Pencarian

Geger Di Selat Bantai 1

Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 MURID sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar
Mabuk itu masih tetap dalam incaran Ratu Cendana
Sutera, si Penguasa Selat Bantai, ia bukan saja menjadi dambaan Nyai Ratu
Cendana Sutera saja, melainkan
seluruh anak buah sang Ratu yang terdiri dari
perempuan-perempuan cantik itu juga mendambakan
hadirnya sang Pendekar Mabuk yang bernama Suto
Sinting. Esok malam, bulan kesuburan telah datang. Mau
tidak mau orang-orang Selat Bantai yang selama ini tak akan bisa mempunyai
keturunan berusaha keras untuk
mendapatkan darah ksatria muda sebagai penanam benih keturunan bagi mereka.
Sebab tanpa datangnya bulan
kesuburan, Ratu Cendana Sutera dan para pengikutnya
tidak akan bisa mempunyai keturunan. Mereka menjadi
wanita-wanita mandul yang tidak akan mampu hasilkan
keturunan sebagai penerus sejarah hidup orang-orang
Selat Bantai. Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, adalah orang
terpilih yang akan dijadikan pria penanam benih bagi mereka. Kesempatan yang
datangnya seratus tahun
sekali itu tak ingin mereka sia-siakan, sehingga orang-orang unggulan dari Selat
Bantai dikerahkan untuk
mencari Pendekar Mabuk.
Tetapi di pihak lain, seorang wanita cantik menjadi
penghalang bagi mereka. Awan Setangkai memburu
Suto Sinting untuk dibunuh dengan maksud agar Ratu
Cendana Sutera gagal mempunyai keturunan dari sang
pendekar tampan dan gagah perkasa itu. Namun niat
membunuh Suto Sinting itu telah membuat Awan
Setangkai terpaksa harus berpikir seratus kali, karena si pendekar tampan itu
ternyata bukan orang yang mudah
dibunuh. Pendekar Mabuk telah membuat hati Awan
Setangkai sering berdebar indah karena daya pesona
yang begitu kuat, serta sulit untuk dilupakan. Niat membunuh berubah menjadi
niat untuk melindungi
kelestarian hidup sang Pendekar Mabuk.
Itulah sebabnya Awan Setangkai akhirnya bertarung
melawan temannya sendiri, Penyamun Senja, demi
mempertahankan keperkasaan Pendekar Mabuk agar
tidak menjadi sapi perahan di Selat Bantai. Awan
Setangkai telah bertekad untuk menentang keputusan
ratunya dan tak peduli apakah ia dianggap sebagai
pengkhianat dari Selat Bantai atau pemberontak tunggal yang memburu kepentingan
pribadi. Sayangnya setelah Penyamun Senja mampu
ditumbangkan, Awan Setangkai dan Pendekar Mabuk
harus hadapi masalah baru dengan lenyapnya Elang
Samudera yang merupakan sahabat muda Pendekar
Mabuk itu. Elang Samudera lenyap ketika Pendekar
Mabuk dan Awan Setangkai bertarung menghadapi....
hal 7 dan 8 hilang.
......dengan tuak saktinya.
"Minumlah tuakku sedikit saja, Nek. Sedikit saja sudah dapat sembuhkan luka
dalammu. Ayo, minumlah.... Mari kubantu, Nek...."
Sang nenek gelengkan kepala dengan berusaha
berkata pelan sekali, "Aku tak boleh minum tuak. Nanti mabuk!"
"Tuak ini tak akan memabukkan, Nek. Tuak ini hanya sebagai obat. Kalau kau tidak
minum terlalu banyak tak akan memabukkan."
Nenek itu menggeleng lagi, lalu bersuara dengan
susah payah, "Kalau bisa jangan tuak. Kopi saja atau teh hangat."
"Nek, kami bukan pedagang kedai minuman. Jangan minta macam-macam," tukas Awan
Setangkai agak dongkol mendengar permintaan sang nenek.
Suto Sinting menahan geli dalam hati, lalu berkata kepada sang nenek, "Nanti
kalau kau sudah sembuh, kau bisa pergi mencari kedai dan memesan minuman kopi
atau teh hangat, Nek. Sekarang minumlah tuak ini dulu buat memulihkan
kesehatanmu."
Bujukan itu akhirnya membuat sang nenek berkata
lirih, "Baiklah. Tapi jangan bilang siapa-siapa.., kalau aku pernah minum tuak.
Nanti... nanti orang sangka aku nenek banyak tingkah. Tua-tua masih doyan minum
tuak. Seperti anak muda saja. Aku malu... malu sekali Kalau...."
"Sudahlah minum saja, jangan banyak bicara dulu.
Nyawamu sudah di ujung rambut!" sergah Awan
Setangkai menjadi kian jengkel mendengar ucapan sang nenek, ia menggerutu lagi
saat sang nenek akhirnya mau meminum tuak saktinya Suto.
"Nyawa sudah cekak, napas sudah ngap-ngap-an,
masih saja mau ngomong yang bukan-bukan!"
Mulut sang nenek ternganga, tuak dituangkan oleh
Suto Sinting dengah hati-hati agar tak tumpah ke mana-mana. Tapi tangan sang
nenek segera meraih bumbung
tuak dan menghirup dengan rakus.
Srrruuuppp...! "Hei...!" sentak Suto Sinting sambil menarik bumbung tuaknya. "Yaah... habis!"
gerutunya sambil melongok bumbung tuak. Kalau saja Suto Sinting tidak segera
menarik bumbung tuaknya, maka sebuah cincin
pusaka yang selama ini berada di dalam bumbung tuak
itu akan ikut tertelan oleh sang nenek. Cincin itu adalah Cincin Manik Intan,
yang merupakan pusaka sekaligus
senjata maut yang jarang digunakan oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Darah Asmara Gila").
Pendekar Mabuk menjadi terbengong melompong, ia
segera menatap Awan Setangkai yang menarik napas
menahan kekesalan hatinya. Gadis cantik berusia sekitar dua puluh lima tahun
yang mempunyai hidung bangir,
mata indah nakal dan dada agak montok itu tahu bahwa tuak telah terminum habis
oleh sang nenek. Ia pun tahu kekuatan tuak itu, sehingga jika bumbung sakti itu
kosong tuak, maka itu adalah hal yang berbahaya bagi Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau habiskan semua tuakku, Nek?" Suto Sinting setengah menuntut dengan
nada kecewa. Sang nenek menjadi tampak sehat dan segar.
Napasnya lancar, tenaganya pun pulih, ia bisa berdiri sendiri dan bicara dengan
ringan. Ia bagaikan tak pernah mengalami luka sekarat, bahkan lupa bagaimana
saat tadi ia hampir mati.
"Tuakmu segar sekali, Nak. Tubuhku jadi seperti perawan lagi."
"Perawan, perawan...!" Suto Sinting bersungut-sungut palingkan wajah ke arah
Awan Setangkai, ia melangkah mendekati Awan Setangkai dan berkata pelan,
"Kita harus temukan sebuah kedai dan mengisi
bumbung tuak ini dulu."
"Kubilang tadi apa" Jangan sembarangan
memberikan tuak kepada orang jika tuakmu tinggal
sedikit! Tapi kau ngotot dan berlagak dermawan!".
Awan Setangkai juga bersungut-sungut kesal.
"Hik, hik, hik..?" nenek itu terkekeh serak. "Kalau tak ikhlas jangan memberi,
itu bisa bikin penyakit dalam batinmu sendiri, Nak."
Pendekar Mabuk segera hembuskan napas panjang-
panjang untuk membuang kekesalan hatinya.
"Baiklah, Nek. Sekarang kau sudah sehat. Kami harus lanjutkan perjalanan lagi.
Tapi sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau tadi sampai terkapar dan sekarat
seperti itu?"
Sang nenek menjawab, "Ini ulah seseorang yang tiba-tiba menyerangku dari
belakang. Ilmunya sangat tinggi dan cukup berbahaya bagi tokoh-tokoh dunia
persilatan lainnya."
"Siapa orang yang menyerangmu itu, Nek?"
"Lantang Suri."
Awan Setangkai terperanjat, wajahnya menegang
matanya melebar, ia memandang Suto Sinting dengan
mulut sedikit melongo. Suto segera paham bahwa Awan
Setangkai pasti mengenal nama Lantang Suri itu.
"Siapa orang yang bernama Lantang Suri itu?" tanya Suto kepada Awan Setangkai.
Tapi sang nenek yang menjawab, "Dia orang Selat Bantai! Ilmunya memang tinggi
dan sukar dikalahkan.
Aku sendiri tak mampu mengalahkannya, apalagi kalian berdua. Maka dari itu,
kusarankan jika kalian berurusan dengan Lantang Suri, lebih baik cepat-cepat
pergi darinya. Dia sangat berbahaya dan tak kenal ampun.
Lihat saja, aku sudah setua ini masih tega dihantamnya dengan jurus kelas
menengah. Kalau tak kuat-kuat, aku sudah mati sejak tadi."
Pendekar Mabuk menarik lengan Awan Setangkai
hingga mereka sedikit menjauhi sang nenek.
"Benarkah orang bernama Lantang Suri itu dari Selat Bantai juga?" bisik Suto
Sinting agak menegang.
"Benar. Lantang Suri adalah sahabat karib Penyamun Senja. Biasanya jika Penyamun
Senja tugas keluar dari istana selalu berpasangan dengan Lantang Suri. Kurasa
kali ini pun Penyamun Senja berpasangan dengan
Lantang Suri...."
"Kalau begitu Lantang Suri yang menculik Elang
Samudera?" sergah Pendekar Mabuk.
"Kurasa... kurasa memang begitu, Suto!"
Keduanya bergegas kembali dekati nenek kurus yang
sedang membersihkan pakaiannya dari debu. Sang nenek menghentak-hentakkan
kakinya yang kotor agar debu-debu rontok dari kain compang-campingnya. Jubahnya
pun dilepas dan dikelebatkan agar bersih kembali.
"Nek, apakah kau melihat Lantang Suri bersama
seorang pemuda berbaju ungu?" tanya Suto Sinting.
"Tidak. Lantang Suri sendirian. Entah kalau pemuda itu disembunyikan di balik
angkinnya, mana kutahu?"
jawab sang nenek.
Tetapi Awan Setangkai segera menarik tubuh Suto
Sinting ke belakang, ia berbisik pelan sekali saat sang nenek mengenakan jubah
compang-campingnya
kembali. "Mundurlah dulu, aku perlu menghajar nenek siluman ini!"
"Hei, apa maksudmu menghajarnya"!"
"Kurasa dia bukan seorang nenek yang sebenarnya."
"Apa alasanmu beranggapan begitu?"
"Lihat, kaki kirinya mengenakan gelang dari tali hitam dan bandul batu giok
sebesar biji sawo!"
Pendekar Mabuk melirik kaki kiri si nenek. Memang
benar, kaki kurus itu mengenakan gelang tali hitam ketat dan bandul batuan hijau
giok sebesar biji sawo. Suto ingin tanyakan arti gelang hitam tersebut, tapi
tahu-tahu Awan Setangkai telah bergerak lebih dulu melepaskan pukulan ke arah
sang nenek. Sebuah pukulan tangan kanan yang berjari lurus dan
rapat disodokkan ke depan. Ujung tangan itu keluarkan sinar hijau bening melebar
dan menerpa tubuh sang
nenek. Weeeess...!
"Hei, apa-apaan kau, aku...," sang nenek tak sempat bicara lagi. Tubuhnya
terpental terbang cukup tinggi dan membentur sebatang pohon. Wuuut...!
Brrusss...! Bluuub...! Buuuuss...!
Tubuh itu mengeluarkan letupan kecil yang segera
menghamburkan asap tebal begitu membentur pohon.
Asap tebal itu pun segera buyar dan dari sisa gumpalan asap tersebut melesatlah
sesosok tubuh ramping
berpakaian rompi panjang warna Jingga. Wuuut...!
Jleeg...! Sesosok tubuh ramping telah menjelma dari
perubahan wujud sang nenek kurus tadi. Sosok ramping berpinggul lebar dengan
dada montok dibungkus kutang tipis warna kuning sutera itu berdiri dengan sigap,
kakinya yang bercelana ketat warna jingga sebatas betis sedikit merenggang.
Tangannya memegangi gagang
pedang yang terselip di pinggang kirinya. Wajah cantik itu milik seorang wanita
yang diperkirakan berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun. Rambutnya sebatas
punggung, sebagian disanggul kecil di tengah kepala, sebagian lagi lepas
terurai. Wajah cantik itu mempunyai bentuk mata sedikit lebar tapi indah dan
agak sayu. Hidungnya mancung, bibirnya sedikit lebar dan agak
tebal namun sangat menantang gairah bercumbu.
Pendekar Mabuk terbengong melihat perubahan
wujud sang nenek yang tadi ditolongnya itu. Ia terpaku di tempat dengan mata
terbelalak nyaris lupa berkedip.
Tetapi Awan Setangkai tampak tak punya rasa kaget dan heran melihat penampilan
wanita cantik bertubuh sekal itu.
"Ssia... siapa dia, Awan Setangkai?" bisik Suto Sinting agak gugup.
"Dia yang bernama Lantang Suri!" jawab Awan Setangkai dengan nada ketus karena
berang terhadap
wanita jelmaan si nenek kurus tadi.
"Kau tak bisa mengelabuiku, Lantang Suri! Kau lupa menghilangkan gelang di kaki
kirimu yang menjadi ciri penampilanmu itu!"
"Kau memang teliti, Awan Setangkai!"
Lantang Suri sunggingkan senyum sinis, ia
melangkah menyamping dengan mata tetap
memancarkan kewaspadaan tinggi. Sorot pandangan
mata itu lebih sering tertuju pada Suto Sinting, seakan senyumannya itu pun
ditujukan untuk Suto Sinting. Hal itu membuat Pendekar Mabuk menjadi berdebar-
debar bagai terbius oleh senyuman yang mengandung pesona bercinta.
"Rupanya kaulah yang menculik Elang Samudera saat aku menghadapi Penyamun
Senja!" ujar Awan Setangkai sambil melangkah menyamping seakan mencari
kesempatan untuk melepaskan pukulannya.
"Memang aku ditugaskan mencari Pendekar Mabuk
bersama Penyamun Senja. Saat kau melawan Penyamun
Senja, aku ada di belakangmu bersama si Mega Sendu."
"Sekarang di mana sahabatku itu; si Elang
Samudera!" Suto Sinting menyahut kata-kata dengan tak sabar.
Lantang Suri sunggingkan senyum bersifat
meremehkan pertanyaan itu.
"Aku tak tahu nama pemuda itu. Yang kutahu dia
cukup tampan dan berperawakan seorang ksatria. Mega
Sendu kusuruh membawa pemuda itu ke istana Selat
Bantai, sementara tugasku menghambat langkah kalian
yang pasti ingin menuju ke sana."
"Kau memang keparat, Lantang Suri! Hiiih...!"
Awan Setangkai lepaskan pukulan ke arah samping.


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seberkas sinar bagaikan tombak meluncur cepat dari
telapak tangan Awan Setangkai. Sinar berbentuk tombak warna merah itu menghantam
pohon, dan memantul
balik menjadi tiga larik. Pantulan tiga sinar merah berbentuk tombak itu
mengarah pada Lantang Suri.
Slaaap...! Buusss...! Lantang Suri terbungkus asap putih tebal
berbentuk gumpalan tinggi. Tiga sinar merah
menghantam asap putih itu. Zrrubb...! Blaaabb...!
Ledakan yang terjadi bagaikan teredam sehingga tak
timbulkan suara keras dan tak terjadi getaran apa pun.
Asap itu lenyap sekejap kemudian. Sosok Lantang Suri pun tak ada di sana.
Awan Setangkai mencari di sekelilingnya. Tapi mata
si Pendekar Mabuk yang dapat temukan Lantang Suri di atas sebuah pohon.
"Dia di atas sana!" sergah Suto Sinting. Awan Setangkai pandangi Lantang Suri
sambil melangkah ke
samping Suto Sinting.
"Dia cukup berbahaya!" bisik Awan Setangkai.
"Sebaiknya kita serang bersama saja. Aku akan
memancing perhatiannya ke arah lain, kau
menyerangnya dari belakang!"
Dari atas pohon terdengar suara si Lantang Suri
cukup keras dan jelas,
"Pemuda itu akan kami bebaskan jika Pendekar
Mabuk mau serahkan diri kepada Nyai Ratu! Jika tidak, maka pemuda itu akan kami
siksa sampai mati!"
"Persetan dengan ancamanmu, Lantang Suri! Tak
seorang pun kuizinkan membawa pergi Pendekar
Mabuk!" seru Awan Setangkai. "Jika kau bersikeras membawanya ke Istana Selat
Bantai, maka kau harus
melangkahi mayatku dulu, Lantang Suri!"
"Itu soal mudah," jawab Lantang Suri sambil masih bertengger seenaknya di atas
dahan sebuah pohon besar berdaun jarang. "Kuharap pikirkan dulu tekadmu itu,
Awan Setangkai. Karena kau harus mengakui bahwa
ilmumu tak sebanding jika harus melawan ilmuku!"
"Kurobek mulut busukmu, itu, hiiaah...!"
Awan Setangkai lepaskan pukulan berasap tipis.
Pukulan itu dilakukan dengan sentakkan kedua tangan
ke depan dalam keadaan telapak tangan tengadah.
Wuuut...! Dari telapak tangan itu melesat butiran-butiran berkerilap seperti
biji besi yang jumlahnya cukup
banyak. Zrrraaaasss...!
Lantang Suri bagaikan ingin dihujani dengan butiran-
butiran biji besi itu. Namun dengan tangkas ia telah lenyap lebih dulu dari
pohon tersebut bagaikan
menghilang. Gerakan lompatnya sangat cepat dan hanya Suto Sinting yang mampu
melihat gerakan lompat dari
pohon ke pohon yang akhirnya turun ke tanah belakang mereka.
Jleeg...! Lantang Suri daratkan kakinya ke tanah pada saat
butiran biji besi itu menghantam pohon, dan pohon
tersebut menjadi rapuh seketika. Keropos bagaikan
puluhan tahun mati dimakan rayap. Zaarrkk...! Pohon itu pun rontok sebagian dan
menjadi kayu tanpa guna.
Pendekar Mabuk cepat-cepat bergerak dengan
melakukan terjangan cepat ke arah Lantang Suri. Ia
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu
bergerak cepat melebihi kecepatan anak panah.
Zlaaap...! Tetapi gerakan cepat bermaksud menerjang Lantang
Suri itu terpaksa gagal dalam sekejap, Lantang Suri
lepaskan pukulan penahan tubuh lawan dengan cara
menyentakkan tangan kanannya dalam keadaan tangan
terbuka. Dari telapak tangan keluar lima larik sinar biru
sebesar lidi. Masing-masing sinar mempunyai asap tipis yang mampu melesat cepat
dan menghantam tubuh Suto
Sinting. Claaarss...!
Pendekar Mabuk menangkis tiga sinar yang menuju
ke arahnya dengan bumbung tuaknya. Tetapi agaknya
gerakan itu meleset, sehingga tiga sinar biru itu berhasil menghantam bagian
dada dan perutnya. Zllabb...!
Sedangkan dua sinar lainnya mengenai pinggang Awan
Setangkai secara tak sengaja. Zlaab...!
"Uuhg...!" terdengar Suto Sinting terpental balik oleh pukulan tiga sinar
tersebut, suaranya terpekik berat dan ia pun jatuh terjungkal ke belakang dalam
jarak tiga langkah. Brruus...!
Awan Setangkai sendiri tak menyangka kalau akan
mendapat serangan dua sinar biru tersebut, ia terlempar ke belakang bagai
dilemparkan dengan tenaga cukup
kuat. Ia pun jatuh terbanting dengan suara pekik tertahan di tenggorokan.
"Aakkh...!"
Suuuuttt...! Tiba-tiba kedua tubuh yang terkena sinar biru itu
mengecil dengan sendiri. Awan Setangkai dan Pendekar Mabuk berubah menjadi
mengerut dan akhirnya mereka
berdua menjadi kerdil, bahkan lebih kecil dari seorang bocah berusia satu tahun.
Dalam keadaan sekujur tubuhnya sakit, Pendekar
Mabuk segera terkejut setelah menyadari dirinya
menjadi kecil, tingginya tak lebih dari sejengkal,
demikian pula halnya dengan Awan Setangkai. Tetapi
bumbung tuak yang dibawa-bawa Suto Sinting itu tidak ikut berubah menjadi kecil.
Bumbung tuak itu terpental dan jatuh di semak-semak ketika Suto Sinting terbuang
ke belakang tadi.
"Hi, hi, hi... Kalian sekarang seperti liliput. Kalian tak akan punya kemampuan
apa-apa lagi!" ujar Lantang Suri sambil tertawa mengikik kegirangan, ia tak
pedulikan bumbung tuak tersebut, ia lebih memperhatikan keadaan Suto Sinting dan
Awan Setangkai yang segera diraupnya dalam satu genggaman tangan.
"Lepaskan aku! Lepaskan, Setan...!" teriak Awan Setangkai dengan berang, ia
berusaha melawan dengan
menggerak-gerakkan tangannya namun tak mampu
membuat Lantang Suri celaka sedikit pun. Bahkan ketika Suto Sinting berusaha
melepaskan jurus pukulan yang berbahaya, ternyata tenaga dalamnya bagaikan
dikebiri, ia tak mampu melepaskan serangan apa pun kepada
Lantang Suri. Tubuh mereka sangat lemas dan kesaktian mereka pun seakan lenyap
tanpa bekas. "Hi, hi, hi...! Kalian berdua akan kuserahkan kepada Nyai Ratu. Kau akan
dikeringkan untuk gantungan
kunci, Awan! Tapi Pendekar Mabuk akan dipulihkan
kembali jika ia bersedia memberikan bibit keturunan bagi kami semua! Hi, hi,
hi,..! Aku berhasil! Aku
berhasil!" Lantang Suri melonjak kegirangan.
* * * 2 BARU saja Lantang Suri mau melangkah membawa
Suto Sinting dan Awan Setangkai ke Istana Selat Bantai, tiba-tiba sekelebat
bayangan menerjangnya dari
belakang. Bayangan itu bergerak dengan cepat bagaikan angin berhembus dari
pusaran badai. Braaass...!
"Uhhg...!" Lantang Suri terpental empat langkah jauhnya, ia jatuh tersungkur di
sana. Namun satu
tangannya sempat menyentuh tanah dan telunjuknya
menghentak, sehingga tubuhnya melenting ke atas tak
jadi mencium tanah. Wuuut...! Ia bersalto satu kali di udara, kemudian
mendaratkan kakinya dengan tegak di
tanah berumput. Jeeb...!
Tetapi dua makhluk kecil yang berada di tangan
kanannya tadi terpental akibat sentakan kuat. Awan
Setangkai terpental jauh dan jatuh di semak belukar, sedangkan Pendekar Mabuk
terpental tak seberapa jauh.
Pemuda tampan yang berubah menjadi manusia kecil itu segera disambarnya ketika
telunjuk kiri Lantang Suri menyentuh tanah. Akibatnya Pendekar Mabuk berada
dalam genggaman tangan Lantang Suri lagi, tapi Awan
Setangkai tak diketahui nasibnya. Lantang Suri tak
sempat mencari Awan Setangkai karena ia harus segera
berhadapan dengan penyerangnya.
Orang yang menerjangnya dari belakang ternyata
seorang perempuan yang diperkirakan berusia sebaya
dengannya. Lantang Suri mengernyitkan dahi sedikit,
kemudian sunggingkan senyum setelah mengenal siapa
perempuan tersebut.
Perempuan cantik itu mengenakan jubah kuning
bergaris-garis merah, pinjung penutup dadanya warna
merah, demikian pula celananya. Perempuan montok itu mempunyai tahi lalat di
dagu sebelah kiri. Rambutnya sama panjang dengan Lantang Suri, dan sama-sama
disanggul sebagian sisanya meriap sepunggung. Namun
perempuan itu mempunyai rambut sedikit berombak
dibandingkan rambut Lantang Suri. Ia menggenggam
tongkat dengan bagian kepala tongkat berbentuk kuncup bunga teratai.
Suto Sinting yang masih berada dalam genggaman
tangan Lantang Suri dapat melihat kehadiran tokoh
cantik itu yang tak lain adalah Nyai Sedap Malam, istri dari Ki Palang Renggo.
Ketika Suto Sinting terkena
racun 'Bayi Panggang', ia sempat dibawa ke pondok Ki Palang Renggo oleh Elang
Samudera, dan diminumi
tuak oleh Nyai Sedap Malam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pemburu Darah Satria").
"Rupanya kau orangnya yang cari penyakit, Sedap Malam!" ujar Lantang Suri dengan
senyum sinis dan bersikap meremehkan Nyai Sedap Malam.
"Aku bertemu dengan sahabat suamiku; si Galak
Gantung, dan mendapat keterangan tentang rencana
orang-orang Selat Bantai! Aku mencemaskan keadaan
Pendekar Mabuk, sehingga aku perlu bicara dengan
Cendana Sutera. Tetapi ternyata tindakanku belum
terlambat. Pendekar Mabuk masih sampai di sini walau sudah berhasil kau
lumpuhkan dengan 'Aji Surut Raga'-
mu itu, Lantang Suri. Dan kudengar percakapan kalian tadi, kau telah menculik
Elang Samudera yang sekarang dibawa oleh Mega Sendu ke istana!"
"Hmmm... telingamu rupanya masih suka usil, Sedap Malam," ujar Lantang Suri
masih tetap tenang. Suto Sinting yang ada dalam genggamannya masih sesekali
dipandangi dengan senyum kemenangan. Suto Sinting
tak bisa bergerak karena tubuhnya digenggam kuat
hingga bernapas pun terasa sulit.
"Lepaskan dia, Lantang Suri! Jika tidak kau akan hidup di alam baka saat ini
juga!" ancam Nyai Sedap Malam.
Lantang Suri sunggingkan senyum mengejek semakin
lebar. "Kau sudah bukan orang Selat Bantai lagi, Sedap Malam. Kau tak punya hak
mencampuri urusan Selat
Bantai! Sejak kau terusir dari Istana Selat Bantai, demi mengikuti suamimu yang
tua keropos itu, kau sudah
dianggap musuh oleh pihak Nyai Ratu. Jadi, jangan
coba-coba mencampuri urusan kami jika kau masih
ingin merawat suamimu yang sebentar lagi jompo itu!"
"Tutup mulutmu, Lantang Suri!" bentak Nyai Sedap Malam dengan berang. Rupanya ia
tersinggung suaminya diejek sedemikian rupa. Berangnya Nyai
Sedap Malam justru ditertawakan oleh Lantang Suri.
"Kau tahu siapa aku, Lantang Suri"!"
"Ya, aku tahu kau bekas pengawal andalan Nyai
Ratu. Ilmumu cukup tinggi, sama halnya dengan Awan
Setangkai. Tetapi kau pun perlu tahu, Sedap Malam...
bahwa aku bukan Lantang Suri yang dulu menjadi
sahabatmu. Aku adalah Lantang Suri yang sudah
menguasai beberapa jurus baru dari Kitab Lumbung
Hitam. Kau tak akan bisa mengungguli ilmuku, Sedap
Malam. Sia-sia saja nyawamu jika berusaha merebut
Pendekar Mabuk dari tanganku ini!" sambil tangan yang menggenggam Suto Sinting
diacungkan ke atas. Tampak
kepala Suto Sinting sedang berusaha untuk menghirup
udara sebanyak-banyak dengan gerakan-gerakan tak
berarti. Nyai Sedap Malam menggeram dengan kedua tangan
mulai menggenggam kuat-kuat. Matanya memancarkan
murka yang sebentar lagi akan dilepaskan. Namun ia masih mencoba untuk menahan
murkanya dan berusaha
hindari pertarungan dengan bekas sahabat karibnya
semasa ia menjadi pengawal andalan Nyai Ratu Cendana Sutera. Diam-diam Suto
Sinting mencatat dalam
ingatannya percakapan itu, karena baru sekarang ia
mengetahui bahwa Nyai Sedap Malam ternyata bekas
orang Selat Bantai.
"Lantang Suri, kuharap kali ini kau turuti keinginanku agar di antara kita tidak
ada perselisihan. Untuk perkara lain, aku tak akan ikut campur lagi dan mungkin
suatu saat aku masih bisa membantumu secara diam-diam.
Hanya kali ini saja aku mempunyai permintaan yang
ingin kau turuti; lepaskan Pendekar Mabuk dan
bebaskan Elang Samudera."
"Hi, hi, hi... rupanya kau masih naksir pemuda-
pemuda tampan seperti mereka. Sedap Malam. Rupanya
kau masih suka digelitik oleh kehangatan pemuda
segagah mereka. Apakah suamimu sudah tidak bisa
menggelitikmu lagi" Dulu kau bilang Palang Renggo
biarpun tua tapi ampuh 'pusaka'-nya dan sehangat lahar gunung berapi" Mengapa
sekarang kau mengincar dua
pemuda tampan dan perkasa ini" Kalau begitu, 'pusaka'
suamimu itu sudah tidak ampuh lagi dan sudah sedingin salju" Hi, hi, hi, hi...!"
Nyai Sedap Malam makin menggeram. "Kau
memang tak bisa diajak damai, Lantang Suri! Demi
harga diri suamiku, aku terpaksa melebur ragamu.
Perempuan Iblis! Hiaaah...!"
Weesss...! Tongkat berkepala kuncup bunga teratai itu
dilemparkan dalam gerakan cepat yang sukar dilihat.
Tongkat itu melesat cepat sekali dan setelah di
pertengahan jarak berubah menjadi seekor ular panas.
Ular itu menyemburkan hawa panas beracun dari
mulutnya. Wooosss...!
Tetapi Lintang Suri lebih dulu bergerak cepat
bagaikan menghilang. Wees...! Ia berpindah tempat di belakang Nyai Sedap Malam.
Semburan hawa panas itu
kenai pohon, dan pohon tersebut segera mengering, kulit pohon terkelupas dengan
daunnya yang menghitam dan
akhirnya rontok. Pohon tersebut dalam beberapa kejap
kemudian berubah menjadi tonggak arang yang rapuh.
Lantang Suri lepaskan pukulan dari dua jari yang
ditebaskan ke depan. Dua jari itu melepaskan sinar
merah berbentuk pedang yang berkelebat membabat
punggung Nyai Sedap Malam.
Slaaap...!

Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyai Sedap Malam melihat kerilapan cahaya merah
dan hembusan udara panas yang terasa menyentuh
tengkuk kepalanya. Dengan cepat kakinya menyentak
dan tubuh pun melayang di udara dalam gerakan salto.
Tangannya berkelebat bagai menarik sesuatu. Ternyata tongkatnya yang berubah
wujud menjadi seekor ular itu ditarik kembali dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Wuuut...! Plek! Ular itu berubah menjadi tongkat
kembali dan dalam sekejap sudah berada di tangannya.
Ketika ia bergerak turun mendaratkan kakinya ke
tanah, tongkat itu sudah berdiri tegak bersama sepasang kakinya yang berbetis
indah itu. Sedangkan sinar yang menyerupai pedang segera dihancurkan dengan
sentakan tangan kiri yang mengeluarkan selarik sinar dari
pergelangan tangannya. Claaap! Blaaarr...!
Kedua perempuan yang dulunya bersahabat akrab itu
saling berdiri tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka beradu pandang,
namun wajah Nyai Sedap
Malam tampak dihiasi kemarahan yang terpendam,
sedangkan wajah Lantang Suri tampak tenang dengan
seulas senyum sinis berkesan menyepelekan lawan.
"Rupanya kau tambah ilmu sejak menjadi istri si peot keropos Palang Renggo itu,
Sedap Malam. Hmmm...!
Sayang tak sebanding dengan ilmuku!"
"Jangan banyak bicara, Lantang Suri! Sekali lagi kuingatkan, lepaskan Pendekar
Mabuk dan bebaskan
Elang Samudera! Mereka murid-murid dari sahabat
suamiku!" "Elang Samudera sudah berada di istana. Kurasa si tampan yang sempat kutotok
dengan setangkai ranting
kering itu sekarang sedang dibebaskan totokannya oleh Mega Sendu, mungkin juga
sedang dijadikan barang
mainan oleh para penghuni Istana Selat Bantai. Dan aku yakin, Elang Samudera
akan betah di dalam istana
karena banyak wanita cantik yang menciuminya. Aku
pun agaknya akan ketinggalan, tapi aku masih punya
yang satu ini; Pendekar Mabuk! Akan kupakai lebih dulu sebelum kuserahkan kepada
Nyai Ratu. Dengan begitu,
kelak aku akan mempunyai keturunan pertama dari
Pendekar Mabuk dan anakku akan tumbuh menjadi
satria tangkas, perkasa, dan sakti!"
"Pergilah ke neraka bersama mimpimu itu, Keparat!
Hiaaah...!"
Nyai Sedap Malam menghentakkan tongkatnya ke
tanah. Dari tanah tersembur puluhan sinar bagai benang-benang beterbangan.
Cralap...! Weerss...!
Puluhan sinar merah itu menerjang Lantang Suri
bagai ingin menjaringnya. Tetapi agaknya si cantik
berompi Jingga itu memang tidak mudah ditumbangkan.
Walaupun serangan itu datang secara tiba-tiba, namun ia tetap saja bisa hindari
dengan satu sentakan napas yang membuatnya melenting ke atas dan hinggap di
dahan sebuah pohon. Wuuut...! Jleeg...!
Dari atas pohon itu ia tertawa mengikik panjang
melihat sinar-sinar merah telah menerjang sebatang
pohon besar yang membuat pohon itu menyala merah
dalam sekejap, kemudian lenyap dan tinggal asap belaka.
"Hiaaah...!" Nyai Sedap Malam merasa
dipermainkan, ia segera sentakkan kaki ayunkan badan, sehingga tubuhnya segera
melayang terbang ke atas
menghampiri lawannya. Weess...! Sambil melayang
tongkatnya diputar-putar di atas kepala dengan gerakan cepat.
Wuung, wwung, wuuung...!
Putaran tongkat itu keluarkan cahaya merah membara
yang menyebar lebar membuat daun-daun yang terkena
cahaya merah itu menjadi lenyap seketika. Ranting dan dahan yang terkena sinar
merah membara itu pun hilang bagai tak pernah tumbuh. Sementara sosok tubuh yang
didekati itu justru melayang bagaikan belalang terbang sambil menyentakkan
tangan kirinya dan melepaskan
serbuk berasap warna putih perak.
Weeerrsss...! Tar, tar, tar, tar, blaaarr...!
Letusan kecil terdengar bagai rentetan petasan pada
saat serbuk-serbuk mengkilat itu kenai bias sinar merah.
Dan letusan itu menjadi sebuah ledakan cukup dahsyat ketika serbuk-serbuk
mengkilat itu dihantam ujung
tongkat yang berputar cepat itu.
Ledakan tersebut membuat Nyai Sedap Malam
terpelanting karena gelombang hentakannya cukup besar
dan kuat. Tubuh Nyai Sedap Malam akhirnya
membentur sebatang dahan pohon dan jatuh melayang
ke tanah dalam ketinggian lebih dari tujuh tombak.
Krraak...! Wuuuutt...!
Dahan itu patah namun tak sampai jatuh karena
tersangkut ranting-ranting pohon. Dan tubuh Nyai Sedap Malam yang melayang ke
bawah itu segera dapat kuasai diri dengan berjungkir balik beberapa kali, lalu
tiba di tanah dalam keadaan kedua kaki sedikit merenggang dan badan sedikit
merendah. Jleeg...!
Lantang Suri sudah berpindah tempat ke dahan pohon
lainnya. Begitu melihat Nyai Sedap Malam menapakkan
kaki di tanah, ia segera lepaskan jurus mautnya yang memancarkan selarik sinar
kuning emas dari jari tengah tangan kiri yang diluruskan. Claaap...!
Sinar kuning emas itu mengejutkan Nyai Sedap
Malam. Dengan cepat kepala tongkat disentakkan ke
arah sinar itu. Dari kepala tongkat keluar selarik sinar biru terang yang segera
menghantam sinar kuning emas dalam jarak satu tombak di depan dada Nyai Sedap
Malam. Blegaaar...!
Ledakan lebih dahsyat timbulkan gelombang lebih
kuat lagi. Nyai Sedap Malam terlempar jauh dalam
keadaan menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Kulit sang Nyai pun menjadi merah matang bagaikan
terpanggang api. Ia jatuh terpuruk dengan tongkat masih lengket dalam
genggamannya. Brruk...! "Aaahhk...!" ia mengerang kesakitan dengan suara
berat. "Terpaksa kuhabisi juga nyawamu agar kelak tidak menyulitkan aku lagi, Sedap
Malam! Hiaaah...!"
Cahaya ungu lebar bagaikan piring bergerigi keluar
dari telapak tangan kiri yang menyentak dalam bentuk jari mencakar. Cahaya ungu
bagai piringan bergerigi
berputar itu menerjang tubuh Nyai Sedap Malam yang
sudah tak mampu melakukan gerakan apa-apa lagi.
Tetapi ketika sampai di pertengahan jarak, cahaya
ungu itu tiba-tiba dihantam oleh sinar putih patah-patah yang melesat dari balik
semak belukar. Clap, clap,
clap...! Blegaaarr...! Bumi berguncang bagai dilanda gempa karena
ledakan dahsyat itu. Beberapa saat kemudian, sesosok tubuh kurus berjubah biru
muda muncul dari semak
belukar itu. Weees...! Tokoh berambut abu-abu itu sudah berusia sekitar enam
puluh tahun, namun gerakannya
masih gesit dan lincah, ia tak lain adalah Ki Palang Renggo, suami dari Nyai
Sedap Malam. "Celaka! Kenapa istriku bisa seperti kepiting rebus begitu"! Gawat! Aku harus
segera selamatkan jiwanya
kalau tak ingin menjadi duda untuk yang kedua puluh
empat kali!"
Weess...! Ki Palang Renggo segera berkelebat
menyambar istrinya. Dalam sekejap Nyai Sedap Malam
sudah ada di pundak Ki Palang Renggo. Kemudian tanpa memberi serangan balasan,
Ki Palang Renggo berkelebat cepat bagaikan menghilang, ia membawa lari istrinya
dan tak peduli suara tawa Lantang Suri yang melengking tinggi itu.
"Cari tempat yang baik untuk menguburkan istrimu itu, Palang Renggo!!" teriak
Lantang Suri di sela tawanya yang mirip kuntilanak bercumbu.
Ki Palang Renggo tetap tidak pedulikan ejekan itu. Ia hanya menggeram,
"Tunggu pembalasanku nanti!"
* * * 3 KARENA genggaman tangan terlalu kuat, Suto
Sinting akhirnya pingsan dalam genggaman Lantang
Suri. Perempuan bermata sayu itu cekikikan melihat
Suto Sinting pingsan di atas telapak tangannya.
"Kasihan sekali kau, Pemuda Gagah. Aku tak sengaja menggenggammu terlalu kuat.
Habis tadi aku kerahkan
tenaga untuk menahan hentakan daya ledak, tak sadar
aku menggenggam kuat-kuat. Oh, Sayangku... jangan
mati dulu sebelum bulan kesuburan datang!"
Lantang Suri membelai-belai tubuh Suto Sinting
seperti membelai anak kucing. Tubuh kecil itu
diciumnya, ditempelkan di pipi, seakan ia sangat sayang dengan boneka mainannya.
"Sebaiknya kita segera mencari tempat aman saja, ya Sayang"! Kita datang
menghadap Nyai Ratu setelah
malam bulan kesuburan lewat. Hanya semalam saja aku
butuhkan dirimu untuk menaburkan benih di dalam
kandunganku. Setelah itu kau kuserahkan kepada Nyai
Ratu dan terserah apa yang ingin kau lakukan. Yang
penting aku sudah mendapatkan benih pertama darimu.
Pendekar Tampan! Hi, hi, hi...!"
Lantang Suri tampak berseri-seri. Ia mengatur
rencana untuk kepentingan sendiri, ia akan serahkan
Suto Sinting sehari setelah malam bulan kesuburan
datang. Suto Sinting akan dimanfaatkan untuk
kebutuhan gairahnya sendiri sebelum harus diserahkan kepada Nyai Ratu Cendana
Sutera. Karena itu, ia harus mencari tempat aman yang sebenarnya sudah ada dalam
benaknya. "Kita akan ke Pantai Karang Hantu. Aku pernah
melihat ada gua cukup aman di sana. Kita bisa memadu kasih dan kemesraan di
sana, Pendekar tampan, calon
ayah keturunanku! Tapi agar tak diketahui siapa pun, sebaiknya kau kusimpan dulu
di balik kutangku! Nanti setelah sampai gua itu kau akan kusadarkan dan
kukembalikan seperti semula! Hi, hi, hi... akulah yang berhasil memiliki
keturunan pertama dari Pendekar
Mabuk yang bernama Suto Sinting itu. Hi, hi, hi, hi, hi...!"
Suto Sinting dimasukkan ke dalam kutang penutup
dadanya. Di sela kedua bukit yang membusung sekal
dan montok itulah Lantang Suri sembunyikan Pendekar
Mabuk dalam keadaan pingsan. Tempat yang lega dan
besar membuat Pendekar Mabuk memungkinkan sekali
untuk tertutupi.
"Lalu di mana si Awan Setangkai tadi"!" pikir Lantang Suri. "Ah, persetan dengan
perempuan itu! Pasti sudah mati atau sekarat karena terbanting sekeras itu.
Kalau toh dia masih hidup, biarlah hidup, sebentar lagi juga akan mati dimakan
binatang buas. Dia tak akan bisa berbuat apa-apa dalam keadaan sekecil itu!"
Sambil menuju Pantai Karang Hantu, batin Lantang
Suri selalu berkecamuk dalam kegirangan, ia bahkan tak sabar ingin segera sampai
ke sana dan menyadarkan
Pendekar Mabuk. Rasa bangga dan girangnya telah
membuat kewaspadaannya lengah, sehingga ketika
datang sebuah serangan berupa pukulan panas tanpa
sinar itu ia tidak bisa mengelak lagi.
Wuuut...! Beehk...!
"Uuhk...!" pekiknya tertahan sambil tubuhnya melengkung ke depan dan melayang
nyaris membentur
pohon. Namun ia masih bisa menahan napas dan
berpegangan pada pohon itu sehingga tak jadi jatuh
tersungkur. Hawa murninya segera disalurkan ke seluruh tubuh agar pukulan berat
tadi tidak membuatnya cedera.
Dengan menahan luapan amarah, Lantang Suri
memandang liar kepada orang yang telah menyerangnya
secara tiba-tiba itu. Terdengar suaranya menggeram
ketika matanya yang sayu itu menemukan sosok si
penyerang. "Kau...!" hanya itu yang keluar dari mulutnya, lalu ia menarik napas dalam-dalam
dan mulai mengeraskan
urat-urat tangannya sambil melangkah dekati si
penyerang yang berdiri tegak bagai menantang
kedatangannya. Seorang perempuan bermata bening, dengan bulu
mata yang lentik, hidung bangir dan bibir menawan itu menatap Lantang Suri tak
berkedip tanpa seulas senyum pun. Perempuan itu berusia sekitar dua puluh
delapan tahun. Mengenakan pinjung penutup dada warna merah
bersulam benang emas. Celana sebatas betis juga dari bahan beludru merah
bersulam benang emas. Pedangnya
yang di pinggang tampak bergagang emas berukir.
Rambutnya disanggul, sehingga lehernya yang berkulit kuning langsat itu tampak
mulus dan indah karena
mengenakan kalung emas berbandul batuan mutiara.
Seandainya Suto Sinting dalam keadaan sadar dan
melihat perempuan itu, pasti ia terkejut dan berseri-seri kegirangan, karena ia
sudah cukup lama tak jumpa
dengan prajurit andalan Ratu Dewi Giok dari Tanjung
Samudera. Perempuan itu tak lain adalah Bulan
Sekuntum yang pernah ditolong oleh Suto Sinting
karena luka pertarungannya dengan si Anak Petir, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Keranda
Hitam"). Tak heran jika Lantang Suri sudah mengenal Bulan
Sekuntum, karena letak negeri Tanjung Samudera sering dilalui oleh orang-orang
Selat Bantai jika ingin
mengadakan perjalanan melalui pantai. Bulan Sekuntum pun mengenal betul siapa
Lantang Suri itu, sehingga ia tampak hati-hati sekali dalam berhadapan
dengannya. "Apa maksudmu menyerangku, Bulan Sekuntum"!
Apakah kau ingin meneruskan perselisihan lama tentang
Pusaka Selendang Iblis itu"!"
"Aku tidak punya hubungan dengan pusaka itu!"
jawab Bulan Sekuntum dengan nada ketus sekali.
"Selendang Iblis sudah hancur di tangan seorang tokoh yang tidak ada hubungannya
denganku. Sengaja aku
menghambat langkahmu karena aku melihat
pertarunganmu dengan seorang berjubah kuning yang
segera diselamatkan oleh suaminya yang tua tadi.
Kudengar apa yang kalian berdebatkan sebelum
pertarungan itu terjadi!"
"O, jadi kau ingin membela si Sedap Malam?"
"Aku tak kenal dengannya. Yang kukenal adalah
Pendekar Mabuk; Suto Sinting! Aku tahu pemuda
tampan itu ada di balik kutangmu! Kau telah
membuatnya menjadi sekecil boneka sulaman, dan aku


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun tahu apa maksudmu membawa pergi Pendekar
Mabuk! Bulan kesuburan memang akan datang.
Tentunya orang-orang Selat Bantai berusaha mencari
calon penabur keturunan."
"Itu bukan urusanmu, Bulan Sekuntum! Kau bukan
orang Selat Bantai, untuk apa mau ikut campur urusan kami"!"
"Karena aku punya urusan dengan pemuda yang akan kalian gunakan sebagai pria
pembenih itu! Ratu Dewi
Giok sedang sakit. Aku butuh seorang tabib. Tak ada
tabib lain yang mampu sembuhkan penyakit ratuku itu.
Tapi aku yakin, Tabib Darah Tuak yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk itu
mampu mengobatinya. Sebab
itu, kuminta lepaskan Pendekar Mabuk dan akan kubawa
ke Tanjung Samudera secepatnya!"
"O, jadi kau mencari-cari Pendekar Mabuk" Sayang sekali, aku tidak tahu di mana
Pendekar Mabuk!"
"Omong kosongmu keterlaluan, Lantang Suri!
Bukankah sudah kukatakan aku mendengar
percakapanmu dengan Sedap Malam dan kudengar pula
ucapanmu saat sebelum Pendekar Mabuk kau simpan di
sela-sela dadamu itu"!"
"Hi, hi, hi, hi....' Rupanya kau tak mudah ditipu, Bulan Sekuntum. Baiklah,
pendekar tampan itu memang
ada di dadaku."
"Lepaskan dia!" hardik Bulan Sekuntum.
"Nanti akan kulepaskan setelah dia membagi benih keturunan kepada orang-orang
Selat Bantai!"
"Rupanya aku harus memaksamu dengan cara kasar!
Hiiah...!"
Tangan Bulan Sekuntum berkelebat bagai lemparkan
pisau. Tetapi yang keluar dari tangan itu adalah sinar merah berbentuk seperti
mata tombak. Claap...! Sinar merah itu melesat cepat ke ulu hati Lantang Suri.
Dengan satu lompatan cepat ke arah samping, sinar-
merah itu lolos dari sasaran dan menghantam sebongkah batu di belakang sana.
Duaarr...! Lantang Suri tak hiraukan kehancuran batu yang
menjadi serbuk lembut akibat dihantam sinar merah itu.
Ia segera membalas dengan menyabetkan dua jarinya
yang mengeras. Dari ujung dua jari itu melesat sinar merah berbentuk pedang yang
menebas leher Bulan
Sekuntum. Slaap...! Sinar itu juga dihindari oleh Bulan
Sekuntum dengan bersalto mundur. Wuuk...! Jleeg...!
Dengan satu kaki berlutut, Bulan Sekuntum segera
lepaskan jurus 'Racun Baja', berupa sinar biru lurus dari jari tengah. Weess...!
Sinar biru itu jika kenai lawan maka lawan akan mengalami luka bakar dan dalam
setengah hari nyawanya tak akan tertolong lagi. Tetapi agaknya Lantang Suri
sangat hati-hati menghadapi
serangan lawannya, ia tak mau menangkis sinar tersebut, melainkan hanya
menghindari dengan gerakan cepat
yang mirip menghilang itu. Wuut...!
Jegaar...! Sinar biru itu menghantam pohon dan
menimbulkan ledakan yang menggetarkan beberapa
pohon lainnya. Sedangkan Lantang Suri tahu-tahu sudah berada di belakang Bulan
Sekuntum dan menendangkan
kaki kanannya dengan cepat. Wuuut...! Buuhk...!
"Ouh...!" Bulan Sekuntum terpental ke depan dan hampir saja jatuh tersungkur.
Untung ia segera kuasai diri, sehingga ia hanya jatuh berlutut dengan satu kaki.
"Kurang ajar! Ia gunakan tendangan beracun. Uuh...!
Panas sekali sekujur tubuhku. Darahku pasti sudah
bercampur dengan racun yang berbahaya. Oouh...! Aku
tak bisa bergerak lagi"!"
Bulan Sekuntum berusaha menggerakkan kakinya
untuk bangkit, namun persendiannya bagai terkunci.
Bahkan ia tak bisa menggerakkan kepalanya untuk
menengok ke arah lawan.
"Celaka! Persendianku bagai terkunci dan... dan... oh, gawat kalau begini! Detak
jantungku semakin pelan.
Napasku sesak sekali," keluh Bulan Sekuntum sambil
berusaha untuk lakukan gerakan pada jari tangannya.
Namun gerakan sekecil itu pun tak bisa dilakukan.
Seluruh sendi tulangnya telah terkunci oleh racun
tendangan Lantang Suri.
"Hi, hi, hi...! Jangan coba-coba melawanku kalau tak punya ilmu cukup tinggi,
Bulan Sekuntum! Kau tahu
sendiri, betapa mudahnya aku menghabisi nyawamu
sekarang juga! Dengan sekali gebrak lagi, kau sudah
akan terbang menuju neraka dan berjumpa dengan
leluhurmu di sana! Hi, hi, hi, hi...!"
"Oh, habislah riwayatku! Habis sudah masa hidupku jika begini. Sial! Mengapa
semudah ini aku ditundukkan olehnya"!" keluh hati Bulan Sekuntum. Lalu, ia
mendengar Lantang Suri bersuara nyaring,
"Selamat jalan, Bulan Sekuntum! Saatnya berangkat ke neraka telah tiba!
Hiaah ..!"
"Tahan...!" seru seseorang pada saat Lantang Suri ingin lepaskan pukulan yang
mematikan. Gerakan
tangan itu pun terhenti seketika karena seruan tersebut.
Lantang Suri berpaling memandang ke arah orang yang
berseru sambil berucap dalam batinnya,
"Siapa orang yang berani menahanku itu"!"
Pandangan mata Lantang Suri tertuju pada seorang
lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Tokoh tua itu kenakan pakaian
seperti biksu dari kain warna abu-abu. Rambutnya tipis, berwarna uban, bahkan
berkesan botak, ia berbadan agak gemuk dan berjenggot putih.
Kehadirannya didampingi seorang lelaki berusia empat puluh tahun berpakaian
hijau tua, kurus, pendek, tanpa
kumis, dan jenggot. Lelaki itu adalah pelayan si tokoh tua. Dan mereka tak lain
adalah Resi Pakar Pantun serta pelayannya yang bernama Kadal Ginting. Mereka
sahabat Pendekar Mabuk yang sudah dianggap seperti
kakek Suto. sendiri.
"Monyet pikun mengikat buaya dengan benang, buaya diikat dibuat alas meja.
Jangan mudah cabut nyawa orang,
lebih baik biasakan cabut uban saja."
Lantang Suri sunggingkan senyum tipis, karena ia
segera mengenali tokoh yang gemar berpantun itu tak
lain adalah Resi Pakar Pantun, ia sering mendengar
cerita tentang Resi Pakar Pantun dan ia dapat mengukur seberapa tinggi ilmu sang
Resi itu. "Apa maksudmu pamer pantun murahan begitu, Pak
Tua"! Apakah kau ingin ikut mati bersama si Bulan
Sekuntum ini"!"
Dengan kalem sang Resi menjawab, "Pantunku
memang murahan, tapi pandanglah wajahku yang
tampan dan rupawan."
Kadal Ginting ikut-ikutan menyahut, "Eh, Nona....
Jangan sepelekan tuanku ini. Eyang Resi Pakar Pantun ini ibarat batu permata.
Makin tua makin mahal
harganya. Pepatah mengatakan, tua-tua kejemur,
semakin tua semakin subur. Kalau tidak subur ya
mandul!" "Kau ngomong apa, Kadal"!" hardik sang Resi sedikit dongkol.
Kemudian sang Resi berkata kepada Lantang Suri,
"Nona, aku tahu kau pasti orang Selat Bantai...."
"Dari mana kau tahu"!" potong Lantang Suri sebelum kata-kata sang Resi habis.
"Jurus tendanganmu yang tadi sempat kulihat itu adalah jurus 'Tendangan Kobra
Binal' dan hanya Ratu
Cendana Sutera yang memiliki jurus 'Tendangan Kobra
Binal' itu. Maka aku langsung yakin bahwa kau adalah orangnya Ratu Cendana
Sutera." "Otak tuamu masih encer juga, Resi Pikun!"
Pada saat itu, Suto Sinting siuman dari pingsannya, ia mulai menggeliat dan
berusaha untuk bernapas dengan
leluasa. Tangannya bergerak-gerak dan tak sengaja
menyentuh-nyentuh ujung dada yang sekal itu.
"Di mana aku berada" Mengapa gelap-gelap hangat begini" Oh, apa yang kupegang
ini?" pikir Pendekar Mabuk yang belum menyadari berada di dalam sebuah
kutang berbau wangi.
Resi Pakar Pantun mencoba melunakkan niat Lantang
Suri yang ingin menghabisi nyawa Bulan Sekuntum.
Tokoh tua itu berhasil membuat Lantang Suri menyimak kata-katanya yang bercampur
pantun itu. Tetapi diam-diam Lantang Suri mulai gelisah karena sesuatu yang
menggelitik dadanya.
"Hmmm... si Pendekar Mabuk sudah siuman dengan
sendirinya. Wah, kalau dia muncul dari belahan dadaku bisa ketahuan kalau aku
menyimpannya."
Lantang Suri segera bersidekap, melipat tangan di
dada. Berlagak tenang tapi sebenarnya menahan gerakan tubuh Pendekar Mabuk agar
tak nongol dari kutangnya.
Makin lama Suto semakin ingat akan nasibnya yang
menjadi kecil. Ia juga segera menyadari bahwa dirinya berada di dalam sebuah
kutang, karena telinganya terasa berdengung budek akibat mendengar degub jantung
yang mirip irama bedug itu.
"Sial! Rupanya aku disimpan di dalam kutang oleh si Lantang Suri. Pantas empuk-
empuk hangat begini, dan...
ah, coba aku merosot ke bawah, siapa tahu bisa lolos dari bawah," pikir Suto.
Gerakan merosot Suto Sinting itu semakin
menggelitik Lantang Suri. Terlebih setelah Suto Sinting merasa seperti ingin
jatuh, ia terpaksa berpegangan
sesuatu dengan kedua tangannya, ia tak sadar yang
dipakai pegangan itu adalah ujung dada kiri Lantang
Suri. Ternyata 'Aji Surut Raga' makin lama semakin
membuat tubuh seseorang lebih menyusut lagi.
Karenanya, gerakan Pendekar Mabuk di dalam pinjung
dada Lantang Suri menjadi kian lincah. Kulit dada yang berkeringat membuat Suto
Sinting selalu terpeleset
dalam berpegangan. Akibatnya geseran tangan yang
terpeleset terus di ujung dada montok itu membuat
Lantang Suri berdesir-desir digelitik gairah. Sesekali ia pun mendesis lirih
sambil dengarkan celoteh Resi Pakar Pantun.
"Ssss... ahh, kurang ajar banget ini anak!" gerutunya dalam hati, namun sang
hati tetap suka menikmati
gerakan tangan Suto Sinting itu.
Resi Pakar Pantun berkata, "Kalau kau benar-benar
bermaksud membunuh Bulan Sekuntum, maka Selat
Bantai akan ditimpa mala petaka dari negeri Ringgit
Kencana. Sebab Bulan Sekuntum adalah orangnya Ratu
Dewi Giok, dan Ratu Dewi Giok adalah adik dari Ratu
Asmaradani, penguasa negeri di dasar lautan yang
bernama Ringgit Kencana. Tentu saja pihak Ratu Dewi
Giok akan menyerang Selat Bantai. Jika mendengar Ratu Dewi Giok menyerang Selat
Bantai, maka sang Ratu
Asmaradani tidak akan tinggal diam. Kalian pun akan
diserang oleh pihak negeri Ringgit Kencana. Apalagi
Bulan Sekuntum adalah keponakan dari Pendeta Agung
Dewi Rembulan yang menjadi sesepuh di negeri Ringgit Kencana. Tak mungkin pihak
Ringgit Kencana akan
diam saja mendengar Bulan Sekuntum dibunuh oleh
orang Selat Bantai...."
"Aahh... sial! Apa-apaan kerja si tampan di dalam kutangku ini" Aduh, celaka
kalau begini. Aku semakin dibuat bergairah terus oleh tingkahnya, iiih... kok
menggigit segala"!" ucap batin Lantang Suri.
Lalu ia merapatkan kedua tangannya karena merasa
ada gigitan lembut di tempat yang paling rawan bagi
gairah seorang wanita.
Gencetan tangan Lantang Suri membuat Suto Sinting
semakin berusaha untuk meronta. Akibatnya, gerakan
meronta itu tambah membakar darah kemesraan Lantang
Suri. "Aduh, aku benar-benar tak bisa bertahan untuk diam saja! Sebaiknya kutinggalkan
saja tempat ini dan
persetan dengan nyawa si Bulan Sekuntum!"
Tetapi Kadal Ginting berkerut dahi melihat mata sayu Lantang Suri menjadi
terbeliak sesekali, dan lidahnya sering menggigit bibir sendiri. Hati Kadal
Ginting bergetar melihat perubahan wajah yang sendu
menantang kasmaran itu. Ia pun menelan ludah sendiri beberapa kali.
Resi Pakar Pantun pun mempunyai tanggapan yang
sama, bahkan sang Resi sempat bertanya dalam hatinya,
"Tampaknya dia semakin bergairah dalam
memandangku. Wah, celaka. Kalau dia benar-benar
bergairah, repot juga! Aku tak akan sanggup melayani asmaranya, karena memang
sudah tak mampu lagi
bermesra-mesraan seperti dulu. Lho... lho... semakin mendesah" Apakah... apakah
dia mau menciumku" Wah,
gawat! Kalau begitu Kadal Ginting kusuruh pergi dulu supaya aku tak malu kalau
sampai...."
Belum sempat kata-kata batin Resi Pakar Pantun
habis, tiba-tiba Lantang Suri sudah melesat tinggalkan tempat dengan sangat
cepat. Weeess...!
"Hei, mau ke mana kau..."! Hei, aku sanggup lho...!"
seru sang Resi, lalu segera menutup mulut dengan kaget.
"Ya, ampun...! Apa maksud kata-kataku tadi" Mengapa aku berkata begitu"!"
"Saya juga sanggup, Eyang," timpal Kadal Ginting.
"Sanggup apa"!" sentak sang Resi.
"Hmmm .. anu... sanggup... ya, sanggup apa sajalah,"
jawab Kadal Ginting sambil meringis dan salah tingkah karena tersipu-sipu.
"Bicaramu sejak tadi selalu ngaco! Bantu angkat si
Bulan Sekuntum itu. Ia harus dibebaskan dari
'Tendangan Kobra Binal' yang mengunci persendian
tulangnya dan membekukan darahnya. Kalau tak segera
dibebaskan, jantungnya akan berhenti sama sekali dan itu berarti dia akan mati!"
"Baik, Eyang. Tapi... tapi bagaimana dengan
perempuan cantik yang tampaknya menantang bercinta
tadi, Eyang!"
"Husy! Lupakan tentang dia! Aku pun berusaha untuk tidak berpikir ke arah situ!
Ayo, bantu aku memindahkan Bulan Sekuntum ke tempat teduh itu!"
Kadal Ginting mengangkat tubuh Bulan Sekuntum
yang berlutut satu kaki. Namun ketika ia hendak
memegang tubuh itu, tiba-tiba matanya memandang
gerakan aneh yang sangat menarik perhatian. Sebuah
benda bergerak di rerumputan dengan pelan-pelan
mendekatinya. "Ular! Ular nagaa...!" teriak Kadal Ginting sambil melonjak kaget, tak sadar
menghambur ke dalam
gendongan Resi Pakar Pantun. Plook...! Sang Resi pun bergerak secara naluriah,
tangannya segera menyambar tubuh Kadal Ginting yang kurus, hingga ia bagaikan
sedang menggendong cucu kesayangannya.
"Apa-apaan kau ini!" sentak sang Resi sambil menyentakkan tubuh Kadal Ginting.
Tubuh itu jatuh


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbanting dan masih berteriak ketakutan.
"Ular naga, Eyang...! Ular nagaa...!" sambil menuding ke arah benda yang
bergerak. Sang Resi memandang ke arah benda itu dan
terlonjak kaget secara tak sadar langsung latah.
"Eh, Kadal... eh, Ginting... eh, Naga...!"
Mereka berdua segera menjauhi benda yang bergerak
itu. Makin lama pandangan mata mereka semakin jelas.
Bayangan seekor naga yang menakut-nakutinya lenyap
dari benak. Kini mereka tahu bahwa yang bergerak pelan itu bukan seekor ular
naga, melainkan sebatang bambu berwarna coklat dan mempunyai tali penggantung.
Bambu itu tak lain adalah bumbung tuak Suto Sinting.
"Bambu...! Itu bambu, Kadal Ginting!"
"O, iya! Kusangka seekor naga"!"
"Gundulmu itu yang seperti naga!" geram Resi Pakar Pantun. "Hei, kalau tak salah
itu bambu bumbung tuaknya Suto Sinting!"
"Kelihatannya memang begitu, Eyang! Lalu di mana si Pendekar Mabuk" Mengapa
bumbung tuaknya bisa
jalan sendiri"!"
Wajah tuan dan pelayan itu masih sama-sama tegang
dan serba bingung.
* * * 4 BUMBUNG tuak itu ternyata tidak berjalan sendiri.
Ada makhluk kecil yang mendorong-dorongnya dan
membuat bumbung tuak bergerak di rerumputan.
Kehadiran makhluk kecil itu mengejutkan sekali bagi
Resi Pakar Pantun dan pelayannya. Sang Resi sempat
berkata, "Tikus apa orang itu"!"
"Tikus yang mirip orang, Eyang!"
"Ah, yang benar" Orang apa tikus itu?"
"Orang yang mirip tikus, Eyang!" jawab Kadal Ginting lagi.
"Orang mirip tikus atau tikus mirip orang?"
"Eyang mirip tikus, eeh... anu...." Kadal Ginting gugup dan salah ucap membuat
Resi Pakar Pantun
menggeplak kepala si pelayan. Plook...!
"Lain kali kalau bicara yang benar!" hardiknya sok wibawa.
Makhluk kecil itu adalah perempuan cantik yang
mengenakan kutang dan celana sebetis warna hijau muda tanpa jubah. Tapi bagian
pinggulnya dilapisi kain warna merah dan bersabuk hitam. Rambutnya pendek diponi
depan, ia juga menyandang pedang kecil yang terselip di pinggangnya. Makhluk
aneh itu sebenarnya adalah
Awan Setangkai yang masih selamat sejak terlempar dari genggaman Lantang Suri.
Ia jatuh di semak tanpa luka sedikit pun, karena tempat jatuhnya tepat di daun-
daun lebat. Tak jauh darinya tergeletak bambu yang
dikenalnya sebagai bumbung tuak milik Pendekar
Mabuk. "Aku harus mencari bantuan kepada siapa pun. Dan bumbung tuak ini adalah senjata
sakti milik Suto yang juga harus kuselamatkan. Jangan sampai ada pihak yang
mencurinya," pikir Awan Setangkai kala itu. Karenanya ia berusaha membawa
bumbung tuak itu walau dengan
susah payah. Saat bertemu dengan Resi Pakar Pantun, Awan
Setangkai tidak tahu siapa tokoh tua berambut tipis itu.
Seandainya kala itu sang Resi melontarkan pantunnya, maka Awan Setangkai akan
cepat mengenali bahwa
tokoh tua berpakaian abu-abu itu adalah Resi Pakar
Pantun. Karenanya ketika ia didekati Resi Pakar Pantun dan Kadal Ginting, ia
menjerit ketakutan dan berusaha untuk melarikan diri.
"Tidak... aku tidak mau...! Aku tidak mau ditangkap!"
Dengan sekali langkah saja, sang Resi sudah dapat
mencegat pelarian Awan Setangkai, karena satu langkah sang Resi adalah sepuluh
langkah Awan Setangkai.
"Aku bukan bermaksud menangkapmu! Aku ingin
bicara denganmu, Nona Kecil!" ujar sang Resi
membujuk dengan hati-hati.
Awan Setangkai kehilangan seluruh ilmunya,
sehingga ia menjadi seorang gadis kecil yang penakut.
Tapi setelah melalui bujukan sang Resi berulang kali, akhirnya Awan Setangkai
mulai berani didekati.
"Aku Resi Pakar Pantun dari golongan putih. Kau tak perlu takut padaku. Aku
orang baik-baik, tidak pernah jahat, tidak pernah nakal...."
"Waktu masih mudanya memang sering nakal,
terutama terhadap wanita. Tapi sekarang...."
Plook...! Tangan sang Resi menabok mulut Kadal
Ginting yang dianggap lancang itu. Kadal Ginting
langsung tundukkan kepala dengan rasa takut.
"Aku pernah mendengar namamu, Resi!" ujar Awan Setangkai dengan nada kecilnya.
"Bagus kalau begitu. Sekarang aku ingin bertanya
padamu, mengapa kau mendorong-dorong bambu
bumbung tuak milik Pendekar Mabuk itu" Apakah kau
kenal dengan Suto Sinting yang berjuluk Pendekar
Mabuk?" "Aku kenal!"
"Siapa yang nakal?" tanya sang Resi salah dengar.
"Kenal...!" ulang Awan Setangkai.
"Oh, kau kenal?"
"Angkatlah aku agar bisa bicara lebih jelas lagi, Resi!"
"Biar saya yang mengangkatnya, Eyang...!" sahut Kadal Ginting langsung saja
mengambil tubuh kecil itu bagaikan menyomot pisang goreng.
"Aaauh...!" Awan Setangkai memekik ketakutan.
Sang Resi menepak pundak pelayannya sambil
membentak, "Jangan seenaknya begitu! Kau anggap dia singkong rebus" Main comot saja!"
Awan Setangkai diletakkan di telapak tangan Resi
Pakar Pantun. Sang Resi memperhatikan sambil
tersenyum-senyum, lalu terlontarlah pantunnya yang
menjadi ciri penampilannya.
"Monyet pikun tanpa celana,
lihat cicak disangka buaya.
Biar kecil orangnya,
tapi manis wajahnya."
Awan Setangkai sunggingkan senyum walau tak
begitu ramah. Lalu ia berkata sambil tolak pinggang di atas telapak tangan sang
Resi, "Sekarang aku percaya betul bahwa kau memang
Resi Pakar Pantun," sambil kepalanya manggut-manggut masih berlagak tegar.
"Siapa namamu dan mengapa kau menjadi seperti
ini?" "Namaku adalah Awan Setangkai. Aku orang Selat
Bantai yang ingin menggagalkan rencana Ratu Cendana
Sutera dalam memburu Suto Sinting untuk dijadikan
pembenih di malam bulan kesuburan nanti...."
Awan Setangkai menceritakan seluruh asal mula
dirinya bisa menjadi kecil seperti itu. Ia pun menjelaskan maksudnya yang dulu
pernah ingin membunuh Suto
Sinting karena tak ingin ratunya mendapat keturunan
dari darah seorang pendekar sesakti Suto Sinting.
Sampai akhirnya ia menjadi bersahabat dengan Pendekar Mabuk dan mengalami nasib
yang sama, ia masih tetap
bersikeras ingin menggagalkan rencana Ratu Cendana
Sutera, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pemburu Darah Satria"),
"Aku tak rela kalau Pendekar Mabuk dijadikan kuda jantan penabur benih keturunan
bagi perempuan-perempuan Selat Bantai!"
Resi Pakar Pantun menganggukkan kepala.
"Hmmm... pantas Lantang Suri tadi mendesis-desis seperti disengat gairah cinta.
Kurasa ia sembunyikan Pendekar Mabuk di balik kutangnya. Sebab tak kulihat
tempat lain yang bisa dipakainya untuk sembunyikan
Suto Sinting selain di bagian dadanya."
"Kita harus menolong Pendekar Mabuk, Eyang Resi!"
"Iya. Menolong ya menolong, tapi bagaimana
caranya" Apakah kita tahu ke mana larinya si perempuan bermata jalang tadi?"
"Pasti menuju Istana Selat Bantai," sahut Awan Setangkai.
"Ya, saya rasa memang ke sana arahnya, Eyang,"
timpal Kadal Ginting. "Kita segera ke sana saja, Eyang!"
"Nanti dulu...!" sergah Resi Pakar Pantun. "Mudah saja datang ke Istana Selat
Bantai, tapi membebaskan Suto Sinting bukan hal mudah. Kau belum tahu kekuatan
orang-orang Selat Bantai."
"Apa mereka sakti-sakti, Eyang?"
"Bukan hanya sakti. Penjaga pintu gerbangnya saja bisa bikin kau terkencing-
kencing jika sudah keluarkan jurus-jurus mautnya!"
Awan Setangkai memperhatikan Bulan Sekuntum
yang masih mematung di tempat.
"Siapa gadis itu, Resi" Apakah ia si Bulan Sekuntum dari negeri Tanjung
Samudera?"
"Betul. Dia terkena 'Tendangan Kobra Binal' saat bertarung melawan Lantang
Suri!" "Seandainya Bulan Sekuntum bisa kita selamatkan dari kematian bekunya, kurasa
kita bisa minta bantuan pihaknya untuk membebaskan Pendekar Mabuk dan
Elang Samudera."
Resi Pakar Pantun agak terkejut mendengar Elang
Samudera telah lebih dulu dibawa ke Istana Selat Bantai.
Sang Resi tahu siapa Elang Samudera, karena ia
mengenal guru si Elang Samudera.
"Pendeta Darah Api bisa mengamuk kalau mendengar muridnya akan dijadikan
pembenih orang-orang Selat
Bantal. Dan... setahuku, dia mempunyai kakak yang
bernama Dewi Cintani, seorang perwira Pulau Sangon
sekaligus orang andalan Ratu Remaslega."
"Ada baiknya jika mereka dihubungi dan
diberitahukan keadaan ini," kata si kecil Awan
Setangkai. "Kita bisa menghimpun kekuatan untuk menyerang Selat Bantai."
"Kurasa itu gagasan yang bagus. Kita harus
selamatkan kesucian darah pendekar si Suto Sinting,
sebab dia adalah calon suami penguasa Puri Gerbang
Surgawi; Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti
Mahkota Sejati."
"Kalau begitu, alangkah lebih baik jika kita
menghubungi pihak Puri Gerbang Surgawi agar Ratu
Cendana Sutera dihancurkan sampai ke akar-akarnya!"
ujar Awan Setangkai, seolah-olah ia benar-benar
menghendaki kehancuran Selat Bantai tanpa menyadari bahwa ia adalah keturunan
dari leluhur Selat Bantai.
Langkah pertama adalah memulihkan keadaan Bulan
Sekuntum. Resi Pakar Pantun mendapat keterangan dari Awan Setangkai tentang cara
melepaskan kunci
'Tendangan Kobra Binal' itu. Walau sedikit mengalami kesulitan karena tenaga tua
sang Resi yang sudah pas-pasan itu, akhirnya Bulan Sekuntum terlepas dari
pengaruh jurus 'Tendangan Kobra Binal' tersebut.
Mereka pun berembuk kembali mengatur siasat untuk
lakukan pembebasan bagi Suto Sinting dan Elang
Samudera. Mereka tak tahu bahwa Lantang Suri tidak membawa
Suto Sinting ke Istana Selat Bantai. Arah pelarian
Lantang Suri sengaja membelok arah, menjauhi Selat
Bantai dan sasarannya adalah Pantai Karang Hantu. Di sana ada sebuah lorong yang
menyerupai gua dan
dianggap aman serta mempunyai peluang bercinta lebih leluasa lagi. Padahal
sebelum itu, Suto Sinting pernah membawa Awan Setangkai ke gua tersebut ketika
Awan Setangkai menderita luka racun dari pisaunya si
Penyamun Senja.
Namun gerakan Suto Sinting yang ingin meronta dari
dalam penutup dada melalui jalan bawah, membuat
Lantang Suri semakin diburu gairah bercumbu. Gerakan tangan Suto Sinting yang
takut jatuh dan terpaksa
berpegangan pada ujung dada itu telah membakar hasrat bercinta semakin lama
semakin membara, hingga
akhirnya Lantang Suri tak sanggup lagi menahan
dorongan gairahnya.
Ia hentikan langkah sebelum mencapai gua yang
dituju, ia keluarkan Suto Sinting yang kecil itu dari dalam kutangnya. Napasnya
terengah-engah bukan
karena pelariannya, namun karena menahan gejolak
gairah yang berkobar-kobar.
"Kau memang nakal!" ujarnya sambil tersenyum jalang sambil memandangi Suto
Sinting di atas telapak tangannya. Telapak tangan itu didekatkan dengan dada,
sehingga sewaktu-waktu tangan kecil si Pendekar
Mabuk dapat meraih ujung-ujung dada yang sengaja
telah dibeberkan bagai dagangan sedang dilelang.
"Kau harus melayaniku, Suto. Kau telah membuat
darah asmaraku terbakar dan jiwaku menuntut puncak
kemesraan ini!"
"Kau tak bisa menuntutku seenakmu begitu. Bukan salahku jika aku berada di dalam
pembungkus dadamu
dan menyentuh-nyentuh kepekaanmu. Aku hanya
berusaha agar jangan sampai jatuh pada saat kau bawa lari. Aku tak punya
pegangan lagi kecuali... kecuali... ya, kecuali yang satu itu!" Suto Sinting
agak kikuk mengatakannya.
"Tapi aku suka. Aku sangat suka dengan tindakanmu itu. Kenapa kau tak
mengulangnya lagi" Kuizinkan kau mengulanginya sekarang juga, Pendekar Mabuk.
Hi, hi, hi...."
Ia menempelkan tubuh kecil Suto Sinting ke dadanya.
Suto justru gelagapan tak bisa bernapas karena
hidungnya tersumbat gumpalan daging sebesar itu.
"Puih, puih...!" Suto Sinting berusaha merenggangkan kepalanya dari gumpalan itu
sambil terengah-engah.
"Aku bisa mati terkubur daging jika begini caramu!"
Lantang Suri tertawa geli. Matanya semakin sayu,
senyumnya semakin jalang. Suto Sinting segera paham
apa yang diinginkan oleh Lantang Suri, sehingga
akhirnya ia merasa mempunyai kesempatan emas yang
tak boleh disia-siakan.
"Lantang Suri, benarkah kau ingin menikmati
kemesraan di tempat seperti ini?"
"Aku tak peduli seperti apa tempatnya, yang penting
aku bisa mendapatkan kemesraan yang dituntut oleh
batinku saat ini. Berikanlah kemesraan itu padaku, Suto!
Berikanlah walau malam belum tiba."
"Mana mungkin aku bisa lakukan jika tubuhku
sekecil ini! Kalau tubuhku menjadi seperti semula, kau akan mendapatkan yang
terindah dari yang paling
indah." "Betulkah begitu" Kau berjanji tak akan
mengingkarinya, Pendekar Mabuk?" pandangan mata Lantang Suri kian meredup sayu.
Bibirnya sedikit
merekah bagai mawar menantang kumbang.


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku telah kau lumpuhkan dengan jurus mautmu.
Mana mungkin aku bisa mengingkari janji padamu?"
Agaknya untuk mengabulkan permohonan Suto
Sinting perlu pertimbangan beberapa saat. Lantang Suri diam dalam renungannya,
sementara Suto Sinting
sempat memainkan tangannya dengan nakal di
permukaan dada perempuan itu. Kenakalan tersebut kian membangkitkan semangat
bercumbu si Lantang Suri
yang semakin diliputi kebimbangan.
"Ayolah, Lantang Suri... kembalikan diriku pada bentuk aslinya. Kau akan
mendapatkan yang lebih indah dari semua yang kau rasakan saat ini," bujuk Suto
Sinting. Akhirnya Lantang Suri menarik napas dan berkata,
"Baiklah! Akan kukembalikan wujudmu seperti semula; menjadi pemuda gagah dan
perkasa. Tapi jika kau tak
mau melayaniku, murkaku akan menimpamu dan kau
akan kehilangan nyawa saat itu juga!"
"Terserah apa tindakanmu jika aku ingkar janji," kata Suto Sinting. Tapi dalam
hatinya ia berkata, "Kalau aku kembali seperti wujud semula, maka kekuatanku pun
akan pulih kembali. Kalau dia murka sekali karena aku tak mau melayaninya, aku
dapat gunakan jurus-jurus
mautku untuk mengalahkannya. Setidaknya 'Napas Tuak
Setan'-ku dapat membuatnya terbang entah ke mana dan aku tak akan peduli lagi!
Dalam keadaan kecil dan
kehilangan kekuatan seperti ini, aku tak bisa menolong Elang Samudera, bahkan
menolong diriku sendiri tak
mampu. Hmmm... moga-moga Lantang Suri benar-benar
mau memulihkan keadaanku."
Pendekar Mabuk segera diletakkan di atas bongkahan
batu setinggi betis.
"Berdiri di sini dan jangan bergerak sedikit pun. Kau akan kusiram dengan cahaya
putih yang dapat
mengembalikan dirimu ke bentuk aslinya!"
"Saat ini aku patuh padamu, Sayang!" sambil tangan kecil itu melambai dan
mencubit dagu besar yang ada di depan matanya itu. Walau cubitan itu tak terasa
menyengat hati, namun cukup mendebarkan hati
Lantang Suri, sehingga ia semakin yakin akan
mendapatkan puncak gairahnya bersama Suto Sinting.
Lantang Suri mundur dua tindak. Bagi Suto Sinting
dua tindak sudah cukup jauh darinya. Suto berdiri
dengan kaki sedikit merenggang dan membiarkan
Lantang Suri mulai menggerakkan kedua tangannya
untuk melepaskan sinar putih perak yang dapat
memulihkan keadaan Suto kembali.
Namun tiba-tiba sekelebat bayangan datang
menyambar Suto Sinting dalam gerakan sangat cepat.
Wuuus...! Teeb...! Tubuh kecil Suto Sinting sudah berada dalam genggaman seseorang.
Lantang Suri terperanjat sekali, darahnya bagai mengalir ke ubun-ubun dengan
deras, ia pun menggeram makin lama makin keras dan akhirnya
berubah menjadi pekikan liar.
"Hhhmmmm.... Bangsat kau! Lepaskan dia...!!"
Weees...! Lantang Suri berkelebat menerjang
bayangan yang menyambar tubuh kecil Suto Sinting.
Tapi bayangan itu semakin percepat gerakannya.
Blaasss...! Lantang Suri pun mengejarnya dengan
kerahkan tenaga sepenuhnya. Wuuees...!
Bayangan hitam berlari sangat cepat bagaikan angin.
Lantang Suri nyaris tak mampu mengejarnya. Namun
akhirnya ia gunakan sebuah jurus yang dapat membuat
dirinya berlari lebih cepat dari badai.
"Terpaksa kugunakan jurus 'Serat Cahaya' untuk
mengejarnya!"
Tubuh Lantang Suri meluncur deras di udara, lalu
tubuh itu berputar cepat melebihi baling-baling. Class...!
Ia melesat bagaikan sinar berpindah tempat.
* * * 5 SOSOK bayangan hitam hentikan langkah, karena
Lantang Suri sudah menghadang di depannya. Orang
Pendekar Pemanah Rajawali 16 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Geger Dunia Persilatan 2
^