Pencarian

Istana Berdarah 3

Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah Bagian 3


menahannya" Bawalah
pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung Amuk, maka aku menahan niatmu
untuk membawanya
pergi." "Kau gila! Kau pikir mataku rabun"!"
"Matamu tidak rabun, Gagak Neraka, tapi pikiranmu yang sedikit rabun, karena kau
tidak bisa membedakan mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!"
"Kuhancurkan
mulutmu itu jika kau mencoba mengelabuiku sekali lagi, Pendekar Mabuk! Dia adalah Dadung Amuk! Hanya karena
dia terdampar saja, maka dia tidak membawa tambang saktinya, sehingga tidak
mirip Dadung Amuk! Tapi aku tahu persis gayanya, suaranya, wajahnya dan...."
"Dan kesaktiannya apakah sama" Tidak! Dadung Amuk mungkin orang sakti,
setidaknya punya ilmu kanuragan. Tapi dia tidak," sambil Suto Sinting menuding
Singo Bodong lagi. "Kalau dia punya kesaktian, punya ilmu kanuragan, dia pasti
akan melawan si Tengkorak Terbang atau orang-orang Istana Cambuk Biru lainnya.
Dia tidak akan tinggal diam, apalagi melihat kau bertarung dikeroyok dua orang,
tak mungkin Dadung Amuk akan tinggal diam. Pasti ikut turun tangan! Pasti dia
memberontak dan melawan saat kau menotok jalan darahnya!"
"Kau pintar bersilat lidah rupanya!"
"Tidak juga. Aku hanya mengingatkan kau, bahwa orang yang kau anggap Dadung Amuk
itu sebenarnya adalah
Singo Bodong! Karena itulah dia tidak mengenalimu!"
Sambil mata tetap layangkan pandang ke wajah
Pendekar Mabuk yang minum tuak seenaknya di
depannya, Gagak Neraka membatin sendiri di hatinya,
"Benarkah dia bukan Dadung Amuk" Ia memang tidak mengenaliku,
ia memang lemah dan tak mau membantuku menyerang kedua lawan tadi. Tapi, seluruh wujudnya adalah Dadung
Amuk! Ah, kurasa sang ketua lebih bisa mengenali apakah dia Dadung Amuk atau
bukan. Aku harus membawanya menghadap sang
ketua!" Setelah itu, Gagak Neraka berkata kepada Suto,
"Siapa pun dia, aku harus membawanya menghadap sang ketua!"
"Tidak perlu! Tinggalkan saja dia di sini bersamaku!"
"Kalau begitu keputusanmu, aku terpaksa mencabut nyawamu sekarang juga, Pendekar
Mabuk! Hiaaat...!"
Wuuut...! Sebuah sodokan pangkal telapak tangan dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk. Pada
waktu itu, Pendekar Mabuk sengaja tidak menangkisnya. Tapi ia gerakkan tangan
kirinya menghantam dada Gagak Neraka juga, sehingga dua pukulan itu sama-sama
mengenai pada sasarannya.
Plakkk...! Plakkk...!
Gagak Neraka tersentak mundur dua tindak, sedangkan murid sinting si Gila Tuak tetap di tempat.
Orang bermata bengis itu tersenyum lega setelah melihat hasil
adu kekuatan pukulan yang sama-sama menggunakan tangan kiri itu. Ia melihat bekas merah di dada Suto, sedangkan di
dadanya sendiri tak membekas warna merah sedikit pun.
"Minggirlah, Bocah Ingusan! Daripada nanti dadamu
kubuat jebol dengan pukulanku yang kedua. Baru satu kali pukulan saja dadamu
telah memerah begitu.
Lihatlah...!"
Suto memandang dadanya sendiri. Tapi ia tetap
sunggingkan senyum saat memandang ke arah lawan dan berkata,
"Benar, dadaku merah karena pukulanmu!"
"Tentu. Dan dadaku tidak menjadi merah sedikit pun.
Itu tandanya kekuatanmu belum seimbang dibanding kekuatanku!"
"Dadamu memang tidak memerah, Gagak Neraka, tapi bisakah kau melihat
punggungmu"!"
Gagak Neraka terkesiap, lalu alisnya mengernyit, ia merasakan ada rasa sakit di
punggungnya. Seperti rasa panas terbakar api. Dan ia pun mencium bau hangus,
seperti kain terbakar. Maka, cepat-cepat ia berusaha menengok ke belakang, dan
ternyata ada asap mengepul di bagian belakangnya, ia tarik ke depan bajunya,
oh... ternyata bolong karena hangus terbakar. Terbayang dalam benak Gagak Neraka,
pasti kulit punggungnya menjadi biru legam akibat pukulan lawannya tadi. Rasa
sakit makin memanas di kulitnya.
Rasa panas itu merayap ke hati, dan membuat Gagak Neraka makin menggeram
jengkel, lalu segera ia
lontarkan kemarahannya.
"Bangsat kau, Bocah Ingusan! Terimalah pukulan
'Ombak Racun'-ku ini, hiaaah...!"
Kedua tangan Gagak Neraka menjambak tubuh Suto
dari bawah ke atas secara bergantian. Gerakannya begitu
cepat, hingga terdengar bunyi: wuuugh...!
Wuuugh...! Tubuh Pendekar Mabuk hanya meliuk-liuk seperti
orang mabuk mau jatuh. Tapi jambakan tangan berjari bentuk cakar itu tidak satu
pun mengenai kulit tubuh Pendekar
Mabuk. Dengan cepat pula Suto menggerakkan bumbung bambu tempat tuak itu ke atas dalam sodokan yang kuat.
Duggh...! "Eehhg...!" Gagak Neraka terdongak kepalanya, dagunya yang panjang itu menjadi
sasaran bumbung tuak. Tangannya sempat terbentang karena sodokan tersebut.
Kakinya melangkah ke belakang satu tindak.
Dan, bumbung bambu itu segera berbalik arah menukik, lalu menyodok bagian perut
Gagak Neraka. Begggh...!
Sodokan kedua ini yang membuat tubuh Gagak
Neraka terlempar ke belakang dengan kedua kaki
mengambang tanah. Tubuh itu bagai diseruduk tiga ekor banteng. Terlempar cukup
jauh, ada sepuluh langkah.
Lalu, tubuh itu jatuh membentur dinding batu karang.
Breehhg...! "Hooek...!" Darah kental hitam kemerahan keluar dari mulut Gagak Neraka, ia
jatuh berlutut dan terbungkuk-bungkuk. Setelah beberapa saat darah keluar dari
mulutnya, Gagak Neraka mencoba untuk bangkit dengan mata sayu dan wajah pucat
pasi. Tapi agaknya ia tak mampu lagi berdiri, ia melangkah dengan sempoyongan
dan akhirnya jatuh lagi.
Singo Bodong terbengong-bengong melihat kejadian
itu. Mata melebar, mulut melompong mirip sapi
ompong. Waktu Suto mendekatinya, Singo Bodong
masih tak sadar dari kebengongannya. Karena menurut penglihatannya, Suto
menyodokkan bumbung tuaknya tidak dengan tenaga kuat, hanya cepat. Tapi mengapa
bisa membuat tubuh Gagak Neraka yang tergolong besar bisa tersentak terbang
sejauh itu" Tentu saja jika tidak disertai tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin
tubuh Gagak Neraka jadi seperti itu.
"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan"! Kau mirip sekali dengan orang yang
bernama Dadung Amuk!" kata Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar!
Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"
"Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya, dan ada hubungan apa
denganmu!"
"Hei, Suto... lihat, orang itu mampu berdiri dan melarikan diri dengan cepat!"
"Biarkan!" jawab Pendekar Mabuk melihat Gagak Neraka melarikan diri menyusuri
pantai, mungkin ia menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau itu.
Tetapi, pada saat itu Suto melihat Cempaka Ungu mengejar Gagak Neraka dengan
cepat pula. "Ratu, tahan dia!" seru Suto. "Gagak Neraka masih punya kekuatan simpanan!
Berbahaya jika dilepaskan kepada anak gadismu!"
"Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu keras, tapi membuat Cempaka
Ungu berhenti dan
menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak
kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara yang biasa digunakan Ratu
Pekat untuk memanggil anak-anaknya yang ingin nekat membandel. Gelombang tenaga
dalam dikirimkan melalui suaranya, yang bisa membuat telinga anak itu sakit,
lalu berhenti berlari.
Kejap berikutnya sembuh kembali. Dan biasanya,
Cempaka Ungu selalu cemberut jika habis dipanggil dengan cara seperti itu.
"Ibu mengapa melarangku mengejar si jahanam itu"!"
"Pendekar Mabuk yang menyuruhku!"
"Mengapa Ibu mau disuruh dia"! Ibu penguasa di sini!" sentak Cempaka Ungu dengan
hati dongkol. "Jangan salahkan Ibu, salahkanlah pemuda itu!"
Wajah ketus karena marah tak terlampiaskan itu
menatap Suto. Dengan geram ia ucapkan kata,
"Lancang sekali mulutmu, berani memberi perintah kepada ibuku! Tidak tahukah kau
bahwa dia adalah seorang Ratu yang dihormati di sini"!"
Suto tidak menjawab, sepertinya mengacuhkan kata-kata Cempaka Ungu. Pendekar
Mabuk bahkan berkata kepada Ratu Pekat,
"Dua orangmu dalam keadaan parah, Ratu. Lukanya makin lebar. Kalau kau izinkan,
mereka akan kubawa ke istanamu!"
"Lakukanlah jika kau sanggup mengobatinya!"
Suto berpaling kepada Singo Bodong dan berkata,
"Bantu aku membawa dua orang ini, Singo!"
Singo Bodong mengangguk. Cepat-cepat ia mengangkat orang yang paling ringan bebannya, yaitu
Tengkorak Terbang. Tubuh bertulang-belulang nyaris tanpa daging itu jelas lebih
enteng daripada si Mata Elang.
Ketika Suto ingin mengangkat si Mata Elang yang lukanya sudah hampir melingkari
bagian dada sampai ke punggung, tiba-tiba Ratu Pekat berkata, "Biar aku yang
membawanya!" Rasa sayang kepada si Mata Elang, yang setiap saat tampil sebagai
pengawal sekaligus pemuas gairahnya, Ratu Pekat tak segan-segan mengangkat tubuh
si Mata Elang. Dengan ringan sekali ia mengangkat tubuh kekar itu, dan membawanya lari dengan tenaga peringan tubuh
yang cukup tinggi.
Cempaka Ungu tertinggal gerakan ibunya, ia memandang Suto dengan angkuh. Suto tersenyum dan ingin mengajaknya pergi
bersama, tapi Cempaka Ungu berkelebat meninggalkan Suto lebih cepat. Suto makin
lebarkan senyum dan perdengarkan tawa rendahnya.
Alangkah terkejutnya Cempaka Ungu ketika tiba di pintu gerbang, ternyata Suto
sudah berdiri di depan pintu gerbang itu. Cempaka Ungu hanya membantin.
"Gila sekali gerakannya. Tadi kutinggalkan dengan kecepatan lari begitu tinggi,
ternyata dia sudah sampai di sini lebih dulu!"
Cempaka Ungu tidak menyapa sedikit pun ketika
melintas di depan Pendekar Mabuk, ia tetap pasang wajah cemberut dan angkuh.
Tetapi ketika ia hendak menaiki tangga serambi istana, ia jadi terkejut lagi,
karena ternyata Suto sudah ada di depan langkahnya, seakan sengaja menunggunya
lewat. "Aku tidak tertarik dengan permainanmu!" ucap Cempaka Ungu dengan sedikit
sipitkan matanya. Dan Suto hanya tertawa pelan.
Hanya dengan beberapa teguk tuak yang diminumkan kepada Tengkorak Terbang dan si
Mata Elang, luka-luka itu segera mengering, walaupun tidak hilang dalam sekejap
waktu. Tetapi, racun yang merayap dan
mengganas di tubuh mereka telah mati. Tinggal
menunggu luka itu kering beberapa waktu lagi.
"Jika kau tak keberatan, sudilah kiranya kau perkenalkan dirimu yang telah menolongku," ujar Ratu Pekat.
"Aku tidak menolongmu!" kata Suto. "Aku hanya ingin menyelamatkan temanku yang
bernama Singo Bodong itu!"
"Apakah dia bukan Dadung Amuk?"
"Bukan! Dia termasuk salah satu keajaiban alam!
Tidak punya saudara lelaki, tidak punya saudara kembar, tapi punya wajah dan
potongan tubuh yang mirip dengan orang lain, yaitu Dadung Amuk! Tapi, nasibnya
tidak cerah. Dia selalu menjadi bahan pelampiasan dendam atau kemarahan orang
yang merasa dirugikan oleh ulah si Dadung Amuk!"
"Tadi dari mana Gagak Neraka bisa mengetahui dia ada di sini" Dan membantai
habis orang-orangku, sehingga tinggal lima orang. Kurasa Dadung Amuk yang datang
bersama Gagak Neraka!"
"Tidak begitu, Nyai!" tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah luar. Orang
itu berlari-lari kecil
dengan gerakan kerdilnya. Orang itu tak lain adalah Dewa Racun.
Ratu Pekat terperanjat dan nyaris melemparkan
kemarahan kepada Dewa Racun yang dianggap musuh olehnya. Tetapi ketika ia dan
anaknya ingin bergerak menyerang Dewa Racun, Suto cepat ucapkan kata,
"Dia temanku!"
Mendengar kalimat itu Ratu Pekat dan anaknya
segera menahan gerakan berikutnya. Mereka sama-sama memandang wajah Suto, dan
Suto pun hanya tersenyum tenang, ia bahkan membuka bumbung tuaknya lagi, dan
menenggaknya beberapa teguk.


Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi kau orang Pulau Serindu?" tanya Ratu Pekat.
"Belum," jawab Suto. "Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi orang Pulau
Serindu. Tapi yang jelas, hilangkan dulu sikap permusuhanmu dengan Dewa
Racun. Ada sesuatu yang menarik didengar dari kata-katanya tadi." Suto memandang
Dewa Racun dan berkata, "Teruskan ucapanmu tadi, Dewa Racun!"
"Kurasa di sini ada seorang mata-mata kiriman dari Siluman Tujuh Nyawa!"
"Dari mana kau tahu"!" tanya Ratu Pekat kepada Dewa Racun.
"Singo Bodong mirip Dadung Amuk. Singo Bodong terdampar di pulau ini bersama
aku, dan juga Pendekar Mabuk ini, Nyai. Kami terdampar dalam keadaan saling
terpisah. Lalu, tiba-tiba Singo Bodong mau digantung, karena disangka Dadung
Amuk. Tiba-tiba pula, Gagak Neraka datang mau menyelamatkan Singo Bodong. Jelas
ada orang yang salah duga, menyangka Dadung Amuk mau digantung, maka dia segera
kirimkan berita kepada Siluman Tujuh Nyawa dengan caranya sendiri. Mungkin
dengan hubungan batin dia bicara kepada Siluman Tujuh Nyawa. Lalu, Durmala Sanca
itu mengirimkan Gagak Neraka kemari. Masalahnya sekarang, siapa orang-orangmu
yang ternyata adalah orang susupan yang menjadi mata-matanya Siluman Tujuh
Nyawa?" * * * 8 SUTO Sinting, murid si Gila Tuak, membenarkan
dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang
memberitahukan adanya tawanan yang akan dihukum gantung, tak mungkin Gagak
Neraka datang ke Pulau Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin
Jantan. Anehnya Ratu Pekat kurang tertarik dengan dugaan Dewa Racun itu.
Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat, Pendekar Mabuk sempat
terpikir apa sebab Ratu Pekat tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena
pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa
Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu Ratu Pekat membantah
dengan suara keras.
"Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang berjiwa pengkhianat! Jangan kau
menebar racun lewat mulutmu, Kerdil!"
"Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan menyanggah pendapatku, Nyai!
Tapi kalau kau seorang Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu
sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.
Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan pandangan kepada Dewa Racun.
Anak gadisnya pun
tampak siap melakukan gerakan yang membahayakan jika ibunya memberi perintah
sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk melihat ketegangan itu dapat menjadikan satu
bentrokan tersendiri antara Dewa Racun dengan Ratu Pekat
Maka, cepat-cepat Suto mengambil alih pembicaraan pada waktu itu,
"Sebaiknya tak perlu dipikirkan dulu hal itu. Agaknya untuk membuktikan ada dan
tidaknya pengkhianat di dalam
istana ini, dibutuhkan waktu untuk membuktikannya. Dan... kami tidak punya banyak
waktu, Ratu Pekat. Jadi, masalah ini kembali kuserahkan padamu! Keperluanku
hanya menolong Singo Bodong saja. Tidak ikut campur dalam urusan kekuasaanmu di
pulau ini!"
Kata-kata itu ternyata memang meredakan ketegangan tersebut. Ratu Pekat segera tarik napas dalam-dalam, meredam gemuruh
di dalam dadanya.
Setelah itu ia berkata kepada Pendekar Mabuk, "Apa yang bisa kubantu untuk
kalian?" "Aku butuh sebuah perahu untuk melanjutkan perjalananku," jawab Suto Sinting.
"Aku akan siapkan," kata Ratu Pekat. "Tapi haruskah kalian berangkat sekarang
juga?" Cempaka Ungu segera angkat bicara, "Hanya manusia bodoh yang mau mengawali perjalanan lautnya pada petang hari!"
Entah kepada siapa kata-kata ketus itu ditujukan, karena wajah cantik berkesan
judes itu memandang ke arah luar istana. Pendekar Mabuk hanya berkata kepada
Ratu Pekat. "Agaknya memang kami harus berangkat petang ini juga. Sebab kami tak punya
saudara untuk menumpang bermalam di pulau ini."
Ratu Pekat berkata. "Kurasa istanaku ini cukup luas dan lebar. Ada dua kamar
yang bisa kalian pakai, dan dua kamar itu memang kusediakan untuk tamu yang
datang dan bermalam di istanaku. Jika kau tidak keberatan, kusuruh pelayanku
menyiapkan dua kamar itu!"
Tetapi Cempaka Ungu berkata, "Pelayan kita sudah ikut mati terkena racun Angin
Jantan, Ibu! Kalau memang dia mau bermalam dan menggunakan kamar
itu, biar dia sendiri yang membereskannya."
"Cempaka, tak boleh kau bicara begitu kepada sang penolong kita."
"Aku tidak merasa ditolong olehnya"! Aku merasa mampu menumbangkan Gagak Neraka!
Hanya secara kebetulan saja dia punya urusan pribadi dengan Gagak Neraka, yaitu menyelamatkan
si raksasa bodoh itu, sehingga sepertinya dia ada di pihak kita!"
"Tutup mulutmu, Cempaka!" sentak ibunya dengan wibawa. Cempaka Ungu pun tak
berani bicara apa-apa
lagi, hanya cemberut dan mendengus kesal. Wajahnya kembali dipalingkan ke luar.
"Gadis ini lucu," pikir Pendekar Mabuk saat itu.
"Sejak tadi ia bersikap bermusuhan padaku, tapi ia bermaksud
menahanku agar tidak lekas-lekas meninggalkan pulau ini. Gadis seusia dia memang sering bersikap
aneh jika sedang punya maksud yang tersembunyi di dalam hatinya. Ah, persetanlah! Biar saja ia bertingkah dengan
pribadinya sendiri...!"
Malam direnggut sepi. Samar-samar suara ombak
terdengar dari kejauhan. Heningnya malam itu justru membuat Pendekar Mabuk
gelisah karena kecamuk di dalam hatinya. Terbayang wajah yang muncul di alam
semadinya dan di alam mimpi-mimpinya. Wajah itu milik seorang perempuan cantik
yang ternyata adik dari Betari Ayu, yaitu Dyah Sariningrum.
Pendekar Mabuk bagai tak sabar lagi, ingin segera bertemu dengan ratu penguasa
Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Berapa jauh lagi Pulau Serindu dari Pulau
Beliung itu, Pendekar Mabuk tak tahu pasti. Tapi Dewa Racun pasti mengetahuinya,
karena memang ia datang khusus untuk menjemput Pendekar Mabuk atas perintah nyai
gustinya. Di kamar itu, Pendekar Mabuk sendirian. Justru
dalam kesendiriannya itu ia menjadi tak bisa tidur, karena tak ada teman berbagi
rasa. Sebab itulah Pendekar Mabuk segera keluar dan masuk ke kamar Dewa Racun.
Ternyata Dewa Racun juga belum tidur, ia habis
melakukan semadi sebagai pengasah ilmu- ilmunya. "Dia sudah tidur?" tanya Suto sambil menunjuk Singo Bodong yang meringkuk di
atas pembaringan empuk.
"Kalau sudah tidur tentunya istana ini bergetar,"
jawab Dewa Racun, dan Suto tersenyum, ia ingat
kebiasaan aneh Singo Bodong, yaitu jika tidur mendengkur dan jika mendengkur seisi rumah menjadi bergetar.
"Singo Bodong!" panggil Pendekar Mabuk.
Singo Bodong bergegas bangun. "Kau membutuhkan bantuanku, Pendekar Mabuk?"
"Aku mau jalan-jalan keluar sebentar. Cari angin!
Kau tidur saja di kamarku sana! Lega dan lebih nyaman tempatnya."
"Baik. Tapi, kapan kau ingin mengajarkan ilmu-ilmumu kepadaku, Pendekar Mabuk?"
"Kalau sudah tiba waktunya!" jawab Suto sambil tersenyum. Kemudian ia menepuk
punggung Singo Bodong yang melintas di depannya, lalu pindah ke kamar Suto.
"Kau ingin ikut jalan-jalan keluar, Dewa Racun?"
"Ada yang ingin kukerjakan. Pergilah dulu, nanti aku menyusul."
Di dalam kamar Pendekar Mabuk, Singo Bodong
merasa girang melihat tempat tidur yang lebih lebar dari tempat tidur yang ada
di kamar sebelah tadi. Selimutnya juga tebal dan lebar. Dua obor yang ada di
satu sisi dinding itu menjadi penerang ruangan yang bersih dan lebih berkesan
bagus segala perabotnya. Singo Bodong
tersenyum-senyum,
akhirnya menguap sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Oohaaaaem...!"
Blapp...! Tiba-tiba kedua obor itu padam apinya.
Singo Bodong bingung mendapatkan kamar menjadi
gelap. Hanya terkena hembusan napas menguapnya saja, kedua obor itu bisa padam
apinya. Singo Bodong heran setengah mati. Biasanya ia menguap sampai berkali-
kali, nyala api lilin pun tak akan bisa padam. Kenapa sekarang nyala dua obor
berukuran besar itu bisa padam dengan satu hembusan napasnya.
"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh Pendekar Mabuk, sehingga ada ilmunya
yang masuk ke tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan menguapku?"
pikir Singo Bodong sambil meraba-raba dalam kegelapan
menuju pembaringan. Begitu ia temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar.
"Jika benar Pendekar Mabuk menyalurkan salah satu ilmunya ke tubuhku melalui
tepukan punggung tadi, oh...
alangkah hebatnya dia" Alangkah mujurnya nasibku" Paling tidak aku bisa melawan orang yang ingin mempermainkan aku dengan
hembusan napasku!"
Sekalipun selimut pembalut dingin sudah membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum terpicing tidur. Hatinya
masih berdebar-debar indah membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala api
obor itu. Sambil melangkah di pantai, Pendekar Mabuk
membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi
sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat dia diseret ke sana-
sini pada saat mau digantung. Jika dia punya sedikit isi, paling tidak ia tidak
menjadi bulan-bulanan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya."
Gemuruh ombak tak begitu menderu. Itu pertanda tak ada badai di tengah lautan.
Suto berhenti memandang lautan dalam sisa sinar rembulan yang kian redup dari
harinya itu. "Aku ingin memandang ke arah Pulau Serindu,"
pikirnya. "Tapi ke mana arahnya jika dari pantai sini"
Sayang sekali aku tidak tahu arah Pulau Serindu, sehingga aku tidak bisa menatap
ke arah calon istriku; Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati."
Tiba-tiba Suto terpaksa harus melompat ke balik bebatuan, ia melihat seorang
prajurit melangkah dengan terburu-buru dari arah kegelapan. Prajurit itu
mendekati sebuah batu tinggi, dan naik ke atasnya dengan satu kali hentakkan
kaki. Prajurit itu melepaskan baju rompinya yang menjadi seragam orang-orang istana.
Seragam itu menunjukkan jabatannya sebagai prajurit pengawal khusus yang
mendampingi Ratu Pekat jika pergi ke mana-mana.
Menurut cerita Dewa Racun, Ratu Pekat selalu didampingi enam prajurit pengawal yang menjaga
depan, belakang, dan samping kanan-kiri, di samping itu juga pengawal pribadinya
yang berjuluk si Mata Elang.
Melihat prajurit yang satu ini membuka baju
rompinya sambil berdiri di atas batu tinggi, Suto jadi curiga dan semakin ingin
tahu. Ia bergerak mendekat,
dari tempat bersembunyi yang satu pindah ke yang satunya lagi. Makin dekat makin
jelas wajah dan potongan tubuh prajurit itu.
"Mau apa dia berdiri di atas batu itu?" pikir Pendekar Mabuk dengan mata sedikit
menyipit, memperjelas penglihatannya. Hatinya tetap memancarkan kecurigaan yang
aneh terhadap prajurit bersenjatakan tombak itu.
Saat ia ada di atas, tombaknya diletakkan di dinding batu. Sebenarnya Pendekar
Mabuk bisa saja menyambar tombak itu, tapi untuk apa" Ia tak mau lakukan sesuatu
yang tanpa arti.
Prajurit itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan
gerakan pelan dan
sepertinya disertai dengan mengerasnya urat. Kaki kirinya diangkat sampai
telapak kakinya itu merapat di samping tumit kanan, lutut yang terangkat itu
menjorok maju ke depan. Lalu, kedua tangannya yang merentang bergerak pelan-
pelan ke atas kepala.
Sampai di atas kepala, kedua tangan itu merapat, tetapi hanya jari telunjuk dan
ibu jarinya yang saling bertemu merapat, hingga membentuk satu lubang di antara
pertemuan jari-jari itu. Tangan yang tegak lurus ke atas itu tiba-tiba


Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memancarkan sinar merah ke kuning-kuningan dari ujung jari telunjuk yang saling
bertemu itu. Sinar merah tersebut melesat tinggi sebesar lidi, panjang hingga
tak terbatas sampai di mana ujungnya.
Angin laut berhembus, membawa suara yang terucap dari mulut prajurit itu sampai
ke telinga Pendekar
Mabuk. Awalnya Pendekar Mabuk bingung dengan
bahasa-bahasa aneh yang diucapkan prajurit itu. Seperti bahasa mantera sebuah
ilmu. Tapi setelah itu, Pendekar Mabuk
mendengar kalimat yang bisa dimengerti bahasanya. "Kekuatan melemah. Istana bebas terkuasai. Segera tumbuhkan api membakar
ilalangnya. Segera tumbuhkan api membakar ilalangnya...."
Suto membatin, "Apa yang dimaksud kata-kata itu"
Sepertinya ia memanggil seseorang atau menghubungi seseorang melalui kekuatan
batinnya. O, dia punya tato di bawah ketiak kirinya?"
Mata Suto bertambah menyipit untuk mempertegas
gambar tato yang ada di bawah ketiak orang itu.
Ternyata tato itu bergambar tengkorak manusia dengan tujuh mata rantai yang
mengelilingi bagian atas kepala tengkorak sampai bagian samping. Pada bagian
bawah tengkorak itu kosong tanpa tulisan atau gambar apa pun.
Suto membatin lagi, "Apa arti tato itu" Atau hanya sebagai seni semata"
Tengkorak..." Apakah dia punya hubungan
dengan Tengkorak Terbang" Lalu apa maksudnya dia melakukan hal itu" Dia berhubungan dengan seseorang dan seseorang
itu adalah Tengkorak Terbang?"
Prajurit itu cepat tinggalkan tempat tersebut tanpa merasa diintai oleh sepasang
mata dari balik celah bebatuan
karang. Pendekar Mabuk pun bergegas mengejarnya. Tapi di perjalanan ia berhenti dan membatin,
"Tak perlu! Tak perlu kukejar, toh aku tahu ke mana larinya. Pasti ke istana.
Tapi... kenapa hatiku jadi tak enak setelah melihat apa yang dilakukan oleh
prajurit itu" Naluriku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi di pulau ini.
Entah apa wujudnya!"
Langkah Pendekar Mabuk santai-santai saja ketika mendekati istana, ia tak tahu bahwa di istana ada satu kejadian
kecil yang menggelikan.
Diam-diam Cempaka Ungu rupanya tertarik kepada
Pendekar Mabuk, tapi malu terlihat di depan mata ibunya. Karena itu, Cempaka
Ungu memanfaatkan
malam yang sepi, di mana penghuni istana sebagian besar telah tertidur dengan
nyenyaknya. Cempaka Ungu menyusup masuk ke kamar Suto yang ternyata gelap itu.
"Kebetulan ia matikan lampunya!" pikir Cempaka Ungu. Karena ia sering keluar-
masuk di kamar itu, jadi ia tahu betul di mana letak ranjang walau dalam keadaan
gelap, ia bersuara membisik,
"Pendekar Mabuk...! Pendekar Mabuk...! Sudah tidurkah kau?"
Tak ada jawaban. Cempaka Ungu menduga Suto
sudah tertidur nyenyak. Dengan langkah sangat hati-hati ia semakin mendekati
ranjang. Di ranjang itu, Singo Bodong sebenarnya belum tidur. Tapi karena gelap,
dan mendengar suara perempuan, Singo Bodong tak berani bergerak sedikit pun. Ia
sangat ketakutan.
"Pendekar Mabuk... bangunlah sebentar, aku ingin bicara denganmu," seru Cempaka
Ungu dalam bisik
mendesah, ia pegang kaki orang yang tidur di balik selimut tebal itu. Ia remas
beberapa saat dengan hati berdebar-debar.
"Pendekar Mabuk, bangunlah sebentar. Sebentar saja.
Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi siang, dan... dan... oh,
bangunlah sebentar, Pendekar Mabuk...."
Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam
selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan itu terasa meresap sampai di
hatinya dan membuat hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap kaki
itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis dari mulutnya.
"Kakimu dingin sekali, Pendekar Mabuk... Boleh kuhangatkan?"
Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya meringkuk itu. Cempaka Ungu
semakin berdesir-desir.
Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap pekat yang terjadi di
kamar itu membuat Cempaka Ungu tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang
yang disangkanya Suto Sinting itu.
"Pendekar Mabuk, bisakah kau mendengar suaraku, hmm..."! Jangan kau anggap
sikapku sejahat itu padamu.
Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik padamu. Aku tahu kau
tersinggung dan marah padaku.
Tapi tak bisakah kau bicara sepatah kata pun untuk memaafkan aku, Pendekar
Mabuk...?"
Usapan-usapan tangan Cempaka Ungu semakin
lembut. Tapi sentuhan jemarinya di rambut atau di
kening orang yang diusapnya, terasa menambah mekar bunga-bunga di hatinya.
"Kumohon kau mau tinggal di sini sampai beberapa waktu, Pendekar Mabuk. Jangan
lekas-lekas pulang.
Dan, biarkan aku bersikap ketus kepadamu bila di luaran, tapi sesungguhnya itu
hanya suatu kedok saja.
Aku sangat kagum padamu, Pendekar Mabuk. Sungguh kagum
dengan jurus-jurusmu itu. Maukah kau mengajariku untuk mempermainkan bumbung tuak" Oh, ya... Ibu masih mempunyai
simpanan tuak khusus untuk para tamu. Kau mau, Pendekar Mabuk" Hmmm...
bagaimana kalau malam ini kita hangatkan diri dengan minum tuak" Aku juga doyan
minum tuak," Cempaka Ungu mengikik tertahan. Tangannya mengusap-usap kepala dan
kening orang yang tidur meringkuk itu.
Makin lama ia merasakan semakin basah tangannya.
"Oh, kau mengeluarkan keringat dingin, Pendekar Mabuk" Aha... itu tandanya kau
takut menghadapiku.
Tapi, supaya kau tidak grogi, sebaiknya kuambilkan tuak untukmu. Kita minum
bersama di kamar ini, tapi jangan sampai ada yang tahu. Setuju"!"
Singo Bodong semakin tak bisa berucap kata apa pun.
Seumur-umur baru sekarang ia diusap-usap dengan mesra oleh seorang gadis cantik
yang terbayang jelas dalam ingatannya. Kecantikan itu pernah menimbulkan rasa
berdesir di hati Singo Bodong, tetapi segera sirna sejak
ia tahu perempuan itu bernafsu untuk membunuhnya. Cempaka Ungu sadar bahwa orang yang dianggap
Pendekar Mabuk itu sebenarnya belum tidur. Jika sejak tadi ia tidak mendapat
jawaban dan tanggapan apa pun, itu lantaran hati Pendekar Mabuk masih dongkol
terhadap sikap ketusnya. Cempaka Ungu memakluminya. Tapi ia yakin, setelah ia datang bersama seguci tuak, pasti
Pendekar Mabuk itu akan luluh dari kedongkolan hatinya.
Cempaka Ungu keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat Suto sedang
melangkah menuju kamarnya dan terkesiap
juga memandang kemunculan seorang perempuan dari dalam kamarnya,
"Cempaka...?" tegurnya dengan heran.
Cempaka merah mukanya. Gemetar sekujur tubuhnya. Yang ada dalam otaknya adalah sebuah
pertanyaan besar, "Lantas siapa orang yang kuusap-usap dengan mesra tadi" Aduh,
mati aku!" Wajah pucat dan sesekali semburat merah itu tak berani terlalu lama
berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Rasa malunya
begitu besar dan membakar kulit wajah. Cempaka Ungu cepat tinggalkan tempat
dengan kepala menunduk malu.
Tetapi hati Suto menjadi resah dan curiga, ia segera masuk ke kamarnya, karena
menyangka telah terjadi sesuatu terhadap diri Singo Bodong, ia ingat, bahwa
Cempaka Ungu masih punya kebencian kepada Singo Bodong dan menyangka Singo
Bodong adalah adik
kembar Dadung Amuk. Pendekar Mabuk juga ingat
bahwa Cempaka Ungu bernafsu sekali ingin menggantung Singo Bodong.
Pintu kamar itu dibuka dengan kasar oleh Suto.
Melihat keadaan gelap, Suto menyangka itu ulah
Cempaka Ungu yang ingin membunuh Singo Bodong.
Seketika itu, Pendekar Mabuk berseru keras, "Singo..."!
Singo Bodong!!" Suara keras membangunkan Dewa Racun yang hampir tertidur, ia
segera melompat keluar dari kamar dan menuju ke kamar sebelah. Dari pintu yang
terbuka, Dewa Racun berseru,
"Ada apa, Pendekar Mabuk..."!" Suara keras Dewa Racun juga membangunkan Ratu
Pekat yang segera
bergegas ke kamar Pendekar Mabuk. Ratu Pekat pun berseru,
"Apa yang terjadi"! Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk..."!"
Kamar gelap. Pendekar Mabuk ada di dalamnya.
Singo Bodong makin ketakutan melihat banyak yang datang, ia diam saja, bagaikan
kelu lidahnya tak mampu berucap kata.
* * * 9 PAGI yang cerah. Perahu sudah disiapkan oleh
orang-orangnya Ratu Pekat. Kalau saja Suto mau, mereka sudah bisa bertolak dari
Pulau Beliung di pagi itu. Apalagi perahu yang disiapkan lebih besar dari
perahunya yang pecah dihantam ombak tempo hari.
Perbekalan pun disiapkan di dalam perahu itu, termasuk
dua guci tuak yang paling enak.
Tetapi, Pendekar Mabuk berkata lain kepada Ratu Pekat, "Aku tidak jadi berangkat
hari ini!"
Kata-kata itu tidak mengejutkan Ratu Pekat, tapi membuat Dewa Racun dan Singo
Bodong terperanjat.
Mereka sama-sama memandang Pendekar Mabuk, hanya Suto tidak peduli dengan sikap
memandang mereka.
Suto memandangi wajah-wajah mereka yang ada di
depannya, yaitu wajah Ratu Pekat, Cempaka Ungu, si Mata Elang dan terakhir
Tengkorak Terbang. Luka-luka kedua orang itu telah mengering, dan kesehatannya
memulih berkat pengobatan sederhana yang punya
kekuatan besar. Hasil pengobatan itu membuat hati orang-orangnya Ratu Pekat
menjadi salut dan hormat kepada Suto Sinting.
"Kalau boleh aku tahu," kata Ratu Pekat. "Apa yang membuatmu
menangguhkan keberangkatan kalian, Pendekar Mabuk?"
"Apakah kau keberatan aku menunda keberangkatanku?" Pendekar Mabuk ganti bertanya kepada Ratu Pekat.
"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi aku ingin tahu.
Apakah karena persoalan tadi malam di kamarmu?"
"O, bukan karena itu! Itu hanya sebuah mimpi Singo Bodong yang tiba-tiba menjadi
ketakutan karena cahaya api di dalam kamar padam dengan sendirinya."
Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya kepada
Suto ia ceritakan semuanya secara bisik-bisik, tapi Suto pun tidak ingin
mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan
cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka Ungu
merasa bersyukur, bahwa cerita tentang kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya, atau oleh Tengkorak Terbang
maupun si Mata Elang.
"Sebelumnya
aku ingin bertanya,"
kata Suto. "Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui simbol atau lambang yang
menjadi kebanggaan Siluman Tujuh Nyawa itu?"
Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal sekutunya Siluman Tujuh Nyawa
selalu memakai bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh mata
rantai melingkarinya. Tengkorak itu melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu melambangkan tujuh nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu membahas soal lambang yang
menjadi kebanggaan dia!
Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu, Pendekar Mabuk, mengapa


Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau menanyakan lambang
tersebut?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa lambang
tengkorak dengan tujuh mata rantai itu bukan milik Tengkorak Terbang."
Tengkorak Terbang tertawa dengan suara lengkingnya, "Hiaah, hiah hah hah hah hah...!"
"Husy! Diam!" bentak Ratu Pekat dan tawa itu lenyap seketika. Sepi bagaikan
suara jangkrik terinjak kaki manusia. Ratu Pekat lanjutkan kata-katanya kepada
Pendekar Mabuk,
"Tengkorak Terbang hanya sebuah julukan karena
kurusnya tubuh dia. Bukan semata-mata menjadi lambang tersebut."
"Baiklah, jika begitu, kuingatkan sekali lagi padamu, Ratu Pekat, bahwa apa yang
pernah dikatakan Dewa Racun kemarin itu memang benar."
"Soal apa?" Ratu Pekat kerutkan dahi.
"Salah satu dari orangmu adalah mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tidak mungkin! Orangku tidak punya jiwa pengkhianat!" Ratu Pekat tetap membantah, mungkin karena ingin menutup rasa malu
bahwa ternyata ia lengah dan kemasukan mata-mata tanpa diketahui sejak kapan
bercokolnya. "Ratu Pekat, percayalah dengan pendapatku. Ada pengkhianat di sini dan istanamu
akan direbutnya, pulau ini akan dikuasai, kau sendiri mungkin akan diusir, atau
dibunuh, atau dijadikan tawanan dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Jangan bicara seenakmu, Pendekar Mabuk! Apakah kau bisa membuktikan siapa di
antara kami yang
menjadi mata-mata?"
"Bisa!" jawab Suto, matanya melirik ke arah Tengkorak Terbang. Bukan maksud Suto
menuduh Tengkorak Terbang, tapi ia ingin tahu perubahan sikap Tengkorak
Terbang sebagai panglima yang baru diangkat kemarin siang itu. Hanya saja, lirikan mata Suto diartikan lain oleh
mereka. Mereka ikut-ikutan memandang
Tengkorak Terbang, sehingga yang dipandang merasa sebagai pihak yang dituduh.
Berdiri seketika Tengkorak Terbang dengan kebuasan mata cekungnya, ia berkata
dengan suara cemprengnya,
"Hati-hati kau bicara, Pendekar Mabuk! Sekalipun kau telah menyelamatkan lukaku,
aku masih tega membunuhmu jika kau mencoba menghasut Ratu! Aku bukan mata-mata!"
"Aku tidak menuduh kamu," jawab Suto dengan tersenyum. "Kalau aku memandangmu,
itu karena aku ingin tahu sikapmu sebagai seorang panglima baru di Istana Cambuk
Biru ini! Kau memang bukan mata-mata yang kumaksud, Tengkorak Terbang."
"Lantas siapa orang yang kau maksud?" sentak Tengkorak
Terbang yang sudah telanjur dongkol hatinya. "Berapa sisa prajurit yang ada di sini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Tengkorak
Terbang. "Lima orang!"
"Kumpulkan dia dan aku bisa membedakan mana yang mata-mata dan mana yang bukan!"
"Kerjakan!" perintah Ratu Pekat kepada Tengkorak Terbang. Sang Ratu agak malu
menerima kenyataan itu.
Ia menggeram dengan mata memandang dalam terawang kebencian.
"Kalau benar salah satu prajuritku adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa, maka hal
itu adalah kelalaian dari Pragulo, sebagai ketua keprajuritan ia tidak bisa
membedakan mana lawan dan mana yang bukan lawan."
Ratu Pekat palingkan wajah kepada si Mata Elang dan berkata dengan tegas.
"Jika terbukti ada yang menjadi mata-mata, pancung Pragulo lebih dulu!"
"Baik!" jawab si Mata Elang dengan patuh.
Dewa Racun berkata, "Setahuku, Siluman Tujuh Nyawa
tidak pernah mengirim orangnya untuk menyusup atau mengemban tugas khusus yang tanpa ilmu tinggi. Jika benar ada
mata-matanya di sini, berarti sekalipun ia prajuritmu, Ratu, ia pasti punya ilmu
tinggi!" "Aku tahu!" kata Ratu Pekat tegas. "Tapi akan kuhadapi sendiri dia! Setinggi apa
pun ilmunya, akan kuhadapi sendiri dia!"
"Itu hal yang baik," kata Dewa Racun, "Sebab, orang-orang yang disebar oleh
Siluman Tujuh Nyawa adalah orang-orang
pilihan, yang sedikitnya punya ilmu setingkat dengan Gagak Neraka atau Dadung Amuk.
Bisa jadi lebih tinggi tingkatan ilmunya dari kedua orang yang kusebutkan tadi."
Ratu Pekat mau melanjutkan kata-katanya, tapi
Tengkorak Terbang telah datang bersama keempat
prajurit. Mereka diperintahkan Ratu untuk berjejer di depan serambi.
"Mana Pragulo..."!"
sentak Tengkorak Terbang kepada salah seorang prajurit. Sebelum prajurit itu menjawab, suara Pragulo
telah menyahut dari samping istana sambil berlari-lari.
"Ke mana saja kau?"
"Hmmm... anu, maaf. Sedang buang hajat di belakang kamar mandi!"
Plakkk...! Tangan Tengkorak Terbang bergerak cepat menampar pipi Pragulo.
Prajurit yang menjadi kepala bagian keprajuritan itu hanya diam saja, menunduk,
merasa bersalah. Kemudian ia diperintahkan berjejer di antara keempat prajurit
lainnya. "Biar saya yang menangani, Ratu. Mohon izinmu!"
kata Suto. "Memang harus kau yang menanganinya!" jawab Ratu Pekat, ia berdiri didampingi si
Mata Elang dan Cempaka Ungu. Sementara itu, Dewa Racun dan Singo Bodong ada di
sisi lain, agak jauh dari mereka.
Kepada para prajurit, Suto berkata, "Semua buka baju! Aku akan memilih satu
orang untuk kubekali ilmuku, dan kujadikan benteng terdepan dalam menjaga
keamanan istana!"
Seorang prajurit berwajah bengis berkata dengan angkuhnya.
"Apakah ilmumu cukup tinggi, sehingga kau berani mau melatih kami, hah"!"
"Wiroto! Kerjakan apa saja perintahnya!" sentak Tengkorak
Terbang dengan mata cekungnya memandang keji kepada prajurit angkuh yang bernama Wiroto itu.
Kini, kelima prajurit telah melepas rompi mereka masing-masing. Wiroto hanya
bisa melirik benci kepada Pendekar
Mabuk, tapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja. Bahkan dengan santainya ia menenggak bumbung tuak yang
sudah terisi kembali itu.
Glek glek glek...!
Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Suto yang memandangi wajah-wajah
prajurit dengan penuh selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu
tampak menahan napas karena meredam nafsu kemarahannya. "Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar Mabuk kepada Wiroto. Prajurit itu
melangkah maju dua tindak. Pendekar Mabuk memberikan sebatang tombak dan
berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan tahanlah tombak ini. Aku
menyalurkan tenaga dalamku di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat
menahannya atau tidak."
"Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu kepada ibunya.
"Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab sang Ibu.
Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke
atas. Rupanya Pendekar Mabuk memang menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam batang
tombak itu, sehingga Wiroto
tampak merah mukanya sewaktu mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan kedua tangannya, ia sampai
meliuk-liuk hampir jatuh, lututnya gemetar seperti sedang menyangga beban yang
amat besar dan berat.
Akhirnya Wiroto menggeloyor jatuh, tapi buru-buru ditangkap Pendekar Mabuk, dan
tombak itu diambil oleh Pendekar Mabuk. Wiroto terengah-engah, ia tak mampu
menahan tombak itu dalam sepuluh hitungan. Pendekar
Mabuk geleng-geleng kepala,
"Payah," katanya meremehkan prajurit sombong itu.
Lalu, Pendekar Mabuk menyuruh Pragulo maju ke depan dan melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan Wiroto.
Pada saat kedua tangan Pragulo terangkat ke atas untuk menyangga tombak, tiba-
tiba Suto berkata kepada Tengkorak Terbang,
"Lihat tato di bawah ketiaknya!"
Tengkorak Terbang terkesiap dan tegang wajahnya, ia berseru sambil mencekal
tangan Pragulo agar tetap terangkat ke atas,
"Ratu, lihat tato di bawah ketiaknya! Ini lambang Siluman Tujuh Nyawa!"
Beggg...! Tiba-tiba Pragulo sentakkan gagang tombak ke
punggung Tengkorak Terbang. Saat itu, Ratu Pekat segera berseru,
"Tangkap dia!"
Sebelum yang lain bergerak, Pragulo sudah lebih dulu melenting di udara dan
menjejak kepala salah seorang prajurit, lalu melesat pergi melarikan diri.
Tengkorak Terbang segera berteriak, "Kejar dia!"
Tapi Ratu Pekat berseru pula, 'Jangan! Biar aku yang mengejarnya!"
Pragulo tak sadar telah terpancing oleh akal Pendekar Mabuk, ia tak bisa
menyangkal tuduhan lagi. Karenanya ia lebih baik melarikan diri jika harus
bertarung dengan beberapa orang berilmu tinggi yang ada di situ.
Tetapi karena Ratu Pekat sendiri yang mengejarnya, maka yang lain pun ikut
mengejar, hanya beberapa prajurit yang masih tinggal menjaga istana. Tak lupa,
Singo Bodong pun ikut lari karena ingin menyaksikan pertarungan yang menurut
dugaannya pasti akan seru, sebab sang Ratu turun tangan sendiri.
Langkah Pragulo terhenti karena terhadang oleh
munculnya perempuan berpakaian serba hitam dengan sulaman benang emasnya, dan
mengenakan jubah putih sutera. Perempuan itu menyandang cambuk pendek
berukuran satu depa, kecil seukuran kelingkingnya.
Perempuan itu tak lain adalah Ratu Pekat sendiri.
"Biadab kau, Pragulo! Ternyata selama ini kaulah racun di dalam istanaku!" geram
Ratu Pekat. "Kau telah kebobolan beberapa kali, Ratu Pekat! Kau tidak tahu bahwa aku pun
ikut ambil bagian membunuh orang-orangmu pada saat kedatangan Dadung Amuk, juga
pada saat kedatangan Gagak Neraka kemarin itu!
Ha ha ha ha...!"
"Jahanam kau! Hiaaah...!" Ratu Pekat melepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat
sentakan punggung pergelangan tangannya. Wuuust...! Seberkas sinar merah melesat
ke arah Pragulo. Tapi orang itu cepat melompat dan menghantamkan pukulan jarak
jauhnya melalui kedua telapak tangan yang dihentakkan ke depan.
Wuuugh...! Sinar merahnya Ratu Pekat mengenai tempat kosong, tapi pukulan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi tanpa cahaya itu juga sempat ditahan oleh sentakan tangan
kiri Ratu Pekat yang melesat tinggi ke samping.
Begg...! Ratu Pekat terjengkang jatuh ke belakang. Itu
pertanda tenaga dalam Pragulo lebih besar dari tenaga dalam yang digunakan
menghadangnya. "Ibu..."!"
teriak Cempaka Ungu sambil cepat mencabut pedangnya. Tapi gerakannya ditahan oleh Tengkorak Terbang.
"Jangan! Aku yakin, Ratu bisa selesaikan sendiri urusan
itu! Beri kesempatan pada dia untuk melampiaskan dendam dan murkanya!"
Hadir juga di situ Pendekar Mabuk dan Dewa Racun bersama Singo Bodong yang
terbengong-bengong. Si Mata Elang hanya bersiap mengambil kesempatan
sewaktu-waktu Ratu Pekat terdesak. Cempaka Ungu segera mendekati Suto, berbisik
penuh kecemasan,
"Cepat turunlah! Jangan sampai Ibu celaka!"
"Biar saja! Ibumu ingin tunjukkan murkanya bagi orang yang mencoba
mengkhianatinya!"
"Tapi Ibu dalam keadaan sakit!" katanya sambil mengguncang lengan Pendekar
Mabuk. "Ibumu pasti bisa mengatasinya sendiri!" jawab Suto acuh tak acuh. Seakan
membalas keangkuhan Cempaka Ungu. Gadis itu menjadi geram dan salah tingkah
sendiri, sampai tak sadar ia masih berpegangan lengan Pendekar Mabuk. Ketika
Suto melirik, Cempaka Ungu buru-buru melepaskan dengan rasa malu.


Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pragulo tampak gesit dan lincah. Gerakannya begitu cepat, sehingga tombak yang
sejak tadi dijatuhkan di
tanah bisa diambilnya hanya dengan satu sentilan ibu jari kaki. Tapp...! Tombak
itu ada di tangannya, lalu diputar-putar dengan cepat seperti ia memainkan toya.
Gerakan jurusnya cukup indah, enak dipandang mata. Suto memuji
gerakan indah jurus itu, yang mampu merenggangkan kaki lurus ke tanah sambil memainkan tombak
berputar, bahkan menggelincir sendiri di punggungnya yang membungkuk itu. Sambil membungkuk, Pragulo melepaskan pukulan jarak jauhnya ke atas, ke arah dada Ratu Pekat. Tetapi Ratu Pekat menghindar dengan
satu kali sentakkan kaki, tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali.
Sambil bersalto rupanya Ratu Pekat cepat mencabut cambuknya. Begitu mendarat di
tanah dengan kaki tegak, cambuk kecil itu segera dikibaskan ke depan.
Jaraknya tak menjangkau, tapi ujung cambuk itu
menyemburkan cahaya biru petir dan menggelegar.
Duarrr...! Pragulo cepat sentakkan tombaknya ke tanah dan
tubuhnya terangkat terbang tinggi-tinggi, lalu tombak itu dilemparkan dengan
cepatnya ke tubuh Ratu Pekat.
Wuttt...! Jrubb...!
Tombak itu menancap di tanah karena Ratu Pekat
menghindar, sedangkan cahaya biru petir tadi menghantam sebuah pohon yang membuat pohon itu
lenyap dalam sekejap tanpa bekas sedikit pun.
Pragulo mendaratkan kakinya di tanah dengan sedikit merendah. Lalu, kedua
tangannya bergerak mengeras dari
samping pinggul naik ke atas pelan-pelan. Tubuhnya sampai kelihatan bergetar. Tubuh itu mengeluarkan asap kebiru-biruan. Dewa Racun cepat berteriak,
"Minggir semua! Dia mau tebarkan Racun Pemunah Bangkai! Minggir semuaaa...!
Tutup hidung kaliaaan...!"
Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri
Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa
Racun. Tetapi, Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan cambuk
birunya lagi. Duarrr...! Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo.
Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh itu tetap bergerak pelan
mendorong tangannya ke atas.
Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk
Pragulo. Tapi sang Ratu semakin penasaran.
"Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan
tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"
Wuuttt... wuttt...! Pendekar Mabuk bergerak cepat menyambut sang Ratu dan
membawanya pergi menjauh.
Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan
gerakan berotot dan asap makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir
disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Mabuk cepat tenggak tuaknya dan melompat
beberapa kali berjungkir balik di tanah. Tap tap tap tap tap...! Cepat sekali!
Pendekar Mabuk tiba di depan Pragulo. Tepat pada
saat itu Pragulo sentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi segera Pendekar Mabuk semburkan tuak dari dalam mulutnya itu. Brusss...!
"Aaaaahk...!"
Pragulo memekik dengan tubuh mengejang, kepala terdongak ke atas, mulut terbuka lebar dan mata terpejam kuat.
Pukulan Racun Pemunah Bangkai itu membalik menyerang dirinya sendiri, dan
akibatnya tubuh Pragulo itu mulai menghitam. Lama-lama kulit tubuhnya menjadi
lumer, bau busuk menyebar tajam. Suto cepat tinggalkan tempat karena tak tahan
bau bangkai itu.
Dari kejauhan, semua yang tutup hidung hanya bisa memandang dengan mata melotot
melihat tubuh Pragulo menjadi lumer hitam, dan akhirnya jatuh ke tanah dalam
keadaan tetap melumer menjijikkan. Akhirnya tubuh Pragulo
tak berbentuk manusia lagi, melainkan berbentuk cairan kental hitam yang baunya sangat busuk.
Cempaka Ungu muntah-muntah seketika. Singo
Bodong juga muntah-muntah sampai tak sadar mengenai punggung Dewa Racun. Tentu
saja ia mendapat
tamparan Dewa Racun yang merasa jijik terkena
muntahan Singo Bodong.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya lagi, lalu ia melompat dengan cepat dan
tiba di dekat benda lumer itu dan menyemburkan tuak dalam mulutnya, Brusss...!
Bau bangkai itu mulai menipis. Angin pantai
membuatnya terbang, dan cepat menjadi hilang. Sementara itu, Dewa Racun tertegun bengong melihat
apa yang dilakukan Suto tadi. Menyemburkan tuak membuat bau busuk itu hilang,
sudah merupakan hal yang menakjubkan buat Dewa Racun. Karena dia tahu, bau
bangkai itu tidak bisa hilang selama tujuh hari. Tapi ternyata dengan semburan
tuak bisa cepat lenyap.
"Luar biasa dia itu..."!" gumamnya dengan mulut masih bau anyir ikan bakar.
"Terima kasih, Pendekar Mabuk. Sekali lagi kau telah menyelamatkan aku!" kata
Ratu Pekat kemudian.
"Karena aku punya pamrih," jawab Suto.
"Pamrih apa"!" tanya Cempaka Ungu.
"Sebuah perahu!" jawab Pendekar Mabuk dengan senyum.
"Jadi, kau akan bertolak sekarang juga atau nanti sore?" tanya si Mata Elang.
"Sedang kupertimbangkan kapan aku harus pergi dari pulau ini."
"Rupanya ada hal yang meragukan dirimu?" tanya Tengkorak Terbang.
"Terus terang saja, memang ada keraguan pada diriku!"
"Keraguan apa?" tanya Ratu Pekat.
"Semalam kulihat Pragulo melakukan hubungan jarak jauh dengan seseorang.
Sepertinya dengan Siluman Tujuh Nyawa. Dia berdiri di batu sebelah sana," Suto
menunjuk arah batu itu. "Dia menyebut-nyebut istanamu yang lemah."
"Kalau begitu, mereka akan datang menyerang pulau ini?" kata Ratu Pekat dalam
kecemasan. "Mereka siapa, Ibu?"
"Kapal Siluman Tujuh Nyawa!"
"Menyerang kita" Kita yang lemah seperti ini akan kedatangan mereka" Apakah kita
mampu bertahan"!"
Si Mata Elang memandang Tengkorak Terbang, dan
Tengkorak Terbang sendiri menatap tegang pada si Mata Elang.
"Tak bisakah kau tinggal sesaat lagi, Pendekar Mabuk?"
tanya Tengkorak Terbang dengan nada memohon. "Ya, tinggallah beberapa hari lagi di sini," sahut Ratu Pekat.
"Aku harus berunding dengan Dewa Racun dulu,"
kata Suto. Tapi matanya tertuju pada Cempaka Ungu, dan gadis itu menatap penuh
harap. Sebuah harapan untuk sebentuk perlindungan. Haruskah Suto menunda lagi
perjalanannya ke Pulau Serindu"
SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kelanjutan cerita ini!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode: PUSAKA TOMBAK MAUT
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Pecut Sakti Bajrakirana 11 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Pengelana Rimba Persilatan 1
^