Pencarian

Ratu Maksiat 1

Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 JALAN setapak yang membelah pertengahan hutan
itu dibasahi oleh darah. Dilihat dari warnanya yang kehitam-hitaman, tampaknya
darah itu sudah hampir
mengering. Tetapi darah yang jatuh di rerumputan
agaknya masih sedikit basah.
"Darah siapa ini" Darah manusia atau darah hewan"
Hmmm..., agaknya masih terhitung baru. Belum ada
sehari," pikir pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih lusuh. Pemuda
itu menyandang bumbung
tuak di punggungnya. Berarti dia adalah Pendekar
Mabuk. Itulah ciri-ciri yang dikenal orang banyak
tentang Pendekar Mabuk alias Suto Sinting.
Wajah gantengnya yang berambut lurus sepundak
tanpa ikat kepala itu berpaling ke sana-sini, memandang alam sekitarnya dengan
penuh waspada. Hutan di kaki bukit itu amat sunyi. Sepertinya burung pun enggan singgah di
hutan itu. Bahkan angin pun
seolah-olah malas melewati hutan itu. Buktinya hutan itu hanya punya keteduhan
tanpa semilir angin yang
menyegarkan. "Tetesan darah ini menuju ke kedalaman hutan. Ada apa di sana" Seseorang sedang
terluka dan dalam
keadaan sekarat, atau bahkan sudah menjadi bangkai"
Hmmm... sebaiknya kuperiksa dulu apa yang terjadi di dalam hutan itu. Setidaknya
aku tidak dibuat penasaran oleh adanya tetesan darah ini."
Langkah pendekar tampan berhidung bangir itu
cukup hati-hati. Seolah-olah setiap langkah dibarengi kewaspadaan baru. Matanya
yang bening dan berkesan teduh itu bergerak lincah dengan tajam. Hampir setiap
daun, setiap ranting, dan setiap celah diperhatikan.
Karena dalam hatinya ia merasa sedang memasuki
kawasan berbahaya, yaitu 'kawasan wajib awas'. Artinya, meleng sedikit nyawa
bisa melayang. Langkah menyusuri tetesan darah itu terhenti di tepi sebuah telaga berair
kehijau-hijauan. Telaga itu cukup besar. Garis tengahnya sekitar lima puluh
meter. Permukaan air telaga ditumbuhi tanaman seperti
kangkung tapi bukan kangkung, seperti bayam tapi
bukan bayam, seperti eceng gondok tapi tidak gondokan.
Entah tanaman apa namanya, yang jelas tumbuh di
permukaan air telaga bagian pinggir. Sedangkan bagian tengah telaga tampak
bersih tanpa kotoran dan tanpa gerakan air, menandakan telaga itu tidak ada
ikannya. Kalau toh ada, mungkin kecebong yang hidup di sela-sela tanaman aneh itu.
"Telaga apa ini" Airnya jernih dan warna airnya menyegarkan" Aku jadi kepingin
mandi untuk menyegarkan tubuh, sekaligus membersihkan badan.
Masa' seorang pendekar kok badannya bau kecut"!
Malu, ah!"
Tapi tiba-tiba ia ingat tentang tetesan darah tadi.
Tetesan darah yang membasahi tanah jalanan setapak itu tiba-tiba tak terlihat
lagi. Jalanan setapak itu seperti tidak pernah terkena tetesan darah. Suto
Sinting mencarinya ke jalanan yang sudah dilalui tadi, ternyata kering.
Maksudnya, kering tanpa darah.
"Kok aneh?" gumamnya dengan bingung. "Aku berjalan sampai ke sini karena
mengikuti tetesan darah.
Tapi setelah sampai tepian telaga ini, mengapa tetesan darah tadi tidak ada"
Siapa yang mengambilnya" Atau siapa yang membersihkannya" Dan...," matanya
memandang sekeliling telaga.
"Dan tampaknya telaga ini bersih, tak ada mayat, tak ada orang terluka, tak ada
hewan terkapar. Oh, malahan telaga ini sepertinya belum pernah diinjak manusia,
karena tak ada bekas telapak kaki di ujung jalan setapak ini. Tepian telaga pun
tampak bersih, rumputnya tak ada yang pernah terinjak."
Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala. "Kok aneh, ya"
Aku jadi curiga dengan keadaan misterius ini. Jangan-jangan pandangan mataku
tadi terkena gangguan,
sehingga seperti melihat darah di jalanan setapak itu"!"
Murid sintingnya si Gila Tuak dan Bidadari Jalang
mulai melangkah menelusuri tepian sungai. Matanya
bergerak lincah ke sana-sini dengan penuh waspada.
Tetapi ternyata tak satu pun ditemukan bekas telapak manusia atau hewan. Tanah
di tepian telaga yang tidak berumput itu hanya mengandung kelembaban saja, tidak
terlalu becek dan tidak terlalu kering. Mungkin karena daun-daun pohon
menaunginya, sehingga tanah itu
jarang terkena sinar matahari.
Tiba-tiba air telaga bergerak-gerak. Tanaman yang
seperti kangkung tapi bukan kangkung itu terombangambing karena gerakan
permukaan air. Suto Sinting
mulai memandangi permukaan air dengan dahi berkerut.
Matanya segera kian menyipit setelah melihat air
telaga bergerak semakin jelas. Bahkan sekarang di
bagian tengah telaga tampak gelembung-gelembung air yang melimbak-limbak.
Sepertinya ada yang meniup air telaga dari kedalaman air tersebut.
Gelembung-gelembung tersebut makin lama semakin
besar, semakin mengeluarkan suara gemuruh kecil.
Seolah-olah ada mata air yang memancur ke atas dari dalam telaga.
"Ada ikan mau menampakkan diri atau ada mata air mau muncrat ke atas?" pikir
Suto Sinting sambil memperhatikan tanpa berkedip.
Hati pemuda bertubuh kekar itu mulai berdebar-debar
setelah dari permukaan air yang bergolak itu keluar cahaya putih seperti lidi
yang memancar lurus ke langit.
Cahaya putih itu makin lama semakin besar, bahkan
melebar dengan terang sekali. Cahaya itu akhirnya
menyilaukan penglihatan Pendekar Mabuk, sehingga
pendekar tampan itu mundur dua langkah dengan tangan menyilang ke depan untuk
mengurangi rasa silau akibat cahaya putih itu.
Ternyata cahaya putih itu semakin terang dan
semakin menyilaukan. Tak ada yang bisa dilihat oleh Suto kecuali bias cahaya
yang melebar tinggi, membuat seluruh permukaan telaga itu seakan bersinar
terang. Permukaan air sudah tak bisa dilihat lagi, juga tanaman aneh yang mirip kangkung
tapi bukan kangkung itu tak bisa dilihat karena silaunya cahaya tersebut. Suto
Sinting sendiri mundur lagi sampai tiga langkah dengan badan sedikit miring dan
kedua tangan terangkat ke atas
melindungi matanya.
"Suara gemercik air masih terdengar," pikir Suto.
"Bahkan suara seperti air mendidih semakin jelas. Dan...
oh, kurasakan hawa di sekitar sini menjadi dingin. Aneh sekali. Mengapa menjadi
dingin seperti udara bersalju"
Eh, kelihatannya di tengah cahaya itu ada sesuatu yang bergerak-gerak. Apa itu,
ya"!"
Sayang sekali penglihatan Suto tak mampu
menembus cahaya yang amat menyilaukan itu, sehingga ia tak tahu apa yang
bergerak-gerak di tengah kemilau cahaya putih itu. Ia hanya bisa menunggu cahaya
itu surut untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Beberapa saat kemudian, suara air bergolak mereda.
Pancaran cahaya menyilaukan itu juga mulai berkurang.
Sedikit demi sedikit permukaan air telaga mulai
kelihatan. Tanaman kangkung tapi bukan kangkung itu pun tampak menghijau walau
secara samar-samar.
"Oooh..."!" Suto Sinting terpekik ketika cahaya itu tiba-tiba padam dengan
cepat. Suuut...! Kini pandangan mata Suto menjadi gelap, karena dari menatap
cahaya terang yang menyilaukan, tahu-tahu kehilangan cahaya secara mendadak.
Pendekar Mabuk pun akhirnya
mengerjap-ngerjapkan matanya agar dapat dipakai untuk melihat kembali.
Setelah warna hitam geiap itu hilang dari
pandangannya, maka mata itu pun dapat dipakai untuk melihat seperti biasa.
Pada saat itulah Suto Sinting menjadi sangat terkejut dan nyaris tak mempercayai
penglihatannya sendiri.
Telaga itu hilang, tanpa setetes air pun. Tanaman
kangkung tapi bukan kangkung memang masih ada,
namun tumbuh di atas tanah datar tanpa air.
Sedangkan yang tampak di tempat genangan air
telaga tadi adalah sebentuk bangunan indah terbuat dari perak berukir. Bangunan
indah itu adalah sebuah istana kecil yang mempunyai pelataran bersih dan
menawan. Lantai pelataran itu terbuat dari logam putih mengkilap, seperti logam antikarat
yang bisa dipakai untuk
bercermin. Pelataran itu memanjang sepanjang bangunan bersusun tiga, mempunyai
tangga empat baris. Di depan pelataran itu tanaman rumput pendek dan rapi,
seperti bentangan permadani lembut.
"Menakjubkan sekali!" gumam Suto dengan mata melebar dan mulut terperangah, ia
masih belum bergerak, karena masih terpukau memandang keindahan bangunan yang mempunyai
empat menara di setiap
sudutnya. Bangunan itu mempunyai semacam benteng perak
berukir yang mengelilingi bangunan utama. Benteng
perak itu berpintu lengkung, pintunya juga terbuat dari semacam logam putih
antikarat yang tebalnya kira-kira dua jengkal. Pintu yang atasnya berbentuk
lengkung itu mempunyai dua daun pintu yang saling bertaut. Bagian tengah di
antara dua daun pintu itu terdapat hiasan dari perak yang berbentuk bunga, entah
bunga mawar atau bunga seroja, tak jelas. Pokoknya bunga.
Ketika Suto Sinting sadar akan penglihatannya, tahu-tahu dua daun pintu itu
sama-sama bergerak membuka ke dalam, dan hiasan bunga itu bagai terbelah menjadi
dua bagian. Dari pintu besar itu keluar dua perempuan muda yang mengenakan
pakaian mini. Mereka sama-sama berambut pendek, tapi indah
dipandang mata. Tubuh mereka langsing, namun tampak sekal dan berisi. Tubuh
berkulit kuning langsat itu dibalut dengan kain sejenis sutera warna merah. Kain
merah itu menyilang di pertengahan dada, seakan hanya sekadar menutupi sepasang
gumpalan daging
membengkak di dada mereka masing-masing. Pundak,
lengan, pinggang, dan perut mereka terbuka lepas tanpa kain penutup, sebab kain
merah yang menyilang di dada
itu bertaut di pinggang belakang. Sedangkan bagian perut ke bawah dibungkus
dengan kain tipis transparan warna merah juga sepanjang lutut. Tapi kain itu
mempunyai belahan tengah yang lebar dan mudah
tersingkap jika dipakai untuk berjalan. Sedangkan di balik kain merah sebatas
lutut itu, tampaknya kedua gadis itu tidak mengenakan pelapis apa-apa lagi.
Tentu saja hal itu membuat mata Suto sulit
dikedipkan kembali. Mata itu tertuju ke bagian bawah pada saat kedua gadis itu
keluar dari pintu gerbang.
Suto Sinting memperhatikan kaki mereka sebentar.
Kaki itu berbetis indah, mengenakan alas kaki bertali sampai di bawah betis.
Alas kaki itu tampaknya terbuat dari kulit binatang yang tebal dan keras.
O, ya... di bagian pinggang, kedua gadis itu
mengenakan sabuk dari bahan semacam beludru warna
hitam. Sabuk itu agak besar, namun tetap saja tidak menutupi pusar mereka yang
terbuka melompong dalam bentuk yang indah dan sopan. Sabuk itulah yang dipakai
menyelinapkan sebilah pedang bersarung perak ukir, dengan gagang pedang
berbentuk kepala burung, entah burung apa dan burungnya siapa. Yang jelas
bentuknya kepala burung, mempunyai rumbai-rumbai benang hijau bintik-bintik
emas. Indah sekali.
Ketika kedua gadis itu menuruni tangga pelataran,
pandangan mata Suto semakin jelas melihat sepasang mata kecantikan yang masing-
masing punya daya tarik sendiri. Mereka sama-sama berhidung bangir, tapi yang
satu berbibir sensual, yang satu berbibir mungil, enak
dikecup. Yang berbibir sensual mempunyai tahi lalat di sudut bibir atas sebelah
kanan, yang berbibir mungil tidak mempunyai tahi lalat, tetapi dagunya mempunyai
belahan kecil di tengahnya. Manis sekali.
Mereka berhenti di tangga ketiga. Pandangan mata
mereka yang berkesan ramah itu tertuju kepada Suto Sinting. Salah satu dari
mereka menggerakkan jarinya sebagai tanda memanggil Suto Sinting. Dengan
diliputi keheranan dan ragu-ragu, Suto pun akhirnya mendekati mereka, ia
berhenti di depan tangga, namun kakinya sudah menginjak lantai putih bening itu.
Salah satu dari mereka mengangkat kedua tangannya.
Tiba-tiba kedua tangan itu memercikkan bunga api
warna biru. Bunga api itu lenyap tinggalkan asap tipis.
Kemudian tahu-tahu kedua tangan berjari lentik itu telah memegang rangkaian
bunga ungu yang dijadikan
kalung. Pendekar Mabuk masih terbengong bagaikan
terhipnotis, ia diam saja ketika gadis itu mengalungkan karangan bunga ke
lehernya. Setelah itu, gadis tersebut mulai berkata dengan suaranya yang renyah
dan bening. "Selamat datang di istana kami. Gusti Ratu sudah menunggumu di singgasana."
Pendekar Mabuk terpaksa menelan ludah sebentar
untuk basahi kerongkongannya yang kering akibat
mulutnya ternganga sejak tadi. Setelah itu ia segera ajukan tanya dalam nada
gumam, seakan bertanya pada diri sendiri.
"Gusti Ratu..."! Ratu siapa?"
"Ratu Kamasinta."
"Sudah lama Gusti Ratu menunggumu. Ksatria
Muda," timpal gadis berbibir mungil itu.
"Aku... aku tidak kenal dengan Ratu Kamasinta.
Bagaimana mungkin dia menungguku"!"
"Masuklah dan berbicaralah di dalam saja," ujar gadis bertahi lalat kecil itu.
Matanya memandang lembut
kepada Suto, namun mempunyai ketajaman yan
menggetarkan hati Pendekar Mabuk. Anehnya, Suto
seperti tak bisa menolak tawaran masuk ke istana perak itu. Akhirnya ia
melangkah memasuki istana tersebut dan dua gadis itu mendampingi di kanan-
kirinya. Pintu gerbang tertutup sendiri tanpa ada yang menutupnya.
Istana itu ternyata penuh dengan kemewahan,
keindahan, dan kekaguman. Suto Sinting memandang
sekeliling bangunan berpilar perak berukir itu dengan hati berdecak kagum tiada
henti. Ternyata di dalam istana itu, banyak gadis seperti kedua penyambut tamu tadi
yang usianya rata-rata
sekitar dua puluh dua tahun. Mereka pada umumnya
berambut pendek tanpa ikat kepala, potongannya seperti lelaki, seragamnya kain
merah menutup bagian bukit dada saja, dan masing-masing mempunyai kecantikan
yang berbeda, namun sama-sama menawan hati.
Agaknya mereka benar-benar telah mempersiapkan
diri menyambut kehadiran seorang tamu yang tak lain adalah Suto Sinting itu.
Mereka berdiri berjajar
membentuk barisan di kanan-kiri jalan berlapis


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permadani panjang warna merah muda. Wajah-wajah
cantik itu memancarkan senyum keramahan dan
keceriaan yang membuat hati Suto semakin berbunga-
bunga. Akhirnya Suto tiba di sebuah bangsal lebar berlantai hijau bening seperti batuan
giok. Oi bangsal lebar itu terdapat singgasana yang terbuat dari perak berukir
dengan latar belakang berbentuk seekor burung jatayu melebarkan sayapnya.
Di atas singgasana itulah duduk seorang perempuan yang masih tergolong muda,
namun mempunyai
kecantikan yang cukup matang. Perempuan itu selain cantik juga berkharisma dan
cara memandangnya penuh wibawa. Senyumnya anggun, sikap duduknya tegak,
bertumpang kaki.
Rupanya perempuan berjubah lengan panjang warna
pink itulah yang bernama Ratu Kamasinta. Dalam usia sekitar dua puluh tujuh
tahun, Ratu Kamasinta tampak cantik sekali dan mempunyai pesona yang sukar
dilupakan oleh setiap lelaki. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang sensual
itu sangat serasi dengan bentuk matanya yang agak lebar namun cenderung sayu
penuh tantangan bercumbu.
Perempuan berwajah oval itu mempunyai rambut
hitam mengkilap, dikonde tengah kepala, sisanya
dibiarkan meriap sebatas punggung tapi tersisir rapi.
Kedua daun telinganya tampak jelas bergiwang hijau.
Batuan hijau pada giwangnya itu bagai memancarkan
sinar pecah seperti bintang. Demikian pula batuan hijau sebesar biji sawo yang
ada pada kalung perak putih itu.
Selain mengenakan jubah pink, Ratu Kamasinta juga
mengenakan penutup dada dari kain tipis warna hijau.
Kain itu menutup gugusan montok separo bagian,
sisanya yang bagian atas tersumbul jelas tampak mulus dan menggairahkan. Karena
Ratu Kamasinta mempunyai kulit putih mulus, badannya sexy dan berisi. Kain
penutup bagian bawahnya berwarna hijau juga
panjangnya semata kaki, namun mempunyai dua belahan samping kanan-kiri. Dan pada
saat duduk bertumpang kaki, kain belahan itu tersingkap sedikit, sehingga kulit
pahanya yang putih mulus itu tampak menggoda hati
Pendekar Mabuk.
"Selamat datang di Istana Perak yang sederhana ini, Pendekar Mabuk; Suto
Sinting," sambut Ratu Kamasinta dengan suaranya yang serak-serak basah itu.
"Aku tidak mengenalmu, Ratu. Tapi bagaimana kau bisa mengenalku?"
"Akulah Ratu Kamasinta; Dewi Penyebar Asmara."
"Dewi Penyebar Asmara..."!" gumam Suto Sinting bernada heran. Baru sekarang ia
mendengar nama dan julukan itu selama berkeliaran di rimba persilatan.
"Aku sengaja memanggilmu untuk datang ke istanaku ini dengan pancingan ceceran
darah gaib tadi."
"Apa maksudmu memanggilku, Ratu?"
"Sekadar ingin ucapkan terima kasih kepadamu, karena kudengar kaulah orang yang
berhasil hancurkan
'Selaput Iblis' penutup matahari yang nyaris membuat seluruh penghuni istana ini
berwajah hitam. Untung kau cepat bertindak sehingga kami terhindar dari bencana
wajah hitam itu."
"Hmmm... begitu?" gumam Suto Sinting sambil manggut-manggut dan membayangkan
saat ia menghancurkan kabut sinar ungu yang menutup
matahari dan membuat matahari tidak bergerak sedikit pun. Kabut sinar ungu
penutup matahari itu juga
menjadikan bencana bagi para perempuan lainnya yang mempunyai ilmu pengawet ayu
dan menggunakan ilmu
awet muda. Bahkan kala itu, Bidadari Jalang yang
menjadi Bibi Guru-nya Suto hampir saja berwajah buruk dan tua jika Suto tidak
cepat bertindak hancurkan kabut sinar ungu itu dengan panah emas yang dicurinya
dari tangan Selimut Senja, si Ketua Partai Janda Uar itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bencana Selaput Iblis").
Ratu Kamasinta segera perdengarkan lagi suaranya
yang serak-serak basah bernada mesra itu.
"Kami ingin mengajakmu bergabung dalam pesta
kemenanganmu yang berhasil hancurkan 'Selaput Iblis'
itu, Pendekar Mabuk. Rasa-rasanya kurang meriah jika kau tak ikut dalam pesta
kami nanti."
"Bagaimana jika aku menolak ajakanmu ini?"
"Kurasa kau akan menyesal seumur hidup, Suto
Sinting. Kami sendiri juga akan menyesal seumur hidup jika kau tak ikut hadir
dalam pesta yang merayakan kemenanganmu itu."
"Menyesal seumur hidup" Apa maksudmu dengan
berkata begitu" Penyesalan apa yang akan kualami jika aku menolak ajakanmu, Ratu
Kamasinta?"
"Kau akan kehilangan para sahabatmu, kau akan kehilangan para pengagummu, dan
kau akan kehilangan kedua gurumu itu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Suto Sinting terkejut mendengar nama kedua gurunya disebut-sebut, ia mulai
merasa diancam oleh Ratu
Kamasinta, hatinya pun merasa tak suka dengan
ancaman halus itu.
Tetapi ketika ia beradu pandang dengan Ratu
Kamasinta beberapa saat lamanya, tiba-tiba rasa tak suka dalam hatinya itu
hilang sama sekali. Kebencian dan kemarahan tak sempat tumbuh di dasar hati
Pendekar Mabuk. Kini yang ia rasakan hanyalah rasa senang,
bahagia, gembira, dan juga merasa bangga karena
dirinya dianggap seorang pahlawan bagi orang-orang Istana Perak itu.
"Aneh. Mengapa tiba-tiba hatiku seriang ini"
Mengapa aku merasa tidak tersinggung oleh ucapan
Ratu Kamasinta itu?" hati kecil Suto pun bertanya-tanya, tapi tak pernah
menemukan jawaban yang pasti.
* * * 2 PENDEKAR Mabuk dibawa ke sebuah ruangan yang
menyerupai arena tempat berlatih ilmu kanuragan.
Ruangan itu mempunyai tempat duduk dari logam
antikarat yang mengelilingi arena secara bersusun.
Tempat duduk bersusun itu ada di atas ruangan-ruangan kaca yang mengelilingi
arena. Entah apa isi ruangan-
ruangan berkaca itu, tak bisa dilihat secara jelas karena kaca pelapis ruangan
itu adalah kaca buram, tak bisa tembus pandang.
Suto duduk di samping Ratu Kamasinta, sementara
para gadis cantik berseragam merah seperti kedua
penjemput Suto itu duduk di bangku-bangku
mengelilingi arena. Namun tangga di depan sang Ratu dikosongkan, dan hanya ada
dua pengawal yang berdiri di sana mengenakan pakaian hitam sutera dengan
potongan pakaian seperti yang lain; kain menyilang di dada menutupi payudara dan
bagian bawahnya kain tipis hitam sebatas lutut berbelahan tengah. Pedang para
pengawal berpakaian hitam itu dihiasi dengan rumbai-rumbai benang merah.
Hidangan tersedia cukup mewah dan lezat. Dari
makanan berdaging sampai makanan bergading tersedia, misalnya panggang kepala
babi hutan lengkap dengan taringnya. Selain itu juga buah-buahan tersedia
lengkap dan menyegarkan. Minuman dari segala jenis arak dan tuak tersedia pula
di ruangan besar itu. Minuman itulah yang menjadi pusat perhatian Suto dan
membuat pemuda itu gembira sekali berada di antara perempuan-perempuan cantik
berdandanan seronok itu.
"Seandainya kau tidak datang hari iIni, maka pesta akan kami tunda sampai
menunggu kau tiba di Istana Perak," ujar Ratu Kamasinta kepada Suto yang duduk
di samping kirinya persis, hanya berjarak satu jengkal darinya. Sementara itu,
bumbung tuak Suto tetap ada di samping kanannya dalam keadaan berdiri mudah
terjangkau. "Mengapa tak kulihat seorang lelaki lain di sini?"
tanya Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini, yang ditemukan hanyalah wajah-
wajah cantik yang saling
mencuri pandang ke arahnya.
"Anak buahku terdiri dari perempuan semua, Suto.
Kalau toh nanti ada kaum lelaki, berarti dia adalah tamu kami, seperti halnya
dirimu. Tapi jelas dirimu adalah tamu istimewa yang kami anggap tamu agung
berkehormatan tinggi."
"Mengapa harus begitu?"
"Karena kami merasa telah kau selamatkan dari bencana wajah hitam itu! Jadi kami
bersepakat mengangkatmu sebagai tamu agung yang berbeda
dengan kaum lelaki lainnya."
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis sambil
berkata, "Kurasa tak perlu berlebihan seperti itu."
"Sebaiknya kita mulai saja hiburan pesta kita ini,"
ujar sang Ratu bagai tak mendengar ucapan Suto yang terakhir tadi.
Sang Ratu segera memberi isyarat kepada para
panitia pesta dengan tepukan tangan tiga kali sebagai tanda pesta segera
dimulai. Kemudian seorang penabuh gong besar yang ada di susunan tangga paling
atas itu menghantam pemukulnya yang sebesar kepala bayi itu.
Buuuuuung...! Buuuuung...! Buuuuuung...!
Ruangan yang seperti stadion Senayan itu dipenuhi
oleh gemuruh tepuk tangan mereka. Lalu, pintu masuk ke arena terbuka. Pintu itu
ada dua, di sebelah kiri dan
sebelah kanan tempat kedudukan sang Ratu dan Suto
Sinting. Dari kedua pintu itu keluar dua orang
perempuan bersenjata pedang besar.
Pendekar Mabuk berkerut dahi melihat kemunculan
kedua perempuan bertubuh tinggi besar itu dan masing-masing memegang pedang
putih mengkilat.
"Agaknya mereka akan bertarung?"
"Benar," jawab Ratu Kamasinta. "Mereka akan menghibur kita dengan pertarungan
yang hebat."
"Sampai mati"!"
"Terserah mereka, boleh sampai mati atau sampai sekarat saja."
"Oh... apakah ini bukan sesuatu yang kejam, Ratu?"
"Ini tradisi kami dan sudah merupakan bagian dari adat setiap kami mengadakan
pesta apa pun. Acara ini kami beri nama acara 'Nyanyian Kematian'."
"Menyeramkan sekali!" gumam Suto Sinting dengan mata memandang tajam ke arah
arena. "Memang kedengarannya menyeramkan, tapi bagi
yang tahu acara ini tidak menyeramkan. Karena bagi siapa yang mati dalam
pertarungan nanti, maka rohnya akan menitis kembali dalam wujud perempuan cantik
jelita yang bebas berkeliaran di luar Istana Perak ini."
Suto tak berkomentar lagi, karena pertarungan itu
segera dimulai setelah gong besar itu berbunyi satu kali.
Kedua wanita, bertubuh tinggi-besar itu hanya
mengenakan cawat dari bahan kulit dan kutang kulit berbintik-bintik logam putih.
Mereka mengenakan
gelang dari kulit warna hitam dengan bintik-bintik paku
runcing. Perempuan yang satu berambut pendek acak-acakan,
perempuan yang menjadi lawannya berambut panjang
sepundak dan tampak tak tersisir rapi. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah
sangar, melambangkan
wajah perempuan liar yang tak takut mati.
Para penonton di sekelilingnya saling berteriak
memberi semangat kepada kedua perempuan besar itu.
"Habisi dalam dua jurus saja si Rahwani itu! Penggal kepalanya Rahwani, Jayani!"
"Belah tubuh gembrotnya Rahwani itu, Jayani! Ayo, serang terus! Desak dia!"
"Ayooo... kamu bisa...!"
"Husy, jangan teriak begitu, nanti disangka kita menawarkan rokok!" sentak salah
seorang di tribun seberang panggung kehormatan itu.
Jayani yang berambut panjang tampak lebih gesit dari gerakan Rahwani. Bahkan
Jayani berhasil lakukan
lompatan melampaui kepala Rahwani sambil
menebaskan pedangnya bagai ingin membelah kepala
Rahwani. Wuuut, Wwess...!
Agaknya Rahwani cukup tangkas. Tebasan pedang
Jayani dihindari dengan tubuh miring ke kiri, tapi pedangnya segera disabetkan
ke atas. Traaang...! Pedang itu kenai pedang Jayani, hingga tak menimbulkan luka
apa pun di tubuh Jayani.
Kedua perempuan berdada super besar itu semakin
bersemangat ketika para penonton bersorak mengelu-
elukan mereka. Agaknya penonton terbagi dua, antara yang berpihak Jayani dan
yang mendukung Rahwani.
"Hiaaaahh...!!" teriakan Rahwani seperti teriakan raksasa perempuan yang buas
dan ganas. Lompatannya begitu cepat menerjang lawan dengan pedang berkelebat
memancung leher. Tetapi Jayani menangkis pedang itu menggunakan tangan kirinya
yang bergelang kulit
berpaku runcing itu.
Traaak...! Pedang Rahwani tertahan sekejap, pedang Jayani berkelebat menyabet ke
samping. Wuuut, crraass...!
"Aaahkk...!" Rahwani mendelik seketika, perutnya robek dan isinya mulai
berhamburan. Tetapi agaknya ia masih penasaran dan ingin memanfaatkan tenaganya
yang terakhir kali untuk membalas serangan lawan, ia maju dengan terhuyung-
huyung dan menebaskan
pedangnya dari kanan ke kiri.
Tetapi gerakan pedangnya kalah cepat dengan
tebasan pedang Jayani yang bergerak dari atas ke bawah.
Wuuut...! Craaas...! Pedang itu membelah silang tubuh Rahwani dari leher kanan
ke dada kiri. Rahwani tak bisa berteriak lagi. Ia diam terpaku di tempat dengan darah memercik
ke mana-mana. Kejap
berikutnya, Rahwani pun tumbang tanpa nyawa lagi.
Brrruuk...! "Heea... heeaa...!! Hidup Jayaniii...! Jayani hiduup...!"
seru mereka bersorak kegirangan membuat Jayani
melompat-lompat girang sambil mengacung-acungkan
pedang. Sorak sorai itu bertambah tinggi ketika dari pintu arena muncul dua orang
perempuan bertubuh tinggi-besar dan mengenakan pakaian sama seperti yang di
kenakan Jayani. Mereka berwajah sangar, yang satu
rambutnya dikuncir dengan senjata kapak dua mata yang satu lagi rambutnya
dibiarkan tergerak ikal dan
bersenjata tombak berujung pedang lebar.
"Lawan mereka, Jayani! Hajar mereka seperti tadi!"
seru para penonton saling bersahutan.
Suto Sinting yang sejak tadi menahan rasa ngeri
dengan cara meminum arak dari cangkir perak, kali ini sempatkan diri bertanya
kepada Ratu Kamasinta.
"Apakah Jayani akan melawan dua perempuan itu?"
"Ya, ia harus bisa mengalahkan Karera dan Gitria.
Jika dia bisa menumbangkan kedua lawannya, maka dia akan kuangkat sebagai
prajurit pilihan yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari semua prajurit.
Tapi... kurasa itu tak mungkin terjadi, karena selama ini tak pernah ada yang
unggul melawan dua orang."
"Kurasa, sebaiknya acara ini dihentikan saja."
"O, itu berarti kau melawan adat kami dan itu sangat berbahaya. Mereka akan
membencimu dan menyerangmu karena dianggap menghina adat leluhur
mereka!" kata Ratu Kamasinta dengan senyum tipis berkesan dingin. Suto sadar
agaknya usulnya itu kurang menyenangkan hati sang Ratu dan dapat membahayakan
jiwanya. Maka, ia pun hanya bisa angkat bahu tanda pasrah dengan adat yang
berlaku.

Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata seperti apa kata sang Ratu tadi, tak pernah
ada yang bisa unggul dalam melawan dua orang setelah menumbangkan seorang lawan
lebih dulu. Jayani pun
akhirnya tumbang tanpa nyawa lagi di tangan Karera dan Gitria. Ia dapat hindari
tebasan kapak Karera tapi tak bisa hindari sabetan tombaknya Gitria. Lehernya
robek nyaris membuat kepalanya putus.
Karera dan Gitria pun keluar dari arena. Para panitia acara tersebut
membersihkan arena dari darah dan dua mayat perempuan besar itu. Caranya dengan
menyentakkan tangan mereka dalam keadaan telapak
tangan terbuka. Lalu, dari telapak tangan itu keluar cahaya putih menyilaukan.
Claaap...! Seluruh
penglihatan menjadi gelap karena silaunya cahaya.
Tetapi ketika penglihatan menjadi normal kembali,
mereka sudah tidak melihat mayat Jayani dan Rahwani lagi. Bahkan setetes darah
pun sudah tak ada baik di lantai arena maupun di dinding kamar-kamar berkaca
itu. "Hebat juga petugas kebersihan di sini," gumam Suto dalam hati. "Hanya dengan
satu sentakan tangan dapat membersihkan ruangan sebesar ini. Bahkan potongan
selembar rambut Jayani pun tak tersisa di lantai. Arena itu bagai tak pernah
dipakai untuk beradu nyawa secara mengerikan."
Ucapan batin Suto itu terhenti karena munculnya
seorang petugas pembawa acara yang tampil di tengah arena, orang itu berseru
sambil tubuhnya berputar pelan-pelan agar semua orang mendengar seruannya.
"Acara selanjutnya adalah 'Kucing Dalam Sarung'...!"
"Huuuu...!!" mereka bersorak kegirangan, sampai ada yang melonjak di atas tempat
duduknya. Suto Sinting masih diam saja, ingin tahu apa yang
terjadi dalam acara 'Kucing Dalam Sarung' itu. Mata pemuda tampan itu melirik ke
arah pintu arena sebelah kiri. Tampak seorang gadis petugas panitia membawa
masuk seorang lelaki ke arena. Lelaki itu hanya
mengenakan cawat dari kain biru tebal, dan kepalanya diselubungi kantong hitam
berlubang pada matanya,
mirip algojo. Para penonton semakin kegirangan. Semua wajah
tampak berseri-seri dan kegirangan. Mata mereka tertuju pada lelaki berperawakan
tinggi, tegap, dan berbadan kekar.
"Cepat buka kerudung kepalanya!" teriak salah seorang tak sabar.
"Jangan-jangan wajahnya rata!"
"Hah, ha, ha, ha, ha...!"
Sebelum Suto menanyakan acara tersebut, Ratu
Kamasinta sudah lebih dulu berbisik menjelaskannya.
"Acara 'Kucing Dalam Sarung adalah acara lelang asmara."
"Maksudnya bagaimana?"
"Lelaki itu dilelang. Siapa yang berani membayar paling tinggi, maka dia yang
akan mendapat pelayanan cinta lelaki itu."
Pendekar Mabuk menggumam pelan, tapi hatinya
menahan kedongkolan. Acara itu dianggap merendahkan martabat kaum lelaki. Hati
Suto ingin berontak dan
mengacaukan acara tersebut. Tetapi benaknya
memperhitungkan kekuatan yang ada di situ.
"Dilihat dari cara petugas kebersihan membersihkan ruangan ini saja sudah
kelihatan bahwa mereka rata-rata berilmu tinggi. Kalau kulakukan tindakan
bersifat memberontak, bisa-bisa aku terdesak oleh kekuatan
mereka dan celaka sendiri. Hmmm... sebaiknya
kutunggu kesempatan paling baik untuk lakukan sesuatu di tempat aneh ini!"
Petugas panitia segera berseru kepada hadirin yang tampak sudah tak sabar.
"Perhatian! Perhatian...!"
Suara gaduh itu segera reda. Masing-masing
menyimak ucapan si petugas panitia.
"Pria ini berusia dua puluh lima tahun...."
"Cihuiii...!" seru beberapa orang kegirangan mendengar usianya lelaki
berkerudung kain hitam itu.
"Dia seorang prajurit sebuah kadipaten. Belum mempunyai istri, tapi sudah
pengalaman melayani para istri tetangganya."
"Huah, hah, ha, ha, ha, ha...!"
"Kepandaiannya yang paling menonjol adalah
menunggang kuda. Jadi tak perlu disangsikan lagi dalam bercinta."
"Memangnya kami kuda!" seru salah seorang yang membuat tawa bagi lainnya.
"Menurut hasil uji coba, pria ini tidak mempunyai penyakit apa-apa kecuali kurap
semasa kecilnya. Pria ini juga tangguh dan tegar dalam bercinta. Para penguji
sepakat menjulukinya 'Kuda Besi' karena memang ia
mempunyai kekuatan dan tenaga seperti seekor kuda
besi." "Asyiiiiikkk...!"
"Husy! Brisik!" bentak orang di samping gadis yang berteriak itu.
"Lelang ini kami awali dengan harga lima sikal!" ujar pembawa acara menyebutkan
harga tawaran pertama,
(sikal adalah mata uang yang berlaku masa itu).
"Aku berani enam sikal!" seru gadis berambut merah jagung itu.
"Aku delapan sikal!" balas gadis di podium depan.
"Ya, delapan sikal tawaran tertinggi. Siapa berani lebih tinggi lagi?"
Seorang gadis bergiwang merah berdiri dan acungkan tangannya.
"Sepuluh sikal!" serunya dengan bangga.
Yang lain berdiri dan berseru, "Sebelas sikal!"
Gadis di sampingnya ikut berdiri dan berseru, "Empat sikal!"
"Hoi, tawaran tertinggi sebelas, masa' kau menawar empat sikal"!"
"Habis aku hanya punya uang empat sikal!" jawabnya sambil bersungut-sungut.
"Baik. Tawaran tertinggi sebelas sikal. Kuhitung tiga kali, kalau tak ada yang
berani menawar lebih tinggi lagi, maka pria ini jatuh kepada yang menawar
sebelas sikal tadi!" seru pembawa acara, sementara si lelaki'
yang dilelang diam saja, tak tampak gusar atau mencoba
meronta. Dari sikap berdirinya yang santai dan sabar menunggu itu kelihatan
bahwa si lelaki justru senang dijadikan barang lelangan seperti barang antik.
"Satuuuu...!" pembawa acara mengawali
hitungannya. "Duaa...!"
Sepi sejenak, tiba-tiba seseorang yang ada di dekat gong besar itu berdiri dan
berteriak lantang. "Dua belas sikal!"
"Yaaa... tawaran naik dua belas sikal! Ada lagi yang berani lebih tinggi"!"
"Dua puluh sikal!" seru Suto Sinting.
"Huuuuuuhh...!"
Mereka berseru gemuruh lalu saling menertawakan
tawaran Suto Sinting itu. Sang Ratu segera berkata dengan tersenyum geli.
"Kau tak boleh ikut menawar, Suto. Kau adalah lelaki, dan acara 'Kucing Dalam
Sarung' ini hanya untuk kaum wanita."
"Aku akan membebaskan pria itu!"
"Tak boleh! Tak ada aturan seperti itu!
"Tapi...."
"Ini negeriku! Kekuasaan ada di tanganku!" tegas sang Ratu, dan Suto pun diam
kembali. Pria yang dilelang itu akhirnya jatuh dalam
penawaran dua belas sikal. Gadis yang tadi menawarnya itu segera lakukan
lompatan dari lantai atas ke tengah arena. Wuut, wuk, wuk, jleeg...!
"Gila! Gerakannya lincah sekali"!" gumam Suto
mengagumi gerakan gadis berkulit sawo matang itu.
Pembawa acara berseru, "Hadirin, pria ini telah dibayar tunai sebesar dua belas
sikal oleh Ambini! Maka sekarang, silakan kalian menyaksikan kehebatan pria ini
dalam melayani Ambini!"
Tepuk tangan dan sorak sorai memenuhi ruang itu.
Suto Sinting tetap diam tak mau ikut bertepuk tangan seperti Ratu Kamasinta.
Tapi pandangan mata Suto tetap tertuju ke tengah arena di mana seorang petugas
panitia meletakkan bangku panjang agak lebar tengah arena itu.
"Untuk apa bangku panjang itu?" pikir Suto Sinting namun ia tak mau
menanyakannya kepada sang Ratu.
Ambini membuka kain kerudung hitam yang
menutupi kepala pria tersebut. Wees...!
"Huuuuu...!" mereka berteriak- histeris begitu melihat wajah pemuda itu ternyata
cukup ganteng, walau masih kalah ganteng dari Suto. Tapi wajah itu tampak tidak
menjenuhkan jika dipandang terlalu lama. Mempunyai hidung bangir, bibir agak
tebal, kumis tipis, dan mata berkesan jalang.
Ambini juga tampak kegirangan, dan sempat menjerit girang ketika mengetahui pria
yang dibelinya berwajah tampan. Mereka beradu pandang sejenak. Pria itu
sunggingkan senyumannya yang menawan. Para
penonton tidak sabar dan saling berteriak bersahutan.
"Serang bibirnya lebih dulu, Ambini!"
"Lepaskan kainmu, Ambini!"
"Jangan, jangan...! Biar dia yang melepaskannya, Ambini!"
"Ayooo... mulai! Kok malah saling bengong. Mau main cinta apa main catur"!" seru
salah seorang dengan jengkel.
Pria itu segera mendekatkan wajah, Ambini yang
sedikit lebih pendek itu segera mengangkat dagu dan memejamkan mata, seakan
menyodorkan bibirnya. Maka pria itu segera mengecup bibir Ambini sambil
tangannya mulai melepasi pakaian Ambini.
"Asyiiiik, Jek...!" teriak salah seorang di tengah gemuruh riuh suara mereka
yang mirip penonton sepak bola itu.
Ambini dan pria tersebut bagai tak hiraukan orang
orang di sekelilingnya. Ambini justru menyingkapkan kainnya dan menjambak rambut
pria itu dengan sedikit kasar agar sang pria berlutut. Ambini berdiri dengan
satu kaki dinaikkan ke bangku panjang itu. Kepala pria itu segera dirapatkan ke
tubuhnya. "Aaoow...!" pekik Ambini sambil cekikikan, kepalanya mendongak dan matanya
terpejam. Pria itu bertindak sebagai seekor kucing yang sedang minum di sebuah
cawan. Ambini tampak kegirangan dan bergairah sekali. Pinggulnya bergerak secara
naluriah, membuat para penonton berdebar-debar termasuk Suto Sinting.
"Gila! Adegan seperti itu dijadikan tontonan!" gerutu Suto Sinting dengan
gelisah. Tetapi sang Ratu
tampaknya sangat menyukai tontonan seperti itu.
Wajahnya menjadi sendu, matanya kian sayu, sesekali napasnya ditarik dalam-
dalam. Lalu, tangannya berani memegang tangan Suto Sinting. Suto tak berani
menolak takut mendatangkan murka bagi sang Ratu.
Ketika Ambini dibaringkan di atas bangku, dan pria itu segera memandikan Ambini
dengan ciuman seperti seekor kucing memandikan anaknya, sang Ratu
meremas tangan Suto sambil mendesis lirih sekali. Suara Ambini yang mengerang
panjang ditikam sejuta
kenikmatan itu membuat para penonton saling
mengeram dan mengeluh diburu gairahnya sendiri.
Tangan mereka pun tak bisa diam, merayapi tubuh
sendiri, namun juga ada yang saling merayap sesama teman sejenis.
"Ooooh...! Lakukan sekarang! Lakukan sekarang, Setan!" teriak Ambini dengan
penuh emosi. Maka pria itu pun memberikan apa yang diinginkan Ambini.
Tiba-tiba ruangan berkaca itu menjadi terang.
Ternyata di dalam ruangan berkaca terdapat pasangan yang sedang bercinta dengan
gaya dan iramanya masing-masing. Suara mereka terdengar sampai di luar kamar
berkaca. Sepertinya hadirnya cahaya yang menerangi ruangan berkaca itu juga
mempunyai kekuatan yang bisa merayapkan gelombang suara, hingga pekikan dan
erangan kenikmatan mereka bisa didengar di seluruh arena tersebut.
"Edan! Pesta macam apa ini!" sentak Suto Sinting sambil berdiri. "Aku akan pergi
dari sini, Ratu!"
Tangan Suto ditarik pelan oleh sang Ratu yang telah mendesah-desah dibakar
gairah. "Tenang dan nikmati saja pertunjukan itu. Semua ini pesta untukmu, Suto...,"
ucap sang Ratu pelan sambil
menatap mata Suto, dan anehnya kemarahan Suto
menjadi surut. Niat untuk pergi pun hilang seketika, ia segera duduk kembali dan
membiarkan sang Ratu
meremas-remas tangannya sambil tetap menikmati
tontonan yang tak pantas ditonton itu.
"Suto, kita pergi ke kamarku sekarang juga!"
"Hmmm... ehh... anu, eeh...." Suto tak bisa membantah, ataupun menolak. Tapi ia
tak segera bangkit mengikuti sang Ratu. Jiwanya menjadi guncang, hatinya
terbelah menjadi dua antara menolak dan mengikuti
ajakan sang Ratu.
"Ayolah ke kamar, Suto...." sang Ratu mulai merengek. Suaranya yang serak-serak
basah itu membuat gairah Suto pun terasa dibakar pelan-pelan.
"Haruskah kulayani gairah sang Ratu" Tapi... aku sudah punya kekasih. Aku setia
pada Dyah Sariningrum, calon istriku itu. Lalu, apa yang harus kulakukan pada
saat-saat seperti ini" Ooh... batinku pun mulai menuntut kemesraan. Aduh, dadaku
jadi sesak sekali."
"Lekas ke kamarku, Suto. Atau... atau kau ingin kita berdua di tengah arena
seperti Ambini dan pasangannya itu?"
"Hhaah..."!" Suto terperanjat dan semakin gusar.
* * * 3 BARU saja Ratu Kamasinta bergerak meninggalkan
tempat duduknya, tiba-tiba dari langit-langit ruangan itu muncul seberkas cahaya
hijau terang. Sinar itu bergerak
cepat menghantam Suto Sinting dan Ratu Kamasinta.
Wuuus...! Blaaabb...!
Suto merasa tak bisa bernapas, pandangan matanya
gelap, seluruh tulangnya terasa patah, seluruh kulitnya mati rasa dan ia pun tak
sadarkan diri. Demikian pula yang dirasakan oleh Ratu Kamasinta; ia jatuh
terkulai tanpa ada yang mempedulikan lagi, karena semua orang di ruang arena itu
terbuai oleh kenikmatan bercumbu masing-masing. Bahkan para petugas panitia pun
mencari cara sendiri untuk melampiaskan gairahnya.
Kenikmatan yang membuai mereka membuat tak satu
pun mengetahui ada sekelebat bayangan yang
menyambar Suto Sinting bersama bumbung tuaknya.
Wuut, wuuus...! Bayangan itu datang dari atap dan keluar lagi melalui atap pula.
Sampai bayangan itu lenyap tinggalkan tempat tersebut, mereka masih dibuai oleh
kenikmatan masing-masing dengan suara erangan dan pekikan kemesraan yang saling
bersahutan. Sedangkan Ratu Kamasihta sendiri tak bisa memekik
atau mengerang karena masih dalam keadaan pingsan.
Cahaya matahari pagi bersinar semakin terang.
Embun telah terserap habis oleh sang surya. Dan cahaya matahari itu merambah
masuk ke sela-sela dinding gua dan langit-langitnya. Cahaya itulah yang membuat
suasana sebuah gua menjadi terang.
Gua tersebut mempunyai lorong tunggal yang entah
menuju ke mana. Tetapi gua tersebut mempunyai
ruangan besar begitu masuk dari mulut gua. Ruangan tersebut penuh dengan
bebatuan beraneka ragam
warnanya. Bahkan tinggi dan bentuknya pun berlainan.
Gua itu sangat indah karena bebatuannya yang
berwarna-warni. Bahkan ada sebongkah batu yang
bentuknya seperti orang duduk merenung bertumpang
tangan warnanya kuning kunyit. Ada juga batu yang
berbentuk datar seperti punggung buaya sedang
mengeram berwarna coklat cerah.
Lantai gua dalam keadaan kering tanpa kelembaban.
Tetapi udara di dalam gua itu tidak terasa panas
melainkan terasa teduh. Dinding gua itu berlumut merah.
Sepertinya dari jenis tanaman kering yang tidak terlalu membutuhkan air.
Di gua itulah Suto Sinting siuman dan mendapatkan dirinya terbaring pada sebuah
lempengan batu bersusun tinggi satu betis berwarna hitam marmer. Tentu saja sang
Pendekar Mabuk terkejut mengetahui dirinya
berada di gua yang sangat indah namun sangat sepi. Tak ada suara apa pun kecuali


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desau angin meresap di sela-sela dinding serta langit-langit gua yang membentuk
celah sempit itu.
"Ada di mana aku ini?" gumamnya dalam hati. Ia melirik ke samping kiri, ternyata
bumbung tuaknya ada di sana. Ia segera meneguk tuaknya tiga kali, kemudian
memandang sekeliling dengan penuh rasa kagum.
"Gila! Cantik sekali gua ini. Siapa yang membawaku ke sini" Mengapa tak ada
sepotong manusia pun di sini kecuali diriku dan... oh, sepertinya ada suara
napas" Ya, suara napas itu ada di dinding dan...."
Pendekar Mabuk hembuskan napas. "Sial! Ternyata
suara napasku sendiri yang menggema," ujarnya sambil garuk-garuk kepala.
Ia mulai melangkah mengelilingi tempat tersebut
sambil sebentar-sebentar berdecak kagum terhadap
keindahan bebatuan yang ada di situ. Ia sempat
memandang ke sebuah lorong yang gelap. Mau masuk,
tapi ragu-ragu, akhirnya ditinggalkan dulu untuk
sementara. Pendekar Mabuk melangkah ke pintu gua
yang tinggi dan lebar itu. Bebatuan yang mendekati pintu gua tampak kurang
indah. Semakin dekat pintu gua semakin berbentuk batuan biasa tanpa seni dan
keindahan. "Bebatuan berwarna-warni ini membuatku seperti berada di lorong menuju Istana
Puri Gerbang Surgawi alam gaib, tempat calon mertuaku bertakhta sebagai ratu di
sana," ujar Suto dalam hati, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu Wajah").
"Tapi lumut yang ada di sini berwarna merah"
Padahal lumut yang ada di lorong menuju istana Ibu Ratu Kartika Wangi itu
berwarna hijau menyala. Berarti gua ini bukan tembusan lorong menuju Istana Puri
Gerbang Surgawi alam gaib itu"!"
Pendekar Mabuk akhirnya melangkah keluar gua.
Sampai di depan pintu gua ia berhenti memandangi
keadaan sekeliling gua tersebut. Ternyata gua itu berada di hutan cemara merah.
Pohon-pohon cemara tumbuh
tinggi dan bercabang-cabang besar tapi daun dan kulit pohon berwarna merah.
"Aneh sekali. Pohon cemara kok warnanya merah"
Tapi... biar sajalah. Yang memberi warna bukan aku, kenapa harus diperdebatkan
dalam hati" Hanya saja, aku merasa baru sekarang berada di tempat ini. Dan baru
sekarang juga melihat hutan cemara berwarna merah.
Daerah apa ini namanya" Belum pernah kudengar dari mulut orang yang bercerita
tentang hutan cemara
merah." Hutan itu berada di sebuah lereng dengan tanah tak seberapa miring. Tetapi
tebing yang menjadi tempat terbentuknya gua itu cukup tinggi dan taman kecil
lainnya juga berwarna merah tua. Batu-batuannya
berwarna biasa. Tapi tanah di situ juga berwarna merah.
Hutan sepi itu bagai tak berpenghuni. Hewan unggas pun rasa-rasanya tak ada yang
menetap di hutan cemara merah tersebut. Pendekar Mabuk memandangi hutan itu
beberapa saat dengan rasa kagum dan mengakui
keindahan alamnya.
"Sebaiknya kucoba menelusuri hutan ini untuk
mengetahui di mana keberadaanku sekarang ini.
Hmmm... nanti aku akan memanjat tebing ini dan
memandang dari atas sana! O, ya... bumbung tuakku
harus kubawa juga, kalau ada apa-apa tidak repot
kembali ke sini lagi."
Tetapi ketika ia mau mengambil bumbung tuaknya,
tiba-tiba hatinya tersentak kaget karena di dalam gua itu sudah ada seorang
wanita berparas cantik jelita. Wanita itu duduk di atas sebuah batu dalam
keadaan bersila.
Sepertinya sedang lakukan semadi di atas batu berwarna biru itu.
Mata berbulu lentik itu membuka dan tampaklah bola mata bening bundar yang
sangat indah. Pendekar Mabuk sempat terperangah kagum memandangi kecantikan
gadis yang berusia sekitar dua puluh dua tahun itu. Bibir mungilnya segera
sunggingkan senyum tipis yang
membuat hati Suto berdesir-desir bagai ditaburi sari bunga mewangi.
"Tadi tidak ada, sekarang kok ada" Siapa kau, Nona"
Dan dari mana datangmu?" tanya Suto Sinting sambil mendekat pelan-pelan seperti
diliputi kebimbangan.
Gadis itu masih duduk bersila, tapi kedua tangannya yang tadi saling merapat di
dada itu kini terkulai turun jatuh di pangkuan.
"Wow...! Cantik sekali gadis ini. Amit-amit jabang bayi... kenapa baru sekarang
aku bertemu gadis secantik dia"!" ujar Suto dalam hatinya.
"Ternyata kau lebih dulu siuman sebelum aku selesai berkelana," ujar gadis itu,
kemudian ia turun dari batu biru dan berdiri memandangi Suto Sinting.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Suto.
"Yang mana?" tanya gadis itu dengan wajah seakan benar-benar bingung. Lucu, tapi
menggemaskan karena kecantikannya itu.
"Kutanya padamu, siapa kau dan dari mana
datangnya, sehingga tahu-tahu ada di sini" Apakah kau dari dalam lorong sana?"
Gadis itu gelengkan kepala. "Aku dari pusar bumi.
Namaku.... Nirwana Tria," jawab gadis berjubah putih dihiasi benang emas
tepiannya itu. Jubah tersebut tak
berlengan, sehingga tampak kulit tubuhnya yang mulus berwarna kuning langsat.
Ia juga mengenakan kutang biru muda sangat tipis,
hingga sepasang dadanya yang mancung itu tampak
membayang jelas dan menantang panas. Celana
komprangnya juga berwarna biru tipis yang diikat
bagian mata kakinya. Pinggangnya berkain merah yang dipakai menyelipkan sebuah
senjata pisau berbentuk pedang sepanjang dua jengkal. Pisau itu dari logam
kuning yang mengkilat dan sarungnya berukir indah, tetapi gagangnya dari gading
berbentuk ukiran kepala naga.
"Apakah kau yang membawaku ke gua ini?"
"Ya," jawab Nirwana Tria yang rambutnya sepanjang pundak lewat sedikit dalam
potongan shaggy.
Katanya lagi, "Untung aku belum terlambat. Kalau aku terlambat sedikit saja, kau
akan menjadi budaknya Ratu Maksiat!"
Suto berkerut dahi. "Siapa yang kau maksud dengan Ratu Maksiat itu?"
"Ratu Kamasinta yang mengaku sebagai Dewi
Penyebar Asmara itu," jawab Nirwana Tria sedikit ketus, menandakan sikapnya yang
bermusuhan dengan Ratu
Kamasinta. Pendekar Mabuk berkerut dahi sebentar, ia lupa
tentang nama Ratu Kamasinta itu. Setelah diingat-ingat beberapa saat, ia pun
mulai terbayang seraut wajah cantik sensual milik Ratu Kamasinta itu.
"Hmmm... ya, ya, aku ingat sekarang. Aku pingsan
saat mau diajak 'ngamar' oleh Ratu Kamasinta.
Seingatku, samar-samar kulihat cahaya hijau mendekat dan aku tak sempat
menghindar. Sejak itu aku tak ingat apa-apa lagi."
"Tapi kau masih membayangkan pesta mesum itu, bukan?" sindir Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk tertawa kecil, lalu mengambil
bumbung tuaknya. Tutup bumbung dibuka, sebelum ia
menenggak tuak itu, ia bicara lebih dulu kepada Nirwana Tria.
"Aku memang ingat adegan-adegan dalam acara
'Kucing Dalam Sarung' itu. Tapi aku bukan penganut aliran mereka," setelah itu
tuak pun ditenggaknya tiga kali.
Nirwana Tria sunggingkan senyum sinis. Tiba-tiba
Suto kaget dan tersedak dalam minumnya, matanya
membelalak ke arah Nirwana Tria.
"Ada apa"!" gadis itu menjadi heran.
"Senyummu... uhuk, uhuk, uhuk...."
"Ada apa dengan senyumku?"
"Senyummu... senyummu mempunyai lesung pipit."
Nirwana Tria makin heran. "Memang beginilah
senyumku sejak lahir. Lalu, kenapa kalau ada lesung pipitnya?"
"Kau... kau menjadi semakin cantik. Sumpah!"
"Hhmmm...!" Nirwana Tria mencibir.
"Sumpah lagi! Aku tidak bohong. Kau semakin
cantik dengan lesung pipit di sudut senyummu. Demi dewa ganjen mana pun, aku
sangat menyukai gadis
berlesung pipit. Sumpah apa saja aku berani. Sumpah dicium perempuan sepasar pun
aku berani! Mati
sekarang pun aku...."
"Cukup!" sentak Nirwana Tria. "Aku tidak butuh sumpahmu. Pendekar Mabuk!"
"Lho..."!" Suto Sinting agak terbengong. "Dari mana kau tahu kalau aku adalah
Pendekar Mabuk?"
"Tak perlu berlagak bodoh, kau memang sudah
bodoh!" ujar si gadis dengan cuek. "Keberhasilanmu memanah 'Selaput Iblis'
membuat namamu dibicarakan oleh setiap tokoh persilatan, terutama kaum
wanitanya."
"Ah, yang bener..."!" Suto tersenyum masygul.
"Ya, kau dibicarakan oleh kaum wanita lengkap dengan kejelekan-kejelekanmu
sampai pada kemiskinanmu juga."
"Mereka mengatakan aku miskin" Miskin apa
maksudnya?"
"Miskin pusar!" Nirwana Tria segera mencibir angkuh, "Apa kau punya pusar"!
Punya"!"
Pendekar Mabuk geli melihat lagak centil si gadis
cantik jelita itu.
"Orang lain punya pusar, tapi kau tidak. Itu namanya miskin!"
"Kalau begitu, kapan-kapan akan kusuruh seseorang untuk membuat tato di perutku
yang mirip pusar."
Nirwarna Tria sembunyikan senyum gelinya.
"Boleh aku pinjam pusarmu buat contoh tato pusar nanti"!"
Nirwana Tria makin geli, ia melengos tak mau
perlihatkan tawanya yang punya lesung pipit semakin tajam itu. Ia kembali
memandang Suto setelah mampu bersikap tenang, seakan tak merasa lucu atas
kelakar Suto tadi.
"Lupakan tentang pusar!" kata si gadis. "Ada masalah yang lebih penting
dibicarakan daripada pusar."
Melihat Nirwarna Tria serius, Suto pun segera
menanggapi dengan serius, ia duduk di atas batu
berwarna merah bintik-bintik putih yang tingginya
sebatas pinggul. Bumbung tuaknya digenggam dengan
tangan kanan dan ditumpangkan di paha kanan dalam keadaan tegak. Matanya
memperhatikan Nirwarna Tria yang bicara sambil berjalan ke arah pintu gua.
"Aku diutus menyelamatkan dirimu dari
cengkeraman Ratu Maksiat itu."
"Siapa yang mengutusmu?"
"Kakekku...."
"Siapa kakekmu itu?"
"Dewa Tanah!"
"Tanah apa?"
"Tanah kuburan," jawab gadis itu dengan agak dongkol.
"Kuburan apa?" goda Suto.
"Kuburan angker, buat menguburmu yang banyak
mulut itu!" Nirwana Tria bersungut-sungut.
Suto tertawa ceria, ia suka melihat gadis itu
tersenyum atau bersungut-sungut. Menurutnya, cucu
Dewa Tanah itu akan tambah cantik dan makin
menggemaskan jika sedang cemberut atau tersenyum.
"Kurasa beranak pun akan semakin cantik ini bocah,"
pikir Suto dengan keusilan otaknya.
"Tugasku bukan saja menyelamatkan dirimu dari kelicikan Ratu Maksiat itu, tapi
juga menghancurkan pemerintahan di Istana Perak itu."
"Pihakmu bermusuhan dengan Ratu Kamasinta"!"
"Ya," jawab Nirwana Tria dengan tegas. "Kamasinta sudah berani melanggar
peraturan masyarakat dasar
bumi. Ia telah melakukan penculikan terhadap manusia di permukaan bumi, terutama
kaum lelaki, dan
memanfaatkan kaum lelaki itu sebagai pengumbar nafsu setannya. Bahkan Kamasinta
sudah menetapkan sebuah kekejaman dan kemesuman menjadi tradisi yang harus
dilakukan oleh orang-orangnya."
Pendekar Mabuk tampak antusias sekali
mendengarkan penjelasan itu, sampai-sampai ia tak
sabar kalau dahinya berkerut tajam dan mulutnya sedikit monyong ke depan.
Nirwana Tria mondar-mandir sambil sesekali memandang ke arah Suto jika ada kata-
kata yang perlu ditegaskan.
"Kamasinta menyebarkan aliran sesat yang membuat para wanita dasar bumi banyak
yang mengikutinya. Jika aliran Kamasinta dibiarkan berlarut-larut, maka
masyarakat dasar bumi akan menjadi liar dan sesat."
Nirwana Tria mendekati Suto, bicara dengan beradu
pandang lekat-lekat.
"Ratu Maksiat itu harus dihancurkan sebelum
masyarakat dasar bumi menjadi hancur karena aliran sesatnya!"
"Hancur ya hancur tapi jangan melotot kepadaku.
Aku tidak tahu apa-apa tentang Ratu Maksiat itu."
"Kau setuju dengan alirannya?"
"Oh, kalau aku setuju, aku sudah bikin aliran sendiri seperti itu di permukaan
bumi," jawab Suto sambil tersenyum.
"Hanya saja," kata Suto lagi,"... aku sempat merasa heran, mengapa waktu itu aku
sulit menentang tingkah laku mereka" Aku tak mampu memberontak, bahkan
sepertinya aku menurut saja dengan segala perintahnya.
Sampai-sampai... he, he, he... hampir saja melayani gairahnya di dalam kamar."
"Itu karena kau terkena 'Aji Tunduk Bungkam' tak bisa dilawan oleh ilmu apa pun
di permukaan bumi!"
"O, pantas...," gumam Suto lirih.
"Untung kau belum sampai melayani Ratu Maksiat itu."
"Apa yang terjadi kalau sampai aku melayani Ratu Maksiat itu dengan cumbuan dan
kemesraan yang paling hangat"!"
"Kau akan kehilangan jati dirimu, kau akan hilang ingatan, dan kau akan menjadi
bodoh; tak ingat kalau punya ilmu tinggi. Bahkan mengenal saudaramu pun tak akan
bisa. Yang ada dalam otakmu hanya perintah
bercumbu dari Ratu Maksiat itu."
"Iih... mengerikan!" Suto berlagak bergidik ngeri, tapi Nirwana Tria mencibirkan
bibirnya tanda mencemooh
kengerian palsu itu.
"Mengerikan kalau sampai tak dicoba," sambung
Suto dalam kelakarnya yang membuat Nirwana Tria
tersenyum dikulum.
"Satu kali kau bercinta dengan Ratu Maksiat,
selamanya kau selalu ingin bercinta dengannya.
Gairahmu tidak akan berhenti sebelum kau mati bunuh diri atau oleh Ratu Maksiat
sendiri. Karena... seperti julukannya, dia adalah Dewi Penyebar Asmara. Darah
dan air liurnya mengandung racun 'Gila Cumbu' yang tak ada obatnya."
"Celaka!" Suto menjadi tegang, matanya terbelalak, tangannya memegangi bibirnya
sendiri. Nirwana Tria ikut-ikutan tegang. "Kau... kau sudah pernah berciuman dengannya"!
Maksudku... eh-mmm...
maksudku sudah pernah kecup-kecup bibir dengan Ratu Maksiat itu"!" sambil kedua
tangannya yang menguncup diadu-adukan.
"Belum," jawab Suto sambil menggeleng dan turunkan ketegangan di wajahnya.
"Sial! Lalu kenapa kau jadi tegang dan merasa celaka?"
"Maksudku, celaka aku belum pernah mencicipinya."
"Hmm...!" Nirwana Tria bersungut-sungut. "Lebih celaka lagi kalau kau pernah
mencicipinya."
"O, iya...." Suto sengaja nyengir sebagai canda keceriaannya. Tapi hati Suto
segera membatin, "Aneh juga, sejak bertemu gadis ini rasanya ingin bercanda
terus. Jangan-jangan aku sudah benar-benar sinting?"
"Kuharap untuk sementara kau tinggal di gua ini dulu dan jangan keluar ke mana-
mana." "Apa alasanmu melarangku begitu?"


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ratu Maksiat itu pasti akan mencarimu, ia selalu penasaran dan mengejar terus
keinginannya. Sekali dia punya keinginan bercinta denganmu, jika sampai gagal,
maka ia akan memburumu dengan berbagai cara.
Walaupun murkanya membakar darah, kau tetap akan
diburu, ditangkap, diajak berkencan, setelah itu baru dibunuh sebagai
pelampiasan murkanya!"
"Ah, kurasa...."
"Tetap di sini!" sergah Nirwana Tria dengan tegas.
"Kalau aku sudah berhasil membunuh Ratu Maksiat itu, kau baru boleh keluar dari
gua, dan bisa berkeliaran dengan bebas lagi seperti biasanya."
"Itu kalau kau berhasil membunuh Ratu Maksiat, tapi kalau Ratu Maksiat yang
berhasil membunuhmu
bagaimana" Apakah selamanya aku harus menjadi
penghuni gua ini"!"
"Aku tak mungkin mati di tangan Ratu Maksiat!" ujar Nirwana Tria dengan penuh
keyakinan. "Apakah kau lebih sakti dari Ratu Maksiat"!"
"Seharusnya begitu," jawab Nirwana Tria.
"Kalau ternyata tidak begitu, bagaimana?"
"Berarti pedang pusaka ini tidak berarti lagi." sambil Nirwana Tria mencabut
pedang kecil yang menyerupai sebilah pisau itu. Pedang kecil tersebut dilolos
dari pinggangnya bersama sarung pedang dan diperhatikan dengan penuh rasa
bangga. "Pedang ini adalah pusaka kakekku; si Dewa Tanah.
Pedang 'Lidah Naga' ini sangat ditakuti oleh leluhurnya
Kamasinta. Bahkan bisa jadi Kamasinta lari terbirit-birit jika melihat pedang
'Lidah Naga' ini!"
"Apa kehebatan pedang 'Lidah Naga' itu, Tria"!"
Nirwana Tria tidak mau menjawab, ia menyelipkan
kembali pedang kecil itu ke pinggangnya. Diam-diam Suto menjadi penasaran dan
ingin membuktikan
kehebatan pedang 'Lidah Naga' itu.
"Ingat, kalau kau keluar dari gua ini dan bertemu denganku di luar sana, maka
kuanggap bersekutu dengan si Ratu Maksiat!" ancam Nirwapa Tria.
"Tapi aku tak bisa diam di sini terus-terusan, Tria!
Aku sendiri tidak tahu tempat apa ini sebenarnya?"
"Kau berada di Bukit Bayangan Gaib! Tempat ini tidak akan bisa dilihat oleh mata
orang biasa. Bukit ini berada di perbatasan antara alam gaib dan alam nyata."
"Gila! Terus kalau aku temui guruku bagaimana?"
"Kurasa kau mampu melompat dari perbatasan alam, karena kau punya kekuatan gaib
di keningmu." sambil Nirwana Tria memandang titik merah kecil kening Suto
sebagai kunci menuju alam gaib. Dengan mengusap titik merah di kening, Suto akan
dapat melihat kehidupan roh halus, jin, dan antek-anteknya, atau melompat dari
alam nyata ke alam gaib.
Sekalipun begitu, Suto pun akhirnya bertanya pada
diri sendiri. "Haruskah aku menuruti perintahnya"! Mengapa sangat peduli dengan
keselamatanku"!"
* * * 4 GADIS itu pasti berilmu tinggi. Karena ia pergi
dengan cara lenyap begitu saja setelah merapatkan kedua telapak tangannya di
dada. Dan sebelum pergi, ia
menudingkan jarinya ke pintu gua. Jari itu seperti meletuskan sinar merah kecil
yang melesat bersama asap putih. Sinar merah kecil menghantam tepian pintu gua,
lalu tepian pintu gua menyala merah membentang
selebar pintu gua.
Sinar itulah yang membuat Suto Sinting tak bisa
keluar dari gua tersebut. Sebongkah batu satu
genggaman dilemparkan ke sinar merah. Duaaar...! Batu itu hancur menjadi serbuk
hitam. "Sial! Dia menutup pintu gua dengan tenaga inti api!"
gerutu Suto dengan hati kesal. "Kalau nekat kutembus, tubuhku akan hancur
menjadi serbuk hitam. Kalau
kuhancurkan dengan jurus 'Surya Dewata' atau Tangan Guntur' pasti gua ini jadi
hancur juga. Bisa-bisa aku mati tertimbun langit-langit gua! Oh, benar-benar
gadis brengsek si Nirwana Tria itu!" .
Lalu tiba-tiba dalam benak Suto teringat tentang jurus
'Bambu Perawan' yang pernah dipakai saat melawan
Naga Pamungkas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Naga Pamungkas").
Bumbung tuak yang terbuat dari bambu jelmaan
Eyang Wijayasura itu segera dibuka tutupnya,
dihadapkan ke arah sinar merah tersebut. Dengan satu
sentakan kaki dan kekuatan napas batin, maka sinar merah itu tersedot masuk ke
dalam bumbung tuak
tersebut. Zuuuurrb...!
Maka bebas sudah pintu itu dari ancaman maut.
Pendekar Mabuk dapat keluar dengan aman. Sampai di luar, bumbung tuak tadi
dibuka lagi dan sinar merah dikeluarkan dari bumbung tersebut dengan satu
sentakan kaki dan hembusan napas batin. Claaaasss...!
Blegaaarr...! Suto kaget sendiri, karena tak menyangka sinar merah itu menghantam ujung salah
satu pohon cemara merah.
Pohon itu hancur menjadi serbuk hitam dalam sekejap.
"Mudah-mudahan ledakan ini tak membuat Nirwana Tria curiga dan kembali
mengurungku dengan caranya yang aneh," ujar batin Pendekar Mabuk yang segera
melesat tinggalkan tempat tersebut.
"Ke mana aku harus mengikuti gadis itu?" pikir Suto dalam perjalanannya.
"Bagaimanapun juga aku harus tetap mendampinginya dari belakang. Dia cantik
sekali, menggetarkan hatiku, sama seperti getaran yang
kudapatkan dari Dyah Sariningrum. Sayang sekali kalau sampai wajah cantik itu
akhirnya menjadi pucat pasi dan tak bernyawa gara-gara kalah dalam pertarungan
melawan si Ratu Maksiat itu! Aku tak rela kalau sampai Nirwana Tria terluka
sedikit pun oleh pihak Ratu
Maksiat atau oleh siapa pun!"
Pendekar Mabuk hentikan langkah sebentar,
memikirkan arah yang harus ditempuhnya.
"Ya, ampuun... kenapa aku juga begitu mencemaskan
dirinya" Ada apa di dalam hatiku ini sebenarnya" Jatuh cinta lagi" Oh, jangan.
Kalau bisa jangan, tapi kalau kepepet, yah... apa boleh buat. Buat apa-apa boleh
kalau sudah kepepet."
Naluri segera dipertajam. Biasanya mengikuti gerak naluri, Suto sering
memperoleh keberuntungan. Tapi apakah kali ini nalurinya masih membawa
keberuntungan dan bisa mempertemukan dirinya dengan Nirwana Tria.
Ternyata sebelum naluri bergerak, Pendekar Mabuk
sudah harus lakukan lompatan ke samping kanan dengan cepat dan menyelinap di
balik pohon. Zlaaap...! Pada saat itu seberkas sinar kuning mirip bintang kecil
melesat ke arahnya. Tapi karena Suto menggunakan
'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai cahaya
itu, maka sinar kuning tersebut menghantam gugusan batu jauh di seberang sana.
Blaaaarr...! Pendekar Mabuk tak pedulikan batu itu pecah
menjadi berapa bagian, tapi ia lebih memusatkan
perhatian ke arah datangnya sinar kuning tadi.
Rupanya sinar kuning itu tidak sengaja ditujukan
kepada Suto Sinting. Sinar itu melesat dari suatu
pertarungan di kejauhan sana yang terjadi antara seorang perempuan berjubah ungu
dengan seorang lelaki
berpakaian serba merah.
"Oh, siapa yang bertarung di sana itu" Kucing gering!
Bertarung tidak lihat tetangga kanan-kiri. Pukulannya hampir saja mengenai
diriku! Ah, sebaiknya aku
melihatnya dari balik tiga pohon yang tumbuh merapat itu!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat tak dapat
dilihat. Dalam waktu singkat ia sudah berada di balik tiga pohon yang tumbuh
merapat. Matanya segera
diarahkan ke pertarungan yang cukup seru itu.
Pemuda berpakaian serba merah mengkilap itu
berusia sekitar dua puluh lima tahun, bertubuh kekar dan tinggi. Rambutnya ikal
dililit ikat kepala dari jenis logam kuning emas berbatuan hijau. Wajahnya cukup
tampan tapi berkesan licik.
Ia melepaskan pukulan sinar kuning lagi ke arah
perempuan berjubah ungu yang usianya sekitar tiga
tahun lebih tua dari pemuda itu. Perempuan berambut panjang yang diikat ke atas
sebagian itu ternyata mampu bergerak gesit dan cepat, sehingga dengan satu
gerakan salto ke belakang saja ia sudah bisa hindari sinar kuning seperti
bintang itu. Wuuut...! Jleeg!
Begitu perempuan itu menapakkan kakinya ke tanah,
tangannya segera menyentak ke samping, dan seberkas sinar merah berbentuk pisau
kecil melesat ke arah
pemuda berpakaian serba merah itu. Claaap...!
Pemuda itu lekas-lekas hadangkan telapak tangannya ke depan dada. Telapak tangan
itu tiba-tiba menyala biru dan menahan datangnya sinar merah berbentuk pisau
itu. Deebss...! Sinar itu padam tanpa ledakan apa pun.
Tetapi tangan yang menyala biru itu segera berbalik menyentak ke depan, maka
melesatlah lima larik sinar
biru lurus ke arah perempuan berjubah ungu itu.
Zrrraaab...! "Hiiiaah...!" kedua tangan perempuan itu menyentak lagi, dari kedua telapak
tangannya keluar sinar merah lebar yang menahan lima larik sinar biru lawannya.
Blegaarr...! Ledakan terjadi cukup dahsyat. Tanah sempat
bergetar, pepohonan pun terguncang, daun-daun cemara merah berguguran. Perempuan
berjubah ungu itu
terpental delapan langkah ke belakang dan jatuh
terbanting dalam keadaan menyedihkan. Bruuuk...!
Sementara itu, lelaki berpakaian merah itu juga
terlempar ke belakang oleh gelombang ledakan tadi.
Tapi ia hanya jatuh terjengkang tak seberapa parah dan tak begitu jauh dari
tempatnya berdiri, ia masih mampu bangkit dengan sigap. Satu sentakan pinggul
membuat tubuhnya melesat dan tegak kembali.
"Ooh..., dia berdarah"! Pasti terluka bagian
dalamnya!" ujar Suto Sinting dalam hati ketika melihat perempuan berjubah ungu
itu mengucurkan darah dari hidung. Bahkan di sudut mulutnya tampak mengalir
darah kental yang tak bisa terbendung lagi.
Sekalipun perempuan itu masih maju ingin
menyerang kembali, tapi langkahnya sudah terhuyung-huyung tak lurus lagi. Ia
mencabut pedang yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Sraaang...!
"Percuma saja kau masih nekat melawanku, Ranti Ketawang! Kau akan menyesal
seumur hidup jika masih tetap ingin menghalangi langkahku!"
"Lebih baik kau kubunuh daripada harus pergi ke sana, Harya Jipang!"
"Kalau begitu, mungkin memang takdirmu harus
beradu nyawa denganku. Kulayani keinginanmu, Ranti Ketawang!"
"Hiaaat...!"
Weees...! Ranti Ketawang menerjang lebih dulu
dengan pedangnya. Harya Jipang mencabut kapak emas sebagai senjata andalannya
dan menyongsong gerakan Ranti Ketawang. Wuuut...!
Mereka bertemu di udara, saling beradu senjata dan kekuatan tenaga dalam.
Trang...! Blaaar...!
Sinar biru membias dalam satu sentakan gelombang
Pedang Kiri Pedang Kanan 6 Joko Sableng Pedang Keabadian Rajawali Lembah Huai 9
^