Pencarian

Pemburu Darah Satria 2

Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria Bagian 2


belakang, ia dalam keadaan berlutut saat mendekap luka di bawah pundak kirinya.
Luka tersebut berasap merah dan dalam sekejap tubuh Galak Gantung terjungkal ke
belakang. Brruk...!
"Aaahk...!" terdengar suaranya mengerang menahan sakit, seperti sedang mengalami
sekarat. Melihat hal itu, Suto Sinting merasa heran. Hatinya berkata, "Jika Galak Gantung
saja bisa ditumbangkan oleh Awan Setangkai, berarti ilmu perempuan itu
memang tinggi dan tak bisa diremehkan. Gila! Aku
harus segera menolong Galak Gantung sebelum
nyawanya melayang tinggalkan raga."
Lalu, ia berbisik kepala Elang Samudera, "Alihkan perhatian Awan Setangkai.
Pancing dengan seranganmu agar ia tak memperhatikan Galak Gantung. Aku akan
menolong Pak Tua itu sebelum ia mencapai ajal."
Tanpa banyak bicara Elang Samudera segera
melemparkan sesuatu ke arah Awan Setangkai. Ternyata sebuah senjata rahasia
berupa lempengan logam
berbentuk bintang segi enam. Ziing...! Benda itu
melayang ke punggung Awan Setangkai.
Tetapi agaknya Awan Setangkai mempunyai
ketajaman rasa yang cukup tinggi, ia tahu ada benda
yang melayang cepat di belakangnya. Maka ia segera balikkan badan sambil cabut
pedangnya dan mengibas cepat. Semua gerakan memang dilakukan serba cepat dan
tepat, sehingga senjata rahasia Elang Samudera berhasil ditangkis dan dibuang ke
arah lain menggunakan pedangnya. Trringg...! Juurb...! Senjata itu menancap pada sebatang
pohon agak jauh dari tempat Awan Setangkai berdiri.
Pendekar Mabuk sudah pergi sejak Elang Samudera
melemparkan senjata rahasianya tadi. Jurus 'Gerak Siluman' membuat Suto Sinting
tahu-tahu sudah berada di dekat Galak Gantung yang terkapar di bawah pohon tak
berdaun, karena daunnya rontok semua akibat
gelombang ledakan tadi. Pendekar Mabuk segera
menyeret tubuh Galak Gantung ke balik pohon untuk menjaga kemungkinan diserang
sewaktu-waktu, ia
segera menuangkan tuak ke mulut Galak Gantung.
Suto Sinting tak hiraukan dulu keadaan Elang
Samudera. Ia tak tahu bahwa Elang Samudera pun kini telah mencabut pedangnya dan
lakukan serangan ke arah Awan Setangkai.
Trang, trang, duaar...! Trang, tring, duaar...!
Perpaduan kedua pedang itu memercikkan bunga api
yang sesekali timbulkan suara letusan cukup keras.
Elang Samudera terdesak oleh serangan jurus pedang Awan Setangkai yang sukar
dilihat gerakannya itu.
Dalam hati Elang Samudera sempat berkata,
"Ternyata jurus pedangnya cukup hebat! Jurus pedangku tak berhasil menembus
kecepatan geraknya.
Setan! Aku harus lakukan perlawanan dari jarak jauh saja!"
Wuut! Elang Samudera sentakkan kaki dan melayang
mundur, kemudian ia bersalto, balik dua kali. Plak, plak...! Tapi begitu kakinya
mendarat dari gerakan saltonya, tiba-tiba Awan Setangkai sentakkan pedang ke
depan, dan dari ujung pedang keluar sinar biru lurus sebesar lidi. Claap...!
"Aaahg...!" Elang Samudera terpekik karena sinar biru itu menembus ulu hatinya
dengan telak. Tubuhnya segera bergetar dan kejap berikutnya jatuh terkulai bagai
tak bertenaga lagi. Lubang kecil yang ada di ulu hatinya itu makin lama semakin
melebar dan menampakkan
warna hitam hangus bercampur darah yang merah
kehitam-hitaman. Luka berlubang itu seolah-olah
semakin lebar jika terkena hembusan angin, dan rasa sakit yang terasa di sekujur
tubuh menjadi sangat luar biasa.
"Aaaahhkk.,.!" Elang Samudera mengerang panjang, suaranya terdengar sampai di
telinga Pendekar Mabuk.
Si murid sinting Gila Tuak itu segera berkelebat
mengarah ke tempat Elang Samudera. Zlaaap...!
Pada waktu itu Awan Setangkai sedang bergerak
maju dekati Elang Samudera dengan pedang siap
dihujamkan penuh kemarahan. Tetapi langkah
perempuan itu menjadi terhenti ketika tahu-tahu ia dihadang seorang pemuda yang
membawa bumbung
tuak. Wajah si cantik ganas itu terperanjat jelas.
"Kkau... kau masih bisa hidup"!" gumamnya bernada
heran. "Tak seorang pun bisa lolos dari racun 'Bayi Panggang'-ku, tapi mengapa
kau sekarang masih tetap hidup"!"
"Hentikan keganasanmu, Awan Setangkai! Jangan paksa aku turun tangan
menghancurkan tubuh mulusmu itu!" gertak Pendekar Mabuk tapi masih tampak tetap
kalem. "Kau harus kubunuh! Kau harus kulenyapkan
sebelum...."
"Kalau begitu kita tentukan pertarungan pribadi di suatu tempat! Jangan libatkan
orang lain hingga menjadi korban keganasanmu, Awan Setangkai!"
Perempuan cantik yang masih tampak muda dan
menggairahkan itu diam sesaat, menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia
perdengarkan suaranya bernada
datar. "Baik. Kutunggu kau di Pantai Karang Hantu
sebelum matahari terbenam. Kuharap kau berani
melayani tantanganku ini!"
Blaaass...! Perempuan cantik itu melesat pergi seperti menghilang dalam sekejap.
Gerakannya sangat cepat, ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi. Jika Suto Sinting
tidak terbiasa melihat gerakan angin, maka ia tidak akan tahu bahwa perempuan
cantik itu sebenarnya lakukan lompatan jarak jauh yang amat cepat dan menuju ke
arah pantai. "Memang tinggi ilmunya!" gumam hati sang Pendekar Mabuk, ia tidak perhatikan
lagi kepergian Awan Setangkai, kini yang menjadi pusat perhatiannya
adalah nyawa Elang Samudera.
Pemuda tampan yang berusia lebih muda darinya itu dalam keadaan sedang
merenggang nyawa. Sebentar lagi nyawa Elang Samudera akan lepas dari raganya
akibat luka yang amat parah. Luka itu menjadi hebat hingga tampak menganga
hampir memenuhi dada. Pendekar
Mabuk tak banyak berpikir lagi, ia segera membuka mulut Elang Samudera dengan
paksa dan mengucurkan tuaknya, tanpa peduli tuak itu menghambur membasahi wajah
Elang Samudera. Tanpa lakukan tindakan seperti itu, Elang Samudera akan
kehilangan nyawanya dan luka tersebut akan memakan seluruh bagian rongga
dadanya. "Ke mana perginya perempuan binal itu"!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada geram. Oh, ternyata si Galak Gantung sudah
menjadi sehat kembali berkat tuak sakti Suto yang tadi diminumkan dengan paksa
juga itu. Pendekar Mabuk segera bangkit berdiri, karena ia merasa sudah cukup
menuangkan tuak ke mulut Elang Samudera. Ia biarkan Elang Samudera menunggu
kesembuhannya dalam keadaan terkapar di tanah
bersampah daun kering.
"Dia sudah pergi, Ki," ujar Suto Sinting dengan sikap sungkan terhadap sahabat
gurunya itu. "Biadab dia! Mengapa kau biarkan perempuan itu pergi"! Apakah kau telah berhasil
melukainya dan menjamin dia akan mati di suatu tempat?"
Pendekar Mabuk agak bingung memberi jawaban.
Jika ia katakan yang sebenarnya, pasti Galak Gantung akan mengejar Awan
Setangkai ke Pantai Karang Hantu.
Hai itu sangat membahayakan jiwa Galak Gantung,
sebab agaknya ilmu yang dimiliki Awan Setangkai
mampu imbangi kesaktian Galak Gantung. Karenanya, Suto Sinting segera putuskan
niatnya untuk tidak
memberi jawaban yang sebenarnya demi keselamatan
Galak Gantung. "Dia memang pergi dalam keadaan terluka. Tapi aku tak berani pastikan apakah ia
mampu mengobati lukanya atau tidak. Jika tidak, maka ia akan mati sebelum
matahari terbenam nanti."
Agaknya jawaban itu kurang melegakan hati Galak
Gantung yang berwajah berang, memancarkan sinar
kemurkaan dari pandangan matanya yang dingin itu.
"Ke mana arah kepergiannya"*
"Ke... ke selatan," jawab Suio Sinting, padahal Awan Setangkai pergi ke arah
utara. "Aku harus menyusulnya untuk buktikan apakah ia benar-benar telah mati atau
masih hidup!"
"Tapi... tapi tunggu dulu, Ki Galak Gantung. Ada beberapa hal yang ingin
kuketahui tentang Awan
Setangkai itu," sergah Pendekar Mabuk yang membuat Galak Gantung menunda
gerakannya yang ingin
tinggalkan tempat itu. Mata dingin si Galak Gantung memandang tajam ke arah Suto
Sinting, terasa begitu dingin membekukan setiap denyut nadi di sekujur tubuh
Suto Sinting. Namun dengan tarikan napas pelan dan memanjang, Pendekar Mabuk
masih mampu tampilkan
sikap tenang, kalem, dan sopan.
"Kurasa kau mengenal betul siapa si Awan Setangkai
itu, Ki." "Hmmm! Yang jelas, ia mengancam nyawamu.
Hindari pertemuan dengan perempuan binal itu!" ujar Galak Gantung penuh wibawa.
"Akan kuturuti saranmu, Ki. Tapi aku ingin tahu siapa dia sebenarnya" Mengapa ia
mengancam nyawaku?" Elang Samudera mulai bisa menggeliat. Agaknya
luka yang ada di dadanya telah lenyap dan mengatup rapat, kulit tubuhnya menjadi
halus seperti sediakala, seakan tak pernah mengalami luka yang amat
membahayakan jiwanya itu. Ia mencoba bangkit dengan perlahan-lahan.
Galak Gantung tak begitu peduli, perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang
menunggu jawaban
darinya itu. "Awan Setangkai adalah orang kedua di wilayah Selat Bantai, ia tangan kanannya
Ratu Cendana Sutera."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam
lirihnya. "Kulihat beberapa waktu sebelum tadi, ia bentrok dengan muridku, si Kabut
Merana, ia lakukan kelicikan dalam serangannya, hingga kabut Merana terluka
bagian dadanya. Aku segera mengalihkan perhatiannya dan
berhasil memancingnya berlari mengejarku. Tapi aku tak tahu di mana Kabut Merana
sekarang. Kurasa...."
"Dia telah tewas, Ki!" sahut Elang Samudera nyeplos begitu saja. Galak Gantung
terkesiap, matanya mengecil memancarkan murka yang tertahan. Pendekar Mabuk
menyesali ucapan Elang Samudera yang dianggap
gegabah itu. Namun Suto tak berani menegur saat itu juga. Ia hanya melirik
menampakkan rasa kesal lewat pandangan matanya. Elang Samudera segera paham
maksud lirik Suto Sinting, sehingga ia menjadi salah tingkah sendiri.
"Jika benar muridku tewas, di mana mayatnya?"
"Tak jauh dari sini, Ki," jawab Suto Sinting yang akhirnya bicara apa adanya,
karena Galak Gantung sudah telanjur mendengar ucapan Elang Samudera
Padahal Suto Sinting bermaksud tidak memancing
murka si Galak Gantung lebih besar lagi, sehingga tokoh tua itu tidak memburu
Awan Setangkai. Sebab jika
tokoh tua itu memburu Awan Setangkai, hal itu sangat mencemaskan hati Suto
Sinting. Cemas jika nyawa
Galak Gantung lenyap di tangan Awan Setangkai, cemas pula jika nyawa Awan
Setangkai pergi dari raganya sebelum Suto Sinting mendapat keterangan banyak-
banyak tentang alasan perempuan itu memburunya.
Akhirnya Suto Sinting dan Elang Samudera
membawa Galak Gantung ke tempat di mana mayat
Kabut Merana tergeletak di antara semak. Galak
Gantung terkesiap dan menahan napas begitu melihat mayat muridnya menjadi kecil
seperti mayat anak
berusia lima tahun. Wajah tuanya memancarkan warna merah sebagai tanda murka
yang paling tinggi. Namun agaknya Galak Gantung masih tetap berusaha menahan
luapan murkanya sebelum bertemu dengan Awan
Setangkai, ia berdiri pandangi mayat Kabut Merana
dengan mulut terkatup membisu. Bebeberapa saat
kemudian barulah terdengar suaranya yang bernada
geram itu. "Pasti si Awan Setangkai yang membunuhnya, ia mempunyai jurus 'Suryapati' yang
dapat membuat tubuh lawannya menyusut dan menjadi sekecil ini."
"Adakah kemungkinan orang lain yang
melakukannya, Ki?" lanya Suto Sinting dengan hati-hati.
"Tidak. Hanya si perempuan binal; Awan Setangkai saja yang memiliki jurus
'Suryapati' peninggalan
mendiang neneknya; Nyai Pintal Sukma, bekas
sahabatku semasa muda," jawab Galak Gantung dengan suara berat sebagai tanda
menahan murka mati-matian, ia bicara tanpa memandang yang diajak bicara, karena
sorot pandangan matanya tertuju lurus ke mayat
muridnya. Pandangan mata itu memancarkan berbagai rasa, antara dendam dan duka,
benci dan haru.
"Aku harus segera memakamkan jenazah muridku sebelum menjadi bangkai," ucapnya
pelan sekali, nyaris tidak terdengar. "Setelah selesai memakamkan muridku, akan
kucari perempuan itu untuk kukirim ke neraka!"
"Aku sependapat denganmu, Ki. Tapi aku masih belum tahu, mengapa Kabut Merana
terlibat pertikaian dengan Awan Setangkai?"
"Kabut Merana pernah membunuh adik si Awan
Setangkai. Dendam itulah yang membuat Awan
Setangkai mengejar Kabut Merana setelah muridku
keluar dari istana Selat Bantai sehabis menghadiri perkawinan sahabatnya di
sana. Sejak ia pamit padaku
hendak menghadiri perkawinan sahabatnya di Selat
Bantai, aku menjadi tak enak hati, karenanya kubayang-bayangi muridku itu dari
kejauhan. Ternyata firasatku memang benar, ia menemui ajal sepulangnya dari
Istana Selat Bantai."
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ditanyakan oleh Suto Sinting. Tetapi
agaknya Galak Gantung tak sabar lagi, ingin segera memakamkan jenazah muridnya
di tempat kediamannya; di puncak Bukit Wangi. Maka Pendekar Mabuk pun membiarkan
Galak Gantung pergi membawa mayat Kabut Merana dengan terlebih dulu
berkata kepada si tokoh tua itu,
"Maaf, aku tak bisa ikut menghadiri pemakaman Kabut Merana karena ada urusan
yang sangat penting, Ki!"
Tokoh tua itu seolah-olah tak mendengar ucapan
Pendekar Mabuk, ia mengangkat mayat muridnya,
kemudian melesat dalam satu sentakan kaki. Ia bagaikan lenyap ditelan bumi
karena kecepatan geraknya.
Elang Samudera mulai berani dekati Suto Sinting dan ajukan tanya dengan suara
pelan, "Apakah kita tetap akan lanjutkan perjalanan ke Pulau Dulang" Atau mau mencari
Bawana lebih dulu?"
"Ada sesuatu yang harus kukerjakan, Elang
Samudera. Aku ingin kau mencari Bawana di sekitar sini, dan aku menyelesaikan
urusanku. Kita bertemu di Pantai Karang Hantu nanti malam."
* * * 6 TEBING curam, berdinding tegak lurus menjadi
tempat penantian Awan Setangkai. Di atas tebing itu, perempuan cantik bermata
galak itu lepaskan pukulan jarak jauh berupa cahaya biru sebesar jeruk purut.
Weess...! Cahaya biru itu melesat dan menghantam
seonggok batu karang di pertengahan pantai. Blaaarr...!
Tujuannya hanya ingin memberi tahu Pendekar
Msbuk yang sedang kebingungan mencarinya, bahwa ia ada di atas tebing curam itu


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu menyelesaikan tantangannya. Pendekar Mabuk segera memandang ke
arah tebing, lalu dalam sekejap ia pun lenyap, tahu-tahu sudah berada di atas
tebing datar tersebut.
Awan Setangkai segera palingkan badan hingga
berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Sorot pandangan matanya memancarkan permusuhan
yang masih merupakan tanda tanya bagi hati Pendekar Mabuk
sendiri. Mereka saling beradu pandang dalam jarak enam langkah. Masing-masing
memperlihatkan ketenangan
dan keberanian yang tanpa gentar sedikit pun.
"Kau sudah siap mati di tanganku, Pendekar
Mabuk"!" ucap Awan Setangkai sengaja menggertak untuk ciutkan nyali Suto
Sinting. Tapi gertakan itu hanya ditertawakan oleh murid si Gila Tuak melalui
senyum lebar yang memancarkan daya pikat
mengagumkan setiap wanita. Hati perempuan cantik itu berdebar saat menyadari
bahwa senyuman Suto Sinting itu ternyata begitu mengagumkan dan enak dipandang
mata. "Kapan pun aku siap mati di tanganmu, Nona
Cantik," ujar Suto Sinting mulai gunakan 'aji rayuan gombal'-nya. Kata-kata
seperti itu dilontarkan hanya untuk meremehan tantangan lawannya. Awan Setangkai
merasa diremehkan, namun ia tetap menjaga luapan
kemarahannya agar tetap terkendali dan tetap tenang. Ia sunggingkan senyum tipis
yang sangat dingin, sedingin salju kutub utara.
"Tapi sebelum kau berhasil membunuhku," kata Suto Sinting, "... kumohon lebih
dulu kau jelaskan apa alasanmu memusuhiku, Awan Setangkai" Baru sekarang aku
merasa benar-benar dimusuhi oleh gadis secantik kau."
"Kau tak perlu tahu alasan itu. Tetapi percayalah dengan kata-kataku, kematianmu
mempunyai manfaat
sendiri bagi pihak lain. Terutama pihakku!"
"Tapi merugikan pihak lain juga, terutama pihak kekasihku: Dyah Sariningrum."
"Aku tak kenal perempuan itu, sehingga aku tak perlu peduli dengannya. Yang
jelas, aku tak ingin kau hidup lebih dari satu hari lagi."
"Agaknya nyawaku sangat menggairahkan bagi
murkamu," ujar Suto Sinting sambil tersenyum kalem.
"Tapi percayalah, Awan Setangkai... membunuh orang seperti diriku memang sangat
mudah. Yang sulit adalah melumpuhkan ilmuku sebelum nyawaku melayang.
Kalau tak percaya, cobalah bertanya pada arwah orang-orang yang memaksaku
membunuhnya."
"Bicaramu semakin lama semakin membakar
darahku, Pendekar Mabuk! Sebaiknya, kita mulai saja pertarungan ini dan
bersiaplah untuk mati dalam satu gebrakan!"
"Kau perempuan yang terlalu yakin dengan diri sendiri," ujar Pendekar Mabuk
dalam bingkai senyum ketenangannya. Awan Setangkai melangkah ke samping pelan-
pelan dengan mata memandang tajam, penuh
waspada. Suto Sinting justru sempatkan diri menenggak tuaknya tanpa rasa takut
diserang. Rupanya Pendekar Mabuk sudah terbiasa memancing
lawannya dengan cara berlagak lengah meminum tuak.
Awan Setangkai tak tahu kalau sedang dipancing,
sehingga ketika ia gerakkan tangannya untuk
melepaskan pukulan jarak jauh, tiba-tiba tangan kiri Suto Sinting melepaskan
sentilan yang bernama jurus 'Jari Guntur' itu. Tes, tes...!
Behg, behg...! "Uuhg...!" Awan Setangkai tersentak mundur dua langkah karena tenaga dalam yang
keluar dari sentilan tangan Suto Sinting itu mempunyai kekuatan sebesar
tendangan kuda jantan. Ulu hati gadis itu menjadi sakit dan pernapasannya terasa
sesak sekali. "Setan! Aku kecolongan!" geram Awan Setangkai dalam hatinya. "Uuh... sakitnya
bukan main. Tulang igaku seperti ada yang patah dan ulu hatiku bagai dihantam
balok besar. Kurang ajar betul dia! Awas, akan kubalas dengan caraku sendiri!"
Pendekar Mabuk sengaja pamerkan senyum
kemenangan saat Awan Setangkai tegak kembali setelah menghirup udara banyak-
banyak. Sikap yang
ditampilkan gadis itu adalah sikap tenang, seakan tidak merasa heran dengan
serangan Suto Sinting tadi. Ia bahkan berlagak melengos ke samping kanan.
Tetapi tiba-tiba kepalanya menyentak ke kiri dengan pandangan mata tak berkedip.
Wuuut...! Dan seketika itu pula Suto Sinting terlempar ke samping bagai ada
tenaga besar yang membantingnya. Brruuk...!
"Edan! Rupanya ia punya kekuatan tenaga dalam melalui pandangan matanya"!" pikir
Suto Sinting sambil bergegas bangun. "Hmmm... boleh juga. Tapi dia belum tahu
kalau aku pun mempunyai jurus 'Pranasukma' yang dapat melemparkan tubuh manusia
sebesar apa pun
dengan kekuatan pandangan batinku...."
Jurus 'Pranasukma' adalah jurus yang mengandalkan kekuatan batin untuk
memindahkan atau menghancurkan benda apa pun. Jurus ini pemberian dari tokoh
sakti sahabat si Gila Tuak yang bernama Setan Merakyat.
Menurut keterangan Setan Merakyat, jurus 'Pranasukma'
hanya bisa digunakan sebanyak seratus kali. Ketika itu, jurus tersebut sudah
digunakan oleh Setan Merakyat sendiri sebanyak empat kali, sedangkan setelah
diturunkan kepada Suto Sinting, jurus itu sudah
digunakan tujuh belas kali. Berarti jurus itu sekarang tinggal tujuh puluh
sembilan kali lagi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Setan Rawa
Bangkai").
Pendekar Mabuk berdiri tegak kembali, ia masih
tampak kalem dengan senyum tipis menghias bibirnya.
Tatapan matanya tertuju lekat-lekat ke wajah Awan Setangkai. Gadis itu
sunggingkan senyum sinis sebagai tanda penghinaan atas serangan balasannya tadi.
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa lakukan serangan licik seperti tadi"
Hmmm... kau lihat sendiri aku pun bisa menyerangmu tanpa beranjak dari
tempatku!" ujar Awan Setangkai dengan rasa bangga.
Bahkan ia menambahkan kata ketika Suto Sinting hanya diam saja dan tetap
sunggingkan senyuman yang
menjengkelkan hati itu,
"Sekarang apa lagi yang ingin kau lakukan" Aku sudah siap menerima seranganmu
walau...."
Brruk...! Tiba-tiba tubuh Awan Setangkai terlempar ke belakang dan jatuh
terbanting dalam keadaan
telentang. Suto Sinting telah gunakan jurus 'Pranasukma'
untuk mengecohkan sikap angkuh si gadis cantik itu.
Dengan begitu, kini jurus 'Pranasukma' hanya bisa digunakan sebanyak tujuh puluh
delapan kali lagi.
Karena agaknya Suto Sinting tidak akan lakukan
serangan kepada Awan Setangkai dengan jurus itu lagi.
Cukup satu kali untuk membuat si gadis agar tak terlalu besar kepala.
"Setan kurap!" geram hati Awan Setangkai.
"Rupanya ia memiliki kekuatan pandangan mata seperti yang kumiliki. Hmmm...
kalau begitu aku harus hati-hati melakukan tindakan kepadanya. Aku tak boleh
lengah sedikit pun."
Pendekar Mabuk bicara dengan tawa kecilnya,
"Kalau kumau, aku bisa melemparkan tubuhmu sampai ke tengah samudera sana, atau
kusangkutkan pada tepian matahari yang ingin tenggelam di cakrawala itu!"
"Hmmm...!" Awan Setangkai mencibir sinis sekali.
Suto Sinting berkata, "Tapi aku tak mau lakukan kekejian seperti itu, karena
gadis secantik kau tak layak diperlakukan seperti itu. Gadis seperti kau lebih
layak diperlakukan dengan lemah lembut dan penuh
kemesraan."
"Tutup mulutmu, Biadab!" sentak Awan Setangkai dengan berang. "Kau tak perlu
coba-coba merayuku dengan ungkapan yang menjijikkan seperti itu!"
"Kau menganggap ungkapan itu menjijikkan karena kau belum pernah merasakan
betapa indahnya
kemesraan dalam pelukan yang damai. Jika kau pernah merasakan, maka kau tidak
akan berkata 'menjijikkan'
tapi akan berkata 'melenakan'. Percayalah kau....?"
"Diaaamm...!" teriak Awan Setangkai sambil menutup kedua telinganya, ia tampak
tegang sekali dan wajahnya menjadi sangat berang. Suto Sinting
sembunyikan perasaan herannya dalam hati melihat
perubahan sikap lawannya.
"Mengapa ia tampak seperti tersiksa sekali
mendengar kemesraan yang kukatakan" Mengapa ia
kelihatannya sangat ketakutan mendengar ucapan
lembutku" Ada apa di balik kekuatan ilmunya itu" Akan kucoba bicara tentang
kemesraan lagi!"
Awan Setangkai berkata keras, "Jangan buang-buang waktu lagi! Bersiaplah untuk
mati di tanganku, Pendekar
Mabuk!" "Kau akan kehilangan kasih sayang dan kehangatan jika sampai aku mati di
tanganmu. Kau tak akan tahu bahwa ada sekerat hati yang mengagumi kecantikanmu
dan ingin memelukmu dengan penuh kasih sayang dan keindahan yang dapat
menerbangkan khayalanmu.
Kau...." "Diam, diam, diaaam...!" teriaknya dengan semakin keras, lebih pantas dikatakan
sebagai jeritan.
"Kuhancurkan mulut busukmu, Setan Kurap!
Hiaaah...!"
Wuuut...! Awan Setangkai menerjang Suto Sinting
dengan satu lompatan cepat. Pendekar Mabuk segera menyingkir dengan pergunakan
jurus 'Gerak Siluman'-
nya. Zlaaap. Akibatnya gadis itu menerjang tempat kosong, sedangkan orang yang
dituju sudah berada jauh di belakangnya. Dari sana Suto Sinting berseru
melontarkan kata-kata bernada mesra.
"Kau tak pantas menyerangku, Awan Setangkai!
Karena kau akan kupeluk dan kucium dengan penuh
kelembutan dan cinta yang membara. Barangkali kau akan kuterbangkan ke puncak-
puncak keindahan cinta yang akan berkesan sepanjang hidupmu...."
"Tidaaaakk...!" teriaknya sambil lakukan lompatan lagi dan seberkas cahaya merah
keluar dari telapak tangannya. Claaap...! Weeess...!
Blegaaar...! Ledakan dahsyat terjadi begitu hebatnya,
mengguncangkan tebing, merontokkan bebatuan karang
yang menjadi kulit dinding tebing itu. Bahkan ombak lautan yang berjarak sepuluh
langkah dari ketinggian di atasnya pun menyemburkan kekuatan getar hingga
ombak itu melambung tinggi bagaikan ingin ikut murka.
Ledakan itu timbul karena sinar merah tersebut
ditangkis oleh Suto Sinting menggunakan bumbung
tuaknya. Biasanya bumbung tuak itu bisa memantul-
balikkan sinar pukulan lawan. Tetapi kali ini sinar itu justru meledak setelah
kenai bumbung tuak. Berarti sinar merah itu mempunyai kekuatan maha dahsyat yang
mungkin dapat meleburkan raga Suto Sinting menjadi debu jika sampai kenai tubuh
Suto Sinting. Namun
karena sinar mengenai bumbung tuak sakti, dan
bumbung itu tidak lecet sedikit pun, maka yang terjadi adalah ledakan sedahsyat
tadi. Awan Setangkai masih menutup telinga dengan
kedua tangannya. Napasnya terengah-engah dan
kepalanya sedikit menunduk, ia bagaikan
menyembunyikan ketakutan yang terpampang di
wajahnya. Pendekar Mabuk semakin heran melihat
kenyataan itu, dan berniat usil untuk menggunakan kalimat-kalimat mesra lagi.
Dengan melangkah lebih mendekat lagi, Pendekar Mabuk pun gunakan kata-kata
lembut yang merdu merayu.
"Jangan biarkan murkamu membunuh asmara yang timbul di batinku, Awan Setangkai.
Asmara ini meratap ingin merenggut jiwamu untuk bersatu menjalin cinta dan
keindahan...."
"Tidak! Tidak...! Hentikan ucapanmu itu! Hentikan!"
"Tak ada kemesraan yang bisa dihentikan jika sudah berhadapan denganmu, Awan
Setangkai. Kau adalah
ratu kemesraan yang sangat mengagumkan dan patut
dimuliakan. Rasa-rasanya sekarang pun hatiku telah meremas penuh keindahan pada
tepian hatimu. Aku
terkulai lemas dalam pelukanmu, Sayang...."
"Tidaaaakk...! Hentikaaaan...! Hentikaaaan...!" teriak gadis aneh itu. Ia bagai
mengalami rasa sakit yang begitu besar di telinganya, ia menahan kuat-kuat
sambil berteriak-teriak hingga tubuhnya berkeringat dan jatuh terkulai berlutut.
"Remaslah jariku. Genggamlah tanganku. Semua menjadi milikmu, Awan Setangkai.
Semua keindahan
dan kemesraanku menjadi milikmu. Rasakan kehangatan bibirku yang merayap di
lehermu, Awan Setangkai...."
"Ooooh, tidaaaakk...!" Awan Setangkai akhirnya menangis terisak-isak bagai
ditinggal mati neneknya.
Kalimat-kalimat mesra itu seakan melumpuhkan
kekuatan dan kegalakannya. Pendekar Mabuk diam
terbengong memandangi Awan Setangkai terisak-isak sambil cucurkan air mata dan
tetap menutup kedua
telinga menggunakan kedua tangannya.
"Tolong hentikan...! Hentikan kata-katamu itu. Ooh...
aku tak sanggup lagi menerimanya...," pinta gadis itu dalam tangis.
"Gadis ini gila apa sinting sebenarnya" Mendengar rayuan mesra menjadi lumpuh
tak berdaya. Aneh
sekali"! Padahal rayuanku tidak menggunakan tenaga dalam dan ilmu apa pun
kecuali ilmu 'menggombal' yang
sejak kecil sudah ada padaku," pikir Suto Sinting sambil tetap pandangi tangis
Awan Setangkai.
Gadis cantik itu masih berlutut dan tundukkan kepala, mendekap kedua telinganya
sambil perdengarkan suara tangis samar-samar. Pendekar Mabuk justru menjadi
bingung sendiri; antara ingin membujuk atau
membiarkan semangat membunuh si gadis timbul
kembali" Akhirnya ia berkata kepada Awan Setangkai depan
suara pelan dan berkesan lembut,
"Apakah kita jadi bertarung mengadu nyawa" Mari sudah hampir gelap, cepat cabut
pedangmu dan bunuhlah aku jika kau mampu, Awan Setangkai!"
Tiba-tiba gadis itu tegakkan badan, memandang
dengan penuh nafsu membunuh, ia segera bangkit dan mencabut pedangnya. Namun
sebelum pedang tercabut, Suto Sinting segera berkata,
"Kalau kau tega membunuh orang yang merindukan dirimu, mencintaimu dan berhasrat
sekali mencium keningmu, maka bunuhlah sekarang juga. Biarlah
kerinduan dan hasrat cintaku terkubur bersama jasadku.
Aku rela mati di tangan gadis yang telah kupeluk mesra dalam khayalanku...."
"Oooh...! Setaaan...! Hentikan kata-katamu itu!
Hentikaaan...! Oh, jangan lagi bicara kemesraan di hadapanku. Aku... aku tak
mampu menerimanya...."
Gadis itu menangis lagi, berlutut kembali, dan
kekuatannya bagai sirna dalam beberapa waktu.
Pendekar Mabuk hanya berucap dalam batinnya.
"Kurasa dia asli gila! Baru sekarang kutemukan seorang gadis yang bagaikan
lumpuh begitu mendengar rayuan mesra. Hmm... jangan-jangan memang ia edan dari
sananya." Tangis itu tiba-tiba terhenti secara mengejutkan, berganti pekikan tertahan yang
dibarengi gerakan tubuh tegak mengejang, wajah merenggang tegang, mulut
ternganga dan mata mendelik lebar.
"Aaahk...!" .
"Awan Setangkai..."!" sentak Suto Sinting dengan rasa kagetnya. Dahi pendekar
tampan itu segera berkerut penuh keheranan. Awan Setangkai roboh ke depan tak
berdaya lagi. Pada saat tubuh itu roboh ke depan Suto Sinting
melihat sebilah pisau kecil menancap di punggung Awan Setangkai. Pisau itu
berukuran panjang setengah jengkal.
Gagangnya terbuat dari logam kuning emas. Mata


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pisaunya terbenam seluruhnya di punggung Awan
Setangkai. Hal yang membuat heran Suto Sinting adalah asap
merah yang keluar dari luka tusukan pisau tersebut.
Asap merah itu bercampur dengan busa kehitam-hitaman yang merembas keluar dari
luka sekeliling pisau.
"Racun ganas..."!" gumam Suto Sinting dengan tegang. "Siapa pemilik pisau itu"
Siapa orang yang telah menyerang Awan Setangkai" Tak kulihat ada bayangan di
sebelah sana. Hmmm... jurus 'Lacak Jantung'-ku pun tak bisa menangkap detak
jantung orang lain di sekitar sini" Gila! Pasti orang itu berilmu tinggi, hingga
bisa sembunyikan detak jantungnya hingga tak tertangkap oleh jurus 'Lacak Jantung'-
ku." Pendekar Mabuk memandang dengan mata liar ke
arah sekeliling tempat itu. Namun ia benar-benar tidak dapat melihat tanda-tanda
kehidupan manusia lain di sekitar tempat tersebut. Sementara itu, luka di
punggung Awan Setangkai semakin menyemburkan busa-busa
hitam dan bau busuk menyebar ke mana-mana. Suto
Sinting dalam kebimbingan antara membawa pergi
Awan Setangkai untuk diselamatkan di tempat lain, atau memburu si penyerang'
gelap itu"
* * * 7 TEBING karang itu ternyata berongga bagian
bawahnya. Lorong yang tercipta secara alami
membentuk goa bermulut lebar. Air laut dapat masuk sampai ke dalam lorong itu
apabila sedang pasang.
Beruntung sekali petang itu air laut tak pasang, sehingga lorong tersebut bisa
digunakan sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu.
Dalam cahaya api unggun yang sengaja disusun di
tengah lorong itu oleh Suto Sinting, wajah cantik Awan Setangkai tampak bagai
memancarkan sinar
kecantikannya. Gadis itu baru saja siuman dari
pingsannya. Racun yang mengganas di tubuhnya telah berhasil dilumpuhkan oleh
kesaktian tuak Suto sebelum berhasil merenggut jiwa gadis itu.
Luka bekas tusukan pisau kecil pun hilang. Tak
membekas walau seujung jarum pun. Kini pisau
setengah jengkal bergagang emas sedang diperhatikan oleh Awan Setangkai.
Tangannya yang memegangi
pisau tersebut masih tampak gemetar pertanda
kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Namun beberapa saat kemudian, getaran pada
tangan pun hilang, dan tubuh Awan Setangkai terasa sangat segar. Lebih segar
dari saat-saat sebelum itu.
Suto Sinting sengaja tidak membuka suara, ia
pandangi wajah cantik berbibir menggemaskan itu.
Sekalipun tanpa senyum, namun tetap saja mempunyai daya pikat cukup besar.
Pendekar Mabuk berdecak
kagum dalam hati beberapa kali.
"Rupanya dia sudah mengetahui tindakanku."
Tiba-tiba Awan Setangkai bicara pelan bagai orang menggumam. Pendekar Mabuk
mulai tertarik dengan
ucapan kata itu, walau ia tak tahu persis kepada siapa ucapan kata itu
ditujukannya. Tapi ia mencoba
melebarkan percakapan di ujung petang itu dengan
ajukan sebuah pertanyaan sederhana.
"Dia siapa maksudmu?"
Tanpa memandang Suto Sinting, Awan Setangkai
menjawab, "Pemilik pisau ini!"
"Kau mengenal pemiliknya?"
"Si Penyamun Senja!"
Suto Sinting sedikit merasa heran mendengar nama
Penyamun Senja. Baginya nama itu cukup unik. Tapi ia tak ingin membahas
keunikannya, ia hanya ingin tahu,
siapa si Penyamun Senja itu. Karenanya ia segera ajukan tanya kepada Awan
Setangkai. "Siapa orang yang bernama Penyamun Senja itu"
Musuh lamamu atau lawan barumu?"
Awan Setangkai tarik napas panjang, wajahnya yang sejak tadi tertunduk pandangi
pisau bergagang emas itu kini terangkat, sehingga tatapan matanya tertuju lurus
ke mata Suto Sinting. Sejenak kemudian ia pun
perdengarkan suaranya yang masih bernada ketus namun tak terlihat getar
permusuhannya. "Penyamun Senja adalah adik sepupu dari Nyai Ratu Cendana Sutera, namun juga
sebagai pengawal pribadi sang Ratu."
Kini Stito Sinting terbungkam merenungi jawaban
tadi. Jika benar pisau itu milik adik sepupu Ratu Cendana Sutera, berarti pisau
itu salah sasaran.
Tujuannya ke arah tubuh Suto Sinting, tapi mengenai punggung Awan Setangkai.
"Bukankah Awan Setangkai orang kepercayaan Ratu Cendana Sutera?" ujar Suto
Sinting dalam hatinya.
Lalu, Suto terngiang kata-kata Nyai Sedap Malam
saat sebelum ia, Elang Samudera dan Bawana
meninggalkan rumah Ki Palang Renggo itu. Saat itu Nyai Sedap Malam bagai memberi
pesan khusus untuk Suto Sinting karena bicaranya berbisik pelan seakan takut
didengar Elang Samudera maupun Bawana.
"Jika bertemu dengan Awan Setangkai, hindarilah perempuan ganas itu. Ilmunya
cukup tinggi. Dia adalah orang kepercayaan penguasa Selat Bantai yang paling
berbahaya dari seluruh pengawal pribadi dan prajurit sang Ratu Cendana
Sutera...."
"Mengapa harus kuhindari?" potong Suto dengan rasa ingin tahu sekali. Nyai Sedap
Malam pun menjelaskan dengan berbisik,
"Jika ia telah menyerangmu, berarti ia tak ingin bertemu denganmu dalam keadaan
hidup, ia tetap akan memburu nyawamu sampai kapan pun. Itulah sifat
orang-orang Selat Bantai."
Maka, setelah mendengar pengakuan Awan Setangkai
tentang si pemilik pisau itu, Suto Sinting yakin betul bahwa pisau itu salah
sasaran, ia berkata kepada Awan Setangkai.
"Orang yang bernama Penyamun Senja itu ternyata bukan orang yang tangkas, ia
masih bisa salah sasaran dalam melemparkan pisau mautnya. Seharusnya ia bisa
mengarahkan ke dadaku, karena saat itu keadaanku
sangat terbuka tanpa pelindung apa pun. Tapi mengapa dia bisa salah lemparkan
pisau itu ke punggungmu"
Sungguh memalukan ketangkasan orang Selat Bantai itu rupanya."
"Sasaran pisau ini memang bukan dirimu. Sasarannya adalah nyawaku!" ujar Awan
Setangkai dengan nada dingin.
Raut wajah Suto Sinting menampakkan
keheranannya. "Apakah... apakah kau bermusuhan dengan
Penyamun Senja" Bukankah kau dan Penyamun Senja
sama-sama orang Selat Bantai dan sama-sama
memburuku?"
"Memang. Tapi masing-masing punya tujuan yang berbeda."
"Bisa kau jelaskan mengapa bisa berbeda tujuan?"
Awan Setangkai tidak segera berikan jawaban, ia
diam beberapa saat, memandangi pisau itu kembali.
Lalu, pisau dilemparkan ke arah belakang bagai dibuang begitu saja. Tapi rupanya
gerakannya punya tekanan jurus tersendiri, sehingga pisau itu dapat menancap
kuat di sela-sela dinding karang.
Craaak...! Suto Sinting terbengong melihat pisau itu menancap di dinding karang. Semakin
terbengong lagi ketika Awan Setangkai menuding pisau itu dengan telunjuknya dan
dari telunjuk keluar sinar putih perak kecil sekali. Sinar itu menghantam gagang
pisau lalu pisau pun meledak.
Duaar...! Pisau hancur bersama serpihan dinding karang.
Mulut melompong Pendekar Mabuk segera
dikatupkan karena malu dipandangi gadis cantik itu.
Sang gadis segera ajukan tanya yang membuat Suto
Sinting sedikit menggeragap.
"Mengapa kau selamatkan nyawaku dari racun pisau itu"!"
"Hmmm... ehh... aku... aku tak sengaja
menyelamatkan nyawamu. Aku hanya... hanya
menyangka kau kehausan, lalu kuberi minum tuakku, dan... entah mengapa kau tak
jadi mati."
Awah Setangkai mencibir sinis. Tapi dalam hatinya tahu bahwa jawaban Suto
Sinting hanya sekadar
menutupi kenyataan yang ada. Ia tetap merasa
diselamatkan oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah jika sudah begini aku harus batalkan rencanaku menghabisi nyawanya?"
ujar Awan Setangkai dalam hati. "Dia telah selamatkan nyawaku dari racun amat
ganas itu. Dia telah mengetahui kelemahanku jika mendengar rayuan. Apakah aku
masih bisa membunuhnya seperti rencana semula?"
Pendekar Mabuk menengok tuaknya yang tinggal
sepertiga bumbung itu. Awan Setangkai memperhatikan tiada berkedip dengan dada
berguncang tak menentu rasa. Suto Sinting tahu dirinya sedang diresahkan oleh
Awan Setangkai, dan ia berlagak acuh tak acuh terhadap pandangan gadis itu.
"Katakan, mengapa kau selamatkan nyawaku dari racun itu"!" desak Awan Setangkai.
"Sudah kukatakan tadi; aku tidak sengaja
menyelamatkanmu!"
"Hmm...!" Awan Setangkai mencibir lagi. "Kalau begitu kau pendekar yang bodoh."
"Mungkin memang begitu."
"Sementara kau selamatkan nyawaku, kau sendiri terancam oleh kematian dariku.
Apakah kau tak perhitungkan hal itu?"
"Kalau kau mau membunuhku, kurasa sudah sejak tadi kau menyerangku. Tapi mengapa
tidak kau lakukan?" Awan Setangkai salah tingkah sendiri, ia berkata sekenanya,
"Aku sedang malas membunuh," sambil ia palingkan wajah tak berani menatap Suto
Sinting yang memandangnya dengan pancaran sorot mata
menggetarkan hati.
Pendekar tampan itu tersenyum, bahkan tertawa kecil tanpa suara. Tangannya
meraih ranting kering dan
bermain api unggun.
"Kurasa kau seorang manusia, bukan seekor binatang.
Kau pasti punya perasaan manusiawi, yang tidak akan membunuh seseorang yang
telah menyelamatkan
nyawamu dari maut. Aku percaya kau bukan iblis betina yang menjelma menjadi Awan
Setangkai. Kau wanita
yang punya kelembutan tersembunyi dan...."
"Cukup!" sentak Awan Setangkai merasa takut mendengar rayuan lagi. Matanya yang
bening bundar itu memandang tajam kepada Suto Sinting, dan oleh Suto hanya
dilirik sebentar bersama senyum yang melebar geli.
"Jangan coba-coba merayuku lagi. Aku semakin muak padamu!"
"Aku tahu kelemahanmu sekarang," ucapan lirih Suto Sinting itu menggelisahkan
hati Awan Setangkai.
"Tapi aku tak akan lakukan hal yang membuatmu sakit. Aku tak akan merayumu
lagi," kata Suto dengan tenang. "Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tampak
menderita bila mendengar rayuan" Jelaskanlah padaku, setidaknya sebagai bekal
sebelum rohku kau kirim ke neraka nanti."
Setelah diam beberapa saat, Awan Setangkai
menjawab, "Aku dikutuk oleh bibiku sendiri karena dituduh berbuat tak senonoh
dengan pamanku. Kutukan itu membuat seluruh tubuhku menjadi sakit dan
tenagaku lenyap jika mendengar rayuan seorang lelaki yang menggetarkan hatiku.
Sampai sekarang aku tak bisa hindari kutukan tersebut, sementara bibiku sendiri
sudah tewas."
"Menyedihkan sekali," gumam Suto Sinting dengan seulas senyum lembut mekar di
bibir dan membuat hati Awan Setangkai berdesir indah. Tapi sang hati
mendesah jengkel karena sebenarnya ia tak ingin
merasakan desiran itu.
"Desiran ini hanya membuatku tak tega
membunuhnya," ujar batin si gadis yang merasa serba salah itu.
"Lalu, mengapa kau ingin sekali membunuhku.
Apakah aku punya salah padamu" Atau kau punya
dendam padaku?"
"Apakah kau tak bersedia untuk mati?" Awan Setangkai justru ganti bertanya, dan
Suto Sinting tertawa pelan, cukup berwibawa.
"Siapa orangnya yang bersedia mati sebelum
menikmati keindahan cintanya" Kurasa kau sendiri tidak bersedia mati semuda ini,
bukan?" "Kematianmu demi menyelamatkan berkembangnya darah keturunan sesat. Jika kau
tetap hidup, maka kemaksiatan, kekejian dan kebiadaban tetap akan
berlangsung di Selat Bantai."
Kening si murid sinting Gila Tuak itu berkerut
menandakan bingung mengartikan penjelasan Awan
Setangkai. Bahkan kini suara Suto Sinting pun terdengar bagai orang menggumam,
"Aku tak jelas dengan keteranganmu itu."
"Pakai otakmu, jangan pakai dengkulmu!" katanya dengan ketus.
"Setahuku kau orang Selat Bantai, dan menurutmu orang yang bernama Penyamun
Senja itu juga orang Selat Bantai. Lalu, apa hubungannya antara rencanamu dengan
tindakan Penyamun Senja itu. Awan Setangkai?"
Gadis cantik itu bangkit, memandang petang dari
ambang mulut gua, kemudian kembali lagi ke dalam dan mendekati gugusan api
unggun, ia tetap berdiri
memandangi nyala api yang membuat suasana di dalam lorong gua itu menjadi
temaram. "Kalau kau tidak kubunuh, maka kau akan menjadi pria pembenih bagi Ratu Cendana
Sutera dan orang-orangnya. Karena pada malam purnama nanti, bulan
kesuburan telah datang. Nyai Ratu akan menangkapmu dan memaksamu dengan berbagai
cara untuk membuahi kandungannya. Pada malam bulan kesuburan itulah,
Nyai Ratu dan orang-orang Selat Bantai bebas dari kemandulan. Mereka akan hamil
dan mempunyai anak.
Semakin tinggi ilmu orang yang menanamkan bibit
keturunan kepada mereka, semakin panjang pula usia mereka, juga anak mereka
kelak akan menjadi ksatria-ksatria tangguh. Sebab itulah maka kau diburu oleh
Nyai Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya. Mereka
sepakat memilih kau sebagai pria penanam keturunan.
Kau akan dipaksa melayani mereka dalam waktu tujuh hari."
"Alangkah indahnya," canda Suto Sinting yang merasa tak kaget lagi karena sudah
mendengar keterangan dari Kabut Merana.
"Ya, memang indah. Tapi ketahuilah, setelah tujuh hari nanti kau harus dibunuh
sehingga rohmu akan
menitis pada bayi-bayi yang mereka kandung itu."
"Lalu, mengapa sekarang belum ada tujuh hari, bahkan belum dimulai pembenihan,
kau sudah ingin
membunuhku?"
"Karena aku ingin menggagalkan rencana mereka yang hanya mempunyai kesempatan
seratus tahun sekali itu. Aku tak ingin mereka berkembang baik, karena tingkat
kekejaman mereka sudah melampaui batas. Aku sebagai orang terdekat Nyai Ratu pun
merasa tak setuju dengan kekejian mereka. Sebab itulah, dengan
membunuhmu maka aku
berarti menggagalkan
kemunculan orang-orang sesat yang akan menjadi
penerus sifat mereka."
"Jadi, singkat cerita, kau menjadi pembangkang kekuasaan Nyai Ratu Cendana
Sutera?" "Terserah apa kata mereka; pembangkang atau


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penentang, aku tak pernah peduli. Yang terpikir olehku adalah menghancurkan
kekuasaan lalim di Selat Bantai itu."
"Mengapa kau ingin menghancurkan kekuasaan
ratumu sendiri?" desak Suto Sinting menandakan rasa ingin tahunya kian bertambah
besar lagi. "Selat Bantai dulu merupakan kekuasaan dari
nenekku. Tetapi nenekku ditumbangkan oleh ibunya
Nyai Ratu Cendana Sutera. Sekarang aku ganti akan merebut kekuasaan itu dan
menggunakan malam bulan kesuburan sebagai jembatan menuju kehancuran
kekuasaan Nyai Ratu Cendana Sutera. Aku harus bisa membunuh ksatria tangguh yang
akan menjadi tumbal keturunan mereka. Kebetulan, ksatria tangguh itu adalah kau.
Jadi, kumohon kau memaklumi jika aku berniat membunuhmu."
"Niat membunuh kok harus dimaklumi" Yang benar saja kau!" Pendekar Mabuk
bersungut-sungut membuat Awan Setangkai terpaksa salah tingkah kembali.
"Jadi, kau ingin aku merelakan diriku kau bunuh?"
Awan Setangkai menjawab, "Itu hanya untuk
menggagalkan kemunculan keturunan mereka."
"Apa pun alasannya. Jelas aku tak akan merelakan diriku kau bunuh atau dijadikan
tumbal mereka."
Awan Setangkai menarik napas panjang, terasa sulit mengambil sikap di depan
Pendekar Mabuk. Sebagian hatinya menyalahkan rencananya sendiri, sebagian hati
lagi membenarkan.
Ia hanya bisa berkata, "Yang jelas, rencanaku menghancurkan ksatria pilihan
mereka ternyata sudah diketahui Nyai Ratu, sehingga Nyai Ratu mengutus
Penyamun Senja itu membunuhku. Itulah sebabnya
maka ia tidak menyerangmu, melainkan menyerangku
dengan pisau beracun ganas tadi."
Kini si Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai
jelas terhadap persoalan yang dihadapinya. Jika ia tidak dibunuh Awan Setangkai,
maka ia akan dijadikan
pembenih Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya
setelah itu baru dibunuh. Baginya, semua sama saja; sama-sama mengancam
nyawanya. Tapi agaknya ia
punya pilihan lain dalam bersikap.
"Bagaimana menurutmu, jika aku datang menemui Ratu Cendana Sutera" Apakah kau
setuju?" "Aku setuju setelah kau datang ke sana tanpa nyawa!"
jawab Awan Setangkai tegas dan ketus. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
kalemnya, ia masih duduk di atas batu setinggi betis.
"Aku ke sana bukan untuk melayani mereka."
"Lalu mau apa kau ke sana" Melawan mereka"!
Hmmm...! Kau tak akan mampu melawan kesaktian
Nyai Ratu Cendana Sutera. Melawanku saja kau hampir terteter, apalagi melawan
ratuku"!" Awan Setangkai tampak berang, karena hatinya diliputi kecemasan yang
cukup besar. "Tapi jika kau harus membunuhku, itu tindakan yang kurang bijaksana, Awan
Setangkai. Kurasa ada langkah yang lebih bijaksana dari niatmu membunuhku itu."
"Rencana apa"!"
"Misalnya, dengan cara menyembunyikan diriku sampai batas bulan kesuburan itu
berakhir baru aku muncul kembali. Bukankah itu lebih bijaksana daripada harus
membunuhku?" Suto bicara dengan bersungut-sungut pula seperti orang memohon
belas kasihan. Padahal dalam otaknya ia sudah mempunyai rencana
sendiri yang mungkin akan mengejutkan Awan
Setangkai. "Kau tak akan bisa bersembunyi ke mana pun juga.
Walau kau berada di liang semut yang paling dalam, atau berada di perut bumi.
Ratu Cendana Sutera tetap dapat menemukan dirimu, karena ia mempunyai ilmu
'Kelana iblis', yang dapat menunjukkan di mana orang yang dicarinya berada."
Pendekar Mabuk diam termenung, ia membatin, "Jika benar begitu, memang tak ada
tempat lagi bagiku untuk bersembunyi."
Awan Setangkai lanjutkan kata-katanya yang tadi,
"Sebab itulah Penyamun Senja mengetahui di mana aku berada saat kita di Pantai
Karang Hantu. Nyai Ratu pun dapat mengetahui rencanaku membunuhmu untuk
menggagalkan malam bulan kesuburan itu, sehingga ia mengutus Penyamun Senja
untuk membunuhku di Pantai Karang Hantu."
"Kalau begitu," Suto Sinting bangkit dan melangkah sedikit jauhi api unggun.
Sambungnya lagi,
"... berarti tak ada tempat lagi bagiku untuk bersembunyi. Lalu, untuk apa harus
lari ke sana-sini jika akhirnya tertangkap juga" Lebih baik kutemui ratumu itu
dan kutantang beradu nyawa dalam pertarungan!"
Awan Setangkai memandang sambil geleng-
gelengkan kepala.
"Sama saja kau bunuh diri jika menantang
pertarungan pribadi dengan Nyai Ratu."
"Tapi aku akan mati secara terhormat. Bukan mati
sebagai budak birahinya, bukan mati sebagai tumbal keturunannya! Aku seorang
pendekar, aku harus mati secara terhormat, Awan Setangkai!" ucap Suto Sinting
semakin tegas lagi.
"Bagaimana jika kau mati di tanganku dalam
pertarungan pribadi tanpa gunakan rayuanmu?"
"Mati di tanganmu itu tidak terhormat, Awan
Setangkai! Tak beda dengan mati konyol!"
Awan Setangkai hembuskan napas. Dalam hatinya
berkata, "Seandainya kau setuju dengan pertarungan kita, belum tentu aku tega
membunuhmu, karena kau ternyata bukan pria yang pantas dibunuh tanpa kesalahan
besar. Bukan kau yang salah sebenarnya, tetapi semua itu kulakukan demi
menggagalkan rencana Nyai Ratu.
Sementara itu, aku tak berani bertarung melawan Nyai Ratu secara pribadi. Aku
tahu bahwa aku akan hancur dalam satu gebrakan saja jika melawan Nyai Ratu."
* * * 8 MENGINGAT Ratu Cendana Sutera mempunyai
ilmu 'Kelana Iblis', maka tak ada jalan lain kecuali dengan menantang
pertarungan sang Ratu Cendana
Sutera. Meskipun Awan Setangkai tidak setuju dan menentang keras rencana itu,
tapi Suto Sinting tetap ngotot ingin lakukan pertarungan di suatu tempat
bersama Ratu Cendana Sutera.
Di ujung pagi, ketika mereka bangkit dari tidur yang saling berjauhan itu, Awan
Setangkai bagaikan
menemukan kesegaran dalam pikirannya, ia menyatakan sikap setujunya terhadap
rencana Suto Sinting untuk lakukan pertarungan melawan Nyai Ratu Cendana
Sutera. "Tapi jika kau mati dalam pertarungan itu, aku akan menggantikanmu dan akan
bertarung sampai mati pula."
"Mengapa begitu?" tanya Suto Sinting setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Karena aku tak sudi mati di tangan para pengawal Nyai Ratu. Lebih baik aku mati
di tangan Ratu, karena itu lebih terhormat bagiku ketimbang mati di tangan
bawahannya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
sunggingkan senyum tipis, kemudian terdengar suaranya berkata bagai menggumam,
"Aku salut dengan tekad dan keberanianmu! Kau gadis cantik yang punya
perhitungan matang, dalam menyambut kematian!"
Awan Setangkai hanya sunggingkan senyum tipis
berkesan sinis. Tapi senyum itu justru menambah
kecantikannya semakin memancar menggoda hati setiap lelaki, termasuk si Pendekar
Mabuk sendiri. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke Selat Bantai dan
menantang pertarungan dengan Nyai Ratu Cendana
Sutera. Dalam hal ini, Awan Setangkai bersedia sebagai pihak perantara yang akan
menghadap sang Ratu dan menyampaikan tantangan Suto Sinting.
Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka menuruni lembah dan melihat
sekelebat bayangan berlari
melintas di hutan depan mereka. Bayangan itu tampak sebagai sosok seseorang
berpakaian putih-hitam yang mempunyai kecepatan gerak cukup tinggi, walau tidak
seperti gerakan Suto Sinting jika berlari gunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya.
Di belakang orang yang berlari cepat itu tampak
seseorang mengejarnya dengan gerakan yang sama
cepat. Namun agaknya si pengejar segera meningkatkan kecepatan larinya, hingga
dalam beberapa kejap saja ia dapat memburu lawannya. Orang berpakaian putih-
hitam terjungkal saat diterjang dari belakang oleh lawannya.
Brrruus...! "Aaahg...!" orang itu terpekik tertahan, namun tampak segera bangkit kembali
dengan memasang kuda-kudanya.
Pendekar Mabuk segera ambil tempat untuk
bersembunyi. Awan Setangkai mengikutinya dengan
dahi berkerut-kerut. Lalu ia berbisik kepada Suto Sinting dari balik semak-semak
itu, "Kalau tak salah lihat, orang berbaju ungu itu adalah sahabatmu yang kala itu
menerjangku saat kita di Pantai Karang Hantu. Aku masih punya perhitungan
tersendiri dengannya"
Suto Sinting hanya nyengir pendek. "Dia memang sahabatku. Namanya Elang
Samudera. Tapi kumohon
lupakan tentang perhitungan itu. Jangan coba-coba melawannya, nanti aku menjadi
tak simpati lagi padamu.
Lebih baik bersahabatlah, seperti halnya diriku yang tak membalas racunmu waktu
itu." "Ssst...! Sudah, sudah! Perhatikan saja percakapan mereka. Agaknya sahabatmu itu
menuduh Bawana sebagai...."
"Hei, kau tahu nama lelaki berpakaian putih-hitam itu, rupanya?" potong Suto
Sinting. "Tentu saja, aku mengenalnya. Bawana adalah orang Pulau Dulang yang sudah
bersekutu dengan Ratu
Cendana Sutera. Dia orang kuat di Pulau Dulang. Tapi demi upah besar dari sang
Ratu, dia mau lakukan
kerjasama, mengerjakan apa pun perintah Ratu Cendana Sutera."
"Ooo.. jadi dia memang benar sebagai orang Pulau Dulang" Tapi ia juga bekerja
untuk Ratu Cendana
Sutera?" Awan Setangkai mengiyakan dalam gumam.
Pendekar Mabuk rnanggut-manggut, lalu tak bicara lagi, sebab suara Bawana
terdengar menyentak keras kepala Elang Samudera.
"Kalau benar aku orang Selat Bantai, kau mau apa"!"
"Nah, begitu lebih bagus. Kau telah mengaku secara tak langsung!" kata Elang
Samudera. "Kita tinggal main perhitungan saja; mengapa kau membawaku dan
Pendekar Mabuk keluar dari pondok Ki Palang
Renggo?" "Yang ingin kubawa bukan kau, Bocah Kencur! Yang ingin kubawa adalah Pendekar
Mabuk, ia akan kujebak masuk dalam perangkap Nyai Ratu Cendana Sutera.
Sebab memang aku diupah oleh beliau untuk menangkap Pendekar Mabuk dalam keadaan
hidup-hidup. Aku
terpaksa harus merendah dan menggunakan siasat
supaya di antara kami tak terjadi pertarungan yang membahayakan nyawa si
Pendekar Mabuk. Tapi rupanya si murid Galak Gantung, musuh lamaku itu, mulai
membuka rahasia dengan berkasak-kusuk kepada
Pendekar Mabuk, ia pernah melihatku berada di istana Selat Bantai. Aku jadi
waswas, dan terpaksa pergi untuk mengatur siasat baru."
"Manusia licik!" geram Elang Samudera.
"Tanpa kelicikan, siapa pun akan binasa dimakan kebodohannya sendiri!"
"Hemm...!" Elang Samudera mendengus sinis.
"Sekarang apa maumu, hah"!" bentak Bawana bernada menantang. "Selagi tak ada
Pendekar Mabuk, aku tak keberatan melenyapkan nyawamu sekarang juga, jika memang
itu maumu!"
"Kau tak akan berhasil membawa Pendekar Mabuk kepada Ratu Cendana Sutera! Selagi
aku masih ada dan masih bisa bernapas, kau akan sia-sia menggunakan siasat dan
kelicikanmu untuk menjebak Pendekar
Mabuk!" "Kalau begitu, berarti aku harus melenyapkan dirimu lebih dulu. Dan terimalah
awal kehancuranmu ini, Bocah Dungu! Heeaah...!"
Bawana menyerang lebih dulu dengan tangan kosong.
Suatu lompatan cepat dilakukan menerjang Elang
Samudera. Sambil melompat, ia melepaskan jarum-
jarum hitam dari tangannya.
Weeerrss...! Elang Samudera segera hindari jarum-jarum hitam itu dengan melenting tinggi ke
atas dan melepaskan pukulan bercahaya hijau mirip bintang berekor. Claaap...!
Sinar hijau itu menghantam kepala Bawana. Sayang, sebelum kenai kepala, Bawana
Sudah lebih dulu menghentakkan tangan kirinya, dan seberkas sinar merah melesat
menghantam sinar hijaunya Elang Samudera itu.
Claap...! Blegaaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi dan mengguncangkan
beberapa pohon di sekitar tempat itu. Tetapi agaknya kedua orang yang bertarung
itu tidak hiraukan ledakan tersebut. Bawana yang semula tampak polos dan seperti
orang tak berilmu itu tiba-tiba melambung tinggi ke udara dalam gerakan bersalto
beberapa kali. Wuk, wuk, wuk...! Lalu, ia segera mendaratkan kakinya ke bumi.
Jleeg...! "Gila!" sentak Suto Sinting dengan suara tertahan, ia sangat terkejut, sama
seperti Elang Samudera. Karena pada saat Bawana menapakkan kakinya kembali ke
tanah, orang kurus itu berubah menjadi manusia tinggi, besar, dan berwajah
lebar. Bawana menjadi raksasa yang tingginya dua kali lebih tinggi dari Pendekar
Mabuk. Kakinya besar, tangannya besar, mulutnya lebar.
Matanya membelalak besar menyeramkan. Perubahan
badannya yang kurus itu kini menjadi gemuk seperti badan dua kerbau dijadikan
satu. Elang Samudera segera mencabut pedangnya sambil
bergerak mundur. Saat itu, Awan Setangkai berbisik
kepada Suto Sinting,
"Temanmu itu akan tumbang diinjak-injak Bawana.
Jika ia sudah menjadi raksasa seperti itu, ilmunya lebih tinggi lagi dan sukar
ditumbangkan lawan."
"Seandainya kau yang melawannya, apa yang akan kau lakukan?"
"Akan kuhantam mata kakinya, karena di situlah letak kekuatannya. Jika mata
kakinya pecah, walau cuma
salah satu, maka ia akan lemah dan berubah kembali menjadi manusia biasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kecil. Tapi
Awan Setangkai segera sadar bahwa ia telah terjebak oleh pertanyaan Suto
Sinting, sehingga tanpa sadar ia mencubit pinggang Suto Sinting dan menggerutu
di dekat telinga pemuda tampan itu.
"Setan kau! Pandai sekali lidahmu membuat jebakan seperti itu! Aku sampai tak
merasa telah terpancing membeberkan rahasia yang seharusnya hanya aku dan orang-
orang tertentu yang mengetahuinya."
"Kau sendiri mengetahui rahasia itu dari Bawana, bukan?"
"Bukan! Aku mengetahui rahasia itu dari Nyai Ratu.
Semua orang Selat Bantai mengetahui rahasia tersebut.
Karenanya, Bawana ciut nyali jika harus bentrok dengan orang Selat Bantai,"
tutur Awan Setangkai sambil memperhatikan
Elang Samudera yang tampak
kewalahan menghadapi serangan ganas si raksasa
Bawana itu. "Kalau kau tak turun tangan, temanmu itu sebentar
lagi pasti akan menjadi mayat yang mengerikan!" bisik gadis itu.
Baru saja Awan Setangkai berkata demikian, tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat
jelas tubuh Elang Samudera dibanting kuat-kuat oleh raksasa Bawana. Pedang yang
ditebaskan Elang Samudera berhasil dihindari. Tangan Elang Samudera disambar,
oleh raksasa Bawana,


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian disabetkan di pohon. Buuurrk...!
"Aauh...!" pekik Elang Samudera. Kemudian tubuh itu dibanting ke tanah berbatu.
Brrus...! "Aauuh...!" teriakan itu lebih keras dari yang pertama, sebab kepala Elang
Samudera mulai bocor, darah
mengalir berlumuran membasahi wajah dan tubuhnya.
Ditambah lagi kaki raksasa Bawana segera menginjak kepala itu dengan sentakan
keras, bagai seseorang menginjak seekor semut.
Zlaaap...! Duuk...!
Pendekar Mabuk cepat bertindak melihat temannya
terancam mati di kaki raksasa Bawana. Ia berkelebat dan bergulingan melewati
celah kedua kaki raksasa itu.
Bumbung tuaknya segera menyodok ke depan dan tepat kenai mata kaki si raksasa
Bawana. Praaak...! "Aaaaoow...!" teriakan keras bersuara besar itu menggetarkan pepohonan. Mata
kaki raksasa itu pecah akibat sodokan bambu tuak yang mempunyai tenaga
dalam cukup besar. Tubuh raksasa itu segera tumbang dan berguling-guling sambil
perdengarkan suara
meraung panjang. Ketika gerakan tergulingnya berhenti,
raksasa Bawana sudah tidak ada lagi. Kini Bawana
berubah menjadi manusia biasa seperti sediakala.
"Elang, minum tuakku sedikit saja! Jangan
semuanya!" kata Suto Sinting sambil serahkan bumbung tuaknya, ia biarkan Elang
Samudera berusaha
menenggak tuak sendiri, sementara matanya
memperhatikan Bawana yang dikhawatirkan menyerang secara mendadak.
"Suto, untung kau datang tepat waktu. Kalau
terlambat sedikit, kepalaku sudah menjadi tepung
diinjaknya!" kata Elang Samudera yang sudah mulai tampak sehat kembali, lukanya
telah mengering, dalam kejap berikutnya akan lenyap tanpa bekas.
Bumbung tuak sudah dikembalikan ke tangan Suto
Sinting. Tetapi pada saat itu, seberkas sinar merah melesat menghantam Elang
Samudera dari samping kiri.
Claap...! Suto Sinting segera menendang perut Elang Samudera hingga pemuda itu
terjungkal ke belakang.
Dengan gerakan menggeloyor seperti orang mabuk,
bumbung tuak Suto Sinting dihadangkan dan menjadi sasaran sinar merah tersebut.
Blegaaar...! Sinar merah tidak memantul balik, melainkan justru pecah dengan menimbulkan
ledakan bergelombang kuat.
Itu pertanda orang yang memiliki sinar merah tersebut bukan orang sembarang,
setidaknya berilmu cukup
tinggi. Suto Sinting terpelanting dan jatuh berguling-guling membentur akar
pohon besar. Pada saat itu, Bawana bangkit dengan satu lutut dan melepaskan
pukulan bersinar hijau ke arah Suto Sinting sebagai ungkapan kemarahannya.
Wuuut...! Tapi sinar hijau itu segera meledak di pertengahan jarak karena kemunculan sinar
putih perak dari dalam semak belukar. Claap...! Blaaarr...!
Sinar putih itu milik Awan Setangkai yang segera
muncul dalam satu lompatan langsung menyerang
Bawana. Lelaki kurus itu terkejut dan tak sempat hindari serangan Awan Setangkai
yang tak diduga-duga itu.
Maka dalam keadaan terperangah kaget, dada Bawana terkena tendangan bertenaga
dalam tinggi. Buuuhk...!
"Hoaaaeek..!" Darah segar menyembur dari mulut Bawana yang terpental ke
belakang. Darah itu bukan saja menyembur dari mulut, namun juga menyembur
dari hidung dan telinga.
Agaknya tendangan Awan Setangkai merupakan
tendangan maut yang tak pernah ingkar janji dari
kematian lawan. Terbukti setelah Bawana terkapar dan tersentak-sentak tiga kali,
napas terakhirnya pun dihembuskan lepas. Tubuh Bawana terkulai lemas dan tak
bergerak untuk selama-lamanya.
"Awas...!" seru Elang Samudera yang berada di belakang Awan Setangkai. Pekikan
keras itu timbul karena ia melihat datangnya sebilah pisau yang melesat dan
mengarah ke punggung Awan Setangkai. Maka
secara gerak naluri, Awan Setangkai putarkan badan dan sentakkan kaki ke tanah.
Tubuh gadis cantik berkutang hijau itu meluncur naik ke atas dalam gerakan
berputar indah. Wuuusss...! Akibatnya pisau yang mengarah
kepadanya tidak menemui sasaran, dan justru menancap pada sebatang pohon jauh di
samping mayat Bawana.
Elang Samudera segera lepaskan pukulan tenaga
dalamnya berupa sinar hijau lagi ke arah semak-semak tempat datangnya pisau dan
sinar merah yang nyaris mengenainya tadi. Claap...!
Gusrrak...! Blaaar...!
Dari semak itu melesat sesosok tubuh ramping
berambut panjang terurai, mengenakan jubah tak
berlengan warna kuning bintik-bintik merah, ia adalah seorang wanita muda, yang
usianya masih sekitar dua puluh lima tahunan. Jika ia tidak lakukan lompatan
keluar dari semak, maka ia akan terhantam sinar
hijaunya Elang Samudera.
Wuuut...! Jleeg...!
Mata beningnya memandang tajam sekeliling tempat
itu tanpa gerakan kepala sedikit pun. Elang Samudera sempat terperangah
memandang kecantikan gadis
berjubah kuning bintik-bintik merah itu. Demikian pula halnya dengan Suto
Sinting yang nyaris lupa berkedip memandang bagian dada si gadis yang tampak
montok dan sedikit terbuka bagian atasnya. Kemulusan kulit dada itu bagai sebuah
tantangan yang sulit dihindari bagi setiap lelaki.
Melihat Pendekar Mabuk tampak bersahabat dengan
Awan Setangkai, maka Elang Samudera pun segera
bergabung dengan mereka, ia sempat mendengar Suto Sinting ajukan tanya dalam
bisikan pelan, "Siapa orang itu, Awan Setangkai"!"
"Dia yang bernama Penyamun Senja!"
"Ooo...." Suto Sinting manggut-manggut kecil.
"Kurasa lebih cocok lagi kalau bernama penyamun cinta!"
Awan Setangkai tidak mendengar, tapi Elang
Samudera mendengar ucapan Suto Sinting yang lirih mirip orang menggumam itu,
sehingga ia menambahkan kata,
"Akan lebih pantas jika bernama Penyamun...."
"Ssst...!" Suto Sinting menghardik lirih, membuat Elang Samudera agak kecewa
karena tak jadi lanjutkan ucapannya.
"Mundurlah kalian," bisik Awan Setangkai. "Biar kutangani sendiri gadis itu!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling pandang
sejenak. Elang Samudera sentakkan pundak, tanda terserah kepada Pendekar Mabuk;
harus mundur atau ikut menyerang. Tetapi Pendekar Mabuk beri isyarat agar mereka
berdua mundur dan menjadi penonton yang baik saja. Maka kedua pemuda tampan itu
pun mengambil tempat di bawah pohon berakar besar.
Sementara itu, Awan Setangkai maju dua langkah, dan Penyamun Senja juga maju dua
langkah, hingga mereka menjadi berjarak sekitar enam langkah.
"Sudah siapkah kau menjadi pengkhianat, Awan Setangkai"!"
"Yang perlu kau ketahui, aku sudah siap mati membela Pendekar Mabuk!" jawab Awan
Setangkai membuat Elang Samudera terbelalak geli memandang
Pendekar Mabuk. Si Pendekar Mabuk sengaja mencibir sambil busungkan dada seakan
merasa bangga. Kekonyolan itu membuat Elang Samudera tertawa
tertahan sambil melengos ke arah lain.
"Hei, lihat...! Apa yang mereka lakukan itu"!" bisik Suto Sinting bernada
tegang. Elang Samudera segera lemparkan pandangan ke arah dua wanita cantik itu.
Elang Samudera juga terperanjat dan wajahnya
menegang saat melihat tubuh Penyamun Senja bergerak-gerak melebar bagaikan
kerupuk sedang mekar di
penggorengan. Tangannya membengkak, kakinya,
wajahnya, semuanya membengkak besar sampai
akhirnya Penyamun Senja menjadi sosok perempuan
bertubuh tinggi besar menyerupai raksasa perempuan.
Wajah cantiknya sudah berganti menyeramkan karena pembengkakan itu.
Sedangkan Awan Setangkai juga mengalami
perubahan. Tubuhnya mulai keluarkan bulu yang makin lama semakin lebat. Wajahnya
membengkak dengan
mulut maju ke depan. Kaki dan tangannya keluarkan kuku panjang berwarna hitam.
Bulu-bulu itu semakin lama semakin lebat, demikian pula bulu di daun
telinganya yang menjadi lebar dan tinggi. Sampai
akhirnya Awan Setangkai berubah total menjadi seekor serigala besar yang
bertaring dan bermata merah.
"Gggrrr.,.!" serigala itu mengerang dan tetap berdiri dengan dua kaki. Raksasa
di depannya juga mengerang dengan melebarkan mata dan membuka mulutnya lebar-
lebar. "Gila! Benar-benar gila mereka itu!" gumam Suto Sinting terheran-heran. Elang
Samudera berbisik pula padanya,
"Persis seperti kata Nyai Sedap Malam kepadaku tempo hari, bahwa orang-orang
Selat Bantai ilmunya tinggi-tinggi. Jika anak buah Ratu Cendana Sutera saja bisa
berubah seperti itu, bagaimana ratunya sendiri, ya"
Pasti lebih sakti dari mereka!"
"Elang, mundurlah sedikit lagi. Agaknya pertarungan ini akan melebar sampai ke mana-mana!"
"Mengapa kau tak turun tangan saja, biar urusannya cepat selesai?" ujar Elang
Samudera sambil berlindung di balik pohon.
"Awan Setangkai akan kecewa jika aku turun tangan sekarang."
Kedua pemuda itu segera hentikan kasak-kusuknya,
karena Awan Setangkai yang berubah menjadi manusia serigala itu segera melompat
menyambut terjangan
raksasa Penyamun Senja. Wuut...!
"Grrraaow...!"
"Grrraaa...!"
Brus, brus, braass...! Buuhk, crak, bruus...!
Kedua makhluk aneh itu bertarung dengan liar dan
buas. Sekalipun dalam wujud seperti itu, mereka masih mampu bergerak dengan
cepat, lincah, dan tangkas.
Kadang mereka melambung tinggi, dan salah satu
melepaskan sinar dari mata atau tangan mereka, lalu sinar itu saling beradu di
udara dan timbulkan ledakan yang menggelegar.
Pertarungan itu membuat pepohonan rusak, ada yang tumbang dan ada pula yang
patah karena hantaman
tangan si raksasa Penyamun Senja. Bebatuan terbang ke mana-mana diterjang amukan
mereka. Semak belukar
rusak dan morat-marit tak karuan. Tanah bergetar terus bagai dilanda gempa yang
tiada hentinya. Suara gaduh membuat telinga terasa seperti ditusuk-tusuk dengan
lidi. Pendekar Mabuk dan Elang Samudera berulang kali
pejamkan mata karena terkena hembusan angin gerakan mereka yang sesekali
mengandung udara panas. Tapi pada saat berikutnya, mata Suto Sinting tak mau
berkedip karena melihat serigala itu dihajar habis-habisan oleh raksasa Penyamun
Senja. Darah mulai
mengucur dari mulut panjang serigala Awan Setangkai.
Namun kejap berikutnya, raksasa Penyamun Senja
berhasil ditumbangkan oleh serudukan kepala serigala yang agaknya mempunyai
kekuatan tenaga dalam cukup besar. Raksasa itu tumbang dan diterkam oleh
serigala. Kemudian mereka bergulat di tanah hingga
menyebarkan debu-debu yang mengepul bagaikan asap.
Raksasa itu pun tampak berdarah karena gigitan mulut serigala. Dan pada kejap
berikut, keduanya sama-sama bangkit lalu sama-sama mengadu pukulan. Plaak...!
Blegaaar..! Kedua makhluk besar itu saling terpental. Tubuh
mereka sama-sama berasap. Ketika asap hilang
terhembus angin, tubuh mereka telah berubah menjadi seperti semula sebagai
wanita-wanita cantik yahg
mengagumkan kaum pria.
Tetapi agaknya Awan Setangkai mengalami luka
parah di bagian dalamnya. Darah kental keluar dari mulut dan hidung. Wajahnya
menjadi pucat dan memar membiru.
Tetapi Penyamun Senja sendiri juga mengalami luka cukup parah. Wajahnya rusak
karena cakaran kuku
serigala tadi. Bagian bawah leher koyak bagai bekas gigitan binatang buas.
Dadanya menjadi hitam di sebelah kiri, pertanda bekas pukulan tenaga dalam cukup
tinggi, ia juga keluarkan darah dari mulutnya, namun tampak masih punya tenaga
untuk lanjutkan pertarungan.
"Awan Setangkai kehabisan tenaga. Tampaknya ia akan diserang lagi oleh Penyamun
Senja. Bahaya! Aku harus segera turun tangan jika begitu!" pikir Pendekar Mabuk.
Penyamun Senja cabut salah satu pisau yang ada di pinggangnya. Pisau bergagang
kuningan bagaikan emas itu dilemparkan ke arah Awan Setangkai dengan gerakan
cepat dan nyaris tak terlihat. Wuuut...! Kala itu Awan Setangkai sedang
terengah-engah dalam keadaan
setengah merangkak, ia tak tahu bahwa pinggangnya sedang dijadikan sasaran pisau
beracun ganas itu.
Gerakan pisau yang mirip anak panah tak akan bisa dihindari lagi oleh Awan
Setangkai. Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Tahu-
tahu dia sudah berdiri dengan satu lutut di depan Awan Setangkai.
Pisau yang menuju ke arahnya segera ditangkis
dengan bumbung tuaknya. Traang...! Weess...! Pisau itu
berbalik arah dan bergerak lebih cepat dari gerakan semula.
Weeess...! Jruub...!
"Uuhg...!" Penyamun Senja mendelik, ia bagai tak percaya dengan apa yang dialami
saat itu; pisaunya sendiri menancap di dada kiri, tepat di bagian
jantungnya. Penyamun Senja mencoba untuk bertahan, tangannya
ingin mencabut pisau yang masuk sampai separo
gagangnya ikut terbenam pada dada tersebut. Tapi
kekuatan Penyamun Senja segera lenyap termakan
racunnya sendiri, ia akhirnya limbung, lalu tumbang dalam keadaan telungkup.
Bruuuk...! Gagang pisau
semakin terbenam ke tubuh Penyamun Senja akibat
beradu dengan tanah. Dan tubuh Penyamun Senja tak bisa bergerak lagi. Akhirnya
ia menghembuskan napas terakhir tanpa mengalami sekarat lebih lama lagi.
"Tamat sudah riwayatnya," gumam Suto Sinting, lalu ia segera ingat dengan Awan
Setangkai dan memberinya minum tuak.
"Cepat minum! Cepat, sebelum lukamu merenggut jiwa!" desak Pendekar Mabuk, ia
membantu menuangkan tuak ke mulut Awan Setangkai. Akhirnya tuak tersebut berhasil diteguk
Awan Setangkai. Luka yang nyaris menewaskan itu bisa terobati, Awan
Setangkai pun mulai tampak segar kembali.
"Hei, ke mana si Elang Samudera" Tadi dia
kutinggalkan di balik pohon itu"!" ujar Suto Sinting dengan bingung, mencari
Elang Samudera yang tidak
terlihat di sekitar tempat itu.
"Mungkin dia pergi karena punya urusan sendiri,"
kata Awan Setangkai sambil membantu memeriksa
keadaan sekitar tempat itu.
Tiba-tiba ia berkata bagai berbisik di samping
Pendekar Mabuk, "Aku punya firasat lain."
"Firasat apa?"
"Jangan-jangan Elang Samudera diculik utusan Nyai Ratu Cendana Sutera. Biasanya
Nyai Ratu selalu
mengirimkan utusan berjumlah dua orang. Penyamun
Senja pasti ada temannya, dan temannya itu telah
menotok Elang Samudera lalu diculiknya."
"Benarkah begitu"!" gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keragu-


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raguannya. SELESAI Segera menyusul :
GEGER DI SELAT BANTAI
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Tangan Berbisa 11 Raja Naga 7 Bintang Qi Xing Long Wang - Seven Star Dragon King Karya Khu Lung Sengketa Ahli Sihir 1
^