Diburu Topeng Reges 1
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges Bagian 1
(Seri Naga Geni ke 5)
DIBURU TOPENG REGES
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Bulan purnama semakin merayap lebih tinggi, se-
perti hendak menyaingi cahaya ratusan bintang yang
bertaburan di langit biru. Tak sepotong awan pun
yang tampak mengambang di langit, sehingga cahaya
yang terang-temarang langsung menerangi Jurang
Mati, di mana Mahesa Wulung tengah mati-matian
merayap di tebing jurang untuk mencapai mulut
sebuah goa di sebelah kanannya.
Selangkah demi selangkah, kakinya melangkah ke
samping, sementara kedua tangannya berpegang
pada tonjolan-tonjolan batu dari tebing jurang.
"Hmm, sepuluh langkah lagi, pastilah mulut gua
itu aku capai!" desis Mahesa Wulung sambil terus
merayap ke kanan.
Setelah mencapai lima langkah, Mahesa Wulung
berhenti sejenak. Peluh dingin mengucur dari lobang-
lobang kulitnya, apalagi ketika ia melirik ke bawah ke
dasar Jurang Mati. Satu lirikan saja cukup membuat
kepalanya terasa mengkap-mengkap seperti hendak copot. Dirasanya satu tenaga
aneh seperti hendak
menyedotnya jatuh ke dasar jurang. Maka cepat-ce-
pat ia mengerahkan segenap ilmunya 'Tugu Wasesa'
yang sanggup melindungi dirinya dari segala getaran-
getaran dan benturan-benturan yang sehebat apa-
pun. Sesaat kemudian ia dapat menguasai kembali
dirinya dari pengaruh sedotan dasar Jurang Mati.
Sementara itu beberapa buah batu kerikil yang
tersinggung oleh kakinya, bergelindingan jatuh ke
jurang, setelah lebih dulu membentur serta mener-
jang tebing curam dari Jurang Mati, dengan suara
gemelandang menggema, menimbulkan rasa ngeri di hati kecil Mahesa Wulung.
Terbayanglah, seandainya ia benar-benar terjatuh
ke situ pastilah tubuhnya akan hancur luluh. Ter-
ingat kembali akan nasibnya yang malang itu, hati-
nya seolah-olah disayat oleh sembilu, pedih dan
ngeri. Ia telah terjatuh ke jurang ketika menghindari
serangan ilmu 'Netra Dahana' dari Ki Topang Reges
yang dahsyat itu. Untunglah ia tidak terbakar oleh
lidah api yang dipancarkan oleh mata Ki Topeng
Reges. Tetapi kekalahannya itu tidak begitu membe-
ratkan hatinya, sebab suatu ketika pastilah itu akan
dapat ditebusnya kembali.
Yang sangat disesalkan ialah kematian Empu Bas-
kara. Dengan kematian orang tua itu, yang seharus-
nya diselamatkan dari tangan-tangan kotor gerom-
bolan hitam, hampir seluruh tugasnya telah gagal
sama sekali. Suatu hal yang sangat memalukan bagi
seorang pendekar cabang atas seperti dirinya ini.
Satu-satunya harapan ialah dengan merebut kembali
catatan rahasia dari panah 'Braja Kencar' yang telah
dibawa kabur oleh si Rikma Rembyak, murid kinasih
dari Ki Topeng Reges.
Suatu perasaan baru terungkap dalam hatinya
yang kini bergelora karena kematian Empu Baskara.
"Yah, aku harus keluar dari tempat ini, untuk
membalaskan kematian Empu Baskara. Ke manapun
larinya Ki Topeng Reges dan Rikma Rembyak, mereka
akan aku kejar."
Mahesa Wulung kemudian melanjutkan kembali
kerjanya. Sejengkal demi sejengkal ia terus merayap
ke arah mulut goa di sebelah kanannya.
"Hmm," sebuah tarikan napas lega terdengar dari
hidung Mahesa Wulung, manakala mulut goa itu
telah dicapainya dengan selamat. Perlahan-lahan ia
mengamati goa itu dari luar. Tampaklah olehnya,
mulut goa itu penuh ditumbuhi oleh lumut liar
sedang bagian atasnya dipenuhi oleh benang laba-
laba yang bergantungan, bagaikan benang perak yang
gemerlapan ditimpa sinar purnama.
Yang agak mengherankan Mahesa Wulung ialah
bagian tengah dari ruangan goa itu. Seberkas sinar
purnama telah jatuh ke lantai, cukup menerangi tem-
pat itu dari luar goa.
"Entah dari mana sinar purnama itu masuk"
Mungkin dari lobang-lobang atas pada langit-langit
goa," pikir Mahesa Wulung penuh rasa kagum dan
ingin tahu. "Baiklah, aku akan masuk ke dalam serta
menyelidikinya. Mudah-mudahan goa ini cukup
hangat untuk tempat beristirahat malam ini. Siapa
tahu mungkin besok aku dapat menemukan jalan
keluar dari Jurang Mati ini."
Dengan hati-hati ia maju ke mulut goa. Tiba-tiba ia
terhenyak kaget, ketika hidungnya mencium bau
engas yang menyesakkan dada.
Syraat! dilolos pedangnya untuk menghadapi se-
tiap bahaya. Naluriahnya yang tajam telah mencium
adanya bahaya di sekitar tempat itu. Kembali ia
melangkahkan kakinya ke dalam mulut goa.
Cess! sebuah rasa dingin terasa menerkam teng-
kuknya, dan Mahesa Wulung pun bergerak cepat
dengan putaran pedangnya ke atas. Sebuah benda
terbabat putus dan melayang ke tanah.
"Ooh. Lumut-lumut liar!" desis Mahesa Wulung
seraya menatap ke atas. Ternyata lumut-lumut liar
tadi memang meneteskan air ke bawah dan beberapa
tetes air itu telah menjatuhi tengkuknya.
"Hmm, untunglah hanya air yang menetes ke
tengkukku, seandainya senjata" Aku harus lebih
hati-hati sekarang!"
Bersamaan dengan itu, ketika ia lebih jauh masuk
ke dalam mulut goa, satu jeritan yang memekakkan
telinga terdengar mengiringi beberapa bayangan yang
melesat keluar dari dalam goa. Benda-benda itu
terlalu rendah melayang dan satu-satunya jalan bagi
Mahesa Wulung ialah menghindarinya dengan ber-
tiarap di atas tanah. Bunyi berdesing serta kepak-
kepak sayap terdengar di atas kepalanya menimbul-
kan angin dingin yang menyapu tengkuknya. Mahesa
Wulung melirik ke atas dan terpaksa ia menjerit kecil.
"Kelelawar-kelelawar raksasa!" desis Mahesa
Wulung. "Tapi mereka telah keluar!"
Sejenak hatinya merasa aman, tetapi bau engas
menyesakkan itu masih terasa hebat. Malahan kini
terdengar pula bunyi bergetar setengah mencicit yang
sangat halus, namun terasa masuk ke relung-relung
telinga Mahesa Wulung, menimbulkan rasa nyeri
yang luar biasa hebatnya. Maka sekali lagi Mahesa
Wulung menyalurkan ilmunya, 'Tugu Wasesa'.
Mendadak saja, belum lagi ia selesai menyalurkan
ilmunya, dari sebuah pohon besar pada dinding goa
itu terlihatlah dua bulatan sinar yang menyala merah
berkedip-kedip. Kemudian diiringi oleh satu jeritan
hebat, sebuah sinar putih gemerlapan menyambar ke
arah kepala Mahesa Wulung dengan kecepatan luar
biasa. Tentu saja ia sangat terkejut disambar oleh benda
bersinar itu, maka secepat kilat ia berkelit ke sam-
ping untuk menghindar. Anehnya, benda panjang
itupun tetap mengikuti gerakannya dan tak ampun
lagi tubuhnya kena terlibat.
"Benang laba-laba," desis Mahesa Wulung kaget
setengah mati. Segera ia meloncat mundur ke tempat yang
diterangi oleh sinar purnama dari lobang-lobang
langit goa. Ia bermaksud meneliti benda yang melibat
tubuhnya itu dalam penerangan sinar purnama ini,
dan betapa herannya bila dugaannya tadi ternyata
tidak meleset. Benang putih yang panjang gemer-
lapan dan melibat dirinya itu, tidak lain adalah
benang laba-laba seperti yang telah dilihatnya pada
mulut goa ketika ia masuk ke dalam.
"Heh, ini memang betul-betul benang laba-laba.
Tetapi ini terlalu besar dan berukuran luar biasa,"
pikir Mahesa Wulung dengan cepat sambil memegang
benang laba-laba itu dengan tangan kiri, sementara
tangan kanannya menebaskan pedangnya pada
benda itu. Bet! Pedang yang telah menebas benang laba-laba,
terpental kembali ke belakang dan benang itu masih
belum terputuskan. Sudah barang tentu Mahesa
Wulung tercengang-cengang melihat kejadian ini. Ia
pun sadar bahwa tebasan pedangnya tadi hanyalah
dengan kekuatan separo tenaga, karena dalam hati ia
berkeyakinan bahwa benang laba-laba itu tak akan
melebihi kekuatan seutas tali. Namun kenyataannya,
benang laba-laba tersebut lebih kuat dan punya daya
melekat seolah-olah dilumuri oleh getah perekat.
Dasar Mahesa Wulung bukan termasuk orang yang
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia
menyabetkan pedangnya dengan kekuatan penuh
dan kini putuslah benang laba-laba itu dengan bunyi
mendesing. Di luar dugaan, begitu benang laba-laba itu putus,
sebuah lagi menyambar ke tubuhnya sekaligus meli-
bat dengan kerasnya. Untuk kedua kalinya Mahesa
Wulung menebaskan pedangnya serta berhasil me-
motongnya. Tiba-tiba dua bulatan merah yang
berkedip-kedip itu bergerak mendekati dirinya.
Mahesa Wulung terus mengawasi ke arah lobang
dinding goa dan terutama kepada dua bulatan merah
yang bergerak perlahan-lahan ke arahnya. Mata
Mahesa Wulung rupanya sudah terbiasa dengan
keadaan gelap di dalam goa itu, maka terlihatlah satu
bayangan remang-remang yang berkaki delapan,
sangat mengerikan. Dan sejurus kemudian bayangan
itu tepat berada di bawah sinar purnama yang jatuh
ke lantai goa lewat lobang langit-langit.
Bukan main dahsyatnya! Baru kali ini selama
hidupnya ia menyaksikan satu pemandangan yang
sangat mengerikan, hingga kedua mata Mahesa
Wulung terbeliak menyaksikannya, seakan-akan tak
mau percaya dengan apa yang kini dihadapinya.
Benda yang kini berada di depannya kira-kira
sepuluh langkah itu tidak lain adalah laba-laba
raksasa, lengkap dengan kedelapan kakinya yang
ditumbuhi bulu-bulu kasar serta duri-duri tajam.
Kedua matanya yang menyala merah berkedip-kedip
itu tampak sangat ganas. Dengan desisan yang
menggetar, makhluk itu menatap ke arah Mahesa
Wulung. Sesaat Mahesa Wulung terbungkam mulutnya,
seakan ia mau berteriak tapi tak satu kata pun yang
keluar lewat bibirnya.
Mula-mula ia mengira, kejadian ini hanya satu
impian buruk akibat kelelahan jiwanya. Namun
ketika ia menggigit bibirnya dan benar-benar terasa
sakit, jadi yakinlah ia bahwa laba-laba raksasa itu
bukanlah satu impian.
Bersamaan pulihnya kesadaran Mahesa Wulung
atas bahaya yang mengancam di depannya, menda-
dak laba-laba raksasa itu mencicit hebat disusul oleh
sambaran-sambaran benang perak lewat mulutnya
yang datang secara bertubi-tubi, hingga sebagian
besar tubuh Mahesa Wulung penuh dilengketi oleh
benang laba-laba. Untungnya tangan kanannya yang
menggenggam pedang itu sempat ditariknya ke
belakang tubuh. Kalau tidak, pastilah nasibnya akan
tak berbeda dengan tangan kirinya yang kini ter-
lengket pada tubuhnya oleh belitan benang laba-laba
itu. Laba-laba raksasa itu sejenak berhenti melancar-
kan serangannya, sedang kedua mata ganasnya terus
mengawasi Mahesa Wulung yang tengah berusaha
melepaskan lilitan benang-benang yang melekat
dengan erat. Dengan sendirinya Mahesa Wulung tak
melepaskan kesempatan yang hanya sekejap itu.
Selagi binatang itu menghentikan serangannya,
cepat-cepat ia menebaskan serta memutar pedangnya
di tangan kanan dengan dilambari ilmu pedang
ajaran Ki Camar Seta yang bernama 'Sigar Maruta'.
Maka akibatnya sangat menakjubkan. Dalam waktu
sekejap saja, mata pedang itu seperti berubah menja-
di puluhan, serta kemudian membabat semua benang
laba-laba yang bersimpang siur melilit tubuhnya.
Agaknya laba-laba raksasa itupun menyadari akan
kekuatan calon korbannya yang kini telah berhasil
membebaskan diri dari benang-benang mautnya! Ia
bergerak maju sambil mengeluarkan desisan yang
tinggi, sementara dua kaki depannya diangkat tinggi-
tinggi. Mahesa Wulung tidak kurang waspadanya melihat
gerakan laba-laba itu. Apabila kedua kaki depan
laba-laba itu telah diangkat tinggi, pastilah ia akan
memulai serangannya. Ia pernah memperhatikan
cara menerkam seekor laba-laba terhadap seekor
lalat yang telah terjerat oleh benang-benang perang-
kapnya. Oleh sebab itu Mahesa Wulung bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Lawan yang kini harus dihadapinya adalah seekor
laba-laba raksasa setinggi manusia. Sungguh menge-
rikan bentuknya. Untunglah bahwa Mahesa Wulung
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula,
sehingga dalam waktu yang singkat ia berhasil
menguasai keadaan. Seandainya Pandan Arum pada
waktu itu berada di situ, pastilah ia akan jatuh
pingsan melihat laba-laba raksasa itu.
Dibarengi oleh satu jerit lengkingan, laba-laba itu
menerkam Mahesa Wulung dengan gerakan yang
cepat. Namun betapa kecewanya si laba-laba.
Seandainya ia dapat berkata-kata, pastilah ia akan
mengutuk-ngutuk, ketika calon korbannya itu
melesat ke belakang beberapa langkah, sehingga
terkamannya hanya mendapat tempat kosong.
Mahesa Wulung ketika berloncatan mundur itu
mendapatkan ruangan goa yang semakin luas dengan
langit-langit yang lebih tinggi. Di sini pun terdapat
lobang-lobang pada langit-langit goa dan disinari oleh
berkas-berkas sinar purnama.
Laba-laba itu terus merayap mendekati Mahesa
Wulung dengan tenangnya, bagai seorang jagoan
yang sudah dapat memastikan kemenangan atas
lawannya. Kemudian dengan gesit dan ganas ia
menerkam kembali ke arah Mahesa Wulung.
"Jeaatt!" sebuah teriakan lantang terdengar ber-
samaan melesatnya tubuh Mahesa Wulung yang
menjejak tanah dengan melewati sebelah atas dari
tubuh laba-laba ke samping. Gerakan itu sangat
cepat dan sukar ditangkap oleh mata. Bahkan, dalam
gerakannya itu Mahesa Wulung sempat menyabetkan
pedangnya kepada kaki-kaki depan dari binatang itu.
Seketika binatang itu menjerit hebat ketika kaki
depannya terasa tersayat oleh benda tajam, diikuti
oleh cairan merah bening yang memancar dari luka-
luka itu. Mahesa Wulung kini berdiri di arah samping kanan
dari laba-laba itu, siap menghadapi serangan
berikutnya. Yang agak mengejutkan ialah gerakan
laba-laba itu, setelah berhasil dilukai kaki depannya,
ia bertambah cepat dan ganas.
Ketika ia melihat manusia lawan itu berada di
samping tubuhnya, ia pun secepat kilat memutar
tubuhnya ke kiri menghadapi ke arah tubuh Mahesa
Wulung. Tiba-tiba dari mulutnya memancar benang
maut yang menyambar ke arah kaki Mahesa Wulung.
Saat itu, Mahesa Wulung sedikit agak lengah
sehingga tanpa berkutik kakinya kena terlibat oleh
belitan benang laba-laba itu. Maka seketika iapun
jatuh terjengkang ke belakang.
Untungnya saat itu ia masih memasang ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga benturan tubuhnya
ke tanah itu tidak begitu terasa hebat. Laba-laba itu
menjerit kecil, seolah-olah bersorak-sorak atas keme-
nangannya itu, kemudian dengan perlahan-lahan ia
menarik benangnya yang telah berhasil melibat kaki
Mahesa Wulung itu ke belakang. Sedangkan dari
mulutnya keluar air liur karena selera laparnya
sudah merangsang, ketika mencium bau tubuh
manusia. Tubuh Mahesa Wulung terseret ke arah mulut
laba-laba raksasa yang telah menganga siap men-
caplok tubuhnya bulat-bulat. Sekilas Mahesa Wulung
seperti orang yang mimpi dan dilihatnya mulut serta
rahang laba-laba itu semakin dekat dan dekat.
Terlintas bayangan wajah sahabat-sahabatnya, lebih-
lebih Pandan Arum yang sangat dicintainya, yang
mungkin sebentar lagi akan tidak dijumpai kembali.
Namun ketika ia menyebut nama Tuhan Yang Maha
Kasih, seakan-akan pulihlah kembali kekuatan tu-
buhnya. Hampir-hampir lupa bahwa selama itu ia masih
menggenggam pedang pada tangan kanannya.
Dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak bisa
dipercaya, Mahesa Wulung membabat putus benang
laba-laba yang melibat kakinya, disusul tubuhnya
berjungkir balik ke belakang beberapa langkah.
Gerakan tersebut sangat cepat, hingga laba-laba itu
hanya sempat menerkam debu-debu serta kerikil
yang berhamburan ke udara.
Karuan saja laba-laba itu meraung-raung karena
untuk kesekian kalinya calon korbannya telah ber-
hasil lolos dari cengkeramannya. Kedelapan kakinya
serabutan memukul dinding-dinding goa hingga
keadaan dalam ruangan goa itu menjadi penuh debu.
Suara raungannya sangat hebat hingga memantul ke
segenap dinding-dinding goa, bahkan sampai pula ke
tebing Jurang Mati. Semua itu merupakan luapan
amarahnya terhadap manusia yang perkasa, yang
setiap kali berhasil lolos dari serangannya. Mahesa
Wulung agak bingung melihat laba-laba itu meng-
aduk-aduk debu. Ia yakin bahwa hal itu termasuk
siasat dari binatang tersebut dalam menghadapi
lawannya, seperti halnya seekor ikan gurita yang
menyemburkan cairan tintanya untuk membingung-
kan lawan-lawannya.
Pemandangan dalam goa itu nampak remang-
remang oleh debu yang mengambang di udara. Satu-
satunya yang masih tampak dari bentuk laba-laba itu
ialah kedua matanya yang menyala merah berkedip-
kedip, dan ini sudah cukup bagi Mahesa Wulung
untuk mengetahui letak kedudukan binatang itu.
Keheningan yang sejenak dipecahkan kembali oleh
jeritan bernada tinggi dan muncullah dari debu-debu
itu kaki laba-laba yang menerkam langsung ke arah
Mahesa Wulung. Saat ini pulalah yang dinanti-nant-
ikan olehnya, maka secepat itu pula Mahesa Wulung
memutar pedangnya memapaki terkaman kaki-kaki
binatang itu. Craak! Mahesa Wulung merasa kalau pedangnya telah
membentur sesuatu dan ternyata tiga benda yakni
ujung dari kaki laba-laba itu kena terbabat putus.
Cairan merah bening menyemprot ke tanah diiringi
raungan hebat, disusul oleh kaki-kaki binatang yang
lain menyambar dengan deras ke arah Mahesa
Wulung. Dengan memiringkan tubuhnya ke samping,
Mahesa Wulung bermaksud menghindari serangan
itu. Sayang sekali, sebuah kaki dari laba-laba ini
berhasil membentur pundaknya, sehingga terasalah
sebagai runtuhan gunung meletus yang menimpanya.
Maka tubuhnyapun kemudian terasa terbanting ke
dinding goa dengan hebat. Untungnya saja, selama
bertempur menghadapi binatang itu, ia tak lupa sela-
lu memasang ilmu meringankan tubuh, dan benturan
itupun tak berakibat luar biasa, kecuali kepalanya
yang agak nanar sesaat.
Sebelum laba-laba raksasa itu mengulangi serang-
annya kembali, Mahesa Wulung lebih dulu menjejak-
kan kakinya ke tanah, kemudian melesat ke depan ke
atas laba-laba dengan putaran pedangnya.
Dalam saat yang sesingkat itu, pedangnya berpu-
tar laksana baling-baling yang berdesingan, kemu-
dian menyambar ke arah dua benda merah yang
berkedip-kedip ganas raungan yang terhebat keluar
dari mulut laba-laba itu, ketika olehnya terasa bahwa
kedua matanya terbacok oleh senjata tajam.
Belum lagi laba-laba itu selesai merasakan sa-
kitnya, Mahesa Wulung telah menerkam lehernya,
kemudian menikamkan pedangnya ke kepala laba-
laba. Tubuh binatang itu bergetar hebat dan tiba-tiba
dari luka tikaman pedang Mahesa Wulung, meman-
carlah sebuah asap hitam bergumpal yang menyem-
bur ke wajah Mahesa Wulung. Karena tak mengira
akan hal ini, Mahesa Wulung tak sempat meng-
hindar. "Hah, racun hitam!" jerit Mahesa Wulung setengah
kaget, ketika asap hitam itu telah menyampok wajah-
nya. Seketika kepalanya merasa pusing, dan pandang-
annya mendadak kabur. Bahkan tubuhnya merasa
lemah, apalagi ketika binatang itu membanting-bant-
ingkan tubuhnya ke tanah, Mahesa Wulung tak dapat
menguasai dirinya lagi. Tubuhnya terpelanting ke
tanah seketika.
Pandangan matanya yang masih cukup jelas itu
sempat menatap tubuh laba-laba yang bergeluyuran
sambil membentur-bentur dinding goa dengan me-
raung-raung Sesaat kemudian laba-laba itu rebah ke
tanah dengan bunyi berdebum.
Dalam saat yang sama pula Mahesa Wulung ber-
tambah pusing dan rebahlah kepalanya ke lantai goa,
tak sadarkan diri.
*** 2 Desah angin subuh menyusuri tebing-tebing
Jurang Mati, mengusap membelai butiran-butiran
embun yang menempel pada batu tebing dan daun-
daun ilalang. Sedangkan sang purnama telah
merendah di ufuk barat berselimut leretan-leretan
mega putih sebening sutera menerawang, membuat
terpesona siapa saja yang menatapnya.
Sementara itu pula di cakrawala timur, bintang
panjer wengi memancarkan sinarnya yang terang
diiringi oleh saputan-saputan warna merah, sebagai
pertanda dari permulaan fajar yang menyingsing.
Kelelawar-kelelawar beterbangan kembali ke
sarangnya setelah semalam suntuk mengembara
mencari makannya. Angin pagi yang sejuk bertiup ke
tebing Jurang Mati, singgah ke relung-relung dan
setiap lipatan dari tebing jurang yang terjal dan
curam. Dan bilamana kesejukan angin pagi mengalir
ke dalam goa, di mana Mahesa Wulung tergeletak
pingsan itu, terasalah pemuda ini mengerdip-
kerdipkan matanya. Ternyata angin pagi yang sejuk
dan bersih itu telah masuk ke dalam paru-parunya
serta mencuci hawa racun laba-laba yang tersekap di
situ, sehingga pulihlah kembali kesadaran Mahesa
Wulung. Perlahan-lahan ia mencoba duduk dan mengen-
dorkan segala urat-urat tubuhnya yang terasa tegang
dan kaku, akibat semua gerakan-gerakan yang telah
dikeluarkan ketika bertempur melawan laba-laba
raksasa. Sambil bersila dan bersikap seperti orang berse-
medi, Mahesa Wulung mengatur tata pernafasannya.
Inilah ajaran Panembahan Tanah Putih dari Asem-
arang yang dipergunakan untuk mengusir pengaruh
jahat dari segala hawa racun yang telah merasuk ke
dalam tubuhnya.
Pengaruhnya ternyata cukup mengagumkan. Sela-
in tenaganya pulih, penglihatan serta dadanya terasa
bersih dan lapang, seperti mendapat tenaga baru.
Di sudut dinding goa, terlihatlah bangkai laba-laba
raksasa yang telah kaku seperti patung. Kalau ia
mengingat segala peristiwa yang baru saja lewat,
ketika melawan laba-laba raksasa itu, seperti hampir-
hampir tak mau percaya. Tak menyangka bahwa
dirinya mampu bertempur melawan binatang seganas
itu. Mahesa Wulung kemudian berdiri serta mengakhiri
sikap semedinya.
"Hmm, mudah-mudahan aku berhasil menemukan
jalan keluar dari Jurang Mati dan goa ini." Berpikir
Mahesa Wulung sambil berjalan menyelidiki keadaan
goa, yang dindingnya tampak licin serta lembab.
Sejengkal demi sejengkal ia menyelidiki segenap
ruangan goa itu. Memang ruangan yang tengah
sangat lebar dan langit-langitnya pun tinggi pula.
Beberapa lobang-lobang tembus tampak menghiasi
langit-langit goa dan dari sanalah cahaya pagi jatuh
ke lantai serta menerangi ruangan itu.
Dalam menyusuri dinding-dinding goa, Mahesa
Wulung tiba-tiba menemukan sebuah lobang pada
dinding goa yang tertutup oleh bongkah-bongkah
serta gundukan-gundukan batu sebesar kepala
kerbau, bahkan lebih daripada itu.
Dengan hati-hati ia mendekati lobang itu dan
untuk beberapa saat ia merenunginya.
"Hmm, lobang pada dinding ini seolah-olah
memang sengaja ditutup dengan timbunan-timbunan
batu besar. Kentara dari bentuk batu-batunya yang
masing-masing terlepas dan tidak ada hubungannya
dengan dinding goa."
Bertambah merenungi serta menyelidiki lobang
dinding goa yang tersumbat itu, semakin timbul
keinginan untuk mengetahui rahasia apakah yang
tersembunyi di balik timbunan batu-batu tersebut.
Maka Mahesa Wulung pun semakin pula sibuk
menduga-duga. Mungkin lobang dinding itu adalah
jalan keluar dari Jurang Mati. Atau mungkin pula
berisi binatang yang lebih dahsyat lagi daripada laba-
laba raksasa yang telah mati di situ.
Tak lama kemudian, akhirnya Mahesa Wulung
mengambil satu kesimpulan bahwa dinding goa yang
tertutup oleh timbunan batu itu harus dibukanya,
betapapun jadinya nanti! Karena itu Mahesa Wulung
segera mengambil sikap kuda-kuda serta memusat-
kan segala kekuatan lahir batinnya. Tangan kanan-
nya mengepal dan ditekuk ke belakang sejajar telinga.
"Hyaat!"
Glaaar!
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benturan dahsyat terdengar memekakkan anak
telinga disusul runtuhnya bongkah-bongkah batu
yang bertimbun-timbun menutupi lobang dinding di
dalam goa itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali.
Batu-batu tersebut pecah berhamburan. Dan tam-
paklah kemudian sebuah lobang yang cukup luas
setelah debu-debu yang berkepulan mengendap ke
tanah. Mahesa Wulung sangat terperanjat. Apa yang
diduganya semula ternyata memang benar. Di balik
lobang dinding itu terlihat sebuah ruangan lain yang
tidak kalah lebarnya dengan ruangan yang pertama.
Cepat-cepat Mahesa Wulung masuk ke ruangan itu.
Di ruang ini pun terdapat beberapa lobang-lobang
pada langit-langit goa, merupakan jalan masuk
berkas-berkas sinar matahari ke ruangan ini.
Dan kemudian, sekali lagi, apa yang dilihatnya
betul-betul membuat dadanya bergoncang hebat,
seolah-olah runtuhnya sebuah dinding batu.
Di ruangan kedua ini, tepat di tengah-tengahnya
terdapatlah sebuah kerangka manusia yang duduk
bersila dalam sikap bersemedi. Di depannya, di dekat
kakinya yang bersila itu terlihat sebuah kitab dengan
sampul berwarna hijau tua. Sedang di sampingnya
pula terlihat secarik kain bertuliskan dengan huruf-
huruf merah tua.
Perlahan-lahan didekatinya tengkorak itu. Diam-
diam di dalam hati, Mahesa Wulung menaruh iba dan
belas kasihan terhadap manusia yang bernasib ma-
lang, terkurung di dalam ruangan goa, hingga mati
tak terurus. "Siapakah gerangan manusia yang bernasib
semalang ini?" bertanya Mahesa Wulung di dalam
hati. Dan ketika ia telah benar-benar dekat dengan
tengkorak itu, terlihatlah semuanya dengan jelas.
Tengkorak mengenakan sebuah pakaian yang telah
hancur, sedang pada jari manis tangan kanannya, ia
mengenakan sebuah cincin permata berwarna kuning
yang memancarkan sinar kuning berkedip-kedip
menakjubkan. Tentu saja Mahesa Wulung tertarik melihat cincin
permata yang aneh itu, tapi ia tak berani berbuat
sesuatu. Selama hidupnya baru kali ini ia merasa
kagum menjumpai permata yang mengeluarkan sinar
berkedip-kedip. Namun dari kesemuanya itu, yang
paling menarik hatinya ialah lembaran kain yang
bertuliskan huruf-huruf, merupakan sebuah surat.
Maka dengan hati-hati diambilnya surat itu serta
diperiksanya. "Ah, surat ini sudah terlalu lama dan usang.
Mungkin sudah berpuluh-puluh tahun usianya.
Untunglah tulisan ini masih cukup jelas," desah
Mahesa Wulung sambil sekali lagi meneliti surat itu.
"Hmm, warna merah tua ini, kalau tidak keliru
tulisan ini dibuat dengan cairan darah! Sekarang
baiklah aku mulai membacanya."
Berkas-berkas sinar matahari pagi yang jatuh dari
lobang langit-langit goa, telah membantu Mahesa
Wulung dalam membaca surat itu, dan ternyata surat
itu merupakan sebuah pesan:
"Kepada siapa saja yang menemukan surat saya
ini, saya selalu berdoa agar Andika adalah seorang
yang baik, berbudi luhur, seorang yang berjiwa
ksatria pembela kebenaran dan keadilan! Dengan
demikian maka Andika adalah satu-satunya pewaris
dari diriku dan kitabku ini. Tetapi jika Andika sudah
menjadi pewaris kitab itu, Andika mempunyai
kewajiban yang harus dilaksanakan, jika Andika
tidak ingin terkutuk olehnya. Andika, ketahuilah.
Kewajiban Andika adalah meneruskan tugasku. Yaitu
membinasakan seorang pendekar yang berilmu
hitam, seorang yang kejam dan bermata setan! Dialah
yang telah mengurungku di lobang dinding ini.
Ketahuilah aku bernama Landean Tunggal. Semula
dia adalah adik seperguruanku di Padepokan Gunung
Merapi. Kami berguru kepada Panembahan Jatiwana
sejak masa muda. Begitu eratnya persahabatan kami,
sehingga kami sudah seperti saudara sekandung
seibu sebapa. Tetapi sayang, setelah bertahun-tahun lama ber-
guru kepada sang Panembahan, maka ternyatalah
bahwa kami mempunyai sifat yang berbeda, dan itu
semua telah diketahui oleh sang Panembahan.
Kami berdua telah digembleng oleh Panembahan
Jatiwana menjadi pendekar pilihan. Namun saudara
seperguruanku itu yang bernama Umpakan telah
berubah menjadi orang yang sombong karena kesak-
tiannya. Tidak jarang ia memamerkan kesaktiannya
kepada orang-orang agar mereka mau mengagumi
dan memujinya. Bahkan lebih daripada itu, sang
Panembahan sering menerima laporan dari orang-
orang, bahwa Umpakan sering menyakiti orang-orang
yang tidak mau tunduk kepadanya.
Hal tersebut sangat mengecewakan Panembahan
Jatiwana, sehingga beliau lebih menaruh kepercaya-
annya kepadaku daripada Umpakan. Maka beliau
telah mempercayakan kepadaku sebuah daripada
kitab-kitabnya yang berisi ilmu silat dan kesaktian
dari tingkat atas. Tentu saja hal ini menimbulkan iri
hati bagi Umpakan dan hal ini pun menjadi berlarut-
larut serta merupakan bibit persengketaan antara
Umpakan dengan diriku serta sang Panembahan
juga. Demikianlah pada suatu ketika, Umpakan telah
bertengkar dengan sang Panembahan karena ia
menggugat, mengapa bukan dirinya yang diserahi
kitab itu. Dalam pertengkaran itu, aku pun berusaha
menengahi. Tetapi rupanya Umpakan telah menaruh
rasa dendam kepadaku, sampai-sampai maksud
baikku tadi menimbulkan salah paham baginya.
Peristiwa itu berkesudahan dengan satu pertengka-
ran dan perkelahian yang hebat, sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi antara saudara seperguruan.
Dan akhirnya kebenaran selalu menang di atas
kejahatan. Begitu pula dengan si Umpakan, ia dapat
kukalahkan dalam perkelahian itu.
Umpakan membawa kekalahan itu, lalu mengem-
bara ke arah selatan, ke Laut Kidul dengan dendam-
nya kepadaku yang tak pernah kunjung padam.
Beberapa tahun kemudian aku, mendapat kabar
bahwa ia telah menggembleng dirinya di sana serta
bergaul dengan orang-orang dari golongan hitam.
Kesaktiannya menjadi lebih hebat, apalagi setelah ia
menemukan sebuah topeng yang telah rusak di tepi
pantai Laut Kidul. Topeng itu kemudian diperbaiki
serta dipakainya, dan semenjak itu ia bergelar Ki
Topeng Reges. Ketika ia merasa bahwa dirinya cukup melebihi
kesaktianku, Ki Topeng Reges telah mencariku untuk
membalas dendam atas kekalahannya dahulu. Tetapi
sementara itu aku telah pindah ke Jepara tanpa
setahunya. Tetapi akhirnya ia berhasil mengetahui tempat
tinggalku dan kemudian mencuri kitab itu. Perbua-
tannya yang kelewat batas ini telah menimbulkan
amarahku, hingga untuk kedua kalinya aku terpaksa
mengadu tenaga melawan Topeng Reges.
Kitab itu berhasil aku rebut dari tangannya,
namun betapa terkejutku bila beberapa halaman
terakhir yang memaparkan ilmu sakti Netra Dahana
telah terobek lepas dari buku itu. Ilmu itu membuat
seseorang mampu mengeluarkan pancaran api dari
matanya yang sanggup membakar segala sesuatu di
hadapannya. Dan cara-cara menghadapi ilmu sakti
Netra Dahana itu, terdapat pula pada halaman-
halaman kitab yang telah dirobek dan disimpannya.
Pada suatu hari ia berhasil mencegatku dan
terjadilah pertempuran hebat. Ki Topeng Reges dalam
waktu yang singkat telah berhasil mendalami ilmu
Netra Dahana yang dahsyat itu. Saya merasa menye-
sal bahwa selama ini, selama menyimpan kitab itu,
aku belum pernah mempelajari bagian-bagian ter-
akhir yang berisi ilmu Netra Dahana. Akibatnya, aku
tak dapat mengatasi kesaktian Ki Topeng Reges yang
mampu memancarkan lidah-lidah api dari kedua
matanya, sehingga akhirnya aku melarikan diri
dengan kitab itu, lalu bersembunyi di goa ini. Ki
Topeng Reges masih mengejarku sampai ke tempat
ini, dan menyuruhku untuk keluar dari lobang
dinding goa persembunyianku. Ia memaksa agar aku
menyerahkan kitab ini kepadanya, tetapi aku
bertekad lebih baik mati daripada menyerahkannya.
Permintaannya itu aku tolak mentah-mentah.
Karena kemarahannya itu ia telah menyumbat
lobang dinding ini dengan batu-batu besar yang ber-
bongkah-bongkah amat banyaknya. Begitulah aku
telah terkurung di lobang dinding dan mungkin aku
akan mati pada suatu ketika. Aku tak dapat lari dari
tempat ini, apalagi kalau Ki Topeng Reges telah me-
nempatkan laba-laba raksasa untuk menjaga lobang
dinding ini. Aku selalu berdoa bahwa Andika yang menemukan
suratku ini, adalah seorang yang berbudi luhur.
Maka terimalah kitabku ini dan juga cincinku yang
bernama Galuh Punar. Ia akan menjaga Andika dari
pengaruh racun dan bisa yang jahat.
Nah, terimalah ini semua serta penuhilah kewa-
jiban Andika, seperti apa yang telah aku pesankan."
Selesai membaca pesan itu dada Mahesa Wulung
bagai gunung yang mau meledak. Tidak mengira,
kalau orang yang mati terkurung di tempat ini adalah
perbuatan Ki Topeng Reges pula. Kekejaman serta
kejahatan yang tiada terkira besarnya.
Mahesa Wulung melipat surat tadi kembali, dan
segala pesan Landean Tunggal telah dipahaminya
betul-betul. Ia berjanji di dalam dirinya untuk melak-
sanakan pesan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau
mengingat pergulatannya melawan laba-laba raksasa
itu, Mahesa Wulung mengucapkan syukur kepada
Tuhan, karena telah berhasil mengalahkan laba-laba
itu. Seandainya saja ia yang kalah, pastilah nasibnya
akan sama dengan Landean Tunggal yang mati di
tempat terpencil tanpa seorang pun yang mengeta-
huinya. Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Wulung
menjangkau tulang tangan Landean yang mengena-
kan cincin permata Galuh Punar pada jari manisnya.
"Kerangka Landean tidak akan kubiarkan begini
saja. Ia harus dikubur secara layak sebagai seorang
pendekar yang berbudi luhur. Mudah-mudahan ar-
wahnya akan lebih tenang," pikir Mahesa Wulung.
"Dan cincin ini akan kupelihara dengan baik, seperti
yang telah dipesankan oleh Landean."
Sesudah cincin itu berhasil dilolos dari tulang jari
manis Landean, Mahesa Wulung menjadi kagum
bercampur bangga apabila mengingat khasiat Galuh
Punar. Tangan kanannya serasa bergetar memegang
cincin itu. Ia tak mengira sama sekali bahwa ia
kejatuhan untung dan rejeki yang tak ternilai
harganya, serta tak terbayar oleh sejumlah uang.
Ditambah lagi dengan kitab yang bersampul hijau tua
itu, Mahesa Wulung benar-benar bersyukur. Hatinya
berjingkrak ibarat anak kecil yang menerima kem-
bang gula kelapa dari orang tuanya yang penuh rasa
kasih sayang. Setelah puas ia menikmati cincin Galuh Punar itu,
segera dipakainya ke dalam jari manis sebelah kanan.
Kemudian dicarinya tempat yang baik untuk mengu-
bur kerangka Landean di dalam goa itu juga.
Dengan mempergunakan pedangnya, ia menggali
lantai goa yang telah dipilihnya, setahap demi
setahap. Dan menjelang tengah hari, selesailah sudah
sebuah lobang pada lantai goa yang cukup dalam.
Kemudian Mahesa Wulung mengangkat kerangka itu
serta menguburnya ke dalam lobang tadi. Beberapa
saat Mahesa Wulung berdiam diri di depan kuburan
kerangka itu dan diam-diam di dalam hatinya
berkata, "Nah, Kisanak Landean. Kini beristirahatlah
Andika dengan tenang di tempat yang sesepi ini.
Percayalah, segala pesanmu akan kulaksanakan
dengan baik."
Mahesa Wulung bangkit perlahan-lahan serta
memungut kitab hijau yang masih terhampar di
lantai goa. Ia segera meninggalkan ruangan itu untuk
kembali ke ruangan yang pertama.
Sementara itu bayangan sinar matahari semakin
condong ke timur, satu pertanda kalau hari makin
bertambah siang.
*** Sore itu Mahesa Wulung mengumpulkan ranting-
ranting dan dahan kayu yang kering, untuk dibuat
obor atau unggun di dalam goa. Sambil mencari dan
mengumpulkan kayu itu di mulut goa serta tebing-
tebing jurang yang curam, tak lupa juga ia meneliti
keadaan tebing itu. Namun sampai saat itu ia tak
menemukan jalan keluar dari jurang itu.
Maka iapun mengambil keputusan untuk semen-
tara tinggal di dalam goa itu serta mempelajari kitab
hijau peninggalan Landean Tunggal. Jika rasa haus
dan laparnya timbul, ia cukup menampung air yang
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menetes dari dinding goa. Selain itu telur burung
serta jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam goa
cukup baik untuk sekedar pelepas laparnya. Tetapi ia
harus hati-hati memilih jamur itu. Jika tidak, pasti
akan termakan yang mengandung racun.
Mulai saat itu ia membuka kitab hijau serta
membacanya dari halaman pertama.
"Ooh!" satu desisan yang mengandung arti keka-
guman terluncur dari mulut Mahesa Wulung bila
diketahuinya bahwa sesungguhnya kitab hijau itu
termasuk kitab ilmu silat dan kedigdayaan yang
berusia sangat tua.
"Hmm, apa yang tertulis ini"!" ujarnya seraya
membaca halaman pertama dari kitab hijau. "Bagi
insan yang berjiwa ksatria, berbudi luhur serta welas-
asih terhadap sesamanya, maka ilmu ini kuberikan,
untuk memberantas kejahatan dan kebatilan demi
tegaknya kebenaran, keadilan serta kedamaian hidup
bebrayan di marcapada ini. Mangayu hayuning ba-wana".
Kata-kata yang mengandung harapan luhur itu
benar-benar meresap ke dalam kalbu Mahesa Wu-
lung, seperti mengalirnya udara segar yang mengalir
ke dalam dada dan paru-parunya.
Pada halaman kedua, dimulailah tulisan yang
berisi pelajaran serta ilmu kitab hijau lengkap dengan
gambar-gambar petunjuknya yang cukup rumit dan
sukar. Meskipun demikian, dasar Mahesa Wulung mem-
punyai otak yang cemerlang, maka betapapun sukar-
nya ilmu itu akhirnya terpecahkan juga olehnya. Itu
semua berkat ketekunan serta pengalamannya yang
sudah banyak. Hari demi hari dan minggu ke minggu tak terasa
olehnya dalam mempelajari kitab itu. Jika ia sudah
asyik mempelajari kitab itu, kadang-kadang sampai
terlupa akan rasa lapar dan dahaganya.
Pada bagian permulaan dari kitab itu, Mahesa Wu-
lung dengan mudah dapat mempelajari kesemuanya.
Tetapi bila menginjak pada bagian tengah, ia merasa
cukup bingung, sebab bukankah ia sendiri telah
mempelajari ilmu silat Panembahan Tanah Putih dari
Asemarang. Hingga dalam setiap geraknya kadang-
kadang saling mempengaruhi antara ilmu silat Pa-
nembahan Tanah Putih dengan ilmu silat kitab hijau
dari Landean Tunggal. Hal ini yang merepotkannya.
Kalau ilmu yang telah dipunyai berunsur pada
gerak pukulan maut serta kekuatan jasmani, maka
ilmu silat kitab hijau ini berunsur pada kelincahan
gerak yang hebat, di samping itu ia masih ingat
bahwa bagian terakhir dari kitab itu berisi ilmu Netra
Dahana yang telah dicuri oleh Ki Topeng Reges.
Begitulah, Mahesa Wulung terpaksa lebih teliti lagi
dengan ilmu kitab hijau. Ia berusaha menggabung-
kan antara ilmu Panembahan Tanah Putih dengan
ilmu kitab hijau yang kini tengah dipelajarinya.
Tempat itu begitu sepi dan tenang, tak terdengar
suara berisik ataupun jeritan kecuali bunyi gemericik
tenang dari air sungai yang mengalir di Jurang Mati,
jauh di bawah sana. Ketenangan dan kesepian tempat
itu telah membantunya dalam memperdalam ilmu-
nya. Ia telah bertekad, bahwa justru dalam kesepian,
ia akan mengisi hidupnya dengan suatu perjuangan
dan ketekunan mendalami ilmunya mati-matian.
Lebih-lebih bila mengingat, bahwa lawan yang bakal
dihadapinya itu adalah Ki Topeng Reges, satu pende-
kar sakti yang telah membuat geger dunia persilatan.
*** 3 Pada suatu pagi, di dalam ruangan goa itu beter-
banganlah kelelawar-kelelawar untuk mencari tem-
pat-tempat serta relung-relung yang gelap. Mereka
pada bersembunyi ketakutan karena mendengar deru
angin yang menyapu udara di dalam goa dengan
dahsyatnya bagaikan suara rajanya prahara.
Kelelawar-kelelawar itu mula-mula terkejut dan
merasa takut bila deru angin itu bakal menghempas-
kan serta menyapu mereka rontok ke tanah. Tetapi
mereka merasa lega setelah deru angin itu berasal
dari gerakan-gerakan Mahesa Wulung, salah satu
penghuni goa yang telah dikenal oleh mereka. Kini
kelelawar-kelelawar itu sibuk mengawasi tubuh
Mahesa Wulung yang tengah melatih diri dengan ilmu
silat kitab hijau.
Ternyatalah Mahesa Wulung dengan bersusah
payah berhasil sedikit demi sedikit menggabungkan
unsur-unsur gerak silat dari Panembahan Tanah
Putih dengan unsur-unsur gerak dari kitab hijau itu.
Gerakan ilmu silat dari Mahesa Wulung memang
menakjubkan sekali, hingga tak mengherankan kalau
kelelawar-kelelawar pun sampai turut mengagumi-
nya. Tubuhnya menjadi serupa burung branjangan,
melenting dan berputaran di udara dengan gesitnya.
Rasanya seakan-akan selembar daun kering, tubuh
Mahesa Wulung merasa ringan, mampu bergerak
tanpa menimbulkan bunyi kecuali desau angin yang
terdengar akibat kecepatan gerak tubuhnya.
Dasar-dasar jaya kawijayan dan kesaktian telah berhasil diungkapkannya dari
kitab hijau tersebut
dengan baik. Sejak dari huruf awal sampai huruf
terakhir dalam ilmu tata silat dan tata berkelahi telah dihafalkannya. Rangkaian
kata-kata itu ia wujudkan
ke dalam gerak, dan dari rangkaian gerak itu terben-
tuklah keseluruhan ilmu silat kitab hijau yang dipela-
jarinya. Kesemuanya itu telah dicapai oleh Mahesa Wulung
dalam waktu yang singkat. Jika orang lain, pastilah
akan memakan waktu yang tidak kurang dari satu
tahun, atau mungkin pula sampai lebih dari satu
tahun. Sekarang Mahesa Wulung dapat menggerakkan
tubuhnya lebih leluasa. Kalau dahulu, setiap gerakan
melesat dan melenting ke udara ia harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh, kini hal itu tidak perlu
lagi. Jika ia ingin melesat ke udara atau kemana saja,
ia cukup menjejak tanah, maka tubuhnya akan mele-
sat dengan entengnya bagai selembar daun kering
yang terkena tiupan angin.
Saking asyiknya ia melatih ilmu silat kitab hijau
itu, tak terasa kalau matahari semakin bergeser ke
arah barat. Sejurus kemudian Mahesa Wulung ber-
henti menggembleng dirinya bila sinar matahari yang
jatuh ke ruangan goa itu telah condong ke barat.
Dari sekujur tubuhnya menetes-netes air keringat-
nya yang keluar dari lobang-lobang kulitnya. Badan-
nya terasa menjadi segar bagai disiram air embun.
Ketika mengingat-ingat jurus gerakan silat yang telah
dicapainya, ia tersentak kaget.
"Seratus sepuluh jurus!" guman Mahesa Wulung
setengah tak percaya. "Dan itu semua kukerjakan
tanpa menimbulkan rasa capai. Luar biasa. Oh,
sungguh beruntung aku dapat menemukan serta
mempelajari kitab ini. Dan secara tidak langsung aku
telah pula menjadi murid Landean Tunggal."
Mahesa Wulung mengamat-amati tubuhnya yang
kelihatan agak susut, tetapi urat-urat darah serta
otot tubuhnya lebih nampak menjadi kukuh tak
ubahnya akar tumbuh-tumbuhan yang semakin
dalam merasuk ke dalam tanah, menjadikan batang
tubuhnya semakin tegak perkasa.
Bila terasa kerinduannya akan langit yang biru
bening, ia pun melangkah perlahan-lahan ke mulut
goa untuk menatap langit yang mahaluas tak bertepi.
"Langit yang cerah tak berawan hujan. Hmm, ini
sudah sampai mangsa ke sanga. Begitu lama aku
telah mendekam di dalam goa ini. Bagaimana dengan
sahabat-sahabatku di Demak" Pasti mereka akan
merasa kehilangan aku di saat ini.
Mudah-mudahan Adi Pandan Arum dan Jagayuda
dapat berhasil merebut catatan rahasia panah Braja
Kencar dari tangan Rikma Rembyak.
Kalau aku telah mempunyai kewajiban menghan-
curkan Ki Topeng Reges, maka terhadap si Rikma
Rembyak muridnya itu, aku pun tak akan tinggal
diam. Ia harus diselesaikan juga, sebab menyisakan
benih-benih kejahatan akan sangat berbahaya
akibatnya."
Mahesa Wulung menatap tebing-tebing Jurang
Mati yang curam. Kalau semula ia merasa ngeri meli-
hat kecuraman itu, kini tidak lagi begitu. Malahan ia
merasa kagum melihat tebing-tebing curam itu. Batu-
batuan yang runcing dan berlekuk-lekuk bergemer-
lapan ditimpa sinar matahari amat indahnya.
Di depan mulut gua itu Mahesa Wulung kembali
mengheningkan cipta untuk melatih lagi ilmu silat-
nya. Gerakan yang pertama hanya pelan-pelan saja
kemudian jurus kedua dimulai disusul jurus ketiga,
keempat dan selanjutnya dengan beruntun serta
bertambah cepat.
Dengan satu loncatan indah, ia melambung dan
mendarat ke tebing curam di atasnya. Tap! Kedua
kakinya seolah-olah melekat pada tebing itu dan
kembali ia melesat lagi serta berulang kali mendarat
dan melenting ke udara.
Sepintas lalu ia seperti dapat berjalan pada tebing
yang terjal dan tegak. Gerakannya sangat mirip kelin-
cahan seekor kelabang. Berulang kali Mahesa Wulung
melenting-lenting di antara tebing-tebing Jurang Mati
dengan enaknya tanpa merasa kuatir sedikit pun
akan terjatuh ke dasar jurang. Kalau dahulu ia
memandang tempat ini sebagai sarang maut, kini
menjadi lain lagi. Tempat itu baginya merupakan ge-
langgang pembajaan diri, tak ubahnya Kawah Can-
dradimuka tempat menggodok dan menggembleng
Raden Gatutkaca di masa-masa mudanya.
Selagi Mahesa Wulung tengah enak-enaknya
berloncatan di antara tebing-tebing Jurang Mati, di
puncak tebing di sebelah atas terdengarlah benturan-
benturan senjata yang beradu. Suara itu tak urung
tertangkap oleh telinga Mahesa Wulung yang tajam
biarpun ia tengah berloncatan kesana-kemari.
Seketika ia menatap ke atas ke ujung tebing
jurang, dari mana suara benturan senjata itu terde-
ngar. Satu pemandangan yang mengagetkan hati
membuat Mahesa Wulung menghentikan latihannya.
Di atas sana terlihat tiga bayangan manusia yang
bertempur mengerubuti satu bayangan manusia lain
yang bertubuh ramping. Keempatnya bertempur de-
ngan hebat diselingi dengan teriakan-teriakan perang
yang melenting tinggi di udara.
Menyaksikan pertempuran itu, mau tak mau
Mahesa Wulung menaruh kagum, terutama kepada
bayangan manusia yang bertubuh ramping. Meski-
pun ketiga lawannya berusaha memojokkan dirinya
ke arah jurang, tetapi senantiasa ia berhasil lolos dari kepungan itu. Karuan
saja ketiga lawannya terpaksa
menahan gerakan tubuhnya. Kalau tidak, salah-salah
mereka sendiri yang bakal tercampak ke Jurang Mati.
Tergoncang dada Mahesa Wulung melihat baya-
ngan manusia ramping itu. Pastilah ia seorang wani-
ta. Rambutnya yang panjang tergerai bila ia melesat
kesana-kemari dalam menghindari setiap serangan
ketiga lawannya.
"Hah, siapakah gerangan dia" Jangan-jangan Adi
Pandan Arum sendiri?" desah Mahesa Wulung ikut
kecemasan melihat pertempuran di tepi jurang itu.
"Baik, aku akan ke atas sana melihatnya. Aku tak
senang melihat pertempuran yang main keroyokan,
apalagi dia seorang wanita!" gumamnya seraya me-
lesat ke tebing di sebelah barat. Setelah itu ia berloncatan dari batu ke batu,
menuju ke atas dengan
enaknya. Sementara itu, pertempuran di tepi jurang
bertambah ramai. Ketiga pengepung gadis itu, yang
seorang bersenjata pedang, sedang yang dua orang
bersenjata tombak. Rupanya gerakan si gadis cukup
tangguh sehingga sampai saat itu mereka belum
berhasil mengalahkannya. Mereka karuan saja makin
beringas melihat serangan mereka selalu gagal. Si
gadis yang bersenjatakan tongkat kayu itu mampu
memutar senjatanya bagaikan baling-baling yang
selalu menutup dirinya dari setiap jangkauan senjata
ketiga musuhnya. Melihat tongkat kayu itu, hati
Mahesa Wulung mau tak mau merasa tertarik akan
gadis itu. Ia merasa pernah melihat cara permainan
tongkat kayu itu serta jurus-jurusnya sekaligus.
Tetapi siapakah yang telah pernah menggunakannya"
"Hmm, ya, ya. Aku ingat sekarang. Panembahan
Tanah Putih dari Asemarang dan Pendekar Rikma
Rembyak. Dua tokoh sakti yang selama ini menggu-
nakan tongkat kayu sebagai senjata," pikir Mahesa
Wulung setengah berjingkrak. "Kalau begitu pasti
gadis itu ada hubungannya dengan salah satu tokoh
dari keduanya."
Habis berpikir, Mahesa Wulung mempercepat lon-
catan-loncatannya ke atas menuju ke gelanggang
pertempuran dan sekaligus mempersiapkan diri. Di
luar dugaan, saat itu pula si gadis dalam keadaan
makin terdesak oleh serangan-serangan dari ketiga
pengepungnya.
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah tebasan pedang berhasil dielakkannya
dengan loncatan ke udara, berbareng pula dua ujung
tombak lawannya yang lain siap menikam tubuhnya.
Tentu saja si gadis merasa terperanjat setengah mati
diserang seperti itu.
Maka dengan gerakan yang lincah ia secepat kilat
merubah gerakannya. Tubuhnya mendatar rata,
sehingga ketiga ujung senjata lawan hanya sempat
mengenai angin. Ternyata gerakan gadis ini dilaku-
kan secara tiba-tiba dan kurang sedikit cermat. Na-
mun itu bukan kesalahannya, sebab gerak naluriah
itu timbul demi keselamatan jiwanya yang terancam.
Akibat gerakannya yang menyerempet-nyerempet
bahaya itu, seketika keseimbangan tubuhnya hilang
dan gadis itu terhuyung ke arah Jurang Mati.
"Aahhh!" si gadis menjerit kecil ketika merasa bah-
wa tubuhnya terpelanting ke jurang, sedang ketiga
lawannya melihat gadis itu serentak terkekeh-kekeh
tertawa kesenangan.
"Ha, ha, ha, mati kowe!"
Tetapi mendadak ketawa mereka terbungkam se-
ketika bagaikan orong-orong terinjak, manakala dari
dalam jurang melesat bayangan tubuh manusia yang
secepat kilat menyambar pinggang si gadis, dan men-
daratkannya kembali di atas tanah.
Si gadis itu sendiri merasa terperanjat ketika
pinggangnya merasa disambar sebuah tangan yang
perkasa dan menyelamatkannya. Dengan cepat ia
menoleh ke samping dan mau tidak mau ia terpaksa
terpesona, bila orang yang menolongnya itu mempu-
nyai wajah yang tampan dan ramah serta seleret
kumis menghias bibirnya.
"Aah, siapakah Andika?" tanya si gadis.
"Tenanglah. Aku akan membelamu dari ketiga
orang itu," jawab Mahesa Wulung dengan manis.
"Heei, siapa kamu!" Kurang ajar! Mengapa kamu
turut campur dengan urusan kami, keparat"!" teriak
orang yang berpedang mengayunkan senjatanya
penuh kesombongan ke arah Mahesa Wulung. "Rupa-
nya kamu ingin merasakan pedangku ini, he"! Wah,
minggirlah sebelum kebacut mengukur tenaga dengan Dongkol!"
"Eh, kau melarangku turut campur dengan urusan
kalian" Rupanya kalian hanya berani bertempur
melawan seorang gadis, dan lagi kalian ternyata
golongan pengecut, sebab untuk melawan seorang
gadis saja, kalian masih mau mengeroyoknya!" ujar
Mahesa Wulung dengan tenangnya.
Bagai disambar geledek, telinga Dongkol serentak
merah membara demi mendengar ucapan Mahesa
Wulung. Selama hidupnya, baru kali inilah ia men-
dengar kata-kata dari mulut orang lain yang begitu
lancang berani merendahkan dirinya. Dongkol meng-
kerotkan giginya sambil merangsang Mahesa Wulung dengan putaran pedangnya ke
arah kepala lawannya.
Sampai saat itu Mahesa Wulung masih saja berdiri
tegak di samping si gadis, seolah-olah sebuah arca
batu yang menonton sebuah pameran permainan pe-
dang. Hal ini membuat Dongkol semakin takabur dan
dikiranya sang lawan terpesona melihat ilmu pedang-
nya. Maka tanpa menunda-nunda lagi Dongkol se-
cepat kilat menyerbu ke arah Mahesa Wulung.
Wessss! Pedang Dongkol telah membabat ke arah
kepala Mahesa Wulung, dengan kemantapan hati
yang bulat serta bayangan pikirannya, bahwa seben-
tar lagi kepala lawannya pasti akan terpenggal lalu
menggelundung ke tanah tanpa sesambat. Tetapi di saat pedangnya hampir menyentuh
leher lawannya,
ia terpaksa kaget, sebab Mahesa Wulung cuma meng-
geser kaki kanannya ke belakang serta memiringkan
kepalanya sedikit. Gerakan itu memang sederhana,
namun dilakukan dengan cepat hingga sukar diikuti
oleh pandangan mata yang lumrah.
Dongkol menjadi semakin mendongkol hatinya bila
pedangnya meleset dari sasarannya. Secepat kilat ia
mengulang serangannya kembali lebih hebat ke arah
Mahesa Wulung. Sayang, untuk yang kedua dan ketiga kali pun
serangannya senantiasa gagal, sebab setiap kali mata
pedangnya sudah hampir mengenai sasarannya, seti-
ap kali juga Mahesa Wulung cuma menggeser-geser
sebelah kakinya saja. Hal ini terasa sebagai suatu
ejekan luar biasa bagi Dongkol.
Jika saja ia mengetahui bahwa lawan yang kini
dihadapinya itu telah menggembleng diri dengan
kitab hijau dari Landean Tunggal, pastilah ia tidak
akan sembarangan dengan dia. Dan memanglah, ka-
lau orang lain saja merasa kagum terhadap gerakan-
nya, Mahesa Wulung pun merasa kagum sendiri pula
untuk setiap gerakannya. Terasa badannya mampu
lebih cepat dan tangkas dalam menghindari se-
rangan-serangan lawannya.
"Keparat, kau punya ilmu siluman!" umpat si
Dongkol dengan marahnya.
Begitu selesai ucapannya. Dongkol mendadak me-
ringis setengah menjerit. Sebab tahu-tahu tangannya
yang memegang pedang telah kena tangkap oleh
tangan kanan Mahesa Wulung sekaligus menghim-
pitnya laksana sepasang tanggem baja yang tengah mengunci.
"Hiyuuung aduh, duh! Hee, kalian berdua jangan
cuma ndomblong melihatku! Ayo cepat kau menyerangnya!" seru Dongkol sambil
mencucurkan keringat
dinginnya. "Hmm, kau tak perlu melolong-lolong minta tolong
kepada kedua koncomu. Baiknya kau saja kembali
kepada mereka! Haaet!!!" teriak Mahesa Wulung ber-
bareng tangannya menghentak ke samping.
Akibatnya tak ampun lagi, tubuh Dongkol terpe-
lanting deras ke arah kedua temannya yang bersen-
jata tombak dan di saat itu tengah bersiap-siap me-
nyerbu Mahesa Wulung.
Melihat kawannya melesat terpelanting ke arah
mereka, kedua orang itu menjadi geragapan seketika.
Betapa tidak" Mereka bersenjata tombak dengan
kedua ujungnya tertuju ke arah Mahesa Wulung,
sehingga sewaktu tubuh Dongkol melayang ke arah
mereka, maka terpaksalah kedua orang itu meng-
hindar jauh-jauh secepat kilat. Sedikit saja terlambat, pastilah tubuh si
Dongkol akan menghunjam tersate
pada tombak-tombak mereka.
Buuuk! Tubuh Dongkol terhempas ke tanah keras
sambil meringis mengerang-erang. Biar begitu, itu
masih terbilang untung kalau tubuhnya tidak remuk
redam, sebab sebenarnya dia pun termasuk golongan
jagoan, meskipun tingkat menengah saja.
"Setan alas! Kau menyombong kelewat batas di
depan hidungku! Sekarang terimalah permainan tom-
bak sepasang Jaya Yoga. Jebol dadamu kelakon!" seru kedua orang itu, lalu
menyerang dengan tikaman-tikaman tombaknya yang penuh hawa maut.
Bagaikan gulungan-gulungan badai yang ganas,
kedua mata tombak tersebut melibat tubuh Mahesa
Wulung bertubi-tubi dan untuk inipun Mahesa Wu-
lung selalu dapat menghindarinya dengan berlonca-
tan kesana-kemari, kadang-kadang berjumpalitan di
udara, tak ubahnya gerakan seekor kelabang.
Pada suatu saat dilihatnya sebuah pertahanan
lawannya yang lemah, maka disertai gerakan manis,
ia menerkam kepada salah seorang lawannya. Kedua
tangannya laksana dua cakar burung garuda yang
mengembang, kemudian menangkap tangkai tombak
di sebelah ujungnya.
Tap! Lawannya terpekik keheranan dengan hal itu, lalu
cepat-cepat memutar tangkai tombaknya agar tombak
itu dapat terlepas dari jari-jemari Mahesa Wulung. Di
luar dugaan Mahesa Wulung mengayunkan sisi
telapak tangannya ke atas tangkai tombak.
Kretak! Berbareng bunyi berderak memekakkan telinga,
tangkai tombak itu patah disusul oleh gerakan
tangan Mahesa Wulung yang menangkap bahu serta
pergelangan tangan orang itu.
Kontan saja ia berteriak kepada temannya,
"Kakang Yoga, bantu!"
Mendengar teriakan Jaya yang kini bergulat
dengan lawannya, secepat angin ia menyerbu ke arah
Mahesa Wulung. Mata tombaknya yang berkilat siap
menjebol tubuh lawan dari samping! Tanpa dinyana
di saat mata tombaknya hampir menghujam lambung
kanan Mahesa Wulung, pendekar ini bergerak jauh
lebih cepat seraya menggeser tubuh Jaya ke samping
sebagai perisai.
"Haaaaghh!" teriakan pendek terlontar dari mulut
Jaya sewaktu mata tombak Yoga menghujam pung-
gungnya diiringi darah segar mancur kemana-mana.
Melihat tombaknya telah memakan korban ter-
hadap temannya sendiri, karuan saja Yoga terpekik
kaget setengah ketakutan. Tangkai tombak yang
sekarang menancap ke punggung Jaya buru-buru
dilepaskannya. Setelah itu ia melesat ke arah Mahesa
Wulung, sekaligus mengirim pukulan ke arah lawan-
nya. Mahesa Wulung pun telah bersedia pula. Maka di
saat pukulan lawan meluncur ke arahnya, ia segera
memapakinya pula dengan kepalan tangan kanan-
nya. Blaaag! Pukulan tangan Yoga berbentur dengan kepalan
tangan Mahesa Wulung yang dirasanya seolah-olah
membentur dinding karang tebal.
"Aduh!" Yoga menjerit hebat sambil menarik
tangan kanannya kemudian dihembus-hembus de-
ngan mulutnya, persis orang yang mau mendingin-
kan kopi panasnya.
Memanglah tangan Yoga terasa panas dan sakit.
Rasa ini cepat menjalar ke atas dan bila sampai ke
kepalanya, seketika pandangan matanya nanar, dan
berputaranlah semua benda-benda di depan mata-
nya. Sejurus kemudian tubuhnya terjengkang ke
tanah pingsan. Di saat Mahesa Wulung telah merobohkan ketiga
lawannya, sebuah bayangan manusia melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tentu saja Mahesa Wulung
terkejut karenanya. Cekatan ia memburu ke arah
bayangan itu. Si gadis! Ya, gadis yang telah ditolong
itu berlari ke arah utara, tanpa berkata apa-apa.
Apakah maksudnya"
Dalam beberapa saat setelah kira-kira mereka
berkejaran sejauh dua puluh tombak, gadis itu kena
ditangkap oleh Mahesa Wulung. Tetapi agak malang
pula rasanya bagi si pengejar. Kakinya kena terantuk
oleh akar pohon dan tak ampun lagi keduanya
seketika jatuh bergulingan ke arah mata air yang
jernih airnya. Untunglah pula bagi si gadis, karena
Mahesa Wulung selalu melindungi kepalanya ketika
bergulingan ke tanah, sehingga tidak sampai ia
terluka terbentur batu-batuan.
Ketika keduanya terhenti bergulingan, si gadis
yang tubuhnya menindihi si pendekar seketika ter-
sipu-sipu dan bangkit, lalu duduk di tanah di
samping Mahesa Wulung.
"Maaf aku telah menyusahkan Andika," ujar si
gadis dengan melirik ke samping.
"Eh, tak apalah. Akulah yang seharusnya malah
meminta maaf, sebab Andika telah terjatuh karena
kurang hati-hatiku," ujar Mahesa Wulung. "Tapi
mengapakah tadi Andika telah lari"!"
Si gadis tak segera menjawab, ia kelihatan cemas,
dan ini membikin hati Mahesa Wulung semakin ingin
mengetahui tentang diri si gadis.
"Sebenarnya aku tak mengingini seseorang terlibat
dalam urusanku. Apalagi kalau ia mendapat susah
karena aku."
"Kalau aku bersedia menolong Andika, apakah
salahnya?" kata Mahesa Wulung ramah.
"Mmm, syukurlah kalau Anda berpikir demikian,"
ujar si gadis setengah tersenyum, membuat lesung
pada pipinya, menambah wajahnya yang manis itu
semakin menarik. "Sesudah berterima kasih kepada
Andika, perkenalkanlah diriku. Aku bernama Andini
Sari dari Pulau Mondoliko."
"Aku Mahesa Wulung dari Demak," kata Mahesa
Wulung. "Dan siapakah mereka itu?"
"Mungkin Anda terkejut kalau mendengar bahwa
sebenarnya orang-orang itu adalah sahabat-sahabat
ayahku sendiri," kata Andini Sari.
"Tapi mengapa mereka berusaha membunuh An-
dika?" bertanya Mahesa Wulung. "Mungkin Andika
telah bersalah."
"Ya, sebab aku telah lari meninggalkan ayahku
dari Pulau Mondoliko. Aku berselisih pendapat
dengan ayahku karena perbuatan-perbuatannya yang
tidak aku setujui, maka aku terpaksa lari dari-
padanya. Dan ketiga orang itu agaknya telah diperin-
tah oleh ayah untuk membunuhku atau menangkap-
ku hidup atau mati."
"Oh, agaknya ayahmu termasuk bilangan orang
yang kejam dan berkemauan keras!" sela Mahesa
Wulung. "Tepat! Andika tidak perlu heran dengan dia.
Bahkan akhir-akhir ini ia telah membunuh seorang
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empu terkenal dari Demak untuk merebut catatan
panah rahasianya yang bernama Braja Kencar!"
"Haaa" Jadi ayahmu yang membunuh Empu Bas-
kara dari Demak!" Kalau begitu kau adalah anak si
Rikma Rembyak!" tukas Mahesa Wulung geram.
"Heei, Andika telah mengenal nama ayahku"
Jangan-jangan Anda pun termasuk bilangan sahabat
ayah dan mau menangkap pula!"
"Persetan! Aku bukan sahabat ayahmu yang kejam
itu. Malah sebaliknya! Aku adalah musuh utama
pendekar gondrong itu," Mahesa Wulung berkata
setengah jengkel, karena dikatakan sahabat si Rikma
Rembyak. "Ayahmu harus menebus dosa-dosanya
karena pembunuhan itu!"
"Terserah atas pendapatmu itu. Tapi ayah pernah
bilang bahwa ia berbuat itu untuk menolong Empu
Baskara agar lebih cepat mati. Dengan begitu ia
terbebas dari deritanya."
"Oooh, agaknya Andika pun sependapat dengan
pendirian si Rikma Rembyak terhadap kematian Em-
pu Baskara"!" ujar Mahesa Wulung tajam.
"Cukup kata-kata Anda itu!" potong Andini Sari.
"Aku hanya mengatakan apa yang telah dikatakan
ayahku. Itu bukan berarti aku setuju dengan perbua-
tan-perbuatannya."
"Ternyata Andika pandai berkata-kata pula."
"Ya! Dan sama pula dengan kepandaianku untuk
bertempur melawan Anda!" Andini Sari menyindir.
"Tidak! Tidak! Aku tak bermaksud mengukur
tenaga melawan Andika," ujar Mahesa Wulung seraya
memperlihatkan raut mukanya yang membayangkan
kecemasan. Hal ini tentu saja membuat Andini Sari
semakin jengkel.
"Lekas, bersiap-siaplah menghadapi seranganku
ini. Melawan atau tidak, kau akan merasakan keman-
tapan pukulanku!" Andini Sari berkata serta lang-
sung mengirimkan pukulan tangan kanannya menim-
bulkan suara berdesing.
"Heei, Andika tidak bermaksud sungguh-sungguh,
bukan"!" seru Mahesa Wulung kaget dan bersiaga. Ia
cepat-cepat menyalurkan ajarannya Tugu Wasesa.
Duuk! Pukulan tangan Andini Sari bersarang ke dada
Mahesa Wulung dan terjadilah benturan cukup
keras. Mahesa Wulung tergetar sedikit ke belakang
dan ini membuat ia sibuk berpikir. Apakah gadis itu
memukul dengan kekuatan penuh atau hanya
dengan sebagian kecil tenaganya"
Sedang si gadis melihat lawannya tahan terhadap
pukulannya, tanpa banyak berpikir segera mengulang
serangannya kembali dengan satu pukulan deras
yang tak kalah hebat dengan pukulan pertama.
Untuk inipun Mahesa Wulung tak berusaha
mengelak, sebab ia juga mempunyai pikiran lain,
sampai di mana tenaga pukulan gadis ini"
Andini Sari terperanjat bila pukulannya yang
kedua pun tanpa membawa hasil. Dalam batin ia
terpaksa mengakui, bahwa lawannya ini mempunyai
ilmu yang lebih tinggi dari dirinya. Dan bila ia
menatap wajah Mahesa Wulung yang tersenyum-
senyum itu, hatinya jadi jengkel. Ia yakin dan merasa
dipermainkan oleh lawannya. Maka seketika wajah-
nya membara merah.
Bila sudah begitu, serentak bibirnya yang merah
basah itu tampak menjadi semakin merah membuat
hati Mahesa Wulung geragapan. "Andini Sari! Sudah!
Sudah! Hentikan pukulanmu. Aku terima kalah saja!"
"Tidak!" Andini Sari berseru. "Hiih, ini terimalah
lagi pukulanku!"
Kemudian pukulan ketiga pun mendarat di dada
Mahesa Wulung. Tetapi sekali lagi gadis ini terpesona
melihat sikap lawannya yang tak mau mengelak.
Hatinya menjadi bertambah jengkel separo kagum
terhadap Mahesa Wulung. Pukulan berikutnya me-
nyusul dan ketika lawannya masih saja tersenyum-
senyum, si gadis pun melayangkan pukulannya kem-
bali susul-menyusul dan lama-kelamaan bertambah
pelan dan semakin pelan, lalu gadis ini surut ke
belakang dari lawannya serta berpaling membelaka-
ngi Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung masih belum tahu dengan sikap
Andini Sari. Mendadak saja telinganya menangkap
isakan-isakan tangis yang kecil dan ternyatalah gadis
itu menutupkan tangannya ke muka, menangis.
Mahesa Wulung bingung seketika mendengar
isakan-isakan Andini Sari, maka ia segera mendekati
gadis itu. "Andini, Andini Sari, maaf aku telah membuatmu
sakit hati. Aku tak bermaksud demikian."
Si gadis yang mendengar ucapan lembut penuh
perasaan tulus itu, hatinya agak terhibur. Lebih-lebih
ketika terasa tangan sang pendekar mengusap pun-
daknya. Sesaat keduanya diam membisu, terbenam
dalam angan-angannya sendiri-sendiri.
Sekonyong-konyong kesenyapan itu dipecahkan
oleh satu bayangan yang melesat dari semak-belukar
yang rimbun, membuat Mahesa Wulung dan Andini
Sari terkejut. "Oooh, Kakang Mahesa Wulung!" seru bayangan
itu. "Syukur kau masih hidup, Kakang!"
Andini Sari yang mendekap Mahesa Wulung kare-
na kagetnya, demikian melihat siapa bayangan yang
muncul di depan mereka itu, cepat-cepat melepaskan
dekapannya. "Adi Pandan Arum!" seru Mahesa Wulung kaget
bercampur girang, karena gadis itu tiba-tiba muncul
di depannya. Sedang Andini Sari melihat gadis yang baru datang
itu membuat hatinya sibuk berkata-kata sendiri, "Oh
gadis itu. Keduanya nampak telah akrab. Mungkin ia
adalah tunangan Pendekar Mahesa Wulung ini. Biar-
lah aku berlalu saja dari tempat ini!"
"Nah, selamatlah kalian berdua. Selamat tinggal
dan sampai berjumpa lagi!" ujar Andini Sari sambil
meloncat meninggalkan tempat itu. Gerakannya
sangat cepat dan sebentar saja tubuhnya lenyap di
sebelah utara di sebuah jalan rintisan kecil di balik
batu terjal yang menjulang tinggi.
"Andini Sari tunggu!" teriak Mahesa Wulung, tapi
gadis itu tak menggubrisnya.
"Siapakah dia, Kakang Wulung?" ujar Pandan
Arum. "Dan itu tubuh-tubuh yang menggeletak di
sana?" "Gadis tadi adalah Andini Sari. Ia kutemukan
tengah bertempur melawan ketiga orang ini, Adi.
Demikianlah ia akhirnya kutolong dan ternyata
Andini Sari adalah puteri si Rikma Rembyak!"
"Haaa"! Putri pendekar gondrong itu" Hmmm,
cantik juga dia, ya, Kakang?" ujar Pandan Arum
sambil mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung,
membikin pendekar ini trataban hatinya.
"Betul katamu itu, Adik. Tapi Pandan Arum pun
tak kalah dengan dia."
"Ahh, Kakang Wulung ini. Sekarang aku ingin
mendengar lelakon Kakang, sampai dapat lolos dari Jurang Mati ini?" pinta Pandan
Arum. "Baik akan kuceritakan lelakonku pada Adi. Nah duduklah disini," ujar Mahesa
Wulung mempersilahkan Pandan Arum duduk di sebuah batu besar di
dekatnya. Lalu berceritalah ia mulai terjatuh ke jurang
kemudian menemukan goa serta berkelahi melawan
laba-laba raksasa, sampai akhirnya ia menemukan
kitab milik Landean Tunggal. Kesemuanya itu di-
dengar oleh Pandan Arum dengan penuh perhatian,
seakan-akan ia sendiri turut serta di dalam peristiwa
itu. Wajahnya tampak tegang ketika mendengarkan
pertempuran Mahesa Wulung melawan laba-laba
raksasa, dan juga ia merasa kasihan mendengar
kisah tentang Landean Tunggal serta kematiannya.
"Demikianlah kisah lelakonku ini, Adi Pandan.
Untunglah aku membawa cambuk Naga Geni ini.
Kalau saja tidak, mungkin sekarang ini kita tak akan
berjumpa lagi," kata Mahesa Wulung. "Dan sekarang
cobalah Adi Pandan berceritera tentang pengejaran
terhadap Rikma Rembyak. Dapatkah catatan panah
Braja Kencar itu berhasil engkau rebut daripadanya?"
"Ah, ketiwasan, Kakang Wulung! Pengejaran itu
gagal sama sekali. Jangankan merebut catatan,
sedang menyentuh tubuhnya saja tak berhasil. Rikma
Rembyak ternyata mempunyai ilmu lari yang hebat,
sehebat ilmu lari Sapi Angin," Pandan Arum berhenti
sejenak berceritera sambil menarik napas panjang
seperti hendak mengatasi rasa kesalnya. "Pengejaran
terus berjalan, namun tiba-tiba Rikma Rembyak
menyabetkan tongkat kayunya ke belakang, sehingga
mengenai Kakang Jagayuda yang kemudian terjatuh
ke tanah. Begitulah, maka pengejaran itupun gagal
dan Kakang Jagayuda terluka ringan untuk beberapa
saat." "Hmmm, memang hebat si Rikma Rembyak," de-
ngus Mahesa Wulung setengah mengepal-ngepalkan
tinjunya karena gemas.
"Sungguh berat penanggungan kita, Kakang. Aki-
bat dari kegagalan tugas kita itu, maka pimpinan
armada Demak telah mengambil satu keputusan,
bahwa kita harus merebut kembali catatan panah
rahasia Braja Kencar itu, dalam waktu tiga ratus
hari. Jika itupun gagal pula, maka pimpinan armada
Demak dengan sangat menyesal akan mencabut
kedudukan kita sebagai perwira dari armada Demak."
"Haaa"! Memecat kita dari armada Demak?" ulang
Mahesa Wulung dengan terkejut, dan sejenak ia
berdiam diri merenungi ceritera Pandan Arum tadi.
"Hehh, waktu tiga ratus hari cukup banyak, tetapi
apakah cukup lamanya untuk membekuk Ki Topeng
Reges dan Rikma Rembyak" Jika sampai dipecat dari
keperwiraan armada Demak, ahh, betapa maluku. Di
mana mukaku ini harus kusembunyikan?"
Merenungi nasib dirinya yang begitu malang itu,
Mahesa Wulung merasakan satu pergolakan dalam
rongga dadanya. Jiwa ksatrianya menggelegak timbul
karena mendapat tantangan yang begitu berat. Sekali
lagi ia lebih dalam memikirkan tugasnya yang gagal.
"Adi Pandan, aku mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan yang telah Adi berikan kepadaku,"
ujar Mahesa Wulung memecah kesunyian yang men-
cengkam. "Apakah Adik masih sanggup mendampi-
ngiku dalam tugas ini?"
Dalam beberapa saat Pandan Arum tidak segera
dapat mengucapkan sepatah kata pun, malahan ia
menundukkan kepalanya ke bawah. Kepalanya
dipenuhi oleh bayangan-bayangan akan peristiwa
masa yang lalu. Kalau saja ia tak dapat menekan
perasaannya, pastilah ia akan terisak-isak menangis.
Mungkinkah kegagalan tugas Mahesa Wulung itu
disebabkan oleh campur tangannya" Pertanyaan itu
berkali-kali timbul tanpa terjawab olehnya.
Akhirnya Pandan Arumpun berkata dengan nada
bergetar setelah sesaat bergulat dengan pikirannya
sendiri, "Kakang Mahesa Wulung, aku akan selalu
membantu Kakang dalam tugas yang seberat apapun.
Maka tugas ini akan kita selesaikan berdua. Bukan-
kah begitu, Kakang?"
"Yah, terima kasih Adi. Mudah-mudahan kali ini
bintang kita lebih cemerlang," kata Mahesa Wulung
dengan lega. "Kakang Wulung, aku kira lebih baik kita berang-
kat sekarang meninggalkan tempat ini," sambung
Pandan Arum. "Ke timur ini ada sebuah jalan yang
melingkari kaki Gunung Muria sebelah timur. Dan
disana menurut Kakang Jagayuda terdapat sebuah
rumah tua di dekat reruntuhan bekas candi yang
didiami oleh Ki Topeng Reges."
"Jadi di sanalah Ki Topeng Reges bercokol," desis
Mahesa Wulung pendek. Ia lalu teringat akan tempat
itu, yang oleh orang-orang di kaki timur Gunung
Muria dianggap sebagai tempat hantu dan dedemit
bersarang. "Nah, sebelum berangkat, biarlah aku
turun ke goa di bawah sana untuk mengambil kitab
hijau peninggalan Landean Tunggal."
"Silahkan, Kakang. Aku akan menunggumu di sini
saja," kata Pandan Arum sambil tersenyum manis,
tertuju kepada Mahesa Wulung.
Belum lagi ia selesai tersenyum, tiba-tiba dilihat-
nya Mahesa Wulung meloncat ke tebing Jurang Mati
serta dengan enaknya berloncatan turun ke bawah
tak ubahnya gerak seekor belalang. Karuan saja
hatinya berdebar setengah kagum melihat gerakan
Mahesa Wulung yang hebat itu dan sebentar saja
bayangan tubuhnya telah lenyap di bawah sana, di
kegelapan dasar Jurang Mati.
*** Mahesa Wulung sebentar saja telah tiba di mulut
goa. Sejenak ditatapnya tempat itu dengan rasa haru,
mengingat bahwa di sinilah ia dapat menggembleng
dirinya lebih matang, daripada yang sudah-sudah.
Tempat ini sebentar lagi akan ditinggalkannya.
Meskipun ia tidak lama tinggal di goa itu, namun
hatinya tidak akan melupakan sepanjang hidupnya.
Kemudian dengan langkah yang mantap ia
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki goa itu, serta langsung menuju ke ruang
tengah, tempat ia berlatih serta mempelajari kitab
hijau Landean Tunggal sehari-hari.
Kitab itu terletak di atas sebuah batu cincin ber-
alaskan tikar anyaman kasar dari daun ilalang yang
dibuat oleh Mahesa Wulung sendiri. Sesudah Mahesa
Wulung mengeluarkan selembar sapu tangan ber-
warna kuning dari ikat pinggangnya, kitab tersebut
dipungutnya serta dibungkus dengan rapi dan
kemudian dimasukkan ke dalam bajunya.
Mahesa Wulung selanjutnya melangkah ke ruang
sebelahnya tempat ia menanam kerangka Landean
Tunggal. Sekali lagi ia menatap timbunan batu itu,
sedang dalam batin ia mengenang serta berdoa untuk
Landean Tunggal yang telah tiada. Sesudah itu ia
cepat-cepat berjalan keluar, sebab ia tidak ingin
membuat Pandan Arum terlalu lama menunggu di
atas. Tiba-tiba di saat ia menginjak pintu ruangan itu,
didengarnya bunyi berdesir halus dari arah ruang
sebelahnya yang kegelapan. Biarpun bunyi itu hanya
lamat-lamat saja, tapi dapat ditangkap oleh telinga-
nya yang tajam! Mahesa Wulung buru-buru melekat
pada dinding goa.
Memang, di tempat gelap itu terlihat berkelebatnya
sesosok bayangan manusia yang amat cepat. Karuan
saja hati Mahesa Wulung berdesir hebat bukan main,
maka cepat-cepat ia merunduk dan mendekati
tempat itu. Tapi betapa kecewanya bila tiba di situ,
dilihatnya tak seorang pun tampak di tempat itu.
Mahesa Wulung tak sampai di situ saja penyelidi-
kannya, sebab ia yakin bahwa matanya telah benar-
benar menangkap gerakan tubuh manusia di sini.
Segera ia berjongkok serta meraba-raba lantai goa itu
dengan jari-jari tangannya. Sesaat kemudian ia
menggumam. "Jah! Tak keliru lagi. Ini adalah jejak-jejak baru
dari kaki manusia. Tapi kemana dia berada?"
Selagi ia bertanya-tanya di dalam hatinya, tiba-tiba
saja ia dikejutkan oleh suara orang tertawa lunak.
Perlahan-lahan sekali suara itu, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Ketawa
yang lunak itu membuat darahnya berdesir lebih hebat.
Berkat pemusatan inderanya yang sempurna, da-
patlah ia mengetahui sumber dari suara ketawa yang
lunak tadi kira-kira di arah belakangnya. Oleh sebab
itu ia cepat meloncat membalikkan diri serta bersiaga
penuh. Dan kemudian alangkah terkejutnya bila di
hadapannya berdiri sesosok tubuh manusia yang
berada di tempat kegelapan.
"Maaf Kisanak, kalau aku telah membuatmu
kaget," terdengar suara lunak dari orang itu.
Mahesa Wulung tak segera menjawab, kecuali ia
mengawasi orang itu dengan seksama dari ujung jari
kakinya sampai ke ujung rambut kepalanya. Tubuh
orang itu mempunyai potongan yang tegap perkasa.
Sayangnya, wajahnya kurang jelas, karena ia berdiri
di tempat gelap.
"Kisanak, apa maksudmu datang kemari?" berta-
nya Mahesa Wulung setengah curiga.
"Aku tak sengaja datang ke tempat ini," orang itu
berkata. "Dan tidak tahu bahwa Kisanak tinggal di
tempat ini. Maka Andika tak perlu gusar bila bertemu
aku di sini. Tak apa-apa. Aku adalah orang kabur
kanginan tak bernama. Nah, sekarang biarlah aku berlalu dari tempat ini."
"Tunggu dahulu! Kisanak harus menyebutkan
namamu dulu sebelum berlalu dari tempat ini,"
Mahesa Wulung berkata dengan mantap.
"Tidak! Aku sudah berkata kalau aku tanpa
nama," desis orang itu. "Tak seorang pun berhak
memaksaku menuruti kehendaknya!"
"Hmmm, kalau bandel, akulah yang akan memak-
samu," balas Mahesa Wulung membuat orang itu
menggeram, tapi kemudian orang tersebut tertawa
lunak. "Heh, heh, heh, jangan coba menakut-nakuti aku.
Rupanya dengan gertak sambalmu itu, kau bermak-
sud menutupi kegentaranmu. Suaramu tadi gemetar,
Kisanak. Heh, heh, heh," sekali lagi orang itu tertawa
lunak. Bagi Mahesa Wulung, kata-kata orang itu terasa
sebagai sambaran petir di telinganya.
"Kurang ajar. Kau menghinaku kelewat batas,
Kisanak! Hanya saja aku ingin tahu apa kata-katamu
itu seimbang dengan tenaga serta keperwiraanmu?"
"Heh, heh, heh, apakah Andika bermaksud
menantangku?" ujar orang itu tenang-tenang.
"Menantang, sih tidak. Hanya ingin aku mencicipi
keperwiraanmu!" kata Mahesa Wulung.
"Bagus, bagus! Sekarang terimalah salam perkena-
lanku!" seru orang itu dengan menggeram mengirim-
kan pukulannya ke arah Mahesa Wulung.
Untungnya Mahesa Wulung cepat-cepat sudah ber-
tindak, begitu lawannya itu melancarkan serangan-
nya, begitu pula ia memiringkan tubuhnya menghin-
dar. Wusss! Angin pukulan lawan berdesau nyaring.
Cukup bagi Mahesa Wulung untuk mengukur sampai
di mana kekuatan lawan.
Begitu ia berhasil menghindari serangan itu, ganti
Mahesa Wulunglah yang melancarkan pukulan dah-
syatnya. "Hyaat!"
Namun alangkah terkejutnya, kalau lawannya itu
untuk menghindari serangannya telah membuat satu
gerakan yang membuatnya berdesir hati. Lawannya
tadi telah meloncat mundur sambil berjongkok,
sehingga dirinya terbebas sama sekali dari pukulan
tangan Mahesa Wulung.
Melihat lawannya lolos, ia tak tinggal diam. Segera
dikejarnya orang itu dengan serangannya yang bergu-
lung-gulung laksana ombak badai siap menghempas-
kan setiap perintang.
Demikianlah, maka keduanya tenggelam dalam
perkelahian hebat di ruangan goa yang cukup luas
itu. Terkadang keduanya sambar-menyambar di uda-
ra laksana dua ekor rajawali yang tengah berlaga dan
sebentar lagi berubah seperti dua ekor banteng yang
ketaton saling mengukur tenaga
Mahesa Wulung yang sekarang bukan Mahesa
Wulung yang dahulu. Berkat ilmu kitab hijau warisan
dari Landean Tunggal itu, telah membajakan dirinya
menjadi manusia yang kuat jasmani dan rohaninya.
Tubuhnya bergerak bagaikan bayangan yang melon-
cat kesana-kemari, ringan seringan daun kering serta
lincah dalam menghindari setiap serangan lawan.
Rupanya lawannya itupun bukanlah orang yang
sembarangan. Ia pun mampu bergerak selincah anak
kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput
hijau. Bahkan sambil berloncatan kesana-kemari itu,
lawan Mahesa Wulung tak lupa mengeluarkan suara
ketawa yang lunak.
Pertempuran berjalan semakin seru, keduanya
belum ada tanda-tanda akan kekurangan tenaga.
Sesudah berjalan puluhan jurus, kedua pendekar itu
menghentikan pertempurannya sejenak. Keduanya
masing-masing mengatur nafasnya. Lawan Mahesa
Wulung rupa-rupanya ingin cepat-cepat menyelesai-
kan pertempuran ini, karena tiba-tiba saja ia meraba
hulu kerisnya dan menghunusnya sekali.
Mahesa Wulung pun tak tinggal diam, bila melihat
lawannya menghunus senjata. Maka cepat-cepat ia
melolos cambuknya dari ikat pinggang.
"Kiai Naga Geni!" desis lawan Mahesa Wulung serta
surut ke belakang menatapi cambuk pusaka yang
mengeluarkan sinar biru kehijauan.
"Hah, Kiai Sangkelat"!" seru Mahesa Wulung lirih
ketika keris di tangan lawan itu mengeluarkan sinar
buram seperti bara api.
Kedua pendekar itu sesaat termangu-mangu.
Masing-masing telah menggenggam senjata pusaka
yang ampuh. Meskipun Mahesa Wulung belum me-
ngenal siapa yang menjadi lawannya itu, tapi ia
Misteri Pulau Neraka 4 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Bukit Pemakan Manusia 17
(Seri Naga Geni ke 5)
DIBURU TOPENG REGES
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Bulan purnama semakin merayap lebih tinggi, se-
perti hendak menyaingi cahaya ratusan bintang yang
bertaburan di langit biru. Tak sepotong awan pun
yang tampak mengambang di langit, sehingga cahaya
yang terang-temarang langsung menerangi Jurang
Mati, di mana Mahesa Wulung tengah mati-matian
merayap di tebing jurang untuk mencapai mulut
sebuah goa di sebelah kanannya.
Selangkah demi selangkah, kakinya melangkah ke
samping, sementara kedua tangannya berpegang
pada tonjolan-tonjolan batu dari tebing jurang.
"Hmm, sepuluh langkah lagi, pastilah mulut gua
itu aku capai!" desis Mahesa Wulung sambil terus
merayap ke kanan.
Setelah mencapai lima langkah, Mahesa Wulung
berhenti sejenak. Peluh dingin mengucur dari lobang-
lobang kulitnya, apalagi ketika ia melirik ke bawah ke
dasar Jurang Mati. Satu lirikan saja cukup membuat
kepalanya terasa mengkap-mengkap seperti hendak copot. Dirasanya satu tenaga
aneh seperti hendak
menyedotnya jatuh ke dasar jurang. Maka cepat-ce-
pat ia mengerahkan segenap ilmunya 'Tugu Wasesa'
yang sanggup melindungi dirinya dari segala getaran-
getaran dan benturan-benturan yang sehebat apa-
pun. Sesaat kemudian ia dapat menguasai kembali
dirinya dari pengaruh sedotan dasar Jurang Mati.
Sementara itu beberapa buah batu kerikil yang
tersinggung oleh kakinya, bergelindingan jatuh ke
jurang, setelah lebih dulu membentur serta mener-
jang tebing curam dari Jurang Mati, dengan suara
gemelandang menggema, menimbulkan rasa ngeri di hati kecil Mahesa Wulung.
Terbayanglah, seandainya ia benar-benar terjatuh
ke situ pastilah tubuhnya akan hancur luluh. Ter-
ingat kembali akan nasibnya yang malang itu, hati-
nya seolah-olah disayat oleh sembilu, pedih dan
ngeri. Ia telah terjatuh ke jurang ketika menghindari
serangan ilmu 'Netra Dahana' dari Ki Topang Reges
yang dahsyat itu. Untunglah ia tidak terbakar oleh
lidah api yang dipancarkan oleh mata Ki Topeng
Reges. Tetapi kekalahannya itu tidak begitu membe-
ratkan hatinya, sebab suatu ketika pastilah itu akan
dapat ditebusnya kembali.
Yang sangat disesalkan ialah kematian Empu Bas-
kara. Dengan kematian orang tua itu, yang seharus-
nya diselamatkan dari tangan-tangan kotor gerom-
bolan hitam, hampir seluruh tugasnya telah gagal
sama sekali. Suatu hal yang sangat memalukan bagi
seorang pendekar cabang atas seperti dirinya ini.
Satu-satunya harapan ialah dengan merebut kembali
catatan rahasia dari panah 'Braja Kencar' yang telah
dibawa kabur oleh si Rikma Rembyak, murid kinasih
dari Ki Topeng Reges.
Suatu perasaan baru terungkap dalam hatinya
yang kini bergelora karena kematian Empu Baskara.
"Yah, aku harus keluar dari tempat ini, untuk
membalaskan kematian Empu Baskara. Ke manapun
larinya Ki Topeng Reges dan Rikma Rembyak, mereka
akan aku kejar."
Mahesa Wulung kemudian melanjutkan kembali
kerjanya. Sejengkal demi sejengkal ia terus merayap
ke arah mulut goa di sebelah kanannya.
"Hmm," sebuah tarikan napas lega terdengar dari
hidung Mahesa Wulung, manakala mulut goa itu
telah dicapainya dengan selamat. Perlahan-lahan ia
mengamati goa itu dari luar. Tampaklah olehnya,
mulut goa itu penuh ditumbuhi oleh lumut liar
sedang bagian atasnya dipenuhi oleh benang laba-
laba yang bergantungan, bagaikan benang perak yang
gemerlapan ditimpa sinar purnama.
Yang agak mengherankan Mahesa Wulung ialah
bagian tengah dari ruangan goa itu. Seberkas sinar
purnama telah jatuh ke lantai, cukup menerangi tem-
pat itu dari luar goa.
"Entah dari mana sinar purnama itu masuk"
Mungkin dari lobang-lobang atas pada langit-langit
goa," pikir Mahesa Wulung penuh rasa kagum dan
ingin tahu. "Baiklah, aku akan masuk ke dalam serta
menyelidikinya. Mudah-mudahan goa ini cukup
hangat untuk tempat beristirahat malam ini. Siapa
tahu mungkin besok aku dapat menemukan jalan
keluar dari Jurang Mati ini."
Dengan hati-hati ia maju ke mulut goa. Tiba-tiba ia
terhenyak kaget, ketika hidungnya mencium bau
engas yang menyesakkan dada.
Syraat! dilolos pedangnya untuk menghadapi se-
tiap bahaya. Naluriahnya yang tajam telah mencium
adanya bahaya di sekitar tempat itu. Kembali ia
melangkahkan kakinya ke dalam mulut goa.
Cess! sebuah rasa dingin terasa menerkam teng-
kuknya, dan Mahesa Wulung pun bergerak cepat
dengan putaran pedangnya ke atas. Sebuah benda
terbabat putus dan melayang ke tanah.
"Ooh. Lumut-lumut liar!" desis Mahesa Wulung
seraya menatap ke atas. Ternyata lumut-lumut liar
tadi memang meneteskan air ke bawah dan beberapa
tetes air itu telah menjatuhi tengkuknya.
"Hmm, untunglah hanya air yang menetes ke
tengkukku, seandainya senjata" Aku harus lebih
hati-hati sekarang!"
Bersamaan dengan itu, ketika ia lebih jauh masuk
ke dalam mulut goa, satu jeritan yang memekakkan
telinga terdengar mengiringi beberapa bayangan yang
melesat keluar dari dalam goa. Benda-benda itu
terlalu rendah melayang dan satu-satunya jalan bagi
Mahesa Wulung ialah menghindarinya dengan ber-
tiarap di atas tanah. Bunyi berdesing serta kepak-
kepak sayap terdengar di atas kepalanya menimbul-
kan angin dingin yang menyapu tengkuknya. Mahesa
Wulung melirik ke atas dan terpaksa ia menjerit kecil.
"Kelelawar-kelelawar raksasa!" desis Mahesa
Wulung. "Tapi mereka telah keluar!"
Sejenak hatinya merasa aman, tetapi bau engas
menyesakkan itu masih terasa hebat. Malahan kini
terdengar pula bunyi bergetar setengah mencicit yang
sangat halus, namun terasa masuk ke relung-relung
telinga Mahesa Wulung, menimbulkan rasa nyeri
yang luar biasa hebatnya. Maka sekali lagi Mahesa
Wulung menyalurkan ilmunya, 'Tugu Wasesa'.
Mendadak saja, belum lagi ia selesai menyalurkan
ilmunya, dari sebuah pohon besar pada dinding goa
itu terlihatlah dua bulatan sinar yang menyala merah
berkedip-kedip. Kemudian diiringi oleh satu jeritan
hebat, sebuah sinar putih gemerlapan menyambar ke
arah kepala Mahesa Wulung dengan kecepatan luar
biasa. Tentu saja ia sangat terkejut disambar oleh benda
bersinar itu, maka secepat kilat ia berkelit ke sam-
ping untuk menghindar. Anehnya, benda panjang
itupun tetap mengikuti gerakannya dan tak ampun
lagi tubuhnya kena terlibat.
"Benang laba-laba," desis Mahesa Wulung kaget
setengah mati. Segera ia meloncat mundur ke tempat yang
diterangi oleh sinar purnama dari lobang-lobang
langit goa. Ia bermaksud meneliti benda yang melibat
tubuhnya itu dalam penerangan sinar purnama ini,
dan betapa herannya bila dugaannya tadi ternyata
tidak meleset. Benang putih yang panjang gemer-
lapan dan melibat dirinya itu, tidak lain adalah
benang laba-laba seperti yang telah dilihatnya pada
mulut goa ketika ia masuk ke dalam.
"Heh, ini memang betul-betul benang laba-laba.
Tetapi ini terlalu besar dan berukuran luar biasa,"
pikir Mahesa Wulung dengan cepat sambil memegang
benang laba-laba itu dengan tangan kiri, sementara
tangan kanannya menebaskan pedangnya pada
benda itu. Bet! Pedang yang telah menebas benang laba-laba,
terpental kembali ke belakang dan benang itu masih
belum terputuskan. Sudah barang tentu Mahesa
Wulung tercengang-cengang melihat kejadian ini. Ia
pun sadar bahwa tebasan pedangnya tadi hanyalah
dengan kekuatan separo tenaga, karena dalam hati ia
berkeyakinan bahwa benang laba-laba itu tak akan
melebihi kekuatan seutas tali. Namun kenyataannya,
benang laba-laba tersebut lebih kuat dan punya daya
melekat seolah-olah dilumuri oleh getah perekat.
Dasar Mahesa Wulung bukan termasuk orang yang
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia
menyabetkan pedangnya dengan kekuatan penuh
dan kini putuslah benang laba-laba itu dengan bunyi
mendesing. Di luar dugaan, begitu benang laba-laba itu putus,
sebuah lagi menyambar ke tubuhnya sekaligus meli-
bat dengan kerasnya. Untuk kedua kalinya Mahesa
Wulung menebaskan pedangnya serta berhasil me-
motongnya. Tiba-tiba dua bulatan merah yang
berkedip-kedip itu bergerak mendekati dirinya.
Mahesa Wulung terus mengawasi ke arah lobang
dinding goa dan terutama kepada dua bulatan merah
yang bergerak perlahan-lahan ke arahnya. Mata
Mahesa Wulung rupanya sudah terbiasa dengan
keadaan gelap di dalam goa itu, maka terlihatlah satu
bayangan remang-remang yang berkaki delapan,
sangat mengerikan. Dan sejurus kemudian bayangan
itu tepat berada di bawah sinar purnama yang jatuh
ke lantai goa lewat lobang langit-langit.
Bukan main dahsyatnya! Baru kali ini selama
hidupnya ia menyaksikan satu pemandangan yang
sangat mengerikan, hingga kedua mata Mahesa
Wulung terbeliak menyaksikannya, seakan-akan tak
mau percaya dengan apa yang kini dihadapinya.
Benda yang kini berada di depannya kira-kira
sepuluh langkah itu tidak lain adalah laba-laba
raksasa, lengkap dengan kedelapan kakinya yang
ditumbuhi bulu-bulu kasar serta duri-duri tajam.
Kedua matanya yang menyala merah berkedip-kedip
itu tampak sangat ganas. Dengan desisan yang
menggetar, makhluk itu menatap ke arah Mahesa
Wulung. Sesaat Mahesa Wulung terbungkam mulutnya,
seakan ia mau berteriak tapi tak satu kata pun yang
keluar lewat bibirnya.
Mula-mula ia mengira, kejadian ini hanya satu
impian buruk akibat kelelahan jiwanya. Namun
ketika ia menggigit bibirnya dan benar-benar terasa
sakit, jadi yakinlah ia bahwa laba-laba raksasa itu
bukanlah satu impian.
Bersamaan pulihnya kesadaran Mahesa Wulung
atas bahaya yang mengancam di depannya, menda-
dak laba-laba raksasa itu mencicit hebat disusul oleh
sambaran-sambaran benang perak lewat mulutnya
yang datang secara bertubi-tubi, hingga sebagian
besar tubuh Mahesa Wulung penuh dilengketi oleh
benang laba-laba. Untungnya tangan kanannya yang
menggenggam pedang itu sempat ditariknya ke
belakang tubuh. Kalau tidak, pastilah nasibnya akan
tak berbeda dengan tangan kirinya yang kini ter-
lengket pada tubuhnya oleh belitan benang laba-laba
itu. Laba-laba raksasa itu sejenak berhenti melancar-
kan serangannya, sedang kedua mata ganasnya terus
mengawasi Mahesa Wulung yang tengah berusaha
melepaskan lilitan benang-benang yang melekat
dengan erat. Dengan sendirinya Mahesa Wulung tak
melepaskan kesempatan yang hanya sekejap itu.
Selagi binatang itu menghentikan serangannya,
cepat-cepat ia menebaskan serta memutar pedangnya
di tangan kanan dengan dilambari ilmu pedang
ajaran Ki Camar Seta yang bernama 'Sigar Maruta'.
Maka akibatnya sangat menakjubkan. Dalam waktu
sekejap saja, mata pedang itu seperti berubah menja-
di puluhan, serta kemudian membabat semua benang
laba-laba yang bersimpang siur melilit tubuhnya.
Agaknya laba-laba raksasa itupun menyadari akan
kekuatan calon korbannya yang kini telah berhasil
membebaskan diri dari benang-benang mautnya! Ia
bergerak maju sambil mengeluarkan desisan yang
tinggi, sementara dua kaki depannya diangkat tinggi-
tinggi. Mahesa Wulung tidak kurang waspadanya melihat
gerakan laba-laba itu. Apabila kedua kaki depan
laba-laba itu telah diangkat tinggi, pastilah ia akan
memulai serangannya. Ia pernah memperhatikan
cara menerkam seekor laba-laba terhadap seekor
lalat yang telah terjerat oleh benang-benang perang-
kapnya. Oleh sebab itu Mahesa Wulung bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Lawan yang kini harus dihadapinya adalah seekor
laba-laba raksasa setinggi manusia. Sungguh menge-
rikan bentuknya. Untunglah bahwa Mahesa Wulung
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula,
sehingga dalam waktu yang singkat ia berhasil
menguasai keadaan. Seandainya Pandan Arum pada
waktu itu berada di situ, pastilah ia akan jatuh
pingsan melihat laba-laba raksasa itu.
Dibarengi oleh satu jerit lengkingan, laba-laba itu
menerkam Mahesa Wulung dengan gerakan yang
cepat. Namun betapa kecewanya si laba-laba.
Seandainya ia dapat berkata-kata, pastilah ia akan
mengutuk-ngutuk, ketika calon korbannya itu
melesat ke belakang beberapa langkah, sehingga
terkamannya hanya mendapat tempat kosong.
Mahesa Wulung ketika berloncatan mundur itu
mendapatkan ruangan goa yang semakin luas dengan
langit-langit yang lebih tinggi. Di sini pun terdapat
lobang-lobang pada langit-langit goa dan disinari oleh
berkas-berkas sinar purnama.
Laba-laba itu terus merayap mendekati Mahesa
Wulung dengan tenangnya, bagai seorang jagoan
yang sudah dapat memastikan kemenangan atas
lawannya. Kemudian dengan gesit dan ganas ia
menerkam kembali ke arah Mahesa Wulung.
"Jeaatt!" sebuah teriakan lantang terdengar ber-
samaan melesatnya tubuh Mahesa Wulung yang
menjejak tanah dengan melewati sebelah atas dari
tubuh laba-laba ke samping. Gerakan itu sangat
cepat dan sukar ditangkap oleh mata. Bahkan, dalam
gerakannya itu Mahesa Wulung sempat menyabetkan
pedangnya kepada kaki-kaki depan dari binatang itu.
Seketika binatang itu menjerit hebat ketika kaki
depannya terasa tersayat oleh benda tajam, diikuti
oleh cairan merah bening yang memancar dari luka-
luka itu. Mahesa Wulung kini berdiri di arah samping kanan
dari laba-laba itu, siap menghadapi serangan
berikutnya. Yang agak mengejutkan ialah gerakan
laba-laba itu, setelah berhasil dilukai kaki depannya,
ia bertambah cepat dan ganas.
Ketika ia melihat manusia lawan itu berada di
samping tubuhnya, ia pun secepat kilat memutar
tubuhnya ke kiri menghadapi ke arah tubuh Mahesa
Wulung. Tiba-tiba dari mulutnya memancar benang
maut yang menyambar ke arah kaki Mahesa Wulung.
Saat itu, Mahesa Wulung sedikit agak lengah
sehingga tanpa berkutik kakinya kena terlibat oleh
belitan benang laba-laba itu. Maka seketika iapun
jatuh terjengkang ke belakang.
Untungnya saat itu ia masih memasang ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga benturan tubuhnya
ke tanah itu tidak begitu terasa hebat. Laba-laba itu
menjerit kecil, seolah-olah bersorak-sorak atas keme-
nangannya itu, kemudian dengan perlahan-lahan ia
menarik benangnya yang telah berhasil melibat kaki
Mahesa Wulung itu ke belakang. Sedangkan dari
mulutnya keluar air liur karena selera laparnya
sudah merangsang, ketika mencium bau tubuh
manusia. Tubuh Mahesa Wulung terseret ke arah mulut
laba-laba raksasa yang telah menganga siap men-
caplok tubuhnya bulat-bulat. Sekilas Mahesa Wulung
seperti orang yang mimpi dan dilihatnya mulut serta
rahang laba-laba itu semakin dekat dan dekat.
Terlintas bayangan wajah sahabat-sahabatnya, lebih-
lebih Pandan Arum yang sangat dicintainya, yang
mungkin sebentar lagi akan tidak dijumpai kembali.
Namun ketika ia menyebut nama Tuhan Yang Maha
Kasih, seakan-akan pulihlah kembali kekuatan tu-
buhnya. Hampir-hampir lupa bahwa selama itu ia masih
menggenggam pedang pada tangan kanannya.
Dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak bisa
dipercaya, Mahesa Wulung membabat putus benang
laba-laba yang melibat kakinya, disusul tubuhnya
berjungkir balik ke belakang beberapa langkah.
Gerakan tersebut sangat cepat, hingga laba-laba itu
hanya sempat menerkam debu-debu serta kerikil
yang berhamburan ke udara.
Karuan saja laba-laba itu meraung-raung karena
untuk kesekian kalinya calon korbannya telah ber-
hasil lolos dari cengkeramannya. Kedelapan kakinya
serabutan memukul dinding-dinding goa hingga
keadaan dalam ruangan goa itu menjadi penuh debu.
Suara raungannya sangat hebat hingga memantul ke
segenap dinding-dinding goa, bahkan sampai pula ke
tebing Jurang Mati. Semua itu merupakan luapan
amarahnya terhadap manusia yang perkasa, yang
setiap kali berhasil lolos dari serangannya. Mahesa
Wulung agak bingung melihat laba-laba itu meng-
aduk-aduk debu. Ia yakin bahwa hal itu termasuk
siasat dari binatang tersebut dalam menghadapi
lawannya, seperti halnya seekor ikan gurita yang
menyemburkan cairan tintanya untuk membingung-
kan lawan-lawannya.
Pemandangan dalam goa itu nampak remang-
remang oleh debu yang mengambang di udara. Satu-
satunya yang masih tampak dari bentuk laba-laba itu
ialah kedua matanya yang menyala merah berkedip-
kedip, dan ini sudah cukup bagi Mahesa Wulung
untuk mengetahui letak kedudukan binatang itu.
Keheningan yang sejenak dipecahkan kembali oleh
jeritan bernada tinggi dan muncullah dari debu-debu
itu kaki laba-laba yang menerkam langsung ke arah
Mahesa Wulung. Saat ini pulalah yang dinanti-nant-
ikan olehnya, maka secepat itu pula Mahesa Wulung
memutar pedangnya memapaki terkaman kaki-kaki
binatang itu. Craak! Mahesa Wulung merasa kalau pedangnya telah
membentur sesuatu dan ternyata tiga benda yakni
ujung dari kaki laba-laba itu kena terbabat putus.
Cairan merah bening menyemprot ke tanah diiringi
raungan hebat, disusul oleh kaki-kaki binatang yang
lain menyambar dengan deras ke arah Mahesa
Wulung. Dengan memiringkan tubuhnya ke samping,
Mahesa Wulung bermaksud menghindari serangan
itu. Sayang sekali, sebuah kaki dari laba-laba ini
berhasil membentur pundaknya, sehingga terasalah
sebagai runtuhan gunung meletus yang menimpanya.
Maka tubuhnyapun kemudian terasa terbanting ke
dinding goa dengan hebat. Untungnya saja, selama
bertempur menghadapi binatang itu, ia tak lupa sela-
lu memasang ilmu meringankan tubuh, dan benturan
itupun tak berakibat luar biasa, kecuali kepalanya
yang agak nanar sesaat.
Sebelum laba-laba raksasa itu mengulangi serang-
annya kembali, Mahesa Wulung lebih dulu menjejak-
kan kakinya ke tanah, kemudian melesat ke depan ke
atas laba-laba dengan putaran pedangnya.
Dalam saat yang sesingkat itu, pedangnya berpu-
tar laksana baling-baling yang berdesingan, kemu-
dian menyambar ke arah dua benda merah yang
berkedip-kedip ganas raungan yang terhebat keluar
dari mulut laba-laba itu, ketika olehnya terasa bahwa
kedua matanya terbacok oleh senjata tajam.
Belum lagi laba-laba itu selesai merasakan sa-
kitnya, Mahesa Wulung telah menerkam lehernya,
kemudian menikamkan pedangnya ke kepala laba-
laba. Tubuh binatang itu bergetar hebat dan tiba-tiba
dari luka tikaman pedang Mahesa Wulung, meman-
carlah sebuah asap hitam bergumpal yang menyem-
bur ke wajah Mahesa Wulung. Karena tak mengira
akan hal ini, Mahesa Wulung tak sempat meng-
hindar. "Hah, racun hitam!" jerit Mahesa Wulung setengah
kaget, ketika asap hitam itu telah menyampok wajah-
nya. Seketika kepalanya merasa pusing, dan pandang-
annya mendadak kabur. Bahkan tubuhnya merasa
lemah, apalagi ketika binatang itu membanting-bant-
ingkan tubuhnya ke tanah, Mahesa Wulung tak dapat
menguasai dirinya lagi. Tubuhnya terpelanting ke
tanah seketika.
Pandangan matanya yang masih cukup jelas itu
sempat menatap tubuh laba-laba yang bergeluyuran
sambil membentur-bentur dinding goa dengan me-
raung-raung Sesaat kemudian laba-laba itu rebah ke
tanah dengan bunyi berdebum.
Dalam saat yang sama pula Mahesa Wulung ber-
tambah pusing dan rebahlah kepalanya ke lantai goa,
tak sadarkan diri.
*** 2 Desah angin subuh menyusuri tebing-tebing
Jurang Mati, mengusap membelai butiran-butiran
embun yang menempel pada batu tebing dan daun-
daun ilalang. Sedangkan sang purnama telah
merendah di ufuk barat berselimut leretan-leretan
mega putih sebening sutera menerawang, membuat
terpesona siapa saja yang menatapnya.
Sementara itu pula di cakrawala timur, bintang
panjer wengi memancarkan sinarnya yang terang
diiringi oleh saputan-saputan warna merah, sebagai
pertanda dari permulaan fajar yang menyingsing.
Kelelawar-kelelawar beterbangan kembali ke
sarangnya setelah semalam suntuk mengembara
mencari makannya. Angin pagi yang sejuk bertiup ke
tebing Jurang Mati, singgah ke relung-relung dan
setiap lipatan dari tebing jurang yang terjal dan
curam. Dan bilamana kesejukan angin pagi mengalir
ke dalam goa, di mana Mahesa Wulung tergeletak
pingsan itu, terasalah pemuda ini mengerdip-
kerdipkan matanya. Ternyata angin pagi yang sejuk
dan bersih itu telah masuk ke dalam paru-parunya
serta mencuci hawa racun laba-laba yang tersekap di
situ, sehingga pulihlah kembali kesadaran Mahesa
Wulung. Perlahan-lahan ia mencoba duduk dan mengen-
dorkan segala urat-urat tubuhnya yang terasa tegang
dan kaku, akibat semua gerakan-gerakan yang telah
dikeluarkan ketika bertempur melawan laba-laba
raksasa. Sambil bersila dan bersikap seperti orang berse-
medi, Mahesa Wulung mengatur tata pernafasannya.
Inilah ajaran Panembahan Tanah Putih dari Asem-
arang yang dipergunakan untuk mengusir pengaruh
jahat dari segala hawa racun yang telah merasuk ke
dalam tubuhnya.
Pengaruhnya ternyata cukup mengagumkan. Sela-
in tenaganya pulih, penglihatan serta dadanya terasa
bersih dan lapang, seperti mendapat tenaga baru.
Di sudut dinding goa, terlihatlah bangkai laba-laba
raksasa yang telah kaku seperti patung. Kalau ia
mengingat segala peristiwa yang baru saja lewat,
ketika melawan laba-laba raksasa itu, seperti hampir-
hampir tak mau percaya. Tak menyangka bahwa
dirinya mampu bertempur melawan binatang seganas
itu. Mahesa Wulung kemudian berdiri serta mengakhiri
sikap semedinya.
"Hmm, mudah-mudahan aku berhasil menemukan
jalan keluar dari Jurang Mati dan goa ini." Berpikir
Mahesa Wulung sambil berjalan menyelidiki keadaan
goa, yang dindingnya tampak licin serta lembab.
Sejengkal demi sejengkal ia menyelidiki segenap
ruangan goa itu. Memang ruangan yang tengah
sangat lebar dan langit-langitnya pun tinggi pula.
Beberapa lobang-lobang tembus tampak menghiasi
langit-langit goa dan dari sanalah cahaya pagi jatuh
ke lantai serta menerangi ruangan itu.
Dalam menyusuri dinding-dinding goa, Mahesa
Wulung tiba-tiba menemukan sebuah lobang pada
dinding goa yang tertutup oleh bongkah-bongkah
serta gundukan-gundukan batu sebesar kepala
kerbau, bahkan lebih daripada itu.
Dengan hati-hati ia mendekati lobang itu dan
untuk beberapa saat ia merenunginya.
"Hmm, lobang pada dinding ini seolah-olah
memang sengaja ditutup dengan timbunan-timbunan
batu besar. Kentara dari bentuk batu-batunya yang
masing-masing terlepas dan tidak ada hubungannya
dengan dinding goa."
Bertambah merenungi serta menyelidiki lobang
dinding goa yang tersumbat itu, semakin timbul
keinginan untuk mengetahui rahasia apakah yang
tersembunyi di balik timbunan batu-batu tersebut.
Maka Mahesa Wulung pun semakin pula sibuk
menduga-duga. Mungkin lobang dinding itu adalah
jalan keluar dari Jurang Mati. Atau mungkin pula
berisi binatang yang lebih dahsyat lagi daripada laba-
laba raksasa yang telah mati di situ.
Tak lama kemudian, akhirnya Mahesa Wulung
mengambil satu kesimpulan bahwa dinding goa yang
tertutup oleh timbunan batu itu harus dibukanya,
betapapun jadinya nanti! Karena itu Mahesa Wulung
segera mengambil sikap kuda-kuda serta memusat-
kan segala kekuatan lahir batinnya. Tangan kanan-
nya mengepal dan ditekuk ke belakang sejajar telinga.
"Hyaat!"
Glaaar!
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benturan dahsyat terdengar memekakkan anak
telinga disusul runtuhnya bongkah-bongkah batu
yang bertimbun-timbun menutupi lobang dinding di
dalam goa itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali.
Batu-batu tersebut pecah berhamburan. Dan tam-
paklah kemudian sebuah lobang yang cukup luas
setelah debu-debu yang berkepulan mengendap ke
tanah. Mahesa Wulung sangat terperanjat. Apa yang
diduganya semula ternyata memang benar. Di balik
lobang dinding itu terlihat sebuah ruangan lain yang
tidak kalah lebarnya dengan ruangan yang pertama.
Cepat-cepat Mahesa Wulung masuk ke ruangan itu.
Di ruang ini pun terdapat beberapa lobang-lobang
pada langit-langit goa, merupakan jalan masuk
berkas-berkas sinar matahari ke ruangan ini.
Dan kemudian, sekali lagi, apa yang dilihatnya
betul-betul membuat dadanya bergoncang hebat,
seolah-olah runtuhnya sebuah dinding batu.
Di ruangan kedua ini, tepat di tengah-tengahnya
terdapatlah sebuah kerangka manusia yang duduk
bersila dalam sikap bersemedi. Di depannya, di dekat
kakinya yang bersila itu terlihat sebuah kitab dengan
sampul berwarna hijau tua. Sedang di sampingnya
pula terlihat secarik kain bertuliskan dengan huruf-
huruf merah tua.
Perlahan-lahan didekatinya tengkorak itu. Diam-
diam di dalam hati, Mahesa Wulung menaruh iba dan
belas kasihan terhadap manusia yang bernasib ma-
lang, terkurung di dalam ruangan goa, hingga mati
tak terurus. "Siapakah gerangan manusia yang bernasib
semalang ini?" bertanya Mahesa Wulung di dalam
hati. Dan ketika ia telah benar-benar dekat dengan
tengkorak itu, terlihatlah semuanya dengan jelas.
Tengkorak mengenakan sebuah pakaian yang telah
hancur, sedang pada jari manis tangan kanannya, ia
mengenakan sebuah cincin permata berwarna kuning
yang memancarkan sinar kuning berkedip-kedip
menakjubkan. Tentu saja Mahesa Wulung tertarik melihat cincin
permata yang aneh itu, tapi ia tak berani berbuat
sesuatu. Selama hidupnya baru kali ini ia merasa
kagum menjumpai permata yang mengeluarkan sinar
berkedip-kedip. Namun dari kesemuanya itu, yang
paling menarik hatinya ialah lembaran kain yang
bertuliskan huruf-huruf, merupakan sebuah surat.
Maka dengan hati-hati diambilnya surat itu serta
diperiksanya. "Ah, surat ini sudah terlalu lama dan usang.
Mungkin sudah berpuluh-puluh tahun usianya.
Untunglah tulisan ini masih cukup jelas," desah
Mahesa Wulung sambil sekali lagi meneliti surat itu.
"Hmm, warna merah tua ini, kalau tidak keliru
tulisan ini dibuat dengan cairan darah! Sekarang
baiklah aku mulai membacanya."
Berkas-berkas sinar matahari pagi yang jatuh dari
lobang langit-langit goa, telah membantu Mahesa
Wulung dalam membaca surat itu, dan ternyata surat
itu merupakan sebuah pesan:
"Kepada siapa saja yang menemukan surat saya
ini, saya selalu berdoa agar Andika adalah seorang
yang baik, berbudi luhur, seorang yang berjiwa
ksatria pembela kebenaran dan keadilan! Dengan
demikian maka Andika adalah satu-satunya pewaris
dari diriku dan kitabku ini. Tetapi jika Andika sudah
menjadi pewaris kitab itu, Andika mempunyai
kewajiban yang harus dilaksanakan, jika Andika
tidak ingin terkutuk olehnya. Andika, ketahuilah.
Kewajiban Andika adalah meneruskan tugasku. Yaitu
membinasakan seorang pendekar yang berilmu
hitam, seorang yang kejam dan bermata setan! Dialah
yang telah mengurungku di lobang dinding ini.
Ketahuilah aku bernama Landean Tunggal. Semula
dia adalah adik seperguruanku di Padepokan Gunung
Merapi. Kami berguru kepada Panembahan Jatiwana
sejak masa muda. Begitu eratnya persahabatan kami,
sehingga kami sudah seperti saudara sekandung
seibu sebapa. Tetapi sayang, setelah bertahun-tahun lama ber-
guru kepada sang Panembahan, maka ternyatalah
bahwa kami mempunyai sifat yang berbeda, dan itu
semua telah diketahui oleh sang Panembahan.
Kami berdua telah digembleng oleh Panembahan
Jatiwana menjadi pendekar pilihan. Namun saudara
seperguruanku itu yang bernama Umpakan telah
berubah menjadi orang yang sombong karena kesak-
tiannya. Tidak jarang ia memamerkan kesaktiannya
kepada orang-orang agar mereka mau mengagumi
dan memujinya. Bahkan lebih daripada itu, sang
Panembahan sering menerima laporan dari orang-
orang, bahwa Umpakan sering menyakiti orang-orang
yang tidak mau tunduk kepadanya.
Hal tersebut sangat mengecewakan Panembahan
Jatiwana, sehingga beliau lebih menaruh kepercaya-
annya kepadaku daripada Umpakan. Maka beliau
telah mempercayakan kepadaku sebuah daripada
kitab-kitabnya yang berisi ilmu silat dan kesaktian
dari tingkat atas. Tentu saja hal ini menimbulkan iri
hati bagi Umpakan dan hal ini pun menjadi berlarut-
larut serta merupakan bibit persengketaan antara
Umpakan dengan diriku serta sang Panembahan
juga. Demikianlah pada suatu ketika, Umpakan telah
bertengkar dengan sang Panembahan karena ia
menggugat, mengapa bukan dirinya yang diserahi
kitab itu. Dalam pertengkaran itu, aku pun berusaha
menengahi. Tetapi rupanya Umpakan telah menaruh
rasa dendam kepadaku, sampai-sampai maksud
baikku tadi menimbulkan salah paham baginya.
Peristiwa itu berkesudahan dengan satu pertengka-
ran dan perkelahian yang hebat, sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi antara saudara seperguruan.
Dan akhirnya kebenaran selalu menang di atas
kejahatan. Begitu pula dengan si Umpakan, ia dapat
kukalahkan dalam perkelahian itu.
Umpakan membawa kekalahan itu, lalu mengem-
bara ke arah selatan, ke Laut Kidul dengan dendam-
nya kepadaku yang tak pernah kunjung padam.
Beberapa tahun kemudian aku, mendapat kabar
bahwa ia telah menggembleng dirinya di sana serta
bergaul dengan orang-orang dari golongan hitam.
Kesaktiannya menjadi lebih hebat, apalagi setelah ia
menemukan sebuah topeng yang telah rusak di tepi
pantai Laut Kidul. Topeng itu kemudian diperbaiki
serta dipakainya, dan semenjak itu ia bergelar Ki
Topeng Reges. Ketika ia merasa bahwa dirinya cukup melebihi
kesaktianku, Ki Topeng Reges telah mencariku untuk
membalas dendam atas kekalahannya dahulu. Tetapi
sementara itu aku telah pindah ke Jepara tanpa
setahunya. Tetapi akhirnya ia berhasil mengetahui tempat
tinggalku dan kemudian mencuri kitab itu. Perbua-
tannya yang kelewat batas ini telah menimbulkan
amarahku, hingga untuk kedua kalinya aku terpaksa
mengadu tenaga melawan Topeng Reges.
Kitab itu berhasil aku rebut dari tangannya,
namun betapa terkejutku bila beberapa halaman
terakhir yang memaparkan ilmu sakti Netra Dahana
telah terobek lepas dari buku itu. Ilmu itu membuat
seseorang mampu mengeluarkan pancaran api dari
matanya yang sanggup membakar segala sesuatu di
hadapannya. Dan cara-cara menghadapi ilmu sakti
Netra Dahana itu, terdapat pula pada halaman-
halaman kitab yang telah dirobek dan disimpannya.
Pada suatu hari ia berhasil mencegatku dan
terjadilah pertempuran hebat. Ki Topeng Reges dalam
waktu yang singkat telah berhasil mendalami ilmu
Netra Dahana yang dahsyat itu. Saya merasa menye-
sal bahwa selama ini, selama menyimpan kitab itu,
aku belum pernah mempelajari bagian-bagian ter-
akhir yang berisi ilmu Netra Dahana. Akibatnya, aku
tak dapat mengatasi kesaktian Ki Topeng Reges yang
mampu memancarkan lidah-lidah api dari kedua
matanya, sehingga akhirnya aku melarikan diri
dengan kitab itu, lalu bersembunyi di goa ini. Ki
Topeng Reges masih mengejarku sampai ke tempat
ini, dan menyuruhku untuk keluar dari lobang
dinding goa persembunyianku. Ia memaksa agar aku
menyerahkan kitab ini kepadanya, tetapi aku
bertekad lebih baik mati daripada menyerahkannya.
Permintaannya itu aku tolak mentah-mentah.
Karena kemarahannya itu ia telah menyumbat
lobang dinding ini dengan batu-batu besar yang ber-
bongkah-bongkah amat banyaknya. Begitulah aku
telah terkurung di lobang dinding dan mungkin aku
akan mati pada suatu ketika. Aku tak dapat lari dari
tempat ini, apalagi kalau Ki Topeng Reges telah me-
nempatkan laba-laba raksasa untuk menjaga lobang
dinding ini. Aku selalu berdoa bahwa Andika yang menemukan
suratku ini, adalah seorang yang berbudi luhur.
Maka terimalah kitabku ini dan juga cincinku yang
bernama Galuh Punar. Ia akan menjaga Andika dari
pengaruh racun dan bisa yang jahat.
Nah, terimalah ini semua serta penuhilah kewa-
jiban Andika, seperti apa yang telah aku pesankan."
Selesai membaca pesan itu dada Mahesa Wulung
bagai gunung yang mau meledak. Tidak mengira,
kalau orang yang mati terkurung di tempat ini adalah
perbuatan Ki Topeng Reges pula. Kekejaman serta
kejahatan yang tiada terkira besarnya.
Mahesa Wulung melipat surat tadi kembali, dan
segala pesan Landean Tunggal telah dipahaminya
betul-betul. Ia berjanji di dalam dirinya untuk melak-
sanakan pesan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau
mengingat pergulatannya melawan laba-laba raksasa
itu, Mahesa Wulung mengucapkan syukur kepada
Tuhan, karena telah berhasil mengalahkan laba-laba
itu. Seandainya saja ia yang kalah, pastilah nasibnya
akan sama dengan Landean Tunggal yang mati di
tempat terpencil tanpa seorang pun yang mengeta-
huinya. Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Wulung
menjangkau tulang tangan Landean yang mengena-
kan cincin permata Galuh Punar pada jari manisnya.
"Kerangka Landean tidak akan kubiarkan begini
saja. Ia harus dikubur secara layak sebagai seorang
pendekar yang berbudi luhur. Mudah-mudahan ar-
wahnya akan lebih tenang," pikir Mahesa Wulung.
"Dan cincin ini akan kupelihara dengan baik, seperti
yang telah dipesankan oleh Landean."
Sesudah cincin itu berhasil dilolos dari tulang jari
manis Landean, Mahesa Wulung menjadi kagum
bercampur bangga apabila mengingat khasiat Galuh
Punar. Tangan kanannya serasa bergetar memegang
cincin itu. Ia tak mengira sama sekali bahwa ia
kejatuhan untung dan rejeki yang tak ternilai
harganya, serta tak terbayar oleh sejumlah uang.
Ditambah lagi dengan kitab yang bersampul hijau tua
itu, Mahesa Wulung benar-benar bersyukur. Hatinya
berjingkrak ibarat anak kecil yang menerima kem-
bang gula kelapa dari orang tuanya yang penuh rasa
kasih sayang. Setelah puas ia menikmati cincin Galuh Punar itu,
segera dipakainya ke dalam jari manis sebelah kanan.
Kemudian dicarinya tempat yang baik untuk mengu-
bur kerangka Landean di dalam goa itu juga.
Dengan mempergunakan pedangnya, ia menggali
lantai goa yang telah dipilihnya, setahap demi
setahap. Dan menjelang tengah hari, selesailah sudah
sebuah lobang pada lantai goa yang cukup dalam.
Kemudian Mahesa Wulung mengangkat kerangka itu
serta menguburnya ke dalam lobang tadi. Beberapa
saat Mahesa Wulung berdiam diri di depan kuburan
kerangka itu dan diam-diam di dalam hatinya
berkata, "Nah, Kisanak Landean. Kini beristirahatlah
Andika dengan tenang di tempat yang sesepi ini.
Percayalah, segala pesanmu akan kulaksanakan
dengan baik."
Mahesa Wulung bangkit perlahan-lahan serta
memungut kitab hijau yang masih terhampar di
lantai goa. Ia segera meninggalkan ruangan itu untuk
kembali ke ruangan yang pertama.
Sementara itu bayangan sinar matahari semakin
condong ke timur, satu pertanda kalau hari makin
bertambah siang.
*** Sore itu Mahesa Wulung mengumpulkan ranting-
ranting dan dahan kayu yang kering, untuk dibuat
obor atau unggun di dalam goa. Sambil mencari dan
mengumpulkan kayu itu di mulut goa serta tebing-
tebing jurang yang curam, tak lupa juga ia meneliti
keadaan tebing itu. Namun sampai saat itu ia tak
menemukan jalan keluar dari jurang itu.
Maka iapun mengambil keputusan untuk semen-
tara tinggal di dalam goa itu serta mempelajari kitab
hijau peninggalan Landean Tunggal. Jika rasa haus
dan laparnya timbul, ia cukup menampung air yang
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menetes dari dinding goa. Selain itu telur burung
serta jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam goa
cukup baik untuk sekedar pelepas laparnya. Tetapi ia
harus hati-hati memilih jamur itu. Jika tidak, pasti
akan termakan yang mengandung racun.
Mulai saat itu ia membuka kitab hijau serta
membacanya dari halaman pertama.
"Ooh!" satu desisan yang mengandung arti keka-
guman terluncur dari mulut Mahesa Wulung bila
diketahuinya bahwa sesungguhnya kitab hijau itu
termasuk kitab ilmu silat dan kedigdayaan yang
berusia sangat tua.
"Hmm, apa yang tertulis ini"!" ujarnya seraya
membaca halaman pertama dari kitab hijau. "Bagi
insan yang berjiwa ksatria, berbudi luhur serta welas-
asih terhadap sesamanya, maka ilmu ini kuberikan,
untuk memberantas kejahatan dan kebatilan demi
tegaknya kebenaran, keadilan serta kedamaian hidup
bebrayan di marcapada ini. Mangayu hayuning ba-wana".
Kata-kata yang mengandung harapan luhur itu
benar-benar meresap ke dalam kalbu Mahesa Wu-
lung, seperti mengalirnya udara segar yang mengalir
ke dalam dada dan paru-parunya.
Pada halaman kedua, dimulailah tulisan yang
berisi pelajaran serta ilmu kitab hijau lengkap dengan
gambar-gambar petunjuknya yang cukup rumit dan
sukar. Meskipun demikian, dasar Mahesa Wulung mem-
punyai otak yang cemerlang, maka betapapun sukar-
nya ilmu itu akhirnya terpecahkan juga olehnya. Itu
semua berkat ketekunan serta pengalamannya yang
sudah banyak. Hari demi hari dan minggu ke minggu tak terasa
olehnya dalam mempelajari kitab itu. Jika ia sudah
asyik mempelajari kitab itu, kadang-kadang sampai
terlupa akan rasa lapar dan dahaganya.
Pada bagian permulaan dari kitab itu, Mahesa Wu-
lung dengan mudah dapat mempelajari kesemuanya.
Tetapi bila menginjak pada bagian tengah, ia merasa
cukup bingung, sebab bukankah ia sendiri telah
mempelajari ilmu silat Panembahan Tanah Putih dari
Asemarang. Hingga dalam setiap geraknya kadang-
kadang saling mempengaruhi antara ilmu silat Pa-
nembahan Tanah Putih dengan ilmu silat kitab hijau
dari Landean Tunggal. Hal ini yang merepotkannya.
Kalau ilmu yang telah dipunyai berunsur pada
gerak pukulan maut serta kekuatan jasmani, maka
ilmu silat kitab hijau ini berunsur pada kelincahan
gerak yang hebat, di samping itu ia masih ingat
bahwa bagian terakhir dari kitab itu berisi ilmu Netra
Dahana yang telah dicuri oleh Ki Topeng Reges.
Begitulah, Mahesa Wulung terpaksa lebih teliti lagi
dengan ilmu kitab hijau. Ia berusaha menggabung-
kan antara ilmu Panembahan Tanah Putih dengan
ilmu kitab hijau yang kini tengah dipelajarinya.
Tempat itu begitu sepi dan tenang, tak terdengar
suara berisik ataupun jeritan kecuali bunyi gemericik
tenang dari air sungai yang mengalir di Jurang Mati,
jauh di bawah sana. Ketenangan dan kesepian tempat
itu telah membantunya dalam memperdalam ilmu-
nya. Ia telah bertekad, bahwa justru dalam kesepian,
ia akan mengisi hidupnya dengan suatu perjuangan
dan ketekunan mendalami ilmunya mati-matian.
Lebih-lebih bila mengingat, bahwa lawan yang bakal
dihadapinya itu adalah Ki Topeng Reges, satu pende-
kar sakti yang telah membuat geger dunia persilatan.
*** 3 Pada suatu pagi, di dalam ruangan goa itu beter-
banganlah kelelawar-kelelawar untuk mencari tem-
pat-tempat serta relung-relung yang gelap. Mereka
pada bersembunyi ketakutan karena mendengar deru
angin yang menyapu udara di dalam goa dengan
dahsyatnya bagaikan suara rajanya prahara.
Kelelawar-kelelawar itu mula-mula terkejut dan
merasa takut bila deru angin itu bakal menghempas-
kan serta menyapu mereka rontok ke tanah. Tetapi
mereka merasa lega setelah deru angin itu berasal
dari gerakan-gerakan Mahesa Wulung, salah satu
penghuni goa yang telah dikenal oleh mereka. Kini
kelelawar-kelelawar itu sibuk mengawasi tubuh
Mahesa Wulung yang tengah melatih diri dengan ilmu
silat kitab hijau.
Ternyatalah Mahesa Wulung dengan bersusah
payah berhasil sedikit demi sedikit menggabungkan
unsur-unsur gerak silat dari Panembahan Tanah
Putih dengan unsur-unsur gerak dari kitab hijau itu.
Gerakan ilmu silat dari Mahesa Wulung memang
menakjubkan sekali, hingga tak mengherankan kalau
kelelawar-kelelawar pun sampai turut mengagumi-
nya. Tubuhnya menjadi serupa burung branjangan,
melenting dan berputaran di udara dengan gesitnya.
Rasanya seakan-akan selembar daun kering, tubuh
Mahesa Wulung merasa ringan, mampu bergerak
tanpa menimbulkan bunyi kecuali desau angin yang
terdengar akibat kecepatan gerak tubuhnya.
Dasar-dasar jaya kawijayan dan kesaktian telah berhasil diungkapkannya dari
kitab hijau tersebut
dengan baik. Sejak dari huruf awal sampai huruf
terakhir dalam ilmu tata silat dan tata berkelahi telah dihafalkannya. Rangkaian
kata-kata itu ia wujudkan
ke dalam gerak, dan dari rangkaian gerak itu terben-
tuklah keseluruhan ilmu silat kitab hijau yang dipela-
jarinya. Kesemuanya itu telah dicapai oleh Mahesa Wulung
dalam waktu yang singkat. Jika orang lain, pastilah
akan memakan waktu yang tidak kurang dari satu
tahun, atau mungkin pula sampai lebih dari satu
tahun. Sekarang Mahesa Wulung dapat menggerakkan
tubuhnya lebih leluasa. Kalau dahulu, setiap gerakan
melesat dan melenting ke udara ia harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh, kini hal itu tidak perlu
lagi. Jika ia ingin melesat ke udara atau kemana saja,
ia cukup menjejak tanah, maka tubuhnya akan mele-
sat dengan entengnya bagai selembar daun kering
yang terkena tiupan angin.
Saking asyiknya ia melatih ilmu silat kitab hijau
itu, tak terasa kalau matahari semakin bergeser ke
arah barat. Sejurus kemudian Mahesa Wulung ber-
henti menggembleng dirinya bila sinar matahari yang
jatuh ke ruangan goa itu telah condong ke barat.
Dari sekujur tubuhnya menetes-netes air keringat-
nya yang keluar dari lobang-lobang kulitnya. Badan-
nya terasa menjadi segar bagai disiram air embun.
Ketika mengingat-ingat jurus gerakan silat yang telah
dicapainya, ia tersentak kaget.
"Seratus sepuluh jurus!" guman Mahesa Wulung
setengah tak percaya. "Dan itu semua kukerjakan
tanpa menimbulkan rasa capai. Luar biasa. Oh,
sungguh beruntung aku dapat menemukan serta
mempelajari kitab ini. Dan secara tidak langsung aku
telah pula menjadi murid Landean Tunggal."
Mahesa Wulung mengamat-amati tubuhnya yang
kelihatan agak susut, tetapi urat-urat darah serta
otot tubuhnya lebih nampak menjadi kukuh tak
ubahnya akar tumbuh-tumbuhan yang semakin
dalam merasuk ke dalam tanah, menjadikan batang
tubuhnya semakin tegak perkasa.
Bila terasa kerinduannya akan langit yang biru
bening, ia pun melangkah perlahan-lahan ke mulut
goa untuk menatap langit yang mahaluas tak bertepi.
"Langit yang cerah tak berawan hujan. Hmm, ini
sudah sampai mangsa ke sanga. Begitu lama aku
telah mendekam di dalam goa ini. Bagaimana dengan
sahabat-sahabatku di Demak" Pasti mereka akan
merasa kehilangan aku di saat ini.
Mudah-mudahan Adi Pandan Arum dan Jagayuda
dapat berhasil merebut catatan rahasia panah Braja
Kencar dari tangan Rikma Rembyak.
Kalau aku telah mempunyai kewajiban menghan-
curkan Ki Topeng Reges, maka terhadap si Rikma
Rembyak muridnya itu, aku pun tak akan tinggal
diam. Ia harus diselesaikan juga, sebab menyisakan
benih-benih kejahatan akan sangat berbahaya
akibatnya."
Mahesa Wulung menatap tebing-tebing Jurang
Mati yang curam. Kalau semula ia merasa ngeri meli-
hat kecuraman itu, kini tidak lagi begitu. Malahan ia
merasa kagum melihat tebing-tebing curam itu. Batu-
batuan yang runcing dan berlekuk-lekuk bergemer-
lapan ditimpa sinar matahari amat indahnya.
Di depan mulut gua itu Mahesa Wulung kembali
mengheningkan cipta untuk melatih lagi ilmu silat-
nya. Gerakan yang pertama hanya pelan-pelan saja
kemudian jurus kedua dimulai disusul jurus ketiga,
keempat dan selanjutnya dengan beruntun serta
bertambah cepat.
Dengan satu loncatan indah, ia melambung dan
mendarat ke tebing curam di atasnya. Tap! Kedua
kakinya seolah-olah melekat pada tebing itu dan
kembali ia melesat lagi serta berulang kali mendarat
dan melenting ke udara.
Sepintas lalu ia seperti dapat berjalan pada tebing
yang terjal dan tegak. Gerakannya sangat mirip kelin-
cahan seekor kelabang. Berulang kali Mahesa Wulung
melenting-lenting di antara tebing-tebing Jurang Mati
dengan enaknya tanpa merasa kuatir sedikit pun
akan terjatuh ke dasar jurang. Kalau dahulu ia
memandang tempat ini sebagai sarang maut, kini
menjadi lain lagi. Tempat itu baginya merupakan ge-
langgang pembajaan diri, tak ubahnya Kawah Can-
dradimuka tempat menggodok dan menggembleng
Raden Gatutkaca di masa-masa mudanya.
Selagi Mahesa Wulung tengah enak-enaknya
berloncatan di antara tebing-tebing Jurang Mati, di
puncak tebing di sebelah atas terdengarlah benturan-
benturan senjata yang beradu. Suara itu tak urung
tertangkap oleh telinga Mahesa Wulung yang tajam
biarpun ia tengah berloncatan kesana-kemari.
Seketika ia menatap ke atas ke ujung tebing
jurang, dari mana suara benturan senjata itu terde-
ngar. Satu pemandangan yang mengagetkan hati
membuat Mahesa Wulung menghentikan latihannya.
Di atas sana terlihat tiga bayangan manusia yang
bertempur mengerubuti satu bayangan manusia lain
yang bertubuh ramping. Keempatnya bertempur de-
ngan hebat diselingi dengan teriakan-teriakan perang
yang melenting tinggi di udara.
Menyaksikan pertempuran itu, mau tak mau
Mahesa Wulung menaruh kagum, terutama kepada
bayangan manusia yang bertubuh ramping. Meski-
pun ketiga lawannya berusaha memojokkan dirinya
ke arah jurang, tetapi senantiasa ia berhasil lolos dari kepungan itu. Karuan
saja ketiga lawannya terpaksa
menahan gerakan tubuhnya. Kalau tidak, salah-salah
mereka sendiri yang bakal tercampak ke Jurang Mati.
Tergoncang dada Mahesa Wulung melihat baya-
ngan manusia ramping itu. Pastilah ia seorang wani-
ta. Rambutnya yang panjang tergerai bila ia melesat
kesana-kemari dalam menghindari setiap serangan
ketiga lawannya.
"Hah, siapakah gerangan dia" Jangan-jangan Adi
Pandan Arum sendiri?" desah Mahesa Wulung ikut
kecemasan melihat pertempuran di tepi jurang itu.
"Baik, aku akan ke atas sana melihatnya. Aku tak
senang melihat pertempuran yang main keroyokan,
apalagi dia seorang wanita!" gumamnya seraya me-
lesat ke tebing di sebelah barat. Setelah itu ia berloncatan dari batu ke batu,
menuju ke atas dengan
enaknya. Sementara itu, pertempuran di tepi jurang
bertambah ramai. Ketiga pengepung gadis itu, yang
seorang bersenjata pedang, sedang yang dua orang
bersenjata tombak. Rupanya gerakan si gadis cukup
tangguh sehingga sampai saat itu mereka belum
berhasil mengalahkannya. Mereka karuan saja makin
beringas melihat serangan mereka selalu gagal. Si
gadis yang bersenjatakan tongkat kayu itu mampu
memutar senjatanya bagaikan baling-baling yang
selalu menutup dirinya dari setiap jangkauan senjata
ketiga musuhnya. Melihat tongkat kayu itu, hati
Mahesa Wulung mau tak mau merasa tertarik akan
gadis itu. Ia merasa pernah melihat cara permainan
tongkat kayu itu serta jurus-jurusnya sekaligus.
Tetapi siapakah yang telah pernah menggunakannya"
"Hmm, ya, ya. Aku ingat sekarang. Panembahan
Tanah Putih dari Asemarang dan Pendekar Rikma
Rembyak. Dua tokoh sakti yang selama ini menggu-
nakan tongkat kayu sebagai senjata," pikir Mahesa
Wulung setengah berjingkrak. "Kalau begitu pasti
gadis itu ada hubungannya dengan salah satu tokoh
dari keduanya."
Habis berpikir, Mahesa Wulung mempercepat lon-
catan-loncatannya ke atas menuju ke gelanggang
pertempuran dan sekaligus mempersiapkan diri. Di
luar dugaan, saat itu pula si gadis dalam keadaan
makin terdesak oleh serangan-serangan dari ketiga
pengepungnya.
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah tebasan pedang berhasil dielakkannya
dengan loncatan ke udara, berbareng pula dua ujung
tombak lawannya yang lain siap menikam tubuhnya.
Tentu saja si gadis merasa terperanjat setengah mati
diserang seperti itu.
Maka dengan gerakan yang lincah ia secepat kilat
merubah gerakannya. Tubuhnya mendatar rata,
sehingga ketiga ujung senjata lawan hanya sempat
mengenai angin. Ternyata gerakan gadis ini dilaku-
kan secara tiba-tiba dan kurang sedikit cermat. Na-
mun itu bukan kesalahannya, sebab gerak naluriah
itu timbul demi keselamatan jiwanya yang terancam.
Akibat gerakannya yang menyerempet-nyerempet
bahaya itu, seketika keseimbangan tubuhnya hilang
dan gadis itu terhuyung ke arah Jurang Mati.
"Aahhh!" si gadis menjerit kecil ketika merasa bah-
wa tubuhnya terpelanting ke jurang, sedang ketiga
lawannya melihat gadis itu serentak terkekeh-kekeh
tertawa kesenangan.
"Ha, ha, ha, mati kowe!"
Tetapi mendadak ketawa mereka terbungkam se-
ketika bagaikan orong-orong terinjak, manakala dari
dalam jurang melesat bayangan tubuh manusia yang
secepat kilat menyambar pinggang si gadis, dan men-
daratkannya kembali di atas tanah.
Si gadis itu sendiri merasa terperanjat ketika
pinggangnya merasa disambar sebuah tangan yang
perkasa dan menyelamatkannya. Dengan cepat ia
menoleh ke samping dan mau tidak mau ia terpaksa
terpesona, bila orang yang menolongnya itu mempu-
nyai wajah yang tampan dan ramah serta seleret
kumis menghias bibirnya.
"Aah, siapakah Andika?" tanya si gadis.
"Tenanglah. Aku akan membelamu dari ketiga
orang itu," jawab Mahesa Wulung dengan manis.
"Heei, siapa kamu!" Kurang ajar! Mengapa kamu
turut campur dengan urusan kami, keparat"!" teriak
orang yang berpedang mengayunkan senjatanya
penuh kesombongan ke arah Mahesa Wulung. "Rupa-
nya kamu ingin merasakan pedangku ini, he"! Wah,
minggirlah sebelum kebacut mengukur tenaga dengan Dongkol!"
"Eh, kau melarangku turut campur dengan urusan
kalian" Rupanya kalian hanya berani bertempur
melawan seorang gadis, dan lagi kalian ternyata
golongan pengecut, sebab untuk melawan seorang
gadis saja, kalian masih mau mengeroyoknya!" ujar
Mahesa Wulung dengan tenangnya.
Bagai disambar geledek, telinga Dongkol serentak
merah membara demi mendengar ucapan Mahesa
Wulung. Selama hidupnya, baru kali inilah ia men-
dengar kata-kata dari mulut orang lain yang begitu
lancang berani merendahkan dirinya. Dongkol meng-
kerotkan giginya sambil merangsang Mahesa Wulung dengan putaran pedangnya ke
arah kepala lawannya.
Sampai saat itu Mahesa Wulung masih saja berdiri
tegak di samping si gadis, seolah-olah sebuah arca
batu yang menonton sebuah pameran permainan pe-
dang. Hal ini membuat Dongkol semakin takabur dan
dikiranya sang lawan terpesona melihat ilmu pedang-
nya. Maka tanpa menunda-nunda lagi Dongkol se-
cepat kilat menyerbu ke arah Mahesa Wulung.
Wessss! Pedang Dongkol telah membabat ke arah
kepala Mahesa Wulung, dengan kemantapan hati
yang bulat serta bayangan pikirannya, bahwa seben-
tar lagi kepala lawannya pasti akan terpenggal lalu
menggelundung ke tanah tanpa sesambat. Tetapi di saat pedangnya hampir menyentuh
leher lawannya,
ia terpaksa kaget, sebab Mahesa Wulung cuma meng-
geser kaki kanannya ke belakang serta memiringkan
kepalanya sedikit. Gerakan itu memang sederhana,
namun dilakukan dengan cepat hingga sukar diikuti
oleh pandangan mata yang lumrah.
Dongkol menjadi semakin mendongkol hatinya bila
pedangnya meleset dari sasarannya. Secepat kilat ia
mengulang serangannya kembali lebih hebat ke arah
Mahesa Wulung. Sayang, untuk yang kedua dan ketiga kali pun
serangannya senantiasa gagal, sebab setiap kali mata
pedangnya sudah hampir mengenai sasarannya, seti-
ap kali juga Mahesa Wulung cuma menggeser-geser
sebelah kakinya saja. Hal ini terasa sebagai suatu
ejekan luar biasa bagi Dongkol.
Jika saja ia mengetahui bahwa lawan yang kini
dihadapinya itu telah menggembleng diri dengan
kitab hijau dari Landean Tunggal, pastilah ia tidak
akan sembarangan dengan dia. Dan memanglah, ka-
lau orang lain saja merasa kagum terhadap gerakan-
nya, Mahesa Wulung pun merasa kagum sendiri pula
untuk setiap gerakannya. Terasa badannya mampu
lebih cepat dan tangkas dalam menghindari se-
rangan-serangan lawannya.
"Keparat, kau punya ilmu siluman!" umpat si
Dongkol dengan marahnya.
Begitu selesai ucapannya. Dongkol mendadak me-
ringis setengah menjerit. Sebab tahu-tahu tangannya
yang memegang pedang telah kena tangkap oleh
tangan kanan Mahesa Wulung sekaligus menghim-
pitnya laksana sepasang tanggem baja yang tengah mengunci.
"Hiyuuung aduh, duh! Hee, kalian berdua jangan
cuma ndomblong melihatku! Ayo cepat kau menyerangnya!" seru Dongkol sambil
mencucurkan keringat
dinginnya. "Hmm, kau tak perlu melolong-lolong minta tolong
kepada kedua koncomu. Baiknya kau saja kembali
kepada mereka! Haaet!!!" teriak Mahesa Wulung ber-
bareng tangannya menghentak ke samping.
Akibatnya tak ampun lagi, tubuh Dongkol terpe-
lanting deras ke arah kedua temannya yang bersen-
jata tombak dan di saat itu tengah bersiap-siap me-
nyerbu Mahesa Wulung.
Melihat kawannya melesat terpelanting ke arah
mereka, kedua orang itu menjadi geragapan seketika.
Betapa tidak" Mereka bersenjata tombak dengan
kedua ujungnya tertuju ke arah Mahesa Wulung,
sehingga sewaktu tubuh Dongkol melayang ke arah
mereka, maka terpaksalah kedua orang itu meng-
hindar jauh-jauh secepat kilat. Sedikit saja terlambat, pastilah tubuh si
Dongkol akan menghunjam tersate
pada tombak-tombak mereka.
Buuuk! Tubuh Dongkol terhempas ke tanah keras
sambil meringis mengerang-erang. Biar begitu, itu
masih terbilang untung kalau tubuhnya tidak remuk
redam, sebab sebenarnya dia pun termasuk golongan
jagoan, meskipun tingkat menengah saja.
"Setan alas! Kau menyombong kelewat batas di
depan hidungku! Sekarang terimalah permainan tom-
bak sepasang Jaya Yoga. Jebol dadamu kelakon!" seru kedua orang itu, lalu
menyerang dengan tikaman-tikaman tombaknya yang penuh hawa maut.
Bagaikan gulungan-gulungan badai yang ganas,
kedua mata tombak tersebut melibat tubuh Mahesa
Wulung bertubi-tubi dan untuk inipun Mahesa Wu-
lung selalu dapat menghindarinya dengan berlonca-
tan kesana-kemari, kadang-kadang berjumpalitan di
udara, tak ubahnya gerakan seekor kelabang.
Pada suatu saat dilihatnya sebuah pertahanan
lawannya yang lemah, maka disertai gerakan manis,
ia menerkam kepada salah seorang lawannya. Kedua
tangannya laksana dua cakar burung garuda yang
mengembang, kemudian menangkap tangkai tombak
di sebelah ujungnya.
Tap! Lawannya terpekik keheranan dengan hal itu, lalu
cepat-cepat memutar tangkai tombaknya agar tombak
itu dapat terlepas dari jari-jemari Mahesa Wulung. Di
luar dugaan Mahesa Wulung mengayunkan sisi
telapak tangannya ke atas tangkai tombak.
Kretak! Berbareng bunyi berderak memekakkan telinga,
tangkai tombak itu patah disusul oleh gerakan
tangan Mahesa Wulung yang menangkap bahu serta
pergelangan tangan orang itu.
Kontan saja ia berteriak kepada temannya,
"Kakang Yoga, bantu!"
Mendengar teriakan Jaya yang kini bergulat
dengan lawannya, secepat angin ia menyerbu ke arah
Mahesa Wulung. Mata tombaknya yang berkilat siap
menjebol tubuh lawan dari samping! Tanpa dinyana
di saat mata tombaknya hampir menghujam lambung
kanan Mahesa Wulung, pendekar ini bergerak jauh
lebih cepat seraya menggeser tubuh Jaya ke samping
sebagai perisai.
"Haaaaghh!" teriakan pendek terlontar dari mulut
Jaya sewaktu mata tombak Yoga menghujam pung-
gungnya diiringi darah segar mancur kemana-mana.
Melihat tombaknya telah memakan korban ter-
hadap temannya sendiri, karuan saja Yoga terpekik
kaget setengah ketakutan. Tangkai tombak yang
sekarang menancap ke punggung Jaya buru-buru
dilepaskannya. Setelah itu ia melesat ke arah Mahesa
Wulung, sekaligus mengirim pukulan ke arah lawan-
nya. Mahesa Wulung pun telah bersedia pula. Maka di
saat pukulan lawan meluncur ke arahnya, ia segera
memapakinya pula dengan kepalan tangan kanan-
nya. Blaaag! Pukulan tangan Yoga berbentur dengan kepalan
tangan Mahesa Wulung yang dirasanya seolah-olah
membentur dinding karang tebal.
"Aduh!" Yoga menjerit hebat sambil menarik
tangan kanannya kemudian dihembus-hembus de-
ngan mulutnya, persis orang yang mau mendingin-
kan kopi panasnya.
Memanglah tangan Yoga terasa panas dan sakit.
Rasa ini cepat menjalar ke atas dan bila sampai ke
kepalanya, seketika pandangan matanya nanar, dan
berputaranlah semua benda-benda di depan mata-
nya. Sejurus kemudian tubuhnya terjengkang ke
tanah pingsan. Di saat Mahesa Wulung telah merobohkan ketiga
lawannya, sebuah bayangan manusia melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tentu saja Mahesa Wulung
terkejut karenanya. Cekatan ia memburu ke arah
bayangan itu. Si gadis! Ya, gadis yang telah ditolong
itu berlari ke arah utara, tanpa berkata apa-apa.
Apakah maksudnya"
Dalam beberapa saat setelah kira-kira mereka
berkejaran sejauh dua puluh tombak, gadis itu kena
ditangkap oleh Mahesa Wulung. Tetapi agak malang
pula rasanya bagi si pengejar. Kakinya kena terantuk
oleh akar pohon dan tak ampun lagi keduanya
seketika jatuh bergulingan ke arah mata air yang
jernih airnya. Untunglah pula bagi si gadis, karena
Mahesa Wulung selalu melindungi kepalanya ketika
bergulingan ke tanah, sehingga tidak sampai ia
terluka terbentur batu-batuan.
Ketika keduanya terhenti bergulingan, si gadis
yang tubuhnya menindihi si pendekar seketika ter-
sipu-sipu dan bangkit, lalu duduk di tanah di
samping Mahesa Wulung.
"Maaf aku telah menyusahkan Andika," ujar si
gadis dengan melirik ke samping.
"Eh, tak apalah. Akulah yang seharusnya malah
meminta maaf, sebab Andika telah terjatuh karena
kurang hati-hatiku," ujar Mahesa Wulung. "Tapi
mengapakah tadi Andika telah lari"!"
Si gadis tak segera menjawab, ia kelihatan cemas,
dan ini membikin hati Mahesa Wulung semakin ingin
mengetahui tentang diri si gadis.
"Sebenarnya aku tak mengingini seseorang terlibat
dalam urusanku. Apalagi kalau ia mendapat susah
karena aku."
"Kalau aku bersedia menolong Andika, apakah
salahnya?" kata Mahesa Wulung ramah.
"Mmm, syukurlah kalau Anda berpikir demikian,"
ujar si gadis setengah tersenyum, membuat lesung
pada pipinya, menambah wajahnya yang manis itu
semakin menarik. "Sesudah berterima kasih kepada
Andika, perkenalkanlah diriku. Aku bernama Andini
Sari dari Pulau Mondoliko."
"Aku Mahesa Wulung dari Demak," kata Mahesa
Wulung. "Dan siapakah mereka itu?"
"Mungkin Anda terkejut kalau mendengar bahwa
sebenarnya orang-orang itu adalah sahabat-sahabat
ayahku sendiri," kata Andini Sari.
"Tapi mengapa mereka berusaha membunuh An-
dika?" bertanya Mahesa Wulung. "Mungkin Andika
telah bersalah."
"Ya, sebab aku telah lari meninggalkan ayahku
dari Pulau Mondoliko. Aku berselisih pendapat
dengan ayahku karena perbuatan-perbuatannya yang
tidak aku setujui, maka aku terpaksa lari dari-
padanya. Dan ketiga orang itu agaknya telah diperin-
tah oleh ayah untuk membunuhku atau menangkap-
ku hidup atau mati."
"Oh, agaknya ayahmu termasuk bilangan orang
yang kejam dan berkemauan keras!" sela Mahesa
Wulung. "Tepat! Andika tidak perlu heran dengan dia.
Bahkan akhir-akhir ini ia telah membunuh seorang
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empu terkenal dari Demak untuk merebut catatan
panah rahasianya yang bernama Braja Kencar!"
"Haaa" Jadi ayahmu yang membunuh Empu Bas-
kara dari Demak!" Kalau begitu kau adalah anak si
Rikma Rembyak!" tukas Mahesa Wulung geram.
"Heei, Andika telah mengenal nama ayahku"
Jangan-jangan Anda pun termasuk bilangan sahabat
ayah dan mau menangkap pula!"
"Persetan! Aku bukan sahabat ayahmu yang kejam
itu. Malah sebaliknya! Aku adalah musuh utama
pendekar gondrong itu," Mahesa Wulung berkata
setengah jengkel, karena dikatakan sahabat si Rikma
Rembyak. "Ayahmu harus menebus dosa-dosanya
karena pembunuhan itu!"
"Terserah atas pendapatmu itu. Tapi ayah pernah
bilang bahwa ia berbuat itu untuk menolong Empu
Baskara agar lebih cepat mati. Dengan begitu ia
terbebas dari deritanya."
"Oooh, agaknya Andika pun sependapat dengan
pendirian si Rikma Rembyak terhadap kematian Em-
pu Baskara"!" ujar Mahesa Wulung tajam.
"Cukup kata-kata Anda itu!" potong Andini Sari.
"Aku hanya mengatakan apa yang telah dikatakan
ayahku. Itu bukan berarti aku setuju dengan perbua-
tan-perbuatannya."
"Ternyata Andika pandai berkata-kata pula."
"Ya! Dan sama pula dengan kepandaianku untuk
bertempur melawan Anda!" Andini Sari menyindir.
"Tidak! Tidak! Aku tak bermaksud mengukur
tenaga melawan Andika," ujar Mahesa Wulung seraya
memperlihatkan raut mukanya yang membayangkan
kecemasan. Hal ini tentu saja membuat Andini Sari
semakin jengkel.
"Lekas, bersiap-siaplah menghadapi seranganku
ini. Melawan atau tidak, kau akan merasakan keman-
tapan pukulanku!" Andini Sari berkata serta lang-
sung mengirimkan pukulan tangan kanannya menim-
bulkan suara berdesing.
"Heei, Andika tidak bermaksud sungguh-sungguh,
bukan"!" seru Mahesa Wulung kaget dan bersiaga. Ia
cepat-cepat menyalurkan ajarannya Tugu Wasesa.
Duuk! Pukulan tangan Andini Sari bersarang ke dada
Mahesa Wulung dan terjadilah benturan cukup
keras. Mahesa Wulung tergetar sedikit ke belakang
dan ini membuat ia sibuk berpikir. Apakah gadis itu
memukul dengan kekuatan penuh atau hanya
dengan sebagian kecil tenaganya"
Sedang si gadis melihat lawannya tahan terhadap
pukulannya, tanpa banyak berpikir segera mengulang
serangannya kembali dengan satu pukulan deras
yang tak kalah hebat dengan pukulan pertama.
Untuk inipun Mahesa Wulung tak berusaha
mengelak, sebab ia juga mempunyai pikiran lain,
sampai di mana tenaga pukulan gadis ini"
Andini Sari terperanjat bila pukulannya yang
kedua pun tanpa membawa hasil. Dalam batin ia
terpaksa mengakui, bahwa lawannya ini mempunyai
ilmu yang lebih tinggi dari dirinya. Dan bila ia
menatap wajah Mahesa Wulung yang tersenyum-
senyum itu, hatinya jadi jengkel. Ia yakin dan merasa
dipermainkan oleh lawannya. Maka seketika wajah-
nya membara merah.
Bila sudah begitu, serentak bibirnya yang merah
basah itu tampak menjadi semakin merah membuat
hati Mahesa Wulung geragapan. "Andini Sari! Sudah!
Sudah! Hentikan pukulanmu. Aku terima kalah saja!"
"Tidak!" Andini Sari berseru. "Hiih, ini terimalah
lagi pukulanku!"
Kemudian pukulan ketiga pun mendarat di dada
Mahesa Wulung. Tetapi sekali lagi gadis ini terpesona
melihat sikap lawannya yang tak mau mengelak.
Hatinya menjadi bertambah jengkel separo kagum
terhadap Mahesa Wulung. Pukulan berikutnya me-
nyusul dan ketika lawannya masih saja tersenyum-
senyum, si gadis pun melayangkan pukulannya kem-
bali susul-menyusul dan lama-kelamaan bertambah
pelan dan semakin pelan, lalu gadis ini surut ke
belakang dari lawannya serta berpaling membelaka-
ngi Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung masih belum tahu dengan sikap
Andini Sari. Mendadak saja telinganya menangkap
isakan-isakan tangis yang kecil dan ternyatalah gadis
itu menutupkan tangannya ke muka, menangis.
Mahesa Wulung bingung seketika mendengar
isakan-isakan Andini Sari, maka ia segera mendekati
gadis itu. "Andini, Andini Sari, maaf aku telah membuatmu
sakit hati. Aku tak bermaksud demikian."
Si gadis yang mendengar ucapan lembut penuh
perasaan tulus itu, hatinya agak terhibur. Lebih-lebih
ketika terasa tangan sang pendekar mengusap pun-
daknya. Sesaat keduanya diam membisu, terbenam
dalam angan-angannya sendiri-sendiri.
Sekonyong-konyong kesenyapan itu dipecahkan
oleh satu bayangan yang melesat dari semak-belukar
yang rimbun, membuat Mahesa Wulung dan Andini
Sari terkejut. "Oooh, Kakang Mahesa Wulung!" seru bayangan
itu. "Syukur kau masih hidup, Kakang!"
Andini Sari yang mendekap Mahesa Wulung kare-
na kagetnya, demikian melihat siapa bayangan yang
muncul di depan mereka itu, cepat-cepat melepaskan
dekapannya. "Adi Pandan Arum!" seru Mahesa Wulung kaget
bercampur girang, karena gadis itu tiba-tiba muncul
di depannya. Sedang Andini Sari melihat gadis yang baru datang
itu membuat hatinya sibuk berkata-kata sendiri, "Oh
gadis itu. Keduanya nampak telah akrab. Mungkin ia
adalah tunangan Pendekar Mahesa Wulung ini. Biar-
lah aku berlalu saja dari tempat ini!"
"Nah, selamatlah kalian berdua. Selamat tinggal
dan sampai berjumpa lagi!" ujar Andini Sari sambil
meloncat meninggalkan tempat itu. Gerakannya
sangat cepat dan sebentar saja tubuhnya lenyap di
sebelah utara di sebuah jalan rintisan kecil di balik
batu terjal yang menjulang tinggi.
"Andini Sari tunggu!" teriak Mahesa Wulung, tapi
gadis itu tak menggubrisnya.
"Siapakah dia, Kakang Wulung?" ujar Pandan
Arum. "Dan itu tubuh-tubuh yang menggeletak di
sana?" "Gadis tadi adalah Andini Sari. Ia kutemukan
tengah bertempur melawan ketiga orang ini, Adi.
Demikianlah ia akhirnya kutolong dan ternyata
Andini Sari adalah puteri si Rikma Rembyak!"
"Haaa"! Putri pendekar gondrong itu" Hmmm,
cantik juga dia, ya, Kakang?" ujar Pandan Arum
sambil mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung,
membikin pendekar ini trataban hatinya.
"Betul katamu itu, Adik. Tapi Pandan Arum pun
tak kalah dengan dia."
"Ahh, Kakang Wulung ini. Sekarang aku ingin
mendengar lelakon Kakang, sampai dapat lolos dari Jurang Mati ini?" pinta Pandan
Arum. "Baik akan kuceritakan lelakonku pada Adi. Nah duduklah disini," ujar Mahesa
Wulung mempersilahkan Pandan Arum duduk di sebuah batu besar di
dekatnya. Lalu berceritalah ia mulai terjatuh ke jurang
kemudian menemukan goa serta berkelahi melawan
laba-laba raksasa, sampai akhirnya ia menemukan
kitab milik Landean Tunggal. Kesemuanya itu di-
dengar oleh Pandan Arum dengan penuh perhatian,
seakan-akan ia sendiri turut serta di dalam peristiwa
itu. Wajahnya tampak tegang ketika mendengarkan
pertempuran Mahesa Wulung melawan laba-laba
raksasa, dan juga ia merasa kasihan mendengar
kisah tentang Landean Tunggal serta kematiannya.
"Demikianlah kisah lelakonku ini, Adi Pandan.
Untunglah aku membawa cambuk Naga Geni ini.
Kalau saja tidak, mungkin sekarang ini kita tak akan
berjumpa lagi," kata Mahesa Wulung. "Dan sekarang
cobalah Adi Pandan berceritera tentang pengejaran
terhadap Rikma Rembyak. Dapatkah catatan panah
Braja Kencar itu berhasil engkau rebut daripadanya?"
"Ah, ketiwasan, Kakang Wulung! Pengejaran itu
gagal sama sekali. Jangankan merebut catatan,
sedang menyentuh tubuhnya saja tak berhasil. Rikma
Rembyak ternyata mempunyai ilmu lari yang hebat,
sehebat ilmu lari Sapi Angin," Pandan Arum berhenti
sejenak berceritera sambil menarik napas panjang
seperti hendak mengatasi rasa kesalnya. "Pengejaran
terus berjalan, namun tiba-tiba Rikma Rembyak
menyabetkan tongkat kayunya ke belakang, sehingga
mengenai Kakang Jagayuda yang kemudian terjatuh
ke tanah. Begitulah, maka pengejaran itupun gagal
dan Kakang Jagayuda terluka ringan untuk beberapa
saat." "Hmmm, memang hebat si Rikma Rembyak," de-
ngus Mahesa Wulung setengah mengepal-ngepalkan
tinjunya karena gemas.
"Sungguh berat penanggungan kita, Kakang. Aki-
bat dari kegagalan tugas kita itu, maka pimpinan
armada Demak telah mengambil satu keputusan,
bahwa kita harus merebut kembali catatan panah
rahasia Braja Kencar itu, dalam waktu tiga ratus
hari. Jika itupun gagal pula, maka pimpinan armada
Demak dengan sangat menyesal akan mencabut
kedudukan kita sebagai perwira dari armada Demak."
"Haaa"! Memecat kita dari armada Demak?" ulang
Mahesa Wulung dengan terkejut, dan sejenak ia
berdiam diri merenungi ceritera Pandan Arum tadi.
"Hehh, waktu tiga ratus hari cukup banyak, tetapi
apakah cukup lamanya untuk membekuk Ki Topeng
Reges dan Rikma Rembyak" Jika sampai dipecat dari
keperwiraan armada Demak, ahh, betapa maluku. Di
mana mukaku ini harus kusembunyikan?"
Merenungi nasib dirinya yang begitu malang itu,
Mahesa Wulung merasakan satu pergolakan dalam
rongga dadanya. Jiwa ksatrianya menggelegak timbul
karena mendapat tantangan yang begitu berat. Sekali
lagi ia lebih dalam memikirkan tugasnya yang gagal.
"Adi Pandan, aku mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan yang telah Adi berikan kepadaku,"
ujar Mahesa Wulung memecah kesunyian yang men-
cengkam. "Apakah Adik masih sanggup mendampi-
ngiku dalam tugas ini?"
Dalam beberapa saat Pandan Arum tidak segera
dapat mengucapkan sepatah kata pun, malahan ia
menundukkan kepalanya ke bawah. Kepalanya
dipenuhi oleh bayangan-bayangan akan peristiwa
masa yang lalu. Kalau saja ia tak dapat menekan
perasaannya, pastilah ia akan terisak-isak menangis.
Mungkinkah kegagalan tugas Mahesa Wulung itu
disebabkan oleh campur tangannya" Pertanyaan itu
berkali-kali timbul tanpa terjawab olehnya.
Akhirnya Pandan Arumpun berkata dengan nada
bergetar setelah sesaat bergulat dengan pikirannya
sendiri, "Kakang Mahesa Wulung, aku akan selalu
membantu Kakang dalam tugas yang seberat apapun.
Maka tugas ini akan kita selesaikan berdua. Bukan-
kah begitu, Kakang?"
"Yah, terima kasih Adi. Mudah-mudahan kali ini
bintang kita lebih cemerlang," kata Mahesa Wulung
dengan lega. "Kakang Wulung, aku kira lebih baik kita berang-
kat sekarang meninggalkan tempat ini," sambung
Pandan Arum. "Ke timur ini ada sebuah jalan yang
melingkari kaki Gunung Muria sebelah timur. Dan
disana menurut Kakang Jagayuda terdapat sebuah
rumah tua di dekat reruntuhan bekas candi yang
didiami oleh Ki Topeng Reges."
"Jadi di sanalah Ki Topeng Reges bercokol," desis
Mahesa Wulung pendek. Ia lalu teringat akan tempat
itu, yang oleh orang-orang di kaki timur Gunung
Muria dianggap sebagai tempat hantu dan dedemit
bersarang. "Nah, sebelum berangkat, biarlah aku
turun ke goa di bawah sana untuk mengambil kitab
hijau peninggalan Landean Tunggal."
"Silahkan, Kakang. Aku akan menunggumu di sini
saja," kata Pandan Arum sambil tersenyum manis,
tertuju kepada Mahesa Wulung.
Belum lagi ia selesai tersenyum, tiba-tiba dilihat-
nya Mahesa Wulung meloncat ke tebing Jurang Mati
serta dengan enaknya berloncatan turun ke bawah
tak ubahnya gerak seekor belalang. Karuan saja
hatinya berdebar setengah kagum melihat gerakan
Mahesa Wulung yang hebat itu dan sebentar saja
bayangan tubuhnya telah lenyap di bawah sana, di
kegelapan dasar Jurang Mati.
*** Mahesa Wulung sebentar saja telah tiba di mulut
goa. Sejenak ditatapnya tempat itu dengan rasa haru,
mengingat bahwa di sinilah ia dapat menggembleng
dirinya lebih matang, daripada yang sudah-sudah.
Tempat ini sebentar lagi akan ditinggalkannya.
Meskipun ia tidak lama tinggal di goa itu, namun
hatinya tidak akan melupakan sepanjang hidupnya.
Kemudian dengan langkah yang mantap ia
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki goa itu, serta langsung menuju ke ruang
tengah, tempat ia berlatih serta mempelajari kitab
hijau Landean Tunggal sehari-hari.
Kitab itu terletak di atas sebuah batu cincin ber-
alaskan tikar anyaman kasar dari daun ilalang yang
dibuat oleh Mahesa Wulung sendiri. Sesudah Mahesa
Wulung mengeluarkan selembar sapu tangan ber-
warna kuning dari ikat pinggangnya, kitab tersebut
dipungutnya serta dibungkus dengan rapi dan
kemudian dimasukkan ke dalam bajunya.
Mahesa Wulung selanjutnya melangkah ke ruang
sebelahnya tempat ia menanam kerangka Landean
Tunggal. Sekali lagi ia menatap timbunan batu itu,
sedang dalam batin ia mengenang serta berdoa untuk
Landean Tunggal yang telah tiada. Sesudah itu ia
cepat-cepat berjalan keluar, sebab ia tidak ingin
membuat Pandan Arum terlalu lama menunggu di
atas. Tiba-tiba di saat ia menginjak pintu ruangan itu,
didengarnya bunyi berdesir halus dari arah ruang
sebelahnya yang kegelapan. Biarpun bunyi itu hanya
lamat-lamat saja, tapi dapat ditangkap oleh telinga-
nya yang tajam! Mahesa Wulung buru-buru melekat
pada dinding goa.
Memang, di tempat gelap itu terlihat berkelebatnya
sesosok bayangan manusia yang amat cepat. Karuan
saja hati Mahesa Wulung berdesir hebat bukan main,
maka cepat-cepat ia merunduk dan mendekati
tempat itu. Tapi betapa kecewanya bila tiba di situ,
dilihatnya tak seorang pun tampak di tempat itu.
Mahesa Wulung tak sampai di situ saja penyelidi-
kannya, sebab ia yakin bahwa matanya telah benar-
benar menangkap gerakan tubuh manusia di sini.
Segera ia berjongkok serta meraba-raba lantai goa itu
dengan jari-jari tangannya. Sesaat kemudian ia
menggumam. "Jah! Tak keliru lagi. Ini adalah jejak-jejak baru
dari kaki manusia. Tapi kemana dia berada?"
Selagi ia bertanya-tanya di dalam hatinya, tiba-tiba
saja ia dikejutkan oleh suara orang tertawa lunak.
Perlahan-lahan sekali suara itu, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Ketawa
yang lunak itu membuat darahnya berdesir lebih hebat.
Berkat pemusatan inderanya yang sempurna, da-
patlah ia mengetahui sumber dari suara ketawa yang
lunak tadi kira-kira di arah belakangnya. Oleh sebab
itu ia cepat meloncat membalikkan diri serta bersiaga
penuh. Dan kemudian alangkah terkejutnya bila di
hadapannya berdiri sesosok tubuh manusia yang
berada di tempat kegelapan.
"Maaf Kisanak, kalau aku telah membuatmu
kaget," terdengar suara lunak dari orang itu.
Mahesa Wulung tak segera menjawab, kecuali ia
mengawasi orang itu dengan seksama dari ujung jari
kakinya sampai ke ujung rambut kepalanya. Tubuh
orang itu mempunyai potongan yang tegap perkasa.
Sayangnya, wajahnya kurang jelas, karena ia berdiri
di tempat gelap.
"Kisanak, apa maksudmu datang kemari?" berta-
nya Mahesa Wulung setengah curiga.
"Aku tak sengaja datang ke tempat ini," orang itu
berkata. "Dan tidak tahu bahwa Kisanak tinggal di
tempat ini. Maka Andika tak perlu gusar bila bertemu
aku di sini. Tak apa-apa. Aku adalah orang kabur
kanginan tak bernama. Nah, sekarang biarlah aku berlalu dari tempat ini."
"Tunggu dahulu! Kisanak harus menyebutkan
namamu dulu sebelum berlalu dari tempat ini,"
Mahesa Wulung berkata dengan mantap.
"Tidak! Aku sudah berkata kalau aku tanpa
nama," desis orang itu. "Tak seorang pun berhak
memaksaku menuruti kehendaknya!"
"Hmmm, kalau bandel, akulah yang akan memak-
samu," balas Mahesa Wulung membuat orang itu
menggeram, tapi kemudian orang tersebut tertawa
lunak. "Heh, heh, heh, jangan coba menakut-nakuti aku.
Rupanya dengan gertak sambalmu itu, kau bermak-
sud menutupi kegentaranmu. Suaramu tadi gemetar,
Kisanak. Heh, heh, heh," sekali lagi orang itu tertawa
lunak. Bagi Mahesa Wulung, kata-kata orang itu terasa
sebagai sambaran petir di telinganya.
"Kurang ajar. Kau menghinaku kelewat batas,
Kisanak! Hanya saja aku ingin tahu apa kata-katamu
itu seimbang dengan tenaga serta keperwiraanmu?"
"Heh, heh, heh, apakah Andika bermaksud
menantangku?" ujar orang itu tenang-tenang.
"Menantang, sih tidak. Hanya ingin aku mencicipi
keperwiraanmu!" kata Mahesa Wulung.
"Bagus, bagus! Sekarang terimalah salam perkena-
lanku!" seru orang itu dengan menggeram mengirim-
kan pukulannya ke arah Mahesa Wulung.
Untungnya Mahesa Wulung cepat-cepat sudah ber-
tindak, begitu lawannya itu melancarkan serangan-
nya, begitu pula ia memiringkan tubuhnya menghin-
dar. Wusss! Angin pukulan lawan berdesau nyaring.
Cukup bagi Mahesa Wulung untuk mengukur sampai
di mana kekuatan lawan.
Begitu ia berhasil menghindari serangan itu, ganti
Mahesa Wulunglah yang melancarkan pukulan dah-
syatnya. "Hyaat!"
Namun alangkah terkejutnya, kalau lawannya itu
untuk menghindari serangannya telah membuat satu
gerakan yang membuatnya berdesir hati. Lawannya
tadi telah meloncat mundur sambil berjongkok,
sehingga dirinya terbebas sama sekali dari pukulan
tangan Mahesa Wulung.
Melihat lawannya lolos, ia tak tinggal diam. Segera
dikejarnya orang itu dengan serangannya yang bergu-
lung-gulung laksana ombak badai siap menghempas-
kan setiap perintang.
Demikianlah, maka keduanya tenggelam dalam
perkelahian hebat di ruangan goa yang cukup luas
itu. Terkadang keduanya sambar-menyambar di uda-
ra laksana dua ekor rajawali yang tengah berlaga dan
sebentar lagi berubah seperti dua ekor banteng yang
ketaton saling mengukur tenaga
Mahesa Wulung yang sekarang bukan Mahesa
Wulung yang dahulu. Berkat ilmu kitab hijau warisan
dari Landean Tunggal itu, telah membajakan dirinya
menjadi manusia yang kuat jasmani dan rohaninya.
Tubuhnya bergerak bagaikan bayangan yang melon-
cat kesana-kemari, ringan seringan daun kering serta
lincah dalam menghindari setiap serangan lawan.
Rupanya lawannya itupun bukanlah orang yang
sembarangan. Ia pun mampu bergerak selincah anak
kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput
hijau. Bahkan sambil berloncatan kesana-kemari itu,
lawan Mahesa Wulung tak lupa mengeluarkan suara
ketawa yang lunak.
Pertempuran berjalan semakin seru, keduanya
belum ada tanda-tanda akan kekurangan tenaga.
Sesudah berjalan puluhan jurus, kedua pendekar itu
menghentikan pertempurannya sejenak. Keduanya
masing-masing mengatur nafasnya. Lawan Mahesa
Wulung rupa-rupanya ingin cepat-cepat menyelesai-
kan pertempuran ini, karena tiba-tiba saja ia meraba
hulu kerisnya dan menghunusnya sekali.
Mahesa Wulung pun tak tinggal diam, bila melihat
lawannya menghunus senjata. Maka cepat-cepat ia
melolos cambuknya dari ikat pinggang.
"Kiai Naga Geni!" desis lawan Mahesa Wulung serta
surut ke belakang menatapi cambuk pusaka yang
mengeluarkan sinar biru kehijauan.
"Hah, Kiai Sangkelat"!" seru Mahesa Wulung lirih
ketika keris di tangan lawan itu mengeluarkan sinar
buram seperti bara api.
Kedua pendekar itu sesaat termangu-mangu.
Masing-masing telah menggenggam senjata pusaka
yang ampuh. Meskipun Mahesa Wulung belum me-
ngenal siapa yang menjadi lawannya itu, tapi ia
Misteri Pulau Neraka 4 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Bukit Pemakan Manusia 17