Diburu Topeng Reges 2
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges Bagian 2
sudah dapat menebak kalau orang itu juga orang dari
lingkungan istana Demak. Sebab keris Sangkelat
termasuk pula pusaka ampuh dari Demak. Keris itu
yang dibuat oleh Empu Supa dari Sedayu terkenal
ampuh luar biasa. Sedangkan orang itu yang melihat
pusaka cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung
juga merasa kagum rupanya dengan senjata lawan-
nya. "Hmm, kita masing-masing memiliki pusaka-pusa-
ka dahsyat. Nah, aku usulkan kepada Kisanak agar
kita menyimpan kembali senjata kita masing-masing.
Marilah pertempuran ini kita lanjutkan tanpa meng-
gunakan senjata-senjata pusaka kita"!" terdengar
orang itu berkata dengan tenangnya sambil menya-
rungkan kembali kerisnya.
"Baik, aku pun sependapat!" Jawab Mahesa Wu-
lung serta mengikatkan kembali cambuk Naga Geni
ke ikat pinggangnya.
Setelah itu bergetarlah kembali udara goa itu oleh
pertempuran kedua pendekar gemblengan. Keduanya
terlibat dalam lingkaran pertempuran hebat. Batu-
batu kerikil serta debu berhamburan kesana-kemari
seperti diaduk oleh angin puyuh, sehingga perang
tanding itu merupakan perang tanding yang dahsyat.
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Wulung melihat
lawannya mengambil sikap pukulan maut dengan
menekuk kaki kirinya ke depan. Oleh sebab itu iapun
tak akan tinggal diam begitu saja menghadapi aji
pukulan lawannya yang mungkin amat dahsyat.
Maka Mahesa Wulung pun mengerahkan segenap ke-
kuatan lahir batin yang disalurkan lewat sisi telapak
tangannya, untuk menurunkan aji pukulannya
'Lebur Waja'. Sejurus kemudian kedua pendekar itu saling
berloncatan menyerbu dan satu letupan menggelegar
memekakkan telinga terdengar memenuhi ruangan
goa, apabila kedua aji pukulan maut itu saling
berbenturan satu dengan yang lain.
Begitulah bila benturan itu terjadi, akibatnya
cukup hebat. Kedua pendekar itu masing-masing
terpental surut ke belakang beberapa langkah untuk
kemudian jatuh terduduk dengan tubuh yang lemas
bagai dilolosi otot dagingnya, sementara dada-dada
mereka terasa sesak bagai terhimpit oleh timbunan
bongkah-bongkah batu.
Keduanya saling mengamati dengan teliti, tapi
Mahesa Wulung masih belum mengenal dengan jelas
akan wajah lawannya, kecuali hanya remang-remang
saja. Sayang, kegelapan ruangan goa itulah yang
menghalang-halangi Mahesa Wulung untuk mengenal
wajah orang itu lebih lanjut. Namun dari pantulan-
pantulan sinar matahari di luar goa dapatlah Mahesa
Wulung mengenali perawakan lawan serta guratan-
guratan wajahnya yang menunjukkan ketampanan.
Hati Mahesa Wulung terpaksa bergetar ketika
merasakan kedahsyatan pukulan dari lawannya yang
berkekuatan luar biasa.
"Aji Lembu Sekilan!" desisnya gemetar.
Tapi lawannya itupun bergumam keheranan,
"Hmmm, aji Lebur Waja dari Asemarang yang cukup
sempurna! Untunglah aku mempunyai Lembu Seki-
lan. Kalau tidak, pastilah tubuhku terbakar hangus
atau remuk!"
Sesaat kedua orang itu terdiam seolah-olah tengah
merenung serta merasakan akibat benturannya dua
ilmu dahsyat. Masing-masing diam membisu tapi
sibuk pula mengatur pernafasannya yang sesak.
Selagi Mahesa Wulung masih mengatur pernafasan
serta melenyapkan rasa nyeri pada rongga dadanya,
tiba-tiba saja lawannya itu telah bangkit lebih dahulu
dari duduknya. Hal ini membuat Mahesa Wulung
terpaksa keheranan setengah kagum melihat daya
tahan lawannya yang begitu hebat.
Orang itu sambil berdiri masih tak ketinggalan
memperdengarkan ketawa lunaknya sambil berkata
pelan, "Heh, heh, heh, Andika cukup hebat mengua-
sai ilmu pukulan Lebur Waja. Terus terang aku
merasa kagum dan terimalah salamku. Aku yakin
Andika akan berhasil menyelesaikan tugas-tugas
Anda." "Terima kasih atas pujian Kisanak. Tapi kenyata-
annya Kisanak lebih hebat daripadaku. Aku pun
mengagumimu," ujar Mahesa Wulung yang masih
duduk di lantai goa. "Tapi siapakah Kisanak dan
mengapakah Kisanak dapat mengenal ilmu pukulan
si Lebur Waja?"
"Heh, heh, heh, Andika tak perlu heran. Aku
memang suka mengembara dan muncul di tempat-
tempat yang tak terduga, seperti yang Andika saksi-
kan sekarang ini." Terdengar kata-kata orang itu
halus dan ramah. "Biarlah untuk sementara Andika
tidak perlu mengenal namaku dulu. Lain kali pastilah
kita akan bertemu pula."
Orang itu kemudian melangkah keluar dari ruang-
an itu dan berjalan ke arah relung-relung terowongan
goa yang lebih dalam dan gelap. Tapi kata-katanya
masih terdengar lagi oleh telinga Mahesa Wulung.
"Nah, selamat tinggal Andika. Sampai bertemu lain
waktu." "Terima kasih, Kisanak," sahut Mahesa Wulung
pelan. Kembali ia menebak-nebak. Siapakah orang itu
yang begitu hebat mempunyai daya tahan serta
keperwiraan dengan tingkatan sempurna" Tiba-tiba
sebuah percikan pikiran timbul, jika ia mengingat
kembali aji pukulan Lembu Sekilan serta keris Sang-
kelat yang dipakai oleh lawannya.
"Hhhhh, apakah dia" Ooooh tak mungkin. Tapi
mungkin pula dia! Ya, jika tidak keliru dialah Mas
Karebet si Jaka Tingkir dari Demak. Hanya dialah
yang mempunyai ilmu serta pusaka itu dan hanya dia
pulalah yang sanggup meloncat mundur sambil
berjongkok."
Bila dadanya sudah tidak merasa sakit serta nafas-
nya telah lancar kembali, Mahesa Wulung cepat-cepat
berdiri. Tampak olehnya tempat sekeliling yang
penuh batu-batu berserakan akibat pertempurannya
melawan pendekar tanpa nama itu.
Sesudah mengibas-kibaskan debu dari pakaian-
nya, ia segera melangkah keluar menuju ke arah
mulut goa tempat ia masuk semula. Dan dengan
sekali menggenjotkan kakinya ke tanah, Mahesa
Wulung segera berlentingan meloncat-loncat di tebing
jurang menuju ke atas.
Kedatangannya segera disambut oleh Pandan
Arum dengan wajah kecemasan.
"Ooh mengapa begitu lama mengambil kitab itu,
Kakang" Aku sudah sangat kuatir jangan-jangan
Kakang dicegat pula oleh laba-laba raksasa."
Mendengar kata-kata Pandan Arum itu, ia cuma
tersenyum manis. Ia sengaja tidak akan menceri-
takan pertemuannya dengan pendekar asing itu.
"Tidak, Adi. Tak ada lagi laba-laba raksasa. Yang
ada sekarang cuma bunga pandan yang cantik di
hadapanku," kelakar Mahesa Wulung.
Pandan Arum sedikit tersipu-sipu mendengar puji-
an dari mulut Mahesa Wulung.
"Idih, cantik mana dengan temanmu tadi, si Andini
Sari?" Begitulah kalau sepasang muda taruna bersenda
gurau. Pengalaman-pengalaman pahit serta kesusah-
annya sesaat terhibur dan hilang dari benaknya.
Keduanya adalah pendekar-pendekar muda penuh
harapan di masa datang. Maka biarpun mereka
menghadapi bahaya yang sebesar apapun, mereka
akan senantiasa berhati besar menghadapinya.
Memang begitulah seharusnya manusia dalam meng-
hadapi persoalan yang besar dan rumit, yang boleh
jadi akan dijumpai dalam hidup atau kejadian sehari-
hari. Ia tak boleh berputus asa sebelum betul-betul
berjuang menghadapi persoalan itu. Dan yang
penting, manusia tak boleh lupa kepada Maha Pengu-
asa Alam, Allah Yang Maha Besar. Untuk setiap hari,
setiap tahun dan bahkan sepanjang kehidupan ma-
nusia, ia harus berjuang, bertawakal serta memohon
kepadaNya agar damai dan tenteramlah di dunia ini.
*** 4 Malam telah merajai semesta alam dan kehidupan
siang telah berganti dengan kehidupan malam. Bunyi
daun yang bergesekan di kelebatan hutan lereng
Gunung Muria sangat menyeramkan bulu roma, tak
ubahnya suara rintihan setan-setan.
Di sebuah rumah tua di dekat reruntuhan sebuah
candi terlihatlah tiga orang duduk-duduk mengelilingi
sebuah dian minyak yang sebentar-sebentar apinya
bergoyang-goyang terkena angin.
"Nah, bagaimana dengan tugas kalian," bertanya
seorang yang berwajah kaku seperti tengkorak hidup
dan berambut panjang.
"Telah berjalan sesuai dengan perintah, Kiai,"
jawab seorang yang berambut pendek dengan tiga
bundaran bekas luka di kepalanya.
"Dan sebentar lagi emas-emas itu pasti akan
pindah ke kantong kita, Kiai," sela si orang ketiga
yang berhidung besar dan bergigi besar-besar.
"Hus, belum-belum sudah mimpi!" bentak si ram-
but pendek. "Kita lebih dulu harus berhadapan
dengan satu kelompok prajurit berkuda!"
"Jaramala dan Pelang Telu! Coba kau ceriterakan
selengkapnya apa-apa yang telah kalian kerjakan!"
potong orang berwajah hantu yang tidak lain adalah
Ki Topeng Reges. "Nah, Jaramala ceritakanlah!"
"Baik, Kiai. Mula-mula kami menyamar ke Demak
dan kami mulai menyelidiki tentang kiriman emas
itu. Dua hari lagi, sepasukan berkuda akan lewat
dengan membawa seperti uang emas serta perhiasan
dari Gresik. Setelah berhasil kami mengetahui hal itu,
kamipun segera pulang, Kiai," Jaramala menyelesai-
kan ceriteranya dengan menundukkan kepala,
seolah-olah takut memandang wajah hantu gurunya.
"Hua, ha, ha, ha, bagus kowe! Pancen kalian murid-murid yang setia dan pintar!"
seru Topeng Reges tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ter-
guncang-guncang. Begitu kuat tenaga dalamnya
sampai-sampai genting-genting atap berderekan
sedang dian api di meja pendek itu menjadi keder
apinya. "Kalian boleh berangkat besok pagi dan bawa-
lah beberapa orang kawan yang perlu. Bunuh semua
prajurit Demak yang mengawalnya, kemudian ram-
pas emas itu."
Ki Topeng Reges berhenti sejenak serta meman-
dangi kedua muridnya. "Emas itu akan kita gunakan
untuk menyusun kekuatan melawan Demak."
"Kami sudah mengerti, Kiai. Dan emas itu pasti
akan pindah ke tangan kita segera!" sahut Pelang
Telu mantap. "Biar mereka rasakan sepak terjang
murid-murid Ki Topeng Reges dari Watu Semplak."
"Hmmm, begitulah harapanku kepada kalian
berdua, sebab toh kalian juga yang akhirnya harus
meneruskan Perguruan Netra Dahana ini!" ujar Ki
Topang Reges. Kemudian ia berhenti sejenak mere-
nungi halaman yang terang-benderang bermandi
sinar bulan. Dari kejauhan terdengar raungan anjing-anjing liar
yang mengumandang di lereng timur Gunung Muria.
Terkadang bersahut-sahutan dengan raungan dari
arah lain, sehingga keseraman hutan itu bertambah-
tambah. Suara binatang-binatang malam lainnya pun tak
kalah seramnya. Ocehan burung hantu serta gangsir
dan jengkerik atau sebentar-sebentar dering orong-
orong melengkapi irama keramaian malam purnama
itu. "Dengarlah raungan serigala-serigala itu yang me-
nyambut sinar bulan purnama," Ki Topeng Reges
berkata. "Sekarang marilah kita berlatih silat untuk
menghadapi tugas kalian besok pagi!"
"Baik, Kiai," ujar Jaramala dan Pelang Telu berba-
reng. Kemudian ketiga orang itu melangkah keluar
menuju ke halaman rumah yang merupakan padang
alang-alang dikelilingi oleh pohon-pohon sawo dan
beringin berdaun lebat.
Bunyi dering orong-orong gangsir dan jengkerik
terbisu seketika bila di halaman itu telah dipenuhi
oleh sambaran-sambaran serta deru-deru pukulan
dari ketiga orang itu. Ketiganya bergerak dan ber-
tempur amat cepat hingga yang nampak hanyalah
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelebatan
seperti hantu malam berebut mangsa, diseling oleh
jerit-jerit bersemangat dan pekikan-pekikan berlaga
menambah ketiganya makin seru mengadu tenaga.
"Heeaat!" teriak Pelang Telu menyabet Ki Topeng
Reges dengan sisi telapak tangannya yang sekeras
batu karang ke arah kepala Ki Topeng Reges.
Si wajah hantu merunduk sambil berseru lantang,
"Tidak kena! Hee, Pelang Telu, kau kurang cermat!
Lihat nih, pertahananmu lowong!"
Ki Topeng Reges yang memperingatkan Pelang Telu
itupun sambil mencablek muridnya dengan ujung jari tangannya, namun hal itu
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa oleh Pelang Telu
bagai sengatan puluhan kalajengking yang nyeri sam-
pai ke ujung ubun-ubun.
Sementara itu sebuah bayangan berkelebat menye-
rang si wajah hantu dengan tendangan melayang di
udara menyambar kepalanya. Ki Topeng Reges cukup
waspada dan menyambut tendangan itu dengan
kedua telapak tangannya menahan serangan.
Buuk! Kaki Jaramala yang menyambar itu membentur
telapak tangan gurunya dan seketika ia terpelanting
ke belakang putar balik.
Untunglah ia termasuk murid pilihan dari Ki To-
peng Reges, pendekar hitam berwajah hantu. Maka
begitu ia terpelanting, segera ia mengerahkan tenaga
dalamnya dan mendarat di atas tanah dengan kedua
belah kakinya lebih dulu.
"Kau cukup baik!" teriak Ki Topeng Reges.
Jaramala dan Pelang Telu yang merasa gagal
serangannya, cepat-cepat bersiaga dan menyerang
berbareng ke arah Ki Topeng Rages dengan pukulan
tangannya dengan cepat.
"Hyaat!" Ki Topeng Reges berteriak dan tubuhnya
melesat ke udara, maka sebelum kedua pukulan itu
mengenai sasarannya, si sasaran telah menghindar
ke atas lebih dulu.
Kedua murid itu tidak putus asa, dengan cepat
mereka menyerang kembali ke arah gurunya selagi Ki
Topeng Reges masih mengambang di udara. Namun
betapa kagumnya mereka bila Ki Topeng Reges masih
bisa menghindar dengan melesat lebih tinggi lagi dan
tahu-tahu ia telah nongkrong di atas sebuah cabang
pohon beringin.
"Nah, sekarang hati-hatilah kalian!" seru Ki Topeng
Reges sambil melesat turun ke bawah dengan kedua
tangannya mengembang. Tubuhnya merupakan sinar
yang berkelebat dan tahu-tahu Jaramala dan Pelang
Telu terkena totokan jari-jari Ki Topeng Reges.
Keduanya seketika terjengkang ke tanah dengan
meringis menahan sakit.
"Hua, ha, ha, ha. Jangan kuatir, anak-anak. Nih,
kusembuhkan rasa sakitmu," ujar sang guru sambil
mengurut punggung kedua muridnya dan keduanya
segera sembuh kembali.
Setelah memberi petunjuk-petunjuk, Ki Topeng
Reges dengan kedua muridnya itu kembali melanjut-
kan latihannya. Ketiganya bertempur kembali dengan
dahsyat, seolah-olah bukan latihan lagi, tetapi ber-
tempur sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan sampai tengah malam meng-
habiskan puluhan jurus. Kalau kedua muridnya itu
telah mengucurkan keringat dinginnya, Ki Topeng
Reges sendiri malah sebaliknya, ia nampak semakin
segar dan beringas.
Akhirnya setelah Ki Topeng Reges merasa puas
dengan kedua muridnya, maka latihan itupun disu-
dahi. Diam-diam si wajah hantu itu memuji kedua
muridnya dan yakinlah kalau Jaramala dan Pelang
Telu akan bisa menyelesaikan serta membereskan
sekelompok pasukan berkuda dari Demak serta
merebut emas itu.
Ketiganya masuk kembali ke dalam rumah dan Ki
Topeng Reges menuangkan sebuah belanga kecil ke
atas tiga pinggan tembikar. Sebuah cairan hijau
kecoklatan mengalir ke atas pinggan itu sampai
penuh. "Nah, Jaramala dan Pelang Telu. Ayo kita minum
jamu ini agar badan kita segar kembali," ujar Ki
Topeng Reges mempersilahkan kedua muridnya.
Ketiganya berbareng mengambil pinggan berisi
jamu itu. Ki Topeng Reges sambil mengangkat
pinggan itu, ia melangkah ke jendela dan setengah
menguakkan topengnya sedikit, ia meminum jamu
itu. Perbuatan Ki Topeng Reges itu tidak begitu meng-
herankan bagi Jaramala dan Pelang Telu, sebab mes-
kipun mereka belum pernah mengenal wajah di balik
topeng seram itu, mereka sudah puas menjadi murid
Ki Topeng Reges. Bagi mereka tidak peduli seandai-
nya wajah asli gurunya itu tampan ataupun jelek.
Dan memang murid-murid Ki Topeng Reges itu tak
ada yang berani mencoba menatap wajah hantu gu-
runya. Malam makin bertambah larut dan bulan lebih
jauh bergeser ke arah barat mendekati cakrawala,
seperti seorang putri yang berjalan kelelahan menuju
ke tempat peraduannya untuk melepaskan lelah.
"Kiai, apakah kami diperbolehkan tidur sekarang?"
kata Jaramala memecah keheningan.
"Eeeh, ya, ya, aku lupa. Baiklah, kalian boleh
beristirahat sekarang!" jawab Ki Topeng Reges.
Setelah sesaat kedua muridnya itu pergi, Ki Topeng
Reges melangkah ke kamarnya untuk beristirahat
pula. Matanya yang cekung tajam itu masih menatap
sebuah kotak kayu berukir di dekat balai-balai.
Sambil merebahkan diri, kotak kayu itu diraih
serta dibukanya dan tampaklah lembaran-lembaran
kertas serta sebuah lopian, kaca bulat yang biasa digunakan untuk berkaca dan
berhias. "Hmmm, sayang sekali bahwa aku hanya sempat
memiliki beberapa lembar halaman kitab hijau milik
Landean Tunggal. Namun inipun sudah merupakan
puncak dari ilmu kitab hijau itu. Dengan hanya
beberapa lembar saja, terlahirlah ilmu Netra Dahana
yang dahsyat. Selama orang lain tak membaca hala-
man-halaman ini, tak seorang pun akan berhasil
mengalahkan aku," Ki Topeng Reges berkata-kata
sendiri di dalam hatinya sambil membuka lembaran-
lembaran kertas itu serta lopian kaca yang diamat-
amatinya. "Dan kaca bulat ini yang nampaknya
sepele, sesungguhnya merupakan senjata ampuh,
tapi juga merupakan benda yang berbahaya bagi ilmu
Netra Dahana. Hhh, tak perlu ada yang kukuatirkan
memasuki kamarku ini. Bahkan murid-muridku pun
tidak berani, sebab kamar ini penuh rahasia serta
maut bagi setiap orang, kecuali aku sendiri Ki Topeng
Reges!" Ki Topeng Reges kemudian kembali menyimpan
kedua benda yang amat berharga itu ke dalam peti
kayu berukir. Matanya terasa berat dan lelah. Kemu-
dian si wajah hantu itupun merebahkan dirinya ke
balai-balai. Di luar, dua orang murid Ki Topeng Reges yang
lain tampak menjaga rumah itu. Mereka duduk-
duduk di halaman depan. Tapi sebetulnya merekapun
tak perlu takut sebab tempat itu terkenal sebagai
sarang setan dan demit, hingga tak seorang luarpun
berani menginjak Watu Semplak, pusat Perguruan
Netra Dahana di lereng timur Gunung Muria.
*** Burung-burung murai berkicau menyambut sinar
matahari pagi di sebuah jalan yang membujur di
selatan Gunung Muria. Sebuah jalan yang sering
dilalui oleh lalu lintas orang. Gerobak-gerobak sapi
dan pasukan-pasukan peronda dari Demak. Jalan itu
hampir membujur di sepanjang pantai utara Jawa,
sehingga hubungan antara Demak sampai ke barat,
daerah Cirebon, dan ke timur sampai bandar Gresik
menjadi sangat lancar.
Seiring tercampaknya sinar-sinar matahari pagi,
dari arah timur muncullah pasukan-pasukan ber-
kuda sebanyak satu kelompok. Yang terdepan dua
orang, berperawakan kekar memakai baju kutang tak
berlengan berikat kepala merah. Di belakangnya,
seorang berkuda menggandeng seekor kuda beban
bermuatan sebuah peti kayu dengan hiasan logam
berukir. Sedang di belakangnya lagi masih terdapat
enam orang berkuda bersenjata tombak.
"Adimas Aldaka, lihatlah di sebelah utara itu. Gu-
nung Muria bermandi sinar matahari. Dan puncak-
nya tampak jelas, seolah-olah terlalu dekat untuk
dicapai dengan tangan kita," ujar seorang berkuda
paling depan kepada temannya di sebelah.
"Ah, kau ini ada-ada saja, Kangmas Gajah Sela,"
sahut teman di sebelahnya. "Sebagai pemimpin pasu-
kan ini, hal itu mungkin bisa kau lakukan. Tetapi
kalau saya hanya mampu memegang puncak gu-
nungan wayang kulit itu saja, Kangmas."
Oleh jawaban temannya yang bernama Aldaka itu,
Gajah Sela serentak tertawa terkekeh-kekeh geli.
"Hi, hi, hi, kau punya bakat membanyol, Adimas
Aldaka. Pantaslah kalau Dimas menjadi anggota
dagelan dan pasti orang-orang akan kaku perutnya
mendengar leluconmu."
Aldaka juga ikut tertawa, kemudian pula disusul
oleh ketujuh orang di belakangnya, ketika mereka
mendengar percakapan antara pemimpin pasukan
dan wakilnya. Karena kelucuan Aldaka, perjalanan mereka
menjadi selalu segar, sehingga jarak yang melelahkan
dari Gresik menuju ke Demak terasa lebih dekat.
Pasukan berkuda itu terus menempuh perjalanan
menuju ke arah barat melewati jalan yang dinaungi
oleh pohon-pohon kenari dan munggur.
Meskipun dalam perjalanan itu Aldaka yang ber-
tubuh kekar tapi sedikit gemuk senantiasa membuat
suasana segar dengan dagelan-dagelannya, namun
matanya yang setajam elang itu selalu mengawasi
jalan di mukanya serta menembusi kelebatan semak
belukar di sekeliling jalan.
Demikian pula dengan si Gajah Sela yang ber-
tubuh tinggi dan kekar. Matanya yang bulat itupun
sibuk mengawasi jalan di mukanya. Sebagai pemim-
pin pasukan ia bertanggung jawab terhadap kesela-
matan anak buahnya dan juga terhadap barang yang
dikawalnya. Seperti uang emas dan perhiasan cukup
membuat orang akan ngiler untuk memilikinya, maka
untuk mengawalnya telah dipilih orang-orang yang
gagah berani. Mereka senantiasa patuh dan setia se-
hingga keamanan emas boleh ditanggung aman.
Tetapi jauh di sebelah barat sana, beberapa pasang
mata berkali-kali mengawasi ujung jalan di sebelah
timur dengan liarnya.
"Kakang Jaramala, apakah pasukan itu pasti lewat
disini hari ini?"
"Oh rupanya kau sudah tak sabar lagi, Adi Pelang
Telu. Tunggulah, mereka pasti akan lewat disini!" ter-
dengar jawaban Jaramala.
"Dengarlah angin yang bertiup ini. Kau dengar...
yah langkah-langkah kaki kuda dari arah timur"!" u-
jar Jaramala lagi dengan tenangnya, membuat Pelang
Telu terpaksa mengagumi ketajaman telinga sahabat-
nya. "Kawan-kawan, bersiaplah dengan tugas kita!
Susunlah siasat yang telah kita rencanakan kemarin
dulu!" seru perintah Jaramala dan sebentar pula
berloncatanlah dari semak-semak sepuluh orang
yang berwajah ganas bersenjata pedang, golok dan
penggada serta panah tak ketinggalan pula.
"Nah, bersiap sekarang, lekas!" Sekali lagi Jara-
mala berseru dan sebentar pula mereka pada berlon-
catan kembali ke arah semak-semak di tepi jalan.
Hanya tiga orang yang masih tinggal di tengah
jalan tanpa senjata. Seorang di antaranya segera
menggeletak, sedang yang dua pura-pura berwajah
sedih sambil meratap-ratap. "Ooh, piye iki. Adikku sakit payah. Aduh tak adakah
orang yang menaruh
belas kasihan?"
"Bagus, bagus. Hua, ha, ha, ha. Kalian ternyata
pemain-pemain sandiwara yang ulung. Nah, teruslah
bersiap begitu sampai pasukan Demak itu tiba di
tempat ini!" seru Jaramala kegirangan sambil melon-
cat ke dalam semak-semak.
Suasana menjadi tegang serentak. Anak buah si
Jaramala yang bersembunyi di balik semak-semak itu
pada bergemuruh dadanya, seperti gemuruhnya de-
rap-derap kaki kuda dari arah timur yang berjalan
dengan enaknya tanpa sedikit pun tahu bahwa di
sebuah kelokan jalan di sebelah barat, bahaya yang
besar tengah mengintai dan menunggu mereka
dengan bayangan maut.
Tetapi dua orang yang berkuda paling depan itu
selalu mengawasi jalan di depannya dengan tajam.
"Adi Aldaka, kali ini kau harus hati-hati, Adi. Aku
dengar suara orang yang meratap di ujung jalan dari
arah barat," Gajah Sela berbisik sambil mengangkat
tangan kanannya ke atas sebagai pertanda supaya
waspada kepada anak buahnya yang berada di
belakang. Mereka serentak bersiaga melihat isyarat
pemimpinnya. "Betul dugaanmu, Kangmas Gajah Sela. Lihat di
sebelah sana!" ujar Aldaka seraya menunjukkan ta-
ngannya ke barat. "Tiga orang kelihatan berkerumun
di tengah jalan. Nampaknya seperti orang yang
kesusahan, Kangmas!"
"Betul Adimas Aldaka, tampaknya seperti orang
yang mendapat kesulitan!" bisik Gajah Sela. "Tetapi
jangan lekas percaya begitu saja, Dimas."
"Eh, mengapa Kangmas?" ujar Aldaka heran men-
dengar kata-kata sahabatnya.
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kadang-kadang apa yang kita lihat tidak seperti
apa yang kita duga," jawab Gajah Sela. "Hatiku curi-
ga, Adik."
"Maksud Kangmas?"
"Aku kurang percaya dengan mereka, Dimas. Lihat
saja dengan perawakan-perawakan mereka yang ke-
kar. Hal itu seperti tidak sesuai dengan apa yang
mereka kerjakan sekarang ini. Kalau saja temannya
itu sakit, bukankah mereka dapat menggendongnya
atau memikulnya?"
"Hmm, mungkin juga Kangmas, tapi apa yang
harus kita perbuat sekarang?" bertanya Aldaka.
"Kita jangan keburu mendekati mereka dulu. Biar
kita berhenti agak jauh, Dimas!" bisik Gajah Sela.
"Dan perintahkan anak-anak lebih waspada serta
siap dengan senjatanya!"
"Baik, Kangmas!" sahut Aldaka dan kemudian ia
cepat-cepat memberikan isyarat itu kepada ketujuh
prajurit di belakangnya.
Hal itu tentu saja membuat heran ketiga orang
yang berkerumun di tengah jalan serta orang-orang
lain termasuk Jaramala dan Pelang Telu yang ber-
sembunyi di balik semak-belukar. Siasat pencegatan
telah mereka atur rapi, tapi mengapa iring-iringan
pasukan Demak itu berhenti terlalu jauh" Mung-
kinkah mereka telah mengetahui rencana pencegatan
ini" Dengus-dengus nafas mereka serta suara gemuruh
pada dada terasa mengalir lebih cepat. Sebenarnya
mereka telah tidak sabar untuk menunggu. Tetapi
Jaramala pemimpin mereka belum memberi perintah
menyerbu, sehingga mereka terpaksa masih tetap
mendekam di tempat persembunyian mereka masing-
masing dengan tangan-tangan yang gatal mengayun-
kan senjatanya.
Dan sementara ketiga orang yang bersandiwara di
tengah jalan itupun tampak kehilangan kesabaran-
nya. Mereka melihat pasukan Demak itu berhenti
terlalu jauh. "Ooh, aduh. Tuan-tuan prajurit, mengapa Tuan-
tuan berhenti di situ. Apakah Tuan-tuan tidak
merasa iba melihat nasib kami ini?" terdengar salah
seorang berteriak sambil tangannya berserabutan
menunjuk ke arah temannya yang menggeletak di
tanah. "Mengapa dengan kalian?" teriak Gajah Sela dari
kejauhan. "Apa yang telah terjadi"!"
"Tolonglah kami, Tuan. Adikku sakit payah dan
harus cepat-cepat kami bawa pulang ke rumah kami
di sebelah barat sana!"
"Tetapi mengapa tidak kalian angkat sendiri saja"
Bukankah tubuh-tubuh kalian cukup kuat untuk
membawanya?" Aldaka ikut menyahut pula.
"Badan kami sudah terlalu lelah, Tuan. Apakah
Tuan-tuan sebagai prajurit tidak menaruh belas kasi-
han kepada kami rakyat jelata yang tengah sengsara"
Bukankah Tuan-tuan sebenarnya juga bagian dari
rakyat dan harus melindungi rakyat."
"Kalian memang benar! Kami juga berasal dari
rakyat dan pelindung rakyat. Tetapi rakyat yang
bagaimana, kalian harus tahu!" Seru Gajah Sela.
"Maaf Tuan-tuan. Kami tak mengerti pembicaraan
yang muluk-muluk."
"Kami akan melindungi rakyat yang patuh dan
setia kepada negara! Sedang kalian aku sangsikan
akan kesetiaanmu kepada negara! Kepada Demak!"
Gajah Sela berteriak lebih keras sampai suaranya
mengumandang di sela-sela daun pepohonan di
sepanjang jalan itu.
"Heei, Tuan-tuan jangan sembarangan menuduh-
ku!" terdengar teriakan dari mereka. "Mengapa Tuan-
tuan dapat ngomong begitu"!"
Gajah Sela menggeram perlahan-lahan. "Kalian ja-
ngan coba-coba mengelabuhi kami dengan sandiwara
murahan itu. Berterus teranglah dan suruh temanmu
yang menggeletak, bangun dengan segera! Lekas!"
Alangkah terkejut ketiga orang itu, dan dasar
memang mereka sudah tidak sabar, maka orang yang
pura-pura menggeletak sakit di tengah jalan itupun
cepat-cepat bangkit berdiri, sambil bertolak pinggang
serta menggerundal tajam. "Persetan orang-orang
berkuda itu. Nantilah kulahap mentah-mentah
mereka!" Melihat gertakannya berhasil, Gajah Sela tertawa
terbahak-bahak. Demikian pula dengan Aldaka yang
sering memandang sesuatu dengan rasa humor ikut
pula tertawa terkekeh-kekeh. "Ha, ha, ha, ada orang
sakit digertak kok bisa sembuh seketika. Memang
Kangmas Gajah Sela bisa menjadi dukun yang
ampuh?" Prajurit-prajurit yang di belakang pun ikut tertawa
pula melihat kejadian itu.
"Nah, itu namanya orang baik-baik, suka berterus
terang. Dan sekarang kalau kalian memang laki-laki
sejati, ayo keluar semua dari semak belukar itu. Aku
dengar dengus-dengus nafas busukmu yang berbau
kejahatan dan ketamakan!" Gajah Sela sekali lagi
berteriak keras dan berbareng itu pula semua anak
buahnya telah bersiap siaga menghadapi segala
kemungkinan. "Keparat! Kalian memang banyak mulut. Sekarang
terimalah hadiahmu!" terdengar teriakan lantang dari
mulut Jaramala, dan sejurus kemudian beberapa
anak panah telah melesat berluncuran dari busur
anak buahnya ke arah pasukan Demak.
Sungguh hebat serangan tiba-tiba itu, tetapi
prajurit-prajurit Demak tak merasa takut dengan
panah-panah yang beterbangan ke arah mereka.
Gajah Sela, Aldaka dan juga anak-anak buahnya
cepat bertindak. Kedua pemimpin yang berada di
depan itu segera melolos pedangnya dan diputarnya
dengan ketat melindungi tubuh mereka.
Tak! Tak! Trang!
Beberapa anak panah yang menyambar mereka
kena tersampok oleh tebasan pedangnya. Juga pra-
jurit-prajurit di belakang mereka sibuk menangkis
samberan anak-anak panah. Namun tiba-tiba ter-
dengar dua jeritan berbareng. Tiga orang prajurit
rebah di atas punggung kudanya dengan anak panah
yang menancap pada bahunya dan yang lain pada
pahanya. Berbareng saat itu pula, kesepuluh orang anak
buah Jaramala telah berloncatan menyerang ke arah
prajurit-prajurit Demak yang telah kerepotan me-
nangkis hujan anak panah.
Sekonyong-konyong secara tiba-tiba tanpa
bersuara telah melesat sesosok tubuh manusia dari
arah utara jalan yang rimbun oleh semak-semak dan
kemudian tepat berdiri tegak di tengah jalan, sehing-
ga mau tidak mau anak buah Jaramala menghenti-
kan langkahnya karena terhadang oleh orang itu.
Orang asing itu mengenakan caping yang lusuh
oleh debu serta memegang tongkat kayu.
"Setan belang! Apa maksudmu berani menghadang
jalan ini!" teriak Jaramala sambil mendelik matanya.
"Hayo minggir ke tepi, lekas!"
"He, heh, heh, enak benar bentakanmu, sobat.
Bukan aku yang seharusnya minggir dari jalan ini,
tapi kau dan anak buahmulah yang harus minggat!
Tahu kau, sobat"!" ujar isi caping lusuh berdebu.
"Ooh, rupanya si caping bejat kepingin dijadikan
rempah-rempah, ya! Ayo anak-anak, jangan perduli-
kan orang ini! Bila menghalangi kita, cincang dia
lumat-lumat! Serbu!" teriak Jaramala dan seketika
merekapun menyerbu ke arah prajurit-prajurit
Demak. Di saat itu pula si caping lusuh telah menggerak-
kan tongkat kayu, yang ternyata adalah sebilah
pedang yang berkilat oleh sinar matahari, kemudian
disabetkan setengah lingkaran dan seorang anak
buah Jaramala terpental bermandi darah.
"Eaaaah!"
Jerit serta teriakan berlaga segera memenuhi jalan
yang semula sepi lengang dan berlangsunglah per-
tempuran dahsyat. Tampaklah bahwa prajurit-praju-
rit Demak agak kerepotan juga menghadapi serangan
lawan yang lebih ganas dan haus darah.
Hal itu tak bisa dipungkiri mengingat tiga orang
temannya yang terkena anak panah telah jatuh dari
punggung kuda dan berkelojotan di tanah dengan
sesambat. Maka mereka sekarang tinggal enam orang
saja. Gajah Sela dan Aldaka dengan gigih memutar
pedangnya dan menangkis setiap serangan lawan,
tetapi mereka menjadi terkejut apabila seorang pra-
juritnya telah rebah dari kudanya dengan dadanya
tertembus oleh pedang lawan sampai berlepotan
darah. Dan seorang anak buahnya yang lain telah
terluka pundaknya tapi masih terus gigih bertempur
melawan penyerang-penyerangnya. Suatu hal yang
membuat hati Gajah Sela makin terharu akan
keberanian dari prajurit-prajuritnya.
"Untunglah ada penolong yang datang. Orang ber-
caping itu memang hebat ilmu pedangnya," berpikir
Gajah Sela penuh kagum. "Tapi siapakah dia?"
Gajah Sela terpaksa berjuang mati-matian mela-
wan Jaramala dan anak buahnya. Demikian pula
dengan Aldaka. Keduanya mengamuk ketika sebagian
prajurit-prajuritnya telah tak berdaya menghadapi
lawan. Kini mereka tinggal berempat melawan mu-
suhnya. Matahari kian tinggi. Teriakan serta dentingan
senjata-senjata yang beradu telah mengumandang
dan sebagian terbawa oleh arus angin yang bertiup.
Ketika itu di sebelah barat laut tampaklah dua
orang yang berjalan menerobos hutan serta semak-
belukar dan ketika angin bertiup mengusap wajah-
wajah mereka. Tiba-tiba yang terdepan menghentikan langkah-
nya. "Adik Pandan Arum, tunggu dulu! Aku mende-
ngar sayup-sayup teriakan orang serta bunyi senjata
beradu!" "Dari arah mana, Kakang?" tanya si gadis yang
tidak lain adalah Pandan Arum.
"Dari sebelah tenggara, Adik," kata Mahesa Wu-
lung sekali lagi sambil mempertajam telinganya. "Mari
kita datang ke sana, Adik. Siapa tahu kita dapat
memperoleh petunjuk-petunjuk yang berguna tentang
Ki Topeng Reges."
"Baik, Kakang. Marilah!" ajak Pandan Arum dan
keduanya segera membelok ke arah tenggara menuju
sumber suara yang sangat menarik perhatian me-
reka. Kedua pendekar sepasang itu dengan cepat berla-
rian meloncat-loncat dan menerobos kelebatan hutan
yang pekat. Sepintas lalu gerak mereka tak ubah dua
ekor kijang yang lagi berlomba lari, sangat lincah dan
cekatan. Semakin dekat suara-suara itu semakin
cepat mereka berlari dan hati mereka tambah ber-
debar-debar. Mereka sibuk bertanya-tanya siapakah mereka itu
yang tengah berlaga. Sejurus kemudian keduanya
tiba di sebuah jalan yang lebar dan Mahesa Wulung
segera berhenti, lalu diikuti oleh Pandan Arum.
"Hah! Pasukan berkuda dari Demak dikeroyok oleh
perampok-perampok!" desis Mahesa Wulung dengan
kaget setengah geram.
"Diserang oleh perampok"!" seru Pandan Arum tak
kalah herannya.
"Tak keliru lagi, Adi. Nah, itu lihatlah sendiri di
sebelah timur jalan itu. Mereka tengah bertempur
dengan ramainya."
"Ooh, lihat Kakang. Pasukan Demak sudah
sebagian tak berdaya. Tinggal empat orang lagi yang
masih bisa bertempur," seru Pandan Arum dengan
cemas. "Yah, kita harus membantunya cepat-cepat, Adik.
Tapi... eh siapa orang bercaping itu yang bertempur
di pihak Demak" Hmm, musuh keliwat banyak. Nah,
Adik Pandan Arum, tinggallah engkau disini. Biar aku
yang terjun ke dalam pertempuran itu!" ujar Mahesa
Wulung sambil mengeluarkan selembar sapu tangan
segitiga yang lebar berwarna biru laut berhiaskan
gambar makara kuning emas. "Mereka pasti akan
terkejut dengan kedatanganku ini!"
Mahesa Wulung lalu memakai kedok itu yang
menutup hidung dan mulutnya kemudian melolos
cambuk Naga Geni dari ikat pinggangnya.
"Hati-hati, Kakang," bisik Pandan Arum mesra.
"Aku menunggumu disini."
Dengan tersenyum Mahesa Wulung mengangguk
dan segera diputarnya cambuk Naga Geni di udara.
Dar! Dar! Dar! Tiga ledakan cambuk yang dahsyat
memekakkan telinga mengumandang di udara seke-
liling dan mereka yang tengah bertempur itu berhenti
seketika seperti terkena pukau sihir yang hebat.
Belum lagi mereka sadar akan asal-usul ledakan
itu, tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat dari ba-
rat laut dengan memutar sebatang cambuk berkilat-
kilat kebiruan dan mendarat dengan enaknya di
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat mereka tanpa menimbulkan suara.
"Barong Makara!" teriak mereka berbareng.
Kalau prajurit-prajurit Demak gembira melihat
kedatangan Pendekar Barong Makara yang dikenal
sebagai tokoh pembasmi golongan hitam, sebaliknya
dengan Jaramala dan anak buahnya, dalam batin
mereka mengumpat dengan perasaan cemas sebab
mereka pernah mendengar akan sepak terjang dan
kesaktian pendekar berkedok ini dari murid Ki
Topeng Reges yang bernama Rikma Rembyak.
Tapi mereka adalah anak buah Ki Topeng Reges
yang namanya juga ditakuti oleh setiap orang, hingga
mereka tak mau begitu saja memperlihatkan kelema-
han dirinya. Biarpun mereka cemas, tapi segera
berloncatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung atau
si Barong Makara.
"Kawan-kawan! Ini ada mangsa baru yang meng-
antarkan nyawa. Ayo cincang dia ramai-ramai!" teriak
garang Jaramala memerintah anak buahnya yang
segera pula berbareng menyerang.
Mahesa Wulung tak merasa gentar menghadapi
empat orang lawan yang mengeroyok dirinya. Senjata-
senjata lawannya yang begitu ketat mengurung
dirinya terlihat sebagai lingkaran sinar yang bergu-
lungan menyerang sangat ganas.
Gajah Sela dan Aldaka sedikit merasa lega dengan
kedatangan Mahesa Wulung. Dengan begitu tekanan
serangan-serangan terhadap mereka sedikit berku-
rang. Dalam hati kecilnya, keduanya merasa kagum
terhadap pendekar ini. Mereka mengenal nama
Barong Makara sebagai tokoh pendekar laut dari
armada Demak dan baru kali inilah mereka sempat
berjumpa muka. Gerakan Mahesa Wulung sungguh membikin kecut
hati para pengeroyoknya. Telah berkali-kali senjata-
senjata pedang mereka berkelebat menyambar tubuh
Mahesa Wulung, namun setiap kali mereka terkejut
apabila pedang-pedang mereka sama sekali tak me-
nyentuh lawannya. Dari gerakan-gerakan serta cara
membebaskan diri, tahulah mereka bahwa orang itu
sebenarnya orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Jaramala dengan anak
buahnya bertambah gelisah dan marah. Maksudnya
untuk merampok emas belum lagi berhasil, dan
sekarang mereka mendapat dua orang lawan yang tak
bisa diremehkan begitu saja.
Kedatangan orang bercaping dan disusul oleh
orang yang berkedok itu tidak mereka duga sama
sekali. Kalau semula mereka tahu, pastilah Ki Topeng
Reges akan ikut melakukan pekerjaannya dan orang-
orang itu pastilah akan dapat ditumpasnya dalam
saat yang pendek.
Jaramala makin memperketat serangannya dan
bersama anak buahnya ia sudah bertekad untuk
mengganyang orang berkedok yang telah mengham-
bat pekerjaan mereka. Ternyata orang berkedok yang
hanya bersenjata cambuk itupun memperhebat pula
putaran senjatanya.
Memang Mahesa Wulung atau Barong Makara
merasakan betapa para pengeroyoknya makin mem-
pergencar serangannya. Maka bila ia menambah
hebat gerakannya, perbandingan tingkat jurus-jurus
pertempuran mereka akan tetap sama, yaitu Mahesa
Wulung ada di tingkat lebih atas daripada Jaramala,
bahkan dapat selalu mengimbangi setiap serangan
yang membenturnya.
Yang pasti para pengeroyoknya makin gelisah,
apalagi mereka melihat cambuk lawannya bertambah
mendesing-desing bergulungan bagai ombak Laut
Kidul yang mampu memukul tebing-tebing karang
terjal dan sedikit demi sedikit akan merontokkannya.
Begitu pula dengan Jaramala dan anak buahnya.
Cambuk itu kemudian melecut dengan ledakan yang
memekakkan telinga dan tahu-tahu seorang anak
buah Jaramala terpental keluar dari lingkaran per-
tempuran serta terhuyung-huyung memegangi kepa-
lanya yang hangus bagai batu terbakar. Orang ini
kemudian rebah dan mati.
Melihat temannya seketika mati oleh sambaran
ujung cambuk itu, para pengeroyok Mahesa Wulung
terpekik kaget. Tak nyana mereka, bahwa cambuk
lawannya begitu hebat, mampu menghanguskan sa-
sarannya tak ubahnya sambaran sebuah halilintar.
Daar! Sekali lagi cambuk Naga Geni di tangan
Mahesa Wulung meledak dan seorang korban lagi
terpelanting di atas tanah, mati.
Sementara itu tak jauh dari Mahesa Wulung, si
pendekar bercaping kelihatan begitu enaknya melaya-
ni setiap orang lawannya. Pelang Telu yang ikut
mengeroyoknya, terpaksa berkali-kali menggerundal,
sebab setiap tebasan pedangnya dan juga tebasan-
tebasan golok anak buahnya selalu berhasil dihindari
oleh si caping lusuh.
Yang membikin jengkel Pelang Telu ialah serangan
dan ejekan orang bercaping ini. Setiap kali berhasil
menghindari serangan-serangan mereka, ia senan-
tiasa berkelakar.
"Hup, tebasanmu kurang mampu, sobat! Nah
boleh coba lagi sekarang! Mari! Yaaah, masih kurang
kena. Kalian masih harus bertekun lagi. Dan seka-
rang lihat, aku beri contohnya! Hyaat!"
Pendekar bercaping menebaskan pedangnya mene-
robos sambaran senjata-senjata mereka dengan bunyi
mendesau dan selanjutnya sebuah jeritan panjang
keluar dari mulut seorang anak buah Pelang Telu
yang menganga dengan gigi bertonjolan. Orang itu
hanya terluka panjang akibat sambaran ujung pe-
dang pendekar bercaping. Namun sesaat kemudian
luka kecil panjang yang nampak sepele tadi tiba-tiba
membuka, diiringi menyemburnya darah merah segar
dari dalam. Belum sempat Pelang Telu dan anak buahnya
menolong kawannya tadi, tiba-tiba pedang orang
bercaping ini kembali beraksi.
"Nah, sobat-sobat baik! Ini contoh berikutnya!"
Kilat pedangnya kembali menebas dan korban kedua
roboh tak bernyawa.
Tetapi Pelang Telu serta anak buahnya bukan ter-
masuk orang-orang penakut, sebab mereka telah
digembleng oleh gurunya, Ki Topeng Reges. Mereka
menyadari bahwa dalam setiap pertempuran selalu
terjadi dua kemungkinan. Menang atau kalah, ter-
bunuh atau membunuh dan menghancurkan atau
dihancurkan oleh lawan. Maka mereka tetap merang-
sak kepada pendekar bercaping dengan putaran-pu-
taran golok dan pedang-pedang mereka.
Di sebelah lain, Gajah Sela dan Aldaka serta seo-
rang prajurit lagi sibuk melayani serangan-serangan
anak buah Jaramala. Mereka pun terlibat dalam
perang tanding yang cukup hebat.
Di tengah-tengah pertempuran yang berkecamuk
dahsyat, seorang prajurit berkuda yang bertugas
menggandeng kuda beban bermuatan emas, tampak
sedikit demi sedikit menjauhi titik pertempuran. Me-
mang dia telah diserahi tugas untuk menjaga kuda
beban itu sehingga apapun yang diperbuatnya ia tak
dapat dipersalahkan. Jika seandainya ia meninggal-
kan titik pertempuran tersebut, bukan berarti ia
seorang pengecut, apalagi ia telah meninggalkan
kawan-kawannya yang tengah bertempur.
Namun satu hal yang agak mengherankan, entah
sengaja atau tidak, bahwa para perampok-perampok
tadi, yakni Jaramala dan anak buahnya tak pernah
mengusik prajurit tadi yang menggandeng kuda ber-
muatan emas. Malahan mereka seolah-olah menghin-
darkan diri dari prajurit tadi serta membiarkannya
sendirian tanpa ada yang mengganggu.
Begitulah prajurit tadi terus menggeser ke arah
barat menjauhi titik pertempuran, dan bila dirasanya
telah cukup aman, ia segera memacu kudanya.
Melihat hal ini, Gajah Sela yang tengah bertempur
itu menjadi kaget dan heran. Sebagai pemimpin pasu-
kan ia tak pernah merasa memberi perintah untuk
membawa lari emas itu, sebab ia yakin kalau peram-
pok-perampok ini sebentar lagi bisa dikalahkan,
terutama dengan kedatangan kedua penolongnya.
Maka begitu ia melihat anak buahnya berpacu ke
arah barat, Gajah Sela segera berteriak keras-keras.
"Heei, Dangsapati! Berhenti! Mau lari kemana
kau?" Gajah Sela berteriak dengan perasaan penuh
tanda tanya. Tapi ternyata prajurit itu tak menggubris teriakan-
nya, dan ia tetap melarikan kuda-kudanya ke arah
barat. Betapa jengkelnya Gajah Sela! Sebagai pemim-
pin pasukan, baru kali ini ada prajuritnya yang mau
berbuat sembrono serta berani menentang perintah-
nya. Akan dibawa kemana emas itu, ia tak tahu.
Sungguh mencemaskan hatinya atas tindakan si
Dangsapati yang nekat, tetapi lebih mengejutkan lagi
ialah lawannya bertempur yang tertawa terkekeh-
kekeh menyakitkan telinga.
"Heh, heh, heh, heh, heh, biarkan ia menyelamat-
kan emas itu. Tanggung aman. Jangan pedulikan dia.
Yang penting kau harus mati di ujung golokku ini!"
Mendengar perkataan lawannya, Gajah Sela terhe-
nyak kaget dan kemudian ia menggeram, "Keparat!
Kau anggap aku orang apa, heh"! Mari tunjukkan
permainan golokmu!"
Bersamaan rampungnya kata-kata Gajah Sela,
lawannya segera menyerang dengan putaran goloknya
secepat pusaran angin siap melanda dirinya. Untung
Gajah Sela selalu waspada, dan begitu serangan golok
lawan melibas dirinya, segera pula ia menebaskan
pedangnya secepat angin untuk memapaki serangan
lawan. Craaang! Bunyi benturan kedua senjata sangat nyaring
disertai percikan bunga-bunga api dan kedua-duanya
tergetar surut. Akibat dari benturan itupun sangat
hebat. Betapapun uletnya Gajah Sela namun ia ter-
paksa meringis ketika jari-jari tangan yang meng-
genggam pedang terasa nyeri, panas. Demikian pula
lawannya yang bersenjata golok tadi, selain tangan-
nya nyeri iapun terpental jatuh ke tanah bergulingan.
Gajah Sela tak mau melepaskan kesempatan baik
ini. Segera ia memburu lawannya yang tengah
bergulingan di tanah, dan kemudian mengirimkan
sebuah tebasan pedangnya.
Rupa-rupanya lawannya itupun termasuk orang
pilihan sebagai murid perguruan Netra Dahana dari
Watu Semplok. Maka ketika ia merasa angin tebasan
pedang Gajah Sela, cepat-cepat melentingkan dirinya
ke belakang beberapa langkah, hingga pedang Gajah
Sela hanya sempat membacok tanah dan rerum-
putan. Karuan saja ia menggeram jengkel.
"Heh, heh, heh, jangan mimpi terlalu pagi untuk
merobohkan Trebis dari perguruan Netra Dahana!"
terdengar lawan Gajah Sela menyambung.
"Setan! Jangan cepat besar kepala dengan lon-
catan-loncatan seburuk anjing kudisan. Sekarang
terimalah permainan puncak dari ilmu pedang ini,
Hyaat!" Gajah Sela menerjang dengan hebat ke arah
lawannya dengan sebuah tusukan yang menentukan.
Melihat hal itu, Trebispun segera bersiap-siap
dengan putaran goloknya.
Sementara itu, Dangsapati yang melarikan kuda ke
arah barat tidak mengira bahwa dari semak belukar,
sepasang mata sejernih air sendang tapi setajam
mata elang, telah mengawasi seluruh gerak-geriknya.
Dan kemudian Dangsapati dikejutkan oleh melesat-
nya satu bayangan berjumpalitan di udara dan men-
darat tepat di hadapannya, dari arah semak belukar!
Bayangan tadi ternyata seorang gadis yang kini
menghadang di tengah jalan, menyebabkan Dangsa-
pati terpaksa menghentikan kedua kudanya sambil
berteriak-teriak.
"Hee, bocah ayu, siapa kau! Dan apa maksudmu
menghadang di tengah jalan?"
"Hmmm, aku heran dengan kelakuanmu ini.
Meninggalkan kawan-kawan yang telah mati-matian
menyabung nyawa! Mau kau bawa kemana emas
itu"!" bentak si gadis yang tidak lain adalah Pandan
Arum. "Persetan dengan kawan-kawanku. Mereka telah
punya urusan sendiri dengan orang-orang perampok
itu. Demikian pula aku punya urusan sendiri dengan
emas ini. Aku akan menyelamatkannya."
"Haaa, menyelamatkan emas itu untuk kantongmu
sendiri" Aku agak curiga dengan kau! Lagak bicara-
mu seolah-olah menunjukkan kalau kau bukan seo-
rang prajurit seperti mereka itu."
"Ooo, kau jangan suka bermulut usil! Apa yang
saya kerjakan ini adalah urusanku sendiri, tahu"!
Dan orang lain tak usah campur tangan! Hayo
minggir dari jalan ini dan biarkan aku lewat dengan
leluasa!" Dangsapati berteriak.
"Bukan aku yang menyingkir, tapi kaulah yang
harus turun dari kudamu itu!"
"Hem, sayang kalau aku terpaksa menggunakan
kekerasan untuk menyingkirkanmu, cah ayu! Ooh,
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin kau menghendaki beberapa buah mata
uang emas" Baik! Itu akan kuberikan asal kau
menepi dari tengah jalan."
"Cukup dengan ocehanmu yang busuk itu! Nah,
sekarang turunlah dari kudamu serta menurutlah
untuk kubelenggu!"
Perkataan Pandan Arum itu terdengar oleh telinga
Dangsapati bagai sengatan halilintar, membuat ia
benar-benar kehilangan kesabaran!
"Bagus, kalau kau berkeras kepala serta ingin
menangkapku. Cobalah!" tantang Dangsapati sambil
menyiapkan tombaknya.
Demikian pula Pandan Arum cepat-cepat melolos
selendang jingga dari ikat pinggangnya.
"Heh, heh, heh, rupa-rupanya kamu ingin terbang
serta lolos dari ujung tombakku ini! Percuma. Selagi
aku masih cukup bersabar, menyerahlah!"
"Heh, tidak semudah itu kenyataannya! Lihatlah
permainan selendang Sabet Alun!"
Begitu selendang jingga Pandan Arum melenggok-
lenggok berputaran semakin kencang, Dangsapati
terpaksa menelan ludah kecemasan dan cepat-cepat
ia mendahului menyerang dengan hunjaman tombak
ke arah Pandan Arum.
Dalam saat yang sama, tiba-tiba sebuah kilatan
sinar merah mencegat ujung tombaknya dan lang-
sung melibatnya dengan keras seakan-akan sebuah
belalai dari gajah.
Dangsapati kaget ketika tahu-tahu selendang si
gadis yang disangkanya remeh ternyata telah melibat
tombaknya, kemudian terasalah bahwa gadis itu
menghentakkan selendang tadi sangat keras.
Kraak! Tombak Dangsapati patah menjadi dua dan
seketika semangatnya hilang lenyap melihat keheba-
tan senjata lawan. Dengan segera ia melepaskan
tangkai tombaknya yang patah, serta memacu kuda-
nya kabur meninggalkan Pandan Arum.
Tetapi sayang sekali, sebelum ia sempat melak-
sanakan niatnya terlalu jauh, sekonyong-konyong
ujung selendang Pandan Arum telah melecut dan
menyambar kepala kudanya. Terdengarlah suara
ledakan disusul kuda Dangsapati memekik tinggi dan
roboh bersama penunggangnya. Kepala kuda itu
retak dan bermandi darah, sedang Dangsapati sendiri
tertindih pahanya oleh badan kuda.
"Ha, ha, ha. Sekarang beristirahatlah di situ seben-
tar!" Seru Pandan Arum seraya mengikat kembali
selendang jingga ke pinggangnya.
Sementara itu, ketika Jaramala melihat kemung-
kinan yang kecil untuk memenangkan pertempuran,
cepat-cepat ia memberi isyarat pada teman-temannya
untuk menarik diri dari pertempuran. Sebuah suitan
nyaring keluar dari mulutnya dan dengan serentak
Jaramala, Pelang Telu, serta sisa-sisa anak buahnya
berloncatan secepat angin meninggalkan titik pertem-
puran, dan sebentar saja mereka telah lenyap di balik
semak-semak belukar seperti hantu.
Mahesa Wulung masih berdiri di dekat pendekar
bercaping ketika Jaramala dan anak buahnya kabur
meninggalkan mereka. Gajah Sela segera pula men-
datangi kedua penolongnya dan menyatakan terima
kasihnya. "Kami mengucapkan terima kasih yang tak ter-
hingga atas bantuan yang telah Kisanak berikan,"
ujar Gajah Sela serta mengangguk hormat. "Kemu-
dian, alangkah bahagianya bila saja Tuan-tuan sudi
menyebutkan nama serta berkenalan dengan kami."
Pendekar bercaping itupun mengangguk dan mele-
pas capingnya, kemudian mengangguk pula dengan
hormatnya. "Ki Camar Seta!" desis Mahesa Wulung sambil
menurunkan kedoknya.
"Oooh, Anakmas Mahesa Wulung! Syukur kita
masih bertemu dalam keadaan sehat-sehat. Aku telah
mendapat laporan bahwa Anakmas telah terjatuh ke
Jurang Mati ketika bertempur melawan Ki Topeng
Reges. Apakah Anakmas sehat-sehat saja?"
"Terima kasih, Bapak. Aku baik-baik saja," ujar
Mahesa Wulung dengan hormatnya.
Mendengar nama kedua pendekar itu, Gajah Sela
berseru kagum, "Oooh, jadi Tuan-tuanlah yang
bergelar Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung pendekar
Demak yang terkenal. Maaf, aku tak segera mengenal
Tuan-tuan berdua karena aku jarang berada di
Demak, dan kami berkedudukan di Gresik."
Di sebelah timur, Aldaka sibuk menolong prajurit
yang terluka, dibantu oleh seorang anak buahnya. Di
saat-saat yang begitu dapatlah terbayangkan kega-
nasan anak buah Ki Topeng Reges.
Di tengah-tengah kesibukan itu, dari arah barat
muncullah si Pandan Arum menuntun seekor kuda
beban yang bermuatan emas dan di depannya berja-
lan sempoyongan Dangsapati dengan terbelenggu tali
sekujur tangan dan dadanya.
"Ooooh, mengapa dengan orang ini, Adik?" seru
Mahesa Wulung kaget. "Bukankah ia seorang dari-
pada anak buah Kakang Gajah Sela ini?"
"Betul, Kakang. Tapi dia juga kaki tangan dari Ki
Topeng Reges, dan untuk ini ia telah mengaku
sendiri." "Haa"!" seru Gajah Sela dan Mahesa Wulung kaget,
tetapi Ki Camar Seta berkata dengan tenangnya. "Me-
mang tidak keliru! Dangsapati adalah cecunguk Ki
Topeng Reges. Ia sengaja menyelundup pada kita!"
"Dari manakah Bapak tahu?" sela Pandan Arum
tak habis herannya.
"Hal itu telah diketahui oleh Nara Sandi di Demak dan kemudian aku dikirim
kemari untuk mencegah
bahaya yang mengancam pengiriman emas itu!"
Mendengar ini Mahesa Wulung teringat kembali
akan kesatuan Nara Sandi yang mempunyai tugas
menyelidiki dan meneliti segala sesuatu yang bersifat
rahasia untuk menjamin keamanan negara. Dan juga
sebagai Wira Tamtama Demak, ia pun banyak menge-
nal sebagian dari tokoh-tokoh Kesatuan Nara Sandi,
seperti Sandi Pradangga, Wira Sengkala dan lain-
lainnya. "Dan aku pun ditugaskan untuk membantu dan
mencari Anakmas Mahesa Wulung dalam usahanya
merebut catatan rahasia panah Braja Kencar yang
telah dilarikan si Rikma Rembyak," ujar Ki Camar
Seta melanjutkan.
Gajah Sela yang mendengar uraian itu tidak nyana
bahwa persoalan itu menjadi begitu rumit. Dalam
hati ia kagum terhadap ketrampilan Kesatuan Nara
Sandi yang dapat mengetahui akan penyelundupan
Dangsapati dalam tubuh pasukannya, namun dalam
hati kecilnyapun ia menyesal bahwa dirinya sampai
tidak mengetahui ada musuh di dalam selimut.
"Bapak Ki Camar Seta, apakah kami akan melan-
jutkan perjalanan ke Demak sekarang juga?" ber-
tanya Gajah Sela kepada orang tua itu.
"Begitulah sebaiknya. Memang, di sebelah barat
sana ada sebuah rumah tua yang biasa dipergunakan
oleh prajurit-prajurit Demak beristirahat dalam me-
nempuh perjalanan ke timur. Nah, kita nanti malam
akan singgah di sana untuk bermalam dan nanti
akan kusuruh beberapa orang penduduk untuk
merawat dan mengobati luka-luka anak buahmu.
Kemudian besoknya kita menuju ke Demak."
"Terima kasih, Bapak," ujar Gajah Sela.
Demikianlah, tak lama kemudian mereka bersiap-
siap serta berjalan ke arah barat. Sinar matahari
sudah tidak begitu panas lagi sedang angin siang
bertiup kencang mengusap dedaunan yang berkilatan
oleh sinar matahari.
*** 5 Raungan anjing-anjing liar mengumandang dari
tebing dan lereng-lereng pegunungan menyelusuri
kaki bukit Gunung Muria sebelah timur dan kemu-
dian bergulungan campur aduk dengan desah angin
sore, seperti nyanyian dan rintihan setan-setan yang
gentayangan mencari mangsa.
Di sebuah rumah tua, di dekat reruntuhan sebuah
candi, tampaklah tiga orang yang duduk saling ber-
hadapan seperti patung-patung. Yang berkedok han-
tu itu tampak menatap kedua orang di hadapannya
dengan pandangan yang setajam pedang, hingga
keduanya menunduk makin dalam.
"Heemm, jadi kalian pulang dengan tangan kosong
tanpa hasil sedikit pun, setan alas!" geram Ki Topeng
Reges kelihatan jengkel.
"Ampun, Kiai. Sayang sekali mereka telah dibantu
oleh dua orang pendekar yang muncul secara tiba-
tiba, sehingga pekerjaan kita terpaksa gagal."
"Kalian memang anak-anak tolol. Bukankah Dang-
sapati sudah saya selundupkan ke dalam pasukan
pengantar emas itu"!" ujar Ki Topeng Reges.
"Betul Kiai. Tapi..."
"Tapi bagaimana?" Ki Topeng Reges memotong
"Dangsapati kan murid terbaik di antara kalian" Ada
apa dengan dia"!"
"Anu, ah, ketiwasan, Kiai," Jaramala makin kecut hatinya.
"Ketiwasan, kau bilang"!" bentak si wajah hantu
garang dan sekaligus melayangkan tangannya ke
arah mulut Jaramala.
Plak! "Hiyuung! Aduh, tobat Kiai. Ampun!" rintih Jara-
mala sambil menutup mulutnya dan sesaat kemudian
dari sela-sela jari-jemari yang menutup mulutnya itu
mengalir dan menetes cairan merah ke atas lantai.
Begitu Jaramala melihat jari-jarinya, ia kontan mera-
ung panjang! Hatinya seakan-akan lenyap terbawa
raungan anjing liar di luar sana, ketika diketahuinya
bahwa bibirnya telah tersobek oleh tamparan Ki
Topeng Reges yang hanya sekali itu, dan darah merah
telah melepoti jari-jari tangannya.
"Hih, kapokmu kapan, kowe!" bentak Ki Topeng
Reges pula. "Ayo, lekas katakan di mana sekarang
Dangsapati itu"!"
"Dia, dia telah ditangkap oleh mereka, Kiai," ujar
Jaramala setengah merintih karena masih merasakan
bibirnya yang robek oleh tamparan gurunya.
"Tertangkap"! Si Dangsapati itu bisa kena tangkap
oleh pasukan Demak"!" raung Ki Topeng Reges
dengan marahnya, dan bola matanya menjadi liar se-
perti hendak menelan kedua murid yang ada di
hadapannya. "Kurang ajar! Ini pasti gara-gara keda-
tangan kedua orang itu!"
"Betul, Kiai. Memang itu akibat kedatangan kedua
pendekar yang kemudian menolong orang-orang De-
mak itu, hingga pekerjaan kita gagal. Semula Dangsa-
pati sudah berhasil melarikan emas itu, namun dapat
dirampas kembali oleh mereka," kata Pelang Telu
menjelaskan. "Keparat!" desis Ki Topeng Reges dengan geram
dan dari balik topengnya terdengar suara berkereot-
kereot karena giginya yang saling bergesekan saking
jengkelnya. "Pelang Telu, coba ceriterakan ciri-ciri
kedua orang itu!"
"Baik, Kiai. Yang seorang memakai caping dengan
senjata tongkat pedang, dan orang yang kedua ber-
kedok pada mulutnya serta membawa sebatang cam-
buk yang menyala biru kehijauan," ujar Pelang Telu.
"Barong Makara atau Mahesa Wulung!" geram Ki
Topeng Reges. "Dia adalah musuh besar kita. Rupa-
nya dia masih bisa selamat ketika terjatuh ke Jurang
Mati oleh seranganku. Hemm, betul-betul pendekar
gemblengan dia!"
"Begitulah, Kiai," ujar Pelang Telu menegaskan.
"Memang sebenarnya kami akui kalau kedua pende-
kar itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi daripada
kami. Sehingga kekalahan kami bisa dimaklumi.
Kalau kedua orang ini tidak muncul, pastilah seluruh
pasukan itu musnah dalam waktu yang sekejap
mata. Sebab pada gebrakan pertama saja, hanya
tinggal empat orang prajurit yang masih bisa berdiri
dan melawan kami."
"Hmmm, kedua orang itu harus kuhukum, karena
telah lancang mencampuri urusanku!" gumam Ki
Topeng Reges. "Di mana mereka sekarang, sewaktu
kalian tinggalkan"!"
"Masih di kelokan jalan itu, Kiai. Dan sebagian
besar telah terluka berat oleh senjata-senjata kami.
Pastilah mereka tidak akan langsung menuju
Demak." "Ya, mereka pasti akan singgah untuk merawat
orang-orangnya," sahut Ki Topeng Reges menyam-
bung ujar si Pelang Telu. "Dan aku tahu, di sepanjang
jalan menuju Demak, terdapat beberapa rumah yang
sering disinggahi oleh pasukan-pasukan Demak."
"Tetapi, Kiai. Apakah tidak terlalu berbahaya men-
cari mereka di sana?" sela Pelang Telu.
"Goblok! Aku akan ke sana malam nanti, supaya
pekerjaan bisa lebih lancar dan sekali ini mereka
tidak akan lepas dari tanganku!" Ki Topeng Reges
menggeram lirih, sedang kedua jari-jari tangannya
saling mengepal. "Nah, kalian tinggal di sini. Biar aku sendiri mencari mereka."
"Kiai, bolehkah aku ikut membantu mencari me-
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
reka," usul Pelang Telu kemudian.
"Tidak usah! Aku sanggup menemukan mereka.
Daerah itu aku kenal baik-baik, seperti aku mengenal
halaman rumah ini!" jawab Ki Topeng Reges dan
kemudian ia bangkit serta menuju ke kamarnya.
Sementara itu, Jaramala dan Pelang Telu saling
bergelut dengan pikiran sendiri. Mereka merenungi
kejadian-kejadian yang baru saja lewat, seolah-olah
tergambar kembali pertempuran di belokan jalan keti-
ka mencegat pasukan pengawal emas itu. Keduanya
yang mula-mula merasa bangga ketika merobohkan
beberapa orang prajurit Demak dari kudanya, secara
tiba-tiba menjadi cemas dengan kedatangan kedua
pendekar yang melabrak mereka.
Langkah-langkah yang berat terdengar keluar dari
kamar, dan lamunan kedua orang itu menjadi buyar.
Tampaklah Ki Topeng Reges telah menggenggam dua
buah senjata yang berujud belati panjang yang me-
ngeluarkan sinar membara.
"Kiai Brahmasakti!" desis Jaramala dan Pelang
Telu berbareng, begitu pandangan mata mereka
menatap pada dua buah belati yang tergenggam di
tangan gurunya. Keduanya merasa kalau bulu
romanya merinding. Keampuhan Brahmasakti telah
mereka ketahui sejak dahulu, tak ubahnya keam-
puhan pusaka-pusaka sakti lainnya yang telah me-
reka dengar dari Demak seperti keris Condong Cam-
pur, Sangkelat, Tombak Kiai Plered dan sebagainya.
Tetapi Brahmasakti yang ada di tangan gurunya
itu agak lain. Belati panjang itu selalu mengeluarkan
sinar membara yang berhawa panas dan kekuatan-
nya menyamai bisa seratus ekor ular berbisa, hingga
lawan yang kena tersinggung saja pasti akan mati
dalam waktu yang tidak lama. Orang biasa saja
seperti diri mereka berdua itu boleh dipastikan tidak
akan tahan lama memegang kedua pusaka itu,
apalagi menggunakannya dalam pertempuran. Kalau
mereka melihat bahwa gurunya membawa kedua
pusaka kembar itu pastilah bisa diduga kalau lawan
dan musuh-musuh yang harus dihadapi oleh Ki
Topeng Reges itu, termasuk orang-orang yang berilmu
tinggi. Sebab kalau hanya lawan biasa saja pastilah
gurunya tidak perlu membawa Kiai Brahmasakti.
Dengan pancaran api ilmu Netra Dahana gurunya,
cukuplah untuk membinasakan lawannya.
Tetapi kali ini tidak, gurunya telah menggenggam
pusaka ampuhnya.
"Kalian tunggu saja. Kedua orang penghalang itu
pasti akan termakan oleh senjata ini!" Ki Topeng
Reges setelah menimang-nimang kedua pusaka itu,
lalu menyimpannya ke dalam baju serta melangkah
ke halaman. "Nah, aku berangkat sekarang!"
"Baik, Kiai," ujar Jaramala dan Pelang Telu ber-
bareng. Mereka menatap gurunya yang masih melangkah
dengan tegap ke halaman dan sesaat kemudian Ki
Topeng Reges menjejak tanah dan tubuhnya melesat
ke arah selatan seperti bayang-bayang dan lenyap di
keremangan senja. Beberapa ekor kelelawar terkejut
karenanya dan mencicit-cicit terbang berhamburan.
*** Sang rembulan sebentar-sebentar terselubung oleh
awan putih yang berarak-arak mengalir di langit,
membuat sinar yang menerangi tempat itu sebentar
terang dan sebentar gelap. Di rumah itu yang letak-
nya tidak jauh dari tepi jalan yang menuju ke arah
Demak, tampaklah beberapa ekor kuda yang ditam-
batkan pada tonggak-tonggak kayu. Di ruangan
tengah rumah itu tampaklah Pandan Arum sibuk
mengobati serta membalut para prajurit-prajurit yang
terluka parah. Untunglah ia memiliki kepandaian
tentang ilmu pengobatan dan jamu-jamuan ajaran
dari bibinya, Nyi Sumekar, sehingga ia dengan
mudah dapat memberi perawatan terhadap mereka.
Namun hatinya tak urung merasa cemas juga
sebab dua di antara prajurit-prajurit yang terluka itu, dalam keadaan yang
mengkhawatirkan. Keduanya
terlalu banyak kehilangan darah dan lukanya pun
terlalu dalam pula.
Biarpun begitu, Pandan Arum dan juga Ki Camar
Seta telah berusaha sedapat-dapatnya. Sementara
Pandan Arum, Gajah Sela, dan Aldaka berada di
ruang tengah, di halaman rumah di dekat pagar
bambu kelihatan Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung
bercakap-cakap dan di sebelah lain, seorang prajurit
berdiri dengan menggenggam tombaknya untuk men-
jaga rumah itu.
"Anakmas Mahesa Wulung, dengan tewasnya
Empu Baskara dan kabar kematian Angger yang
terjatuh ke jurang itu telah membuat geger kalangan
armada Demak dan lingkungan istana. Itulah sebab-
nya kesatuan Nara Sandi telah mengirimku kemari
dan juga dari Wira Tamtama. Angger Mas Karebet
telah berkenan untuk pergi menyelidikinya. Ternyata
peristiwa ini didalangi oleh Ki Topeng Reges dan
muridnya si Rikma Rembyak."
"Begitulah, Bapak. Ki Topeng Reges tidak bisa kita
anggap lawan yang ringan. Ilmu Netra Dahana yang
dikuasainya sangat berbahaya bagi kita. Aku telah
melihat sendiri betapa dua orang anak buah Jorangas
telah terbakar hangus kepalanya oleh sambaran api
Ki Topeng Rages yang memancar dan menjilat dari
kedua matanya." Mahesa Wulung berhenti sejenak
menarik napas. "Dan ilmu itu hanya bisa dihadapi
dengan lembaran-lembaran kitab hijau yang disim-
pannya." "Ooo, kitab hijau milik Landean Tunggal yang telah
Angger ceriterakan kepadaku itu?" sambung Ki Ca-
mar Seta. "Betul, Bapak," jawab Mahesa Wulung.
"Hmmm, sulit juga hal ini. Pasti Ki Topeng Reges
menyimpan barang itu pada tempat yang tersem-
bunyi. Sebab barang itu juga merupakan bagian
daripada nyawa dan hidupnya," ujar Ki Camar Seta
pula. "Namun betapapun sukarnya aku harus mencari
lembaran-lembaran kitab itu, Bapak," sambung Ma-
hesa Wulung. "Ya, memang itulah satu-satunya jalan untuk me-
ngalahkannya," sambung Ki Camar Seta membenar-
kan. "Mari, Anakmas, kita masuk ke dalam. Malam
makin bertambah larut."
Kedua orang itu segera masuk ke dalam dan di
luar semakin sepi. Malam telah memeluk bumi. Gu-
nung Muria, Jepara, Demak, Kudus dan seluruh
permukaan bumi telah menjadi kelam. Demikian pula
rumah yang disinggahi oleh mereka menjadi sepi dan
kelam. Di dalam, Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung ikut
pula membantu Pandan Arum dalam merawat pra-
jurit-prajurit yang terluka. Hati mereka pada terharu
memandangi tubuh-tubuh yang terbaring luka itu,
namun merekapun berbangga bahwa prajurit-prajurit
itu telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Apabila malam semakin larut, tiba-tiba terdengar
sebuah jerit nyaring. Pandan Arum tersentak kaget.
"Dengar Kakang Wulung, suara apakah itu?"
"Ah, itu hanya suara pekikan burung hantu,"
jawab Mahesa Wulung seraya memegang pundak
gadis itu supaya tenang.
Namun tiba-tiba terdengar pula sebuah jeritan
pendek, dan Pandan Arum melangkah ke pintu. "Biar
aku keluar sebentar, Kakang. Aku ingin mengetahui
burung hantunya."
Pandan Arum yang tiba di ambang pintu melihat
keluar. "Ah, sepi-sepi saja!" pikirnya.
Tetapi ketika ia melihat ke sudut rumah, dilihatnya
prajurit jaga telah menggeletak di tanah. Maka iapun
secepat kilat berlari ke arah itu dan segera memerik-
sa prajurit itu.
"Hah, pingsan"! Jalan darahnya tertotok!" desis
Pandan Arum setelah memeriksa tubuh prajurit itu.
Inilah yang hebat. Sebuah totokan jalan darah
biasanya hanya mampu melumpuhkan orang, tetapi
tidak sampai seperti itu.
Baru saja selesai memeriksa orang itu, telinga Pan-
dan Arum yang cukup tajam telah menangkap bunyi
gemerisik halus di atas genting. Cepat ia menjumput
batu kerikil dan melemparkannya ke genting sambil
berseru, "Hei, siapa itu yang di atas genting"!"
Berbareng dengan teriakan itu sesosok bayangan
berkelebat turun dari atas genting dengan ringannya
seperti selembar daun kering dan tepat berdiri
dengan kokoh di depannya. Betapa kaget dan ngeri-
nya bila ia menatap bayangan yang telah berdiri di
hadapan itu. Sebuah wajah yang kaku seperti hantu
menghiasi muka orang itu dan kemudian rasa kaget
serta takutnya meledak. Pandan Arum menjerit
hebat. Si wajah hantu yang tidak lain adalah Ki Topeng
Reges tertawa seram melihat gadis cantik itu menjerit
ketakutan. "Heh, heh, heh, tak mengira bahwa di tempat ini
kutemukan bunga yang cantik! Tetapi sayang, kalau
kau termasuk kawan si Mahesa Wulung, engkau pun
harus mati di tanganku, cah ayu!"
Ki Topeng Reges maju mendekati Pandan Arum.
Tapi gadis inipun melangkah mundur dengan rasa
kecemasan. "Berhenti, setan! Akulah tandinganmu!"
Mendengar teriakan itu, Ki Topeng Reges cepat
berbalik dan sambil menggeram hebat iapun bersiaga
ke arah suara itu.
"Hmm, kaulah yang aku cari! Sekarang berjong-
koklah di hadapanku ini untuk menerima hukuman-
mu!" Ki Topeng Reges berkata sambil mengacungkan
tangannya ke depan ke arah muka Mahesa Wulung.
"Bagus, kalau kau ingin menghukumku, cobalah!
Aku bukan anak ingusan yang patut kau takut-
takuti," ujar Mahesa Wulung sambil bersiap.
"Haaait," Ki Topeng Reges secepat kilat meloncat
menerkam Mahesa Wulung dengan kedua tangannya
yang mengembang seperti cakar-cakar setan.
Ia ingin melumpuhkan Mahesa Wulung dengan
gebrakan pertama dan kemudian membunuhnya
sekali. Namun alangkah kagetnya ketika dengan
gerakan secepat angin, lawannya berhasil lolos dari
terkamannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah
jurus yang dipergunakan oleh Mahesa Wulung itu. Ia
merasa pernah mengenalnya. Inilah yang membuat Ki
Topeng Reges ragu sejenak dan ketika ia mengingat-
ingat jurus yang dipakai oleh Mahesa Wulung tadi,
hatinya berdesir seketika.
Ya, ia mengingat jurus itu yang dulu dipergunakan
oleh Landean Tunggal, sahabatnya yang telah diku-
burnya di Jurang Mati. Mungkinkah Mahesa Wulung
yang dulu terjatuh di Jurang Mati telah menemukan
kitab hijau milik Landean Tunggal" Pertanyaan itu
yang berkali-kali bergema dalam otaknya. Tiba-tiba
dilihatnya Mahesa Wulung melolos pedang!
"Persetan!" desis Ki Topeng Reges. "Meskipun ia
sakti, tapi ia tak akan tahan dengan ilmu Netra Da-
hana!" Ki Topeng Reges segera mengerahkan ilmunya dan
sebentar saja bola matanya menjadi kemerahan dan
berbareng kedua tangannya mengembang ke depan,
dua jilatan lidah api telah memancar dari matanya
serta menyambar Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung melesat ke udara dan
keduanya bertempur hebat saling melibat tak ubah-
nya dua pusaran angin prahara. Pandan Arum yang
mengikuti pertempuran itu merasa ngeri juga hatinya
berdebar-debar.
Mahesa Wulung yang agaknya merasakan kesem-
pitan tempat itu yang penuh pepohonan, segera
melesat ke genting dan Ki Topeng Reges pun menge-
jarnya. Di saat keduanya saling bertempur di atas genting,
sebuah bayangan lain menyusul melesat ke atas
genting. Melihat ini Pandan Arum semakin tertarik
dengan pertempuran itu. Ia pun menggenjotkan
kakinya ke atas tanah kemudian melesat ke genting
pula dengan enaknya.
Begitu tiba di genting, Pandan Arum segera dapat
mengetahui bahwa bayangan tadi adalah Ki Camar
Seta. Pandan Arum tak tinggal diam, ia segera pula
bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Tandang dan olah Ki Topeng Reges benar-benar
dilihatnya seperti hantu, dengan kedua tangannya
yang sebentar siap menerkam lawan di samping
lidah-lidah api yang memancar dari kedua bola
matanya. Tetapi ia terpaksa bekerja lebih keras lagi,
sebab lawannya bukanlah anak ingusan yang mudah
ditakut-takuti, bahkan ia merasa kagum tetapi juga
mengumpat bila pendekar yang semuda itu telah
mampu menandinginya.
Tiba-tiba Ki Camar Seta mengepungnya.
"Keparat! Si Caping kumal juga ingin bermain-
main denganku. Ayo, mulailah! Jangan hanya berdua
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau bertiga. Meski kau tumplak seluruh bala prajurit-mu, aku tak akan lari dari
sini!" terdengar Ki Topeng
Reges sesumbar dengan suara yang menggeledek.
Sampai sejauh itu Pandan Arum hanya melihat
pertempuran tadi dengan hati berdetak. Ia merasa
kagum akan ilmu meringankan tubuh ketiga pen-
dekar tersebut, yang kini terlibat berpusaran seperti
angin dalam pertempurannya. Betapa jadinya kalau
mereka tidak mengerahkan ilmu tersebut" Pasti
genting-genting itu akan berserakan pecah rontok ke
bawah! Pertempuran berjalan semakin dahsyat! Ki Topeng
Reges yang dikerubuti dua pendekar jagoan itu
tampak semakin ganas. Dalam hati ia telah bertekad
untuk membinasakan kedua lawannya itu, karena
mereka telah berani menggagalkan maksudnya untuk
merampok emas. Maka dengan segenap ilmu yang dimilikinya serta
dilengkapi oleh kemarahan yang memuncak, kedua
lawannya tersebut sebentar kemudian telah dikurung
dengan ilmu ampuhnya, Netra Dahana. Lidah-lidah
api yang panas dan liar segera menjilat dan menyam-
bar-nyambar tubuh Mahesa Wulung dan Ki Camar
Seta. Untunglah keduanya cukup memiliki kelinca-
han, sehingga tubuh mereka sebentar-sebentar me-
lenting ke udara untuk menghindari sambaran-
sambaran lidah api.
Tiba-tiba sambil menggeram Ki Topeng Reges
menggerakkan kedua tangannya ke balik baju dan
sebentar kemudian kedua tangan itu telah menggeng-
gam Kiai Brahmasakti, pusaka yang berujud belati
panjang yang membara.
Melihat kedua senjata itu, Mahesa Wulung dan Ki
Camar Seta meloncat mundur dengan dada berdegup.
Ki Topeng Reges terkekeh karenanya. Dengan
bangga ia mengacungkan kedua pusaka itu. "He, he,
he, kalian kaget bukan" Inilah Kiai Brahmasakti yang
pernah menggegerkan dunia persilatan! Sebentar lagi
kalian akan merasakan kehebatannya. Nah,
bersiaplah buat kematianmu, setan!"
"Ki Topeng Reges!" seru Mahesa Wulung. "Jangan
menakut-nakuti. Kaulah yang harus menyerah di
hadapanku!"
Bukan main marahnya Ki Topeng Reges, maka
secepat kilat ia melesat ke atas dan menyerang Mahe-
sa Wulung dengan kedua pusaka kembarnya, Kiai
Brahmasakti. Mahesa Wulung terkejut mendapat serangan tiba-
tiba yang meluncur secepat angin. Segera ia memapa-
ki dengan pedangnya.
Trang! Dua benturan senjata berbunyi nyaring menyeri-
kan telinga disusul bunga-bunga api berpijar ke
udara malam. Mahesa Wulung tersentak kaget. Akibat dari ben-
turan kedua senjata itu, tangannya tiba-tiba merasa
panas, seakan-akan pedangnya telah dipanggang oleh
bara api yang bertimbun-timbun. Iapun meloncat
surut. Di saat itu pula serangan Ki Topeng Reges
berikutnya dapat ditangkis oleh Ki Camar Seta
dengan putaran pedangnya. Namun Ki Camar Seta
pun seperti halnya Mahesa Wulung, ia merasakan
akibat benturan pedangnya dengan senjata Kiai
Brahmasakti di tangan Ki Topeng Reges. Sungguh-
sungguh mengejutkan. Cepat ia meloncat surut.
Melihat lawannya meloncat surut, Ki Topeng Reges
sekali lagi tertawa terkekeh-kekeh. "Heh, heh, heh,
kalian rasakan kehebatan senjataku ini bukan" Hayo,
kerahkan segenap ilmumu sebelum mati di ujung
senjataku ini."
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta sadar akan
bahaya yang mengancam mereka semua. Mereka
berpikir keras mencari jalan yang baik dan tiba-tiba
Mahesa Wulung menjentik Ki Camar Seta. Keduanya
segera melesat turun ke tanah sambil menantang.
"Heei, Ki Topeng Reges, jika kau laki-laki sejati,
kejarlah kami. Mari kita teruskan permainan kita."
Keduanya bermaksud memancing Ki Topeng Reges
agar menjauh dari rumah itu, hingga sahabat-saha-
bat mereka akan lebih aman.
Ki Topeng Reges segera melesat turun mengejar
kedua lawannya. Mereka berkejaran ke arah utara,
menerobos kelebatan hutan, melompati sungai-
sungai kecil, tak ubahnya tiga ayam alas saling
berkejaran. Sebentar kemudian ketiganya lenyap,
seperti ditelan kelebatan hutan lembah kaki Gunung
Muria. Pandan Arum segera melesat turun dari atas gen-
ting dengan perasaan yang bercampur-baur, memi-
kirkan Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta yang
tengah lari, diburu oleh Ki Topeng Reges. Dalam hati
ia berdoa semoga keduanya dapat selamat dari ceng-
keraman si wajah hantu.
Tempat itu kembali menjadi sepi dan malam sema-
kin bertambah larut. Sang purnama yang bulat per-
lahan-lahan dan lambat bergeser ke arah cakrawala
barat. *** Sampai di sinilah ceritera "Diburu Topeng Reges"
berakhir, dan segera akan datang mengunjungi Anda,
cerita berikutnya dari seri Naga Geni yang berjudul
"Munculnya Pendekar Bayangan".
TAMAT Document Outline
DIBURU TOPENG REGES
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** TAMAT Elang Terbang Di Dataran Luas 11 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Misteri Dewi Pembalasan 3
sudah dapat menebak kalau orang itu juga orang dari
lingkungan istana Demak. Sebab keris Sangkelat
termasuk pula pusaka ampuh dari Demak. Keris itu
yang dibuat oleh Empu Supa dari Sedayu terkenal
ampuh luar biasa. Sedangkan orang itu yang melihat
pusaka cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung
juga merasa kagum rupanya dengan senjata lawan-
nya. "Hmm, kita masing-masing memiliki pusaka-pusa-
ka dahsyat. Nah, aku usulkan kepada Kisanak agar
kita menyimpan kembali senjata kita masing-masing.
Marilah pertempuran ini kita lanjutkan tanpa meng-
gunakan senjata-senjata pusaka kita"!" terdengar
orang itu berkata dengan tenangnya sambil menya-
rungkan kembali kerisnya.
"Baik, aku pun sependapat!" Jawab Mahesa Wu-
lung serta mengikatkan kembali cambuk Naga Geni
ke ikat pinggangnya.
Setelah itu bergetarlah kembali udara goa itu oleh
pertempuran kedua pendekar gemblengan. Keduanya
terlibat dalam lingkaran pertempuran hebat. Batu-
batu kerikil serta debu berhamburan kesana-kemari
seperti diaduk oleh angin puyuh, sehingga perang
tanding itu merupakan perang tanding yang dahsyat.
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Wulung melihat
lawannya mengambil sikap pukulan maut dengan
menekuk kaki kirinya ke depan. Oleh sebab itu iapun
tak akan tinggal diam begitu saja menghadapi aji
pukulan lawannya yang mungkin amat dahsyat.
Maka Mahesa Wulung pun mengerahkan segenap ke-
kuatan lahir batin yang disalurkan lewat sisi telapak
tangannya, untuk menurunkan aji pukulannya
'Lebur Waja'. Sejurus kemudian kedua pendekar itu saling
berloncatan menyerbu dan satu letupan menggelegar
memekakkan telinga terdengar memenuhi ruangan
goa, apabila kedua aji pukulan maut itu saling
berbenturan satu dengan yang lain.
Begitulah bila benturan itu terjadi, akibatnya
cukup hebat. Kedua pendekar itu masing-masing
terpental surut ke belakang beberapa langkah untuk
kemudian jatuh terduduk dengan tubuh yang lemas
bagai dilolosi otot dagingnya, sementara dada-dada
mereka terasa sesak bagai terhimpit oleh timbunan
bongkah-bongkah batu.
Keduanya saling mengamati dengan teliti, tapi
Mahesa Wulung masih belum mengenal dengan jelas
akan wajah lawannya, kecuali hanya remang-remang
saja. Sayang, kegelapan ruangan goa itulah yang
menghalang-halangi Mahesa Wulung untuk mengenal
wajah orang itu lebih lanjut. Namun dari pantulan-
pantulan sinar matahari di luar goa dapatlah Mahesa
Wulung mengenali perawakan lawan serta guratan-
guratan wajahnya yang menunjukkan ketampanan.
Hati Mahesa Wulung terpaksa bergetar ketika
merasakan kedahsyatan pukulan dari lawannya yang
berkekuatan luar biasa.
"Aji Lembu Sekilan!" desisnya gemetar.
Tapi lawannya itupun bergumam keheranan,
"Hmmm, aji Lebur Waja dari Asemarang yang cukup
sempurna! Untunglah aku mempunyai Lembu Seki-
lan. Kalau tidak, pastilah tubuhku terbakar hangus
atau remuk!"
Sesaat kedua orang itu terdiam seolah-olah tengah
merenung serta merasakan akibat benturannya dua
ilmu dahsyat. Masing-masing diam membisu tapi
sibuk pula mengatur pernafasannya yang sesak.
Selagi Mahesa Wulung masih mengatur pernafasan
serta melenyapkan rasa nyeri pada rongga dadanya,
tiba-tiba saja lawannya itu telah bangkit lebih dahulu
dari duduknya. Hal ini membuat Mahesa Wulung
terpaksa keheranan setengah kagum melihat daya
tahan lawannya yang begitu hebat.
Orang itu sambil berdiri masih tak ketinggalan
memperdengarkan ketawa lunaknya sambil berkata
pelan, "Heh, heh, heh, Andika cukup hebat mengua-
sai ilmu pukulan Lebur Waja. Terus terang aku
merasa kagum dan terimalah salamku. Aku yakin
Andika akan berhasil menyelesaikan tugas-tugas
Anda." "Terima kasih atas pujian Kisanak. Tapi kenyata-
annya Kisanak lebih hebat daripadaku. Aku pun
mengagumimu," ujar Mahesa Wulung yang masih
duduk di lantai goa. "Tapi siapakah Kisanak dan
mengapakah Kisanak dapat mengenal ilmu pukulan
si Lebur Waja?"
"Heh, heh, heh, Andika tak perlu heran. Aku
memang suka mengembara dan muncul di tempat-
tempat yang tak terduga, seperti yang Andika saksi-
kan sekarang ini." Terdengar kata-kata orang itu
halus dan ramah. "Biarlah untuk sementara Andika
tidak perlu mengenal namaku dulu. Lain kali pastilah
kita akan bertemu pula."
Orang itu kemudian melangkah keluar dari ruang-
an itu dan berjalan ke arah relung-relung terowongan
goa yang lebih dalam dan gelap. Tapi kata-katanya
masih terdengar lagi oleh telinga Mahesa Wulung.
"Nah, selamat tinggal Andika. Sampai bertemu lain
waktu." "Terima kasih, Kisanak," sahut Mahesa Wulung
pelan. Kembali ia menebak-nebak. Siapakah orang itu
yang begitu hebat mempunyai daya tahan serta
keperwiraan dengan tingkatan sempurna" Tiba-tiba
sebuah percikan pikiran timbul, jika ia mengingat
kembali aji pukulan Lembu Sekilan serta keris Sang-
kelat yang dipakai oleh lawannya.
"Hhhhh, apakah dia" Ooooh tak mungkin. Tapi
mungkin pula dia! Ya, jika tidak keliru dialah Mas
Karebet si Jaka Tingkir dari Demak. Hanya dialah
yang mempunyai ilmu serta pusaka itu dan hanya dia
pulalah yang sanggup meloncat mundur sambil
berjongkok."
Bila dadanya sudah tidak merasa sakit serta nafas-
nya telah lancar kembali, Mahesa Wulung cepat-cepat
berdiri. Tampak olehnya tempat sekeliling yang
penuh batu-batu berserakan akibat pertempurannya
melawan pendekar tanpa nama itu.
Sesudah mengibas-kibaskan debu dari pakaian-
nya, ia segera melangkah keluar menuju ke arah
mulut goa tempat ia masuk semula. Dan dengan
sekali menggenjotkan kakinya ke tanah, Mahesa
Wulung segera berlentingan meloncat-loncat di tebing
jurang menuju ke atas.
Kedatangannya segera disambut oleh Pandan
Arum dengan wajah kecemasan.
"Ooh mengapa begitu lama mengambil kitab itu,
Kakang" Aku sudah sangat kuatir jangan-jangan
Kakang dicegat pula oleh laba-laba raksasa."
Mendengar kata-kata Pandan Arum itu, ia cuma
tersenyum manis. Ia sengaja tidak akan menceri-
takan pertemuannya dengan pendekar asing itu.
"Tidak, Adi. Tak ada lagi laba-laba raksasa. Yang
ada sekarang cuma bunga pandan yang cantik di
hadapanku," kelakar Mahesa Wulung.
Pandan Arum sedikit tersipu-sipu mendengar puji-
an dari mulut Mahesa Wulung.
"Idih, cantik mana dengan temanmu tadi, si Andini
Sari?" Begitulah kalau sepasang muda taruna bersenda
gurau. Pengalaman-pengalaman pahit serta kesusah-
annya sesaat terhibur dan hilang dari benaknya.
Keduanya adalah pendekar-pendekar muda penuh
harapan di masa datang. Maka biarpun mereka
menghadapi bahaya yang sebesar apapun, mereka
akan senantiasa berhati besar menghadapinya.
Memang begitulah seharusnya manusia dalam meng-
hadapi persoalan yang besar dan rumit, yang boleh
jadi akan dijumpai dalam hidup atau kejadian sehari-
hari. Ia tak boleh berputus asa sebelum betul-betul
berjuang menghadapi persoalan itu. Dan yang
penting, manusia tak boleh lupa kepada Maha Pengu-
asa Alam, Allah Yang Maha Besar. Untuk setiap hari,
setiap tahun dan bahkan sepanjang kehidupan ma-
nusia, ia harus berjuang, bertawakal serta memohon
kepadaNya agar damai dan tenteramlah di dunia ini.
*** 4 Malam telah merajai semesta alam dan kehidupan
siang telah berganti dengan kehidupan malam. Bunyi
daun yang bergesekan di kelebatan hutan lereng
Gunung Muria sangat menyeramkan bulu roma, tak
ubahnya suara rintihan setan-setan.
Di sebuah rumah tua di dekat reruntuhan sebuah
candi terlihatlah tiga orang duduk-duduk mengelilingi
sebuah dian minyak yang sebentar-sebentar apinya
bergoyang-goyang terkena angin.
"Nah, bagaimana dengan tugas kalian," bertanya
seorang yang berwajah kaku seperti tengkorak hidup
dan berambut panjang.
"Telah berjalan sesuai dengan perintah, Kiai,"
jawab seorang yang berambut pendek dengan tiga
bundaran bekas luka di kepalanya.
"Dan sebentar lagi emas-emas itu pasti akan
pindah ke kantong kita, Kiai," sela si orang ketiga
yang berhidung besar dan bergigi besar-besar.
"Hus, belum-belum sudah mimpi!" bentak si ram-
but pendek. "Kita lebih dulu harus berhadapan
dengan satu kelompok prajurit berkuda!"
"Jaramala dan Pelang Telu! Coba kau ceriterakan
selengkapnya apa-apa yang telah kalian kerjakan!"
potong orang berwajah hantu yang tidak lain adalah
Ki Topeng Reges. "Nah, Jaramala ceritakanlah!"
"Baik, Kiai. Mula-mula kami menyamar ke Demak
dan kami mulai menyelidiki tentang kiriman emas
itu. Dua hari lagi, sepasukan berkuda akan lewat
dengan membawa seperti uang emas serta perhiasan
dari Gresik. Setelah berhasil kami mengetahui hal itu,
kamipun segera pulang, Kiai," Jaramala menyelesai-
kan ceriteranya dengan menundukkan kepala,
seolah-olah takut memandang wajah hantu gurunya.
"Hua, ha, ha, ha, bagus kowe! Pancen kalian murid-murid yang setia dan pintar!"
seru Topeng Reges tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ter-
guncang-guncang. Begitu kuat tenaga dalamnya
sampai-sampai genting-genting atap berderekan
sedang dian api di meja pendek itu menjadi keder
apinya. "Kalian boleh berangkat besok pagi dan bawa-
lah beberapa orang kawan yang perlu. Bunuh semua
prajurit Demak yang mengawalnya, kemudian ram-
pas emas itu."
Ki Topeng Reges berhenti sejenak serta meman-
dangi kedua muridnya. "Emas itu akan kita gunakan
untuk menyusun kekuatan melawan Demak."
"Kami sudah mengerti, Kiai. Dan emas itu pasti
akan pindah ke tangan kita segera!" sahut Pelang
Telu mantap. "Biar mereka rasakan sepak terjang
murid-murid Ki Topeng Reges dari Watu Semplak."
"Hmmm, begitulah harapanku kepada kalian
berdua, sebab toh kalian juga yang akhirnya harus
meneruskan Perguruan Netra Dahana ini!" ujar Ki
Topang Reges. Kemudian ia berhenti sejenak mere-
nungi halaman yang terang-benderang bermandi
sinar bulan. Dari kejauhan terdengar raungan anjing-anjing liar
yang mengumandang di lereng timur Gunung Muria.
Terkadang bersahut-sahutan dengan raungan dari
arah lain, sehingga keseraman hutan itu bertambah-
tambah. Suara binatang-binatang malam lainnya pun tak
kalah seramnya. Ocehan burung hantu serta gangsir
dan jengkerik atau sebentar-sebentar dering orong-
orong melengkapi irama keramaian malam purnama
itu. "Dengarlah raungan serigala-serigala itu yang me-
nyambut sinar bulan purnama," Ki Topeng Reges
berkata. "Sekarang marilah kita berlatih silat untuk
menghadapi tugas kalian besok pagi!"
"Baik, Kiai," ujar Jaramala dan Pelang Telu berba-
reng. Kemudian ketiga orang itu melangkah keluar
menuju ke halaman rumah yang merupakan padang
alang-alang dikelilingi oleh pohon-pohon sawo dan
beringin berdaun lebat.
Bunyi dering orong-orong gangsir dan jengkerik
terbisu seketika bila di halaman itu telah dipenuhi
oleh sambaran-sambaran serta deru-deru pukulan
dari ketiga orang itu. Ketiganya bergerak dan ber-
tempur amat cepat hingga yang nampak hanyalah
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelebatan
seperti hantu malam berebut mangsa, diseling oleh
jerit-jerit bersemangat dan pekikan-pekikan berlaga
menambah ketiganya makin seru mengadu tenaga.
"Heeaat!" teriak Pelang Telu menyabet Ki Topeng
Reges dengan sisi telapak tangannya yang sekeras
batu karang ke arah kepala Ki Topeng Reges.
Si wajah hantu merunduk sambil berseru lantang,
"Tidak kena! Hee, Pelang Telu, kau kurang cermat!
Lihat nih, pertahananmu lowong!"
Ki Topeng Reges yang memperingatkan Pelang Telu
itupun sambil mencablek muridnya dengan ujung jari tangannya, namun hal itu
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa oleh Pelang Telu
bagai sengatan puluhan kalajengking yang nyeri sam-
pai ke ujung ubun-ubun.
Sementara itu sebuah bayangan berkelebat menye-
rang si wajah hantu dengan tendangan melayang di
udara menyambar kepalanya. Ki Topeng Reges cukup
waspada dan menyambut tendangan itu dengan
kedua telapak tangannya menahan serangan.
Buuk! Kaki Jaramala yang menyambar itu membentur
telapak tangan gurunya dan seketika ia terpelanting
ke belakang putar balik.
Untunglah ia termasuk murid pilihan dari Ki To-
peng Reges, pendekar hitam berwajah hantu. Maka
begitu ia terpelanting, segera ia mengerahkan tenaga
dalamnya dan mendarat di atas tanah dengan kedua
belah kakinya lebih dulu.
"Kau cukup baik!" teriak Ki Topeng Reges.
Jaramala dan Pelang Telu yang merasa gagal
serangannya, cepat-cepat bersiaga dan menyerang
berbareng ke arah Ki Topeng Rages dengan pukulan
tangannya dengan cepat.
"Hyaat!" Ki Topeng Reges berteriak dan tubuhnya
melesat ke udara, maka sebelum kedua pukulan itu
mengenai sasarannya, si sasaran telah menghindar
ke atas lebih dulu.
Kedua murid itu tidak putus asa, dengan cepat
mereka menyerang kembali ke arah gurunya selagi Ki
Topeng Reges masih mengambang di udara. Namun
betapa kagumnya mereka bila Ki Topeng Reges masih
bisa menghindar dengan melesat lebih tinggi lagi dan
tahu-tahu ia telah nongkrong di atas sebuah cabang
pohon beringin.
"Nah, sekarang hati-hatilah kalian!" seru Ki Topeng
Reges sambil melesat turun ke bawah dengan kedua
tangannya mengembang. Tubuhnya merupakan sinar
yang berkelebat dan tahu-tahu Jaramala dan Pelang
Telu terkena totokan jari-jari Ki Topeng Reges.
Keduanya seketika terjengkang ke tanah dengan
meringis menahan sakit.
"Hua, ha, ha, ha. Jangan kuatir, anak-anak. Nih,
kusembuhkan rasa sakitmu," ujar sang guru sambil
mengurut punggung kedua muridnya dan keduanya
segera sembuh kembali.
Setelah memberi petunjuk-petunjuk, Ki Topeng
Reges dengan kedua muridnya itu kembali melanjut-
kan latihannya. Ketiganya bertempur kembali dengan
dahsyat, seolah-olah bukan latihan lagi, tetapi ber-
tempur sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan sampai tengah malam meng-
habiskan puluhan jurus. Kalau kedua muridnya itu
telah mengucurkan keringat dinginnya, Ki Topeng
Reges sendiri malah sebaliknya, ia nampak semakin
segar dan beringas.
Akhirnya setelah Ki Topeng Reges merasa puas
dengan kedua muridnya, maka latihan itupun disu-
dahi. Diam-diam si wajah hantu itu memuji kedua
muridnya dan yakinlah kalau Jaramala dan Pelang
Telu akan bisa menyelesaikan serta membereskan
sekelompok pasukan berkuda dari Demak serta
merebut emas itu.
Ketiganya masuk kembali ke dalam rumah dan Ki
Topeng Reges menuangkan sebuah belanga kecil ke
atas tiga pinggan tembikar. Sebuah cairan hijau
kecoklatan mengalir ke atas pinggan itu sampai
penuh. "Nah, Jaramala dan Pelang Telu. Ayo kita minum
jamu ini agar badan kita segar kembali," ujar Ki
Topeng Reges mempersilahkan kedua muridnya.
Ketiganya berbareng mengambil pinggan berisi
jamu itu. Ki Topeng Reges sambil mengangkat
pinggan itu, ia melangkah ke jendela dan setengah
menguakkan topengnya sedikit, ia meminum jamu
itu. Perbuatan Ki Topeng Reges itu tidak begitu meng-
herankan bagi Jaramala dan Pelang Telu, sebab mes-
kipun mereka belum pernah mengenal wajah di balik
topeng seram itu, mereka sudah puas menjadi murid
Ki Topeng Reges. Bagi mereka tidak peduli seandai-
nya wajah asli gurunya itu tampan ataupun jelek.
Dan memang murid-murid Ki Topeng Reges itu tak
ada yang berani mencoba menatap wajah hantu gu-
runya. Malam makin bertambah larut dan bulan lebih
jauh bergeser ke arah barat mendekati cakrawala,
seperti seorang putri yang berjalan kelelahan menuju
ke tempat peraduannya untuk melepaskan lelah.
"Kiai, apakah kami diperbolehkan tidur sekarang?"
kata Jaramala memecah keheningan.
"Eeeh, ya, ya, aku lupa. Baiklah, kalian boleh
beristirahat sekarang!" jawab Ki Topeng Reges.
Setelah sesaat kedua muridnya itu pergi, Ki Topeng
Reges melangkah ke kamarnya untuk beristirahat
pula. Matanya yang cekung tajam itu masih menatap
sebuah kotak kayu berukir di dekat balai-balai.
Sambil merebahkan diri, kotak kayu itu diraih
serta dibukanya dan tampaklah lembaran-lembaran
kertas serta sebuah lopian, kaca bulat yang biasa digunakan untuk berkaca dan
berhias. "Hmmm, sayang sekali bahwa aku hanya sempat
memiliki beberapa lembar halaman kitab hijau milik
Landean Tunggal. Namun inipun sudah merupakan
puncak dari ilmu kitab hijau itu. Dengan hanya
beberapa lembar saja, terlahirlah ilmu Netra Dahana
yang dahsyat. Selama orang lain tak membaca hala-
man-halaman ini, tak seorang pun akan berhasil
mengalahkan aku," Ki Topeng Reges berkata-kata
sendiri di dalam hatinya sambil membuka lembaran-
lembaran kertas itu serta lopian kaca yang diamat-
amatinya. "Dan kaca bulat ini yang nampaknya
sepele, sesungguhnya merupakan senjata ampuh,
tapi juga merupakan benda yang berbahaya bagi ilmu
Netra Dahana. Hhh, tak perlu ada yang kukuatirkan
memasuki kamarku ini. Bahkan murid-muridku pun
tidak berani, sebab kamar ini penuh rahasia serta
maut bagi setiap orang, kecuali aku sendiri Ki Topeng
Reges!" Ki Topeng Reges kemudian kembali menyimpan
kedua benda yang amat berharga itu ke dalam peti
kayu berukir. Matanya terasa berat dan lelah. Kemu-
dian si wajah hantu itupun merebahkan dirinya ke
balai-balai. Di luar, dua orang murid Ki Topeng Reges yang
lain tampak menjaga rumah itu. Mereka duduk-
duduk di halaman depan. Tapi sebetulnya merekapun
tak perlu takut sebab tempat itu terkenal sebagai
sarang setan dan demit, hingga tak seorang luarpun
berani menginjak Watu Semplak, pusat Perguruan
Netra Dahana di lereng timur Gunung Muria.
*** Burung-burung murai berkicau menyambut sinar
matahari pagi di sebuah jalan yang membujur di
selatan Gunung Muria. Sebuah jalan yang sering
dilalui oleh lalu lintas orang. Gerobak-gerobak sapi
dan pasukan-pasukan peronda dari Demak. Jalan itu
hampir membujur di sepanjang pantai utara Jawa,
sehingga hubungan antara Demak sampai ke barat,
daerah Cirebon, dan ke timur sampai bandar Gresik
menjadi sangat lancar.
Seiring tercampaknya sinar-sinar matahari pagi,
dari arah timur muncullah pasukan-pasukan ber-
kuda sebanyak satu kelompok. Yang terdepan dua
orang, berperawakan kekar memakai baju kutang tak
berlengan berikat kepala merah. Di belakangnya,
seorang berkuda menggandeng seekor kuda beban
bermuatan sebuah peti kayu dengan hiasan logam
berukir. Sedang di belakangnya lagi masih terdapat
enam orang berkuda bersenjata tombak.
"Adimas Aldaka, lihatlah di sebelah utara itu. Gu-
nung Muria bermandi sinar matahari. Dan puncak-
nya tampak jelas, seolah-olah terlalu dekat untuk
dicapai dengan tangan kita," ujar seorang berkuda
paling depan kepada temannya di sebelah.
"Ah, kau ini ada-ada saja, Kangmas Gajah Sela,"
sahut teman di sebelahnya. "Sebagai pemimpin pasu-
kan ini, hal itu mungkin bisa kau lakukan. Tetapi
kalau saya hanya mampu memegang puncak gu-
nungan wayang kulit itu saja, Kangmas."
Oleh jawaban temannya yang bernama Aldaka itu,
Gajah Sela serentak tertawa terkekeh-kekeh geli.
"Hi, hi, hi, kau punya bakat membanyol, Adimas
Aldaka. Pantaslah kalau Dimas menjadi anggota
dagelan dan pasti orang-orang akan kaku perutnya
mendengar leluconmu."
Aldaka juga ikut tertawa, kemudian pula disusul
oleh ketujuh orang di belakangnya, ketika mereka
mendengar percakapan antara pemimpin pasukan
dan wakilnya. Karena kelucuan Aldaka, perjalanan mereka
menjadi selalu segar, sehingga jarak yang melelahkan
dari Gresik menuju ke Demak terasa lebih dekat.
Pasukan berkuda itu terus menempuh perjalanan
menuju ke arah barat melewati jalan yang dinaungi
oleh pohon-pohon kenari dan munggur.
Meskipun dalam perjalanan itu Aldaka yang ber-
tubuh kekar tapi sedikit gemuk senantiasa membuat
suasana segar dengan dagelan-dagelannya, namun
matanya yang setajam elang itu selalu mengawasi
jalan di mukanya serta menembusi kelebatan semak
belukar di sekeliling jalan.
Demikian pula dengan si Gajah Sela yang ber-
tubuh tinggi dan kekar. Matanya yang bulat itupun
sibuk mengawasi jalan di mukanya. Sebagai pemim-
pin pasukan ia bertanggung jawab terhadap kesela-
matan anak buahnya dan juga terhadap barang yang
dikawalnya. Seperti uang emas dan perhiasan cukup
membuat orang akan ngiler untuk memilikinya, maka
untuk mengawalnya telah dipilih orang-orang yang
gagah berani. Mereka senantiasa patuh dan setia se-
hingga keamanan emas boleh ditanggung aman.
Tetapi jauh di sebelah barat sana, beberapa pasang
mata berkali-kali mengawasi ujung jalan di sebelah
timur dengan liarnya.
"Kakang Jaramala, apakah pasukan itu pasti lewat
disini hari ini?"
"Oh rupanya kau sudah tak sabar lagi, Adi Pelang
Telu. Tunggulah, mereka pasti akan lewat disini!" ter-
dengar jawaban Jaramala.
"Dengarlah angin yang bertiup ini. Kau dengar...
yah langkah-langkah kaki kuda dari arah timur"!" u-
jar Jaramala lagi dengan tenangnya, membuat Pelang
Telu terpaksa mengagumi ketajaman telinga sahabat-
nya. "Kawan-kawan, bersiaplah dengan tugas kita!
Susunlah siasat yang telah kita rencanakan kemarin
dulu!" seru perintah Jaramala dan sebentar pula
berloncatanlah dari semak-semak sepuluh orang
yang berwajah ganas bersenjata pedang, golok dan
penggada serta panah tak ketinggalan pula.
"Nah, bersiap sekarang, lekas!" Sekali lagi Jara-
mala berseru dan sebentar pula mereka pada berlon-
catan kembali ke arah semak-semak di tepi jalan.
Hanya tiga orang yang masih tinggal di tengah
jalan tanpa senjata. Seorang di antaranya segera
menggeletak, sedang yang dua pura-pura berwajah
sedih sambil meratap-ratap. "Ooh, piye iki. Adikku sakit payah. Aduh tak adakah
orang yang menaruh
belas kasihan?"
"Bagus, bagus. Hua, ha, ha, ha. Kalian ternyata
pemain-pemain sandiwara yang ulung. Nah, teruslah
bersiap begitu sampai pasukan Demak itu tiba di
tempat ini!" seru Jaramala kegirangan sambil melon-
cat ke dalam semak-semak.
Suasana menjadi tegang serentak. Anak buah si
Jaramala yang bersembunyi di balik semak-semak itu
pada bergemuruh dadanya, seperti gemuruhnya de-
rap-derap kaki kuda dari arah timur yang berjalan
dengan enaknya tanpa sedikit pun tahu bahwa di
sebuah kelokan jalan di sebelah barat, bahaya yang
besar tengah mengintai dan menunggu mereka
dengan bayangan maut.
Tetapi dua orang yang berkuda paling depan itu
selalu mengawasi jalan di depannya dengan tajam.
"Adi Aldaka, kali ini kau harus hati-hati, Adi. Aku
dengar suara orang yang meratap di ujung jalan dari
arah barat," Gajah Sela berbisik sambil mengangkat
tangan kanannya ke atas sebagai pertanda supaya
waspada kepada anak buahnya yang berada di
belakang. Mereka serentak bersiaga melihat isyarat
pemimpinnya. "Betul dugaanmu, Kangmas Gajah Sela. Lihat di
sebelah sana!" ujar Aldaka seraya menunjukkan ta-
ngannya ke barat. "Tiga orang kelihatan berkerumun
di tengah jalan. Nampaknya seperti orang yang
kesusahan, Kangmas!"
"Betul Adimas Aldaka, tampaknya seperti orang
yang mendapat kesulitan!" bisik Gajah Sela. "Tetapi
jangan lekas percaya begitu saja, Dimas."
"Eh, mengapa Kangmas?" ujar Aldaka heran men-
dengar kata-kata sahabatnya.
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kadang-kadang apa yang kita lihat tidak seperti
apa yang kita duga," jawab Gajah Sela. "Hatiku curi-
ga, Adik."
"Maksud Kangmas?"
"Aku kurang percaya dengan mereka, Dimas. Lihat
saja dengan perawakan-perawakan mereka yang ke-
kar. Hal itu seperti tidak sesuai dengan apa yang
mereka kerjakan sekarang ini. Kalau saja temannya
itu sakit, bukankah mereka dapat menggendongnya
atau memikulnya?"
"Hmm, mungkin juga Kangmas, tapi apa yang
harus kita perbuat sekarang?" bertanya Aldaka.
"Kita jangan keburu mendekati mereka dulu. Biar
kita berhenti agak jauh, Dimas!" bisik Gajah Sela.
"Dan perintahkan anak-anak lebih waspada serta
siap dengan senjatanya!"
"Baik, Kangmas!" sahut Aldaka dan kemudian ia
cepat-cepat memberikan isyarat itu kepada ketujuh
prajurit di belakangnya.
Hal itu tentu saja membuat heran ketiga orang
yang berkerumun di tengah jalan serta orang-orang
lain termasuk Jaramala dan Pelang Telu yang ber-
sembunyi di balik semak-belukar. Siasat pencegatan
telah mereka atur rapi, tapi mengapa iring-iringan
pasukan Demak itu berhenti terlalu jauh" Mung-
kinkah mereka telah mengetahui rencana pencegatan
ini" Dengus-dengus nafas mereka serta suara gemuruh
pada dada terasa mengalir lebih cepat. Sebenarnya
mereka telah tidak sabar untuk menunggu. Tetapi
Jaramala pemimpin mereka belum memberi perintah
menyerbu, sehingga mereka terpaksa masih tetap
mendekam di tempat persembunyian mereka masing-
masing dengan tangan-tangan yang gatal mengayun-
kan senjatanya.
Dan sementara ketiga orang yang bersandiwara di
tengah jalan itupun tampak kehilangan kesabaran-
nya. Mereka melihat pasukan Demak itu berhenti
terlalu jauh. "Ooh, aduh. Tuan-tuan prajurit, mengapa Tuan-
tuan berhenti di situ. Apakah Tuan-tuan tidak
merasa iba melihat nasib kami ini?" terdengar salah
seorang berteriak sambil tangannya berserabutan
menunjuk ke arah temannya yang menggeletak di
tanah. "Mengapa dengan kalian?" teriak Gajah Sela dari
kejauhan. "Apa yang telah terjadi"!"
"Tolonglah kami, Tuan. Adikku sakit payah dan
harus cepat-cepat kami bawa pulang ke rumah kami
di sebelah barat sana!"
"Tetapi mengapa tidak kalian angkat sendiri saja"
Bukankah tubuh-tubuh kalian cukup kuat untuk
membawanya?" Aldaka ikut menyahut pula.
"Badan kami sudah terlalu lelah, Tuan. Apakah
Tuan-tuan sebagai prajurit tidak menaruh belas kasi-
han kepada kami rakyat jelata yang tengah sengsara"
Bukankah Tuan-tuan sebenarnya juga bagian dari
rakyat dan harus melindungi rakyat."
"Kalian memang benar! Kami juga berasal dari
rakyat dan pelindung rakyat. Tetapi rakyat yang
bagaimana, kalian harus tahu!" Seru Gajah Sela.
"Maaf Tuan-tuan. Kami tak mengerti pembicaraan
yang muluk-muluk."
"Kami akan melindungi rakyat yang patuh dan
setia kepada negara! Sedang kalian aku sangsikan
akan kesetiaanmu kepada negara! Kepada Demak!"
Gajah Sela berteriak lebih keras sampai suaranya
mengumandang di sela-sela daun pepohonan di
sepanjang jalan itu.
"Heei, Tuan-tuan jangan sembarangan menuduh-
ku!" terdengar teriakan dari mereka. "Mengapa Tuan-
tuan dapat ngomong begitu"!"
Gajah Sela menggeram perlahan-lahan. "Kalian ja-
ngan coba-coba mengelabuhi kami dengan sandiwara
murahan itu. Berterus teranglah dan suruh temanmu
yang menggeletak, bangun dengan segera! Lekas!"
Alangkah terkejut ketiga orang itu, dan dasar
memang mereka sudah tidak sabar, maka orang yang
pura-pura menggeletak sakit di tengah jalan itupun
cepat-cepat bangkit berdiri, sambil bertolak pinggang
serta menggerundal tajam. "Persetan orang-orang
berkuda itu. Nantilah kulahap mentah-mentah
mereka!" Melihat gertakannya berhasil, Gajah Sela tertawa
terbahak-bahak. Demikian pula dengan Aldaka yang
sering memandang sesuatu dengan rasa humor ikut
pula tertawa terkekeh-kekeh. "Ha, ha, ha, ada orang
sakit digertak kok bisa sembuh seketika. Memang
Kangmas Gajah Sela bisa menjadi dukun yang
ampuh?" Prajurit-prajurit yang di belakang pun ikut tertawa
pula melihat kejadian itu.
"Nah, itu namanya orang baik-baik, suka berterus
terang. Dan sekarang kalau kalian memang laki-laki
sejati, ayo keluar semua dari semak belukar itu. Aku
dengar dengus-dengus nafas busukmu yang berbau
kejahatan dan ketamakan!" Gajah Sela sekali lagi
berteriak keras dan berbareng itu pula semua anak
buahnya telah bersiap siaga menghadapi segala
kemungkinan. "Keparat! Kalian memang banyak mulut. Sekarang
terimalah hadiahmu!" terdengar teriakan lantang dari
mulut Jaramala, dan sejurus kemudian beberapa
anak panah telah melesat berluncuran dari busur
anak buahnya ke arah pasukan Demak.
Sungguh hebat serangan tiba-tiba itu, tetapi
prajurit-prajurit Demak tak merasa takut dengan
panah-panah yang beterbangan ke arah mereka.
Gajah Sela, Aldaka dan juga anak-anak buahnya
cepat bertindak. Kedua pemimpin yang berada di
depan itu segera melolos pedangnya dan diputarnya
dengan ketat melindungi tubuh mereka.
Tak! Tak! Trang!
Beberapa anak panah yang menyambar mereka
kena tersampok oleh tebasan pedangnya. Juga pra-
jurit-prajurit di belakang mereka sibuk menangkis
samberan anak-anak panah. Namun tiba-tiba ter-
dengar dua jeritan berbareng. Tiga orang prajurit
rebah di atas punggung kudanya dengan anak panah
yang menancap pada bahunya dan yang lain pada
pahanya. Berbareng saat itu pula, kesepuluh orang anak
buah Jaramala telah berloncatan menyerang ke arah
prajurit-prajurit Demak yang telah kerepotan me-
nangkis hujan anak panah.
Sekonyong-konyong secara tiba-tiba tanpa
bersuara telah melesat sesosok tubuh manusia dari
arah utara jalan yang rimbun oleh semak-semak dan
kemudian tepat berdiri tegak di tengah jalan, sehing-
ga mau tidak mau anak buah Jaramala menghenti-
kan langkahnya karena terhadang oleh orang itu.
Orang asing itu mengenakan caping yang lusuh
oleh debu serta memegang tongkat kayu.
"Setan belang! Apa maksudmu berani menghadang
jalan ini!" teriak Jaramala sambil mendelik matanya.
"Hayo minggir ke tepi, lekas!"
"He, heh, heh, enak benar bentakanmu, sobat.
Bukan aku yang seharusnya minggir dari jalan ini,
tapi kau dan anak buahmulah yang harus minggat!
Tahu kau, sobat"!" ujar isi caping lusuh berdebu.
"Ooh, rupanya si caping bejat kepingin dijadikan
rempah-rempah, ya! Ayo anak-anak, jangan perduli-
kan orang ini! Bila menghalangi kita, cincang dia
lumat-lumat! Serbu!" teriak Jaramala dan seketika
merekapun menyerbu ke arah prajurit-prajurit
Demak. Di saat itu pula si caping lusuh telah menggerak-
kan tongkat kayu, yang ternyata adalah sebilah
pedang yang berkilat oleh sinar matahari, kemudian
disabetkan setengah lingkaran dan seorang anak
buah Jaramala terpental bermandi darah.
"Eaaaah!"
Jerit serta teriakan berlaga segera memenuhi jalan
yang semula sepi lengang dan berlangsunglah per-
tempuran dahsyat. Tampaklah bahwa prajurit-praju-
rit Demak agak kerepotan juga menghadapi serangan
lawan yang lebih ganas dan haus darah.
Hal itu tak bisa dipungkiri mengingat tiga orang
temannya yang terkena anak panah telah jatuh dari
punggung kuda dan berkelojotan di tanah dengan
sesambat. Maka mereka sekarang tinggal enam orang
saja. Gajah Sela dan Aldaka dengan gigih memutar
pedangnya dan menangkis setiap serangan lawan,
tetapi mereka menjadi terkejut apabila seorang pra-
juritnya telah rebah dari kudanya dengan dadanya
tertembus oleh pedang lawan sampai berlepotan
darah. Dan seorang anak buahnya yang lain telah
terluka pundaknya tapi masih terus gigih bertempur
melawan penyerang-penyerangnya. Suatu hal yang
membuat hati Gajah Sela makin terharu akan
keberanian dari prajurit-prajuritnya.
"Untunglah ada penolong yang datang. Orang ber-
caping itu memang hebat ilmu pedangnya," berpikir
Gajah Sela penuh kagum. "Tapi siapakah dia?"
Gajah Sela terpaksa berjuang mati-matian mela-
wan Jaramala dan anak buahnya. Demikian pula
dengan Aldaka. Keduanya mengamuk ketika sebagian
prajurit-prajuritnya telah tak berdaya menghadapi
lawan. Kini mereka tinggal berempat melawan mu-
suhnya. Matahari kian tinggi. Teriakan serta dentingan
senjata-senjata yang beradu telah mengumandang
dan sebagian terbawa oleh arus angin yang bertiup.
Ketika itu di sebelah barat laut tampaklah dua
orang yang berjalan menerobos hutan serta semak-
belukar dan ketika angin bertiup mengusap wajah-
wajah mereka. Tiba-tiba yang terdepan menghentikan langkah-
nya. "Adik Pandan Arum, tunggu dulu! Aku mende-
ngar sayup-sayup teriakan orang serta bunyi senjata
beradu!" "Dari arah mana, Kakang?" tanya si gadis yang
tidak lain adalah Pandan Arum.
"Dari sebelah tenggara, Adik," kata Mahesa Wu-
lung sekali lagi sambil mempertajam telinganya. "Mari
kita datang ke sana, Adik. Siapa tahu kita dapat
memperoleh petunjuk-petunjuk yang berguna tentang
Ki Topeng Reges."
"Baik, Kakang. Marilah!" ajak Pandan Arum dan
keduanya segera membelok ke arah tenggara menuju
sumber suara yang sangat menarik perhatian me-
reka. Kedua pendekar sepasang itu dengan cepat berla-
rian meloncat-loncat dan menerobos kelebatan hutan
yang pekat. Sepintas lalu gerak mereka tak ubah dua
ekor kijang yang lagi berlomba lari, sangat lincah dan
cekatan. Semakin dekat suara-suara itu semakin
cepat mereka berlari dan hati mereka tambah ber-
debar-debar. Mereka sibuk bertanya-tanya siapakah mereka itu
yang tengah berlaga. Sejurus kemudian keduanya
tiba di sebuah jalan yang lebar dan Mahesa Wulung
segera berhenti, lalu diikuti oleh Pandan Arum.
"Hah! Pasukan berkuda dari Demak dikeroyok oleh
perampok-perampok!" desis Mahesa Wulung dengan
kaget setengah geram.
"Diserang oleh perampok"!" seru Pandan Arum tak
kalah herannya.
"Tak keliru lagi, Adi. Nah, itu lihatlah sendiri di
sebelah timur jalan itu. Mereka tengah bertempur
dengan ramainya."
"Ooh, lihat Kakang. Pasukan Demak sudah
sebagian tak berdaya. Tinggal empat orang lagi yang
masih bisa bertempur," seru Pandan Arum dengan
cemas. "Yah, kita harus membantunya cepat-cepat, Adik.
Tapi... eh siapa orang bercaping itu yang bertempur
di pihak Demak" Hmm, musuh keliwat banyak. Nah,
Adik Pandan Arum, tinggallah engkau disini. Biar aku
yang terjun ke dalam pertempuran itu!" ujar Mahesa
Wulung sambil mengeluarkan selembar sapu tangan
segitiga yang lebar berwarna biru laut berhiaskan
gambar makara kuning emas. "Mereka pasti akan
terkejut dengan kedatanganku ini!"
Mahesa Wulung lalu memakai kedok itu yang
menutup hidung dan mulutnya kemudian melolos
cambuk Naga Geni dari ikat pinggangnya.
"Hati-hati, Kakang," bisik Pandan Arum mesra.
"Aku menunggumu disini."
Dengan tersenyum Mahesa Wulung mengangguk
dan segera diputarnya cambuk Naga Geni di udara.
Dar! Dar! Dar! Tiga ledakan cambuk yang dahsyat
memekakkan telinga mengumandang di udara seke-
liling dan mereka yang tengah bertempur itu berhenti
seketika seperti terkena pukau sihir yang hebat.
Belum lagi mereka sadar akan asal-usul ledakan
itu, tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat dari ba-
rat laut dengan memutar sebatang cambuk berkilat-
kilat kebiruan dan mendarat dengan enaknya di
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat mereka tanpa menimbulkan suara.
"Barong Makara!" teriak mereka berbareng.
Kalau prajurit-prajurit Demak gembira melihat
kedatangan Pendekar Barong Makara yang dikenal
sebagai tokoh pembasmi golongan hitam, sebaliknya
dengan Jaramala dan anak buahnya, dalam batin
mereka mengumpat dengan perasaan cemas sebab
mereka pernah mendengar akan sepak terjang dan
kesaktian pendekar berkedok ini dari murid Ki
Topeng Reges yang bernama Rikma Rembyak.
Tapi mereka adalah anak buah Ki Topeng Reges
yang namanya juga ditakuti oleh setiap orang, hingga
mereka tak mau begitu saja memperlihatkan kelema-
han dirinya. Biarpun mereka cemas, tapi segera
berloncatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung atau
si Barong Makara.
"Kawan-kawan! Ini ada mangsa baru yang meng-
antarkan nyawa. Ayo cincang dia ramai-ramai!" teriak
garang Jaramala memerintah anak buahnya yang
segera pula berbareng menyerang.
Mahesa Wulung tak merasa gentar menghadapi
empat orang lawan yang mengeroyok dirinya. Senjata-
senjata lawannya yang begitu ketat mengurung
dirinya terlihat sebagai lingkaran sinar yang bergu-
lungan menyerang sangat ganas.
Gajah Sela dan Aldaka sedikit merasa lega dengan
kedatangan Mahesa Wulung. Dengan begitu tekanan
serangan-serangan terhadap mereka sedikit berku-
rang. Dalam hati kecilnya, keduanya merasa kagum
terhadap pendekar ini. Mereka mengenal nama
Barong Makara sebagai tokoh pendekar laut dari
armada Demak dan baru kali inilah mereka sempat
berjumpa muka. Gerakan Mahesa Wulung sungguh membikin kecut
hati para pengeroyoknya. Telah berkali-kali senjata-
senjata pedang mereka berkelebat menyambar tubuh
Mahesa Wulung, namun setiap kali mereka terkejut
apabila pedang-pedang mereka sama sekali tak me-
nyentuh lawannya. Dari gerakan-gerakan serta cara
membebaskan diri, tahulah mereka bahwa orang itu
sebenarnya orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Jaramala dengan anak
buahnya bertambah gelisah dan marah. Maksudnya
untuk merampok emas belum lagi berhasil, dan
sekarang mereka mendapat dua orang lawan yang tak
bisa diremehkan begitu saja.
Kedatangan orang bercaping dan disusul oleh
orang yang berkedok itu tidak mereka duga sama
sekali. Kalau semula mereka tahu, pastilah Ki Topeng
Reges akan ikut melakukan pekerjaannya dan orang-
orang itu pastilah akan dapat ditumpasnya dalam
saat yang pendek.
Jaramala makin memperketat serangannya dan
bersama anak buahnya ia sudah bertekad untuk
mengganyang orang berkedok yang telah mengham-
bat pekerjaan mereka. Ternyata orang berkedok yang
hanya bersenjata cambuk itupun memperhebat pula
putaran senjatanya.
Memang Mahesa Wulung atau Barong Makara
merasakan betapa para pengeroyoknya makin mem-
pergencar serangannya. Maka bila ia menambah
hebat gerakannya, perbandingan tingkat jurus-jurus
pertempuran mereka akan tetap sama, yaitu Mahesa
Wulung ada di tingkat lebih atas daripada Jaramala,
bahkan dapat selalu mengimbangi setiap serangan
yang membenturnya.
Yang pasti para pengeroyoknya makin gelisah,
apalagi mereka melihat cambuk lawannya bertambah
mendesing-desing bergulungan bagai ombak Laut
Kidul yang mampu memukul tebing-tebing karang
terjal dan sedikit demi sedikit akan merontokkannya.
Begitu pula dengan Jaramala dan anak buahnya.
Cambuk itu kemudian melecut dengan ledakan yang
memekakkan telinga dan tahu-tahu seorang anak
buah Jaramala terpental keluar dari lingkaran per-
tempuran serta terhuyung-huyung memegangi kepa-
lanya yang hangus bagai batu terbakar. Orang ini
kemudian rebah dan mati.
Melihat temannya seketika mati oleh sambaran
ujung cambuk itu, para pengeroyok Mahesa Wulung
terpekik kaget. Tak nyana mereka, bahwa cambuk
lawannya begitu hebat, mampu menghanguskan sa-
sarannya tak ubahnya sambaran sebuah halilintar.
Daar! Sekali lagi cambuk Naga Geni di tangan
Mahesa Wulung meledak dan seorang korban lagi
terpelanting di atas tanah, mati.
Sementara itu tak jauh dari Mahesa Wulung, si
pendekar bercaping kelihatan begitu enaknya melaya-
ni setiap orang lawannya. Pelang Telu yang ikut
mengeroyoknya, terpaksa berkali-kali menggerundal,
sebab setiap tebasan pedangnya dan juga tebasan-
tebasan golok anak buahnya selalu berhasil dihindari
oleh si caping lusuh.
Yang membikin jengkel Pelang Telu ialah serangan
dan ejekan orang bercaping ini. Setiap kali berhasil
menghindari serangan-serangan mereka, ia senan-
tiasa berkelakar.
"Hup, tebasanmu kurang mampu, sobat! Nah
boleh coba lagi sekarang! Mari! Yaaah, masih kurang
kena. Kalian masih harus bertekun lagi. Dan seka-
rang lihat, aku beri contohnya! Hyaat!"
Pendekar bercaping menebaskan pedangnya mene-
robos sambaran senjata-senjata mereka dengan bunyi
mendesau dan selanjutnya sebuah jeritan panjang
keluar dari mulut seorang anak buah Pelang Telu
yang menganga dengan gigi bertonjolan. Orang itu
hanya terluka panjang akibat sambaran ujung pe-
dang pendekar bercaping. Namun sesaat kemudian
luka kecil panjang yang nampak sepele tadi tiba-tiba
membuka, diiringi menyemburnya darah merah segar
dari dalam. Belum sempat Pelang Telu dan anak buahnya
menolong kawannya tadi, tiba-tiba pedang orang
bercaping ini kembali beraksi.
"Nah, sobat-sobat baik! Ini contoh berikutnya!"
Kilat pedangnya kembali menebas dan korban kedua
roboh tak bernyawa.
Tetapi Pelang Telu serta anak buahnya bukan ter-
masuk orang-orang penakut, sebab mereka telah
digembleng oleh gurunya, Ki Topeng Reges. Mereka
menyadari bahwa dalam setiap pertempuran selalu
terjadi dua kemungkinan. Menang atau kalah, ter-
bunuh atau membunuh dan menghancurkan atau
dihancurkan oleh lawan. Maka mereka tetap merang-
sak kepada pendekar bercaping dengan putaran-pu-
taran golok dan pedang-pedang mereka.
Di sebelah lain, Gajah Sela dan Aldaka serta seo-
rang prajurit lagi sibuk melayani serangan-serangan
anak buah Jaramala. Mereka pun terlibat dalam
perang tanding yang cukup hebat.
Di tengah-tengah pertempuran yang berkecamuk
dahsyat, seorang prajurit berkuda yang bertugas
menggandeng kuda beban bermuatan emas, tampak
sedikit demi sedikit menjauhi titik pertempuran. Me-
mang dia telah diserahi tugas untuk menjaga kuda
beban itu sehingga apapun yang diperbuatnya ia tak
dapat dipersalahkan. Jika seandainya ia meninggal-
kan titik pertempuran tersebut, bukan berarti ia
seorang pengecut, apalagi ia telah meninggalkan
kawan-kawannya yang tengah bertempur.
Namun satu hal yang agak mengherankan, entah
sengaja atau tidak, bahwa para perampok-perampok
tadi, yakni Jaramala dan anak buahnya tak pernah
mengusik prajurit tadi yang menggandeng kuda ber-
muatan emas. Malahan mereka seolah-olah menghin-
darkan diri dari prajurit tadi serta membiarkannya
sendirian tanpa ada yang mengganggu.
Begitulah prajurit tadi terus menggeser ke arah
barat menjauhi titik pertempuran, dan bila dirasanya
telah cukup aman, ia segera memacu kudanya.
Melihat hal ini, Gajah Sela yang tengah bertempur
itu menjadi kaget dan heran. Sebagai pemimpin pasu-
kan ia tak pernah merasa memberi perintah untuk
membawa lari emas itu, sebab ia yakin kalau peram-
pok-perampok ini sebentar lagi bisa dikalahkan,
terutama dengan kedatangan kedua penolongnya.
Maka begitu ia melihat anak buahnya berpacu ke
arah barat, Gajah Sela segera berteriak keras-keras.
"Heei, Dangsapati! Berhenti! Mau lari kemana
kau?" Gajah Sela berteriak dengan perasaan penuh
tanda tanya. Tapi ternyata prajurit itu tak menggubris teriakan-
nya, dan ia tetap melarikan kuda-kudanya ke arah
barat. Betapa jengkelnya Gajah Sela! Sebagai pemim-
pin pasukan, baru kali ini ada prajuritnya yang mau
berbuat sembrono serta berani menentang perintah-
nya. Akan dibawa kemana emas itu, ia tak tahu.
Sungguh mencemaskan hatinya atas tindakan si
Dangsapati yang nekat, tetapi lebih mengejutkan lagi
ialah lawannya bertempur yang tertawa terkekeh-
kekeh menyakitkan telinga.
"Heh, heh, heh, heh, heh, biarkan ia menyelamat-
kan emas itu. Tanggung aman. Jangan pedulikan dia.
Yang penting kau harus mati di ujung golokku ini!"
Mendengar perkataan lawannya, Gajah Sela terhe-
nyak kaget dan kemudian ia menggeram, "Keparat!
Kau anggap aku orang apa, heh"! Mari tunjukkan
permainan golokmu!"
Bersamaan rampungnya kata-kata Gajah Sela,
lawannya segera menyerang dengan putaran goloknya
secepat pusaran angin siap melanda dirinya. Untung
Gajah Sela selalu waspada, dan begitu serangan golok
lawan melibas dirinya, segera pula ia menebaskan
pedangnya secepat angin untuk memapaki serangan
lawan. Craaang! Bunyi benturan kedua senjata sangat nyaring
disertai percikan bunga-bunga api dan kedua-duanya
tergetar surut. Akibat dari benturan itupun sangat
hebat. Betapapun uletnya Gajah Sela namun ia ter-
paksa meringis ketika jari-jari tangan yang meng-
genggam pedang terasa nyeri, panas. Demikian pula
lawannya yang bersenjata golok tadi, selain tangan-
nya nyeri iapun terpental jatuh ke tanah bergulingan.
Gajah Sela tak mau melepaskan kesempatan baik
ini. Segera ia memburu lawannya yang tengah
bergulingan di tanah, dan kemudian mengirimkan
sebuah tebasan pedangnya.
Rupa-rupanya lawannya itupun termasuk orang
pilihan sebagai murid perguruan Netra Dahana dari
Watu Semplok. Maka ketika ia merasa angin tebasan
pedang Gajah Sela, cepat-cepat melentingkan dirinya
ke belakang beberapa langkah, hingga pedang Gajah
Sela hanya sempat membacok tanah dan rerum-
putan. Karuan saja ia menggeram jengkel.
"Heh, heh, heh, jangan mimpi terlalu pagi untuk
merobohkan Trebis dari perguruan Netra Dahana!"
terdengar lawan Gajah Sela menyambung.
"Setan! Jangan cepat besar kepala dengan lon-
catan-loncatan seburuk anjing kudisan. Sekarang
terimalah permainan puncak dari ilmu pedang ini,
Hyaat!" Gajah Sela menerjang dengan hebat ke arah
lawannya dengan sebuah tusukan yang menentukan.
Melihat hal itu, Trebispun segera bersiap-siap
dengan putaran goloknya.
Sementara itu, Dangsapati yang melarikan kuda ke
arah barat tidak mengira bahwa dari semak belukar,
sepasang mata sejernih air sendang tapi setajam
mata elang, telah mengawasi seluruh gerak-geriknya.
Dan kemudian Dangsapati dikejutkan oleh melesat-
nya satu bayangan berjumpalitan di udara dan men-
darat tepat di hadapannya, dari arah semak belukar!
Bayangan tadi ternyata seorang gadis yang kini
menghadang di tengah jalan, menyebabkan Dangsa-
pati terpaksa menghentikan kedua kudanya sambil
berteriak-teriak.
"Hee, bocah ayu, siapa kau! Dan apa maksudmu
menghadang di tengah jalan?"
"Hmmm, aku heran dengan kelakuanmu ini.
Meninggalkan kawan-kawan yang telah mati-matian
menyabung nyawa! Mau kau bawa kemana emas
itu"!" bentak si gadis yang tidak lain adalah Pandan
Arum. "Persetan dengan kawan-kawanku. Mereka telah
punya urusan sendiri dengan orang-orang perampok
itu. Demikian pula aku punya urusan sendiri dengan
emas ini. Aku akan menyelamatkannya."
"Haaa, menyelamatkan emas itu untuk kantongmu
sendiri" Aku agak curiga dengan kau! Lagak bicara-
mu seolah-olah menunjukkan kalau kau bukan seo-
rang prajurit seperti mereka itu."
"Ooo, kau jangan suka bermulut usil! Apa yang
saya kerjakan ini adalah urusanku sendiri, tahu"!
Dan orang lain tak usah campur tangan! Hayo
minggir dari jalan ini dan biarkan aku lewat dengan
leluasa!" Dangsapati berteriak.
"Bukan aku yang menyingkir, tapi kaulah yang
harus turun dari kudamu itu!"
"Hem, sayang kalau aku terpaksa menggunakan
kekerasan untuk menyingkirkanmu, cah ayu! Ooh,
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin kau menghendaki beberapa buah mata
uang emas" Baik! Itu akan kuberikan asal kau
menepi dari tengah jalan."
"Cukup dengan ocehanmu yang busuk itu! Nah,
sekarang turunlah dari kudamu serta menurutlah
untuk kubelenggu!"
Perkataan Pandan Arum itu terdengar oleh telinga
Dangsapati bagai sengatan halilintar, membuat ia
benar-benar kehilangan kesabaran!
"Bagus, kalau kau berkeras kepala serta ingin
menangkapku. Cobalah!" tantang Dangsapati sambil
menyiapkan tombaknya.
Demikian pula Pandan Arum cepat-cepat melolos
selendang jingga dari ikat pinggangnya.
"Heh, heh, heh, rupa-rupanya kamu ingin terbang
serta lolos dari ujung tombakku ini! Percuma. Selagi
aku masih cukup bersabar, menyerahlah!"
"Heh, tidak semudah itu kenyataannya! Lihatlah
permainan selendang Sabet Alun!"
Begitu selendang jingga Pandan Arum melenggok-
lenggok berputaran semakin kencang, Dangsapati
terpaksa menelan ludah kecemasan dan cepat-cepat
ia mendahului menyerang dengan hunjaman tombak
ke arah Pandan Arum.
Dalam saat yang sama, tiba-tiba sebuah kilatan
sinar merah mencegat ujung tombaknya dan lang-
sung melibatnya dengan keras seakan-akan sebuah
belalai dari gajah.
Dangsapati kaget ketika tahu-tahu selendang si
gadis yang disangkanya remeh ternyata telah melibat
tombaknya, kemudian terasalah bahwa gadis itu
menghentakkan selendang tadi sangat keras.
Kraak! Tombak Dangsapati patah menjadi dua dan
seketika semangatnya hilang lenyap melihat keheba-
tan senjata lawan. Dengan segera ia melepaskan
tangkai tombaknya yang patah, serta memacu kuda-
nya kabur meninggalkan Pandan Arum.
Tetapi sayang sekali, sebelum ia sempat melak-
sanakan niatnya terlalu jauh, sekonyong-konyong
ujung selendang Pandan Arum telah melecut dan
menyambar kepala kudanya. Terdengarlah suara
ledakan disusul kuda Dangsapati memekik tinggi dan
roboh bersama penunggangnya. Kepala kuda itu
retak dan bermandi darah, sedang Dangsapati sendiri
tertindih pahanya oleh badan kuda.
"Ha, ha, ha. Sekarang beristirahatlah di situ seben-
tar!" Seru Pandan Arum seraya mengikat kembali
selendang jingga ke pinggangnya.
Sementara itu, ketika Jaramala melihat kemung-
kinan yang kecil untuk memenangkan pertempuran,
cepat-cepat ia memberi isyarat pada teman-temannya
untuk menarik diri dari pertempuran. Sebuah suitan
nyaring keluar dari mulutnya dan dengan serentak
Jaramala, Pelang Telu, serta sisa-sisa anak buahnya
berloncatan secepat angin meninggalkan titik pertem-
puran, dan sebentar saja mereka telah lenyap di balik
semak-semak belukar seperti hantu.
Mahesa Wulung masih berdiri di dekat pendekar
bercaping ketika Jaramala dan anak buahnya kabur
meninggalkan mereka. Gajah Sela segera pula men-
datangi kedua penolongnya dan menyatakan terima
kasihnya. "Kami mengucapkan terima kasih yang tak ter-
hingga atas bantuan yang telah Kisanak berikan,"
ujar Gajah Sela serta mengangguk hormat. "Kemu-
dian, alangkah bahagianya bila saja Tuan-tuan sudi
menyebutkan nama serta berkenalan dengan kami."
Pendekar bercaping itupun mengangguk dan mele-
pas capingnya, kemudian mengangguk pula dengan
hormatnya. "Ki Camar Seta!" desis Mahesa Wulung sambil
menurunkan kedoknya.
"Oooh, Anakmas Mahesa Wulung! Syukur kita
masih bertemu dalam keadaan sehat-sehat. Aku telah
mendapat laporan bahwa Anakmas telah terjatuh ke
Jurang Mati ketika bertempur melawan Ki Topeng
Reges. Apakah Anakmas sehat-sehat saja?"
"Terima kasih, Bapak. Aku baik-baik saja," ujar
Mahesa Wulung dengan hormatnya.
Mendengar nama kedua pendekar itu, Gajah Sela
berseru kagum, "Oooh, jadi Tuan-tuanlah yang
bergelar Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung pendekar
Demak yang terkenal. Maaf, aku tak segera mengenal
Tuan-tuan berdua karena aku jarang berada di
Demak, dan kami berkedudukan di Gresik."
Di sebelah timur, Aldaka sibuk menolong prajurit
yang terluka, dibantu oleh seorang anak buahnya. Di
saat-saat yang begitu dapatlah terbayangkan kega-
nasan anak buah Ki Topeng Reges.
Di tengah-tengah kesibukan itu, dari arah barat
muncullah si Pandan Arum menuntun seekor kuda
beban yang bermuatan emas dan di depannya berja-
lan sempoyongan Dangsapati dengan terbelenggu tali
sekujur tangan dan dadanya.
"Ooooh, mengapa dengan orang ini, Adik?" seru
Mahesa Wulung kaget. "Bukankah ia seorang dari-
pada anak buah Kakang Gajah Sela ini?"
"Betul, Kakang. Tapi dia juga kaki tangan dari Ki
Topeng Reges, dan untuk ini ia telah mengaku
sendiri." "Haa"!" seru Gajah Sela dan Mahesa Wulung kaget,
tetapi Ki Camar Seta berkata dengan tenangnya. "Me-
mang tidak keliru! Dangsapati adalah cecunguk Ki
Topeng Reges. Ia sengaja menyelundup pada kita!"
"Dari manakah Bapak tahu?" sela Pandan Arum
tak habis herannya.
"Hal itu telah diketahui oleh Nara Sandi di Demak dan kemudian aku dikirim
kemari untuk mencegah
bahaya yang mengancam pengiriman emas itu!"
Mendengar ini Mahesa Wulung teringat kembali
akan kesatuan Nara Sandi yang mempunyai tugas
menyelidiki dan meneliti segala sesuatu yang bersifat
rahasia untuk menjamin keamanan negara. Dan juga
sebagai Wira Tamtama Demak, ia pun banyak menge-
nal sebagian dari tokoh-tokoh Kesatuan Nara Sandi,
seperti Sandi Pradangga, Wira Sengkala dan lain-
lainnya. "Dan aku pun ditugaskan untuk membantu dan
mencari Anakmas Mahesa Wulung dalam usahanya
merebut catatan rahasia panah Braja Kencar yang
telah dilarikan si Rikma Rembyak," ujar Ki Camar
Seta melanjutkan.
Gajah Sela yang mendengar uraian itu tidak nyana
bahwa persoalan itu menjadi begitu rumit. Dalam
hati ia kagum terhadap ketrampilan Kesatuan Nara
Sandi yang dapat mengetahui akan penyelundupan
Dangsapati dalam tubuh pasukannya, namun dalam
hati kecilnyapun ia menyesal bahwa dirinya sampai
tidak mengetahui ada musuh di dalam selimut.
"Bapak Ki Camar Seta, apakah kami akan melan-
jutkan perjalanan ke Demak sekarang juga?" ber-
tanya Gajah Sela kepada orang tua itu.
"Begitulah sebaiknya. Memang, di sebelah barat
sana ada sebuah rumah tua yang biasa dipergunakan
oleh prajurit-prajurit Demak beristirahat dalam me-
nempuh perjalanan ke timur. Nah, kita nanti malam
akan singgah di sana untuk bermalam dan nanti
akan kusuruh beberapa orang penduduk untuk
merawat dan mengobati luka-luka anak buahmu.
Kemudian besoknya kita menuju ke Demak."
"Terima kasih, Bapak," ujar Gajah Sela.
Demikianlah, tak lama kemudian mereka bersiap-
siap serta berjalan ke arah barat. Sinar matahari
sudah tidak begitu panas lagi sedang angin siang
bertiup kencang mengusap dedaunan yang berkilatan
oleh sinar matahari.
*** 5 Raungan anjing-anjing liar mengumandang dari
tebing dan lereng-lereng pegunungan menyelusuri
kaki bukit Gunung Muria sebelah timur dan kemu-
dian bergulungan campur aduk dengan desah angin
sore, seperti nyanyian dan rintihan setan-setan yang
gentayangan mencari mangsa.
Di sebuah rumah tua, di dekat reruntuhan sebuah
candi, tampaklah tiga orang yang duduk saling ber-
hadapan seperti patung-patung. Yang berkedok han-
tu itu tampak menatap kedua orang di hadapannya
dengan pandangan yang setajam pedang, hingga
keduanya menunduk makin dalam.
"Heemm, jadi kalian pulang dengan tangan kosong
tanpa hasil sedikit pun, setan alas!" geram Ki Topeng
Reges kelihatan jengkel.
"Ampun, Kiai. Sayang sekali mereka telah dibantu
oleh dua orang pendekar yang muncul secara tiba-
tiba, sehingga pekerjaan kita terpaksa gagal."
"Kalian memang anak-anak tolol. Bukankah Dang-
sapati sudah saya selundupkan ke dalam pasukan
pengantar emas itu"!" ujar Ki Topeng Reges.
"Betul Kiai. Tapi..."
"Tapi bagaimana?" Ki Topeng Reges memotong
"Dangsapati kan murid terbaik di antara kalian" Ada
apa dengan dia"!"
"Anu, ah, ketiwasan, Kiai," Jaramala makin kecut hatinya.
"Ketiwasan, kau bilang"!" bentak si wajah hantu
garang dan sekaligus melayangkan tangannya ke
arah mulut Jaramala.
Plak! "Hiyuung! Aduh, tobat Kiai. Ampun!" rintih Jara-
mala sambil menutup mulutnya dan sesaat kemudian
dari sela-sela jari-jemari yang menutup mulutnya itu
mengalir dan menetes cairan merah ke atas lantai.
Begitu Jaramala melihat jari-jarinya, ia kontan mera-
ung panjang! Hatinya seakan-akan lenyap terbawa
raungan anjing liar di luar sana, ketika diketahuinya
bahwa bibirnya telah tersobek oleh tamparan Ki
Topeng Reges yang hanya sekali itu, dan darah merah
telah melepoti jari-jari tangannya.
"Hih, kapokmu kapan, kowe!" bentak Ki Topeng
Reges pula. "Ayo, lekas katakan di mana sekarang
Dangsapati itu"!"
"Dia, dia telah ditangkap oleh mereka, Kiai," ujar
Jaramala setengah merintih karena masih merasakan
bibirnya yang robek oleh tamparan gurunya.
"Tertangkap"! Si Dangsapati itu bisa kena tangkap
oleh pasukan Demak"!" raung Ki Topeng Reges
dengan marahnya, dan bola matanya menjadi liar se-
perti hendak menelan kedua murid yang ada di
hadapannya. "Kurang ajar! Ini pasti gara-gara keda-
tangan kedua orang itu!"
"Betul, Kiai. Memang itu akibat kedatangan kedua
pendekar yang kemudian menolong orang-orang De-
mak itu, hingga pekerjaan kita gagal. Semula Dangsa-
pati sudah berhasil melarikan emas itu, namun dapat
dirampas kembali oleh mereka," kata Pelang Telu
menjelaskan. "Keparat!" desis Ki Topeng Reges dengan geram
dan dari balik topengnya terdengar suara berkereot-
kereot karena giginya yang saling bergesekan saking
jengkelnya. "Pelang Telu, coba ceriterakan ciri-ciri
kedua orang itu!"
"Baik, Kiai. Yang seorang memakai caping dengan
senjata tongkat pedang, dan orang yang kedua ber-
kedok pada mulutnya serta membawa sebatang cam-
buk yang menyala biru kehijauan," ujar Pelang Telu.
"Barong Makara atau Mahesa Wulung!" geram Ki
Topeng Reges. "Dia adalah musuh besar kita. Rupa-
nya dia masih bisa selamat ketika terjatuh ke Jurang
Mati oleh seranganku. Hemm, betul-betul pendekar
gemblengan dia!"
"Begitulah, Kiai," ujar Pelang Telu menegaskan.
"Memang sebenarnya kami akui kalau kedua pende-
kar itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi daripada
kami. Sehingga kekalahan kami bisa dimaklumi.
Kalau kedua orang ini tidak muncul, pastilah seluruh
pasukan itu musnah dalam waktu yang sekejap
mata. Sebab pada gebrakan pertama saja, hanya
tinggal empat orang prajurit yang masih bisa berdiri
dan melawan kami."
"Hmmm, kedua orang itu harus kuhukum, karena
telah lancang mencampuri urusanku!" gumam Ki
Topeng Reges. "Di mana mereka sekarang, sewaktu
kalian tinggalkan"!"
"Masih di kelokan jalan itu, Kiai. Dan sebagian
besar telah terluka berat oleh senjata-senjata kami.
Pastilah mereka tidak akan langsung menuju
Demak." "Ya, mereka pasti akan singgah untuk merawat
orang-orangnya," sahut Ki Topeng Reges menyam-
bung ujar si Pelang Telu. "Dan aku tahu, di sepanjang
jalan menuju Demak, terdapat beberapa rumah yang
sering disinggahi oleh pasukan-pasukan Demak."
"Tetapi, Kiai. Apakah tidak terlalu berbahaya men-
cari mereka di sana?" sela Pelang Telu.
"Goblok! Aku akan ke sana malam nanti, supaya
pekerjaan bisa lebih lancar dan sekali ini mereka
tidak akan lepas dari tanganku!" Ki Topeng Reges
menggeram lirih, sedang kedua jari-jari tangannya
saling mengepal. "Nah, kalian tinggal di sini. Biar aku sendiri mencari mereka."
"Kiai, bolehkah aku ikut membantu mencari me-
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
reka," usul Pelang Telu kemudian.
"Tidak usah! Aku sanggup menemukan mereka.
Daerah itu aku kenal baik-baik, seperti aku mengenal
halaman rumah ini!" jawab Ki Topeng Reges dan
kemudian ia bangkit serta menuju ke kamarnya.
Sementara itu, Jaramala dan Pelang Telu saling
bergelut dengan pikiran sendiri. Mereka merenungi
kejadian-kejadian yang baru saja lewat, seolah-olah
tergambar kembali pertempuran di belokan jalan keti-
ka mencegat pasukan pengawal emas itu. Keduanya
yang mula-mula merasa bangga ketika merobohkan
beberapa orang prajurit Demak dari kudanya, secara
tiba-tiba menjadi cemas dengan kedatangan kedua
pendekar yang melabrak mereka.
Langkah-langkah yang berat terdengar keluar dari
kamar, dan lamunan kedua orang itu menjadi buyar.
Tampaklah Ki Topeng Reges telah menggenggam dua
buah senjata yang berujud belati panjang yang me-
ngeluarkan sinar membara.
"Kiai Brahmasakti!" desis Jaramala dan Pelang
Telu berbareng, begitu pandangan mata mereka
menatap pada dua buah belati yang tergenggam di
tangan gurunya. Keduanya merasa kalau bulu
romanya merinding. Keampuhan Brahmasakti telah
mereka ketahui sejak dahulu, tak ubahnya keam-
puhan pusaka-pusaka sakti lainnya yang telah me-
reka dengar dari Demak seperti keris Condong Cam-
pur, Sangkelat, Tombak Kiai Plered dan sebagainya.
Tetapi Brahmasakti yang ada di tangan gurunya
itu agak lain. Belati panjang itu selalu mengeluarkan
sinar membara yang berhawa panas dan kekuatan-
nya menyamai bisa seratus ekor ular berbisa, hingga
lawan yang kena tersinggung saja pasti akan mati
dalam waktu yang tidak lama. Orang biasa saja
seperti diri mereka berdua itu boleh dipastikan tidak
akan tahan lama memegang kedua pusaka itu,
apalagi menggunakannya dalam pertempuran. Kalau
mereka melihat bahwa gurunya membawa kedua
pusaka kembar itu pastilah bisa diduga kalau lawan
dan musuh-musuh yang harus dihadapi oleh Ki
Topeng Reges itu, termasuk orang-orang yang berilmu
tinggi. Sebab kalau hanya lawan biasa saja pastilah
gurunya tidak perlu membawa Kiai Brahmasakti.
Dengan pancaran api ilmu Netra Dahana gurunya,
cukuplah untuk membinasakan lawannya.
Tetapi kali ini tidak, gurunya telah menggenggam
pusaka ampuhnya.
"Kalian tunggu saja. Kedua orang penghalang itu
pasti akan termakan oleh senjata ini!" Ki Topeng
Reges setelah menimang-nimang kedua pusaka itu,
lalu menyimpannya ke dalam baju serta melangkah
ke halaman. "Nah, aku berangkat sekarang!"
"Baik, Kiai," ujar Jaramala dan Pelang Telu ber-
bareng. Mereka menatap gurunya yang masih melangkah
dengan tegap ke halaman dan sesaat kemudian Ki
Topeng Reges menjejak tanah dan tubuhnya melesat
ke arah selatan seperti bayang-bayang dan lenyap di
keremangan senja. Beberapa ekor kelelawar terkejut
karenanya dan mencicit-cicit terbang berhamburan.
*** Sang rembulan sebentar-sebentar terselubung oleh
awan putih yang berarak-arak mengalir di langit,
membuat sinar yang menerangi tempat itu sebentar
terang dan sebentar gelap. Di rumah itu yang letak-
nya tidak jauh dari tepi jalan yang menuju ke arah
Demak, tampaklah beberapa ekor kuda yang ditam-
batkan pada tonggak-tonggak kayu. Di ruangan
tengah rumah itu tampaklah Pandan Arum sibuk
mengobati serta membalut para prajurit-prajurit yang
terluka parah. Untunglah ia memiliki kepandaian
tentang ilmu pengobatan dan jamu-jamuan ajaran
dari bibinya, Nyi Sumekar, sehingga ia dengan
mudah dapat memberi perawatan terhadap mereka.
Namun hatinya tak urung merasa cemas juga
sebab dua di antara prajurit-prajurit yang terluka itu, dalam keadaan yang
mengkhawatirkan. Keduanya
terlalu banyak kehilangan darah dan lukanya pun
terlalu dalam pula.
Biarpun begitu, Pandan Arum dan juga Ki Camar
Seta telah berusaha sedapat-dapatnya. Sementara
Pandan Arum, Gajah Sela, dan Aldaka berada di
ruang tengah, di halaman rumah di dekat pagar
bambu kelihatan Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung
bercakap-cakap dan di sebelah lain, seorang prajurit
berdiri dengan menggenggam tombaknya untuk men-
jaga rumah itu.
"Anakmas Mahesa Wulung, dengan tewasnya
Empu Baskara dan kabar kematian Angger yang
terjatuh ke jurang itu telah membuat geger kalangan
armada Demak dan lingkungan istana. Itulah sebab-
nya kesatuan Nara Sandi telah mengirimku kemari
dan juga dari Wira Tamtama. Angger Mas Karebet
telah berkenan untuk pergi menyelidikinya. Ternyata
peristiwa ini didalangi oleh Ki Topeng Reges dan
muridnya si Rikma Rembyak."
"Begitulah, Bapak. Ki Topeng Reges tidak bisa kita
anggap lawan yang ringan. Ilmu Netra Dahana yang
dikuasainya sangat berbahaya bagi kita. Aku telah
melihat sendiri betapa dua orang anak buah Jorangas
telah terbakar hangus kepalanya oleh sambaran api
Ki Topeng Rages yang memancar dan menjilat dari
kedua matanya." Mahesa Wulung berhenti sejenak
menarik napas. "Dan ilmu itu hanya bisa dihadapi
dengan lembaran-lembaran kitab hijau yang disim-
pannya." "Ooo, kitab hijau milik Landean Tunggal yang telah
Angger ceriterakan kepadaku itu?" sambung Ki Ca-
mar Seta. "Betul, Bapak," jawab Mahesa Wulung.
"Hmmm, sulit juga hal ini. Pasti Ki Topeng Reges
menyimpan barang itu pada tempat yang tersem-
bunyi. Sebab barang itu juga merupakan bagian
daripada nyawa dan hidupnya," ujar Ki Camar Seta
pula. "Namun betapapun sukarnya aku harus mencari
lembaran-lembaran kitab itu, Bapak," sambung Ma-
hesa Wulung. "Ya, memang itulah satu-satunya jalan untuk me-
ngalahkannya," sambung Ki Camar Seta membenar-
kan. "Mari, Anakmas, kita masuk ke dalam. Malam
makin bertambah larut."
Kedua orang itu segera masuk ke dalam dan di
luar semakin sepi. Malam telah memeluk bumi. Gu-
nung Muria, Jepara, Demak, Kudus dan seluruh
permukaan bumi telah menjadi kelam. Demikian pula
rumah yang disinggahi oleh mereka menjadi sepi dan
kelam. Di dalam, Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung ikut
pula membantu Pandan Arum dalam merawat pra-
jurit-prajurit yang terluka. Hati mereka pada terharu
memandangi tubuh-tubuh yang terbaring luka itu,
namun merekapun berbangga bahwa prajurit-prajurit
itu telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Apabila malam semakin larut, tiba-tiba terdengar
sebuah jerit nyaring. Pandan Arum tersentak kaget.
"Dengar Kakang Wulung, suara apakah itu?"
"Ah, itu hanya suara pekikan burung hantu,"
jawab Mahesa Wulung seraya memegang pundak
gadis itu supaya tenang.
Namun tiba-tiba terdengar pula sebuah jeritan
pendek, dan Pandan Arum melangkah ke pintu. "Biar
aku keluar sebentar, Kakang. Aku ingin mengetahui
burung hantunya."
Pandan Arum yang tiba di ambang pintu melihat
keluar. "Ah, sepi-sepi saja!" pikirnya.
Tetapi ketika ia melihat ke sudut rumah, dilihatnya
prajurit jaga telah menggeletak di tanah. Maka iapun
secepat kilat berlari ke arah itu dan segera memerik-
sa prajurit itu.
"Hah, pingsan"! Jalan darahnya tertotok!" desis
Pandan Arum setelah memeriksa tubuh prajurit itu.
Inilah yang hebat. Sebuah totokan jalan darah
biasanya hanya mampu melumpuhkan orang, tetapi
tidak sampai seperti itu.
Baru saja selesai memeriksa orang itu, telinga Pan-
dan Arum yang cukup tajam telah menangkap bunyi
gemerisik halus di atas genting. Cepat ia menjumput
batu kerikil dan melemparkannya ke genting sambil
berseru, "Hei, siapa itu yang di atas genting"!"
Berbareng dengan teriakan itu sesosok bayangan
berkelebat turun dari atas genting dengan ringannya
seperti selembar daun kering dan tepat berdiri
dengan kokoh di depannya. Betapa kaget dan ngeri-
nya bila ia menatap bayangan yang telah berdiri di
hadapan itu. Sebuah wajah yang kaku seperti hantu
menghiasi muka orang itu dan kemudian rasa kaget
serta takutnya meledak. Pandan Arum menjerit
hebat. Si wajah hantu yang tidak lain adalah Ki Topeng
Reges tertawa seram melihat gadis cantik itu menjerit
ketakutan. "Heh, heh, heh, tak mengira bahwa di tempat ini
kutemukan bunga yang cantik! Tetapi sayang, kalau
kau termasuk kawan si Mahesa Wulung, engkau pun
harus mati di tanganku, cah ayu!"
Ki Topeng Reges maju mendekati Pandan Arum.
Tapi gadis inipun melangkah mundur dengan rasa
kecemasan. "Berhenti, setan! Akulah tandinganmu!"
Mendengar teriakan itu, Ki Topeng Reges cepat
berbalik dan sambil menggeram hebat iapun bersiaga
ke arah suara itu.
"Hmm, kaulah yang aku cari! Sekarang berjong-
koklah di hadapanku ini untuk menerima hukuman-
mu!" Ki Topeng Reges berkata sambil mengacungkan
tangannya ke depan ke arah muka Mahesa Wulung.
"Bagus, kalau kau ingin menghukumku, cobalah!
Aku bukan anak ingusan yang patut kau takut-
takuti," ujar Mahesa Wulung sambil bersiap.
"Haaait," Ki Topeng Reges secepat kilat meloncat
menerkam Mahesa Wulung dengan kedua tangannya
yang mengembang seperti cakar-cakar setan.
Ia ingin melumpuhkan Mahesa Wulung dengan
gebrakan pertama dan kemudian membunuhnya
sekali. Namun alangkah kagetnya ketika dengan
gerakan secepat angin, lawannya berhasil lolos dari
terkamannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah
jurus yang dipergunakan oleh Mahesa Wulung itu. Ia
merasa pernah mengenalnya. Inilah yang membuat Ki
Topeng Reges ragu sejenak dan ketika ia mengingat-
ingat jurus yang dipakai oleh Mahesa Wulung tadi,
hatinya berdesir seketika.
Ya, ia mengingat jurus itu yang dulu dipergunakan
oleh Landean Tunggal, sahabatnya yang telah diku-
burnya di Jurang Mati. Mungkinkah Mahesa Wulung
yang dulu terjatuh di Jurang Mati telah menemukan
kitab hijau milik Landean Tunggal" Pertanyaan itu
yang berkali-kali bergema dalam otaknya. Tiba-tiba
dilihatnya Mahesa Wulung melolos pedang!
"Persetan!" desis Ki Topeng Reges. "Meskipun ia
sakti, tapi ia tak akan tahan dengan ilmu Netra Da-
hana!" Ki Topeng Reges segera mengerahkan ilmunya dan
sebentar saja bola matanya menjadi kemerahan dan
berbareng kedua tangannya mengembang ke depan,
dua jilatan lidah api telah memancar dari matanya
serta menyambar Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung melesat ke udara dan
keduanya bertempur hebat saling melibat tak ubah-
nya dua pusaran angin prahara. Pandan Arum yang
mengikuti pertempuran itu merasa ngeri juga hatinya
berdebar-debar.
Mahesa Wulung yang agaknya merasakan kesem-
pitan tempat itu yang penuh pepohonan, segera
melesat ke genting dan Ki Topeng Reges pun menge-
jarnya. Di saat keduanya saling bertempur di atas genting,
sebuah bayangan lain menyusul melesat ke atas
genting. Melihat ini Pandan Arum semakin tertarik
dengan pertempuran itu. Ia pun menggenjotkan
kakinya ke atas tanah kemudian melesat ke genting
pula dengan enaknya.
Begitu tiba di genting, Pandan Arum segera dapat
mengetahui bahwa bayangan tadi adalah Ki Camar
Seta. Pandan Arum tak tinggal diam, ia segera pula
bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Tandang dan olah Ki Topeng Reges benar-benar
dilihatnya seperti hantu, dengan kedua tangannya
yang sebentar siap menerkam lawan di samping
lidah-lidah api yang memancar dari kedua bola
matanya. Tetapi ia terpaksa bekerja lebih keras lagi,
sebab lawannya bukanlah anak ingusan yang mudah
ditakut-takuti, bahkan ia merasa kagum tetapi juga
mengumpat bila pendekar yang semuda itu telah
mampu menandinginya.
Tiba-tiba Ki Camar Seta mengepungnya.
"Keparat! Si Caping kumal juga ingin bermain-
main denganku. Ayo, mulailah! Jangan hanya berdua
Pendekar Naga Geni 5 Diburu Topeng Reges di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau bertiga. Meski kau tumplak seluruh bala prajurit-mu, aku tak akan lari dari
sini!" terdengar Ki Topeng
Reges sesumbar dengan suara yang menggeledek.
Sampai sejauh itu Pandan Arum hanya melihat
pertempuran tadi dengan hati berdetak. Ia merasa
kagum akan ilmu meringankan tubuh ketiga pen-
dekar tersebut, yang kini terlibat berpusaran seperti
angin dalam pertempurannya. Betapa jadinya kalau
mereka tidak mengerahkan ilmu tersebut" Pasti
genting-genting itu akan berserakan pecah rontok ke
bawah! Pertempuran berjalan semakin dahsyat! Ki Topeng
Reges yang dikerubuti dua pendekar jagoan itu
tampak semakin ganas. Dalam hati ia telah bertekad
untuk membinasakan kedua lawannya itu, karena
mereka telah berani menggagalkan maksudnya untuk
merampok emas. Maka dengan segenap ilmu yang dimilikinya serta
dilengkapi oleh kemarahan yang memuncak, kedua
lawannya tersebut sebentar kemudian telah dikurung
dengan ilmu ampuhnya, Netra Dahana. Lidah-lidah
api yang panas dan liar segera menjilat dan menyam-
bar-nyambar tubuh Mahesa Wulung dan Ki Camar
Seta. Untunglah keduanya cukup memiliki kelinca-
han, sehingga tubuh mereka sebentar-sebentar me-
lenting ke udara untuk menghindari sambaran-
sambaran lidah api.
Tiba-tiba sambil menggeram Ki Topeng Reges
menggerakkan kedua tangannya ke balik baju dan
sebentar kemudian kedua tangan itu telah menggeng-
gam Kiai Brahmasakti, pusaka yang berujud belati
panjang yang membara.
Melihat kedua senjata itu, Mahesa Wulung dan Ki
Camar Seta meloncat mundur dengan dada berdegup.
Ki Topeng Reges terkekeh karenanya. Dengan
bangga ia mengacungkan kedua pusaka itu. "He, he,
he, kalian kaget bukan" Inilah Kiai Brahmasakti yang
pernah menggegerkan dunia persilatan! Sebentar lagi
kalian akan merasakan kehebatannya. Nah,
bersiaplah buat kematianmu, setan!"
"Ki Topeng Reges!" seru Mahesa Wulung. "Jangan
menakut-nakuti. Kaulah yang harus menyerah di
hadapanku!"
Bukan main marahnya Ki Topeng Reges, maka
secepat kilat ia melesat ke atas dan menyerang Mahe-
sa Wulung dengan kedua pusaka kembarnya, Kiai
Brahmasakti. Mahesa Wulung terkejut mendapat serangan tiba-
tiba yang meluncur secepat angin. Segera ia memapa-
ki dengan pedangnya.
Trang! Dua benturan senjata berbunyi nyaring menyeri-
kan telinga disusul bunga-bunga api berpijar ke
udara malam. Mahesa Wulung tersentak kaget. Akibat dari ben-
turan kedua senjata itu, tangannya tiba-tiba merasa
panas, seakan-akan pedangnya telah dipanggang oleh
bara api yang bertimbun-timbun. Iapun meloncat
surut. Di saat itu pula serangan Ki Topeng Reges
berikutnya dapat ditangkis oleh Ki Camar Seta
dengan putaran pedangnya. Namun Ki Camar Seta
pun seperti halnya Mahesa Wulung, ia merasakan
akibat benturan pedangnya dengan senjata Kiai
Brahmasakti di tangan Ki Topeng Reges. Sungguh-
sungguh mengejutkan. Cepat ia meloncat surut.
Melihat lawannya meloncat surut, Ki Topeng Reges
sekali lagi tertawa terkekeh-kekeh. "Heh, heh, heh,
kalian rasakan kehebatan senjataku ini bukan" Hayo,
kerahkan segenap ilmumu sebelum mati di ujung
senjataku ini."
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta sadar akan
bahaya yang mengancam mereka semua. Mereka
berpikir keras mencari jalan yang baik dan tiba-tiba
Mahesa Wulung menjentik Ki Camar Seta. Keduanya
segera melesat turun ke tanah sambil menantang.
"Heei, Ki Topeng Reges, jika kau laki-laki sejati,
kejarlah kami. Mari kita teruskan permainan kita."
Keduanya bermaksud memancing Ki Topeng Reges
agar menjauh dari rumah itu, hingga sahabat-saha-
bat mereka akan lebih aman.
Ki Topeng Reges segera melesat turun mengejar
kedua lawannya. Mereka berkejaran ke arah utara,
menerobos kelebatan hutan, melompati sungai-
sungai kecil, tak ubahnya tiga ayam alas saling
berkejaran. Sebentar kemudian ketiganya lenyap,
seperti ditelan kelebatan hutan lembah kaki Gunung
Muria. Pandan Arum segera melesat turun dari atas gen-
ting dengan perasaan yang bercampur-baur, memi-
kirkan Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta yang
tengah lari, diburu oleh Ki Topeng Reges. Dalam hati
ia berdoa semoga keduanya dapat selamat dari ceng-
keraman si wajah hantu.
Tempat itu kembali menjadi sepi dan malam sema-
kin bertambah larut. Sang purnama yang bulat per-
lahan-lahan dan lambat bergeser ke arah cakrawala
barat. *** Sampai di sinilah ceritera "Diburu Topeng Reges"
berakhir, dan segera akan datang mengunjungi Anda,
cerita berikutnya dari seri Naga Geni yang berjudul
"Munculnya Pendekar Bayangan".
TAMAT Document Outline
DIBURU TOPENG REGES
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** TAMAT Elang Terbang Di Dataran Luas 11 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Misteri Dewi Pembalasan 3