Pencarian

Bocah Tanpa Pusar 3

Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar Bagian 3


dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Kek."
"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan menipu diri sendiri. Tak baik
orang melakukan kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya sendiri.
Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"
"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang itu... ternyata benar-benar
cantik, ya Kek?"
"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk Suto dan menepuk-nepuk pundak
anak itu. "Masih kecil sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah
besar nanti, ya?"
"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."
"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian seperti itu, asal jangan
berkhayal yang bukan-bukan" Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam
tentang perempuan."
Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang ke bawah. Menunduk takut. Takut
ditertawakan dan diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil
tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan
tabung yang terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu bisa dilepas
bagian atasnya, dicabut ke atas, dan tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian
dengan mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung yang berupa cairan
berbau aneh buat Suto. Anak itu bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau" Nih, cobalah beberapa teguk. Enak kok.
Bisa bikin sehat di badan kalau tak terlalu banyak."
Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat itu. Hanya dua teguk Suto
menelan tuak itu. Ia segera menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang,
"Rasanya kok seperti ini, Kek" Getir dan kecut...!"
"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah Suto menyeringai lucu setelah
minum tuak. Bahkan lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak
tangannya. "Cuih, cuih...," Suto meludah.
"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi minuman yang lezat dan segar.
Aku selalu meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."
"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa
jadi sinting nih!"
"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nanti
kalau kau pulang ke rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga
enak diminum untukmu."
"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa yang kulihat terasa
berputar, Kek" Aku melihat Bibi Nawang kok jadi berputar, Kek?"
"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya berputar."
"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"
"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sinting.
Tapi anggap saja itu perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila Tuak
menepuk dadanya sendiri.
"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar saja."
"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he he...!"
Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ia mengajaknya
bergurau terus.
Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena pekikan Bidadari Jalang. Mata
mereka kembali terpusat pada pertarungan di sana.
Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter oleh serangan beruntun dari
Nagadipa. Kekuatannya semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang
kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke sana-sini.
"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya ilmu 'Sapta Tingal', yang
bisa mengecoh musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar.
Mengapa tidak digunakan" Apakah 'Sapta Tingal' sudah ikut hilang digerogoti
Racun Birahi?"
Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata,
"Birahi itu apa toh, Kek?"
"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila Tuak dengan mata tetap tertuju
pada pertarungan.
Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi pendekar, apakah aku boleh
mengetahui birahi, Kek?"
"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"
"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa merapuhkan dirimu, jika terlalu
banyak birahi. Seperti bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya Kek" Apakah Bibi Nawang itu
termasuk orang jahat?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-galanya begitu besar.
"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang jahat, karena ia ada di pihak
golongan hitam. Tapi ada pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari
sudut mana kita memandang."
"Kenapa begitu?"
"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan orang baik bisa saja berbuat
jahat. Karena di dalam jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-
jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh diri kita baik sadar maupun
tak sadar."
Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata kata Gila Tuak" Entahlah. Yang
jelas matanya kembali memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh sang
purnama di angkasa. Karena kemunculan sang purnama itulah maka pantai itu
menjadi terang dan setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila Tuak
duduk dengan santai.
Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari telunjuknya yang dikibaskan
menyentil pelan. Pada saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia
punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat belakang. Tubuh yang
terpental mundur itu membentur batu karang yang tadi retak akibat dijadikan
sasaran pukulan tenaga dalam mereka berdua.
Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang untuk mengibaskan
rambutnya. Dan sekali ini Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah
dari tempatnya.
Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila Tuak yang mengibas dalam sentilan
pelan tadi. Ia menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya mencurigai jarinya
Gila Tuak. Yang jelas, kakek berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah
pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek itu mendenguskan napas satu
kali lewat hidungnya.
Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.
Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan tubuh melengkung, kepala
sedikit tertunduk. Dari mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja
bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang mengempaskan tubuhnya ke
pasir pantai. Melihat hal itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa
memuntahkan darah"
Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang segera mengangkat tangannya ke
atas, kedua kakinya tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan terlipat ke
belakang. Tangan kanan yang terangkat lurus ke atas itu memercikkan bunga api
warna biru, sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir di sela
terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah
Nagadipa. Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air pada tubuh Nagadipa.
Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga api ke tubuh Nagadipa. Begitu
banyaknya bunga api berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga Nagadipa
terguling-guling di pasir sambil memekik keras-keras. Ia menjadi kalang kabut
karena merasakan hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia berguling-
guling di pasir, maka yang seharusnya pakaiannya terbakar menjadi padam.
Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak segera berguling-guling.
Karenanya ia segera bangkit dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang
sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal itu. Namun ia masih
memperlihatkan kesigapannya dalam melawan Nagadipa.
"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan tenaga dalamnya gara-gara Racun
Birahi itu," gumam Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini dalam
melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia itu. Pasti hatinya tadi tergoda
birahi begitu memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak tergoda birahi, tidak
mungkin ia banyak melakukan kelengahan."
Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih puyeng saja?"
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.
Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan beristirahat, rasa pusingmu,
itu akan hilang."
"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu, Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana dulu."
Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah mendekati pertarungan yang tiada
habisnya itu. Suto digandengnya, dan langkah mereka tampak santai sekali. Suto
sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak membantu Bibi?"
"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan orang lain, sebab tugas utama
kita sebagai manusia adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah
diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh kita mengurus orang lain,
asal demi kebaikan. Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita
harus sudah siap menanggung akibat buruknya."
Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.
Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan Bidadari Jalang juga ikut
terhenti. Dengan wajah pucat Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak,
"Jangan ikut campur urusanku!"
"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan nonton pertarunganmu yang
bertele-tele. Kamu seperti anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-
jurus dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang bersamanya ke
padepokanku."
Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat
dari Kombang Hitam."
Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar ucapan itu. Namun ia terpaksa
harus melompat dan bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan ada hawa
panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.
Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi sasaran hawa panas itu.
"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.
Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya di depan Suto, dan hawa panas
yang mampu melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi berbalik arah menuju ke
pengirimnya. Nagadipa kaget mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis'
itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera menghindari pukulannya sendiri
itu, dan pukulan tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya sangat keras.
Air lautan bergolak bagai diguncang gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.
"Siapa kakek tua itu" Hebat sekali dia" Bisa menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja
sudah cukup hebat, apalagi bisa mengembalikan?"
* * * 8 "GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh penonton!" Kata-kata Bidadari
Jalang itulah yang membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat terbelalak
seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat pesan almarhum gurunya ketika masih
hidup. "Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan tokoh tua di rimba persilatan yang
bergelar si Gila Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan Gila Tuak.
Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang paling ganas di bumi ini!
Kesaktiannya tak sebanding denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si
Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, sehingga dia
dikenal dengan julukan Gila Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin
perkara dengannya...."
Nagadipa baru percaya betul dengan pesan
almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri kehebatan Gila Tuak yang mampu
menahan pukulan
'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.
Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak, nyalinya jadi ciut. Dan pada
waktu Bidadari Jalang berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa segera
menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat menyusuri tepian pantai.
"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil menarik-narik jubahnya
Gila Tuak. Bibir berkumis putih itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah
Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa atas kehadiran Gila Tuak,
yang membuat lawannya menjadi ketakutan.
"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"
"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai, seakan meremehkan kegeraman
Bidadari Jalang.
"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau pikir aku tidak tahu, kau telah
melancarkan pukulan jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa"!"
Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi menyelamatkan jiwamu," katanya
dengan kalem. "Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti akan habis dibinasakan oleh
Nagadipa. Aku tahu, kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa itu
karena Racun Birahi yang bersarang di dalam tubuhmu!"
Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun segera ia menarik napas, karena
menyadari kata-kata itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia menjadi
cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang tak begitu tinggi bobot tenaganya saja
ia bisa dibuat limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur secara
sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di tangan Nagadipa.
Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah cemas. Sekalipun ia sembunyikan
kecemasan tersebut namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila Tuak pun
berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di
pondokku saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang bocah tanpa pusar
ini, juga tentang penyakitmu itu."
Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat.
Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain. Kalau
saja ia ngotot dan tetap merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan
hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya ia tidak dalam keadaan
lemah, mungkin ia masih mau melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia
tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.
"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata Bidadari Jalang dengan wajah
masih ketus cemberut. Ia pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah kemudian
ia berhenti, memandang Suto yang diam saja, yang menatap aneh padanya. Sementara
itu, Gila Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam bagaikan patung.
Matanya menatap lurus kepada Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja
hal itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.
"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau digendong aku atau digendong kakek
tua itu?" kata Bidadari Jalang kepada Suto.
Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya
terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan tertiup angin malam pada
bagian depannya. Jaraknya berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari tempat
Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan agak ke depan dari Gila Tuak.
"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan hati dongkol. "Ditanya kok diam
saja" Apa kau bisu, hah"!"
Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto
tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah itu bergerak lebih
menjauhi Gila Tuak. Langkahnya kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan
Gila Tuak maupun Bidadari Jalang.
"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan suara datar.
"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita tidak berangkat bersama. Kau
akan larikan anak itu ke tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."
Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan nadanya, semakin curiga pula hati
Bidadari Jalang dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam memandang Gila
Tuak yang punya pandangan lurus ke depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan
penuh beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang mendekat kembali dan
berkata dengan mata menyipit ketus.
"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu" Jangan main-main denganku, Gila
Tuak!"

Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya,
"Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini, hah" Kenapa kau tidak segera bergerak untuk pergi?"
"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto Lekas...!" kali ini Gila Tuak
gemetar tangannya.
Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang Gila Tuak juga ikut
bergerak-gerak dalam getaran lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang
saat itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan dari hidung Gila Tuak.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang berkesan tegang di dalam
hatinya. "Seseorang telah menahan inti ragaku."
"Apa..."!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak harus berucap kata dengan
keras. "Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata dengan suara bisik yang amat
pelan. Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia
memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun bisa bergerak bebas. Tetapi
kedua kaki si Gila Tuak tak bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun
tak bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu menandakan Gila Tuak sedang
berusaha mengangkat salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti tertancap di
tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang memegangi dari dalam tanah.
Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak main-main itu, Bidadari Jalang
semakin tegang dalam keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan Gila Tuak.
Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser dari tempatnya berpijak. Gila Tuak
akhirnya menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan dalam yang cukup
besar. Kekuatan dorong kedua tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu
gua dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang berukuran sedang-sedang saja.
Anehnya, tubuh tua Gila Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya meliuk
sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah karet yang tertancap kuat di salah
satu dasar lantai.
"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam Bidadari Jalang dengan mata memandang
sekeliling, penuh kecurigaan.
"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal kekuatan gaib yang menahanku
bergerak ini?"
"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat dari tempat ini."
"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih pelan sekali suaranya, "Tapi tak
bisa melawan kekuatan ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam yang
kupakai tertahan kuat-kuat."
Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya memandang tajam ke arah semak
pantai, ke arah batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang tadi retak
dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan ke mana saja mata itu menatap tajam.
Namun ia tidak menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.
Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya memutar dan menendang dada Gila
Tuak dengan keras.
"Haiaai..!"
Buukk...! "Uhhg..."!" Gila Tuak mendelik karena terkena tendangan putar dari kaki Bidadari
Jalang. Tendangan itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun kali ini tak
mampu membuat tubuh tua itu bergeser dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit
meringis merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan keras.
"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa kau menyerangku, hah"!"
"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan bebas dari kekuatan yang menahan
kakimu." "Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"
Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi iba melihat Gila Tuak jadi
terengah-engah akibat menahan tendangan tadi.
"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram Bidadari Jalang. Ia masih sesekali
memandang berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu Gila Tuak. Lalu
tiba-tiba ia melompat pergi dalam kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh
mata telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir pantai menyebar ke mana-
mana, termasuk memercik ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru
meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan jenggotnya yang terkena percikan
pasir, dan akhirnya meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir pasir yang
masuk ke mulutnya.
"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan.
"Cuih, cuih...I"
Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip bambu kecil diputar-putarkan
dengan menggunakan tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar semak
pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di depan Gila Tuak dan menjauh lagi,
lalu mendekat kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu sudah berdiri
kembali di depan Gila Tuak dengan jubahnya melambai-lambai tertiup angin.
"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku sudah memeriksanya," kata
Bidadari Jalang.
Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas.
Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.
"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa yang berani mempermainkan aku
begini sebenarnya?"
Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.
Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua tangan. Tongkat itu bagaikan
sesuatu yang keras dan dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang
bergelayutan di salah satu dahan pohon.
"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya untuk mengangkat kedua kaki. Hingga
wajahnya memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat tubuh.
"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu menggempur bagian bawahnya," kata
Bidadari Jalang.
Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam
dilancarkan melalui tangan tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila
Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.
"Waoow...!"
Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan Gila Tuak turun kedua-duanya.
Tetapi tongkatnya masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu tiang
gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu tetap diam tak bergerak, sehingga
menimbulkan perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan ilmu Gila Tuak.
"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku.
Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin
dongkol pada Bidadari Jalang.
"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu dengan kekuatan penuh dan aku
akan mendongkel tanahnya."
Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala Gila Tuak itu kembali digunakan
sebagai pegangan kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan tenaga
untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang mengerahkan tenaga jarak jauhnya
untuk menghantam tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.
"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua tangan diarahkan ke depan, agak
bawah, dan dari telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur ke arah
tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila Tuak sendiri gemetar saat
menarik dirinya ke atas.
Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.
Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser sedikit pun.
Mereka saling menghempas napas dengan mata
beradu pandang. Angin malam masih berhembus mempermainkan jubah kedua tokoh
sakti itu. Rembulan di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada di
sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah Suto yang sejak tadi
tersenyum-senyum sinis, juga kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang,
"Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan menculik si Suto. Dengan
keadaan seperti ini, Gila Tuak tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari
Suto ke mana saja."
Belum sempat Bidadari Jalang melangkah
mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah
menghamburkan kata.
"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di sini mengalahkan kekuatan gaib
ini sendirian. Yang penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada yang
mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau kemana saja. Aku pasti bisa mencari
jejak kalian melalui tongkatku ini."
Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati perempuan yang rambutnya ikut
meriap-riap karena hembusan angin itu berkata-kata sendirian.
"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila Tuak bisa mencarinya
menggunakan tongkatnya.
Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil pada bocah itu dan
menyimpannya pada tongkatnya.
Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto, tongkat itu bisa menunjukkan di
mana raga Suto berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku untuk
menculik si Suto."
"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi.
Jangan diam saja!"
"Baiklah...!"
Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati Suto. Langkahnya biasa-biasa
saja. Namun, tiba-tiba di luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak
ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh Bidadari Jalang terpental
melayang sampai kira-kira tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat mata
si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia menatap Suto dengan mata sedikit
menyipit tajam.
"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari Jalang terpental sebelum menyentuh
tubuhnya. Edan!
Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila Tuak.
Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki,
"Bocah celeng! Landak bunting kau, ya" Kenapa kau menyerangku, hah"!"
Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.
"Kau ingin membunuhku, ya" Iya..."!"
Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan
tangan itu mampu ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba tangan
kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu hati Bidadari Jalang. Begg...!
"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga langkah dengan menggeloyor,
nyaris membentur tubuh Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin
membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri tegak, bagaikan seorang
jagoan yang tidak kenal mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan
kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi sikap bocah dan wajah kanak-
kanaknya. "Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus diberi pelajaran biar tidak
ngelunjak."
Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang
dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus dan keras. Cepat-cepat
tongkat si Gila Tuak menghantam tangan itu. Plokk...!
"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan.
Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat pukulan tongkat itu. Padahal
Gila Tuak menghantamkan tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun cepat.
Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam dari tubuh Gila Tuak. Barangkali
akan hancur jika pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu kali.
Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.
Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa ngilu, tapi juga sekujur
tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka"!"
"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia hanya seorang bocah," kata Gila
Tuak dengan suara rendah.
"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa dianggap enteng! Dua kali dia
nyaris membunuhku, Gila Tuak!"
"Itu bukan kekuatannya."
Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah, namun tak jadi. Ia segera
memandang Suto yang masih berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan
ia siap menunggu serangan lagi.
Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan,
"Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat.
Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya tak bisa bergerak begini.
Siapa orang yang telah mengendalikan bocah itu sebenarnya?"
Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang sebagian kemarahannya. Lalu, ia
berkata dengan suara pelan juga.
"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan, supaya kau bisa mengetahui, jurus-
jurusnya siapa yang dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai melukai tubuh bocah itu. Kau dan
aku akan menderita kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit karena
seranganmu."
"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.
Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila Tuak. Seakan ia mencari tempat
untuk bertarung dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap siap
menyerang atau bertahan.
"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari Jalang. Suto hanya diam dan
tersenyum sinis. Cukup lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot pandangan
mata seorang lelaki dewasa yang nakal.
Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal begitu. Namun ia berusaha
mengendalikan perasaannya agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.
"Katakan, siapa dirimu sebenarnya"! Karena kami tahu, kau bukan Suto!"
* * * 9 BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap menunggu serangan dari Bidadari
Jalang. Pada saat itu, Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab ia
ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto nanti. Ia pun yakin, kekuatan
aneh yang membuat kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti datang
dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila Tuak menggerutu sendiri.
"Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ada-ada saja
perintangnya! Bocah sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri.
Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti dia akan menguasai rimba
persilatan. Dia akan menjadi seorang pendekar tanpa tanding. Karena
keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel itu, telah mewarisi
kekuatan keramat, di antaranya ia tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-
ototnya pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan manusia sesat
dan dikuasai oleh orang-orang dari golongan hitam!"
Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap
dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi sepertinya ia merasa mempunyai
jenggot yang sedikit panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama senyum
orang dewasa yang dibawakannya.
Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tidak terlalu
berat ukurannya, Suto melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari
posisinya yang sedang bergerak turun itu dia menghentakkan kedua tangannya ke
depan, ke arah Bidadari Jalang.
Wooos...! Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan Suto. Hampir saja semburan itu
mengenai rambut Bidadari Jalang. Untung saja perempuan itu segera melompat ke
belakang dalam gerakan salto juga.
Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu berkata, "Edan! Itu jurus Tapak
Bromo"!"
Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari Jalang dari tempatnya berdiri.
"Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku, Nawang!"
Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang, firasat Nawang Tresni alias Bidadari
Jalang itu, mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang membahayakan. Agaknya si
Gila Tuak benar-benar mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka dengan
gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus menendang ke samping ke arah kepala
Suto, yang saat itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari Jalang
berusaha tiba di dekat Gila Tuak. Tendangan samping yang terbang itu meleset
pada sasarannya, karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat tubuh Bidadari
Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri Suto menghentak ke atas, dan tepat
mengenai paha Bidadari Jalang.
Plokk...! "Uuh...!" Bidadari Jalang tidak merasakan sakit, namun merasa kaget dan geli. Ia
seperti mendapat godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa.
Hatinya jadi berdesir dan deg-degan.
"Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"
"Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo'
tadi." "Dia mau memancing gairahku."


Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."
"Hah..."!" Bidadari Jalang terkejut. "Bukankah Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah
kau bunuh?"
"Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih penasaran ingin membalas dendam
atas kematian gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat Tanpa Nyawa
adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu
'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa disusupkan ke tubuh
seseorang dari jarak jauh, dan orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi
sasaran untuk melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau ikut campur
dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul
korban lain."
Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari Jalang membenarkan kata-kata
Gila Tuak itu di dalam hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu berkata,
"Pantas bocah itu mampu membuatku terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati
yang mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia bersembunyi" Sejak tadi tak
kulihat orang bersembunyi di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga
bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan Gila Tuak tidak berani
melukai atau membunuh Suto.
Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa punya perisai sendiri dalam
melakukan penyerangannya kepada Gila Tuak!"
Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada saat ia bertemu dengan Malaikat
Tanpa Nyawa dan Cadaspati di lereng Gunung Layon. Pertemuan para tokoh terjadi
di lereng gunung itu. Dari partai pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut
Uban, dari partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi Berdarah, dari partai
pertapa sakti diwakili oleh Resi Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di
wakili oleh Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat diwakili oleh Mahesa
Gincu, dan dari partai perampok diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu
didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun hadir termasuk Bidadari
Jalang dan si Gila Tuak.
Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan Tiga Pendekar Tibet itulah,
Bidadari Jalang bertemu dengan Cadaspati. Bertubuh kurus kering, rambutnya
panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya abu-abu, bersenjata cambuk tiga
lidah. Gerakannya begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum jika kali
ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak segesit belut putih. Tak heran juga
jika Suto sebentar-sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam raganya
adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang senang mengusap-usap jenggot kelabunya.
Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi melihat Suto kembali melancarkan
pukulan jarak jauhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk, tanpa wujud
serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis oleh Gila Tuak dengan memutarkan
tongkatnya di bagian depan. Pukulan itu terbuang ke samping, menghantam batang
pohon kelapa, membuat pohon kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah-
buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada yang berguguran ke tanah.
Benturan tenaga dalam yang sempurna dengan batang kelapa itu hanya
menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara.
Wuuugh...! Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti menghentakkan ujung tongkatnya
ke arah gundukan batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar
merah membara, meluncur menghantam
gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam bentuk sinar putih perak dan
menghantam tubuh Suto dari belakang.
Wesss...! "Uhhg...!" Suto tersentak ke depan. Mestinya jatuh tersungkur, namun ia begitu
lincah, hingga dapat berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah berhasil
berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Jleg...!
Kedua kaki bocah itu menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa yang kekar.
"He he he he...," kali ini Suto tertawa. Dan suara tawa yang mengekeh itu
semakin membuat Gila Tuak serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu
ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.
"Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai, Gila Tuak," katanya dengan suara
besar sedikit serak.
Jelas bukan suara Suto.
"Kalau kau memang masih menyimpan dendam padaku, hadapilah aku tanpa harus
menggunakan raga bocah itu."
"Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini supaya aku terlindung dan aku
bisa membuatmu hancur berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di tangan
bocah tanpa pusar" Ho ho ho ho.... Sekarang saatnya aku membalas dendam atas
kematian guruku!''
Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah duga. Ia sangka Gila Tuak
bisa mati di tangan bocah tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada
bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata apa pun dan oleh
pendekar mana pun. Kesalahpahaman itulah yang membuat Cadaspati begitu
semangatnya membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga Suto.
Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar keduanya. Gerakannya acak-acakan.
Tubuhnya berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia seperti bocah kesurupan. Suara
geram yang timbul dari mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.
Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung tongkatnya. Ujung tongkat
bagian bawah menancap di tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak
berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu hati. Posisi tongkat itu
sedikit miring ke depan. Kepala Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata.
Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke
tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang hadir saat itu bukan hawa
dingin dari laut, melainkan dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga
dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun segera memusatkan konsentrasinya
dengan merapatkan tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi telapak
tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun sedikit memejamkan matanya untuk
mengeluarkan hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya.
Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti bergerak gila itu. Kini kedua
tangannya terangkat ke atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan bocah
itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan lolongan kecil. Semakin lama, semakin
hadir mencekam udara dingin itu. Angin kencang dan guntur
menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya petirnya menyambar-
nyambar. Anehnya, rembulan tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya
petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Sepertinya kilatan cahaya petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak, namun
ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua bangka tersebut.
Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan gemetar serta pelan-pelan. Tangan
itu merapat di depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan keduanya ke
depan, terdengar seruan dari Suto.
"'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"
Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan, dan dari telapak tangan itu
memancarlah ribuan, bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum yang
membara itu mengerombol dan meluncur ke arah dada Gila Tuak. Dengan cepat si
Gila Tuak itu membuka telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan Gila
Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang memisah ke dua arah. Kedua bias
cahaya hijau itu membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum membara.
Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala itu bagai tertahan di udara, tak
bisa menembus maju.
Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias cahaya hijau itu begitu kuat
menekan gumpalan cahaya membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak
bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin membalik ke dirinya.
Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai berkeringat. Tangan kanannya yang
memancarkan dua bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi merah. Bidadari
Jalang melihat hal itu dengan tegang.
Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir masih berusaha melesat ke
arah Gila Tuak dan memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.
Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di tengah samudera menuju ke
tepian. Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan jarum membara semakin dekat dengan
telapak tangan Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian terdesak.
"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam telapak tangan Suto," pikir
Bidadari Jalang. "Maka cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam
telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang berbahaya. Gila Tuak
melancarkan Ilmu 'Pecah Raga', yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto
kalau tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu.
Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk
menyelamatkan raga Suto itu!"
Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari telapak tangan bocah tanpa baju
itu. Semakin mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak.
Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan bersalto beberapa kali
melewati kepala Gila Tuak dan Suto.
Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!
Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang Suto. Kemudian ia mengibaskan
jubahnya ke depan dan terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih
keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik-bintik serpihan mutiara yang
jumlahnya berjuta-juta.
Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera membungkus tubuh Suto tepat pada
saat sinar merah dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan sinar
hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu hentakan yang cukup kuat.
"Aaakh...!"
Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang, melainkan tubuh Bidadari Jalang
yang seolah-olah menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak.
Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali terpental terbang bagaikan kapas
terhembus angin.
Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya menjadi kecil.
Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih menaungi bagian belakang Suto.
Anak itu bagai terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini.
Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama kabut itu semakin mutlak
membungkus tubuhnya, hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung yang
amat transparan.
"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas kemarahan suaranya. Ia ingin
menghantamkan kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun sepertinya semua kekuatannya
teredam oleh kabut aneh tersebut.
"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku, hah" Kuhancurkan juga tubuh
jalangmu itu, Biadab!"
Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah, namun tak mampu melangkah
keluar dari gumpalan kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip
serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto menjadi terang. Suto
kelabakan mencari jalan keluar.
Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang belum bisa bergerak pula dari
tempatnya untuk bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di tangan
kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak di bagian dadanya. Makin lama kaki
Gila Tuak semakin jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu menjadi
merah sedikit demi sedikit. Merah membara bak serpihan logam panas.
Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari panjang. "Hiaaah...!"
Broolll...! Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah.
Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke belakang satu kali, dan segera
mendarat di tanah dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak terhempas
lega. Ia memandang bekas tempatnya berdiri masih tampak merah membara, sebagian
ada yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas tempatnya berdiri.
"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari penjaramu ini! Hoooi... Bidadari
Jalang, lepaskan kabut ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini,
Setan!" Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke sana, di mana Bidadari Jalang
tampak kecil dan sedang berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera mendekati
Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil kehadiran Cadaspati. Mata Suto
memandang tajam pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu untuk membunuh.
"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian ini," kata Gila Tuak. "Selubung
Kematian ini akan membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa tulang lagi. Ini
jurus simpanan Bidadari Jalang yang jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam
keadaan terpepet."
"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Suto. "Kalian
tidak mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi kering dan mati
tanpa tulang. Cepat atau lambat, kalian pasti akan segera membebaskan aku."
Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun napasnya mulai reda. Ia tetap
kelihatan tenang dan berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu
tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah itu
lebih lama lama. Aku akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam
tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni bocah tanpa pusar ini,
sehingga kekuatan ilmu itu akan menjadi miliknya."
"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel dan ketakutan. Matanya
membelalak tajam, ingin melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa
berbuat itu. Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan oleng, seperti orang mabuk.
Makin lama makin dekat, makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya.
Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak,
sudah pasti tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga mempunyai pukulan
jenis 'Pecah Raga', yang bernama
'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena rongrongan Racun Birahi
dalam tubuhnya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"
"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu
"Pecah Raga?"
Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa menghancur leburkan tubuh Suto?"
"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan tinggal diam. Kau pasti tahu
bahayanya ilmu itu, namun kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan
lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku yakin, kau akan segera
bertindak menyelamatkan tubuh bocah itu."
"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari Jalang. ''Kau memancingku
untuk menjadi umpan, ya?"
"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah Selubung Kematianmu itu. Akan
kucungkil ilmu 'Inti Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga Suto.
Aku sudah bebas bergerak."
"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa
Sunat!" "He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang harus sedikit dirubah begitu.
Karena sebentar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"
"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli.
"Jadi, memang pantas kau berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi
hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya.
Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin
gusar. Ada perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama membuatnya kian
terengah-engah.
"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu sebelum membahayakan raga Suto. Aku
akan bersiap mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"
"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kematian, cepat cungkil
ilmu itu dari raga Suto."
"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip Cadaspati. "Aku mempunyai suatu
gagasan yang baik."
"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.
"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari
Selubung Kematian ini.
Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah kalian."
"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya lagi. "Mana ada seekor kuda
menuntut pakaian, mana ada hati durjana mengenal perdamaian"! Tipu muslihatmu
sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak mampu lagi orang terjerat. Janjimu
itu ibarat asap kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa sesajian. Aku dan
adik seperguruanku ini tidak punya pilihan lain."
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian," bujuk
Cadaspati. "Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak.
"Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena aku sudah punya keputusan yang
tak bisa diganggu gugat lagi."
Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu, Bidadari Jalang habis menyapu
sisa darah yang meleleh di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan,
Nawang...!"
"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik keras-keras. Itu pertanda
Cadaspati sangat ketakutan.


Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya, ia menenggak habis sisa tuak
yang ada di dalam tongkat itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam
mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari
Jalang dengan menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan
jubahnya ke depan, dan kabut berbintik-bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke
dalam jubah ungunya.
Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan tuak yang ada di dalam mulutnya ke
arah Suto. Brusss...! "Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun tegak. Keras seluruh uratnya.
Menyeringai wajah bocah itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah
dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan agak putih. Cahaya itu melesat
terbang, dan dengan hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke atas.
Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat yang terbuka tutupnya itu.
Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar dari kunang-kunang itu
tersedot ke dalam tabung tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi,
tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu kuat. Maka, cahaya kuning
tipis itu tersedot masuk, dan Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!
Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu terperangkap masuk di dalam
tabung tongkat. Kini keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai bocah
berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar.
Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar.
Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut. Makin besar
makin tertutup kulit dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan tahun,
perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang tali pusar.
"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang.
Si Gila Tuak menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus menyelamatkan anak
ini dulu ke tempat yang aman."
Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis tertidur?" tanyanya kepada
Bidadari Jalang. Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.
"Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."
Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-senyum dan mengusap-usap kepala
Suto yang ditumbuhi rambut hitam yang cukup lebat.
"Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendekar
tanpa tanding, Suto."
"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lantas, untuk apa aku
jadi pendekar kalau tidak punya tandingannya?"
Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari
anak itu. Maka, Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau menjadi
pendekar cinta saja?"
"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil, Nawang!" sentak Gila Tuak.
Tetapi pada saat itu ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi pendekar
cinta, Bi. Aku mau...!"
"Hei, kenapa kau mau"!" sentak Gila Tuak lagi.
"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa cekikikan dengan malu.
Bidadari Jalang pun tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam
gerutunya, "Dasar bocah sinting!"
Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di rimba persilatan yang namanya
cukup menggetarkan jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.
Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu"
SELESAI Ikuti kisah petualangan Suto Sinting selanjutnya!!!!!
Serial Pendekar Mabuk
Dalam episode: PUSAKA TUAK SETAN
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Makam Bunga Mawar 23 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Pendekar Mata Keranjang 8
^