Pencarian

Cambuk Getar Bumi 3

Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi Bagian 3


sinar putih perak di pertengahan jarak. Syuurrbb...!
Jarum-jarum itu bagaikan masuk ke dalam gumpalan
uap air, tak ada suara dentuman yang membahana.
Jarum-jarum itu lenyap bersama hilangnya sinar putih
perak tepat ketika Sri Maharatu turun dan mendarat ke
tempat semula. Yang ada hanya kepulan asap putih tipis,
dalam sekejap hilang tersapu angin.
"Jurusmu masih ringan, Setan Samudera! Sebaiknya
kau pulang saja, jangan hadapi aku biar awet umurmu!"
ejek Sri Maharatu.
"Tutup mulutmu, Perempuan Binal! Terimalah jurus
'Bangau Pelebur Jasad' ini jikakau mampu! Heaah...!"
Setan Samudera sentakkan tangan kirinya yang
menguncup dan dari kuncup tangan itu melesat sinar
biru bening ke arah Sri Maharatu. Slaapp...! Sedangkan
tangan kanannya yang berkelebat ke atas kepala segera
diayunkan ke depan dengan meliuk ke samping lebih
dulu. Kuncup jemari tangan kanan itu juga lepaskan
selarik sinar warna kuning bening. Slaapp...! Dua sinar
itu menyatu di pertengahan jarak dan melesat makin
cepat ke arah lawan dengan berubah warna menjadi
hijau tua dan berukuran besar. Wuusss...!
Perempuan cantik itu segera rapatkan kedua telapak
tangan di dada, dan dari telapak tangan itu menyebarlah
sinar biru membentuk perisai di depannya. Sinar hijau
tersebut menghantam sinar biru perisai dengan kuat.
Blegarrr...! Warna hijau kebiru-biruan pecah dalam sekejap.
Gelombang ledakannya begitu kuat, sehingga tubuh Sri
Maharatu terlempar ke belakang dalam keadaan hilang
keseimbangan. Brrukss...! Ia jatuh di semak-semak
bagaikan sebuah karung yang dilemparkan begitu saja.
Setan Samudera sendiri tak kelihatan wujudnya. Sri
Maharatu yang bangkit dengan gerutuan tak jelas sempat
kebingungan mencari Setan Samudera. Ketika
mendengar suara erangan tipis dan pendek, mata Sri
Maharatu memandang ke atas pohon yang ada di
belakang Setan Samudera saat perpaduan dua pukulan
hebat tadi. Rupanya gelombang ledakan itu
melemparkan Setan Samudera tinggi-tinggi hingga
tubuhnyatersangkut di atas pohon.
Sekalipun kepala terasa sedikit pening, tapi Sri
Maharatu sempat tertawa melihat lawannyatersangkut di
atas pohon. Lalu, ia buru-buru lepaskan pukulan jarak
jauhnya berupa sinar biru berbentuk anak panah yang
keluar dari telapak tangan kanannya dalam satu
hentakan, seraya ia berseru lantang,
"Turun kau, Tuabangka!"
Slaap...! Melesatnya sinar biru berbentuk anak panah pendek
itu sangat cepat, sehingga Setan Samudera dibuat kaget
dalam sekejap. Kemudian dengan gunakan tangannya
menyentak di dahan, tubuh Setan Samudera melesat
menerabas dedaunan. Zraaakk...! Ia berpindah dahan di
lain pohon. Keadaannya telah berdiri tegak di atas sana
sambil memperhatikan sinar birunya lawan yang
menghantam dahan tempatnya tersangkut tadi. Jruubb...!
Praasss ..! Dahan itu pecah menjadi potongan-potongan
kecil dan jatuh menggunduk di tempatnya tumbuh. Dari
bagian batang bawah sampai di bagian pucuk tak ada
yang tak terpotong seukuran satu jengkal. Jumlahnya
puluhan potong, mungkin seratus potong lebih, dan
hebatnya dapat tertata rapi membentuk gunungan kayu
yang sudah kering.
"Edan! Ilmu apa yang dipakai si murid Pendita Arak
Merah itu"!" pikir Setan Samudera. "Sebaiknya
kugunakan jurus andalanku sebelum cambuk itu
digunakan lebih dulu olehnya. Sebab kalau cambuk itu
sudah di tangannya, aku akan sulit mengalahkannya,"
pikir Setan Samudera sambil bergerak turun dari atas
pohon, jubahnya berkelebat bagaikan sayap burung
perkasa. Begitu tiba di tanah, kedua tangannya segera
merentang cepat, lalu meliuk-liuk, mengibas ke sana-sini
dengan kaki di angkat silih berganti, melompat-lompat
di tempat, membungkuk, merendah dan memutar badan
dengan cepat. Weesss...! Pada saat tubuh memutar dan kembali pada arah
semula itulah, kedua tangan yang beradu pergelangannya
disentakkan ke depan dan menyemburlah sinar merah
bagaikan kobaran lidah api. Besar dan ganas gerakannya.
Woosss...! Jurus 'Mulut Naga Liar' itu biasanya
digunakan untuk menyerang lawan yang berjumlah lebih
dari sepuluh orang, karena semburan api yang berbentuk
sinar merah besar itu mampu menghanguskan sepasukan
prajurit dalam sekejap. Tiga langkah sebelum nyala api
besar itutiba, biasanya lawan sudah hangus lebih dulu.
Tapi agaknya kali ini Setan Samudera berhadapan
dengan lawan yang ilmunya lebih tinggi. Sri Maharatu
segera tarik jubahnya dan dihadangkan ke depan,
sehingga sinar merah besar dan ganas itu berhasil
ditahan dengan jubah sutera yang amat tipis namun
mempunyaikekuatan tenaga dalam tinggi. Zeerrb...!
Sinar besar itu menyusut dalam jarak tiga langkah
sebelum menyentuh jubah, lalu ketika menyentuh jubah,
sinar merah besar itu padam seketika. Blaaab...! Tinggal
asapnya yang mengepul sangat tipis dan membuat Setan
Samudera terbengong-bengong memandanginya.
"Tak pernah ada benda yang mampu bertahan
menerimapanasnya sinar merahku itu. Pintu baja setebal
gerbang banteng pun lumer dalam sekejap. Tapi jubah
tipis itu kekuatannya melebihi pintu baja tebal. Tak
sedikit pun ada bekas menghangus di jubah tipis itu.
Luar biasa!" gumam hati Setan Samudera.
Tetapi agaknya ia tak mau menyerah begitu saja. Ia
segera mainkan jurus lagi untuk serangan berikutnya,
namun tiba-tiba tangan Sri Maharatu menyambar
cambuk di pinggangnyamembuat Setan Samudera diam-
diam menjadi tegang memandanginya. Kedua tangannya
telah menggenggam, genggaman itu telah berasap, siap
untuk dilemparkan.
Namun gerakannya terlalu lambat menurut Sri
Maharatu, sehingga ketika cambuk pusaka itu
dilecutkan, genggaman tersebut masih merapat. Taarrr...!
Cambuk Getar Bumi berkelebat dengan ujungnya
menyala biru pendar-pendar. Cambuk itu sempat
dihindari oleh Setan Samudera yang melompat naik ke
udara, tapi ujung cambuk bagaikan memburunya naik
pula, lalu melilit di bagian dada dan perut dengan
timbulkan suara ledakan cukup keras. Duaarr...!
Seketika itu asap hitam mengepul tebal membungkus
tubuh Setan Samudera. Asap hitam yang sulit diterobos
pandangan mata manusia biasa itu bergumpal-gumpal
sesaat. Setan Samudera yang tak terdengar suaranya.
Ketika asap itu terhembus angin dan lenyap, yang ada di
depan Sri Maharatu adalah potongan tubuh Setan
Samudera yang menjadi empat bagian, karena ada empat
lilitan cambuk ditubuhnya.
Tubuh yang terpotong itu tidak keluarkan darah
sedikit pun. Namun jelas hal itu membuat Setan
Samudera tak mampu bernapas lagi, dan matilah ia
dirajang oleh cambuk pusaka leluhurnya sendiri. Sri
Maharatu sunggingkan senyum kemenangan sambil
menarik tali cambuk dengan tangan kiri dan
menggulungnya rapi. Mulutnyamengucap kata bagaikan
bicara pada mayat yangterpotong.
"Sudah kuingatkan sebelumnya, tapi kau tidak mau
percaya padaku, Setan Samudera. Kini, rasakan sendiri
bagaimana nasibmu terkirim kealam bakasana! Semoga
semua ini menjadi hikmah dan pelajaran bagimu, Setan
Samudera!"
Pada waktu cambuk melilit tadi, ternyata Delima
Gusti sudah tiba di semak-semak belakang Sri Maharatu.
Ia terbelalak menyaksikan adegan mengerikan.
Jantungnya berdetak-detak melihat nasib Setan
Samudera yang menjadi korban keganasan Cambuk
Getar Bumi itu. Kematiannya berbeda dengan cara
kematian yang dialami Muka Besi. Tapi buat Delima
Gusti, cara itu lebih kejam daripada cara kematian si
Muka Besi. Sementara itu, di Padepokan Lembah Sunyi, Resi
Wulung Gading sibuk memulihkan ingatan Pendekar
Mabuk. Pemuda itu sengaja ditotok jalan darahnya
supaya tidak bisa bergerak ke mana-mana. Ia
dibaringkan di atas lantai berlapiskan permadani.
Resi Wulung Gading segera tempelkan telapak
tangan kanannya ke dada Suto, tepat di ulu hatinya.
Tangan itu menyala pijar warna hijau. Sinar pijar hijau
itu kian melebar, membuat sebagian dada Suto pun
menjadi menyala pijar hijau. Itulah jurus pengobatan
yang dinamakan 'Tapak Lumut Dewa', yang mampu
untuk menawarkan segala macam racun.
Kini tubuh Suto menjadi menyala hijau sampai batas
perut ke atas. Kepalanya pun memancarkan cahaya hijau
membuat rambutnya bagaikan berwarna putih uban.
Makin lama sinar pijar hijau itu merambat sampai ke
telapak kaki, sehingga lengkaplah sekujur tubuh Suto
menerima getaran hawa suci yang dinamakan 'Tapak
Lumut Dewa' itu.
Tangan Resi Wulung Gading ditarik dari dada Suto.
Warna hijau pijar pada tangan itu menjadi padam. Tapi
warna hijau pijar di sekujur tubuh Suto masih saja
menyala, bahkan makin lama makin terang. Resi
Wulung Gading terkejut dan menjadi bingung sendiri.
"Biasanya begitu tangan kutarik ke atas, tubuh yang
menyala ini menjadi padam seketika. Tapi mengapa
sampai telapak tanganku sendiri sudah padam, tubuh
bocah inimasih menyalahijau begini"!"
Resi Wulung Gading menunggunya beberapa saat,
tetapi sampai lama ternyata tubuh Suto masih seperti
beling mengandung fosfor, hijau terang dan memijar.
Tubuh itu masih belum bisa bergerak sedikit pun. Resi
Wulung Gading kian kebingungan.
"Apakah aku salah mantera" Ah, kurasa tidak!
Nyatanya tanganku bisa menyala hijau, berarti aku tidak
salah mantera dan tidak salah pernapasanku. Wah, kalau
bocah ini tubuhnya menjadi hijau selamanya,
bagaimana"!" gumam Resi Wulung Gading sambil
menahan kegelisahan dan kecemasannya.
Tokoh tua yang usianya sudah banyak dan layak jika
menjadi pikun, lupa ini-itu, ternyata masih punya cara
lain untuk padamkan sinar hijau yang membungkus
tubuh Suto. Cara tersebut menggunakan jari tengah
tangan kanannya. Jari tengah itu ditempelkan di tengah
kening, antara kedua alis Pendekar Mabuk. Dengan
sedikit ditekan, jariitumulai menyalaputih menyilaukan
dengan kepulan asap tipis di sekelilingnya. Tiba-tiba,
slaappp...! Sinar putih menyilaukan itu masuk ke tubuh
Pendekar Mabuk, warna hijaunya lenyap dan berganti
warna putih perak menyilaukan. Kini tubuh Suto
bagaikan dilapisi sinar perak, dan sampai beberapa saat
tak maupadam-padam.
"Wah, sekarang malah ganti sinar tapi masih tak mau
padam juga"!" gumam Resi Wulung Gading. "Racun
'Lebah Setan' ternyata memang sulit dilumpuhkan.
Mungkin harus Dewa Sengat sendiri yang mengobati
Suto. Tapi... kurasa dia tak mau. Sebab aku tahu persis
wataknya, tak pernah mau mengobatiorang yang terkena
serangan jurus mautnya. Orang itu dibiarkan berupaya
mencari obat sendiri, yang jika terlambat bisa
mengakibatkan nyawa orang itu lenyap. Jadi, kalau toh
Suto dihadapkan kepada Dewa Sengat, dia tidak akan
mau obatiSuto!"
Resi Wulung Gading memang baru kali ini mencoba
menawarkan racun sengat dari jurus 'Lebah Setan', dan
ternyata dia tidak mampu lumpuhkan kekuatan racun
sengat tersebut, ia berjalan mondar-mandir di samping
tubuh Suto yang dibaringkan. Resi Wulung Gading
memeras otak mencari jalan keluar, sambil sebentar-
sebentar melirik tubuh Suto yang masih memancarkan
nyala sinar putih perak menyilaukan.
"Celaka kalau sampai begini seterusnya, ia bisa
menjadi bahan tontonan orang banyak. Citranya sebagai
Pendekar Mabuk akan lenyap, dan si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang pasti akan menuntutku! Hmmm... lalu
bagaimana cara memadamkan sinar itu dari tubuhnyal
Aku tak pernah alami kejadian seperti ini! Haruskah
disiram dengan air satu ember"! Oh, tidak! Dia bukan
kompor! Tak bisa dipadamkan dengan siraman air atau
rendaman karung basah. Pasti ada caranya. Hmmm...!"
gumam itu memanjang dalam renungan yang
mencemaskan jiwanya.
Setelah beberapa saat merenung, Resi Wulung
Gading segera tampakkan wajah lega berseri, ia berkata
seperti bicarapada diri sendiri,
"Aku lupa tidak membuka jalur nadinya! Pantas
sinarnya tak mau padam!" Maka, dengan gunakan dua
jari tangannya, Resi Wulung Gading menotok telapak
kaki Suto Sinting. Teebb...! Satutotokan membuat tubuh
itu tersentak, kaki terangkat naik karena kaget dan dagu
Resi Wulung Gading tertendangtak sengaja.
Plookk...! "Uh...! Terima kasih atas pembalasanmu, Suto,"
ucapnya pelan sambil mengusap-usap jenggotnya.
Selembar jenggot tersangkut di jari kaki Suto yang tadi
tersentak ke atas. Selembar jenggot itu diambil oleh
pemiliknya, dipandanginya dengan rasa amat sayang,
tapi akhirnya sang Resi geleng-geleng kepala dan


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuang selembar jenggotnyake samping.
Suto Sinting sudah mulai bisa gerakkan tangannya.
Nyala sinar perak itu telah padam sejak sentakkan totok
di telapak kaki tadi. Resi Wulung Gading semakin
kelihatan lega ketika Suto sudah mulai buka mata dan
berkedip-kedip.
"Racun itutelah punah, pasti ia kembali pada dirinya,
kembali dalam ingatan semula," ucap sang Resi, lalu
Pendekar Mabuk pun ditegurnya,
"Bagaimana keadaanmu, Suto"! Sudah ingatkah kau
siapa diriku?"
"Cambuk...," jawab Suto lirih. Resi Wulung Gading
bersungut-sungut.
"Hmmm... masih gila juga"!" ia melangkah dan
garuk-garuk kepalanya.
Ternyata Pendekar Mabuk memang belum bisa
terhindar daripengaruh racun sengatan 'Lebah Setan' itu.
Ia masih tidak ingat siapa dirinya, yang diingat hanyalah
kata cambuk. Lebih parah lagi, ternyata Suto Sinting
sekarang malahan tidak bisa bangkit dari
pembaringannya. Bahkan untuk gerakkan tangan agar
naik ke atas pun tak bisa. Kepalanya hanya bisa
berpaling ke kiri dan kanan, itu pun dilakukan dengan
pelan-pelan sekali.
"Aduh, kenapa malah jadi lumpuh begini"!" pikir
Resi Wulung Gading dengan bingung dan menahan
kejengkelan. "Rupanya pengaruh kekuatan racun 'Lebah
Setan' itu sungguh hebat. Jika dicoba untuk ditawarkan
atau diobati akan membuat si penderita semakin parah
dan mengakibatkan lumpuh. Aku tak tahu akan hal itu.
Kasihan Suto, sekarang seperti bayi baru selapan hari,
hanya bisa menengok ke kiri-kanan dengan pelan.
Hmm... aku harus mencari cara untuk memulihkan
keadaan bocah ini! Ah, sayang ada beberapa jurus dan
ilmu pengobatan yang telah kulupa karena ketuaanku.
Dulu aku mempunyai seratus macam pengobatan. Kini
yang kuingat hanya dua-tiga macam saja."
Pikir punya pikir, akhirnya Resi Wulung Gading
mempunyai gagasan baru setelah melihat tanda merah di
kening Pendekar Mabuk. Tanda itu berasal dari
penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Tidak
setiap orang bisa sampai ke negeri itu. Hanya orang-
orang berilmu tinggi dan yang mempunyaitanda khusus
seperti Suto yang bisa keluar masuk negeri yang
dipegang oleh Ratu Gusti Kartika Wangi, calon mertua
Suto, sebab Suto adalah calon istri Dyah Sariningrum,
anak dariRatu KartikaWangi.
"Bagaimana kalau Suto kubawa kepada beliau"
Kuserahkan kepada Ratu Kartika Wangi. Mudah-
mudahan penguasa bijak itu mampu sembuhkan Suto
dan bisa membuat Suto pulih kekuatan dan ingatannya
seperti sediakala."
Tanpa banyak menunggu pertimbangan lain, Resi
Wulung Gading segera angkat tubuh pemudatampan itu.
Sekalipun tubuhnya kelihatan berkulit lumer dan tampak
ketuaannya sangat melemah, namun ternyata sang Resi
masih punya tenaga simpanan cukup banyak, sehingga
ketika mengangkat tubuh Pendekar Mabuk ia tak
memerlukan urat mengencang ataupun suara ngotot
mengeras di leher. Nyiiing...! Seperti mengambil sarung
dan disangkutkan di pundaknya.
Ketinggian ilmu yang tersimpan dalam diri Resi
Wulung Gading membuatnya mampu menembus lapisan
alam kehidupan nyata dan tak nyata. Cukup dengan
melangkah keluar dari kamar pengobatan itu, sang Resi
yang menyampirkan tubuh Suto di pundaknya itu telah
menembus alam kehidupan lain, yang menurut
pandangan Dul dan Sukat, sang Resi menghilang begitu
melangkah keluar dari kamar. Kehadiran sang Resi
sudah diteropong oleh indera keenam Ratu Kartika
Wangi. Maka dikerahkanlah sejumlah prajurit Negeri
Puri Gerbang Surgawi alam gaib untuk menyambut
kehadiran sang tokoh sakti yang sudah mulai pikun
karena ketuaannya itu. Wanita-wanita cantik berseragam
sama berjajar memagari lorong yang menuju singgasana.
Mereka menyambut kedatangan sang Resi dengan
taburan bunga yang aromanya enak dihirup lama-lama.
Sang Resi pun tampakkan senyum keramahannya sambil
masih tetap memanggul Suto yang mirip sarung basah
disangkutkan di pundak itu, (Untuk lebih lengkap
tentang negeri ini, baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Manusia Seribu Wajah").
Seorang wanita cantik berwajah bulat telur dengan
cahaya mata yang memancarkan pesona dan kebijakan,
duduk di singgasana mengenakan jubah ungu dan
semuanya serba ungu. Dialah yang bernama Ratu
Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi
untuk alam gaib. Sang Ratu sedikit tegang ketika melihat
Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai oleh Resi Wulung
Gading. Sang Ratu pun segera ajukan tanya kepada sang
resi. "Resi Wulung Gading, apa maksudmu membawa
Manggala Yudha Kinasih kemari dan kau baringkan
seenaknya sajadi lantai?"
"Ampun, Gusti Ratu Kartika Wangi...," sang Resi
menghormat karena kedudukan dan kesaktiannya masih
dibawah sang Ratu. Katanya lagi,
"Suto Sinting telah benar-benar sinting, Gusti Ratu!
Ia terkena racun sengatan 'Lebah Setan' dan lupa siapa
dirinya, lupa siapa saya, serta lupa bagaimana
menggunakan jurus-jurusnya! Ia menjadi polos tanpa
kekuatan apapun."
"Racun sengat 'Lebah Setan'..." Hmm..., kalau tak
salah itu ilmunya si Dewa Sengat!"
"Betul, dan memang orang itulah yang
menyengatnya. Eh, yang melepaskan lebah dan lebah itu
menyengat Suto!"
"Kudengar di sana sedang heboh tentang cambuknya
si Warok Guci Wangsit"!"
"Benar. Dan Suto dituduh pencuri cambuk pusaka itu,
Gusti Ratu. Mereka salah paham, dan mengakibatkan
Suto menderita begini."
Ratu Kartika Wangi manggut-manggut. "Terlalu
berani Dewa Sengat melukai calon menantuku separah
ini. Aku khawatir dia akan binasa oleh Cambuk Getar
Bumi itu. Kalau tak salah, sekarang cambuk itu ada di
tangan Sri Maharatu!"
"Memang benar. Begitulah menurut laporan Delima
Gusti, putri sang Adipati Suralaya. Jika cambuk di
tangan Sri Maharatu, saya khawatir akan timbulkan
korban sangat banyak. Saya yakin, Pendekar Mabuk itu
mampu kalahkan Sri Maharatu jika keadaannya pulih
seperti sediakala. Jadi saya mohon, Gusti Ratu Kartika
Wangi sudi kiranya membantu memulihkan keadaan
Suto Sinting."
"Jangan khawatir, Wulung Gading," lalu sang Ratu
memandang kepada seorang pengawal yang ada di
tepian pintu menuju ke luar.
"Hidupkan Kolam Sabda Dewa, dan mandikan Suto
di sana!" Kolam Sabda Dewa adalah kolam keramat yang bisa
merubah nasib sesuai yang diinginkan orang yang
bersangkutan, jika orang itu mandi di dalamnya. Namun
apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memulihkan
kekuatan dan ingatan Pendekar Mabuk"
* * * 8 PUTRI Kunang menggerutu sejak tadi.
Pengaduannya tentang melihat seekor naga diabaikan
oleh sang Guru. Sangat tidak dipercayai sekalipun ia
ngotot setengah mati. Itu saja sudah membuatnya
menjadi dongkol. Belum lagi adanya dugaan bahwa
Cambuk Getar Bumi ada di tangan orang lain, itu
menambah kedongkolan Putri Kunang.
"Jika benar begitu, lantas untuk apa kita siksa
Pendekar Mabuk, Guru"! Kasihan dia! Tak ada salah
apa-apa menjadi sasaran kemarahan orang banyak,
menjadi sasaran kelicikan kita juga!"
"Itu hanya sebuah dugaan, Putri Kunang. Kita lihat
saja kenyataannya!"
"Kenyataannya kita belum temukan cambuk itu,
sedangkan kita juga sudah kehilangan Pendekar Mabuk
yang ganteng itu. Aaah...! Kenyataan ini terlalu pahit
bagiku, Guru!"
Sang Guru diam saja, merasa serba salah memberi
jawaban. Memang kenyataan itu dirasakan cukup pahit.
Waktu merekakembali ke gua di pagi hari, ternyata Suto
Sinting sudah tidak ada di tempat, sedangkan semalam
mereka melacak suara dan cahaya cambuk tidak
berhasil. Bukan hanya Putri Kunang yang dongkol
hatinya, melainkan sang Guru pun merasakan
kedongkolan itu amat menggemaskan. Ditambah lagi
separo hari mereka mencari jejak Suto dan cambuk itu
ternyatatidak menemukan hasil apapun.
Sampai akhirnya, Dewa Sengat tiba-tiba menghadapi
serangan berupa tiga pisau terbang yang melayang
bersamaan ke arahnya. Tiga pisau terbang itu berukuran
satu jengkal dan ujung gagangnya mempunyai rumbai-
rumbai benang merah terang. Zingng...!
Dada sang Guru yang menjadi sasaran tiga pisau
terbang tersebut. Tetapi dengan kewaspadaan tinggi dan
gerakan yang lincah, Dewa Sengat cukup mampu
menghindari tiga pisau terbang tersebut, ia melenting
tinggi dan bersalto satu kali, sehingga pisau terbang itu
lewat di bawahnya. Wesss...!
Jraabb...! Ketiganya menancap di batang pohon. Putri
Kunang terkesima sejenak melihat batang pohon itu
langsung mengering, kulitnya mengelupas, daunnya
menjadi coklat rengas. Putri Kunang tahu, mata pisau
tersebut pasti mempunyai jenis racun yang mampu
mengeringkan darah dalam sekejap.
"Tampakkan dirimu jika kau seorang berilmu tinggi!"
sentak Dewa Sengat seraya menatap kerimbunan hutan
di depannya. Seruan itu terjawab dengan kemunculan
seorang lelaki berperawakan tinggi, besar, berkumis
lebat, rambutnya abu-abu karena bercampur uban. Lelaki
itu kenakan ikat kepala yang menutup sebagian besar
rambut depannya. Ikat kepala itu berwarna merah.
Tubuhnya yang kekar berkesan gemuk itu mempunyai
kulit warna gelap, membuat wajah angkernya semakin
tampak menyeramkan bagi manusia biasa. Orang
tersebut kenakan pakaian serba merah, di dampingi dua
orang yang berpakaian hitam-hitam. Dua
pendampingnya itu masih berusia muda, sekitar dua
puluh lima tahun. Badannyakurus, namun wajah mereka
tampak bengis, tak takut mati.
"O, rupanyakau Baureksa"!" sapa Dewa Sengat yang
mengenali orang berkumis tebal dan berpakaian serba
merah itu. "Siapa dia, Guru?"
"Penguasa Lereng Iblis!" jawab Dewa Sengat
berbisik kepada muridnya.
"Dewa Sengat!" terdengar suara Baureksa begitu
lantang dan garang. "Sebenarnya akutak ingin berurusan
dulu denganmu sebelum Cambuk Getar Bumi berhasil
pindah ke tanganku. Tapi aku terpaksa melakukannya
sekarang juga, karena tiga utusanku. Tapi aku terpaksa
melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku
kudapatkan mati di daerah ini!"
"Lalu apamaksudmu" Mau meneruskan perkara lama
yang belum terselesaikan?"
"Terpaksa harus diselesaikan sekarang juga karena
kau sudah membuatku kehilangan kesabaran, Dewa
Sengat! Masalahnya bukan saja dendam atas kematian
adikku di tanganmu, tapi juga demi membalaskan
kematian tiga utusanku itu!"
"Akutidak merasamembunuh tiga utusanmu!"
"Omong kosong! Siapa lagi orang yang bisa
membunuh tiga utusanku itu selain dirimu" Karena
mereka mempunyai jurus 'Awak Baja', yang tidak
mempan diserang dengan senjata apa pun. Hanya kau
yang tahu rahasia jurus 'Awak Baja' itu, dan kebetulan
kutemukan dirimu berada di sekitar sini!"
Putri Kunang menatap gurunya, seakan menunggu
perintah. Tapi sang Guru tetap tenang memandang
Baureksa dengan penuh waspada. Orang bertubuh besar
itu maju dua tindak, pendamping kanan-kirinya ikut
maju dua tindak. Kini jarak mereka menjadi sekitar lima
langkah. Masing-masing siap serang dan siap hadapi
serangan. Putri Kunang pun ikut siaga di samping
gurunya. "Baureksa, kalau aku membunuh seseorang aku tak
pernah dustai tindakanku itu. Tapi kalau aku tidak
membunuh, jangan paksa aku mengakuinya, nanti kau
sendiri yangkehilangan nyawa, Baureksa!"
"Enak sekali mulut tuamu bicara, Dewa Sengat!
Rasa-rasanya kau perlu cobai kehebatan ilmuku
belakangan ini!"
"Kalau kau jual, aku beli!"
"Keparat! Suhito, Roka, serang dia!"
"Heaaat...!" kedua orang berpakaian hitam itu segera
melompat maju dengan mencabut golok masing-masing.
Putri Kunang bergerak tanpa perintah gurunya, ia
segera lompat maju dengan pedang terhunus dan siap
hadapi kedua orang berpakaian hitam itu. Trang! Wutt,
wutt, wuttt, trangng...! Putri Kunang pamerkan jurus
'Pedang Angin' andalannya. Gerakannya begitu cepat
melebihi gerakan angin, tak mudah dilihat kemana arah
pedangnya berkelebat. Sehingga dalam waktu singkat


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suhito dan Roka tumbang di tangan Putri Kunang.
Cras...! Craasss...! Suhito robek perutnya dan Roka
robek lehernya. Tentu saja mereka segera menggelepar
dan tak bernapas lagi selama-lamanya.
Kematian Suhito dan Roka yang begitu singkat
membuat mata Baureksa mendelik. Wajahnya kian
merah, semakin menyeramkan. Kedua tangannya
menggenggam kuat-kuat sehingga kulit-kulit tubuhnya
tampak bertonjolan urat kekar, ia menggeram kepada
Putri Kunang, lalu melompat dengan tangannya
menyebarkan sesuatu kearah Putri Kunang.
Wrrr...! "Mundur!" teriak Dewa Sengat, dan seketika itu pula
Putri Kunang bersalto mundur dua kali. Dewa Sengat
menerabas serbuk besi beracun dengan menghentakkan
tangannya ke depan dan menyemburlah asap bercampur
hembusan angin kencang yang membuat serbuk besi
beracun itu beterbangan membalik kearah penyebarnya.
Tetapi pada waktu itu Baureksa sudah menduga
kemungkinan seperti itu, sehingga ia sudah lebih dulu
sentakkan kakinya lagi dan melompat ke samping. Dari
samping ia lepaskan pukulan jarak jauh bercahaya hijau,
menyerupai bentuk piringan bergerigi. Slaappp...!
Arahnyake pinggang Dewa Sengat. Tetapi Dewa Sengat
dengan cepat sentakkan tangan kirinya ke samping,
terlepaslah sinar merah menyerupai bintang berekor
yang melesat menghantam sinar hijau.
Duaarrr..! Gelombang ledakan itu membuat Dewa Sengat
tersentak mundur dua tindak, Baureksa pun mundur dua
tindak. Keduanya masih sama-sama berdiri dengan
tegar, tanpa goyah sedikit pun. Mata mereka saling
pandang tajam setelah asap putih dari ledakan tadi
menghilang dari pandangan mata mereka.
"Kuingatkan padamu, Baureksa...," kata Dewa
Sengat. "Kau tidak akan unggul jika melawanku. Kau
masih butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk berguru
kepada orang berilmu tinggi, baru bisa melawanku,
Baureksa!"
"Tutup bacotmu, Dewa Sengat!" geram Baureksa.
Tangannya bergerak pelan-pelan dengan penuh tenaga.
Kedua tangan itu mengembang, dan akhirnya saling
bertemu di dada, saling rapat dan masih tetap bergetar.
Matanya tetap memandang tajam ke arah Dewa Sengat
tanpa berkedip sedikit pun. Getaran tubuhnya itu
rupanya memancarkan gelombang tenaga dalam
berhawa panas. Gelombang hawa panas itu dikumpulkan
menjadi satu dan dipusatkan di bola matanya. Maka
dalam beberapa kejap berikutnya, dari kedua bola mata
itu melesatlah dua larik sinar merah terarah ke dada
Dewa Sengat. Claapp...!
Tapi baru tiba di pertengahan jarak, sinar merah dua
larik dihadang oleh dua sinar kuning yang melesat dari
kedua ujung jari Putri Kunang. Akibatnya dua sinar itu
saling berbenturan dan timbulkan ledakan yang cukup
dahsyat. Blaarrr...! Baureksa membuka muka karena ledakan itu
menyentakkan tenaga balik yang membahayakan bagi
matanya. Pada saat itu Dewa Sengat bersiul panjang.
Suiiittt...! Baureksa tak pedulikan siulan lengking memanjang
itu. Iasegera serang Dewa Sengat dengan jurus lain. Kali
ini sinar biru sebesar ibu jarinya melesat dari tengah
telapak tangan kanannya. Slaappp...! Sinar biru lurus itu
kembali dihadang oleh Putri Kunang dengan gunakan
sinar kuningnya tadi yang kini lebih besar lagi
ukurannya dari yang tadi, karena sinar kuning itu
melesat dari ujung lima jari yang menguncup menjadi
satu. Slaappp...!
Blegaarr...! Baureksa dan Putri Kunang sama-sama tersentak
mundur. Putri Kunang sempat berpikir, "Gila! Besar
sekali tenaganya itu. Tanganku sampaiterasa ngilu, kulit
jarikuterasapanas"!"
Sementara itu Baureksa pun membatin, "Muridnya ini
lebih berbahaya dari gurunya. Serangannya selalu
bertenaga tinggi. Tanganku dibuat semutan akibat
benturan dengan sinar kuningnya. Kurasa lebih baik
muridnyakuhancurkan dulu!"
Tetapi hasrat itu belum sempat terlaksana, tahu-tahu
terdengar suara gemuruh di belakang Baureksa yang
membuat orang itu berpaling ke belakang, ia terkejut
melihat puluhan lebah datang membentuk barisan hitam
yangterbang ke arahnya. Baureksa mulaitegang. Karena
di sebelah utara dan selatan pun tampak bayangan hitam
bagaikan mendung berarak-arak mendekatinya, gaung
suara lebah itu bergemuruh mirip suara banjir datang
dari berbagai arah.
"Bangsat! Dewa Sengat mau main-main seperti anak
kecil saja!" pikirnya penuh kejengkelan. Maka Baureksa
pun melepaskan pukulan-pukulan bersinar yang
membuat lebah-lebah itu berantakan, namun segera
kembali membentuk barisan menyerang ke arah
Baureksa. Dirasakan semakin banyak yang mati semakin
berlipat ganda yang datang.
Baureksa sibuk hadapi lebah-lebah itu. Dewa Sengat
menyambarkan tangannya di tempat kosong. Tangan itu
menggenggam sesaat dan ditarik di depan dada. Ketika
genggamannya dibuka, teryata ada dua ekor lebah merah
yang melesat terbang dari genggaman itu. Wuungng...!
Dua lebah merah itu menyerang punggung dan leher
Baureksa. "Auh...!" Baureksaterpekik kaget mendapat sengatan
di dua tempat. Tapi seketika itu pula tubuhnya
mengejang, jantungnya bagaikan sulit dipakai bernapas.
Jantung itu berhenti dalam tiga hitungan, dan akhirnya
tubuh Baureksa yang besar dan berwajah angker itu
roboh bagaikan nangka busuk jatuh dari atas pohon.
Buugh...! Wajahnya tetap mengejang, matanya tetap
mendelik, semua tubuhnya tetap dalam keadaan seperti
pada saat berdiri tadi. Namun ia sudah tidak bernapas
mulai saat itu sampai selamanya. Sedangkan lebah-lebah
yang berduyun-duyun itu segera menyergapnya beramai-
ramai. Lebah-lebah itu bukan haus madu, melainkan
haus darah. Tubuh Baureksa akhirnyatertutup rapat oleh
ratusan lebah yang membentuk warna hitam bergaung,
merindingkan bulu kuduk siapa pun yang melihatnya.
"Tinggalkantempat ini, Muridku!" ucap Dewa Sengat
bagaikan sebuah perintah yang harus ditaati oleh sang
murid. Maka, mereka pun bergegas pergi mencari
Pendekar Mabuk sambil mencari siapapemegang pusaka
Cambuk Getar Bumi sebenarnya.
Pada waktu itu, Delima Gusti sedang mencari jalan
pintas untuk mencapai pantai. Kelebatan bayangan
dirinya terlihat oleh mata Putri Kunang. Ia segera
berkata pada gurunya,
"Delima Gusti berlari ke utara, Guru! Jangan-jangan
dia yang berhasil temukan Cambuk Getar Bumi dari
tempat persembunyiannya"!"
"Kejar dia!"
Wuuttt...! Putri Kunang tidak tunggu perintah kedua,
ia segera melesat mengejar Delima Gusti dengan
gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga mampu
berlari dengan cepat. Dewa Sengat mengikuti dari
belakang, sebab pikirnya,
"Biarlah kali inimuridku yang akan selesaikan urusan
dengan Delima Gusti. Kecuali jika Delima Gusti
memegang cambuk pusaka itu, baru akuyang maju."
Putri Kunang pun mengambil jalan pintas untuk
memotong di depan langkah Delima Gusti. Gerakannya
yang cepat dan menerabas semak belukar manapun juga
membuat ia tiba di jalanan depan Delima Gusti.
Akibatnya, putri sang Adipati itu pun hentikan langkah
dan mulai pasang waspada melihat kemunculan Putri
Kunang di depannya, ia melirik ke samping kanan,
tampak Dewa Sengat sedang menuju ke tempat itu juga.
Hati Delima Gusti membatin,
"Guru sesat itu selalu ikut campur tangan urusan
muridnya. Mereka suka main keroyokan! Hmmm...!
Kalau terpaksa harus kulawan sampai titik darah
penghabisan, apa boleh buat! Kukerahkan semua
tenagaku, kukeluarkan semua jurus simpananku untuk
melawan mereka berdua!"
Putri Kunang dan Dewa Sengat pandangi Delima
Gusti dari rambut sampai kakinya. Mereka memeriksa
keadaan Delima Gusti yang ternyata tidak memegang
Cambuk Getar Bumi. Dewa Sengat kendorkan
ketegangan, tapiPutri Kunang masih tetap siap lepaskan
serangan sewaktu-waktu.
"Mau apa kau menghadangku"!" ketus Delima Gusti
dengan matamenyipit sinis.
"Tentu sajameneruskan pertarungan kita kemarin!"
"Aku tak punya waktu! Aku harus kejar kakak tirimu
itu, karena dia sudah berhasil dapatkan Cambuk Getar
Bumi." "Hahh..."!" Putri Kunang terpekik, wajahnya tegang,
matanya mendelik. Dewa Sengat pun kaget, sehingga ia
anggap Delima Gusti hanya menyebar isu belaka, maka
ia pun melangkah dekati Delima Gusti dan berkata
dengan suara tegas bernada menghardik.
"Jangan sembarangan bicara kalau mulutmu tak mau
hancur, Delima Gusti!"
Delima Gusti sunggingkan senyum sinis. "Kalian jadi
ketakutan sekali kelihatannya. Baru mendengar kabarnya
saja sudah ketakutan, apalagi jika kalian lihat Sri
Maharatu memotong-motong tubuh Setan Samudera
dengan cambuk itu, dan melihat Sri Maharatu
menenggelamkan si Muka Besi di dalam bumi dengan
cambuk itu, mungkin kalian akan terkencing-kencing di
tempat!" "Kurang ajar! Hiih...!" Putri Kunang terhina dan
melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar kuning
dari ujung jari tangannya. Slaappp...!
Delima Gusti menangkisnya dengan sentakan kaki ke
tanah, dan dari tanah di kakinya itu melesat sinar merah
seperti bintang berekor. Claapp...! Kedua sinar
bertabrakan dan meledak di pertengahan jarak. Blaarrr...!
Kedua perempuan itu saling berlompatan ke belakang
menghindari gelombang ledak yang cukup punyatenaga
kurang kuat itu. Putri Kunang segera cabut pedangnya,
dan Delima Gusti pun cabut pedang juga, memainkan
jurus pedang pembuka. Wutt, wutt, wutt...!
"Hentikan!" sentak Dewa Sengat dengan berwibawa
dan berwajah angker. Seruan itu bukan hanya untuk
Delima Gusti, namun juga untuk muridnya sendiri,
sehingga sang murid tak berani lanjutkan gerakan
berikutnya. "Delima Gusti! Benarkah kata-katamutadi"!"
"Kalau tak benar, mengapa aku harus lari ke arah
utara"! Kau tahu arah utara adalah arah pantai! Kulihat
Sri Maharatu membawa cambuk pusaka itu ke arah
pantai. Dugaanku mengatakan, bahwa Sri Maharatu akan
bawa Cambuk Getar Bumi pulang ke Pulau Dadap. Aku
harus mencegahnya!"
Wajah Putri Kunang mulai menampakkan
kecemasannya, ia pandangi wajah gurunya yang agak
penuh pertimbangan itu. Sementara sang Guru
mempertimbangkan langkah, sang murid berkatakepada
Delima Gusti, "Mana mungkin kakak tiriku itu berhasil
mendapatkan Cambuk Getar Bumi" Itu berarti ia harus
bertarung dulu dengan Bandar Hantu Malam. Dan ia tak
akan semudah itu dapat kalahkan Bandar Hantu
Malam!" "Memang!" jawab Delima Gusti, "la bekerja sama
dengan tokoh tua yang berjuluk Nini Pancungsari!
Merekaberhasil membunuh Bandar Hantu Malam ketika
Bandar Hantu Malam mau gunakan cambuk itu. Nini
Pancungsari mengambil kalung merah si Bandar Hantu
Malam, sedangkan Sri Maharatu mengambil cambuk
pusaka tersebut. Tiga utusan dari Lereng Iblis
dibabatnya habis. Tapi aku tak melihat jelas pertarungan
itu. Yang kulihat dengan jelas-jelas adalah saat ia
melawan si Muka Besi dan Setan Samudera!"
Setelah hening sesaat, tiba-tiba Dewa Sengat ucapkan
kata, "Masuk akal!"
Ucapan itu membuat kendor ketegangan Putri
Kunang. Pedangnya disarungkan kembali. Wajah gadis
cerewet itu menjadi murung, dicekam kecemasan juga
dicekam kekecewaan, ia melangkah jauhi gurunya,
bersandar di bawah pohon dengan wajah cemberut dan
kedua tangannya bersidekap di dada. Sang Guru
memperhatikan kekecewaan muridnya, hatinya tak tega,
lalu didekatinyasang murid.
"Putri Kunang...."
Belum selesai bicara, Putri Kunang sudah menyahut
dengan bersungut-sungut,
"Percuma aku minta bantuan Guru kalau
kenyataannya justru dia yang dapatkan cambuk itu! Jelas
aku akan kalah dalam pertarungan di malam purnama
nanti!" "Kita masih punya cara lain, Putri Kunang."
"Tidak ada cara lain! Dia pasti akan unggul dan
menjadi penguasa di Pulau Dadap! Aku akan hancur
terpotong atau ditelan bumi karena cambuk itu!"
Dewa Sengat tarik napas sabarkan diri. Putri Kunang
mulai menangis.
"Kasihan Suto, jadi korban kebodohan kita! Kalau
Guru tidak gunakan 'Lebah Setan', mungkin kita bisa


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta bantuan kepadanya!"
Sang Guru masih diam, prihatin mendengar kabar itu.
Sesekali matanya memandang Delima Gusti yang masih
diam di tempatnya, seakan menunggu keputusan
bersama. Sebab dalam hati Delima Gusti pun berkata,
"Akan kumanfaatkan kekuatan Dewa Sengat untuk
mencuri kelengahan Sri Maharatu. Begitu Dewa Sengat
bertarung melawan Sri Maharatu, aku harus mencari
kesempatan untuk merebut cambuk itu dari
pinggangnya!"
Terdengar lagi suara Putri Kunang berkata bagaikan
bicara pada diri sendiri,
"Aku tidak akan pulang ke Pulau Dadap! Percuma
aku pulang ke sana, hanya akan serahkan nyawa saja.
Percuma aku punya Guru kalau begini, tak bisa
selamatkan diriku, tak bisa selamatkan hak warisku!"
"Jangan berkata begitu, Putri Kunang!"
"Harus berkata bagaimana"!" ucapnya sambil
mengisak dalam tangis. "Kalau Guru sayang padaku,
rebutlah cambuk itu untukku."
"Aku tak punya alasan untuk merebut cambuk itu,
Muridku!" "Tak perlu alasan apa-apa untuk orang macam dia,
Guru! Kalau aku mampu, akan kulakukan sendiri. Tetapi
ilmuku masih rendah, tanpa cambuk itu pun Sri
Maharatu dapat dengan mudah kalahkan diriku, karena
ia mewarisi sebagian besar ilmu Pendita Arak Merah,
gurunya!" Dewa Sengat diam berpikir, saat itu Delima Gusti
berani diri untuk mendekati mereka, ia ingin katakan
sesuatu, tapi Putri Kunang lebih dulu bicara kepada
gurunya dengan isak tangis yang mengguncangkan
tubuh. "Aku akan berhenti jadi muridmu, Guru! Aku tidak
akan mau berguru lagi padamu kalau kau tak bisa
rebutkan cambuk itu untukku!"
Setelah tarik napas panjang-panjang, Dewa Sengat
pun akhirnya berkata, "Baiklah, muridku...!" ia
mengusap-usap rambut Putri Kunang. "Berat hatiku
ditangisi murid tercinta, apa pun jadinya akan
kurebutkan cambuk itu untukmu. Tapi ingat, jika terjadi
sesuatu pada diriku, itu adalah tanda kasih sayangku
kepadamu, Muridku. Jika sampai aku tumbang di
tangannya, larilah dan jangan hadapi dia dalam waktu
sekarang. Kembangkan ilmu silat aliran Lebah Maut,
pelajari semua ilmu yang ada di dalam kitab kita itu.
Hanya itu pesanku padamu, Putri Kunang. Sekarang aku
akan berangkat mencarinya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Kalau dia melihatmu, maka dia akan
mengejarmu dengan cambuk itu, Muridku!"
"Aku akan membantu Guru melawannya!"
"Itu lebih berbahaya. Salah-salah kau lebih dulu
celakaketimbang diriku, Putri Kunang."
Delima Gusti menimpali dengan memaksakan diri,
"Aku juga akan membantumu, Dewa Sengat! Sri
Maharatu tak akan bisa kalahkan kekuatan kita bertiga.
Tapi aku dan Putri Kunang tidak akan menyerang secara
terang-terangan. Biarlah kami berbuat sedikit curang,
karena kecurangan untuk orang semacam Sri Maharatu
tidaklah berartikelemahan bagi kita!"
"Aku setuju!" sahutPutriKunang.
Dewa Sengat berpikir sesaat, setelah itu menjawab,
"Baiklah kalau memang kalian keras kepala mau
membantuku! Kita berangkat sekarang juga, dan hati-
hatilah. Jangan sampai dia mengetahui keberadaan
kalian!" Maka bergegaslah mereka menuju ke pantai mencari
Sri Maharatu yang diperkirakan sedang mempersiapkan
diri melakukan penyeberangan, menuju Pulau Dadap,
tempat yang diharapkan di mana ia akan menjadi
penguasa terhormat.
* * * 9 OMBAK laut bergulung-gulung dengan tenang.
Tidak seliar biasanya. Karena saat itu angin berhembus
sepoi-sepoi basah, tanpa badai dan topan yang
memancing amukan sang ombak. Cuaca cerah sungguh
baik untuk berlayar. Dan di sudut sana, tampak seorang
wanita berjubah biru muda sedang mempersiapkan diri,
menyewa sebuah perahu bersama pendayungnya.
Perempuan itu tak lain adalah Sri Maharatu, dengan
cambuk pusakanya yang terselip di pinggang, digulung
membentuk lingkaran kecil.
Dewa Sengat semakin percaya dengan ucapan Delima
Gusti. Matanya tertuju pada cambuk di pinggang Sri
Maharatu. Hatinya mulai berkecamuk sesuai dengan
jalan pikirannya yang sedang mencari cara menyerobot
cambuk itu. "Kalau dia kuserang secara bertubi-tubi, dia tidak
akan punya kesempatan untuk mencabut cambuk itu.
Tapi sekali dia punya kesempatan, habislah aku!
Seranganku harus terarah pada tangan kanannya, sebab
ia akan gunakan tangan kanan untuk mencabut cambuk
di pinggang kirinya. Kalau kugunakan jurus 'Jeritan
Kumbang', dia bisa dikerumuni puluhan bahkan ratusan
lebih lebah hutan yang haus darah. Tapi dengan
cambuknya dia bisa kalahkan pasukan lebahku.
Sebaiknya, sebelum ia gunakan cambuk itu dalam
menghadapi pasukan lebahku, aku harus bisa
menyambarnya lebih dulu dari belakang. Ya, kurasa cara
yang terbaik adalah memancingnya dengan pasukan
lebah." Jaraknya yang masih cukup jauh dari Sri Maharatu
membuat Dewa Sengat tak ragu-ragu lepaskan siulan
lengking memanjang sebagai isyarat memanggil pasukan
lebahnya. Siulan itu berhenti, Dewa Sengat maju dekati
sasaran sebelum pasukan lebah datang, ia bermaksud
bersembunyi di balik gundukan batu karang yang
berwarna putih kecoklatan itu. Tetapi sial, ia kepergok
mata Sri Maharatu yang kalaitutak sengaja berpaling ke
arahnya dan mengetahui kehadirannya.
Dewa Sengat terpaksa urungkan niat untuk
bersembunyi, ia sengaja tampakkan diri dekati Sri
Maharatu yang memandangnya dengan senyum sinis.
Dalam hatiSri Maharatu berkata, "Pasti dia datang untuk
rebut cambuk ini! Dan pasti dia datang bersama Putri
Kunang! Hmm... ke mana murid bengalnya itu" Apakah
bersembunyi di suatu tempat" Oh, aku harus hati-hati
jika begitu."
"Kau mencari cambuk ini, Dewa Sengat?" pancing
Sri Maharatu sambil mencabut cambuk dari
pinggangnya. Dewa Sengat mengeluh dalam hati, "Wah, belum-
belum dia sudah cabut cambuk itu! Sukar
menyerobotnya jika sudah dalam genggaman tangannya.
Bahaya sekali! Aku bisa celaka kalau tak hati-hati
dengan gerakannya."
Melihat cambuk yang melingkar itu telah dilepaskan
menjadi terjulur panjang, dua nelayan yang hendak
menjadi pendayung dan akan disewa perahunya segera
singkirkan diri. Mereka tahu gelagat, bakal terjadi
pertarungan yang dapat membuat mereka jadi korban
salah sasaran. Mereka segera pergi jauh-jauh, namun
juga tidak mau tinggalkan begitu saja. Mereka
memandang dari kejauhan dengan perasaan ingin tahu
apa yang bakalterjadi sebenarnya.
Sri Maharatu melangkah ke samping, kian lama kian
memperpendek jarak. Sedangkan Dewa Sengat
berdebar-debar menunggu pasukan lebahnya yang tak
kunjung datang. Sementara itu, Putri Kunang dan
Delima Gusti saling berbisik dari tempat persembunyian
mereka. "Celaka! Dia sudah genggam cambuk itu, Delima
Gusti!" "Bakalan sulit merebutnya, kecuali jika tangan
kanannya itu yang diserang secara bertubi-tubi."
"Kalau begitu, pusatkan serangan ketangan kanannya
biar cambuknyaterlepas. Kita berpencar dua arah!"
"Kurasa itu gagasan yang baik," dan Delima Gusti
pun memisahkan diri. Hatinya menyusun rencana,
"Begitu cambuk terlepas, akan kusambar lebih dulu
sebelum PutriKunang mendapatkannya!"
Dewa Sengat sengaja tidak bicara, sebab menurutnya
sudah tak ada kata-kata lagi untuk Sri Maharatu.
Membujuknya jelas tak mungkin, menantangnya pun
sudah tak perlu kata-kata, karena perempuan itu tahu
maksud kedatangan Dewa Sengat ke situ. Yang
dibutuhkan Dewa Sengat adalah kesempatan untuk
menyerang telak dan mematikan. Sebab itu, ia tak
banyak bergerak kecuali matanya yang memandang
tajam penuh waspada.
"Mengapa diam saja, Dewa Sengat" Kau takut
melihatku menggenggam cambuk pusaka ini" Hi hi hi
hi...! Baru sekarang kulihat seorang Guru pucat
wajahnyamenghadapilawan muridnya!"
Kata-kata itu membuat Dewa Sengat bagai dibakar
darahnya. Darah itu mendidih dan naik ke kepala. Tapi
Dewa Sengat berusaha menaban ledakan amarahnya, ia
berpura-pura tidak mendengar hinaan itu. Ia hanya
berkata pelan, "Tak kusangka kaulah orangnya yang membunuh
Bandar Hantu Malam dan bekerjasama dengan Nini
Pancungsari!" Dewa Sengat hanya mengulur waktu
sambil menunggu pasukan lebahnya datang.
"Dari mana kau tahu?" tanya Sri Maharatu sambil
tersenyum bangga.
"Nini Pancungsari sendiri yang menceritakannya
padaku." Sri Maharatu lepaskan tawa mengikik dengan keras.
"Tak mungkin, Dewa Sengat! Tak mungkin Nini
Pancungsari sendiri yang menceritakannya, sebab nenek
tua itu segera kubunuh setelah cambuk ini ada dalam
genggamanku."
"Kejam!" geram Dewa Sengat.
"Ya. Mungkin layak dibilang kejam, tapi aku hanya
sekadar menguji keaslian cambuk pusaka ini. Tubuh
Nini Pancungsari terbelah menjadi dua ketika kutebas
dengan lecutan cambuk ini, lalu ia menggelinding ke
jurang bersama kalung merahnya Bandar Hantu Malam.
Hi hi hihi...!"
Dewa Sengat mulai lega, awan hitam berarak-arak
mulai datang dari arah selatan. Awan hitam yang
dilihatnya itulah pasukan lebah yang ditunggu-tunggu.
Bahkan kini pasukan lebah lain muncul pula berarak-
arak dari timur dan barat. Dewa Sengat mulai punya
semangat. Napasnya ditarik panjang-panjang sebagai
persiapan melepas jurus-jurus mautnya.
Sri Maharatu mendengar suara gemuruh dari tiga
arah. Tanpa berpaling memandang ke tiga arah itu ia
sudah dapat menduga apa yangterjadi, ia pun sudah bisa
simpulkan apa yang membuat Dewa Sengat sejak tadi
tidak bergerak menyerang.
"Rupanya dia mencari kesempatan untuk menyerobot
cambuk ini saat aku sibuk menghadapi pasukan
lebahnya," pikir Sri Maharatu.
Sambil sunggingkan senyum sinis, Sri Maharatu
berkata kepada Dewa Sengat,
"Rupanyakau sedang menunggu pasukan lebahmu itu
Dewa Sengat" Dan kau akan curi kesempatan untuk
menghantamku lalu menyerobot cambuk ini" Oh, mudah
sekali pikiranmu kubaca, Dewa Sengat!"
Tokoh tua itu tak bisa bilang apa-apa. Ia hanya
memikirkan cara terbaik untuk segera lakukan gerakan
serang. Tapi lawannya ternyata punya kecerdasan otak
tersendiri. Sri Maharatu segera gerakkan cambuknya. Matanya
masih memandangi Dewa Sengat tapi cambuk segera
dilecutkan di atas kepalanya ketika bunyi gemuruh lebah
itu kian mendekat. Wuutt...!Taarr...! Taarrr...! Taarrr...!
Bumi pun berguncang. Yang keluar dari ujung
cambuk itu adalah puluhan petir yang menyebar ke
segala penjuru. Gelegar suara petir menghadirkan gema
dan gelombang sentakan amat dahsyat. Air laut bergolak
karena diguncang gempa setempat. Dan lidah-lidah petir
itu menyambar habis lebah-lebah yang datang dari tiga
arah. Binatang bersengat itu dihujani petir dan dilalap
dalam sekejap. Sedangkan Dewa Sengat tak bisa lakukan
serangan karenamata Sri Maharatu tertuju kepadanya.
Habis sudah pasukan lebah andalan Dewa Sengat.
Alam menjadi hujan bangkai lebah di beberapa tempat.
Hening tercipta beberapa saat. Senyum kemenangan Sri
Maharatu tersungging kian membakar darah Dewa
Sengat. Wuuttt...! Akhirnya Dewa Sengat menangkap udara,
menggenggam, dan membuka genggamannya. Maka
lima lebah merah yang tadi mematikan Baureksa
menyebar ke arah Sri Maharatu. Wwwrrr...!
Sri Maharatu sentakkan tangan kirinya. Claapp...!
Sinar merah lebar melesat dan menghantam habis lima
ekor lebah merah itu. Craasss...! Tak satu pun ada yang
utuh bangkainya.
Putri Kunang mengetahui kebingungan gurunya. Tak
mendapat kesempatan baik untuk lakukan serangan.
Maka, Putri Kunang pun segera lepaskan sinar kuning
dari dua jarinya ke arah pergelangan tangan Sri
Maharatu. Claappp...! Dengan gerakan cepat, Sri
Maharatu yang merasakan gelombang panas
mendekatinya dari samping kanan, segera sentakkan


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kirinya ke kanan dengan badan meliuk ke kanan
pula. Claaappp...! Sinar merah kembali menghancurkan
sinar kuning lawan. Bllaarrr...!
Pada saat itulah, pancingan Putri Kunang
dianggapnya berhasil. Karena Dewa Sengat segera lepas
jurus mautnyaberupa sepuluh larik sinar ungu dari ujung
jari-jarinya. Zraaabbb...!
Sayangnya Sri Maharatu mampu bergerak lincah
dengan menarik jubahnya ke depan dan menghadang
sepuluh sinar ungu itu. Sehingga sinar-sinar tersebut
memantul balik dan nyaris kenai tubuh Dewa Sengat
sendiri. Untung Dewa Sengat segera berjungkir balik di
udara, sehingga sinar itu melesat ke arah lautan dan
menggelegar di sana.
Tetapi seketika itu pula cambuk pusaka berkelebat
melecut tubuh Dewa Sengat dengan kecepatan tinggi.
Taarrr...! Craass...! Cambuk itu melilit dari pundak
kanan ke pinggang kiri. Tali cambuk menyala biru
seketika itu juga. Asap mengepul dengan tebal.
Ketebalannya tidak bisa ditembus mata manusia biasa,
sehingga Putri Kunang dan Delima Gusti menjadi tegang
dan kebingungan mencapai sasaran pandang di balik
gumpalan asap itu.
Ketika asap telah menepi dan lenyap terbawa angin
pantai, Putri Kunang mendelik melihat gurunya telah
terkapar dalam keadaan tubuh terpotong menjadi dua
bagian dari pundak ke pinggang. Tentu saja Dewa
Sengat tak punya nyawa lagi, dan ia tergeletak bagaikan
bonekakayu yangtak berguna lagi.
"Guruuu...!" teriak Putri Kunang sambil menangis, ia
keluar dari tempat persembunyiannya, menghamburkan
tangis ke mayat gurunya.
"Akhirnya kau muncul juga, Anak Bengal! Hi hi
hi...!" Sri Maharatu melecehkan tangis Putri Kunang.
"Menangislah tujuh hari lamanya, maka mayat gurumu
akan membusuk di depanmu, tak akan bangkit lagi!"
"Manusia kejam!" geram Putri Kunang. Ia segera
bangkit dan tangan kanannya menyentak lurus, dengan
telapak tangan lurus yang tengkurap. Lalu daritangan itu
menyemburlah puluhan kunang-kunang beracun warna
hijau yang segeramenerjangtubuh Sri Maharatu.
Tetapikunang-kunang beracun itu pun dengan mudah
dilenyapkan oleh sinar merahnya Sri Maharatu.
Wuusss...! Lenyapnya kunang-kunang beracun itu
membuat Sri Maharatu lepaskan tawa kemenangan yang
mengikik. Putri Kunang kian geram, lalu ia pun
mencabut pedangnya.
"Hei, kau mau bertarung melawanku, Anak Bengal"!
Bukankah pertarungan kita kurang tiga hari lagi, tepat
malam purnama"Tahanlah dulu!"
"Pertarungan kita memang kurang tiga hari lagi, tapi
sekarang aku menuntut balas kematian guruku dulu!
Hiaaat...!"
Putri Kunang melompat cepat dengan pedang siap
ditebaskan. Tetapi Sri Maharatu segera melompat juga
dengan kaki berkelebat dan ujung kakinya melepaskan
sinar putih kecil. Slaap...! Deeb...!
"Uuhg...!" Putri Kunang terpental mundur dengan
suara pekik tertahan. Sinar putih kecil bagaikan perak itu
mengenai dadanya, ia terjungkal dan dadanya menjadi
biru legam. Wajahnya pucat, walau ia masih berusaha
untuk bangkit. Mulutnyamulai keluarkan darah kental.
"Dia terluka!" gumam Delima Gusti dari
persembunyiannya.
Sri Maharatu tertawa dan berseru, "Kalau kau
kehendaki pertarungan sekarang juga, maka terimalah
ajalmu ini, Anak Bengal!"
Cambuk terangkat dan hendak dilecutkan. Jelas jika
mengenai punggung Putri Kunang, maka tubuh gadis
cerewet itu akan terpotong menjadi dua bagian, seperti
nasib gurunya. Tapi ketika cambuk hendak dilecutkan, Delima Gusti
lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru dari
telapak tangannya. Claapp...! Selarik sinar biru tepat
kenai bawah ketiak tangan kanan Sri Maharatu. Desss...!
Wuuttt...! Bruukkk!
Tubuh Sri Maharatu terlempar lima tombak jauhnya.
Padahal seharusnya tubuh itu hancur berkeping-keping,
tapi karena mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
cukup tinggi, maka tubuh itu hanya hangus di bagian
bawah ketiak dan terlempar berguling-guling. Sayang
cambuknya tidak terlepas dari tangan, sehingga Delima
Gusti tak dapat menyambarnya.
"Uuhhg...!" Sri Maharatu mengerang kesakitan, tak
lama kemudian memuntahkan darah segar. Tapimatanya
masih memandang ke arah kemunculan Delima Gusti.
Cambuknya dapat berkelebat sewaktu-waktu.
"Putri Kunang! Cepat tinggalkan dia! Kau terluka
parah!" seru Delima Gusti. Putri Kunang setuju, namun
ia tak mampu berdiri karena kekuatannya semakin
berkurang, tubuhnya menjadi lemas. Wajahnya mulai
membiru. Delima Gusti segera menyambar tubuh Putri Kunang.
Tubuh itu dipanggul di pundaknya. PedangPutri Kunang
jatuh dan dibiarkan saja. Kemudian, Delima Gusti
membawanya lari saat Sri Maharatu mulai bangkit
berdiri. "Hei, mau larike manakalian, hah"!"
Teriak Sri Maharatu tidak dihiraukan. Delima Gusti
merasa perlu menyelamatkan Putri Kunang. Sekalipun
negerinya bermusuhan dengan orang-orang Pulau
Dadap, tapi Delima Gusti telah memperoleh kesimpulan
bahwa permusuhan itu timbul karena ulah Sri Maharatu.
Putri Kunang sebenarnya tidak bersalah, karena segala
perintah keluar dari mulut Sri Maharatu. Jika Sri
Maharatu mati, mungkin saja antara orang-orang PuIau
Dadap dan orang-orang Kadipaten Suralaya akan
berdamai. Delima Gusti berlari lebih cepat lagi, tetapi gerakan
Sri Maharatu yang mengejarnya jauh lebih cepat lagi.
Luka dalam yang cukup berat itu bagaikan tidak
mengurangi kekuatan Sri Maharatu. Bahkan ia tampak
semakin ganas dan bernafsu sekali untuk membunuh
adik tirinya serta Delima Gusti.
Taarrr...! Cambuk dilecutkan di udara, lalu hujan
petir pun datang.
Blegaarr...! Blegaarr...! Blegaarr...!
Delima Gusti berlari dengan melompat ke sana-sini
sehingga ia dapat lolos dari hujan petir. Arah pelariannya
tak bisa dipastikan, karena Sri Maharatu mengejarnya
secara membabi buta. Sesekali menghujani mereka
dengan petir-petir yang dapat menghancurkan tubuh
mereka dengan sentuhan sedikit saja.
"Yaaah..."!" Delima Gusti terperangah, ia salah arah.
Ia telah berlari ke bibir tebing karang. Tak ada jalan lain
di depannya. Hanya ada jurang yang amat dalam,
dibawahnya batu-batu karang runcing yang dihantam
ombak besar. Tak mungkin digunakan untuk terjun,
sama saja bunuh diri.
Sambil masih memanggul-manggul tubuh Putri
Kunang, Delima Gusti kebingungan mencari arah
pelariannya, ia segera membalik arah, tapi Sri Maharatu
telah muncul di depannya dan menyergapnya dengan
cambuk siap dilecutkan.
"Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk"!" kata Sri
Maharatu sambil menyeringai.
Delima Gusti membatin, "Celaka! Tak ada cara lain
kecuali menghadapinya!" Maka ia pun menurunkan
tubuh Putri Kunang yang semakin lemas, wajahnya kian
membiru, napasnya mulai menipis. Iba hati Delima
Gusti kepada Putri Kunang bukan membuat
semangatnya tinggi, melainkan justru turun. Sebab
dalam alam pikirannya, jika Sri Maharatu terhadap adik
tirinya saja tega melukai separah itu, apalagi terhadap
dirinya yang dianggap musuh bebuyutan. Pasti Sri
Maharatu tak akan segan-segan pergunakan Cambuk
Getar Bumi untuk mempercepat kematian musuh
bebuyutannya. "Mati aku! Tapi aku harus mencoba melawannya.
Aku tak mau mati dalam keadaan menyerah! Aku ingin
matiterhormat!" kata Delima Gusti.
"Tikus busuk!" sentak Sri Maharatu, "Sudah tiba
saatnya kau gugur di tangan musuh lamamu ini! Dan
kali ini Cambuk Getar Bumi yang akan menghantarkan
dirimu ke gerbang alam kelanggengan!"
Sreettt...! Delima Gusti cabut pedangnya. Sri
Maharatu siap-siap lecutkan cambuk pusaka itu. Namun
mendadak iamendengar seruan keras dari belakangnya.
"Hentikan!"
Sri Maharatu berpaling ke belakang sebentar, dahinya
berkerut, ia segera lompat ke samping, karena tak mau
dibokong oleh Delima Gusti saat ia memperhatikan
orang yang berseru itu. Sedangkan Delima Gusti
tercengang sesaat, lalu wajahnya cerah dan senyumnya
mengembang, iapun berseru girang,
"Sutooo...! Suto...!"
Pendekar Mabuk berhasil melacak kepergian lewat
gelegar hujan petir tadi. Rupanya pendekar yang semula
kehilangan ingatan dan ilmunya itu menjadi pulih seperti
sediakala setelah dimandikan di Kolam Sabda Dewa.
Bahkan kehadirannya di bukit karang itu disertai Resi
Walung Gading yang menjadi pemandu dalam pelacakan
Cambuk Getar Bumi itu. Bumbung tuak yang selalu
mengikutinya itu pun sudah ada di tangannya kembali
begitu Suto temukan kesadarannya. Kini ia justru
menengak tuaknya dengan tenang, seakan tak merasa
takut didera cambuk pusaka itu.
"Tampan sekali dia" Hmmm... rupanya dia yang
bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kondang
itu?" gumam hati Sri Maharatu. "Ala, Mak..."! Sayang
sekali kalau pria setampan itu harus kulukai dengan
cambuk ini"!"
Suto Sinting melangkah dekati Sri Maharatu,
sementara Resi Wulung Gading tetap tinggal di tempat,
menjadi penonton yang baik, sepertiDelima Gusti.
Senyum jalang Sri Maharatu mulai disunggingkan.
Kerlingan matanya sengaja dipamerkan agar Suto
tergoda. Pendekar Mabuk membalas dengan senyuman
lembutnya yang menawan. Tapi ia segera berkata
dengan nadategas.
"Cambuk itu tercemar kutuk. Kalau kau tidak segera
menghancurkannya kau akan menjadi orang sesat
sepanjang masa. Jika kau mati, rohmu akan hinggap
pada binatang-binatang menjijikkan."
"Jadi apa maksudmu datang kemari, Pendekar
Tampan?" "Menghancurkan cambuk itu, supaya tidak menjadi
sumber malapetaka bagi kehidupan manusia di muka
bumi!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas.
"Tidak bisa. Aku lebih setuju kalau kau ikut pulang
ke Pulau Dadap dan menjadi suamiku. Aku sudah dua
tahun menjanda, Pendekar Mabuk!"
"Lupakan tentang harapanmu itu, yang penting
serahkan dulu cambuk itu padaku dan akan kuhancurkan
sekarang juga, supayakau bebas dari hidup sesat!"
Sri Maharatu semakin berkerut dahi. "Kalau begitu
kau ada di pihak DelimaGusti"!"
"Aku ada di pihak yang benar!"
"Hmmm... rupanya kau si tampan yang patut
dihancurkan pula"!" Sri Maharatu manggut-manggut.
"Bersiaplah untuk hancur, Pendekar tampan yang
bodoh!" Melihat cambuk mulai mau digerakkan, Suto Sinting
segera menggerakkan kedua tangan, membuka jurus
yang akan membingungkan penglihatan Sri Maharatu.
Seett...! Slaapp...! Jurus 'Sapta Tingal' digunakan oleh
Pendekar Mabuk. Jurus itu membuat wujud Pendekar
Mabuk ada tujuh orang. Dan tentu saja mencengangkan
Delima Gusti serta Sri Maharatu.
"Edan! Suto Sinting ada tujuh..."!" gumam Delima
Gusti. Tujuh sosok, tujuh ciri dan tujuh rupa Pendekar
Mabuk itu segera bergerak sendiri-sendiri, mereka
membentuk lingkaran mengurung Sri Maharatu.
Gerakkan mereka semakin cepat dan membuat Sri
Maharatu yang diputari itu bingung menentukan mana
Pendekar Mabuk yang asli.
Taarrr...! Cambuk dilecutkan, mengenai tubuh
Pendekar Mabuk. Tapitubuh itu lenyap tak berbekas. Itu
berarti tubuh yang palsu. Cambuk pun dilepas kembali,
sekaligus menyambar dua sosok Pendekar Mabuk. Tarr,
tarr...! Dua sosok itu pun lenyap tak berbekas, tidak
terpotong seperti Dewa Sengat.
"Mana yang asli! Sebutkan dirimu! Mana yang
asli..."!"
Keempat sosok Suto itu menjawab, "Akuuu...!"
Sri Maharatu bingung, ia segera melecutkan
cambuknya ke salah satu bayangan kembar itu. Tapi
lagi-lagi ia salah sasaran. Dan pada waktu ia melecutkan
cambuknyaitu, Suto Sinting sentakkan telapak tangan ke
depan dengan hembusan napas melalui hidung, bukan
melalui mulut. Jurus 'Yudha' dipergunakan. Dari tangan
itu melesat logam putih berbentuk bintang kecil-kecil,
jumlahnya lebih dari sepuluh bintang. Claapp...!
Jruubbb...! Bintang-bintang itu menancap terbenam di
pinggang kanan Sri Maharatu. Perempuan itu hanya
tersentak kaget dan segerapandangi Suto.
Namun ia hanya bisa diam memandang tanpa
bergerak-gerak lagi. Ketika angin berhembus, daun


Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telinganya jatuh sendiri, disusul jari-jari tangannya yang
jatuh ke tanah, lalu bagian-bagian tubuh lainnyamenjadi
rontok dan kepala perempuan itu pun menggelinding ke
tanah. Plok...! Masih tetap melotot namun tak bergerak
lagi. Itulah kehebatan jurus 'Yudha' pemberian Ratu
KartikaWangi. Suto menggunakan jurus itu atas anjuran
calon mertuanya yang telah memandikan dirinya di
Kolam Sabda Dewa, yang membuat kekuatan dan
ingatannya pulih kembali. Kematian Sri Maharatu
membuat Delima Gusti dan Resi Wulung Gading
terbengong tak mampu kedipkan matanya. Andai
Delima Gusti tidak terpaku bengong di tempat, tentunya
ia segera menyambar Cambuk Getar Bumi yang jatuh di
tanah itu. Kesadaran akan cambuk itu terlambat, karena
Pendekar Mabuk telah menyemburnya dengan tuak, dan
Cambuk Getar Bumi pun lenyap karena jurus 'Sembur
Siluman' itu. Kini cambuk pusaka telah tiada, Sri
Maharatupun telah binasa.
Suto Sinting dan Resi Wulung Gading mendapat
undangan upacara penobatan Putri Kunang sebagai
penguasa tunggal Pulau Dadap. Bahkan Delima Gusti
pun hadir dalam acara tersebut. Kehadirannya itu yang
menjadi titik awal perdamaian antara orang-orang Pulau
Dadap dengan orang-orang Kadipaten Suralaya.
SELESAI Pendekar Mabuk Segera menyusul:
TANDU TERBANG Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Hina Kelana 11 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Kedele Maut 11
^