Pencarian

Cambuk Getar Bumi 2

Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi Bagian 2


lawan menyerang dan membunuhnya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, menyimpan rasa
kagum terhadap kehebatan cambuk tersebut. "Pantas
kalau banyak yang menginginkan cambuk itu," pikirnya.
"Apakah Resi mengetahui di mana cambuk itu
disimpannya?"
Setelah diam sesaat, tokoh tua itu menjawab, "Randu
Papak tidak mungkin menyimpan pusaka di dalam
rumah. Pasti ada di luar sekitar pondoknya. Carilah,
temukan dengan segera, sebelum orang lain
menemukannyauntuk kejahatan!"
Suto merasa mendapat perintah dari eyang gurunya,
maka semangatnya pun timbul membara untuk temukan
cambuk itu. Tetapi ResiWulung Gading kembali berkata
dengan suaranyayang bernada bijak,
"Tetapi ingat, Suto... kau tidak boleh gunakan
cambuk itu untuk perlawanan kepada siapapun."
"Mengapa begitu, Resi"'
"Sebab seingatku, cambuk itu telah terkena kutuk
seorang paderi yang mati dibunuh oleh Bandar Hantu
Malam, semasa dia menjadi orang sesat. Aku juga ingat
dengan cerita Bandar Hantu Malam, beberapa puluh
tahun yang lalu, ketika ia habis kehilangan istrinya.
Dikatakan olehnya, bahwa ia tak akan mau gunakan
cambuk itu lagi karenaterkenakutuk seorang paderi."
"Kutukan yang bagaimana itu, Resi?"
"Barang siapa gunakan cambuk itu untuk perlawanan,
maka selamanya ia akan menjadi orang sesat dan tak
akan mati dengan tenang. Rohnya akan mengembara
memasuki hewan-hewan yang menjijikkan. Barangkali
karena kutukan itulah maka Bandar Hantu Malam tidak
mau pergunakan cambuk itu lagi, tapi tetap menjaganya
agar jangan jatuh ke tangan orang sesat dan
dipergunakan untuk membantai pihak yang tak
bersalah."
"Jadi, tugas saya hanya menyelamatkan cambuk itu
agar tidak menjadi sumber malapetaka bagi orang lain
maupun bagi si pemegangnya?"
"Ya. Kurasa itulah yangharus kau lakukan. Bilaperlu
lenyapkan cambuk itu agar tidak menjadi sumber
malapetaka bagi siapapun!"
"Akan sayakerjakan, Resi!" kataSuto dengan tegas.
"Hati-hatilah, sebab menurut firasatku, banyak tokoh
berilmu tinggi menghendaki cambuk itu tanpa
mengetahui kutukan di dalamnya. Bahkan kau akan
bertemu dengan seorangtokoh sakti yang kau kenal, dan
kalau tak baik-baik membawa diri kau akan bertarung
dengan tokoh sakti itu."
"Siapa tokoh sakti itu, Resi?"
Resi Wulung Gading hanya geleng-gelengkan kepala
dengan penuh wibawa. Suto Sinting amat penasaran,
namun tak berani mendesak sang Resi.
* * * 4 BEGITU Pendekar Mabuk meninggalkan perbatasan
Lembah Sunyi, ternyata ia sudah ditunggu-tunggu oleh
dua wanita yang semula saling bertarung dengan pedang
itu. Delima Gusti dan Putri Kunang telah hentikan
pertarungan mereka, karena telah menyadari bahwa itu
hanya sia-sia. Mereka bahkan bersepakat untuk mencari
Pendekar Mabuk dan memaksa sang pendekar tampan
untuk tunjukkan letak penyimpanan Cambuk Getar
Bumi. Tak heran jikakali ini langkah Suto Sintingterhadang
mereka berdua yang tampak bersatu untuk menyerang
Suto. Gelagat mereka terbaca oleh firasat batin Suto
Sinting, namun si murid Gila Tuak itu masih tetap
tampakkan ketenangannya. Hatinya sempat membatin,
"Wanita-wanita cantik ini sangat sayang jika sampai
dilukai kulit tubuhnya, karena mereka sebenarnya tidak
mengetahui siapa orang yang telah membunuh Bandar
Hantu Malam dan di mana cambuk itu berada. Mereka
hanya didorong oleh hasrat untuk memiliki benda
pusaka itu tanpa mempertimbangkan langkah yang
benar. Hmm... rasa-rasanya aku harus melawan mereka
dengan cara lain."
Delima Gusti perdengarkan suaranya yang bernada
dingin itu, "Pembunuh budiman, ke mana pun kau lari kau tak
akan bisa hilang dari pandanganku! Sebaiknya serahkan
saja cambuk milik guruku itu!"
"Siapa gurumu itu" Bandar Hantu Malam" O, bukan!
Kau bukan murid Bandar Hantu Malam," kata Suto
dalam sunggingkan senyum menawan. "Kau adalah putri
Adipati Suralaya yang kenal baik dengan Bandar Hantu
Malam. Hanya kenal baik."
Perempuan cantik yang dadanya montok itu
terperanjat mendengar kata-kata Suto. Tetapi Putri
Kunang pun kaget dan memandangi Delima Gusti
dengan dahi berkerut tajam.
"Jadi..., kau adalah orangkadipaten Suralaya"!"
Delima Gusti tidak menjawab, ia hanya memandang
sinis pada Suto.
"Dan kau, Putri Kunang, entah apa maksudmu
bersikeras mendapatkan cambuk itu, yang kutahu kau
adalah anak mendiang Watu Saka, bekas bajak laut yang
menjadi penguasa Pulau Dadap."
"Dari mana kau tahu"!" Putri Kunang terkejut.
Delima Gusti ikut-ikutan kaget dan kini ganti dia yang
menatap Putri Kunang dengan dahi berkerut.
"Jadi, kau adalah orang Pulau Dadap"! Kalau begitu
kaulah yang membunuh adikkutigatahun yang lalu?"
"Bukan aku!" sentak Putri Kunang. "Penyerbuan ke
kadipaten Suralaya bukan prakarsaku, tapi prakarsa Sri
Maharatu, kakak tiriku itu!"
"Tapi penyerbuan itu telah timbulkan korban banyak
di pihakku. Kalau begitu kita adalah musuh, dan aku
berhak membalas kematian orang-orangku lewat
kehadiranmu di sini! Hiaaat...!"
Trang, trang, trang, trang...!
Mereka saling menyerang dengan pedang kembali.
Persatuan mereka buyar setelah saling mengetahui
bahwa merekaternyata bermusuhan. Orang-orang Pulau
Dadap pernah menyerang Kadipaten Suralaya karena
perebutan wilayah kekuasaan. Menurut ayah Putri
Kunang, tanah kadipaten itu adalah warisan kakeknya
yang direbut oleh sang Adipati. Sedangkan menurut
Adipati Suralaya, tanah kadipaten adalah hak miliknya
sebagai anak bungsu dari kakeknya Watu Saka. Perkara
itulah yang akhirnya membekas di hati kedua wanita
tersebut sehingga saling baku hantam sendiri.
Suto Sinting tertawa geli sambil tinggalkan mereka
menuju puncak Gunung Keong Langit, ia harus mencari
cambuk itu di sekitar pondok Bandar Hantu Malam dan
harus bisa menemukan sebelum cambuk itu berada di
tangan orang sesat, yang akan menjadi sesat seumur
hidupnya karena pengaruh kutukan pada cambuk pusaka
itu. Tetapi separo perjalanan Suto tak bisa dilalui dengan
mulus. Langkahnya kembali terhentikarena kemunculan
tokoh tua berambut putih panjang berikat kepala merah,
mengenakan jubah abu-abu dan menggenggam tongkat
tanpa bentuk di bagian ujungnya. Tokoh tua berusia
sekitar enam puluh tahun, bertubuh kurus dan sangat
dikenal oleh Suto Sinting.
"Kita bertemu lagi, Suto," sapaorang tersebut dengan
ramah dan tenang. Suto Sinting pun membalas senyum
keramahan itutanpa curiga.
"Ki Lumaksono..." Oh, tak kusangka kita akan
bertemu di sini. Mengapatidak bersamaKiParadito?"
"Dia punya kesibukan sendiri di tempat lain," jawab
Ki Lumaksono yang dikenal dengan julukan Pawang
Gempa itu. Suto memang pernah bertemu dengan tokoh
tua itu ketika berurusan dengan Nila Cendani, (Baca
serial Pendekar Mabuk episode: "RatuTanpaTapak").
"Rupanya namamu kian lama kian dikenal di
kalangan para tokoh tingkat tinggi karena kehebatanmu
mampu kalahkan mereka. Sekarang tentunya kau akan
semakin hebat dengan memiliki Cambuk Getar Bumi,
Suto!" "O, kau salah duga, Ki Lumaksono. Aku tidak
memilikicambuk itu."
Ki Lumaksono terkekehtawar. "Tak mungkin. Semua
mulut kabarkan bahwa kau yang membunuh Bandar
Hantu Malam, tentunya kau yang kuasai pusakanya.
Tapi ada baiknya, pusaka itu tak perlu kau miliki, Suto.
Kau sudah cukup sakti dengan ilmu warisan gurumu, si
Gila Tuak itu. Ada baiknya kalau Cambuk Getar Bumi
kau berikan padaku, supaya julukanku pun semakin
mantap sebagai Pawang Gempa yang mampu
mengguncang bumi di manapun aku berada!"
Suto diam sesaat, teringat kata-kata Resi Wulung
Gading, bahwa ia akan berhadapan dengan seorang
tokoh tua yang telah dikenalnya. Mungkin Ki
Lumaksono inilah orang yang dimaksud dalam kata-kata
Resi Wulung Gading. Suto Sinting mulai hati-hati
menjaga diri mengendalikan hasratnya, ia harus
menghindari pertarungan dengan orang yang sudah
dikenalnya itu, karena pertarungan tersebut jelas akan
membawa celaka bagi salah satu atau keduanya. Suto
berusaha menjelaskan perkara sebenarnya, tapi Ki
Lumaksono agaknyatak mau percaya dengan penjelasan
tersebut. "Sebenarnya aku sungkan melawanmu, Suto. Tapi
dalam perkara ini, agaknyatak ada jalan lain yang harus
kutempuh kecuali mendesakmu dengan kekerasan,
supaya cambuk itu kau berikan padaku!"
"Aku tidak bersedia melawanmu, Ki Lumaksono.
Aku tidak mau timbulkan korban seperti dalam perkara
Keris Setan Kobra itu. Kedua perkara itu sama-sama
salah duga dan mengakibatkan korban darah tanpa arti,
Ki Lumaksono!"
"Punya arti maupun tanpa arti, itu terserah
pendapatmu. Yang jelas bagiku Cambuk Getar Bumi
punya arti besar dan harus kupertaruhkan dengan
nyawaku! Jika kau bersikeras tak mau serahkan cambuk
itu, bersiaplah menghadapi paksaanku, Suto! Semoga
kau tahan menerima jurus-jurusku!"
"Ah, Ki Lumaksono... ingatlah bahwa...."
Suto belum habis bicara, tahu-tahu Ki Lumaksono
lepaskan serangan dengan sodokan ujung tongkatnya.
Wuuttt...! Gelombang panas melesat dari kepalatongkat
dan hendak membungkus tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi
dengan cekatan Pendekar Mabuk berhasil sentakkan kaki
dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali,
membiarkan gelombang hawa panas itu menerkam
pepohonan di belakangnya. Zraabb...! Kraakk...!
Sebatang pohon besar retak dalam keadaan
mengering seketika. Kulit batang hangus dan
dedaunannyapun berhamburan menjadi abu.
"Tahan seranganmu, Ki Lumaksono!" seru Suto yang
tak mau memberikan perlawanan. Tapi tokoh tua yang
satu ini agaknya sudah tak mau dengar lagi alasan apa
pun dari mulut Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia
sentakkan kakinya ke bumi. Bluug...! Dan tanah pun
bergolak bagai dilanda gempa hebat. Tubuh Suto Sinting
yang baru saja mendarat dari lompatannya terpaksa
harus bersalto lagi di udara. Kakinya ditapakkan pada
batang pohon yang sedang miring karena mau tumbang.
Dees...! Batang pohon itu menerima sentakan kaki Suto.
Tubuh Pendekar Mabuk melenting kembali ke udara,
tapi pohon itu segera tumbang bagaikan mendapat
dorongan keras daritenaga amat besar. Bruk!
Baru saja Suto mau jejakkan kakike bumi, tongkat Ki
Lumaksono segera menyambar tubuh Suto dengan
gerakan amat cepat. Wuuttt...! Suto terpaksa
memiringkan badan, menghadang bumbung tuaknya,
dan bumbung tuak itulah yang menjadi sasaran tongkat
tersebut. Duaar...!
Ledakan terdengar menggelegar. Rupanyatongkat itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar,
sehingga ketika beradu dengan bambu bumbung tuak
yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya itu, keduanya
saling percikkan cahaya merah terang dan gelombang
ledakannya membuat Pendekar Mabuk terpelanting ke
samping, jatuh bersimpuh, sedangkan Ki Lumaksono
terlempar bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya
membentur pohon yang berjarak delapan langkah dari
tempatnya berdiri. Kepala Ki Lumaksono beradu dengan
batang pohon itu, sehingga bocor di bagian pelipisnya.
Darah mengalir ke pipi dan menetes di pundak Ki
Lumaksono. Tetapi tokoh tua itu masih belum jera dan segera
bangkit tanpa hiraukan darah dari lukanya. Suto sempat
berseru keras, "Jangan korbankan diri untuk sesuatu yang tidak ada,
Ki Lumaksono! Kalau kau ingin memiliki Cambuk
Getar Bumi, carilah pada orang lain atau di tempat lain!"
"Persetan dengan saran busukmu itu, Suto Sinting!
Kau mau serahkan cambuk itu atau tidak, hah"!" bentak
Ki Lumaksono dengan murkanya.
"Akutidak memegang cambuk itu!"
Wuuttt...! Tiba-tiba sinar merah menyembur dari ujung tongkat
Ki Lumaksono. Slaapp...! Gerakan sinar merah lurus itu
sangat cepat. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa
menangkisnya dengan bumbung tuaknya. Pasti sinar
merah itu akan berbalik arah menjadi lebih cepat dan


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih besar lagi kekuatannya. Tentu akan
menghancurkan tubuh Ki Lumaksono jika orang tua itu
tak bisa menghindarinya. Tetapi hal itu dinilai cukup
berbahaya bagi keselamatan jiwa Ki Lumaksono.
Karenanya, Pendekar Mabuk bermaksud sentakkan kaki
ke tanah dan melesat ke atas hinggap di dahan sebuah
pohon. Tetapiternyata keadaan menjadi lain.
Sinar merah itu dihadang oleh sekelebat sinar biru
berbentuk bola yang membuat laju sinar merah terhenti,
lalu terdorong balik ke pemiliknya dalam gerakan
meliuk-liuk membingungkan. Akibatnya, Ki Lumaksono
yang terkesiap itu menjadi sasaran sinar merah dan sinar
biru bola itu. Blaarrr...!
Cahaya terang warna putih memecah menyilaukan di
depan mata Suto Sinting. Keadaannyayang sudah di atas
pohon itu membuatnya hampir jatuh karena kaget
menerima sentakkan gelombang ledak yang cukup
dahsyat tersebut. Ketika sinar terang itu lenyap, Suto
terbengong di atas pohon mencari-cari perginya Ki
Lumaksono. Kejap berikut baru disadari bahwa Ki
Lumaksono sudah menjadi serpihan-serpihan daging
hangus yang tak begitu kentara lagi jika tidak
diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
"Gila! Tubuhnya hancur sebegitu rupa. Pasti bukan
karena sinar merahnya sendiri, melainkan karena sinar
biru menyerupai bola juga ikut andil memecah raga Ki
Lumaksono. Hmm... sinar birunya siapa itu tadi?" pikir
Suto yang telah turun dari atas pohon. Kini matanya
memandang ke sana-sini mencari si pemilik sinar biru
tersebut. Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangnya, "Apa
yang kau cari anak muda yangtampan?"
Suto bergegas memandang ke belakang. Ternyata
seorang lelaki tua yang jangkung, kurus, berjubah ungu.
Alis, jenggot, dan kumisnya cukup tebal dan berwarna
putih. Tetapi kepalanya berambut tipis, nyaris gundul.
Orang itu tak lain adalah Dewa Sengat yang telah
berpencar dengan Muka Besi dan Setan Samudera.
Barangkali mereka bertiga punya jalan masing-masing
untuk temukan Cambuk Getar Bumi.
Yang jelas, Suto merasa asing melihat penampilan
tokoh tua itu. Ia belum pernah jumpa sebelumnya,
sehingga ia pun bertanyadengan nada sopan,
"Siapakah engkau, Pak Tua"'
"Kulihat kau berhasil memancing muridku hingga
bertempur melawan putri Adipati Suralaya itu!"
Suto berpikir sejenak, lalu segera mengerti maksud si
orangtua itu. "Jadi, kaulah yang bernama Dewa Sengat, guru dari
Putri Kunang?"
"Betul," jawabnya tegas tanpa senyum, tampak
berwibawa sekali. "Kau bukan saja tampan di wajah,
namun juga tampan di otak dan ilmu. Kau punya
keunggulan di tiga bidang itu, Suto. Tak heran jika
muridku ragu membunuhmu dan bisa terpancing
pertarungan dengan Delima Gusti! Bagus sekali akalmu
itu!" kata-kata yang terakhir berkesan ketus dan dingin.
Suto mulai waspada sekalipun iatetap tampak tenang.
"Dewa Sengat, tolong peringatkan kepada muridmu
itu agar jangan memburuku terus dengan menganggap
akulah pemegang Cambuk Getar Bumi. Aku tak ingin
kehabisan kesabaran pada muridmu yang cantik itu,
Dewa Sengat."
"Justru aku mendampinginya untuk dapatkan cambuk
itu!" "Kalau begitu kau pun perlu mengetahui bahwa aku
tidak memiliki cambuk itu!"
"Kau tak bisa bohongi kami!" katanya dengan dingin
sekali. "Aku berani bersumpah. Kusarankan urungkan niat
itu, sebab cambuk tersebut telah terkena kutuk seorang
paderi, bahwa barang siapa menggunakan cambuk itu
untuk pertarungan, maka selamanya si pemegang
cambuk akan menjadi orang sesat dan rohnya akan
berkelana masuk ke binatang-binatang menjijikkan.
Ingatlah itu, Dewa Sengat!"
Tangan Dewa Sengat menggenggam di udara.
Tangan itu segera ditarik ke dada, genggamannya
dibuka, dan seekor lebah terbang dari dalam genggaman
itu. Suto memandang dengan heran, tak mengerti apa
maksudnya. "Apa maksudnya memamerkan sihir seperti itu di
depanku?" pikir Suto, namun pikiran itu segera
disingkirkan karena Dewa Sengat segera beberkan
masalahnya. "Cambuk Getar Bumiharus didapatkan oleh muridku;
Putri Kunang, karena pada malam purnama nanti dia
harus bertarung melawan Sri Maharatu, kakak tirinya
sendiri untuk tentukan siapa yang berhak menjadi
penguasa Pulau Dadap. Kuakui, ilmu yang dimiliki Sri
Maharatu sangat tinggi, ilmu Putri Kunang ada
dibawahinya. Sri Maharatu mempunyai guru yang
bernama Pendita Arak Merah. Dia orang terhebat di
pegunungan Tibet. Ilmu dan kesaktiannya yang tinggi
nyaristertuang habis diwariskan kepada Sri Maharatu."
Suto Sinting tak sadar, seekor lebah yang tadi lepas
dan terbang dari genggaman Dewa Sengat, kali ini
hinggap di tengkuk kepala Suto dan menyengatnya
dengan lembut. Hampir-hampir tak terasa sakit, kecuali
hanya rasa gatal. Suto menepiskan tangannya,
menggaruk tengkuk kepala, tapi saat itu lebah sudah
pergi entah kemana.
Dewa Sengat lanjutkan bicara, "Tak ada senjata atau
pusaka yang bisa menandingi ilmu dan kesaktian Sri
Maharatu, kecuali Cambuk Getar Bumi. Dan jika Putri
Kunang kalah dalam pertarungan, maka hak warisnya
sebagai penguasa Pulau Dadap akan hilang, jatuh ke
tangan kakak tirinya itu. Padahal siapa yang menjadi
penguasa Pulau Dadap, berarti dia juga menguasai Pulau
Karun, yaitu sebuah pulau yang menjadi tempat
penyimpanan harta karun, barang-barang rampokan
semasa ayah Putri Kunang menjadi seorang bajak laut.
Pulau itu dijaga oleh puluhan harimau putih yang punya
kesaktian tersendiri. Tak seorang pun bisa masuk ke
Pulau Karun dan mengambil barang-barang berharga
yang dikubur di sana, kecuali orang yang menjadi
penguasa Pulau Dadap. Sekarang ini...."
Pandangan mata Suto mulai kabur. Tapi dia masih
belum menyadariadanyasesuatu yangtelah berpengaruh
pada dirinya. Karena pandangan mata itu kadang tampak
kabur, kadang tampak jelas. Suto menganggapnya itu
suatu akibat keletihan biasa, ia masih mendengarkan
penjelasan Dewa Sengat.
"... Pulau Dadap sebenarnya tidak mempunyai
penguasa yang sah. Sri Maharatu mengangkat diri
sebagai penguasa, tapi tidak melalui penobatan secara
sah. Para tetua Pulau Dadap tidak ada yang berani
menobatkan Sri Maharatu. Karenanya, Sri Maharatu
tidak bisa masuk ke Pulau Karun, sebab dia akan habis
dimakan harimau putih yang menjaga pulau itu. Sebab
itu, para tetua Pulau Dadap terpaksa lakukan cara yang
disetujui oleh Sri Maharatu dan Putri Kunang. Mereka
akan bertarung di malam purnama nanti. Siapa yang
unggul, dialah yang berhak menjadi penguasa Pulau
Dadap, dan akan dinobatkan sebagai penguasa secara
sah dengan upacara adat!"
Suto Sinting membatin di hatinya, "Aduh, kenapa
kepalaku jadi pusing sekali" Oh, apa yang terjadi
sebenarnya" Tubuhku terasa lemas dan... dan... oh, aku
ingin tidur. Aku mengantuk sekali..."!"
Pelan-pelan Suto merendahkan badan, bahkan duduk
bersandar batang pohon. Sementara itu, Dewa Sengat
masih terus bicara dan suaranya hanya menggaung-
gaung diterima oleh pendengaran Suto. Lambat laun
Pendekar Mabuk tak sadarkan diri, ia tertidur dengan
nyenyak tanpamengetahui apayangterjadi sebenarnya.
Dewa Sengat tersenyum tipis dan dingin, lalu
menggumam dengan suara lirih,
"Setinggi apa pun ilmumu, tak akan bisa menahan
jurus 'Lebah Setan'-ku, Pendekar Mabuk. Kau akan tahu
sendiri akibat jurus 'Lebah Setan' jika kau terbangun
nanti!" Dengkur Suto terdengar lirih, ia benar-benar tertidur
dengan nyenyak tanpa rasakan apa-apa lagi. Lebah yang
menyengat tengkuk kepala dan menimbulkan rasa gatal
itu telah menyebarkan racun berbahaya dan
mempengaruhi jalan darah yang menuju ke otak. Tentu
saja Pendekar Mabuk tak tahu apa akibat terkena jurus
'Lebah Setan'itu"
* * * 5 RUPANYA, Dewa Sengat tak mau ada orang lain
seperti Ki Lumaksono ikut memperebutkan Cambuk
Getar Bumi. Bahkan bila perlu ia akan singkirkan Setan
Samudera yang juga kehendaki cambuk pusaka itu. Bila
nantinya si Muka Besi yang inginkan cambuk itu, bukan
hanya ingin menuntut balas pada pembunuh kakaknya,
maka Dewa Sengat pun akan singkirkan si Muka Besi.
Sebab, Delima Gusti sudah berhasil dilumpuhkan
olehnya sebelum menemui Suto Sinting. Tapi Delima
Gusti tidak sampai kehilangan nyawa, perempuan itu
hanya larikan diri dan merasa tak mampu hadapi
kesaktian Dewa Sengat.
Ketika Putri Kunang tiba di tempat gurunya yang
sedang pandangi Suto dalam keadaan tertidur itu, Putri
Kunang segera ajukan tanyakepada sang Guru, "Apakah
dia sudah mau serahkan cambuk itu, Guru?"
"Belum. Tapi kita tunggu saja sampai ia terbangun.
Pasti ia akan sebutkan di mana Cambuk Getar Bumi
disembunyikan."
"Tapi hari sudah hampir petang, Guru. Haruskah kita
menunggunya di sini?"
"Memang tidak, muridku. Kita akan memindahkan
Suto ke gua di kaki bukit yang ada di sebelah barat itu."
Bukit di sebelah barat adalah anak Gunung Keong
Langit. Penduduk di sekitar situ, termasuk penduduk
Desa Pucangan menyebutkan demikian, karena bentuk
bukit itu walau berbeda arah namun menyerupai Gunung
Keong Langit. Agaknya Dewa Sengat sudah pernah
menjelajahi bukit itu, sehingga ia tahu persis tentang
sebuah gua berlangit-langit tinggi dan mempunyai
tempat yang lebar, sedikit dalam. Bebatuan yang ada di
dalamnya membentuk benteng bagi serangan yang
datang dari luar gua. Di sanalah, Suto Sinting dibawa
oleh Dewa Sengat, sementara bumbung tuaknya dibuang
oleh Putri Kunang di jurang yang ada di kaki Gunung
Keong Langit. Sayang waktu itu Suto Sinting tertidur nyenyak
sehingga tak mengetahui di mana bumbung bambu
tuaknya dibuang oleh Putri Kunang. Tetapi, seandainya
Suto dalam keadaan sadar dan melihat bumbung tuaknya
dibuang ke jurang, tentunya ia akan marah besar tanpa
peduli yang membuang gadis secantik Putri Kunang,
tanpa peduli pembuangan bumbung itu atas persetujuan
dan perintah si Dewa Sengat.
Suto dibaringkan di dalam gua itu. Wajah tampannya
kelihatan semakin menawan dalam keadaan tertidur
nyenyak menurut pendapat Putri Kunang. Tak heran jika
gadis itu memandanginya terus selama sang Guru
memeriksa keadaan di luar gua. Bahkan jari-jari lentik
Putri Kunang itu sempat mempermainkan bibir Suto
Sinting dengan hati berdebar-debar. Rasa iba mulai
timbul di hati Putri Kunang. Rasa sesal atas tindakan
yang terpaksa dilakukannya itu meresahkan jiwa Putri
Kunang. Ia mengusap-usap rambut di sekitar kening si
pendekar tampan itu dengan kecamuk hati berucap
penuh perasaan.
"Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa lakukan semua
ini karena aku sangat membutuhkan cambuk pusaka itu.
Tapi percayalah, tak ada kebencian sedikit pun di hatiku
kepadamu. Kelak jika aku sudah resmi menjadi
penguasa Pulau Dadap, akan kuundang kau sebagai tamu
kehormatan yang menawan hatiku. Ah, sungguh sayang
kalau aku harus melukaimu. Kau tak layak menerima
perlakuan seperti ini. Semua kulakukan dengan sangat
terpaksa, tapi kelak akan kutebus dengan kesetiaan jika
aku sudah selesaikan pertarungan dengan Sri
Maharatu...."
Dewa Sengat yang ada di luar gua menjadi terkejut
mendengar suara gemuruh di awal petang. Malam akan
melintas dengan rembulan mengintip separo bagian di
balik awan. Cahayanya yang pucat menyiram bumi.
Cahaya itu memperjelas penglihatan Dewa Sengat
terhadap kilatan sinar biru berhamburan di langit bagai
pasukan petir menyerang bumi. Kilatan cahaya biru
itulah yang menimbulkan gelegar bergemuruh dan
mengguncangkan bumi sampai menggetarkan tanah gua
tersebut. Putri Kunang pun terperanjat dan bergegas keluar
gua. Ia temui gurunya, yang sedang memandang ke arah
timur, lalu ia bertanya dengan nadapelan,
"Ada apa itu, Guru"'
"Celaka!" Dewa Sengat hanya menggeram dengan
nada cemas. "Bunyi apa yang bergemuruh tadi, Guru?"
Sang Guru tidak menjawab, hanya berkata, "Kau
tetaplah di sini. Jaga Pendekar Mabuk itu. Jika ia
bangun, cegah dia agar jangan sampai pergi tinggalkan
gua. Aku akan ketimur sebentar."


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jelaskan dulu apa yang terjadi, Guru"!" desak Putri
Kunang. "Seseorang telah melecutkan cambuk itu."
"Hah..."!" Putri Kunang menjadi tegang.
"Maksudnya, Cambuk Getar Bumi telah dilecutkan oleh
seseorang di sebelah timur sana?"
"Ya. Kilatan cahaya petir yang bagai pasukan petir
dari langit itu adalah akibat cambuk pusaka tersebut
dilecutkan oleh seseorang di sana."
"Kalau begitu... kalau begitu Suto Sinting tidak
memegang cambuk itu, Guru?"
"Mungkin memang bukan dia pemiliknya. Tapi
mungkin juga seseorang telah mengetahui penyimpanan
Cambuk Getar Bumi dan berhasil mencurinya. Aku akan
ke sanamencaritahu apayangterjadi sebenarnya."
Claap...! Dewa Sengat yang punya sifat
mementingkan kepentingan diri sendiri itu segera pergi
dari hadapan sang murid. Gadis berambut poni dengan
tahi lalat di ujung bibir atas sebelah kiri hanya bisa
tertegun bengong dengan kecemasan menyelimuti
perasaannya. "Celaka betul! Kalau sampai cambuk itu ada di
tangan orang yang sukar ditandingi, bisa-bisa aku gagal
menjadi penguasa Pulau Dadap. Padahal kuharapkan
cambuk itu ada di tangan Pendekar Mabuk yang tampan
itu. Ah, mudah-mudahan Guru bisa merebut cambuk itu
kalau memang cambuk itu ada di tangan orang lain.
Semoga saja dugaan Guru tadi keliru, bukan cambuk
yang dilecutkan tapi benar-benar petir yang berkerilap
menyongsong hujan," celoteh batin Putri Kunang sambil
melangkah memasuki gua.
Namun sesampainya di dekat Suto yang tertidur
pulas, Putri Kunang terkejut setengah mati melihat
seekor ular berkaki empat sedang merayap di samping
kanan Suto Sinting. Langkah gadis itu terhenti, suaranya
tak mampu terpekik, karena ular besar itu dikenalnya
sebagai seekor naga.
Sekujur tubuh Putri Kunang menggigil gemetaran
memandangi seekor naga bertanduk sedang mengangkat
kepala menatapnya. Asap hitam mengepul dari lubang
hidung naga. Lidahnya terjulur-julur seakan ingin
semburkan api. Putri Kunang segera kuasai diri.
Pedangnya dicabut pelan-pelan, tapi ia melangkah
mundur pelan-pelan juga. Sampai akhirnya, setibanya di
mulut gua, ia segera lari dengan kecepatan tinggi tak
mau berpaling lagi. Arahnya menuju tempat perginya
sang Guru, karena ia bermaksud melaporkan keadaan
Suto yang terancam bahaya oleh seekor naga berkulit
kuning kehitaman.
Putri Kunang terganggu pandangan matanya.
Sebenarnya yang dilihatnya adalah seekor naga, tapi
dalam kenyataan yang ada di samping Suto Sinting
adalah bumbung bambu tuaknya. Bumbung itu memang
telah dibuang oleh Putri Kunang ke jurang. Tetapi ia tak
tahu bahwa bumbung bambu itu jelmaan dari
mahagurunya Suto, yaitu Eyang Wijayasura. Gila Tuak
saja memanggilnya kakek guru. Dan nama itu tak boleh
disebut sembarangan, karena bisa datangkan badai dan
hujan petir yang membuat langit bagaikan maukiamat.
Tak heran ketika Suto bangun di pagi hari, ia
temukan bumbung tuak masih di sampingnya. Hanya
saja, keadaan Suto sudah berbeda dari biasanya. Suto
Sinting mengalami hilang ingatan.
"Benda apa ini" Kenapa ada di sampingku?" ucapnya
heran ketika melihat bumbung tuaknya. Memandangi
gua itu pun ia sangat heran. "Mengapa aku ada di sini"
Siapa yang membawaku ke sini" Untuk apa aku ada di
gua ini?" Suto masih sibuk memperhatikan bumbung tuaknya,
ia benar-benar tak mengerti bumbung tuak itu untuk apa.
Ketika dibuka penutupnya, ia mencium bau aromatuak.
Ia merasa asing dengan aromatuak, sehingga hidungnya
mendengus tak suka mencium bau tuak. Maka ketika ia
bergegas pergi meninggalkan gua, bumbung tuak itu
ditinggalkannya pula. Ia melangkah tanpa tujuan dan
serba heran memandangi alam sekitarnya, iatak tahu ada
di mana saat itu. Namun ketika ia berhenti dan menoleh
ke belakang, ternyata bumbung tuak itu tergeletak tak
jauh dari kakinya berpijak. Hanya saja, Suto tak mau
hiraukan bumbung tuak itu, sehingga ia melangkah
kembalitanpa membawa serta bumbung tuak tersebut, ia
tak tahu kalau bumbung tuak itu selalu mengikutinya ke
mana pun ia pergi, seakan seorang teman yang amat
setiamengikutinya.
"Perutku lapar sekali. Mau makan apa aku ini" Di
mana ada desa" Di mana ada kedai" Oh, mungkin itu
sebuah kedai," Suto mendekati tempat yang diduga
sebuah kedai, ternyata hanya pepohonan bercabang
rendah yang dahan-dahannya mengembang bagaikan
payung. Jaraknya tak jauh dari tanah. Tapi Suto
menggerutu, "Uuh...tak adapenjualnya. Mungkin masih tidur."
Rupanya sengatan Lebah Setan itu membuat Suto
menjadi linglung, lupa ingatan, lupa tentang apa saja
yang pernah dialaminya. Yang ada dalam pikirannya
hanyalah cambuk. Terbayang bentuk cambuk, dan
mulutnya mengucapkan kata cambuk berulang kali
dengan pelan. Sengatan lebah itu mempunyai racun yang
membuat seseorang hanya ingat pada satu benda, yaitu
benda yang sedang dipikirkan pada saat Lebah Setan itu
menancapkan sengat beracunnya.
"Cambuk... cambuk..., ya cambuk...! Cambuk apa
namanya"Oh, ya... namanya Cambuk Getar Bumi. Siapa
pemiliknya" Ya, cambuk! Pemiliknya ya cambuk itu
sendiri. Hmm... enaknya lapar-lapar begini makan
cambuk saja. Pastigurih!"
Suto tersenyum-senyum sambil jalan melenggang.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ki Rosowelas, si
pemilik kedai yang tinggal di Desa Pucangan, di mana
Suto pernah bermalam di rumah Ki Rosowelas, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu
Malam"). Waktu itu, ternyata Suto sudah sampai di
perbatasan DesaPucangan, tapi iatidak mengenali desa
itu. "Suto...! " tegur Ki Rosowelas yang waktu itu baru
pulang dari mencari kayu bakar, ia memikul kayu bakar
dan meletakkannya ketika melihat Suto jalan
melenggang memasuki perbatasan desa. Namun teguran
itu tidak dibalas oleh Suto Sinting. Ki Rosowelas hanya
dipandanginya dengan dahi berkerut, seolah-olah merasa
heran, merasa baru kali itu bertemu orang berusia enam
puluh tahun itu. Ki Rosowelas sendiri mulai heran
melihat sikap Suto.
"Suto, Bandar Hantu Malam telah dibunuh oleh
seseorang, apakah kau sudah mengetahuinya?"
"Hantu" Dimanaada hantu?" Suto agaktegang.
"Bandar Hantu Malam!" tegas Ki Rosowelas.
"Ah, biar saja hantu muncul malam hari. Itu memang
sudah pekerjaannya," Suto bersungut-sungut dan hendak
pergi. Ki Rosowelas segera menahannya karena rasa
heran kian meninggi.
"Suto, mengapa kau bicaranya tak karuan begitu"
Ada apa sebenarnya"!"
"Suto, Suto...! Kau inibicara kepada siapa, PakTua?"
Ki Rosowelas bingung dan terbengong-bengong. Suto
segera berkata,
"Kalau ada hantu muncul malam hari, harus segera
dicambuk!"
Ki Rosowelas tidak menjawab, tidak berkata apapun.
Tapi hatinya segera membatin, "Sepertinya dia
mengalami keanehan. Dia seperti bukan Suto yang dulu
datang dan bermalam di rumahku. Tapi... tapi wajahnya
adalah wajah Suto Sinting, yang pernah kalahkan
bayangan hitam alias Nyai Sedah itu"!"
Sambil memikul kayu bakarnya, Ki Rosowelas
mengejar Suto. Mendekati rumah penduduk desa
pertama, Suto tersusul. Ki Rosowelas terengah-engah
dan menghadang langkah Pendekar Mabuk. Pemuda itu
berhenti dan memandang dengan bersungut-sungut. Ki
Rosowelas segera berkata,
"Suto, apakah kau tak ingat padaku?"
"Apakah kau yang bernama Cambuk Getar Bumi"!"
"Aduh! Mengacau sekali bicaramu! Aku adalah Ki
Rosowelas, bapak Sundari!"
"Sundari itu... pemilik cambuk?"
"Aaah...!" Ki Rosowelas jengkel, menghentak-
hentakkan kakinya seperti anak kecil. "Sundari itu
anakku!" "Jadi... anakmu itu cambuk?"
Ki Rosowelas tarik napas dalam-dalam, garuk-garuk
kepalasebentar, iamenggumam bernada gerututak jelas.
Suto Sinting memperhatikan dengan bingung. Lalu
pemuda itu berkata,
"Minggirlah. Jangan halangi langkahku. Aku mau
cari makan!"
"Makanlah di kedaiku! Mari...!"
"Apakah di kedaimu ada makanan cambuk?"
"Cambuk lagi, cambuk lagi!!" geram Ki Rosowelas.
Luar biasa jengkelnya, tapi luar biasa pula bingungnya
menghadapi keanehan Pendekar Mabuk. Tak peduli
keadaan pikunnya Suto, Ki Rosowelas segera membawa
pemuda itu ke kedainya. Waktu itu, kedai sedang
ditunggui oleh Sundari, anak gadisnya yang berkulit
hitam manis dan pernah menaruh hati kepada Suto.
Melihat kedatangan Suto, wajah gadis desa itu berseri-
seri menyambutnya. Tapi Suto Sinting bingung
menghadapi gadis manis itu dan dahinya berkerut tajam
seraya bertanya,
"Kau siapa"'
"Masa lupa" Aku Sundari!"
"Sun... dari... darimana?" tanya Suto bingung.
"Bapak... kenapa dia ini, Pak?" tanya Sundari kepada
Ki Rosowelas. "Itulah yang membuatku bingung sejak tadi. Dia
seperti orang gila!"
Suto berkata lantang, "Aku lapar ..!"
"Mau makan"! Maumakan, ya"!" tawar Sundari.
Suto mengangguk-angguk. "Ya. Makan."
"Lauknyapakai apa?"
"Cambuk!" jawab Suto. Sundari terbengong dan
memandangi bapaknya"Daritadiyang disebutkan hanya
cambuk," kata Ki Rosowelas. "Jangan-jangan dia
kesurupan. Coba ambilkan bawang putih di dapur,
Sundari!" Sundari bergegas ke dapur dengan hati sedih dan
cemas. Tapi Suto berkatakepada Ki Rosowelas,
"Hei, Pak Tua...! Mana enak makan cambuk pakai
bawang putih"!"
Waktu itu di kedai hanya ada satu pembeli, yaitu
seorang lelaki berpakaian serba hitam, usianya sekitar
tiga puluh tahun lewat sedikit. Lelaki itu memperhatikan
Suto, sesekalitersenyum geli mendengar kata-kata Suto.
Tapi baik Ki Rosowelas maupun Suto tak peduli dengan
tamu yang sedang makan itu.
"Pak Tua, kalau kau mau hidangkan cambuk dengan
bawang putih, aku tidak mau makan. Tapi kalau diberi
garam sedikit, aku mau makan. Cambuk Getar Bumi
enaknya dicocol pakai garam, dimakan mentah-mentah.
He hehehe...!"
Ki Rosowelas bermaksud memborehkan bawang
putih ke dahi Suto, juga dibagian jempol kakinya.
Karena menurutnya cara mengusir setan yang masuk
dalam tubuh manusia kesurupan dengan memborehkan
bawang putih yang sudah dikunyahkan. Tetapi pada
waktu itu Suto Sinting justru menendang Ki Rosowelas
karena tak mau menerima borehan bawang putih.
Untung tendangannya tak seberapa keras, sehingga Ki
Rosowelas hanyajatuh terjengkangke belakang.
"Dasar bodoh kau, Pak Tua! Jempol kakiku tidak
lapar! Kenapa mau kau beri bawang putih"! Yang lapar
perutku!" ia menepuk-nepuk perut. "Aku mau makan!
Makan pakai Cambuk Getar Bumi!" bentak Suto, sangat
memprihatinkan Ki Rosowelas dan Sundari. Bahkan
Sundari sempat menangis duka dan meratap di pundak
ayahnyadengan suara lirih.
"Dia telah gila, Pak...! Dia tidak ingat kita lagi...!"
Suto akhirnya mencaplok apa saja yang tersaji di meja.
Sikapnya yang gagah dan sopan sebagai seorang
pendekar sudah tidak ada lagi padanya. Bahkan setelah
mencaplok makanan hingga perut terasa kenyang, Suto
pergi meninggalkan kedai Ki Rosowelas tanpa pamit
kepada Sundari maupun bapaknya. Mereka tak berani
menarik kembali, selain hanya merasakan sedih melihat
seorang pendekar yang dulu dikaguminya, kini menjadi
gila dan lupa akan diri mereka. Sundari menangis dalam
pelukan ayahnya, sampai-sampai mereka lupa menagih
uang kepada orang berpakaian serba hitam yang tadi
makan di situ. Mereka biarkan orang itu pergi begitu
saja, walau sempat memasukkan kerupuk ke dalam
sarung yang melilit dipinggangnya.
Bumbung bambu itu mengikuti terus dari belakang.
Tapi Suto sama sekali tak mau pedulikan bumbung
bambu itu. Ia melangkah ke mana kakinya ingin
melangkah. Tak punyatujuan dan arah.
Sementara itu, di suatu tempat di sekitar bukit cadas
yang tak begitu tinggi itu, terjadi sebuah pertarungan
sengit antara Muka Besi dan seorang perempuan berusia
sekitar tiga puluh lima tahun yang masih tampak cantik
dan menggairahkan bentuk tubuhnya. Perempuan itu
kenakan pakaian putih dengan dirangkap jubah biru


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda, serasi dengan warna kulitnya yang kuning
langsat. Pakaian putihnyahanya menutup sampai bagian
dada, tepiannya dililit benang emas, sehingga belahan
dadanya terlihat menantang dipandang setiap lelaki.
Perempuan berambut panjang dengan sanggul di
tengahnya berhias bunga mawar merah itu kelihatan
kalem-kalem saja menghadapi Muka Besi. Di
pinggangnya terselip cambuk berwarna hitam dengan
gagang berhias benang-benang merah sebagai ronce-
roncenya. Bagian ujung cambuk tampak nyala sinar biru
berpijar-pijar bagaikan sinar kunang-kunang. Jika malam
terlihat dengan jelas sekali.
Muka Besi memperhatikan lawannya dengan mata
tak berkedip, bukan tertarik pada kecantikannya,
melainkan tertarik pada cambuk si perempuan itu, sebab
ia tahu cambuk itu adalah cambuk pusaka milik Bandar
Hantu Malam. Itulah yang dinamakan Cambuk Getar
Bumi. Rupanya perempuan cantik itulah yang berhasil
mendapatkan Cambuk Getar Bumi dengan cara
membunuh Bandar Hantu Malam.
"Jadi memang kaulah pembunuh kakakku itu, Sri
Maharatu"!"
Perempuan yang ternyata adalah Sri Maharatu itu
sunggingkan senyum sinis kepada Muka Besi. Suaranya
yang bening segera terdengar jelas di telinga si Muka
Besi, "Benar, Muka Besi. Dan tentunya aku tidak sendirian.
Aku bekerja sama dengan musuh lama kakakmu, yaitu
Nyai Pancungsari. Dia memperoleh kalung merah milik
kakakmu itu dan aku memperoleh Cambuk Getar Bumi
yang kala itu sudah di tangannya dan ingin dilecutkan ke
tubuh NyaiPancungsari."
"Kalau begitu sepantasnya kau mati menebus nyawa
kakakku!" geram Muka Besi.
"Kita lihat saja siapa yang mati, kau atau aku. Tapi
kusarankan, jika ingin panjang umur, tinggalkan aku dan
jangan dekati lagi aku! Karena aku bisa bikin kau seperti
Tiga Utusan Lereng Iblis itu. Barangkali kau melihatnya
semalam, atau setidaknya kau menemukan mayat
mereka di perjalanan."
"Ya. Sudah kuduga Tiga Utusan Lereng Iblis itu
terbunuh oleh Cambuk Getar Bumi. Tapi yang kuburu
bukan cambuk itu, melainkan hutang nyawa yang harus
kau tebus dengan nyawa juga, Sri Maharatu!"
"Kalau kau keras kepala, aku tak segan-segan
pergunakan cambuk ini!"
"Persetan dengan ancamanmu! Heaah...!" tokoh tua
itu segera lepaskan pukulan jarak jauhnya. Kedua
tangannya yang berjari rapat dan lurus itu dilipat ke
dalam lalu disentakkan ke depan dalam keadaan telapak
tangan tengkurap. Dari ujung-ujung jari tangan itu keluar
sepuluh larik sinar putih menyilaukan yang serempak
menyerang tubuh Sri Maharatu. Zraaabb...!
Murid Pendita Arak Merah dari Tibet itu hanya diam
saja, tapi kedua tangannya saling beradu di depan dada.
Sinar biru keluar menyebar dari perpaduan telapak
tangan di depan dada. Semasa telapak tangan itu masih
saling menempel, sinar biru itu membentuk perisai
didepannya, sehingga sinar putih yang terdiri dari
sepuluh larik itu ditahan oleh sinar biru tersebut.
Zruub...! Tak ada bunyi ledakan apa pun. Kedua sinar sama-
sama padam. Tapi sepuluh jari tangan Muka Besi
menjadi melepuh dan mengeluarkan asap. Muka Besi
menahan rasa sakit itu dengan menggeletukkan gigi,
hingga tubuhnya gemetaran dan keringat dinginnya
mengucur dari kulit kepala. Napasnyatertahan berulang-
ulang yang mengakibatkan ia terengah-engah dicekam
murkanya. Sri Maharatu hanyasunggingkan senyum sinis.
"Cambuk Getar Bumi belum kugunakan, kau sudah
kewalahan melawanku, Muka Besi! Karena itu
kusarankan sekali lagi, pergi dan tinggalkan aku
selamanya!"
"Keparat!" geram Muka Besi, lalu tiba-tiba tubuhnya
melayang cepat bagaikan seekor singa hendak
menerkam mangsanya. Wuuuttt...! Kedua telapak
tangannya membara merah dan berasap. Bau besi
terbakar menyebar ke mana-mana.
Sri Maharatu rendahkan badan dengan menarik kaki
kanannya ke belakang dan melipat lutut kirinya sedikit,
lalu telapak kanannya yang terbuka di samping dan
menghadap ke depan itu keluarkan sinar biru yang
berbentuk seperti anak panah berukuran kecil dan
pendek. Claappp...!
Sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan kanan
Muka Besi yang telah membara dan berasap. Duaarr...!
Ledakan cukup kuat terjadi, gelombang hawa panas
menyentakkan tubuh Sri Maharatu hingga perempuan itu
terpelanting dan badannya nyaris berputar dua kali. Ia
sempoyongan dan berpegangan batang pohon.
Sedangkan Muka Besi masih tetap tegar, menapakkan
kakinya di tanah dengan mantap. Matanya memandang
tajam pada lawannyayang terdesak.
Muka Besi tak mau beri kesempatan kepada lawan
untuk balas menyerang. Sebelum Sri Maharatu berdiri
tegak, Muka Besi sudah lebih dulu lepaskan pukulan
jarak jauh bersinar hijau bening dari dua jari tangannya
yang bengkak itu.
Claapp...! Sinar itu melesat cepat melebihi anak panah lepas
dari busur. Sasarannya adalah dada Sri Maharatu. Tetapi
perempuan itu segeratarik jubahnya dan menghadang ke
depan dada. Deeb...! Sinar hijau tertahan, lalu membalik
arah kepada si Muka Besi. Tentu saja Muka Besi
menjadi panik sesaat, ia melompat menghindari sinarnya
sendiri. Blaarrr...! Gugusan batu cadas menjadi sasaran sinar
hijau itu. Batu tersebut bukan hanya hancur, namun
menjadi serbuk lembut yang menggunduk di tempatnya.
Sedangkan Sri Maharatu tak sabar, segera pergunakan
cambuk pusaka itu. Ia lecutkan cambuk ke tanah.
Taarrr...! Blegaarrr...!
Tanah berguncang hebat. Tempat yang terkena ujung
cambuk itu terbelah sampai pada tempat berdiri Muka
Besi. Tubuh Muka Besi tersedot masuk ke dalam
belahan tanah dengan cepat, tanpa bisa lakukan gerakan
apa pun, sehingga suara pekiknya menggema di dalam
tanah, dan tanah itu pun terkatup merapat kembali
seperti sediakala. Sri Maharatu sunggingkan senyum
melihat Muka Besi terkubur dalam tanah bagaikan
ditelan bumi. * * * 6 TERNYATA tanpa disadari oleh Sri Maharatu, ada
sepasang mata yang memperhatikan pertarungannya dari
kejauhan. Sepasang mata itu tak lain milik anak Adipati
Suralaya; Delima Gusti. Perempuan ini setelah berhasil
atasi luka dalamnya akibat pukulan Dewa Sengat, segera
berkeliaran lagi memburu cambuk pusakatersebut.
Dialah orang pertama yang melihat Cambuk Getar
Bumi ternyata ada di tangan Sri Maharatu. Kesempatan
itu diluar dugaannya sendiri, saat ia selesai sembuhkan
luka dalamnya dengan semadi gantung; kaki di atas
kepaladi bawah, tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah
kaki manusia berlari, ia mengikuti langkah kaki itu,
ternyata tiga orang utusan dari Lereng Iblis. Mereka
mengejar Sri Maharatu dan akhirnya Delima Gusti
melihat sendiri bagaimana Sri Maharatu menumbangkan
tiga utusan tersebut dengan menggunakan cambuk itu.
Sejak itulah Delima Gusti mengikuti gerak langkah
Sri Maharatu, sambil berpikir bagaimana cara mencuri
cambuk tersebut. Karena menurutnya, tak mungkin ia
bisa rebut cambuk itu dengan pertarungan. Tanpa
cambuk itu saja Sri Maharatu akan unggul melawannya,
apalagi dengan cambuk di tangannya.
Delima Gusti hanya bisa membayang-bayangi
gerakan Sri Maharatu yang menurut dugaannya menuju
ke pantai dan ingin kembali ke Pulau Dadap. Tetapi di
perjalanan, Sri Maharatu diserang oleh Muka Besi.
Serangan itu hampir saja kenai Delima Gusti yang
bersembunyi di tempat jauh. Delima Gusti sudah
menduga, si Muka Besi akan tumbang di tangan Sri
Maharatu. Dugaan itu timbul setelah Delima Gusti
melihat Kipas Racun Peri yang menjadi senjata andalan
Muka Besi jatuh terlepas karena pukulan tenaga dalam
Sri Maharatu. Kipas itu hancur berkeping-keping,
sehingga tak bisa digunakan lagi. Namun si Muka Besi
tetap berlari mengejar Sri Maharatu ketika Sri Maharatu
enggan melayaninya.
Pertarungan kedua Muka Besi dengan Sri Maharatu
semakin membuat Delima Gusti merasa ngeri
berhadapan dengan Sri Maharatu, sekali pun perempuan
itulah yang ada di dalam dendamnya. Delima Gusti
hanya berani hadapi Sri Maharatu jika Cambuk Getar
Bumi ada di tangannya. Kini ia berpikir, dengan cara apa
ia bisa memiliki cambuk itu" Tipuan dan kelicikan apa
yang harus dipergunakan, agar Cambuk Getar Bumi
jatuh ke tangannya dan ia bisa melampiaskan
dendamnyakepada Sri Maharatu"
Renungannya di atas pohon terhenti manakala ia
melihat Suto Sinting melangkah dengan santainya. Tiba-
tiba di dalam otaknya terpetik gagasan untuk
memanfaatkan Pendekar Mabuk tanpa peduli harus
membujuk dan merayunya lebih dulu. Maka, Delima
Gusti pun segera turun dari tempat pengintaiannya,
karena pada saat itu Sri Maharatu sedang terlibat
pembicaraan dengan orang-orang desa yang akan
dijadikan orang upahan sebagai pendayung perahunya
nanti. Melihat kemunculan Delima Gusti yang cantik dan
bertubuh menggairahkan itu Suto hanya tersenyum
menyeringai. Senyumnya itu berkesan malu-malu
kucing. Sikap itu telah membuat Delima Gusti mulai
curiga, namun kecurigaannya disembunyikan rapat-rapat
di dalam hatinya.
"Mana bumbung tuakmu, Pendekar Mabuk?" tanya
Delima Gusti melihat Suto tanpa membawa bumbung
tuaknya. Suto hanyatersenyum-senyum norak.
"Apakah aku pantas berjuluk Pendekar Cambuk"!"
"Aku menyebutmu Pendekar Mabuk! Bukan
Pendekar Cambuk"!"
"Namamu siapa, Bibi?"
Delima Gusti kian berkerut dahi. Ia belum bicara,
Suto sudah menduluinya,
"Cantik sekali wajahmu, Bi. Apakah kau sudah punya
suami" Kalau belum, kusarankan bersuamilah Cambuk
Getar Bumi. Hidupmu akan bahagia dan indah."
"Aneh. Kenapa ia bicaranya seperti itu?" pikir Delima
Gusti. Matanya masih memandangi Suto yang cengar-
cengir, ia menghardik untuk mengembalikan sikap Suto
yang tidak sepantasnya dimiliki seorang pendekar
kondang. "Hei...! Sadar, Suto!"
Suto Sinting terlonjak kaget, lalu punya rasa takut
yang tercermin dari wajahnya. Delima Gusti menatap
kian tajam, Suto tunjukkan kepalatandatakut.
"Pandanglah aku!"
Suto menggeleng dengan tetap menunduk takut.
"Pandanglah aku, Suto!" gertak Delima Gusti. Tapi
Suto bahkan melarikan diri kembali arah. Delima Gusti
semakin penasaran melihat sikap Suto seperti itu. Ia
segera mengejarnya dan tahu-tahu menghadang di depan
Suto Sinting. Pemuda tampan itu segera mundur dengan
wajah tegang, tubuhnyamerapat di sebuah pohon.
"Aku Delima Gusti! Kenapakau takut padaku seperti
itu" Apakah kautak ingat siapa diriku?"
Suto gelengkan kepaladengan wajah menyedihkan.
"Aku Delima Gusti! ingat, aku yang pernah
mengejarmu dan mendugamu sebagai pemilik Cambuk
Getar Bumi! Aku yang kau kejar-kejar saat di telaga
karena membunuh anak buahku sendiri yang akan buka
rahasia tentang siapa yang menyuruhnya menyerang
Putri Kunang! Apakah kau masih tak ingat?"
Suto menggeleng lagi dengan wajah kian tampak
menyedihkan. Delima Gusti membatin, "Rupanya dia lupa ingatan.
Siapa yangtelah membuatnya begini?"
Perempuan itu kembali mencoba bertanya, "Siapa
namamu?" Pemuda tampan seperti pendekar bego, hanya
gelengkan kepalasaja.
Delima Gusti menggertak, "Siapanamamu"!"
"Ent... entah.... Namaku... namaku...?" Suto berpikir
sejenak, tampak susah payah mengingat-ingat namanya.
"Namaku... hmm... namaku Cambuk! Ya, Cambuk Getar
Bumi!" karenamemang hanya nama ituyang diingatnya.
Delima Gusti geleng-geleng kepala, merasa sangat
heran. Suto ikut geleng-geleng kepala, benar-benar
seperti orangyang amat bodoh.
"Pasti ada seseorang yang membuatnya menjadi gila
seperti ini. Masa dengan namanya sendiri sampai lupa
begitu" Parah sekali keadaannya!" pikir Delima Gusti,
kemudian ia bersikap lunak karena tahu bahwa Suto
akan ketakutan jika dibentak-bentak. Delima Gusti
sunggingkan senyum ramah, ia dekati Pendekar Mabuk
yang tundukkan kepala kembali. Matanya sebentar-
sebentar melirik ke depan dengan takut-takut. Dagunya
diangkat pelan-pelan oleh Delima Gusti. Wajah itu


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdongak dan dipandanginya dengan lembut. Rasa takut
Suto berkurang.
"Dengar, namamu adalah Suto Sinting! Suto Sinting!"
Delima Gusti menjelaskan dengan suara tegas. Suto
memperhatikan gerakan bibir perempuan itu. Matanya
memandang tak berkedip bagai penuh kekaguman.
"Namamu adalah Suto Sinting! Gelarmu Pendekar
Mabuk! Jelas" Pendekar Mabuk! Coba tirukan... Suto
Sinting, Pendekar Mabuk. Ayo, tirukan...! Suto Sinting.
Suto...." Pemuda bertampang bego itu justru memegang bibir
Delima Gusti bagaikan menangkap seekor kupu-kupu,
pelan, pelan, pelan... cup! Bibir dipegang.
"Puih...!"
Suto terkejut, tangannya ditarik mundur dengan takut.
"Disuruh menghafal namanya malah bibir orang
diobok-obok!" gerutu Delima Gusti dengan jengkel.
Diam-diam dia menaruh rasa iba dan sangat prihatin
melihat keadaan Suto Sinting. Rasa iba itu dipendam
dalam hati, namun sikapnyayang menjadi baik dan ingin
mengembalikan ingatan Suto merupakan cermin dari
rasa iba hatinya.
"Apakah seluruh kesaktiannya juga hilang?" pikir
Delima Gusti ketika ia termenung beberapa saat
lamanya, dan membiarkan Suto bermainkan jubah merah
jambunya. "Sebaiknya kucoba gerakan silatnya apakah
masih ada. Jika hilang sama sekali, berarti pemuda ini
benar-benar parah dan layak dilindungi."
Delima Gusti tiba-tiba berkelebat menampar Suto
Sinting. Plokkk...! Suto terpekik kesakitan dan mundur
beberapa langkah dengan mengusap-usap pipinya.
"Lawan aku! Ayo, lawan aku...!" kata Delima Gusti.
Kemudian kakinya berkelebat menendang dada Suto
tanpa tenaga dalam. Wuuttt...! Duugg...! Pendekar
Mabuk terpental jatuh dan memekik tertahan.
"Uuhg...!" ia menyeringai kesakitan memegangi
dadanya. "Lawan aku! Kalau kau tak mau melawanku, kau bisa
kehilangan nyawa! Ayo, lawan aku, Suto...!" dan
kakinya pun menendang, kali ini tendangan sengaja di
arahkan ke samping telinga Suto. Ia hanya ingin
memancing gerakan naluri seorang pendekar untuk
menangkis tendangannya. Tapi tendangan yang
dipelesetkan ke arah kiri itu justru di luar dugaan
membuat Suto bergerak kekiri dan akhirnya wajah Suto
jadi sasaran kaki Delima Gusti. Plokkk...!
"Uuffh...!" Suto memejamkan mata dan merunduk
sambil menutupiwajahnya.
"Astaga!" Delima Gusti segera meraih Suto dan
memeluknya. "Maaf, maafkan aku! Kalau ada orang
menendang ke kiri jangan bergerak ke kiri, kau
menghindar kekanan, jaditendanganku tidak akan kenai
wajahmu!" Delima Gusti menyesal. Tendangannya tadi
agak keras. Sekalipun tanpa tenaga dalam namun
membuat bibir Suto sedikit bengkak.
Delima Gusti merangkulnya untuk menunjukkan
sikap bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud menyakiti
Suto. Hatinya pun berkata,
"Ternyata gerak nalurinya pun tak mampu diingat
lagi. Ia kehilangan ilmu-ilmunya dan menjadi manusia
tanpa kekuatan apa pun. Kasihan sekali. Padahal orang
banyak yang mengincarnya dan menduga ia sebagai
pembunuh Bandar Hantu Malam, sekaligus pencuri
Cambuk Getar Bumi. Padahal pembunuh dan pencurinya
adalah Sri Maharatu sendiri. Kalau saja tak kudengar
pengakuan Sri Maharatu kepada si Muka Besi, mungkin
sampai saat ini aku masih menduganya sebagai
pembunuh dan pencuri."
Hati perempuan itu punya kekhawatiran besar
terhadap jiwa Suto Sinting. Sebab ia yakin, jika orang-
orang pemburu Cambuk Getar Bumi bertemu dengan
Suto, pasti mereka anggap Suto berpura-pura gila, atau
segera menyerangnya dengan jurus maut, karena mereka
tahu bahwa Suto orang berilmu tinggi. Mereka tak tahu
kalau Suto sudah kehilangan ilmunya dan menjadi
linglung. Niat untuk memperdaya Sri Maharatu dengan
memanfaatkan Suto akhirnya dibatalkan. Delima Gusti
justru berpikir mencari cara untuk sembuhkan Pendekar
Mabuk, atau setidaknya menyembunyikan si tampan itu
agar aman dari serangan orang-orang pemburu Cambuk
Getar Bumi. Namun niat itu pun belum sempat terlaksana, karena
pada saat itu Suto Sinting segera diserang oleh seseorang
dengan menggunakan sinar merah yang menyerupai
lemparan senjata rahasia. Claapp...! Untung
kewaspadaan Delima Gusti cukup tinggi. Kilatan cahaya
merah itu tertangkap oleh ekor matanya. Tubuh
Pendekar Mabuk segera ditariknya merapat ke tubuh,
lalu Suto diajaknya jatuh berguling. Dengan begitu sinar
merah itu kenai pohon yang ada di seberang sana.
Duaarr...! Pohon itu pun pecah terbelah menjadi dua,
masing-masing tumbang ke kiri dan ke kanan dengan
timbulkan bunyi gemuruh.
Delima Gusti cepat membawa Suto berlindung di
balik pohon. "Kau tetap di sini! Jangan ke mana-mana!
Ada orangyang ingin membunuhmu. Mengerti"!"
Suto mengangguk-angguk dengan wajah tegang
penuh rasa takut. Delima Gusti segera lemparkan
pandang ke arah semak-semak tempat datangnya sinar
merah tadi. Tak ada gerakan di sana. Tampaknya sepi-
sepi saja, tanpa ada seorang pun yang bersembunyi di
balik semak-semak.
Gerak naluri Delima Gusti seakan perintahkan
kepalanya untuk berpaling ke belakang, ternyata saat itu
sedang melesat sinar merah seperti tadi yang datang
berlawanan arah. Sinar itu kini terarah ke punggung
Delima Gusti, sehingga ketika ia berpaling, sinar itu
tepat menuju ke dadanya.
Wuutt...! Delima Gusti cepat sentakkan tangan kirinya ke
depan dan dari telapak tangan kirinya yang sikunya
ditopang tangan kanan itu melesatlah sinar biru
berpendar-pendar dan menghantam sinar merah itu.
Wuusss...! Blaarr...! Ledakan timbul dengan dahsyat. Tubuh Delima Gusti
tersentak mundur tiga langkah dengan kedua tangan
tetap bertahan di dada. Sedangkan tubuh Suto terlempar
sejauh enam tombak dan mengerang di sana dalam
keadaan terkapar menyedihkan.
Pada saat itu, Delima Gusti segera melihat sekelebat
bayangan berpindah tempat, dari tempat datangnya sinar
kedua ke sisi lain lagi. Delima Gusti segera cabut cincin
bergerigi di ujung gagang pedangnya, lalu
melemparkannya dengan lemparan miring. Ziingng...!
Wesss...! Duaar...! Bunyi ledakan timbul kembali ketika cincin
bergerigi itu disambut oleh pukulan bersinar putih.
Cincin bergerigi itu hancur berkeping-keping sebelum
sampaipadatempatnya.
Kejap berikutnya sesosok tubuh melompat bersalto
dari arah datangnya pukulan sinar putih. Seorang lelaki
tua berdiri menghadap ke arah Suto Sinting, tapi
matanya memandang kepada Delima Gusti. Mata
perempuan itu terkesiap sejenak mengingat wajah tokoh
tua berjubah merah. Setelah ingat siapa tokoh itu, ia
segera bergumam dengan nada geram. "Setan
Samudera!"
Orang kurus berwajah angker dengan rambut putih
botak depan itu memang Setan Samudera. Ia sengaja
menyerang Suto dengan sinar merahnya, karena ia
sangka pendekar sakti itu masih berilmu tinggi. Jika
Suto masih berilmu tinggi, maka serangan sinar
merahnya tadi hanya akan melumpuhkan sajatidak akan
menghancurkan tubuh bertenaga dalam tinggi, ia tak
tahu, seandainya sinar merahnya tadi mengenai dada
Suto, maka pemuda itu pun akan hancur terbelah
menjadi dua bagian seperti pohon yang bernasib malang
itu. Kini melihat Suto terkapar dengan erangan kecil,
Setan Samudera sedikit heran dan menyangka kekuatan
Suto sebagai pendekar terkenal di rimba persilatan hanya
sampai di situ saja. Setan Samudera tidak mau menyia-
nyiakan waktu, ia bergegas ingin memaksa Suto untuk
serahkan Cambuk Getar Bumi. Namun ketika ia
melangkah satu tindak, Delima Gusti kirimkan pukulan
bersinar merah dari tangan kanannya. Claap...! Sinar itu
sengaja diarahkan di depan kaki Setan Samudera.
Duaarr...! Setan Samudera bergerak mundur dan tanah
menjadi berlubang, sebagian tanah menyembur ke atas
menyebarkan debu.
Delima Gusti melangkah dekati Suto dengan mata
pandangi Setan Samudera. Sebaliknya, si wajah angker
pun tatap mata perempuan itu dengan tajam dan tak
berkedip, ia kelihatan menyimpan kemarahannya kuat-
kuat. "Jangan coba-coba menyentuh pemuda tak berdaya
ini!" kata Delima Gusti. "Dia bukan tandinganmu untuk
saat ini, Setan Samudera! Dia kehilangan segala-
galanya, dan akulah yang menjadi pelindungnya."
"Kebetulan sekali kalau dia kehilangan segala-
galanya, aku akan mudah memaksanya menyerahkan
cambuk pusaka warisan orangtuaku itu!"
"Cambuk Getar Bumitidak adapadanya!"
"Tahu apa kau, Perempuan Ganjen!" hardik Setan
Samudera. "Kau pikir dia akan jatuh cinta padamu jika
kau perlihatkan kesetiaanmu di depannya"! Hmm...!
Pemuda seperti dia tak pernah punya cinta yang tulus.
Dia pemuda mata keranjang yang mudah jatuh di
pangkuan wanitamana pun!"
"Itu bukan urusanmu, Setan Samudera! Kalau kau
inginkan Cambuk Getar Bumi, pergilah ke pantai,
cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu, orang Pulau
Dadap! Kulihat sendiri kehebatan cambuk itu saat
memangsa korbannya; si Muka Besi!" kata-katatersebut
ditekankan, sehingga Setan Samudera terperanjat dengan
mata sedikit menyipit sangsi.
"Kau ingin mengelabuiku, Perempuan Ganjen"!"
"Tua bangka, kalau kau tak percaya, pergilah ke arah
pantai. Temui Sri Maharatu sebelum dia menyeberang
dengan perahunyamenuju Pulau Dadap. Kalau kau tetap
di sini, kau akan kecewa, dan aku pun kecewa sekali jika
cambuk pusaka itu jatuh ke tangannya. Sebab dengan
begitu, aku tidak akan bisa melampiaskan dendamku
kepada Sri Maharatu. Jelas aku akan kalah jika ia
menggunakan Cambuk Getar Bumi!"
Setan Samudera belum berkedip dalam menatap
Delima Gusti, tapi hatinya bicara pada diri sendiri,
"Sepertinya dia berkata yang sebenarnya. Aku tahu, dia
anak Adipati Suralaya. Orang kadipaten punyapersoalan
sendiri dengan orang Pulau Dadap. Wajar jika ia merasa
tak rela jika cambuk itu jatuh ke tangan Sri Maharatu,
sebab ia akan tumbang berhadapan dengan Sri
Maharatu! Hmm... sebaiknya, kukejar saja Sri Maharatu
ke arah pantai sebelum ia menyeberang ke Pulau
Dadap!" Tanpa pamit ini-itu, Setan Samudera sentakkan kaki
dan melesat dengan cepat, pergi tinggalkan Delima
Gusti. Hati Delima Gusti sedikit lega, setidaknya Suto
telah terhindar dari ancaman salah duga yang dapat
membawa maut bagi jiwanya itu. Maka, Delima Gusti
pun segera menolong Suto yang masih terkapar dan
mengerang lirih, merasakan panas dan sakit pada
dadanya. "Ke mana aku harus sembunyikan orang ini?" pikir
Delima Gusti setelah ia salurkan hawa dingin ke tubuh
Suto, dan rasa sakit Pendekar Mabuk berangsur-angsur
berkurang. Delima Gusti berkata,
"Lihat, orang jubah merah tadi mau membunuhmu,
bukan"! Nyawamu terancam, banyak orang yang ingin
membunuhmu! Kau mau selamat atau maumati?"
"Mati dengan selamat," jawab Pendekar Mabuk tak
paham maksud kata-katanya sendiri.
"Kau harus selamat! Jangan mau mati!" gertak
Delima Gusti dengan jengkel. Suto Sinting hanya
angguk-anggukkan kepala.
"Kalau kau mati, nyawamu hilang dari raga, kau bisa
jadi hantu bergentayangan ke sana-sini setiap malam!"
"Hiii...!" Suto bergidik ngeri.
"Kalau kau mau selamat, berarti kau tidak mati. Dan
itu berarti pula kau harus turuti kata-kataku! Aku akan
melindungimu. Mengerti?"
Pendekar Mabuk mengangguk, tapi sambil berkata,
"Dengan cambuk?"
"Dengan apasaja, aku akan melindungimu! Sekarang,
ikutlah aku dan jangan jauh-jauh dariku!"
"Tap... tapi... tapiakuharus ambil cambuk."
"Mau ambil cambuk kemana"!"
"Di... di... di mana saja. Akutaktahu!"
Delima Gusti mendesah jengkel, lalu menarik tangan
Suto dan diajaknya pergi, ia yakin Setan Samudera
berhasil menghambat perjalanan Sri Maharatu.
Setidaknya selama Setan Samudera menghambat Sri
Maharatu, ia punya waktu untuk sembunyikan Suto.
Setelah itu baru menyusul, melihat perkembangan di
pantai. Delima Gusti punyaseorang kenalan yang pondoknya
tak jauh dari tempat itu. Ia membawa Pendekar Mabuk
ke pondok tersebut. Orang yang dituju Delima Gusti


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasaterkejut melihat keadaan Suto yang kosong ilmu,
kosong ingatan. Orang tersebut tak lain adalah Resi
Wulung Gading. Pendekar Mabuk tak ingat tempat itu,
juga merasa tak kenaldengan Resi Wulung Gading.
"Aku sudah mengenalnya, Delima Gusti. Dia kemarin
datang kemari dan ceritakan tentang dirimu yang
mengaku sebagai murid Bandar Hantu Malam."
"Kuakui itu memang siasatku, Eyang Resi. Aku
memang sangat berharap dapatkan cambuk itu, karena
aku ingin melawan Sri Maharatu. Aku menyesali
tindakanku terhadap Suto kemarin itu. Ternyata dia tak
bersalah, dan sebagai penebus kesalahanku, aku ingin
selamatkan dia, Eyang Resi."
Resi Wulung Gading angguk-anggukkan kepala
samar-samar, ia tahu betul bahwa Delima Gusti
sebenarnya bukan golongan tokoh hitam. Hanya karena
diburu dendam ia menjadi bernafsu sekali untuk
dapatkan cambuk itu dengan cara apapun.
Kini penyesalan Delima Gusti diakui Resi Wulung
Gading sebagai sikap bijak yang patut disambut dengan
kebijakan pula.
"Dendam memang sering membuat mata manusia
menjadi gelap, terutama mata hati. Dendam juga dapat
membuat pikiran manusia menjadi buntu dan akhirnya
mencari jalan pintas. Karena itu kuingatkan kepadamu,
Delima Gusti, kendorkanlah urat dendammu. Jangan
semata-mata hidup untuk turuti hati yang dendam.
Biarlah pembalasan tiba dengan sendirinya, karena Yang
Maha Kuasa adalah Yang Maha Adil dan Maha
Bijaksana. Siapa salah akan kalah, siapa benar tetap
tegar!" "Aku mengerti, Eyang Resi."
"Sekarang pantaulah sampai di manatingkah laku Sri
Maharatu! Firasatku mengatakan, dia akan hancur dalam
waktu dekat. Cambuk itu telah terkena kutuk, kutuk
itulah yang akan hancurkan dirinya. Hanya saja, siapa
yang bakal menjadi pemilik Cambuk Getar Bumi setelah
Sri Maharatu, aku tak punya firasat akan hal itu.
Keadaan Sri Maharatu yang memiliki cambuk itu bisa
kau jadikan pelajaran dalam hidupmu dan untuk hidup
selanjutnya."
"Baik, Eyang Resi. Lalu, bagaimana dengan Pendekar
Mabuk ini?"
"Akan kurawat!" jawabnya tegas. "Mudah-mudahan
aku bisa kembalikan ingatannya dan ilmu-ilmunya.
Sebab menurutku, dia telah terkena racun sengatan
seekor lebah. Jurus itu bernama jurus 'Lebah Setan',
pemiliknya tak lain adalah si Dewa Sengat. Berhati-
hatilah kau jika bertemu dengannya."
Terbayang wajah Dewa Sengat dan Putri Kunang.
Geram di hati Delima Gusti membuatnya ingin
berhadapan kembali dengan Dewa Sengat dan Putri
Kunang. Tetapi hal yang terpenting dipikirkannya
adalah, mungkinkah Resi Wulung Gading bisa
kembalikan ilmu dan ingatan Pendekar Mabuk"
* * * 7 SETAN Samudera yang penasaran ingin buktikan
kata-kata Delima Gusti, akhirnya menemukan apa yang
diharapkan. Di depannya tampak seorang perempuan
cantik bermata jalang mengenakan jubah biru muda
lembut, perhiasannya lengkap, sanggulnya diberi hiasan
bunga mawar merah. Setan Samudera tak asing dengan
perempuan itu. "Sri Maharatu!" gumamnya penuh debar-debar
ketidaksabaran. "Cambuk itu memang ada padanya.
Selagi diselipkan di pinggangnya, sebaiknya kupukul
dari belakang," pikir Setan Samudera.
Sri Maharatu sedang bicara dengan dua nelayan
sambil berjalan, tiba-tiba dua larik sinar warna merah
dan hijau melesat menghantam punggungnya. Slaapp!
Tapi gerak naluri Sri Maharatu cukup tinggi, ia merasa
ada sesuatu yang bergerak cepat menuju ke arahnya.
Dengan cepat ia sentakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat ke atas, bersalto di tempat, lalu kedua
nelayan yang ada di kanan kirinya itu dirapatkan dengan
cara menarik dua kepala tersebut menggunakan
tangannya. Kedua orang itu saling terhempas
berbenturan, dan pada saat itulah sinar merah dan hijau
menghantam dua nelayan tersebut. Zraab...! Jraabbb...!
Tak ada bunyi ledakan apa pun, tapi kedua nelayan
itu sama-sama terhenyak sekejap. Tubuh Sri Maharatu
berhasil mendarat di tanah belakang kedua nelayan
tersebut, lalu lompat ke samping, berjungkir balik
dengan menggunakan kedua tangannya menapak di
tanah. Wut, wut, wut...! Jleegg!
Sedangkan kedua nelayan itu menemui ajal secara
bersamaan. Yang satu menjadi arang, hangus terbakar
sekejap oleh sinar merah, dan yang satunya lagi
punggungnya berlubang sebesar buah kelapa, lalu jatuh
terpuruk tanpanyawa sedikit pun.
Sri Maharatu tak pedulikan nasib kedua nelayan itu.
Kini yang dipandangi adalah wajah Setan Samudera.
Wajah angker itu ditatap oleh mata indah berkesan
jalang dengan senyum sinis menggoda murka. Setan
Samudera hentikan langkah setelah berada dalam jarak
tujuh langkah di depan Sri Maharatu. Pancaran matanya
tampak bernafsu sekali memandangi Cambuk Getar
Bumi yang ada di pinggang perempuan berpinggul
menggairahkan itu.
"Sudah mendengar kabarnya si Muka Besi?" tanya
Sri Maharatu dengan sinis.
"Aku tak peduli dengan nasib si Muka Besi!" geram
Setan Samudera. "Yang kupedulikan adalah pusaka
leluhurku itu! Kalau kau tak mau serahkan padaku, kau
akan hancur melebihinasib dua orang itu!"
Sri Maharatu tetap tenang dan tersenyum-senyum
sinis. Sambil bermainkan rambut yang meriap ke dada
kanannya, Sri Maharatu berkata dengan nada mengejek,
"Apakah leluhurmu masih ada yang sanggup
melawanku" Mengapa tak kau bawa kemari sekalian"
Atau mungkin kau ingin menyusul Muka Besi
sendirian?"
"Keparat kau, Perempuan Lacur!" geram Setan
Samudera. "Mulutmu perlu disumbat dengan ini,
heaah...!" tangan kanan Setan Samudera melemparkan
sesuatu yang diambil dari balik lengan jubah kirinya.
Wuuttt...! Gerakannya yang begitu cepat membuat Sri Maharatu
hanya bisa menghindar dengan cara melompat ke atas
tegak lurus dari tempatnya. Sambil melompat tangannya
pun melepaskan pukulan bersinar putih perak yang
melebar dari kedua jarinya. Zraabb...!
Benda yang dilemparkan Setan Samudera itu tak lain
adalah puluhan jarum merah yang membara bagaikan
terpanggang api. Puluhan jarum merah itu dihantam oleh
Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 2 Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah Pendekar Cacad 10
^