Pencarian

Bocah Tanpa Pusar 2

Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar Bagian 2


harus diremehkan.
Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa merasakan hembusan tenaga
dari dalam gerakan tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan bukti, dan
membuat Kombang Hitam sempat memuji dalam hati.
"Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"
"Kau tahu namaku, rupanya?"
"Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau Ketua Begal Utara yang lebih banyak
memperkosa daripada mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan itu tersenyum.
Cantiknya bukan main.
Kombang Hitam kian berdebar-debar. Biasanya, ia tidak bisa diam jika melihat
perempuan mulus sedikit.
Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan, Kombang Hitam dan anak buahnya
langsung menjadikan perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi agaknya kali
ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah, tidak berani bertindak sembarangan.
Bahkan tiap langkah nya pun diperhitungkan.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"
"Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba persilatan. Lucu sekali kalau
kau sendiri tidak mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"
"Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi, sebutkan siapa dirimu sebelum
kemarahanku mencapai ubun-ubun lagi."
Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba mengancamku, Kombang Hitam.
Riwayatmu akan segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf padaku."
"Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan ciuman atau pelukan mesra. He he
he...!" Kemudian kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit.
Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan itu bergerak pelan dengan urat-
urat mengencang, bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.
"Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin
ilmumu hanya sebesar upil!"
Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit merenggang tegak. Dagunya sedikit
terangkat menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak mengikuti langkah kaki
Kombang Hitam yang mencari kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan
kakinya semakin dekat dengan perempuan itu. Sampai satu ketika ia berbalik bagai
memutar tubuh, dan dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.
"Hiaaat...!"
Tap...! Tuk...!
Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh
perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya menyentil mata kaki Kombang Hitam.
Seketika itu Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.
"Waddoow...!"
Brukkk! Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah.
Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor banteng, juga kakinya
seperti dihantam dengan batang kayu yang amat keras. Sakitnya bukan main.
Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk mengurangi rasa sakitnya. Kalau
bukan Kombang Hitam, pasti mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan memar
membiru, atau bengkak.
"Boleh juga mainanmu!" geram Kombang Hitam masih penasaran. Ia bersiap menyerang
kembali. Kali ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki terlipat ke depan,
mirip seekor rajawali hendak menerjang lawannya. Perempuan itu masih diam tak
bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan pukulan jarak jauhnya yang
tingkat menengah, tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan
membentur batang pohon besar. Bukkk...!
"Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya ternganga. Untung saja pedangnya tidak
patah akibat benturan kuat itu.
Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu pertanda benturan tubuh
Kombang Hitam begitu kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung saja
Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup besar, sehingga tubuhnya tidak lecet
dan tulangnya tidak ada yang patah.
"Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja tanpa ada gerakan sedikit pun"!"
pikir Kombang Hitam dengan terheran-heran.
Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan menggeram. Kini sekujur
tubuhnya mengeras, hingga semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas
lagi. Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan mengeraskan jemari, bagai cakar
garuda yang kokoh.
Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat menyeramkan bagi orang lain.
"Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam!
Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang mengeras itu mulai
mengepulkan asap. Ujung-ujung jarinya membara bagaikan besi terpanggang api.
Jelas akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari
'Cakar Kumbang Mesra' itu.
Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan cepat dan kuat. Dihantamkan dulu
pada batang pohon besar. Crak, crak, crak...!
Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto
membelalakkan mata melihat pohon yang terkena cakaran Kombang Hitam itu hangus
di beberapa tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap.
Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya berkata, "Hebat sekali
ilmunya. Tapi suatu saat aku harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"
Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada perempuan tersebut. Lalu katanya,
"Lihat pohon itul Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika sampai
terkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, hah"!"
Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu
menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar Bebek'. Karena pohon itu tidak
mengalami perubahan apa-apa."
Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan pelan. Tapi membuat rambut
Kombang Hitam tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang.
Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis dicakarnya tiga kali itu. Dan
matanya menjadi terbelalak kaget, karena bekas hitam yang
mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali.
Tanpa bekas sedikit pun.
Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.
Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui ujung-ujung jarinya yang tadi
merah membara itu sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung bintik-bintik
putih seperti busa. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata busa-busa salju.
"Gila!" sentak hati Kombang Hitam. "Dia bisa memadamkan bara panas dari ilmu
'Cakar Kumbang Mesra' ku"! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin membeku. Setan
mana perempuan ini sebenarnya?"
Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan rasa heran dan kagum. Ia mengusap-
usapkan jemarinya ke baju sambil memandang tajam pada perempuan berjubah ungu
itu. Hati Kombang Hitam kembali berkata-kata.
"Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini ternyata berilmu tinggi. Dia
bukan tandinganku.
Pedangku pun tak akan mampu melawan!"
Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar hatinya. Dan ia pun bertanya,
"Siapa dirimu sebenarnya"!"
"Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan Bidadari Jalang?"
Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu.
Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.
"Bidadari Jalang..."!"
"Itulah aku!" jawab perempuan berjubah ungu.
Tegas dalam senyum yang angkuh.
Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak. Mulai ada keraguan di wajah itu.
Kombang Hitam mundur satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu adalah
Bidadari Jalang. Nama itu sangat dikenal di rimba persilatan. Bukan hanya
dikenal banyak orang, melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti oleh
beberapa kalangan persilatan.
"Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan jarinya seberat itu," pikir
Kombang Hitam saat itu, lalu pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai
Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah itu, di mana Bidadari Jalang mengalahkan
pendekar-pendekar dari dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan tanah Jawa.
Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika
tiga pendekar Tibet saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi dirinya
sendiri" Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi Bidadari Jalang. Dia tahu,
perempuan itu dikenal pula sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan
kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata ampun dan hidup. Pasti
lawannya dibuat hancur tanpa bisa dimakamkan jenazahnya.
"Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?" sindir Bidadari Jalang. Kombang Hitam
segera melepaskan diri dari renungannya.
"Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak punya urusan denganmu, mengapa
kamu mengusik urusan pribadiku?"
"Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"
"Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku punya dendam pribadi dengan Ronggo
Wiseso, dan harus membunuh anak itu!"
"Itu berarti kau punya urusan denganku."
"Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"
"Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup,"
jawabnya dengan kalem. Senyum pun kembali mekar, manis namun angkuh.
Bingung juga Ketua Begal Utara itu. Untuk merebut Suto jelas sesuatu yang tak
mungkin. Bisa-bisa nyawanya melayang tanpa arah yang pasti. Untuk membujuk
Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya.
Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.
"Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari Jalang?"
"Aku ada di pihakku sendiri."
"Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap hidup?"
"Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari tanganku?"
Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia pun berkata, "Jangan sampai kita
saling bermusuhan, Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah satu
pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku
melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba persilatan ini. Jadi, sebaiknya
dengan rendah hati, aku meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku.
Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."
"Aku keberatan," jawabnya bernada ketus.
"Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari Jalang."
"Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa pun. Lupakanlah tentang anak
ini. Anggap saja ia tidak lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"
"Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh anak itu."
"Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?"
tantang si cantik bermata indah itu.
Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin lesu. Wajah bengisnya benar-benar
surut bagaikan pelita kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula berapi-api
penuh nafsu membunuh, sekarang justru penuh ungkapan mengiba, mohon
dibelaskasihani.
Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada
pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada Kombang Hitam.
"Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di sini," kata Bidadari
Jalang. "Tunggu sebentar," sergah Kombang Hitam ketika Bidadari Jalang mau pergi membawa
Suto. Ia buru-buru berbalik dan memandang dengan sorot mata yang tajam.
"Mau apa lagi kau" Haruskah aku menghancurkan tubuhmu yang seperti badak itu"!"
"Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku, tapi...."
"Aku tidak punya waktu lagi."
Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak tadi berada di balik pohon,
bersembunyi. "Bocah bagus, kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari,
kemarilah...."
Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik. Melayang-layang di udara, lalu bergerak
cepat ke suatu arah.
Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang Hitam. Mereka tidak menyangka
sama sekali kalau Suto mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu
sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang
Hitam. "Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga"!"
gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.
"Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto di udara dua kali, lalu
rambutnya berkelebat mengikat ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu
tertarik ke tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu.
Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan memeluk Suto. Sementara itu, wajah
Suto sendiri tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa yang terjadi saat
itu. Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya tiba-tiba tubuh Suto meluncur
naik, licin bagaikan belut dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto
tiga kali putaran.
"Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena merasa terbang tak tentu arah.
Tappp...! Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua.
Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat tubuh Suto melayang lepas dari
pelukan Bidadari Jalang. Sekarang keheranannya kembali bertambah begitu melihat
kemunculan lelaki berambut putih dengan jubah kuning. Mata Kombang Hitam kian
terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat kayu hitam itu.
"Si Gila Tuak..:"!" sebut Kombang Hitam tak sadar.
Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam melangkah mundur lagi.
Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak memang menggetarkan hati, sebab ia
tahu siapa Gila Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di
rimba persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri pertarungan Gila Tuak dan
Penguasa Tanah Neraka yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu itu,
Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba persilatan di separo tanah Jawa
sebelah timur. Tapi tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di ujung
tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa Nyawa itu adalah Ketua Rampok
Wetan, di mana dulu Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.
Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu
membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti Kombang Hitam. Bidadari Jalang
hanya tersenyum sinis dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan
kali ini kau mencampuri urusanku lagi."
"Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak menyebut nama asli Bidadari Jalang,
"Jangan sangka hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun
membutuhkannya."
"O, begitu?" kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, ia cukup tenang dan
kalem. Kombang Hitam semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya kau
punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang Hitam, lelaki yang dilirik itu
menjadi semakin berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.
"Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu
adalah bagianku.
Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku mohon diri dari hadapan kalian!"
Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang
Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar menghilang dengan kecepatan
tinggi. Agaknya Kumbang Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu
dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan liang kubur. Kombang Hitam
lebih memilih mengalah, membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan
mereka. Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat
bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang banyak ditakuti lawan itu
memperebutkan keturunan Ronggo Wiseso" Apa kehebatan Suto sehingga
diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu" Dan jika terjadi pertarungan antara
Bidadari Jalang dengan si Gila Tuak, mana yang lebih unggul" Mampukan si Gila
Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi itu, atau sebaliknya"
* * * 5 BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai Nawang Tresni itu, hanya berdiri
memandang dengan kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang membuat dada
montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia menampakkan sikap tenangnya, namun
berusaha mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila Tuak.
"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing kemarahanku dan memaksa diriku
tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan bunga di atas kain, Nawang Tresni.
Jangan berpikir kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan orang lain."
Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir yang menggairahkan setiap lelaki


Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Bidadari Jalang pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku hanya
butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah padaku, jangan membuat aku memaksa raga
tuamu!" "Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini, Nawang Tresni. Sudah cukup banyak
usiaku. Sudah bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi kau tahu
sendiri, aku belum punya murid yang menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada
seorang murid yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan.
Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan tenang."
"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan
perempuan yang menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.
Jluuk...! Wuuss...! Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah Bidadari Jalang. Bagaikan
tersentak tiba-tiba dari pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan
Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam gendongannya, posisinya tepat
seperti anak duduk digendongan seorang ibu.
Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan peristiwa melayangnya
tubuhnya tadi. Ia menjadi ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang
diperkuat. "Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila Tuak ingin bergerak, tiba-tiba
tubuh Bidadari Jalang telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.
Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya bergerak sedikit pun. Bahkan ketika
ia melenting tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas untuk
menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh yang menggendong Suto itu sudah
berada di atas sebuah pohon berdahan kekar.
"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan matanya setelah menyadari berada di
sebuah ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu menjadi kecil.
"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak.
Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.
Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun melompat dengan cepat
bagaikan kilat, dari dahan yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto
tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah tujuannya.
Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian daun banyak yang rontok sebelum
menua. Itu jelas akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari Jalang.
Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri girang.
Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana.
Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam membawanya lari membuat Suto
bagai melayang dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto berada di pohon
pertama, tapi sebenarnya ia sudah berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya,
dan hal itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat bawah.
Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai tanda daerah yang dilewatinya,
daun dan kulit pohon disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.
Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.
JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam berliku-liku jika diteropong dari
ketinggian tertentu.
Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit berbatu-batu hitam. Ia berhenti
sebentar karena harus membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi, Bidadari
Jalang telah berusaha menotok jalan darah Suto agar berhenti berteriak dan
pingsan, sehingga tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit makin
keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.
Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan Bidadari Jalang tahu, semua
itu adalah ulah si Gila Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah melepaskan
totokan pada diri Suto. Kini justru Gila Tuak telah berhasil menyalurkan hawa
dinginnya pada tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal totokan
siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang perlu membujuk Suto.
Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di
permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu sebelahnya telah berdiri si
Gila Tuak dengan senyum di mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan
dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok tegapnya masih terlihat
walau ia berdiri memunggungi matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat
hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka Gila Tuak sudah lebih cepat
sampai ketimbang dirinya.
"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari Jalang. "Tapi kau tak akan bisa
merebut anak ini!"
"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan tangan keras padamu, Bidadari
Jalang!" "Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang perempuan itu dengan senyum manis yang
menggoda setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh senyuman birahi
Bidadari Jalang.
Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu yang sering digunakan oleh
Bidadari Jalang untuk mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu membuat
lawannya reda dari kemarahan, reda dari nafsu membunuhnya, dan justru menjadi
kasmaran kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya karena merasa
dibuat nikmat dengan memandang senyuman iblis itu.
Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan akan digunakannya ilmu 'Senyuman
Iblis' yang mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia telah menutup
jiwanya sehingga tidak pernah punya rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.
"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan bocah tanpa pusar itu" Apa
keperluanmu terhadapnya?"
"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan beberapa ilmuku yang hilang terhisap
kekuatan Tiga Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak pertarungan dengan
Tiga Pendekar Tibet itu, telah mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi.
Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi sedikit jika aku sedang
kasmaran dengan seorang pria.
Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering mendapat hawa murni dari
lelaki yang tidak
mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku mencarinya, tapi tak pernah
kutemukan lelaki tanpa pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku
segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah inilah satu-satunya jalan
untuk membuat kekuatanku pulih kembali dan racun menjadi tawar."
"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan belum bisa mengeluarkan hawa
murni!" sentak Gila Tuak.
"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya termasuk guru cinta. Hi hi
hi...." "Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau racuni masa depan anak itu
dengan persoalan cinta birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-
ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, entah di tangan
siapa saja!"
"Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang bisa membuat umur panjang" Hi
hi hi... rasakan susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih mending
aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak sepeot kamu. Hi hi hi..."
"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet muda dan ilmu kecantikan abadi,
kau juga akan setua aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan
umurku!" "Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat diangkat murid kita sama-sama
berusia imbang. Aku mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini Galih,
sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari suaminya, yaitu Eyang Purbapati.
Dan ternyata akulah yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi
kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti kamu. Hi hi hi... untuk apa
mempunyai umur panjang kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila Tuak?"
"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu.
Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-masing. Persoalan kita adalah
Suto!" "Rebutlah kalau kau merasa mampu!"
"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil mengarahkan tongkatnya ke tubuh
Bidadari Jalang.
Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang melayang, Bidadari Jalang pun
melompat jauh ke kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang semula ada di
belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun segera retak terbagi beberapa bagian,
bagaikan dihantam palu godam yang sangat besar.
Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia terkena Racun Birahi, maka
perempuan itu segera melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak dalam
keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila Tuak itu sudah berhasil menemukan
jurus-jurus baru dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba persilatan
selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu barunya Gila Tuak membuat hancur
seluruh kekuatan Bidadari Jalang yang tersisa itu.
Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari pertarungan dengan Gila Tuak,
untuk saat ini adalah langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau
melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera mengejarnya. Mereka
menuruni bukit dengan
kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari secepat itu, membuat jejak
tersendiri bagi Gila Tuak.
"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila Tuak, yang kemudian ia sendiri
berhenti dari larinya.
Matanya menyipit memandang kilasan angin merah yang berkelebat di depannya.
Serta-merta tongkatnya dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun memakai tangan
kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak panah yang tak dapat dilihat mata
telanjang. Dan tiba-tiba terdengar suara orang memekik. '
"Aaahg...!"
Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di sebuah dahan pohon, jatuh terkulai
karena punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu.
Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu menjerit ketakutan.
"Waaaooow...!"
Wusssh...! Taaap...!
Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap olehnya. Bocah tanpa pusar itu
menghembuskan napas lega.
Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.
Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu melenting naik lagi, dan
hinggap di salah sebuah dahan kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk
bertengger burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai bertengger Bidadari
Jalang. Jika bukan ilmu peringan tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari
Jalang mampu berdiri di sana.
Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi pinggangnya, kemudian menatap si
Gila Tuak yang ada di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.
"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang.
Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit naik.
"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng, Kek. Kepalaku pusing dan...
dan... hooek...!" , Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan muntah
karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah karena pusing dan mual perutnya. Gila
Tuak berteriak pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala Suto.
"Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara kau bawa lari sana-sini!"
"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini.
Hiaat...!"
Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang.
Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna kuning. Arahnya ke wajah si
Gila Tuak. Tapi, dengan cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss...!
Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang
membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.
Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok sebagian. Tapi masih berdiri
tegak. Sedangkan Gila Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah dibawa
terjun begitu cepat.
"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek.
Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba melihat anak itu.
Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan Suto. Tapi ia melihat Bidadari
Jalang turun dari atas pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap garuda.
Rambutnya pun meriap terbang dengan membentuk keindahan tersendiri. Maka, mau
tak mau Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan saja kau mau
muntah, muntahkan saja. Kakek tidak marah terkena muntahanmu, Suto!"
"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun kau lari akan kukejar dan
kubuat cacat seumur hidupmu! Jahanam kau!"
Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa
kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati puncaknya. Sebab, biasanya jika
perempuan itu marah sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila Tuak,
yaitu Ki Sabawana.
Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan keras sekali. Suara teriakannya
menyerupai sebuah seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan menjadi
kalang kabut. Burung beterbangan sambil mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular
yang bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan semua hewan yang ada di
hutan lereng bukit itu menjadi panik dan salah tingkah.
Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap membawanya lari. Kalau saja tangan
Sabawana tidak mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu akan mengalir
darah segar. Gendang telinga akan pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan
lengking itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih, gurunya
Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak tidak perlu menutup telinganya sendiri
dengan tangan atau alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan tenaga
dalamnya untuk menutup gendang telinga, melapisinya, hingga tak akan ditembus
kekuatan 'Siulan Peri' tersebut.
Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus mengejar dengan penasaran. Sampai
akhirnya mereka tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut itu
mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega, karena tanaman kelapa dan sebagainya
berada dalam jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.
Gila Tuak ingin segera membawa Suto
menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bisa berjalan
di atas air asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus terhenti. Di
sampingnya Suto muntah-muntah lagi sambil merengek.
"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."
Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan.
Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan sentakan suara kemarahannya.
"Mau lari ke mana kau, Sabawana!"
Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh
pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya sebentar sambil dalam posisi
setengah jongkok, karena harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah
tanpa cairan lagi itu.
"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu"!
Perhatikanlah gambar pada layarnya."
Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit terperangah melihat perahu layar
bertiang tunggal. Di layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga melingkar
di tengahnya. "Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah mengenali simbul pada layar
perahu tersebut.
"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis Pulau Bangkai. Agaknya ia datang
untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah kau hancur
leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas sekarang murid tunggalnya yang bernama
Nagadipa sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau tak mau kau akan
berhadapan dengannya Nawang Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus
menyelamatkannya dan menyembunyikannya."
"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang.
"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu anak ini. Biar kuturunkan
seluruh ilmuku padanya, nanti kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin
menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara bersamaan. Kau pasti
kesulitan, Nawang Tresni.
Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau kau mau bikin perhitungan
denganku, silakan!"
Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap laju perahu yang tampak semakin
cepat mendekati arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia
mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan datang itu. Ilmu dari iblis Pulau
Bangkai cukup berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai dalam keadaan
belum terkena Racun Birahi. Tapi sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah
dia akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa"
Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul, apakah harus melarikan diri
atau nekat melawannya"!
* * * 6 SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh Bidadari Jalang adalah ketampanan
Nagadipa. Dulu, ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai, hampir-
hampir ia terbunuh karena kelengahannya.


Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa, yang pada waktu itu belum
menjadi tandingan Bidadari Jalang.
Lelaki berhidung mancung dengan mata indah
memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu sisi, memperhatikan
pertarungan gurunya dengan Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang
sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan perkasa itu, sehingga hampir
saja pukulan dahsyat Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.
Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang berhasil membunuh Iblis
Pulau Bangkai. Kemudian ia bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya
kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu
menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya roboh, dan Bidadari Jalang
kehilangan jejak. Tetapi desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah
menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga ketampanan, dan keperkasaan
Nagadipa sering terbayang dan mengganggu batinnya.
Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk mengalahkan Nagadipa nanti.
Dengan senyumannya ia bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk
asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda juga birahinya. Padahal
setiap birahinya muncul, maka kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya
akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri
agar tidak mudah terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris habis.
Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.
Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan
Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah seberang. Mampukah ia
menahan serangan luar dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai itu" Kalau saja
Bidadari Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa, apakah dia masih
mampu melawan godaan birahi dari ketampanan Nagadipa" Apakah dia mampu
menghindari ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan itu" Agaknya
kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap oleh indera keenam si Gila Tuak.
Karenanya, sebelum kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.
"Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia sebelum kau benar-benar yakin akan
kemampuanmu, Bidadari Jalang!"
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir aku gentar menghadapi
Nagadipa" Sebaiknya kau saja yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban
kemarahan Nagadipa."
"Menjadi korban" Hmm... apa hubungannya?"
Dia akan menyangka Suto adalah anakku."
"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin dia menyangka begitu" Suto
dengan kamu tidak punya kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia
mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."
Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar, tiang dan atap rumbia di
tengahnya. Gila Tuak segera beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang,
"Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah, selamat bertarung. Tunjukkan
kehebatanmu di depanku jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak ini
menjadi muridku."
Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari Jalang tertiup dan berkibar
sejenak. Itulah angin kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.
Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....
Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia lupa membawa Suto saat pergi
tadi. Kini Suto digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi, Suto buru-
buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek.
Aku sudah sangat puyeng."
"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..,"
karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu, akhirnya Gila Tuak pun jalan
dengan santai, menuju ke sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu
tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai
termangu menunggu kedatangan lawannya.
Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi anehnya belum ada yang muncul
dari dalam perahu itu.
Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap siaga menyambut serangan dari
dalam perahu jika sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia menunggu,
yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar hati Bidadari Jalang, maka ia segera
melompat dari tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap kakinya di
buritan perahu.
Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali bersalto balik bertepatan dengan
mentalnya tiang layar perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat
hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun terpental ke atas bersama
atapnya juga. Perahu jadi terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.
Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya, semua terhempas jatuh ke
perairan, bagai habis diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari
Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu tanpa isi. Tak ada manusia
satu pun di sana, bahkan bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang
mengarahkan perahu ke tepi pantai" Siapa yang membawa perahu mendekati Bidadari
Jalang" Oh, tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si pembawa perahu
itu" Apakah bersembunyi di dalam air, di bawah perahunya itu"
"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang.
Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian bawah perahu. Bisa saja sewaktu-
waktu muncul serangan dariI bawah sana.
"Nagadipa..."! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu kau datang mencariku. Aku di
sini. Keluarlah Nagadipa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari Jalang.
"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.
Kalem. Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh ke belakang. Oh, ternyata pria
tampan berpakaian kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang Bidadari
Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak terlalu putih. Lengannya kekar,
demikian pula kedua kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas pundak dan
mengenakan ikat kepala dari kain berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah
itu semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu belum berkumis,
Sekarang sudah berkumis, dan semakin mempesona dipandang mata.
"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.
Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang begitu indah, menuntut jiwanya
untuk dipeluk pria itu.
Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang berbunga-bunga itu. Karena
ia sadar, Racun Birain akan segera bekerja kembali merongrong kekuatannya
"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya Nagadipa?" kata Bidadari Jalang
dengan sinis. Ia berkata begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi,
Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di
belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu bergerak cepat tanpa menimbulkan
suara atau gerakan yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di belakang
Bidadari Jalang.
Perempuan itu manggut-manggut sambil
memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia melangkah pelan, bagai sedang
memperhatikan sebuah benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja.
Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari Jalang semakin dicekam
keindahan melihat senyum itu.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.
"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"
ketusnya. "Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari Jalang."
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa bangganya mendengar ucapan
itu. Katanya lagi.
"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk menuntut balas atas kematian
gurumu beberapa tahun yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku sudah siap."
Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu indahnya. Bidadari Jalang buru-
buru buang pandang.
Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya melirik sedikit ketika pria
itu melangkah mendekati bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke arah
cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas aku
mengagumi kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan
seperti yang kau miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.
Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya kaulah yang memiliki wajah
dan tubuh seperti itu. Jadi, aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu demi
membalas dendam kematian guruku, atau
membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"
"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu, Nagadipa!" geram Bidadari Jalang,
sebab kalimat itu semakin mengguncangkan hatinya, semakin
menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik birahinya. Bidadari Jalang
kian cemas dengan dirinya sendiri.
Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui oleh Nagadipa, sehingga lelaki
tampan itu semakin mendayu-dayukan rayuannya.
"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.
Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu, menggapai kemesraanmu, itu bukan
hal mudah. Lebih sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung karang...."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan mata mendelik.
"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau menikmati kehangatan bibirku ini,
Bidadari Jalang?"
Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua
tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang ingin berontak dari ujung
birahinya. Nagadipa berpaling memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari
Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar tipis, menawan sekali. Dan ia
tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.
"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu, Bidadari. Hasrat membunuhku
hilang. Yang timbul hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi wajahmu
dengan penuh kelembutan."
"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan, Jahanam!" sambil Bidadari Jalang
menggegat giginya.
"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kemesraan
berhak muncul kapan saja dan di mana saja."
Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.
Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.
"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari Jalang. Matamu semakin
membangkitkan nafsuku.
Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin tambah waktu semakin matang
kecantikanmu, semakin besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup
menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak hatiku menerima tatapan
matamu yang begitu
menggoda hati..."
Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan gejolak birahi sampai napasnya
terengah-engah. Ia menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan dan
pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena napasnya tertahan berat.
"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku...
aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu semakin lemah, wajah tampan
itu semakin menunduk.
Bidadari Jalang kian gusar hatinya.
Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak
tangan terbuka, ibu jari terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar
tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa membuka telapaknya dan
melakukan gerakan bagai menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke
kiri. Duubb...! Wuuug...!
Kraaak...! Gundukan batu karang yang berjarak lima belas tombak dari tempat mereka berdiri
menjadi retak bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan di atas.
Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang itu dihadang oleh tenaga dalam
Nagadipa, dan lelaki itu berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke
arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang itulah yang menjadi sasaran
kedua kekuatan yang beradu itu.
Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya
mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia melangkah ke samping pelan-
pelan, menunggu
kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu, Nagadipa diam saja. Hanya
memandanginya dengan sorot pandangan matanya yang lembut.
la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang sedang kasmaran padamu, Bidadari
Jalang?" "Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam gumam.
"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya"
Apa betul" Apakah karena itu kau menjadi takut dengan rayuanku?"
"Tapi mengapa wajahmu merah jambu" Kau menahan malu atau menahan gejolak nafsu,
Bidadari Jalang?"
"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"
Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,
mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut berputar bagai kipas, menimbulkan
hawa panas yang menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...!
Nagadipa menahan dengan kedua tangan
disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika itu membentuk kuda-kuda,
ternyata mampu dirobohkan oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang
disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa terjengkang ke belakang dan
jatuh terduduk dalam jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru berguling
ke belakang dan bangkit dengan segera dalam posisi siap menerima serangan lagi.
Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto beberapa kali di udara.
Terdengar bunyi gemuruh dari jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.
Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa, melainkan sengaja mendarat
di depan Nagadipa. Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena
hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah itu. Pada saat tubuh
Nagadipa oleng ke samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring.
"Hiattt...!"
Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan dihentakkan ke samping. Kaki
Bidadari Jalang bagai dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan
tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar membiru. Rupanya tangkisan lengan
itu dialiri tenaga dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya Bidadari
Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.
"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata Bidadari Jalang. "Pasti kau telah
berhasil mempelajari kitab peninggalan gurumu itu!"
"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran membunuh perempuan cantik yang
dikagumi. Jadi...."
"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang kembali sebelum lelaki itu selesai
menuturkan rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam
posisi terbuka telapaknya dan berlipat ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke
rahang Nagadipa.
Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih dulu menyambar kaki Bidadari
Jalang. Prasss...! Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan kekuatannya semakin berkurang
sejak hatinya berdesir-desir mendengar rayuan Nagadipa.
Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang segera menjejakkan kakinya
ke atas, dan pada saat itu Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik
yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari
Jalang. Ia tersentak sambil bersuara.
"Huugh...!"
Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu lompatan ringan. Padahal jika
bukan Nagadipa, dada itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari kaki
Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental dalam satu lompatan ringan,
Bidadari Jalang segera berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam hatinya.
"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."
Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang mengalir di sudut bibirnya.
Ia buru-buru mengusap cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan mata
setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.
Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat tubuhnya bisa dilukai. Karena di
Pulau Bangkai, tak ada orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang memukulnya
hingga mengakibatkan darah kental keluar dari mulut, disana tidak ada yang bisa
melakukan. Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang tersenyum girang, walau
bernada tetap sinis. Ia berdiri dengan sigap, seakan telah siap menerima
serangan balasan dari Nagadipa.
Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar melihat tubuh bagian dalamnya
berhasil dilukai Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan kedua


Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan disatukan kedua telapak tangan itu.
Kakinya sedikit merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan ke depan,
ke arah Bidadari Jalang.
Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah
sinar perak itu ke dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari Jalang
mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan tubuhnya. Bagian dada itu bagai
ditutup oleh tameng kain jubah ungu.
Traap...! Traas...! Traas...!
Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur jubah ungu. Bagaikan sinar las
yang menghantam lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.
Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling katup itu. Kini tangan itu
kembali dihentakkan keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.
"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!
Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan Nagadipa. Bola api mula-mula
kecil. Namun begitu mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh Bidadari
Jalang itu, makin tama menjadi semakin besar. Dan menghantam kuat jubah ungu
tersebut. Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah potongan puncak gunung yang
dilemparkan ke arah Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada, sampai
akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke belakang dan terkapar di tepian
pantai, mulut, hidung, dan telinganya mengeluarkan darah.
Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan
mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera menghunus pedangnya yang
sejak tadi ada di samping kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati
Bidadari Jalang sambil ia berteriak.
"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru, Hiaaat...!"
* * * 7 NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau
menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-tiba tubuhnya terpental jauh
sepuluh langkah ke belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih mempunyai
kekuatan pada matanya yang bisa
memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga
membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu keadaan Bidadari Jalang
mulai kritis. Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa heran melihat lawannya tersentak ke
belakang, bagai mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu dipergunakan
oleh Bidadari Jalang untuk mencoba bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-
kudanya. Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia masih sanggup bertahan. Dan
bilamana perlu ia masih sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.
"Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan dendam ini! Biarpun sudah malam,
harus tetap kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"
"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku sudah siap menyambut jurus-
jurusmu!" Bidadari Jalang tak mau kalah sesumbar.
Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila Tuak dan Suto duduk di atas
tebing karang berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut bagian punggung dan dadanya.
Rasa mual dan puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak terpikirkan olah bocah tanpa
pusar itu, bahwa sampai saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia
tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan hawa dingin yang berguna untuk
menutup rasa lapar dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah itu
tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut makanan, hanya menuntut pulang.
"Mengapa kita masih di sini, Kek" Mengapa kita tidak pulang" Bukankah petang
mulai tiba?"
"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana" Ke rumah mu?"
Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu
terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan anak buahnya, ia juga ingat
saat ayahnya roboh berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.
Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang membakar rumahnya. Ia tahu,
bahwa dari keluarganya tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian
Kombang Hitam. Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat
pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada suara memelas.
"Aku harus pulang ke mana, Kek" Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja, ya" Kau akan kuangkat menjadi muridku. Semua ilmu
silatku akan kuturunkan kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela kebenaran."
"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama aku bisa sinting lagi!"
Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto diusap-usapnya. Suto segera
berkata, "Kalau aku jadi pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa
muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar bergelar Pendekar Cepat
Muntah." Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,
"Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup
mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela tawanya sendiri. Beberapa saat
mereka diam. Hanyut oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki tebing karang
itu. Mata mereka tertuju pada pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.
Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa, Suto berkata, "Kasihan Bibi
itu, Kek. Dia terkena pukulan."
"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada dan tidak melatih gerakan
lincah." "Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa menghindari pukulan seperti itu, ya
Kek?" "O, iya! Malah kamu bisa menyerang."
Anak itu tersenyum bangga membayangkan
kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik
memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto berkata, "Kasihan Bibi itu,
ya Kek" Dia menolongku dari kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang
dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali, Suto. Kita hidup memang harus
selalu mau berterima kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha Kuasa.
Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap syukur dan berterima kasih. Itu sangat
baik." "Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi pandai memainkan jurus-jurus
silat dan dia pemberani, ya Kek?"
"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga harus lebih berani daripada
Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya, Kek"
"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari Jalang."
"Jalang itu apa, Kek?"
Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi
jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak seusia Suto. Namun untuk
melegakan hati anak itu, Gila Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."
"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan sebagai Bidadari" Apakah beliau
memang seorang bidadari dari kayangan?"
"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh Eyang Guru kami, atas
kecantikan Nawang yang mirip kecantikan bidadari."
"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi mempunyai guru yang sama?"
"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah suami dari gurunya Nawang.
Kami sering dididik secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh
tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-masing. Jadi, kalau sekarang
Nawang bertarung denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan mana yang
menang dan mana yang kalah. Nawang juga mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari
gurunya sendiri."
"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya ilmu tinggi!"
"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia mempelajari sisa warisan ilmu
dari gurunya, yaitu ilmu sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan
Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin dia tidak mau menggunakan
kekuatan sihirnya untuk melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah hilang
akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak, sepertinya
ia bicara pada dirinya sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil
memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga membisu sambil termenung
memandang kesana. Namun tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila Tuak
menjadi heran. "Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila Tuak menyenggol pundak anak itu
Perawan Lembah Wilis 9 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola 5
^