Senja punya ilmu cukup tinggi. Bahkan kudengar ia
menguasai ilmu "Kulit Baja'
yang anti bacok anti tonjok itu."
"Menurut berita dari mata-mata yang kususupkan ke sana, ilmu 'Kulit Baja' itu
dikuasai olehnya baru-baru ini saja. Sebelumnya ia tidak mempunyai ilmu 'Kulit
Baja' dan ilmunya masih di bawah Nyai Watu Wadon. Jika ia sudah mempunyai ilmu 'Kulit
Baja' tentunya ia tidak perlu bergabung dengan Nyai Watu Wadon untuk
membunuh kedua mantan suaminya yang berilmu tinggi itu."
"Hmmm, ya... benar juga," Suto manggut-manggut lagi. "Lalu, apa hubungannya
perebutan kekuasaan si Partai Janda Liar itu dengan panah pusaka 'Jemparing
Malaikat' itu"!"
"Aku tak tahu secara pasti. Tapi menurut dugaan ku, panah itu juga dipersiapkan
untuk melawan Nyai Watu Wadon, sebab Nyai Watu Wadon mempunyai jurus
'Bencana Gaib' yang berbahaya."
Setelah merenung sesaat, Suto Sinting pun berkata
seperti bicara pada diri sendiri.
"Kalau begitu, saat aku bertarung dengan Nyai Watu Wadon, ada sepasang mata yang
melihatnya dari
persembunyian. Mungkin kepergian Nyai Watu Wadon
diikuti oleh sepasang mata yang tak lain milik Selimut Senja itu. Dan ketika ia
mengetahui keadaan Nyai Watu Wadon terluka cukup berbahaya, ia menyerangnya
sebelum luka itu tersembuhkan. Karena kulihat Selimut Senja tidak menggunakan
panah emas itu dalam
pertarungannya melawan Nyai Watu Wadon."
"Barangkali saja memang begitu. Tapi yang jelas sekarang Selimut Senja di pihak
yang menang. Sebab dengan membiarkan matahari dilapisi kabut sinar ungu, maka ia
dapat membuat lawan-lawan perempuannya
yang punya ilmu pengawet ayu itu mengalami
penderitaan. Selimut Senja sendiri mempunyai
kecantikan yang asli dan tidak menggunakan mantra atau ilmu pengawal ayu,
seperti keayuanku ini," sambil Awan Setangkai tersenyum angkuh menggoda Suto
Sinting. Tangan Suto berkelebat mencubit pipi Awan Setangkai
dengan gemas. Yang dicubit diam saja, bahkan menarik tangan itu lalu memeluknya.
Gadis itu memang tampak lebih ceria ketimbang
semasa menjadi anak buahnya Ratu Cendana Sutera.
Kebebasannya menjadi penguasa Selat Bantai agaknya telah membuat Awan Setangkai
tak sungkan-sungkan
bertindak apa saja. Buktinya ia langsung menciumi Suto Sinting begitu pemuda
tampan itu jatuh dalam
pelukannya. Ciumannya menggelora bagaikan ingin
menyapu bersih wajah itu. Bahkan kali ini bibir Suto Sinting dilumatnya habis-
habisan, seakan bibir itu ingin ditelannya bulat-bulat, hingga Suto Sinting
sempat gelagapan sebentar.
"Gusti Ratu...," sapa seorang prajurit muda yang punya kecantikan asli pula itu.
Sapaan tersebut membuat Awan Setangkai menggeragap kaget dan buru-buru
melepaskan ciumannya, memisahkan diri dan Suto
Sinting, ia sempat salah tingkah sebentar, sementara Suto Sinting menertawakan
dengan senyum dipalingkan ke arah lain.
"Kau benar-benar tak tahu sopan, Kundarini!
Mengapa kau berani mengganggu kemesraanku dengan
Pendekar Mabuk, hah"!" Awan Setangkai memarahi prajurit yang menghadap dengan
napas terengah-engah dan wajah tegang itu.
"Maaf, Gusti Ratu... saya hanya ingin
memberitahukan bahwa kita telah kedatangan seorang tamu yang membuat keributan
di depan bangsal
pertemuan, ia telah berhasil mendobrak gerbang dan
ingin masuk ke bangsal keratuan."
"Keparat! Siapa orang itu?"
Prajurit muda itu menjawab, "Saya tidak tahu, Gusti Ratu. Tetapi beberapa rekan
prajurit atasan saya
mengatakan bahwa perempuan itu bernama Sedap
Malam, mantan orang kita juga."
"Nyai Sedap Malam..."!" gumam Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang, karena
ia kenal betul dengan perempuan yang menjadi istrinya Ki Palang Renggo,
sahabat gurunya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu Darah
Satria"). "Akan kuhadapi sendiri dia! Tahan para prajurit agar jangan lakukan penyerangan.
Nanti banyak korban yang sia-sia. Biar kuhadapi sendiri si Sedap Malam yang
masih ingin ikut campur urusan Selat Bantai itu!" kata Awan Setangkai dengan
berang. "Biar aku yang bicara dengannya," kata Suto setelah Kundarini pergi melaksanakan
perintah sang Ratu
nyentrik itu. "Tidak. Kurasa ia datang karena ada urusan lama denganku, sebab ia memang bekas
orangnya Ratu Cendana Sutera yang diusir karena berhubungan cinta dengan Ki Palang Renggo!"
"Aku pernah mendengar hal itu, tapi aku kenal dengannya dan...."
"Kau tetap di sini. Tunggu aku beberapa saat. Akan kulumpuhkan dia dalam dua-
tiga jurus saja!"
Awan Setangkai bergegas pergi tinggalkan taman itu.
Namun Suto Sinting tak mungkin tinggal diam begitu
saja, sebab hubungannya dengan Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo cukup baik.
Bahkan Nyai Sedap
Malam pernah selamatkan nyawanya ketika ia terkena racun 'Bayu Panggang'-nya si
Awan Setangkai, ketika Awan Setangkai berusaha membunuh Suto agar tidak
menjadi penabur keturunan bagi Ratu Cendana Sutera.
Nyai Sedap Malam mengenakan jubah kuning garis-
garis merah, ia menggenggam senjata sebuah tongkat berkepala bunga. Tongkat itu
yang digunakan untuk
menghantam punggung seorang pengawal dalam
gerakan bersalto di udara dengan cepat. Buuhk...!
"Aaahk...!"
Suuur...! Pengawal itu menyemburkan darah dari
mulutnya, menandakan pukulan tongkat tersebut dialiri dengan tenaga dalam cukup
besar. Melihat pengawal itu tersungkur dan tak berkutik
lagi, walau masih menggeliat pelan dengan menyeringai kesakitan, temannya merasa
semakin penasaran dan
segera menyerang Nyai Sedap Malam dengan pukulan
bercahaya kuning. Claaap...! Sang Nyai rupanya cukup tangkas dalam menghadapi
serangan lawan, ia
berkelebat dalam gerakan memutar balik ke belakang, kemudian sinar kuning lurus
yang semula mengarah
kepadanya itu dihantam dengan kepala tongkat yang
segera membara biru terang. Wuuut...!
Blegaaarr...! Ledakan cukup seru terjadi dan sempat menggetarkan tanah sekitar mereka. Nyai
Sedap Malam berhasil
lompat ke atas atap ruang pertemuan itu. Wuuut...!
Jleeg..! Tongkatnya segera dimainkan berputar cepat di atas kepala. Gerakan
tongkat yang memutar cepat itu menimbulkan angin panas yang mengeringkan
dedaunan. Tetapi tiba-tiba sebuah suara berseru dengan lantang dari bawah.
"Hentikan tingkahmu. Sedap Malam!"
Nyai Sedap Malam memandang orang yang berseru
dengan lantang itu. Ternyata si Awan Setangkai yang bertolak pinggang bagai
menantang pertarungan di
bawah. Nyai Sedap Malam benar-benar hentikan
permainan tongkatnya.
"Turun kau kalau memang mau cari mati di sini!"
seru Awan Setangkai menunjukkan sikap tegasnya
sebagai pengganti penguasa Selat Bantai.
Wuuut...! Jleeg...!
Nyai Sedap Malam turun dari atap dalam satu
lompatan lurus hingga jubahnya berkelebat bagai sayap seekor burung merak
betina. Pada saat itu pula Suto Sinting tiba di tempat itu, agak jauh di belakang Awan
Setangkai. Pandangan mata Suto sedikit mengecil karena ia menemukan kejanggalan
di wajah Nyai Sedap Malam.
"Oh, kasihan sekali Nyai Sedap Malam... rupanya ia telah menjadi korban 'Selaput
Iblis' itu, sehingga sekarang wajahnya tampak tua, berkerut-kerut dan
kecantikannya hilang sama sekali. Rambutnya pun telah beruban dan bola matanya
menjadi keruh, tak sebening waktu itu," kata Suto dalam batinnya.
Awan Setangkai berseru dengan wajah berang, "Apa
maksudmu bikin keonaran di sini, Sedap Malam"!"
"Orang-orangmu menghinaku, menganggapku orang jahat dan tak diizinkan bertemu
denganmu. Maka kutunjukkan pada mereka bahwa aku bukan orang
murahan yang pantas disepelekan oleh mereka!" kata Nyai Sedap Malam dengan suara
sedikit serak karena ketuaannya.
"Tentu saja mereka tak izinkan kau menggangguku, karena aku sedang kedatangan
seorang tamu agung.
Kami sedang asyik bermesraan, lalu kau datang mau
mengganggu kemesraanku. Hmmm...! Perempuan tak
tahu diri itu namanya!"
"Persetan dengan kemesraanmu, tapi aku
membutuhkan dirimu untuk meminta panah emas milik
Begawan Parang Giri yang ada padamu sebelum kau
melakukan makar terhadap Ratu Cendana Sutera!
Bukankah waktu itu aku yang menyarankan agar kau
meminta bantuan Begawan Parang Giri dan meminjam
pusakanya untuk melawan sang Ratu kala itu"! Tapi
mana balas budimu padaku" Bahkan ketika aku diusir dari Selat Bantai, kau tidak
ada pembelaan terhadap diriku!"
"Karena aku tak mau campuri urusan pribadimu, Tolol!"
"Sekarang aku datang untuk meminjam pusaka
'Jemparing Malaikat' itu! Tentunya kau tahu keadaanku yang sekarang dan mengerti
apa yang harus dilakukan untuk menghentikan bencana ini, Awan Setangkai!"
"Pusaka itu sudah tidak ada di tanganku!" ujar Awan
Setangkai dengan tegas.
"Jangan mengecewakan diriku, Awan Setangkai! Aku tidak bermaksud bermusuhan
dengan pihakmu. Aku
hanya ingin meminjam panah itu untuk hancurkan kabut sinar ungu yang menutupi
matahari itu!"
"Sudah kubilang, panah itu tidak ada padaku!" seru Awan Setangkai dengan lebih
galak lagi. "Hmmm...," Nyai Sedap Malam mencibir sinis, wajahnya semakin tampak tua dan
buruk. "Kau khawatir pusaka itu tak kukembalikan" Oh, aku bukan perempuan yang
keji seperti dugaanmu. Bahkan aku punya pilihan lain; kau sendiri yang
melepaskan panah itu ke langit, atau aku meminjamnya dan melepaskannya ke
langit"!"
"Persetan dengan pilihanmu! Aku benar-benar tidak memegang panah itu lagi!"
"Kalau begitu kau ingin agar aku melumpuhkanmu lebih dulu, Awan Setangkai!"
"Kulayani apa maumu, Sedap Malam! Kau sangka
aku takut padamu, hah"!"
"Baik, bersiaplah menghadapi jurus mautku, Awan Setangkai!"
Nyai Sedap Malam segera bergerak ke kiri dan
memutar tongkatnya pelan-pelan. Pandangan matanya
tertuju ke arah Awan Setangkai dengan tajam dan penuh nafsu bermusuhan. Awan
Setangkai sendiri segera
mengambil posisi untuk lepaskan pukulannya ke arah Nyai Sedap Malam.
"Tahan...!" tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang Awan Setangkai. Suara
itu adalah suara
Pendekar Mabuk yang segera hadir di samping Awan
Setangkai. "Ooh..."!" Nyai Sedap Malam terkejut melihat Suto ada di sisi Awan Setangkai.
"Rupanya kau sudah berpihak kepadanya, Suto!"
"Nyai, dengarkan dulu penjelasanku!" ujar Suto Sinting dengan sabar. "Kebetulan
aku berkunjung ke Selat Bantai karena persoalan yang sama dengan
persoalanmu. Aku diutus oleh guruku; Bidadari Jalang, untuk mencari kekuatan
yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Dan kebetulan Awan Setangkai
mengetahui senjata pusaka yang pernah dipakai untuk hancurkan
'Selaput Iblis' beberapa tahun yang silam."
"Kalau begitu, paksa si Awan Setangkai agar
keluarkan panah 'Jemparing Malaikat', dan hantamlah kabut sinar ungu itu, Suto!"
"Tunggu dulu, Nyai.... Kita sama-sama menghadapi persoalan yang sama. Artinya,
kita sama-sama kehilangan panah pusaka itu."
"Bicara yang benar kau, Pendekar Mabuk!" ucap Nyai Sedap Malam dengan tegas


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menuding Suto memakai tongkatnya.
"Minggirlah, akan kuhajar dia biar percaya bahwa panah itu tidak ada padaku!"
sambil Awan Setangkai mendorong tubuh Suto agar menyingkir, tapi Suto
bertahan dan mencoba meredakan kemarahan Awan
Setangkai dengan bujukan penuh kesabaran.
"Ini perkara yang sia-sia jika harus menggunakan pertarungan! ini hanya
kesalahpahaman saja, dan
kesalahpahaman ini membutuhkan penjelasan sejelas
mungkin!" Awan Setangkai mendengus, namun ia tidak
melarang Suto untuk maju mendekati Nyai Sedap
Malam. "Nyai... baru saja tadi kubicarakan dengan Awan Setangkai bahwa kami sepakat
untuk menghancurkan
'Selaput Iblis' itu. Tetapi panah pusaka itu sekarang berada di tangan Selimut
Senja, ketua Partai Janda Liar yang baru."
Nyai Sedap Malam terperanjat dan memandang Suto
lebih tajam lagi. Ia sama sekali tak pedulikan
kecantikannya yang luntur itu, karena yang ada dalam benaknya hanya panah pusaka
untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu.
"Nyai, aku tidak mendustaimu. Aku tahu kau sangat menderita, sama seperti Bibi
Guru-ku; si Bidadari
Jalang. Karenanya, redakanlah amarahmu, Nyai.
Singkirkan anggapan burukmu terhadap Awan
Setangkai. Percayalah, aku tidak akan tinggal diam dalam perkara ini!"
"Dapatkah mulut seorang lelaki yang sedang dimabuk kemesuman kupercayai"!"
Suto tersenyum geli. "Nyai, aku tidak sedang mabuk.
Walau ke mana-mana aku menenteng bumbung tuak,
tapi aku toh tidak pernah mabuk. Begitu pula dengan sekarang, walau aku
menenteng Awan Setangkai, tapi aku tidak pernah merasa mabuk oleh kecupan
bibirnya yang... hangat sekali, Nyai. Uuh, tadi aku hampir saja
tak bisa bernapas karena ia...."
"Cukup!" sentak Nyai Sedap Malam, membuat suara Suto yang berbisik itu lenyap
seketika. "Kalau begitu, aku harus merebut panah itu dari tangan si Selimut Senja?" geram
Nyai Sedap Malam.
"Kau akan tumbang dan mati sia-sia jika
melawannya!" ujar Awan Setangkai. "Apakah kau belum mendengar kabar bahwa
Selimut Senja sudah menguasai ilmu 'Kulit Baja' dari kitab pusaka kakeknya yang
dicuri nya itu"!"
Suto Sinting segera berkata, "Nyai, serahkan
persoalan ini padaku. Aku akan menyelesaikannya
secepat mungkin. Jangan korbankan nyawamu untuk
mendapatkan panah tersebut. Jalan yang terbaik bagimu masih ada. Tunggulah
saatnya, tak lama lagi kabut sinar ungu itu akan hancur dan kecantikanmu akan
kembali seperti sediakala!"
"Apa sangsinya jika kau gagal" Kepalamu
kupenggal?"
"Jangan berat-berat sangsinya, Nyai! Biar gagal aku kan masih butuh kepala
juga," kata Suto Sinting dengan bersungut-sungut. Lalu, Awan Setangkai menimpali
dengan ketus. "Sebelum kau memenggal kepala Suto, lebih dulu kepalamu kupancung, Sedap Malam!"
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang lebih cepat memenggal kepala!" sentak
Nyai Sedap Malam. Suto segera menengahi.
"Hei.. hei... ini bukan soal kepala, ini soal 'Selaput
Iblis'. Jangan melantur ke mana-mana!"
Akhirnya Nyai Sedap Malam pasrah kepada usaha
Suto Sinting, ia sempat diyakinkan oleh Awan
Setangkai, bahwa Suto pasti berhasil dapatkan panah itu.
Maka, Pendekar Mabuk pun segera pergi untuk temui
Ketua Partai Janda Liar yang baru itu.
* * * 6 PENDEKAR Mabuk bertekad untuk tidak
pergunakan kekerasan dulu terhadap Selimut Senja.
Sekalipun ia merasa mampu tumbangkan Selimut Senja, tapi jika perempuan itu
mati, maka belum tentu ada yang mengetahui di mana panah pusaka itu
disembunyikan oleh Selimut Senja.
"Aku harus menggunakan cara halus, agar Selimut Senja menyerahkan panah itu
secara suka rela. Hmmm...
agaknya aku harus gunakan jurus 'Senyuman Iblis' untuk membuat hati perempuan
itu terpikat padaku. Jika ia sudah kubuai dengan kemesraan, maka dengan mudah
panah pusaka itu akan kuperoleh," pikir Suto dalam perjalanan ke Pesanggrahan
Janda Liar itu.
Perjalanan itu sempat terhenti oleh kemunculan Panji Klobot dari arah lereng
perbukitan. Suara Panji Klobot itulah yang menghentikan langkah kaki Suto
Sinting, sehingga pemuda polos, lugu, dan tanpa ilmu apa pun kecuali jurus
'Tendangan Cuci Perut' itu segera
mendekati Suto dengan wajah tegangnya.
Pendekar Mabuk menjadi heran melihat Panji Klobot
ada di situ. "Aku mencari-cari Tenda Biru, Suto! Dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku
ketika mendengar kabar bahwa di suatu tempat ada sayembara tanding laga dan
hadiahnya adalah menjadi Ketua Partai Janda Liar.
Kabar itu datang dari Kelambu Petang. Tapi Kelambu Petang tidak ikut pergi!"
tutur Panji Klobot yang mengenakan baju tanpa lengan warna biru, sama dengan
warna celananya. Pemuda berusia sekitar dua puluh
tahun itu juga menceritakan telah memergoki Taring Naga yang sedang bercumbu
dengan seorang gadis
dengan ciri-ciri si gadis disebutkan pula. Dan Suto Sinting terperanjat karena
mengetahui bahwa gadis yang diceritakan Panji Klobot itu adalah Awan Setangkai.
"Aku sempat terpaku seperti patung melihat adegan itu. Dan sepertinya gadis itu
adalah gadis buta. Tapi...
tapi aku sendiri tak tahu kenapa Taring Naga melarikan diri begitu melihatku.
Mungkin aku disangkanya seekor beruang yang sedang mencari madu, ya?"
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis, kemudian
berkata dalam hatinya.
"Oooh... kalau begitu hal itu terjadi saat Awan Setangkai mengalami kebutaan!
Kurang ajar betul si Taring Naga itu, memanfaatkan kebutaan seorang gadis untuk
menikmati kehangatannya!"
Panji Klobot berkata, "Aku takut kehilangan Tenda Biru, Suto. Sebab gadis itu
sudah seperti kakakku sendiri dan dia sedang mengajarku beberapa jurus, tapi
belum sempat kukuasai sudah menghilang begini!"
Suto Sinting menggumam lirih sambil merenungi
kata-kata Panji Klobot. Pemuda yang masih tampak
ingusan itu berkata lagi.
"Pada saat ia belum pergi, kulihat wajahnya ada perubahan. Aku takut dia kena
penyakit menular, Suto."
"Perubahan bagaimana?" Suto semakin tertarik.
"Kulitnya agak keriput, dan hidungnya tidak
semancung biasanya. Saat kukatakan hal itu, ia buru-buru pergi sampai sekarang.
Apakah dia tersinggung, ya?"
Suto Sinting diam saja, tapi hatinya membatin, "Oh, kalau begitu Tenda Biru pun
menggunakan aji pengawet kecantikan dan sekarang mengalami perubahan karena
matahari tertutup kabut sinar ungu itu. Aji pengawet ayu itu mungkin diperoleh
saat ia menjadi muridnya Nyai Garang Sayu."
Kemudian Suto berkata kepada Panji Klobot, "Kalau begitu, kita cari di
Pesanggrahan Partai Janda Liar saja!"
"Kalau kutahu tempatnya, sudah pasti aku ke sana!"
"Aku tahu tempatnya. Mau ikut aku atau mau pergi sendiri?"
"O, tentu saja aku lebih baik mengikutimu!"
Tiba-tiba terpetik sebuah gagasan dalam benak Suto untuk memanfaatkan Panji
Klobot. Gagasan itu tidak dibicarakan lebih dulu, karena akan mengacaukan
rencana jika Panji Klobot sampai mendengarnya.
Ketika mereka tiba di sebuah lembah yang
dinamakan Lembah Liar, Pendekar Mabuk berkata
kepada Panji Klobot.
"Maukah kau menungguku di sini, di balik bebatuan itu"!"
"Kenapa aku harus menunggu di sini" Bukankah
pesanggrahan itu sudah kelihatan dari sini dan aku masih kuat berjalan
mengikutimu sampai ke sana!"
"Bukan soal kuat atau tidak kuat jalan, Panji. Aku ingin memeriksa dulu keadaan
di dalam sana, apakah Tenda Biru ada atau tidak. Jika ada ia akan segera kubawa
keluar. Jika tidak ada, mungkin dia belum
datang. Dan kau berjaga-jaga di sini. Jika kau lihat Tenda Biru datang, cegatlah
dia lalu bujuklah agar segera pulang."
"Oo, begitu"! Baiklah, aku menurut saja apa katamu, Suto!"
Jurus 'Senyuman Iblis' mulai dikenakan oleh
Pendekar Mabuk. Senyuman itu dapat menundukkan
perempuan mana pun, meski perempuan itu berhati
karang dan sukar terpikat oleh seorang pria. Dengan memasang 'Senyuman Iblis'
penjerat hati, para penjaga pesanggrahan Partai Janda Liar yang terdiri dari
para wanita frustrasi itu dibuat terbengong-bengong oleh kehadiran Suto Sinting.
"Aku ingin bertemu dengan Ketua Partai Janda Liar yang baru," kata Suto kepada
salah seorang penjaga gerbang.
"Oh, hmmm... bisa saja. Tapi... tapi beliau sedang mengadakan pesta penobatannya
sebagai ketua yang
baru." "Tak bisakah aku bertemu sebentar dengannya?"
Penjaga yang satunya buru-buru menjawab, "Oh, tentu saja bisa! Ketua kita yang
baru ini baik hati dan tak mudah marah kok. Mari kuantar menemui beliau.
Hmmm... boleh kutahu siapa namamu?"
"Namaku... Panji Klobot," jawab Suto sengaja menyamar sebagai Panji Klobot.
"Oh, itu nama yang bagus sekali, sesuai dengan orangnya. Bukankah begitu,
Arumwani"!"
"Iya. Bagus sekali. Lebih bagus lagi kalau nama itu menjadi penghuni tetap di
pesanggrahan kita, ya?"
Kedua penjaga itu cekikikan, dua penjaga lainnya
juga ikut cekikikan, namun tidak ikut mendekati Suto.
Mereka tetap menjaga kewaspadaan dari tempatnya
berdiri. Selimut Senja merasa heran mendengar kedatangan
tamu seorang pemuda tampan, gagah perkasa, dan sangat menawan. Pesta segera
dihentikan sesaat. Selimut Senja menyuruh pengawalnya membawa tamu itu
menghadap. Suto Sinting pun muncul di tengah pesta yang
dihadiri oleh kaum wanita. Mereka menggumam kagum
secara serempak begitu Suto Sinting muncul dengan
langkah gagah dan senyum memancarkan daya pikat
tinggi. "Ooh, gila...! Ini namanya rezeki nomplok!" ujar salah seorang dari mereka.
Selimut Senja menatap Suto dengan dahi berkerut.
Tetapi ketika Suto semakin dekat dan senyumannya
semakin melebar, Selimut Senja tak bisa diam saja.
Senyumannya pun mulai mekar karena hatinya berdebar-debar bagai dihinggapi
ribuan bunga indah.
"Kalau tak salah penglihatanku, kau adalah pemuda gagah yang pernah kuintai
sedang bertarung dengan
mendiang Nyai Watu Wadon itu," ujar Selimut Senja dengan wajah berseri-seri.
"Aku tak tahu kapan kau mengintainya, tapi kuakui aku memang bertarung dengan
Nyai Watu Wadon dan
berhasil melukainya," kata Suto dengan suara lembut namun penuh kejantanan.
Pandangan matanya yang
teduh membuat Selimut Senja semakin berdebar-debar, demikian pula para anggota
Partai Janda Liar yang
saling berkasak-kusuk dan cekikikan membicarakan
khayalannya masing-masing bersama Suto Sinting.
"Sayang sekali kala itu aku tak mendengar Nyai Watu Wadon menyebutkan namamu."
"Namaku sederhana sekali. Ibuku memberikan nama Panji Klobot untukku."
"Nama yang bagus sekali itu. Tidak sesederhana anggapanmu. Panji!"
Beberapa perempuan di sekitar situ saling menyebut nama Panji Klobot.
"Oo, namanya Panji Klobot."
"Apa" Panci Borot?"
"Panji Klobot, Congek!"
"Hik, hik, hik, hik...!"
Selimut Senja merasa tak enak menjadi bahan
perhatian anak buahnya, karena biasanya ia bersikap tegas dan galak terhadap
lelaki, tapi kali ini ia bersikap
manis-manis terhadap pemuda itu. Untuk menjaga agar tetap tampak wibawa, Selimut
Senja segera membawa
Suto Sinting ke kamar pribadinya. Pendekar Mabuk
sangat tidak keberatan karena ia sudah mengerti maksud hati Selimut Senja
membawanya ke kamar pribadi itu.
"Apa maksudmu datang kemari menemuiku, Panji
Klobot!" "Ibuku mendengar Ketua Partai Janda Liar telah diganti. Nyai Watu Wadon telah
disingkirkan. Aku
diutus untuk menyampaikan ucapan selamat kepada
Ketua Partai Janda Liar yang baru. Karena ibuku merasa senang mendengar Nyai
Watu Wadon telah terbunuh,
dan kabarnya kau yang membunuhnya."
"Memang benar. Tapi aku belum mengenal siapa
ibumu, Panji Klobot."
"Ibu juga merasa belum mengenalmu, Ketua. Tapi ibu mengakui kehebatanmu dan
pengakuannya itu
diungkapkan dalam bentuk ucapan selamat yang harus kusampaikan padamu."
Selimut Senja merasa bangga, hatinya kian berbunga-bunga. Apalagi Suto Sinting
bicaranya sambil
sunggingkan senyum menawan, Selimut Senja merasa
sedang dibuai oleh sejuta keindahan yang amat
membahagiakan hati.
"Apakah ibumu adalah perempuan berjubah ungu
yang ketika itu terluka oleh pukulan Nyai Watu
Wadon?" "Benar! Itulah ibuku, tapi...." Suto Sinting diam seketika, wajahnya diubah
menjadi murung bagai sedang
menahan duka. Selimut Senja merasa kehilangan
keindahan di wajah Suto. Ia segera mendekat dan
mengangkat wajah Suto dengan menyangga dagu
memakai ujung jarinya.
"Kenapa kau tampak sedih, Panji. Jangan sedih, biarkan aku bahagia menikmati
ketampananmu yang
menawan ini."
"Aku ingat ibuku yang menderita," ucap Suto Sinting lirih. "Ibuku saat ini
sedang menderita karena ulahku sendiri."
"Oh, apa yang diderita oleh ibumu itu" Katakanlah, Panji... katakanlah...."
Suto berlagak ragu-ragu untuk mengatakan. Selimut
Senja segera membawanya duduk di tepian ranjang
dengan hati-hati.
"Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantumu agar kau tampak ceria dan menawan
seperti tadi, Panji,"
bujuk Selimut Senja.
Pendekar Mabuk memandang sayu kepada Selimut
Senja yang sedang menatapnya. Tatapan mata itu
tampak begitu lembut dan teduh, walau mengharukan
hati Selimut Senja.
"Kau mau membantuku, Ketua?"


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan kubantu apa pun kesulitanmu, tapi... tapi maukah kau tinggal di sini
bersamaku, Panji?"
"Tinggal di sini?" Suto berlagak girang seperti anak kemarin sore. "Oh, aku suka
sekali kalau boleh tinggal di sini."
Senyum perempuan itu pun mekar kembali, karena ia
senang melihat Suto Sinting berwajah ceria dengan
senyuman yang menggetarkan hati itu.
"Kau sudah punya kekasih?"
Suto Sinting menggeleng. Mirip pemuda yang polos.
Jawaban itu membuat Selimut Senja kian berdebar-
debar, seakan apa yang diharapkan dapat menjadi
kenyataan. "Ibu selalu melarangku mendekati wanita, dan aku tak boleh jatuh cinta pada
seorang wanita, karena ibu takut kalau aku lupa pada ibu karena mencintai wanita
itu." "Oh, kasihan sekali kau," sambil Selimut Senja mengusap-usap rambut Suto.
"Padahal aku sudah ingin sekali mempunyai istri.
Aku ingin dipeluk oleh wanita, ingin dicium dan
dicumbu oleh wanita," Suto berlagak bersungut-sungut.
"Kau benar-benar pemuda yang malang jika begitu.
Tetapi... jika kau mau tinggal di sini, kau dapat
merasakan pelukan dan ciumanku," bisik Selimut Senja.
"Benarkah itu?"
"Ya, benar. Sekarang pun kau boleh mencobanya, Panji," Selimut Senja semakin
membisik, jantungnya berdetak-detak ketika Suto Sinting memandang dengan
berseri-seri. Ia mendekatkan wajahnya dan mata
terpejam sedikit.
"Ciumlah aku... ayo, ciumlah... jangan takut...," bujuk Selimut Senja. Maka,
Suto Sinting pun mencium pipi perempuan itu pelan-pelan.
"Jangan di pipi saja, kecuplah bibirku. Hmmm...!"
Selimut Senja menyodorkan bibirnya. Pendekar Mabuk berlagak gemetar, namun
segera menempelkan bibirnya ke bibir Selimut Senja.
Bukan Suto yang melumat bibir, melainkan Selimut
Senja yang melumat bibir Suto karena tak tahan digoda gairah yang telah meletup-
letup sejak tadi. Lama-lama Suto Sinting memberi balasan, ganti melumat bibir
Selimut Senja yang membuat gairah perempuan itu
semakin terbakar.
"Oh, nikmat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan itu. Ooh...
kecuplah lagi, Panji. Kecuplah seluruh tubuhku. Mana yang kau suka, ambillah,
Sayang...!" sambil ia berbaring dengan menarik tangan Suto.
Maka, Suto Sinting pun segera menciumi wajah
Selimut Senja dengan sentuhan lembut. Sesekali ciuman itu mengganas, namun
sesekali lembut kembali. Hal itu membuat gairah Selimut Senja bagai dipermainkan
lebih indah lagi. Bahkan kali ini ia membentangkan jubahnya, melebarkan dadanya
yang telah tak berlapis kain lagi itu.
Kepala Suto sedikit didorong agar menyentuh dadanya.
Maka, Suto Sinting pun menyapu habis dada itu dengan kecupan dan pagutan
hangatnya. "Oouh.... Panji, nikmat sekali! Sungguh nikmat sekail kecupanmu. Ooh... jangan
berhenti, Sayang. Lebih ganas lagi, Panji. Lebih ganas lagi...!"
Pada saat Selimut Senja memekik-mekik karena
ditikam sejuta kenikmatan, Suto Sinting menghentikan aksinya secara mendadak, ia
menarik diri dan duduk
dengan wajah murung lagi.
"Panji, kenapa berhenti" Lakukanlah lagi, Panji...,"
rengek Selimut Senja.
Suto menggeleng murung. "Aku ingat penderitaan Ibu. Wajah ibuku menjadi buruk
karena matahari
tertutup kabut sinar ungu."
"Ooh... ibumu menggunakan ilmu pengawet ayu,
ya?" "Iya. Tapi gara-gara aku melawan Nyai Watu Wadon, matahari jadi tertutup kabut
sinar ungu dan wajah ibuku menjadi tua. Aku harus menolong ibuku, tapi aku tak
tahu bagaimana caranya. Padahal Ibu sudah bilang
padaku, jika aku bisa menghancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu,
maka aku akan diizinkan untuk menikah dengan seorang wanita pilihanku. Ibu tak
keberatan aku jatuh cinta pada seorang wanita jika aku bisa menolong membebaskan
Ibu dari bencana yang
melanda kecantikannya itu."
"Lupakan dulu soal itu. Nanti aku akan membantumu jika kau benar-benar mau hidup
bersamaku. Cumbulah aku lagi, Panji...."
"Tidak. Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan dalam bercumbu sebelum bisa
membantu meringankan
penderitaan Ibu. Aku kehilangan gairah dan selera jika ingat Ibu."
Selimut Senja tarik napas dalam-dalam, kejap
kemudian ia berkata sambil menciumi pipi Suto dan
tangannya meremas sesuatu yang sudah berhasil
digenggamnya. Suto diam saja menerima remasan itu.
"Dengar kataku, Panji... layanilah aku dulu, nanti kuhancurkan 'Selaput Iblis'
itu dengan pusaka milik kakekku. Jika kabut sinar ungu itu hilang, maka
kecantikan Ibumu akan kembali seperti sediakala."
"Kau... kau bohong."
"Tidak. Aku tidak bohong. Aku benar-benar
mempunyai pusaka panah 'Jemparing Malaikat' milik kakek-ku. Akan kuambil
sebentar biar kau percaya...."
Selimut Senja mendekati dinding yang terbuat dari
susunan batu candi itu. Salah satu susunan batu yang letaknya sedikit miring
ditekannya. Soeerrrk...! Ternyata batu yang letaknya miring
merupakan kunci bagi sebuah almari rahasia. Begitu batu itu ditekan, maka
dinding di dekat pintu bergeser.
Dinding yang bergeser itulah almari rahasia tempat menaruh kitab dan beberapa
barang yang dirahasiakan, termasuk sebatang anak panah terbuat dari emas murni.
"Lihat, ini adalah panah emas yang dinamakan
'Jemparing Malaikat' milik kakekku; Begawan Parang Giri. Panah ini sebenarnya
kusiapkan untuk melawan musuh besarku; Raja Tobe, dari Pantai Gangga.
Tetapi...."
"Oh, tidak... aku tidak mau! Aku takut dengan panah.
Aku takuuut...!" Suto Sinting berpura-pura seperti orang gila yang ketakutan
melihat anak panah.
"Hei, dengar dulu, Panji...."
"Tidak. Aku tidak mau! Aku takut melihat anak panah itu. Tidaaak...!" Suto
Sinting sengaja lari keluar kamar.
"Panji, tunggu...!" Selimut Senja segera mengejar karena ia sudah telanjur
berkhayal mendapat cumbuan dari pemuda itu dan ia tak mau gairahnya tertunda.
Suto Sinting berlari meninggalkan pesanggrahan itu.
Selimut Senja mengejarnya terus. Anak buahnya
dilarang ikut mengejar, karena masalah itu dianggapnya masalah pribadi yang tak
boleh dicampuri siapa pun.
Dalam sekejap Suto sudah sampai di tempat Panji
Klobot bersembunyi, ia segera menggunakan ilmu
'Seberang Raga'. Ilmu itu ditujukan kepada Panji Klobot dengan cara memandang
sebentar, lalu pejamkan mata, dan ketika mata terbuka lagi Panji Klobot sudah
salin rupa menjadi sosok Suto Sinting, lengkap dengan
bumbung tuak dan pakaiannya.
"Ada apa, Suto"!" Panji Klobot belum menyadari keadaannya yang sudah berubah
menjadi Pendekar
Mabuk. Bahkan ia tidak merasa kalau di punggungnya terdapat bumbung tuak yang
melintang, ia hanya
menjadi tegang dan berdebar-debar memandangi Suto
Sinting yang berlari tinggalkan pesanggrahan itu.
"Panji Klobot, jika nanti ada perempuan memburumu, berlarilah ke arah selatan
sana, lalu berhentilah di balik bukit cadas tempat kita bertemu tadi. Mengerti?"
"Lho, kenapa aku diburu oleh seorang perempuan?"
"Dia jatuh cinta padamu dan ingin mendapat
cumbuan darimu. Hindarilah, nanti kalau kau turuti kau bisa ketagihan. Kau harus
lari dan lari terus, jika terpaksa tertangkap, jangan bertindak kasar, tapi
bujuklah agar dia membatalkan niatnya yang ingin
bercumbu denganmu."
"Cantik apa buruk wajahnya, Suto?"
"Jangan pikirkan hal itu. Larilah sekarang juga, dia sudah tampak menuju
kemari!" "Bba... baik... baik!" Panji Klobot gugup, namun ssgera berlari. Sementara itu,
Suto Sinting berkelebat ke balik pohon rindang dan bersembunyi di sana.
"Panji...! Panji Klobot, tunggu aku...!" seru Selimut Senja membuat Panji Klobot
percaya dengan kata-kata Suto. Ia semakin berlari cepat, sedangkan Selimut Senja
makin penasaran dan memburu Panji Klobot yang dalam penglihatannya berwujud Suto
Sinting. "Oh, sial! Panahnya tidak dibawa," gerutu Suto dalam hati ketika melihat Selimut
Senja melintas di depannya.
"Kalau begitu aku harus menyusup masuk ke kamarnya tadi dan menekan batu yang
agak miring, lalu
mengambil anak panah itu!"
Zlaaap...! Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya.
Zlaaap... zlaaap... zlaaap...!
Para penjaga gerbang pesanggrahan hanya diam saja
karena merasa tak melihat bayangan berkelebat. Tapi mereka menjadi heran melihat
pintu gerbang terbuka sendiri dan tertutup dengan cepat. Mereka yang ada di
dalam pesanggrahan juga tak sempat melihat gerakan Suto Sinting. Ketika Suto
masuk ke dalam kamar pribadi Selimut Senja, tak seorang pun mengetahuinya karena
gerakannya yang menyamai kecepatan cahaya itu.
Batu bersusunan miring ditekan, almari rahasia
terbuka. Panah emas ada di sana. Suto segera
menyambarnya. Wuut...! Kemudian ia bergerak
tinggalkan tempat itu dengan kecepatan yang sama.
Zlaaap, zlaap, zlaap, zlaaaapp...!
"Panji Klobot...! Panjii...! Oh, jangan lari, Sayang.
Aku tidak akan melukaimu...!" seru Selimut Senja yang penasaran ingin lampiaskan
gairahnya saat Itu juga.
Suara itu menjadi patokan bagi Suto Sinting, ia
segera berkelebat melalui pohon demi pohon. Dalam
sekejap ia sudah sampai di balik bukit. Di sana tampak Suto Sinting palsu
bersembunyi. Pendekar Mabuk segera gunakan ilmu mengubah wujud yang membuat
Panji Klobot menjadi wujud aslinya. Blaab...! Dan Panji
Klobot masih belum merasa bahwa dirinya sudah
berubah menjadi Panji Klobot sebenarnya, ia justru merasa tidak terjadi
perubahan apa-apa sejak tadi.
Zlaaap...! "Ooh, kau sudah di sini, Suto"!"
"Iya. Lekas ikut aku tinggalkan perempuan yang mengejarmu itu."
"Tunggu dulu, dia... dia tampaknya cantik dan..."
"Aaah..." Mau macam-macam kau, hah"!"
Dees...! Suto Sinting menotok Panji Klobot. Bocah
itu terkulai lemas, lalu dipanggul oleh Suto dan dibawa lari menuju ke Istana
Selat Bantai. Zlaap, zlaaaap, zlaaap...!
Ia tak peduli Selimut Senja kebingungan mencari
'Panji Klobot'-nya, yang penting anak panah emas sudah diperolehnya, ia segera
menemui Awan Setangkai dan
Nyai Sedap Malam. Panji Klobot dibebaskan dari
totokannya, dan menjadi tambah bingung berada di
Istana Selat Bantai.
"Bunga Ranjang, pinjam busur panahmu!" kata Suto.
Dengan gunakan busur panah milik Bunga Ranjang,
Suto Sinting mulai meletakkan panah emas itu di tali busur. Lalu dengan kekuatan
tenaga dalam yang tinggi, tali busur bisa ditarik dan anak panah pun dilepaskan
ke arah matahari.
Slaaab...! Wuuut...!
Panah emas berkilauan di langit, akhirnya
menghantam kabut sinar ungu itu. Sluub...!
Jlegaaaarrrrrr...!
Ledakan itu mengguncang seluruh bumi. Tapi kabut
sinar ungu sirna seketika. Matahari bersinar terang kembali. Sedangkan panah
emas itu melesat ke arah
semula dan ditangkap oleh tangan Suto Sinting dengan gerakan cepat. Teeb...!
Bayangan manusia pun menjadi hitam kembali.
Wajah-wajah yang dilanda bencana ketuaan itu
berangsur-angsur cantik kembali. Beberapa perempuan Selat Bantai melepaskan
cadarnya dan, bersorak
kegirangan. Di tempat lain, Bidadari Jalang juga berubah cantik kembali, demikian pula
Sumbaruni, Tenda Biru, Merpati Liar, dan beberapa orang lainnya.
"Kau benar-benar hebat, Suto!" puji Awan Setangkai.
"Tapi panah emas ini tetap akan kukembalikan
kepada Begawan Parang Giri!" kata Suto Sinting, dan
Awan Setangkai tak berani membantah, demikian pula Nyai Sedap Malam.
Tapi Panji Klobot segera berkata, "Suto, aku akan kembali ke tempat tadi.
Perempuan cantik itu pasti merindukan diriku, Suto. Dia memanggil-manggil
namaku terus. Pasti dia tergila-gila padaku!"
Mereka segera menertawakan Panji Klobot, setelah
Suto Sinting menceritakan bagaimana menyiasati
Selimut Senja sehingga ia berhasil mencuri panah emas itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!!!
RATU MAKSIAT Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
Terima kasih untuk Sobat Culan ode yang telah
melengkapi halaman yang hilang dari kitab ini.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Anak Harimau 13 Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Lambang Naga Panji Naga Sakti 5
^