Pencarian

Tandu Terbang 1

Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izintertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 WAJAH gadis itu tampak tegang. Matanya yang
bundar indah kelihatan lebar dan bergerak-gerak liar.
Gadis berpakaian kebaya biru kusam dan kain batik
coklat tua itu berlari meneroboskerimbunan semak kayu
kering. Suara gemersik terdengar sebagai tanda ke mana
arah pelariannya.
Gadis itu berusia sekitar dua puluh dua tahun. Tapi
jika diperhatikan agak lama, ia tampak sudah matang
sebagai gadis dewasa. Kulitnya yang kuning langsat itu
berdada sekal dan montok. Tak heran jika tubuhnya itu
mengundang minat setiap lelaki. Apalagi ia berkebaya
robek bagian pundak sampai hampir sebatas dada,
tentunya kekuningan kulit mulusnya itu kian menambah
semangat bagi seorang lelaki. Rambutnya yang panjang
terurai lepas itu bagaikan lambaian tangan untuk
bercumbu mesra.
Tetapi gadis itu kini dalam ketakutan. Wajahnya yang
tegang menyelusup di antara kerimbunan tanaman hutan,
ia bersembunyi di balik pohon, memandang ke belakang,
melongok ke sana-sini, kemudian berlari lagi sambil
menghamburkan tawa yang cekikikan. Gerakan larinya
berkesan liar, perubahan air mukanya tak menentu;
kadang tampak takut, kadangtampak sedih, kadang pula
ia tampak ceria hingga tawanya terlepas di sela-sela
pohon hutan. "Mereka tak bisa mengejarku. Hi, hi, hi...! Mereka
kehilangan jejakku"! Oooh... alangkah dungunya
mereka. Hi, hi, hi...!" gadis itu berkata dengan suara
jelas, tapi seakan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Napasnya yang terengah-engah kini diredakan sambil
tubuhnya bersandar di bawah pohon. Tawanya masih
berderai-derai diselingi wajah tegang sepintas.
Tiba-tiba dari kerimbunan semak di sampingnya
muncul dua lelaki yang melompat dengan gesit dan
lincah. Wuuurt...! Jleeeg...!
"Aaauh...!" gadis itu memekik kaget dengan suara
melengking tinggi. Dua lelaki yang masing-masing
berusia sekitar tiga puluhan tahun itu melepaskan tawa
bersamaan. "Sekarang kau tak dapat lari lagi, Cah Ayu...! He, he,
he, he...!" goda lelaki berpakaian hitam dengan ikat
kepala dan ikat pinggang kain hitam pula. Kumisnya
sedikit tebal dan matanya tampak liar, bernafsu sekali
memandang gadis yang kini sedang mundur ke arah
kerimbunan semak lainnya.
"Aku tidak mau! Pergi kalian! Pergi! Aku tidak suka
sama kalian. Kalian terlalu nakal!" gadis itu mencoba
mengusir dengan sebaris kecaman. Tapi si baju hitam
semakin mendekatinya. Gadis itu lari ke balik pohon,
tapi kepalanya nongol memandang si baju hitam.
Senyum si baju hitam adalah seringai seorang lelaki
yang kegirangan mendapatkan perempuan mulus di
tengah hutan. Sedangkan temannya, yang mengenakan pakaian
hijau tua dengan rambut panjang sepundak tak diikat itu
juga menyeringai kegirangan, ia melangkah melalui sisi
lain, membentuk gerakan mengepung gadis itu.
"Kami tidak nakal kepadamu, Anak Manis! Kami
tidak akan menyakitimu. Justru kami ingin memberikan
keindahan padamu, Anak Manis," bujuk si baju hijau.
"Keindahan apa"!" sentak gadis itu dari balik pohon.
"Kehangatan dan cinta, Anak Manis."
Gadis itu tersenyum-senyum nakal dengan mata
memandangi si baju hijau yang bernama Kobar,
sementara si baju hitam yang bernama Raseta makin
mendekat mengambil arah dari belakang gadis itu.
Sementara Kobar sibuk membujuk, Raseta kian
mendekat dan melebarkan kedua tangannya bersiap
untuk memeluk dari belakang.
"Namamu siapa, Anak Manis?" Kobar memancing
perhatian gadis itu supaya tidak menengok ke belakang,
sehingga ia tidak tahu kalau akan diterkam oleh Raseta
dari belakang. "Namaku Palupi," jawab gadis itu sambil tersenyum-
senyum memainkan ujung rambutnya yang meriap ke
dada kanan. "Namamu cantik sekali, seperti orangnya. Nama itu
hangat didengar, pasti sehangat tubuh orangnya. He, he,
he, he...!"
"Kumismu juga hangat, Kang. Sehangat jagung
bakar. Hi, hi, hi...!"
Kobar bangga, mengusap kumisnya yang lebat, lebih
lebat dari kumis Raseta. Tapi gadis itu tiba-tiba
memekik dengan suara lengking manakala Raseta
berhasil menyergapnya dari belakang.
"Aaaa...!"
Gadis itu meronta ketika tengkuk dan punggungnya
diciumi oleh Raseta dengan buas. Jeritannya terlontar
berulang-ulang bahkan terdengar kasar.
"Tolooong...! Tolooong, aku mau diperkosa. Hii...
tolong! Aku malu...! Aku malu sekali. Oouhh...!
Tolooong... aku mau diperkosa. Hiii... geli! Geliii....
Tidak mau. Tidak mau! Lepaskan aku! Jangan pegang
tubuhku. Oh, lepaskan tangan kananmu, Kang."
Tetapi Raseta makin buas menciumi punggung
Palupi. Karena kepala Palupi bergerak meronta tak
karuan, maka Rasetatak berhasil mencium pipi gadis itu.
Kesempatan itu dimiliki oleh Kobar yang ada di depan
Palupi dan langsung ikut memeluk penuh gairah yang
berkobar-kobar. Wajah Palupi pun segera disosornya.
Bruuus...! Cruuup...!
Tapi pada waktu itu Palupi berhasil meloloskan diri
dengan menarik badan ke bawah sambil mengerang
penuh ketakutan. Pada waktu tubuh Palupi lolos ke
bawah, kedua tangan Kobar memeluk tubuh Raseta.
Karena mata mereka saling terpejam untuk menikmati
dan meresapi kehangatan sang dara, maka mereka
sempat kecele sebentar. Bukan Palupi yang dicium
Kobar, melainkan wajah Raseta yang terkena sosoran
mulut Kobar. Sedangkan Raseta menyangka Palupi
berbalik arah dan wajahnya menghadap ke mukanya.
Maka ketika bibirnya menyentuh bibir Kobar, Raseta
sempat kaget dan buru-buru membuka mata.
"Hah..."! Bangsat kau!"
Plook...! "Kau yang bangsat!" bentak Kobar lalu membalas
tamparan itu. Plook...!
Palupi telah lolos dengan cara merangkak menerobos
kaki kedua ielaki itu. Ia berlari ke pohon seberang, dan
dari sana ia tertawa kegelian melihat dua lelaki itu saling
berciuman dan berpelukan.
"Hi, hi, hi...! Ayo, berciumanlah sepuas hatimu! Aku
akan menjadi penonton yang setia dan tidak akan
mengganggu kalian. Hi, hi, hi.... Kumis bertemu dengan
kumis alangkah lucunya"! Hi, hi, hi...!"
"Monyet liar kau, Palupi!" geram Kobar.
"Kamu juga monyet liar!" geram Raseta kepada
teman sendiri. "Kusangka mulutnya Palupi. Setelah
kurasakan mulut itu berbulu, eh... tak tahunya kumisnya
yang menggelitik lubang hidungku! Kampret busuk!"
Kobar akhirnyatertawa geli menyadari salah ciumnya
tadi. Raseta pun ikut terbahak-bahak hingga tubuhnya
oleng karena terbungkuk-bungkuk. Air matanya sempat
keluar pertanda ia benar-benar geli membayangkan
kejadian tadi. "Hei, gadis itu lari! Ayo, kejar lagi dia! Jangan
sampai lolos!" teriak Kobar dengan sentakan nada tinggi.
Sambil bergegas mengejar, Raseta berseru, "Jangan
berebut! Sebaiknya kalau nantitertangkap kita antri saja!
Gantian. Jadi kitatidak salah kumis lagi!"
Palupi yang kebayanya bertambah robek karena
tarikan tangan Raseta tadi, berusaha melarikan diri
menuju ke arah sungai, ia mendengar suara gemuruh
aliran arus sungai yang jatuh dari ketinggian tempat, ia
yakin di depannya ada air terjun, berarti ada sungai, dan
ia bisa menyeberang sungai secepatnya sebelum terkejar
oleh dua lelaki bernafsu jalang itu.
Namun angan-angannya itu tak terlaksana, karena
sebelum ia mencapai tepian sungai, tubuhnya telah
tersungkur jatuh karena diterkam Kobar dari belakang.
Terkaman itu mengejutkan hingga suara kagetnya
melengking tinggi.
"Aaaauh...! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan...!
Aku tidak mau! Tidak mau! Tidak mau di sini!
Lepaskaaan...!"
Palupi mencoba mengamuk, meronta, mendorong
tubuh Kobar yang mulai menindih dirinya. Dengan
mengerahkan tenaga wanitanya, tubuh Kobar yang kurus
berhasil disentakkan dan orang ituterlempar ke samping.
Palupi berusaha bangkit dengan merangkak, tapi
tubuhnya tersungkur lagi karena segera diterkam oleh
Raseta. "Kenakau...!" teriak Raseta.
"Aaauh...! Jangan! Jangan! Jangan sekarang!
Aauuuh...! Aku tidak mau. Tolooong...! Tolooong...!
Aaauh...!" Palupimerontaterus.
"Pegang kuat-kuat, jangan sampai lepas!" seru Kobar
kepada Raseta. Lalu Kobar pun ikut menerkam,
memegangi kaki Palupi. Tapi kaki itu menjejak-jejak.
AkhirnyaKobar ikut menerkam Palupi.
"Tidak mau! Pokoknya aku tidak mauuu...! Aaauh...!
Kurang ajar kalian! Lepaskan aku! Lepaskan...!"
Ternyata Palupi tetap meronta menguras tenaga.
Ketiganya saling bergelut di rerumputan. Saling
berusaha mencapai keinginan batinnya, saling berusaha
mencari pemenuhan hasratnya. Tanpa sadar, ternyata
justru gadis itu telah berhasil lolos dari pelukan mereka,
dan kedua lelaki itu justru sibuk saling peluk sendiri.
Begitu Raseta sadar, ia berteriak membentak,
"Bangsat! Kau lagi!"
Plook...! Wajah Kobar ditamparnya penuh
kejengkelan. Kobar pun memaki serupa dan memukul
wajah Raseta dengan kedua tangannya yang hinggap
memenuhi wajah temannya itu. Prook...!
Dari jarak lima tombak Palupi tertawa terkikik-kikik
kegelian melihat dua lelaki yang saling bergelut di
rerumputan. Tapi kedua orang itu segera berjingkat
bangkit, lalu mengejar ke arah Palupi. Gadis itu berlari
lagi menuju sungai. Tapi sebelum tiba di tepian sungai,
lagi-lagi langkahnya terhentitotal. Kali ini bukan karena
diterkam Kobar atau Raseta, melainkan karena
kemunculan seseorang di depan langkahnya.
Jleeg...! "Ooh"!" Palupi terbelalak, matanya melebar,
mulutnya melongo. Mata itu tak bisa berkedip lagi
Sepertinya, karena kali ini yang dipandang bukan wajah
berkumis dan berbadan kurus, melainkan wajah tampan
punya senyum menawan.
Seorang pemuda bertubuh tegap, kekar, dan gagah,
berdiri sambil menyandang bumbung tuak dari bambu di
pundak kanannya. Pemuda itu bercelana putih kusam,
dengan baju tanpa lengan warna coklat. Ikat
pinggangnya dari kain merah dan rambutnya lemas,
lurus sebatas lewat pundak sedikit. Matanya
memancarkan kelembutan yang menenangkan jiwa
seresah apa pun. Seakan di kedua mata pemuda tampan
itu terdapat dua sendang bening yang menyejukkan hati
setiap wanita. "Menyingkirlah ke balik pohon di belakangku, biar
kuhadapi kedua lelaki itu," katapemuda tampan tersebut
yang tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak
dan Bidadari Jalang, yang kini namanya kesohor sebagai
Pendekar Mabuk.
"Ak... aku... aku mau diperkosa," kata Palupi dengan
gugup, kepalanyamengangguk. Tapi Suto menjawab,
"Akutidak mau memperkosamu. Jangan menyuruhku
memperkosamu."
"Aku... aku tidak menyuruhmu, aku memberitahukan
padamu bahwa aku mau diperkosa."
"Terserah kau mau atau tidak, tapi jangan memohon
begitu padaku."
"Aku tidak memohon!" bentak Palupi jengkel. "Aku
memberi tahu padamu, ada dua lelaki yang mau
memperkosaku!"
"Ooo... begitu maksudmu" Kalau soal itu aku tak
perlu kau beri tahu. Aku sudah tahu sendiri. Aku sudah
melihat pengejaran mereka dan usaha mereka saat
menggelutimu tadi. Karena itu, menyingkirlah biar aku
yang hadapi mereka, Nona!"
Tentu saja kemunculan Suto Sinting merupakan
penghalang besar yang memuakkan bagi Raseta dan
Kobar. Mereka memandang benci ketika berhadapan
dengan Suto Sinting. Yang membuat mereka semakin
memendam kemarahan adalah sikap Suto Sinting yang
tenang dan kalem-kalem saja, malah sempat menenggak
tuak dari bumbung bambu yang ditentengnya ke mana-


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana itu. "Apa maksudmu menghadang kami, Bocah
Ingusan"!" sentak Kobar kepada Suto.
"Dia pasti berlagak menjadi pahlawan! Hajar saja dia.
Habisi nyawanya!" ujar Raseta dengan mata memandang
penuh permusuhan. Maka, Kobar pun mencabut
goloknya. Sreet...! Disusul kemudian golok Raseta juga
dicabut dari sarungnya. Seeet...! Mereka saling memisah
jarak, ke kiri dan ke kanan, siap mengepung si tampan
berhidung bangir dan berkulit sawo matang itu.
Palupi yang sudah bersembunyi di balik pohon
belakang Suto, segera berlari menghampiri Suto,
mencolek-colek punggung Suto, setelah Suto berpaling
memandangnya, gadis itu berkata,
"Kang, yang mereka cabut itu golok! Goloknyatajam
lho! Apakamu tidak takut sama goloktajam?"
"Kembalilah ketempatmu!" kata Suto agak jengkel.
Palupi menurut, kembali ke balik pohon dan menonton
cara Suto menghadapidua orang berbadan kurus itu.
"Bocah ingusan!" seru Kobar, "Kuingatkan padamu,
jangan mau mati sia-sia untuk gadis gila seperti siPalupi
itu! Tak ada hebatnya kau membela kesucian gadis gila.
Karena mungkin dia sudah tidak perawan lagi sejak
beberapa waktu yang lalu! Jadi sebaiknya,
menyingkirlah dan jangan berlagak sebagai pendekar!"
"Justru aku yang ingin sarankan pada kalian agar
jangan mengganggu gadis seperti dia! Entah gila atau
tidak, tapi memaksa kehendak seorang gadis untuk
melayani hasrat kelelakian kalian itu adalah tindakan
yangtakterpuji!"
"Ha, ha, ha...! Kau berlagak menjadi seorang resi atau
pendeta, hah"!" seru Raseta sambil makin mendekat,
bersiap lakukan serangan dadakan, ia berkata lagi, "Aku
dan Kobar tidak butuh nasihatmu! Kau tak perlu
menasihati kami, karena kau bukan calon mertua kami.
Ha, ha, ha...!"
"Memberi nasihat bukan tugas calon mertua saja,
tetapi di antara kita perlu saling bertegur sapa, saling
memberi nasihat, mengingatkan kepada siapa yang lupa
akan langkahnya," kataSuto dengan nadatenang.
Palupi maju lagi dekati Suto dan berkata, "Kang, kok
ngobrol terus" Kapan tarungnya"! Sudah, bres, bres,
bres... begitu!" sambil mulutnya bersungut-sungut dan
kembali kebalik pohon.
Suto Sinting membatin, "Gadis ini sepertinya lebih
sinting dariku. Jangan-jangan apa yang dikatakan dua
orang itu memang benar, bahwa gadis itu memang gila.
Hmmm... rasa-rasanya aku tak perlu gunakan kekerasan
untuk mencegah tindakan tak terpuji dari mereka. Cukup
dengan saran dan ucapan saja, aku yakin mereka sadar
dengan apayang ingin mereka lakukan itutadi."
"Hei, Bocah Ingusan!" seru Kobar, "Kau telah
berbuat lancang dengan menghadang langkah kami! Kau
harus menerimapelajaran dari kami. Hiaaaah...!"
Kobar menyeringai lebih dulu dengan sebuah
lompatan. Suto Sinting terkesiap sejenak, lalu badannya
limbung bagai mau jatuh seperti orang mabuk. Tetapi
gerakan limbung ke kiri itu ternyata hasilkan tendangan
ke kanan, dan tendangan itu kenai siku tangan kanan
Kobar yang hendak menebaskan goloknya ke pundak
Suto. Dees...! Krek...!
"Auh...!" Kobar memekik tertahan, tulang sikunya
bagaikan lepas dari engsel. Gerakan itu di luar rencana
Suto. Gerakan itu adalah gerakan naluri dari jurus-jurus
silatnya, yaitu jurus silat Pendekar Mabuk.
Tak heran jika tubuh Suto segera meliuk ke depan
bagaikan limbung, kakinya saling berlilit dan tersendat
dalam langkahnya. Ketika tangannya seakan ingin
mencari sesuatu untuk pegangan agar tubuh tak jatuh,
tiba-tiba tangan itu berkelebat. Duug...! Tepat kenai ulu
hati Kobar. Akibatnya, Kobar mendelik, napasnya
tertahan dan sulit dihela, ia terdorong ke belakang
hampir jatuh terkapar kalautak ditahantangan Raseta.
"Monyet buruk!" geram Raseta. "Terlalu lancang kau
melakukan serangan terhadap temanku ini! Jangan
bangga dulu kau, Bocah liar! Jangan merasa jadi
pendekar walau bisa memukul Kobar. Tapi cobalah dulu
hadapi jurus golokku ini! Heaaah...!" Wut, wut,
wuuuut...! Golok itu berkelebat cepat bagai ingin menerjang
wajah Suto Sinting. Tapi tubuh Pendekar Mabuk itu
justru meliuk ke belakang bagaikan ingin tumbang dan
terkapar terkena angin tebasan tersebut. Namun
sebenarnya itulah gaya jurus Pendekar Mabuk dalam
menghadapi serangan senjata tajam lawannya. Dengan
keadaan meliuk ke belakang, ternyata kedua kakinya
mampu menendang cepat ke arah lawan. Des, des...!
Dug, dug, dug...!
Wuuut...! Suto Sinting bersalto ke belakang. Jleeg...!
Ia telah berdiri tegak kembali ketika lawannya sedang
terhuyung-huyung karena tendangan beruntunnya tadi
kenai lengan, dada, dan dagu.
"Terpaksa aku bersikap agak kasar, karena serangan
mereka tak mau ditunda," pikir Suto agak menyesal
sampaikeluarkan jurus mabuknya. Padahal iamerasatak
perlu gunakan jurus apa pun untuk hadapi kedua orang
itu. Melihat Suto berhasil bikin mundur dua lelaki itu,
Palupi tepuk tangan dari samping pohon, seakan merasa
bangga melihat perlawanan Suto yang sempoyongan
mirip orang mabuk itu.
"Terus, Kang! Hajar terus, Kang...! Tendang lagi
mereka biar seluruh giginya rontok seperti daun
kesamber petir. Hi, hi, hi...!" suaraPalupitak dihiraukan
Suto, karena tiba-tiba kedua lawannya itu menyerang
secara bersamaan dengan jurus golok kembar yang beda
gerakan tapi sama-sama berkecepatan tinggi. Wuuut...!
Wees, wees, wees, wwwuuut...! Trang! Golok mereka
akhirnya dihadang oleh bambu tempat tuak Suto yang
kerasnya menyamai baja itu. Dan ketika golok itu
menghantam bambu tuak, tiba-tiba kedua mata mereka
sama-samaterbelalak kaget.
"Rompal..."!" gumam Kobar dengan mata menatap
goloknyayangnyaris patah.
"Edan!" gumam Raseta, juga terheran-heran melihat
goloknya geripis separo bagian. Sedangkan Suto Sinting
menarik diri, mundur dua langkah dan berdiri tegak
dengan senyum tipis menambah ketampanannya.
"Pergilah dan jangan ganggu gadis itu lagi. Kuharap
selamanya kalian tak akan berbuat sehina itu lagi!" kata
Suto dengan suaratenang.
"Persetan dengan nasihatmu! Kobar, serang dia
dengan jurus 'Sinar Mega' kita bersama-sama!"
"Heaaaat...!" Kobar segera bersiap lepaskan pukulan
tenaga dalam yang dinamakan jurus 'Sinar Mega' itu.
Raseta pun lakukan halyang sama, sehingga dari telapak
tangan kiri mereka sama-sama keluarkan selarik sinar
putih meliuk-liuk bagaikan mata bor besar. Claaap...!
Kedua sinar itu menghantam dada Suto. Tapi sebelum
tiba di sasarannya, kedua sinar itu telah pecah lebih dulu
karena dihantam oleh sinar merah menyerupai piringan
lebar. Blaaar...!
Ledakan itu menyentak kuat, membuat kedua orang
yang mau memperkosaPalupiterpental ke belakang tiga
tindak jauhnya, dan Suto Sinting hanya mundur
setindak, ia terkejut dan heran, sebab ia merasa tidak
memberikan serangan balasan. Dalam hatinya
menanyakan tentang datangnya sinar merah itu. Tapi
pertanyaan batinnya itu segera terjawab setelah
kemunculan seorang lelaki tua, berusia sekitar empat
puluh tahun lebih, mengenakan baju abu-abu dengan
selempang pita kuning yang menyilang di dada dan
punggung. "Kobar dan Raseta!" sentak orang yang baru muncul
dari atas pohon itu. "Tugas kalian bukan untuk
memperkosaperempuan! Apakah kalian lupa"!"
Raseta dan Kobar bergegas bangkit dengan perasaan
takut kepada orang berselempang pita lebar itu. Mereka
tundukkan wajah, seakan siap menerima hukuman dari
orang yang lebih punya kharisma ketimbang keduanya
itu. Suto Sinting berkerut dahi memandangi lelaki
berjenggot tipis warna hitam, dan berambut sedikit
panjang namun diikat dengan kain satin, sama dengan
warna selempangnya. Dalam hati Suto bertanya-tanya,
"Siapa orang ini" Agaknya ia adalah atasan dari Raseta
dan Kobar."
Orang tersebut menghardik Raseta, "Apakah sang
Ketua menugaskan kau untuk mengejar-ngejar
perempuan"!"
"Tidak, KiWirogo!"
"Kobar, kau sadar siapa orang yang baru saja kau
hadapi itu?"
"Bocah ingusan, yang berlagak ingin menjadi
pendekar pembela gadis gila itu, Ki Wirogo!"
Plook...! Ki Wirogo menampar dengan kelebatan kaki
kanannya. Wajah Kobar menjadi merah matang karena
tamparan kaki tersebut. Kobar tak berani lakukan apa-
apa kecuali segera bangkit dari jatuhnya dan kembali
tundukkan kepala.
"Bodoh!" bentak Ki Wirogo. "Dia adalah seorang
pendekar! Bumbung tuaknya itu sudah mewakili
gelarnya sebagaiPendekar Mabuk!"
"Hahh..."!" Kobar dan Raseta tersentak kaget, wajah
mereka terangkat, mata mereka melebar menatap Suto
Sinting yang tetap tenang berdiri di bawah pohon, di
belakangnya ada Palupi yang cekikikan sambil
mengusap-usap punggung atau lengan Suto.
"Orang itu mengenalku. Hmmm... pasti dia cukup
punya nama di rimba persilatan. Sayang aku kurang
mengenalinya. Namanya Ki Wirogo... ah, nama itu
masih asing bagiku," pikir Suto dalam masa
bungkamnya. Ki Wirogo segera berkata kepada Suto dengan sikap
tegas namun berkesan hormat, "Pendekar Mabuk,
maafkan kelancangan dan kebodohan anak buahku itu!
Tapi kurasa ada baiknya jika kau tidak lanjutkan
permusuhan ini. Cukuplah sampai di sini saja."
"Terima kasih atas peringatanmu, Ki Wirogo. Perlu
kau ketahui, aku tak punya niat bermusuhan dengan
orang-orangmu, sebab aku tidak tahu siapakalian."
"Kami adalah utusan dari Lumpur Maut, mempunyai
keperluan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
pribadimu, Pendekar Mabuk."
Palupi berbisik, "Pak tua itu juga pasti mau ikut-
ikutan memperkosaku, Kang. Sikat saja dia! Biar
usianya cepattua dan cepat habis!"
Bisikan itutak dihiraukan oleh Suto Sinting, sebab Ki
Wirogo segera mohon pamit dan membawa kedua
orangnya itu untuk pergi. Suto dapat menangkap adanya
pemaksaan sikap di balik ketegasan Ki Wirogo.
Sepertinya orang berpakaian abu-abu itu memaksakan
diri untuk menjadi orang bijak di depan Suto, entah
dengan maksud supaya dipuji atau supaya disegani.
Yang jelas, Suto segera berusaha melupakan apa yang
baru terjadi. Tapi Palupi menjadi cemberut dan tampak
kesal. "Kenapa merekatidak kau bunuh saja, Kang" Mereka
itu berbahaya! Apalagi yang tua tadi, dia punya pusaka
maut yang saat initidak dibawanya."
"Pusakaapa?" tanyaSuto enggan.
"Pusaka pedang. Namanya Pedang Kayu Petir,
dan...." "Apa..."!" Suto terkejut mendengar nama Pedang
Kayu Petir disebut-sebut. Sebab pedang itulah yang
sedang dicarinya untuk mengalahkan musuh utamanya,
Siluman Tujuh Nyawa. Karena menurut keterangan
seorang tokoh sakti, Siluman Tujuh Nyawa hanya bisa
dikalahkan dengan Pedang Kayu Petir, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Bandar Hantu
Malam"). Sedangkan tokoh sesat yang paling keji itu,
sedang diburu oleh Suto untuk dipenggal kepalanya
sebagai hadiah mas kawin kepada calon istrinya, Dyah
Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "PraharaPulau Mayat").
Makatak heran jika hatiSuto menjadi berdebar-debar
begitu Palupi menyebut-nyebut nama Pedang Kayu
Petir. Sebab menurut keterangan Resi Wulung Gading,
pedang itu sudah lama hilang dari tangannya dan sampai
sekarang tak tahu ada di mana. Sang Resi sendiri telah
melacaknya melalui semadi beberapa kali tapi tidak
pernah berhasil menemukan di mana pedang itu
sekarang berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Cambuk Getar Bumi").
"Apa benar KiWirogo punyaPedang KayuPetir?"
"Benar!" jawab gadis gila itu.
"Dari mana kau tahu kalau dia punya pusaka Pedang
Kayu Petir!"
"Dari dugaanku," jawab Palupi seenaknya saja. Suto
terpaksa berkerut dahi dengan menanam rasa kecewa
dan kebimbangan. Hatinyapun berkata,
"Gadis ini gila, tapi dia bisa sebutkan Pedang Kayu
Petir. Apakah dia punya hubungan dengan pemilik
Pedang Kayu Petir"!"
* * * 2 MENURUT keterangan Resi Wulung Gading, orang
sesakti apa pun tak akan bisa hindari kekuatan pusaka
Pedang Kayu Petir. Konon kekuatan sakti yang ada


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam Pedang Kayu Petir dapat kenai tubuh orang
berilmu sangat tinggi. Sekalipun orang tersebut dapat
lenyap karena raganya masuk ke alam gaib, tapi Pedang
Kayu Petir tetap dapat lukai tubuh orang tersebut.
Bahkan Resi Wulung Gading pernah katakan, Pedang
Kayu Petir adalah pusaka yang ditakuti oleh semua
orang saktidi rimba persilatan.
Banyak orang berminat memiliki Pedang Kayu Petir.
Tetapikarena pedang itu bertahun-tahun telah hilang dan
tak pernah ada yang menemukan, maka heboh tentang
pusaka Pedang Kayu Petir itu hilang dengan sendirinya.
Para pemburu pedang tersebut lama-lama bosan
mencarinya dan tak pernah lagi pusaka itu disebut-sebut
oleh mereka. Pedang tersebut dianggap musnah secara
gaib, sehingga mereka merasa tak perlu lagi
memburunya. Sebab itulah Suto Sinting merasa heran jika Palupi si
gadis gila itu bisa sebutkan Pedang Kayu Petir. Suto
Sinting tertarik dengan Palupi bukan lantaran Palupi
punya wajah cantik dan tak terurus, melainkan karena
gadis gila itu diharapkan dapat menjadi penunjuk jalan
menuju tempat pedangtersebut berada.
"Palupi, apakah kau tahu di mana Pedang Kayu Petir
itu berada?"
"Di sana. Jauh...!" jawab Palupi sambil memainkan
rambut Suto dari samping.
"Sebutkan letaknya, Palupi," desak Suto.
Palupi tersenyum-senyum. Matanya memandangi
Suto penuh ungkapan rasa kagum dan tertarik. Desakan
Suto itutidak dijawab, tapi gadis itu berkata,
"Kamu tampan sekali. Ganteng, iiih...! Aku gemas
sekali padamu!" sambil Palupi mencubit pipi Suto.
Pendekar Mabuk diam saja, karena memaklumi tingkah
si gadis gila. Seandainya Palupi tak gila, tentunya ia
malu mencubit-cubit pipipemuda tampan yang baru saja
dikenalnya. "Agaknya aku harus membujuk dengan sabar," pikir
Suto. "Sepertinya dia tahu rahasia pedang itu. Tapi
karena otaknya terganggu, maka ia tak bisa jelaskan
sebaik mungkin. Aku yakin, lama-lama gadis ini dapat
berikan keterangan yang kuharapkan melalui mulutnya
yang kadang bicara tidak sesuai dengan kehendak
otaknya, melainkan sesuai dengan hati kecilnya, ia
melebihi orang mabuk, dapat bicara tanpa disadari apa
yang diucapkannya."
Palupi masih tersenyum-senyum sambil
memperhatikan kekarnya lengan dan tubuh Suto.
Bahkan dada Suto sempat dirabanya dengan penuh rasa
bangga dan girang hati.
Suto berlagak jinak-jinak merpati, seolah-olah pasrah
dengan desakan Palupi yang bergairah ingin mencumbu
dan dicumbu. Tetapi dengan secara tak kelihatan Suto
selalu menghindari hasrat Palupi yang ingin
mencumbunya. "Ciumlah aku, Kang, atau kau yang kucium. Pilih
salah satu. Keduanya juga boleh," kata Palupi sambil
terkikik geli dengan suaramembisik,
"Aku tak ingin memilihnya," kata Suto. "Sekarang
aku tahu di mana pedang itu berada," pancing Pendekar
Mabuk yang membuat gerayangan tubuh Palupi berhenti
sejenak. "Hmmm...!" Palupi mencibir. "Mana mungkin kau
tahu di manapedang itu berada."
"Tahu saja!"
"Di mana?" tanyaPalupimenantang.
"Di dasar laut, tersembunyidi celah batu karang."
"Hmmm! Salah!" Palupi mencibir lagi, tapi wajahnya
cerminkan rasa menang. "Pedang itu bukan di dasar
laut." "Iya. Di dasar laut!" Suto berlagak ngotot.
"Bukan, Kang! Pedang itu bukan di dasar laut tapi di
dalam gua."
"Lhaiya, di dalam gua yang ada di dasar laut!"
"Bukan!" Palupi mulai jengkel dan cemberut.
"Iya. Gua itu ada di dasar laut dan pedang itu ada di
dalam gua tersebut."
"Bukan! Bukan! Bukan!" Palupi merengek bagai
orang mau menangis. Bahkan berdirinya menghadap ke
arah lain, memunggungi Suto Sinting. Mulutnya kian
cemberut, seolah-olah sakit hati atau jengkel karena
jawabannyatidak dipercaya.
Hal itu makin dimanfaatkan oleh Pendekar Mabuk
untuk membujuk, "Habis kalau bukan di dasar laut,
lantas di mana" Setahuku gua itu ada di dasar laut utara."
"Tidak! Bukan di sana! Gua itu ada di Bukit
Tungkai!" jawab Palupi sewot.
"Ah, bohong!"
"Iya. Sungguh! Gua itu ada di Bukit Tungkai, dan
pedang itu ada di sana!"
"Kok kamu bisa tahu" Apakamu pernah kegua itu?"
"Pernah saja!" jawab Palupi tak mau kalah. "Aku
yang menyimpannya di sana!"
"Hmmm...!" Suto mencibir menampakkan sikapnya
yang tidak mau percaya. "Tak mungkin kau yang
menyimpannya."
"Iya!" teriak Palupi. "Aku yang simpan pedang itu.
Kalau tak percaya, ayo ikut aku. Kutunjukkan di mana
aku menyimpan pedangtersebut!"
"Baik! Mari kita buktikan mana yang benar di antara
kita berdua!"
Pancingan Pendekar Mabuk akhirnya berhasil. Palupi
membawa Suto ke Bukit Tungkai. Nama bukit itu masih
asing bagi Suto. Tentu saja Suto tak tahu di mana letak
Bukit Tungkai. Sepanjang perjalanan Suto selalu bicara
tentang pedang itu dengan sikap seolah-olah tidak
percaya dengan ucapan Palupi. Hal itu membuat Palupi
semakin penasaran dan ingin buktikan kebenaran kata-
katanya. Dalam hati Suto merasa girang, karena Palupi
bisa ditundukkan dengan cara beradu debat. Seandainya
Palupitidak gila, tentu saja Suto sulit lakukan pancingan
seperti itu. Pasti Palupi akan tutup mulut dan jaga ketat
rahasia penyimpanan pedang yang pernah
menghebohkan para tokoh di rimba persilatan sekian
puluh tahun yang lalu itu.
Sayang sekali langkah mereka menuju Bukit Tungkai
terpaksa terhenti karena kemunculan dua lelaki yang
menghadang di depan mereka. Dua lelaki itu muncul
dari balik bebatuan besar, melompat mengejutkan Palupi
hingga gadis itu menjadi kaget dan langsung memeluk
Suto. Wajahnya disembunyikan di sela leher Suto sambil
ia meratap gemetar, "Takut, Kang...!"
Dua orang yang muncul secara mengejutkan itu
berpakaian serba biru. Tapi yang satu berikat kepala
kuning, yang satu lagi berikat kepala putih. Keduanya
sama-sama bersenjatakan kapak di pinggang masing-
masing. Kapak mereka punya ukuran yang sama dan
bentuk yang sama pula, tapi warna gagangnya berbeda.
Yang berikat kepala putih kapaknya bergagang putih,
yang berikat kepala kuning gagang kapaknya berwarna
kuning pula. "Siapakah kalian sebenarnya, dan mengapa
menghadang langkahku, Sobat?" tegur Suto secara baik-
baik ketikaPalupi sudah melepaskan pelukannya.
"Kami utusan dari Muara Singa untuk membawa
pulang gadis gila itu!" jawab lelaki berikat kepala putih,
ia mempunyai kumistipis, usianya sejajar dengan si ikat
kepala kuning, sekitar tiga puluh tahun lewat sedikit.
Keduanya sama-sama berbadan tegap, tidak gemuk,
tidak pula kurus. Melihat cara memandang mereka yang
tajam, Suto dapat menduga keduanya mempunyai ilmu
yang lumayan. "Apakah gadis ini keluarga kalian?"
"Kau tak perlu tahu," jawab orang berikat kepala
kuning. "Yang jelas, jangan halangi niat kamimembawa
pulang gadis itu ke Muara Singa!"
"Muara Singa?" gumam Suto sambil berkerut dahi
pertanda merasa asing dengan nama tersebut. Lalu, Suto
bertanyakepada Palupi,
"Apakah kau orang MuaraSinga, Palupi?"
"Enak saja! Aku bukan keturunan seekor singa!"
sentak Palupi dengan cemberut.
Suto kembali bicara kepada dua orang utusan dari
Muara Singa itu, "Kelihatannya gadis ini tak mau
dibawa pulang ke Muara Singa, Sobat."
"Kami akan memaksanya!" kata si ikat kepalakuning
dengan tegas. "Kalau kalian memaksa, mungkin dengan terpaksa
aku akan melindunginya."
"Apa hakmu melindungi dan mempertahankan gadis
itu, hah?" gertak si ikat kepala putih.
"Aku punya keperluan sendiri dengan Palupi," jawab
Suto dengantetap kalem.
Yang kenakan ikat kepala kuning segera bicara
dengan yang pakai ikat kepala putih, "Paksa saja dia!
Rebut dari tangan pemuda itu!"
"Baik. Kurasamemangtak ada jalan lain, Kisworo!"
"Seranglah dulu dia, Marjan!"
"Kau sajalah yang duluan. Aku ingin lihat seberapa
tinggi ilmu silatnya!"
"Aku justru mau pelajari jurus-jurusnya. Ayo,
seranglah dulu dia!"
"Setiap kali pasti aku dulu yang bertindak," Marjan
bersungut-sungut. "Kau duluan sana!"
"Pancinglah lebih dulu, biar kuperhatikan
kelemahannya!"
"Kau ini bagaimana" Dari dulu selalu mengandalkan
pancinganku. Nanti giliran akuterdesak, kau lari"!"
"Eh, jangan sembarangan kalau bicara ya" Aku tak
pernah lari melawan siapapun, tahu"!"
"Tempo hari kau tinggalkan aku ketika aku melawan
musuh kitadi tepi sungai!"
"Aku bukan lari, tapi cari tempat yang enak buat
pertarungan!"
"Nyatanya kau tidak bertarung melawan orang itu,
kan?" "Itu salahnya dia, kenapatidak mengejarku...!"
Palupi berseru, "Hoi, hoi... ini bagaimana kok malah
cekcok sendiri" Apa sebenarnya kalian tidak berani
melawan calon suamiku ini?"
Kedua utusan Muara Singa itu sama-sama terhenti
berdebat dan memandangi Suto dan Palupi. Keduanya
menggumam bersamatanpa disengaja,
"Calon suaminya?"
Pendekar Mabuk melirik Palupi dengan dongkol.
"Seenaknya saja bilang calon suami," gerutu Pendekar
Mabuk, lalu ia buka tutup tabung bambunya dan
ditenggaknyatuak beberapateguk. Saat itu Palupi bicara
lantang kepada kedua orang yang mengaku utusan dari
Muara Singa. "Kalau kalian ingin selamat, jangan melawan calon
suamiku. Sebaiknya pergilah kalian dan biarkan calon
suamiku ini memperkosaku dulu!"
"Husy!" bentak Suto dengan rasamalu.
"Tak apa, Kang. Jangan takut. Mereka pasti kalah
melawanmu."
"Iya, tapi kau jangan sebut-sebut soal perkosa! Siapa
yang mau perkosa kau?" geram Suto berbisik di dekat
telingaPalupi. Gadis itu malah cekikikan.
"Siapa namamu, Pemuda Dusun"!"
"Namaku Suto Sinting!" jawab Suto yang membuat
Kisworo dan Marjan saling pandang dengan dahi
berkerut. "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, tapi
kapan dan di mana, siapa yang sebutkan nama itu di
depanku, ya?" ujar Kisworo kepadatemannya.
"Ya, aku juga pernah dengar nama itu, tapi entah
siapa yang sebutkannya."
"Persetan dengan nama itu, kalau kau tak mau serang
dia, ya sudah kuserang lebih dulu untuk dapatkan gadis
gila itu!"
Kisworo segera tampil lebih dekati Suto, lalu ia
membuka jurus pertama tanpa cabut senjata. Suto
Sinting bisikkan kata kepada Palupi agar jauhi dirinya.
TapiPalupi justru pegangi baju Suto sambil berkata,
"Aku takut, Kang. Aku takut kau kena pukul.
Sebaiknyakita lari saja, Kang!"
Pegangan tangan Palupi pada baju Suto membuat
Suto sulit bergerak. Akhirnya ketika ia dapat serangan
jurus pertama dari Kisworo, ia terpaksa gunakan jurus
'Jari Guntur', yaitu dengan sentilan kecil jari tangannya,
sebuah pukulan bertenaga dalam terlepas dan kenai dada
Kisworo. Wuuut...! Duuuhg...!
"Hegh...!" Kisworo terpekik dengan sendirinya.
Tubuhnya terpental ke belakang. Napasnya menjadi
berat, dadanya terasa nyeri, ia segera ditolong Marjan
untuk bangkit. Wajah yang menyeringai itu sempat
berkata, "Aku seperti ditendang kuda," dengan suara berat
mirip orangtua.
"Percayalah, di sini tidak ada kuda. Itu hanya
bayanganmu saja, karena kau masih memikirkan kuda
pamanmu yang masuk jurang tempo hari itu, Kisworo.
Tenang dan tabahlah. Hadapi dia lagi. Aku belum lihat
dia mainkan jurusnya!"
Tentu saja Marjan tak bisa melihatnya, karena
sentilan jari kanan Suto itu dilakukan dari samping,
tersembunyi di balik bumbung tuak yang menggantung
di pundak kanannya.
"Heaaat...!" Kisworo terpaksa maju lagi dengan
mencabut kapaknya karena Marjan mendorongnya ke


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan membuat Kisworo tersentak mendekati Suto di
luar keinginannya. Dengan begitu, mau tak tak mau
Kisworo lakukan serangan lagi sementara Marjan
seolah-olah lakukan pengamatan terhadap jurus lawan.
Tass...! Duuhg...!
"Huehg...!" Kisworo kembali terpental ke belakang,
kali ini jatuhnya terguling-guling tanpa bisa kendalikan
keseimbangan tubuh.
"Kau ini bagaimana" Belum apa-apa sudah mundur
lagi"!" kecam Marjan.
Kisworo yang ditolong bangkit oleh Marjan segera
menggerutu dengan suara berat mirip kakek berusia
seratustahun. "Matamu budeg! Dadaku mau jebol lagi, seperti
ditendang kuda liar!"
"Tidak adakuda!" bantah Marjan.
Kini Kisworo yang mendorong tubuh Marjan hingga
Marjan terpelanting mendekati Suto. Jaraknya yang
cukup dekat itu membuat Marjan cemas, takut dihantam
Suto. Karenanya, Marjan segera lepaskan serangan
tangan kosongnya ke arah rahang kiri Suto. Wuuut...!
Kepala Suto mundur dan pukulan itu tak kenai sasaran.
Tapi Marjan segera tarik diri, lompat mundur dua
langkah untuk atur jarak, ia segera lepaskan serangan
dengan gunakan kakinya, tapi sebelum hal itu dilakukan,
baru satu kaki diangkat, tiba-tiba Suto sentilkan jarinya
dan tenaga seperti kuda terlepas melalui sentilan 'Jari
Guntur' itu, tepat kenai dada Marjan.
Duuhg...! "Ehhg...!"
Wuuuss...! Bruuk...!
Marjan terpental bagaikan terbang terhembus badai
kencang, ia jatuh terkapar di dekati kaki Kisworo.
Matanya sempat terbeliak-beliak sebentar karenarasakan
dada sakit dan napas tersumbat seketika. Mulutnya
ternganga mencari udara. Kisworo segera menolongnya
untuk bangkit tanpa mengetahui gerakan jari Suto yang
menyentiltemannyatadi.
"Belum-belum sudah mundur. Kau ini bagaimana,
Jan"!" kecam Kisworo membalas.
"Mundur dengkulmu!" suara Marjan berat. "Dadaku
bagaikan diseruduk banteng!"
"Tak ada banteng di sini. Percayalah itu hanya
bayanganmu saja, karena sejak kecil kau memang takut
dengan banteng!"
"Tutup mulutmu! Lihat, dadaku membekas biru
begini!" ia menunjukkan kulit dadanya yang memar
sebesar telapak tangan.
Kisworo berkata, "Ah, itu memang tompel sejak
lahir! Aku tahu kau punyatompel sebesar itu sejak lahir.
Jangan gunakan alasan takut melawan pemuda itu!"
Marjan menggerutu jengkel, "Gundulmu itu yang
tompel semua!" ia bersungut-sungut. Kini matanya
memandang Suto Sinting yang masih tampak tenang,
bicara pelan dengan Palupi yang tersenyum-senyum
penuh bayangan kemesraan.
"Suto Sinting!" sapa Marjan mulai terpancing
kemarahan yang sebenarnya. "Rupanyakau punyateman
lain yang bersembunyi di sekitar sini dan melepaskan
pukulan jarak jauh kepada kami! Suruh keluar dia!
Kalau kau tak mau, kau sendiri yang akan terima
serangan balasan darikami!"
"Sudahlah, Sobat," kata Suto kalem. "Jangan
timbulkan permusuhan di antara kita. Jujur saja kalian
katakan, mengapa kalian kehendaki gadis ini untuk
dibawa pulang ke Muara Singa" Jika jawaban kalian
jujur, mungkin aku bisa pertimbangkan dan bisa anggap
keperluan kalian memang penting laiu aku akan bantu
kalian untuk bujuk gadis ini."
Kisworo maju selangkah dengan sikap berdiri masih
sedikit gemetar akibat rasa sakit yang masih membekas
di dadanya itu.
"Terus terang saja, Suto Sinting, kami perlukan gadis
itu. Karena gadis itu tadi mengoceh di depan gerbang
kami dan menyebut-nyebut Pedang KayuPetir!"
Suto terkesiap sejenak, tapi tidak bicara apa-apa.
Kisworo teruskan kata,
"Ratu kami ingin dapatkan pedang pusaka itu, karena
kami ingin desak gadis gila itu untuk katakan di mana
pedang pusaka itu berada!"
Kini kepala pendekar tampan itu manggut-manggut.
Suasana menjadi hening sesaat ketika Suto sedang
pertimbangkan iangkah berikutnya. Tapi Palupi segera
berkata kepada Suto dengan suara keras,
"Dia bohong, Kang! Dia bohong sekali! Aku tidak
tahu tentangpedang itu! Sama sekalitidak tahu!"
Kisworo menyahut, "Tapi kau sebut-sebutkan pedang
itu, bukan"!"
"Aku asal sebut saja! Aku sebutkan pedang itu biar
orang sangka aku sakti!" jawaban Palupi membuat hati
Suto bimbang kembali. Jangan-jangan kepadanya pun
Palupi asal sebut biar membuat Suto penasaran padanya"
Suto segera alihkan pembicaraan sebentar kepada
Kisworo, "Siapa ratu di Muara Singa itu"!"
"Gusti Purnama Laras!" jawab Kisworo dengan
mantap seakan bangga dengan ratu gustinya. Suto hanya
menggumam lirih menyebutkan nama Gusti Purnama
Laras. Tetapi tiba-tiba Palupi mengacaukan pikiran Suto
kembali dengan berkata,
"Dia bohong, Kang! Purnama Laras bukan nama
seorang ratu, tapinamaseekor burung beo!"
"Kurang ajar! Berani betul kau menghina Ratu gusti
kami, hah"!" Marjan marah, langsung saja ia sentakkan
tangannya untuk kirimkan pukulan jarak jauhnya ke
tubuh Palupi. Wuuut...!
Pukulan itu tidak bersinar, tapi Suto Sinting bisa
rasakan hembusan hawa panas yang mendekati dirinya,
sebab Palupi ada di belakang Suto sebelah kanan. Maka
dengan cepat Suto Sinting hadangkan bumbung tuaknya
di depan tubuh Palupi dan tubuhnya sendiri. Pukulan
hawa panas itu membalik arah. Buuurss...! Weess...!
Kini sasarannya ke tubuh Marjan sendiri, dan Marjan
tidak tahu kalau pukulannya membalik arah. Akibatnya
ketika ia mau bertolak pinggang, tahu-tahu tubuhnya itu
tersentak dan terpental ke belakang. Wuuut...! Buuhg...!
ia jatuhtujuh langkah jauhnya daritempatnyaberdiri.
"Marjan"! Kenapa kau pakai terbang-terbangan
segala"!" Kisworo segera menghampirinya. Marjan
menyeringai dan mengerang sambil berdiri dengan
bantuan sebatang pohon yang nyaris berbenturan dengan
tubuhnyatadi. "Kau ini unjuk ilmu terbang atau kenapa, Marjan?"
"Matamu buta!" maki Marjan. "Tidak tahukah kau
tenaga dalamku membalik sendiri dengan lebih besar
dan lebih cepat dari semula"!"
"Membalik sendiri"!" Kisworo heran, matanya
memandang Suto yang masih tampak tenang, bahkan
kini sedang meneguk tuaknya. Lalu, Kisworo berbisik,
"Kalau begitu kita coba lepaskan pukulan jarak jauh
kita bersama-sama!"
Keduanya bersiap lepaskan pukulan jarak jauh secara
bersamaan, tapi niat itu tertunda karena kemunculan
seseorang berjubah biru tua dengan pakaian dalamnya
warna putih bersih. Orang itu muncul sambil berseru,
"Tahan! Dia bukan tandingan kalian!"
"Dungu Dipo"! Oh, syukurlah kau lekas datang
membantu kami!" ujar Marjan.
Suto membatin, "Siapa lagi orang yang dipanggil
Dungu Dipo ini" Melihat keakraban mereka, agaknya
Dungu Dipo ini juga orang Muara Singa. Tapi
kelihatannya iapunyailmu lebih tinggi dari Kisworo dan
Marjan"! Akuharus lebih waspada lagi dengan orang tua
itu!" Dungu Dipo memang pantas dikatakan sebagai orang
tua, karena rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban
walau belum begitu banyak. Usianya sekitar lima puluh
tahunan. Tubuhnya agak kurus, tulang pipinya
bertonjolan, matanya cekung, tapi mempunyai sorot
pandangan mata lebih tajam lagi dari Marjan dan
Kisworo. Ia tidak berkumis, namun berjenggot tipis.
Rambutnyapanjang, diikat dengan kain warnamerah. Di
pinggangnya terselip senjata golok panjang bergagang
hitam melengkung.
Orang yang beraut muka antara seram dan lucu itu
mendekati Suto dari arah samping, sehingga ia masih
bisa berpaling ke arah Marjan dan Kisworo, namun juga
bisa memandang Suto dengan jelas-jelas. Pusat
perhatiannya sempat terarah pada Palupi, namun segera
beralih kepada Kisworo dan berkata,
"Jika hanyamenangkap gadis dungu saja tak mampu,
sebaiknya kau pulang ke desa dan menggembala kerbau
saja, Kisworo!"
Kecaman dan hinaan itu tak berani dibantah oleh
Kisworo. Marjan pun diam tak berkutik, seakan takut
kepada Dungu Dipo. Sementara itu Pendekar Mabuk
sejak tadi tersenyum-senyum dikulum memandangi
wajah runcing Dungu Dipo yang menurutnya sangat
lucu jika sedang marah begitu.
Kali ini Dungu Dipo sengaja pandangi wajah Suto
agak lama. Waktu itu Palupi berbisik kepada Suto, "Aku
tak tega memandangi wajahnya, Kang."
"Kenapa?"
"Dia mirip kakekku yang sudah meninggal."
"Kapan kakekmu meningga?"
"Rencananya bulan depan, tapi sampai sekarang aku
tidak tahu apakah dia sudah meninggal atau belum."
"Ah, ngacau saja omonganmu, Palupi. Carilah tempat
bersembunyi sana! Agaknya aku harus bertarung hadapi
tokoh yang satu ini!"
Suto terpaksa harus maklum jika Palupi bicara
mengacau, karena sakit gilanyamembuat si gadis seakan
tak sadar dengan apayang dikatakannya. Sebab itu, Suto
lebih baik menyuruh Palupi untuk bersembunyi, karena
ia punya dugaan keras bahwa Dungu Dipo pasti akan
merebut Palupi juga. Dungu Dipo ini tampak lebih
berani daripada Marjan dan Kisworo. Suto Sinting
sedikit lega melihat Palupi bersembunyi di balik pohon
di belakangnya.
"Anak muda, kau telah mencampuri urusan negeri
kami," kata Dungu Dipo. "Biarkan kami bawa pulang
gadis itu, karena Ratu Gusti kami membutuhkan
keterangan dari gadis itu! Jangan kau halangi maksud
kami, kalau kau ingin kamitidak selamat!"
"Bukan kami yang tidak selamat, tapi dia yang tidak
selamat!" Kisworo membetulkan maksud Dungu Dipo.
"Aku tahu! Memang itu maksudku!" bentak Dungu
Dipo. Suto Sinting tersenyum dan membatin, "Mungkin
karena selalu salah mengutarakan maksudnya itu maka
ia dijuluki Dungu Dipo. Hi, hi, hi... aneh juga orang ini.
Galak tapi lucu."
"Hei," sentak Dungu Dipo. "Kenapa ribut saja"!"
"Kenapa diam saja!" Marjan membetulkan lagi.
"Iya. Aku tadi sudah bilang begitu, Tolol!" bentak
Dungu Dipo tak suka dianggap salah ucap. Ia
membentak kepada Suto, "Kenapa diam saja"! Apakah
kau sedang mempertimbangkan untuk mati atau
modar"!"
"Hidup ataumati!" ralat Marjan iagi.
"Diam kau!" bentak Dungu Dipo.
Suto Sinting tertawa lalu berkata, "Dungu Dipo,
ketahuilah bahwa aku tidak semata-mata menahan gadis
gila itu. Tapi aku juga butuh gadis itu untuk suatu
maksud, jadi aku terpaksa mempertahankannya. Kecuali
gadis itu dengan rela mau ikut bersamamu menghadap
Ratu Gustimu, maka aku pun akan melepaskannya dan
tidak akan menahannya."
"Persetan mau atau tidak, tugasku adalah membawa
gadis itu menghadap Ratu Gustiku. Kalau kau
menghalangi niatku ini, maka aku tak segan-segan
mencabut nyawaku sendiri!"
Kisworo berbisik pada Marjan, "Dia kalau
mengancam orang tidak pernah bisa menakutkan lawan.
Maksudnya mencabut nyawamu, jadi mencabut
nyawaku. Mana bisa menakutkan lawan"!"
"Diamkan saja, nanti kita kena sembur napasnya bisa
hangus!" bisik Marjan.
Kepada Suto, Dungu Dipo berkata, "Menyingkirlah
dari kamiatau akuterpaksa bertindak nanti saja"!"
"Silakan bertindak jikakau ingin bertindak!"
"Kurang ajar! Tak ada takutnya kau kepadaku, hah"!
Hiaaat...!"
Dungu Dipo melompat ke samping, menjejakkan
kakinya dan melenting di udara, tapi arahnya justru jauh
dari Suto Sinting. Ketika ia mendaratkan kakinya, ia
sempat bingung mencari Suto. Selain tempatnya jauh
dari lawan, berdirinya pun jadi memunggungi lawan.
Karena itu ia bingung mencari lawannya yang dianggap
bisa menghilang.
"Hebat"! Dia bisa menghilang"!"
Marjan berseru, "Lawanmu ada di belakang, Dungu
Dipo! Kau salah berdiri!"
"Hiaaat...!" Dungu Dipo berbalik arah, lalu
memandang Suto yang masih diam saja. Kini ia
melangkah dengan langkah biasa karena merasa
jaraknyaterlalu jauh dengan lawan. Setelah kurang lebih
berjarak enam tindak di depan Suto, Dungu Dipo
berhenti dan membentak,
"Mengapa kau menjauhiku, hah"! Kau takut


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku"!"
Palupi yang menongolkan kepala dari baiik pohon
berseru, "Dasar wong edan! Dia sendiri yang menjauh
kok dikatakan orang lain yangmenjauh!"
"Diam kau gadis gila! Hiaaah...!"
Claaap...! Dungu Dipo lepaskan pukulan pelumpuh urat
berwarna kuning dari telapak tangannya. Sasarannya ke
arah Palupi. Tapi selarik sinar kuning itu dihadang oleh
Suto Sinting dengan bumbung tuaknya. Traaap...! Sinar
kuning itu membentur bumbung tuak, dan membias
balik ke arah penyerangnya. Dungu Dipo kaget dan
segera lompat bersalto ke belakang. Sinar kuning itu
menghantam pohon. Duur...! Pohon berguncang,
daunnya banyak yang gugur, tapi tidak mengalami
perubahan apa-apa. Dungu Dipo segera berkelebat dalam
satu lompatan ke arah Suto. Lalu dari mulutnya
disemburkan napas yang menghentak kuat. Wuuuss...!
Hawa panas yang mampu melelehkan besi mendekati
Suto. Dengan cepat Pendekar Mabuk ayunkan tali
bambu tuaknya ke depan. Wuuuss...! Angin deras keluar
dari kelebatan bambu tuak itu, membuat angin panas
menyebar balik ke arah Dungu Dipo.
"Hiaaah...!"
Dungu Dipo sentakkan kedua tangannya ke samping,
dan hawa dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Dengan
begitu, hawa panasnya yang membalik ingin menyergap
sekujur tubuh itu menjadi padam karena keluarnyahawa
dingin itu. Syorrrb...! Asap mengepul bagaikan panas masuk ke air dingin.
Pada saat itu, Suto Sinting kirimkan pukulan jarinya
dengan menyentil pelan tanpa kelihatan. Tess...!
Duuhg...! Jurus 'Jari Guntur' lepaskan tenaga sebesar tendangan
kuda, dan tepat kenai pinggang Dungu Dipo. Akibatnya
Dungu Dipo pun terpekik sambii terpelanting jatuh ke
kanan, terkapar di dekat kaki Marjan. Bruuus...!
"Uuhg...! Monyet juling!" makinya dengan suara
berat. Wajahnya memerah, ia lekas bangkit dan
membentak Marjan serta Kisworo. "Kenapa kalian diam
saja"! Ayo, lekas bantu aku melawan dirimu!"
"Melawan dia, maksudnya?"
"Lha iya! Masa' mau melawanku"!" bentak Dungu
Dipo. Kedua orang itu takut dengan bentakan tersebut,
sehingga cepat-cepat melompat lakukan serangan
bersama ke arah Suto Sinting. Tapi pada waktu itu Suto
Sinting cepat jejakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya
melesat naik, hinggap di atas pohon.
Namun hal yang amat mengejutkan Dungu Dipo dan
kedua orangnya itu adalah keberadaan Suto yang juga
ada di depannya. Di bawah pohon lain juga ada Suto. Di
atas pohon lain ada juga Pendekar Mabuk. Di belakang
mereka ada dua Pendekar Mabuk. Mereka jadi
kebingungan dan tidak tahu bahwa Suto sengaja
pergunakan jurus 'Sapta Tingal', yaitu memecah diri
menjadi kembar tujuh rupa. Hal itu semata-mata untuk
menakutimereka saja, supayatidak timbul korban dalam
pertarungantersebut.
Ternyata Dungu Dipo dan kedua orangnya menjadi
tegang, sangat ketakutan. Lalu merekasegera larikan diri
setelah Dungu Dipo berseru, "Lariii...!" Tentunya
mereka punya pertimbangan, jika Suto dapat berubah
menjadi tujuh sosok kembar, maka tentunya ilmu
mereka tidak sebanding dan tak akan menang melawan
Pendekar Mabuk itu. Tak salah jika mereka lari mencari
selamat. Tapi Suto sendiri jadi kebingungan karena
Palupipun ikut menghilang dari tempat itu.
* * * 3 ANGIN gunung berhembus ke barat. Kecepatan
hembusnya cukup tinggi, karena pucuk-pucuk cemara
hutan itu meliuk-liuk dengan tajam, seakan hampir patah
pada bagian tengah batang. Hembusan angin cepat itu
ternyata tetap saja diterobos oleh pelarian Suto Sinting
yang mengejar Palupi.
"Aku jangan sampai kehilangan gadis gila itu! Dia
satu-satunya penunjuk jalan bagiku untuk menuju Bukit
Tungkai. Tapi... apakah benar Pedang Kayu Petir ada di
Bukit Tungkai" Apakah benar Palupi yang
menyimpannya di sana" Siapa dia sebenarnya hingga
menyimpan pedang pusaka itu di Bukit Tungkai" Atau,
jangan-jangan bicaranya itu hanya mengacau saja karena
kegilaannya itu" Ah, benar dan tidaknya aku ingin
buktikan, karenanya aku harus temukan gadis itu
sebelum orang lain temukan dia!"
Hati Suto Sinting memang bimbang; antara percaya
dan tidak dengan penjelasan Palupi. Mau percaya, takut
ternyata semua itu hanya celoteh orang gila belaka. Mau
tidak percaya, nanti jangan-jangan celoteh itu memang
benar" Maka Suto memutuskan lebih baik percaya saja,
ketimbang tidak percaya ternyata pedang itu memang
benar-benar ada di gua Bukit Tungkai"
"Kalau toh akutertipu, tak apalah. Maklum saja yang
bicara orang gila. Lebih baik akutertipu daripada pedang
pusaka itu ternyata berhasil dimiliki oleh orang-orang
Muara Singa. Tapi... ngomong-ngomong untuk apa ratu
Muara Singa menghendaki pedang itu" Apa kah juga
untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa?" pikir Suto
dalam masapencarian diri Palupi.
"Jika memang ratu Muara Singa ingin lawan Siluman
Tujuh Nyawa dengan pedang itu, seharusnya aku
bergabung dengan mereka dan membantu Ratu Purnama
Laras untuk kalahkan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi...
apakah orang-orang Muara Singa bisa kuajak
bersahabat?"
Sehari semalam pencarian itu dilakukan, tapi Palupi
tidak ditemukan jejaknya. Suto Sinting hampir
kehilangan kesabarannya, iahampir-hampir berniat tidak
mau mengejar Palupi lagi. Namun jika ia ingat Pedang
Kayu Petir yang amat dibutuhkannya itu, semangatnya
mencari Palupi kambuh lagi dengan membara.
Pencariannyapun dilanjutkan kembali.
Tetapi alangkah kagetnya Pendekar Mabuk ketika
tiba di sebuah lembah berpohon hutan jarang itu,
ternyata ia temukan keadaan yang menyedihkan.
Beberapa orang terkapar di lembah itu dalam keadaan
wajah membiru legam. Mulut mereka berbusa warna
darah. Jumlah mereka setelah dihitung oleh Suto ada
delapan orang. Mereka berpakaian sama, dan sewarna
dengan pakaian Kisworo sertaMarjan, yaitu biru.
"Agaknya mereka orang-orang Muara Singa," pikir
Suto sambil memperhatikan semua orang di situ
menggenggam senjata dalam keadaan lemas. Mereka
menggeliat-geliat pelan bagaikan ular keberatan badan.
Matamereka ada yang terpejam, ada yang terbuka sayu.
Erangan mereka sangat lirih, bagaikan sedang menunggu
ajal tiba. "Jika hanya dengan pukulan, tak mungkin mereka
mempunyai ciri luka yang sama: wajah membiru, mulut
berbusa darah, rambut mereka sebagian rontok. Pasti
mereka habis lakukan pertarungan dan terkena racun.
Entah racun apa dan bagaimana cara kerjanya," pikir
Pendekar Mabuk setelah menenggak tuaknya. "Tapi
agaknya aku belum terlambat. Masih bisa sembuhkan
mereka dari racun itu dengan menggunakan tuakku ini."
Maka, Suto Sinting pun segera meminumkan tuaknya
sedikit kepada orang yang bertubuh gemuk dan matanya
sedang terbeliak-beliak bagaikan sekarat. Orang muda
yang bertubuh agak gemuk itu meneguk tuak Suto
dengan gelagapan. Dari mulutnya sempat keluar suara
lirih, "Tandu....Terbang...."
"Apamaksudmu?" tanya Suto.
"Kami... diserang.... Tandu Terbang...."
"TanduTerbang"!" Suto berkerut dahi dalam keadaan
masih jongkok di samping orang agak gemuk itu. Ia
merasa aneh dengan julukan Tandu Terbang, ia bahkan
tak tahu apakah Tandu Terbang adalah nama seseorang
atau benda berupatandu yang bisa terbang kesana-sini"
Suto Sinting belum temukan kepastian tentanghal itu,
tiba-tiba sebeberkas sinar merah bagaikan piringan
melayang cepat menuju ke punggungnya. Wuuut...!
Ekor mata Suto melihat kerliapan sinar datang dari
belakang. Dengan cepat Suto Sinting gulingkan badan
lompati orang gemuk itu, dan sinar merah tersebut
melintas dengan cepat ditempat Suto jongkok tadi. Sinar
itu akhirnya menghantam sebongkah batu setinggi perut
manusia dewasa. Blaaar...!
Batu pun pecah menjadi kerikil-kerikil tajam. Suto
Sinting segera bangkit dan perhatikan arah datangnya
pukulan jarak jauh itu. Ternyata di sana ada seorang
lelaki berpakaian sama dengan para korban di situ. Suto
segera mengerti bahwa orang berikat kepala dari kain
benang perak itu adalah orang Muara Singa. Tapi apa
persoalannya orang itu menyerang, Suto sendiri belum
bisa memastikan.
Ketika orang itu mendekat dengan mata tajam dan
berkesan dingin, Suto Sinting segera menyapanya
dengan sikap tenang.
"Mengapa kaumenyerangku"!"
Orang berusia sekitar empat puluh tahun kurang
sedikit itu menjawab dengan nada ketus dan berkesan
bermusuhan. "Kau harus menerima ganjaran yang setimpal atas
perlakuanmu ini, Sobat!"
"Apamaksudmu?"
"Kau telah membantaiorang-orangku hingga terkapar
begini!" "Tunggu dulu! Kau salah paham! Ini bukan
pekerjaanku."
"Omong kosong! Batu Sampang tak bisa ditipu oleh
siapa pun!" sambil ia menepuk dada menyatakan dirinya
sebagai Batu Sampang. Pedang yang menyilang di
punggungnya menandakan ia punya kedudukan lebih
tinggi dari orang-orangyangterkapar itu.
"Apakah kau orang MuaraSinga, Batu Sampang"!"
"Benar! Kurasa kau pun tahu kalau orang-orang yang
terkapar ini adalah prajurit negeri Muara Singa! Kau tak
perlu berlagak bodoh, Bocah Kunyuk!"
"Aku baru saja mau sembuhkan luka-luka temanmu
ini, Batu Sampang! Kau jangan menuduhku sebagai
pelakunya!" Suto membela diri dengan tenang.
"Tak adatampang tabib di wajahmu, Bocah Kunyuk!
Sebaiknya terimalah pembalasan dari Batu Sampang,
TamtamaMuara Singa ini! Hiaaat...!"
Orang itu langsung saja lakukan lompatan secepat
kilat dan menerjang wajah Suto Sinting dengan
tendangan kakinya yang sempat mengecohkan gerakan
menghindari dari Suto. Duuuhg...! Plok...! Kaki kiri
menendang pundak, kaki kanan masuk ke wajah Suto
bagaikan tamparan cepat dan kuat.
Suto Sinting terpelanting dan hampir saja jatuh,
karena ia memang tidak bermaksud menangkis
tendangan itu. Hanya ingin menghindari, tapi salah
gerak. Suto Sinting akhirnya kibaskan kepalanya sendiri
untuk membuang rasa pusing yang begitu kuat, bahkan
sempat membuat pandangan matanya menjadi kabur.
"Cepat sekali gerakannya, jurus tipuannya kuakui
begitu hebat," pikir Suto Sinting dalam keadaan sudah
berdiri tegak lagi. "Rupanya orang ini perlu diberi
pelajaran sedikit supayamau percayai omonganku!"
Batu Sampang yang berwajah dingin itu segera
lepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat punggung
telapak tangan yang disentakkan ke depan dalam
keadaan menguncup tertekuk itu. Wuuut...! Claaap...!
Dengan cepat sinar kuning berbentuk bola kecil itu
melesat kearah tubuh Pendekar Mabuk.
Dengan menggunakan bumbung tuaknya, Suto
menangkis sinar kuning tersebut. Deeb...! Sinar itu
mengenai bumbung tuak, langsung memantul balik ke
arah pemiliknya. Tentu saja Batu Sampang kaget dan tak
menduga kalau sinar kuningnya berhasil memantul balik
dalam bentuk bulatan lebih besar lagi dan kecepatan
lebih tinggi lagi. Wuuuusss...!
"Hiaaah...!" Batu Sampang segera melenting di udara
dan hinggap di gugusan tanah yang lebih tinggi. Sinar
kuningnya temukan tempat kosong dan masuk ke
semak-semak sana. Jraass...! Zraaakk...!
Suto Sinting terkesiap melihat semak-semak itu
kontan menjadi kering setelah kepulan asap yang
membungkusnya saat sinar itu mengenai semak-semak
hilang. Ternyata sinar kuning itu cukup berbahaya bagi
manusia. Mungkin kulit dan daging manusia akan
menjadi kering jikaterkenasinar kuningtersebut.
"Tahanlah dulu seranganmu, Batu Sampang! Kita
bicara baik-baik saja!"
"Tak ada waktu untuk bicara dengan orang sepertimu,
Setan Bagus! Sekarang saat pembalasan, bukan saat
bicara. Hiaaah...!" Batu Sampang lompat tinggi-tinggi
dan bersalto dua kali.
Wut, wuuut...! Trang...! Ternyata Batu Sampang sudah cabut pedangnya pada
saat bersalto tadi. Pedang itu ditebaskan untuk
membelah kepala Pendekar Mabuk. Tapi dengan cepat
Suto Sinting silangkan bambu tuaknya ke atas kepala
dengan disangga dua tangannya. Akibatnya pedang itu
menghantam bumbung yang seperti menghantam besi


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baja. "Pedang itu punya isi juga rupanya," pikir Suto.
"Pedang itu tidak rusak atau rompal seperti pedang
lainnya. Pedang itu masih utuh dan tubuhku tadi seperti
disiram air panas dalam sekejap ketika bumbung tuak
beradu dengan pedangnya. Hmm...! Agaknya ia seorang
prajurit negeri Muara Singa yang diandalkan untuk
lakukan penyerangan terhadap lawan siapa saja. Aku tak
boleh lengah sedikit pun. Ia mempunyai jurus-jurus yang
dibarengi oleh gerakan sangat cepat. Hampir saja aku
tadi matiterbelah oleh pedangnya!"
"Hiaaaah...!" Batu Sampang tampak buas. Ia
menyerang lagi dengan satu lompatan pendek, namun
pedangnya segera berkelebat membabat sekujur tubuh
Suto Sinting. Wut, wut, wut, wut, wut... weess...!
"Kunyuk bunting!" geram Batu Sampang. "Tebasan
pedangku mampu dihindari olehnya. Padahal selama ini
tak ada lawan yang berhasil hindari jurus 'Pedang Kilat'
yang kumiliki"! Rupanya anak muda ini punya ilmu
cukup tinggi. Pantas ia bisa tumbangkan delapan
orangku dalam waktu singkat. Baru kutinggal
memeriksa di balik bukit ini, mereka sudah terkapar tak
berdaya begini! Aku harus gunakan jurus pedang
lainnya!" Suto Sinting segera berseru, "Batu Sampang, aku tak
ingin ada yang celaka di antara kita. Hentikan
seranganmu dan biarkan kusembuhkan luka parah pada
delapan orangmu ini!"
"Jangan banyak mulut kau! Hadapilah jurus 'Pedang
Sekarat' ini! Hiaaah...!"
"Batu Sampang!" teriak seseorang, ternyata orang
agak gemuk tadi yang minum tuaknya Suto itulah yang
berseru memanggil Batu Sampang. Orang itu lanjutkan
seruannya, "Bukan dia yang menyerang kami, Batu
Sampang! Bukan dia!"
"Lantas siapa, Prasogo"!" suara Batu Sampang
menyentak tegas.
"Tandu Terbang!" jawab Prasogo tegas dan jelas.
Agaknya pengaruh racun yang merusak bagian dalam
tubuhnyamulai hilang setelah iameminum tuak tadi.
Batu Sampang tertegun memandangi Prasogo begitu
mendengar nama Tandu Terbang. Perubahan wajah itu
diperhatikan oleh Suto secara diam-diam. Dalam hati
Suto pun berkata,
"Agaknya nama Tandu Terbang sudah dikenal oleh
mereka dan termasuk nama yang diperhitungkan oleh
Batu Sampang, ia kelihatan cemas walau disimpannya
dalam sikap diam dan berlagak tenang. Hmm... pasti ia
punya urusan sendiri dengan Tandu Terbang yang
mungkin pernah membuatnya jera. Terbukti amarahnya
tidak langsung meluap begitu mengetahui siapa
penyerangnya, ia pun tidak keluarkan sangkalan dan
langsung percayadengan pengakuanPrasogo."
Kejap berikut terdengar suara Batu Sampang bertanya
tegas kepadaPrasogo,
"Ke mana larinya siTandu Terbang itu?"
"Tidak tahu. Kami diserang dengan uap beracun yang
menyebar bersama gerakannya!" jawab Prasogo, kini ia
malahan berdiri sebagai tanda bebas dari pengaruh
racun. "Apakah pemuda itu adalah orangnya Tandu
Terbang?" Batu Sampang menuding Suto Sinting sambil
pandangi Prasogo, dan orang agak gemuk itu gelengkan
kepalasambil menjawab,
"Tidak. Dia datang beberapa saat setelah Tandu
Terbang, malahan dia obati aku dengan tuaknya itu!
Kurasa jika yang lain minum tuaknya, juga akan selamat
dari racun mautnyaTanduTerbang!"
Batu Sampang tarik napas, ia pandangi Suto sesaat,
kemudian berkata kepada Prasogo, "Kalau begitu, suruh
dia obatiyang lainnya juga."
Prasogo berkata kepada Suto, "Maukah kau
mengobatiteman-temanku ini?"
"Tidak!" jawab Suto tegas. "Kujamin dalam beberapa
saat lagiteman-temanmu akan kehilangan nyawa, karena
kulihat racun itu sangat ganas."
"Tolonglah, Tuan Pendekar yang budiman. Tolong
sembuhkan mereka," Prasogo memohon penuh harap.
Tapi Batu Sampang bersikap sinis dan diam saja.
"Tuakku bukan untuk umum, Prasogo. Tapi kalau
memang kau berharap semua temanmu selamat
sepertimu, suruh orang angkuh itu memohon sendiri
padaku!" Batu Sampang tersentak dan cepat berpaling kepada
Suto dengan sorot mata kian dingin. Suto hanya
tersenyum, bahkan dengan santainya menenggak tuak
tanpa ragu-ragu. Sedangkan Prasogo tidak berani
menyuruh Batu Sampang, melainkan hanya
memandangnyadalam keraguan.
Terdengar lagi suara Pendekar Mabuk berkata,
"Prasogo, waktunya hanya sebentar, aku harus segera
pergi untuk selesaikan urusanku! Selamat tinggal!"
"Tunggu!" Batu Sampang segera mencegah dengan
seruan. Rupanya ia tak punya pilihan lain. Demi
keselamatan jiwa anak buahnya iaterpaksa harus tunduk
dan memohon sendiri kepada Suto Sinting, ia pun segera
dekati Suto Sinting, berhadap-hadapan dalam jarak tiga
langkah, berpandangan sama tajamnya. Tapi kemudian
Batu Sampang tundukkan wajah bungkukkan badan,
menghormat dan berkata,
"Tolong, selamatkan mereka dari racun itu!"
"Mengapa kauharus memohon padaku?"
"Karena aku yang bertanggung jawab atas delapan
jiwa yang kubawa dari Muara Singa itu!" suara Batu
Sampang menjadi lunak.
"Untuk apa kau membawa delapan jiwa dari asalmu
itu?" "Mencari gadis gila yang bernamaPalupi."
Suto terkejut, tapi segera sembunyikan
keterkejutannya itu dengan sikap tenang. Matanya
sedikit terkesiap mendengar jawaban tersebut. Tapi ia
masih ingin ajukan tanya sekali lagi sebelum ia lakukan
penyembuhan. "Untuk apa gadis gila itu kau cari?"
"Karena dia tahu di mana Pedang Kayu Petir berada!
Ratu Gusti kami sangat membutuhkan pusakatersebut."
Suto manggut-manggut, lalu bergegas memberikan
tuak ke mulut mereka yang terkapar menunggu ajal.
Namun dalam hati Suto Sinting segera berkata,
"Setelah kuperhatikan, ternyata racun ini bukan untuk
mematikan, namun untuk melukai saja. Sebenarnya
tanpa meminum tuakku, mereka dapat sembuh walau
agak lama. Kulihat warna biru di wajah beberapa orang
sudah tampak memudar. Agaknya orang yang memiliki
racun ini bermaksud melukai saja, tidak punya niat
mematikan mereka. Hmm... kenapa begitu" Apakah
karena Tandu Terbang hanya punya racun seperti itu,
dan tak punya racun jenis lain yang mematikan
lawannya?"
Sedikit demi sedikit mereka mulai sadar, tapi rambut
mereka sudah telanjur banyak yang berguguran. Bahkan
kepala mereka ada yang sudah menjadi botak di bagian
tengahnya. Keganasan racun itu hanya berakibat
merontokkan rambut dan melemahkan peredaran darah,
termasuk jantung dan paru-paru mereka. Tapi tidak
sampaimerusak separah dugaan semula.
"Kasihan, kepalamu sampai botak selicin ini,
Teman," kata Suto kepada orang yang kepalanya botak
licin di bagian tengah. Orang itu justru bersungut-sungut
dan berkata, "Inimemang botak dari lahir, Kang!"
"Oo...," Suto tertawa geli namun tak berani terlepas
keras, ia segera temui Batu Sampang yang agaknya kian
mengurangi sikap dinginnya kepada Suto. Dalam hati
Batu Sampang ternyata menaruh kekaguman terharap
cara penyembuhan Suto, juga mengakui keunggulan
ilmu Suto melalui pertarungan singkattadi.
"Terima kasih atas bantuanmu, Pendekar Mabuk,"
katanya setelah mengenal siapa Suto sebenarnya.
"Buatku ucapan itu tidak terlalu berharga. Lebih
berharga hati yang mau bersahabat denganku, Batu
Sampang." Lelaki itu mengangguk-angguk dengan mata
memandang ke arah rumput di samping kaki Suto. Lalu,
Golok Bulan Sabit 1 Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Kitab Serat Biru 2
^