Pencarian

Cambuk Getar Bumi 1

Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izintertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 LANGIT bergemuruh bagai mau rubuh. Kilatan
cahaya petir menyambar mega demi mega, menembus
awan hitam dan mengguncangnya sesaat. Gemuruh
guntur itu disertai deru angin membadai yang datang
dari selatan. Hembusan angin begitu kencangnya hingga
membuat pucuk-pucuk pohon meliuk tajam seakan ingin
menyentuh bumi.
Seorang pemuda berpakaian celana putih dan baju
coklat tanpa lengan mempercepat langkahnya. Pemuda
berwajah tampan yang punya rambut lurus sebatas
pundak itu mencari tempat untuk berlindung, karena ia
tahu alam sebentar lagi akan diguyur air hujan dengan
lebat. Bumbung bambu masih digantungkan di
pundaknya. Bumbung itu adalah tempat menyimpan
tuak yang punya khasiat luar biasa baginya. Pemuda
penyandang bumbung tuak itulah yang dikenal dengan
julukan Pendekar Mabuk, Suto Sinting, murid dari tokoh
saktiternama; si GilaTuak dan Bidadari Jalang.
Mendekati sebuah gua, Suto Sinting terpaksa
hentikan langkahnya. Dahinya berkerut pertanda punya
perasaan heran pada saat itu. Ia menelengkan kepala
untuk menangkap sebuah suara dengan jelas. Lalu suara
itu berhasil didengarnya dengan samar-samar.
"Tolooong...!"
"Ada orang yang berseru mintatolong," pikirnya.
"Tolong...! Tolong...!"
"Hmm... arahnya di sebelah barat?" gumam Suto
seraya cepat bergegas ke barat. Tapi sampai di barat ia
berhenti lagi dan sedikit bingung, karena suara itu
terdengar lagi dari arah timur.
"Tolooong...!"
"Suara perempuan itu dari arah timur" Tapi tadi
kudengar dari arah barat" Mana yang benar"!" Suto
sedikit menggerutu, matanya memandang ke timur dan
ke barat bergantian. Pendengarannya kian dipertajam.
Lalu ia menemukan kesimpulan dalam hatinya.
"Ooo... yang kudengar dari barat tadi adalah pantulan
gemanya. Dinding bukit itu yang membuat suara
memantul sehingga membingungkan diriku! Suara minta
tolong itu pasti daritimur!"
Pendekar Mabuk bergegas ke arah kerimbunan hutan
di sebelah timur. Hembusan angin membadai sedikit
reda. Agaknya hujan tak jadi datang. Langit mendung
mulai terbuka, awan hitamnya berarak-arak pindah ke
utara. Di sebelah timur, di tengah kerimbunan hutan yang
tak begitu lebat, ternyata ada sebuah telaga berukuran
tak seberapa besar. Pendekar Mabuk tiba di tepi telaga.
Seorang wanita cantik menjerit kaget.
"Aaauh...!"
Perempuan itu terkejut melihat kemunculan Suto
Sinting. Tubuhnya yang terendam air sebatas leher
seakan ingin semakin dibenamkan. Perempuan itu
rupanya sedang mandi di telaga tersebut seorang diri.
Rambutnya yang lurus selewat pundak itu tampak basah
kuyup. Matanya yang membelalak indah itu menatap
Suto dengan marah.
"Jangan mendekat! Pergi! Pergi! Jangan mendekat
kemari!" Suto jadi serba salah, ia berkata, "Aku mendengar
suara jeritan orang meminta tolong, karenanya aku
datang kemari, Nona!"
Perempuan muda yang memang masih pantas
dipanggil Nona itu berseru dari kedalaman air telaga,
"Itu jeritanku. Tapi... tapiaku menjerit bukan untukmu!"
"Tapi di sini tak ada orang lain kecuali kita berdua,
Nona!" "Bohong!" sentaknya, ia bersungut-sungut. Bahkan
sekarangmenjerit lagi, "Tolooong...!"
"Husy!" sentak Suto sedikit menahan geli di hati.
"Tak perlu menjerit. Aku akan menolongmu!"
Gadis itu menatap sedikit ragu. Tubuhnya masih
direndam dalam air telaga sampai batas leher, hingga
yangterlihat hanya kepalanyasaja.
"Kau... kau benar-benar mau menolongku" Bukan
mau memperkosaku?"
"Aku bukan orang sejahat itu, Nona."
"Kalau kau bukan orang jahat, tolong carikan
pakaianku."
"Apa...?" Suto agak kaget, matanya memandang
gadis yang merendam diri sebatas leher itu.
"Carikan pakaianku!" sentak gadis itu dengan
jengkel. "Pakaianku hilang. Tadi kutaruh di bebatuan
situ, ketika aku menyelam dan muncul lagi, ternyata
pakaianku sudah tidak ada. Aku bingung, tak berani
keluar dari air."
Sambil menahan geli Suto Sinting tersenyum dan
palingkan wajah ke arah lain. Pikirnya, "Pantas dia
merendam diri sampai batas leher, rupanya ia tidak
mengenakan pakaian apa-apa" Hihi hihi...! "
"Hei, kenapa kau senyum-senyum" Cari pakaianku.
Lekas!" bentak gadis itu.
Suto memandang dalam keceriaan yang berseri,
memperlihatkan daya pikat dari ketampanan dan
kegagahannya. Gadis bertahi lalat di tepi bibir atas
sebelah kiri itu semakin cemberut, bicaranya keras,
membentak lantang,
"Jangan bengong saja di situ! Caripakaianku, Tolol!"
"Kalau kau membentak-bentakku, sebaiknya aku
pergi saja dan silakan cari pakaianmu sendiri!" Suto
berpura-pura ingin pergi.
"Tunggu!" teriak gadis itu. "Baiklah, aku tidak
membentakmu lagi," suaranya mereda. "Tolonglah,
carikan pakaianku, nantikuberi upah."
"Apa upahnya?"
"Akan kuajarkan padamu sebuah jurus yang jarang
dimiliki orang."
Senyum Pendekar Mabuk melebar. "Jurus apa itu?"
"Jurus pukulan 'Malaikat Rela'," jawab gadis itu
dengan suaranyayang selalu keras dan bening.
Suto sempat tertawa dalam gumam. "Lucu sekali
nama jurus itu."
"Jangan menertawakan. Kalau kau tahu kehebatan
jurus itu kau akanterbengong-bengong!"
"Apakehebatannya?"
"Pukulan 'Malaikat Rela' dapat merobohkan delapan
pohon dalam satu kali hentakan. Jika dilepaskan kepada
lawanmu, dia akan tumbang setelah bernapas tiga kali.
Percayalah, jurus itu tak ada yang memiliki kecuali
diriku. Maka carilah pakaianku dan kau akan kuajarkan
jurus tersebut! Cepat, cari! Aku kedinginan merendam di
sini terlalu lama."
"Baiklah. Tapi sebutkan dulu namamu, kalau nanti
kau ingkar janji aku bisa mencarimu ke mana saja kau
lari!" "Ah...!" gadis itu mendesah dengan bersungut-sungut,
tapi akhirnya menjawab juga apa yang ditanyakan Suto
tadi. "Namaku... Putri Kunang, murid si Dewa Sengat."
"Putri Kunang?" gumam Suto sambil berkerut dahi.
"Cantik juga namamu itu."
"Sudahlah, jangan memujiku dulu. Yang kubutuhkan
saat ini bukan pujian tapi pakaian. Kau dengar"
Pakaian!" Sambil tertawa kecil Suto Sinting mencari pakaian
gadis cerewet itu. Ia berkeliling sekitar telaga,
menerobos semak belukar, menyingkap kerimbunan
ilalang yang tumbuh tak jauh daritempat sekitar telaga.
Tapi pakaian itu tidak ditemukan juga oleh Suto. Dari
semak-semak bawah pohon Suto berseru,
"Apa warna pakaianmu?"
"Mungkin hijau!" jawab Putri Kunang.
"Kenapapakaikatamungkin?"
"Sebab aku tak bisa membedakan warna hijau dan
warna merah."
Suto tertawa. "Sayang sekali, gadis cantik-cantik
sepertimutapibuta warna."
"Jangan mengecamku, carilah pakaian itu!" sentak
Putri Kunang. Sambil menggerutu Suto masih mencari pakaian
gadis itu. Tapi sampai beberapa saat lamanya, ia belum
temukan juga pakaian si gadis. Tak ada selembar kain
pun di sekitar telagatersebut.
"Siapa yang usil kepada gadis cerewet itu" Pakaian
dibawa kabur, pemiliknya ditinggalkan saja di telaga,"
kata Suto dalam hati. "Bikin repot diriku saja kalau
begini! Uuuh...! Jangan-jangan dia datang kemari tanpa
pakaian?" Pendekar Mabuk menjadi jengkel sendiri dalam
hatinya. Pakaian itu memang tak ada. Dugaan Suto,
seseorangtelah membawanya lari jauh daritelaga. Maka
Suto pun naik ke atas pohon dengan sentakan kecil kaki
kirinya. Suuut...! Ia gunakan ilmu peringan tubuhnya
hingga mencapai dahan di atas pohoh. Matanya
memandang alam sekitar. Tak ada orang di sana-sini.
Hutan itu sepitanpa gerakkan apa pun kecuali hembusan
angin yang menggoyang dedaunan.
"Bagaimana"!" seru Putri Kunang. "Apakah
pakaianku sudah kautemukan?"
"Tak ada di mana-mana!" teriak Suto dariatas pohon.
"Pasti dibawa lari oleh seseorang! Carilah orangnya,
baru kau akantemukan pakaianku!"
"Tak ada orang di sekitar sini! Di sebelah sana juga
tak ada!" Suto Sinting melompat turun dari ataspohon. Jleeg...!
Ia mendarat tepat di tepi telaga, di depan mata Putri
Kunang. "Dasar bodoh! Percuma punya wajah tampan kalau
cari pakaian saja tak becus!" omel Putri Kunang.
Tubuhnyamasihterendam di air sebatas leher.
"Ke mana lagi aku harus mencari jika memang tak
ada di sekitar sini" Mungkin seseorang telah mencurinya
dan membawanyalari entah kemana."
Putri Kunang menggerutu tak jelas sambil bersungut-
sungut. Suto Sinting masih berpikir sambil memandang
ke sana-sini. Ia menenggak tuaknya sebentar, lalu
kembali melangkah mengitari telaga sambil
mempertajam penglihatannya ke semak-semak, siapa
tahu pakaian itu dikembalikan oleh pencurinya secara
diam-diam. Tapi sampai langkah Suto kembaliketempat
semula, ia tetap tidak menemukan pakaian si gadis
cantik yang cerewet itu.
Tiba-tiba sekelebat anak panah melesat dengan cepat
ke arah kepala Putri Kunang. Panah itu datang dari
belakang kepala si gadis. Suto Sinting terperanjat dan
cepat berkelebat bagaikan terbang. Wuuuttt...! Taab...!
Anak panah itu disambarnya dan kini berhasil berada di
genggaman tangan Suto Sinting. Kaki Suto terpaksa
menapak pada selembar daun yang mengambang di
permukaan air di belakang Putri Kunang.
"Ada apa"!" suara Putri Kunang tampak tegang, ia
terkesiap ketika melihat Suto menggenggam anak panah
berbulu merah bagian pangkalnya.
"Panah siapa itu"!" Putri Kunang setengah
menyentak. "Kau ingin membunuhku pakai anak panah
itu, ya"!"
"Seseorang telah melepaskan anak panah ini ke
arahmu! Aku menyambarnya, bukan mau
membunuhmu!" kata Suto dengan jengkel, dan kakinya
yang kiri itu segera menyentak lembut di atas permukaan
daun mengambang, lalu tubuhnya melesat ke darat
sambil masih pegangi anak panah itu. Wuuttt...! Jleeg...!
Mata Suto segera memandang ke arah datangnya
anak panah. Kerimbunan dedaunan pohon sukun
menjadi pusat perhatian Pendekar Mabuk, ia yakin ada
seseorang di atas pohon sukun yang berdaun lebar dan
rimbun itu. Maka, ia pun segera melemparkan anak
panah itu ke batang pohon.
Wuuttt...! Duaaarrr...! Anak panah menancap di batang pohon, lalu meledak
menimbulkan guncangan, hebat. Pohon sukun itu
bagaikan ingin tumbang. Lalu seseorang jatuh dari atas
pohon dengan teriakan ketakutan.
"Woaaawww...!"
Bruukkk...! Tenaga dalam tinggi yang disalurkan Suto melalui
anak panah itu berhasil membuat orang yang
bersembunyi di atas pohon terkapar di tanah tepi telaga.
Tetapi pada saat itu yang ada dalam hati Putri Kunang
adalah kecamuk batin yang berbeda dengan kemunculan
orang dari atas pohon itu.
"Si tampan itu ilmunya lumayan juga" Dia bisa
bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Dan bisa
berdiri di atas daun yang mengambang di air. Dia bisa
salurkan tenaga dalamnya pada anak panah itu, sehingga


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ledakannya mengguncang pohon begitu hebatnya.
Hmm... siapadia sebenarnya?"
Tetapi hati Suto justru menanyakan orang yang
sedang mengerang kesakitan sambil memegangi
pinggangnya. "Siapa orang ini" Mengapa mau
membunuh Putri Kunang" Apakah dia pencuri pakaian
si gadis cerewet itu?"
Sedangkan lelaki yang jatuh dari atas pohon itu
berkata dalam hati,
"Berapa ketinggian tempatku jatuh ini" Mengapa
tulang punggungku jadi seperti patah begini" Ternyata
sangat tak enak jatuh dalam keadaan telentang. Lain kali
aku harus punya cara jatuh yangnyaman!"
Suto Sinting menghampiri lelaki berusia sekitar tiga
puluh lima tahun yang berpakaian serba hitam tapi
mengenakan ikat kepala merah itu. Busur panahnya
patah karena tertindih badannya. Sisa anak panah di
punggung menjadi berantakan, dua batang anak panah
ada yang patah juga. Pendekar Mabuk segera
mencengkeram baju orang itu dan menariknya ke atas,
sehingga orang itu menjadi berdiri dengan sangat
terpaksa. "Kembalikan pakaian gadis itu, atau kutenggelamkan
kau ke dasar telaga"!" ancam Suto dengan tegas.
"Ak... aku... aku tidak mencuri pakaiannya!" kata
orangtersebut. "Lalu mengapakau mau membunuh gadis itu dengan
panahmu?" "Ak... aku... aku hanyadisuruh!"
"Siapa yangmenyuruhmu"!"
"Seseorang."
Suto memperkuat cengkeramannya, menarik tubuh
orang pendek itu lebih mendekat ke wajahnya.
"Sebutkan namanya! Sebutkan siapa yang
menyuruhmu!"
"De... de... Dewa Sengat!"
"Bohong!" teriak Putri Kunang dari permukaan air
telaga. "Dewa Sengat adalah guruku. Tak mungkin dia
suruh kau membunuhku!"
Tiba-tiba melesatlah kilatan benda bercahaya putih
karena pantulan sinar matahari yang mulai bebas dari
mendung itu. Ziing...! Jraab...!
"Uuhg...!"
Orang berpakaian serba hitam itu mendelik.
Mulutnya keluarkan darah sedikit, lalu ia rubuh tak
bergeming selamanya. Suto Sinting dan Putri Kunang
terperanjat. Rupanya seseorang telah membunuh orang
berpakaian serba hitam itu dengan senjata rahasianya
yang amat beracun. Senjata rahasia itu menghantam
punggung kiri dan tembus sampai merobek jantung.
Tentu saja orang itu melakukan hal demikian supaya
sebuah rahasia tetap terjaga dan tidak bocor dari mulut
orang berpakaian hitam itu.
Pendekar Mabuk segera melesat cepat mengejar
orang yang menghilang di balik kerimbunan semak
sebelah timur. Rasa penasaran membuat Suto ingin
mengetahui siapa orang yang menyuruh si pemanah
untuk membunuh Putri Kunang. Tetapi agaknya orang
yang melemparkan senjata rahasia itu punya tempat
khusus untuk bersembunyi dan selamatkan diri, sehingga
Suto tidak berhasil temukan orang tersebut, ia pun
bergegas kembali ketelaga.
Tetapi sesampainya di telaga Suto Sinting terperanjat
melihat gadis cerewet itu sudah tidak ada di sana. Ia
kebingungan mencari dengan pandangan matanya.
Telagatelah sepitanpakepalaPutriKunang.
"Apakah dia tenggelam atau menyelam?" pikir Suto.
Tetapi begitu melihat mayat orang yang melepaskan
panah tadi ternyata sekarang dalam keadaan telanjang
tanpa pakaian, maka Suto makin yakin bahwa Putri
Kunang telah keluar daritelaga dan pergi entah ke mana
setelah melepasi pakaian mayat itu.
Dengan senyum geli Suto membayangkan saat gadis
cerewet itu keluar dari permukaan air sendang dalam
keadaan tanpa busana, lalu mendekati mayat itu,
melepasi pakaiannya, dan mengenakan pakaian si mayat
dengan tergesa-gesa, lalu pergi meninggalkan telaga.
Mayat sedikit gemuk itu dibiarkantelanjang.
"Kurasa ia belum jauh dari sini!" kata Suto bagai
bicara pada diri sendiri.
Maka Suto Sinting pun segera bergegas mengejar ke
arah selatan, karena ia melihat tanah yang menuju arah
selatan tampak basah. Berarti tetesan air dalam tubuh si
gadis adalah jejak yang harus ditujunya. Dan ternyata
dugaan Suto Sinting itu memang benar. Putri Kunang
yang bertubuh langsing itu sedang berlari dengan
sebentar-sebentar jatuh tersungkur dan bangun lagi,
jatuh lagi, bangun lagi, berlaridengan tersendat-sendat.
Wuuttt...! Suto Sinting melintasi kepalaPutri Kunang
dalam gerakan bersalto tiga kali. Tahu-tahu ia sudah
berdiri menghadang di depan langkah gadis itu. Si gadis
hanya menghela napas menahan kejengkelannya. Tetapi
Suto Sinting tertawa kecilmelihat pakaian gadis itu.
"Jangan tertawa!" hardik gadis itu. "Kurasa memang
lebih baik aku mengenakan pakaian mayat itu daripada
harus berendam di dalam telaga sampai esok pagi!
Sayang sekali pakaian ini terlalu sempit untukku,
padahal mayat itu lebih gemuk daritubuhku."
"Tentu saja agak sempit," kata Suto. "Kau tergesa-
gesa, sehingga kedua kakimu masuk dalam satu lubang
kaki celana itu!"
Putri Kunang kaget, memperhatikan celana hitam
yang dipakainya, ia semakin kaget lagi dan menggumam
jengkel. "Astaga! Benar-benar pikun aku ini!"
Putri Kunang akhirnya menahan tawa geli melihat
kedua kakinya masuk dalam satu lubang kaki celana,
sedangkan lubang kaki yang satunya kosong tanpaterisi
kakikiri si gadis.
"Pantas gerakanku sangat terbatas dan sebentar-
sebentar tersendat jatuh," gumamnya di sela tawa.
Sementara itu Suto meski ikut tertawa tapi matanya lebih
tertuju pada wajah si gadis yang sungguh cantik pada
saat tertawa. "Pergilah ke semak-semak sana, dan betulkan
pakaianmu," ujar Suto seraya membuka tutup bumbung
tuaknya, ia menengak tuak itu beberapa teguk ketika
Putri Kunang pergi ke semak-semak dan membetulkan
celananya. Kejap berikutnya gadis itu telah kembali
dengan pakaian lebih rapi dari sebelumnya. Kini kakinya
masuk dalam lubang kaki celana sebagaimana mestinya.
Celana itu mengatung, karena tinggi tubuhnya melebihi
tinggitubuh mayat sipemanah.
"Kurasa orang yang membunuh si pemanah itulah
yang mencuripakaianmu."
"Kalau tidak dia, ya si pemanah sendiri. Pedangku
juga ikut hilang dicurinya! Kurang ajar betul dia! Aku
akan kembali mencaripakaiankuyang sebenarnya!"
Gadis itu kembali ke telaga. Suto Sinting diam
sebentar, mempertimbangkan diri apakah perlu
mengikuti gadis itu atau meninggalkannya" Dalam
keadaan diam berpikir, mendadak muncul sekelebat
benda dari arah samping kirinya.
Wuuuttt...! Seettt...! Tab!
Sebuah pisau bergagang hias bulu merah ditangkap
oleh gerakan cepat tangan Suto. Pisau terbang itu
terselip di sela jari Suto dan dijepitnya kuat-kuat. Mata
Pendekar Mabuk segera menatap semak-semak yang
dicurigainya. Maka, dengan gerakan cepat Suto Sinting
melemparkan pisau itu ke arah semak-semak sambil
merendahkan badan. Wuuuttt...! Zlaappp...!
Gusrak...! "Aauh...!" suara orang terpekik terdengar jelas dari
semak-semak itu. Kejap berikutnya muncullah seraut
wajah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan
seringai kesakitan, ia melangkah dengan sempoyongan.
Rupanya betis orang itu terkena lemparan pisau dari
Pendekar Mabuk tadi. Orang berpakaian biru tua itu
memaki dalam gerutuan. Matanya memandang tajam
penuh kemarahan, ia berusaha mencabut pisau terbang
yang dikembalikan Suto dengan seringai sakit yang
membuat wajahnya bagaikan terkumpul di tengah
hidung. Sleeb...! Pisau berhasil dicabut. Ketika ingin
dilemparkan kembali ke arah Suto Sinting, tiba-tiba
terdengar suara seseorang berseru dari balik pepohonan
yangtumbuh dengan rapat. "Tahan...!"
Orang berpakaian biru itu tak jadi lepaskan lemparan
pisaunya. Kejap berikutnya muncul seraut wajah tua
yang usianya sekitar lima puluh tahun dengan rambut
pendeknya mulai ditumbuhi uban. Orang bersenjata
pisau lebar di pinggang kanan kirinya itu mengenakan
pakaian hijau tua dengan tubuhnya yang tergolong
gemuk, kumisnyatebal dan matanya lebar, angker.
Suto Sinting berdiri tegak dengan bambu tuaknya ada
di tangan kanan. Sikapnya menampakkan diri sebagai
orangyang siap menghadapi lawan dengan caraapapun.
Namun wajahnya masih tampak ramah, tenang, dan
penuh waspada. "Kau pasti yang bernama Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk itu!" geram orang berbaju hijau tua itu.
"Benar. Memang akulah yang bergelar Pendekar
Mabuk. Lalu, kalian sendiri siapa" Dan mengapa
memusuhiku?"
"Rupanya kau belum mengenal kami, Bocah Sinting!
Kami adalah orang-orang Lereng Iblis yang disegani
paratokoh di rimba persilatan ini!"
"Aku memang pernah mendengar nama Lereng Iblis,
tapi tidak pernah merasa segan," kata Suto membuat si
baju biru yang terluka kakinya itu menjadi marah, ia
segera melemparkan pisau ke dada Suto. Wuuttt...!
Suto Sinting menangkis dengan gerakkan tangan
kanan ke dada, dan pisau itu membentur bumbung
bambu tuaknya. Traang...! Pisau itu membalik arah
dengan gerakan lebih cepat lagi. Untung si baju biru
dapat bergerak lebih cepat juga, sehingga pisau yang
memantul balik itu tidak mengenaitubuhnya melainkan
menancap di pohon belakangnya. Jruub...!
Kedua orang Lereng Iblis memandang heran melihat
pisau itu menancap di batang pohon dengan kuat,
seluruh mata pisau terbenam di kayu jati itu hingga
tinggal bagian gagangnya saja yang tampak dari luar
batang pohon. "Pisau itu seperti menancap di batang pohon pisang
saja?" pikir si baju hijau. "Pasti bambu tuaknya
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu
menerbangkan pisau dengan kekuatan tinggi. Hmmm...
kalau begitu aku harus hati-hati dengan bambu tuaknya
itu." "Lalu apa keperluan kalian sehingga menyerangku
dari belakang?" tanya Suto.
"Jangan berlagak bodoh! Semua orang tahu bahwa
kau telah berhasil membunuh Bandar Hantu Malam.
Dengan begitu kau pasti telah memiliki pusakanya yang
bernama Cambuk Getar Bumi itu! Kami dari Lereng
Iblis merasa terhina, sebab cambuk itu sebenarnya milik
ketua kami yang dicuri oleh Bandar Hantu Malam! Jadi,
kalau kau masih ingin menikmati sisa hidup yang masih
panjang itu, sebaiknya serahkan saja kepada kami
pusaka Cambuk Getar Bumi itu."
Pendekar Mabuk justru sunggingkan senyum tipis, ia
berkata dengan tenang.
"Kalian salah dengar. Yang berhasil kutumbangkan
bukan Bandar Hantu Malam yang asli. Yang
kutumbangkan adalah Dampu Sabang, adik seperguruan
Bandar Hantu Malam yang asli. Dampu Sabang sengaja
mengaku sebagai Bandar Hantu Malam dan membuat
keonaran di mana-mana, supaya nama Bandar Hantu
Malam yang sudah bersih itu menjadi tercemar kembali.
Jadi, sebenarnya kalian salah duga. Jika ada seseorang
yang melihat atau menemukan mayat Bandar Hantu
Malam, sebenarnya mayat itu adalah mayat Dampu
Sabang. Sedangkan Bandar Hantu Malam yang bernama
asli Ki Randu Papak itu masih hidup dan bermukim di
pondoknya, di Gunung Keong Langit. Kalau kalian tak
percaya, silakan memeriksanyakepuncak gunung itu!"
Si baju biru mencibir sinis, tak percaya dengan
penjelasan Pendekar Mabuk. Sedangkan Pendekar
Mabuk membayangkan peristiwa pertarungan Bandar
Hantu Malam dengan Dampu Sabang, yang pada
akhirnya ia turun tangan serta berhasil menumbangkan
Dampu Sabang. Tokoh sesat itu menjadi debu, dengan
begitu semestinya tak ada orang yang bisa temukan
mayat Dampu Sabang sehingga menganggap mayat itu
adalah Bandar Hantu Malam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode:"Bandar Hantu Malam").
Tetapi si baju hijau itu agaknya masih ngotot dan
berkata, "Kau tak bisa membohongiku, Bocah Tolol!
Kau tak bisa menipu kami, karena kami pernah
berhadapan dengan Bandar Hantu Malam dan mengenal
betul wajah orang itu. Sekarang kami tahu bahwa orang
itu telah mati, sebab tiga orang kami menemukan
mayatnya dalam keadaan lukamemar parah sekali."
Penjelasan itu lama-lama membuat Suto Sinting
kerutkan dahi. Ia curiga dengan penjelasan itu. "Jangan-
jangan Bandar Hantu Malam yang asli memang sudah
mati" Merekatampak yakin sekali akan hal itu."
"Tak perlu banyak berpikir!" kata si baju biru dengan
suara keras. "Serahkan saja pusaka Cambuk Getar Bumi


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kepada kami, dan kau akan selamat dari murka
orang-orang Lereng Iblis!"
"Aku tidak tahu menahu tentang cambuk itu!" kata
Suto agak bingung.
"Paksa dia! Jangan buang-buang waktu!" geram si
baju biru yang terluka kakinya. Meski wajahnya mulai
pucat karena racun pada ujung pisaunya sendiri itu, tapi
dia masih kelihatan sangar dan garang.
"Kuhitung sampai tiga kali kalau kau tak serahkan
cambuk itu, kau akan kukirim ke neraka secepatnya!"
gertak si baju hijau.
"Berhitunglah sampai seribu kali, aku tetap tak akan
serahkan cambuk itu, karena aku memang tidak tahu
menahu tentang cambuk tersebut!" kata Suto.
"Bangsat! Heaah...!" si baju biru menyerang dengan
jurus tangan kosong yang melepaskan selarik sinar
merah lurus ke dada Suto Sinting.
Pendekar Mabuk tak menyangka orang itu yang akan
menyerangnya, ia segera melompat ke atas, suutt...!
Menghindari sinar merah itu. Tetapi ujung bambu
tuaknyaterkena sinar merah yang segera membalik arah,
membias ke samping dan sinar itu bergerak lebih cepat
serta lebih besar, menghantam dada si baju hijau dengan
telaknya. Blaarr...! Asap hitam mengepul tebal. Membungkus orang
berkumis tebal yang tidak menduga akan terkena
serangan balik dari sinar merah milik temannya. Di
dalam asap tebal itu terdengar suara mirip pohon rubuh.
Bruugk...! Ketika asap menipis tampak tubuh si baju
hijau terkapar di rerumputan. Seluruh pakaiannya
menjadi abu karena hangus, sekujur tubuhnya hitam,
matang. Rambutnya habis terbakar oleh ledakan sinar
merah temannyatadi.
"Gobang"! Gobaaang..."!" si baju biru mengguncang-
guncang tubuh mayat yang terbakar hangus oleh
jurusnya sendiri tadi. Ia tampak menyesal dan amat
sedih melihat temannya mati terkena sinar merahnya.
Kesedihan itu membuatnyakian murkakepadaPendekar
Mabuk. "Jahanam kau!" geramnya. "Kau telah membunuh
Gobang, sahabatku yang paling setia ini! Kubalas
kematiannya dengan merenggut nyawamu, Bocah
Sinting!" "Hei, tunggu...! Bukan aku yang membunuhnya,
melainkan kau sendiri! Diaterkenasinar merahmu tadi!"
"Tapi kau yang membalikkannya ke arah Gobang!
Mestinyakau tak boleh memantulkan sinar itu! Mestinya
kau biarkan sinar itumengenaitubuhmu, Goblok!" teriak
si baju biru dengan gusarnya. Lalu serta merta ia
lepaskan pukulan dari dua tangannya yang diayunkan ke
depan secara bersamaan.
"Heaaat...!"
Slaapp...! Sinar merah dua larik keluar dari telapak
tangan orang berbaju biru itu. Suto Sinting kembalitidak
lakukan serangan balasan, namun hanya melenting di
udara dan bersalto mundur dua kali untuk hindari sinar
merah itu. Dan kedua sinar itu akhirnyakenai dua pohon
yang segera timbulkan ledakan ganda cukup
menggelegar. Kedua pohon itu pun menjadi hangus
seketikatanpadaun lagi.
Si baju biru rupanya semakin penasaran. Maka Suto
Sinting pun dihujani dengan sinar merah bertubi-tubi,
sehingga Pendekar Mabuk melompat ke sana-sini tanpa
memberikan balasan, sebab ia tahu orang tersebut
sebenarnya salah duga tentang siapa pembunuh Bandar
Hantu Malam. Slaap, slaap, slaap, slaap...!
Sinar-sinar merah melesat ke sana-sini menyergap
Pendekar Mabuk. Tetapi sejak tadi yang menjadi sasaran
adalah pohon-pohon tak bersalah. Bunyi ledakan yang
menggelegar berkali-kali itu membisingkan gendang
telinga, sehingga Suto lebih menitik beratkan untuk
menutup dua telinganya dengan kekuatan hawa murni
dari dalam tubuhnya sendiri.
Kebrutalan si baju biru akhirnya membuat sinar
merahnya mengenai bumbung tuak Suto, dan sinar itu
membalik dengan lebih besar dan lebih cepat lagi,
akhirnya menghantam pemiliknya sendiri.
Blaarr...! Tak disangkal lagi, si baju biru pun mengalami nasib
seperti orang yang dipanggilnya dengan nama Gobang
tadi. Iaterkapar dalam keadaan sekujur tubuhnyahangus
terbakar. Maka nyawa pun enggan hinggap di raganya
lagi. Pendekar Mabuk hanya memandangi dengan
geleng-geleng kepala.
"Keras kepala kau! Akhirnya senjata makan tuan!"
gerutu Suto yang merasatak sukamelihat lawannyamati
secara mengenaskan begitu.
Setelah ledakan-ledakan itu lenyap, suasana menjadi
hening dan lengang. Suto yang masih tertegun tak jauh
dari kedua mayat lawannya itu menjadi berpaling cepat
ke belakang. Oh, ternyata gadis cerewet itu muncul lagi.
Ia telah kenakan pakaiannya sendiri. Rupanya ia telah
temukan pakaian itu lengkap dengan pedangnya yang
kini ada di pinggang. Sarung pedang yang terbuat dari
perunggu berhias ukiran lebah dari atas sampai bawah
tampak kekar dan angker. Warnanya hitam kehijau-
hijauan. Gagang pedangnya berhias lebah bersayap.
Entah apaartinya, Suto tak mengerti.
Yang jelas, Suto melihat gadis itu muncul dengan
tenang, merapi-rapikan pakaiannya yang berwarna
kuning kunyit itu, seakan ia tidak mendengar suara
ledakan beberapa kali tadi. Ia bahkan tersenyum ceria
kepada Suto dan berkata sambil mengencangkan ikat
pinggangnya darikain merahtua.
"Aku berhasil menemukan pakaianku di atas pohon
sukun. Berarti si pemanah tadi yang mencurinya!" ia
tersenyum kegirangan.
"Kau tampak cantik kalau kenakan pakaianmu
sendiri," kata Suto sambil pamerkan senyumnya. Jelas
senyum itu adalah senyum yang menawan hati setiap
wanita, sehingga si gadis terpana menatapnya tak
berkedip. Suto malah salah tingkah, akhirnya ia menunjuk
kedua mayat yanghangus itu.
"Orang-orang Lereng Iblis menyerangku, menyangka
aku membunuh Bandar Hantu Malam dan
menyembunyikan cambuk...."
"Cambuk Getar Bumi," sahut Putri Kunang dengan
kalem,tak merasaterkejut sedikit pun.
"Kau tahutentang pusaka itu rupanya?"
"Karena aku sedang memburunya!"
Suto terperanjat, menatap nanar. Putri Kunang
berkata acuh tak acuh,
"Dan aku pun yakin bahwa cambuk itu ada di
tanganmu, kau sembunyikan di suatu tempat. Jadi,
agaknya aku harus bertarung melawanmu untuk
dapatkan cambuk itu. Hiaaatt...!" Putri Kunang
sentakkan kaki, melompat menerjang Suto.
* * * 2 LERENG perbukitan yang terjal menjadi ajang
pertarungan. Dua tokoh sakti berusia enam puluh ke atas
saling beradu kekuatan ilmu mereka. Entah sudah berapa
lama pertarungan itu berlangsung, yang jelas sudah
banyak pohon yang tumbang dan bongkahan batu pun
berhamburan karena menjadi korban salah sasaran jurus-
jurus mereka. Dua tokoh sakti itu sama-sama kenakan jubah
berlengan panjang, yang satu berwarna merah, yang satu
berwarna abu-abu. Tokoh tua yang mengenakan jubah
abu-abu dalam keadaan menderita luka dalam. Sebuah
pukulan telapak tangan telah menghantam dadanya dan
tokoh berjubah abu-abu itu memuntahkan darah dari
mulutnya. Tapi ia masih sanggup bertahan, terbukti ia
masih lakukan serangan yang tak kalah hebat dari
serangan lawannya.
Si jubah merah dibuat terdesak ketika si jubah abu-
abu lepaskan pukulan bersinar ke arah pohon. Sinar
kuning itu melesat menghantam pohon sampingnya.
Tapi gerakan sinar memantul kepohon belakang si jubah
merah, dan sinar itu memantul lagi menghantam
punggung si jubah merah. Dess...! Wuuus...! Asap
mengepul ketika si jubah merah terhenyak dengan mata
tegang akibat pukulan sinar kuning itu. Asap tersebut
mengepul dari tubuh si jubah merah bersamaan dengan
itu keluarlah darimulutnya yangterkatup rapat.
Jubah merah segera rapatkan telapak tangan di dada.
Tubuhnya gemetar sesaat. Si jubah abu-abu bermaksud
menyerangnya lagi, tapi kedua tangan lawan yang
merapat di dada itu menyentak ke depan, lurus dan kaku,
lalu dari ujung telapak tangan itu melesat selarik sinar
hijau bening. Slaap...!
Jubah abu-abu merasa terancam, maka ia sentakkan
tangan kanannya ke depan dan terlepaslah sinar merah
lebar yangmenghantam sinar hijau bening itu.
Blaarrr...! Dua tokoh tua itu sama-sama terlempar ke belakang
dengan dahsyatnya akibat gelombang ledakan tadi.
Keduanya jatuh terpuruk di tempat yang berlawanan
dalam jarak sekitar lima belas langkah. Mereka buru-
buru ambil sikap bersila, pejamkan mata beberapa saat,
lakukan semadi penyembuhan diri. Kejap berikutnya
keduanya sama-sama bangkit dalam keadaan segar
bugar, seakan tak pernah terlukaparah bagian dalamnya.
"Kau tak akan bisa unguli ilmuku, Muka Besi!"
geram si jubah merah. Rupanya tokoh tua berjenggot
agak panjang warna putih itu bernama Muka Besi. Maka
si Muka Besi pun membalas seruan tersebut,
"Kalau aku tak bisa tumbangkan dirimu, lebih baik
aku berguru padamu selama hidupku, Setan Samudera!"
Jubah merah yang berjuluk Setan Samudera itu
mencibir sinis, ia melangkah empat tindak, demikian
pula si Muka Besi yang berkulit hitam itu. Mereka sama-
sama berdiri dengan kaki sedikit merenggang, keduanya
sama-sama siap lakukan serangan lagi. Namun
sebelumnya si Muka Besi berkata dengan nada dingin.
"Kuingatkan padamu untuk tidak memancing
kemarahanku lebih parah lagi, Setan Samudera!
Sebetulnya aku tak ingin di antara kita ada yang mati
gara-gara kesalahpahaman ini!"
"Aku tak bisa kau bujuk dan kau tipu, Muka Besi.
Aku tahu persis saat kau pulang dari Gunung Keong
Langit. Pasti kau habis membunuh si Bandar Hantu
Malam, murid dari kakak sulungku itu."
"Sejujurnya kukatakan padamu, aku hanya
mengingatkan Bandar Hantu Malam agar berhati-hati,
sebab aku punya firasat bahwa jiwanya terancam
bahaya!" "Omong kosong! Kau pasti membunuhnya untuk
dapatkan Cambuk Getar Bumi!" bentak Setan Samudera.
"Sekarang kuminta cambuk itu, sebab cambuk itu milik
kakak sulungku; Warok Guci Wangsit, guru si Bandar
Hantu Malam dan Dampu Sabang. Cambuk itu adalah
warisan orangtua kami! Tak berhak dimiliki oleh siapa
pun!" "Sia-sia saja jika kau memaksaku, karena aku tak
tahu soal cambuk itu!" kata Muka Besi. "Memang aku
adalah adik dari Bandar Hantu Malam, tapi kami beda
guru dan beda aliran. Karenanya aku tak mau tahu
tentang pusaka itu. Aku merasa urusanku bukanlah
urusannya, dan urusannya bukan urusanku. Bagiku tak
ada guna memiliki pusaka Cambuk Getar Bumi. Aku
merasa masih sanggup mengungguli yang memegang
pusaka itu. Buatku, Cambuk Getar Bumi bukan pusaka
yang patut diperebutkan, karena kekuatannya tak
seberapa dibandingkan dengan pusaka warisan guruku:
Kipas Racun Peri!"
Sambil berkata begitu, Muka Besi keluarkan sebuah
kipas dari kain kafan warna putih kusam. Kipas itu
panjangnya dua jengkel, tulang-tulangnya dari kulit
penyu warna hitam kecoklatan, kain kipasnya adalah
kain kafan putih lecek. Benda itu sepertinyatidak punya
nilai karena berkesan sangat usang. Tapi sesungguhnya
merupakan pusaka yang mempunyaikekuatan tersendiri.
Si Muka Besi melangkah ke samping sambil berkipas-
kipas pelan. Setan Samudera mencibir, seakan
meremehkan kesaktian Kipas Racun Peri itu.
"Kipas kumal seperti itu kau andalkan kekuatannya"
Hmm...! Lebih baik kau gunakan untuk membakar sate
atau mendinginkan semangkuk bubur, Muka Besi!"
Wajah hitam si Muka Besi menjadi muram dan penuh
kebencian, ia tersinggung mendengar hinaan itu. Maka
serta merta ia sentakkan kakinya ketanah dan tubuhnya
pun melayang bagaikan terbang. Kipasnya
dibentangkan, lalu dikibaskan ke arah Setan Samudera.
Wuuusss...! Claap...! Kipas itu keluarkan sinar merah yang menyebar
dalam sekejap. Tetapi Setan Samudera sudah lebih dulu
sentakkan kaki dan melesat ke atas pohon dalam
keadaan mata terpejam. Setelah di sana matanya pun
kembaliterbuka, dan ia bersalto turun ke darat. Jleeg...!
"Untung aku cepat pejamkan mata," katanya dalam
hati. "Kalau tidak segera pejamkan mata, bisa buta
mataku terkena sinar merah itu. Aku tahu letak kekuatan
kipasnya itu. Aku tahu bagaimana cara mengatasinya.
Kalau saja saat ini Cambuk Getar Bumi ada di tanganku,


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pastitubuh si Muka Besi akan terbelah menjadi beberapa
potong." Kipas Racun Peri gagal kenai lawan. Si Muka Besi
kian penasaran, menggeram penuh kejengkelan.
Kipasnya kini dalam keadaan terkatup, menjadi benda
mirip tongkat yang panjangnya dua jengkel. Mata si
Muka Besi menatap tajam pada lawannya. Suaranya pun
terdengar penuh kejengkelan.
"Mengapa kau menghindari kalau kau anggap Kipas
Racun Peri ini hanya kipas biasa, Setan Samudera"!
Kalau kau memang punya ilmu lebih tinggi dariku dan
mampu menumbangkan aku, hadapilah kipas mautku
ini!" Wuuutt...! Tiba-tiba kipas itu disentakkan ke depan, lurus dan
kuat. Dari ujung kipas keluar selarik sinar sejengkal
panjangnya. Sinar itu melesat ke arah Setan Samudera.
Tentu saja Setan Samudera segera melesat dengan satu
lompatan cepat ke arah kanan. Ternyata sejengkal sinar
biru itu membelok mengikuti arah kepergian Setan
Samudera. Claap...!
Setan Samudera pindah ke utara sinar itu ikut ke
utara, Setan Samudera menghindari ke timur, sinar itu
ikut ke timur. Ternyata sejengkal sinar biru itu seperti
benda bernyawa yang mengejar musuhnya ke mana pun
sang musuh menghindar. Dan Setan Samudera telah
mengetahui kehebatan sinar itu saat ia berhadapan
dengan Muka Besi sepuluh tahun yang lalu.
Karenanya, Setan Samudera menjebak sinar itu ke
balik batu. Seakan ia bersembunyi di sana. Dan ketika
sinar biru itu mendekatinya, tubuh Setan Samudera
segera lenyap, wuusss...! Sebenarnya ia hanya melompat
ke atas dengan kecepatan tinggi sehingga mirip
menghilang. Kini ia sudah berada di atas pohon ketika
sinar biru itu menghantam batutersebut.
Blegaaarrr...! Batu besar itu terbelah menjadi beberapa keping
dalam keadaan terpotong rapi dan halus. Setan Samudera
menertawakan dari atas pohon. Si Muka Besi
menggerutu semakin jengkel.
"Sayang dia mampu bergerak lincah. Kalau tidak,
hancur dihantam jurus 'Sinar Bernyawa' tadi," pikir si
Muka Besi dengan matamenataptajam.
Tiba-tiba dari atas pohon Setan Samudera melesat
sambil kibaskan tangan seperti orang menampar darikiri
ke kanan. Weesss...! Dari kuku tangan yang berkelebat
itu memercikkan lima butir sinar hijau seperti kelereng.
Slaapp...! Lima sinar hijau yang mirip kelereng itu
menerjang tubuh si Muka Besi. Tetapi Kipas Racun Peri
segera dibentangkan. Wuuurt...! Dan lima sinar itu di-
tangkisnyadengan kipas itu. Bruub...! Duaaar...!
Ledakan dahsyat membuat tubuh si Muka Besi
terlempar ke belakang. Jatuh meringkuk di bawah
pohon. Saat itulah Setan Samudera lepaskan pukulan
pelebur jasad yang berupa sinar biru bening melesat dari
ujung tangan yang menguncup itu. Slaap...!
Blegaaarrr...! Ada sinar lain yang menghadang sinar birunya Setan
Samudera. Sinar lain itu berwarna ungu dan membuat
tubuh Setan Samudera terlempar ke atas dan melayang
jauh hingga membentur pohon. Duuurrr...! Pohon itu
guncang, daunnya berguguran. Setan Samudera akhirnya
terpuruk di bawah pohon itu dengan tubuh ditimbuni
rontokan daun pohon rindang itu. Sedangkan si Muka
Besi terpelanting ke samping, karena pada saat ia baru
bangkit setengah membungkuk, terjadilah ledakan
dahsyat yang mempunyai gelombang sentakan cukup
besar. Setan Samudera bergegas bangkit dengan hidung
berdarah, ia memaki dengan jengkelnya, "Monyet
bunting! Rupanyakau mau ikut campur urusanku, Dewa
Sengat!" Dewa Sengat adalah julukan untuk orang yang baru
saja datang dan melepaskan sinar ungu tadi. Sosok
kurusnya yang jangkung amat dikenal oleh golongan
tokoh tua seperti Setan Samudera dan Muka Besi. Tetapi
usianya lebih tua dari mereka. Dewa Sengat berjubah
ungu itu berusia sekitar sembilan puluh tahun ke atas,
kepalanya hanya ditumbuhi rambut tipis warna putih,
nyaris gundul. Tapi kumis dan jenggotnya sama-sama
lebat dan sama-sama putih rata. Demikian pula alis di
mata cekungnya cukup tebal dan berwarna putih,
bentuknya naik ke atas, sehingga ia kelihatan tampak
angker. "Apayangkalian perebutkan adalah sesuatu yang sia-
sia. Pertarungan initidak mempunyaimaknaapa-apa!"
Muka Besi dan Setan Samudera sama-sama pandangi
Dewa Sengat. Tapimatatua si Dewa Sengat masih tajam
melirik ke sana-sini, membuat hati mereka akui kalah
wibawa dengan Dewa Sengat.
"Apa maksud kata-katamu itu, Dewa Sengat"!" tanya
si Muka Besi. "Bandar Hantu Malam mati di tangan bocah ingusan
bernama Suto Sinting!"
"Suto Sinting"!" gumam Setan Samudera.
"Maksudmu, murid si Gila Tuak itu?"
"Ya! Kabar itu kudengar dari salah seorang prajurit
Negeri Ringgit Kencana. Beberapa orang juga
mendengar kabar itu."
"Kalau begitu, Cambuk Getar Bumi ada di tangan
murid sinting si Gila Tuak?"
"Kurasa begitu, Setan Samudera! Jadi kalian tak perlu
saling adu kekuatan! Itu pekerjaan yang sia-sia. Jika
kalian ingin balas dendam kepada pembunuh Bandar
Hantu Malam, dan ingin rebut kembali Cambuk Getar
Bumi, carilah pemuda tampan yang bergelar Pendekar
Mabuk!" Setan Samudera adalah adik bungsu dari Warok Guci
Wangsit, guru dari Ki Randu Papak atau si Bandar
Hantu Malam. Tentunya ia sangat berharap agar cambuk
pusaka milik murid kakaknya itu jatuh ke tangannya,
sebab cambuk itu semula milik orangtuanya, lalu
diwariskan kepada Warok Guci Wangsit. Dari Warok
Guci Wangsit diwariskan ke muridnya yang bernama Ki
Randu Papak itu.
Sementara itu, Muka Besi berhak menuntut kematian
Bandar Hantu Malam, karena Bandar Hantu Malam
adalah kakaknya. Jika benar kakaknya itu mati di tangan
Suto Sinting, maka Muka Besi harus menuntut balas
kepada si murid sinting Gila Tuak itu.
Berita kematian Bandar Hantu Malam menyebar dari
mulut Kelana Cinta, perwira negeri dasar laut yang
merasa bangga karena musuh berbahaya yang membuat
ratunya menderita itu sudah dikalahkan oleh Suto
Sinting. Kelana Cinta mengabarkan kematian Bandar
Hantu Malam tanpa menyebut-nyebut nama Dampu
Sabang, karena diduga nama Dampu Sabang kurang
membuat hebat hasil kerja Suto Sinting. Padahal yang
dibunuh Suto adalah Bandar Hantu Malam palsu, yaitu
Dampu Sabang, yang sengaja mengaku-aku sebagai
Bandar Hantu Malam dan membuat keonaran, agar nama
Bandar Hantu Malam menjadi cemar kembali.
Sedangkan Bandar Hantu Malam yang asli telah
diselamatkan Suto dari keadaan kritisnya yang nyaris
melenyapkan nyawa orang tersebut. Luka berbahaya itu
ditimbulkan ketika Ki Randu Papak yang sebagai
Bandar Hantu Malam asli itu bertarung melawan Dampu
Sabang memperebutkan Cambuk Getar Bumi, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu
Malam"). Sedangkan berita kematian yang menyebar adalah
berita kematian Bandar Hantu Malam yang asli. Suto
sempat terkejut ketika mayat Bandar Hantu Malam
masih tergantung di atas pohon dalam keadaan kaki di
atas kepala di bawah, ia benar-benar tidak menduga
kalau Bandar Hantu Malam benar-benar mati. Mayat itu
ditemukan Suto ketika ia melarikan diri dari
pertarungannya dengan Putri Kunang. Suto berlari bukan
karena takut, namun sengaja menghindari dengan gadis
cerewet yang sukar diberi pengertian.
"Dari pada ada korban tak bersalah, lebih baik aku
menghindari kepicikan gadis cerewet ini!" pikir Suto
kala itu, sehingga ia melarikan diri walau tetap dikejar
oleh Putri Kunang.
Pelarian Suto ke arah Gunung Keong Langit, karena
ia bermaksud temui Bandar Hantu Malam agar bisa
jelaskan kepada gadis itu atau siapa saja yang
beranggapan bahwa dirinya telah membunuh Bandar
Hantu Malam. Tetapi ketika sampai di lereng Gunung
Keong Langit, Suto Sinting terpaksa menjadi lemas
karena melihat mayat Ki Randu Papak membusuk dalam
keadaan tergantung jungkir balik. Jelas ini perbuatan si
pembunuh untuk memamerkan hasil kerjanya, juga
sebagai ungkapan dendam kepada Bandar Hantu Malam.
Meski sudah mati tapi tetap tak dihormati, sehingga
jenazahnya tidak dikuburkan, melainkan digantung dan
dijadikan pusat perhatian orang banyak.
"Pantas aku dituduh membunuh Bandar Hantu
Malam. Rupanya kabar kematian Dampu Sabang itu
dihubungkan dengan adanya mayat yang tergantung
sekejam ini! Ah, sayang sekali akutak bisa menolong Ki
Randu Papak. Perpisahanku selama sepuluh hari dengan
Ki Randu Papak ternyata mengakibatkan kematian
seperti ini. Kasihan sekali. Apakah pembunuhnya
menginginkan cambuk pusakanya itu, atau karena ada
maksud lain" Hmmmm... kulihat banyak lubang di tubuh
mayat itu. Pasti ia terkena pukulan dahsyat dari orang
berilmu tinggi. Dan... hei, kemana kalung merahnya?"
Suto memandangi sekeliling tempat itu, mencari
kalung batu-batuan warna merah yang sering dikenakan
Ki Randu Papak. Kalung itu punya kekuatan tersendiri,
bahkan bisa keluarkan tenaga perisai yang membuat
lawan tak bisa menyentuh Ki Randu Papak. Kalung itu
tidak ada pada mayat Ki Randu Papak. Di sekitar tempat
tersebut jugatak didapatkan kalung merah itu.
"Jangan-jangan kalung merahnya itulah yang diincar
oleh pembunuhnya?" pikir Suto sambil menutup hidung
dengan daun arum sekar untuk melawan bau busuk dari
mayat tersebut.
Pendekar Mabuk tak tega membiarkan mayat tokoh
yang pernah dikagumi ketenangannya dan kesaktiannya
itu. Hati Suto pun sedih sekali merenungi kematian
orang yang telah memberi rahasia padanya tentang
kelemahan Siluman Tujuh Nyawa, ia menggali liang
kubur sendirian, lalu memakamkan jenazah yang telah
membusuk itu dengan hati berkecamuk duka.
"Kurasa orang yang menyerangnya lebih tinggi
ilmunya dari Ki Randu Papak. Mungkin juga karena
salah anggapan akibat tingkah Dampu Sabang yang
bikin onar dengan mengaku sebagai Bandar Hantu
Malam. Pasti tokoh yang ilmunya lebih tinggi dari Ki
Randu Papak itu beranggapan bahwa Ki Randu Papak
masih jahat seperti dulu. Ah, kasihan. Orang mau
bertobat ternyata banyak sekali hambatannya. Orang
ingin berbuat baik, ternyata sangat sulit karena sudah
telanjur dipercaya sebagai orang sesat. Ternyata sebuah
pengakuan itu sukar didapatkan, terutamapengakuan diri
sebagai manusia baik-baik. Kadang orang yang sudah
mendapat pengakuan sebagai orang baik, sering
memanfaatkan pengakuan itu untuk tindakan yang
kurang baik, sehingga memanfaatkan pengakuan itu
untuk tindakan yang kurang baik, sehingga orang tidak
akan menduga kalau tindakan kurang baik itu datang
darinya...."
Panjang sekali kecamuk batin Pendekar Mabuk
manakala memakamkan jenazah Ki Randu Papak. Yang
ia temukan dari pelajaran itu adalah pengakuan berbuat
baik ternyata sulit diperoleh lagi oleh orang yang
dulunya pernah berbuat jahat. Itulah sebabnya Suto
bertekad untuk tidak melakukan kejahatan apa pun,
sebab sekali ia melakukan kejahatan maka sukar untuk
mengembalikan nama baiknya.
"Pembunuh budiman!" celetuk sebuah suara setelah
Suto selesai melakukan pemakaman itu. Suto Sinting
terkejut dan segera berpaling ke arah si pemilik suara
tersebut. Ternyata suara itu datang dari mulut seorang
perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, tapi masih
kelihatan cantik dan menggairahkan. Pakaiannya ketat
sekali, hingga bentuk tubuhnya, terutama di bagian dada,
kelihatan menonjol jelas walaupun dilapisi baju jubah
warna merah jambu. Perempuan itu bersanggul rapi,
namun sebagian rambutnyaterurai ke bawah. Wajahnya
agak lonjong, sesuai dengan bentuk hidungnya yang
mancung, bibirnya yang sedikit tebal menggairahkan
ditambah kulitnya yang kuning langsat. Perempuan itu
menyandang pedang di punggungnya bergagang lilitan
tali hitam, ujung gagangnya berhias cincin bergerigi dari
besi. Agaknya cincin bergerigi itu bisa dilepas sewaktu-
waktu dan dijadikan senjata yang siap terbang menerjang
lawan. Suto berkerut dahi, karena merasa baru pertama kali
itu bertemu dengan perempuan cantik yang tampaknya
cukup matang dalam bergaulan. Melihat kalung dan
gelangnya, tentulah ia perempuan yang masih
mempunyaiketurunan darah biru.
"Dua hari aku mencarimu, Pembunuh budiman!
Ternyata baru sekarang kita saling jumpa," kata
perempuan itu. "Mungkin sudah waktunya kita saling
tentukan nasib, siapayang matidi balik kematian guruku


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini!" Kian kuat dahi Suto berkerut memandangi si cantik
yang bermata indah tapi berkesan galak itu. Agaknya si
cantik berbibir selalu basah itu punya dendam yang tak
sabar ingin dilampiaskan. Tentu saja Pendekar Mabuk
tidak gegabah melayani dendam perempuan secantik itu.
"Siapa kau, Nona cantik?" sapa Suto meramahkan
diri. Setelah perempuan itu memandangi Suto beberapa
saat tanpa berkedip, ia pun segera menjawab pertanyaan
yang sempat hening tanpajawaban tadi.
"Namaku Delima Gusti, murid Ki Randu Papak!
Rupanya kau adalah pembunuh budiman, habis
membunuh, menggantung korbannya sesaat, lalu
memakamkannya!"
"Kau salah sangka, Delima Gusti," kata Suto tetap
tenang, ia meraih bumbung tuaknya untuk menenggak
tuak beberapa teguk. Tapi niat itu sempat tertunda
karena kata-kata dingin Delima Gusti.
"Kabar yang menyebar cukup jelas, Pendekar Mabuk
adalah pembunuh Bandar Hantu Malam. Dan aku tahu,
ciri-ciri Pendekar Mabuk, bumbung tuak, serta wajah
tampan. Tapi aku tak sangka kalau kau ternyata lebih
tampan dari bayanganku."
Sebelum menenggak tuak, Suto sempatkan diri untuk
tersenyum sebenar. Perempuan cantik itu masih tetap
tenang. Bahkan ia tidak lakukan penyerangan ketika
Suto menenggak tuaknya. Setelah Suto selesai
menenggak tuak, barulah perepuan cantik itu berkata,
"Kurasa kau akan lebih bijaksana jika serahkan
Cambuk Getar Bumi itu kepadaku, karena aku adalah
murid tunggal Ki Randu Papak."
"Kalau kujelaskan yang sebenarnya, apakah kau mau
percaya, Delima Gusti?"
Perempuan itu menggeleng. "Yangkubutuhkan bukan
penjelasan, tapi cambuk pusaka itu! Tak rela hatiku jika
cambuk Guru jatuh di tangan orang yang bukan
muridnya! Jika kau bersikeras mempertahankan pusaka
itu, maka aku pun akan bertindak sebagaimanamestinya.
Kuharap kau tidak menyesal jika murkaku datang dan
menerjangmu, Pendekar Mabuk!"
"Aku tak mau layani kemarahan orang yang salah
paham!" kata Suto, lalu ia pun melesat pergi dengan
kecepatan melebihi angin. Zlaaap...!
* * * 3 PELARIAN Suto Sinting sebenarnya semata-mata
menghindari pertikaian tanpa arti. Tapi pelarian itu
dianggap oleh mereka merupakan sesuatu yang timbul
karena rasa takut dan rasa bersalah Suto. Tentu saja
mereka semakin penasaran mengejar Suto Sinting,
terutama DelimaGusti dan Putri Kunang.
Delima Gusti rupanya berilmu tinggi juga. Ia bisa
menandingi kecepatan gerak Pendekar Mabuk. Bahkan
ia pandai mencari jalan pintas, sehingga ketika tiba di
sebuah lembah ia mampu menghadang langkah
Pendekar Mabuk.
"Mau lari ke mana kau, Pembunuh budiman"!" tegur
Delima Gusti sambil sunggingkan senyum sinis.
"Delima Gusti, jangan timbulkan pertarungan karena
kesalah pahaman ini. Banjir darah yang terjadi akan
merupakan sesuatu yang sia-sia, sebab aku tidak
membunuh gurumu dan tidak merebut pusakanya. Justru
aku adalah orang yang kagum kepada gurumu, Ki Randu
Papak itu."
"Pencuri mana yang mau mengaku tanpa disiksa
dulu?" setelah mengucapkan kata-kata begitu, Delima
Gusti sentakkan kakinyaketanah. Duug...! Claap...!
Seberkas sinar muncul dari tanah yang dihentakkan
itu. Sinar tersebut seperti bintang berekor warnanya
merah terang. Sinar itu melesat ke arah dada Suto
Sinting dan itulah jurus yang dinamakan 'Ludah Naga'.
Suto Sinting yang cukup waspada bergerak dengan gesit
melompat ke samping kanan sekitar empat langkah
jauhnya. Sinar tersebut menghantam sebuah pohon, dan
pohon itu menjadi layu, mengecil, susut, kulitnya saling
terkelupas, dan akhirnya lembek seperti batang pohon
pisang yang busuk.
Mata Suto terbelalak kagum melihat pohon besar itu
kini terpuruk di tempatnya dalam keadaan lumer tak
berbentuk lagi. Ternyata sinar merah yang keluar dari
tanah itu mempunyai kekuatan dahsyat, yaitu
melumerkan benda apa sajayang tersentuh olehnya.
"Kau memang gesit, sehingga jurus 'Ludah Naga' bisa
kau hindari," kata Delima Gusti. "Tapi jangan bangga
dulu, Pendekar Mabuk. Kurasa kau tak akan bisa lepas
dari jurus 'Sinar Laba-laba'-ku ini! Huup...!"
Plok...! Delima Gusti bertepuk tangan satu kali, lalu
kedua tangan disentakkan ke depan dengan telapak
tangan terbuka. Dari tengah telapak tangan keluar sinar
biru berlarik-larik mirip benang laba-laba penjerat.
Setiap satu tangan bisa keluarkan delapan sinar biru.
Dan kedua sinar itu saling silang saat mendekati tubuh
Pendekar Mabuk.
Tetapi tiba-tiba seberkas sinar merah melesat di
depan dada membentuk seperti piringan besar yang
menghadang sinar biru itu, sehingga akibatnya terjadilah
ledakan hebat pada saat itu.
Blegaaarrr...! Suto Sinting terlempar ke belakang karena
gelombang ledak tersebut. Dadanya terasa panas sekali
dan seolah-olah kulit dan urat-uratnya ingin jebol ke
depan. Suto Sinting rasakan sakit di sekujur tubuhnya,
terutama di dada. Maka, buru-buru dia membuka
bumbung tuaknya dan menenggaknya dua teguk. Setelah
menenggak tuak, rasa sakitnya berkurang dan
pandangannyayangtadi buram kinijelas kembali.
Delima Gusti segera bangkit dari jatuhnya. Rupanya
perempuan itu juga terlempar karena daya ledak yang
tinggi tadi, tapi tak seberapa jauh. Ada luka di dalam
tubuhnya, tapi tak seberapa parah. Mungkin ia bisa atasi
dengan cepat menggunakan saluran hawa murninyayang
beredar mengikuti peredaran darah.
Yang jelas Suto dan Delima Gusti sama-sama
memandang ke arah datangnya sinar merah itu. Ternyata
sinar itu datang dari seorang gadis bertahi lalat kecil di
sudut bibir atasnya. Gadis berpakaian kuning kunyit itu
tak lain adalah Putri Kunang. Matanya memandang
dingin kepada Delima Gusti. Sedangkan yang dipandang
pun balas memandang sinis, lalu menyapa dengan nada
bermusuhan. "Apa maksudmu membela pembunuh budiman itu"!
Biar disangka punya cinta dan rela berkorban"
Hmmm...!" Delima Gusti mencibir.
"Aku bukan membela dia, Perempuan Tolol! Aku
hanya selamatkan dia, karena dia belum mau bicara
tentang di mana Cambuk Getar Bumi itu disimpannya!"
"O, jadi kau juga mencari cambuk pusaka guruku"
Kalau begitu kau pun harus kuberi pelajaran biar tahu
adat bahwa orang yang bukan murid Bandar Hantu
Malam tak boleh memiliki cambuk pusaka!"
"Aku membutuhkan cambuk itu, bukan untuk
kumiliki!"
"Alasanmu bisa saja dibuat-buat! Aku pun
membutuhkan cambuk itu! Dan untuk kumiliki!"
Pertengkaran mulut kedua wanita itu dipergunakan
oleh Suto Sinting untuk larikan diri sejak tubuhnya
menjadi segar kembali. Claap...! Suto bagaikan tak mau
terlibat persoalan tersebut. Kedua wanita itu menjadi
terperanjat melihat Pendekar Mabuk lari dengan
kecepatan tinggi.
"Hoi, berhenti kau!" teriak Delima Gusti, ia pun
mengejar Suto, dan menimbulkan kecemasan di hati
Putri Kunang. "Jangan lukai si tampan itu, Perempuan Bodoh!" lalu
gadis cerewet itu pun berlari mengejar Delima Gusti, ia
sengaja lari ke arah lain, karena iatahu Suto dan Delima
Gusti akan terjebak sungai dan mereka pasti membelok
ke arah yang sedang ditujunya. Dari sanalah Putri
Kunang akan menghadang Suto dan membuat pemuda
itu hentikan pelariannya.
Pendekar Mabuk segera ingat daerah yang dilaluinya
itu adalah daerah yang bernama Lembah Sunyi, ia
pernah datang kesana untuk menuju ke padepokan milik
Resi Wulung Gading, yaitu keponakan dari Nini Galih,
gurunya Bidadari Jalang. Tetapipada waktu itu Suto tak
berhasil temui Resi Wulung Gading karena sang Resi
sedang bertapadi Gua Getah Tumbal.
Suto memang terhalang sungai lebar. Tapi itu bukan
hal sulit untuk diatasi, sebab dulu Suto pernah
menyeberangi sungai tersebut. Maka, disambarlah
beberapa daun yang ada di dekatnya, dan lembar demi
lembar daun itu dilemparkan ke air sungai. Suto pun
melompat dengan berpijak pada daun itu, yangtentu saja
karena menggunakan ilmu peringan tubuh, sehingga ia
bisa berdiri di atas daun yang mengambang di
permukaan air. Dari daun ke daun Suto melompat,
akhirnya tiba di seberang dan berlari menembus
kelompok pepohonan bambu wulung yang berwarna
hitam kebiru-biruan itu.
Delima Gusti hentikan langkah, merasa kehilangan
jejak, ia berlari menyusuri tepian sungai itu, sampai
akhirnya bertemu dengan Putri Kunang yang sedang
berdiri menghadang. Putri Kunang kerutkan dahi dan
merasa heran, karena yang dilihatnya hanyalah Delima
Gusti, padahalyang diharapkan adalah Pendekar Mabuk.
Maka dengan suara ketus, Putri Kunang menyapa
Delima Gusti. "Manasitampan itu"!"
"Seharusnya kutanyakan padamu hal yang sama, atau
kupaksa dirimu untuk serahkan Pendekar Mabuk itu!"
kata Delima Gusti.
"Akutidak sembunyikan dia!"
"Omong kosong! Tak mungkin ia menghilang begitu
saja!" "Lantasapamaumu, hah?" tantangPutriKunang.
"Maumu sendiri bagaimana"!" Delima Gusti
membalikkan tarungan. Mereka saling pandang dengan
tegang. Delima Gusti segera serukan suaranya,
"Kalau kau tak mau keluarkan pendekar tampan itu
dari persembunyiannya, aku tak bisa menunda
kemarahanku lagi! Kau akan terima akibatnya, Gadis
Bodoh!" "Kau pikir akutakut padamu"! Kau belum tahu siapa
diriku, hah"!" Putri Kunangtampakkan sikap kian galak.
Delima Gusti tersinggung, dan segera lepaskan pukulan
bersinar merah dari telapak tangannya. Sinar itu
menyebar lebar bagai cerobong yang siap menelan Putri
Kunang. Namun dengan cepat tangan Putri Kunang berkelebat
ke samping dan dari lengannyamelesat sinar lebar warna
hijau bening, langsung bertabrakan dengan sinar merah
mirip cerobong besar itu.
Zrruubb...! Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membuat tubuh Putri Kunang
terdesak mundur tiga tindak. Delima Gusti tersentak
hingga empat tindak jauhnya daritempat berdiri semula.
Tapi keduanya dalam keadaan tak terluka, sehingga
keduanyamasih bersemangat untuk saling menyerang.
Putri Kunang yang mendului mencabut pedang,
sehingga Delima Gusti tak mau kalah gertak, ia pun
mencabut pedangnya dari punggung. Sreett...! Lalu
keduanya sama-sama sentakkan kaki dan melesat
bagaikan terbang ke pertengahan jarak. Di udara sana
mereka saling tebas dan tangkis dengan pedang masing-
masing. Trang, trang, trang, trang...!
Keduanya sama-samaturun ke bumi dan masih saling
tebas dan tangkis, sehingga pedang mereka
memercikkan bunga api beberapa kali. Bahkan kadang
terjadi letupan yang diiringi oleh semburan bunga api ke
berbagai arah. Gerakkan jurus pedang mereka begitu
cepat, sehingga denting perpaduan pedang itu bagaikan
suara denging yang berkepanjangan tanpa putus-putus.
Merekatak tahu bahwa Suto Sinting sudah mendekati
gerbang padepokan Resi Wulung Gading. Tempat itu
sudah dibangun kembali dan tertata rapi. Tapi tempat
yang dulunya ramai oleh para murid Resi Wulung
Gading itu, kini menjadi sepi, sunyi, bagai sebuah
petilasan belaka. Paramurid Resi Wulung Gading sudah
tewas semua dibantai habis oleh Bandar Hantu Malam
palsu alias Dampu Sabang. Waktu itu Suto datang ke
tempat tersebut dalam keadaan masih menjadi ladang
pembantaian. Di mana-manaterdapat mayat yang mulai
membusuk. Dan waktu itu, hanya ada dua anak buah
atau murid padepokan yang selamat dari pembantaian,
yaitu dua orang yang ditugaskan menghubungi seorang
kenalan Resi Wulung Gading di pantai selatan, bernama
Dul dan Sukat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Bandar Hantu Malam").
Sekarang, ketika Suto sedang mengamat-amati
tempat itu, Dul muncul dari balik pintu gerbang, ia
menyapa ramah kepada Suto, sehingga percakapan pun
terjaditanpakesan duka dan permusuhan.
"Apakah kau ingin bertemu dengan Guru?" tanya Dul
yang ilmunyatak seberapatinggi itu.
"Apakah gurumu ada?"
"Ada. Marikuantar bertemu Guru."
Sebenarnya Suto Sinting tidak punya maksud


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemui Resi Wulung Gading. Tetapi karena sudah
sampai di depan Padepokan Lembah Sunyi, tak ada
salahnya jika Suto sempatkan diri untuk singgah dan
membicarakan tentang kematian Bandar Hantu Malam.
Di samping itu Suto pun ingin bicarakan tentang pedang
pusaka yang konon bisa mengalahkan Siluman Tujuh
Nyawa, tokoh sesat yang diburu-burunya itu.
"Kapan gurumu pulang dari Gua Getah Tumbal?"
tanya Suto kepada Dul ketikamelintasipekarangan yang
luas itu. "Tiga hari setelah kami selesai memakamkan semua
korban," jawab Dul.
Dari pendopo muncul seorang lelaki tua berjenggot
putih, bertubuh gemuk, dengan rambut kepala lebat
warna putih sepanjang punggung. Raut wajahnya
tampak tenang namun berkharisma tinggi, ia
mengenakan pakaian model biksu, kain putih
berselempang di pundak kiri, sisanyamelilit tubuh. Suto
sudah dapat menduga, itulah Resi Wulung Gading, dan
ternyata dugaan tersebut dibenarkan oleh Dul.
Suto membungkuk, memberi hormat kepada
keponakan eyang gurunya. Resi Wulung Gading
membawa Suto masuk dan mereka berbincang-bincang
di pendopo. Sekalipun usianya sudah cukup banyak,
namun Resi Wulung Gading masih bisa duduk bersila
dengan badan tegak dan gagah. Suto pun tak mau kalah
gagah. Ia ingin tunjukan sebagai murid Bidadari Jalang yang
selalu tampak gagah dan perkasa. Namun kesopanan
tetap dijaga oleh Pendekar Mabuk dengan tidak cengar-
cengir sembarangan di depantokoh tua itu.
"Angin gunung menyebarkan bau bangkai si Bandar
Hantu Malam," kata Resi Wulung Gading.
"Kudengarkan percakapan mereka melalui hembusan
angin, kaulah yang menjadi tersangka atas kematian
Bandar Hantu Malam. Benarkah itu, Suto?"
"Tidak, Resi! Yang saya bunuh adalah Dampu
Sabang, yaitu si pemalsu nama Bandar Hantu Malam
yangtelah membantai semuamurid padepokan ini!"
Tokoh tua berkumis warna putih itu manggut-
manggut. Ia berkata bagaikan orang menggumam karena
kelewat kalem. "Firasatku benar. Dampu Sabang-lah orangnya. Dan
firasatku benar, pembantai itu pasti sudah mati sebelum
genap empat puluh hari kematian para muridku. Itulah
sebabnya aku tak bergegas pergi menemui Bandar Hantu
Malam, karena firasatku mengatakan bahwa aku harus
diam menunggu berita demiberita."
Wajah Resi Wulung Gading tampak masih
menyimpan duka atas peristiwa pembantaian itu. Namun
duka tersebut disembunyikan rapat-rapat di balik
ketegangan sikapnya. Pandangan matanya yang teduh
memancarkan ketegasan yang membuat Suto Sinting tak
beraniterlalu lama menatapnya.
Setelah mendengarkan kisah perjalanan Suto
menghadapi tuduhan-tuduhan tersebut, Resi Wulung
Gading berkata dengan nada sedikit heran,
"Delima Gusti"! Seingatku Delima Gusti adalah anak
Adipati Suralaya. Dia bukan murid Randu Papak, sebab
Randu Papak tidak pernah mengangkat murid kepada
siapa pun.Tetapi ia memang kenal dengan RanduPapak,
sebab dulu Randu Papak pernah selamatkan sang
Adipatiketikadalam bahayamusuhnya."
"Lalu, untuk apa Delima Gusti mengaku-aku sebagai
murid Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam?"
"Jelas untuk menunjukkan seolah-olah dia punya hak
atas pusaka Cambuk Getar Bumi itu. Pengakuannya
hanya sebagai alasan belaka. Pasti dia punya maksud
lain sehingga ingin memiliki cambuk itu."
"Lalu, bagaimana dengan gadis cerewet itu, Resi?"
"Putri Kunang, maksudmu" Hmm... setahuku dia
murid Dewa Sengat, anak dari penguasa Pulau Dadap.
Ayahnya bernama Watu Saka, yang menjadi kunci
utama untuk temukan Pulau Karun. Watu Saka dulu
seorang bajak laut, saingan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi
sebelum akhir tiba, Watu Saka telah menjadi seorang
petapa, dan ia mati secara moksa; lenyap tidak
berbekas."
"Lalu, kira-kira untuk apa Putri Kunang berusaha
memiliki cambuk pusakanya Bandar Hantu Malam,
Resi?" Setelah diam beberapa saat, Resi Wulung Gading pun
menjawab, "Barangkali untuk melawan seseorang yang
ingin singkirkan dirinyadariPulau Dadap."
"Mungkinkah orang itu adalah Siluman Tujuh
Nyawa?" "Mungkin saja," jawab Resi Wulung Gading. "Tapi
jika benar lawannya adalah Durmala Sanca, maka ia
tidak akan berhasil kalahkan manusia sesat itu sebelum
ia memilikiPedang KayuPetir."
Suto segera menceritakan permusuhannya dengan
Siluman Tujuh Nyawa, dan pada akhirnya ia berkata,
"Seandainya Resi berkenan, biarlah saya yang
menumpas habis riwayat tokoh sesat itu dengan Pedang
Kayu Petir."
Tetapi Resi Wulung Gading berkata, "Pedang Kayu
Petir sudah berpuluh-puluh tahun hilang dari tanganku.
Aku sedang melacaknya dengan teropong sukma,
karenanya aku banyak bertapa untuk mencari pedang itu
lewat alam gaib. Kurasa kau bisa lakukan hal itu, sebab
kau punya tanda di keningmu yang membuatmu bisa
keluar masuk ke alam gaib.
Suto sunggingkan senyum tersipu dan sedikit
tundukkan wajah, ia jadi tak enak hati dilihat tanda
merah di keningnya yang memang merupakan tanda
kehormatan dari Ratu Gusti Kartika Wangi, calon
mertuanya, yang mampu membuatnya keluar-masuk
alam tak terlihat mata manusia, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode:"Manusia Seribu Wajah.")
"Kelak, jika Pedang Kayu Petir sudah kutemukan,
akan kupinjamkan padamu dan singkirkanlah manusia
terkutuk itu agar tak menjadi malapetaka bagi kehidupan
manusia di muka bumi ini," kata Resi Wulung Gading.
"Apalagi kau adalah cucu murid dari bibiku; Nini Galih,
selayaknya kau melenyapkan orang yang telah menodai
eyang gurumu itu. Aku bersyukur kepada Sang Penguasa
Jagat, bahwa aku dipertemukan dengan cucu murid
bibiku itu. Setidaknya, kaulah nantinya yang akan
mewakili orang-orang aliran putih untuk melawan si
sesat itu. Tetapi, agaknya kau memang harus melewati
berbagai cobaan untuk menguji jiwamu, Suto. Perkara
hilangnya Cambuk Getar Bumi yang melibatkan dirimu,
harus kau hadapi dengan tabah dan keputusan-keputusan
yang bijak."
"Sebenarnya, apa keistimewaan dari Cambuk Getar
Bumi itu, Resi?"
"Cambuk itu bisa guncangkan bumi jika dilecutkan
ke tanah dan juga bisa tenggelamkan lawan, menjadikan
lawan terkubur hidup-hidup bagai ditelan bumi. Cambuk
itu juga mampu hadirkan hujan petir yang menyerang
lawan, bisa membuat si pemilik cambuk hilang lenyap
setelah cambuk diputar-putar di atas kepala dan
membungkus pemiliknyadengan kabut tebal. Siapa yang
terlilit cambuk itu, akan mati terpotong-potong sesuai
jumlah lilitannya. Itulah antara lain keistimewaan
Cambuk Getar Bumi, yang kukira tak sempat diambil
Randu Papak dari persembunyiannya ketika seorang
Hong Lui Bun 14 Dewi Sri Tanjung 3 Kobaran Api Asmara Pendekar Cacad 5
^