Pencarian

Gundik Sakti 1

Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 LANGIT yang semula cerah mulai dilapisi gumpalan awan hitam. Sinar mentari tak
bisa menembus pancarkan suryanya ke bumi. Akibatnya alam bagaikan dirundung duka
dan bumi seakan tak lagi punya daya.
Dalam gugusan awan hitam itu sesekali tampak
percikan cahaya biru yang berkerilap menghantam awan tanpa mega. Kilatan cahaya
biru sering kelihatan berusaha menjilat pucuk-pucuk cemara bagai mencari
kesempatan untuk menghantam ujung sebuah gunung.
Gelegar suara petir pun menggema serasa ingin menelan seluruh suara yang ada di
permukaan bumi. Namun pekik pertarungan di kaki gunung itu masih saja tak mau
kalah dengan suara petir yang mengguntur di sana-sini.
Pekik pertarungan itu terlontar dari mulut orang-orang
pengusung tandu ber warna hitam. Empat pengawal utamanya maju serentak menyerang tokoh tua berusia sekitar delapan
puluh tahun lebih, mengenakan pakaian model biksu ber warna abu-abu, rambutnya
beruban tipis berkesan botak bagian tengahnya. T okoh tua yang berjenggot dan
berkumis putih rata itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun yang selalu didampingi
oleh pelayannya: Kadal Ginting.
Namun dalam pertarungan ini, Kadal Ginting tak mau ikut perkuat pertahanan
tuannya, ia justru bersembunyi di balik pohon yang letaknya sekitar lima belas
langkah dari tuannya. Sang tuan mati-matian hadapi empat pengawal
tandu dan beberapa pengusung yang menyerang secara beruntun. Blaarr...!
Wuuut...! Jegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi karena Resi Pakar Pantun menghadang serangan mereka
berupa sinar-sinar hijau yang merupakan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.
Ledakan itu mengguncang pepohonan di sekitar mereka.
Sang Resi sendiri segera tumbang, jatuh ke belakang dan berguling-guling. Namun
dalam sekejap ia se gera bangkit dengan berguling ke kiri satu kali karena
hindari tebasan pedang yang membelah tubuhnya yang agak gemuk itu.
"Desak terus, jangan beri kesempatan!" seru salah seorang yang bertubuh tinggi,
besar dan berkumis lebat.
Seruan itu membuat mereka menerjang Resi Pakar
Pantun secara bersama-sama.
Wuuuurrrss...! Resi Pakar Pantun mulai terdesak oleh serangan
orang-orang berbadan kekar itu, sehingga ia terpaksa gunakan
jurus mautnya. Kedua tangan saling merapatkan telapaknya, kemudian disentakkan menyebar bersama hentakan kaki kanan
ke tanah dan suaranya pun menyentak kuat.
"Heeah...!"
Srraazz...! Kedua tangan Resi Pakar Pantun menyebarkan
cahaya merah bagai bunga api yang menghantam orang-orang di
sekelilingnya. Sekalipun hanya dua-tiga percikan sinar merah yang mengenai tubuh, namun membuat orang tersebut
terjungkal berguling-guling dengan kepala kepulkan asap dan bau rambut terbakar
pun menyebar. Kepala yang dibungkus kain ikat kepala pun mengepulkan asap dan
kain penutup kepala tampak terbakar sedikit
demi sedikit. Lama-lama kain itu
menjadi hitam hangus dan menjadi debu.
Dalam kejap berikutnya, delapan penyerang sebagai pihak pengawal dan pengusung
tandu itu mengalami nasib yang menyedihkan. T ubuh mereka menjadi lemas, tak
mampu mengangkat senjata lagi. Wajah mereka menjadi pucat, dengan napas
tersendat-sendat. Kepala mereka menjadi gundul tanpa sehelai rambut lagi.
Bahkan yang semula mempunyai kumis, kini tanpa
selembar kumis lagi.
"Dahsyat sekali jurus 'T ebar Geni'-nya Eyang Resi
itu!" gumam hati si pelayan; Kadal Ginting dari tempat persembunyiannya. "Semua
rambut terbakar
habis, bahkan kurasa bulu ketiak mereka pun ikut rontok karena terbakar. Mungkin juga
rambut lain-nya pun rontok terbakar dan menjadi plontos. Misalnya, rambut di
betis mereka dan rambut di dada mereka. Oh, benar-benar hebat tuanku itu, selama
aku mengikutinya ke mana pun ia pergi, baru sekarang kulihat kedahsyatan jurus
'T ebar Geni' yang sering diceritakan itu."
Plek...! T iba-tiba pundak Kadal Ginting yang penakut itu dipegang seseorang.
Kadal Ginting terpekik dengan napas tertahan dan suara tercekik. Jantungnya
nyaris putus karena rasa kagetnya mendapat sentuhan tangan pada
pundaknya. Pelan-pelan sekali kepalanya dipalingkan ke belakang dengan hati mengeluh, "Mati aku kalau begini...! Bakalan
mati sebentar lagi!"
Rasa putus asanya itu timbul karena Kadal Ginting yang bertubuh agak pendek dan
berilmu rendah itu sadar betul bahwa orang-orang yang menjadi pengawal tandu
hitam itu mempunyai tubuh kekar dan ilmu yang
lumayan tinggi. Jika ia berhadapan dengan salah satu pengawal tandu, jelas
wajahnya akan hancur dan babak belur, mungkin juga nyawanya akan lepas dari raga
jika mendapat hantaman satu kali pun.
Namun alangkah lebih kagetnya si Kadal Ginting itu setelah wajahnya dipalingkan
ke belakang dan ternyata yang memegang pundaknya itu adalah seorang berjubah
ungu dengan pinjung penutup dadanya yang montok itu berwarna merah. Gadis itu
berparas cantik, berhidung
bangir, bermata tajam namun indah, dan berbibir menggiurkan.
"Pasti istrinya El Maut!" pikir Kadal Ginting semakin gemetar
seluruh tubuhnya pandangi gadis yanq menyandang pedang di punggungnya. "Semakin mampuslah aku kalau dia benar-benar istrinya El Maut.
T api, biarlah... kurasa kematianku lebih terhormat dari yang lain, sebab
nyawaku dijemput oleh istri El Maut yang cantik. Setidaknya aku akan bisa mati
dengan tersenyum bangga."
Gadis itu menatap mata Kadal Ginting dengan tak berkedip. Darah Kadal Ginting
bagaikan mengalir cepat, jantung berdetak lamban, nyawanya terasa sedang disedot
melalui tatapan mata itu. Rasa takut dan pasrah membuat bagian bawah Kadal
Ginting menjadi basah; seluruh keringat mengalir ke paha dan betis bagai diperas
dari pori-pori tubuhnya.
"Jangan main curang kau!" hardik gadis berjubah ungu yang usianya sekitar dua
puluh empat tahun itu.
"Oh, hmmm... eeh... tid... tidak. Aku... aakk... aku tidak bermain curang.
Aaaku... aku hanya bermain mata.
Eh, bukan... maksudku... aku hanya mengintai pertarungan tuanku itu dari sini. Aku tidak bermaksud curang. Sungguh. Berani
sumpah disambar kacang
rebus, aku tidak bermaksud jahat, Nona... eh, Dewi..., eh, Bibi... eh, Nyai...
eh, eh, eh, eh...." Kadal Ginting terengah-engah diburu rasa takut.
Gadis berjubah ungu memandang ke pertarungan.
T ernyata pertarungan telah
berhenti, entah hanya sementara atau selamanya. Yang jelas, orang-orang yang mengeroyok sang Resi saat
ini sedang saling terkapar dengan tubuh terkulai lemas. Mereka seakan baru saja
melakukan perjalanan amat
jauh, atau melakukan pendakian yang amat melelahkan. Orang-orang pengusung tandu saling berpandangan dengan sedih, masing-masing pegangi kepala
mereka yang rontok tanpa rambut lagi itu. Sementara itu, Resi Pakar Pantun tetap
berdiri di tempatnya penuh waspada. Matanya pandangi lawan-lawannya dengan
senyum geli, lalu ia pun perdengarkan suara tawanya yang terkekeh pelan sambil
langkahkan kaki dekati tandu berselubung kain hitam itu.
"He, he, he, he...! Keluarlah dari tandumu, Gundik Sakti!"
Gadis berjubah ungu itu terkejut mendengar Resi Pakar Pantun menyebut nama
'Gundik Sakti'. Ia tak peduli lagi dengan tatapan mata Kadal Ginting yang penuh
rasa takut itu. Dengan satu sentakan kaki ia melesat
tinggalkan persembunyian Kadal Ginting. Wuuut...! Kejap berikutnya ia sudah berdiri tak jauh dari Resi Pakar Pantun.
"Oh, kau ada di sini juga rupanya, T embang Selayang"!" Resi Pakar Pantun
langsung kenali gadis cantik bertahi lalat di sudut bibir atas sebelah kanan.
"Secara kebetulan kulewati daerah ini dalam perjalananku menuju Bukit
Kasmaran, Resi Pakar
Pantun." Rupanya kemunculan T embang Selayang bukan
hanya membuat sang Resi terkejut kecil, namun ada sepasang mata yang sejak tadi
memperhatikan dari atas pohon rindang. Sepasang mata itu milik seorang pemuda
tampan berambut lurus sepanjang batas pundak dan membawa
sebuah bumbung tempat luak. Pemuda tampan itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila T uak yang bergelar
Pendekar Mabuk.
"Agaknya aku harus bergabung dengan mereka.
Sudah lama juga aku tidak jumpa dengan T embang Selayang, anak Empu T apak
Rengat itu. Hmmm... aku punya cerita untuknya dan harus kusampaikan sekarang
juga," pikir Suto Sinting, lalu ia segera keluar dari persembunyiannya.
T embang Selayang memang anak Empu T apak
Rengat, namun ia bukan murid sang Empu. T embang Selayang adalah murid yang
keluar dari perguruan Bukit Kasmaran karena tidak sepaham dengan ketuanya yang
baru; si Merak Cabul. Suto berkenalan dengan T embang Selayang dalam peristiwa
rebutan sebuah pusaka milik si T ua Bangka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kapak Setan Kubur").
Namun sekarang si Merak Cabul sudah tiada,
dibunuh oleh kakeknya sendiri yang merasa malu
mempunyai cucu sesat. Dan tentunya T embang Selayang belum mengetahui tentang
kematian si Merak Cabul dan Sanjung Rumpi, sebab kematian itu terjadi di depan
mata Pendekar Mabuk kala si Merak Cabul terbakar gairah cintanya karena jurus '
Senyuman Iblis' yang dipancarkan dari wajah tampan sang pendekar tampan
itu. Suto merasa perlu mengabarkan hal itu kepada T embang Selayang, sehingga ia
pun segera tiba di antara Resi Pakar Pantun dan putri Empu T apak Rengat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur Jagat"). T entu saja
kehadiran Suto mengejutkan sang Resi,
sekaligus membuat T embang Selayang terperangah. "Suto, sejak kapan kau bersembunyi di atas pohon rindang
itu"!"
tanya T embang Selayang yang mengetahui kemunculan Suto dari kerimbunan pohon tersebut.
"Sejak kau belum mendekati Kadal Ginting, aku sudah ada di atas pohon itu, T
embang Selayang.
Dentuman keras memancingku untuk membelokkan arah perjalanan
kemari, dan ternyata di sini kulihat pertarungan Resi Pakar Pantun dengan orang-orang pengawal tandu hitam itu," ujar
Suto Sinting sambil sesekali melirik ke arah tandu yang masih tertutup kain
hitam tersebut.
"Kem bang kem pis napas janda pulang pagi, tidur di balai kayunya jati.
Untuk apa punya sobat berilmu tinggi,
jika hanya bisa m engintip orang mau m ati."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum gelinya mendengar pantun sindiran sang Resi. Agaknya sang Resi merasa dongkol karena


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungannya hanya dijadikan bahan tontonan oleh Suto. Karena, Suto pun segera
berkata dalam irama pantun asal-asalan pada saat si Kadal Ginting mulai keluar
dari persembunyiannya.
"Kem bang kem pis kembang peot,
badak terbang tak pernah pulang.
Mana m ungkin aku berani campur tangan,
karena tak kudengar kau m inta bantuan."
"Mmmm... pantun apa itu" T ak ada seninya," Resi Pakar Pantun mencibir dalam
ejekan. Suto Sinting hanya tertawa kecil, menertawakan dirinya yang tak pernah
bisa membuat pantun dengan baik.
"Resi," sapa T embang Selayang. "Kudengar kau tadi memanggil nama si Gundik
Sakti. Apakah benar Gundik Sakti ada di dalam tandu hitam itu?"
"Ya. Mereka adalah para pengawal Gundik Sakti,"
jawab sang Resi sambil menuding orang-orang yang terkena jurus 'T ebar Geni'-
nya. Orang-orang itu hanya bisa diam dengan tubuh lemas dan pikiran bagaikan
hilang. Mereka menjadi linglung akibat jurus 'T ebar Geni' yang melumpuhkan
beberapa urat sarafnya.
"Kalau begitu aku juga ingin bertemu dengan si Gundik Sakti. Aku mau bikin
perhitungan sendiri dengannya."
Kemudian gadis berkulit kuning langsat itu maju selangkah dan berseru tertuju
pada tandu hitam yang masih tertutup kain hitam tak bergerak sedikit pun sejak
tadi. T andu itu diletakkan di tanah pada tempat yang terbuka
tanpa pelindung pohon ataupun semak. Keberadaannya seakan persis di tengah arena pertarungan. "Gundik Sakti, keluar kau dari tandumu! Kita masih punya perkara yang belum
selesai!" sentak T embang
Selayang. Setelah ditunggu dua helaan napas tak ada jawaban dan tak ada gerakan apa pun
dari tandu hitam itu, T embang Selayang serukan kata kembali dengan nada marah.
"Sejak kapan kau jadi pengecut, Gundik Sakti"!
Keluarlah sekarang juga, kita selesaikan urusan lama kita di sini juga! Kita
tentukan siapa yang berhak pergi ke neraka lebih dulu! Cepat keluar!"
T andu hitam tetap tak bergeming. Namun T embang Selayang makin menjaga
kewaspadaannya, karena ia tak ingin terjebak oleh serangan yang bisa muncul
sewaktu-waktu dari dalam tandu. Sementara itu, Pendekar Mabuk, Resi Pakar
Pantun, dan Kadal Ginting masih tetap berdiri di tempatnya pandangi tandu hitam
itu. Mereka sama-sama menunggu jawa ban dari orang yang ada dalam tandu. Sang Resi
pun akhirnya serukan pantunnya kepada orang di dalam tandu hitam itu.
"Kem bang kem pis suara batuk dalam hati, kolor putus nyaring berbunyi.
Sia-sia punya nama dikenal sakti,
jika hadapi lawan tetap diam dan sem bunyi."
Pendekar Mabuk tahu, sang Resi memancing nyali si Gundik Sakti agar keluar dari
dalam tandu hitam. T etapi sampai tiga helaan napas sang penghuni tandu belum
mau muncul juga. Hal ini timbulkan rasa jengkel dalam hati T embang Selayang,
sehingga gadis itu nekat lakukan satu lompatan dan menendang tandu itu dengan
kerasnya. Wuuut...! Gubraaaak...!
T andu hitam hancur berantakan. Mereka tertegun kaget karena tidak temukan
siapa-siapa di dalam tandu hitam itu.
"Keparat! Rupanya tandu ini kosong!" geram T embang Selayang sambil pandangi Resi Pakar Pontun.
Wajah tokoh tua itu tampak kecewa juga. Kadal Ginting segera memeriksa pecahan
tandu itu dengan lagak pemberani, karena ia merasa lega dan aman sejak
kemunculan Suto Sinting di situ. Jika terjadi sesuatu, ia yakin Suto Sinting
akan mampu mengatasinya.
"T ak ada sepotong orang pun di sini, Eyang Resi!"
seru Kadal Ginting sambil memeriksa pecahan tandu.
"Kelingkingnya pun tak ada, Eyang," tambah Kadal Ginting.
"Untuk apa kau cari kelingkingnya?"
"Untuk menengok ayam kita sudah mau bertelur apa belum, Eyang!" jawab Kadal
Ginting sambil bayangkan ayam
piaraan yang sudah lama ditinggalkan di padepokannya. "Colok saja pakai hidungmu!" gerutu sang Resi.
"Kau terkecoh oleh permainan mereka, Resi," ujar T embang Selayang.
"Sia-sia kau lumpuhkan para pengawal tandu itu, karena yang mereka kawal adalah tandu kosong."
Resi Pakar Pantun diam sejenak pandangi keadaan sekeliling. Kemudian terdengar
suaranya berkata bagai menggumam, "Pasti dia kabur lebih dulu."
"T idak. Dia memang tidak ada di dalam tandu! Kau
salah duga, Resi," kata Tembang Selayang.
"T adi kulihat ia ada di dalam tandu!" sang Resi ngotot.
"Kalau tak percaya tanyakanlah kepada pelayanku itu."
"Benar, Nona... eh, Bibi... eh, Nyai... eh, eh, eh...
anu," Kadal Ginting masih grogi bicara dengan T embang Selayang, sebab ga dis
cantik itu pancarkan pandangan matanya lebih tajam dari saat bertemu di balik
pohon tadi. "Jelaskan apa yang kau lihat tadi, Kadal Ginting!"
perintah sang Resi.
"Benar, Suto...," Kadal Ginting meresa lebih tenang bicara kepada Suto Sinting.
"... tadi kulihat seorang wanita cantik menyingkapkan tabir penutup tandu itu
dan berseru kepada para pengawal agar menyerang ku...."
"Bukan kau yang mau diserang, tapi aku!" sergah sang Resi sambil bersungut-
sungut. "Benar, aku dan Eyang Resi yang ingin diserang.
Lalu, tandu diletakkan dan para pengusungnya ikut menyerang kami. Tapi...
anehnya sekarang perempuan cantik itu tidak ada di dalam tandu. Ke mana dia.
Eyang?" "Mana kutahu! Jangan tanya padaku! Aku sendiri terkecoh!" sentak sang Resi
sambil cemberut kesal.
Suto Sinting hanya manggut-manggut sambil otaknya berputar mencari jawaban atas
lenyapnya Gundik Sakti dari dalam tandu. Sepanjang penglihatannya kala ia
bersembunyi di atas pohon, ia tak melihat ada seseorang
berlari keluar dari dalam tandu. Bahkan tandu itu tadi sempat
menjadi bahan perhatiannya cukup lama. Sekelebat sinar atau bayangan pun tak tampak keluar dari dalam tandu. Mustahil
sekali kalau Suto Sinting tak dapat melihat sekelebat bayangan keluar dari dalam
tandu, karena matanya sudah terlatih untuk memandang gerakan sinar secepat apa
pun. T embang Selayang segera mencengkeram baju salah seorang pengawal tandu. Dengan
wajah penuh pancaran api kemarahan ia menggertak orang tersebut.
"Di mana si Gundik Sakti berada, hah"! Jawab!"
Orang itu menjawab dengan wajah penuh kebingungan. "Di mana-mana...."
Plaaaak...! T embang Selayang menampar orang itu.
Yang ditampar hanya diam tanpa menampakkan rasa sakit, bahkan seperti orang
serba bingung. "Katakan, apakah kalian tadi membawa si Gundik Sakti daiam tandu atau memang
tandu itu kosong?"
"Kosong," jawab orang itu.
"Benar-benar kosong" Kau tidak bohong?"
"Bohong," jawabnya pendek dan menjengkelkan.
Ploook...! Wajah orang itu dihantam keras-keras oleh pangkal telapak tangan
Tembang Selayang, hingga terpental beberapa langkah jauhnya. Tapi orang itu
tetap bengong seperti tak pernah mengalami apa-apa.
Pengawal yang satu juga direnggut T embang Selayang, mata gadis itu pancarkan kemarahan lebih tajam lagi. Ia menggertak
dengan suara keras, tanpa mengejutkan dan tanpa memancing perhatian para
pengawal lainnya yang keadaannya
seperti orang linglung itu. "Di mana perempuan bejat itu"! Jawab...!"
"Bejat!" jawab orang tersebut dengan agak keras.
"Kuhabisi masa hidupmu kalau kau main-main denganku. Jawab dengan benar atau
kuhabisi masa hidupmu, hah"!"
"Hiduuup...! Hiduuuupp...!" orang itu justru bersorak.
T embang Selayang jengkel sekali dan dihantamnya dada orang itu. Buuuhg...!
Wuuuus...! Brruk...!
Orang itu jatuh terpuruk tanpa tenaga. Namun ia berusaha bangkit dan mengangkat
tangannya dengan lemah serta berseru dengan suara pelan, "Hiduuup...!
Hiduuup...!"
T embang Selayang menggeram dengan gusar sekali.
Resi Pakar Pantun berkata daritempatnya berdiri,
"Percuma saja kau tanyai mereka. Orang yang terkena jurus 'T ebar Geni'-ku tak
akan bisa gunakan otaknya dengan waras. Sebaiknya kita cari saja ke tempat
lain." Suto menyahut, "Kurasa mereka sengaja mengecohkan kalian dengan mengusung tandu kosong!"
"T andu itu tadi tidak kosong!" sang Resi ngotot sekali. "Berani disambar pisang
rebus, kulihat sendiri tandu itu tidak kosong, Suto!"
"Baiklah, anggap saja tandu itu memang tadi tidak kosong dan sekarang kosong.
Yang harus kalian lakukan adalah mencari si Gundik Sakti itu ke tempat lain. T
ak bisa hanya beradu debat di sini saja."
"Nah, itu langkah yang baik!" ujar sang Resi. "Kau mau membantuku, Suto?"
"Jelaskan dulu persoalannya; mengapa kau bermusuhan dengan si Gundik Sakti" Mengapa kulihat T embang Selayang berang
sekali kepada si Gundik Sakti. Dan... siapa sebenarnya si Gundik Sakti itu"
Se belum jelas persoalannya aku tak akan mau ikut campur tangan dalam urusan
kalian!" "Kem bang kem pis bulan sekarat,
tidur dim angkuk terkena gugat.
Kalau tak ada perkara berat,
untuk apa aku datang m encegat"
Pendekar Mabuk lirikkan mata sebentar ke arah
T embang Selayang. Agaknya gadis itu tak mau bicara karena diliputi rasa
dongkolnya yang menggebu-ge bu.
Lalu, Suto bicara lagi kepada Resi Pakar Pantun,
"Perkara berat apa, tolong ceritakan dulu padaku, Resi!"
"Kembang kempis...."
"T ak usah pakai kembang kempis dulu,
Resi. Langsung saja ceritakan perkara sebenarnya!" sergah Suto membuat sang Resi tak
jadi berpantun lagi.
* * * 2 "GUNDIK SAKT I adalah pewaris Gua T umbal
Perawan, letaknya di Bukit Sangkur," tutur Resi Pakar
Pantun. Namun baru saja ia mengawali ceritanya, tiba-tiba para pengawal tandu
yang terkena jurus 'T ebar Geni'-nya Resi Pakar Pantun itu mengalami keanehan.
Satu-persatu mereka terpekik dengan suara tertahan.
Mata mereka mendelik dengan tubuh kejang. Wajah mereka menjadi biru dan lidah
terjulur. Kemudian satu-persatu pula mereka hembuskan napas terakhir dan diam
selama-lamanya.
"Apa yang terjadi pada diri mereka"!" Pendekar Mabuk bernada heran. Pertanyaan
itu dilontarkan kepada Resi Pakar Pantun. Tetapi tampaknya sang Resi pun
diliputi oleh keheranan. T embang
Selayang juga memperlihatkan wajah herannya melihat orang-orang itu tewas satu-persatu.
"Seperti ada yang mencekik mereka, Eyang!" seru Kadal Ginting dengan wajah
tegang. "Jurusku tidak membuat orang mati tercekik," ujar Resi Pakar Pantun seperti
orang menggumam.
"Lalu, mengapa mereka tiba-tiba mati tercekik"!" ujar T embang Selayang dengan
dahi berkerut. Resi Pakar Pantun pejamkan mata sebentar.
Kejap berikut ia perdengarkan suaranya dalam
keadaan mata masih terpejam.
"Ada kekuatan gaib yang mencekiknya. Datangnya dari arah timur kita."
Semua mata memandang ke arah timur dengan
tegang. T api mereka tidak temukan siapa-siapa di sebelah timur.
Zlaaaap...! Suto Sinting melesat ke arah timur dengan
kecepatan melebihi anak panah lepas dari busurnya, ia pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mirip orang menghilang dalam sekejap.
T embang Selayang mengerti maksud kepergian Suto yang ingin mencari seseorang di
sebelah timur. Maka ia pun ikut melesat ke arah yang sama, namun kecepatan


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geraknya tak bisa menyamai Suto Sinting.
"Kadal Ginting, tunggu di sini! Aku akan ikut mencari ke arah timur!" ujar Resi
Pakar Pantun, lalu tubuhnya bergerak cepat hampir menyamai gerakan Suto Sinting.
Weeeesss...! Kadal Ginting ketakutan setelah sadar dirinya berada di antara para mayat yang
baru saja mati tercekik sesuatu yang tak tampak mata. T ubuhnya yang merinding
itu bergidik dengan jantung berdebar-debar.
"Daripada aku ikut tercekik, lebih baik lari ke arah timur menyusul mereka!"
Wuuuut...! Kadal Ginting berlari dan baru saja
bergerak sudah jatuh tersungkur. Brruus...!
"Eyaaaang...!" ia menjerit ketakutan dengan mata terpejam kuat-kuat, karena
menganggap ada kekuatan gaib yang ingin
mencekiknya. Padahal
ia jatuh tersungkur karena kakinya menyampar tangan manyat yang terkapar di depannya.
Pencarian mereka dilakukan hingga beberapa saat lamanya. Namun agaknya tak satu
pun temukan orang yang dicurigai telah lakukan pembunuhan terhadap beberapa
pengawal tandu itu. T epat di sebuah karang bertebing batu, secara tak sengaja
mereka berkumpul
kembali dari berbagai arah.
"T ak ada yang bisa ku lacak," kata T embang Selayang.
"Aku pun tak menemukan apa-apa," kata Pendekar Mabuk.
Sang Resi diam sebentar, kemudian setelah pandangi keadaan sekeliling, ia
berkata dengan suara pelan mirip orang menggumam.
"Gundik Sakti yang lakukan pembunuhan itu! Pasti dia orangnya."
"Mengapa dia lakukan terhadap para pengawalnya sendiri" Mengapa tidak ia lakukan
terhadap diri kita?"
tanya T embang Selayang bernada menyanggah pendapat Resi Pakar Pantun.
"Gundik Sakti merasa kecewa terhadap para pengawalnya yang tak mampu tumbangkan diriku," ujar sang Resi. "Ia merasa sia-
sia punya pengawal seperti mereka, lalu merasa lebih baik membuang mereka ke
neraka!" "Kejam nian si Gundik Sakti itu"!" kata Suto Sinting, lalu ia meneguk tuaknya
beberapa kali. "Gundik Sakti memang orang yang keji," kata Resi Pakar Pantun sambil pandangi
kedatangan Kadal Ginting yang tergopoh-gopoh dan ngos-ngosan.
"Eyang, aku hampir saja mati dicekik oleh setan pembunuh mereka tadi!" kata
Kadal Ginting kepada sang Resi. "T api untung aku mampu mengalahkan kekuatan
setan tanpa wujud itu, sehingga bisa lolos kemari!"
Sang Resi hanya mencibir tak percaya, tapi Kadal Ginting bersikap tak peduli
atas tanggapan tuannya, ia segera duduk di atas sebuah batu menenangkan napasnya
yang terengah-engah.
Resi Pakar Pantun lanjutkan kisahnya tentang si Gundik Sakti.
"Gundik Sakti menjadi penguasa di Gua T umbal Perawan setelah ibunya yang
berjuluk Nyai Selir Iblis tewas dalam pertarungan dengan seorang senopati dari
tanah seberang. Perangai dan wataknya serupa betul dengan mendiang ibunya."
"Nyai Selir iblis itu tokoh aliran hitam?"
"Ya, dan orang-orang Gua T umbal Perawan memang beraliran
hitam semua. Mereka merupakan satu masyarakat yang tinggal di dalam gua. Gua itu sangat luas, menyerupai sebuah
desa, sehingga sering dise but-sebut orang sebagai Desa Lambung Bumi. Setiap
malam purnama mereka membutuhkan tumbal seorang perawan. Darah perawan dipersembahkan kepada roh sembahan mereka yang bernama
Darahkula; Dewa
Penguasa Kegelapan."
"Salah satu perawan yang menjadi tumbal Darahkula adalah kakak angkatku:
Handayani!" sahut T embang Selayang. "Karenanya aku ingin balas dendam kepada
Gundik Sakti untuk menebus nyawa kakak angkatku itu."
"Pantas kau tampak bernafsu sekali menyerang tandu hitam itu," ujar Suto sambil
manggut-manggut, mulai paham alasan kemarahan T embang Selayang terhadap
Gundik Sakti. "Salah satu muridku juga menjadi tumbal di gua itu,"
sela Resi Pakar Pantun. "Murid perempuanku itu bernama Windi Arum, putri Sultan
Kemuning yang diculik oleh Gundik Sakti sendiri pada malam purnama baru lalu. Roh muridku itu
bagaikan menangis terus-menerus
di sampingku, seakan minta dibalaskan perlakuan si Gundik Sakti itu. Rasa-rasanya jika aku belum bisa membunuh Gundik
Sakti, tangis itu selalu akan kudengar meresahkan jiwa di mana pun aku
berada." "Banyak pihak yang telah menjadi korban kekejian Gundik Sakti itu," ujar T
embang Selayang. "Karenanya aku bermaksud mengadu domba antara Gundik Sakti
dengan Merak Cabul, karena kepemimpinan si Merak Cabul
di perguruanku sangat
tidak kusetujui,
ia membawa orang-orang Bukit Kasmaran menjadi sesat dan tidak bersusila."
"Merak Cabul telah tiada."
"Hahh..."!" Tembang Selayang terkejut. Matanya memandang Suto Sinting dengan
melebar. "Ia mati bersama Sanjung Rumpi," sambung Suto.
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Kakeknya sendiri; Dewa Putih!" Suto pun segera ceritakan kematian Merak Cabul
secara singkat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Cerita itu membuat Tembang Selayang bengong sejenak, setelah itu
menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan pandangan mata menerawang.
"Syukurlah jika Merak Cabul telah tiada. Kurasa keadaan di perguruan sekarang
sedang kacau karena membutuhkan seorang ketua. Aku perlu ke sana untuk
menenangkan mereka dan mengembalikan langkah
mereka yang telah disesatkan oleh Merak Cabul.
Hmmm... tapi aku perlu mencari Dinada lebih dulu."
"Dinada..."!" gumam Suto bagai bicara pada dirinya sendiri, ia mulai terbayang
seraut wajah cantik milik seorang gadis peniup seruling yang punya nama asli
Milasi itu. Peristiwa perjumpaan dengan Dinada dikenang oleh Pendekar Mabuk. Sayang ia tak tahu di mana Dinada sekarang berada,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gelang Naga Dewa").
"Sebentar lagi malam purnama akan tiba. Aku harus bisa hentikan pencarian tumbal
yang dilakukan Gundik Sakti dengan cara melumpuhkan perempuan itu!" ujar Resi
Pakar Pantun. Ia tampak bersemangat sekali, karena di dalam hatinya menyimpan
dendam atas kematian murid wanitanya yang bernama Windi Arum itu.
"Aku akan mendampingimu, Resi!" kata T embang Selayang, "Kita serang bersama Gua
T umbal Perawan itu!"
"Sebaiknya kau tidak usah ikut ke Bukit Sangkur,"
Resi Pakar Pantun berkata dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan T embang
Selayang. "Kalau kau ikut ke sana bersamaku, dan terjadi sesuatu pada dirimu,
aku tak enak pada ayahmu; Empu Tapak Rengat. Dia sahabat
baikku dan aku tak mau persahabatanku
dengannya menjadi putus gara-gara kau ikut menyerang
ke Bukit Sangkur."
"Itu urusanku dengan Ayah. Aku toh punya urusan pribadi dengan Gundik Sakti"!" T
embang Selayang bernada ngotot.
Resi Pakar Pantun diam sesaat. Akhirnya Pendekar Mabuk pun angkat bicara.
"Serahkan saja perkara ini padaku."
T embang Selayang dan Resi Pakar Pantun sama-sama pandangi Suto Sinting.
"Ini tugasku; tugas menghancurkan tindak angkara murka dan kekejaman. Kalian tak
perlu repot-repot melabrak ke Gua T umbal Perawan, biar aku saja yang datang ke
gua itu." T embang Selayang mencibir sinis. "Kau tak akan mampu hancurkan Gundik
Sakti...."
"Ilmunya cukup tinggi," sahut Resi Pakar Pantun.
"Kau lihat sendiri bagaimana ia menghukum pengawalnya yang gagal melumpuhkan diriku tadi" Ia mampu
membunuh tanpa terlihat wujudnya, ia menguasai jurus 'T eropong Pati' dan beberapa jurus lainnya.
Bukankah begitu maksudmu, T embang Selayang?"
"Yang jelas, Suto tak akan mampu membunuh
perempuan itu, sebab perempuan itu cantik dan tubuhnya sangat mengundang gairah
bagi lawan jenisnya. Ia mampu membuat lawan jenisnya bertekuk lutut dengan ilmu
pemikat yang dimilikinya, ilmu pemikatnya itu bukan saja untuk lelaki, tapi
seorang gadis pun mampu terpengaruh oleh ilmu pemikat-nya, menjadi menurut
diba wa ke mana saja, sehingga bagi seorang perawan akan tunduk dengan segala
perintahnya walau harus menjadi tumbal di dalam gua tersebut."
"Benar. Gundik Sakti memang mempunyai ilmu sihir cukup tinggi," timbal sang
Resi. "Nafsu bercintanya pun sangat besar dan selalu bergelora."
"Apakah menurut kalian aku tak mampu menghindarinya" Jika ilmu pemikat si Merak Cabul mampu kulawan, mengapa Gundik
Sakti tak mampu
kulawan juga?"
T embang Selayang berkata, "Ilmu pemikat si Merak Cabul masih di ba wah Gundik
Sakti. Bahkan ilmu pemikat
mendiang guruku masih kalah tinggi dibandingkan ilmu pemikat si Gundik Sakti."
"Itu memang benar, Suto," ujar sang Resi, lalu ia berpantun penuh semangat:
"Kem bang kem pis bunyi ketupat berisi batu, ditelan bayi nyaring sekali
bunyinya. Jangankan hati pem uda tampan sepertim u,
tembok saja pun akan jebol oleh kedipan matanya."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis, ia berkata
kepada T embang Selayang dengan
suara lembutnya yang sering menghadirkan debaran indah di hati seorang gadis seperti T
embang Selayang itu.
"Sebaiknya kau lanjutkan perjalananmu ke Bukit Kasmaran. Perguruanmu membutuhkan
seorang ketua. Carilah Dinada dan berundinglah dengannya. Jika masih ada perguruan yang punya
kesucian, sembunyikan dulu orang itu agar tak diculik oleh Gundik Sakti buat
tumbal malam purnama nanti."
T embang Selayang diam membisu bagaikan mengalami kebimbangan. Suto segera pandangi Resi Pakar Pantun dan berkata dengan
tenang. "Izinkan aku yang mengambil alih perkara si Gundik Sakti itu. Percayakan padaku,
Resi. Kau bisa kerjakan hal-hal lain yang sama pentingnya dari menghancurkan
Gundik Sakti."
Kadal Ginting yang sejak tadi hanya diam mengikuti pembicaraan ke pembicaraan,
kini cepat-cepat menyela kata dengan suaranya yang cempreng.
"Eyang Resi, Prabu Digdayuda pasti sudah menunggu-nunggu kedatangan kita. Apakah Eyang Resi tak bermaksud menyelamatkan
tanah kekuasaan ayah si Kertapaksi itu?"
Suto Sinting agak terperanjat. "Ada apa dengan negerinya Kertapaksi?" tanya
Suto, karena ia segera ingat tentang Kertapaksi, murid Resi Pakar Pantun yang
pernah bentrok dengannya namun tak meninggalkan dendam di hati masing-masing
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Asmara Berdarah Biru").
"Negeri Bumiloka sedang mengalami kekacauan. Ada pihak yang ingin merebut negeri
itu, dan muridku Kertapaksi terdesak, ia butuh bantuanku."
"Kalau begitu selesaikanlah urusan negeri Bumiloka, Resi! Selamatkan muridmu
agar tak mengalami celaka karena keributan itu. Jangan sampai kau menyesal
akibat keterlambatanmu datang ke sana, Resi!"
Setelah merenung sebentar, sang Resi pun manggut-
manggut. "Benar juga, seharusnya kuselamatkan muridku itu dari ancaman maut: Ratu Sangkar Mesum."
"Siapa..."!"
T embang Selayang terkejut. "Ratu Sangkar Mesum..."! Oh, maksudmu si Penguasa Pulau Cumbu itu?"
"Benar!" jawab sang Resi. "Kabar yang kuterima, kekuasaan Prabu Digdayuda
diserang orang-orang Pulau Cumbu di bawah pimpinan Ratu Sangkar Mesum.
Apakah kau kenal dengan Ratu Sangkar Mesum,


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

T embang Selayang?"
"Ketika mendiang guruku masih hidup, kami pernah bentrok dengan Pulau Cumbu dan
aku hampir mati di tangan Ratu Sangkar Mesum."
"Hmmm...," Resi Pakar Pantun angguk-anggukkan kepala. "Pulau yang sempit membuat
Ratu Sangkar Mesum selalu berusaha mencari tempat baru untuk kembangkan
kekuasaannya. Dan kali ini agaknya yang diincar adalah negeri Bumiloka, karena
selain wilayah kekuasaan Bumiloka cukup
luas, negeri itu juga menghasilkan tambang emas dan perak cukup besar."
"T api bukankah negeri itu mempunyai banyak orang kuat dan prajuritnya berjumlah
cukup banyak" Mengapa sampai terdesak oleh kekuatan orang-orang Pulau Cumbu?"
"Kudengar Ratu Sangkar Mesum dibantu oleh Dewi Geladak Ayu!"
"Oh, pantas! Negeri itu bisa hancur karena Dewi Geladak Ayu, si bajak laut
wanita itu, mempunyai pusaka Panah Lebur
Sukma!" Tembang Selayang
berwajah tegang, membuat Suto Sinting perhatikan dengan kerutan dahi tajam
pertanda ikut berpikir keras.
"Sega wat itukah negerinya si Kertapaksi itu?" gumam Suto membatin.
"Jika memang begitu, sebaiknya kau selamatkan dulu negeri Bumiloka itu, Resi,"
ujar T embang Selayang.
"Jika Ratu Sangkar Mesum berkuasa di sana dan bersatu dengan Dewi Geladak Ayu,
itu pertanda awal bencana bagi orang-orang tanah Jawa. Dalam waktu singkat
kekuatan mereka dapat melenyapkan para tokoh aliran putih di tanah Jawa ini,
Resi!" "Dua kekuatan hitam itu jika bersatu memang sangat berbahaya,"
gumam sang Resi dengan mata menerawang, seakan membayangkan kengerian yang
terjadi jika kedua tokoh aliran hitam itu bersatu di tanah Jawa.
Pendekar Mabuk pun tampak sembunyikan
kecemasan di balik ketenangan sikapnya.
* * * 3 SEJAK berpisah dan berpencar arah dengan T embang Selayang dan Resi Pakar
Pantun, hati Suto Sinting diliputi rasa penasaran ingin segera bertemu dengan
yang namanya Gundik Sakti. Rasa ingin menjajal ilmu si Gundik Sakti membuat Suto
mempercepat langkahnya menuju Bukit Sangkur. Untung sang Resi memberinya
petunjuk arah menuju Bukit Sangkur dan ciri-ciri
lembah berhutan cemara putih, sehingga Suto merasa tak akan salah langkah.
"Kau akan melalui dua buah desa," kata sang Resi sebelum berpisah. "Bermalamlah
di desa pertama walau hari
masih terang. Seba b jika kau lanjutkan perjalananmu, maka kau akan bermalam di hutan dan mencapai desa kedua esok
harinya. Tapi jika kau bermalam di desa pertama, maka keberangkatanmu dari desa
itu pada esok harinya akan membuatmu tiba di desa kedua di senja hari, dan kau
bisa bermalam lagi di desa kedua itu. Lanjutkan perjalanan pada pagi harinya,
maka kau akan tiba di Bukit Sangkur menjelang matahari bertengger di atas kepala
manusia." T entu saja perhitungan waktu sang Resi itu berdasarkan langkah kakinya, ia tidak perhitungkan kecepatan langkah Suto
Sinting yang dapat melesat lebih cepat karena pergunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Ia juga tidak perhitungkan jika terjadi halangan di perjalanan yang dapat
menghambat langkah dan memakan waktu tidak sedikit.
Kenyataan yang dialami Suto Sinting toh tidak
semulus dugaan Resi Pakar Pantun. Dalam perjalanan menjelang sore. Pendekar
Mabuk terpaksa hentikan langkah karena matanya sempat memandang ke atas sebuah
bukit tak begitu tinggi. Di atas perbukitan itu tampak iring-iringan manusia
yang memanggul sebuah tandu berwarna hitam.
"T andu hitam itu sepertinya berisi orang penting,"
pikir Suto dalam bungkam. "Empat pengawal di depan
tampak bersenjata pedang dan berbadan kekar. Empat pengawal di belakang juga
tampak siaga dengan senjata masing-masing. Keempat pengusungnya pun agaknya
orang-orang yang siap tempur, terbukti mereka bersenjata semua. Hmmm... tak salah dugaanku, pasti si Gundik Sakti yang ada di
dalam tandu hitam. Bentuk dan
ukuran tandunya sama dengan tandu yang dihancurkan T embang Selayang."
Mestinya Suto menuju ke arah barat untuk mencapai Bukit Sangkur. Namun begitu
melihat iring-iringan tandu hitam, ia membelok mengikuti arah yang dituju tandu
tersebut. Mereka ke utara, dan Suto juga ke utara.
Ia mengikuti dari kejauhan dengan sesekali menyelinap di balik pohon atau di
semak belukar. Rupanya Suto ingin tahu ke mana tujuan tandu hitam itu dan apa
yang akan dilakukan orang di dalam tandu tersebut.
Iring-iringan tandu itu berhenti di tepi sebuah sungai.
Pendekar Mabuk pun hentikan langkahnya di balik gugusan batu besar. Dari sana ia
mengintai dengan cermat. Hatinya berharap agar orang di dalam tandu itu keluar
untuk membasuh muka atau lakukan apa saja.
T api ternyata sampai sekian lama tandu masih tertutup kain hitam. Beberapa
pengawalnya yang mendekati tepian sungai meminum air sungai yang bening dan
dangkal itu. "Apakah tandu itu kosong, seperti tandu yang dihancurkan T embang Selayang itu?"
pikir Suto Sinting.
Namun mendadak matanya sedikit terbelalak, karena dari balik kain hitam yang
menyelubungi tandu terjulur
sebuah tangan berkulit mulus dan bergelang batuan merah delima. Tangan itu
menyerahkan cawan kepada seorang pengawal. Kemudian pengawal yang menerima cawan
segera ke perairan sungai, mengisi cawan emas itu dengan air sungai yang bening.
Kemudian cawan tersebut diserahkan kembali kepada orang yang ada di dalam tandu
hitam tanpa menyingkap kain penutupnya.
T angan orang yang ada di dalam tandu terulur sendiri dan menerima cawan
tersebut. "T angan itu jelas tangan seorang wanita. T ak salah lagi, Gundik Sakti yang ada
di dalam tandu. T api...
untuk apa air dalam cawan itu" Apakah ia meminum air sungai" Atau hanya sekadar
untuk cuci muka" Ah, sial sekali! Mengapa ia tidak keluar dari dalam tandu dan
mengambil air sungai sendiri?"
Hati si murid sinting Gila T uak itu menjadi resah.
Rasa penasaran ingin melihat wajah Gundik Sakti membuatnya bingung sendiri, dan
batinnya berkecamuk penuh gerutu.
"Bagaimana kalau kuserang agar ia keluar dari dalam tandu" Hmm... oh, jangan!
Nanti malah timbul korban di pihak para pengawalnya. Sebaiknya...."
Kecamuk batin Pendekar Mabuk terhenti secara
mendadak karena tiba-tiba ia mendengar dengusan napas lembut di belakangnya. Ia
buru-buru palingkan wajah, dan nyaris terpekik kaget melihat seraut wajah cantik
telah berada di belakangnya, sedang merunduk-runduk mendekatinya.
"Ssssttt...!" si pemilik wajah cantik itu memberikan
isyarat agar Suto jangan bersuara sedikit pun. Jari telunjuknya ditempelkan di
bibir yang agak lebar namun menggiurkan sekali keindahannya. Perempuan cantik
berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu kian dekati Suto, dan ia ikut
berlindung di balik gugusan batu besar, tepat di samping kiri Suto Sinting.
Pendekar Mabuk jadi salah tingkah. Aroma wangi
yang menyebar dari tubuh perempuan berjubah merah jambu itu menimbulkan
kegelisahan sendiri di hati Suto Sinting. Bola mata yang sedikit besar namun
berbentuk indah dengan bulu mata lentik itu menggelitik perasaan cinta Suto.
Belum lagi dandanannya yang tergolong seronok, jubah tak berkancing dengan
penutup dada tipis warna biru muda, sungguh menggoda jiwa si murid sinting Gila
T uak itu. "Montok sekali dia" Kulitnya putih mulus dan, waaah... pikiranku jadi kacau
kalau begini," keluh Pendekar Mabuk dalam hatinya. Akhirnya Suto melirik kipas
gading yang terselip di pinggang perempuan itu. Ia lakukan lirikan ke arah
kipas, karena hatinya merasa tak kuat
menahan debaran indah jika terlalu lama memandang wajah berbibir menantang gairah itu.
"Apakah orang di dalam tandu itu sudah keluar?"
bisik perempuan tersebut berlagak akrab, seakan tak membutuhkan basa-basi sama
sekali. "Bel... belum," jawab Suto Sinting agak gugup karena debaran hatinya kian
membakar hasrat ingin mencium perempuan itu. T api si perempuan bersikap acuh
tak acuh, tak menghiraukan tatapan mata Suto yang nakal.
Pandangan matanya tertuju pada tandu hitam, di mana para pengawalnya
sedang beristirahat
bagai habis lakukan perjalanan jauh.
"Cepat atau lambat ia pasti keluar dari dalam tandu!"
ujar perempuan berjubah merah jambu dengan nada membisik.
"Apakah kau tahu siapa yang ada di dalam tandu hitam
itu?" pancing Suto setelah ia berhasil menenangkan diri. Pandangan matanya dikembalikan ke arah tandu dan para
pengawalnya. T erdengar perempuan cantik itu menjawab pertanyaan Suto tadi dengan nada masih membisik lirih.
Namun karena letak wajahnya dekat sekali dengan telinga Suto, maka bisikan lirih
itu pun terdengar jelas bagi Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi yang ada di dalam tandu hitam itu jika bukan si Gundik Sakti."
"Kau kenal dengan Gundik Sakti?"
"Sangat kenal," jawab perempuan itu tanpa memandang Suto.
Ia berpaling memandang Suto, tatapan matanya terasa menembus jantung si Pendekar
Mabuk, membuat pemuda berbaju cokiat tanpa lengan dengan celana putih lusuh dililit ikat
pinggang kain merah itu menjadi gundah sesaat. Gerakan mata si tampan Suto
tampak nanar, bingung mencari sasaran.
"Aku memang kenal dengan Gundik Sakti, tapi aku belum kenal dengan pemuda yang
mengintainya dari balik batu ini."
Senyum pun tersungging berkesan malu-malu. Suto Sinting paham bahwa perempuan
itu ingin mengenal namanya. Maka sambil mengarahkan pandangan mata ke tandu
hitam, Suto menyebutkan namanya dengan lirih.
"Kau bisa memanggilku: Suto, sebab namaku adalah Suto Sinting."
"Oh, jadi... jadi kau yang bergelar
Pendekar Mabuk"!" perempuan itu terperanjat, suara bisiknya bernada terpekik walau tak
sekeras pekikan biasa sewajarnya. Bola mata yang semula sedikit sayu itu kini
menjadi berbinar-binar dengan senyum indah mekar di bibir merah segar. Suto
Sinting tampak tersipu dan tak mau pandangi perempuan yang mengenakan perhiasan
lengkap itu. "Aku sering mendengar namamu menjadi bahan percakapan
orang-orang. Mulanya aku menyangka
orang-orang itu terlalu berlebihan menceritakan ketampanan Pendekar Mabuk. Tapi setelah kulihat sendiri kenyataannya, ternyata
mereka kurang lengkap menceritakan ketampananmu. Mereka tidak pernah
menceritakan bahwa Pendekar Mabuk adalah seorang pemalu yang tak berani
memandang wanita dari jarak sedekat ini."
"Ah, sudahlah!" Suto Sinting berusaha mengalihkan pembicaraan. T api perempuan
berjubah merah jambu itu masih saja mengajak berkasak-kusuk sambil sesekali
matanya memandang ke arah tandu hitam.
"Orang-orang
yang menyanjungmu itu lupa mengatakan, bahwa Pendekar Mabuk itu seorang pemuda yang mudah berkeringat dingin jika terlalu lama dipandang oleh
perempuan."
Suto jadi semakin kikuk dan malu, sebab ia baru menyadari bahwa di kening dan
dahinya telah tersembul butiran keringat, dan keringat itu adalah keringat
dingin akibat kegugupannya berhadapan dengan perempuan cantik dalam jarak kurang
dari satu langkah. Untuk menutupi rasa malunya, akhirnya Suto beranikan diri
menanyakan nama perempuan itu.
"Aku belum mengenal siapa dirimu. Maukah kau sebutkan siapa namamu dan dari mana


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asalmu?" "Namaku..." Oh, maaf. Aku lupa memperkenalkan diri
padamu," seulas senyum menawan sengaja dipamerkan perempuan itu di depan Suto Sinting.
Sambungnya lagi,
"Kau bisa memanggilku Rara, karena namaku adalah Rara Santika."
"Nama yang bagus sekali," ujar Suto sambil paksakan keberaniannya. untuk menatap
mata Rara Santika.
"Mengenai dari mana asalku; kurasa itu belum penting bagimu. Yang terpenting
adalah...."
T iba-tiba Rara Santika hentikan bisik-bisiknya,
karena tiba-tiba mereka mendengar suara pekikan seseorang yang cukup
mengejutkan. "Aaaaah...!"
Kedua orang di balik batu be sar serentak lemparkan pandangan ke arah tandu
hitam. T ernyata seorang pengawal bersenjata tombak berujung pedang itu telah
roboh dalam keadaan ulu hatinya tertancap pisau kecil.
Suasana menjadi tegang dan kacau, karena kejap
berikutnya seorang pengusung tandu pun memekik
panjang, mengejutkan mereka yang ada di sekitarnya.
"Aaaaah...!"
Leher pengusung tandu itu dihujam pisau kecil
bergagang hitam dengan ujung gagangnya berhias
rumbai-rumbai benang hijau. Pisau itu sama dengan pisau yang menancap di ulu
hati pengawal yang kini telah tak bernyawa itu.
"Menyebar...!" seru seorang pengawal berompi merah yang kumisnya cukup lebat dan
wajahnya berkesan angker
itu. Ia mencabut pedangnya, kemudian mengibaskan ke berbagai arah dengan gerakan memutar.
Trang, trang, tring...!
Rupanya gerakan pedang itu dilakukan untuk menangkis serangan tiga mata pisau yang meluncur deras ke arahnya. Tiga pisau
itu berhasil ditangkis, namun pisau keempat
tak mampu dihindari lagi.
Zuuuut...! Juubb...!
"Aaaahhh...!" orang itu menjerit dengan kasar dan keras, matanya mendelik,
tubuhnya mengejang. Sebilah pisau berukuran dua kali lebih besar dari pisau-
pisau tadi telah menancap di tengkuknya. Pisau itu membuat orang tersebut roboh
ke depan, menggelepar sebentar, setelah itu menghembuskan napas terakhir dan tak
bergerak lagi. "Dari mana datangnya serangan itu"!" gumam Suto Sinting dengan heran dan matanya
bergerak jelalatan memandang ke sana-sini.
"Serangan itu dilakukan oleh dua orang," bisik Rara
Santika. "Yang satu berada di atas pohon sebelah timur, yang satu berlindung di
balik dua pohon yang tumbuh merapat di sebelah utara. Perhatikan kedua pohon
yang tumbuh saling berjajaran itu!"
Pendekar Mabuk arahkan pandangan matanya ke
utara, dan ia temukan gerakan kecil daun-daun ilalang yang tumbuh di sekitar dua
pohon tersebut. Gerakan kecil daun ilalang itu bukan gerakan karena angin, namun
karena kaki seseorang yang bersembunyi di sana.
"Hmmm... benar!" gumamnya lirih. "T ajam sekali penglihatanmu, Rara," puji Suto,
namun agaknya pujian itu tak dihiraukan oleh Rara Santika.
"Pandanglah ke arah atas pohon di sebelah timur. Di balik kerimbunan daun pohon
berwarna hijau kehitaman itu ada seseorang yang bersembunyi di sana."
Suto Sinting ikuti saran tersebut. Mulanya ia tak menemukan tanda-tanda
kehidupan manusia di atas pohon tersebut. T api kilauan cahaya putih yang
terjadi akibat pantulan sinar matahari dari sebuah senjata berlogam putih telah
membuat Suto manggut-manggut dan mengakui kebenaran dugaan Rara Santika. Hati
sang pendekar pun membatin,
"Benar-benar jeli mata perempuan ini! Aku harus mengakui keunggulannya dalam
memandang seseorang yang bersembunyi."
Rupanya orang yang di atas pohon itu tak sabar
memendam murkanya. Ia melompat keluar dari persembunyiannya sambil melepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar
merah lurus tanpa putus.
"Heeeeaaaah...!"
Claaap...! Sinar merah itu melesat dari telapak tangannya dan menghantam dua
orang pengawal yang berada membelakangi tandu. Melihat sinar merah itu meluncur
cepat ke arahnya, kedua pengawal itu se gera saling melompat ke samping kanan-
kiri, dan akibatnya sinar merah itu menghantam tandu hitam.
Duuaaar...! T andu hitam menjadi hancur, potongan kayu dan
kainnya menyebar ke berbagai arah. Mata murid sinting si Gila T uak pun
terbelalak kaget.
"T andu itu kosong"! Aneh! Padahal tadi kuiihat ada tangan yang terulur keluar
menyerahkan cawan dan menerimanya kembali"!"
T ak ada sepotong daging manusia yang ikut tersebar dalam kehancuran tandu hitam
itu. Bahkan sesobek pakaian wanita pun tak terlihat ada di antara puing-puing
tandu. Hal itu benar-benar mengherankan bagi Suto Sinting, ia berkata kepada
Rara Santika dengan nada tegang.
"T adi kulihat Gundik Sakti ada di dalam tandu itu, kenapa sekarang tandu itu
pecah dan Gundik Sakti tak ada di dalamnya"!"
"Mungkin dia sudah keluar tinggalkan tandu sebelum terjadi penyerangan tadi."
"T idak mungkin," sangkal Suto. "Kalau dia keluar dari tandu pasti aku
melihatnya, sebab dari tadi aku memperhatikan tandu itu, dan tak kulihat ada
orang keluar dari sana."
Rara Santika sunggingkan senyum tipis, tak jelas artinya bagi Pendekar Mabuk.
Namun senyuman itu segera tak dihiraukan karena suara gaduh pertarungan lebih
memancing perhatian Suto Sinting.
Para pengawal dan pengusung tandu diserang oleh dua orang lelaki yang usianya
sekitar tiga puluh tahun.
Yang satu sedikit tampak lebih muda dari yang satunya.
Mereka bersenjatakan pisau terbang yang melingkar di pinggang bagaikan sabuk.
Gerakan mereka sangat lincah dan sukar diikuti dengan pandangan mata, juga sukar
ditebak gerakan berikutnya.
Dalam beberapa waktu saja, para pengawal dan
pengusung tandu berjatuhan tanpa nyawa lagi. T inggal dua pengawal yang masih
gigih melawan dua lelaki berpakaian serba kuning itu. Hanya saja, yang satu
berikat kepala hijau, yang satunya berikat kepala merah.
"Kau kenal dengan mereka, Rara?"
"Ya, aku kenal. Mereka adalah kakak beradik. Yang berikat kepala merah itu
kakaknya, bernama: Dampak Yogan.
Sedangkan adiknya berikat kepala hijau bernama: Hanu Yogan."
"Mengapa mereka menyerang tandu hitam itu?"
"Karena mereka menyangka Gundik Sakti ada di dalamnya."
"Iya, aku tahu hal itu. Yang kutanyakan, mengapa mereka menyerang Gundik Sakti?"
"Entahlah. Mungkin mereka punya dendam atau persoalan pribadi dengan Gundik
Sakti," Rara Santika bicara lirih bagai orang malas bicara. Matanya tertuju
pada pertarungan satu lawan satu yang agaknya cukup seru itu.
Dampak Yogan mempunyai tubuh yang lentur dan
lincah, sehingga ketika pedang lawannya menebas leher, ia justru bergerak maju
dengan tubuh memutar cepat, tahu-tahu pisaunya dihujamkan ke dada lawan.
Jrrub...! "Aaaahg...!" pengawal tandu yang berpakaian hitam itu mendelik, kejap
berikutnya tumbang dan tak
bernyawa lagi. Sementara itu, Hanu Yogan melenting di udara
hindari tebasan pedang lawan yang akan merobek
perutnya. Gerakan bersaltonya cukup cepat, hingga tahu-tahu kedua kakinya sudah
hinggap ke pundak lawan.
Jleeeg...! Lawan yang terkejut itu tak sempat lakukan gerakan apa-apa
lagi, karena tangan kiri Hanu Yogan menghantam kuat ubun-ubun la wannya. Wuuut...! Praaak...! "Aaaaa...!" orang itu memekik keras-keras sambil melangkah limbung saat tubuh
Hanu Yogan telah
melesat dari pundaknya dan turun ke tanah. Kepala orang itu berlumuran darah,
bukan hanya dari mulut dan telinga saja, melainkan dari pelipis dan tengkuk pun
mengalir darah merah segar menandakan kepala itu retak. Biji matanya tersembul
keluar nyaris terlepas dari kelopaknya. Hantaman bertenaga dalam di kepala
membuat orang tersebut akhirnya tumbang dan tak bernyawa lagi.
"Hanu Yogan, kita cari si Gundik Sakti itu! Belum
puas hatiku jika si Gundik Sakti belum mati seperti para pengawalnya ini. Pasti
ia larikan diri dan masih berada di sekitar sini!" kata Dampak Yogan dengan mata
berbinar-binar penuh nafsu untuk membunuh.
"Kita menyebar, Dampak Yogan," ujar Hanu Yogan.
"Jangan bunuh dulu si Gundik Sakti jika salah satu dari kita menemukannya. Aku
sendiri belum puas jika belum ikut menghancurkan raga si Gundik Sakti itu. Rasa-
rasanya roh adik kita; Hutami Yogan yang dijadikan tumbal olehnya masih akan
menuntutku jika aku tidak ikut membantai perempuan keparat Itu!"
Suto berbisik kepada Rara Santika, "Ooo... rupanya mereka menaruh dendam kepada
Gundik Sakti, karena adik perempuan mereka yang bernama Hutami Yogan itu telah
dijadikan tumbal oleh si Gundik Sakti."
Bisikan itu tak mendapat balasan apa pun. Suto
Sinting curiga dan segera berpaling memandang ke arah kiri,
ternyata Rara Santika sudah tidak ada di sebelahnya. Suto terkejut dan kebingungan mencari dengan pandangan matanya.
"Rara..."!" panggilnya bernada bisik, tapi panggilan itu tak mendapat jawaban
dari Rara Santika. Hanya saja, tiba-tiba Pendekar Mabuk dikejutkan oleh suara
orang memekik tertahan dan suara gaduh dari kaki menghentak-hentak tanah.
"Aaaahhg...! Aaaahg...! Aaaahg...!"
"Dampak Yogan, ada apa" Kenapa kau, Dampak Yogan"!" suara sang adik berseru
penuh keheranan dan ketegangan.
Dampak Yogan ada yang mencekik, namun tidak
terlihat wujud lawannya. Tentu saja hal itu membingungkan Hanu Yogan. Sang adik menjadi
semakin tegang setelah
kejap berikutnya ternyata
Dampak Yogan roboh dan tak bernyawa lagi dalam
keadaan wajah membiru dan lidah terjulur.
"Dampak Yogan...! Dampak Yogaaan...!" teriak sang adik dengan sedih dan murka.
Pendekar Mabuk baru akan keluar dari persembunyiannya, namun
langkahnya itu terhenti dengan kejadian yang mengherankan lagi. Ia memandang bengong kepada Hanu Yogan yang tahu-
tahu tumbang dan menggelepar-gelepar tanpa bisa berteriak lagi. Kedua tangannya
memegangi leher, seakan ingin melepas sesuatu yang mencekik lehernya dengan
sangat kuat. Kejadian itu terjadi beberapa saat, karena Hanu Yogan berusaha
bertahan sekuat tenaga.
"Bagaimana aku harus membantunya" Aku pun tak melihat siapa orang yang mencekik
si Hanu Yogan itu?"
pikir Suto Sinting bingung sendiri. Akhirnya ia hanya bisa menyaksikan kematian
Hanu Yogan tanpa bisa berbuat sesuatu dari balik persembunyiannya.
"Benarkah si Gundik Sakti yang mencekik mereka, seperti para pengawal yang kalah
menghadapi Resi Pakar Pantun"!" pikir Suto Sinting begitu alam menjadi sunyi dan
lengang setelah Hanu Yogan hembuskan
napas terakhirnya.
"Ke mana tadi si Rara Santika" Mengapa ia tiba-tiba hilang" Apakah dia diculik
oleh Gundik Sakti"!"
Suto Sinting mulai melangkah pelan-pelan tinggalkan persembunyiannya.
Kewaspadaan ditingkatkan karena ia mulai sadar bahwa se bentar lagi akan


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhadapan dengan tokoh berilmu tinggi yang mampu membunuh lawan tanpa dapat
dilihat jasadnya.
"Oh, itu dia si Rara Santika"! Celaka! Jangan-jangan dia terkapar tak bernyawa
di se berang sana"!" ucap Suto Sinting bersuara lirih dengan nada tegang, ia
segera menghampiri Rara Santika yang terkapar di rerumputan dalam keadaan
tergolek tanpa bergerak. Perempuan itu ada di seberang sungai di atas tanah
berumput tipis, sehingga sosoknya dapat terlihat jelas dari tempat Suto berdiri.
"Siapa yang melemparkannya sampai ke sana"!"
gumam Suto dalam hatinya sambil melesat menyeberangi sungai dengan lompatan tampak ringan dari batu ke batu.
* * * 4 MENDUNG sore mulai hadirkan gerimis merintik ke bumi. Pendekar Mabuk sudah
berhasil sadarkan si cantik Rara Santika. T ernyata perempuan itu hanya pingsan
tanpa luka parah, ia segera siuman setelah Suto mengguncang-guncangkan tubuhnya
dan menampar-nampar pelan pipinya.
"Mengapa kau sampai terkapar di sini?"
"Seseorang yang tak kulihat telah melemparkan diriku dan, uuuuh...! T ulang
punggungku terasa patah.
Sakit sekali!" Rara Santika merintih pelan.
"Minumlah tuakku biar rasa sakitmu hilang."
"T ak usah," katanya pelan, ia berusaha bangkit dengan wajah menyeringai. Baru
setengah duduk sudah jatuh terkulai lagi.
"Aduuuh...!"
rintihnya lagi. "Rupanya beberapa uratku menjadi putus akibat jatuh terkapar di sini. Oooh..
tolonglah aku. Angkatlah aku ke tempat yang aman, Suto."
Pendekar Mabuk tak tega mendengar rintihan itu, ia segera mengangkat tubuh Rara
Santika yang berdada sekal dan montok itu. Ia membawanya ke suatu tempat yang
berpohon rindang. Saat itulah gerimis sore mulai turun membasahi bumi.
"Kita harus mencari tempat meneduh," kata Suto Sinting, tak jadi meletakkan
tubuh Rara Santika di bawah pohon rindang. Perempuan itu berkata dengan nada
masih menahan rasa sakit.
"Seingatku, di tepian sungai ini ada reruntuhan biara bekas milik Perguruan
Bangau Hitam yang telah hancur.
Kurasa di sana ada tempat untuk meneduh sementara, Suto. Bawalah aku ke sana!"
"Ke mana arahnya, aku tak tahu!"
"Berjalanlah ke arah hulu sungai, jangan ja uh dari tepiannya supaya kita tidak
tersesat ke dalam hutan.
Reruntuhan biara itu ada di tepian sungai ini."
Pendekar Mabuk tak banyak pertimbangan lagi,
segera bergerak ke arah hulu sungai. T ernyata reruntuhan bekas biara itu memang ada. Bangunan tersebut
sudah tampak tua, dinding dan lantainya
berlumut dan berwarna hitam. Atapnya sudah hancur, tampak hitam karena bekas
terbakar. Sekalipun biara itu telah runtuh dan porak poranda, namun agaknya ada tempat
yang bisa dipakai untuk berteduh. T empat itu adalah sebuah ruangan bawah tanah
yang mempunyai jalan masuk melalui halaman samping. Rara Santika yang
menunjukkan adanya
ruangan bawah tanah itu, sehingga Suto Sinting sempat curiga dan segera ajukan
tanya kepada perempuan cantik itu.
"Agaknya kau tahu persis tentang bangunan ini.
Apakah dulu kau pernah tinggal di biara ini?"
"Aku hanya pernah tersesat di daerah ini, lalu kutemukan bangunan ini dan
kupakai sebagai tempat bersembunyi dari kejaran lawanku."
Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-
manggut. Keadaan ruangan yang gelap menimbulkan rasa pengap dan sesak di
pernapasan., Suto Sinting terpaksa segera mencari kayu kering yang belum terkena
gerimis. Beberapa potong kayu papan dan dahan pohon kering masih bisa
diselamatkan untuk digunakan sebagai tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah menjadi terang setelah Suto nyalakan api unggun dengan
menggunakan dua batu marmer yang digesekkan dan menimbulkan percikan api yang
segera membakar rumput kering. Rumput itu
segera membakar batang-batang kayu atau apa saja yang dijadikan tumpukan api
unggun. Ruangan bawah tanah itu ternyata tidak sekotor
tempat lainnya. Lantai yang berubin itu tampak bersih pada
bagian tengah ruangan yang cukup lebar. Sepertinya tempat itu digunakan oleh seseorang sebagai tempat tinggal atau
persembunyian sementara. Itulah sebabnya Rara Santika tak keberatan ketika
tubuhnya dibaringkan di lantai tersebut.
"Lantainya cukup bersih, aku yakin ruangan ini ada penghuninya.
Hanya saja, mungkin sekarang penghuninya sedang pergi," kata Suto Sinting.
"Dugaanmu benar," kata Rara Santika sambil masih sesekali menahan rasa sakit
dengan menggigit bibir atau memejamkan
mata kuat-kuat. Ia berkata tanpa memandang Suto, melainkan menoleh ke kanan-kiri, memperhatikan keadaan ruangan
yang mirip tempat berlatih bagi para mantan murid Perguruan Bangau Hitam.
"Seorang temanku yang gemar berburu pernah menceritakan tempat ini. Katanya, ia
sering bermalam di sini jika seharian tak mendapatkan binatang buruannya.
Bahkan ia pun pernah membawa pasangan kencannya ke sini, karena menurutnya
tempat ini mudah menimbulkan gairah dan hasrat
untuk bercumbu dengan la wan
jenisnya. Dan... dan sekarang pun aku merasakan ada gelombang
udara yang mampu membangkitkan keindahan cinta dalam bayanganku. Apakah kau tak merasakannya, Suto?"
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis,
tangannya sibuk menatap susunan kayu agar api unggun tak menjadi padam.
Sekalipun gundukan api unggun itu sangat kecil, namun Suto akan sangat
menyayangkan jika harus padam. Karena nyala apinya sangat berguna bagi
penerangan. Gerimis yang mulai berubah menjadi hujan, dan hujan yang
menghembuskan udara dingin, ternyata dapat
diusir dengan kehangatan uap api
tersebut. "Minumlah tuakku supaya rasa sakitmu itu hilang dan kau menjadi sehat seperti
sediakala," bujuk Suto Sinting setelah ia sendiri meneguk tuaknya tiga kaii.
"Aku tidak doyan tuak. Biarlah rasa sakitku ini akan kusembuhkan sendiri dengan
hawa murniku," kata Rara Santika sambil merapikan sikap berbaringnya, karena ia
ingin menyalurkan hawa murninya ke seluruh tubuh.
"Jangan mengajakku bicara dulu," katanya lagi, kemudian ia segera pejamkan mata.
Kedua tangannya saling merapatkan telapak tangan di dada. Suto Sinting
membiarkan, hanya memandangi dengan seulas senyum kekaguman masih membias di
bibir. "Menggairahkan sekali dia," pikir Suto Sinting.
"Seolah-olah setiap lekuk tubuhnya menghadirkan daya pikat yang tinggi, membuat
alam pikiranku menjadi jorok! Untung aku masih ingat bahwa mempunyai calon istri
yang tak mungkin bisa kukhianati. Dyah Sariningrum, calon istriku itu, pasti akan mengetahui jika aku berbuat serong
dengan perempuan lain, karena di negerinya sana; Puri Gerbang Surga wi yang ada
di Pulau Serindu, ia selalu memantauku menggunakan teropong batinnya. Aku tak mau
mengecewakan hatinya dengan melakukan pergumulan bersama perempuan lain.
Aku tak mau menodai cintaku hanya karena kecantikan dan keelokan Rara Santika."
Benak boleh saja berpikiran seperti itu, tapi hati kecil Suto
dibuat gelisah oleh debar-debar keindahan manakala ia memandang kecantikan dan kemulusan
dada Rara Santika. Repotnya lagi, Suto mengalami kesulitan saat ingin palingkan
pandangan ke arah lain.
Rasa-rasanya lehernya tak bisa digerakkan untuk berpaling ke arah lain. Matanya tak bisa dikedipkan setelah beberapa saat
lamanya pandangi tubuh Rara Santika yang sedang berbaring tenang itu.
"Gawat! Kenapa aku jadi sukar berpaling ke arah lain" Hatiku tak mau diajak
untuk memandang tempat lain. Rasa-rasanya persendian di leherku terpaku mati dan
hasratku tercurah kepadanya."
Pendekar Mabuk masih jongkok di dekat api unggun kecil. Jarak api unggun dengan
tempat Rara Santika berbaring hanya tiga jangkah. T entu saja Suto dapat
memandang jelas kecantikan yang menggiurkan itu.
"Kurasa dia bukan perempuan sembarangan. Setidaknya keluarga seorang bangsawan atau saudagar kaya. T ubuh dan
kecantikannya sangat terawat. Kulitnya putih bersih, perhiasannya lengkap, jari-
jarinya lentik berkuku runcing rapi menandakan setiap hari terjaga perawatannya.
Belum lagi..., hei gelang itu"!"
Suto Sinting berkerut dahi menemukan kejanggalan
yang mengherankan. Jantung pun berdetak-detak ketika matanya memandang ke arah
gelang yang dikenakan tangan kanan Rara Santika.
"Gelang itu... oh, gelang itu bermata merah delima berbutir-butir. Bukankah
tangan yang kulihat terjulur dari dalam tandu hitam saat menyerahkan dan
menerima cawan tadi adalah tangan yang bergelang merah delima berbutir-butir"
Ya, aku yakin tangan itulah yang keluar dari tandu hitam saat meminta air kepada
pengawal"!"
Detak jantung Pendekar Mabuk semakin keras.
Keyakinannya tentang tangan bergelang merah delima itu membuat tubuhnya sedikit
gemetar dan napasnya mulai sesak karena desakan rasa kaget, ia buru-buru meneguk
tuaknya untuk menghilangkan ketegangan.
T ernyata setelah meneguk tuak, rasa tenang dikuasai kembali oleh Suto Sinting.
"Hmmm... ya, ya... sekarang aku tahu; Rara Santika itulah si Gundik Sakti. Saat
kedua orang kakak beradik mati tercekik, Rara Santika tidak ada di sampingku.
Setelah mereka mati, kulihat ia terkapar di seberang sungai. Kurasa ia tadi
berpura-pura pingsan, dan berpura-pura
lumpuh agar dapat kupeluk dalam gendongan. Hmmm... pancaran kecantikannya yang
begitu memikat hati itu bukan sekadar pancaran daya pikat perempuan biasa,
melainkan dibarengi kekuatan ilmu pemikatnya yang belum digunakan sepenuhnya."
Napas Pendekar Mabuk ditarik dalam-dalam. Pandangan matanya masih tertuju pada Rara Santika yang masih tetap berbaring
dengan kedua telapak tangan
saling merapat di dada.
"Ilmunya memang tinggi," ujar Suto, masih di dalam hatinya, "Ia dapat keluar
dari tandu tanpa kuketahui gerakannya, ia dapat pergi dari sampingku tanpa
kudengar suara gerakannya. Jika bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa
mengecohku dengan cara seperti itu. Kalau sudah begini, apa yang kulakukan
sekarang?"
Dalam diam otak Suto bekerja mencari cara terbaik yang harus dilakukan.
Pertimbangan demi pertimbangan dipikirkan masak-masak. Walau sebenarnya bisa
saja Suto membunuh Gundik Sakti saat itu juga, namun ia tak mau lakukan dengan
gegabah. Salah-salah serangannya akan membalik dan dirinya sendiri yang akan
terbunuh oleh kesaktian si Gundik Sakti.
"Sebaiknya kubiarkan diriku dibawanya ke Gua T umbal Perawan. Di sanalah saat
yang baik untuk menghancurkannya,
sekaligus menghancurkan para pengikutnya dan tempat sesat yang disebut desa Lambung Bumi itu. Selama ia belum memba waku ke sana, akan kudampingi terus
dirinya, sehingga aku dapat mengetahui
apa saja rencana sesat yang akan dilakukannya. Kurasa memang ada baiknya aku berlagak tidak mengetahui siapa
dirinya." Hujan semakin deras, malam pun hadir bersama
udara dingin dan angin menderu berganti-ganti arah.
T anpa disadari Suto Sinting tertidur di dekat perapian, ia bagai terkena sirep,
rasa kantuk datang begitu cepat dan sangat tiba-tiba. Tidurnya nyenyak sekali,
tak terganggu oleh suara dan gerakan apa pun.
Saat ia terbangun, ternyata hari sudah lewat dari pagi.


Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matahari telah pancarkan sinarnya dengan terang. Langit pun bersih tanpa mendung
segumpal pun. Dan sesuatu telah terjadi sangat mengejutkan hati si pemuda tampan
itu. Hampir saja Suto Sinting terpekik keras ketika ia menyadari dirinya dalam
keadaan tidak berbusana selembar
benang pun. Ia buru-buru bangkit dan merapatkan kedua kakinya dengan wajah tegang. Celana dan bajunya tergeletak di
lantai dalam jarak tiga jangkauan. Bumbung tuaknya ada di dekat pakaian
tersebut. "Celaka! Apa yang telah terjadi pada diriku"!
Mengapa aku jadi telanjang begini"
Siapa yang menelanjangiku?" pikir Suto sambil matanya diarahkan kepada Rara Santika.
Perempuan itu masih berbaring di tempatnya dalam keadaan kedua tangan masih
merapat di dada. Keadaan tubuhnya tak ada yang bergeser se dikit pun, jaraknya
pun masih tetap sama dengan saat dipandangi dan direnungi Suto kemarin petang.
"Rupanya ia tertidur nyenyak juga," ujar Suto membatin. "T api mengapa
pakaiannya masih utuh sedangkan pakaianku sudah mental ke sana" Kalau begitu
bukan dia yang menelanjangiku" Lantas siapa orang yang seusil dan seberani ini
padaku"!"
Pakaian segera diraih, lalu buru-buru dikenakan.
Karena terburu-buru, kedua kaki Suto sampai masuk dalam satu kaki celana,
sehingga ia sulit melangkah.
Dengan hati penuh gerutu keadaan itu dibetulkan, ia tak ingin Rara Santika
terbangun pada saat ia masih telanjang.
"Apa yang terjadi semalam pada diriku" Apakah aku diperkosa seseorang" Hmmm...
rasa-rasanya tak ada gerakan apa pun yang membangunkan tidurku" Mimpi bercumbu
pun tidak. Bahkan aku tidak tahu apakah semalam aku bermimpi atau tidak?"
Rara Santika terbangun ketika Pendekar Mabuk
selesai menenggak tuaknya tiga tegukan. Suto sempat menggeragap saat perempuan
cantik itu terbangun, namun buru-buru berhasil menenangkan diri dengan berlagak
sunggingkan senyum menawan sebagai senyum penyambut pagi.
"Badanku terasa enteng sekali," ujar Rara Santika sambil berdiri dan menggeliat
melepas kesegarannya
"Sudah tak merasa sakit lagi?"
"T idak," jawab Rara Santika. "Aku malah merasa lebih segar dari se belumnya.
Rupanya aku terlalu lama lakukan semadi penyembuhan, ya?"
"Semalaman aku terbaring di situ. Mungkin kau tertidur."
"Ya, memang tertidur. Biasanya tak sebegitu lama dalam melakukan penyembuhan."
"Apakah kau tak terbangun sedikit pun selama semalam?" tanya Suto menyelidik
secara halus. "Apakah kau melihat aku terbangun dari semadiku?"
Rara Santika ganti bertanya membuat Suto Sinting bingung menjawab. Yang
dilakukan hanya tersenyum
tipis dan mengalihkan pandangan matanya ke arah jalan keluar dari ruangan itu
yang diterobos pancaran sinar matahari.
Saat tangan Suto meraup wajahnya sendiri untuk
menyegarkan pandangan matanya, tiba-tiba ia mencium we wangian pada telapak tangannya. Wewangian itu serupa betul dengan wewangian
yang ada di tubuh Rara Santika. Pendekar Mabuk sembunyikan rasa curiganya, ia
sengaja keluar dari ruangan itu lebih dulu dengan langkah santai.
Sampai di luar ia mencium lengannya sendiri.
"Hmmm... lenganku berbau harum,
sama dengan keharuman yang menyebar dari tubuh Rara Santika?"
Suto masih penasaran,
ia segera jongkok dan mencium pahanya sendiri. Ada aroma wangi di balik kain celana putihnya yang
kusam itu. Wewangian itu juga sama dengan we wangian di tubuh Rara Santika.
Kecurigaan semakin besar dan hatinya kian gundah.
"Apakah ini bau keringat" Jika benar keharuman ini adalah keringat Rara Santika,
berarti semalam ia telah berhasil menggelutiku"!"
* * * 5 MENURUT Rara Santika, tak jauh dari tempat itu
ada sebuah desa. Di sana mereka bisa dapatkan makanan
sebagai pengisi perut. Suto Sinting segera mengajak Rara Santika untuk mencari
kedai di desa tersebut.
"Kau saja yang ke sana," ujar Rara Santika. "Aku menunggumu di sini. Ba walah
makanan kemari dan kita makan bersama di sini."
"Mengapa kau tak mau pergi ke desa itu" Mengapa harus menunggu di sini?" tanya
Suto bernada curiga.
Rara Santika tidak langsung menjawab, melainkan diam termenung beberapa saat.
Setelah Suto mengulangi pertanyaannya, perempuan cantik itu pun akhirnya
menjawab dengan suara lirih bernada duka, tubuhnya disandarkan di sebuah pohon
yang menjulang tinggi.
"Kehadiranku di desa itu hanya akan menimbulkan masalah."
"Masalah apa?" desak Suto semakin ingin tahu.
"Kesalahpahaman."
Perempuan itu menjawab pendek sambil menatap
bola mata Pendekar Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah itu membuat Suto dapat
rasakan getaran lembut pada setiap tatapan mata Rara Santika. Ia mencoba untuk
bertahan dengan tetap mengadu tatapan mata, sampai akhirnya Rara Santika
membuang pandangannya karena merasa tak sanggup beradu pandangan dengan Suto
terlalu lama. Pada saat itu, Suto memang lepaskan jurus
'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan jenisnya terpikat dan tak berdaya.
"Jika aku datang ke sebuah desa, pasti akan timbul pertarungan yang disebabkan
oleh salah paham mereka."
Suto berkata dalam hati, "Dia ingin mencari dalih
untuk hindari kecurigaanku. Hmmm... sebaiknya memang kupancing dengan meninggalkan dirinya sendirian di tempat ini!"
Kemudian Rara Santika hentikan ucapannya, Suto
Sinting buru-bur u berkata kepadanya,
"Kau tak akan pergi ke mana-mana jika kutinggal pergi mencari kedai?"
Rara Santika menggeleng tanpa mau memandang
Suto. "Akan kutunggu di sini sampai kapan pun. Sebelum kau datang aku tak akan pergi
dari sini."
"Baiklah, jika begitu aku harus pergi dan kembali secepatnya agar kau tak
terlalu lama menunggu," balas Suto seakan juga mempunyai kesetiaan.
"Semakin cepat kau datang semakin baik, Suto," ucap Rara Santika sambil
memandang sebentar, lalu buang muka lagi karena senyuman Suto mengguncangkan
hatinya cukup parah. Jurus 'Senyuman Iblis' akan melumpuhkan kekerasan hati
seorang wanita dan membakar gairah jika wanita itu tidak berilmu cukup tinggi. Agaknya Rara Santika
masih mampu menahan gejolak hati yang dibakar hasrat bercinta, dan itu berarti
ia mempunyai ilmu cukup tinggi.
Suto Sinting tidak benar-benar pergi ke desa untuk mencari kedai, ia hanya
memutar arah, lalu mengintai Rara Santika dari kejauhan. Perempuan itu tampak
mondar-mandir dengan gelisah di depan reruntuhan biara. Sesekali ia duduk
termenung, sesekali berdiri di tepian
sungai, melempar ranting-ranting kecil
ke permukaan air sungai.
"Dia tak pergi ke mana-mana?" kata Suto membatin.
"Padahal dia bisa saja lari dan meninggalkan diriku. Dia bisa saja pulang ke Gua
T umbal Perawan, lalu aku akan mengikutinya. T api kenapa hal itu tidak
dilakukannya"
Apakah ia sedang menunggu orang lain di tempat itu"
Atau... atau barangkali ia tahu kalau aku mengintipnya dari suatu tempat,
sehingga ia berlagak setia dalam penantian?"
Agaknya Pendekar Mabuk pun bertahan di tempat
persembunyiannya, ia sengaja membiarkan perempuan itu menunggu dengan
gelisah. Untuk membuang kegelisahannya, Rara Santika melatih gerakan-gerakan silatnya dengan kecepatan
tinggi. Suto Sinting justru semakin betah di balik pengintaiannya. Setiap jurus
dicatat dalam benak Suto dan dipelajari kelemahannya.
"Gerakannya sungguh cepat, hampir tak bisa kuikuti dengan pandangan mata," ujar
Suto dalam hatinya.
"Gerak tipuannya pun cukup bagus, mampu mengecohkan lawan selincah apa pun. Setiap gerakan mengandung gelombang tenaga
dalam yang membuat
pohon-pohon bergetar, semak-semak tersibak, dan daun-daun kering di sekitarnya
beterbangan. Kuakui ia mempunyai jurus-jurus yang hebat. Sukar dipatahkan
lawannya. Hmmm... jika nanti aku harus melawannya, harus kugunakan permainan
jarak jauh agar gerakannya tak mudah mengenaiku."
T iba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik semak. Sinar merah itu
berbentuk seperti lidah api yang
menghantam punggung Rara Santika. Wuuuusss...!
Pada saat itu, Rara Santika sedang lakukan gerak pengendalian napas karena ia
ingin menghentikan latihannya. Kedua kaki berdiri rapat dengan kedua tangan
terangkat ke atas dan diturunkan pelan-pelan dalam satu tarikan napas. Namun
sebelum kedua tangannya turun sampai ke bawah, ia terpaksa harus berputar arah dengan cepat
dan telapak tangan kirinya menghentak ke depan. Wuuut...!
Claaap...! Selarik sinar hijau muda terlepas dari telapak tangan kiri. Sinar hijau muda itu
Bangau Sakti 39 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Tangan Geledek 6
^